fao emergency centre for transboundary animal diseases

52

Upload: dangdien

Post on 31-Dec-2016

237 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases
Page 2: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases
Page 3: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

FOOD AND AGRICULTURE ORGANIZATION OF THE UNITED NATIONS Jakarta, 2016

Page 4: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

Recommended CitationFAO, 2016. FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD). Annual Report 2015.Jakarta, Indonesia.

The designations employed and the presentation of material in this information product do not imply the expression of any opinion whatsoever on the part of the Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) concerning the legal or development status of any country, territory, city or area or of its authorities, or concerning the delimitation of its frontiers or boundaries. The mention of specific companies or products of manufacturers, whether or not these have been patented, does not imply that these have been endorsed or recommended by FAO in preference to others of a similar nature that are not mentioned.

The views expressed in this information product are those of the author(s) and do not necessarily reflect the views or policies of FAO.

FAO encourages the use, reproduction and dissemination of material in this information product. Except where otherwise indicated, material may be copied, downloaded and printed for private study, research and teaching purposes, or for use in non-commercial products or services, provided that appropriate acknowledgement of FAO as the source and copyright holder is given and that FAO’s endorsement of users’ views, products or services is not implied in any way.

All requests for translation and adaptation rights, and for resale and other commercial use rights should be made via www.fao.org/contact-us/licence-request or addressed to [email protected].

FAO information products are available on the FAO website (www.fao.org/publications) and can be purchased through [email protected].

Hal yang dipergunakan dan penyajian materi dalam produk informasi ini tidak mewakili pendapat dari pihak Badan Pangan dan Pertanian Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) mengenai status hukum atau pembangunan dari negara, wilayah kota atau daerah serta otoritasnya, atau mengenai batas-batas wilayah dan perbatasannya. Disebutkannya perusahaan atau produk pabrikan tertentu, yang sudah atau belum dipatenkan, tidak berarti bahwa yang disebutkan telah didukung atau direkomendasikan oleh FAO dibandingkan dengan perusahaan atau produk pabrikan serupa lainnya yang tidak disebutkan.

Pandangan yang ada dalam produk informasi ini adalah pandangan (para) penulis dan tidak mereflesikan pandangan atau kebijakan FAO.

FAO mendukung penggunaan, reproduksi dan penyebaran materi dalam produksi informasi ini. Kecuali disebutkan sebaliknya, materi dalam produk informasi ini dapat disalin, diunduh, dan dicetak untuk kepentingan kajian pribadi, penelitian dan tujuan pembelajaran, atau untuk penggunaan dalam produk atau jasa non-komersil, dengan mencantumkan pengakuan FAO sebagai sumber dan pemegang hak cipta dan bahwa FAO tidak mengabsahkan pandangan, produk atau jasa pengguna dalam bentuk apapun.

Semua permintaan untuk hak penterjemahan dan adaptasi, dan penjualan kembali dan hak guna komersial lainnnya harus dikirimkan melalui www.fao.org/contact-us/license-request atau dialamatkan ke [email protected].

Informasi produk FAO tersedia di situs web FAO (www.fao.org/publications) dan dapat dibeli [email protected].

ISBN 978-92-5-009373-4

© FAO, 2016

Copyright Hak Cipta

Page 5: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

iii

daftar isicontentsContents

Daftar Isi

iiiiiv1467

111315

17

192122

2426

28

CopyrightHak CiptaContentsDaftar Isi

Abbreviations and AcronymsSingkatan dan Akronim

Strengthening Veterinary ServicesPenguatan Layanan Veteriner

Assisting Animal Health Centres to Respond to Farmers’ Needs

Dukungan terhadap Pusat Kesehatan Hewan dalam Merespon Kebutuhan Peternak

Live Bird Market SurveillanceSurveilans Pasar Unggas Hidup

Reducing the Risk of RabiesMengurangi Risiko Rabies

Improved Data Management to Support Disease Control

Peningkatan Manajemen Data untuk Mendukung Pengendalian Penyakit

Expansion of Government-Funded HPAI Control Activities

Perluasan Kegiatan Pengendalian HPAI dengan Dukungan Dana Pemerintah

Integrated HPAI Control Strategy (IHCS) PilotPercontohan Pengendalian HPAI Terpadu (PAT)

ForewordKata Pengantar

Capacity BuildingPembangunan KapasitasEpidemiology Training for Better Disease Control Pelatihan Epidemiologi untuk Pengendalian Penyakit yang Lebih BaikVillage-Based HPAI ControlPengendalian HPAI Berbasis DesaImproved PCR Assay for Influenza A Virus Detection and MonitoringPeningkatan Kapasitas Uji PCR untuk Deteksi dan Monitoring Virus Influenza AImprovement of Laboratory Capacity to Detect Emerging and Re-Emerging Infectious DiseasesPeningkatan Kapasitas Laboratorium dalam Mendeteksi Penyakit Menular Baru dan yang Muncul Kembali

AcknowledgementUcapan Terima Kasih

iii

Page 6: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

iv

daftar isicontentsContents

Daftar Isi

2930

32

35363839

40

Improving Poultry Health Meningkatkan Kesehatan Unggas

Identifying Best Practices in Commercial Poultry Health

Identifikasi Praktik Terbaik di Kesehatan Unggas Komersial

Increase Competency in Commercial Poultry Health in Both Public and Private Sectors

Meningkatkan Kompetensi di Kesehatan Unggas Komersial baik di Pemerintah maupun Swasta

Public-Private PartnershipKemitraan Pemerintah dan SwastaImproving Biosecurity along the Market ChainPeningkatan Biosekuriti di Sepanjang Rantai PasarReaching Out to Commercial FarmersMenjangkau Peternak Unggas KomersialIVM Online - Sharing of Influenza Virus Data and Isolates IVM Online - Berbagi Data dan Isolat Virus Influenza

FAO ECTAD INDONESIAANNUAL REPORT 2015

Development and Improvement of IVM Online as a Molecular Surveillance System Pengembangan dan Peningkatan IVM Online sebagai Sistem Surveilans Molekuler

iv

Page 7: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

v

AAHLADHPI

AHSM

AIAIP-EID

APBDAPBN

ASEAN A-TEAM

BBLITVETBBPMSOH

BimTek

BMBL

CADCCPHC&D

DADAH DIC

DGLAHS

DKI Jakarta

ECTAD EID

EMCVEPT-2

FAO FAOR

FAO RAP FETP

FETPV

Australian Animal Health Laboratory Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia (Indonesian Poultry Veterinarians Association) Animal Health Service ManagementAvian InfluenzaAustralia Indonesia Partnership - Emerging Infectious Diseases Anggaran Pendapatan dan Belanja DaerahAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara Association of Southeast Asian Nations Elite Vaccination Team

Animal Health Laboratories and the Veterinary Research InstituteBalai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (National Veterinary Drug Assay Laboratory [NVDAL]) Bimbingan TeknisBiomedical Laboratories

Center for Animal Disease ControlCommercial Poultry Health (Kesehatan Unggas Komersial) Cleaning and Disinfection

Australian Department of AgricultureDirectorate/Director of Animal Health (Direktorat/Direktur Kesehatan Hewan) Disease Investigation Centre (Balai Besar Veteriner [BBVet])Directorate General of Livestock and Animal Health Services (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan [Ditjenakeswan]) Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases Emerging Infectious DiseaseEncephalomyocarditis VirusEmerging Pandemic Threats Phase Two

Food and Agriculture Organization Food and Agriculture Representative/Representation in IndonesiaFood and Agriculture Organization Regional Office for Asia and the Pacific Field Epidemiology Training Programme Field Epidemiology Training Programme for Veterinarians

Abbreviations and Acronyms

A

B

C

D

E

F

Singkatan dan Akronim

Page 8: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

vi

Abbreviations and AcronymsSingkatan dan Akronim

GARC GIS

HPAI

IBCM IDENTIFY

IHCSIPB

ISIKHNASIVM

JABODETABEK

KOMNAS Zoonosis KKUN KSKH

LBM LGWS

MoA MoH

MT MT DE

NTANTT

NVDALNVS

ODT

PCR PDSR

Perdirjen

Global Alliance for Rabies ControlGeographical Information System

Highly Pathogenic Avian Influenza

Integrated Bite Case Management Laboratory Component of USAID Emerging Pandemic Threats Programme Integrated HPAI Control StrategyInstitut Pertanian BogorIntegrated National Animal Health Information SystemInfluenza Virus Monitoring

Greater Jakarta Area

Komisi Nasional Zoonosis (National Commission for Zoonoses Control) Komite Kesehatan Unggas Nasional (National Poultry Health Committee) Kelembagaan Sumber Daya dan Kesehatan Hewan (Animal Health Organisation and resources sub-Directorate)

Live Bird Market (Pasar Unggas Hidup) Local Government Workshop

Ministry of Agriculture (Kementerian Pertanian) Ministry of Health (Kementerian Kesehatan) Master Trainer Master Trainer Data Encoder

National Technical AdvisorNusa Tenggara Timur (East Nusa Tenggara) National Veterinary Drug Assay Laboratory National Veterinary Services (Layanan Veteriner Nasional)

One-Day Training

Polymerase Chain Reaction Participatory Disease Surveillance and Response Peraturan Direktur Jendral (Regulation of DGLAHS)

G

H

I

K

J

L

M

N

O

P

Page 9: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

viiAbbreviations and AcronymsSingkatan dan Akronim

PermentanPOHPPPPPV

Puskesmas Puskeswan

Pusvetma PVUK

RBSRRU

SOAP

TCPTOTMT

UGMURC

USAID

VSO

WHO WAP

Peraturan Kementrian Pertanian (MoA Regulation) Sub-directorate of Animal Drug ControlPublic Private PartnershipPetugas Pelayanan VeterinerPusat Kesehatan Masyarakat Pusat Kesehatan Hewan (Animal Health Centre) Pusat Veteriner Farma Pelayanan Veteriner Unggas Komersial (Commercial Poultry Veterinary Services)

Risk Based SurveillanceRapid Response Unit

Subjective, Objective, Assessment, and Planning Method

Technical Cooperation ProgrammeTraining of Master Trainers

Universitas Gajah Mada Unit Respon Cepat United States Agency for International Development

Veterinary Service Officers

World Health Organization World Animal Protection

P

R

S

T

U

V

W

Page 10: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

viii

ForewordKata Pengantar

A clean commercial poultry farm in Semarang, Central Java.Sebuah peternakan unggas yang bersih di Semarang, Jawa Tengah. (© FAO ECTAD Indonesia/A.Kompudu).

Page 11: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

1

Poultry production, and its associated activities, continues to account for about one percent of

Indonesia’s gross domestic product and provide a large amount of the animal protein consumed by the nation’s population; the contribution of the poultry sector to national food and nutrition security is significant. A complex array of poultry enterprises, ranging from intensive integrated commercial companies, through small-scale semi-intensive broiler and layer farms, to small backyard flocks supply live poultry, poultry meat and eggs to Indonesian consumers, predominantly through traditional markets. Some 60 percent of all Indonesian households keep poultry for food, to provide additional livelihood support, or for entertainment and ceremonial purposes.

Since Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) was detected in Indonesia in 2003, the disease has infected poultry in 32 out of 34 provinces, caused the deaths of millions of poultry, and disrupted the livelihoods of large numbers of people dependent on poultry keeping. Outbreaks continue to be reported regularly on islands with dense human and poultry populations, such as Java and Sumatra, and more sporadically in Sulawesi and Bali. Despite significant decreases in the number of HPAI outbreaks reported since 2009, HPAI continues to present a major challenge to poultry production, food security and public health, due to the zoonotic nature of the disease. An annualised poultry population of approximately 1.5 billion, a large culturally and ethnically diverse human population, a preference for purchasing poultry products from live bird markets, and a decentralised governance system, have all contributed to the persistence of the disease. Since 2012, two strains of the H5N1 virus have been circulating in Indonesia, (clade 2.1.3 and clade 2.3.2.1) confirming the continuing risk that emerging avian influenza viruses present to the country. Environmental surveillance conducted in 2015 at Jabodetabek Live Bird Markets (LBM), indicates that the two clades continue to co-circulate in the production areas supplying these poultry market chains, but that clade 2.3.2.1 virus has become the dominant strain. This situation, causing outbreaks in both chicken and duck flocks, emphasises the need to constantly review vaccination policy, approve appropriate vaccine formulations and inform the farming community on which vaccines are the most appropriate to protect their flocks.

Produksi unggas – termasuk kegiatan-kegiatan yang terkait di dalamnya – menyumbang sekitar

satu persen dari produk domestik bruto Indonesia. Sektor perunggasan juga memasok sejumlah besar protein hewan yang dikonsumsi penduduk di negeri ini, sehingga kontribusinya terhadap pangan dan gizi nasional menjadi penting. Berbagai jenis usaha perunggasan, mulai dari perusahaan komersial intensif terpadu (peternakan broiler dan layer semi-intensif skala kecil) hingga flok pekarangan skala kecil memasok unggas hidup, daging dan telur kepada konsumen Indonesia – terutama melalui pasar tradisional. Sekitar 60 persen dari rumah tangga Indonesia memelihara unggas untuk dikonsumsi, diperjualbelikan untuk penghasilan tambahan, atau untuk tujuan hiburan dan seremonial.

Sejak Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) terdeteksi di Indonesia tahun 2003, penyakit ini telah menginfeksi unggas di 32 dari 34 provinsi, menyebabkan kematian jutaan unggas, dan mengganggu mata pencaharian sejumlah besar penduduk yang bergantung pada pemeliharaan unggas. Wabah AI masih terus dilaporkan secara berkala dari pulau-pulau yang padat populasi manusia dan unggas seperti di Jawa dan Sumatera, dan secara sporadis di Sulawesi dan Bali. Karena sifatnya yang zoonotik, HPAI masih menjadi tantangan besar dalam produksi unggas, keamanan pangan dan kesehatan masyarakat – meskipun jumlah wabah HPAI telah menurun secara signifikan sejak 2009. Persistensi AI ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tingginya jumlah populasi unggas tahunan yang mencapai sekitar 1,5 miliar; besarnya populasi manusia yang memiliki keragaman etnis dan budaya; kegemaran membeli produk unggas dari pasar unggas hidup; dan sistem pemerintahan yang tidak terpusat.

Sejak 2012, dua strain virus H5N1 bersirkulasi di Indonesia, yaitu clade 2.1.3 dan clade 2.3.2.1. Hal ini menunjukkan betapa risiko kemunculan virus AI di Indonesia masih terus berlanjut. Surveilans lingkungan yang dilakukan tahun 2015 di pasar unggas hidup di Jabodetabek mengindikasikan bahwa dua clade ini masih bersirkulasi di daerah produksi yang memasok rantai pasar unggas, di mana virus clade 2.3.2.1 telah menjadi strain yang dominan. Situasi yang menyebabkan wabah di flok ayam dan itik ini menekankan perlunya beberapa hal. Pertama, perlunya meninjau kebijakan vaksinasi secara teratur. Kedua, menyetujui pembuatan vaksin yang tepat, dan yang ketiga menginformasikan komunitas peternakan

ForewordPendahuluan

Page 12: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

2

ForewordPendahuluantentang jenis vaksin yang paling tepat untuk flok mereka.

Avian influenza A (H7N9) yang muncul di Cina pada April 2013 masih menjadi ancaman besar bagi kesehatan masyarakat di Cina hingga tahun 2016. Kemunculan dan penyebaran strain virus H5N8 dan H5N6 di Asia, yang meluas sampai ke Europa dan Amerika Utara, menekankan pentingnya Indonesia untuk tetap waspada dan memperkuat sistem surveilans guna mendeteksi masuknya virus AI, serta melindungi produksi unggas dan kesehatan manusia. Penilaian risiko dan rencana kontingensi untuk masuknya strain AI baru, serta ancaman penyakit emerging lainnya adalah tanggung jawab utama dari Direktorat Kesehatan Hewan (Ditkeswan). Merupakan suatu kehormatan bagi FAO untuk menjadi mitra aktif Ditkeswan dalam pelaksanaan tanggung jawab ini.

Setelah 10 tahun, FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) akhirnya sukses menyelesaikan kolaborasi teknis bersama Pemerintah Indonesia untuk Program Pengendalian Avian Influenza. Peningkatan kapasitas yang telah dibangun melalui program tersebut diharapkan dapat terus dilanjutkan untuk mengendalikan HPAI di tingkat desa, di industri unggas komersial, dan di sepanjang rantai nilai. Hal ini penting dalam upaya membantu melindungi kesehatan masyarakat Indonesia, mempertahankan sumber mata pencaharian mereka, sekaligus mengurangi ancaman pandemi global. Selain mendukung pengendalian HPAI di peternakan, Program ECTAD juga meningkatkan manajemen peternakan unggas, mempromosikan secara aktif keterlibatan sektor swasta, dan memperkenalkan intervensi biosekuriti di sepanjang rantai nilai unggas – yang pada akhirnya berkontribusi pada keamanan pangan. Program ECTAD juga membantu penguatan layanan veteriner nasional, serta meningkatkan profil petugas kesehatan hewan lokal dalam melakukan kegiatan pencegahan dan pengendalian penyakit hewan di komunitas.

Kesuksesan perjalanan 10 tahun ini menjadi landasan bagi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (DJ PKH) untuk bergerak lebih jauh. Dengan dukungan teknis dari FAO ECTAD, DJ PKH kini melaksanakan Program Emerging Pandemic Threats (EPT-2) yang baru, dengan cakupan pencegahan penyakit zoonosis dan infeksius baru (EID) yang luas. EPT-2 juga akan memperkuat kapasitas deteksi dan respons Pemerintah Indonesia dalam menghadapi

Avian influenza A (H7N9), which emerged in China in April 2013, continued to present a significant threat to public health in China into 2016. The emergence and spread of H5N8 and H5N6 virus strains in Asia with spread to Europe and North America, stresses the need for continuing vigilance in Indonesia and strengthening surveillance systems to detect avian influenza virus incursions and protect poultry production and human health. Risk assessment and contingency planning for the introduction of emerging influenza viruses and other emerging disease threats is an important responsibility of the Directorate of Animal Health (DAH) for which FAO is pleased to be an active partner.

The FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) Programme has just completed ten years of technical collaboration with the Government of Indonesia to enhance capacity to implement its successful Avian Influenza Control Programme to sustainably control HPAI at village level, in the commercial poultry industry and along the market chain in order to help safeguard the health and livelihoods of the Indonesian population and reduce the global pandemic threat. In addition to supporting on-farm HPAI control, the ECTAD Programme improved poultry farm management and productivity, actively promoted engagement with the commercial sector and introduced HPAI biosecurity interventions along the poultry value chain, thus improving food safety. The programme also assisted with strengthening national veterinary services and raising the profile of local government animal health professionals in engaging with and providing animal disease prevention and control services to the community.

The Directorate General of Livestock and Animal Health Services (DGLAHS), with technical support from FAO ECTAD, has now moved to implement a new Emerging Pandemic Threats (EPT-2) Programme, building on the success of avian influenza control. The EPT-2 Programme will expand the scope of zoonotic and emerging infectious disease (EID) prevention, detection and response to emerging threats at the livestock/wildlife/human interface in close partnership with the Ministry of Health and the Ministry of Environment and Forestry, using a One Health approach.

Page 13: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

3

Rabies is endemic in several parts of Indonesia. Bali had been rabies free until the disease was first confirmed in humans and in dogs in November 2008. FAO developed a successful rabies control programme with the DGLAHS and Bali Livestock Services, which succeeded in substantially reducing the number of human and animal cases of rabies through five rounds of island-wide mass dog vaccination. FAO continues to support the DGLAHS and the Bali administration to eradicate rabies from the province through technical cooperation and focusing on intensified dog vaccination interventions through development of elite vaccination teams (A-Teams), following the setback experienced in 2014/15. An integrated bite case management system and protocol was also developed, using a One Health cross-sectoral approach, to improve the management of persons potentially exposed to rabies through dog bites. In parallel FAO has been working at central level with the DAH to develop a national Master Plan or Road Map for the control of rabies across Indonesia. During 2015, FAO in collaboration with the DAH continued to implement the rabies project funded by World Animal Protection (WAP). The strategy used in Flores is similar to that of Bali, with the focus on annual island-wide mass dog vaccination campaigns, community awareness raising, and both technical and management capacity building for local government animal health staff. This project will continue until August 2016.

This 2015 Annual Report provides an overview of the activities carried out under the ECTAD Programme in collaboration with and in support of the Directorate General of Livestock and Animal Health Services, Ministry of Agriculture, the DKI Jakarta administration and local government livestock and animal health services in Indonesia to control both HPAI and rabies. Achievements in HPAI control across the key theme areas of strengthening veterinary services, capacity building, improving poultry health, and public private partnerships are presented. Activities related to the rabies programme are presented under the strengthening veterinary services theme.

ancaman penyakit yang muncul dari interaksi ternak, satwa liar dan manusia. Menggunakan pendekatan lintas sektor One Health, Kementrian Pertanian akan bermitra erat dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Rabies merupakan endemis di beberapa wilayah di Indonesia. Bali adalah daerah yang bebas rabies hingga adanya konfirmasi penyakit tersebut pada manusia dan anjing pada November 2008. FAO telah mengembangkan program pengendalian rabies bersama dengan DJ PKH dan Dinas Peternakan Bali, di mana jumlah kasus rabies pada manusia dan hewan telah berhasil ditekan melalui lima putaran vaksinasi anjing massal di seluruh Pulau Bali. Sebagai bentuk keberlanjutan dukungan terhadap DJ PKH dan pemerintah Bali dalam memberantas rabies, FAO mengintensifkan intervensi vaksinasi anjing melalui pembentukan tim vaksinasi elit (A-Team). Hal ini menyusul kemunduran yang dialami pada 2014/15. Sistem dan protokol tata lakasana kasus gigitan terpadu juga telah dikembangkan menggunakan pendekatan lintas sektor One Health, guna meningkatkan penanganan terhadap para individu yang rentan terjangkit rabies melalui gigitan anjing. Secara bersamaan, FAO juga bekerja di tingkat pusat bersama Ditkeswan untuk mengembangkan Rencana Master atau Road Map nasional untuk pengendalian rabies di Indonesia. Sepanjang 2015, FAO dan Ditkeswan terus melanjutkan proyek rabies dengan pendanaan dari World Animal Protection (WAP). Di Flores, strategi yang dikembangkan serupa dengan di Bali, yaitu berfokus pada kampanye vaksinasi anjing massal tahunan, peningkatan kesadaran masyarakat, serta pembangunan kapasitas teknis dan manajemen bagi petugas kesehatan hewan pemerintah daerah. Proyek ini berlangsung hingga Agustus 2016.

Laporan Tahunan 2015 ini memberikan gambaran tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan Program ECTAD bersama DJ PKH, Kementerian Pertanian, serta dinas peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia dalam pengendalian HPAI dan rabies. Laporan ini mencatat keberhasilan dalam pengendalian HPAI di bidang-bidang utama, seperti penguatan pelayanan veteriner, pembangunan kapasitas, peningkatan kesehatan unggas, dan kemitraan publik dan swasta. Kegiatan yang terkait dengan program rabies disajikan di bawah tema penguatan pelayanan veteriner.

Page 14: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

4

The FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) Programme works in close collaboration with the Government of Indonesia’s Ministry of Agriculture, the DKI Jakarta administration, and provincial and district Livestock and Animal Health Services; the Coordinating Ministry for Human Resource Development and Culture; the National Commission for Zoonoses Control (KOMNAS Zoonosis); the Ministry of Health; the United Nations country team, particularly the World Health Organization; the United States Agency for International Development (USAID), the Australia Indonesia Partnership on Emerging Infectious Diseases (AIP-EID) Programme implemented by the Australian Department of Agriculture (DA), ASEAN, the US Centers for Disease Control and Prevention, the Australian Animal Health Laboratory, and non-government partners such as the Indonesian poultry veterinarians’ association (ADPHI) and the National Poultry Health Committee (KKUN). In relation to rabies control, FAO works closely with the DGLAHS and the Bali and Nusa Tenggara Timur provincial livestock services, and the international NGO World Animal Protection, the Global Alliance for Rabies Control (GARC), and the University of Glasgow, UK.

The FAO ECTAD team includes 16 national technical advisers, two full-time and two part-time international technical advisers, and about 30 national operations and administrative support staff; the main programme office is in the Ministry of Agriculture, Jakarta, with subsidiary offices embedded in animal health services in Yogyakarta and Bali. FAO staff partner and work closely with the Unit Respon Cepat – Penyakit Hewan Menular Strategis (rapid response unit for strategic animal diseases), and all five sub-directorates of the Directorate of Animal Health, the Directorate of Veterinary Public Health and with local government animal health services, undertaking a range of activities in support of avian influenza, zoonoses and EID control. Some staff members also provide strategic technical support on rabies control to the DAH and the Bali and NTT provincial and district livestock services.

In 2015 the FAO ECTAD HPAI Programme in Indonesia was primarily funded by the United States Agency for International Development with the laboratory components part-funded through the USAID Emerging Pandemic Threats Programme.

The DGLAHS-FAO rabies control programme was supported through the project “Assistance to the Government of Indonesia for the effective and humane control of rabies in Indonesia, with special emphasis on Flores and Lembata Islands” funded by WAP.

ECTAD Indonesia wishes to express its profound gratitude to our donors and to acknowledge the support of the Director of Animal Health and our technical partners. The guidance and support of the FAO Representative in Indonesia is also gratefully acknowledged.

AcknowledgementUcapan Terima Kasih

4

Page 15: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

5

James J. McGraneTeam Leader

Program FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) secara erat bekerja sama dengan Kementerian Pertanian RI, Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota; KOMNAS Zoonosis; Kementerian Kesehatan; Perwakilan PBB, terutama World Health Organization; United States Agency for International Development (USAID), Program Australia Indonesia Partnership on Emerging Infectious Diseases (AIP-EID) yang dilaksanakan oleh Australian Department of Agriculture (DA), ASEAN, US Centers for Disease Control and Prevention, Australian Animal Health Laboratory, dan mitra non-pemerintah seperti Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia (ADPHI) dan Komite Kesehatan Unggas Nasional (KKUN). Terkait dengan pengendalian rabies, FAO bekerja sama erat dengan DJ PKH dan Dinas yang membidangi fungsiPeternakan dan Kesehatan Hewan provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur, NGO World Animal Protection, Global Alliance for Rabies Control (GARC), dan Universitas Glasgow, UK.

Tim FAO ECTAD terdiri dari 19 penasihat teknis nasional, dua penasihat teknis internasional penuh waktu dan dua paruh waktu, serta sekitar 30 staff operasional dan administrasi. Kantor utama program ada di Kementerian Pertanian di Jakarta, dengan beberapa kantor cabang yang ada di dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan di Yogyakarta dan Bali. Pegawai FAO bermitra dan secara erat bekerja sama dengan Unit Respon Cepat – Penyakit Hewan Menular Strategis, dan lima Sub-direktorat di Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Dinas Kesehatan Hewan pemerintah daerah, dalam melakukan berbagai kegiatan guna mendukung pengendalian avian influenza, zoonosis dan EID. Beberapa pegawai juga memberikan dukungan teknis strategis dalam pengendalian rabies kepada Ditkeswan dan dinas peternakan provinsi dan kabupaten Bali dan NTT.

Pada 2015, Program HPAI FAO ECTAD Indonesia sebagian besar didanai oleh United States Agency for International Development, dengan sebagian komponen laboratorium didanai melalui program USAID Emerging Pandemic Threats.

Program pengendalian rabies DJ PKH-FAO didukung melalui proyek “Assistance to the Government of Indonesia for the effective and humane control of rabies in Indonesia, with special emphasis on Flores and Lembata Islands” yang didanai oleh WAP.

ECTAD Indonesia menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada donor kami dan Direktur Kesehatan Hewan dan mitra teknis kami untuk dukungan yang diberikan. Kami juga berterima kasih atas bimbingan dan dukungan dari FAO Representative di Indonesia.

5

Page 16: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

6

StrengtheningVeterinary Services

Penguatan LayananVeteriner

6 National Veterinary Service Programme community engagement - Agam District, West Sumatra.Melibatkan komunitas dalam Program Layanan Veteriner Nasional - Kabupaten Agam, Sumatra Barat. (© FAO ECTAD Indonesia/B.Anderson).

Page 17: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

7

Assisting Animal Health Centres to Respondto Farmers’ NeedsDukungan terhadap Pusat Kesehatan Hewan dalam Merespon Kebutuhan Peternak

Strengthening Veterinary Services | Penguatan Layanan Veteriner

The National Veterinary Services (NVS) programme builds the technical and communication capacity

of district Veterinary Service Officers (VSO), or Petugas Pelayanan Veteriner (PPV) who are based in sub-district Animal Health Service Centres or Puskeswan. In 2015 the NVS programme was implemented in three Provinces and 32 districts: 19 districts in West Sumatra Province, 12 districts in Riau Province and one district in Bali Province. A total of 230 officers were trained and implemented the programme in these provinces.

In 2015, Riau province replicated the NVS programme in all 12 districts using their own budget. A local government workshop was organised for senior staff from all of Riau’s districts, attended by 34 provincial and district staff. The objective was to harmonise local government-funded and FAO-funded activities for the scale up of NVS in the province, as well as to develop a clear understanding of NVS activities among the PPV officers. The meeting committed to fund and support NVS implementation in all the 12 districts of Riau Province in 2015. Fifty-one animal health officers from Puskeswan level were trained in Riau Province. As part of the training, Integrated Bite Case Management (IBCM) training for rabies control was conducted, with 62 participants from the human health sector participating in the training. The objective was to establish and foster links between animal health and human health services and to improve the control of HPAI and rabies.

Advocacy and mentoring visits were conducted in all three NVS provinces for 86 VSO officers. In each province, a mentoring visit was first conducted at

Program Layanan Veteriner Nasional (National Veterinary Services/NVS) membangun kapasitas

teknis dan komunikasi petugas kesehatan hewan kabupaten, yang disebut dengan Petugas Pelayanan Veteriner (PPV) yang berbasis di Puskeswan kecamatan. Tahun 2015, NVS telah dilaksanakan di tiga Provinsi dan 32 kabupaten: 19 kabupaten di Provinsi Sumatera Barat, dua belas kabupaten di Provinsi Riau, dan satu kabupaten di Provinsi Bali. Sejumlah 230 petugas yang telah dilatih dan melaksanakan program di provinsi-provinsi tersebut.

Tahun 2015, pemerintah Riau mereplikasi program NVS di semua kabupaten dengan menggunakan dana mereka sendiri. Telah diselenggarakan lokakarya pemerintah daerah yang ditujukan untuk pegawai senior di seluruh kabupaten di Riau. Lokakarya dihadiri oleh 34 pegawai provinsi dan kabupaten/kota, guna mengharmonisasikan kegiatan yang didanai oleh pemerintah daerah dan yang didanai oleh FAO untuk kepentingan memperluas NVS di provinsi, serta membangun pemahaman yang jelas mengenai kegiatan NVS di kalangan petugas PPV. Dalam pertemuan ini, dihasilkan untuk mendanai dan mendukung NVS di seluruh 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau di tahun 2015. Sebanyak 51 petugas tingkat Puskeswan telah dilatih di Provinsi Riau. Sebagai bagian dari pelatihan, telah dilakukan pelatihan Tata Laksana Kasus Gigitan Terpadu (TAKGIT) untuk pengendalian rabies, yang diikuti oleh 62 peserta dari sektor kesehatan manusia. Tujuannya untuk mejanlin hubungan antara dinas kesehatan hewan dan kesehatan manusia, serta untuk meningkatkan pengendalian HPAI dan rabies.

Kunjungan advokasi dan mentoring telah dilakukan di tiga provinsi NVS melibatkan 86 petugas PPV. Di

Page 18: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

8

Community engagement on rabies control.Melibatkan komunitas dalam pengendalian rabies.(© FAO ECTAD Indonesia).

Cattle blood sampling under NVS Programme.Pengambilan sampel sapi - Program Layanan Veteriner Nasional. (© FAO ECTAD Indonesia).

Poultry blood sampling.Pengambilan sampel unggas. (© FAO ECTAD Indonesia).

Strengthening Veterinary Services | Penguatan Layanan Veteriner

Page 19: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

9

the district livestock service to discuss support for veterinary services with the head of the animal health section. This was followed up by a visit to the district Puskeswan to support field activities of the veterinary services officers, and to identify, discuss and resolve problems that might arise during the implementation of activities. All programme-trained veterinary service officers are able to work with the community to strengthen the network for passive and syndromic disease surveillance. They know how to prevent and control the local priority diseases (HPAI, rabies, brucellosis, anthrax, Jembrana disease and blood parasites of cattle), and they are competent to properly report animal diseases to the livestock service authority.

The NVS programme modified existing NVS training packages in order that the training can be financed through the government budget. The packages were modified during a workshop attended by 14 participants, representing the MOA Directorate of Animal Health, Directorate of Veterinary Public Health, Master Trainers and FAO. The existing two levels of NVS training were modified into a series of subject packages, each of which can be trained by MTs in three days. The training packages for national animal health services will be delivered in phases through technical guidance training called BimTek (bimbingan teknis), comprising a basic BimTek, an advanced BimTek and a special training package. The basic and advanced BimTek were piloted with 54 puskeswan officers in Klaten District, Central Java Province, and in Jambi Province.

The central government (DAH), in collaboration with provincial and district governments, has shown a strong commitment to build the technical skills of VSOs at puskeswan level. The MTs assisted in conducting the NVS training for VSOs to develop new skills, including diagnosis and control of priority diseases (HPAI, rabies, dog skin diseases, blood parasites of cattle and Jembrana disease), participatory disease investigation and syndromic surveillance.

During 2015, VSOs in the three provinces (Bali, West Sumatra and Riau) conducted 9,755 community meetings and 2,771 passive networking meetings. They investigated disease outbreaks and attended to sick animals (1,709 cattle, 1,157 goats, 39 chickens, 90 quails, 135 buffalos, 630 dogs, and 94 cats). More than

tiap provinsi, kunjungan mentoring diawali ke Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten untuk berdiskusi dengan pihak bidang kesehatan hewan mengenai pelayanan veteriner. Kemudian diikuti dengan kunjungan ke puskeswan kabupaten untuk mendukung kegiatan lapangan petugas PPV, sekaligus mengidentifikasi dan mendiskusikan masalah yang mungkin muncul saat pelaksanaan kegiatan. Semua petugas pelayanan veteriner yang telah dilatih mampu bekerja sama dengan masyarakat untuk memperkuat surveilans pasif dan sindromik. Mereka memahami bagaimana mencegah dan mengendalikan penyakit yang menjadi prioritas di daerah setempat (HPAI, rabies, brucellosis, anthrax, Jembrana dan parasit darah pada sapi), serta mampu membuat laporan dengan benar ke otoritas Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Pemerintah pusat (Direktorat Kesehatan Hewan) bersama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menunjukkan komitmen kuat untuk membangun keahlian teknis PPV di tingkat puskeswan. Para MT membantu dalam menyelenggarakan pelatihan tentang NVS kepada PPV untuk mengembangkan keahlian baru, termasuk diagnosa dan pengendalian penyakit prioritas (HPAI, rabies, penyakit kulit anjing, parasit darah pada sapi dan penyakit Jembrana), investigasi penyakit partisipatif dan surveilans sindromik.

Program NVS memodifikasi paket-paket pelatihan NVS yang telah ada sehingga pelatihan dapat dibiayai dengan anggaran pemerintah. Paket-paket ini dimodifikasi di dalam sebuah lokakarya yang dihadiri 14 peserta, yang mewakili Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dari Kementerian Pertanian, para MT dan perwakilan FAO. Dua level pelatihan NVS yang ada telah dimodifikasi menjadi sebuah rangkaian paket yang terdiri dari beberapa topik. Para Master Trainers (MT) kemudian akan melatih petugas selama tiga hari untuk masing-masing level pelatihan. Paket pelatihan untuk pelayanan kesehatan hewan nasional akan disampaikan secara bertahap melalui pelatihan BimTek (bimbingan teknis). Pelatihan ini terdiri dari BimTek dasar, BimTek lanjutan dan paket khusus. BimTek dasar dan lanjutan telah diuji coba di Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, dan di Provinsi Jambi untuk 54 petugas puskeswan.

Strengthening Veterinary Services | Penguatan Layanan Veteriner

Page 20: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

10

17,341 dogs and 5,090 cats were vaccinated against rabies through 857 vaccination activities. As many as 644 rapid response activities were conducted for rabies, where the VSOs collected and sent 70 samples for laboratory diagnosis, 37 of which were confirmed positive for rabies. Emergency vaccination was carried out around positive cases, and all bite victims received post-exposure rabies prophylactic vaccination, ensuring their survival. In addition, 2,096 syndromic surveillance reports were logged in the NVS database. NVS activities increased the level of cooperation between local government human health and animal health services under the One Health framework.

As part of the NVS component on strategic infectious animal disease control, a Training of Master Trainers (ToMT) for rabies control was conducted on 10-14 August 2015 in Denpasar, Bali. The training was attended by 42 animal health staff from 16 provinces to establish a network of trainers across Indonesia, who are capable of implementing comprehensive rabies control, including dog catching and restraint, in their areas.

Sepanjang 2015, PPV di tiga provinsi (Bali, Sumatera Barat dan Riau) telah melakukan 9.755 pertemuan masyarakat dan 2.771 pertemuan jejaring pasif. Mereka melakukan ivestigasi terhadap hewan sakit (1.709 sapi, 1.157 kambing, 39 ayam, 90 burung puyuh, 135 kerbau, 630 anjing, dan 94 kucing). Sekitar 17.341 anjing dan 5.090 kucing telah divaksin rabies dalam 857 kegiatan vaksinasi. Sebanyak 644 kegiatan respons cepat dilaksanakan, di mana petugas mengirimkan 70 sampel – 37 diantaranya terkonfirmasi positif rabies. Vaksinasi darurat telah dilakukan untuk kasus-kasus positif, dan semua korban menerima vaksinasi prophylactic rabies pasca-pajanan, sehingga mereka dapat terselamatkan. Sebagai tambahan, 2.096 laporan surveilans sindromik telah dimasukkan ke dalam database NVS. Kegiatan NVS telah meningkatkan kerja sama antara Dinas Kesehatan dan Kesehatan Hewan di daerah di bawah kerangka kerja One Health.

Sebagai bagian dari komponen NVS untuk pengendalian penyakit hewan menular strategis, telah dilakukan Training of Master Trainers (ToMT) untuk pengendalian rabies pada 10-14 Agustus 2015 di Denpasar, Bali. Pelatihan ini dihadiri oleh 42 pegawai kesehatan hewan dari 16 provinsi guna mengembangkan jaringan para pelatih di seluruh Indonesia yang mampu melaksanakan pengendalian rabies, termasuk penangkapan anjing, di wilayah mereka.

Demonstrating blood sampling technique in dogs.Demonstrasi teknik pengambilan sampel anjing. (© FAO ECTAD Indonesia).

Strengthening Veterinary Services | Penguatan Layanan Veteriner

Page 21: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

11

Live bird market (LBM) surveillance has been used to monitor highly pathogenic avian influenza

(HPAI) H5N1 virus circulation in LBM catchment or poultry production areas by detecting the virus in the downstream poultry value chain. LBM surveillance started in 2009 in the Greater Jakarta area (Jabodetabek) and was expanded in 2013 to Surabaya (East Java) and Medan (North Sumatra). The LBM surveillance system has successfully supported the attainment of its objectives: to monitor overall HPAI control in Indonesia; to monitor circulating viruses of different clades and to provide virus isolates to the Influenza Virus Monitoring (IVM) system. LBM surveillance also provides information on virus circulation in the commercial sector from which sector information on HPAI has been difficult to obtain in the past.

After the emergence of influenza A (H7N9) in China in 2013 and other new influenza A strains in Asia more recently, surveillance at LBM has been used for risk-based surveillance to assess the presence of influenza H7N9 and the early detection of the potential incursion of other strains of the H5 virus, such as H5N2, H5N6, and H5N8. In addition, it has been used to assess the present situation of influenza H9N2 virus in Indonesia, which has been implicated as an important contributor to the emergence of new influenza A strains in Asia. All LBM samples are PCR-tested using an algorithm which allows the detection of the different H and N types. Since 2015, the Directorate of Animal Health (DAH) through the Sub-directorate

Surveilans Pasar Unggas Hidup (Live bird market/LBM) berperan dalam memonitor sirkulasi virus

di daerah tangkapan LBM dan di daerah produksi unggas dengan mendeteksi virus di hilir rantai nilai unggas. Surveilans LBM telah dimulai tahun 2009 di Jabodetabek, dan diperluas ke Surabaya (Jawa Timur) dan Medan (Sumatera Utara) pada tahun 2013. Sistem surveilans LBM telah nerhasil mendukung pencapaian tujuannya: memonitor seluruh pengendalian HPAI di Indonesia; memonitor sirkulas virus dengan clade yang berbeda; dan menyediakan isolat virus ke dalam sistem Monitoring Virus Influenza (IVM). Surveilans LBM juga memberikan informasi mengenai sirkulasi virus di sektor komersial, di mana informasi mengenai HPAI sulit sekali diperoleh di masa lalu.

Setelah munculnya Influenza A (H7N9) di China tahun 2013 dan strain influenza A baru lainnya di Asia, surveilans LBM juga telah digunakan untuk surveilans berbasis risiko. Dalam surveilans berbasis risiko dilakukan penilaian pada keberadaan Influenza H7N9, serta pada deteksi dini akan potensi masuknya strain virus Influenza H5 yang lain (seperti H5N2, H5N6, H5N8). Sebagai tambahan, surveilans juga digunakan untuk menilai situasi terkini Influenza H9N2 di Indonesia, yang dianggap menjadi penyebab utama dari munculnya strain Influenza A baru di Asia. Seluruh sampel LBM telah melalui pengujian Polymerase chain Reaction (PCR) menggunakan sebuah algoritme yang memungkinkan deteksi tipe H dan N yang berbeda. Sejak 2015, Direktorat Kesehatan Hewan melalui Sub-direktorat Pengamatan Penyakit Hewan juga telah

Live Bird Market SurveillanceSurveilans Pasar Unggas Hidup

Strengthening Veterinary Services | Penguatan Layanan Veteriner

Page 22: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

12

of Animal Disease Surveillance has also included LBM surveillance activities in the routine work of three Disease Investigation Centres (DIC): DIC Medan, DIC Subang and DIC Wates. The centres have successfully conducted LBM environmental surveillance using the FAO surveillance model. As part of the avian influenza surveillance programme at DICs, LBM environmental surveillance activities are planned to be expanded to the work areas of other DICs in Indonesia.

memasukkan kegiatan surveilans LBM di wilayah kerja dari tiga Balai Veteriner: BVet Medan, BVet Subang dan BBVet Wates. Balai-balai ini telah berhasil melakukan surveilans lingkungan LBM dengan menggunakan model surveilans yang dikembangkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan bersama FAO. Sebagai bagian dari program surveilans avian influenza di BBVet/BVet, kegiatan surveilans LBM direncanakan akan diperluas ke wilayah kerja tertarget dari BBVet/Bvet lainnya di Indonesia.

Surveillance for HPAI at a traditional market.Surveilans HPAI di pasar tradisional. (© FAO ECTAD Indonesia/A.P.Madri).

Strengthening Veterinary Services | Penguatan Layanan Veteriner

Page 23: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

13

Reducing the Risk of RabiesMengurangi Risiko Rabies

The Indonesian rabies control programme focuses on mass dog vaccination, rapid response to bite

cases, joint investigation of bite cases between the animal health and human health sectors leading to correct treatment of bite victims, emergency vaccination around positive cases and communication about the risks of rabies.

Bali Province and district livestock services carried out the fifth round of mass dog vaccination vaccinating 380,360 dogs across the island. FAO together with the Directorate of Animal Health conducted follow-up sweeping vaccination in districts where local government vaccination coverage was sub-optimal; sweeping vaccinations were performed by elite A-Teams in the form of A-Team Competitions to encourage rapid and comprehensive vaccination, especially of unconfined or outside dogs. The competition atmosphere encouraged each team to try to catch and vaccinate as many dogs as possible and resulted in progressive improvement in skills. These activities were conducted in September, November and December 2015. The sweeping vaccination activity focused on areas with a high incidence of rabies, due to low annual vaccination campaign coverage. The total number of dogs vaccinated by the A-Teams was 32,249 dogs.

In support of national rabies control and eradication measures, FAO also supported the Directorate of Animal Health in implementing rabies control capacity building activities in Flores and Lembata Islands. The main capacities to be improved were the management of mass dog vaccination, field vaccination skills (dog handling and restraint, cold-chain management, vaccination), case reporting and data management. A

Program pengendalian rabies Indonesia berfokus pada beberapa hal: vaksinasi anjing massal; respons

cepat terhadap kasus gigitan; investigasi gabungan untuk kasus gigitan antara sektor kesehatan hewan dan manusia sehingga korban gigitan mendapatkan penanganan yang tepat; vaksinasi darurat di sekitar kasus positif; dan komunikasi mengenai risiko rabies.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi dan kabupaten/kota di Bali telah melakukan vaksinasi anjing massal putaran ke lima dan telah memvaksin 380.360 anjing. FAO bersama dengan Direktorat Kesehatan Hewan kemudian menindak lanjuti dengan vaksinasi sweeping yang dilakukan oleh A-Team dalam bentuk Kompetisi A-Team di daerah yang cakupan vaksinasinya kurang optimal agar vaksinasi dilaksanakan secara cepat dan komprehensif terutama terhadap anjing yang tidak diikat dan anjing diluar rumah. Suasana ompetisi mendorong setiap tim untuk mencoba menangkap dan memvaksin anjing sebanyak mungkin dan meningkatkan kemampuan mereka. Kegiatan ini dilakukan bulan September, November dan Desember 2015. Kegiatan vaksinasi sweeping difokuskan di daerah dengan tingkat kejadian rabies yang tinggi. Sejumlah 32.249 anjing telah divaksin oleh A-Team.

Dalam mendukung langkah pengendalian dan pemberantasan rabies, FAO juga mendukung Direktorat Kesehatan Hewan dalam melaksanakan kegiatan peningkatan kapasitas di pulau Flores dan Lembata. Kapasitas utama yang dikembangkan khususnya adalah manajemen vaksinasi massal, keterampilan dalam melakukan vaksinasi lapangan (penanganan anjing, manajemen rantai dingin, melakukan vaksinasi) dan pelaporan serta manajemen

Strengthening Veterinary Services | Penguatan Layanan Veteriner

Page 24: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

14

second island-wide dog mass vaccination campaign was launched in Flores in September 2015 during which vaccination coverage and vaccination campaign coordination improved markedly, compared with the first annual campaign in 2014.

Lessons learned, both from Bali and Flores, have been used to improve rabies control across the country and the rabies control models developed in Indonesia have been promoted to other countries in Asia. During the year, a mission from Sri Lanka and a high level delegation from China, from the Center for Animal Disease Control (CADC), visited both Bali and Flores to learn from rabies control experiences in Indonesia.

At national level FAO supports the development and endorsement by the Directorate of Animal Health of a national strategy and roadmap for rabies control and eradication in Indonesia.

During the final quarter of the year, FAO further assisted rabies control efforts in Bali by preparing a Technical Cooperation Programme (TCP) project to rapidly reduce the recent increased incidence of rabies in dogs and the increased rabies risk to humans in Bali, aimed at bringing rabies control in the island back on track. The project will be implemented in 2016.

data. Kampanye vaksinasi massal anjing putaran kedua diluncurkan di Flores pada September 2015. Cakupan vaksinasi dan koordinasi kampanye vaksinasi telah sangat meningkat jika dibandingkan dengan tahun pertama.

Pembelajaran yang diperoleh, baik dari Bali dan Flores digunakan untuk memperluas peningkatan pengendalian rabies di seluruh Indonesia dan ke negara lain. Selama tahun tersebut ada satu misi dari Sri Lanka dan delegasi menteri tingkat tinggi dari China, dari Center for Animal Disease Control (CADC), yang mengunjungi Bali dan Flores untuk belajar mengenai pengalaman pengendalian rabies di Indonesia.

Di tingkat nasional FAO mendukung Direktorat Kesehatan Hewan dalam proses pengembangan strategi dan roadmap nasional tentang pengendalian dan pemberantasan rabies di Indonesia.

Dengan terjadinya peningkatan kasus pada anjing dan risiko rabies terhadap manusia pada tahun 2015, maka diakhir tahun FAO mempersiapkan Technical Cooperation Project (TCP) untuk membantu pengendalian rabies di Bali, guna menurunkan kejadian rabies dengan cepat. Proyek ini akan dilaksanakan tahun 2016.

Mass dog vaccination against rabies by A-Team - Bali.Vaksinasi massal anjing oleh A-Team untuk membasmi rabies. (© FAO ECTAD Indonesia/B.Anderson).

Strengthening Veterinary Services | Penguatan Layanan Veteriner

Page 25: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

15

As part of efforts to strengthen veterinary services and improve HPAI control management at the

local level, the use of the PDSR Version 3 database was extended to the district level. With the development and improvement of the integrated national animal health information system (iSIKHNAS) and the nationwide expansion of the system driven by DAH, the gradual integration of PDSR HPAI reporting into iSIKHNAS commenced in 2015. Moreover, in order to improve HPAI control on sector 3 commercial poultry farms, a database for commercial poultry veterinary service (PVUK) programme was developed. The programme was developed to produce four automated reports and a map providing information on farm profiles and biosecurity status, disease surveillance in sector 3 poultry farms, staff performance, and the current HPAI situation on commercial poultry farms. An LBM surveillance database was developed, with four reports and five maps to provide information on LBM profiles and the laboratory results of market environmental sample testing.

In addition, the integrated HPAI Control Strategy (IHCS) database was further developed and the rabies campaign management database was improved. The development of specific databases, with output reports and maps, is aimed at improving local disease control management, which will eventually strengthen veterinary service in Indonesia. User manuals for the

Sebagai bagian dari upaya menguatkan pelayanan veteriner, serta meningkatkan manajemen

pengendalian HPAI di tingkat daerah, penggunaan database PDSR Versi 3 telah diperluas ke tingkat kabupaten. Dengan pengembangan dan kemajuan sistem informasi kesehatan hewan nasional terpadu (iSIKHNAS), dan dengan perluasan sistem skala nasional yang didorong oleh Ditkeswan, integrasi bertahap pelaporan HPAI PDSR ke iSIKHNAS telah dilaksanakan pada 2015. Selain itu, dalam rangka meningkatkan pengendalian HPAI di peternakan unggas komersial sektor 3, telah dikembangkan sebuah program database untuk pelayanan veteriner unggas komersial (PVUK). Program ini menghasilkan empat laporan otomatis dan satu peta berisi informasi tentang profil peternakan dan status biosekuriti, surveilans penyakit di peternakan unggas sektor 3, kinerja pegawai, dan situasi HPAI di peternakan unggas komersial. Sebagai tambahan, telah dikembangkan database surveilans LBM dengan empat laporan dan lima peta guna memberikan informasi profiling pasar unggas hidup, dan hasil lab untuk pengambilan sampel pasar (Matrix dan H5).

Selain itu, telah dikembangkan database Pengendalian HPAI Terpadu (PAT), sementara database pengendalian rabies telah ditingkatkan menjadi manajemen data yang lebih maju. Pengembangan database khusus dengan hasil laporan dan peta adalah untuk

Improved Data Management to Support Disease ControlPeningkatan Manajemen Data untuk Mendukung Pengendalian Penyakit

Strengthening Veterinary Services | Penguatan Layanan Veteriner

Page 26: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

16

databases are available in printed and digital versions. With the gradual improvement of iSIKHNAS, it is expected that iSIKHNAS will eventually take over all animal disease reporting functions.

The capacity of central and provincial Rapid Response Units (URC) was improved through regular data coordination meetings, central training sessions and refresher training courses for provincial and district data encoders on HPAI reporting, basic data mapping (GIS) and basic data analysis. In 2015, 162 provincial and district data encoders from 24 provinces were trained. Six data encoding master trainers (MT DE) from North Sumatra, West Sumatra, Lampung, West Java, Central Java and West Kalimantan provinces were selected as expert trainers to support and mentor district data encoders. Human resources skilled in data management are valuable assets to support disease control actions.

meningkatkan manajemen pengendalian penyakit di daerah, yang nantinya akan memperkuat pelayanan veteriner di Indonesia. Petunjuk penggunaan database telah tersedia dalam versi cetak dan digital. Melalui perkembangan yang bertahap, diharapkan agar iSIKHNAS nantinya akan mencakup semua kegiatan pelaporan situasi kesehatan hewan.

Kapasitas URC pusat dan provinsi telah dikembangkan sebagai latihan secara terus-menerus melalui rapat koordinasi data reguler dan pelatihan-pelatihan. Ini termasuk pelatihan untuk URC pusat dan pelatihan refresher untuk data encoder provinsi dan kabupaten yang mencakup materi pelaporan HPAI, pemetaan data GIS dasar, dan analisa data dasar. Sepanjang 2015 telah dilatih 162 data encoder provinsi dan kabupaten/kota dari 24 provinsi. Sebanyak enam master trainer untuk data encoder (MT DE) berprestasi dari Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat telah terpilih menjadi pelatih ahli dan mentor bagi data encoder pada saat pelatihan manajemen data. Dalam manajemen data, keahlian yang terkait sumber daya manusia merupakan aset bernilai dalam mendukung upaya pengendalian penyakit.

Database management training - LBM surveillance programme.Pelatihan manajamen database - Program Surveilans Pasar Unggas Hidup. (© FAO ECTAD Indonesia/B.Anderson).

Strengthening Veterinary Services | Penguatan Layanan Veteriner

Page 27: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

17

The advocacy programme has been working to secure resources in support of field animal

disease control activities. This includes informing and influencing decision-makers on important issues that affect the impact of animal disease control on public health. The key lessons learned from programme implementation have been the significance of strong leadership and commitment of the central, provincial, and district governments to control animal diseases and sufficient budget allocation for implementation of animal disease control at field level.

As a result of advocacy team activities in 2015, the programme’s eight target provinces, namely North Sumatra, Lampung, Banten, Jakarta, West Java, Central Java, Yogyakarta and East Java, maintained adequate local budget allocations (APBD) and accessed de-concentrated funding from the central government (APBN).

Furthermore, the Integrated HPAI Control Strategy (IHCS) programme, piloted in Banten and West Sumatra Provinces, successfully obtained the commitment of decision makers in both pilot provinces. Local government operational budgets have been allocated for IHCS pilot activities in 2015 and for replication of the programme in 2016.

Program advokasi dilaksanakan untuk melindungi sumber daya dalam mendukung kegiatan

pengendalian penyakit hewan di lapangan. Hal ini termasuk menginformasikan para pengambil kebijakan tentang isu-isu penting yang dapat mempengaruhi dampak program pengendalian penyakit hewan pada kesehatan masyarakat. Program advokasi ini mencatat pentingnya kepemimpinan dan komitmen yang kuat dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten dalam mengendalikan penyakit hewan, dan menyediakan alokasi anggaran yang mencukupi bagi pelaksanaan pengendalian penyakit hewan di lapangan. Sebagai hasil dari kegiatan yang dilakukan oleh tim advokasi, di tahun 2015, kedelapan provinsi target program advokasi, yaitu Sumatera Utara, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur, mempertahankan alokasi dana yang memadai dari APBD dan akses pendanaan dekon dari APBN pusat.

Lebih jauh lagi, program PAT yang baru dikembangkan di Indonesia dan diujicobakan di Provinsi Banten dan Sumatera Barat telah berhasil mendapatkan komitmen dari para pengambil keputusan di dua provinsi percontohan tersebut. Pemerintah daerah telah mengalokasikan dana operasional untuk kegiatan percontohan PAT tahun 2015 dan untuk replikasi program di tahun 2016.

Expansion of Government-Funded HPAI Control ActivitiesPerluasan Kegiatan Pengendalian HPAI dengan Dukungan Dana Pemerintah

Strengthening Veterinary Services | Penguatan Layanan Veteriner

Page 28: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

18

Animal Health Service Management (AHSM) Guidelines have been finalised and the final version (a living document) handed over to the Directorate of Animal Health (DAH) through the Animal Health Organization and Resources sub-directorate (KSKH) for further action. To enforce the legal status of the AHSM Guidelines to local governments, an MOA Regulation (Permentan), or at least a Regulation of the Director General of Livestock and Animal Health Services (DGLAHS) (Perdirjen), needs to be promulgated. These guidelines are to be used by local government animal health services to ensure appropriate planning and adequate budgeting of animal health activities in the future.

To celebrate the finalisation of the OSRO/INS/103/USA project, a Closing Workshop was held on 22 September 2015 in Jakarta, aimed at showcasing and sharing information on key activities, results and achievements of the project. The workshop stressed the transition and expansion of OSRO/INS/103/USA project activities under the new Emerging Pandemic Threats (EPT-2) Programme and the expectation that the MOA would continue to sustain current animal health activities, but also commit its support for the new EPT-2 project OSRO/INS/501/USA.

Panduan Manajemen Pelyanan Kesehatan Hewan telah dirampungkan. Agar Panduan Manajemen Layanan Kesehatan Hewan dapat memiliki kekuatan hukum di tingkat pemerintah daerah, versi panduan final saat ini telah diserahkan ke Direktorat Kesehatan Hewan melalui Subdit Kelembagaan dan Sumber Daya Kesehatan Hewan (KSKH) agar selanjutnya dapat diproses menjadi Peraturan Menteri Pertanian/Permentan, atau setidaknya sebagai Peraturan DJ PKH/Perdirjen. Panduan ini akan digunakan untuk merencanakan dan membuat anggaran kegiatan kesehatan hewan di masa mendatang.

Mengakhiri proyek OSRO/INS/103/USA, telah dilakukan lokakarya penutupan proyek pada 22 September 2015 di Hotel Sari Pan Pacific. Ini merupakan bagian dari upaya advokasi proyek, yang ditujukan untuk berbagi informasi mengenai hasil dan pencapaian utama kepada para pemangku kepentingan. Lokakarya tersebut menggarisbawahi transisi dan perluasan proyek OSRO/INS/103/USA di bawah Program Emerging Pandemic Threats phase two (EPT-2). Diharapkan agar pemerintah RI terus melanjutkan kegiatan terkait kesehatan hewan yang sudah ada, serta memperluas komitmen untuk mendukung proyek OSRO/INS/501/USA yang baru.

HPAI to EPT-2 Programme Transition workshop - September 2015.Lokakarya Transisi HPAI ke Program EPT-2 - September 2015. (© FAO ECTAD Indonesia/B.Anderson).

Strengthening Veterinary Services | Penguatan Layanan Veteriner

Page 29: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

19

The Integrated HPAI Control Strategy (IHCS) integrates different components of HPAI control

interventions into one strategy. The ultimate goal of IHCS is to progressively control HPAI at source, and reduce its incidence by 25 percent annually. This is achieved by protecting poultry on farms and reducing the spread of HPAI virus along the poultry market chain. Key activities on commercial farms include effective vaccination of layers and implementation of effective biosecurity measures using a 3-zones biosecurity approach on small scale commercial farms. The key activities in back yard poultry are rapid response and focal culling. The key activity to prevent the spread of virus along the value chain is improving cleaning and disinfection of poultry transport vehicles and crates.

In 2015, IHCS was piloted in two Provinces and four districts: Agam and Limapuluh Kota districts in West Sumatra Province, and Serang and Lebak districts in Banten Province. The development and implementation of the IHCS pilot included a range of activities as follows: local government workshops (LGWS); development of VSO training materials; training of Master Trainers (ToT MT); training and field mentoring of VSOs; and evaluation of the IHCS pilot.

LGWS were conducted in West Sumatra and Banten Province, attended by provincial and pilot district level staff, who agreed on IHCS implementation and committed local government operational budget to support VSO field activities.

Twenty-one Master Trainers were trained in 2015 to conduct IHCS training for VSOs, while 90 VSOs and six data management staff from the four pilot districts were trained. Trained VSOs implemented 130 farm visits (76 layer farms and 54 broiler farms) during

Pengendalian HPAI Terpadu merupakan sebuah strategi yang mengintegrasikan berbagai

komponen intervensi pengendalian HPAI. Tujuan akhir dari PAT adalah pengendalian HPAI secara progresif dan penurunan angka kejadian sebanyak 25 persen setiap tahun, dengan cara mengendalikan penyakit pada sumbernya. Hal ini dapat tercapai dengan melindungi unggas di peternakan dan mengurangi penyebaran virus HPAI di sepanjang rantai pasar unggas. Kegiatan utama di peternakan komersial adalah vaksinasi efektif pada layer dan pelaksanaan biosekuriti yang efektif dengan konsep biosekuriti 3-zona di peternakan komersial skala kecil. Kegiatan utama di unggas pekarangan adalah respons cepat dan pemusnahan. Sementara itu, kegiatan utama untuk mencegah penyebaran virus di sepanjang rantai nilai adalah dengan meningkatkan pembersihan dan disinfeksi (C&D) bagi kendaraan transportasi dan keranjang unggas.

Tahun 2015, PAT diujicobakan di dua provinsi dan empat kabupaten, yaitu di Agam dan Limapuluh Kota di Sumatera Barat, dan kabupaten Serang dan Lebak di Provinsi Banten. Pengembangan dan pelaksanaan percontohan PAT terdiri dari kegiatan sebagai berikut: lokakarya untuk pemerintah daerah, pengembangan materi untuk pelatihan PPV, Training for Master Trainer (ToT MT), pelatihan untuk PPV, mentoring lapangan untuk PPV dan evaluasi percontohan PAT.

Lokakarya dengan pemerintah daerah (LGWS) telah dilakukan di Provinsi Sumatera Barat dan Banten, dan dihadiri oleh pegawai dari tingkat provinsi dan kabupaten percontohan. Dalam lokakarya disepakati tentang pelaksanaan PAT, dan dukungan anggaran operasional di tingkat daerah bagi PPV di lapangan.

Sejumlah 21 Master Trainer telah dilatih untuk memberikan pelatihan PAT bagi PPV. Selama periode

Integrated HPAI Control Strategy (IHCS) PilotPercontohan Pengendalian HPAI Terpadu (PAT)

Strengthening Veterinary Services | Penguatan Layanan Veteriner

Page 30: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

20

which the farms were assessed on the implementation of good HPAI vaccination and effective 3-zone biosecurity.

In a follow up to previous IHCS activities, VSOs conducted farmer training at 55 farms (37 broiler and 18 layer farms). After the training, most of the farms were able to adopt the 3-zone biosecurity concept and improved vaccination practice promoted by the IHCS programme.

The pilot project in four districts provided useful information for further IHCS scaling up by the government. Both pilot provinces committed themselves to scale up IHCS in all their districts in 2016. However, to expand the IHCS programme to all HPAI endemic areas in Indonesia still requires a huge effort in capacity building and the provision of sufficient operational funding by local animal health services.

pelaporan, telah dilaksanakan pelatihan untuk 90 PPV dan 6 pegawai manajemen data dari empat kabupaten percontohan. Setelah pelatihan, PPV telah melaksanakan 130 kunjungan ke peternakan (76 peternakan layer dan 54 peternakan broiler). Selama kunjungan, PPV melakukan penilaian pelaksanaan vaksinasi HPAI yang baik dan biosekuriti 3-zona yang efektif di peternakan.

Sebagai tindak lanjut dari kegiatan sebelumnya, PPV melaksanakan pelatihan peternak di 55 peternakan (37 peternakan broiler dan 18 peternakan layer). Setelah pelatihan, sebagian besar peternakan telah mampu mengadopsi konsep biosekuriti 3-zona dan vaksinasi yang baik di bawah program PAT.

Percontohan PAT di empat kabupaten telah memberikan informasi yang berguna bagi pemerintah dalam melakukan perluasan daerah adopsi. Kedua provinsi percontohan telah berkomitmen untuk memperluas PAT ke seluruh kabupaten/kota pada tahun 2016. Namun demikian, perluasan program PAT ke seluruh daerah endemik HPAI di Indonesia masih memerlukan upaya besar dalam hal pembangunan kapasitas dan dukungan operasional yang memadai.

Gathering with poultry farmers for the IHCS Pilot Programme.Pertemuan dengan peternak unggas untuk Program Pilot PAT. (© FAO ECTAD Indonesia).

Strengthening Veterinary Services | Penguatan Layanan Veteriner

Page 31: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

21

Capacity BuildingPembangunan Kapasitas

Training on best practices in poultry farming - Riau Province.Pelatihan praktik-praktik terbaik di peternakan unggas - Provinsi Riau. (© FAO ECTAD Indonesia).

Page 32: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

22

In collaboration with the DAH surveillance sub-directorate, the Epidemiology team conducted a

3-day training workshop on risk-based surveillance (RBS) for 40 DIC and provincial Animal Health service (Dinas) staff in Bukittinggi, West Sumatra. DICs are responsible for designing and carrying out sampling for surveillance of priority animal diseases in their regions. The training addressed practical approaches, focusing on the selection of Live Bird Markets for surveillance in the catchment areas of each DIC.

In addition, a 5-day ‘Outbreak Investigation and Response’ training, developed in 2013, was repeated for 30 district and provincial animal health staff in Makassar, South Sulawesi. The purpose of the training was to improve practical skills and share knowledge among participants on farm investigations, disease outbreak timelines, disease hypothesis development, case tracing, biosecurity, and outbreak control. Participatory mapping was used to map disease risks from the community perspective. A group of Master Trainers, which were specifically trained to deliver this course, managed to deliver most of this training and can be used for similar training courses in other provinces in the future.

In October a 5-day ‘Field-Laboratory Linkage’ training was conducted at the DIC Maros for 25 participants from the DAH, DIC laboratories and local government animal health services. The training was a replication of a similar regional ToT training, held in Thailand in 2013 and had already been conducted at DIC Subang in 2014. Participants were trained to review

Tim Epidemiologi berkolaborasi dengan Sub Direktorat Pengamatan Penyakit Hewan,

Direktorat Kesehatan Hewan, telah melakukan pelatihan selama tiga tentang surveilans berbasis risiko (RBS) untuk 40 staf BBVet/Bvet, serta pegawai Dinas yang membidangi Kesehatan Hewan provinsi di Bukittinggi. BBVet dan BVet bertanggung jawab untuk merancang dan melakukan sampling untuk surveilans penyakit hewan prioritas di wilayah mereka. Pelatihan tersebut menggunakan pendekatan praktis, dan berfokus pada pemilihan Pasar Unggas Hidup untuk surveilans di daerah tangkapan di setiap BBVet/Bvet.

Selain itu, pelatihan Outbreak Investigation and Response (yang dikembangkan tahun 2013) dilaksanakan ulang di tahun 2015 selama lima hari, melibatkan 30 petugas kesehatan hewan provinsi dan kabupaten/kota di Makassar, Sulawesi Selatan. Tujuan dari pelatihan adalah untuk meningkatkan keahlian praktis dan berbagi pengetahuan di antara peserta mengenai investigasi peternakan, lini waktu/kronologi wabah penyakit, pengembangan hipotesa penyakit, penelusuran kasus, biosekuriti, dan pengendalian wabah. Pemetaan partisipatif digunakan untuk memetakan risiko penyakit dari perspektif masyarakat. Sekelompok Master Trainer yang mendapatkan pelatihan dalam bidang ini telah mampu menyampaikan hampir seluruh materi pelatihan yang dapat dimanfaatkan untuk pelatihan di provinsi lain di masa mendatang.

Pada bulan Oktober telah dilakukan pelatihan Field-Laboratory Linkage selama lima hari di BVet Maros

Epidemiology Training for Better Disease ControlPelatihan Epidemiologi untuk Pengendalian Penyakit yang Lebih Baik

Capacity Building | Pembangunan Kapasitas

Page 33: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

23

basic concepts of disease pathogenesis, clinical signs, necropsy techniques, appropriate sampling and specimen packing/dispatch, and laboratory testing in an effort to improve field-laboratory communications, information exchange, collaboration and linkages.

In addition to these epidemiology training sessions, a workshop was conducted in June to discuss the development of a Field Epidemiology Training Programme for Veterinarians (FETPV) in Indonesia. At this workshop, representatives from DAH, Universities (UGM and IPB), DICs and the Indonesian Field Epidemiology Training Programme (MOH) agreed on a roadmap for the development of FETPV in close collaboration with FETP. It is expected that with the establishment of such an FETPV programme, expanded epidemiology capacity will be built at different levels of the veterinary service in Indonesia.

untuk 25 peserta dari Direktorat Kesehatan Hewan, BBVet/BVet dan Dinas yang membidangi fungsi kesehatan hewan pemerintah setempat. Pelatihan ini merupakan replikasi dari pelatihan ToT Regional yang sama, yang dilakukan di Thailand tahun 2013 dan telah dilaksanakan di BBVet Subang setahun sebelumnya. Para peserta dilatih untuk meninjau konsep dasar mengenai pathogenesis penyakit, tanda-tanda klinis, teknik nekropsi, pengambilan sampel yang tepat dan pengemasan/pengiriman spesimen, serta uji laboratorium dalam upaya meningkatkan komunikasi lapangan-laboratorium, kerjasama dan hubungan pertukaran informasi.

Sebagai tambahan, pada bulan Juni dilakukan sebuah lokakarya guna mendiskusikan pengembangan Field Epidemiology Training Programme for Veterinarians (FETPV) di Indonesia. Dalam lokakarya ini, perwakilan dari Ditkeswan, universitas (UGM dan IPB), BBVet/BVet dan Indonesian Field Epidemiology Training Program (FETP - Kemenkes) telah menyepakati sebuah roadmap bagi pengembangan FETPV yang berkolaborasi erat dengan FETP. Diharapkan bahwa dengan pembentukan program FETPV ini, kapasitas epidemiologi lanjutan dapat dikembangkan di seluruh tingkatan layanan veteriner di Indonesia, baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota.

Capacity Building | Pembangunan Kapasitas

Training on GPS use for field epidemiology.Pelatihan penggunaan GPS untuk epidemiologi lapangan. (© FAO ECTAD Indonesia/A.P.Madri).

Page 34: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

24

Participatory Disease Surveillance and Response (PDSR) is a system to address HPAI prevention and

control in village poultry. VSOs follow up on reports of dead and dying poultry, and assist the village in controlling the outbreak through HPAI diagnosis based on conducting a rapid antigen test, culling the infected flock, controlling movement and cleaning and disinfection of poultry housing.

In order to develop training skills embedded in the provincial and district governments in Indonesia, a network of Master Trainers (MT) has been trained and empowered to carry out the PDSR training. A total of 42 MTs received training on how to analyse data to assist them in making decisions on controlling disease in their districts. With skills in the prevention and control of poultry diseases, VSOs with PDSR skills and MTs are becoming more competent and are developing sustainability for the future.

During 2015, new material on HPAI prevention was introduced to 212 VSOs working within the PDSR system for use in small-scale commercial farms. These One-Day Training (ODT) sessions covered farm bio-security assessment, farm cleaning and disinfection, syndromic surveillance and disease investigation using the subjective, objective, assessment and planning (SOAP) method. A modified method for testing ducks, using the rapid influenza A antigen detection test (RAT) for HPAI on immature feathers was introduced to the VSOs. ODTs were carried out by FAO-trained

Participatory Disease Surveillance and Response (PDSR) adalah sebuah sistem pencegahan dan

pengendalian Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) pada unggas pedesaan. PPV menindaklanjuti laporan mengenai ayam yang mati dan sekarat, dan membantu desa dalam mengendalikan wabah melalui diagnosa HPAI dengan melakukan uji cepat, memusnahkan flok tertular, mengendalikan lalu lintas dan pembersihan serta disinfeksi kandang unggas.

Dalam rangka mengembangkan keahlian pelatihan di pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, telah dilaksanakan pelatihan dan pemberdayaan untuk satu jaringan Master Trainers (MT). Jaringan MT ini dilatih untuk memberikan pelatihan PDSR. Sebanyak 42 MT telah menerima pelatihan tentang bagaimana menganalisa data guna membantu mengambil keputusan terkait pengendalian penyakit di kabupaten/kota mereka. Dengan memiliki keahlian pencegahan dan pengendalian penyakit unggas, MT dan PPV yang memiliki keahlian PDSR menjadi lebih berkompeten dan berkontribusi pada keberlanjutan program di masa mendatang.

Selama 2015, telah diperkenalkan materi baru tentang pencegahan HPAI di peternakan komersial skala-kecil kepada 212 PPV yang bekerja di dalam sistem PDSR. Sesi pelatihan satu hari (One-day Training/ODT) ini dilakukan oleh MT yang telah dilatih oleh FAO. Pelatihan mencakup penilaian biosekuriti peternakan, pembersihan dan disinfeksi peternakan, surveilans sindromik dan investigasi penyakit menggunakan metode subjective, objective, assessment dan planning (SOAP). Diperkenalkan pula sebuah metode yang telah dimodifikasi untuk menguji itik dengan menggunakan uji cepat Influenza antigen (RAT) untuk HPAI pada

Village-Based HPAI ControlPengendalian HPAI Berbasis Desa

Capacity Building | Pembangunan Kapasitas

Page 35: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

25MTs. Following the training, the participants were supported in the field through mentoring visits from FAO, the DAH Rapid Response Unit (URC) and MTs. The impact of the training has been proven by improved biosecurity and hygiene activities and the ability to correctly test young ducks for HPAI.

FAO responded to an additional Government request for PDSR training for new VSOs, holding further training sessions for 127 new VSOs. These training sessions were jointly funded by FAO and the participating provinces.

Following the training, FAO National Technical Advisors (NTA) and MTs conducted mentoring visits in 13 provinces (North Sumatra, Banten, Riau, DI Yogyakarta, Central Java, West Java, East Java, Central Kalimantan, East Kalimantan, Bali, South Sumatra, Lampung and NTT). During 2015 a total of 301 VSOs were mentored in these provinces.

A coordination meeting was conducted for 21 Provincial Rapid Response Unit (RRU) heads to discuss the need for continuing support for HPAI control from local budgets and the implementation of government-supported IHCS activities in the future.

bulu muda. Setelah pelatihan, peserta mendapatkan dukungan lapangan melalui kunjungan mentoring oleh FAO, Unit Reaksi Cepat (URC) dan MT. Dampak pelatihan telah terbukti dengan meningkatnya kegiatan biosekuriti dan kebersihan, serta kemampuan untuk melakukan uji yang tepat untuk HPAI pada itik muda.

FAO merespons permintaan pelatihan PDSR untuk PPV baru melalui sesi pelatihan untuk 127 PPV baru. Dana pelatihan ini ditanggung bersama oleh FAO dan pemerintah provinsi.

Setelah pelatihan, FAO National Technical Advisor (NTA) dan MT melakukan kunjungan mentoring ke 13 provinsi (Sumatera Utara, Banten, Riau, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Sumatera Selatan, Lampung dan Nusa Tenggara Timur). Selama periode pelaporan, telah dilakukan mentoring terhadap 301 PPV di provinsi-provinsi tersebut.

Rapat koordinasi telah dilakukan dengan 21 kepala Unit Reaksi Cepat provinsi guna mendiskusikan kebutuhan untuk melanjutkan dukungan bagi pengendalian HPAI menggunakan anggaran daerah, dan pelaksanaan PAT yang didukung oleh pemerintah di masa mendatang.

Poultry vaccination under the PDSR Programme.Vaksinasi unggas - Program PDSR. (© FAO ECTAD Indonesia/A.Saragih).

Capacity Building | Pembangunan Kapasitas

Page 36: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

26

The two clades (2.1.3 and 2.3.2.1) of Avian Influenza (AI) H5N1 virus, which are the cause of HPAI in

poultry in Indonesia, have been monitored through the Influenza Virus Monitoring laboratory network and the IVM Online platform. HPAI viruses from both clades that were isolated from field cases – through passive and active surveillance, as well as LBM surveillance - were uploaded to IVM Online and the resultant data have been successfully used to describe the dynamics of AI virus evolution in Indonesia.

The Polymerase Chain Reaction (PCR) test is used at IVM Network laboratories as the initial test for HPAI virus. PCR testing has enabled detection of changes in circulating AI viruses since the end of 2014, with LBM surveillance detecting an increase in AI viruses other than H5N1. This finding suggested the need to increase the capability of laboratories and their staff to detect HPAI viruses other than H5N1.

In collaboration with the Australian Animal Health Laboratory (AAHL), PCR refresher training was conducted in Lampung for 23 laboratory staff from all eight DICs, Pusvetma, the National Veterinary Drug Assay Laboratory (NVDAL), Airlangga University

Dua clade virus H5N1 Avian Influenza (2.1.3 dan 2.3.2.1), yang menjadi penyebab HPAI pada unggas

di Indonesia, telah sepenuhnya dimonitor melalui IVM Online. Virus HPAI dari kedua clade yang telah diisolasi dari kasus-kasus di lapangan (baik melalui surveilans pasif dan aktif, serta surveilans Pasar Unggas Hidup), dan telah diunggah ke IVM Online telah berhasil menjelaskan dinamika virus AI di Indonesia.

Uji Polymerase Chain Reaction (PCR) telah digunakan di laboratorium anggota IVM Online sebagai uji awal untuk virus HPAI. Uji PCR telah mampu mendeteksi perubahan virus AI yang bersirkulasi sejak akhir 2014. Surveilans LBM telah mendeteksi peningkatan virus AI selain H5N1. Temuan ini menunjukkan perlunya meningkatkan kapasitas pegawai laboratorium dalam dapat mendekteksi virus HPAI selain H5N1.

Berkolaborasi dengan AAHL, Geelong Australia, ECTAD Indonesia melaksanakan sebuah pelatihan refresher uji PCR di Lampung untuk 23 petugas dari 8 BBVet/BVet, PUSVETMA dan BPMSOH, laboratorium Universitas Airlangga, dan laboratorium tipe B Cikole dan Jakarta. Metode pelatihan kompetitif dilakukan di antara kelompok guna mengevaluasi ketepatan dan

Improved PCR Assay for Influenza A Virus Detection and MonitoringPeningkatan Kapasitas Uji PCR untuk Deteksi dan Monitoring Virus Influenza A

Capacity Building | Pembangunan Kapasitas

Page 37: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

27

lab, and two category B animal health labs at Cikole and Jakarta. A competitive training method between groups was practiced in order to evaluate the precision and the capability of the participants to detect HPAI viruses other than H5N1. A range of primers, including H9, H7, N2, N6 and N8 were provided to the participants to detect influenza viruses in “unknown” samples using the FAO standard regional algorithm. As a part of the Quality Assurance programme, a stock of PCR reagents, were delivered to train the participants on how to manage the storage and use of PCR reagents, as well as to control the quality of the new PCR reagents before use.

kemampuan peserta dalam mendeteksi virus HPAI lain selain H5N1. Berbagai primer seperti H9, H7, N2, N6 dan N8 telah dibagikan kepada peserta untuk mendeteksi HPAI dari “sampel yang tidak dikenal» menggunakan standar algoritme FAO kawasan Asia. Sebagai bagian dari program Jaminan Mutu, stok reagen PCR telah dibagikan guna melatih peserta tentang bagaimana mengelola penyimpanan dan penggunaan reagen PCR, serta mengontrol kualitas reagen PCR baru sebelum digunakan.

Lab diagnostics at the Disease Investigation Center, Subang, West Java.Diagnostik lab di BBVet Subang, Jawa Barat. (© FAO ECTAD Indonesia/D.Kristiani).

Capacity Building | Pembangunan Kapasitas

Page 38: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

28

Four scientific staff members from the DIC Maros and the DIC Banjarbaru were selected to

undertake a 10-day training in the use of the PREDICT virus detection protocols at the Primate Research Centre (PRC), in Bogor in August 2015. Sixty archived livestock samples from each DIC laboratory were tested against four viral families: Orthomyxoviridae, Paramyxoviridae, Corona and Herpes viridae and one genus Picorna (cardiovirus), as some genus generated from those four virus families are potential emerging infectious diseases (EID) agents. Interestingly, besides the detection of Coronavirus and Herpes virus from some mammalian samples, an encephalomyocarditis virus (EMCV) was also detected from DIC Maros pig and cattle samples. This was the first detection of the virus in livestock samples which now needs further investigation.

Empat ilmuwan staff BVet Maros dan BVet Banjarbaru telah terpilih untuk mengikuti

pelatihan penggunaan protokol PREDICT selama 10 hari di Bogor pada bulan Agustus 2015. Sebanyak 60 sampel ternak dari setiap laboratorium diuji terhadap empat famili virus, yaitu Orthomyxoviridae, Paramyxoviridae, Corona and Herpes viridae dan satu genus Picorna (cardiovirus), mengingat beberapa genus yang dihasilkan dari empat famili virus tersebut berpotensi sebagai agen penyakit menular baru (EID). Menariknya, selain deteksi Coronavirus dan virus Herpes dari beberapa sampel mamalia, virus encephalomyocarditis virus (EMCV) juga telah terdeteksi dari sampel babi dan sapi dari BVet Maros. Ini adalah deteksi virus pertama pada sampel ternak yang perlu diinvestigasi lebih jauh.

Improvement of Laboratory Capacity to Detect Emerging and Re-Emerging Infectious DiseasesPeningkatan Kapasitas Laboratorium dalam Mendeteksi Penyakit Menular Baru dan yang Muncul Kembali

Capacity Building | Pembangunan Kapasitas

Page 39: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

29

Improving Poultry Health

Meningkatkan Kesehatan Unggas

Chicks at a farm - Solo, Central Java.Anak ayam di sebuah peternakan - Solo, Jawa Tengah. (© FAO ECTAD Indonesia).

Page 40: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

30

The Commercial Poultry Health (CPH) team provided technical advice to five commercial

layer farms that had been selected during the 2014 Indo Livestock event. This activity was an extension to the cost-benefit study of biosecurity and other interventions on commercial layer farms in Java that ended in 2014. These interventions included 3-zone biosecurity implementation, proper AI vaccination, and feeder and drinker cleaning, which resulted in increased productivity. Through implementing these interventions on layer farms outside Java, it is foreseen that these best practices will be adopted by more layer farms outside the initial pilot area. Layer study extension materials produced by the project included information booklets, production calendars and educational films in DVD and USB flash-drive formats – all with the objective of disseminating these best practices more widely.

CPH has started to conduct a cost-benefit study of biosecurity and farm productivity on nine commercial broiler farms in Klaten District, Central Java Province. The baseline phase of the study was completed in 2015, following which an agreement was signed with each participating farm to improve their biosecurity and

Tim Kesehatan Unggas Komersial (CPH) memberikan bantuan teknis kepada lima

peternakan layer komersial yang telah terpilih pada acara Indo Livestock 2014. Kegiatan ini merupakan perpanjangan dari kajian biaya-manfaat biosekuriti dan intervensi lainnya di peternakan layer komersial di Jawa, yang berakhir pada 2014. Intervensi yang berdampak pada peningkatan produksi ini termasuk implementasi biosekuriti 3-zona, vaksinasi AI yang tepat, dan pembersihan tempat minum dan tempat pakan. Dengan melakukan intervensi tersebut di peternakan layer di luar Jawa, diperkirakan bahwa praktik-praktik terbaik ini akan diadopsi oleh lebih banyak lagi peternakan layer di luar daerah percontohan awal. Beberapa materi penyuluhan tentang hasil-hasil dari kajian layer yang telah dihasilkan adalah booklet, kalender, dan film pendidikan dalam bentuk DVD dan USB drive – semuanya dengan tujuan untuk menyebarluaskan praktik-praktik terbaik ini.

Di peternakan broiler komersial, CPH telah mulai melakukan kajian biaya-manfaat biosekuriti dan produktivitas peternakan di 9 peternakan yang berlokasi di Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Kegiatan ini telah menyelesaikan fase baseline-nya

Identifying Best Practices in Commercial Poultry HealthIdentifikasi Praktik Terbaik di Kesehatan UnggasKomersial

Improving Poultry Health | Meningkatkan Kesehatan Unggas

Page 41: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

31

management practices. FAO expects to develop a set of best practices to improve broiler farm productivity which can be disseminated to other commercial broiler farms in Indonesia.

Based on a study on commercial layer farms in 2014, it was found that record keeping of production and financial data on farms was limited. CPH developed a database management system for layer farms to monitor production and financial data. The software can help the layer farmers to take make the right management decisions based on data. The software will be further developed and distributed layer farms in Indonesia.

pada tahun 2015. Di akhir fase baseline, telah dibuat kesepakatan dengan setiap peserta peternakan untuk meningkatkan praktik-praktik biosekuriti dan manajemen. Diharapkan bahwa akan dihasilkan praktik terbaik yang meningkatkan produktivitas peternakan broiler yang dapat disebarluaskan kepada peternakan broiler komersial lain di Indonesia.

Berdasarkan sebuah kajian peternakan layer tahun di 2014, ditemukan bahwa pencatatan produksi dan data keuanganpeternakan kurang memadai. Tim CPH mengembangkan sebuah sistem manajemen database dalam bentuk piranti lunak guna memonitor data produksi dan keuangan. Piranti lunak tersebut dapat membantu peternakan layer untuk membuat keputusan manajemen yang tepat berdasarkan data. Piranti lunak ini akan dikembangkan lebih lanjut dan didistribusikan ke seluruh peternakan layer di Indonesia.

Improving Poultry Health | Meningkatkan Kesehatan Unggas

Commercial Poultry Health management database.Database manajemen Kesehatan Unggas Komersial. - FAO ECTAD Indonesia (© FAO ECTAD Indonesia/B.Anderson).

Page 42: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

32

The demand for the Commercial Poultry Veterinary Service (PVUK) programme in Indonesia

remains very high. In 2015, the PVUK programme was expanded to 18 new districts. West Kalimantan Province replicated the PVUK programme in 10 districts/municipalities using their local budget whereas in the other 8 districts the costs of PVUK implementation were shared between FAO and the Central Government. By the end of 2015, the PVUK programme had been initiated in 12 provinces and 50 districts/municipalities, with 143 officers being trained in Sumatra, Java, Sulawesi and Kalimantan islands.

During 2015, the PVUK programme conducted 20 training sessions to build the capacity of VSOs, data managers, and Master Trainers (MT) to engage with the commercial poultry sector. The PVUK programme increased the number of MTs in 2015 from 12 to 20 officers, with 50 percent of them being female, to cover the 12 provinces that are implementing the PVUK programme. The 20 PVUK MTs were supported by FAO as a focal point in their areas to increase local management of the programme by taking on greater roles in training and mentoring of VSOs, in order to raise their confidence, ensure the dissemination of sound technical materials to farmers and related stakeholder and become a national asset in the commercial poultry sector.

Twenty-four poultry stakeholder meetings were conducted to introduce the PVUK programme to farmers in new and established areas, attended by 630 farmers. Good stakeholder understanding of the programme has created a demand for training on biosecurity, vaccination and farm management. In 2015, 134 training activities were conducted using

Permintaan terhadap program PVUK di Indonesia masih sangat tinggi. Tahun 2015, program PVUK

telah diperluas ke 18 kabupaten baru. Provinsi Kalimantan Barat telah mereplikasi program PVUK di 10 kabupaten/kota menggunakan anggaran daerah mereka, sementara di delapan kabupaten lain biaya pelaksanaan PVUK ditanggung bersama oleh FAO dan pemerintah pusat. Hingga akhir tahun 2015, program PVUK telah dilaksanakan di 12 provinsi dan 50 kabupaten/kota, di mana 143 petugas telah mendapatkan pelatihan di pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Kalimantan.

Tahun 2015, program PVUK telah melaksanakan 20 pelatihan untuk membangun kapasitas PPV, manajer data, dan Master Trainer (MT) agar dapat terlibat di sektor unggas komersial. Program PVUK telah menambah jumlah MT di tahun 2015 dari 12 petugas menjadi 20 (di mana 50 persennya perempuan) untuk menjangkau 12 provinsi yang melaksanakan program PVUK. Sejumlah 20 MT PVUK mendapat dukungan FAO untuk menjadi focal point di wilayah mereka, agar pengelolaan program di tingkat lokal dapat menjadi lebih baik. Ini dilakukan dengan pengambilan peran yang lebih banyak dalam pelatihan dan mentoring PPV, dengan tujuan meningkatkan rasa percaya diri mereka, serta memastikan penyebarluasan materi teknis yang tepat kepada peternak dan para pemangku kepentingan terkait. Tujuan lainnya agar para MT ini dapat menjadi aset nasional di sektor unggas komersial.

ECTAD Indonesia telah melaksanakan sebanyak 24 pertemuan dengan para pemangku kepentingan perunggasan guna memperkenalkan program PVUK kepada peternak di daerah baru dan daerah yang sudah ada. Pertemuan ini dihadiri sekitar 630

Increase Competency in Commercial Poultry Health in Both Public and Private SectorsMeningkatkan Kompetensi Kesehatan Unggas Komersial di Sektor Pemerintah dan Swasta

Improving Poultry Health | Meningkatkan Kesehatan Unggas

Page 43: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

33participatory training methods to 2,339 poultry farmers, of which 21 percent were female. The PVUK programme has equipped the VSOs with 12 practical training modules on biosecurity, vaccination and farm management. The PVUK programme also produced three technical videos for mobile phones, featuring cold chain integrity, cleaning and disinfection of farms, as well as cleaning and disinfection of poultry feeders and drinkers. Moreover, two flip charts explaining vaccination and cold chain management were provided as communication tools during training with farmers. As a result of these training sessions and extension materials, farmers have invited VSOs to visit farms to improve on-farm biosecurity, flock vaccination, farm management and solve disease problems. Four layer farms – three in Central Java and one in South Sulawesi –improved effective biosecurity on farm by applying the 3-zone concept with the assistance of local PVUK-trained VSOs.

During 2015, 62 disease outbreaks in commercial farms (chicken and ducks) were investigated by PVUK-trained VSOs, of which 29 were confirmed to be HPAI. Forty-seven commercial farms participated in the outbreak investigation programme and took advantage of the subsidised laboratory testing provided to farmers who reported disease. Thirty-five farmers used the system to submit serum samples to test post-vaccination titres, while twelve farmers

peternak. Adanya pemahaman yang baik mengenai program PVUK di antara para pemangku kepentingan mendorong tingginya permintaan untuk pelatihan biosekuriti, vaksinasi dan manajemen peternakan.

Selama 2015, telah dilakukan 134 kegiatan pelatihan dengan menggunakan metode pelatihan partisipatif untuk 2339 peternak unggas, dan 21 persen adalah perempuan. Program PVUK telah memperlengkapi petugas di lapangan dengan 12 modul pelatihan praktis tentang biosekuriti, vaksinasi dan manajemen peternakan. Pada tahun yang sama, program PVUK juga menghasilkan tiga video teknis untuk mobile phones, yang menceritakan rantai dingin terpadu, pembersihan dan disinfeksi di peternakan, dan juga pembersihan dan disinfeksi pada tempat pakan dan tempat minum unggas. Sebagai tambahan, telah dibuat dua flipcharts yang menjelaskan vaksinasi dan rantai dingin sebagai alat komunikasi selama pelatihan dengan peternak. Sebagai hasil dari sesi pelatihan dan materi komunikasi ini, peternak mengundang petugas untuk meningkatkan dan memperbaiki biosekuriti, vaksinasi, manajemen peternakan dan penyelesaian masalah mengenai penyakit. Empat peternakan layer – tiga di Jawa Tengah dan satu di Sulawesi Selatan –telah meningkatkan biosekuriti yang efektif di peternakan dengan menerapkan konsep 3-zona dengan bantuan dari PPV setempat yang telah menerima pelatihan PVUK.

Daily cleaning of feeders at a poultry farm.Pembersihan harian tempat pakan dan minum di sebuah peternakan. (© FAO ECTAD Indonesia).

Improving Poultry Health | Meningkatkan Kesehatan Unggas

Page 44: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

34

submitted samples for water quality testing. Following advice from PVUK-trained VSOs, 124 farmers have changed their behaviour on biosecurity, vaccination and management practices.

Establishing effective communication and coordination between the Government and the commercial poultry industry to enhance the level of trust between stakeholders continues to improve. Three commercial poultry companies regularly participated and shared their farm management and disease control experiences during PVUK training activities.

Selama 2015, 62 wabah penyakit di peternakan komersial (ayam dan itik) telah diinvestigasi oleh PPV yang telah mendapatkan pelatihan PVUK. Dari angka ini, 29 di antaranya terkonfirmasi sebagai wabah penyakit HPAI melalui uji cepat. Sebanyak 47 peternakan komersial sepakat untuk ikut serta dalam program investigasi wabah dan memanfaatkan subsidi uji laboratorium yang diberikan kepada peternak yang melaporkan tentang kejadian penyakit. Sebanyak 35 peternak menggunakan sistem ini untuk mengirimkan sampel serum guna menguji titer pasca-vaksinasi, sementara 12 peternak mengirimkan sampel untuk uji kualitas air. Dengan mengikuti saran dari Petugas PVUK, 124 peternak telah mengubah perilaku mereka dalam hal praktik-praktik biosekuriti, vaksinasi dan manajemen.

Selama periode pelaporan ini, komunikasi dan koordinasi yang efektif di antara pemerintah dan industri unggas komersial terus dilaksanakan guna meningkatkan kepercayaan di antara para pemangku kepentingan. Selama kegiatan pelatihan PVUK, tiga industri unggas komersial, yaitu PT. Wonokoyo Indonesia, PT Japfa Comfeed dan PT. Charoend Pokphand Indonesia, secara teratur berpartisipasi dan berbagi pengalaman seputar manajemen peternakan dan vaksinasi.

Experience sharing between a commercial poultry farmer and PVUK-trained VSOs – Solo, Central Java.Berbagi pengalaman di antara peternak unggas komersial dan petugas pelayanan veteriner PVUK. (© FAO ECTAD Indonesia).

Improving Poultry Health | Meningkatkan Kesehatan Unggas

Page 45: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

35

Public-PrivatePartnership

KemitraanPemerintah dan Swasta

National Poultry Farmers Seminar during 2015 Indo Livestock - Surabaya, East Java.Seminar Nasional Peternak Unggas di Indo Livestock 2015 - Surabaya, Jawa Timur. (© FAO ECTAD Indonesia/A.Saragih).

Page 46: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

36

FAO encourages Cleaning and Disinfection (C&D) activities along the poultry market chain. Cleaning

and disinfection of all poultry transport vehicles should be implemented before exiting a collection yard or before entering a poultry farm, to reduce the risks of HPAI H5N1 virus spread through contaminated vehicles.

Truck cleaning activities at Rawa Kepiting and Pulo Gadung in East Jakarta, at privately-owned cleaning stations in Bogor and at a live bird market in Semanggi, Surakarta City, are examples of the successful implementation of C&D activities for poultry transport vehicles. This success was the result of strong support and commitment from the cleaning stations’ managers, as reflected in C&D budget allocation and assignment of human resources to run facilities. In addition, four districts/cities (Bekasi City, Tangerang District, Tangerang City and Bogor District) allocated local budgets (APBD) for training and hygiene and sanitation along the market chain. Thirteen out of 21 live bird markets which received C&D training in the Greater Jakarta area are still implementing C&D activities on a daily basis.

In 2015, FAO in collaboration with DAH and poultry business actors improved the quality and quantity of C&D activities along value chains. The market team conducted nine C&D training sessions in January and December 2015, for 84 participants to maintain C&D capacity and improve facilities in selected locations. In addition, minor cleaning station renovations were conducted at Rawa Kepiting collector yard, Ciseeng poultry vehicle washing station, and Semanggi Market. Seven high power washers, 15 feather pluckers, and seven stainless steel tables were distributed to DKI Jakarta, Central Java, Yogyakarta, Banten and Bali provinces to support C&D activities.

FAO mendorong kegiatan Pembersihan dan Disinfeksi (C&D) di sepanjang rantai pasar unggas.

Pembersihan dan disinfeksi seluruh kendaraan transportasi unggas harus dilakukan sebelum meninggalkan tempat penampungan, atau sebelum memasuki peternakan unggas, untuk mengurangi risiko penyebaran virus HPAI H5N1 melalui kendaraan yang terinfeksi.

Pembersihan truk di Rawa Kepiting dan Pulogadung di Jakarta Timur, di stasiun pembersihan milik swasta di Bogor dan di pasar unggas hidup Semanggi, Kota Surakarta, adalah contoh implementasi kegiatan C&D yang berhasil untuk kendaraan transportasi unggas. Keberhasilan ini merupakan hasil dari dukungan dan komitmen yang kuat dari manajer stasiun pembersihan yang direfleksikan melalui alokasi dana C&D dan penunjukan sumber daya manusia untuk menangani fasilitas tersebut. Sebagai tambahan, empat kabupaten/kota (Kota Bekasi, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kabupaten Bogor) telah mengalokasikan APBD untuk pelatihan dan kegiatan kebersihan dan sanitasi di sepanjang rantai pasar. Sebanyak 13 dari 21 pasar unggas hidup di Jabodetabek yang telah mendapatkan pelatihan C&D masih terus melaksanakan kegiatan C&D setiap hari.

Tahun 2015, FAO ECTAD Indonesia, berkolaborasi dengan Direktorat Kesehatan Hewan dan pelaku usaha perunggasan di area Jabodetabek dan Kota Surakarta, telah meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan C&D melalui pelatihan pekerja kebersihan; peningkatan fasilitas stasiun pembersihan; pertemuan advokasi dengan para pemimpin dinas peternakan setempat; dan distribusi peralatan yang diperlukan. Tim Market FAO ECTAD Indonesia telah melakukan sembilan sesi pelatihan C&D pada Januari dan Desember 2015 yang dihadiri oleh 84 peserta.

Improving Biosecurity along the Market ChainMeningkatkan Biosekuriti di Sepanjang Rantai Pasar

Public-Private Partnership | Kemitraan Pemerintah dan Swasta

Page 47: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

37

Mr Asrori Gagarin, head of Pulo Gadung Collector Yard, was awarded an FAO 70th Anniversary Medal in recognition of his commitment to enhance C&D facilities and activities at the collector yard to improve the control of HPAI as part of the FAO-DAH C&D programme. Prior to establishing the new truck cleaning station, no poultry transport vehicles were cleaned and disinfected before leaving the collection yard, but now 30-35 unloaded poultry vehicles are cleaned and disinfected every day, before exiting the yard.

Pelatihan terdiri dari tiga pelatihan refresher C&D, dua pelatihan pengendalian di satu stasiun pembersihan, tiga pasar unggas hidup di area Jabodetabek, dan satu stasiun pembersihan di Kota Surakarta. Tim Market juga telah melakukan renovasi kecil di stasiun pembersihan di tempat penampungan Rawa Kepiting, stasiun pembersihan kendaraan unggas Ciseeng dan di Pasar Semanggi. Tim juga mendistribusikan tujuh unit alat semprot bertekanan tinggi, 15 unit mesin pencabut bulu, dan tujuh unit meja stainless steel kepada pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Banten dan Bali.

Saat perayaan ulang tahun FAO yang ke-70, Bapak Asrori Gagarin, kepala tempat penampungan Pulo Gadung mendapatkan penghargaan sebagai salah satu mitra FAO yang telah mendukung dan berkomitmen dalam kegiatan C&D dan kajian tentang pengendalian HPAI. Hal ini merupakan bagian dari program C&D FAO dan Direktorat Kesehatan Hewan. Berkat upayanya, saat ini setiap harinya ada sekitar 30-35 kendaraan unggas yang selesai bongkar-muat yang dibersihkan sebelum keluar dari tempat penampungan.

Public-Private Partnership | Kemitraan Pemerintah dan Swasta

C&D activities at Semanggi Market - Surakarta, Central Java.Aktivitas pembersihan dan disinfektan di Pasar Semanggi - Surakarta, Jawa Tengah. (© FAO ECTAD Indonesia/G.B.Utomo).

Page 48: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

38

The Commercial Poultry Health team has facilitated collaboration among poultry stakeholders in order

to strengthen the national poultry industry through Public Private Partnership (PPP). The PPP activity has been undertaken by sharing results and lessons learned from a study on commercial layer farms.

The CPH team presented their activities during a layer farmers’ association meeting and during a seminar, organised by the Faculty of Animal Husbandry and Veterinary Medicine of the University of Gadjah Mada. The team also conducted workshops in Solo and Lampung, bringing together the Government, farmers, private companies and university representatives to discuss HPAI in Indonesia. However, the activities with the greatest outreach to farmers were the Indo Livestock and ILDEX events, where FAO held a national poultry farmers’ seminar, during which the educational film Rahasia Sukses Komplit (The Secret to Success – Full Edition) was screened and information on poultry health was provided through a fun-house and information stand the Warung Nasihat.

Tim Kesehatan Unggas komersial telah memfasilitasi kolaborasi di antara para pemangku kepentingan

unggas dalam rangka memperkuat industri unggas nasional melalui Kemitraan Pemerintah Swasta (PPP). Kegiatan PPP dilakukan dengan berbagi pembelajaran dan hasil studi pada peternakan layer komersial.

Tim CPH telah mempresentasikan kegiatan mereka saat pertemuan dengan asosiasi peternak layer, dan pada sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Tim juga melakukan lokakarya di Solo dan Lampung, mengikutsertakan pemerintah, peternak, perusahaan swasta dan perwakilan dari universitas untuk mendiskusikan HPAI di Indonesia. Kegiatan yang menjangkau hampir semua peternak adalah acara Indo Livestock dan ILDEX, di mana FAO menyelenggarakan seminar nasional, dan memutar fim pendidikan berjudul “Rahasia Sukses Komplit” (Rahasia Sukses: Edisi Lengkap). Informasi kesehatan unggas dibagikan melalui rumah bermain dan stan informasi Warung Nasihat.

Reaching Out to Commercial FarmersMenjangkau Peternak Komersial

FAO ECTAD Indonesia booth at 2015 Indo Livestock – Surabaya, East Java.Stan FAO ECTAD di Indo Livestock 2015 - Surabaya, Jawa Timur. (© FAO ECTAD Indonesia/B.Anderson).

Public-Private Partnership | Kemitraan Pemerintah dan Swasta

Page 49: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

39

The IVM Management team meeting in January 2015 saw participation from four private

vaccine companies (PT Medion, PT Vaksindo, PT Caprifarmindo and PT Sanbio) along with the DGLAHS animal health laboratories and the veterinary research institute (BBalitvet). The meeting recommended four representative H5N1 strains, two from H5N1 clade 2.1.3 and two from clade 2.3.2, to be designated as vaccine challenge strains to ensure the efficacy of Indonesian vaccines against currently circulating strains. Further characterisation (purity, stability, potency and pathogenicity tests) of these four strains is planned to be conducted at the National Veterinary Drug Assay Laboratory (NVDAL) before gazetting as new vaccine challenge strains.

In order to encourage the DAH to determine the selected new vaccine challenge strains, and simplify the HPAI vaccine registration process based on the work of the IVM Network, regional awareness raising seminars on HPAI vaccine regulation were conducted in Solo and Bandar Lampung in collaboration with the FAO CPH team and the Sub-directorate of animal drug control (POH). Forty-four and 82 people participated in the seminars in Solo and Lampung, respectively. The participants at both seminars represented leading chicken layer farmers, veterinary pharmaceutical companies, and technical officers from district Livestock Service offices in Central Java, Solo (Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali) and Lampung provinces.

Dalam pertemuan tim Manajemen IVM bulan Januari 2015, hadir empat perusahaan vaksin swasta

(PT Medion, PT Vaksindo, PT Caprifarmindo dan PT Sanbio), di samping laboratorium kesehatan hewan Pemerintah RI dan Balai Besar Penelitian Veteriner (BBaLITVET). Pertemuan tersebut merekomendasikan empat kandidat strain tantang, baik dari H5N1 clade 2.1.3 dan clade 2.3.2 untuk menjamin kemanjuran pemakaian vaksin terhadap strain bersirkulasi saat ini. Karakterisasi lebih lanjut mengenai kemurnian, stabilitas, potensi dan patogenisitas dari keempat strain tersebut direncanakan untuk dilakukan di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) sebelum digunakan sebagai strain tantang baru.

Dalam rangka mendorong Direktorat Kesehatan Hewan untuk menentukan pemilihan strain tantang vaksin baru, dan mempersingkat proses registrasi vaksin HPAI – berdasarkan kerja yang dilakukan oleh Jejaring Influenza Virus Monitoring (IVM), telah dilakukan seminar peningkatan kesadaran mengenai peraturan vaksin HPAI di Solo dan Bandar Lampung. Seminar ini merupakan kolaborasi antara Tim CPH dan sub-Direktorat Pengendalian Obat Hewan (POH).

Sebanyak 44 orang berpartisipasi dalam seminar di Solo dan 82 orang dalam seminar di Lampung. Peserta kedua seminar mewakili peternak ayam layer besar, perusahaan obat hewan di Solo dan Lampung dan di sekitarnya, serta petugas dari Dinas Peternakan di beberapa kabupaten di provinsi Jawa Tengah, Solo (Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali) dan Lampung.

IVM Online – Sharing of Influenza Virus Data and IsolatesIVM Online - Berbagi Data dan Isolat Virus Influenza

Public-Private Partnership | Kemitraan Pemerintah dan Swasta

Page 50: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

40

During 2015, members of the IVM network increased to 11 laboratories following the

admission of Airlangga University’s animal health diagnostic laboratory as a new member of the IVM laboratory network and a user of the IVM Online platform. In collaboration with AAHL, and software developer UrRemote Bali, the IVM Online platform is being developed as a truly molecular surveillance system. Accordingly, field surveillance data of DICs, PDSR HPAI outbreak data and LBM surveillance data were uploaded to the IVM Online platform using the enhanced surveillance module. In order to meet the additional capacity building needs of the expanded IVM laboratory network, the number of participants in the IVM Online training on 15-17 September 2015 was increased; epidemiologists from each of the eight DICs were included as resource persons for the network and to provide and upload field epidemiological data to the IVM Online platform. With the inclusion of the surveillance module, it has become easier for policy makers to see and appreciate the relationship between laboratory results and the HPAI situation in the field.

To support the HPAI virus monitoring and characterisation conducted by all IVM Network members, IVM kit No. 6 containing reference pre-screen and full panel screening reagents, produced by AAHL, was delivered to the focal point laboratory and all IVM Network members. Sequencing reagents were also provided by FAO for the three sequencing partners to sequence 14 isolates, whose sequence and phylogenetic data were uploaded to the IVM Online genetic database through the bioinformatics module.

Sejak 2015, anggota Jejaring IVM telah meningkat menjadi 11 laboratorium, menyusul diterimanya

laboratorium diagnostik kesehatan hewan Universitas Airlangga Surabaya sebagai salah satu anggota IVM Online dan sebagai pengguna IVM Online platform. Berkolaborasi dengan AAHL, Geelong, Australia dan pengembang piranti lunak UrRemote Bali, platform IVM Online telah dikembangkan sebagai sistem surveilans molekular. Dengan demikian, data surveilans lapangan dari BBVet/Bvet, data wabah HPAI dari pendekatan PDSR, dan data pasar unggas hidup telah diunggah ke IVM Online melalui modul surveilans. Dalam rangka memenuhi kebutuhan akan tambahan kapasitas oleh Jejaring IVM, jumlah peserta pelatihan IVM Online pada 15-17 September 2015 telah ditambah, dengan mengundang staf bagian epidemiologi dari masing-masing BBVet/BVet untuk bergabung dengan IVM Network sebagai nara sumber untuk jejaring tersebut dan memasukkan data epidemiologi lapangan kedalam IVM Online platform. Dengan dimasukkannya modul surveilans, maka akan semakin mudah bagi pengambil kebijakan untuk melihat hubungan antara hasil laboratorium dan situasi di lapangan.

Dalam rangka mendukung monitoring dan karakterisasi virus HPAI yang telah dilakukan oleh seluruh anggota, IVM Kit No. 6 produksi oleh AAHLyang berisi referensi reagen pre-screen dan full panel screening, telah dikirim ke laboratorium focal point dan seluruh anggota Jejaring IVM. Reagen sekuensing juga telah diberikan oleh FAO untuk tiga mitra sekuensing yang melakukan sekuens pada 14 isolat. Data sekuens dan phylogenetik yang dihasilkan kemudian diunggah ke database genetik IVM melalui modul bioinformatik.

Development and Improvement of IVM Online as a Molecular Surveillance SystemPengembangan dan Peningkatan IVM Online HPAI sebagai Sistem Surveilans Molekuler

Public-Private Partnership | Kemitraan Pemerintah dan Swasta

Page 51: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases(ECTAD) Indonesia

Menara Thamrin 7th FloorJl. MH Thamrin Kav. 3, Jakarta 10250, Indonesia

Telp. (+62) 021 298 02300Fax. (+62) 021 390 0282

Kementerian PertanianGedung C Lt. 6 Ruang 615

Jl. Harsono RM Kav. 3, Jakarta 12550, IndonesiaTelp. (+62) 021 780 3770

Fax. (+62) 021 788 35008http://www.fao.org/indonesia/en/

copyright FAO Indonesia

Page 52: FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases

I6018Bi/1/08.16

ISBN 978-92-5-009373-4

9 7 8 9 2 5 0 0 9 3 7 3 4