Transcript

BAB I

PENDAHULUANPreeklampsia merupakan kelainan malfungsi endotel pembuluh darah atau vaskular yang menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia kehamilan 20 minggu, mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi organ dan pengaktifan endotel yang menimbulkan terjadinya hipertensi (>140/90 mmHg) dan dijumpai proteinuria 300 mg per 24 jam atau 30mg/dl (+1 pada dipstick) dengan nilai sangat fluktuatif saat pengambilan urin sewaktu (Brooks, 2011). Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang dikandungnya. Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, low platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran premature, gawat janin, berat badan lahir rendah atau intra uterine fetal death (IUFD). Angka kejadian preeklampsia berkisar antara 5 15% dari seluruh kehamilan di seluruh dunia. Di rumah sakit Cipto Mangunkusumo ditemukan 400 -500 kasus / 40005000 persalinan per tahun (Dharma, 2005).Penyakit sistemik seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Antiphospolipid Syndrome (APS) membuat kehamilan memiliki resiko tinggi terjadinya komplikasi ini. APS adalah kelainan protrombotik yang dapat menyebabkan terjadinya trombosis, emboli, atau stroke dan berhubungan erat dengan komplikasi kehamilan seperti preeclampsia. Resiko untuk terjadinya preeklampsia 9 kali lebih tinggi pada pasien APS jika dibandingkan dengan wanita sehat (Schramm and Clowse, 2014).Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. SLE terutama terjadi pada usia reproduksi antara 15-40 tahun dengan rasio wanita dan laki laki 5 : 1. Kejadian SLE di Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya dilaporkan sebanyak 166 penderita dalam 1 tahun (Mei 2003 - April 2004). Resiko ibu dan janin pada komplikasi selama kehamilan secara signifikan lebih tinggi pada wanita dengan SLE dibandingkan dengan wanita sehat. Analisa nasional menunjukkan adanya resiko 20 kali lebih besar terjadinya mortalitas ibu pada pasien lupus, dan juga dapat meningkatkan angka persalinan prematur, SC, dan restriksi pertumbuhan janin. Dibandingkan dengan individu yang sehat, wanita dengan SLE yang sebelumnya memiliki riwayat penyakit ginjal atau SLE selama kehamilan, memiliki resiko lebih tinggi untuk berkembang menjadi preeklampsia. Komplikasi preeklampsia pada kehamilan terjadi sekitar hampir 30 % kehamilan pada pasien lupus (Schramm and Clowse, 2014).Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin merupakan salah satu senyawa yang secara luas digunakan sebagai obat analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi. Pada pre eklamsia di tandai oleh peningkatan aktivitas tromboksan endotel, ini berarti bahwa pemberian aspirin dapat di jadikan strategi teraupetik yang efektif. Dalam penelitian terhadap 42 uji klinik, pemberian 75 mg aspirin/hari sejak kehamilan 12 hingga 20 minggu dapat mengurangi risiko pre eklamsi, kehamilan matur, dan kematian neonatal (Jordan, 2003). Aspirin dosis rendah, telah menunjukkan efek yang baik dalam uji klinis untuk pencegahan pada plasenta yang terkait dengan komplikasi kehamilan. Dua meta-analisis menunjukkan efek positif dari pemberian aspirin untuk pencegahan preeklampsia pada wanita dengan resiko komplikasi tinggi mengurangi risiko 17-21 %. Analisis menunjukan bahwa pemberian aspirin dosis rendah pada usia kehamilan < 16 minggu dapat menurunkan risiko preeklampsia berat, kematian perinatal ,dan hambatan pertumbuhan janin, jika pemberian aspirin dosis rendah setelah usia kehamilan 16 minggu tidak memberikan efek protektif. Berdasarkan peran tromboksan pada patogenesis dalam perfusi plasenta dan insidensi preeklampsia yang lebih tinggi pada kehamilan SLE, disarankan diberikan aspirin dosis rendah untuk semua wanita hamil dengan SLE , dengan onset terapi yang dimulai sebelum usia kehamilan 16 minggu dan dilanjutkan selama kehamilannya. Wanita dengan SLE dan APS harus melanjutkan pengobatan aspirin sebagai profilaksis terjadinya preeklampsia dan menambahkan heparin atau LMWH (Schramm and Clowse, 2014).BAB II

TINJAUAN PUSTAKAA. PREEKLAMPSIA

1. DefinisiPreeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, dan maupun post partum. Berdasarkan gejala-gejala klinik, preeklampsia dapat dibagi menjadi preeklampsia ringan dan pereklampsia berat. Pembagian preeklampsia menjadi berat dan ringan tidaklah berarti adanya dua penyakit yang jelas berbeda, sebab seringkali ditemukan penderita dengan preeklampsia ringan dapat mendadak mengalami kejang dan jatuh dalam koma. Gambaran klinik preeklampsia bervariasi luas dan sangat individual. Secara teoritik urutan-urutan gejala yang timbul pada preeklampsia ialah edema, hipertensi, protenuria (Prawirohardjo, 2010).

2. EpidemiologiKejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari ibu hamil nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar antara 4-18%. Angka kejadian preeklampsia ringan terjadi sebanyak 75% dan preeklampsia berat terjadi sebanyak 25%. Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10% terjadi pada usia kehamilan kurang dari 34 minggu. Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal. Pada primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita preeklampsia dibandingkan dengan multigravida. Faktor predisposisi lainnya adalah usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes (Ariani, 2010).3. Faktor RisikoBeberapa faktor risiko terhadap timbulnya preeklampsia adalah sebagai berikut (Rahajuningsih et al, 2005):

a. Usia

Insidensi preeklampsia tinggi pada primigravida muda dan terjadi peningkatan pada primigravida tua. Wanita hamil yang berusia kurang dari 25 tahun insidensinya meningkat 3 kali lipat. Hipertensi dapat menetap pada wanita hamil yanng berusia lebih dari 35 tahun. b. Paritas

Paritas merupakan faktor resiko terhadap kejadian preeklampsia, dimana angka kejadian tinggi pada primigravida, baik muda maupun tua. Primigravida tua memiliki risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.

c. Faktor Genetik

Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko meningkat sampai 25%. Kejadian tersebut diduga akibat adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia atau mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga.d. Diet/gizi

Menurut WHO, tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu dengan kejadian preeklampsia. Namun pada penelitian, didapatkan hasil bahwa kekurangan kalsium berhubungan dengan tingginya angka kejadian preeklampsia, begitu juga pada ibu yang obesitas/overweight. e. Tingkah laku/sosioekonomi

Merokok selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat baring yang cukup selama hamil akan mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.f. Mola hidatidosa

Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan preeklampsia.g. Obesitas

Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada wanita dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 menjadi 13,3% pada wanita dengan BMI > 35 kg/m2.h. Kehamilan multiple

Preeklampsia dan eklampsia tiga kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda, dari 105 kasus kembar dua didapatkan 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu karena eklampsia. Pada penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan disebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari satu.4. Etiologi

Penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa teori yang menjelaskan terjadinya preeklampsia. Adapun teori-teori tersebut antara lain:a. Peran Prostasiklin dan Tromboksan

Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat. Sekresi tromboksan oleh trombosit juga bertambah sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan menurunnya sekresi aldosteron. Perubahan ini menyebabkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan volume plasma (Gabriella, 2009).b. Peran Intoleransi Imunologik antara Ibu dan Janin

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan terhadap histikompatibilitas plasenta. Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria (Gabriella,2009).

Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsespi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang berperan penting dalam modulasi respons imun, sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta juga dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu (Prawirohardjo, 2010). Selain itu HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, di samping untuk menghadapi sel Natural Killer. Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang produksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi Immune-Maladaptation pada preeklampsia. Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai kecenderungan terjadi preeklampsia, ternyata mempunyai proporsi Helper Sel yang lebih rendah dibanding pada normotensif (Prawirohardjo, 2010).

c. Peran Faktor Genetik

Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa preeklampsia/eklampsia bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian preeklampsia-Eklampsia antara lain:

1) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.

2) Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsia-eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita preeklampsia-eklampsia.

d. Iskemik Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel1) Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas

Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia adalah iskemik uteroplasentar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang. Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi penurunan kadar 1 -25 (OH)2 dan Human Placental Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Guna mempertahankan penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar paratiroid yang mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui sirkulasi ke dalam intra sel. Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah (Gabriella, 2009).Pada preekslampsia, adanya perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan plasenta adalah patofisiologi yang terpenting pada preeklampsia, serta merupakan faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan. Perubahan aliran darah uterus dan plasenta menyebabkan terjadi iskemia uteroplasenter serta ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang. Selain itu hipoperfusi uterus menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta, yang mengakibatkan vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga tonus pembuluh darah menjadi lebih tinggi. Oleh karena gangguan sirkulasi uteroplasenter, maka terjadi penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin. Akibatnya terjadi gangguan pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian janin (Gabriella, 2009).Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi remodelling arteri spiralis, dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan. Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima elektron atau atom/molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah, dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah sehingga hipertensi dalam kehamilan disebut toxaemia. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel. Produk oksidan (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis selalu diimbangi dengan produksi antioksidan (Prawirohardjo, 2010).

2) Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan

Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar diseluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil yang akan berubah menjadi peroksida lemak (Prawirohardjo, 2010).3) Disfungsi sel endotel

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut disfungsi endotel (endothelial dysfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi (Prawirohardjo, 2010):

a) Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel, adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2) suatu vasodilatator kuat.

b) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboxan (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal perbandingan kadar prostasiklin/tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi dengan terjadi kenaikan tekanan darah.

c) Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus (glomerular endotheliosis)

d) Peningkatan permeabilitas kapilar

e) Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO (vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat

f) Peningkatan faktor koagulasi

Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel yang mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan kemajuan kehamilan (Ariani, 2010). Jika endotel mengalami gangguan oleh berbagai hal seperti shear stress hemodinamik, stress oksidatif maupun paparan dengan sitokin inflamasi dan hiperkolesterolemia, maka fungsi pengatur menjadi abnormal sehingga disebut disfungsi endotel. Pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan substansi vasoaktif sehingga dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel juga menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat sehingga menyebabkan edema dan proteinuria. Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel akan diekspresikan molekul adhesi seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam supernatant kultur sel endotel yang diinkubasi dengan serum penderita preeklampsia, tetapi tidak dijumpai peningkatan molekul adhesi lain seperti ICAM-1 dan E-selektin. Oleh karena itu diduga VCAM-1 mempunyai peranan pada preeklampsia (Ariani, 2010). Namun belum diketahui apakah tingginya kadar sVCAM-1 dalam serum mempunyai hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel juga mengakibatkan permukaan non trombogenik berubah menjadi trombogenik, sehingga bisa terjadi aktivasi koagulasi. Sebagai petanda aktivasi koagulasi dapat diperiksa D-dimer, kompleks trombin-antitrombin, fragmen protrombin 1 dan 2 atau fibrin monomer (Rahajuningsih, 2005).5. Patogenesis

Patogenesis terjadinya preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler

Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan vasoaktif (vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja sudah dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi. Pada kehamilan normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya thromboksan yang mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II sehingga peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi (Gabriella, 2009).b. Hipovolemia Intravaskuler

Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma mencapai 45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma mencapai 30-40% kehamilan normal. Menurunnya volume plasma tersebut menimbulkan hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya perfusi pada jaringan atau organ penting menjadi menurun (hipoperfusi) sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan uteroplasenta mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering terjadi pertumbuhan janin yang terhambat (Intrauterine growth retardation), gawat janin, bahkan kematian janin intrauterin (Gabriella, 2009).c. Vasokonstriksi pembuluh darah

Pada kehamilan normal, tekanan darah dapat diatur tetap meskipun cardiac output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada kehamilan dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam tubuh dengan cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada sistem pembuluh darah arteriole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakan suatu sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada dalam syok kronik. Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti presumtif bahwa preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun dalam darah yang menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus, selanjutnya membuat nekrosis berbagai organ (Gabriella, 2009). Gambaran patologis pada fungsi beberapa organ dan sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia, telah ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat. Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor (endotelin, tromboksan, angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida, prostasiklin, dan lain-lain) (Gabriella, 2009).6. Perubahan Sistem dan Organ pada Preeklampsia

a. Otak

Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi. Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan penguat endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan petekie atau perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri. Dilaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam batas normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia (Gabriella, 2009).b. Kardiovaskuler.

Gangguan fungsi kardiovaskuler yang berat sering terjadi pada preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru (Gabriella, 2009).c. Mata

Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Pada preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler dan merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina ini biasanya disertai kehilangan penglihatan. Selama periode 14 tahun, ditemukan 15 wanita dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami kebutaan yang dikemukakan oleh Cunningham (Cunningham et al, 2005). Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina (Ariani, 2010).d. Paru

Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada beberapa kasus terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati (Ariani, 2010).e. Hati

Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk (1994), dengan menggunakan sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika. Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul hepar dan membentuk hematom subkapsular (Ariani, 2010).f. Ginjal

Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis, adalah pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat (Ariani, 2010). Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang dikemukakan oleh Pritchard (1984) dalam Cunningham (2005) (Cunningham et al, 2005).Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan retensi garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan juga retensi air (Cunningham et al, 2005).Penegakkan diagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat proteinuria. Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin sudah melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994) menekankan bahwa yang diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau lebih dengan dipstick memperkirakan minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92% kasus. Sebaliknya, proteinuria yang samar (trace) atau negatif memiliki nilai prediktif negatif hanya 34% pada wanita hipertensif. Kadar dipstick 7purin +3 atau +4 hanya bersifat prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36% kasus (Ariani, 2010).Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi filtrasi yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun, bahkan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria. Lee (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria dan menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal (Cunningham et al, 2005).Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin, globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin (Ariani, 2010).g. Darah

Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut Baker (1999) dalam Cunningham (2005). Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/l yang ditemukan pada 15-20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption) (Ariani, 2010).Sekitar 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa menetap selama seminggu (Ariani, 2010).h. Sistem Endokrin dan Metabolisme Air serta Elektrolit

Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam darah. Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida natriuretik atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia (Ariani, 2010).Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan hematokrit, peningkatan protein serum, edema yang dapat menyebabkan berkurangnya volume plasma, viskositas darah meningkat dan waktu peredaran darah tepi meningkat. Hal tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia. Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal tidak mengalami perubahan (Ariani, 2010).i. Plasenta dan Uterus

Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat kurangnya oksigenisasi untuk janin. Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya partus prematurus pada pasien preeklampsia. Pada pasien preeklampsia terjadi dua masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk tidak dapat mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut berkembang pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi pada hipertensi malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan penyempitan kaliber dari lumen vaskular. Lesi ini dapat menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh darah yang bertanggung jawab terhadap terjadinya infark plasenta (Ariani, 2010).7. Klasifikasi

a. Preeklampsia ringan (Prawirohardjo, 2010)

Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema setelah kehamilan 20 minggu.

1) Hipertensi : sistolik dan diastolik 140/90 mmHg. Kenaikan sistolik 30 mmHg dan kenaikan diastolik 15 mmHg tidak dipakai lagi sebagai kriteria preeklampsia.2) Proteinuria : 300 mg/24 jam atau 1 + dipstik.3) Edema : edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuali edema pada lengan, muka dan perut, edema generalisata. b. Preeklampsia berat (Prawirohardjo, 2010)Diagnosis ditegakkan berdasar kriteria preeklampsia berat sebagaimana tercantum di bawah ini. Preekalmapsia digolongkan preekalmpsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut :1) Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.2) Proteinuria lebih 5 gr/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.

3) Oligouri, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam. 4) Kenaikan kadar kreatinin plasma5) Gangguan visus dan serebral, penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan pandangan kabur.6) Nyeri epigastrium atau nyeri kepala kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson)7) Edema paru-paru dan sianosis

8) Hemolisis mikroangiopatik

9) Trombositopenia berat < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat10) Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoseluler) : peningkatan kadar alanin dan aspartate aminotransferase.11) Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.

12) Sindrom HELLP (Hemolysis Elevated Liver Enzyme Low Platelets Count).8. Penatalaksanaan

Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta mencegah gangguan fungsi organ vital (Prawirohardjo, 2010).a. Preeklampsia Ringan

Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah dan kejadian edema. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi glomeruli dan meningkatkan dieresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskuler, sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim (Prawirohardjo, 2010).Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi ginjal masih normal. Pada preeklampsia ibu hamil umumnya masih muda, berarti fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet yang mengandung 2 gram natrium atau 4-6 gram NaCl (garam dapur) adalah cukup. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi pertumbuhan janin justru membutuhkan komsumsi lebih banyak garam. Bila komsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan komsumsi cairan yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransia prenatal. Tidak diberikan obat-obat diuretik antihipertensi, dan sedative. Dilakukan pemeriksaan laboratorium hemoglobin, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap dan fungsi ginjal. Apabila preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan konservatif, maka dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur (Prawirohardjo, 2010).1) Rawat inap (dirawat di rumah sakit)

Keadaan dimana ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di rumah sakit ialah bila tidak ada perbaikan dari tekanan darah, kadar proteinuria selama 2 minggu dan terdapat satu atau lebih gejala serta tanda-tanda preeklampsia berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaan non stress test dilakukan 2 kali seminggu, konsultasi dengan bagian mata, jantung dan lain lain (Prawirohardjo, 2010).2) Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya

Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu sampai 37 minggu. Pada kehamilan preterm (37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan, bila perlu memperpendek kala II (Prawirohardjo, 2010).b. Preeklampsia Berat

Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-tanda klinik berupa nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST. Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap terhadap kehamilannya ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil (Prawirohardjo, 2010).1) Medikamentosa

Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradien tekanan onkotik koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring input cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa 5% dextrose atau cairan garam faal jumlah tetesan: 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas

Dosis terapeutik dan toksis MgSO4: Dosis terapeutik 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl

Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl

Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl

Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl

Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas). Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit (Prawirohardjo, 2010).b) Diuretikum

Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin (Prawirohardjo, 2010).c) Antihipertensi

Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang dipakai adalah 160/110 mmhg dan MAP 126 mmHg (Prawirohardjo, 2010).

Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik 180 mmHg dan/atau tekanan diastolik 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang harus dihindari secara mutlak yakni pemberian diazokside, ketanserin dan nimodipin (Prawirohardjo, 2010).

Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin (apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output, sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin (catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan (Prawirohardjo, 2010).Antihipertensi lini pertama: Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam

Antihipertensi lini kedua: Sodium nitroprussida : 0,25g iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25g iv/kg/5 menit.

Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.d) Kortikosteroid

Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeclampsia berat menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria. Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP (Prawirohardjo, 2010).

3) Sikap terhadap kehamilannya

Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi:

a) Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian medikamentosa.

Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah ini, yaitu:

Ibu: Umur kehamilan 37 minggu

Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia

Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan laboratorik memburuk

Diduga terjadi solusio plasenta

Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan

Janin: Adanya tanda-tanda fetal distress

Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal

Terjadinya oligohidramnion

Laboratorik: Adanya tanda-tanda sindroma HELLP khususnya menurunnya trombosit dengan cepatb) Konservatif (ekspektatif): kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan pemberian medikamentosa. Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm 37 minggu tanpa disertai tanda tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik. Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif, kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda preeklampsia ringan (Prawirohardjo, 2010).B. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

1. Definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun pada jaringan penyambung yang dapat mencakup ruam kulit, nyeri sendi dan keletihan (Corwin, 2007). SLE merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011)2. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui namun diduga sebagai berikut (Saraswati and Soekrawati, 2006) :a. Faktor genetik : Keluarga dari penderita penyakit SLE mempunyai insidens yang tinggi untuk penyakit pada jaringan ikat

b. Faktor obat : terutama hydrallazine yang digunakan secara luas untuk terapi pada hipertensi. Sindrom ini terjadi pada 6-7% penderita hipertensi, setelah terapi selama 3 tahun dengan hydrallazine,dengan dosis 100 mg/hari (5,4%) dan 200 mg/hari (10,4%). Tetapi tidak terjadi pada pemberian dengan dosis 50 mg/hari.c. Jenis kelamin : lebih tinggi pada wanita (11,6%) dibanding pria (2,8%).d. Radiasi sinar ultraviolet : dapat juga sebagai faktor pencetus pada onset SLE atau penyebab kekambuhan pada perjalanan penyakit ini di mana dapat ditemukan antibodi terhadap radiasi ultraviolet

e. Faktor lain yang dapat sebagai pencetus adalah infeksi bakteri, dan stress baik fisik maupun mental.3. Manifestasi Klinik Tabel 1. Manifestasi Klinik pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE) (Cunningham et al, 2005).

4. Diagnosis KlinisAmerican College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria saja maka diagnosis SLE sudah dapat di tegakkan. Kriteria tersebut adalah (Setyohadi, 2003):a. Ruam malar (Saraswati and Soekrawati, 2006)

b. Ruam Diskoid (Saraswati and Soekrawati, 2006)

c. Fotosensitifitasd. Ulserasi di mulut atau nasofaringe. Artritisf. Serositis, yaitu pleuritis atau pericarditis

g. Kelainan ginjal, proteinuria persisten > 0,5 gram/harih. Kelainan nerologik, yaitu kejang kejang atau psikosi

i. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia

j. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif atau anti Sm positif atau tes serologic untuk sifilis yang positip palsu

k. Antibodi antinuklear (ANA, anti nuclear antibody) positif.

5. PatogenesisPada SLE sel tubuh dikenal sebagai antigen. Target antibodi pada SLE adalah sel beserta komponennya yaitu inti sel, dinding sel, sitoplasma dan nukleoprotein. Karena di tubuh terdapat berbagai macam sel yang dikenal sebagai antigen maka akan muncul berbagai macam otoantibodi pada penderita SLE. Peran antibodi antibodi ini dalam menimbulkan gejala klinis belum jelas diketahui, beberapa ahli melaporkan kerusakan organ/sistem bisa disebabkan oleh efek langsung antibodi atau melalui pembentukan komplek imun. Kompleks imun akan mengaktifasi sistem komplemen untuk melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan vasoaktif amin seperti histamin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler yang akan memudahkan mengendapnya kompleks imun. Pembentukan kompleks imun ini akan terdeposit pada organ/sistem sehingga menimbulkan reaksi peradangan pada organ/sistem tersebut Sistem komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan memperberat kerusakan jaringan yang terjadi. Kondisi ini yang akan menimbulkan manifestasi klinis SLE tergantung dari organ/sistem mana yang terkena. Pada plasenta proses tersebut akan menyebabkan terjadinya vasculitis desidua (Cunningham, 2005)6. Pengaruh Kehamilan Terhadap SLEKejadian SLE pada kehamilan tergantung dari lamanya masa remisi SLE keterlibatan organ organ vital seperti ginjal. Penderita SLE yang telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai risiko 25% eksaserbasi pada saat hamil dan 90% kehamilannya baik. Tetapi sebaliknya bila masa remisi SLE sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka risiko eksaserbasi SLE pada saat hamil menjadi 50% dan kehamilan menjadi buruk. Apabila kehamilan terjadi pada saat SLE sedang aktif maka risiko kematian janin 50-75% dengan angka kematian ibu menjadi 10%. Dengan meningkatnya umur kehamilan maka risiko eksaserbasi juga meningkat, yaitu 13% pada trimeseter I, 14% pada trimester II, 53% pada trimester III serta 23% pada masa nifas (Mok and Wong, 2001).7. Pengaruh SLE terhadap kehamilanKehamilan penderita SLE sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada saat remisi mempunyai prognosis kehamilan yang baik. Beberapa komplikasi kehamilan yang bias terjadi pada kehamilan yaitu, kematian janin meningkat 2-3 kali dibandingkan wanita hamil normal, bila didapatkan hipertensi dan kelainan ginjal maka mortalitas janin menjadi 50%. Kelahiran prematur juga bisa terjadi sekitar 30-50% kehamilan dengan SLE yang sebagian besar akibat preeklamsia atau gawat janin. Infark plasenta yang terjadi pada penderita SLE dapat menigkatkan risiko terjadinya Pertumbuhan janin Terhambat sekitar 25% demikian juga risiko terjkadinya preeklamsia . eklamsia meningkat sekitar 25-30% pada penderita SLE yang disertai lupus nepritis kejadian preeklamsia menjadi 2 kali lipat (Handa, 2006).8. Penatalaksaan SLE dengan Kehamilan Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan SLE dengan kehamilan yaitu:

a. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit SLE

b. Plasenta dan fetus dapat menjadi target dari otoantibodi maternal sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya lupus eritemtousus neonatal.Pada umumnya penderita SLE mengalami fotosensitifitas, sehingga disarankan untuk tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari. Modalitas utama pengobatan SLE adalah pemberian kortikosteroid, anti inflamasi non steroid, aspirin, anti malaria dan imunosupresan. Pemberian kostikosteroid memiliki peran yang sangat penting pada kehamilan dengan SLE karena tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita SLE yang hamil akan mengalami eksaserbasi. Pemakaian kortikosteroid jangka panjang seperti prednison, prednisolon, hidrokortison pada kehamilan pada umumnya aman, karena glukokortikoid akan mengalami inaktifasi oleh enzim 11-beta-hidroksidehidrogenase menjadi metabolik 11-keto yang inaktif, sehingga hanya 10% dari dosis yang dipakai dapat memasuki janin. Pada manifestasi klinis SLE yang ringan umumnya diberikan prednison oral dalam dosis rendah 0,5 mg/kgBB/hari sedangkan pada manifestasi klinis yang berat diberikan prednison dosis 1 mg- 1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/ kgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan untuk mengganti glukokortikoid oral dosis tinggi atau pada penderita yang tidak memberikan respon pada terapi oral. Setelah pemberian glukokortikoid selama 6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis obat secara bertahap 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Bila timbul eksaserbasi akut dosis harus dikembalikan seperti dosis sebelumnya. Pemakaian glukokortikoid yang berkepanjangan pada waktu hamil dalam dosis tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, ketuban pecah dini, diabetes gestasional, hipertensi,dan osteoporosis (Mok and wong, 2001).Imunosupresan diberikan pada penderita yang tidak respon terhadap terapi glukokortikoid selama 4 minggu. Siklofosfamid diberikan bolus intravena 0,5 gr/m2 dalam 150 cc NaCL 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam. Pemberian siklofosfamid pada wanita hamil tersebut tidak dianjurkan secara rutin kecuali benar benar atas indikasi yang kuat dan dalam keadaan diamana keselamatan ibu merupakan hal yang utama. Dilaporkan bahwa pemakaian siklofosfamid dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kegagalan ovarium prematur dan kelainan bawaan pada janin. Obat imunosupresan lainnya yang cukup aman diberikan pada wanita hamil adalah azatioprin dan siklosporin. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya eksaserbasi pada saat persalinan atau pembedahan maka sebaiknya penderita juga diberikan metil prednisolone dosis tinggi sampai 48 jam pasca persalinan, setelah itu dosis obat diturunkan. Hampir semua obat untuk penderita SLE diekskresikan bersama air susu dalam jumlah yang bervariasi antara 0,1%-2% dosis obat, kecuali Imunosupresan yang dikontraindikasikan untuk ibu menyusui (Mok and wong, 2001). Pemberian aspirin dalam dosis besar (> 3 gr/hari) berhubungan dengan peningkatan kejadian kehamilan posterm dan perdarahan selama persalinan. Dosis tinggi aspirin juga dilaporkan telah menyebabkan oligohidramnion, penutupan prematur dari duktus arteriosus dan hipertensi pulmonal pada neonatus. Pemakaian NSAID atau aspirin dihindari beberapa minggu sebelum persalinan. Hidroksiklorokuin juga sering dipakai dalam pengobatan SLE dan sampai saat ini pemakaian obat ini cukup aman untuk wanita hamil. Kehamilan yang direncanakan merupakan pilihan yang paling baik untuk penderita SLE yang masih menginginkan kehamilan. Kehamilan direkomendasikan setelah 6 bulan remisi. Pada kunjungan pertama antenatal dilakukan pemeriksaan lengkap tanpa memandang kondisi klinis pasien yang meliputi, pemeriksaan darah lengkap, panel elktrolit, fungsi liver, fungsi ginjal, urinalisis, antibodi anti DNA, anti bodi anti kardiolipin, antikoagulan Lupus, C3, C4 dan Anti SSA/R0 dan Anti SSB/La. Pemeriksaan laboratorium tersebut harus diulang tiap trimester, apabila antti SSA/Ro dan Anti SSB/La positif maka dilakukan pemeriksaan ekokardiograpi janin pada usia kehamilan 24-26 minggu untuk mendeteksi adanya blok janin kongenital. Apabila ditemukan adanya blok jantung janin kongenital maka diberikan dexametason 4 mg per-oral/hari selama 6 minggu/sampai gejala menghilang kemudian dosis diturunkan sampai lahir (Mok and wong, 2001). Pemilihan kontrasepsi yang efektif dan aman merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan penderita SLE pasca persalinan. Kadar estrogen dalam kontrasepsi oral yang melebihi 20-30 ugr/hari dapat mencetuskan SLE. Risiko tromboemboli pada penderita SLE yang memakai kontrasepsi oral juga meningkat terutama apabila aPLnya positif. Kontrasepsi oral yang hanya mengandung progestogen dan depot progestogen merupakan alternatif yang lebih aman untuk penderita SLE pasca persalinan. Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) kurang baik karena dapat meningkatkan risko infeksi terutama pada penderita yang memakai imunosupresan yang lama (Buyon, 2004).9. Komplikasi Kehamilan dengan SLE

Sindroma Lupus Ertematosus Neonatal (LEN) merupakan komplikasi kehamilan dengan SLE yang mengenai janin dimana sindroma tersebut terdiri dari, blok jantung kongenital, SLE kutaneus sesaat, sitopenia, kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya pada neonatus yang lahir dari seorang ibu yang menderita SLE pada saat hamil. Untuk menegakkan diagnosa LEN, The Research Registry for Neonatal Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut (Mok and wong, 2001):

a. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada serum ibu.

b. Adanya blok jantung atau rush pada kulit neonatesC. ASPIRINAspirin merupakan anti trombosit (anti platelet) adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri. Aspirin digunakan sebagai obat analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi yang sangat luas digunakan (Aldy, 2004).1. Mekanisme Kerja

Aspirin (asetosal, asam asetil-salisilat) bekerja mengasetilasi enzim siklooksigenase dan menghambat pembentukan enzim cyclic endoperoxides. Aspirin juga menghambat sintesa tromboksan A-2 (TXA-2) di dalarn trombosit, sehingga akhirnya menghambat agregasi trombosit. Aspirin menginaktivasi enzim-enzim pada trombosit tersebut secara permanen. Penghambatan inilah yang mempakan cara kerja aspirin dalam pencegahan stroke dan TIA (Transient Ischemic Attack). Pada endotel pembuluh darah, aspirin juga menghambat pembentukan prostasiklin. Hal ini membantu mengurangi agregasi trombosit pada pembuluh darah yang rusak (Aldy, 2004).

Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa aspirin dapat menurunkan risiko terjadinya stroke, infark jantung non fatal dan kematian akibat penyakit vaskular pada pria dan wanita yang telah pernah mengalami TIA atau stroke sebelumnya. 2. Farmakokinetik

a. Mula kerja : 20 menit -2 jam.

b. Kadar puncak dalam plasma: kadar salisilat dalarn plasma tidak berbanding lurus dengan besamya dosis.

c. Waktu paruh : asam asetil salisilat 15-20 rnenit ; asarn salisilat 2-20 jam tergantung besar dosis yang diberikan.

d. Bioavailabilitas : tergantung pada dosis, bentuk, waktu pengosongan lambung, pH lambung, obat antasida dan ukuran partikelnya.

e. Metabolisrne : sebagian dihidrolisa rnenjadi asarn salisilat selarna absorbsi dan didistribusikan ke seluruh jaringan dan cairan tubuh dengan kadar tertinggi pada plasma, hati, korteks ginjal , jantung dan paru-paru.

f. Ekskresi : dieliminasi oleh ginjal dalam bentuk asam salisilat dan oksidasi serta konyugasi metabolitnya (Aldy, 2004). 3. Farmakodinamik

Adanya makanan dalam lambung memperlambat absorbsinya ; pemberian bersama antasida dapat mengurangi iritasi lambung tetapi meningkatkan kelarutan dan absorbsinya. Sekitar 70-90 % asam salisilat bentuk aktif terikat pada protein plasma (Aldy, 2004).

4. lndikasi

a. Menurunkan resiko TIA atau stroke berulang pada penderita yang pernah menderita iskemi otak yang diakibatkan embolus.

b. Menurunkan resiko menderita stroke pada penderita resiko tinggi seperti pada penderita tibrilasi atrium non valvular yang tidak bisa diberikan anti koagulan (Aldy, 2004).

5. Kontra Indikasi Hipersensitif terhadap salisilat, asma bronkial, hay fever, polip hidung, anemi berat, riwayat gangguan pembekuan darah (Aldy, 2004).6. lnteraksi Obat

Obat anti koagulan, heparin, insulin, natrium bikarbonat, alkohol clan, angiotensin -converting enzymes. 7. Efek Samping

Rasa tidak enak di perut, nyeri epigastrium, mual, muntah, perdarahan lambung dan perdarahan saluran cerna biasanya dapat dihindarkan bila dosis per hari tidak lebih dari 325 mg. Penggunaan bersama antasid atau antagonis H2 dapat mengurangi efek tersebut. Obat ini dapat mengganggu hemostasis pada tindakan operasi bila diberikan bersama heparin atau antikoagulan oral dapat meningkatkan risiko perdarahan (Setiabudy, 2008).Tidak dianjurkan dipakai untuk pengobatan stroke pada anak di bawah usia 12 tahun karena resiko terjadinya sindrom Reye. Pada orang tua harus hati- hati karena lebih sering menimbulkan efek samping kardiovaskular. Obat ini tidak dianjurkan pada trimester terakhir kehamilan karena dapat menyebabkan gangguan pada janin atau menimbulkan komplikasi pada saat partus. Tidak dianjurkan pula pada wanita menyusui karena disekresi melalui air susu.

8. Dosis

FDA (food and drug administration) merekomendasikan dosis: oral 1300 mg/hari dibagi 2 atau 4 kali pemberian. Sebagai anti trombosit dosis 325 mg/hari cukup efektif dan efek sampingnya lebih sedikit. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf merekomendasikan dosis 80-320 mg/hari untuk pencegahan sekunder stroke iskemik (Setiabudy, 2008).Dosis aspirin secara oral untuk mendapatkan efek analgetik dan antipiretik adalah 300-900 mg, diberikan setiap 4-6 jam dengan dosis maksimum 4 g sehari dan konsentrasi dalam plasma 150-300 mcg/ml. Untuk mendapatkan efek antiinflamasi, doss yang digunakan adalah 4-6 g secara oral per hari. Untuk mendapatkan efek antiagregasi platelet, dosis yang digunakan adalah 60-80 mg secara oral per hari (Katzung et al, 2004).

BAB III

PEMBAHASANBerikut data meta analisis pemberian aspirin dalam mencegah preeklampsia:Tabel 2. Data meta analisis pemberian aspirin dalam mencegah preeklampsia (Schramm and Clowse, 2014). MetaanalisisOnset terapiKriteria inklusiIntervensiMetodeHasil

Duley et al, Cochrane review 2007Sebelum dan sesudah usia kehamilan 20 mingguKriteria resiko tinggi :

Riwayat preeklampsia berat sebelumnya

Hipertensi kronis

Penyakit ginjal

Penyakit autoimun

DiabetesAnti platelet (pemberian aspirin dosis rendah atau dipiridamole) vs plasebo atau tanpa anti platelet59 percobaan (37560 wanit) dan grup resiko tinggi diterapi dengan atau tanpa anti platelet

Outcome :

Preeklampsia

Secondary outcome :

Kelahiran prematur

Keadaan neonatusPengurangan resiko 17 % dengan penggunaan antiplatelet (RR 0,83, 95 % CI 0,77-0,89)

Trivedi 2011Usia kehamilan 7 32 mingguKriteria resiko tinggi :

Riwayat preeklampsia berat sebelumnya

Hipertensi essensial

Penyakit vaskular lain

Diabetes melitus gestasional

Usia ibu > 40 tahun

Hasil USG doppler positif

Aspirin dosis rendah 40 160 mg vs plasebo19 percobaan dengan grup resiko rendah (16550 wanita) dan grup resiko tinggi (11687 wanita) yang memiliki resiko menjadi preeklampsia.

Diterapi dengan aspirin dosis rendah atau plasebo.

Outcome :

Preeklampsia

Secondary outcome :

Kelahiran prematur

IUGRKelompok risiko tinggi:

insidensi preeklampsia : 10,7% pada kelompok aspirin dosis rendah, 12,5% pada kelompok plasebo

pengurangan risiko preeklampsia dengan

aspirin dosis rendah : 21% (RR 0,79, 95% CI 0,65 - 0,97)

Penurunan 16% dalam risiko kelahiran prematur (RR 0,84, 95% CI 0,71- 0,99)

Kelompok risiko rendah:

Insidensipreeklamsia: 4,3% pada kelompok aspirin dosis rendah, pada kelompok plasebo 4,4% tidak ada

pengurangan risiko preeklampsia yang signifikan

pada pemberian aspirin dosis rendah (RR 0,86, 95% CI 0.64, 1.17)

Penurunan 2% dalam risiko kelahiran prematur (RR 0,98, 95% CI 0,90, 1,07)

Roberge et al 2012Sebelum usia kehamilan 16 mingguFaktor resiko :

Hipertensi kronis

Riwayat preeklampsia berat sebelumnya

Uterine doppler abnormal

Obesitas

Kehamilan pertama

Sjogren syndromeAspirin dosis rendah 50 150 mg vs plasebo5 percobaan dengan 556 wanita dengan resiko preeklampsia diberikan terapi aspirin dosis rendah atau plasebo

Outcome :

Preeklampsia pada kehamilan cukup bulan dan pretermPengurangan Risiko preeklapmsia pada kehamilan preterm

Dengan pemberian aspirin dosis rendah : 89% (RR 0,11, 95% CI 0,04, 0,33)

Tidak ada efek dari aspirin dosis rendah pada preeklamsia dikehamilan yang cukup bulan

(RR 0,98, 95% CI 0,42, 2,33)

Villa et al 2013Saat atau sebelum usia kehamilan 16 mingguFaktor resiko :

Hasil doppler flow velocimetry arteri uterina abnormalAspirin dosis rendah 50 150 mg vs plasebo atau tidak mendapat terapi346 wanita diterapi dengan aspirin atau plasebo

Outcome :

Preeklampsia pada kehamilan cukup bulan, preterm atau preeklampsia beratKelompok aspirin dosis rendah : signifikan mengurangi risiko preeklampsia (RR 0,6, 95% CI 0,37-0,83) dan

Preeklampsia berat (RR 0,3, 95% CI 0,11-0,69)

Data meta analisis yang dilakukan pada pemberian aspirin dalam mencegah preeklampsia yang terdapat pada tabel 2, dilakukan pada empat penelitian. Duley et al, Cochrane review 2007 melakukan penelitian pada 37560 wanita dengan usia kehamilan 20 minggu dengan kriteria inklusi riwayat preeklampsia sebelumnya, hipertensi kronis, penyakit ginjal, penyakit autoimun dan diabetes. Intervensi yang dilakukan adalah dengan memberikan anti platelet (pemberian aspirin dosis rendah atau dipiridamole) dengan plasebo atau tanpa platelet. Pada penelitian tersebut didapatkan hasil pengurangan resiko terjadinya preeklampsia sebanyak 17 % dengan penggunaan anti platelet. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Trivedi, 2011 yang dilakukan pada 16550 wanita resiko rendah dan 11687 wanita beresiko preeklampsia usia kehamilan 7-32 minggu diterapi dengan aspirin dosis rendah dan plasebo. Hasil yang didapatkan adalah sebanyak 10,7 % insidensi preeklampsia terjadi pada kelompok resiko tinggi yang di intervensi dengan aspirin dosis rendah dan 12,5 % pada kelompok yang di intervensi dengan plasebo. Sedangkan pada kelompok resiko rendah, insidensi preeklampsia terjadi sebanyak 4,3% pada kelompok aspirin dosis rendah dan 4,4% pada kelompok plasebo. Meta analisis ini menggunakan penelitian yang heterogen dengan pemberian aspirin dosis rendah bervariasi mulai dari usia kehamilan 7 32 minggu.Temuan yang lebih kuat muncul dari dua meta analisis yang membatasi studi pemberian aspirin dosis rendah dimulai sebelum usia kehamilan 16 minggu. Salah satu analisis menemukan bahwa jika inisiasi pemberian aspirin dosis rendah pada usia kehamilan < 16 minggu dapat menurunkan risiko preeklampsia berat, kematian perinatal ,dan hambatan pertumbuhan janin, inisiasi pemberian aspirin dosis rendah setelah usia kehamilan 16 minggu tidak memberikan efek protektif. Penelitian yang dilakukan oleh Roberge et al, 2012 yang dilakukan pada 556 wanita dengan resiko preeklampsia pada usia kehamilan < 16 minggu diberi terapi aspirin dosis rendah dan plasebo. Hasil yang didapatkan yaitu didapatkan pengurangan resiko preeklampsia sebesar 89 % pada kehamilan preterm dengan pemberian aspirin dosis rendah dan tidak terdapat efek dari pemberian aspirin dosis rendah pada preeklampsia dikehamilan cukup bulan. Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Villa et al, 2013 yang dilakukan pada 346 wanita dengan usia kehamilan 16 minggu yang di intervensi dengan aspirin dosis rendah atau plasebo didapatkan hasil pengurangan resiko yang signifikan untuk preeclampsia dan preeklampsia berat dengan pemberian aspirin dosis rendah pada wanita dengan aliran arteri uterina yang abnormal. Berdasarkan data ini, menunjukkan bahwa inisiasi dini pemberian aspirin dosis rendah adalah penting dan hal itu mungkin paling efektif dalam mencegah kelahiran prematur dan preeklampsia berat (Schramm and Clowse, 2014). Berikut mekanisme terjadinya preeklampsia (Schramm and Clowse, 2014):

Patologi yang mendasari terjadinya preeklampsia masih sulit dipahami, onset dari kondisi dimana terjadinya invasi trofoblas dengan kondisi plasenta yang buruk, inflamasi, disregulasi faktor angiogenik, dan iskemia dimana semua ini mengarah kepada mekanisme utama terjadinya kerusakan endotel. Kerusakan pada endotel menyebabkan terjadinya aktivasi trombosit, peningkatan tromboksan, dan kaskade pembekuan darah.

A. Remodelling pembuluh darah plasenta yang buruk

Implantasi dan perkembangan dari plasenta terjadi pada trimester pertama kehamilan. Sitotrofoblas janin akan menginvasi arteri spiralis ibu dan mengubah pertahan lapisan muskularis arteri tersebut menjadi lebih elastis. Insufisiensi yang terjadi selama proses perubahan ini berhubungan kuat dengan patologi terjadinya preeklampsia berat. Pada plasenta preeklampsia, invasi trofoblas mencegah terjadinya remodeling vascular, yang menyebabkan terjadinya penurunan perfusi janin, hipoksia, dan iskemia plasenta kronis.

B. Ketidakseimbangan faktor angiogenik

Iskemia kronis disebabkan oleh vaskularisasi yang buruk yang berhubungan dengan produksi faktor angiogenik pada plasenta seperti vascular endothelial growth factor (VEGF), placental growth factor (PIGF), dan soluble fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1). VEGF memacu pertumbuhan pembuluh darah, mendukung fungsi dari sel endotel dan menstimulasi produksi NO pada dinding pembuluh darah. sFlt-1 merupakan antagonis dari VEGF yang alami ada dan bertugas untuk mengikat VEGF bebas dan menempati reseptor VEGF. Pada penelitian menggunakan hewan coba menyatakan bahwa kemungkinan VEGF dan sFlt-1 mempunyai peran dalam patogenesis preeklampsia. Selama kehamilan yang normal, kadar PIGF meningkat pada trimester pertama dan kedua dan menurun pada trimester ketiga. Kadar faktor antiangiogenik sFlt-1 biasanya stabil pada kehamilan awal dan meningkat pada trimester terakhir. Pada sampel darah pasien dengan preeklampsia ditemukan kadar PIGF yang rendah dan peningkatan kadar sFlt-1 pada usia kehamilan 26 dan 29 minggu. Peningkatan rasio sFlt-1/PIGF yang terjadi selama trimester kedua bukan pada trimester pertama dapat membantu mendeteksi preeklampsia sebelum munculnya gejala klinis. Peningkatan kadar sFlt-1 juga ditemukan pada pasien SLE dengan preeklampsia.

C. Inflamasi

Sistem inflamasi pada maternal juga berperan dalam patogenesis preeklampsia. Kadar mediator proinflamasi di sirkulasi seperti IL-6, IL-8, TNF-, dan monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1) lebih tinggi pada kehamilan dengan preeklampsia dibandingkan dengan kehamilan normal. Infiltrasi leukosit non infeksius pada villi (janin) dan sel desidua (ibu) ditemukan plasenta preeklampsia diikuti dengan peningkatan aktivasi sistem komplemen, dengan peningkatan aktivasi komplemen faktor Bb. Aktivasi dari sistem komplemen berhubungan secara langsung dengan sistem inflamasi dan koagulasi. Inflamasi sebelumnya merupakan pemacu perkembangan terjadinya preeklampsia pada pasien dengan SLE.

D. Tromboxan

Perfusi plasenta yang buruk memacu aktivasi trombosit dan kaskade pembekuan darah yang menghasilkan ketidakseimbangan semua vasoaktif prostaglandin. Rasio antara prostaglandin tromboxan dan prostasiklin memodulasi aliran darah, dengan tromboxan A2 sebagai vasokonstriktor dan pemacu agregasi trombosit, sementara prostasiklin berfungsi pada vasodilatasi pembuluh darah dan menghambat terjadinya agregasi trombosit. Peningkatan kadar tromboksan dan penurunan prostasiklin berhubungan dengan trombotic vaskulopati yang diketahui merupakan kelainan yang ada pada plasenta preeklampsia.

Konstitutif enzim seperti cyclooxygenase 1 memproduksi tromboxan A2 dalam trombosit dan prostasiklin primer pada sel endotel. Aspirin merupakan inhibitor cyclooxygenase ireversibel pada trombosit. Pengaruh penggunaan aspirin pada pencegahan preeklampsia dilihat dari data adanya penurunan konsentrasi tromboxan dan mediasi ketidakseimbangan rasio tromboxan A2/prostasiklin yang diinduksi oleh aspirin. Aspirin juga dapat meningkatkan aliran darah plasenta dan memenimalisir resiko terjadinya trombosis pada plasenta, dimana hal ini merupakan pengobatan yang rasional untuk mencegah terjadinya preeklampsiaKisaran dosis aspirin yang memberikan efek positif sangat bervariasi. Pada studi yang dilakukan oleh Across , pemberian aspirin dosis rendah antara 40 dan 160 mg / hari, namun tidak ada perbedaan dalam potensi efeknya. Percobaan sebelumnya juga mencari outcome pada ibu dan bayi dari kehamilan yang terpapar untuk aspirin dosis rendah dan pengobatan tampaknya aman bagi ibu dan bayi. Dibandingkan dengan perempuan di kelompok kontrol, misalnya, ibu hamil yang diberi terapi aspirin dosis rendah tidak mengalami perbedaan yang signifikan dalam risiko perdarahan maternal atau neonatal. Data kasus-kontrol juga menunjukkan tidak ada peningkatan risiko kelainan bawaan dan tidak seperti pemberian NSAIDs dosis tinggi, pemberian aspirin dosis rendah tidak meningkatkan risiko penutupan ductus arteriosus didalam rahim. Analisis untuk prakonsepsi pemberian aspirin dosis rendah untuk pencegahan preeklampsia setelah fertilisasi in-vitro (IVF) menemukan tidak adanya penurunan yang signifikan adanya komplikasi hipertensi dalam kehamilan dibandingkan dengan kelompok plasebo (Schramm and Clowse, 2014).

Mempertahankan SLE agar tetap inaktif mungkin dapat mengurangi risiko komplikasi kehamilan dengan meminimalkan dampak dari inflamasi kronis, tetapi disfungsi endotel akibat SLE saat ini belum dapat diterapi. Pengaruh penggunaan aspirin pada pencegahan preeklampsia dilihat dari adanya penurunan konsentrasi tromboxan dan mediasi ketidakseimbangan rasio tromboxan A2/prostasiklin yang diinduksi oleh aspirin. Aspirin juga dapat meningkatkan aliran darah plasenta dan memenimalisir resiko terjadinya trombosis pada plasenta, dimana hal ini merupakan pengobatan yang rasional untuk mencegah terjadinya preeklampsia (Schramm and Clowse, 2014). BAB IV

KESIMPULAN

1. Preeklampsia merupakan kelainan malafungsi endotel pembuluh darah atau vaskular yang menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia kehamilan 20 minggu, mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi organ dan pengaktifan endotel yang menimbulkan terjadinya hipertensi (>140/90 mmHg), edema non dependen, dan dijumpai proteinuria 300mg per 24 jam atau 30mg/dl (+1 pada dipstick) dengan nilai sangat fluktuatif saat pengambilan urin sewaktu.

2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun pada jaringan penyambung yang dapat mencakup ruam kulit, nyeri sendi dan keletihan.3. Aspirin merupakan anti trombosit (anti platelet) adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri.4. Aspirin dapat meningkatkan aliran darah plasenta dan memenimalisir resiko terjadinya trombosis pada plasenta, sehingga aspirin merupakan pengobatan yang rasional untuk mencegah terjadinya preeclampsia.5. Pengaruh penggunaan aspirin pada pencegahan preeklampsia dilihat dari adanya penurunan konsentrasi tromboxan dan mediasi ketidakseimbangan rasio tromboxan A2/prostasiklin yang diinduksi oleh aspirin. DAFTAR PUSTAKAAldy S. Rambe. 2004. Obat-Obat Penyakit Serebrovaskular. Sumatera : Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Ariani, Rizka. 2010. Hubungan Preeklampsia dengan Berat Bayi Lahir Rendah di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Sumatera Utara : FK Universitas Sumatera Utara

Buyon VP. 2004. Management of SLE during pregnancy: a decision tree.Rematologi. vol 20 (4):197-201.

Brooks, MD. 2011. Pregnancy, Preeclampsia, Available at: http://www.emedicine.com, Department of Emergency Medicine, St Mary Corwin Medical Center.

Corwin, E.J., 2007. Buku saku patofisiologi edisi 3. Jakarta : EGC

Cunningham, F.G.; Leveno, K.J.; Gant, Norman F.; Hauth, J.C.; Wenstrom, K D. 2005. Obstetrics Williams. Edisi 21. Jakarta : EGC

Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K. 2005. Hypertensive Disorders In Pregnancy, Dalam William Obstetrics, Edisi Ke-22. New York: McGraw-Hill : 761-808Dharma, R., Wibowo, N.,Raranta, H., 2005. Disfungsi Endotel Pada Preeklampsia. Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Makara Kesehatan, Vol. 9, NO. 2: 63-69

Gabriella R, Simona. 2009. Tugas Obstetri Dan Ginekologi, Patofisiologi Preeklampsia. Maluku : Universitas PattimuraGibson P, Carson M. 2009. Hypertension and Pregnancy. Diakses tanggal 24 Oktober 2009 dari http : //emedicine.medscape.com/article/261435

Handa R, Kumar U, Wali JP. Systemic lupus eristhematosus and pregnancy. JAPI. hal:235-8.

Katzung, B.G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 3 Edisi 8. Penerjemah dan editor: Bagian Farmakologi FK UNAIR. Surabaya : Penerbit Salemba MedikaKusuma, 2007. Lupus Eritematosus Sistemik Pada Kehamilan. Journal Peny Dalam,Vol: 8,No :2

Mok CC, Wong RWS. 2001.Pregnancy in systemic lupus erythematosus. Postgrad Med JR.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta : PRI

Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan, Hipertensi Dalam Kehamilan. Jakarta. PT Bina Pustaka. Hal : 542-50Rahajuningsih,Dharma; Wibowo, Noroyono dan Raranta, Hessyani. 2005. Disfungsi Endotel Pada Preeklampsia. Jakarta : Universitas IndonesiaSaraswati PDA, Soekrawati E. Systemic Lupus Erythematosus. In : Dexa Media Jurnal Kedokteran dan Faramsi Vol. 19. Denpasar : SMF Kulit dan Kelamin RSUD Wangaya. 2006. 26-0.

Schramm, A.M., Clowse, M.E.B., 2014. Review Article Aspirin for Prevention of Preeclampsia in Lupus Pregnancy. Hindawi Publishing Corporation.

Setiabudy, Rianto. 2008. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaSetyohadi B. 2003. Penatalaksanaan lupus eritematosus sistemik. Temu lmiah Rematologi tahun 2003 hal154-8.


Top Related