ekologi dasar 2014
DESCRIPTION
Laporan Praktikum Ekologi dasarTRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI
INVENTORI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI
BANJARAN
Kelompok : 17
Lokasi : Kodim
Waktu : 07:00 09:00 WIB
Pendamping : Erry Kolya, MSc
Nama
NIM
Arin Herkilini
B1J012076
Senja Rahayu Kinanti
B1J012078
Rahayu Dwi Nurhidayati
B1J012080
Anita Khoirunisa
B1J012082
Rachman Dimas Ardani
B1J012084
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
I. PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan yang pada dasarnya merupakan usaha-usaha penggunaan sumberdaya alam disuatu DAS secara rasional untuk mencapai tujuan produksi pertanian yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai dengan upaya untuk menekan kerusakan seminimum mungkin sehingga distribusi aliran merata sepanjang tahun (Marwah, 2008)
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen- komponen yang saling berintegrasi membenntuk satu kesatuan. Sistem tersebut mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang menyusunnya. Besar kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan dan batas yang diberikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapat dianggap suatu ekosistem (Asdak, 1995).
Ekosistem DAS merupakan bagian terpenting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktivitas DAS yang menyebabkan perubahan ekosistem misalnya perubahan tataguna lahan khususnya di daerah hulu, dapat Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen- komponen yang saling berintegrasi membenntuk satu kesatuan. Sistem tersebut mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang menyusunnya. Besar kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan dan batas yang diberikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapat dianggap suatu ekosistem (Asdak, 1995). Ekosistem DAS merupakan bagian terpenting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktivitas DAS yang menyebabkan perubahan ekosistem misalnya perubahan tataguna lahan khususnya di daerah hulu, dapat memberikan dampak pada daerah hilir berupa perubahan fluktuasi debit air dan kandungan sediment serta material terlarut lainnya. Adanya keterkaitan antara masukan dan keluaran pada suatu DAS ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis dampak suatu tindakan atau aktivitas pembangunan di dalam DAS terhadap lingkungaanya (Stuart and Angela, 2002)
Daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah hilir dan hilir berdasarkan ekosistemnya. Daerah hulu merupakan daerah konservasi yang mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi dan memiliki kemiringanlahan yang besar. Derah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua bagian DAS yang berbeda tersebut. Sementara daerah hilir merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil dan memiliki kemiringan lahan yang kecil sampai dengan sangat kecil. Ekosistem DAS hulu merupakan bagian penting, karena mempunyai perlindungan yang penting terhadap seluruh bagian DAS. Pelindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air. Perencanaan DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Asdak, 1995).
Komponen-komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari :manusia, hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air. Masing-masing komponen tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri-sendiri, namun berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal. Kualitas interaksi antar komponen ekosistem terlihat dari kualitas output ekosistem tersebut. Di dalam DAS kualitas ekosistemnya secara fisik terlihat dari besarnya erosi, aliran permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit, dan produktifitas lahan. Berikut interaksi antar komponen dalam DAS (Daerah Aliran Sungai).
( Sumber: Asdak, 1995)
Pertumbuhan organisme baik organisme akuatik maupun terestrial sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungannya. Faktor lingkungan yang dapat berpengar uh diantaranya yaitu temperatur, pH, substrat tempat organisme tersebut hidup, kualitas air, dan kecepatan arus. Kualitas air dalam hal ini mencakup keadaan fisik, kimia, dan biologi yang dapat mempengaruhi ketersediaan air untuk kehidupan manusia, pertanian, industri, rekreasi dan pemanfaatan air lainnya. Karakteristik fisik terpenting yang dapat mempengaruhi kualitas air, dan dengan demikian, berpengaruh terhadap ketersediaan air untuk berbagai pemanfaatan adalah konsentrasi sedimen dan suhu air. Tinjauan kualitas air akan menempatkan faktor sedimen dan suhu air (yang terlalu tinggi untuk kehidupan biota akuatis) sebagai unsur-unsur pencemar.
II. MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat yang digunakan pada prakikum ini adalah thermometer 2 buah (udara dan air), patok 2 set (moluska dan bambu), botol kosong 2 buah (untuk kecepatan arus dan sampel air), tali raffia 3 utas ( untuk kecepatan arus, kuadrat 0,5 x 0,5 m dan 10 x 10 m), kantong plastic untuk sampel moluska, bambu dan tanah, kertas pH dan soil tester, penggaris, timbangan dan kamera.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel moluska, sampel bambu, sampel air, dan sampel tanah.
B. Metode
1. Ekosistem
Diamati tipe pemanfaatan lahan dan aktivitas di daerah sekitar sungai.
Dibuat model interaksi factor abiotik dan biotik ( diperlukan data tentang benda abiotik dan biotik yang dapat ditemukan di lokasi pengamatan)
Dibuat skema hubungan antara komponen biotik dan abiotik.
Data yang diperoleh, ditentukan peranan (fungsi ekologis) dari organism tersebut.
2. Komunitas
Pengambilan sampel moluska dan air
1. sampel diambil dengan metode kuadrat
2. dibuat kuadrat dengan menggunakan 4 patok dengan jarak 0,5 x 0,5 m
3. diplih lokasi yang menjadi habitat moluska dengan meletakan kuadrat tersebut.
4. Dikumpulkan moluska yang ada dalam kuadrat, dimasukan dalam kantong plastic.
5. Diamati bentuk cangkang, warna, arah lingkarannya, dan diberi kode
6. Diidentifikasi dan dihitung di Laboratorium.
Pengambilan sampel bambu sebagai tumbuhan tepian atau riparian
1. Sampel diambil dengan metode kuadrat
2. dibuat kuadrat dengan menggunakan 4 patok dengan jarak 10 x 10 m
3. diplih lokasi yang menjadi habitat bambu, dibentangkan pada kawasan bambu tersebut.
4. Diamati daun pelepah. warna buluh, buliran, perbungaan, percabangan, dan durinya.
5. Diambil foto pada masing-masing bagian tersebut dan beberapa contoh bagian bambu untuk diidentifikasi di Laboratorium
6. Dihitung jumlah batang bambu yang terdapat pada kuadrat.
3. Populasi
Populasi moluska dan bambu dideskripsikan dengan membuat piramida ukuran dari spesies yang dominan.
Individu dari setiap spesies yang dominan pada lokasi tersebut dilakukan pengukuran pada sampel moluska (panjang dan bobotnya), pada sampel bambu (tinggi dan diameter).
Pengukuran moluska dilakukan di Laboratorium, sedangkan pengukuran bambu dilakukan di lapangan.
Dikelompokan moluska dan bambu berdasarkan ukurannya.
Dibuat empat piramida populasi berdasrkan ukuran (panjang, bobot, tinggi dan diameter) dari data diatas.
4. Faktor Lingkungan
Mengukur kondisi lingkungan dengan parameter lingkungan seperti : temperatur udara, air, kecepatan arus, tipe substrat, dan pH air pada ekosistem perairan, temperatur udara dan pH tanah pada ekosistem daratan.
Diambil sampel air sungai sebanyak 250 ml dan tanah sebanyak 250 gr yang kemudian diukur pH nya di laboratorium.
5. Distribusi organism dan Faktor Lingkungannya
Dibuat table kehadiran spesies yang ditemukan di sungai (sungai kranji 1,2,3 dan 4).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
a. Pemodelan Interaksi Antara Abiotik dan Biotik
Tabel 1. Tipe Pemanfaatan Lahan
Lokasi
Tipe pemanfaatan lahan (landuse)
Aktivitas masyarakat
Hulu Sungai Banjaran (Beji)
Irigasi
Petani
Tengah Sungai Banjaran (Kodim)
Pemukiman
Persawah
Irigasi
Jalan Raya
Memancing
(Mandi, cuci, dan kakus) MCK
Tempat pembuangan sampah
Hilir Sungai Banjaran (Kedung Wringin)
Pemukiman
Persawahan
Memancing
Mandi, cuci, dan kakus (MCK)
Tempat pembuangan sampah
Tabel 2.1. Komponen Abiotik dan Biotik Ekosistem Daratan
No.
Abiotik (benda mati)
Biotik (benda hidup)
1
Batu
Pohon bambu
2
Kayu
Pohon pisang
3
Tanah
Tanaman padi
4
Serasah
Ulat
5
Sampah
Kelapa
6
Kertas
Rumput-rumputan
7
Udara
Kupu-kupu
8
Ranting
Burung
9
Lalat
10
Capung
11
Nyamuk
12
Belalang
13
Kadal
14
Pohon nangka
15
Jamur
16
Semut
17
Dekomposer
18
Ayam
19
Cicak
20
Tanaman mangga
21
Tanaman Pepaya
22
Manusia
23
Laba-laba
24
Tanaman jambu biji
25
Tanaman Cabai
26
Tanaman teh-tehan
27
Tanaman mengkudu
28
Tanaman bayam
29
Jamur
30
Tanaman iler
Tabel 2.2. Komponen Abiotik dan Biotik Ekosistem Sungai
No.
Abiotik (benda mati)
Biotik (benda hidup)
1
Udara
Manusia
2
Air
Tumbuhan
3
Batu
Ikan
4
Kerikil
Moluska
5
Tanah
Cacing
6
Plastik
Burung
7
Pasir
Katak
8
Botol
Crustacea
9
Sampah
Serangga air
Gambar 1 Model Interaksi dalam Ekosistem Daratan
Jaring Makanan Ekosistem Sungai
Air Manusia Tumbuhan
Udara
Moluska Serangga air
Tanah
Pasir Ikan Crustacea katak
Batu
Burung
Kerikil Kupu-kupu
Plastik Capung
Botol
Alat pancingCacing
Jaring ikan
Keterangan: ------ : menggambarkan hubungan dalam bentuk lainnya.
: menggambarkan hubungan makan memakan.
b. Komponen Penyusun Ekosistem
Tabel 3. Komponen Penyusun Ekosistem
No
Komponen penyusun
Organisme
1.
Produser
Padi
Rumput rumputan
Tanaman bayam
Tanaman mangga
Tanaman pepaya
Tanaman nangka
Tanaman jambu biji
Tanaman teh-tehan
Tanaman pisang
Tanaman Mengkudu
Tanaman kelapa
2.
Makro konsumer tingkat I
Belalang
Ayam
Manusia
Burung
Kupu-kupu
Capung
3.
Makro konsumer tingkat II
Manusia
Burung
Nyamuk
Kadal
4
Makro konsumer tingkat III
Nyamuk
Kadal
Manusia
5.
Makro konsumer tingkat IV
Nyamuk
6.
Makro konsumer tingkat V
Kadal
7.
Dekomposer
Semut
Mikroorganisme
Jamur
Tabel 4. Kekayaan spesies dan kelimpahan moluska atau kekayaan spesies dan kepadatan bambu.
No
Nama spesies
Jumlah Individu
1.
Moluska:
1. Brotia insolita
2
2. Faunus ater
23
3. Hemisinus aduardsi
5
4. Pachycilus indiorum
30
5. Melanoides granifera
32
2.
Bambu
1. Gigantolochloa apus
4
2. Bambusa vulgaris
86
Tabel 5. Populasi yang Dominan
Lokasi
Spesies yang dominan
Hulu Sungai Banjaran
(Kebumen)
Moluska : Melanoides maculata 6 individu/250 cm
Bambu : Gigantolochoa atter 22 individu/100 m
Tengah Sungai Banjaran
(Pasirmuncang)
Moluska : Pachycilus indiorum 14 individu/250 cm
Bambu : Thyrsostachys siamensis 48 individu/100 m
Hilir Sungai Banjaran
(Sidabowa)
Moluska : Melanoides granifera 4 individu/250 cm
Bambu : Bambusa vulgaris 86 individu/100 m
Tabel 6. Ukuran Moluska dan Bambu
No individu
Moluska
Bambu
Panjang (cm)
Bobot (gram)
Tinggi (cm)
Diameter (cm)
1.
2,5
1,58
1248
33
2.
2,63
2,27
900
30
3.
2,4
1,31
950
30
4.
1,7
0,95
875
30
5.
2,1
1,15
875
30
6.
1,7
0,97
975
30
7.
2,0
1,15
299
25
8.
1,9
0,31
598
25
9.
1,95
0,27
644
25
10.
1,83
0,32
345
25
11.
1,68
0,38
750
25
12.
1,33
0,33
625
23
13.
1,00
0,15
650
23
14.
1,91
0,58
350
23
15.
1,4
0,28
775
23
16.
1,43
0,27
575
23
17.
1,5
0,32
725
23
18.
1,38
0,26
750
23
19.
1,38
0,26
700
23
20.
1,13
0,17
500
23
21.
1,00
0,11
775
23
22.
1,2
0,29
621
23
23.
1
0,11
725
23
24.
1,17
0,11
675
23
25.
1,22
0,17
815
23
26.
1
0,11
850
23
27.
1
0,12
775
23
28.
1,1
0,21
825
23
29.
1
0,11
800
23
30.
1,64
0,72
600
23
31.
1,64
0,75
650
23
32.
1,77
0,86
825
23
33.
1,46
0,52
725
23
34.
1,75
0,79
750
23
35.
1,14
0,31
725
23
36.
1,46
0,54
625
18
37.
1,51
0,59
500
18
38.
1,7
0,80
650
18
39.
1,25
0,38
600
15
40.
1,6
0,70
525
15
41.
1,44
0,46
675
15
42.
1,41
0,50
575
15
43.
1,25
0,38
625
15
44.
1,45
0,55
700
15
45.
1
0,22
725
13
46.
1,2
0,41
550
13
47.
1,14
0,36
800
13
48.
1,45
0,42
760
13
49.
1,22
0,52
450
13
50.
1,31
0,50
700
13
51.
1,12
0,37
725
12
52.
1,35
0,45
815
12
53.
0,80
0,20
700
12
54.
0,8
0,18
700
12
55.
0,97
0,28
900
12
56.
0.8
0,16
720
12
57.
1
0,29
875
12
58.
1
0,25
810
12
59.
1,03
0,29
550
12
60.
0,93
0,21
625
12
61.
2,93
2,19
594
12
62.
2,2
1,2
630
12
63.
1,52
0,49
522
12
64.
2,5
1,65
648
12
65.
2,61
2,2
540
12
66.
2,33
1,42
450
12
67.
2
0,85
666
12
68.
1,22
1,39
612
12
69.
2,33
1,15
720
12
70.
1,95
0,80
684
12
71.
1,53
0,46
756
17
72.
1,84
0,76
360
17
73.
1,85
0,67
432
17
74.
1,73
0,64
522
17
75.
1,81
0,69
702
17
76.
2,31
1,41
792
17
77.
1,81
0,84
846
17
78.
2,13
0,91
738
17
79.
2,0
0,97
342
17
80.
2,11
0,94
270
17
81.
1,61
0,45
360
17
82.
1,81
0,71
882
17
83.
1,63
0,58
756
17
84.
1,9
0,75
510
17
85.
1,54
0,50
720
17
86.
1,84
0,71
420
17
87.
1,64
0,49
56
11
88.
1,44
0,46
60
12
89.
1,54
0,48
42
17
90.
1,53
0,52
60
16
Tabel 7.1. Struktur Populasi
Ukuran Panjang Moluska
Jumlah individu
1,00 cm sampai dengan 1,50 cm
14
1,51 cm sampai dengan 2,00 cm
28
2,01 cm sampai dengan 2,50 cm
35
2,51 cm sampai dengan 3,00 cm
3
Piramida Populasi Panjang Moluska
0
(2,51-3,00)
1
(1,00-1,50)
2
(1,51-2,00)
3
(2,01-2,50)
Tabel 7.2. Struktur populasi
Ukuran Bobot Moluska
Jumlah individu
0,0 gram sampai dengan 0,5 gram
44
0,5 gram sampai dengan 1,0 gram
33
1,0 gram sampai dengan 1,5 gram
8
1,5 gram sampai dengan 2,0 gram
2
2,0 gram sampai dengan 2,5 gram
3
Piramida Populasi Bobot Moluska
1
(1,5-2,0)
2
(2,0 2,5)
3
(1,0 1,5)
4
(0,5 1,0)
5
(0,0 0,5)
Tabel 7.3. Struktur Populasi
Ukuran Tinggi Bambu
Jumlah individu
40 cm sampai dengan 300 cm
6
301 cm sampai dengan 561 cm
18
562 cm sampai dengan 822 cm
53
823 cm sampai dengan 1083 cm
12
1084 cm sampai dengan 1344 cm
1
Piramida Populasi Tinggi Bambu
1
(1084-1344)
2
(40 - 300)
3
(823 - 1083)
4
(301 - 561)
5
(562 - 822)
Ukuran Diameter Bambu
Jumlah individu
10 cm sampai dengan 20 cm
6
21 cm sampai dengan 30 cm
18
31 cm sampai dengan 40 cm
53
41 cm sampai dengan 50 cm
12
Tabel 7.3. Struktur Populasi
Piramida populasi diameter bambu
1
(10 20)
2
(41 - 50)
3
(21 30)
4
(31 - 40)
Tabel 8. Kondisi Lingkungan
No.
Parameter
Hasil Pengamatan
1
Temperatur udara
270 C
2
Temperatur Air
220 C
3
Arus
10m/28s
4
Substrat yang dominan
Tanah berpasir dan berbatu
5
pH
7
Tabel 9. Distribusi Moluska
Spesies
Hulu
Tengah
Hilir
Brotia insolita
-
+
+
Faunus ater
-
-
+
Hemisinus aduardsi
-
+
+
Pachycilus indiorum
-
+
+
Melanoides granifera
+
-
+
Melanoides bavayi
-
+
-
Melanoides denisoniensis
-
+
-
Melanoides anomula
-
+
-
Melanoides liebrechtsi
-
+
-
Esperiana esperi
-
+
-
Daryssa cachoeicea
-
+
-
Stagnicola reflexa
+
-
-
Melanoides maculate
+
-
-
Fosaria decampi
+
-
-
Keterangan: (+) Spesies ditemukan
( - ) Spesies tidak ditemukan
Tabel 10. Kondisi Perairan
Parameter Lingkungan
Hulu
Tengah
Hilir
Temperatur udara
270C
270C
270C
Temperatur air
240C
250C
220C
Arus
10m/22s
0,6 m/s
10m/28s
Substrat yang dominan
Batu berpasir
Pasir
Tanah berpasir dan berbatu
pH
7
6
7
Tabel 11. Distribusi Bambu
Spesies
Hulu
Tengah
Hilir
Gigantochloa apus
-
-
+
Gigantochloa atter
+
-
-
Bambusa vulgaris
+
-
+
Thyrsostachys siamensis
-
+
-
Tabel 12. Kondisi Daratan
Parameter lingkungan
Hulu
Tengah
Hilir
Temperatur udara
270C
270C
27 0C
Tipe tanah
Batu berpasir
Serasah
Serasah
pH
6,9
5,6
6,8
B. PEMBAHASAN
Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah dan termasuk dalam ekosistem perairan tawar yang memiliki ciri-ciri antara lain variasi suhu tidak menyolok, penetrasi cahaya kurang, dan terpengaruh oleh iklim dan cuaca. Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh bahwa komponen ekosistem yang diamati di Daerah Aliran Sungai Sidabowa terdiri dari ekosistem daratan dan ekosistem perairan. Komponen abiotik pembentuk ekosistem daratan DAS Sidabowa terdiri dari batu, tanah, udara, kayu, ranting, serasah, kertas, plastik dan sampah. Komponen biotik pembentuk ekosistem daratan DAS Sungai Sidabowa antara lain bambu, pisang, singkong, kelapa, rerumputan, kupu-kupu, burung, katak, semut, capung, nyamuk, belalang, kadal, cacing tanah, jamur dan mikroorganisme. Adapun komponen abiotik pembentuk ekositem perairan DAS Sidabowa terdiri dari batu, tanah, plastik, air, kayu, pasir, jarring ikan, alat pancing dan botol, sedangkan komponen biotiknya terdiri dari moluska, serangga air, crustacea, tumbuhan,katak, ikan, burung, kupu-kupu, capung dan cacing tanah.
Interaksi antarkomponen biotik dengan komponen abiotik yaitu hubungan antara organisme dengan lingkungannya menyebabkan terjadinya aliran energi dalam sistem itu. Selain aliran energi, di dalam ekosistem juga terdapat struktur atau tingkat trofik, keanekaragaman biotik, serta siklus materi. Semua organisme merupakan bagian dari komunitas dan antara komponennya saling berhubungan melalui keragaman interaksinya. Jenis-jenis interaksi dalam ekosistem antara lain:
(a). Interaksi antar organisme.
Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari populasi lain. Interaksi antarorganisme dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Netral, yaitu hubungan tidak saling mengganggu antarorganisme dalam habitat yang sama yang bersifat tidak menguntungkan dan tidak merugikan kedua belah pihak. Contohnya adalah antara capung dan sapi.
b. Parasitisme, yaitu hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, dan jika salah satu organisme hidup mengambil makanan dari hospes/inangnya sehingga bersifat merugikan inangnya. Contohnya adalah benalu dengan pohon inang.
c. Komensalisme, merupakan hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies dalam bentuk kehidupan bersama untuk berbagi sumber makanan, yaitu salah satu spesies diuntungkan dan spesies lainnya tidak dirugikan. Contohnya, Anggrek dengan pohon yang ditumpanginya.
d. Mutualisme, adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies yang saling menguntungkan diantara keduanya. Contohnya bakteri Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-kacangan.
(b). Interaksi antarpopulasi, yaitu antara populasi yang satu dengan populasi lain selalu terjadi interaksi secara langsung atau tidak langsung dalam komunitasnya. Contoh interaksi antarpopulasi adalah sebagai berikut:
Alelopati merupakan interaksi antarpopulasi, bila populasi yang satu menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain. Contohnya, di sekitar pohon walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain karena tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik
Kompetisi merupakan interaksi antarpopulasi, bila antarpopulasi terdapat kepentingan yang sama sehingga terjadi persaingan untuk mendapatkan apa yang diperlukan. Contoh, persaingan antara populasi kambing dengan populasi sapi di padang rumput.
(c). Interaksi antarkomunitas, yaitu kumpulan populasi yang berbeda di suatu daerah yang sama dan saling berinteraksi. Contoh komunitas, misalnya komunitas sawah dan sungai. Komunitas sawah disusun oleh bermacam-macam organisme, misalnya padi, belalang, burung, ular, dan gulma. Komunitas sungai terdiri dari ikan, ganggang, zooplankton, fitoplankton, dan dekomposer. Antara komunitas sungai dan sawah terjadi interaksi dalam bentuk peredaran nutrien dari air sungai ke sawah dan peredaran organisme hidup dari kedua komunitas tersebut. Interaksi antarkomunitas cukup kompleks karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga terjadi aliran energi.
Perbedaan antara ekosistem darat dan air terletak pada ukuran tumbuhan hijau, di mana autotrof daratan cenderung lebih sedikit, akan tetapi ukurannya lebih besar. Perbedaan antara habitat daratan dan air adalah sebagai berikut:
1. Habitat daratan, kelembaban merupakan faktor pembatas, organisme daratan selalu dihadapkan pada masalah kekeringan. Evaporasi dan transpirasi merupakan proses yang unik dari kehilangan energi pada ingkungan daratan.
2. Variasi suhu dan suhu ekstrem lebih banyak di udara daripada media air.
3. Sirkulasi udara yang cepat di permukaan bumi akan menghasilkan isi-campuran O2 dan CO2 yang tetap.
4. Meskipun tanah sebagai penyangga yang padat bukan udara, kerangka yang kuat telah berkembang di tanah yaitu tanaman dan binatang yang akhir-akhir ini mempunyai arti khusus bagi perkembangan.
5. Tanah tidak seperti lautan yang selalu berhubungan dimana tanah sebagai barier geografi terpenting dala gerak bebasnya.
6. Sebagai substrat alam, meskipun yang terpenting adalah di air. Namun, yang paling khusus adalah dalam lingkngan daratan. Tanah adalah sumber terbesar dari bermacam-macam nutrisi 9 nitrit, fosfor, dan sebagainya) yang merupakan perkembangan besar dari subsistem ekologi (Heddy, 1989).
Hasil pengamatan distribusi bambu di Sungai Banjaran pada daerah hulu, tengah, dan hilir diperoleh data bahwa pada daerah hulu, spesies bambu yang dominan adalah Gigantolochoa atter sebanyak 22 individu/100m. Daerah tengah sungai Banjaran spesies bambu yang dominan adalah Thyrsostachys siamensis 48 individu/100m. Adapun pada daerah hilir, diperoleh bahwa jenis spesies bambu yang dominan adalah Bambusa vulgaris sebanyak 90 individu/100 meter. Pengaruh ketinggian tempat terhadap pertumbuhan pohon bersifat tidak langsung (Soedomo 1984). Artinya perbedaan ketinggian ternpat akan mempengaruhi keadaan lingkungan tumbuh pohon, terutama suhu, kelembapan, O2 di udara dan keadaan tanah. Keadaan lingkungan tumbuh ini akhirnya mempengaruhi pertumbuhan pohon.
Bambu merupakan salah satu tumbuhan dengan daya tumbuh yang pesat membentuk rumpun yang besar dan tinggi (Heyne 1987). Pada umulanya tumbuhan lain akan sulit tumbuh menjadi besar pada daerah yang didominasi oleh bambu. Pratiwi (2006) yang melakukan penelitian di Gunung Gede Pangrango menemukan bahwa jumlah maupun jenis vegetasi selain banibu pada tegakan yang didominasi oleh spesies bambu terbilang rendah sehingga dapat dikatakan keberadaan spesies ini memiliki tingkat asosiasi yang rendah dengan spesies tumbuhan lain. Bambu merupakan spesies tumbuhan dengan tingkat adaptasi yang tinggi pada berbagai kondisi lingkungan. Hal ini terlihat dari penyebaran bambu baik secara alami maupun sengaja ditanam yang dapat ditemui di daerah datar, lembah, perbukitan, dan pegunungan berbukit. Sutiyono et al. (1992) juga menyatakan bahwa, banibu dapat tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi tanah, mulai dari tanah berat sampai ringan, tanah kering, tanah becek, tanah subur, dan tanah tidak subur.
Spesies bambu yang berada di Sungai Sidabowa yaitu bambu apus (Gigantochloa apus) dan bambu ampel. Klasifikasi bambu ampel (Bambusa vulgaris) yaitu:
Kingdom: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Klas: Liliopsida
Ordo: Poales
Famili: Poaceae
Genus: Bambusa
Spesies: Bambusa vulgaris
Gambar 3.1. Morfologi Bambu Ampel (Bambusa vulgaris)
Gambar 3.2. Karakteristik a. Percabangan b. Rebung c. Daun d.Pelepah Bambu Ampel (Bambusa vulgaris)
Buluh: Buluh muda hijau mengkilat atau kuning bergaris hijau. Panjang buluh mencapai 25-45 cm, diameter 5-10 cm, tebal 7 -15 mm.
Percabangan: Percabangan 1,5 diatas permukaan tanah setiap ruas terdiri 2 5 cabang, termasuk Un equal
Daun : Permukaan bawah daun agak berbulu, kuping pelepah daun kecil dan membulat, gundul, ligula rata dan gundul.
Pelepah buluh : Tidak mudah luruh, tertutup bulu coklat, kuping pelepah buluh seperti bingkai, daun pelepah buluh berketuk balik menyegi tiga dengan ujung sempit.
Rebung: Berwarna kuning atau hijau tertutup bulu coklat hingga hitam
Klasifikasi bambu Apus atau Tali (Gigantolochloa apus Kurz) sebagai berikut:
Kingdom: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Liliopsida
Ordo: Poales
Famili: Poaceae
Genus: Gigantochloa
Spesies: Gigantochloa apus Kurz.
Deskripsi:
Habitus: Pohon, berumpun, tinggi 10-15 m.
Batang:Berkayu, bulat, berlubang, beruas-ruas, tunas atau rebung berbulu, putih kehitaman, hijau.
Daun: Tunggal, berseling, berpelepah, lanset, ujung runcing, tepi rata, pangkal membulat, panjang 20-30 cm, lebar 4-6 cm, pertulangan sejajar, hijau.
Bunga: Majemuk, bentuk malai, ungu kehitaman.
Bambu biasanya digunakan sebagai tanaman pagar penghias. Batangnya juga dapat dipakai sebagai alat pembuatan pegangan payung, peralatan memancing, kerajinan tangan (rak buku), industri pulp dan kertas dan penghalau angin kencang (wind-break) (Gunawan, 2008). Pengaruh ketinggian tempat terhadap pertumbuhan pohon bersifat tidak langsung (Soedomo 1984). Artinya perbedaan ketinggian ternpat akan mempengaruhi keadaan lingkungan tumbuh pohon, terutama suhu, kelembapan, O2 di udara dan keadaan tanah. Keadaan lingkungan tumbuh ini akhirnya mempengaruhi pertumbuhan pohon.
Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi daratan di daerah aliran sungai Banjaran banyak ditumbuhi pepohonan dan tanah yang ada dimanfaatkan sebagai lahan pemukiman dan lahan perkebunan. Pada daerah hulu sungai Banjaran memiliki temperatur udara 270C, tipe tanahnya batu berpasir dan pH tanah 6,9. Daerah tengah sungai Banjaran memiliki temperatur udara 270C, tipe tanahnya berpasir dan pH tanah 5,6. Daerah hilir sungai Banjaran memiliki temperatur udara 270C, tipe tanahnya serasah dan pH tanah 6,8. Kondisi ini masih dalam batas normal untuk pertumbuhan organisme yang ada di dalamnya (Dwidjoseputro, 1991).
Distribusi bambu sangat dipengaruhi oleh faktor iklim antara lain suhu, curah hujan, kelembaban yang berkaitan satu dengan yang lain (Sutiyono, et al., 1992). Menurut Koesbiono (1979), daerah yang memiliki curah hujan tahunanan minimal 1020 mm dan kelembaban udara minimal 80% dengan suhu optimum antara 8,8-360C merupakan daerah yang cocok untuk pertumbuhan bambu. Bambu dapat tumbuh baik di berbagai jenis tanah, kecuali tanah yang berada di dekat pantai. Pada tanah tersebut, bambu dapat tumbuh tetapi pertumbuhannya lambat dan buluh kecil. Umumnya bambu dapat tumbuh di tempat dengan ketinggian 1-1200 m dpl dengan keadaan pH tanah antara 5,0-6,5 (Agusnar, 2007). Verhoef (1957) menyatakan bahwa berbagai keadaan tanah dapat ditumbuhi oleh bambu mulai dari tanah ringan sampai tanah berat, tanah kering sampai tanah becek dan dari tanah yang subur sampai ke tanah yang kurang subur.
Hasil pengamatan distribusi moluska di Sungai Banjaran pada daerah hulu, tengah, dan hilir diperoleh bahwa spesies moluska yang dominan pada daerah hulu adalah Melanoides maculate sebanyak 6 individu/250 cm. Daerah tengah sungai Banjaran memiliki spesies moluska yang dominan adalah Pachycilus indiorum sebanyak 14 individu/250 cm. Daerah hilir sungai Banjaran memiliki spesies moluska yang dominan adalah Melanoides granifera 4 individu/250 cm. Perbedaan distribusi moluska dapat disebabkan karena adanya perbedaan pengaruh bahan organik dan adanya perubahan kondisi lingkungan, khususnya substrat sebagai akibat dari kegiatan antropogenik dan industri yang menimbulkan tekanan lingkungan terhadap jenis moluska tertentu. Komposisi taksa pada tingkat genus yang hanya ber kisar antara 5 - 6 jenis, menandakan bahwa tingkat keanekaragaman taksa ini tergolong rendah. Sedikitnya jumlah taksa yang ditemukan juga tidak dapat menunjukkan bahwa perairan tersebut tercemar. Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi kondisi suatu lingkungan, misalnya fungsi aliran energi. Menurut Odum (1971), penilaian tercemar atau tidaknya suatu ekosistem tidak mudah terdeteksi dari hubungan antara keanekaragaman dan kestabilan komunitasnya. Sistem yang stabil, dalam pengertian tahan terhadap gangguan atau bahan pencemar bisa saja memiliki keanekaragaman yang rendah atau tinggi, hal ini tergantung dari fungsi aliran energi yang terdapat pada perairan tersebut.
Gambar 3.3. Morfologi Moluska di Daerah Hilir Sungai Banjaran
Moluska berasal dari bahasa Romawi, molis yang berarti lunak yang hidup sejak periode Cambrian,terdapat lebih dari 100 ribu spesies hidup dan 35 ribu spesies fosil, kebanyakan dijumpai di laut dangkal, beberapa pada kedalaman 7000 m, beberapa di air payau, air tawar, dan darat (Pennak, 1978). Menurut Hyman (1967), filum moluska ditandai oleh tubuh yang lunak, yang tidak terbagi dalam segman, segmen yang biasanya dilindungi oleh satu atau lebih keping cangkang. Moluska merupakan organisme akuatik yang hidup di dasar perairan dengan pergerakan relatif lambat yang sangat dipengaruhi oleh substrat dasar serta kualitas perairan. Moluska berperan penting dalam proses mineralisasi dan pendaur-ulangan bahan organic maupun sebagai salah satu sumber makanan bagi organisme konsumen yang lebih tinggi. Penurunan komposisi, kelimpahan dan keanekaragaman dari moluska biasanya merupakan indikator adanya gangguan ekologi yang terjadi pada sungai tersebut (Mason,1981).
Beberapa moluska yang terdapat di daerah hilir Sungai Banjaran sebagai berikut:
Deskripsi Brotia insolita
Kingdom: Animalia
Filum : Mollusca
Klas: Gastropoda
Ordo: Mesogastropoda
Famili: Melanatriidae
Genus: Brotia
Spesies : Brotia insolita
Spesies yang ditemukan terutama di air mengalir, sungai cukup oksigen, kadang-kadang juga di danau. Spesies ini bersifat gonochoristic , dan vivipar, mengembangkan dan mempertahankan telur relatif muda dalam kantong induk khusus
Deskrispi Faunus ater menurut Linnaeus (1758)
Kingdom: Animalia
Filum : Mollusca
Klas: Gastropoda
Ordo: Mesogastropoda
Famili: Thiaridae
Genus: Faunus
Spesies :Faunus ater
Deskrispi Pachycilus indiorum
Kingdom: Animalia
Filum : Mollusca
Klas: Gastropoda
Ordo: Mesogastropoda
Famili: Pleuroceridae
Genus: Pachychilus
Spesies : Pachycilus indiorum
Siput air tawar ini cukup luas di Amerika Tengah (Meksiko, Honduras, Belize, Guatemala), dan Northern Selatan Amerika (Venezuela).
Deskrispi Hemisinus eduardsi
Kingdom: Animalia
Filum : Mollusca
Klas: Gastropoda
Ordo: Mesogastropoda
Famili: Pleuroceridae
Genus: Hemisinus
Spesies : Hemisinus eduardsi
SHAPE \* MERGEFORMAT
Deskrispi Melanoides granifera
Kingdom: Animalia
Filum : Mollusca
Klas: Gastropoda
Ordo: Mesogastropoda
Famili: Thiaridae
Genus: Melanoides
Spesies : Melanoides granifera
Siput air tawar, spesies ini sangat toleran terhadap air payau , dan telah dicatat di perairan dengan salinitas sebesar 32,5 ppt (1.024 salinitas gravitasi spesifik). Hal tersebut adalah iklim yang hangat-spesies. Tampaknya lebih suka kisaran suhu 18 sampai 25C atau 18 sampai 32 C. Penelitian telah dilakukan untuk menentukan air mematikan siput suhu tinggi, yaitu sekitar 50 C (120 derajat Fahrenheit ).
Berdasarkan relung ekologinya bambu termasuk dalam produsen dan gastropoda termasuk dalam konsumen. Moluska dalam ekosistem perairan sering disebut juga sebagai makrobentos. Kehidupan makrobentos pada perairan ini sangat ditentukan oleh faktor biotik. Keberadaan moluska juga dapat digunakan sebagai penanda kualitas air sungai. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi moluska di Daerah Aliran Sungai Banjaran antara lain:
a. Gas terlarut
Presentase oksigen di perairan jauh lebih rendah daripada yang ada di atmosfer yaitu sekitar sepersepuluh atau kurang. Jumlah oksigen dalam air tidak sekonstan seperti di udara, tetapi berfluktuasi dengan nyata tergantung pada kedalaman, suhu, angin dan banyaknya kegiatan biologis. Kenaikan suhu atau keragaman air menyebabkan penurunan dalam kandungan oksigen. Menurut Ambarita (2010), oksigen terlarut dipengaruhi oleh suhu, kehadiran tumbuhan fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya, kekeruhan air, kecepatan aliran air, dan jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air. Karbondioksida (yang tergabung dalam air membentuk asam karbonat.), amoniak dan hidrogen sulfida juga merupakan gas terlarut yang berada dalam air.
b. Kejernihan
Kejernihan berpengaruh terhadap distribusi moluska pada perairan. Kejernihan disebabkan oleh warna perairan. Curah hujan juga menyebabkan kejernihan terganggu. Saat hujan turun maka tanah di atasnya akan larut terbawa dan membawa humus, hal itu yang menyebabkan kejernihan air berkurang, akan tetapi pada saat itu juga plankton banyak tersebar di sungai yang dapat dimanfaatkan oleh moluska sebagai makanan.
c. Suhu
Suhu Sungai Banjaran di daerah hulu, tengah dan hilir adalah 270C, kondisi tersebut normal. Suhu perairan di daerah tropik tentu lebih hangat daripada di daerah tidak beriklim tropik. Suhu permukaan pada perairan tropik umumnya 250C-280C dan pada perairan yang dangkal biasanya lebih tinggi yaitu 280C-320C. Suhu yang lebih tinggi menyebabkan berkurangnya kadar oksigen terutama pada malam hari. Menurut Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai factor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi.
d. Cahaya
Cahaya sangat diperlukan pada ekosistem perairan sungai. Cahaya dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk berfotosintesis, dan nantinya fitoplankton tersebut mempunyai peranan produsen pada relung ekologi. Cahaya pada Sungai Banjaran di daerah hulu, tengah dan hilir mempunyai intensitas yang cukup.
e. Arus air.
Arus air di hulu Sungai Banjaran adalah 0,45 m/s, di bagian tengah 0,6 m/s, dan dibagian hilir 0,4 m/s. Tingginya arus dapat disebabkan oleh aliran sungai yang relatif lurus dan substrat yang sedikit, sedangkan rendahnya arus disebabkan oleh air sungai yang dibendung dan tingginya substrat. Substrat dapat mempengaruhi kecepatan arus, namun kecepetan arus dalam suatu ekosistem tidak dapat ditentukan secara pasti karena arus pada suatu perairan sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air serta kondisi substrat yang ada (Barus, 2004). Menurut Metcalf & Eddy (1991) kecepatan aliran air yang memiliki daya angkut dan daya gerus terhadap material kasar adalah 1 - 3 m/dt, sedangkan kecepatan aliran air yang mampu mencegah terjadinya endapan organik adalah 0,3m/dt. Aliran air dengan kecepatan > 0,75 m/dt diketahui mampu mencegah terjadinya endapan material sedang seperti pasir. Fluktuasi debit air sungai dapat menjadi petunjuk tentang jenis atau tipe sungai. Asdak (2002) menyebutkan bahwa menurut literatur geologi pola aliran (sistem) sungai diklasifikasikan sebagai sistem aliran influent, effluent dan intermittent. Sistem aliran sungai influent adalah aliran sungai yang memasok air tanah. Sistem aliran sungai effluent adalah aliran sungai berasaldari air tanah. Sungai yang masuk dalam kategori aliran effluent biasanya akan mengalir sepanjang tahun (perennial).
f. pH
pH pada Sungai Banjaran daerah hulu, tengah dan hilir masih tergolong normal yaitu 6-7. Menurut Kristanto (2002), nilai pH air yang normal adalah sekitar 6-8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya air limbah, berbeda-beda tergantung jenis limbahnya. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi. Semakin lama pH air akan menurun menjadi asam. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya bahan-bahan organic yang membebaskan CO2 jika mengalami penguraian.
g. Substrat
Substrat pada Sungai Banjaran daerah hulu, tengah dan hilir umumnya batuan berpasir. Substrat yang cocok untuk keberadaan moluska sebenarnya adalah tanah berlumpur. Tanah berpasir tidak cocok untuk moluska, dan biasanya pada substrat batuan berpasir tersebut moluska akan menguburkan dirinya dalam-dalam pada batuan pasir tersebut (Ewusie, 1990).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat diperoleh kesimpulansebagai berikut:
1. Penyebaran distribusi bambu yang paling dominan di hilir Sungai Sidabowa adalah bagian tengah yaitu Bambusa vulgaris, sedangkan penyebaran ditribusi moluska yang paling dominan di daerah hilir adalah Melanoides granifera.
2. Perpindahan energi akan terjadi melalui proses makan-memakan atau disebut rantai makanan yang kemudian bergabung membentuk jaring-jaring makanan.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi moluska dan distribusi bambu antara lain: gas terlarut, kejernihan, arus air, suhu, penetrasi cahaya, pH, dan substrat.
4. Faktor lingkungan yang mempengaruhi ekosistem daratan yaitu cahaya, temperatur dan air, sedangkan cahaya, temperatur dan kadar garam merupakan faktor tiga besar untuk perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarita, R. 2010. Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Hulu Sungai Asahan Porsea. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Medan.
Agusnar, H. 2007. Kimia Lingkungan. USU Press. Medan.
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan. USU Press.
Dwidjoseputro, D. 1991. Ekologi Manusia dengan Lingkungannya. Erlangga, Jakarta.
Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. ITB. Bandung.
Gunawan, 2008. Kajian Sifat-sifat Finishing Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J. H. Schultes) Kurz). Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Hariadi, S., Suryadiputra,INN., Widigdo, B., 1992, Limnologi, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Heddy, S. dan K. Metty. 1989 . Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia 11. Badan Litbang Departemen Kehutanan, Jakarta.
Koesbiono. 1979. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Bagian IV. Pasca sarjana Program Studi Lingkungan IPB. Bogor.
Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta. Penerbit ANDI.
Mason, C.F. 1981. Biology of Freshwater Pollution.Longman Inc. New York.
Odum, E. P. 1988. Dasar-Dasar Ekologi Edisi 3. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Pennak, RW. 1978. Freshwater Invertebrates of the United States. New York: A Willey Interscience Publications John Willey and Sons.
PONG-MASAK, P,R, Pirzan, A, M. 2006. Komunitas Makrozoobentos pada Kawasan Budidaya Tambak di Pesisir Malakosa Parigi-Moutong, Sulawesi Tengah (Macrozoobenthos Community at the Pond Culture Area in Malakosa Coastal, Parigi-Moutong, Central of Sulawesi). B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 7, Nomor 4 Oktober 2006 Halaman: 354-360. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, Sulawesi Selatan 90512
Pratiwi ERT. 2006. Hubungan antara Peneyebaran Alami Bambu Betung (Dendrocalamzrs asper) dengan Beberapa Sifat Tanah. Skripsi. Program Studi Budidaya Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB, Bogor.
Stuart E. Bunn and Angela H. Arthington. 2002. Basic Principles and Ecological Consequences of Altered Flow Regimes for Aquatic Biodiversity. Springer-Verlag New York Inc. Environmental Management Vol. 30, No. 4, Pp. 492507.
Sutiyono, Hendromono, M., Wardani dan I. Sukardi. 1992. Teknik Budidaya Bambu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. (15). 1-25
Verhoef, L. 1957. Tanaman Bambu di Jawa. Lembaga Pusat Penilitian Kehutanan. Bogor. 25 hal.
Kupu-kupu
bayam
T. Pisang
T. Mangga
rumput
Belalang
Tanah
padi
Burung
Teh-tehaan
Jamur
ayam
Manusia
T. Jambu biji
kelapa
cicak
Nyamuk
T. Nangka
T. Mengkudu
semut
Kadal
Sampah
a.
b.
d.
c.