folklor menara, masjid, dan makam sunan kudus …/folklor...ii folklor menara, masjid, dan makam...

144
FOLKLOR MENARA, MASJID, DAN MAKAM SUNAN KUDUS SEBAGAI PENGAYAAN MATERI PEMBELAJARAN SEJARAH (Studi Kasus di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus) TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Sejarah Oleh : Suwoto S860208032 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

Upload: vuongthuy

Post on 29-May-2019

272 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

FOLKLOR MENARA, MASJID, DAN MAKAM SUNAN KUDUS

SEBAGAI PENGAYAAN MATERI PEMBELAJARAN SEJARAH

(Studi Kasus di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh :

Suwoto

S860208032

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009

ii

FOLKLOR MENARA, MASJID, DAN MAKAM SUNAN KUDUS

SEBAGAI PENGAYAAN MATERI PEMBELAJARAN SEJARAH

(Studi Kasus di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus)

Disusun oleh:

Suwoto

S860208032

Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama/NIP Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Dr. Warto, M. Hum

NIP. 131633898

Pembimbing II Dr. Budhi Setiawan, M.Pd

NIP. 131809046

Mengetahui

Ketua Program Pendidikan Sejarah

Dr. Warto, M. Hum

NIP. 131633898

iii

FOLKLOR MENARA, MASJID, DAN MAKAM SUNAN KUDUS

SEBAGAI PENGAYAAN MATERI PEMBELAJARAN SEJARAH

(Studi Kasus di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus)

Disusun oleh:

Suwoto

S860208032

Telah Disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Prof. HB. Sutopo, M.Sc.,

M.Sc., Ph.D

NIP. 130444310

Sekretaris Dr. Suyatno Kartodirdjo

NIP. 130324012

Anggota Penguji 1. Dr. Warto, M. Hum

NIP. 131633898

2. Dr. Budhi Setiawan, M.Pd

NIP. 131809046

Surakarta, April 2009

Mengetahui :

Direktur Ketua

Program Pascasarjana UNS Program Pendidikan Sejarah

Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D

NIP 131472192

Dr. Warto, M.Hum

NIP 131633898

iv

PERNYATAAN

Nama : Suwoto NIM : S860208032

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai Pengayaan Materi Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus) adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Kudus, April 2009

Yang Membuat Pernyataan

Suwoto

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

rahmat dan hidayah-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan untuk memenuhi

sebagian persyaratan mencapai gelar magister. Tesis ini disusun berdasarkan

penelitian dengan judul “Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus

sebagai Pengayaan Materi Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus di Madrasah Aliyah

Nahdlatul Ulama Banat Kudus)”.

Ucapan terima kasih atas bantuannya dalam menyelesaikan tesis ini,

penulis sampaikan kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr. Sp. KJ, selaku Rektor Universitas Sebelas

Maret yang telah memberikan izin belajar di Program Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret;

2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D, selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan untuk

melanjutkan studi di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Surakarta, dan membantu proses perizinan penelitian;

3. Dr. Warto, M. Hum selaku Ketua Program Pendidikan Sejarah Universitas

Sebelas Maret Surakarta, dan sebagai Dosen Pembimbing I, yang telah

memberi motivasi, bimbingan dan arahan kepada penulis tentang isi,

sistematika, dan penggunaan bahasa dalam tesis ini;

4. Dr. Budhi Setiawan, M.Pd selaku Dosen Pembimbing II, yang telah memberi

motivasi, bimbingan dan arahan kepada penulis tentang isi, sistematika, dan

penggunaan bahasa dalam tesis ini;

vi

5. Semua Dosen di Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan

dukungan moral dan semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan

pendidikan di Pascasarjana UNS;

6. Deny Nur Hakim selaku Pengelola Yayasan Menara, Masjid dan Makam

Sunan Kudus; Djupriyono selaku Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia dan

Sancaka Dwi Supani selaku Kasi Kebudayaan dan Kepurbakalaan Dinas

Pariwisata Kabupaten Kudus yang telah memberikan informasi tentang tempat

peninggalan sejarah tersebut;

7. Kepala Sekolah, Drs. Moh. Said serta Swidarto dan Azwar selaku guru

Sejarah MA NU Banat Kudus, yang telah memberikan informasi dan

membantu penulis dalam menyelesaikan tesis;

8. Hj. Sri Rokhyati, istriku dan Tito Arizal Bintang, Rizki Putra Wicaksono,

Lazuardi Ulil Abshor, Zakiya Briliana Putri, anak-anakku tercinta yang telah

memberikan dukungan moral dan semangat sehingga penulis dapat

menyelesaikan pendidikan di Pascasarjana UNS;

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya pendidikan sejarah di Indonesia.

Surakarta, April 2009

Peneliti

Suwoto

vii

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ……………..……………………………………………………….. i

PENGESAHAN PEMBIMBING……………………………………………. ii

PENGESAHAN PENGUJI TESIS ………………………………………….. iii

PERNYATAAN …………………………………………………………….. iv

KATA PENGANTAR ………………………………………………………. v

DAFTAR ISI………………………………………………………………… vii

DAFTAR TABEL…………………………………………………………… x

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….. xi

DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………. xii

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xiii

ABSTRAK…………………………………………………………………… xiv

ABSTRACT ………………………………………………………………… xv

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1

B. Rumusan Masalah …………………………………………….. 6

C. Tujuan Penelitian ……………………………………………… 7

D. Manfaat Penelitian …………………………………………….. 7

1. Manfaat Teoretis …………………………………………. 7

2. Manfaat Praktis …………………………………………… 8

BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA PIKIR ………………………….. 9

A. Kajian Teori …………………………………………………… 9

1. Folklor …………………………………………………….. 9

a. Pengertian Folklor …………………………………….. 9

b. Ciri-Ciri Folklor………………………………………… 11

c. Bentuk-Bentuk Folklor ………………………………… 13

d. Kegunaan Folklor ……………………………………… 18

2. Sejarah …………………………………………………….. 19

a. Pengertian Sejarah dalam Pendidikan.......…………….. 19

viii

b. Tujuan Pendidikan Sejarah …………………………. 21

c. Ruang Lingkup Materi Pendidikan Sejarah SMA……… 22

3. Materi Pembelajaran ………………………………………. 24

a. Pengertian Materi Pembelajaran ………………….. 24

b. Prinsip Pengayaan Materi Pembelajaran………… ……. 25

c. Langkah-langkah dalam Pengayaan Materi Pembelajaran

Sejarah …………………………………………………. 27

d. Cara Memanfaatkan Materi Pembelajaran Sejarah…….. 34

4. Pembelajaran Sejarah ……………………………………… 42

a. Hakekat Pembelajaran Sejarah ………………………… 42

b. Ciri-ciri Pembelajaran Sejarah ………………………… 43

c. Komponen Pembelajaran Sejarah……………………… 45

B. Kerangka Pikir ………………………………………………… 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN …………………………………… 49

A. Setting Penelitian ……………………………………………… 49

B. Bentuk dan Strategi Penelitian………………………………… 49

C. Sumber Data…………………………………………………… 51

D. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………. 51

E. Teknik Cuplikan (Sampling) ………………………………….. 54

F. Validitas Data ………………………………………………… 56

G. Teknik Analisis Data ………………………………………… 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………………… 60

A. Deskripsi Latar………………………………………………… 60

B. Sajian Data …………………………………………………….. 64

C. Pokok-Pokok Temuan Penelitian …………………………… 114

D. Pembahasan Hasil Penelitian………………………………… .. 117

ix

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN………………………… 122

A. Simpulan ………………………………………………………. 122

B. Implikasi ………………………………………………………. 124

C. Saran…………………………………………………………… 126

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 127

LAMPIRAN .................................................................................................... 129

x

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran

Sejarah Kelas XI SMA, Semester 1 ………………………………… 24

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Skema Kerangka Pikir …………………………………………… 48

Gambar 2 Bagan Siklus Analisis Interaktif ………………………………… 58

xii

DAFTAR SINGKATAN

YM3SK : Yayasan Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus

MSI : Masyarakat Sejarawan Indonesia

M3SK : Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus

MA : Madrasah Aliyah (setingkat dengan SMA)

NU : Nahdlatul Ulama (Organisasi Massa Islam)

SK : Standar Kompetensi

KD : Kompetensi Dasar

RPP : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah MA NU Banat ...... 129

Lampiran 2 Denah Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus ...................... 137

Lampiran 3 Potongan Menara Kudus .............................................................. 138

Lampiran 4 Ijin Penelitian ............................................................................... 139

xiv

ABSTRAK

Suwoto, S860208032. 2009. Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai Pengayaan Materi Pembelejaran Sejarah (Studi Kasus di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus). Tesis: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di masyarakat Kudus; Makna filosofis yang terkandung dalam folklor tentang Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus; Kriteria kelayakan yang digunakan untuk mengetahui tentang folklor Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus yang dapat digunakan sebagai bahan pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah (MA) Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus; Pemanfaatan folklor tentang Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah (MA) Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus; Kendala yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus.

Penelitian ini dilaksanakan di MA NU Banat Kudus dan Kompleks Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Sumber data berasal dari informan dan dokumen. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, observasi dan analisis dokumen. Sampling berasal dari purposive sampling dan validitas data diukur menggunakan triangulasi data dan triangulasi metode.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di masyarakat sangat beragam di mana makna filosofisnya sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Makna filosofis ini dapat dijadikan materi pengayaan sejarah. Kriteria yang dipakai dalam menentukan kelayakan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah MA NU Banat adalah folklor tersebut harus sesuai dan menunjang pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sejarah SMA/MA. Sebelum memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai bahan pengayaan materi pembelajaran adalah memeriksa kesesuaian folklor tersebut dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar sejarah SMA/MA. Kedua, menentukan cakupan materi yang dapat digunakan dalam pengayaan materi pembelajaran. Ketiga, menentukan urutan materi sehingga penyajian materi dapat berkesinambungan, koheren dan utuh sehingga mudah dipahami oleh siswa. Urutan materi menggunaan pendekatan prosedural. Kendala yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai bahan pengayaan materi pembelajaran adalah alokasi waktu yang sedikit dan kesulitan mendapatkan sumber informan yang dapat menjelaskan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus secara lengkap dan terpercaya.

xv

ABSTRACT

Suwoto, S860208032. 2009. Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus Folklore for Developing Instructional Learning (Case Study at Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus). Thesis: Post Graduate Program of Sebelas Maret University Surakarta.

The aim of research are to describe : the kinds of Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus folklore that issue in Kudus Society; the philosophical meaning of Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus folklore to be used as developing instructional learning. And also to find out that Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus can be used to develop instructional learning. The research also describe the teacher manner and difficulsties to use Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus as instructional learning

The study is a descriptive qualitative research with case study approach taken place in MA NU Banat Kudus and Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus complex. The research used qualitative descriptive. The data source was obtained from the place and event, informant and document. The place and event of research is the learning implementation process occuring in the Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus. The data was then analyzed using an interactive analysis model including data reduction, data presentation, and conclusion drawing / verification.

The Result of research explain that Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus folklore has vary version and its philosophical meaning can influence social aspects of Kudus society. This Philosophic meaning can be made to develop instructional learning of history. The reason why it can be used as instructional learning cause Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus folklore support Standart Competence and Basical Competence of History at SMA/MA. Before them as instructional learning, teacher has to examine the folklore that suitable to SMA/MA to Standart Competence and Basical Competence. Then, teacher has to find out and get the matterial to develop instrunctional learning that suitable for the purpose. The last prosedure is to arrange matterial by using procedural approach so the instructional learning can be coheren, well organised, and complete so simple understanding by students. Teacher face difficulties to find out and arrange suitable and trusty informants that know presicely about Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus folklore to get matterial to develop instructional learning. Teacher also face difficulties to make students visit Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus for searching and using them as instructional learning of history.

xvi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang asal usul

dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau berdasarkan

metodologi tertentu. Pendidikan sejarah diberikan di tingkat sekolah dasar hingga

sekolah menengah karena pengetahuan masa lampau mengandung nilai-nilai

kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap,

watak dan kepribadian siswa.

Mata pelajaran sejarah telah diberikan pada tingkat pendidikan dasar

sebagai bagian dari mata pelajaran IPS, sedangkan pada tingkat pendidikan

menengah, mata pelajaran sejarah diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri.

Mata pelajaran sejarah memiliki arti yang sangat strategis dalam pembentukan

watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia

Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, maka mata

pelajaran sejarah ini perlu disampaikan kepada siswa di sekolah dalam kegiatan

pembelajaran.

Pembelajaran sejarah merupakan sebuah sistem yang mengintegrasikan

berbagai komponen pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang

diinginkan. Pemilihan komponen-komponen dalam pembelajaran harus dipikirkan

dengan baik agar pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif dan efisien.

Komponen-komponen pembelajaran harus saling mendukung dan melengkapi

1

xvii

untuk menghasilkan suatu proses pembelajaran yang bermakna dan mudah

dipahami oleh siswa. Materi pembelajaran diperlukan oleh guru untuk membantu

guru memberikan pengetahuan yang baru.

Pemilihan materi pembelajaran juga harus memperhatikan potensi daerah

yang ada. Karakteristik dan potensi daerah yang sesuai dengan kompotensi dasar

Mata Pelajaran Sejarah perlu dimasukkan dalam materi pembelajaran. Pemasukan

bahan materi pembelajaran yang sudah dikenal oleh siswa akan membantu

pembelajaran lebih bermakna sehingga tujuan pendidikan nasional dapat tercapai

secara maksimal.

Pembelajaran sejarah dimaksudkan agar siswa mengenal asal usul dirinya,

sehingga materi pembelajaran sejarah perlu memuat tentang cerita dan peristiwa

yang terjadi di daerah sekitarnya. Cerita dan peristiwa sejarah tersebut akan

memberikan pemahaman kepada siswa tentang dirinya dan pada akhirnya siswa

menjadi lebih arif dalam menyikapi kehidupan.

Warisan budaya masa lampau di suatu daerah memiliki berbagai manfaat,

antara lain: 1) menggali jati diri dan kepribadian daerah, 2) membangun

solidaritas sosial, 3) memberikan informasi tentang kejadian-kejadian, peristiwa-

peristiwa, asal usul suatu daerah sehingga dapat membangkitkan semangat untuk

berkreasi mengembangkan, 4) mempertahankan dan melestarikan budaya lokal

tersebut. Namun peninggalan sejarah ini belum digali secara optimal oleh

berbagai komponen pendidikan terutama ( guru, sekolah, Dinas Pendidikan).

Sehubungan dengan hal itu, pembelajaran sejarah dengan mengkaitkan

peristiwa masa lalu dengan kondisi/ konteks kehidupan nyata yang sedang dialami

xviii

adalah sesuatu yang tepat, karena tujuan dari pembelajaran sejarah adalah

menanamkan semangat dan cinta tanah air yang saat ini mulai memudar karena

pergantian generasi tidak diikuti dengan pendidikan kebangsaan yang siap. Suatu

contoh di Kabupaten Kudus banyak peninggalan sejarah dan kepurbakalaan,

utamanya pada masa transisi zaman agama Hindu dan Budha ke masa

berkembangnya agama Islam di pulau Jawa.

Folklor yang tersebar di Kudus sangat banyak sekali, khususnya di

wilayah kecamatan Kota. Menurut inventarisasi data peninggalan sejarah dan

purbakala Kabupaten Kudus di Kecamatan Kota terdapat puluhan folklor yakni :

Menara Kudus, Masjid Al-Aqso Kudus, Makam Sunan Kudus, Gapura

Padureksan Kidul Menara, Makam Pangeran Palembang, Makam Pangeran Puger,

Gapura Kembar, Masjid Langgar Dalem, Masjid Madureksan, Masjid Bubar,

Yoni/ Lumpang Batu Segi Empat, Lumpang Batu Persegi Panjang, Lingga,

Klenteng Hok Ling Bio, Sumur Tulak, Batu Lumpang, Masjid Jami’ Nganguk

Wali, Makam Kyai Telingsing, Pesarean Sidomukti, Pintu Gapura Sidomukti

(Ahfas Muntohar, 2007 : ix).

Berdasarkan hasil inventarisasi tersebut menunjukkan demikian kayanya

kecamatan Kota akan folklor. Namun situs-situs tersebut baru sedikit sekali yang

dikenali seperti Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus, sedangkan yang

lainnya belum dikenali oleh siswa SMA/MA bahkan guru sejarah sekalipun.

Keadaan inilah yang dapat menjadikan keprihatinan bagi kalangan dunia

pendidikan karena kekurangpedulian dalam mengenali dan menggali folklor yang

ada dilingkungannya. Sedangkan apabila digali peninggalan-peninggalan tersebut

xix

dapat dimanfaatkan oleh guru sejarah untuk kepentingan pengayaan pembelajaran

khususnya sejarah. Selama ini masih belum maksimal dalam memanfaatkan

folklor karena pada saat mengunjungi lokasi folklor lebih ditekankan pada aspek

rekreasinya dari pada aspek belajar dan mengkaitkan pembelajaran sejarah dengan

peninggalan-peninggalan sejarah itu. Oleh karena itu, guru sejarah harus mampu

mengarahkan siswanya apabila mengunjungi lokasi folklor bukan hanya rekreasi

tetapi memanfaatkan sebagai sumber belajar agar para siswa lebih mengenal dan

memperoleh makna pembelajaran.

Kekayaan arkeologis yang ada di Kabupaten Kudus mengakibatkan

berkembangnya cerita rakyat yang beragam. Cerita yang berkembang di

masyarakat biasanya berkaitan dengan benda-benda bersejarah yang banyak

terdapat di Kudus. Cerita-cerita semacam ini dalam sejarah termasuk dalam

bagian folklor.

Folklor yang terkenal di masyarakat Kudus adalah folklor Menara,

Masjid, dan Makam Sunan Kudus. Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus

terletak dalam satu kompleks dan termasuk peninggalan dari Sunan Kudus.

Folklor yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan penyebaran agama

Islam di kota Kudus, khususnya Kudus Kulon yaitu daerah penyebaran agama

Islam yang dilakukan oleh Sunan Kudus.

Folklor yang berkembang di seputar Menara, Masjid dan Makam Sunan

Kudus memiliki versi yang beragam. Folklor ini mengandung berbagai pelajaran

hidup yang berasal dari kejadian di masa lampau yang ingin disampaikan kepada

generasi seterusnya dengan dikemas dalam cerita yang menarik.

xx

Folklor merupakan salah satu kekayaan kebudayaan Indonesia.

Kebudayaan Indonesia mengandung makna dan nilai luhur. Kebudayaan

Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa, harus dipelihara dan

dibina, dan dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan

Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa,

mempertebal harga diri dan kebanggaan nasional, memperkokoh jiwa persatuan

dan kesatuan bangsa serta mampu menjadi penggerak bagi perwujudan cita-cita

bangsa di masa depan.

Folklor yang digali dari masyarakat setempat berfungsi untuk

mengungkapkan jati diri dan kepribadian masyarakat setempat, membangun

solidaritas sosial, memberikan informasi tentang kejadian-kejadian, peristiwa-

peristiwa, asal usul suatu daerah sehingga dapat membangkitkan semangat untuk

berkreasi mengembangkan, mempertahankan dan melestarikan folklor yang ada.

Pengayaan materi pembelajaran sejarah Madrasah Aliyah dengan

memanfaatkan cerita folklor tersebut akan memberikan makna yang mendalam

kepada siswa tentang asal-usul dan jati dirinya. Nilai yang terkandung dalam

folklor perlu diberikan kepada siswa dengan jalan memasukkan folklor Menara,

Masjid,dan Makam Sunan Kudus dalam materi pembelajaran.

MA NU Banat Kudus sebagai bagian dari sekolah/ madrasah yang berada

di wilayah kecamatan Kota perlu berupaya memanfaatkan folklor sebagai

pengayaan materi pembelajaran sejarah. Alasan yang mendasari folklor dijadikan

sebagai pengayaan materi sejarah karena MA NU Banat Kudus sebagai bagian

dari lembaga pendidikan Islam yang memiliki kepedulian untuk turut menggali

xxi

folklor yang ada di wilayah Kecamatan Kota karena situs-situs tersebut sebagian

besar adalah peninggalan jaman Indonesia Madya yang bercorakkan Islam.

Melalui pengayaan materi sejarah inilah dapat dijadikan sebagai salah satu tujuan

untuk melindungi, melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan

kebudayaan daerah dan memperkaya kebudayaan nasional.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi permasalahan di atas,

penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus yang

berkembang di masyarakat Kudus?

2. Makna filosofis apa sajakah yang terkandung dalam folklor tentang Menara,

Masjid,dan Makam Sunan Kudus?

3. Apakah folklor tentang Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus dapat

dimanfaatkan sebagai pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah (MA)

Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus?

4. Bagaimana guru memanfaatkan folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan

Kudus sebagai pengayaan materi sejarah di MA NU Banat Kudus?

5. Kendala apa saja yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Menara,

Masjid, dan Makam Sunan Kudus dalam pembelajaran?

xxii

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan

tentang:

1. Folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di

masyarakat Kudus.

2. Makna filosofis yang terkandung dalam folklor tentang Menara, Masjid, dan

Makam Sunan Kudus.

3. Kriteria kelayakan yang digunakan untuk menetukan folklor Menara, Masjid,

dan Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan materi sejarah di Madrasah

Aliyah (MA) Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus.

4. Pemanfaatan folklor tentang Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus

sebagai pengayaan materi sejarah oleh guru di Madrasah Aliyah (MA)

Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus.

5. Kendala yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Menara, Masjid,

dan Makam Sunan Kudus dalam pembelajaran.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran terhadap pengembangan dunia pendidikan pada umumnya dan

khususnya evaluasi pengayaan materi pembelajaran sejarah yang telah

xxiii

dilakukan di MA NU Banat Kudus dengan memanfaatkan folklor Menara,

Masjid dan Makam Sunan Kudus.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1. Kepala madrasah,

Memberikan wawasan dan masukan kepada kepala MA NU Banat

Kudus tentang evaluasi pengayaan materi pembelajaran dengan

memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus di MA

NU Banat Kabupaten Kudus.

2. Guru

Memberikan wawasan dan masukan kepada guru sejarah MA NU

Banat Kudus tentang evaluasi pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan

Makam Sunan Kudus sebagai salah satu alternatif pengayaan materi

pembelajaran sejarah yang telah dilakukan guru sejarah sehingga dapat

digunakan sebagai pijakan untuk meningkatkan mutu pembelajaran

sejarah.

3. Siswa

Memberikan masukan kepada siswa untuk mengadakan evaluasi

tentang pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus

sebagai salah satu alternatif pengayaan materi pembelajaran sejarah

sehingga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendalami nilai-nilai yang

terkandung dalam situs tersebut.

xxiv

BAB II

KAJIAN TEORI, KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori

1. Folklor

a. Pengertian Folklor

Secara etimologis kata folklor berasal dari bahasa Inggris folklore,

kata dasarnya folk dan lore (James Danandjaja Dhanar Widianta (2008)

dalam http://www.titikoma.com/esai/duaversi_folklor_dan_levi-

strauss.php). Kata folklor merupakan pengindonesiaan dari bahasa

Inggris folklore. Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari

dua kata dasar yaitu: folk dan lore. Menurut Dundes dalam Shodiq

Mustafa (2006: 18) folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri

pengenal fisik, sosial dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari

kelompok-kelompok sosial lainnya. Lore merupakan tradisi dari folk, yaitu

sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu

contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat

(mnemonik device). Folklor adalah bagian dari kebudayaan yang

disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan

maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu

pengingat.

Folklor secara umum didefinisikan sebagai bagian kebudayaan

suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun.

9

xxv

Di antara kolektif dalam berbagai macam versi yang berbeda dan bersifat

tradisional baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan

gerak isyarat atau alat bantu pengingat / mnemonik device. Folklor

biasanya mempunyai bentuk yang berpola sebagaimana dalam cerita

rakyat atau permainan rakyat pada umumnya. Folklor pada umumnya

mempunyai kegunaan atau fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif

misalnya cerita rakyat sebagai alat pendidik, hiburan, protes sosial, dan

proyeksi suatu keinginan yang terpendam. Sebagai bentuk kebudayaan

milik bersama (kolektif) folklor bersifat pralogis yaitu logika yang khusus

dan kadang berbeda dengan logika umum. Penelitian tentang folklore

telah banyak dilakukan untuk berbagai macam tujuan, misalnya untuk

tujuan antropologi, pendidikan, bahasa, seni pertunjukan, sosiologi, dan

berbagai pranata sosial (Arif Budi Wurianto, 2007,

http://elka.umm.ac.id/artikel2.htm).

Menurut Djames Danandjaya (dalam Sumarno, 1996: 95) folklor

adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan

turun temurun di antara kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-

temurun di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi

yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak

isyarat atau alat pembantu pengingat.

Shodiq Mustafa (2006:24) berpendapat folklor adalah istiadat

tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi

tidak dibukukan. Folklor adalah bagian dari sastra lisan yang berisi cerita

xxvi

kisah, adat istiadat keagamaan, upacara ritual dan pengetahuan rakyat

daerah tertentu yang diwariskan secara lisan dan turun temurun (I Wayan

Badrika, 2006 : 44). Folklor adalah tradisi lisan dari suatu masyarakat

yang tersebar atau diwariskan secara turun temurun.

b. Ciri-Ciri Folklor

Agar dapat membedakan antara folklor dengan kebudayaan

lainnya, harus diketahui ciri-ciri pengenal utama folklor. Menurut

Sumarno (1996: 94) ciri-ciri pengenal itu, antara lain: 1) Warna kulit yang

sama, 2) Taraf pendidikan yang sama, 3) Bentuk rambut yang sama, 4)

Mata pencaharian yang sama, 5) Bahasa yang sama, 6) Kesenian yang

sama, 7) Agama yang sama, 8) Tradisi yang sama.

Ciri-ciri pengenal dari folk adalah kesadaran akan identitas

kelompok mereka sendiri. Sedangkan lore adalah tradisi dari folk, yaitu

sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun secara lisan

atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat

pembantu pengingat.

Tedi Sutardi (2007) dalam http://books.google.co.id/ books?id

berpendapat bahwa folklor memiliki beberapa ciri-ciri yaitu :

1) Penyebaran dan pewarisan biasanya dilakukan secara lisan, yakni

disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu

contoh yang disertai dengan gerak isyarat dan alat pembantu

pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.

xxvii

2) Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif

tetap dan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama

(paling sedikit dua generasi).

3) Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini sudah

tentu karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi,

sehingga setiap anggota kolektif mengetahui folklor tersebut dan

menganggapnya milik bersama.

4) Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama yaitu sebagai

alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang

terpendam.

Menurut James Danandjaya (1997: 3) bahwa ciri-ciri dari folklor

adalah sebagai berikut :

1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan yaitu :

melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi.

2) Bersifat tradisional, disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam

bentuk standar.

3) Berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan

penyebarannya secara lisan sehingga folklor mudah mengalami

perubahan. Akan tetapi, bentuk dasarnya tetap bertahan.

4) Bersifat anonim, artinya pembuatannya sudah tidak diketahui lagi.

5) Biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya

misalnya. Menurut sahibul hikayat.......(menurut yang empunya cerita)

atau dalam bahasa Jawa, misalnya dimulai dengan kalimat anuju

sawijining dina (pada suatu hari).

xxviii

6) Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya

berguna sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan

cerminan keinginan terpendam.

7) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai

dengan logika umum. Ciri utama folklor lisan dan sebagian lisan.

8) Menjadi milik bersama (colective) dari masyarakat tertentu.

9) Pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali

kelihatannya kasar dan spontan. Hal ini disebabkan banyak folklor

(cerminan) emosi manusia yang jujur.

c. Bentuk-Bentuk Folklor

Menurut Shodiq Mustafa (2006:10) membagi folklor ke dalam tiga

kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan dan

bukan lisan. Adapun masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Foklor lisan

Folklor lisan dikenal sebagai fakta mental (mentifact) yang

meliputi sebagai berikut:

a) Bahasa rakyat, seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu,

onomastis.

b) Ungkapan tradisional, seperti peribahasa dan sindiran.

c) Pertanyaan tradisional yang dikenal sebagai teki-teki.

d) Sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair

e) Cerita prosa rakyat, yang terdiri : mite, legenda, dan dongeng.

f) Nyanyian rakyat, seperti Jali-jali, Olesio, Jamuran dan sebagainya.

xxix

2) Folklor sebagian lisan

Folklor dikenal sebagai fakta sosial (sosiofact) yang meliputi:

a) Kepercayaan dan takhayul

b) Permainan dan hiburan rakyat setempat.

c) Teater rakyat, seperti Lenong, Ketoprak, Ludruk.

d) Tarian rakyat, seperti tari Tayuban, Doger, Jaran Kepang dan

Ngibing.

e) Adat kebiasaan seperti gotong-royong dalam pembuatan jalan

rumah atau pesta slamatan, dan khitanan.

f) Upacara tradisional, seperti tinkeban, turun tanah, dan temu

manten.

g) Pesta rakyat tradisional, seperti bersih desa sesudah panen dan

selamatan.

3) Folklor bukan lisan

Folklor dikenal sebagai artefak (artifact) meliputi: sebagai

berikut: a) Arsitektur bangunan rumah tradisional, seperti : joglo di

Jawa, Rumah Gadang di Minangkabau, Rumah Betag di Kalimantan,

Menara, Masjid-Masjid Kuno, dan sebagainya; b) Seni kerajinan

tangan tradisional; c) Pakaian tradisional; d) Obat-obatan rakyat; e)

Alat-alat musik tradisional; f) Peralatan dan senjata khas tradisional;

g) Makanan dan minuman khas.

Menurut Brunvand (dalam Arif Budi Wurianto, 2007,

http://elka.umm.ac.id/artikel2.htm) menyatakan bahwa folklor terdiri

xxx

atas mentifacts, sociofact dan artifacts. Secara teori folklor berkaitan

dengan tujuh unsur kebudayaan universal yaitu ekonomi (sistem

pencaharian hidup), teknologi (sistem peralatan dan perlengkapan hidup),

sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi.

Berdasarkan tujuh unsur kebudayaan universal tersebut maka folklor dapat

digolongkan menjadi tiga kelompok besar yaitu folklor lisan, folklore

sebagian lisan, dan folklore bukan lisan (Arif Budi Wurianto, 2007,

http://elka.umm.ac.id/artikel2.htm).

Menurut James Dananjaya (1997: 21-22) folklor dapat dibedakan

menjadi tiga yaitu : folklor lisan, sebagian lisan dan bukan lisan. Folklor

lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan. Folklor lisan terdiri dari

bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan

puisi rakyat, prosa rakyat dan nyanyian rakyat. Bahasa rakyat berupa logat

(dialect), seperti logat Sunda, logat Cirebon, logat Jawa, dan logat

Madura. Selain bahasa rakyat juga penggunaan gelar kebangsawanan atau

jabatan tradisional, seperti raden, mas, raden mas, raden panji, raden

tumenggung, raden ayu, raden ajeng dan sebagainya. Ungkapan

tradisional atau pribahasa adalah kalimat peribahasa seperti: siapa cepat,

siapa dapat, berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian, buah yang manis

berulat di dalamnya, yang mengibaratkan orang yang bermulut manis

tetapi sesungguhnya busuk. Pertanyaan atau teka-teki adalah ungkapan

lisan tradisional yang mengandung satu atau lebih unsur pelukisan dan

jawabannya harus diterka, seperti “makin lama berdiri, makin pendek ia

xxxi

menjadi,” jawabannya adalah lilin. Sajak atau puisi rakyat, yaitu

kesusastraan rakyat yang sudah memiliki bentuk tertentu dan biasanya

terjadi dari beberapa deret kalimat. Ada yang berwujud mantra,

peribahasa, sajak, pantun, sinom, kinanti, pangkur dan sebagainya. Cerita

prosa yang terdiri dari mitos, legenda, dan dongeng.

Folklor sebagian lisan, bentuknya merupakan gabungan unsur

lisan maupun bukan lisan. Folklor sebagaian lisan terdiri dari kepercayaan

rakyat, atau yang sering disebut takhayul, permainan rakyat yaitu

permainan rakyat kanak-kanak yang terdiri dari : berdasarkan gerak tubuh

seperti kejar-kejaran, sembunyi-sembunyian; matematika dasar, kecekatan

tangan seperti menghitung, dan melempar batu, dan sebagainya.

Folklor non lisan yaitu tradisi rakyat yang meninggalkan bentuk

material, seperti : arsitektur rakyat (prasasti, bangunan-bangunan suci),

kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tradisional, obat-obatan

tradisional dan makanan rakyat.

Sumarno (1996 : 97) membagi bentuk floklor menjadi tiga yaitu

folklor lisan, sebagian lisan dan bukan lisan. Folklor lisan dapat berupa

bahasa rakyat( seperti: a) Logat (dialek) seperti : bahasa Jawa,

Banyumasan, Betawi dan sebagainya; b) Julukan seperti si botak, dan si

pesek; c) Slang, bahasa rahasia kolektif seperti bahasa pencopet,

pemulung, remaja, dan sebagainya; d) Bahasa para pedagang, seperti

cepek (seratus), seceng (seribu), dan seterusnya; e) Sirkumlokusi, yaitu

ungkapan tidak langsung, misalnya apabila ketemu harimau di hutan,

xxxii

menyebutkan dengan istilah simbah (kakek); f) Cara pemberian nama

seseorang seperti nama kecil, nama setelah dewasa, nama setelah

memangku jabatan, dan pergantian nama selalu menderita sakit; g) Gelar

kebangsawanan atau jabatan tradisional, seperti raden, raden mas, andi,

teuku, ratu, ida bagus, anak agung dan sebagainya. Contoh jabatan

tradisional adalah kebayan, dukuh, penewu, dan sebagainya; h) Bahasa

bertingkat, seperti bahasa ngoko, krama, andep, dan krama inggil; i)

Anomatopoetis yaitu kata-kata yang dibentuk dengan mencontoh bunyi

atau suara alamiah seperti pating jlerit (bunyi orang berteriak-teriak),

pating jlegur (bunyi tembakan meriam); j) Anomastis adalah pemberian

nama berdasarkan legenda, misalnya Sunda, konon berasal dari kata Asu

munggah andha (anjing naik tangga), legenda Sangkuriang. Betawi konon

dari kata mambet tahi (berbau kotoran manusia), dari peristiwa

pembendungan Ciliwung zamannya Sultan Agung (1629), ungkapan

tradisional (seperti: seperti: a) Peribahasa yang lengkap kalimatnya,

seperti “Belum beranak sudah ditimang”; b) Peribahasa yang kalimatnya

tidak lengkap, seperti “dari Sabang sampai Merauke” ; c) Peribahasa

perumpamaan, contohnya “seperti telur di ujung tanduk” (keadaan yang

gawat); d) Ungkapan yang mirip dengan peribahasa “Koyo monyet keno

tulup” artinya menggambarkan orang yang bingung), pertanyaan

tradisional (seperti: a) Teka-teki yang pertanyaan dan jawabannya tidak

bertentangan, seperti: “binatang apa yang perutnya, kakinya, ekornya

semua di kepala” jawabannya kutu kepala; b) Teka-teki yang bertentangan

xxxiii

antara pertanyaan dan jawabannya ada unsur pertentangannya. Contoh :

punya telinga, tetapi tidak dapat mendengar (panci). Punya tangan tidak

dapat memegang, punya kaki tidak dapat berjalan dan sebagainya), sajak

dan puisi rakyat (yaitu kesusasteraan rakyat yang sudah tertentu

bentuknya biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yang

berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata,

tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama), cerita prosa rakyat (dapat

dibedakan menjadi tiga golongan yaitu mite, legenda, dan dongeng).

Folklor sebagian lisan meliputi : kepercayaan rakyat permainan rakyat.

Folklor bukan lisan meliputi : makanan tradisional, pakaian tradisional

dan bangunan-bangunan.

d. Kegunaan Folklor

Folklor pada umumnya mempunyai kegunaan atau fungsi dalam

kehidupan bersama suatu kolektif misalnya cerita rakyat sebagai alat

pendidik, hiburan, protes sosial, dan proyeksi suatu keinginan yang

terpendam. Folklor mengungkapkan secara sadar atau tidak sadar

bagaimana suatu kolektif masyarakat berpikir, bertindak, berperilaku, dan

memanifestasikan berbagai sikap mental, pola pikir, tata nilai, dan

mengabadikan hal-hal yang dirasa penting oleh folk kolektif

pendukungnya. Misalnya bagaimana norma-norma hidup dan perilaku

serta manifestasi pola pikir dan batiniah masyarakat Minangkabau melalui

pepatah, pantun, dan peribahasa. Demikian juga bagaimana norma-norma

hidup dan perilaku serta manifestasi pola pikir dan batiniah masyarakat

xxxiv

Jawa melalui permainan rakyat (dolanan, tembang), bahasa rakyat

(parikan, tembung seroja, sengkalan, dsb.), puisi rakyat, ragam seni

pertunjukan, lelucon, bahkan manifestasi dalam fisik kebudayaan seperti

batik, wayang, tarian, dan sebagainya (Dhanar Widianta, 2008,

http://www.titikoma.com/esai/dua_versi_folklor_dan_levi-

strauss.php).

William R. Bascom (dalam Arif Budi Wurianto, 2007:

http://elka.umm.ac.id/artikel2.htm) mengemukakan bahwa empat

fungsi utama folklor adalah : (a) sebagai sistem proyeksi yaitu alat

pencermin angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesahan

pranata dan lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan anak, dan

(d) sebagai alat pengawas atau kontrol agar norma-norma masyarakat

dipatuhi oleh anggota kolektifnya. Secara teori folklor berkaitan dengan

tujuh unsur kebudayaan universal yaitu ekonomi (sistem pencaharian

hidup), teknologi (sistem peralatan dan perlengkapan hidup), sistem

kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi.

2. Sejarah

a. Pengertian Sejarah dalam Pendidikan

Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah

tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa

lampau berdasarkan metode dan metodologi tertentu. Terkait dengan

pendidikan di sekolah dasar hingga sekolah menengah, pengetahuan masa

lampau tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan

xxxv

untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak dan kepribadian

peserta didik.

Sejarah atau Ilmu Sejarah dapat diartikan sebagai riwayat tentang

masa lampau atau suatu bidang ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan

menuturkan riwayat masa lampau tersebut sesuai dengan metode-metode

tertentu yang dapat dipercaya (Sutiyah, 1991: 30).

Riwayat masa lampau sebagai objek studi sejarah, berkenaan

dengan peristiwa-peristiwa kehidupan manusia yang menyangkut segala

aspeknya. Dalam penuturan sejarah, peristiwa-peristiwa tadi diurutkan

sesuai periode-periode waktu secara kronologis. Dari analisa sejarah

tentang suatu gejala, suatu peristiwa atau suatu masalah, akan didapatkan

prediksi hal-hal tersebut pada masa yang akan datang, sehingga sedikit

banyak akan dapat memperhitungkan kecenderungannya di masa yang

akan datang.

Secara struktural Ilmu Sejarah dapat menjadi Sejarah Ekonomi,

Sejarah Kebudayaan, Sejarah Kesenian, Sejarah Politik, Sejarah Geografi

dan lain-lain. Penelitian dan pengkajian sejarah erat kaitannya dengan

kepurbakalaan, Antropologi, Ilmu Bahasa dan Geologi Sejarah (Sutiyah,

1991:91).

Menurut Poerwantana (dalam Nursid Sumaadmadja 2003:28)

pembelajaran sejarah adalah suatu sistem atau proses membelajarkan

siswa mengenai gambaran tentang peristiwa-peristiwa masa lampau yang

dialami manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu, diberi

xxxvi

tafsiran dan analisis kritis, sehingga mudah dimengerti dan dipahami.

Sartono Kartodirjo (1992:59) pembelajaran sejarah adalah kegiatan dalam

membelajarkan pelbagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif pada

masa lampau.

b. Tujuan Pendidikan Sejarah

Tujuan pendidikan merupakan gambaran kondisi akhir atau nilai-

nilai yang ingin dicapai dari suatu proses pendidikan. Tujuan pendidikan

memiliki dua fungsi yaitu 1) menggambarkan kondisi akhir yang ingin

dicapai, 2) Memberikan arah dan cara bagi semua usaha atau proses

(Depdiknas , 2003: 11).

Sejalan dengan tujuan pendidikan tersebut, maka pembelajaran

sebagai suatu proses merupakan rangkaian kegiatan guru dalam rangka

membuat siswa belajar. Agar kegiatan belajar dan mengajar tercapai maka

perlu dirumuskan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran adalah suatu

deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh siswa

setelah dilaksanakannya pembelajaran tersebut (Oemar Hamalik, 1997 :

109).

Dalam kurikulum KTSP disebutkan bahwa pembelajaran sejarah

bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

a) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan

tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan

masa depan; b) Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta

sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan

xxxvii

metodologi keilmuan; c) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan

peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban

bangsa Indonesia di masa lampau; d) Menumbuhkan pemahaman peserta

didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah

yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan

datang; e) Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai

bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah

air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik

nasional maupun internasional (Depdiknas, 2006 (b) : 3).

Muhammad Surya (2003 : 123) berpendapat tujuan pembelajaran

sejarah adalah menanamkan pemahaman tentang adanya perkembangan

masyarakat masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa

kebangsaan dan rasa cinta tanah air serta bangga sebagai bangsa Indonesia

dan memperluas wawasan hubungan antarbangsa di dunia.

c. Ruang Lingkup Materi Pendidikan Sejarah SMA

Ruang lingkup materi pembelajaran sejarah adalah suatu bahan

ajar yang akan diajarkan kepada siswa dalam mata pelajaran sejarah.

Materi pembelajaran sejarah terdiri dari seperangkat pengetahuan ilmiah

yang dijabarkan dalam kurikulum untuk disampaikan kepada siswa atau

dibahas dalam proses belajar mengajar sebagaimana telah ditetapkan

dalam kurikulum yang dijabarkan dalam Standar Kompetensi (SK),

Kompetensi Dasar (KD) Silabus, RPP dan indikator.

xxxviii

Sesuai dengan KTSP materi pembelajaran sejarah yang diajarkan

di SMA/ MA yang tertera pada silabus, ruang lingkup materi

pembelajarannya adalah sebagai berikut: 1) Prinsip dasar ilmu sejarah; 2)

Peradaban awal masyarakat dunia dan Indonesia; 3) Perkembangan

negara-negara tradisional di Indonesia; 4) Indonesia pada masa

penjajahan; 5) Pergerakan kebangsaan; 6) Proklamasi dan perkembangan

negara kebangsaan Indonesia.

Menurut Nana Sudjana (1989 : 127) beberapa pertimbangan yang

perlu diperhatikan dalam mendapatkan bahan pelajaran yaitu : a) Bahan

harus sesuai dan menunjang tercapainya tujuan; b) Bahan yang ditulis

dalam perencanaan mengajar hanya garis besarnya saja; c) Menetapkan

bahan pengajaran harus sesuai dengan urutan tujuan artinya bahan yang

ditulis pertama bersumber dari tujuan yang pertama, bahan yang ditulis

kedua bersumber dari yang kedua dan seterusnya; d) Urutan bahan

hendaknya memperhatikan kesinambungan.

Sesuai dengan KTSP materi pembelajaran sejarah yang diajarkan

di SMA/ MA yang tertera pada pengembangan silabus, ruang lingkup

materi pembelajarannya adalah sebagai berikut:

1) Prinsip dasar ilmu sejarah

2) Peradaban awal masyarakat dunia dan Indonesia

3) Perkembangan negara-negara tradisional di Indonesia

4) Indonesia pada masa penjajahan

5) Pergerakan kebangsaan

xxxix

6) Proklamasi dan perkembangan negara kebangsaan Indonesia

(Depdiknas, 2006 (b): 17).

Sesuai dengan kajian penelitian ini, maka ruang lingkup materi

yang akan dibahas adalah materi sejarah kelas XI semester I. Adapun

silabusnya disajikan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Sejarah Kelas XI SMA, Semester 1

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

1. Menganalisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa negara-negara tradisional

1.1 Menganalisis pengaruh perkembangan agama dan kebudayaan Hindu-Buddha terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia

1.2 Menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia

1.3 Menganalisis pengaruh perkembangan agama dan kebudayaan Islam terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia

1.4 Menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara, kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia

1.5 Menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di Indonesia

3. Materi Pembelajaran

a. Pengertian Materi Pembelajaran

Materi pembelajaran (instructional materials) adalah kumpulan

dari berbagai dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus

dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah

ditentukan. Secara rinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari

xl

pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap

atau nilai (Depdiknas, 2006 (a) : 4).

Pembelajaran adalah suatu sistem atau proses membelajarkan

subjek didik/ pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan

atau dievaluasi secara sistematis agar subjek didik / pembelajar dapat

mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien

(Depdiknas, 2003 : 9). Sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang

mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa

lampau dalam kehidupan umat manusia (I Wayan Badrika, 2004 : 3).

b. Prinsip Pengayaan Materi Pembelajaran Sejarah SMA

Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam materi

pembelajaran sejarah. Prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran

sejarah harus berpedoman pada hubungan/ relevansi, konsistensi, dan

kecukupan ( Depdiknas, 2006 (a) : 7).

Prinsip relevansi artinya keterkaitan. Materi pembelajaran sejarah

hendaknya relevan atau ada keterkaitan/ hubungannya dengan pencapaian

standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dituangkan dalam silabus.

Prinsip konsistensi artinya keajegan. Penentuan kompetensi dasar

yang harus dikuasai siswa seperti kemampuan memahami hakikat, ruang

lingkup, dan prinsip-pinsip dasar ilmu dan penelitian sejarah maka materi

yang diajarkan harus sesuai dengan kompetensi dasar tersebut.

Prinsip kecukupan artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup

memadai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang

xli

diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu

banyak. Jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar

kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak akan

membuang-buang waktu dan tenaga yang tidak perlu untuk

mempelajarinya.

Sejalan dengan pendapat Depdiknas, Awan Sundiawan (2008

dalam http://AwanSudiawan.blog.net) menyatakan bahwa dalam

pengayaan materi pembelajaran harus memperhatikan beberapa prinsip

yaitu: kesesuaian (relevansi), keajegan (konsistensi), dan kecukupan

(adequacy). Relevansi artinya kesesuaian. Materi pembelajaran

hendaknya relevan dengan pencapaian standar kompetensi dan pencapaian

kompetensi dasar. Jika kemampuan yang diharapkan dikuasai peserta

didik berupa menghafal fakta, maka materi pembelajaran yang diajarkan

harus berupa fakta, bukan konsep atau prinsip atau pun jenis materi yang

lain. Konsistensi artinya keajegan. Jika kompetensi dasar yang harus

dikuasai peserta didik ada empat macam, maka materi yang harus

diajarkan juga harus meliputi empat macam. Adequacy artinya

kecukupan. Materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam

membantu peserta didik menguasai kompetensi dasar yang diajarkan.

Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika

terlalu sedikit maka kurang membantu tercapainya standar kompetensi dan

kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak maka akan

xlii

mengakibatkan keterlambatan dalam pencapaian target kurikulum

(pencapaian keseluruhan SK dan KD).

c. Langkah-Langkah dalam Pengayaan Materi Pembelajaran Sejarah

Dalam materi sejarah prinsip yang harus dipegang guru adalah

kurikulum. Sesuai dengan kurikulum yang digunakan saat ini adalah

KTSP. Dalam KTSP akan dijabarkan melalui Silabus. Dari silabus

dijabarkan menjadi Standar Kompetensi (SK) dan menjadi Kompetensi

Dasar (KD), kemudian dijabarkan menjadi Rencana Pembelajaran (RP),

dijabarkan menjadi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),

dirumuskan menjadi indikator dan materi pembelajaran (Awan

Sundiawan, 2008 dalam http://AwanSudiawan.blog.net).

Dengan demikian dalam mengembangkan materi pembelajaran

sejarah perlu memperhatikan kurikulum, silabus, Standar Kompetensi

(SK), Kompetensi Dasar (KD), RP, dan RPP serta indikator pembelajaran

sejarah yang akan diajarkan kepada siswa. Agar dalam materi

pembelajaran sejarah sesuai dengan tujuannya maka guru perlu

mengetahui kriteria pemilihan materi pembelajaran yang tepat. Kriteria

pokok pemilihan materi pembelajaran harus berdasarkan pada Standar

Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Hal ini berarti bahwa

materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan oleh guru kepada siswa

hendaknya berisikan materi pembelajaran yang benar-benar menunjang

tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Dengan kata lain,

xliii

pemilihan materi pembelajaran haruslah mengacu atau merujuk pada

standar kompetensi (Depdiknas, 2006 (a) : 10).

Setelah diketahui kriteria pemilihan materi pembelajaran,

sampailah pada langkah-langkah pemilihan materi pembelajaran sejarah

yang tepat. Secara garis besar langkah-langkah pemilihan materi

pembelajaran meliputi pertama-tama mengidentifikasi aspek-aspek yang

terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang menjadi

acuan atau rujukan pemilihan materi pembelajaran. Langkah berikutnya

adalah mengidentifikasi jenis-jenis materi pembelajaran. Langkah ketiga

memilih materi pembelajaran sejarah yang sesuai atau relevan dengan

standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah teridentifikasi tadi.

Terakhir adalah memilih sumber materi pembelajaran (Awan Sundiawan,

2008 dalam http://AwanSudiawan.blog.net).

Secara lengkap, langkah-langkah pemilihan materi pembelajaran

menurut (Depdiknas, 2006 (a) : 10) dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi

dan kompetensi dasar. Sebelum menentukan materi pembelajaran

terlebih dahulu perlu diidentifikasi aspek-aspek standar kompetensi

dan kompetensi dasar yang harus dipelajari atau dikuasai siswa. Aspek

tersebut perlu ditentukan, karena setiap aspek standar kompetensi dan

kompetensi dasar memerlukan jenis materi yang berbeda-beda dalam

kegiatan pembelajaran. Setiap aspek standar kompetensi tersebut

xliv

memerlukan materi pembelajaran yang berbeda-beda untuk membantu

pencapaiannya.

2) Identifikasi jenis-jenis materi pembelajaran. Menurut prosedur

Reigeluth dalam (Depdiknas, 2006 (a) : 10) identifikasi jenis-jenis

materi pembelajaran ditentukan melalui jenis aspek standar

kompetensi, yang terdiri dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Materi pembelajaran aspek kognitif secara rinci dapat dibagi menjadi

empat jenis, yaitu: fakta, konsep, prinsip dan prosedur. Materi jenis

fakta dapat berupa nama-nama objek, nama tempat, nama orang,

lambang, peristiwa sejarah, nama bagian atau komponen suatu benda,

dan lain sebagainya. Materi konsep berupa pengertian, definisi,

hakikat, inti isi. Materi jenis prinsip berupa dalil, rumus, postulat

adagium, paradigma, teorema. Materi jenis prosedur berupa langkah-

langkah mengerjakan sesuatu secara urut, misalnya langkah-langkah

menyusun proposal penelitian sejarah, penyusunan laporan penelitian.

Materi pembelajaran aspek afektif meliputi: pemberian respon,

penerimaan (apresisasi), internalisasi, dan penilaian. Materi

pembelajaran aspek motorik terdiri dari gerakan awal, semi rutin, dan

rutin.

3) Memilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan

kompetensi dasar. Dalam memilih jenis materi yang sesuai dengan

standar kompetensi yang telah ditentukan perlu memperhatikan

jumlah atau ruang lingkup yang cukup memadai sehingga

xlv

mempermudah siswa dalam mencapai standar kompetensi. Berpijak

dari aspek-aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah

diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah memilih jenis materi yang

sesuai dengan aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi

dan kompetensi dasar tersebut. Materi yang akan diajarkan perlu

diidentifikasi apakah termasuk jenis fakta, konsep, prinsip, prosedur,

afektif, atau gabungan lebih daripada satu jenis materi. Dengan

mengidentifikasi jenis-jenis materi yang akan diajarkan, maka guru

akan mendapatkan kemudahan dalam cara mengajarkan dan

mengembangkannya. Setelah jenis materi pembelajaran teridentifikasi,

langkah berikutnya adalah memilih jenis materi tersebut yang sesuai

dengan standar kompetensi atau kompetensi dasar yang harus dikuasai

siswa. Identifikasi jenis materi pembelajaran penting untuk keperluan

mengajarkannya. Sebab, setiap jenis materi pembelajaran memerlukan

strategi pembelajaran atau metode, media, dan sistem

evaluasi/penilaian yang berbeda-beda (Awan Sundiawan, 2008 dalam

http://AwanSudiawan.blog.net).

4) Memilih sumber pembelajaran sejarah. Setelah jenis materi ditentukan

langkah berikutnya adalah menentukan sumber pembelajaran.

Sumber pembelajaran sejarah merupakan tempat di mana

bahan ajar dapat diperoleh. Dalam mencari sumber

pembelajaran, siswa dapat dilibatkan untuk mencarinya.

Misalnya, siswa ditugasi untuk mencari koran, majalah, hasil

xlvi

penelitian, dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan prinsip

pembelajaran siswa aktif (CBSA). Berbagai sumber dapat kita

gunakan untuk mendapatkan materi pembelajaran dari setiap

standar kompetensi dan kompetensi dasar. Adapun sumber-

sumber sejarah adalah sebagai berikut: Buku teks, laporan hasil

penelitian, jurnal (penerbitan hasil penelitian dan pemikiran ilmiah),

Pakar bidang studi, professional, buku kurikulum, penerbitan berkala

seperti harian, mingguan, dan bulanan, internet, media audiovisual

(TV, Video, VCD, kaset audio), lingkungan ( alam, sosial, seni

budaya, teknik, industri, ekonomi). Dalam menyusun rencana

pembelajaran berbasis kompetensi, buku-buku atau terbitan tersebut

hanya merupakan bahan rujukan. Artinya, tidaklah tepat jika hanya

menggantungkan pada buku teks sebagai satu-satunya sumber

pembelajaran. Oleh karena itu guru perlu mengembangkan materi

pembelajaran dengan menggunakan sumber yang relevan sehingga

siswa mencapai kompetensi yang diharapkan.

5) Penentuan cakupan dan urutan materi pembelajaran sejarah. Masalah

cakupan atau ruang lingkup, kedalaman, dan urutan penyampaian

materi pembelajaran sejarah sangat penting untuk diperhatikan.

Ketepatan dalam menentukan cakupan, ruang lingkup, dan kedalaman

materi pembelajaran akan menghindarkan guru dari mengajarkan

terlalu sedikit atau terlalu banyak, terlalu dangkal atau terlalu

mendalam. Ketepatan urutan penyajian (sequencing) akan

xlvii

memudahkan bagi siswa mempelajari materi pembelajaran (Awan

Sundiawan, 2008 dalam http://AwanSudiawan.blog.net).

Adapun penentuan cakupan dan urutan materi pembelajaran

sejarah menurut Awan Sundiawan (2008 dalam http://AwanSudiawan.

blog.net) dapat diuraikan sebagai berikut :

a) Penentuan cakupan materi pembelajaran sejarah. Dalam menentukan

cakupan atau ruang lingkup materi pembelajaran harus diperhatikan

apakah materinya berupa aspek kognitif (fakta, konsep, prinsip,

prosedur) aspek afektif, ataukah aspek psikomotorik, sebab nantinya

jika sudah dibawa ke kelas maka masing-masing jenis materi tersebut

memerlukan strategi dan media pembelajaran yang berbeda-beda.

Selain memperhatikan jenis materi pembelajaran sejarah perlu

memperhatikan prinsip-prinsip yang perlu digunakan dalam

menentukan cakupan materi pembelajaran yang menyangkut keluasan

dan kedalaman materinya. Keluasan cakupan materi berarti

menggambarkan berapa banyak materi-materi yang dimasukkan ke

dalam suatu materi pembelajaran, sedangkan kedalaman materi

menyangkut seberapa detail konsep-konsep yang terkandung di

dalamnya harus dipelajari/dikuasai oleh siswa. Prinsip kecukupan

(adequacy) atau memadainya cakupan materi dalam pengertian.

Cukup tidaknya aspek materi dari suatu materi pembelajaran akan

sangat membantu tercapainya penguasaan kompetensi dasar yang

telah ditentukan. Cakupan atau ruang lingkup materi perlu ditentukan

xlviii

untuk mengetahui apakah materi yang harus dipelajari oleh siswa

terlalu banyak, terlalu sedikit, atau telah memadai sehingga sesuai

dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai.

b) Penentuan urutan materi pembelajaran sejarah. Urutan penyajian

(sequencing) materi pembelajaran sejarah sangat penting untuk

menentukan urutan mempelajari atau mengajarkannya. Tanpa urutan

yang tepat, jika di antara beberapa materi pembelajaran mempunyai

hubungan yang bersifat prasyarat (prerequisite) akan menyulitkan

siswa dalam mempelajarinya.

Menurut Depdiknas (2006 (a) : 13) materi pembelajaran yang

sudah ditentukan ruang lingkup serta kedalamannya dapat diurutkan

melalui dua pendekatan pokok , yaitu: pendekatan prosedural, dan

hierarkis. Adapun masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Pendekatan prosedural.

Urutan materi pembelajaran secara prosedural menggambarkan

langkah-langkah secara urut sesuai dengan langkah-langkah

melaksanakan suatu tugas. Misalnya langkah-langkah dalam

penyusunan proposal penelitian sejarah, langkah-langkah dalam

penyusunan laporan hasil penelitian sejarah.

2) Pendekatan hierarkis.

Urutan materi pembelajaran secara hierarkis menggambarkan urutan

yang bersifat berjenjang dari bawah ke atas atau dari atas ke bawah.

xlix

Materi sebelumnya harus dipelajari dahulu sebagai prasyarat untuk

mempelajari materi berikutnya.

d. Cara Memanfaatkan Materi Pembelajaran Sejarah

Setelah menentukan langkah-langkah materi pembelajaran sejarah

dilaksanakan maka langkah berikutnya adalah menentukan cara

memanfaatkan materi pembelajaran sejarah tersebut. Menurut Hambali

(2003 : 3) Cara memanfaatkan materi pembelajaran sejarah mencakup :

strategi penyampaian materi pembelajaran oleh guru dan strategi

mempelajari materi pembelajaran oleh siswa. Adapun masing-masing

dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Strategi penyampaian materi pembelajaran sejarah oleh Guru

Strategi penyampaian sejarah oleh guru menurut Depdiknas

(2006a: 24) meliputi strategi urutan penyampaian simultan, strategi

urutan penyampaian suksesif, strategi penyampaian konsep, strategi

penyampaian materi pembelajaran prinsip, strategi mengajarkan/

menyampaikan materi aspek afektif. Adapun masing-masing dapat

diuraikan sebagai berikut:

a) Strategi urutan penyampaian simultan

Guru dalam menyampaikan materi pembelajaran sejarah

lebih daripada satu, maka menurut strategi urutan dengan

penyampaian materi pelajaran secara simultan, materi secara

keseluruhan disajikan secara serentak, baru kemudian diperdalam

satu demi satu. Misalnya guru akan mengajarkan materi dengan

l

kompetensi dasar hakikat ruang lingkup dan prinsip-prinsip dasar

ilmu dan penelitian sejarah maka guru menyampaikan secara

keseluruhan terlebih dahulu kemudian baru setiap materi pokok

hakikat dan ruang lingkup sejarah, dasar-dasar penelitian sejarah,

dan jejak masa lampau disajikan secara mendalam (Depdiknas,

2006 (a): 24).

b) Strategi urutan penyampaian suksesif

Menurut Awan Sudiawan (2008 dalam http://Awan

Sudiawan.blog.net) Guru dalam manyampaikan materi

pembelajaran sejarah lebih daripada satu, maka menurut strategi

urutan panyampaian suksesif, sebuah materi satu demi satu

disajikan secara mendalam baru kemudian secara berurutan

menyajikan materi berikutnya secara mendalam pula. Misalnya,

guru menyampaikan materi pokok hakikat dan ruang lingkup

sejarah secara mendalam, kemudian dilanjutkan dasar-dasar

penelitian sejarah, dan jejak masa lampau. Setelah materi pokok

disampaikan secara mendalam guru kemudian mengajarkan materi

dengan kompetensi dasar hakikat ruang lingkup dan prinsip-

prinsip dasar ilmu dan penelitian sejarah secara keseluruhan.

c) Strategi penyampaian fakta

Menurut Depdiknas (2006a: 24) apabila guru harus

manyajikan materi pembelajaran termasuk jenis fakta (nama-nama

benda, nama tempat, peristiwa sejarah, nama orang, nama lambang

li

atau simbol, dan sebagainya) strategi yang tepat untuk

mengajarkan materi tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Sajikan materi fakta dengan lisan, tulisan, atau gambar.

Berikan bantuan kepada siswa untuk menghafal. Bantuan

diberikan dalam bentuk penyampaian secara bermakna,

menggunakan jembatan ingatan, jembatan keledai, atau

mnemonics, asosiasi berpasangan, dan sebagainya. Bantuan

penyampaian materi fakta secara bermakna, misalnya

menggunakan cara berpikir tertentu untuk membantu

menghafal. Sebagai contoh, untuk menghafal jenis-jenis

sumber belajar digunakan cara berpikir: Apa, oleh siapa,

dengan menggunakan bahan, alat, teknik, dan lingkungan

seperti apa? Berdasar kerangka berpikir tersebut, jenis-jenis

sumber belajar diklasifikasikan manjadi: pesan, orang, bahan,

alat, teknik, dan lingkungan. Bantuan mengingat-ingat jenis-

jenis sumber belajar tersebut menggunakan jembatan keledai,

jembatan ingatan (mnemonics) menjadi POBATEL (Pesan,

orang bahan, alat, teknik, lingkungan).

(2) Bantuan menghafal berupa asosiasi berpasangan (pair

association). Contohnya dalam menggali jejak-jejak masa

lampau nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan

atau Yunani. Yunan berasal dari Cina Selatan sedangkan

Yunani dari Eropa.

lii

d) Strategi penyampaian konsep

Menurut Awan Sudiawan (2008 dalam http://Awan

Sudiawan.blog.net) materi pembelajaran jenis konsep adalah

materi berupa definisi atau pengertian. Tujuan mempelajari konsep

adalah agar siswa paham, dapat menunjukkan ciri-ciri, unsur,

membedakan, membandingkan, menggeneralisasi, dan sebagainya.

Langkah-langkah mengajarkan konsep: Pertama sajikan

konsep, kedua berikan bantuan (berupa inti isi, ciri-ciri pokok,

contoh dan bukan contoh), ketiga berikan latihan (exercise)

misalnya berupa tugas untuk mencari contoh lain, keempat berikan

umpan balik, dan kelima berikan tes.

e) Strategi penyampaian materi pembelajaran prinsip

Menurut Depdiknas (2006a: 24) termasuk materi

pembelajaran jenis prinsip adalah dalil, rumus, hukum (law),

postulat, teorema, dan sebagainya.

f) Strategi penyampaian prosedur

Menurut Awan Sudiawan (2008 dalam http://Awan

Sudiawan.blog.net) tujuan mempelajari prosedur adalah agar

siswa dapat melakukan atau mempraktekkan prosedur tersebut,

bukan sekadar paham atau hafal. Termasuk materi pembelajaran

jenis prosedur adalah langkah-langkah mengerjakan

liii

suatu tugas secara urut. Misalnya langkah-langkah menyetel

televisi.

g) Strategi mengajarkan/menyampaikan materi aspek afektif

Termasuk materi pembelajaran aspek sikap (afektif)

menurut Bloom dalam Ella Yulaelawati (2004: 59) adalah

pemberian respons, penerimaan suatu nilai, internalisasi, dan

penilaian. Beberapa strategi mengajarkan materi aspek sikap

antara lain: penciptaan kondisi, pemodelan atau contoh,

demonstrasi, simulasi, penyampaian ajaran atau dogma.

2) Strategi mempelajari materi pembelajaran sejarah oleh siswa

Ella Yulaelawati (2004: 52) ditinjau dari guru, perlakuan

(treatment) terhadap materi pembelajaran berupa kegiatan guru

menyampaikan atau mengajarkan kepada siswa. Sebaliknya, ditinjau

dari segi siswa, perlakuan terhadap materi pembelajaran berupa

mempelajari atau berinteraksi dengan materi pembelajaran. Secara

khusus dalam mempelajari materi pembelajaran, kegiatan siswa dapat

dikelompokkan menjadi empat, yaitu menghafal, menggunakan,

menemukan, dan memilih.

Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :

a) Menghafal (verbal & parafrase)

Ada dua jenis menghafal, yaitu menghafal verbal

(remember verbatim) dan menghafal parafrase (remember

paraphrase). Menghafal verbal adalah menghafal persis

liv

seperti apa adanya. Terdapat materi pembelajaran yang

memang harus dihafal persis seperti apa adanya, misalnya

nama orang, nama tempat, lambang, peristiwa sejarah,

nama-nama bagian atau komponen suatu benda, dan

sebagainya. Sebaliknya ada materi pembelajaran yang tidak

harus dihafal persis seperti apa adanya tetapi dapat

diungkapkan dengan bahasa atau kalimat sendiri (hafal

parafrase). Yang penting siswa paham atau mengerti,

misalnya pengertian sejarah, menyebutkan peninggalan-

peninggalan sejarah masa lampau, evolusi Darwin dan

sebagainya (Depdiknas, 2006 : 13).

b) Menggunakan/mengaplikasikan (Use)

Menurut Awan Sudiawan (2008 dalam http://Awan

Sudiawan.blog.net) materi pembelajaran setelah dihafal atau

dipahami kemudian digunakan atau diaplikasikan. Jadi

dalam proses pembelajaran siswa perlu memiliki

kemampuan untuk menggunakan, menerapkan atau

mengaplikasikan materi yang telah dipelajari.

Penggunaan fakta atau data adalah untuk dijadikan

bukti dalam rangka pengambilan keputusan. Contoh,

berdasar hasil penggalian ditemukan fakta terdapatnya

barang tembikar/ pecah belah berupa cobek, wajan, bejana,

di bekas peninggalan sejarah. Dengan menggunakan fakta

lv

tersebut, ahli sejarah menyimpulkan bahwa lokasi tersebut

tempat bekas pengrajin kundi (Hambali, 2003:14).

Penggunaan materi konsep adalah untuk menyusun

proposisi, dalil, atau rumus. Seperti diketahui, dalil atau

rumus merupakan hubungan antara beberapa konsep.

Misalnya, dalam menentukan tahun saka menjadi tahun

Masehi maka rumusnya tahun saka ditambah dengan angka

78 (Depdiknas, 2006a : 13).

c) Menemukan

Menurut Awan Sudiawan (2008 dalam http://Awan

Sudiawan.blog.net) penemuan (finding) di sini adalah

menemukan cara memecahkan masalah-masalah baru

dengan menggunakan fakta, konsep, prinsip, dan prosedur

yang telah dipelajari. Menemukan merupakan hasil tingkat

belajar tingkat tinggi. Gagne (1987) menyebutnya sebagai

penerapan strategi kognitif. Misalnya, setelah mempelajari

tentang teknik cetak a cire perdue dan bivalve maka siswa

dapat membuat peralatan dari logam.

d) Memilih

Memilih di sini menyangkut aspek afektif atau sikap.

Yang dimaksudkan dengan memilih di sini adalah memilih

untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Misalnya memilih

lvi

membaca mata pelajaran sejarah daripada membaca komik

(Depdiknas, 2006a : 13).

3) Materi Prasyarat, Perbaikan, dan Pengayaan (Remedial & Enrichment)

Menurut Awan Sudiawan (2008 dalam http://Awan

Sudiawan.blog.net) dalam mempelajari materi pembelajaran

untuk mencapai kompetensi dasar terdapat beberapa

kemungkinan pada diri siswa, yaitu siswa belum siap bekal

pengetahuannya, siswa mengalami kesulitan, atau siswa

dengan cepat menguasai materi pembelajaran.

Kemungkinan pertama siswa belum memiliki pengetahuan

psyarat. Pengetahuan prasyarat adalah bekal pengetahuan yang

diperlukan untuk mempelajari suatu materi pembelajaran baru.

Misalnya, bila siswa disuruh membuat histografi maka siswa harus

sudah mempelajari langkah-langkah penyusunan proposal penelitian.

Untuk mengetahui apakah siswa telah memiliki pengetahuan

prasyarat, guru harus mengadakan tes prasyarat (prequisite test). Jika

berdasar tes tersebut siswa belum memiliki pengetahuan prasyarat,

maka siswa tersebut harus diberi materi atau bahan pembekalan.

Bahan pembekalan (matrikulasi) dapat diambil dari materi atau modul

di bawahnya (Depdiknas, 2006a : 13).

Dalam menghadapi kemungkinan kedua, yaitu siswa

mengalami kesulitan atau hambatan dalam menguasai materi

pembelajaran, guru harus menyediakan materi perbaikan (remedial).

lvii

Materi pembelajaran remedial disusun lebih sederhana, lebih rinci,

diberi banyak penjelasan dan contoh agar mudah ditangkap oleh

siswa. Untuk keperluan remedial perlu disediakan modul remedial

(Hambali, 2003: 25).

Menurut Awan Sudiawan (2008 dalam http://Awan

Sudiawan.blog.net) dalam menghadapi kemungkinan ketiga, yaitu

siswa dapat dengan cepat dan mudah menguasai materi pembelajaran,

guru harus menyediakan bahan pengayaan (enrichment). Materi

pengayaan berbentuk pendalaman dan perluasan. Materi pengayaan

baik untuk pendalaman maupun perluasan wawasan dapat diambilkan

dari buku rujukan lain yang relevan atau disediakan modul pengayaan.

Selain pengayaan, perlu dipertimbangkan adanya akselerasi alami di

mana siswa dimungkinkan untuk mengambil pelajaran berikutnya.

Untuk keperluan ini perlu disediakan bahan atau modul akselerasi.

4. Pembelajaran Sejarah

a. Hakikat Pembelajaran Sejarah

Menurut Ella Yulaelawati (2004: 106), pembelajaran memiliki tiga

teori teori dasar yaitu teori behavioris, teori kognitif, dan teori konstruktif.

Teori behavioris sudah diterapkan sejak lama sampai sekitar tahun 70-an.

Teori behavioris menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila terdapat

perubahan tingkah laku pada peserta didik. Teori kognitif menekankan

pada proses berpikir dibalik perubahan tingkah laku. Sedangkan menurut

lviii

teori konstruktif, peserta didik membangun pengetahuan tentang dunia

melalui pandangannya sendiri berdasarkan pengalaman individual ataupun

skema.

Peserta didik dalam pembelajaran merupakan subjek dan sekaligus

objek. Karena itu, inti proses pembelajaran tidak lain adalah kegiatan

belajar siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran

merupakan suatu proses mengatur, menorganisai lingkungan yang ada di

sekitar siswa sehingga menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan

proses pembelajaran (Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2006:39).

Pembelajaran merupakan suatu kegiatan di mana terjadi perubahan

mental pada diri siswa. Dalam pembelajaran, siswa sebagai pelaku

belaajar dan guru sebagai pembelajar. Hubungan guru dan siswa adalah

hubungan fungsional dalam arti pelaku pendidik dan pelaku terdidik. Dari

segi tujuan yang akan dicapai baik guru maupun siswa sama-sama

mempunyai tujuan tersendiri. Secara umum pembelajaran adalah suatu

proses interaksi yang mendorong terjadinya belajar (Dimyati dan

Mudjiono, 2006: 5-7).

b. Ciri-ciri Pembelajaran

Ciri-ciri pembelajaran menurut Edi Suardi dalam Syaiful Bahri

Djamarah dan Aswan Zain (2006:39), meliputi: 1) pembelajaran memiliki

tujuan yakni membentuk anak didik dalam suatu perkembangan tertentu;

2) ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan; 3) kegiatan pembelajaran

lix

ditandai dengan suatu materi khusus; 4) ditandai dengan aktivitas anak

didik; 5) dalam kegiatan pembelajaran, guru berperan sebagai

pembimbing; 6) dalam kegiatan pembelajaran membutuhkan disiplin; 7)

ada batas waktu; 8) evaluasi.

Menurut Skinner dalam Dimyati dan Mudjiono (2006: 9),

pembelajaran memiliki ciri yaitu: 1) kesempatan terjadinya peristiwa yang

menimbulkan respons anak didik; 2) respons anak didik pada peristiwa

tersebut; 3) konsekuensi yang bersifat menguatkan respons tersebut.

Menurut Bruner dalam Nasution (2008: 9), dalam proses

pembelajaran dapat dibedakan menjadi tiga fase atau periode, yakni

1) informasi. Dalam setiap pembelajaran, siswa memproleh sejumlah

informasi, ada yang menambah pengetahuan, ada yang memperhalus dan

memperdalam pengetahuan, ada juga informasi yang bertentangan dengan

apa yang diketahui siswa; 2) transformasi. Informasi harus dianalisis,

diubah atau ditransformasikan ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau

konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang mebih luas. Dalam

hal ini bantuan guru sangat diperlukan; 3) evaluasi.

Oemar Hamalik (2003: 11) menyatakan bahwa ciri-ciri khas yang

terkandung dalam sistem pembelajaran adalah 1) rencana , penataan

intensional orang, material, dan prosedur yang merupakan unsur sistem

pembelajaran seusai dengan suatu rencana khusus, sehingga tidak

mengambang; 2) kesalingtergantungan (independent), unsur-unsur sistem

merupakan bagian yang koheren dalam keseluruhan, masing-masing

lx

bagian bersifat esensial, satu sama lain saling memberikan sumbangan

tertentu; 3) tujuan, setiap sistem pembelajaran memiliki tujuan tertentu.

c. Komponen-komponen Pembelajaran

Sebagai sebuah sistem, pembelajaran mengandung sejumlah

komponen yang meliputi tujuan, materi pembelajaran, kegiatan

pembelajaran, metode, alat dan sumber belajar. Tujuan dalam

pembelajaran adalah suatu cita-cita yang normatif yaitu dalam tujuan

terkandung nilai-nilai yang harus ditanamkan kepada siswa. Materi

pembelajaran merupakan substansi yang akan disampaikan dalam proses

pembelajaran. Pembelajaran tidak akan dapat berjalan jika tidak ada

materi. Karena itu, guru yang akan mengajar harus dan pasti mengusaidan

memahami materi pembelajaran yang akan disampaikan kepada siswa.

Kegiatan pembelajaran merupakan inti kegiatan dalam pendidikan. Dalam

kegiatan pembelajaran, guru dan siswa terlibat dalam sebuah interaksi

dengan materi pembelajaran sebagai mediumnya. Dalam interaksi ini,

siswalah yang aktif bukannya guru. Dalam kegiatan pembelajaran, guru

sebaiknya memperhatikan perbedaan individual siswa, yaitu pada aspek

biologis, intelektual dan psikologis. Metode adalah suatu cara yang

dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam

kegiatan pembelajaran, metode diperlukan oleh guru dan penggunaanya

bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai setelah pembelajaran

berakhir. Alat adalah sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka

mencapai tujuan pembelajaran. Alat dapat dibagi menjadi dua yaitu alat

lxi

dan alat bantu. Alat dapat berupa suruhan, perintah dan larangan

sedangkan alat bantu dapat berupa globe, papan tulis, dan lain-lain.

Sumber belajar adalah sesuat yang dapat dipergunakan sebagai tempat di

mana materi pembelajaran berasal. Evaluasi diperlukan untuk memberikan

umpan balik kepada guru sebagai dasar dalam memperbaiki proses

pembelajaran, memberikan angka yang tepat tentang kemajuan atau hasil

belajar siswa, menentukan murid dalam situasi belajar mengajar yang

tepat dan mengenal latar belakang siswa yang mengalami kesulitan dalam

pembelajaran (Syaiful Bahri dan Aswan Zain, 2006: 41-52).

Komponen atau unsur-unsur dalam pembelajaran menurut Dimyati

dan Mudjiono (2006: 8) adalah 1) pelaku, yaitu guru sebagai pelaku

pendidik dan siswa yang terdidik; 2) tujuan untuk memperoleh hasil

belajar dan pengalaman hidup serta membantu siswa menjadi pribadi

mandiri dan utuh; 3) proses yaitu proses interaksi sebagai eksternal dan

internal belajar; 4) tempat, sebagai tempat untuk kegiatan pembelajaran;

5) lama waktu pendidikan; 6) ukuran keberhasilan dan hasil.

B. Kerangka Pikir

Dalam pengayaan materi sejarah, guru turut menentukan keberhasilan

karena gurulah yang menyampaikan materi pembelajaran. Dalam KTSP, guru

dapat membuat materi pembelajaran sendiri asalkan sesuai dengan prosedur yang

berlaku. Pembuatan materi pembelajaran ini dapat dikatakan sebagai pengayaan

materi. Dalam pengayaan materi, guru harus memperhatikan ketentuan-ketentuan

lxii

yang berlaku yaitu sesuai dengan Standar Isi. Dalam pengayaan materi

pembelajaran sejarah harus berpedoman pada KTSP dalam hal ini yaitu Standar

Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran Sejarah. Folklor Menara,

Masjid dan Makam Sunan Kudus memiliki makna-makna fislisofis yang dapat

ditanamkan kepada siswa melalui proses pembelajaran. Folklor Menara, Masjid

dan Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah juga

tidak terlepas dari kesesuaiannya dalam pencapaian Standar Kompetensi dan

Kompetensi Dasar tersebut. Pengayaan materi ini akan dimasukkan dalam materi

pembelajaran pokok dan dimasukkan dalam proses belajar mengajar. Pengayaan

materi pembelajaran dengan memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam

Sunan Kudus menghadapi kendala-kendala. Kendala-kendala tersebut harus

diatasi agar proses pembelajaran dapat berjalan.

lxiii

Berdasarkan kajian teoretis yang telah diuraikan sebelumnya dapat

diperoleh model teoretik yang dapat disajikan kerangka pikir dalam penelitian ini

sebagai berikut :

Gambar 1. Skema Kerangka Pikir

Pengayaan materi pembelajaran

Materi Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran Sejarah

Kendala dan upaya penyelesaian

Folklor Menara, Masjid dan Makan Sunan Kudus Makna Filosofis

Kriteria pengayaan materi pembelajaran

Guru Sejarah

lxiv

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Setting Penelitian

1. Tempat Penelitian

Dalam penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Kudus. Objek

penelitian adalah di MA NU Banat Kudus. Lokasi ini dipilih karena MA NU

Banat Kudus merupakan bagian dari wilayah kecamatan Kota yang memiliki

kompleks Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus. MA NU Banat Kudus

sebagai bagian dari lembaga pendidikan yang memiliki tugas dan

tanggungjawab untuk menggali, melestarikan benda-benda purbakala dan

folklor yang berkembang dari benda-benda purbakala tersebut. Folklor

Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus tersebut dapat digunakan sebagai

salah satu alternatif untuk pengayaan materi sejarah di MA NU Banat Kudus.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan

Februari 2009.

B. Bentuk dan Strategi Penelitian

Berdasarkan konteks permasalahan dalam penelitian ini maka bentuk

penelitian yang dipilih adalah penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2001 : 2)

penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data-data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

49

lxv

dapat diamati. Menurut Sutopo (2006 : 227) penelitian kualitatif deskriptif adalah

jenis penelitian yang mampu menangkap dengan berbagai informasi kualitatif

dengan deskripsi dengan teliti dan penuh nuansa, yang lebih berharga daripada

sekadar pernyataan jumlah atau pun frekuensi dalam bentuk angka. Sugiyono

(2005 :1) penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk

meneliti pada kondisi objek alamiah di mana peneliti sebagai instrumen kunci,

teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data

bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada

generalisasi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif

adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-

kata tertulis yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah di mana

peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara

trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian

kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.

Pada penelitian ini strategi yang digunakan adalah studi kasus tunggal

terpancang karena sudah terarah pada batasan atau fokus tertentu berdasarkan

karakteristik metodologi penelitian kualitatif yang berkaitan dengan desain lentur

dan terbuka, dan proses analisisnya bersifat induktif (Sutopo, 2006:139).

Permasalahan dalam penelitian ini menyangkut tentang pemanfaatan folklor

Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan Materi

Pembelajaran Sejarah di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus. Melalui

strategi studi kasus tunggal terpancang tersebut peneliti dapat menggali informasi

lxvi

sebanyak-banyaknya dari MA NU Banat Kudus dalam upaya pemanfaatan folklor

Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus untuk pengayaan materi pembelajaran

sejarah.

C. Sumber Data

Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data-data

kualitatif yang berbentuk kata kata. Data-data yang dikumpulkan adalah data-data

yang berkaitan dengan pemanfaatan folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan

Kudus di MA NU Banat Kudus.

Data-data itu diperoleh dari:

1. Informan atau nara sumber pengelola Menara, Masjid, dan Makam Sunan

Kudus, MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia), Dinas Pariwisata, guru

sejarah, Kepala Sekolah, siswa-siswi sekolah MA Banat Kudus,

2. Dokumen atau arsip yaitu silabus, RPP.

3. Tempat dan peristiwa. Tempat yang dimaksud adalah Kompleks Menara,

Masjid dan Makam Sunan Kudus, sedangkan perstiwa adalah kegiatan

pembelajaran sejarah dan pengayaan materi pembelajaran sejarah di MA NU

Banat Kudus yang memanfaatkan folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan

Kudus sebagai materi pembelajaran.

D. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif dan jenis sumber data yang

dimanfaatkan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah:

lxvii

1. Wawancara secara mendalam (in-depth interviewing)

Menurut Patton (dalam Sutopo, 2006: 228) wawancara secara

mendalam adalah jenis wawancara yang bersifat lentur dan terbuka, tidak

terstruktur ketat, tidak dalam suasana formal, dan bisa dilakukan berulang

pada informan yang sama. Wawancara secara mendalam adalah wawancara

yang mempunyai karakteristik berupa pertemuan langsung secara berulang-

ulang antara peneliti dan informan yang diarahkan pada pemahaman

pandangan informan dalam kehidupan (Bodgan dan Taylor dalam Moleong,

2001 : 27 ).

Wawancara mendalam dilakukan kepada:

a. Pengelola Masjid, Menara, dan Makam Sunann Kudus untuk

mendapatkan informasi tentang: 1) Macam-macam folklor Menara,

Masjid, dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di masyarakat

Kudus; 2) Makna filosofis yang terkandung dalam folklor tentang Menara,

Masjid dan Makam Sunan Kudus.

b. MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) untuk mendapatkan informasi

tentang: 1) Macam-macam folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan

Kudus yang berkembang di masyarakat Kudus; 2) Makna filosofis yang

terkandung dalam folklor tentang Menara, Masjid, dan Makam Sunan

Kudus.

c. Dinas Pariwisata Kabupaten Kudus untuk mendapatkan informasi tentang

1) Macam-macam folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus yang

lxviii

berkembang di masyarakat Kudus; 2) Makna filosofis yang terkandung

dalam folklor tentang Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus.

d. Guru sejarah untuk mengetahui tentang 1) Kriteria kelayakan yang

digunakan untuk mengetahui tentang folklor Menara, Masjid, dan Makam

Sunan Kudus yang dapat digunakan sebagai bahan pengayaan materi

sejarah di Madrasah Aliyah (MA) Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus;

2) Pemanfaatan folklor tentang Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus

sebagai pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah (MA) Nahdlatul

Ulama (NU) Banat Kudus; 3) Kendala yang dihadapi guru dalam

memanfaatkan folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus.

e. Kepala sekolah untuk mendapatkan tentang pengayaan materi

pembelajaran yang dilakukan guru Sejarah.

f. Siswa-siswi sekolah MA Banat Kudus untuk mendapatkan informasi

tentang pemanfaatan folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus

sebagai pengayaan materi pembelajaran Sejarah di MA NU Banat Kudus.

2. Observasi langsung berperan aktif

Sutopo (2006 : 78) berpendapat bahwa observasi berperan aktif ini

merupakan cara khusus dan peneliti tidak bersifat pasif hanya sebagai

pengamat tetapi memainkan berbagai peran yang dimungkinkan dalam situasi

yang berkaitan dengan penelitiannya dengan mempertimbangkan posisi yang

bisa memberikan akses yang bisa diperolehnya untuk bisa dimanfaatkan bagi

pengumpulan data yang lengkap dan mendalam.

lxix

Observasi ini dilakukan dengan cara observer hadir dan terlibat

langsung sebagai pengawas dan pemandu dalam proses kegiatan pembelajaran

sejarah dengan memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan

Kudus sebagai bahan penyaan materi pembelajaran sejarah di MA NU Banat.

3. Content analysis (Analisis Dokumen)

Kegiatan pencatatan dalam pengumpulan data sangat penting.

Pencatatan data ini dilakukan terhadap sumber data yang berasal dari

dokumen berupa RPP dan Silabus yang ada kaitannya dengan kegiatan upaya

guru sejarah MA NU Banat Kudus dalam pengayaan materi pembelajaran

Sejarah.

E. Teknik Cuplikan (Sampling)

Teknik cuplikan ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel yang

akan dijadikan sebagai informan dalam penelitian. Menurut Sutopo (2006 : 229)

pada penelitian kualitatif, teknik cuplikan yang digunakan bukanlah cuplikan

statistik atau yang biasa dikenal sebagai probability sampling tetapi menggunakan

purposive sampling. Purposive sampling adalah pengambilan cuplikan didasarkan

atas berbagai pertimbangan tertentu dengan kecenderungan peneliti untuk

memilih informannya berdasarkan posisi dengan akses tertentu yang dianggap

memiliki informasi yang berkaitan dengan permasalahannya secara mendalam dan

dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap.

Alasan yang mendasari penggunaan teknik cuplikan purposive sampling

disebabkan pada penelitian kualitatif cenderung menggunakan teknik cuplikan

yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan konsep

lxx

teoretis yang digunakan, keingintahuan pribadi, karakteristik empirisnya dan lain-

lain. Oleh karena itu cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat

purposive sampling (cuplikan) dengan criterion-based selection sebagaimana

yang dikemukakan oleh Goetz & LeCompte ( dalam Sutopo, 2006 : 229).

Dengan penggunaan teknik cuplikan purposive sampling maka dapat

memilih informan secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan yang

dimiliki informan tentang pengayaan materi sejarah MA. Adapun informan yang

diminta pendapat adalah Pengelola Yayasan Menara, Masjid dan Makam Sunan

Kudus, Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI), Dinas Pariwisata Kudus, Guru

Sejarah, Kepala Sekolah dan siswa MA NU Banat Kudus.

Pada penelitian ini strategi yang diterapkan adalah cuplikan internal

sampling sebagaimana yang dikemukakan oleh Bogdan & Biklen (dalam Sutopo,

2006 : 229) dalam cuplikan yang bersifat internal, cuplikan diambil untuk

mewakili informasinya bukan populasinya, dengan kelengkapan dan kedalaman

yang tidak perlu ditentukan oleh jumlah sumber datanya, karena jumlah informan

yang kecil bisa menjelaskan informasi tertentu secara lengkap dan benar daripada

informasi yang diperoleh dari jumlah nara sumber yang lebih banyak, yang

mungkin kurang mengetahui dan memahami informasi yang sebenarnya.

Sampling dalam penelitian kualitatif, sifatnya yang internal tersebut mengarah

kepada kemungkinan generalisasi teoretis.

Dengan menerapkan strategi cuplikan internal sampling untuk mewakili

informasi bukan populasinya. Peneliti dapat menyesuaikan kebutuhan data, situasi

dan kondisi di lapangan. Melalui selektivitas tersebut akan mendapatkan sumber

lxxi

data yang benar-benar valid dan reliabel. Adapun sampel yang direncanakan

sebagai informan dalam penelitian ini meliputi berbagai unsur yaitu pengelola

Yayasan Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus, Masyarakat Sejarah

Indonesia (MSI), Guru sejarah MA NU Banat, Kepala Sekolah MA NU Banat dan

siswa-siswi sekolah MA NU Banat Kudus. Unsur-unsur sampel tersebut

diharapkan dapat memberikan informasi/ penjelasan tentang Folklor Menara,

Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai salah satu alternatif pengayaan materi

pembelajaran sejarah di MA NU Banat Kudus.

F. Validitas Data

Menurut (Sugiyono, 2006 : 117) validitas merupakan derajad ketepatan

antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan

oleh peneliti. Dengan demikian data yang valid adalah data yang tidak berbeda

antar data yang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi

pada objek penelitian. Sutopo (2006 : 92) berpendapat validitas data merupakan

jaminan bagi kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian.

Untuk lebih menjamin dan meyakinkan suatu data yang akan dikumpulkan dalam

penelitian ini, perlu dikembangkan teknik validitas data yang biasa digunakan

dalam penelitian kualitatif adalah teknik trianggulasi. Teknik yang digunakan

untuk menguji validitas data dalam penelitian ini adalah trianggulasi. Trianggulasi

yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di

luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai bahan pembanding

terhadap data tersebut (Moleong, 2001 : 31).

lxxii

Validitas data dalam penelitian ini didapatkan dengan menggunakan

teknik triangulasi sumber atau data dan triangulasi metode.

1. Triangulasi sumber (data), yaitu teknik triangulasi yang mengarahkan peneliti

mengumpulkan data dari beragam sumber data yang tersedia. Artinya, data

yang sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber

data yang berbeda (Patton dalam Sutopo, 2002: 79). Dalam hal ini, peneliti

bisa memperoleh data dari narasumber (informan) yang berbeda – beda.

Misalnya, data tentang folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus

didapatkan peneliti dari informan pengelola Menara, Masjid dan Makam

Sunan Kudus, informan dari MSI, dan informan dari Dinas Pariwisata

Kabupaten Kudus.

2. Triangulasi metode, yaitu menggali data yang sama dengan menggunakan

metode pengumpulan data yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan menggali

data tentang pelaksanaan pembelajaran sejarah dengan memanfaatkan folklor

Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan materi

pembelajaran sejarah didapatkan peneliti dengan metode wawancara dan

observasi langsung berperan aktif di mana observer berperan sebagai

pengawas dan pemandu proses pembelajaran.

Agar hasil penggalian sumber data dapat valid dan reliabel maka

dikonsultasikan dan diskusikan dengan teman peneliti. Melalui cara ini didapatkan

sumber data yang baik. Kemudian data-data tersebut dikembangkan dan

meyimpan data base agar sewaktu-waktu dapat ditelusuri kembali bila

dikehendaki adanya verifikasi untuk disempurnakan.

lxxiii

G. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini teknik analisis data yang digunakan mengikuti pola

arah penelitian kualitatif, analisis dilakukan di lapangan bersamaan dengan proses

pengumpulan data. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis interaktif dari Miles dan Huberman (dalam Sutopo, 2006 : 96).

Adapun hubungan interaksi antara unsur-unsur kerja analisis tersebut

dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram sebagai berikut :

Gambar 2. Bagan Siklus Analisis Interaktif Sumber: Sutopo (2006 : 120)

Adapun rincian model tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang digunakan untuk

menajamkan, menggolongkan, mengarahkan membuang yang tidak perlu dan

mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga simpulan-

simpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

Sajian Data Reduksi

Data

penarikan simpulan/ verifikasi

Pengumpulan Data

(1) (2)

(3)

lxxiv

2. Penyajian Data

Pada pelaksanaan penelitian penyajian-penyajian data yang lebih baik

merupakan suatu cara yang utama bagi analisis kualitatif yang valid.

Penyajian yang menarik akan membuat tampilan data menjadi menarik.

Dalam penyajian ini dapat dilakukan melalui berbagai macam cara visual

misalnya gambar, grafik, network chart, diagram, matrik dan sebagainya.

Penyajian data disesuaikan dengan rumusan masalah, sehingga tersaji

deskripsi kondisi yang rinci yang merupakan jawaban setiap permasalahan.

3. Simpulan-simpulan : penarikan / verifikasi

Setelah data hasil penelitian direduksi, disajikan langkah terakhir adalah

simpulan-simpulan : penarikan / verifikasi. Data hasil penelitian selanjutnya

digabungkan dan disimpulkan serta diuji kebenarannya. Penarikan simpulan

merupakan bagian dari satu kegiatan dari konvigurasi yang utuh, sehingga

simpulan-simpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung.

Verifikasi data yaitu pemeriksaan tentang benar dan tidaknya hasil laporan

penelitian. Simpulan adalah tinjauan ulang pada catatan dil apangan atau

kesimpulan dapat ditinjau sebagai makna-makna yang muncul dari data yang

harus diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya yaitu yang

merupakan validitasnya (Milles dan Huberman, 2000 : 19 ).

Melalui verifikasi data maka didapatkan objektivitas. Untuk mendapatkan

data yang objektivitas maka dibutuhkan subjektivitas dan kesepakatan

intersubjektif dari peneliti sehingga hasil penelitian mudah dipahami bagi para

pembaca secara mendalam.

lxxv

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Latar

Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus adalah warisan budaya yang

terletak dalam satu kompleks di Desa Kauman Kecamatan Kota Kabupaten

Kudus. Kompleks ini dilindungi dan dirawat oleh Yayasan Menara, Masjid dan

Makam Sunan Kudus atau YM3SK. Latar belakang didirikannya Yayasan

Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) yaitu untuk

menyebarluaskan peran para wali (Auliya’) dalam menyebarkan dan

mengembangkan agama Islam di tanah Jawa dan di berbagai daerah Nusantara,

dan untuk melestarikan peninggalan-peninggalan yang telah diwariskan oleh para

Auliya’ tersebut. Para auliya dalam menyebarkan dan mengembangkan agama

Islam, memilih jalan damai (peace penetration), sangat akomodatif terhadap nilai-

nilai budaya lokal, sehingga melahirkan budaya baru yang merupakan hasil

akulturasi budaya.

Para auliya’ memiliki warisan budaya yang tidak kasat mata (intangible

heritage) berupa ajaran-ajaran moral, tradisi-tradisi maupun kasat mata (tangible

heritage) yang merupakan cagar budaya yang harus dilindungi, dipelihara dan

dimanfaatkan demi pengembangan budaya bangsa. Pemikiran tersebut mendasari

pembentukan Yayasan Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus. Pembentukan

YM3SK diharapkan dapat berperan dalam mengelola situs Menara, Masjid dan

Makam Sunan Kudus dengan sebaik-baiknya demi ukhuwah Islamiyah, dan juga

60

lxxvi

memiliki peran dan tanggung jawab dalam pelestarian dan pengelolaan

peninggalan cagar budaya dari masing-masing leluhurnya.

Tujuan dari berdirinya YM3SK adalah : 1) sebagai wadah silaturrahim

antar pemangku; 2) bertukar informasi dan pengalaman; 3) meningkatkan

pengelolaan yang lebih baik; 4) membuat kalender kegiatan yang terkoordinasi;

5) sebagai media penghubung antar pemangku dan pemerintah serta mitra kerja

yang lain; 6) meneruskan dakwah Sunan Kudus; 7) melestarikan serta memelihara

petilasan dan peninggalan Sunan Kudus.

Penelitian ini juga dilaksanakan di MA NU Banat sebagai lembaga

pendidikan yang melaksanakan pengayaan materi pembelajaran dengan

memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus. Deskripsi latar

yang kedua dapat diuraikan sebagai berikut: MA NU Banat adalah madrasah

khusus putri yang beralamat di Jln. KHM. Arwani Amin Kajan Krandon, Kudus

Kode Pos 59314. MA NU Banat memiliki visi yaitu” Terwujudnya madrasah putri

sebagai pusat keunggulan yang mampu menyiapkan dan mengembangkan SDM

berkualitas di bidang IMTAQ dan IPTEK yang Islami yang Sunny”. Misi yang

diusung MA NU Banat adalah “Menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi

kualitas, baik akademik, moral maupun sosial sehingga mampu menyiapkan dan

mengembangkan SDM berkualitas di bidang IMTAQ dan IPTEK dalam rangka

mewujudkan Baldatun Toyyibatun Warobbun Ghofur Negara yang aman tentram,

adil makmur dalam ridlo Allah”. Tujuan yang ingin dicapai MA NU Banat yaitu:

1) Mampu memahami ilmu agama; 2) Mampu mengaplikasikan ilmu yang

diperoleh dalam kehidupan sehari-hari sehingga terwujudnya generasi muslim,

lxxvii

yang mar’atus sholihah berakhlak mulia; 3) Memiliki ilmu keterampilan sebagai

bekal hidup di masyarakat; 4) Mampu berkomunikasi sosial dengan modal bahasa

asing praktis (bahasa Arab dan bahasa Inggris); 5) Mampu memahami ilmu-ilmu

yang dibutuhkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Jenjang

Akreditasi yang dimiliki MA ini adalah A. Alamat website MA NU Banat adalah

www.banatnukudus.or.id dan alamat e-mail [email protected].

Periode sejarah MA NU Banat Kudus yang berdiri tahun 1972-1981/1982

jumlah rombel (rombongan belajar) hanya 1 kelas yang jumlah siswanya 7 orang,

meskipun pada waktu tersebut penerimaan sebanyak 14 orang. Kemudian mulai

tahun 1982/1983-1992 mulai merangkak naik 2-3 rombel. Tahun 1992-2002,

dengan cepat mengalami perkembangan 4, 5, 6, 7, 8 rombel. Mulai 2002 sampai

sekarang jumlahnya mencapai 8-9 rombel. Mulai 2005, MA NU Banat Kudus

membatasi hanya 9 kelas, sehingga pada tahun 2005 terpaksa mengembalikan

sebanyak 103 pendaftar lewat seleksi. Pada tahun 2006/2007 bulan Juli yang lalu,

MA NU Banat Kudus hanya menerima 75% dari jumlah pendaftar. Tahun 2008

berjumlah 32 kelas. Untuk kelulusan MA sejak tahun 1997-2004 lulus 100%,

tahun 2005 tidak lulus 1 atau 99, 74%. 2007/2008 tidak lulus 2 atau 99,48%.

Pembagian tugas (job description) di MA NU Banat telah terjalin dengan

baik dengan sistem saling membantu. Jajaran Pimpinan MA NU Banat adalah

1) Kepala Madrasah : HM. Mashum AK, 2) Wakil Kepala : Drs. H. Moh. Said

Muslim, 3) Bag. Kurikulum MA : Dra. Sri Roychanah, 4) Bag. Kurikulum

Ponpes: Shohibul Huda AH, 5) Bag. KePeserta didikan : Siti Romlah, S.Pd,

6) Bag. Humas / Agama : Moh. Amin, S.Ag, 7) Bag. Sarana Prasarana : Drs.

lxxviii

Subchan. Bimbingan dan Konseling dikoordinatori oleh : Dra. Hj. Noor Jannah;

Staf BK yaitu: 1) Dra. Khofiyan Nida, 2) Muayyanah, S.Pd, 3) Yusriya

Inayati,S.Sos.I.

MA NU Banat mempunyai beberapa kebijakan khusus dalam

melaksanakan pembelajarannya. Selain memberikan pembelajaran sesuai dengan

struktur kurikulum SMA/MA yang telah ditetapkan oleh BSNP, MA NU Banat

juga mengembangkan beberapa muatan lokal. Penambahan muatan lokal ini

disesuikan dengan kondisi dan potensi yang ada di lingkungan sekitar MA NU

Banat.

Muatan lokal yang bersesuaian dengan pemanfaatan folklor Menara,

Masjid dan Makam Sunan Kudus adalah mata pelajaran tarekh dan ke-NU-an.

Tarekh adalah suatu mata pelajaran yang memberikan pengetahuan pada siswa

tentang sejarah perkembangan Islam. Pelajaran ini juga membahas tentang sejarah

dan asal usul Nabi dan Rasul. Mata pelajaran ke-NU-an adalah mata pelajaran

yang berisi tentang sejarah perkembangan Islam di Indonesia secara umum dan

sejarah perkembangan organisasi massa yang bercork keislaman bernama

Nahdlatul Ulama. Mata pelajaran ke-NU-an juga membahas tentang tokoh-tokoh

yang berjasa dalam perkembangan Islam dan NU.

Kedua muatan lokal tersebut menggunakan sumber dan materi pelajaran

salah satunya adalah sejarah dan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan

Kudus. Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus merupakan salah satu

peninggalan sejarah Islam yang perlu diketahui oleh siswa. Selain penambahan

muatan lokal dalam struktur kurikulum di mana sumber dan materi

lxxix

pembelajarannya memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan

Kudus, MA NU Banat juga mengembangkan pembelajaran sejarah yang

memanfaatkan potensi di lingkungan sekitar sekolah yaitu folklor Menra, Masjid

dan Makam Sunan Kudus. Kepala MA NU Banat dan guru-guru sejarah MA NU

Banat menyadari bahwa dalam standar isi mata pelajaran sejarah SMA/MA

terdapat standar kompetensi dan kompetensi dasar yang materi pembelajarannya

dapat menggunakan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus.

Pembelajaran sejarah di MA NU Banat menggunakan metode yang

bervariasi di mana disesuaikan dengan matei pembelajaran yang akan diterima

oleh siswa. Materi pembelajaran yang dapat ditemukan di lingkungan sekitar

menggunakan metode inuqiry, karya wisata, wawancara dan observasi. Kegiatan

pembelajaran ini diharapkan memberikan siswa pengalaman belajar yang

bervariasi.

B. Sajian Data

1. Folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di

masyarakat Kudus

Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus merupakan peninggalan

sejarah Sunan Kudus. Folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus

terdiri dari berbagai cerita yang berkembang di masyarakat. Folklor tersebut

ada yang berkaitan dengan Sunan Kudus sendiri maupun folklor tentang

pembangunan Menara, Masjid Sunan Kudus. Sedangkan folklor tentang

Makam Sunan Kudus berkembang setelah Sunan Kudus wafat.

lxxx

Pendapat Djupriyono, Folklor Sunan Kudus dapat diceriterakan

sebagai berikut : Sunan Kudus nama aslinya Ja’far Shodiq, tetapi sewaktu

kecil atau dikenal dengan nama Joko Gentong adalah putera dari R. Usman

Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan (Blora). Kadang-kadang

dipanggil dengan nama Raden Amir Haji, sebab ketika menunaikan ibadah

haji ia bertindak sebagai pemimpin rombongan (amir).

Sunan Kudus adalah putera Raden Usmar Haji, yang menyiarkan

agama Islam di daerah Jipang Panolan, Blora. Menurut silsilahnya Sunan

Kudus masih mempunyai hubungan keturunan dengan Nabi Muhammad

SAW. Silsilah lengkapnya Ja’far Shodiq bin Raden Usman Haji bin Raja

Pendeta bin Ibrahim as- Samarakandi bin Maulana Muhammad Jumadil

Kubro bin Zaini al-Husein bin Zaini al-Kubro bin Zainul Alim bin Zainul

Abidin bin Sayid Husein bin Ali RA (Solichin Salam, 1995: 30).

Pendapat Djupriyono, Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di

daerah Kudus dan sekitarnya. Sunan Kudus memiliki keahlian khusus dalam

bidang ilmu agama, terutama dalam ilmu fiqih, usul fikih, tauhid, hadist, tafsir

serta logika. Oleh karena itu, Sunan Kudus diberi julukan sebagai wali al-ilmi

(orang yang luas ilmunya), dan karena keluasan ilmunya maka beliau banyak

didatangi oleh penuntut ilmu dari berbagai daerah di nusantara.

Di samping menjadi juru dakwah, Sunan Kudus juga menjadi

Panglima Perang Kesultanan Demak Bintoro yang tangguh, dan dipercaya

mengendalikan pemerintahan di wilayah Kabupaten Kudus, sehingga ia

lxxxi

menjadi pemimpin pemerintahan dan sekaligus pemimpin agama di daerah

tersebut (Solichin Salam, 1995: 30).

Dalam cerita rakyat yang berkembang Sunan Kudus pernah belajar di

Baitulmakdis, Palestina, dan pernah berjasa memberantas penyakit yang

menelan banyak kurban di Palestina. Atas jasanya, oleh pemerintah Palestina

diberi daerah kekuasaan di Palestina, namun Sunan Kudus mengharapkan

hadiah tersebut dipindahkan ke Pulau Jawa, dan oleh Amir (penguasa

setempat) permintaan itu dikabulkan. Sekembalinya ke Jawa ia mendirikan

masjid di daerah Loran tahun 1549; masjid itu, diberi nama Masjid al-Aqsa

atau al-Manar (Masjid Menara Kudus) dan daerah sekitarnya diganti namanya

dengan Kudus, diambil dari sebuah kota di Palestina, al-Quds (Ahfas

Mutohar, 2007: vii).

Pendapat Djupriyono, Sunan Kudus kawin dengan Dewi Rukhil,

puteri dari R. Makdum Ibrahim, Kanjeng Sunan Bonang di Tuban.

R. Makdum Ibrahim adalah putera R. Rahmad (Sunan Ampel) putera Maulana

Ibrahim Asmarakandi. Hingga di sini bertemulah silsilah Sunan Kudus dengan

isterinya. Dengan demikian maka Sunan Kudus adalah menantu Kanjeng

Sunan Bonang. Dengan perkawinannya dengan Dewi Rukhil Sunan Kudus

hanya mendapatkan seorang putera laki-laki yang diberi nama Amir Hasan.

Pendapat Sancaka Dwi Supani, Sunan Kudus dari isteri yang kedua

yaitu puteri dari Pangeran Pecat Tandaterung dari Majapahit, Sunan Kudus

dikarunia 8 (delapan) putera yaitu : Nyai Ageng pembayun, Panembahan

Palembang, Panembahan Mekaos Honggokusumo, Panembahan Kodhi,

lxxxii

Panembahan Karimun, Panembahan Joko (yang wafat ketika masih muda),

Ratu Pakojo, Ratu Prodobinabar, yang kemudian kawin dengan Pangeran

Poncowati (Panglima Perangnya Sunan Kudus). Di antara kedelapan orang

tersebut di atas, hanya 4 orang yang kini makamnya dikenal orang di sekitar

makam Sunan Kudus. Keempat orang itu adalah panembahan Palembang,

Panembahan Mekaos, Pangeran Poncowati dan Pangeran Sujoko.

Sunan Kudus bukan hanya sebagai guru agama tetapi di samping itu

menjadi mubaligh, dan juga menjadi senopati dari kerajaan Bintoro Demak.

Hal ini sesuai dengan prinsip dalam ajaran Islam, bahwa tidak ada pemisahan

antara agama (religie) dan negara (staat). Ini pun dipraktekkan oleh Sunan

Kudus (Solichin Salam, 1995: 29)..

Pendapat Djupriyono, Sunan Kudus menyiarkan agama Islam adalah

sebagaimana yang dijalankan oleh para wali-wali lainnya, yaitu memakai

jalan kebijaksanaan. Dalam menyiarkan agama Islam Sunan Kudus memakai

strategi :

a. Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah.

Sunan Kudus tidak menggunakan jalan kekerasan atau radikal dalam

menghadapi masyarakat yang demikian.

b. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah diubah

maka segera dihilangkan.

c. Tut wuri handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan

dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi

lxxxiii

sedikit dan menerapkan prinsip Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari

belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.

d. Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam

cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi

tidak mengeruhkan airnya.

e. Pada akhirnya boleh merubah adat kepercayaan masyarakat yang tidak

sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau

masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal

imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar

mau mendekat dan tertarik pada ajaran Islam. Hal itu tidak bisa mereka

lakukan kecuali melaksanakan ajaran agama Islam secara konsekuen.

Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah

laku dan gerak gerik mereka sudah merupakan da’wah nyata yang dapat

memikat masyarakat non muslim.

Pendapat Sancaka Dwi Supani, dengan strategi yang demikian halus

inilah maka masyarakat Hindu di Kudus banyak yang memeluk agama Islam.

Cara halus dalam berdakwah dapat di contoh untuk menghormati pemeluk

agama Hindu dan Budha maka Sunan Kudus mengikat seekor lembu (sapi) di

halaman masjid Al-Aqso untuk menarik perhatian masyarakat Kudus yang

waktu itu masih memeluk agama Budha. Setelah banyak masyarakat

berkumpul maka Sunan Kudus memulai da’wahnya. Media da’wah yang

dilakukan Sunan Kudus ini ternyata efektif sehingga banyak dari masyarakat

Hindu dan Budha memeluk agama Islam.

lxxxiv

Pendapat Djupriyono, di samping mengikat seekor lembu di halaman

masjid Al-Aqso. Sunan Kudus juga melarang rakyatnya menyembelih sapi

karena pada waktu Syekh Ja’far Shodiq kehausan kemudian mendapatkan air

susu dari seekor lembu. Maksud dari Sunan Kudus melarang rakyatnya

menyakiti atau menyembelih sapi karena kebanyakan nenek moyang yang

menyusui kita dahulunya memeluk agama Hindu/ Budaha. Dengan demikian

tidak menyinggung perasaan dan kehormatan serta kepercayaan hidup mereka,

yang pada waktu itu masih kuat di kalangan masyarakat alangkah

bijaksananya apabila tidak menyakiti hati serta menyinggung kepercayaan dan

adat asli penduduk bumi putra.

Pendapat Deny Nur Hakim, sesudah berhasil menarik simpati umat

Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi,

yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun

menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus menjaring umat Budha.

Caranya memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.

Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudlu

dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi

arca kepala Kebo Gumarang di atasnya. Hal ini disesuai dengan ajaran Budha.

“Jalan berlipat delapan” atau “Asta Sanghika Marga” yaitu : 1) Harus

memiliki pengetahuan yang benar; 2) Mengambil keputusan yang benar; 3)

Berkata dengan benar, 4) Hidup dengan cara yang benar; 5) Mencari

penghidupan/ bermata pencaharian yang benar; 6) Bekerja dengan benar; 7)

Beribadah dengan benar; 8) menghayati agama dengan benar.

lxxxv

Pendapat Sancaka Dwi Supani, usahanya ini membuahkan hasil,

banyak umat budha yang penasaran, untuk apa umat Sunan Kudus memasang

lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudlu sehingga mereka

berdatangan ke masjid untuk mendengarkan keterangan dari Sunan Kudus.

Pendapat Djupriyono, selain merangkul umat Hindu dan Budha

dengan menggunakan cara-cara demikian Sunan Kudus juga dalam berda’wah

bersikap halus dengan tradisi-tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Hindu

dan Budha seperti pada acara Mitoni, kirim sesaji di kuburan sebagai bentuk

bela sungkawa atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga. Sunan

Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual dan berusaha sebaik-

baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Contoh

pada saat Mitoni bagi orang Jawa yang hamil tiga bulan maka akan dilakukan

acara selamatan yang disebut mitoni dengan meminta kepada Dewa apabila

anak yang lahir perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih. Adat tersebut

tidak ditentang oleh Sunan Kudus tetapi diarahkan dalam bentuk islami. Acara

selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekadar kirim sesaji

kepada para Dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan

sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedangkan permintaannya

langsung kepada Allah dengan harapan apabila anak yang lahir laki-laki akan

berwajah tampan seperti nabi Yusuf dan bila perempuan seperti Siti Mariam

ibunda Nabi Isa. Untuk itu, sang ayah dan ibu harus sering-sering membaca

surat Yusuf dan Surat Mariam dalam Al-Qur’an. Sebelum dilaksanakan

upacara, dilakukan pembacaan layang Ambiya’ atau sejarah para nabi.

lxxxvi

Biasanya yang dibaca adalah bab nabi Yusuf. Hingga sekarang acara

pembacaan layang Ambiya’ yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung

dan lain-lain masih hidup dikalangan pedesaan. Dengan siasat tersebut maka

masyarakat diajak untuk bertoleransi sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.

Pendapat Sancaka Dwi Supani, Sunan Kudus sebagai tokoh pejuang

kerajaan Demak Bintoro. Beliau adalah seorang Senopati Perang dari

Kerajaan Demak Bintoro. Ketika Adipati Unus (Pangeran Sabrang Lor) pada

tahun 1511 M telah dapat menguasai Jepara sebagai pangkalan militer. Untuk

memperkuat kerajaan pangkalan Militer di Jepara maka diperkuat dengan

armada laut yang tangguh dan dilengkapi dengan kapal-kapal besar yang

berlapiskan baja. Pada tahun 1513, Demak menyerang orang-orang Portugis

di Malaka di bawah pimpinan Adipati Unus. Karena dengan penguasaan

Portugis di Malaka maka akan mengancam keselamatan Kerajaan Demak

Bintoro. Dengan penyerangan terhadap Malaka mempunyai segi-segi politis

dan ekonomis karena Kerajaan Demak Bintoro sebagai kerajaan agraris

maritim yang mengembangkan pertanian dan perdagangan antarpulau maka

keberadaan Portugis di Malaka merupakan salah satu penghalang bagi kapal-

kapal dagang Demak Bintoro di masa mendatang. Oleh karena itu, Adipati

Unus berusaha untuk menghalau Portugis dari Malaka.

Pendapat Deny Nur Hakim, Sunan Kudus dalam sejarah tampil

sebagai seorang tokoh yang kuat serta gagah berani. Karena keberanian yang

luar biasa serta kedudukannya sebagai panglima perang, maka tidaklah keliru

apabila dikatakan bahwa Sunan Kudus itu adalah Senopati perang, yang setiap

lxxxvii

saat siap sedia berkorban untuk membela keselamatan Kerajaan Demak.

Sunan Kudus memiliki jiwa militer yang diwariskan dari ayah handanya

(Sunan Ngudung) sehingg memiliki sikap disiplin, keras, dan taat kepada

pemerintah atasannya. Ketaatan dan keberaniannyalah yang menyebabkan

beliau ditakuti dan disegani oleh bawahannya khususnya, dan oleh kawan atau

lawan umumnya.

Pendpat Deny Nur Hakim, Hasil karya Sunan Kudus yaitu : 1) masjid

Nganguk Wali, 2) Masjid Al-Aqso atau Al-Manar, 4) Menara Kudus,

5) gapura, 6) tradisi Dandangan, 7) tradisi penjamasan keris Ciptoko/ Cintoko,

8) Seni sastra yaitu menciptakan tembang Maskumambang dan menyusun

kitab Wulang Reh yang berisikan tentang ajaran pemurnian Islam.

Pendapat Deny Nur Hakim, folklor mengenai Menara Kudus berkaitan

dengan pembangunan Menara Kudus. Asal usul Menara Kudus menurut Mn,

ada dua versi, pertama: Menara Kudus berasal dari Candi Hindu yang dibawa

oleh salah seorang murid Sunan Kudus. Menara ini dulunya tempat

pembakaran mayat. Konon di bawah menara dulu terdapat sumber kembar

(mata air). Sumber kembar itu memancarkan air penghidupan (banyu

penguripan). Dalam bahasa Sansekerta dinamakan (Amrta, atau tirta

Kamandanu). Menara Kudus bentuknya menyerupai Candi Jago, tempat

pemakaman raja Wisnu Wardana (Singasari) yang terdapat di Malang Jawa

Timur. Menara Kudus mendapatkan pengaruh dari kebudayaan pra-Islam, di

mana candi dipandang sebagai suatu bangunan suci pengikut agama Hindu

maupun Budha. Candi ini digunakan oleh Sunan Kudus untuk menarik para

lxxxviii

umat Hindu yang ada di sekitar Kudus agar mau mendekat dan mendengarkan

penjelasan Sunan Kudus tentang ajaran agama Islam.

Pendapat Deny Nur Hakim, Versi kedua yaitu Menara Kudus memang

sengaja dibangun oleh Sunan Kudus menyerupai bentuk bangunan Candi. Hal

ini didasarkan pada pemikiran Sunan Kudus bahwa seseorang yang telah

menganut dan meyakini ajaran agama akan lebih mudah menerima ajaran dari

seseorang yang meghormati dan sesuai dengan dirinya. Pemikiran ini

diwujudkan oleh Sunan Kudus dengan membangun Menara Masjid yang

menyerupai Candi yaitu tempat ibadah umat Hindu-Budha. Fungsi Menara

yaitu sebagai tempat mengumandangkan azan, meletakkan bedug dan

kentongan, serta sebagai tempat berzikir.

Menara Kudus berdasarkan cerita Deny Nur Hakim, dibuat dari batu

bata merah tanpa perekat semen. Batu bata merah ini hanya digosok-gosokkan

agar menyatu dan tidak roboh setelah bangunan berdiri tegak. Cerita lain

menyatakan bahwa sebagai bahan perekat Sunan Kudus menggunakan putih

telur.

Pendapat Djupriyono, Bangunan Menara Kudus memiliki folklor yang

dapat diceritakan sebagai

a. Orientasi

Pengertian Orientasi dalam hubungannya dengan masalah teknik

bangunan menara, adalah arah hubungan manusia dengan khaliknya

tergolong ke dalam spiritual dengan sumbu religi diarahkan ke kiblat.

Data observasi Menara Kudus, orientasinya mengarah ke kiblat (Barat).

lxxxix

Berarti dapat disimpulkan bahwa Menara Kudus meruupakan satu-satunya

menara yang bernilai arkeologis, yang orientasinya ke kiblat atau ke arah

Ka’bah sebagai pusat religi umat muslim seluruh dunia. Sedangkan

orientasi bangunan menara masjid lain yang arahnya bukan ke kiblat,

merupakan perkecualian karena pengaruh historis, kondisi setempat serta

perancang itu sendiri.

b. Zooning

Area Menara Kudus dengan aktivitasnya tergolong dalam lokasi utama.

Dengan demikian zooning menara yang terletak di sebelah Tenggara

kompleks masjid, lebih kurang 2 Km dari alun-alun kota Kudus dan

beberapa ratus meter dari pasar Kudus Lama.

Alhasil didapat kesimpulan zooning Menara Kudus adalah daerah utama

pusat kota kompleks yang menempati wilayah aktifitas manusia.

Tampaknya jelas bahwa perancang (designer) memilih daerah yang

strategis dan menonjol.

c. Prosesi

Yang dimaksud dengan prosesi teknik bangunan menara adalah proses

pencapaian menuju ke lokasi yang dimaksud. Untuk maksud tersebut

dapat melalui gapura bentar (A), gapura kori Agung (B), atau dari pintu

kampung (C). Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada lampiran. Memang

dalam hal ini, proses teknik bangunan menara tidak mengikuti secara

menyeluruh tata cara pencapaian dari luar kompleks ke dalam kompleks

xc

secara filosofis, seperti halnya pada kompleks bangunan pura dan

bangunan Hindu lainnya yang mempunyai tata aturan untuk prosesi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa prosesi Menara Kudus tidak mengenal

aturan secara khusus. Dengan kata lain, orang dapat mencapai lokasi

secara bebas melalui tempat-tempat yang tersedia. Dari sini tampak

bahwa, rancangan yang dibuat sedemikian rupa seakan-akan menyerupai

prosesi bangunan Hindu.

d. Komposisi

Tata letak bangunan Menara Kudus serta bangunan lain pada kompleks

masjid, dikelilingi oleh tembok penyekat serta dilengkapi dengan gapura

Bentar dan kori Agung. Susunan ini menjadikan komposisi massa-massa

bangunan menjadi menarik, dan mengingatkan kita kepada kompleks

bangunan pura di Bali. Memang kalau dilihat dari segi tata letak, seolah-

olah komposisi bangunan tersebut mengikuti aturan-aturan jarak

sebagaimana dibentuk dalam arsitektur Hindu, tetapi sebenarnya hal ini

merupakan taktis perancang untuk tidak melupakan pedoman-pedoman

arsitektur pra Islam. Tentu saja tujuannya menarik massa, sekaligus

memperlihatkan Islam datang dengan jalan damai tanpa merusak

kebudayaan-kebudayaan sebelumnya.

Jadi kesimpulannya bahwa pokok-pokok pembentukan komposisi dalam

teknik bangunan Menara Kudus adalah tembok-tembok penyekat, massa-

massa bangunan lain serta tanaman halaman. Di mana penyekat

memberikan kesan keseluruhan isi yang terkurung, serta memisahkan

xci

dengan tegas antara ruang halaman utama dengan halaman luar.

Sedangkan massa bangunan lain seperti masjid sebagai bangunan utama,

bale tajuk dan pemakaman merupakan bagian yang memberikan kesan

dalam kompleks. Tumbuh-tumbuhan memang tak tergolong bangunan,

peranan tanaman halaman memberikan arti penting yang menurut

kepercayaan lama mempunyai arti magis.

e. Dimensi

Dalam kehidupan dunia, manusia berusaha menyelaraskan benda-benda

bumi dengan alam, sehingga perwujudan-perwujudan buatan manusia

adalah skala diri dan lingkungannya. Demikianlah dalam teknik bangunan

menara masjid, dimensinya adalah proporsi manusia dari bagian-bagian

dirinya untuk menentukan jarak (seperti langkah kaki, rentangan tangan

dan sebagainya).

Suatu keistimewaan dalam dimensni arsitek Menara Kudus, adalah nilai

filosofis pada setiap ukuran. Ukuran yang tak mungkin diterjemahkan ke

dalam dimensi meter dan satuan-satuan lainnya, seperti dimensni atap

tumpang bertingkat dua. Bentuk semacam ini juga terdapat pada dimensi

tradisional bangunan-bangunan meru di Bali.

Dimensi arsitektural suatu bangunan sangat dipengaruhi tata hias

ornamen. Pengaruh ornamen pada dimensi ini juga tampak pada bangunan

Menara Kudus, akibatnya sifat kekunoan menghilang. Memang dari

keindahan proporsi dan tuntutan ekonomis praktis hal ini dapat diterima,

namun nilai-nilai spiritual telah ditinggalkan. Tentunya nilai keasliannya

xcii

semakin dilupakan, sehingga nilai religius abstrak terdesak oleh pola

berfikir materialis konkrit.

f. Material

Menara Kudus, tampaknya cenderung memiliki material yang diperoleh

dari daerah setempat (lokal). Material tersebut rupanya telah dikerjakan

secara fabricated (pabrik khusus). Seperti batu bata merah untuk bahan

pondasi dan ragawi menara. Dimensi batu-batu yang dipakai lebar 15 cm

dan panjang antara 25-28 cm. Material lain dipakai adalah kayu jati

sebagai atap di mana pengerjaannya dilakukan secara gotong royong.

Namun adanya pengaruh material-material industri, mengakibatkan

kecenderungan baru serta sifat-sifat kompetisi yang selalu menyertai

individu-individu, menyebabkan pemakaian material tambahan hasil

industri, misalnya pemakaian tegel pada kontruksi tangga dan ruangan

kecil di badan menara. Hal ini jelas menunjukkan pemakaian bahan-bahan

tradisional telah ditinggalkan dan beralih ke pemakaian bahan hasil

industri. Dampak lain dari pengaruh industri adalah adanya

kecenderungan baru dan sifat-sifat kompetisi yang selalu menyertai

individu-individu.

g. Konstruksi

Tuntutan struktur menghendaki susunan material memenuhi persyaratan

konstruksi, dengan atap memperhatikan karakter dan estetika serta logika

yang didasari filosofis religius.

xciii

Teknik kontruksi pada bangunan menara ini, merupakan konstruksi

sederhana. Material yang disusun membentuk konstruksi dengan

memperhatikan karakter alamiah materialnya, dengan jelas

memperhatikan elemen-elemen kontruksi yang berfungsi ganda. Selain

ornamen yang menyelaraskan teknik konstruksi dengan keindahan

aktivitas yang diwadahinya, juga berfungsui menahan gaya-gaya akibat

berat sendiri dengan gaya-gaya luar seperti beban angin, gempa, dan orang

bebas.

1) Pondasi. Dinding tembok dan pilar yang merupakan tumpuan dari

bangunan, tak dapat didirikan begitu saja di atas tanah. Lapis tanah

bagian atas umumnya lunak. Agar didapat keseimbangan antara

beban dengan gaya dukung tanah setempat, dasar tembok harus di

perdalam serta diperlebar. Bagian inilah yang disebut pondasi. Fungsi

pondasi adalah untuk menyalurkan bobot bangunan serta memberi

kekuatan melalui luas yang lebih besar pada seluruh dasarnya.

Besarnya pondasi bertalian erat dengan susunan, sifat daya dukung

tanah dan keadaan di sekitar bangunan. Untuk Menara Kudus, pondasi

harus menahan beban atap (pondasi ragawi bangunan menara, atap

dan angin) dan beban tak tetap (orang dan benda-benda lainnya).

Berdasarkan data yang didapat dari Berita Penelitian Artkeologi No.

14 tahun 1978, tampak bahwa material pondasi Menara Kudus adalah

batu bata merah. Ketebalannya rata-rata 5 cm, sedangkan dimensi

panjang bervariasi antara 25 dan 28 cm, lebarnya rata-rata 15 cm.

xciv

Kontruksi teknik pondasi pada bangunan ini, merupakan pondasi

langsung di atas tanah padat yang mengeras. Kontruksi pondasi itu

sendiri tersusun dari pasangan batu bata dengan hubungan silang.

Tampaknya antara tiap lapisan bata terdapat perekat, namun hal ini

besar kemungkinan merupakan kumpulan atau larutan dari tanah yang

mengendap. Ketinggian dari pondasi terhadap permukaan tanah lebih

dari 167 cm.

2) Ragawi. Secara umum ragawi Menara Kudus terbagi menjadi

beberapa bagian, terdir atas : a) Bagian kaki; b) Bagian tubuh menara;

c) Bagian puncak. Secara teknis kaki menara dapat dijabarkan lagi

menjadi dua bagian yaitu : tumpuan (Soubasement) dan Basement.

3) Denah. Tumpuan atau soubasement mempunyai dimensi sisi sebelah

utara dan selatan 10,475 m, sisi sebelah timur dan barat 10,60 m.

Tinggi tumpuan lebih kurang 1,30 m. Sedangkan denah kaki menara,

berbentuk bujur sangkar dengan dimensi 9,50 m. Badan menara yang

terletak di atas kaki menara, berdenah dengan dimensi setiap sisinya

6,30 m. Pada sisi sebelah barat (bagian muka menara), terdapat tiga

buah penampil yang menjorok ke depan hanya 0,50 m dari denah

pokok, satu di depan yang lain. Lebar penampil pertama 3,75 m,

penampil kedua 3,25 m. Penampil ketiga menjorok ke depan sampai

4,55 m dari penampil kedua, sedangkan lebar penampil ini 2,75 m.

Tembok pada kiri dan kanan penampil merupakan sayap tangga

lebarnya sama dengan 0,55 m. Antara denah kaki dan badan menara

xcv

terdapat teras/atau pelataran yang biasa disebut selasar. Selasar yang

mengelilingi badan menara ini, mempunyai lebar rata-rata 1,60 m.

Bagian ini merupakan akhir dari tangga pertama (bordes) yang

menanjak dari tumpuan menara. Di sisi barat pada badan menara

terdapat pula candi sudut penghias konstruksi tangga yang menuju ke

bilik badan menara. Posisi candi sudut ini sejajar dengan canndi sudut

pada kaki menara. Pada akhir tangga, terdapat pintu bilik badan

menara. Dengan kata lain bilik ini merupakan bordes yang kedua.

Alasannya, karena dari bagian ini masih ada tangga yang menuju ke

puncak.

a) Tumpuan atau Soubasement. Tumpuan yang merupakan alas

bangunan ini, berfungsi menyalurkan semua beban bangunan yang

di atasnya ke pondasi. Bagian ini terdiri material batu bata merah,

sama seperti material pada pondasi. Sedangkan teknik konstruksi

pemasangan susunan batu batanya menggunakan ikatan silang.

Secara konstruktif memang jenis ikatan ini menguntungkan,

karena menghasilkan silang kait antara lapisan batu bata yang

menambah kekuatan konstruksi. Yang menakjubkan dari kontruksi

ini, antara lain tiap lapisan batu bata tidak menggunakan tanah

perekat. Tidak digunakannya perekat, dapat ditelusuri dari

beberapa teori di bawah ini : teori pertama, menyatakan bahwa

penyusunan batu bata tersebut dengan sistim menggosok-gosok,

sehingga terjelma suatu rekatan yang luar biasa; teori kedua

xcvi

menyebutkan bahwa awalnya batu bata disusun sedemikian rupa,

menjadi wujud sebuah menara. Setelah itu barulah dibakar secara

keseluruhan, sehingga menumbuhkan daya rekat. Itulah sebabnya

ada beberapa bagian yang kurang kuat, diduga bagian yang aus

tersebut pembakarannya kurang sempurna. Teori pertama selama

ini memang dianggap kuat, namun kedua teori tersebut ditolak

oleh Drs. Hasan Muarif Ambari, Arkeolog yang meraih gelar

Doktor di Perancis mengatakan : “melihat bentuk bata merah yang

berlainan ukuran itu, jelas pada saat menara akan dibangun sudah

ada pabrik batu bata merah spesial. Hipotesa terakhir ini bisa jadi

benar. Karena dari data hasil penggalian yang dilakukan suatu tim

gabungan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Universitas

Indonesia dan Universitas Gajah Mada, ternyata ditemukan hal-hal

baru yang berhubungan dengan bentuk dan ukuran batu bata

merah. Pada bagian badan sebelah timur, memang ada suatu

kontruksi dengan dimensi material yang khas. Kekhasan yang

tidak mungkin kalau pada saatnya dibuat satu cetakan khusus oleh

pabrik.

b) Basement. Basement ini bertumpu di atas soubasement. Secara

teknis basement menara dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni :

kaki basement, badan basement, dan puncak basement. Kaki

basement, merupakan bagian yang tersusun dari empat buah lis

mendatar. Lis yang terbawah merupakan lis/atau pelipit yang

xcvii

terlebar, lis ini di atasnya memiliki lebar yang sama, namun makin

ke atas makin menyempit. Badan basement bagian bawah terdapat

tiga buah pelipit yang tersusun menjadi satu, bagian tengahnya

merupakan bagian yang menonjol. Di dalam arsitektur klasik

bentuk lis semacam ini disebut pattika terpenggal. Sedangkan

puncak basement terjadi dari beberapa susunan perbiraian yang

makin ke atas makin melebar sehingga menonjol keluar. Sebagai

penyangga/batas antara basement bagian tengah dan bagian atas,

terdapat sebuah komposisi pelipit yang tersusun tiga buah pattika

terpenggal. Bagian teratas dari basement ini, sekarang telah

dilapisi dengan regel agar tidak mudah rusak akibat gangguan dari

luar. Sisi barat basement bentuknya tidak sama dengan ketiga sisi

lain yang telah diuraikan sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya

kontruksi tangga menara yang menjorok ke luar. Kontruksi tangga

rupanya membelah dua bagian barat, mempunyai buah bidang

tegak yang makin mendekati tangga makin sempit. Seluruh pelipit

yang terdapat pada bagian basement berbentuk pilipit mistar

yakni pelipit yang berpenampang persegi ganda, di samping

sebagai hiasan juga berfungsi sebagai penguat yakni menahan

semua beban-beban yang berkerja padanya. Konstruksi semacam

ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan candi. Seluruh

bagian pada basement, menggunakan material yang merupakan

xcviii

pasangan batu bata merah tanpa perekat. Teknik konstruksi

pengerjaannya tidak berbeda dengan bagian-bagian sebelumnya.

c) Tubuh Menara. Secara teknis tubuh menara dapat dipecah menjadi

tiga bagian : tubuh menara bagian bawah, tubuh menara bagian

tengah, tubuh menara bagian atas. Tubuh menara bagian bawah

(upapita dalam arsitektur klasik) merupakan sebuah pelipit besar

dan tinggi yang dibagi dua oleh sebuah bingkai tebal. Bingkai ini

menimbulkan kesan seakan-akan badan menara mempunyai kaki

kedua yang tersusun. Pada bagian kedua yang merupakan atas dan

bawah berisi hiasan. Kalau diperhatikan, tampak bentuk kaki

sebelah bawah bingkai tadi seperti basement (selasar). Hanya saja

dimensi dan hiasannya berbeda. Sisi barat bagian atas dibagi

menjadi dua bagian oleh konstruksi tangga. Di sudut dalam,

terdapat candi sudut. Tubuh menara bagian tengah berbentuk

persegi, tampak tinggi dan ramping. Di tengahnya terdapat lis

band yang membagi dua tubuh menara. Sisi utara, timur, dan

selatan, terdapat relung-relung kosong. Dalam bangunan Hindu,

relung ini berisi relief patung dan sebagainya,. Pada bagian ini

juga terdapat sebuah ruangan sempit /bilik yang sempit dan tinggi.

Dimensinya 1,40 m X 0,85 m X 4,65 m, sedangkan tebalnya

tembok lebih dari 1,00 m. Pintu masuk ruangan ini terbuat dari

kayu jati dilengkapi dua buah pintu tinggi 1,35 m dan lebar 0,85

m. Pada kanan dan kiri pintu terdapat candi sudut. Seluruh model

xcix

candi sudut ini merupakan tiruan bentuk asli menara kudus. Oleh

karena itu berdasarkan candi sudut tersebut, dapat direkonstruksi

seluruh bangunan menara andaikata bangunan tersebut mengalami

kerusakan. Di dalam bilik ini juga terdapat konstruksi tangga yang

terbuat dari kayu jati. Tangga tersebut diletakkan di tengah-tengah

ruangan hampir tegak lurus menuju ke puncak menara. Pada

tangga ini terdapat inskripsi yang menunjukkan angka tahun 1313

H. Angka ini merupakan tahun peringatan penggantian tangga

baru. Tubuh Menara Kudus bagian atas terdiri susunan pelipit-

pelipit mendatar yang kian ke atas kian panjang dan melebar.

Susunan tersebut dibuat sedemikian rupa untuk mengimbangi

susunan pelipit-pelipit pada badan menara bagian bawah. Pelipit

teratas merupakan pelipit puncak, yakni pelipit tebal (lis/birai)

yang berfungsi sebagai penutup seluruh pembiraian bangunan

Menara Kudus. Mengenai dimensi ukuran seluruh bagian tubuh

menara, akan lebih jelas dengan memperhatikan gambar terlampir

mengenai tampak dan irisan. Material yang dipakai, secara teknik

konstruksi yang ditetapkan, sama halnya dengan bagian

sebelumnya.

d) Konstruksi Tangga. Konstruksi tangga yang terdapat pada menara

kudus, bila ditinjau dari segi material dan bentuk, dapat

diklasifikasikan menjadi dua bagian : (1) Tangga batu bata yang

berbentuk tusuk lurus dengan bordes. Tangga ini menghubungkan

c

bagian soubasement serta tubuh menara; (2) Tangga kayu yang

berbentuk tusuk lurus yang terdapat pada ruangan sempit

berfungsi menghubungkan bagian tubuh dengan puncak menara.

Tangga klasifikasi pertama, tersusun dari material batu bata dan

terdiri dari 32 anak tangga atau trede, dilapisi dengan tegel. Kiri

kanan tangga, dibuat boom (dinding penutup/sayap tangga) yang

tidak berhias. Konstruksi seperti ini terdapat juga pada candi jago,

penataran, dan pencandian penagungan. Dimensi aantrede dan

optrede dari tangga tersebut adalah 0,26 x 0,26 m. Jadi tangga ini

mempunyai kemiringan 45 o. Tangga ini agak menyempit setelah

melewati borders/selaras. Tipe tangga klasifikasi kedua, tersusun

dari material kayu jati. Tangga ini hampir tegak lurus pada lantai,

seperti tangga darurat atau pun tangga untuk menara air.

Konstruksi tangganya, terdiri dari beberapa trede berbentuk

hampir bujur sangkar, dihubungkan dengan pegangan/sandaran

dengan sambungan pen dan lobang. Sambungan tersebut saat ini

diperkuat pula dengan plat besi baja.

e) Puncak Menara. Dengan menaiki tangga kayu yang terdapat pada

ruangan kecil di badan menara, maka akan sampai di puncak

menara. Ruangan yang mirip pendapa ini, berlantaikan papan

dengan lebar 18 cm. Dinaungi oleh atap tumpang bertingkat dua,

yang ditutup dengan atap sirap dan diberi hiasan. Dahulu sebelum

ada pemugaran, penutup atap terbuat dari genting dengan hiasan

ci

mustaka/memolo bercat putih dan hiasan berduri. Namun

sekarang, hiasan itu diganti dengan kaligrafi bundar yang

bertuliskan Asma Allah. Atap itu sendiri ditopang empat saka

pokok, dikelilingi balok dimensi 5/20 cm di dasarnya, dan 16

saka-saka samping yang dikelilingi oleh balok 6/20 cm di

dasarnya. Tiang-tiang tersebut bertumpu masuk pada lantai papan

berlapis. Diantara dua tiang sebelah timur, sekarang dipasang

hiasan arloji bundar yang cukup besar serta beberapa pengeras

suara. Pada salah satu balok pengerat terdapat inskripsi yang

ditulis dengan huruf dan bahasa Jawa bunyinya Gapura rusak

ewahing jagad. Jagad-1, ewah-6, rusak-0, gapura-9; kalimat

seluruhnya menunjukkan tahun Jawa 1609 atau 1685 M.

Menurut J. Knebel inskripsi tersebut berbunyi : Gaphoera sak

owah ing jagad wong ngaroengoe. Namun angka tahun yang

diterjemahkan olehnya sama, dengan yang telah diuraikan

sebelumnya. Adapun penetapan angka tersebut, menunjukkan

bahwa bagian atap menara pernah mengalami perbaikan. Yang

menarik, inskripsi ini menimbulkan perdebatan. Prof. Dr. Sutjipto

Wirjosuparto menolak hipotesa Bernet Kempers yang menyatakan

bahwa Menara Kudus tadinya tak beratap, atap yang sekarang

merupakan tambahan kemudian. Di bawah atap menara,

tergantung sebuah bedug berdiameter lebih kurang 88 cm dan

panjang 140 cm. Kedudukannya menghadap arah ke utara selatan.

cii

Di samping bedug, tergantung pula sebuah kentong kayu. Kedua

benda ini dibunyikan pada saat adzan akan diserukan sebagai

isyarat memanggil umat untuk bersholat. Penempatan bedug

tersebut memang agak janggal, sebab biasanya bedug diletakkan

pada serambi masjid. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika

G.F. Pijper menghubungkan menara kudus dengan bale kulkul di

Bali. Dengan itu, Pijper juga menyimpulkan bahwa Menara Kudus

bukanlah menara. Duduk persoalannya sekarang, adalah apakah

pendapat itu benar atau tidak. Ditilik dari segi fungsi memang

antara Menara Kudus dengan bale kulkul kebetulan memiliki

fungsi sama yaitu sebagai isyarat memanggil manusia. Namun,

rupanya Pijper tidak meninjau lebih jauh bahwasanya pengaturan

penempatan beduk di serambi masjid seperti yang dikatakan, sama

sekali tidak ada dalam ajaran Islam. Tidak ada satu ayat pun dalam

Al-Qur’an maupun sunnah Rosul yang mengatur hal tersebut.

Kalau dilihat dari segi konstruktif, jelas bagian tersebut tidak

menahan bagian lain dari konstruksi atap kecuali beduk. Dari segi

estetika justru menimbulkan kesan tanpa penggantung itu pin

dirasakan leih indah. Pijper agaknya hanya melihat dari kaca mata

kebiasaan tata letak beduk di masjid. Dengan demikian dapatlah

dikatakan bahwa Islam tidak mempermasalahkan tata letak beduk,

di mana pun diletakkan tidak menjadi soal. Malahan dengan

diletakkannya beduk dan kentongan kayu secara bersama,

ciii

memperlihatkan betapa Islam dalam misinya yang damai tidak

menghilangkan tradisi lama. Dan, Menara Kudus tetap merupakan

tempat adzan yang dirancang menyerupaib candi maupun bale

kulkul di Bali. Hal ini tidak lain merupakan taktik dakwah Islam

dalam mengembangkan sayap. Kontruksi atap tumbang dua

tingkat yang menjadi penutup menara, secara teknis termasuk jenis

atap jurai yang terdiri dari jurai luar (bentuk limas) dan jurai

dalam (limas terpancung). Jurai luar terbentuk dari satu saka tegak

lurus dua balok horizontal (bersilang) satu sama lain dihubungkan

dengan sambungan pen lubang yang diperkuat dengan pasak. Saka

tadi merupakan sumbu bagi jurai, dan sebagai tumpuan dari

rangka-rangka jurai (bubungan). Sedangkan tumpuan bawah dari

rangka-rangka jurai tadi berupa empat pelangri yang saling

menyiku. Pelangi ini juga menjadi tumpuan dari dua balok silang

horizontal di atas. Di atas rangka-rangka jurai tadi dipasang reng-

reng yang akan menjadi tempat kedudukan sirap penutup. Jenis

alat sambung yang digunakan pada konstruksi ini adalah paku.

Pelangri-pelangri di atas dibentuk karena ditopang oleh empat

saka pokok dan siku-siku penguat. Pada saka ini, di bawah serta

yang sejajar dengan pelangri, juga bertumpu empat balok sunduk

yang merupakan atas rangka-rangka jurai limasan terpacung.

Sedangkan tumpuan bawahnya berupa pelangri yang ditopang

pada empat saka sudut di antara 16 saka yang terpasang

civ

mengelilingi pinggir pendapa. Perlu diketahui bahwa pada

konstruksi di atas, ada juga dipakai penguat dari besi baja pada

bagian-bagian tertentu. Bentuk atap tumpang dua tingkat memang

sukup menarik. Berikut ini sebetulnya sudah lama dikenal sejak

zaman pra islam, kini masih lazim didapat di Bali. Namanya meru,

digunakan untuk mengatapi bangunan-bangunan ssuci di dalam

pure. Islam agak memihak ganjil dalam jumlah tingkat atap seperti

satu, tiga, atau lima demikian kata Nicolaus de Graaf yang di kutip

oleh G.F. Pijper dalam bukunya Minaret of Java. Kedua tingkat

pada atap menara cukup mengundang pertanyaan bagi penulis.

Sebab kalau kita layangkan pandangan ke arah masjid kudus yang

berada di sebelah menara, tampak tiga tingkatan atap tumpang

sebagai penutup. Apakah perbedaan ini mempunyai arti bahwa

masjid merupakan bangunan utama sedangkan menara merupakan

bagian dari masjid. Secara fisik bangunan, pemikiran di atas

mungkin benar. Namun masih ada nilai-nilai filosofi yang tersirat.

Bahwasanya dua tingkat atap menara mempunyai makna

Syahadatain (dua kalimat syahadat). Hal ini menunjukkan syarat

pertama yang harus dipenuhi bagi orang Islam yakni

mengucapkan, menyakini dan mengamalkan kalimat Asyhadu anla

ilaha ilallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (aku

bersaksi hanya Allah Tuhan itu dan Muhammad adalah utusan-

Nya). Dengan filosofi ini tampak adanya tendensi awal untuk

cv

mengislamkan yang masih beragama Hindu. Jika dijabarkan lebih

jauh lagi, ada kesan bahwa dua tingkatan pada atap merupakan

pelengkap dari struktur empat tingkat pada atap merupakan

pelengkap dari struktur empat tingkat di bawahnya (ragawi

menara-kaki; tubuh bagian bawah;tubuh bagian tengah; tubuh

bagian atas). Sehingga semua tingkat tersebut berjumlah enam

tingkat, dan saling berkaitan menjadi satu kesatuan yang utuh dan

bernilai luhur berupa Rukun Iman. Hal ini menunjukkan fase

kedua yang harus segera dijalankan bagi masyarakat yang baru

memeluk Islam untuk meyakini adanya Allah SWT, kitab-kitab

suci ciptaan-Nya, Malaikat-Malaikat-Nya, Rosul-Rosul-Nya, Qada

dan Qadar serta hari akhir. Dengan filosofi ini tampak adanya

tendensi untuk menanamkan dasar-dasar ajaran Islam yang kokoh

pada pemeluk Islam. Dengan demikian diharapkan akan tumbuh

suatu rasa kepercayaan yang mendalam terhadap agama yang baru

mereka anut. Andaikata tingkatan-tingkatan tadi disederhanakan

lagi, akan tampak bahwasanya nilai filosofi yang berbentuk dari

kesatuan dua tingkatan atap dengan tiga tingkatan ragawi menara

(kaki; tubuh; puncak) merupakan perlambang dari Rukun Islam

dan Hukum Islam (Ahkam al Khamsa). Setelah para pemeluk

agama Islam mempunyai pondasi yang kokoh berupa iman, maka

fase berikut yang harus mereka sempurnakan sebagai syarat untuk

mendapat predikat muslim yakni : (1) Mengucapkan dua kalimat

cvi

syahadat; (2) Mengerjakan sholat; (3) Mengeluarkan zakat; (4)

Mengerjakan ibadah haji bagi yang mampu; (5) Puasa bulan

ramadhan. Predikat muslim dan mukmin telah mereka dapat,

selanjutnya mereka harus mengetahui hukum/norma-norma

perkara yang mereka laksanakan. Istilah ini dalam Islam dikenal

dengan sebutan Ahkam al Khamsa yakni : wajib, sunnah, haram,

makruh, dan mubah. Analisa filosofi ragawi menara telah

diuraikan di muka. Dari analisa-analisa di atas, terlihat betapa

agung nilai-nilai filosofi yang terkandung pada bangunan Menara

Masjid Kudus. Bertolak dari hal tersebut, tercermin sifat elastis

serta fleksibelitas perancang dalam mengadaptasi rancangannya

dengan lingkungan setempat, sehingga secara secara tak disadari

mereka telah diperkenalkan dengan agama baru yang agung yakni

Islam.

f) Ritual. Ajaran Islam secara utuh memang tidak mengatur segi-segi

ritual dalam pelaksanaan teknik bangunan. Namun telah dikenal

istilah hari baik serta upacara-upacara lain yang diterapkan pada

awal dan akhir pelaksanaan teknik bangunan. Menara Kudus

sebagai tempat untuk menabuh kentongan beduk serta tempat

untuk adzan, kemungkinan besar masih menerapkan segi-segi

ritual dalam pelaksanaan teknik bangunan. Namun melihat pribadi

Sunan Kudus, jelas segi-segi yang dilaksanakan bukanlah segi-

segi yang akan merusak akidah Islam.

cvii

h. Ornamen

Tata seni rupa dan arsitektur Islam, memang tidak lepas dari pengaruh

perkembangan agama dan tata kehidupan masyarakat setempat. Kalau kita

ingat arsitektur mengandung pengertian pembagian tata ruang untuk

keperluan penghidupan dan kehidupan manusia tempat tinggal

beristirahat, bekerja dan lain sebagainya, dapatlah dimengerti bahwa

pembagian tata ruang tersebut disesuaikan dengan kebutuhan hidup dan

pandangan filsafatnya. Dan pandangan hidup manusia ini tidak terlepas

dari sekitarnya.

Seni bangunan dan ornamen Menara Kudus tidak lepas dari filsafat

keagamaan Islam, tata kehidupan masyarakat, kelompok masyarakat serta

keselarasan, keharmonisan dari alam, manusia dan hubungannya dengan

pencipta (Tuhan) merupakan syarat pokok dalam penentuan dasar-dasar

arsitektur dan kegunaan ornamen di dalamnya.

Bangunan sejenis menara dalam zaman pra Islam, pembagian tingkatan,

serta adanya ornamen, patung, merupakan syarat mutlak sesuai dengan

tata aturan yang berlaku pada agama Hindu. Tata ornamen dalam Islam

memang ada disebut baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Pada

dasarnya, Islam tidak melarang keindahan. Kalau kita analisa Al-Qur’an,

Surat 7 : 31 –33. ternyata Allah menyuruh kita untuk berpakaian yang

indah setiap masjid, makan dan minum namun jangan berlebihan (31).

Lalu pada ayat selanjutnya rangkuman yang didapat ialah Allah tidak

mengharamkan perhiasan, dan menyediakan rezeki yang baik bagi orang-

cviii

orang yang beriman maupun yang tidak. Kemudian pada ayat 33 Allah

lebih memperjelas bahwasanya diharamkan perbuatan keji serta perbuatan

yang mempersekutukan-Nya dengan orang lain. Disamping itu kalau kita

perhatikan sunnah Rasulullah SAW, yang termaktub dalam mukadimah

Ibnu Khaldum dikatakan sesungguhnya Tuhan itu Maha Indah, ia

mengasihi keindahan.

Folklor Masjid Al-Aqso atau Al-Manar berkaitan dengan pendirian

Masjid ini. Masjid Al-Aqso didirikan pada tahun 956 H atau bertepatan

dengan tahun 1549 M. Hal ini didasarkan pada batu bertulis yang bertuliskan

bahasa Arab. Ukuran batu bertulis ini panjangnya 46 cm dan lebar 30 cm.

Batu ini konon berasal dari Baitulmakdis (Al-Quds) di Yeruzalem (Darus-

Salam) Palestina dan kata Al-Quds kemudian menjadi kudus yang artinya suci

dan dijadikan nama daerah di sekitar pendirian masjid.

Bagian selatan masjid terdapat kolam padasan yang dilengkapi dengan

8 buah pancuran dengan kepala arca Kebo Gumarang yang dikenal dengan

“Astasanghi-Kamarga” atau delapan jalan mencapai kebenaran yaitu

pengetahuan yang benar, keputusan yang benar, perkataan yang benar,

perbuatan yang benar, cara penghidupan yang benar, meditasi yang benar, dan

comtemplasi yang benar. Masjid dilengkapi dengan Mihrab, Mustaka yang

terbuat dari emas 24 karat yang beratnya 3 kg. dan dilengkapi dengan dua

bendera yang terdapat di kanan kiri mimbar bendera tersebut berwarna hijau

tua dan kuning keemasan sebagai lambang kebesaran dari Sunan Kudus.

cix

Komplek-komplek makam Sunan Kudus terbagi-bagi dalam beberapa

blok, dan tiap blok merupakan bagian tersendiri dari hubungannya terhadap

Kanjeng Sunan. Ada blok para putera dan puteri Kanjeng Sunan, ada blok

para Panglima perang dan blok paling besar adalah makam Kanjeng Sunan

sendiri. Uniknya adalah semua pintu penghubung antarblok berbentuk gapura

candi-candi. Tembok-tembok yang mengitarinya pun dari bata merah yang

disusun berjenjang, ada yang menjorok ke dalam dan ke luar seperti layaknya

bangunan candi. Panorama yang nampak adalah kompleks pemakaman Islam

namun bercorak Hindu.

Kompleks permakaman di belakang masjid Sunan Kudus ramai oleh

orang-orang yang berdoa mencari berkah. Terlepas dari tuah-tuah itu,

memanjatkan doa untuk sang leluhur memang sangat dianjurkan. Lantai

bersih mengilat di sekeliling makam utama. Kelambu dan kain luwur masih

berwarna putih bersih. Setiap tanggal 10 Syuro, kain luwur itu diganti. Kain

yang lama biasanya menjadi rebutan karena dipercaya mendatangkan rizki

bila disimpan.

Folklor Buka Luwur yaitu memperingati khoul dan sekaligus

mengganti selambu makam (kain mori) yang dilaksanakan pada tanggal 10

Muharram (Suro). Pada acara buka luwur itu dilakasanakan kenduri dengan

beribu-ribu berkat yang dibagikan kepada pengunjung. Berkat yang dibungkus

dengan memakai daun jati ini diyakini dapat memberikan berkah. Sedangkan

kain luwurnya dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat terhindar dari

mara bahaya dan sebagai tolak balak.

cx

Folklor tradisi Dhandangan yang dilaksanakan menjelang memasuki

bulan puasa. Dandangan ini dilakukan untuk memberikan tanda dan jawaban

kepada masyarakat Kudus yang hendak menjalani ibadah puasa. Dengan

ditabuhnya bedug atau Dandangan maka berarti keesokan harinya sudah

menjalankan ibadah puasa.

2. Makna filosofis yang terkandung dalam folklor tentang Masjid, Menara

dan Makam Sunan Kudus

Berdasarkan penuturan Djupriyono, folklor tentang Masjid, Menara

dan Makam Sunan Kudus terdapat makna-makna filosofis yang mengandung

nilai-nilai paedagogis (nilai-nilai moral) sehingga digunakan sebagai bahan

pengayaan materi pembelajaran sejarah di MA NU Banat Kudus meliputi :

ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Di bidang idiologi folklor situs Menara Kudus dapat memberikan nilai

paedagogis keagamaan bagi siswa untuk meningkatkan derajat ketaqwaan

kepada Allah SWT. Dengan memanfaatkan folklor M3SK sebagai materi

pengayaan sejarah maka sekolah, guru dan siswa dapat turut serta

melestarikan situs tersebut untuk syiar Islam.

Dalam bidang politik, MA NU Banat Kudus dapat memberikan

kepercayaan kepada masyarakat tentang konsistensinya dalam turut serta

mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai yang terkandung dalam Menara

Kudus dan menjadikannya sebagai salah satu simbol dan identitas Banat

cxi

sebagai salah satu sekolah yang berdiri, tumbuh, berkembang dan mencapai

kemajuan yang pesat karena lokasinya berada di sekitar Menara Kudus.

Dalam bidang ekonomi, nilai-nilai yang hendak ditanamkan kepada

siswa melalui pemanfaatan folklor M3SK dalam pengayaan pembelajaran

sejarah adalah semangat dan etos kerja siswa. Karena di kompleks M3SK,

setiap hari ribuan lebih pengunjung datang berziarah baik dari lokal Kudus,

luar kota, bahkan dari manca negara, dapat memberikan inspirasi bagi siswi-

siswi untuk mengembangkan kegiatan ekonomi seperti produksi barang-

barang untuk keperluan para pengunjung Menara dan makam Sunan Kudus

misalnya : pakaian muslim, asesories, bordir, oleh-oleh khas Kudus, alat

keperluan ritual, perdagangan, jasa pertokoan, jasa transportasi, jasa warung

makan dan sebagainya.

Dalam bidang sosial, melalui pemanfaatan folklor situs purbakala

Menara Kudus sebagai pengayaan pembelajaran sejarah dapat memberikan

nilai-nilai sosial kepada siswa. Karena di lokasi Menara Kudus setiap hari

dikunjungi oleh para pengunjung untuk keperluan wisata ritual, banyaknya

pengunjung inilah maka terdapat kegiatan sosial seperti adanya kerjasama

antara pengelola seperti juru kunci dan petugas makam dalam melayani para

pengunjung dalam melaksanakan ritual, akomodasi, dan memberikan jasa

pelayanan gaet untuk menerangkan kompleks Menara Kudus, kerjasama

dengan para tukang jasa, dan petugas kebersihan, serta dalam waktu-waktu

tertentu di Menara Kudus terdapat upacara ritual seperti penjasaman keris

cxii

Ciptoko/ Cintoko yang diadakan pada bulan dzulhijah dan khoul Sunan Kudus

setiap tanggal 10 Muharram.

Dengan adanya kegiatan tersebut maka dapat diambil suatu nilai-nilai

sosial yaitu adanya kegotong royongan, kerjasama antara pengurus yayasan

Menara Kudus dengan masyarakat sekitar serta sekolah-sekolah yang ada di

sekitar Menara Kudus membantu dan berpartisipasi dalam mensukseskan

kegiatan tersebut. Salah satunya adalah penentuan jadwal khusus bagi

madrasah untuk berziarah di makam Sunan Kudus.

Di bidang budaya, yang nilai-nilai yang hendak ditanamkan kepada

siswa adalah memberikan apresiasi tentang budaya leluhur yang patut

dilestarikan, dipertahankan dan dikembangkan demi syiar Islam. Menara

Kudus sebagai salah satu simbol kebesaran dan kejayaan Islam di masa

lampau patut ditelusuri dan digali secara terus menerus karena memiliki nilai

paedagogis yang patut ditanamkan kepada siswa sehingga dalam dirinya

timbul jiwa patriotisme terhadap bangsa, negara serta agamanya.

Menurut guru sejarah MA NU Banat Kudus Swidarto, folklor Menara

Kudus mengandung makna-makna filosofis sehingga dapat digunakan sebagai

bahan pengayaan materi pembelajaran sejarah di MA NU Banat Kudus.

Makna filosofis folklor Menara Kudus ini diwujudkan dari arsitektur Menara

Kudus yaitu sebagai berikut :

a. Tata ruang

Tata ruang bangunan Menara Kudus dikaitkan dengan letak bangunan

yang ada di dalam kompleks masjid Menara Kudus. Di dalam pola

cxiii

arsitektur Islam, tidak ada aturan mengenai tata letak, baik menyangkut

bangunan peribadatan maupun bangunan suci lainnya. Namun semua itu

bukan tanpa keseragaman sama sekali, tetapi tetap memegang aturan

permainan bahwa tempat peribadatan seperti masjid dan makam dirancang

sedemikian rupa menghadap ke arah kiblat. Jadi masing-masing bangunan

memiliki tata letak sendiri-sendiri berdasarkan fungsi darinya. Namun

kenyataannya tata letak pola arsitektur kompleks masjid di Indonesia

umumnya berbeda hal ini dipengaruhi oleh faktor geografis, faktor adat

istiadat, faktor kelentukan atau fleksibilitas, yakni tata letak itu

mempunyai dimensi yang berlainan pula baik besar sedang maupun kecil

dan perkembangan arsitektur zaman Hindu sampai kedatangan orang-

orang Islam hingga kini. Arsitektur Menara Kudus dilihat dari tata ruang

mencakup tata letak pekarangan, tata letak bangunan.

1) Tata letak pekarangan

Tata letak dalam arsitektur masjid sesungguhnya memiliki arti

mendasar yakni, secara spiritual mempunyai hubungan sebab akibat,

antara bangunan itu sendiri dengan perancang bangunan itu sendiri.

Selain itu, memiliki arti tertentu bagi tata kehidupan masyarakat

sehingga dapat dijadikan suatu kriteria bahwa bangunan itu

menunjukkan tempat peribadatan, menara, makam dan sebagainya.

Tata ruang bangunan Menara Kudus memiliki kesamaan dengan

bangunan-bangunan sejamannya seperti menara masjid Banten.

Menara Kudus letaknya berada di sebelah tenggara masjid menyerupai

cxiv

balai Kulkul di Bali. Letak Menara Kudus yang berada di kompleks

masjid Al-Aqso itu sebenarnya memiliki makna politik. Sebab menara

dibangun pada tempat yang ideal, yakni dekat dengan alun-alun atau

tempat penting lainnya. Tempat tersebut paling strategis untuk

meyampaikan da’wah. Semua kegiatan masyarakat terpusat di sana

baik itu kegiatan pemerintahan, agama dan lainnya.

2) Tata letak bangunan

Tata letak bangunan kompleks Masjid Menara cukup kompleks, Bila

dikaitkan dengan tata letak Menara Kudus dengan bangunan lainnya.

Hal ini mencakup pola dari kompleks bangunan-bangunan, ukuran

dari pekarangan kompleks, bangunan-bangunan serta letaknya.

Bangunan-bangunan tersebut memiliki nilai spiritual.

Dalam kaitan dengan tata letak bangunan, Menara Kudus berada pada

halaman muka, namun agak bergeser ke selatan menghadap ke arah

barat. Posisi ini sama dengan Menara Kulkul di Bali. Letak ini

menonjolkan bagian bangunan yang berfungsi memanggil atau

mengumpulkan masa untuk bersholat. Secara taktis sangat

menguntungkan bagi kepentingan misi Islam.

b. Teknik bangunan

Dalam tinjauan arsitektur bangunan Menara Kudus, teknik bangunannya

tidak hanya untuk memenuhi persyaratan konstruksi semata tetapi

berusaha menciptakan bentuk-bentuk yang selaras dengan hubungan

antara manusia dengan alam dan Tuhannya. Dalam hal teknik bangunan

cxv

tampak Menara Kudus memenuhi persyaratan tersebut. Struktur dan

keinginan bentuk terjalin dengan memperhatikan segi-segi filsafat,

ekologi, tata laksana, ritual, sifat-sifat material dan sosiologi secara

lengkap, menyeluruh dan terrinci.

Berkaitan dengan teknik bangunan tersebut Menara Kudus memiliki

makna filosofis adalah iman, Islam dan Ikhsan sebagai konsep dasar serta

ajaran tasyawuf sebagai pedoman konsep tujuan akhir. Ritual adalah

bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam teknik bangunan Menara

Kudus, sebab teknik bangunan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan

budaya yang selalu disertai nilai-nilai ritual. Teknik bangunan Menara

Masjid Kudus menghormati kepercayaan setempat seperti penggunaan

atap tumpang serta bentuk bangunan yang mirip dengan candi.

Lebih lanjut, Azwar menjelaskan tentang nilai-nilai yang terkandung

di dalam folklor Menara Kudus yang dapat ditanamkan kepada siswa. Nilai

folklor yang dapat ditanamkan kepada siswa cukup banyak hal ini diketahui

dari arsitektur bangunan Menara Kudus itu sendiri yang memiliki berbagai

makna filosofis. Di dalam bangunan Menara Kudus yang memiliki teknik

bangunan yang terdiri dari orientasi, zooning, prosesi, komposisi, dimensi,

matrial, konstruksi, ornamen dan sebagainya. Bangunan-bangunan ini

memiliki makna filosofis yang syarat akan nilai-nilai.

a. Orientasi. Teknik bangunan Menara Kudus teknik bangunannya

menunjukkan arah hubungan manusia dengan khaliqnya tergolong ke

dalam spiritual dengan sumbu religi yang arahnya diorientasikan ke kiblat

cxvi

(barat) yaitu ka’bah sebagai pusat religi umat muslim. Sedangkan pintu

gapura diorientasikan searah dengan pintu masjid dan mihrab/

pengimaman, sebagai simbolik bahwa masyarakat yang hendak

menghadap kepada sang khaliq.

b. Zooning. Area Menara Kudus dibangun pada lokasi utama. Dengan

demikian zooning menara yang terletak di sebelah tenggara kompleks

masjid lebih kurang 2 km dari alun-alun kota Kudus, dan beberatus meter

dari pasar lama. Ini menunjukkan bahwa kompleks Menara Kudus

menempati aktifitas manusia. Hal menunjukkan bahwa perancang

berdirinya Menara Kudus memilih daerah yang strategis.

c. Prosesi. Yang dimaksud prosesi Menara Kudus adalah proses pencapaian

menuju lokasi yang dimaksud. Dalam menuju Menara Kudus bebas

melalui tempat-tempat yang tersedia dapat melalui gapura Bentar, Gapura

Kori Agung, atau dari pintu kampung.

d. Komposisi. Bangunan Menara Kudus pembentukan komposisi dalam

teknik bangunan adalah tembok penyekat di kanan kiri dan depan pintu

gapura masjid, massa-massa bangunan lain serta tanaman halaman yang

dulu terdiri dari beberapa pohon (asem, sawo kecik, tanjung, pohon

kemuning, pohon kleca, pohon nagasari) mengandung makna magis.

Pohon-pohon ditanam sebagai salah satu simbol yang bermaknakan

filosofis ( asem : kalau berkunjung ke mesjid harus dengan raut wajah

yang mesam-mesem, sawo kecik : kalau berkunjung ke mesjid hendaknya

: memakai pakaian yang serba bagus dan juga hatinya harus ditata yang

cxvii

baik, pohon tanjung : bermakna bahwa orang yang datang ke masjid harus

menjunjung tinggi nama Allah yang Maha Kuasa, Pohon kemuning :

Pohon kemuning dipersepsikan oleh masyarakat bahwa setelah duduk

enak di dalam masjid maka harus mengheningkan cipta seraya memohon

kepada Allah agar diberi ampunan dan petunjuk dan Pohon nagasari

bermaknakan bahwa orang yang berada di masjid setelah duduk dengan

enak, mengheningkan cipta beribadah kepada Allah dan kemudian

mendengarkan fawa-fatwa dari ulama maka harus dapat menyarikan /

intisari dari ajaran yang diberikan oleh ulama / kyai di dalam masjid).

Bangunan penyekat memberikan keseluruhan isi yang terkurung, serta

memisahkan dengan tegas antara ruang halaman utama dan halaman luar.

Sedangkan massa bangunan lain seperti masjid sebagai bangunan utama,

gapura, sumur dan pemakaman yang memberikan kesan dalam dan

kompleks.

e. Dimensi. Dalam kehidupan dunia, manusia berusaha menyelaraskan

benda-benda bumi dengan alam, sehingga perwujudan-perwujudan buatan

manusia adalah skala diri dan lingkungannya. Demikian pula bangunan

Menara Kudus, dimensinya adalah proporsi manusia dari bagian-bagian

dirinya untuk menentukan jarak seperti : langkah kaki, rentangan tangan

dan sebagainya. Suatu keistimewaan dalam dimensi arsitektur Menara

Kudus adalah nilai filosofis pada setiap ukuran. Ukuran yang tak

mungkin diterjemahkan ke dalam dimensi meter tetapi satuan lainnya

mulai dari : basement (pondasi / tingkat dasar, badan dan puncak).

cxviii

f. Material. Menara Kudus tampaknya cenderung memiliki material yang

diperoleh dari daerah setempat (lokal). Material utamanya adalah batu

bata merah yang ukurannya lebar 15 cm dan panjangnya 25-28 cm.

Material batu bata merah dimungkinkan asli. Material lain yang digunakan

adalah kayu jati yang digunakan untuk tangga dan bahan atap dan tempat

untuk meletakkan bedung. Sedangkan sebagai perekat adalah badra leva

yang terbuat dari kuning telur dan madu. Ini didapatkan dari pemberian

masyarakat sekitar lokasi dari pendirian Menara.

g. Konstruksi. Tuntutan struktur bangunan menghendaki susunan material

memenuhi persyaratan kontuksi, dengan memperhatikan karakter dan

estetika serta logika yang didasari filosofis religius. Teknik konstruksi

pada bangunan Menara Kudus tetap memperhatikan karakter dan estetika

serta logika yang didasari filosofis religius. Teknik konstruksi pada

bangunan gapura, merupakan konstruksi sederhana. Material yang bahan

utama batu bata disusun membentuk konstruksi dengan memperhatikan

karakter alamiah materialnya, jelas memperlihatkan element konstruksi

yang berfungsi ganda. Selain elemen yang menyelaraskan teknik

konstuksi dengan keindahan aktivitas yang diwadahinya, juga fungsinya

menahan gaya-gaya akibat berat sendiri dan gaya-gaya luar seperti beban

angin, dan getaran gempa dan orang bebas.

Penuturan senada disampaikan oleh Deny Nur Hakim, makna-makna

filosofis dalam folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus

mengandung nilai-nilai paedagogis yang dapat digunakan sebagai pengayaan

cxix

materi pembelajaran sejarah, yaitu: a) Keagamaan, yaitu sebagai ritual

keagamaan seperti tempat beribadah, tempat upacara adat dan sebagainya;

b) Sosial kemasyarakatan, yaitu membina persatuan, kesatuan dan kegotong-

royongan; c) Pariwisata, yaitu untuk tempat wisata khususnya wisata religi;

d) Pendidikan, yaitu untuk media dan sumber pembelajaran; e) Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yaitu sebagai sarana penelitian sejarah,

arkheologi, dan antropologi.

3. Kriteria kelayakan yang digunakan untuk mengetahui tentang folklor

Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus yang dapat digunakan

sebagai bahan pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah (MA)

Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus

Pendapat Azwar, sebelum memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan

Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan materi pembelajaran, harus

ditentukan terlebih dahulu apakah folklor tersebut cocok sebagai materi

pembelajaran sejarah di MA NU Banat Kudus. Pemanfaatan folklor situs

purbakala untuk pengayaan materi pembelajaran harus memenuhi persyaratan

yakni sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah

ditentukan dalam KTSP.

Alasan yang mendasari folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan

Kudus dimanfaatkan sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah karena

Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus merupakan peninggalan kerajaan

Islam Demak Bintoro dan menjadi simbol serta pusat kebudayaan Islam di

cxx

wilayah Kudus dan sekitarnya. Di samping itu arsitekturnya yang unik dan

spesifik dapat mencerminkan perpaduan antara kebudayaan Hindu, Budha dan

Islam. Alasan kedua adalah karena MA NU Banat Kudus sebagai salah satu

madrasah tumbuh dan berkembang di lokasi Menara bahkan pengurus

yayasan, guru dan siswanya sebagian besar berasal dari lingkungan tersebut.

Melalui pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus, MA

NU Banat Kudus dapat mempertahankan, melestarikan, menyebarluaskan

dan meneruskan cita-cita Sunan Kudus dalam mengembangkan syiar serta

kebudayaan Islam.

Pendapat Swidarto folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus

dapat dimanfaatkan untuk pengayaan materi pembelajaran sejarah karena

Menara Kudus tersebut merupakan peninggalan kebudayaan Islam yang

dibangun pada masa Sunan Kudus dan sampai saat ini memiliki arti yang

sangat penting bagi pengayaan agama Islam di Kudus. Menara Kudus dapat

dijadikan sebagai simbol penghubung antargenerasi dari jaman pra Islam

(Hindu dan Budha) dan jaman Islam sampai sekarang. Sebagai salah satu

wujudnya kini banyak para pengunjung yang datang berziarah ke Makam

Sunan Kudus yang disebabkan salah satunya adalah ketertarikannya

pengunjung untuk melihat keindahan arsitektur/style gaya bangunan dari

Menara Kudus.

Sekolah mendukung pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam

Sunan Kudus sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah, mengingat MA

NU Banat Kudus sebagai salah satu madrasah yang bercirikan khusus

cxxi

keagamaan Islam yang berupaya untuk mendukung dan menjunjung tinggi

budaya Islam. Melalui pengayaan materi ini siswa mampu menguasai

kompetensi dasar yaitu menganalisis pengaruh perkembangan agama dan

kebudayaan Islam terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia dan

menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di

Indonesia.

4. Pemanfaatan folklor tentang Masjid, Menara dan Makam Sunan Kudus

sebagai pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah (MA) Nahdlatul

Ulama (NU) Banat Kudus

Pendapat Swidarto dan Azwar, dalam membelajarkan sejarah dengan

memanfaatkan folkor Menara Kudus diawali dari kegiatan perencanaan

pembelajaran. Dalam perencanaan pembelajaran disesuaikan dengan SK dan

KD. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Sesuai dengan standar

kompetensi yang hendak dikembangkan adalah menganalisis perjalanan

bangsa Indonesia pada masa negara-negara tradisional sedangkan kompetensi

dasarnya adalah 1) menganalisis pengaruh perkembangan agama dan

kebudayaan Islam terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia;

2) Menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara, kerajaan-kerajaan

Islam di Indonesia; 3) Menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal,

Hindu-Buddha, dan Islam di Indonesia.

Setelah memahami SK/ KD, guru harus membuat silabus dan RPP, di

mana dalam menyusun RPP temuat materi pembelajaran yang akan diajarkan

cxxii

kepada siswa. Materi pembelajaran menempati posisi yang sangat penting dari

keseluruhan kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan

pembelajaran dapat mencapai sasaran. Sasaran tersebut harus sesuai dengan

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh peserta

didik. Artinya, materi yang ditentukan untuk kegiatan pembelajaran

hendaknya materi yang benar-benar menunjang tercapainya standar

kompetensi dan kompetensi dasar, serta tercapainya indikator.

Pengayaan materi pembelajaran harus memperhatikan bahan

pengayaan materi tersebut dalam kaitan kesesuaiannya dengan SK KD mata

pelajaran sejarah SMA/MA. Bahan pengayaan materi pembelajaran dalam hal

ini folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus harus dipilih secara

selektif, mana saja yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pencapaian

kompetensi baik standar kompetensi maupun kompetensi dasar dan indikator

yang harus dicapai siswa dalam pembelajaran.

Langkah kedua setelah cakupan materi pengayaan sesuai dengan

kompetensi yang ingin dicapai adalah menentukan urutan bahan pengayaan

tersebut ketika menjadi materi pembelajaran. Urutan materi pembelajaran ini

berkaitan dengan urutan penyajian materi tersebut dalam proses pembelajaran.

Penyajian materi pembelajaran harus saling berkesinambungan, koheren dan

menyatu sehingga siswa akan lebih mudah memahami materi yang sedang

diajarkan. Urutan materi pengayaan menggunakan pendekatan prosedural.

Pendekatan ini dipakai karena melalui materi pengayaan ini siswa diajak

untuk menganalisa folklor yang berkembang seputar Menara, Masjid dan

cxxiii

Makam Sunan Kudus dalam kaitannya dengan perkembangan Islam dan

kebudayaan yang berkembang di saat itu.

Langkah ketiga adalah menentukan sumber belajar yang akan

digunakan dalam pengayaan materi pembelajaran dengan memanfaatkan

folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus. Sumber Belajar adalah

rujukan, artinya dari berbagai sumber belajar tersebut seorang guru harus

melakukan analisis dan mengumpulkan materi yang sesuai untuk

dikembangkan dalam bentuk materi pembelajaran.

Setelah materi pembelajaran dicantumkan maka guru menentukan

metode pembelajaran yang akan diajarkan yakni metode tatap muka, metode

pemberian tugas atau inquiry, PAKEM, atau CTL. Metode-metode

pembelajaran tersebut memberikan peluang kepada siswa untuk menganalisa

kebudayaan yang ditinggalkan oleh Sunan Kudus. Setelah kegiatan

pembelajaran dengan menggunakan berbagai metode yang telah disebutkan

maka langkah selanjutnya adalah mengadakan evaluasi pembelajaran.

Evaluasi pembelajaran ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana siswa

dapat mencapai kompetensi yang telah ditentukan dengan memenuhi

indikator-indikator pembelajaran yang ditentukan oleh guru sebelumnya.

Setelah guru membuat pengayaan materi dan membuat perencanaan

pembelajaran, maka langkah selanjutnya dalam memanfaatkan folklor

Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus adalah pelaksanaan pembelajaran

dengan memanfaatkan materi pengayaan tersebut. Berdasarkan hasil

pencatatan observasi, didapatkan bahwa MA NU Banat telah memanfaatkan

cxxiv

folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai materi

pembelajaran. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk menggali dan

menganalisa folklor peninggalan sejarah Sunan Kudus untuk lebih mengenal

dan memahami tentang perkembangan Islam pada masa tersebut.

Berdasarkan hasil observasi, setelah siswa mendapatkan tugas dan

penjelasan dari guru, siswa MA NU Banat mengunjungi kompleks Menara,

Masjid dan Makam Sunan Kudus. Sekolah telah memberikan waktu khusus

bagi siswa MA NU Banat untuk melaksanakan tugas observasi tersebut

sehingga kegiatan ini tidak akan mengganggu jam belajar mata pelajaran yang

lain. Siswa mengunjungi lokasi observasi dengan berjalan kaki karena lokasi

sekolah dan lokasi observasi tidak terlalu jauh. Pelaksanaan pembelajaran

dengan memanfaatkan folklor ini dilaksanakan di kompleks Menara, Masjid

dan Makam Sunan Kudus. Di kompleks Menara, Masjid dan Makam Sunan

Kudus, siswa kemudian membagi diri menjadi kelompok-kelompok dan

melakukan observasi di lokasi yang berbeda, ada yang melakukan obserasi di

Menara Kudus, ada yang melakukan observasi di Masjid Sunan Kudus dan

ada yang melakukan observasi di Makam Sunan Kudus. Selama

melaksanakan observasi, siswa aktif bertanya dan mengadakan wawancara

dengan pengelola di sana. Setelah melaksanakan observasi dan wawancara,

siswa kembali ke sekolah untuk memberikan laporan singkat kepada guru

sejarah. Evaluasi yang dilaksanakan guru selain laporan singkat tersebut,

siswa juga harus mengumpulkan laporan lengkap mengenai hasil tugas yang

cxxv

diberikan kepada mereka. Berikut adalah salah satu contoh laporan hasil

observasi dan wawancara yang dikerjakan oleh siswa MA NU Banat:

ANALISA DAN SEJARAH MENARA, MASJID DAN

MAKAM SUNAN KUDUS

Salah satu masjid dengan menaranya, termasuk masjid tertua di

Indonesia. Letaknya di Kudus, kota yang terletak di pantai utara Jawa Tengah,

berada 51 km di sebelah utara kota Semarang, berdekatan dengan kota Pati,

Demak dan Jepara. Keunikan masjid ini adalah bahwa di sampingnya terdapat

bangunan menara yang dikenal dengan nama “Menara Kudus”, tempat

menaruh bedug masjid. Oleh karena itu, masjid ini pun masyhur dengan

sebutan Masjid Menara Kudus.

Berdasarkan inskripsi yang ditemui di atas mihrab masjid tersebut,

masjid ini didirikan pada tahun 956 H / 1549 M, pada masa Kesultanan

Demak. Menurut inskripsi, tertulis Ja’far Sadiq, sedangkan berdasarkan cerita

dari mulut ke mulut pendirinya adalah Sunan Kudus, salah seorang sembilan

wali (Wali Songo). Hal itu tidak bertentangan karena Ja’far Sadiq adalah

nama Sunan Kudus sebelum ia menjadi penguasa Kudus.

Bentuk asli masjid ini sudah tidak dikenal lagi karena telah berulang

kali mengalami perubahan-perubahan. Pada tahun 1919 masjid ini diperbaiki

dan diperluas. Pada tahun 1925 bagian depan masjid ditambah bangunan baru

berupa serambi. Serambi ini kemudian diperluas lagi pada tahun 1933 untuk

menampung jamaah salat Jum’at yang semakin bertambah. Akibat perubahan

ini, bagian depan masjid menjadi satu dengan bagian Kori-Agung (gapura)

cxxvi

yang terkenal dengan sebutan Lawang Kembar. Di atas serambi dibangun

sebuah kubah besar. Bentuknya mirip dengan bangunan di India. Sekeliling

kubah itu diukir nama-nama pahlawan Islam, antara lain Abu Bakar as Siddiq,

Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Waqqas,

Zubair bin Awwam, Abdur Rahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Jarrah, Imam

Malik, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.

Perbaikan lainnya yaitu tahun 1960, yaitu meninggikan bangunan

masjid dari tinggi 13,25 m mnenjadi 17,45 m. Walaupun telah dibongkar

beberapa kali, peninggalan-peninggalan kuno yang terdapat di dalam masjid,

seperti batu bertulis, tetap terpelihara dengan baik.

Puncak masjid mulanya terbungkus dengan emas 24 karat. Ukuran

bangunan puncak 35 cm panjang, yang terbungkus emas hanya 19 cm, luas

lingkaran emas 13 cm. Akan tetapi setelah diadakan perombakan tahun 1960,

puncak masjid yang asli tidak dapat dipertahankan lagi, lalu diganti dengan

bangunan baru lingkaran emas diganti dengan Aluminium.

Bangunan Menara Kudus didirikan pada tahun 1685. bentuk menara

itu tidak ada bandingannya di Indonesia, bahkan di dunia. Bentuknya

menyerupai Candi Jago, tempat pemakaman Raja Wisnuwardana (Singasari)

yang terdapat di Malang. Bagian puncak dai menara bukan lagi bangunan asli.

Puncak bangunan asli runtuh pada tahun 1947 sehingga diganti baru. Pada

bagian dalam menara terdapat sebuah tangga yang terbuat dari kayu jati

bertuliskan angka 1313 H, menunjukkan tahun pembuatan tangga tersebut.

cxxvii

Bangunan Menara Kudus merupakan perpaduan antara seni bangunan

Indonesia asli, Hindu dan Islam.

Bangunan lain yang berada di sekitar Menara Kudus adalah makam

Sunan Kudus, gapura-gapura, dan tajuk. Makam Sunan Kudus terletak di

sebelah barat masjid. Di pintu makam itu tertulis kalimat al-asma’al al-husna

dan angka tahun 1296 H yang merupakan tahun pembuatan tulisan itu.

Makam itu dikelilingi oleh makam para wali, istri Sunan Kudus, dan para

pangeran /ahli waris Sunan Kudus. Di sekitar masjid dan menara terdapat

banyak gapura. Khusus di dalam masjid terdapat dua gapura yang disebut

Kori-Agung. Pada kiri kanan gapura dijumpai hiasan dinding yang mirip

dengan hiasan Masjid Mantingan Jepara. Pada gapura yang terletak di serambi

depan masjid (lawang kembar) ditemukan tulisan dalam bahasa Arab tahun

1215 H, yang merupakan tahun penulisannya. Di sebelah selatan makam

Sunan Kudus terdapat sebuah tajuk, yaitu semacam langgar yang pada tiang

atapnya dijumpai anagka 1145 H, yang merupakan tahun pembuatannya.

Menara Kudus diabadikan dalam mata uang pecahan lima ribuan.

5. Kendala yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Masjid,

Menara dan Makam Sunan Kudus

Pendapat Moh. Said, memanfaatkan Menara Kudus sebagai

pengayaan materi pembelajaran sejarah banyak dihadapkan kepada kendala,

yaitu alokasi waktu. Karena dalam pembelajaran alokasi waktu dalam struktur

program KTSP hanya diberikan waktu 1 jam pelajaran perminggu sedangkan

cxxviii

materi pembelajaran sejarah cukup banyak. Oleh karena itu, guru harus pandai

mengatur waktunya. Kendala tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan

metode terintegrasi, siswa disuruh untuk mencari buku sumber yang berada di

sekitar menara serta melihat menara Kudus. Dari sinilah siswa dapat

memahami menara Kudus dari dekat yang akan dapat menambah pemahaman

siswa.

Pendapat Swidarto, terdapat kendala yang dihadapi guru dalam

memanfaatkan Menara Kudus sebagai pengayaan materi pembelajaran

sejarah. Kendala yang dihadapi yaitu alokasi waktu yang hanya 1 jam

pelajaran. Waktu tersebut kurang memadai karena banyaknya materi yang

harus diajarkan dalam pembelajaran sejarah. Kendala tersebut dapat

dipecahkan dengan cara memberikan tugas kelompok, maupun individu untuk

mencari sumber-sumber tentang Menara Kudus dan kemudian

mendiskusikannya dengan mempresentasikan hasil temuan siswa di lapangan

yang menyangkut menara Kudus.

Azwar menyatakan bahwa pemanfaatan Menara Kudus sebagai materi

pembelajaran sejarah dihadapkan pada kendala, yakni sumber dan waktu

belajar. Sebagai pengayaan materi pembelajaran, folklor Menara, Masjid dan

Makam Sunan Kudus harus memiliki sumber belajar yang lengkap dan

terpercaya untuk mendukung pencapaian kompetensi dalam pembelajaran.

Kondisi tidak terlalu menguntungkan karena folklor Menara, Masjid dan

Makam Sunan Kudus merupakan sebuah fragmen-fragmen yang terpecah-

pecah dan membutuhkan keahlian untuk menjadikannya sebuah bahan yang

cxxix

utuh dan mudah dipahami. Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus

hanya diketahui oleh beberapa orang saja sehingga menyulitkan guru untuk

mendapatkan data yang utuh dalam pengayaan materi pembelajaran Sejarah

MA NU Banat. Kendala ini dapat dipecahkan melalui kerjasama dengan

YM3SK yaitu yayasan Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus untuk dapat

memfasilitasi kepada siswa yang berusaha mencari sumber dan mengadakan

observasi di kompleks Menara Kudus dengan bimbingan guru. Melalui cara

tersebut siswa dalam satu kali pertemuan dapat melihat secara langsung

hakekat Menara Kudus, Masjid Al-Aqsa dan Makam Sunan Kudus baik dari

arsitektur, sejarah, nilai moral yang terkandung di dalamnya dan sebagainya.

Di samping itu memberikan tugas kepada siswa untuk membuat resume dan

tugas kelompok sebagai hasil dari kunjungan ke Menara Kudus.

C. Pokok-Pokok Temuan

1. Folklor Masjid, Menara dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di

masyarakat Kudus

Folklor yang berkembang seputar Menara, Masjid dan Makam Sunan

Kudus adalah: 1) folklor mengenai Sunan Kudus; 2) tradisi dhandangan untuk

menyambut Puasa Ramadhan; 3) folklor tentang pembangunan Menara

Kudus; 4) folklor mengenai pembangunan Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar

Sunan Kudus; 5) tradisi penjamasan keris; 6) tradisi khaoul (peringatan

wafatnya Sunan Kudus yang diadakan setiap 1 tahun) dan buka luwur

(mengganti selambu yang menutupi makam Sunan Kudus).

cxxx

2. Makna filosofis yang terkandung dalam folklor tentang Masjid, Menara

dan Makam Sunan Kudus

Makna filosofis yang terdapat dalam folklor Menara, Masjid dan

Makam Sunan Kudus mengandung nilai-nilai paedagogis yang dapat

digunakan sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah. Makna filosofis

yang terkandung dalam folklor ini terkait dengan penyebaran agama Islam

yang dilakukan oleh Sunan Kudus. Makna filosofis yang terdapat dalam

folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus mengandung ajaran agama

Islam yang sangat kental. Setiap tradisi dan folklor yang berkembang di

masyarakat selalu mengandung ajaran-ajaran Islam dan toleransi beragama

yang diajarkan oleh Sunan Kudus dalam rangka Islamisasi masyarakat Kudus

dan sekitarnya.

3. Kriteria kelayakan tentang folklor Masjid, Menara, dan Makam Sunan

Kudus sebagai bahan pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah

(MA) Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus

Pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus

sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah MA NU Banat Kudus harus

memperhatikan kelayakannya sebagai materi pembelajaran sejarah. Folklor

yang digunakan sebagai pengayaan materi pembelajaran harus sesuai dengan

kompetensi yang harus dicapai oleh siswa berdasarkan standar kompetensi

dan kompetensi dasar serta standar kompetensi lulusan. Kriteria lain yang

mendasari pemilihan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus adalah

cxxxi

Menara Kudus merupakan salah satu kekayaan nasional sehingga perlu

diketahui sejarah dan keberadaannya oleh siswa. Siswa MA NU Banat sebagai

salah satu madrasah (sekolah yang menekankan pada pendidikan umum dan

pendidikan agama Islam) dan terletak di sekitar kompleks Menara, Masjid dan

Makam Sunan Kudus perlu untuk mengetahui, mempelajari dan melestarikan

peninggalan sejarah nasional tersebut melalui folklor yang berkembang di

sana.

4. Pemanfaatan folklor tentang Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus

sebagai pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah (MA) Nahdlatul

Ulama (NU) Banat Kudus

Pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus

membutuhkan persiapan yang matang. Pertama, guru harus memahami

standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran sejarah yang

berkaitan dengan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus. Kedua,

guru harus menentukan cakupan bahan pengayaan yang dapat dimanfaatkan

dalam pengayaan materi pembelajaran sejarah MA. Ketiga, menetukan urutan

materi pengayaan dalam materi pembelajaran sehingga urutan penyajian

materi dalam kegiatan pembelajaran dapat saling berkesinambungan, koheren

dan utuh. Urutan materi dalam pengayaan materi folklor Menara, Masjid dan

Makam Sunan Kudus menggunakan pendekatan prosedural. Langkah ketiga

adalah menentukan sumber belajar yang dapat digunakan sebagai pengayaan

materi pembelajaran.

cxxxii

5. Kendala yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Menara,

Masjid, dan Makam Sunan Kudus

Kendala yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Menara,

Masjid dan Makam Sunan Kudus adalah alokasi waktu yang tidak cukup

untuk menyampaikan materi pengayaan tentang folklor Menara, Masjid dan

Makam Sunan Kudus. Kendala yang kedua adalah berkaitan dengan sumber

belajar yang menjadi bahan pengayaan materi pembelajaran sejarah MA NU

Banat. Guru kesulitan mencari sumber informan yang dapat meyampaikan

folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus secara lengkap dan

terpercaya sehingga kompetensi dan indikator yang ingin dicapai dalam

pembelajaran dapat terwujud dengan maksimal.

D. Pembahasan

Ilmu pengetahuan adalah suatu kompleksitas permasalahan yang sangat

dinamis yang dihadapi manusia dalam upayanya mencari kebenaran. Dalam

perkembangannya secara singkat dapat dikatakan ilmu mengalami pertumbuhan

dan perkembangan dari jaman Pra Yunani kuno-Yunani abad pertengahan sampai

pada masa Renaissance. Dalam perkembangan selanjutnya dalam upaya mencari

kebenaran (epistemologi) terdapat dikotomi antara ilmu western dan ilmu non

western. Western (Barat) berupaya dengan penuh kesadaran melakukan suatu

kegiatan kongkret berkelanjutan untuk memperbaiki, merombak, memperbarui

tata kehidupan, tata masyarakat atau tata negara yang dirasakan tidak memuaskan.

Hal ini dalam bentuk filsafat ilmu pengetahuan dan implikasi-implikasinya yang

cxxxiii

dirintis sejak jaman Yunani kuno dan diterapkan di dunia Barat sejak Renaissance

dan Aufklarung sampai sekarang yang hasilnya berupa IPTEK. Sedangkan ilmu

Non Western subjek escape dari kenyataan yang tidak memuaskan. Artinya akan

menjauhi dan mengasingkan diri secara fisik/ruhani. Pencari kebenaran akan

meng” cover ”, memperindah kenyataan yang tidak memuaskan dengan khayalan

atau gambaran sesuatu yang ideal.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka sebagai seorang intelektual, guru

perlu mengambil bahan-bahan yang akan memperkaya pengetahuan siswa. Guru

perlu mengembangkan materi pembelajaran dengan memperhatikan dan

memanfaatkan potensi daerah setempat.

Folklor secara umum didefinisikan sebagai bagian kebudayaan suatu

kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun. Diantara kolektif

dalam berbagai macam versi yang berbeda dan bersifat tradisional baik dalam

bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu

pengingat / mnemonik device. Folklor yang berkembang di seputar kompleks

Menara Kudus merupakan kebudayaan yang tercipta dari penyebaran agama

Islam yang dilakukan oleh Sunan Kudus di Kudus dan sekitarnya.

Folklor yang berkembang di seputar kompleks Menara Kudus memiliki

logika yang hanya diterima oleh masyarakat Kudus. Logika yang terdapat dalam

folklor yang berkembang di seputar kompleks Menara Kudus terkadang dianggap

orang di luar daerah Kudus sebagai logika yang tidak masuk akal, akan tetapi bagi

penduduk asli Kudus folklor tersebut adalah logis dan memang sudah seharusnya

seperti itu. Hal ini sesuai dengan pendapat Arif Budi Wurianto (2007, dalam

cxxxiv

http://elka.umm.ac.id/artikel2.htm) yang menyatakan bahwa folklor sebagai

bentuk kebudayaan milik bersama (kolektif), maka folklor bersifat pralogis yaitu

logika yang khusus dan kadang berbeda dengan logika umum.

Folklor Menara, Masjid,dan Makam Sunan Kudus merupakan salah satu

unsur kebudayaan. Folklor yang berkembang di Menara, Masjid dan Makam

Sunan Kudus merefleksikan kebudayaan yang berkembang di Kudus dan

kebudayaan tersebut merupakan ciri khas dari kota Kudus. Hal ini sejalan dengan

pendapat Arif Budi Wurianto (2007, dalam http://elka.umm.ac.id/ artikel2.htm)

yang menyatakan bahwa folklor berkaitan dengan tujuh unsur kebudayaan

universal yaitu ekonomi (sistem pencaharian hidup), teknologi (sistem peralatan

dan perlengkapan hidup), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem

pengetahuan, dan religi.

Folklor yang berkembang di seputar Menara, Masjid dan Makam Sunan

Kudus mengandung makna-makna filosofis. Makna filosofis yang terkandung

dalam folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus merupakan perwujudan

dari cara Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam di Kudus dan sekitarnya.

Folklor yang berkembang di kompleks Menara Kudus mempunyai tujuan dan

fungsi sebagai manifestasi pola pikir masyarakat pada masa itu sehingga Sunan

Kudus menggunakan cara penyebaran Islam secara damai. Kondisi ini didukung

oleh pendapat Arif Budi Wurianto (2007, dalam

http://elka.umm.ac.id/artikel2.htm) yaitu folklor mengungkapkan secara sadar

atau tidak sadar bagaimana suatu kolektif masyarakat berpikir, bertindak,

cxxxv

berperilaku, dan memanifestasikan berbagai sikap mental, pola pikir, tata nilai,

dan mengabadikan hal-hal yang dirasa penting oleh kolektif pendukungnya.

Penentuan Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai

pengayaan materi pembelajaran sejarah MA NU Banat harus bersesuaian dengan

standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditentukan oleh Badan

Standarisasi Nasional. Penyesuaian bahan pengayaan materi pembelajaran dengan

standar kompetensi dan kompetensi dasar diharapkan siswa dapat memenuhi

standar kompetensi lulusan yang telah ditetapkan oleh BSN.

KTSP merupakan sebuah kurikulum di mana memiliki karakteristik

sekolah dapat mempergunakan potensi daerah sebagai bahan pengayaan

kurikulum sekolah. KTSP memberikan peluang kepada sekolah terutama guru

untuk mempergunakan bahan yang ada di lingkungan sekitar sebagai bahan

pengayaan materi pembelajaran sehingga memberikan ciri khas pada sekolah.

Penggunaan potensi daerah ini yaitu folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan

Kudus akan memberikan siswa nilai lebih sehingga selain mendukung pencapaian

kompetensi yang telah ditentukan, siswa juga dapat mendapatkan pelajaran ekstra

tentang kebudayaan yang telah berkembang di Kudus.

Pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai

pengayaan materi pembelajaran sejarah MA NU Banat Kudus dapat dilakukan

dengan memasukkan materi pengayaan tersebut dalam materi pembelajaran dan

dicantumkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Pengayaan materi harus

relevan dengan materi pembelajaran yang akan disampaikan kepada siswa. Materi

pengayaan harus mencukupi dan konsisten untuk dijadikan sebagai materi

cxxxvi

pembelajaran sehingga materi pengayaan ini dapat dipertanggungjawabkan

sebagai pencapaian kompetensi siswa. Hal ini sesuai dengan prinsip pengayaan

materi yang disampaikan oleh Awan Sundiawan (2008 dalam

http://AwanSudiawan.blog.net) yaitu prinsip-prinsip yang dijadikan dasar dalam

menentukan materi pembelajaran adalah kesesuaian (relevansi), keajegan

(konsistensi), dan kecukupan (adequacy).

Kendala yang dihadapi guru merupakan kendala teknis dalam pengayaan

materi pembelajaran dengan memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam

Sunan Kudus. Kendala teknis ini meliputi alokasi waktu dan sumber belajar yang

akan dijadikan sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah di MA NU Banat.

Kendala teknis ini bukanlah merupakan kendala yang prinsipal sehingga

menjadikan pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus tidak

dapat digunakan. Kendala teknis ini dapat dicari solusinya sehingga pengayaan

materi dengan memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus

dapat terlaksana dengan maksimal dan dapat memenuhi kompetensi lulusan yang

dicapai siswa.

cxxxvii

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Simpulan

Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di

masyarakat memiliki berbagai versi. Folklor tersebut adalah folklor tentang Sunan

Kudus, folklor tentang pembangunan Menara Kudus, folklor tentang

pembangunan Masjid Al-Aqsa, dan folklor yang berkaitan dengan pembangunan

kompleks Makam Sunan Kudus. Folklor tentang Sunan Kudus berkaitan dengan

asal-usul Sunan Kudus, perjalanan Sunan Kudus sehingga mendapatkan batu dari

Baitulmaqdis Palestina yang kemudian menginspirasi Sunan Kudus untuk

menamakan daerah di sekitar penyebaran Islam yang dipegangnya dengan nama

Kudus, bagaimana Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam dan

sebagainya. Folklor tentang pembangunan Menara Kudus adalah alasan pendirian

Menara Kudus, bagaimana pendirian Menara Kudus tersebut dan sebagainya.

Folklor tentang Masjid Al-Aqsa Sunan Kudus meliputi bagaimana Masjid ini

dibangun, kegunaan dan bahan pembangunan Masjid ini bagi penyebaran agama

Islam saat itu. Folklor tentang Makam Sunan Kudus berkaitan dengan tata letak

dan bagaimana Makam tersebut dibangun untuk tetap memberikan pendidikan

bagi peziarah dan masyarakat sekitarnya.

Folklor yang berkembang tersebut memiliki berbagai makna dan tujuan

yang ingin dicapai oleh Sunan Kudus. Makna filosofis yang terkandung dalam

folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus berkaitan dengan ajaran-ajaran

122

cxxxviii

agama Islam yang ingin disampaikan oleh Sunan Kudus. Folklor-folklor yang

berkembang seputar Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus mengandung

nilai-nilai moral dan ajaran Islam yang memang sengaja dimasukkan oleh Sunan

Kudus dalam kepentingannya menyebarkan agama Islam di daerah Kudus dan

sekitarnya.

Makna-makna filosofis yang terkandung dalam folklor Menara, Masjid

dan Makam Sunan Kudus tersebut mengandung ajaran moral dan pendidikan

yang sesuai dengan tujuan pendidikan sejarah di SMA/MA. Berdasarkan hal

tersebut, maka folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus dimanfaatkan

oleh MA NU Banat sebagai bahan pengayaan materi pembelajaran sejarah.

Kriteria yang dipakai dalam menentukan kelayakan folklor Menara, Masjid dan

Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah MA NU

Banat adalah folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus harus sesuai dan

menunjang pencapaian standar kompetensi dan Kompetensi dasar sejarah

SMA/MA. Kriteria kedua adalah sebagai madrasah yang mengusung pendidikan

Islam maka MA NU Banat perlu mengetahui dan meneruskan perjuangan para

Auliyya’ dalam menyebarkan agama Islam dengan memasukkan folklor Menara,

Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai materi pembelajaran dengan cara

pengayaan materi pembelajaran yang sudah ada.

Pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai

bahan pengayaan materi pembelajaran perlu dipersiapkan dengan baik. Sebelum

memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai bahan

pengayaan materi pembelajaran adalah memeriksa kesesuaian folklor tersebut

cxxxix

dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar sejarah SMA/MA. Kedua,

menentukan cakupan materi yang dapat digunakan dalam pengayaan materi

pembelajaran. Ketiga, menentukan urutan materi sehingga penyajian materi dapat

berkesinambungan, koheren dan utuh sehingga mudah dipahami oleh siswa.

Urutan materi menggunaan pendekatan prosedural.

Kendala yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Menara, Masjid

dan Makam Sunan Kudus sebagai bahan pengayaan materi pembelajaran adalah

alokasi waktu yang sedikit dan kesulitan mendapatkan sumber informan yang

dapat menjelaskan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus secara

lengkap dan terpercaya.

B. Implikasi

Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus banyak berkembang di

masyarakat secara terpisah-pisah. Masyarakat satu dengan yang lain memiliki

versi folklor yang berbeda tentang Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus.

Kondisi ini memberikan dampak negatif bagi guru untuk mendapatkan informasi

tentang folklor secara utuh, lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya. Kesulitan ini membawa dampak negatif bagi pengumpulan bahan

bagi pengayaan materi pembelajaran sejarah. Selain dampak negatif, keragaman

folklor yang berkembang juga memberikan dampak positif yaitu guru

mendapatkan beragam cerita mengenai satu tempat saja. Keragaman ini dapat

menjadikan guru untuk memacu kreatifitas siswa dalam menganalisa folklor yang

berkembang di masyarakat yang sesuai dengan indikator pencapaian kompetensi.

cxl

Makna yang terkandung dalam folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan

Kudus merupakan ajaran dari Sunan Kudus tentang Islam. Makna filosofis

tersebut memberikan dampak positif bagi masyarakat karena makna-makna

tersebut dapat digunakan sebagai bahan pengajaran agama Islam bagi masyarakat.

Makna-makna filosofis ini dapat dimanifestasikan dalam memahami cara

penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sunan Kudus pada masa itu untuk

dianalisa oleh siswa.

Folklor yang berkembang sangat beragam sehingga untuk memanfaatkan

folklor tersebut sebagai bahan pengayaan materi pembelajaran, guru harus bekerja

ekstra keras agar folklor yang diambil dapat mendukung pencapaian kompetensi

sejarah SMA/MA yang telah ditentukan oleh BSNP. Pemeriksaan suatu sumber

belajar sebagai bahan pengayaan materi pembelajaran perlu dilakukan dan harus

disesuaikan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah

ditentukan oleh BNS sehingga materi pengayaan dapat menunjang pencapaian

kompetensi lulusan siswa. Pemeriksaan tersebut akan membeikan dampak positif

bagi pembelajaran sejarah karena pembelajaran sejarah dapat lebih bermakna bagi

siswa di mana siswa diajak berpikir untuk melestarikan folklor yang ada di daerah

asalnya dan mampu memanfaatkannya sebagai bahan pengembangan kompetensi

yang memang harus mereka capai.

cxli

C. Saran-Saran

Berdasarkan kajian teori sebagai kondisi ideal serta kondisi nyata di

lapangan seperti yang disajikan dalam simpulan dan implikasi, maka beberapa

saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

1. Perlu adanya suatu pembukuan inventarisasi terhadap folklor Menara, Masjid

dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di masyarakat sekitar.

2. Perlunya sosialisasi dari Dinas Pendidikan Kabupaten Kudus untuk

memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai

pengayaan materi pembelajaran di SMA dan MA yang lain.

3. Perlu adanya suatu tim untuk mengembangkan materi pembelajaran dengan

memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sehingga

pengayaan materi dapat lebih terfokus dan terarah sebagai penunjang

pencapaian standar kompetensi lulusan.

4. Perlunya mencari metode-metode pembelajaran yang inovatif dan kreatif

dalam memanfaatkan materi pengayaan folklor Menara, Masjid dan Makam

Sunan Kudus.

cxlii

DAFTAR PUSTAKA

Ahfas Muntohar. 2007. Inventarisasi Benda Cagar Budaya (BCG). Kudus : Pemkab Kudus

Arif Budi Wurianto. 2007. “Memahami Psikologi Masyarakat Indonesia melalui Pengkajian Folklor Nusantara sebagai Dasar Pemahaman Psikologi Berbasis Budaya Indonesia (Pendekatan Multidisiplin Psikologi, Ilmu-Ilmu Sastra dan Antropologi)”. http://elka.umm.ac.id/artikel2.htm [Akses tanggal 13 April 2009]

Awan Sudiawan. 2008. “KTSP : Pengembangan Materi Pembelajaran”. http://AwanSudiawan.blog.net. [Akses tanggal 7 Januari 2009]

Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta. Dirjen Dikdasmen

_____ .2006a. Pengembangan Materi Pembelajaran atau Bahan Ajar. Jakarta : Depdiknas

______. 2006b. Standar Isi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Standar Kelulusan. Jakarta : Dirjen Dikdasmen

Dhanar Widianta. 2008. “Dua Versi Folklor dan Lévi-Strauss”. http://www.titikoma.com/esai/dua_versi_folklor_dan_levi-strauss.php. [Akses tanggal April 13, 2009]

Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Cetakan Ketiga. Jakarta: Rineka Cipta

Ella Yulaelawati. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran Filosofi Teori dan Aplikasi. Bandung: Pakar Karya

Hambali. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Sejarah. Jakarta : Depdiknas

I Wayan Badrika. 2004. Sejarah Indonesia dan Umum Jilid I. Jakarta : Erlangga

James Danandjaja. 1997. Folklor Indonesia Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta : Grafiti

Miles, M. B. & Hubberman. A. M. 2000. Qualitative Data Analysis : A Sourcebook of New Methods. Beverly Hills, CA. : Sage Publications

Moleong.L.J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

127

cxliii

Muhammad Surya. 2003. Kapita Selekta Kependidikan. Jakarta. UT

Nana Sudjana. 1989. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Nasution. 2008. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belaajar Mengajar. Cetakan kesebelas. Jakarta: Bumi Aksara

Nursid Sumaadmadja. 2003. Kapita Selekta IPS. Jakarta : Universitas Terbuka

Oemar Hamalik. 2003. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Cetakan ke-2. Jakarta: Bumi aksara

Sartono Katodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia

Shodiq Mustafa. 2006. Wawasan Sejarah II. Solo : Tiga Serangkai Mandiri

Solichin Salam. 1995. Kudus Selayang Pandang. Jakarta: Gema Salam

Sugiyono. 2006. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung. Alfa Beta

Sumarno. 1996. Sejarah Budaya. Jakarta: Yudhistira

Sutiyah. 1991. Dasar-dasar IPS (IPS 4101). Buku Pegangan Kuliah FKIP – P IPS – Sejarah. Surakarta: Univeritas Sebelas Maret

Sutopo. H. B. 2006. Penelitian Kualitatif. Surakarta : Universitas Sebelas Maret

Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:Rineka Cipta

Tedi Sutardi. 2007. “Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya”. http://books.google.co.id/books?id [Akses tanggal 17 Maret 2009]

UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Depdiknas

cxliv