Transcript

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangPenyakit Jantung Rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sequel) dari demam rematik (DR), yang ditandai dengan terjadinya cacat katub jantung. Demam Rematik (DR) masih sering didapati pada anak di negara sedang berkembang dan mengenai anak usia antara 5-15 tahun. Pada tahun 1944 diperkirakan di seluruh dunia terdapat 12 juta penderita DR dan PJR dan sekitar 3 juta mengalami gagal jantung dan memerlukan rawat inap berulang di rumah sakit. Data terakhir mengenai prevalensi demam rematik di Indonesia untuk tahun 1981-1990 didapati 0,3-0,8 diantara 1000 anak sekolah dan jauh lebih rendah dibanding negara berkembang lainnya. Statistik rumah sakit di negara yang sedang berkembang menunjukkan sekitar 10-35% dari penderita penyakit jantung yang masuk ke Rumah Sakit adalah penderita DR dan PJR.Saat ini banyak kemajuan yang telah dicapai dalam bidang kardiologi, tetapi demam rematik dan penyakit jantung rematik masih merupakan problem karena merupakan penyebab kelainan katub yang terbanyak terutama pada anak. Sampai saat ini demam rematik belum dapat dihapuskan, walaupun kemajuan dalam penelitian dan penggunaan antibiotic terhadap peyakit infeksi begitu maju. Demam rematik dan penyakit jantung rematik masih merupakan penyebab penyakit kardiovaskular yang signifikan di dunia, termasuk Indonesia. Diagnosis kerja terhadap seorang pasien DR/PJR menentukan sekali, apakah benar-benar kita akan membantu pasien meningkatkan kualitas hidup yang baik atau sebaliknya, membebani pasien yang berat, baik mental, fisik maupun sosioekonomi untuk pasien dan keluarganya.B. Tujuan Penulisan1. Menambah referensi tentang Penyakit Jantung Rematik sehingga dapat memberikan edukasi dan terapi kepada pasien dengan lebih baik.2. Memenuhi tugas penyusunan referat Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiDemam Rematik (DR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat. Proses reumatik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat. Meskipun sendi-sendi merupakan organ yang paling sering dikenai, tetapi jantung merupakan organ dengan kerusakan yang terberat. Sedangkan keterlibatan organ-organ lain bersifat jinak dan sementara (Leman, 2009).Demam Rematik (DR) dan atau Penyakit Jantung Rematik (PJR) eksaserbasi akut adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A pada tenggorokan yang terjadi secara ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, chorea, nodul subkutan dan eritema marginatum. Penyakit jantung Rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sequel) dari DR, yang ditandai dengan terjadinya cacat katub jantung (Afif Siregar, 2008).

B. EpidemiologiDemam Rematik (DR) masih sering didapati pada anak di negara sedang berkembang dan mengenai anak usia antara 5-15 tahun. Pada tahun 1944 diperkirakan di seluruh dunia terdapat 12 juta penderita DR dan PJR dan sekitar 3 juta mengalami gagal jantung dan memerlukan rawat inap berulang di rumah sakit. Prevalensinya di Negara berkembang berkisar antara 7,9-12,6 per 1000 anak sekolah dan relatif stabil. Data terakhir mengenai prevalensi demam rematik di Indonesia untuk tahun 1981-1990 didapati 0,3-0,8 diantara 1000 anak sekolah dan jauh lebih rendah dibanding negara berkembang lainnya. Statistik rumah sakit di negara yang sedang berkembang menunjukkan sekitar 10-35% dari penderita penyakit jantung yang masuk ke rumah sakit adalah penderita DR dan PJR (Afif Siregar, 2008).

C. EtiologiDemam Rematik mempunyai hubungan dengan infeksi kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada kulit mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman ini dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DR dan PJR. Hubungan kuman ini sebagai penyebab DR terjadi secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini mempunyai hubungan dengan infeksi Strepokokus beta hemolitik grup A, terutama serotype M1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 (Afif, 2008).

D. PatogenesisHubungan antara infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A dengan terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respon autoimun terhadap infeksi streptokokus beta hemolitikus pada tenggorokan. Respon manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaan genetic host, keganasan organism dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme pathogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi peran antigen histokompatibiliti mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibodi yang berkembang segera setelah infeksi streptokokus telah diteliti sebagai faktor risiko yang potensial dalam patogenesis penyakit ini. Terbukti sel T limfosit memegang peranan dalam patogenesis penyakit ini dan ternyata tipe M dari streptokokus grup A mempunyai potensi rheumatogenik. Beberapa serotype biasanya mempunyai kapsul, berbentuk besar, koloni mukoid yang kaya dengan M-protein. M-protein adalah salah satu determinan virulensi bakteri, strukturnya homolog dengan myosin kardiak dan molekul alpha-helical coiled coil , seperti tropomyosin, keratin dan laminin. Laminin adalah matriks protein ekstraseluler yang disekresikan oleh sel endothelial katub jantung dan bagian integral dari struktur katub jantung. (Afif Siregar, 2008; WHO, 2004)

Gambar 1 : Patogenesis Penyakit Jantung Rematik

E. PatologiDR ditandai oleh radang eksudatif dan proliferatif pada jaringan ikat, terutama mengenai jantung, sendi dan jaringan sub kutan. Bila terjadi karditis seluruh lapisan jantung akan dikenai. Perikarditis sering terjadi dan perikarditis fibrinosa kadang-kadang didapati. Peradangan perikardium biasanya menyembuh setelah beberapa saat tanpa sequel klinis yang bermakna, dan jarang terjadi tamponade. Pada keadaan fatal, keterlibatan miokard menyebabkan pembesaran semua ruang jantung. Pada miokardium mula-mula didapati fragmentasi serabut kolagen, infiltrasi limfosit dan degenerasi fibrinoid dan diikuti munculnya nodul aschoff di miokard. Ini merupakan lesi patognomonik pada DR digunakan sebagai diagnostik histopatologik. Sering ditemukan juga pada saat tidak adanya tanda-tanda keaktifan kelainan jantung dan dapat bertahan lama setalah tanda-tanda gambaran klinis menghilang atau masih ada keaktifan laten (Leman, 2009). Nodul Aschoff terdiri dari area nekrosis sentral yang dikelilingi limfosit, sel plasma, sel mononuclear yang besar dan sel giant multinukleus. Beberapa sel mimiliki inti yang memanjang dengan area yang jernih dalam membran inti yang disebut Anitschow myocytes. Nodul Aschoff bisa didapati pada specimen biopsy endokardium penderita DR. Keterlibatan endokardium menyebabkan valvulitis rematik kronik. Fibrin kecil, vegetasi verukous, berdiameter 1-2 mm bisa dilihat pada permukaan atrium pada tempat koaptasi katub dan korda tendinea. Meskipun vegetasi tidak didapati, bisa didapati peradangan dan edema dari daun katub. Penebalan fibrotik pada dinding posterior atrium kiri bisa didapati dan dipercaya akibat efek jet regurgitasi mitral yang mengenai dinding atrium kiri. Proses penyembuhan valvulitis memulai pembentukan granulasi dan fibrosis daun katub dan fusi korda tendinea yang mengakibatkan stenosis atau insufisiensi katub. Katub mitral paling sering dikenai diikuti katub aorta. Katub trikuspid dan pulmonal biasanya jarang dikenai (Chakko, 2001). F. DiagnosisPada tahun 1944 Jones menetapkan kriteria diagnosis atas dasar beberapa sifat dan gejala saja. Setelah itu kriteria ini dimodifikasi pada tahun 1955 dan selanjutnya direvisi tahun 1965, 1984 dan terakhir 1992 oleh AHA, dan yang terbaru lagi oleh WHO tahun 2004.Tabel 1. Kriteria Jones (1992)-telah dimodifikasiKriteria MayorKriteria Minor

KarditisPoliartritisEritema marginatumKoreaNodulus SubkutanDemamAthralgiaLaboratorium : Peningkatan acute phase reactan (LED meningkat atau CRP)Pemanjangan interval PR di EKG

Ditambah : adanya bukti sebelumnya ada bukti infeksi streptococcus (kultur apus tenggorok, tes antigen steroptokokus cepat dan peningkatan titer ASTO

Jika didukung adanya bukti infeksi streptokokus sebelumnya, adanya 2 manifestasi mayor atau adanya 1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor menunjukkan kemungkinan besar adanya demam rematik.Pada tahun 2002-2003 WHO menfasilitasi diagnosis untuk :a. Primary episode of RFb. Recurrent attack of RF in patient without RHDc. Recurrent attack of RF in patient with RHDd. Rheumatic choreae. Insidious onset rheumatic carditisf. Chronic RHDUntuk menghindari overdiagnosis ataupun underdiagnosis dalam menegakkan diagnosis. (WHO, 2004) G. Gejala Klinik1. KarditisKarditis pada demam rematik akut adalah pankarditis yang meliputi pericardium, miokardium, dan endokardium.

(WHO, 2004)2. ArtritisArtritis adalah gejala mayor yang sering ditemukan pada DR akut. Sendi yang sering dikenai berpindah-pindah tanpa cacat yang biasanya adalah sendri besar seperti lutut, pergelangan kaki, paha, lengan, panggul, siku, bahu. Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan reaksi radang. Nyeri ini akan menghilang secara perlahan-lahan.Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu minggu sehingga terlihat sembuh sempurna. Proses migrasi arthritis ini membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sendi kecil jari tangan dan kaki juga dapat dikenai. Pengobatan dengan aspirin dapat merupakan diagnosis terapetik pada arthritis yang sangat bermanfaat. Bila tidak membaik dalam 24-72 jam, maka diagnosis akan diragukan (Leman, 2009).3. ChoreaChorea sering terjadi pada anak-anak dan jarang pada usia di atas 20 tahun. Sering terjadi pada wanita dan hampir tidak pernah mengenai laki-laki dewasa. Prevalensi chorea pada pasien DR bervariasi antara 5-36%. Chorea ini memiliki karakteristik berupa emosional yang labil, gerakan yang tidak terkoordinasi dan kelemahan otot. Onsetnya sulit untuk ditentukan, tiba-tiba anak menjadi irritable, suka menyendiri dan kurang perhatian terhadap lingkungan (WHO, 2004)4. Eritema marginatumLesi saat muncul awalnya berupa papula atau macula berwarna merah muda, biasanya lesi ini multiple, di ekstremitas proksimal, jarang di ekstremitas distal, dan tidak pernah di wajah. Lesi ini tidak gatal dan tidak nyeri. Eritem marginatum biasanya muncul saat serangan rheumatic awal, berlanjut setelah manifestasi lain muncul, dan tidak dipengaruhi oleh terapi anti inflamasi. Mengenai hingga 15% pasien DR. (WHO, 2004).5. Nodulus subkutaneusInsiden nodulus subkutaneus pada pasein DR bervariasi pada beberapa penelitian dan antar negara. Lesi yang pernah dilaporkan mencapai 20% dari seluruh kasus. Nodul subkutaneus ini berbentuk bundar, mudah digerakkan, tidak nyeri tekan, ukurannya antara 0,5-2,0 cm. Karena kulit di sekitarnya tidak mengalami peradangan, biasanya keluhan ini mudah terabaikan saat pemeriksaan fisik (WHO, 2004).6. Manifestasi minorArtralgia dan demam disebut sebagai manifestasi klinis minor pada DR dalam kriteria diagnosis Jones, karena biasanya keduanya ini lebih jarang terjadinya dibandingkan lima kriteria mayor. Demam biasanya terjadi pada semua serangan heumatic, biasanya antara 38,4-40,0 derajat Celsius. Variasi diurnal umum terjadi, namun tidak ada karakteristik khusus demam. Artralgia tanpa adanya penemuan objektif biasa ditemukan pada DR (WHO, 2004).

(Jonathan et al, 2012)Pasien DR terjadi peningkatan kadar CRP dan ESR. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukosit ,15.000/Ul pada 75% pasien, jadi nilai WBC ini bukan merupakan marker yang khas pada peradangan DR. Nilai yang direomendasikan untuk criteria minor DR untuk reaktan fase akut yaitu nilai CRP > 30MG/l ATAU esr > 30 mm/jam (Jonathan et al, 2012).

Jika pemanjangan interval PR ditemukan, maka EKG harus diulang setelah 2 minggu, dan jika masih abnormal, maka harus diulang kembali setelah 2 bulan. Jika telah kembali normal, maka ARF baru bisa ditegakkan. Interval PR meningkat biasanya sesuai usia (Jonathan et al, 2012).

(Jonathan et al, 2012)

H. Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan adanya infeksi kuman streptokokus Grup A sangat membantu diagnosis DR, yaitu :1. Pada saat sebelum ditemukan infeksi SGA2. Pada saat ditemukan atau menetapnya proses infeksi SGA tersebutUntuk menetapkan ada atu pernah adanya infeksi kuman SGA ini dapat dideteksi :1. Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur SGA positif. Bila positif inipun belum pasti membantu diagnosis sebab kemungkinan akibat kekambuhan diagnosis sebab kemungkinan kekambuhan dari kuman SGA itu atau infeksi streptokokus dengan strain lain.2. Antibodi streptokokus lebih menjelaskan adanya infeksi streptokokus dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti DNA-se.Titer ASTO positif bila besarnya 210 todd pada orang dewasa, dan 320 todd pada anak-anak. Antibody ini dapat terdeteksi pada minggu kedua sampai minggu ketiga setelah fase akut DR atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman SGA di tenggorokan (Leman, 2009)I. Pemeriksaan Penunjang Lainnya1. EkokardiografiPemeriksaan ekokardiografi pada karditis rematik bisa diperoleh keadaan mengenai ukuran atrium, ventrikel, penebalan katub, daun katub yang prolaps dan disfungsi ventrikel. Pada karditis DR akut didapati nodul pada daun katub sekitar 25% dan dapat menghilang pada follow up. Gagal jantung kongestif pada DR berhubungan denga insufisiensi katub mitral dan aorta dan disfungsi miokard. Pada mitral regurgitasi didapati kombinasi valvulitis, dilatasi annulus mitral, prolaps daun katub dengan atau tanpa pemanjangan korda tendinea. Pemeriksaan ekokardiografi untuk menegakkan diagnosis insufisiensi mitral san atau insufisiensi aorta karena karditis rematik tersembunyi ditegakkan setelah kausa non rematik disingkirkan, seperti anomali kongenital daun katub mitral, degenerasi katub mitral, maupun kelainan katub didapat karena infeksi endokarditis dan penyakit sistemik lainnya (Afif Siregar, 2008).2. Endomyocardial biopsySejak myodarditis merupakan komponen pada kelainan jantung pada DR, nilai biopsy endokardial mulai dipertimbangkan untuk penegakan diagnosis karditis rematik. 3. Radionuclide imagingTeknik radionuklida sederhana, tidak invasive yang umum digunakan untuk menilai jenis kelainan kardiovaskular. Gambaran patologi pada inflamasi myocardial dengan beberapa kerusakan sel miokardial, digunakan radiolabel leukosit dan radiolabel antimyosin antibody untuk menggambarkan inflamasi myocardium (WHO, 2004).

J. PenatalaksanaanPengobatan terhadap DR ditujukan pada 3 hal, yaitu 1. Pencegahan primer pada saat serangan DRBertujuan untuk eradikasi kuman streptokokus pada saat serangan DR dan diberikan fase awal serangan. Jenis antibiotic, dosis dan frekuensi pemberiannya yaitu :(WHO, 2004)

2. Pencegahan sekunder DR(WHO, 2004)(WHO, 2004)

3. Menghilangkan gejala penyertaMenghilangkan gejala yang menyertainya, seperti tirah baring, penggunaan anti inflamasi, penatalksanaan gagal jantung dan chorea. Pada serangan DR sering didapati gejala yang menyertainya seperti gagal jantung atau chorea. Penderita gagal jantung memerlukan tirah baring dan anti inflamasi perlu diberikan pada penderita DR dengan manifestasi mayor karditis dan arthritis. Pada penderita gagal jantung perlu diberikan diuretika, restriksi cairan dan garam. Penggunaan digoksin pada penderita DR masih kontroversi karena risiko intoksikasi dan aritmia, Pada penderita chorea dianjurkan mengurangi stress fisik dan emosi. Untuk kasus chorea yang berat fenobarbital atau haloperidol dapat digunakan. Selain itu dapat digunakan asam valproat, chlorpromazine dan diazepam.Penderita PJR tanpa gejala tidak memerlukan terapi. Penderita dengan gejala jantung yang ringan memerlukan terapi medis untuk mengatasi keluhannya. Penderita yang simptomatis memerlukan terapi surgical atau intervensi invasif. Tetapi terapi ini masih terbatas serta memerlukan biaya relative mahal dan memerlukan follow up jangka panjang (Afif Siregar, 2008).

BAB IIIKESIMPULAN

Demam rematik dan penyakit jantung rematik sudah lama diketahui dan dikenal, merupakan penyebab kecacatan pada katub jantung. Penyakit ini paling sering mengenai mengenai anak usia antara 5-15 tahun. Berhubungan dengan infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A. Diagnosis penyakit DR/PJR masih menggunakan kriteria Jones yang telah diperbaiki dan direvisi. Dengan krteria mayor, yaitu : 1) Artritis; 2) Karditis; 3) Chorea; 4) nodulus sub kutaneus; 5) eritema marginatum, dan beberapa kriteria minor. Penyakit ini masih merupakan penyebab kecacatan pada katub jantung yang terbanyak. Kecacatan pada katub jantung tidak dapat terlihat secara kasat mata seperti cacat fisik lainnya, tetapi menyebabkan gangguan kardiovaskuler mulai dari bentuk ringan sampai berat sehingga mengurangi produktifitas dan kualitas hidup. Penggunaan alat ekokardiogram dalam membantu menegakkan diagnosis DR dan PJR yang lebih tepat dan akurat namun dalam pelaksanaannya di Indonesia masih merupakan suatu hambatn, karena menyangkut biaya dan sumber daya manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Afif Siregar, Abdullah. 2008. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik Permasalahan Indonesia. Medan : USUChakko S, Bisno AL. 2001. Acute Rheumatic Fever. In : fuster V, Alexander RW, ORourke et al. Hurst The Heart; vol II; 10 th ed. Mc Graw-Hill : New York. P 1657-65Jonathan, et al. The Australian Guideline for Prevention, Diagnosis and Management of Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease (2nd edition)Leman, 2009. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik. Jakarta : Interna PublishingWHO. 2004. Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease. Geneva : WHO Library

18


Top Related