dvt lancar
DESCRIPTION
jbTRANSCRIPT
Deep Vein Thrombosis (DVT)
Oleh:Yessa Mandra Yuvandhi 0810710111Lidya Diantika Sigalingging 115070Arief Rachmansyah 115070107111021
Pembimbing:dr. Djoko Heri H, Sp.PD-KHOM
LABORATORIUM/SMF ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWARMALANG
2016BAB I
PENDAHULUAN
Trombosis adalah proses terjadinya bekuan darah di dalam sistem
kardiovaskuler termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi.
Terjadinya trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran
darah dan komponen pembekuan darah. Trombus dapat terjadi pada arteri atau
pada vena, trombus arteri di sebut trombus putih karena komposisinya lebih
banyak trombosit dan fibrin, sedangkan trombus vena di sebut trombus merah
karena terjadi pada aliran daerah yang lambat yang menyebabkan sel darah
merah terperangkap dalam jaringan fibrin sehingga berwarna merah.
Trombosis vena dapat terjadi pada vena dalam maupun vena superfisial
pada keempat ekstremitas. Pada 90% kasus, trombosis vena dalam dapat
berkembang menjadi emboli paru, dan kondisi yang beresiko tinggi
menyebabkan kematian. Trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis
(DVT) dan emboli paru dikelompokkan menjadi satu dan sering disebut sebagai
tromboemboli vena/ venous thromboembolism (VTE).1 Trombosis vena dalam
merupakan keadaan darurat yang harus secepat mungkin didiagnosis dan
diterapi, karena sering menyebabkan terlepasnya trombus ke paru dan jantung
yang berujung pada kematian. 1, 2
Angka kejadian tromboemboli vena di Amerika Serikat lebih dari 1 per
1000 dan terdapat 200.000 kasus baru tiap tahun. Dari total angka kejadian
tromboemboli vena, didapat 60% emboli paru dengan resiko kematian sekitar
30% dalam 30 hari. 1, 2 Sedangkan, di Indonesia sendiri insidens trombosis vena di
masyarakat sangat sukar diteliti, sehingga tidak ada dilaporkan secara pasti.
Banyak laporan-laporan hanya mengemukakan data-data penderita yang di
rawat di rumah sakit dengan berbagai diagnosis.
Beberapa kondisi klinis yang bisa memicu timbulnya DVT antara lain:
adanya kompresi dari pembuluh vena, trauma fisik, kanker, infeksi, penyakit
inflamasi tertentu, dan kondisi- kondisi khusus seperti stroke, gagal jantung,
sindroma nefrotik. Ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko
seseorang mengalami DVT antara lain tindakan pembedahan, rawat inap,
immobilisasi lama (termasuk pemakaian casting pada kasus-kasus orthopedic,
perjalanan yang lama dengan pesawat terbang) perokok, obesitas, penuaan,
obat-obatan tertentu (estrogen, erythropoietin) dan trombophilia. Pada wanita
memiliki peningkatan risiko selama kehamilan dan pasca persalinan. 1, 3
Mengingat komplikasi yang timbul akibat trombosis vena dalam tersebut
maka kita perlu waspada pada kelompok risiko seperti di atas. Oleh karenanya
pemahaman terhadap penyakit ini terkait patofisiologi, gejala klinis, faktor risiko,
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan agar mengurangi risiko komplikasi
menjadi penting bagi tenaga medis. Berangkat dari hal tersebut tinjauan pustaka
ini ditulis dengan harapan bisa memberi informasi yang cukup tentang penyakit
trombosis vena dalam.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi Deep Vein Thrombosis (DVT)?
2. Apakah etiologi dari Deep Vein Thrombosis (DVT)?
3. Bagaimana epidemiologi dari Deep Vein Thrombosis (DVT)?
4. Apa saja faktor risiko dari Deep Vein Thrombosis (DVT)?
5. Bagaimanakah patogenesis dari Deep Vein Thrombosis (DVT)?
6. Bagaimana cara penegakkan diagnosis dari Deep Vein Thrombosis
(DVT)?
7. Bagaimana terapi dari Deep Vein Thrombosis (DVT)?
8. Apa saja komplikasi dari Deep Vein Thrombosis (DVT)?
9. Bagaimana prognosis dari Deep Vein Thrombosis (DVT)?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui definisi Deep Vein Thrombosis (DVT)
2. Mengetahui etiologi dari Deep Vein Thrombosis (DVT)
3. Mengetahui epidemiologi dari Deep Vein Thrombosis (DVT)
4. Mengetahui faktor risiko dari Deep Vein Thrombosis (DVT)
5. Mengetahui patogenesis dari Deep Vein Thrombosis (DVT)
6. Mengetahui cara penegakkan diagnosis dari Deep Vein Thrombosis
(DVT)
7. Mengetahui terapi dari Deep Vein Thrombosis (DVT)
8. Mengetahui komplikasi dari Deep Vein Thrombosis (DVT)
9. Mengetahui prognosis dari Deep Vein Thrombosis (DVT)
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari pembuatan laporan kasus ini antara lain
sebagai berikut.
1. Dapat memberikan khasanah ilmu pengetauan tentang Deep Vein
Thrombosis (DVT)
2. Dapat menjadi referensi dan rujukan untuk mendiagnosis serta
melakukan penatalaksanaan Deep Vein Thrombosis (DVT)bagi para
tenaga kesehatan.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 DefinisiDeep Vein Trombosis (DVT) atau trombosis vena dalam adalah
penggumpalan darah yang terjadi di pembuluh darah balik (vena) sebelah
dalam. DVT seringkali diawali dari paha atau kaki oleh karena adanya
perlambatan aliran darah pada pembuluh balik. Hal ini bisa terjadi oleh karena
ada masalah pada jantung, infeksi, atau akibat imobilisasi lama dari anggota
gerak. Gumpalan darah beku yang terjadi disebut emboli yang bisa terbawa
ke jantung hingga menyebabkan komplikasi serius. Proses koagulasi atau
penggumpalan darah terjadi melalui mekanisme kompleks yang diakhiri dengan
pembentukan fibrin.1,3,4
Sebuah bekuan darah di vena dalam dapat pecah dan berjalan dalam
aliran darah. Bekuan darah tersebut disebut embolus. Ketika embolus tersebut
berjalan ke paru-paru dan aliran darah diblok akan terjadi emboli paru atau
pullmonary emboli atau PE. PE dapat merusak paru-paru dan organ lain dalam
tubuh dan menyebabkan kematian. Trombus di paha sering pecah dan
menyebabkan PE dari bekuan darah di tungkai bawah atau bagian lain dari
tubuh. Gumpalan darah juga dapat terbentuk dalam pembuluh darah dekat
permukaan kulit. Namun, pembekuan ini tidak akan pecah dan menyebabkan
PE. Menurut Robert Virchow, terjadinya trombosis adalah sebagai akibat
kelainan dari pembuluh darah, aliran darah dan komponen pembekuan darah
(Virchow triat).4
Gambar 2.1 Gumpalan darah beku di vena dalam
(http://hcd2.bupa.co.uk/fact_sheets/mosby_factsheets/Deep_Vein_Trombosis.html)
2.2 EtiologiBerdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan dalam
patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu kelainan dinding
pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah.
Thrombus dapat terbentuk di dalam vena tubuh, jika (Malone, 2006)5:
- Kerusakan terjadi pada lapisan dalam pembuluh darah itu. Kerusakan ini
mungkin akibat dari luka yang disebabkan oleh fisik, kimia, atau faktor
biologi. Faktor-faktor tersebut termasuk pembedahan, cedera serius,
peradangan, dan respon imun.
- Aliran darah yang lamban. Kurangnya gerak bisa menyebabkan
memperlambat aliran darah. Hal ini dapat terjadi setelah operasi, jika
Anda sakit dan di tempat tidur untuk waktu yang lama, atau jika Anda
sedang bepergian untuk waktu yang lama.
- Darah lebih tebal atau lebih cepat membeku dari biasanya. Mewarisi
kondisi tertentu (seperti faktor V Leiden) darah yang meningkatkan
kecenderungan untuk membeku. Ini juga berlaku untuk pengobatan
dengan terapi hormon atau kontrol pil KB.
2.3 EpidemiologiInsidens trombosis vena di masyarakat sangat sukar diteliti, sehingga tidak
ada dilaporkan secara pasti. Banyak laporan-laporan hanya mengemukakan
data-data penderita yang di rawat di rumah sakit dengan berbagai diagnosis.6
Trombosis vena dalam merupakan keadaan darurat yang harus secepat
mungkin didiagnosis dan diterapi, karena sering menyebabkan terlepasnya
trombus ke paru dan jantung yang berujung pada kematian. Angka kejadian
tromboemboli vena di Amerika Serikat lebih dari 1 per 1000 dan terdapat 200.000
kasus baru tiap tahun. Dari total angka kejadian tromboemboli vena, didapat 60%
emboli paru dengan resiko kematian sekitar 30% dalam 30 hari (Tambunan,
2001).7
2.4 Faktor RisikoPasien yang memiliki faktor risiko tinggi untuk menderita penyakit
trombosis vena dalam yaitu (Rani, 2006)8:
- Riwayat trombosis (stroke)
- Paska tindakan bedah terutama bedah ortopedi
- Imobilisasi lama terutama paska trauma/ penyakit berat
- Luka bakar
- Gagal jantung akut atau kronik
- Penyakit keganasan baik tumor solid maupun keganasan hematologi
- Infeksi baik jamur, bakteri maupun virus terutama yang disertai syok.
- Penggunaan obat-obatan yang mengandung hormon esterogen
- Kelainan darah bawaan atau didapat yang menjadi predisposisi untuk
terjadinya trombosis.
Faktor risiko terjadinya DVT dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu faktor
risiko didapat (acquired) dan faktor risiko yang diturunkan (inherited), seperti
pada tabel.9
Tabel 1. Faktor Risiko DVT
2.4.1 Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsinPada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak
di netralisir sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.
2.4.2 Tindakan operatifFaktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah
operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai
bawah. Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis
vena, sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena
sekitar 10%-14%. Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis
vena pada tindakan operatif, adalah sebagai berikut :
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena
trauma pada waktu di operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif,
operatif dan post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah
operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara
langsung di daerah tersebut.
2.4.3 Kehamilan dan persalinanSelama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik,
statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan
IX.
Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang
menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga
terjadi peningkatkan koagulasi darah.
2.4.4 Infark miokard dan payah jantungPada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan
jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan
darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat total. Trombosis vena yang
mudah terjadi pada payah jantung adalah sebagai akibat statis aliran darah yang
terjadi karena adanya bendungan dan proses immobilisasi pada pengobatan
payah jantung.
2.4.5 Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas
Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang
mempermudah timbulnya trombosis vena.
2.4.6 Obat-obatan konstrasepsi oralHormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi
vena, menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan
meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah
terjadinya trombosis vena.
2.4.7 Obesitas dan varicesObesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan
penurunan aktifitas fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.
2.4.8 Proses keganasanPada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan “tissue thrombo
plastin-like activity” dan “factor X activiting” yang mengakibatkan aktifitas
koagulasi meningkat. Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas
fibriolitik dan infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya
trombosis. Tindakan operasi terhadap penderita tumor ganas menimbulkan
keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan penderita biasa.9
2.5 PatogenesisTerjadinya trombosis vena dalam merupakan akibat dari proses
multifaktorial. Menurut Virchow’s triad, ada 3 proses multifaktorial yang berperan
pada terjadinya trombosis vena dalam, yaitu : hiperkoagulobilitas, kerusakan
endotel, dan stasis vena. (AAOS, 2011).10 Trombosis vena adalah suatu deposit
intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel darah merah dan beberapa komponen
trombosit dan lekosit. Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai
berikut :
1. Stasis vena.
2. Kerusakan pembuluh darah.
3. Aktivitas faktor pembekuan.11
Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah
statis aliran darah dan hiperkoagulasi.
2.5.1 Statis VenaAliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis
terutama pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang
cukup lama. Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal
karena dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas
faktor pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.
Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan adanya stasis vena antara lain :
immobilitas, polisitemia, kerusakan endotel, serta gagal jantung kongestif.11
2.5.2 Kerusakan pembuluh darahKerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis
vena, melalui :
i. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.
ii. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai
akibat kerusakan jaringan dan proses peradangan.
Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel.
Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan
beberapa substansi seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator
plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat mencegah terbentuknya trombin.
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar.
Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan
trombosit akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen,
membran basalis dan mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan
adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain yang
masih beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat. Kerusakan sel endotel
sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah.11 Kerusakan endotel,
akan terjadi exposure dari jaringan subendotelial dan kolagen, sehingga akan
terbebasnya substrat untuk pengikatan platelet, aktivasi serta agregasi, yang
akan mengarah kepada pembentukan clot.12
2.5.3 Aktivitas faktor pembekuanDalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan
darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas
pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun. Trombosis vena
banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah meningkat,
seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C,
defisiensi protein S dan kelainan plasminogen. Hiperkoagulobilitas terjadi karena
adanya perubahan pada pathway pembekuan darah, sehingga terjadi shifting
yang mengarah ke arah pembekuan. Hiperkoagubilitas dapat disebabkan oleh 2
faktor yaitu faktor hereditary, contohnya : faktor V Leiden, defisiensi antitrombin,
defisiensi plasminogen, dan defisiensi protein C dan S, faktor lainnya adalah
faktor yang didapat, dapat dikarenakan antara lain : kanker, kemoterapi, serta
periode hamil dan postpartum.11
Gambar 2.2 Patogenesis Trombosis Vena13
2.6 Penegakkan DiagnosisAnamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting
dalam pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Keluhan yang bisa
dikeluhkan oleh pasien dengan trombosis vena kronik, antara lain :
Pembengkakan pada kaki
Nyeri pada kaki, yang lebih dirasakan terutama jika berdiri atau
berjalan
Hangat pada daerah kaki yang bengkak atau nyeri
Kemerahan pada kaki
Riwayat penyakit sebelumnya juga merupakan hal yang penting untuk
digali karena dapat diketahui faktor resiko dan riwayat trombosis sebelumnya.
Adanya riwayat trombosis dalam keluarga juga merupakan hal penting.
(NIHMedlinePlus,2011).14 Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda klinis yang klasik
tidak selalu ditemukan. Gambaran klasik TVD adalah edema tungkai unilateral,
eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda
Homan yang positif (sakit di calf atau di belakang lutut saat dalam posisi
dorsoflexi). Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis didapatkan peningkatan
D-Dimer dan penurunan antitrombin. Peningkatan D-Dimer merupakan indikator
adanya trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak spesifik dan
sebenarnya lebih berperan untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya
negatif. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 93%, spesivitas 77% dan nilai
prediksi negatif 98% pada TVD proksimal, sedangkan pada TVD daerah betis
sensitifitasnya 70%.
Diagnosis trombosis vena dalam berdasarkan gejala klinis saja kurang
sensitif dan kurang spesifik karena banyak kasus trombosis vena yang besar
tidak menimbulkan penyumbatan dan peradangan jaringan perivaskuler
sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala. Sedangkan dari radiologi ada 3
pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis trombosis vena
dalam, yaitu Venografi, flestimografi impendans, dan ultra sonografi (USG)
Doppler.
2.6.1 VenografiPrinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di
daerah dorsum pedis dan akan kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha,
inguinal sampai ke proksimal ke V. Iliaca. Venografi masih menjadi standar emas
dalam penegakkan diagnosis DVT, dimana sensitifitas dan spesifisitas mencapai
100%. Kelemahan venografi adalah tindakan invasif dan mempunyai efek
samping phlebitis dan pembentukan trombosis, oleh karena itu venografi tidak
digunakan sebagai alat bantu pertama dalam mendiagnosis DVT.
2.6.2 Flestimografi impendansPrinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah
pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femrlis dan
iliaca dibandingkan vena di betis.
2.6.3 Ultra sonografi (USG) DopplerPada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat,
sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG
Doppler. Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan spesifity 93,9%.
(Wilbur, 2012).15
Gambar 2.3 Algoritma Penegakkan Diagnosis Trombosis Vena Dalam15
DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral ( iliac DVT dan femoral DVT)
dan tipe perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala
dan tanda klinis serta derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT
akut dan kronis. Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan
tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor resiko
(Bates, 2004). Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan
warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue
leg) (JCS Guidelines, 2011). Skor dari Wells (tabel 1) dapat digunakan untuk
stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok resiko ringan, sedang atau
tinggi (JCS Guidelines, 2011; Hirsh, 2002).11
Gambar 2.4 Wells Scoring
2.7 PenatalaksanaanPengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang
diagnosisnya sudah pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh
karena obat-obatan yang diberikan mempunyai efek samping yang kadang-
kadang serius. Berbeda dengan trombosis arteri, trombosis vena dalam adalah
suatu keadaan yang jarang menimbulkan kematian. Oleh karena itu tujuan
pengobatan adalah :
1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru.
2. Mengurangi morbiditas pada serangan akut.
3. Mengurangi keluhan post flebitis
4. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses trombo emboli.
2.7.1 Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah
dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian
obat-obatan ini di usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping
seminimal mungkin. Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk mencegah
terjadinya emboli paru, obat yang biasa di pakai adalah heparin. Prinsip
pemberian anti koagulan adalah Save dan Efektif. Save artinya anti koagulan
tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan trombus
dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian heparin
perlu dipantau waktu trombo plastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya
terbatas, sekurang-kurangnya waktu pembekuan.
Pemberian Heparin standar
Heparin 5000 ini bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips
konsitnus 1000 – 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drips selanjutnya tergantung hasil
APTT. 6 jam kemudian di periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target
1,5 – 2,5 kontrol.
1. Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.
2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.
3. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.
Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6
jam, hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam
pertama hanya 38% yang mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
Heparin dapat diberikan 7–10 hari yang kemudian dilanjutkan dengan
pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau
pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan. Pemberian anti koagulan
oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana penghentian heparin karena anti
koagulan orang efektif sesudah 48 jam.
Pemberian Low Milecular Weight Heparin (LMWH)
Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan
pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan
heparin. Saat ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin
(Lovenox) dan (Nandroparin Fraxiparin). Pada pemberian heparin standar
maupun LMWH bisa terjadi efek samping yang cukup serius yaitu Heparin
Induced Thormbocytopenia (HIT).
Pemberian Oral Anti koagulan oral
Obat yang biasa di pakai adalah Warfarin Cara. Pemberian Warfarin di
mulai dengan dosis 6 – 8 mg (single dose) pada malam hari. Dosis dapat
dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil INR (International Normolized
Ratio). Target INR : adalah 2,0 – 3,0. Cara penyesuaian dosis INR:Penyesuaian
1,1 – 1,4 hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.
Kembali : 1 minggu
1,5 – 1,9 hari 1, naikkan 5% – 10% dari total dosis mingguan.
Kembali : 2 minggu
2,0 – 3,0 tidak ada perubahan.
Kembali : 1 minggu
3,1 – 3,9 hari : kurang 5% – 10% dari dosis total mingguan.
Mingguan : kurang 5 – 150 dari dosis total mingguan
Kembali : 2 minggu
4,0 – 5,0 hari 1: tidak dapat obat
mingguan : kurang 10%-20% TDM
kembali : 1 minggu
> 50 :
Stop pemberian warfarin.
Pantau sampai INR : 3,0
Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%.
kembali tiap hari.
Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan
apabila trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang
reversible. Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan
pemberian anti koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi
apabila ditemukan abnormal inherited mileculer. Kontra indikasi pemberian anti
koagulan adalah :
1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.
2. Perdarahan yang baru di otak.
3. Alkoholisme.
4. Lesi perdarahan traktus digestif.
Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan
heparin, akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya
pemberian heparin tunggal. Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat
pada akhir abad ini, terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase
dan tissue plasminogen activator (TPA). TPA bekerja secara selektif pada tempat
yang ada plasminon dan fibrin, sehingga efek samping perdarahan relatif kurang.
Brenner menganjurkn pemberian TPA dengan dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara
intra vena selama 4 jam dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra vena
kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil yang
cukup memuaskan. Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan
trombolitik adalah perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan
serebral. Untuk mencegah terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan
monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu protombin,
jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol.11,16
2.7.2 Mengurangi Morbiditas pada serangan akutUntuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena dilakukan: istirahat
di tempat tidur, posisi kaki ditinggikan, pemberian heparin atau trombolitik,
analgesik untuk mengurangi rasa nyeri, dan pemasangan stoking yang
tekananya kira-kira 40 mmHg. Nyeri dan pembengkakan biasanya akan
berkurang sesudah 24 – 48 jam serangan trombosis. Apabila nyeri sangat hebat
atau timbul flagmasia alba dolens di anjurkan tindakan embolektomi. Pada
keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan thrombus atau emboli,
biasanya tidak di anjurkan.11,16
2.7.3 Pencegahan Sindroma post-flebitisSindroma post flebitis disebabkan oleh inkompeten katup vena sebagai
akibat proses trombosis. Biasanya terjadi pada trombosis di daerah proksimal
yang eksistensif seperti vena-vena di daerah poplitea, femoral dan illiaca.
Keluhan biasanya panas, edema dan nyeri terjadinya trombosis. Sindroma ini
akan berkurang derajatnya kalau terjadi lisis atau pengangkatan trombosis.11,16
2.7.4 Pencegahan terhadap adanya hipertensi pulmonal.Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang tidak sering dari emboli
paru. Keadaan ini terjadi pada trombosis vena yang bersamaan dengan adanya
emboli paru, akan tetapi dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan
trombolitik, terjadinya hipertensi pulmonal ini dapat di cegah.11,16
Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan
trombus yang makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah
mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi
heparin dan antikoagulan oral merupakan terapi inisial dan drug of
choice DVT.11,16
Gambar 2.5 Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT
Gambar 2.6 Macam-macam terapi antitrombotik terhadap DVT dan PE
2.8 KomplikasiKomplikasi tersering DVT proximal adalah post-thrombotic syndrome
(PTS). Gejala-gejala post-thrombotic syndrome antara lain nyeri, edema,
paresthesia, dan ulkus bila sudah berat. Komplikasi tersebut terjadi pada 20-50%
orang dengan DVT, dan 5-10% akan mengalami bentuk yang berat (Wong,
2012).17
Emboli paru merupakan komplikasi DVT yang paling serius, lebih sering
terjadi bila letak trombosis lebih proksimal (paha / pelvis). Emboli paru
disebabkan lepasnya clot yang kemudian berpindah ke paru dan menyumbat
arteri utama paru atau salah satu cabangnya. Gejala yang muncul antara lain:
dyspnea, tachypnea, nyeri dada yang diperberat bernafas, batuk dan
hemoptysis. Risiko kematian pada emboli paru yang terkontrol adalah 0,5% per
tahun (White, 2008). 18
2.9 Pencegahan
Ada beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan untuk mengurangi
risiko, seperti berhenti merokok jika Anda merokok, atau menurunkan berat
badan jika Anda kelebihan berat badan. berjalan teratur dapat membantu untuk
meningkatkan sirkulasi darah di kaki Anda dan membantu untuk mencegah DVT
lain dari berkembang. 11
2.10 PrognosisDVT ringan biasanya sembuh secara ringan tanpa komplikasi. Morbiditas
terumum DVT adalah PTS, biasa terjadi 2 tahun setelah munculnya DVT
proximal yang simtomatis. Kematian yang disebabkan DVT terjadi karena adanya
emboli paru masif, yang menyebabkan 300.000 kematian pertahun di Amerika
Serikat (Tapson, 2008).19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Deep Vein Trombosis (DVT) atau trombosis vena dalam adalah
penggumpalan darah yang terjadi di pembuluh darah balik (vena) sebelah
dalam. Gumpalan darah beku yang terjadi disebut emboli yang bisa terbawa
ke jantung hingga menyebabkan komplikasi serius. Menurut Virchow’s triad,
ada 3 proses multifaktorial yang berperan pada terjadinya trombosis vena dalam,
yaitu : hiperkoagulobilitas, kerusakan endotel, dan stasis vena.
Terapi DVT bertujuan untuk mencegah pulmonary embolism, mengurangi
morbiditas, dan mencegah atau meminimalisir berkembangnya postthrombotic
syndrome. Terapi primer DVT adalah menggunakan melarutkan clot dengan
terapi farmakomekanik berupa trombolisis dosis rendah yang dipandu kateter.
Terapi tersebut dilakukan pada pasien dengan DVT femoral, iliofemor, atau
ekstremitas atas yang meluas. Antikoagulan sistemik atau filter vena cava inferior
diberikan untuk menghindari terbentuknya clot lebih lanjut dan memungkinkan
fibrinolisis endogen dapat berlangsung; hal tersebut merupakan pencegahan
sekunder terhadap VTE.
Komplikasi tersering DVT proximal adalah post-thrombotic syndrome
(PTS). Gejala-gejala post-thrombotic syndrome antara lain nyeri, edema,
paresthesia, dan ulkus bila sudah berat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andrews KL, Gamble GL, et al. Vascular Diseases. In: Delisa JA, editor.
Physical Medicine & Rehabilitation Pr inciples and Practice, 4th Edition.
Phyladelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 787-806
2. Kesteven P. Epidemiology of Venous Tr ombosis. In: Labropoulos N, Stansby
G, editors. Venous and Lymphatic Diseases. New York, NY 1001: Taylor &
Francis Group; 2006. p. 143-151.
3. Bhatti A, Labropoulos N. The Pathophysiology of Deep Venous
Trombosis. In: Labr opoulos N, Stansby G, editors. Venous and lymphatic
diseases. New York, NY 10016: Taylor & Francis Group; 2006. p. 131-6.
4. Denekamp LJ, Folcarelli PH. Penyakit Pembuluh Darah. In: Price SA,
Wilson LM, editors. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6
ed. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2002. p. 656-83.
5. Malone PC, Agutter PS. The aetiology of deep venous trombosis. Q J
Med. [Review article]. 2006;99:581±93.
6. Jusi D. Dasar -Dasar Bedah Vaskuler. 3 ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI;
2004. p. 228-45.
7. Tambunan, Karmel. Thrombosis. KONAS PHTDI Semarang, September 2001.
8. Rani AA, Soegondo, et al. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam I ndonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen I lmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas I ndonesia;
2006.
9. Goldhaber S (2010). Risk factors for venous thromboembolism. Journal of the
American College of Cardiology, 56:1-7
10. American Academy of Orthopedic Surgery. 2011. Deep Vein Thrombosis.
Diakses pada 2 Januari 2015 pukul 19.00.
http://www5.aaos.org/dvt/physician.cfm?pageID=OKO_ADU013_P2
11. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention
of pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis (JCS 2009). Circ J;
75: 1258-1281
12. Morris, T.A., 2011. National Centre for Biotechnological Information. Natural
History of Venous Thromboembolism.
13. Eric, W., 2013. Venous Thromboembolism. McMaster Pathophysiological
Review. Department of Medicine. McMaster University : Canada.
14. National Institute of Health. 2011. Deep Vein Thrombosis. NIH Medline Plus.
Spring 2011 Issue: Volume 6 Number 1 Page 20-21
15. Wilbur, J and Brian, S. 2012. Diagnosis of Deep Venous Thrombosis and
Pulmonary Embolism. Carver College of Medicine. University of Iowa.
Diakses pada 2 Januari 2016 pukul 19.00. http://www. aafp.org/afp/2012/
1115/p913 . html#sec-4
16. Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J
Med, 351:268-77
17. Wong P, Baglin T (2012). "Epidemiology, risk factors and sequelae of
venous thromboembolism". Phlebology 27 (suppl 2): 2–11
18. White RH (October 2008). "Risk of fatal pulmonary embolism was 0.49 per
100 person-years after discontinuing anticoagulant therapy for venous
thromboembolism". Evid Based Med 13 (5):
154. doi:10.1136/ebm.13.5.154.PMID 18836122
19. Tapson VF. Acute pulmonary embolism. N Engl J Med. 2008 Mar 6.
358(10):1037-52.