ETIOPATOGENESIS STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME
Meity Hidayani, Nurelly N.W., Farida Tabri, Faridha S. Ilyas, Dirmawati Kadir, Sri Rimayani.
Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar
PENDAHULUAN
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan kelainan kulit ditandai dengan
eksantem generalisata, lepuh luas disertai erosi dan deskuamasi superfisial. Kelainan ini
disebabkan oleh toksin eksfoliatif (ETs) yaitu toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang
dihasilkan strain Staphylococcus aureus (biasanya faga grup 2). (1,2) SSSS dominan terjadi pada
bayi dan anak-anak dimana kasus yang paling sering yakni pada usia kurang dari 5 tahun, adanya
dugaan hal ini dikarenakan pada anak usia kurang dari 5 tahun organ ginjalnya belum matur
sempurna sedangkan toksin tersebut diekskresikan melalui ginjal, (3,4) selain itu juga pada anak-
anak masih kurangnya imunitas terhadap toksin (titer antibodi anti-ET rendah), tapi bisa juga
terkena pada orang dewasa pada keadaan insufisiensi renal immunosupressi, abses septik,
septikemia atau pneumonia (3).
Toksin eksfoliatif (ETs) memungkinkan bakteri untuk berproliferasi dan menyebar di
bawah barier kulit. Terdapat dua bentuk penyakit yang disebabkan ETs yaitu
impetigo bulosa (bentuk lokal) dan SSSS (bentuk generalisata). Penelitian terbaru menunjukkan
bahwa mayoritas kasus impetigo bulosa lokalisata disebabkan ETA dan SSSS disebabkan oleh
ETB. Bentuk yang pertama yaitu Impetigo bulosa (bentuk lokal) merupakan infeksi pada
epidermis disebabkan oleh S.aureus yang secara klinis tampak krusta berwarna seperti
madu/honey colored crusts dengan dasar kulit yang eritem. Lesi awal impetigo bulosa berupa
vesikel atau bulla yang dikelilingi pinggiran eritem. Bulla yang pecah menyebabkan erosi
superfisial. Bentuk yang kedua yaitu bentuk generalisata (SSSS), dimana gambaran kulit
terkelupas menyerupai luka bakar. (2) Lesi kulit diawali dengan makula berwarna oranye
kemerahan yang lunak dengan predileksi awal pada daerah perorifisial dan fleksural yang
berkembang menjadi bulla flaksid dalam waktu 24 hingga 48 jam. Lesi kulit mengalami resolusi
1
cepat dengan pengobatan antibiotik dilanjutkan deskuamasi superfisial dan penyembuhan
komplit dalam 5 hingga 7 hari. (2,4) Pemeriksaan kultur bulla yang intak pada tipe generalisata
biasanya steril, hal ini sesuai dengan patogenesis penyebaran toksin secara hematogen berasal
dari fokus infeksi yang jauh. (2) Sedangkan pada impetigo bulosa pemeriksaan kultur dan
pewarnaan gram menunjukkan adanya staphylococcus. (4)
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Stafilokokus diklasifikasikan dalam dua kelompok besar yakni stafilokokus koagulasi
negatif (staphylococcus epidermidis, staphylococcus hominis, staphylococcus warneri, dan
staphylococcus saprophyticus) dan stafilokokus koagulasi positif (Staphylococcus aureus).
S.aureus adalah flora mikrobial persisten pada 10-20% populasi. Kuman ini dapat ditemukan
pada sekitar 30-50% orang dewasa sehat. Strain tertentu dari S. aureus memproduksi toksin
eksfoliatif yaitu strain 52,55, dan/atau 71, 3A,3B,dan 3C yang ditemukan pada lokasi infeksi. (2)
Staphylococcus menghasilkan 3 macam metabolit, yaitu yang bersifat non toksin,
eksotoksin dan enterotoksin. Yang termasuk metabolit nontoksin ialah antigen permukaan,
koagulase yang berfungsi mencegah serangan oleh faga, mencegah reaksi koagulosa dan
mencegah fagositosis. Metabolit enterotoksisn bersifat nonhemolitik, nondermonekrotik dan
termostabil, dimana toksin ini berperan pada intoksikasi makanan. Sedangkan metabolic
eksotoksin merupakan faktor virulensi stafilokokus yakni toksin, leucocidin, dan haemolysin
yang merupakan eksoproduk bakteri yang berperan penting pada perkembangan lesi kulit lokal.
Selain itu juga disekresikannya enzim katalase dan hyaluronidase yang berperan pada destruksi
jaringan konektif host. Serta toksin eksfoliatif yang dihasilkan oleh Stafilokokus grup II dan
merupakan suatu protein ekstraseluler yang tahan panas tetapi tidak tahan asam (6)
Beberapa faktor resiko yang memegang peranan dalam hal kemampuan Staphylococcus
aureus sehingga dapat menyebabkan penyakit, yaitu resistensi host terhadap infeksi dan virulensi
organisme. Resistensi host tergantung dari beberapa faktor yaitu kulit yang intak, fungsi
membran mukosa sebagai barier terhadap invasi bakteri, dan respon imun host untuk melawan
toksin.(2) Infeksi berawal dari trauma minor pada kulit, luka bakar, luka operasi, gigitan serangga
atau garukan pada kulit sehingga barier kulit terganggu. Epidemi SSSS dapat terjadi pada
2
neonatus dan bayi yang terinfeksi oleh tenaga medis maupun paramedis pada ruang perawatan
bayi. (6)
Melalui teknik konvensional diketahui karier S. aureus terletak pada nares anterior
sebanyak 35%, perineum 20%, aksilla 5-10%, jari kaki 5-10% pada populasi normal. Karier
terbanyak pada beberapa populasi tertentu seperti pasien yang menderita penyakit dermatitis
atopi, dermatitis kontak, psoriasis dan cutaneous T-cell lymphoma. (7,8) Karier tersebut berperan
pada terjadinya wabah SSSS. Pada neonatus, S. aureus banyak terdapat di kulit, mata, perineum,
luka sirkumsisi, dan umbilikus. Rumah sakit merupakan sumber penularan infeksi utama pada
bayi dan neonatus. Hal ini berkaitan tidak adekuatnya infection control practice seperti asuhan
keperawatan dan hand-washing. (9) Usaha untuk mengurangi angka karier dapat dilakukan
misalnya aplikasi krim chlorhexidine pada tempat terdapatnya S. aureus (nares anterior,
perineum atau aksilla), dan penggunaan antiseptik seperti chlorhexidine atau povidon iodine
pada basis deterjen untuk mandi dan cuci tangan. (8) Pada suatu studi yang dilakukan lebih dari
tiga dekade yang lalu menunjukkan bahwa lubang ventilasi dan alat diagnostik lainnya seperti
stetoskop, oftalmoskop dan otoskop, dan majalah di rumah sakit sebagai reservoir S. aureus dan
berperan pada terjadinya epidemi lama infeksi neonatal stafilokokal. S. aureus terjadi sekitar
30% pada neonatus dalam minggu pertama kelahiran. (10)
Keadaan kulit yang lembab dan terganggunya integritas barier epidermis memudahkan
terjadinya kolonisasi S. aureus. Pada pasien dermatitis atopi terjadi peningkatan kolonisasi S.
aureus. (8) Pada penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni
Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa atopi. Adanya kolonisasi Staphylococcus
aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada penderita DA, merupakan salah satu faktor
pencetus yang penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan
mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor lain dari mikroorganisme yang dapat menimbulkan
kekambuhan dari DA adalah adanya toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus .
Enterotoksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit,
sehingga dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin tersebut bersifat sebagai
superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan makrofag. Enterotoxin
Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada dermatitis atopik dan memprovokasi
pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus . (11,12)
3
TOKSIN EKSFOLIATIF
Salah satu fungsi fisiologi utama kulit adalah barier terhadap infeksi, yang terletak pada
stratum korneum. Adanya toksin eksfoliatif yang dimiliki S.aureus memungkinkan proliferasi
dan penyebarannya di bawah barier tersebut. Sekali kulit dapat mengenali toksin eksfoliatif
tersebut, S. aureus dapat menyebar sehingga menimbulkan celah di bawah stratum korneum. (13)
Toksin eksfoliatif (ETs) merupakan serin protease yang dapat menimbulkan celah pada
ikatan adhesi antar sel molekul desmoglein 1, yang tampak pada bagian atas epidermis yaitu
antara stratum spinosum dan granulosum sehingga menimbulkan bulla berdinding tipis yang
mudah pecah, memperlihatkan nikolsky sign positif. (2,4) Pada SSSS toksin berdifusi dari fokus
infeksi, dan tidak adanya antibodi antitoksin spesifik dapat menyebabkan penyebaran toksin
secara hematogen. Meskipun strain toksigenik S. aureus yang terbanyak adalah faga grup II (tipe
71 dan 55), selain itu juga terdapat strain faga grup I dan III. (6) Adanya keterlibatan desmoglein 1
pada SSSS menyerupai penyakit autoimun pemfigus foliaseus. (2,4)
Walaupun banyak strain toksin dari S aureus yang diidentifikasi grup 2, produksi toksin
juga diidentifikasi antara grup 1 dan 3, tetapi hanya sekitar 5% dari S. aureus yang menghasilkan
toksin eksfoliatif, (14) dan telah diidentifikasi dua serotipe berbeda yang menyerang manusia. (9,15)
Toksin stafilokokus terdiri atas toksin eksfoliatif A dan B (ETA dan ETB) yang menyebabkan
lepuhnya kulit pada SSSS. ETA terdiri atas 242 dengan berat molekul 26.950 kDa, bersifat stabil
terhadap panas dan gennya terletak pada kromosom sementara ETB terdiri atas 246 asam amino
dengan berat molekul 27.274 kDa, bersifat labil terhadap pemanasan dan gennya berlokasi pada
plasmid. (16,17) Toksin ini dihasilkan pada fase pertumbuhan bakteri dan diekskresikan dari
kolonisasi stafilokokus sebelum diabsorpsi melalui sirkulasi sistemik. Toksin mencapai stratum
granulosum epidermis melalui difusi pada kapiler dermal.(9) Studi histologis menunjukkan
bahwa penambahan ETs pada keratinosit kultur isolasi kulit memperlihatkan adanya vesikel
yang mengisi ruang antarsel, tetapi diikuti terbentuknya cairan interseluler yang mengisi ruang
antara stratum granulosum dan spinosum. Pemeriksaan laboratorium mendukung bahwa ETB
lebih pirogenik dibandingkan ETA, sementara studi klinis menunjukkan meskipun ETA dan
ETB dapat menyebabkan SSSS lokal, tetapi ETB lebih sering diisolasi dari anak yang menderita
4
SSSS generalisata dan juga dapat menyebabkan eksfoliasi generalisata pada orang dewasa yang
sehat. (18)
Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS. Desmosom adalah
intercelluler adhesive junction yang secara struktural berhubungan dengan filamen intermediet
intraseluler. Desmosom ini diekspresikan oleh sel epitel dan beberapa sel lainnya yang banyak
terdapat pada jaringan yang mengalami stress mekanik, seperti kulit, mukosa gastrointestinal,
jantung, dan kandung kemih. (19,20) Desmoglein (Dsg) merupakan komponen transmembran
mayor pada desmosom yang berperan tidak hanya pada adhesi antar sel epitel tetapi juga pada
morfogenesis sel epitel. (21-23) Terdapat 3 isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2, dan Dsg3. Dsg 2
terdapat pada semua jaringan yang memiliki desmosom termasuk epitel dan miokard, sedangkan
Dsg1 dan Dsg3 terbatas pada epitel skuamos bertingkat. (23,24) Pada saat ini telah diidentifikasi
adanya desmoglein4 pada manusia dan mencit. (25,26)
ETA dan ETB menyebabkan bula dan pengelupasan kulit dengan cara menghambat
desmosom pada lapisan sel granular epidermal sehingga terjadi pemisahan intradesmosomal.
Lebih dari satu dekade diduga bahwa toksin tersebut terikat secara langsung pada cadherin
desmosomal, yaitu desmosglein1 (Dsg1). Dewasa Ini telah ditunjukkan bahwa ETA secara
spesifik memisahkan Dsg1 baik pada kulit murin maupun kulit manusia. Dsg1 juga merupakan
target spesifik dari autoantibody pada pemphigus foliaceaus, suatu penyakit yang lokalisasi dan
histology kulitnya identik dengan SSSS. Meskipun pemisahan sel epidermal ditunjukkan oleh
toksin eksfoliatif (ETs), gejala klinis SSSS tidak dapat diterangkan oleh aksi toksin tersebut. ETs
murni tidak menyebabkan eritema baik pada bayi tikus maupun manusia, sehingga diasumsi
bahwa toksin hemalisis delta mungkin berperan penting dalam ekspresi sindrom tersebut. ETs
juga bisa bertindak sebagai lipase sekaligus mengaktifkan protease lain yang pada gilirannya
menyebabkan pengaruh patogenik.
Toksin epidermolitik difiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi pada tubulus proksimal
dimana kemudian dikatabolisme oleh sel-sel tubulus proksimal. Kecepatan filtrasi glomerulus
(GFR) bayi kurang dari 50% GFR orang dewasa normal, dan hal ini terbanyak ditemukan pada
dua tahun pertama kehidupan. Hal ini menjelaskan mengapa bayi-bayi, pasien dengan gagal
ginjal kronik, dan pasien yang menjalani hemodialisa merupakan faktor predisposisi terjadinya
SSSS. (2)
5
MEKANISME KERJA TOKSIN
Meskipun isolasi toksin telah ada sejak lebih tiga dekade yang lalu, namun mekanisme
toksin dapat menyebabkan eksfoliasi masih sukar dipahami. Studi awal dengan menggunakan
substrak non-spesifik termasuk casein menunjukkan aktivitas enzim tidak signifikan dan
eksfoliasi tidak dapat dicegah melalui mekanisme penghambatan metabolism toksin. (9) Tetapi
terdapat bukti yang menunjukkan bahwa toksin berperan sebagai atypical glutamate-specific
serine protease. Istilah “atypical” digunakan karena struktur kristal ETA dan ETB berfungsi
katalisis seperti dugaan sebelumnya tidak terbukti, melainkan aktivasinya memerlukan
pengikatan dengan spesifik substrak atau reseptor. (13) Hal ini dibuktikan dengan: (a) inkubasi
ETA pada epidermis tikus neonatus atau sel epidermis A431 yang memperlihatkan aktivitas
caseinolytic supernatant, (b) toksin memiliki homolog sequence yang signifikan terhadap V8
protease yang merupakan protein stafilokokal lainnya yang memiliki tripsin-like serine
proteases, (c) modifikasi serine residu 195 terhadap aktivitas serine proteases ETA yang
menyebabkan eksfoliasi pada tikus neonatus, (d) dengan komputer tiga dimensi memperlihatkan
struktur membentuk glutamate-specific trypsin-like serine proteases lainnya seperti α-thrombin,
chymotrypsin, streptomyces griseus proteases, dan Achromobacter proteases (e) dengan
pemeriksaan kristalografik ETA dan ETB menunjukkan toksin terdiri atas dua domain yang
masing-masing menghasilkan enam antiparallel β-strands yang membentuk β-barrel yang
umumnya terdapat pada famili trypsin. (18)
Amagai dkk melakukan penelitian dengan menggunakan model mencit neonatus
menunjukkan bahwa berdasarkan gambaran klinis dan histologis identik antara SSSS dan
pemfigus foliaseus. (27,28) Toksin eksfoliatif diinjeksikan pada mencit neonatus sehingga
menyebabkan timbulnya bulla yang lokal dan generalisata. Mekanisme pasti toksin eksfoliatif
dapat menyebabkan bulla masih kontroversial selama beberapa tahun. ETA dan ETB memiliki
sequence asam amino dan struktur kristal yang merupakan serin protease. Terdapat petunjuk
penting pada penelitian ini yang menunjukkan kesamaan SSSS dan pemfigus foliaseus yakni
secara gambaran klinis SSSS (dan bentuk lokalnya yakni impetigo bullosa) serupa dengan
pemfigus foliaseus (gambar 1A dan B). Pada kasus SSSS, bulla disebabkan toksin yang yang
hanya terdapat pada kulit tanpa keterlibatan membran mukosa, distribusi lesi yang sama pada
pemfigus foliaseus. Bulla pada impetigo bullosa dan SSSS (gambar 2C) secara histologis tidak
dapat dibedakan dengan pemfigus foliaseus (gambar 2D). (28)
6
Gambar 1. (A) Pasien pemfigus foliaseus, (B) Staphylococcal scalded skin syndrome dengan gambaran skuama, erosi superfisial, dan krusta. (28)
Gambar 2. (C) Histopatologis SSSS (D) Pemfigus foliaseus, dimana hilangnya adhesi sel pada epidermis superfisial.
Pada mencit neonatus yang diinjeksikan autoantibodi IgG anti-desmoglein 1 dari manusia yang menderita pemfigus foliaseus (gambar 3a) atau toksin eksfoliatif S. aureus (gambar 3b) memperlihatkan bulla pada epidermis superficial yang sangat identik pada gambaran histologis. (28)
Gambar 3a Gambar 3b
7
Pada penelitian tersebut juga menunjukkan toksin eksfoliatif membelah desmoglein 1,
tetapi tidak berhubungan dengan desmoglein 3, dimana desmoglein merupakan target
autoantibodi IgG pada pemfigus dan pada SSSS. Desmosom merupakan struktur adhesi sel atau
intercellular adhesive junctions yang terdapat pada epidermis dan membran mukosa (gambar
4a). Molekul transmembran yang ditutupi oleh desmosom terdiri atas dua famili yaitu
desmoglein dan desmocollin (gambar 4c) yang disebut desmosomal cadherin yang memodulasi
adhesi di dalam desmosom. Desmoglein dan desmocollin dihubungkan dengan plakoglobin.
Plakoglobin juga berikatan pada desmoplakin yang menghubungkan filamen keratin intermediet
dengan desmosom pada permukaan sel. (28)
Gambar 4. Desmoglein merupakan target pada SSSS dan pemfigus foliaseus
Aktivitas Superantigen
Toksin eksfoliatif yang juga memiliki peranan sebagai superantigen masih terus
diperdebatkan. (18,29) Dugaan awal bahwa toksin eksfoliatif dapat menstimulasi Vβ2 dan Vβ3
murin sel T, (30) Tetapi kemudian beberapa studi menunjukkan toksin eksfoliatif tidak memilki
aktifitas superantigen. Aktivitas superantigen pada studi terdahulu diakibatkan kontaminasi
staphylococcal superantigen lainnya seperti toksin-1 pada toxic shock syndrome atau
enterotoksin. (29) Studi yang dilakukan Vath dkk (1997) memperlihatkan aktivitas superantigen
8
oleh strain S.aureus non superantigen, dimana ETA rekombinan dengan adanya mutasi
(Ser195Cys) kehilangan aktivitas eksfoliatif. (31-33) ETA juga mempunyai kemampuan
mengaktivasi makrofag hingga menyebabkan pelepasan TNFα, interleukin-6, dan nitrit oksida
dan menyebabkan sitotoksisitas pada transformasi embrio sel fibroblast. Suatu penelitian
menunjukkan toksin eksfoliatif memiliki aktivitas superantigen yang unik dan sangat spesifik.
Dengan menggunakan toksin eksfoliatif rekombinan yang dimurnikan dapat diperlihatkan
adanya antigen presenting cell, kedua ETA dan ETB yang memiliki kemampuan menginduksi
ekspansi poliklonal selektif pada Vβ-sel T (tetapi bukan Vβ2) dan hanya Vβ sel T yang homolog
pada manusia. Meskipun aktivitas superantigen dimiliki oleh toksin eksfoliatif tetapi hal ini tidak
memegang peranan utama pada pathogenesis SSSS, sehingga aktivitas superantigen berperan
pada penyakit yang lain. (18)
Mekanisme Molekuler pembentukan bulla pada SSSS
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa toksin eksfoliatif yang merupakan serin
protease berikatan pada dsg1 sehingga menimbulkan bulla melalui pengikatan pada ganglion
yang menyebabkan pelepasan protease oleh keratinosit, bertindak sebagai superantigen yang
merangsang sistem imun pada kulit, dan bertindak sebagai lipase. Tetapi pada penelitian tentang
struktur kristal ETA dan ETB mendukung suatu serin protease atipikal. ETs ini memiliki struktur
yang homolog dengan golongan chymotripsin dari serin protease. Lokasi aktif yang diduga
terdiri dari Serin 195, Histidin 57, dan asam aspartat 102. Serin 195 pada ETs berperan pada
proteolisis Dsg-1. Secara struktural disimpulkan pada ETA residu serine pada posisi 195 dan
ETB pada posisi 186, hal ini sesuai dengan aktivitas katalitik chymotripsin serin 195. Untuk
memperlihatkan bahwa serine ini berperan pada pembelahan hDsg1, serine bermutasi pada
sistein (menghasilkan ETA Cmu). Inkubasi ETA Cmu dengan Dsg1 pada suhu 37oC selama satu
jam memperlihatkan penurunan pembelahan dibandingkan ETA tipe wild. Aktivitas ini
diperantarai oleh grup sulfhidril sistein yang juga ditemukan pada mutan tripsin yang serupa,
dilakukan juga mutasi serin 195 terhadap alanin pada ETB dan ETD yang dapat menginhibisi
pembelahan Dsg1. Pada penelitian yang dilakukan Hanakawa dkk ini menunjukkan bahwa ETA
berperan sebagai enzim inaktif, dimana ETA berikatan pada substrat spesifik atau pada reseptor
yang menjadi katalitik. Pada SSSS dan pada mencit model SSSS menunjukkan ETs berdifusi di
seluruh tubuh dimana menimbulkan bulla pada epidermis superfisial. (13)
9
Pada Impetigo dan SSSS, bulla terjadi pada epidermis superfisial dengan hilangnya
adhesi keratinosit pada stratum granulosum. Penyakit yang diperantarai autoantibodi yaitu
pemfigus foliaseus (PF) memiliki kemiripan histopatologis dengan impetigo dan SSSS. PF
disebabkan oleh autoantibodi anti-Dsg1. Meskipun antibodi tersebut menyebabkan inaktivasi
Dsg1, yang dapat ditemukan di seluruh epidermis dan membran mukosa, bulla hanya terbentuk
di lapisan epidermis saja. Terbentuknya bulla ini dapat dijelaskan melalui mekanisme “hipotesis
kompensasi desmoglein”. (13, 34-7) Hipotesis ini menguraikan bahwa pada area epitel dimana Dsg1
dan Dsg3 terekspresikan, bulla spontan tidak akan terjadi ketika antibodi anti-Dsg1
menginakivasi Dsg1, sebab Dsg3 dapat berkompensasi. Tetapi bulla dapat terjadi pada keadaan
dimana hanya Dsg1 yang tampak. Hipotesis ini telah dibuktikan melalui observasi klinis dan
eksperimental. Pada membran mukosa dimana Dsg1 dan Dsg3 terdapat di seluruh epitel, oleh
karena itu tidak terdapat bulla pada PF walaupun antibodi anti-Dsg1 terikat pada membran
mukosa. Dsg1 ditemukan di seluruh epidermis, tetapi Dsg3 hanya terdapat pada epidermis
bagian bawah. Oleh karena itu antibodi PF hanya menyebabkan bulla superfisial dimana Dsg1
tidak terkompensasi oleh Dsg3. Demikian pula pada ibu yang menderita PF akan mentransfer
antibodi anti-Dsg1 kepada bayinya, meskipun pada bayi tersebut tidak akan berkembang menjadi
PF karena pada kulit bayi yang tidak sama dengan kulit dewasa yang mengekspresikan Dsg3
pada seluruh lapisan kulit. (13, 38)
10
Gambar 5. Teori kompensasi desmoglein dan letak pembentukan bulla pada pemfigus, Impetigo dan SSSS
Segitiga berwarna dan persegipanjang melambangkan distribusi dsg1 dan dsg3 pada kulit
dan membran mukosa. Autoantibodi anti dsg1 IgG pada serum pasien dengan pemfigus foliaseus
mengakibatkan bulla superfisial pada kulit, bulla tidak terbentuk pada bagian bawah epidermis
atau membran mukosa, karena dsg3 menjaga adhesi sel-sel pada area tersebut (panel A). Pada
Impetigo bulosa dan SSSS, toksin eksfoliatif yang dihasilkan oleh S. aureus bertindak seperti
gunting molekular dsg1 spesifik dan hanya membelah dsg1 tetapi tidak pada dsg3, sehingga
hanya menimbulkan bulla pada epidermis superfisial, karena dsg3 berkompensasi pada area
yang lain (panel B).
Toksin eksfoliatif (ETA,ETB, dan ETD) secara spesifik berikatan, dan hal ini sesuai
dengan dugaan dari asam amino sekuens dan struktur kristal, yang berperan sebagai asam
glutamate-serin protease spesifik yang membelah Dsg1. Proteolisis pada satu ikatan peptida
mengacu pada disfungsi Dsg1 dan desmosom dapat menjelaskan patofisiologi terbentuknya bulla
pada SSSS. Oleh karena itu mungkin ikatan peptida ini berperan penting pada fungsi Dsg1
sebenarnya. Letak hubungan struktur domain Dsg1 ini diperlihatkan pada gambar 6. Toksin
eksfoliatif membelah pada garis batas antara domain cadherin ekstraseluler (ECs) 3 dan 4,
terhadap terminal karboksi dari satu domain calcium-binding pada EC3. Meskipun struktur tiga
11
dimensi belum dapat dijelaskan, terdapat tanda homolog pada kedua letak calcium-binding dan
ECs antara E- dan N-cadherin serta Dsg1. Studi struktural E- dan N-cadherin bahwa tepi batas
antara ECs, melalui calcium-binding, menstabilkan rigiditas molekul dan mempertahankan
orientasinya. Hasil yang diperlihatkan bahwa batas antara ECs pada Dsg1 berperan pada
fungsinya, dimana pembelahan pada satu ikatan peptida menyebabkan disfungsi cadherin
desmosom. (13)
Gambar 6. Diagram skematik domain dan pembelahan ET pada Dsg1. Garis vertikal
mengindikasikan dugaan letak calcium binding. Tanda panah menunjukkan letak pembelahan
ET. S : Sinyal peptida, P: sekuense propeptida, TM: letak transmembran. Hanakawa molecular
Kesimpulan
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan kelainan kulit disebabkan oleh
toksin eksfoliatif (ETs) yaitu toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan strain
Staphylococcus aureus (faga grup 2). Toksin eksfoliatif ini memiliki target kerja pada
desmoglein 1 merupakan desmosom glikoprotein transmembran yang nenpertahankan adhesi
antar sel pada epidermis. Studi lebih lanjut dibutuhkan untuk lebih memahami patogenensis
SSSS. Pengetahuan ini akan membantu untuk pengembangan dan terapi pada penyakit ini.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Ladhani S, Robbie S, Garratt RC, Chapple DS, Joannou CL, Evans RW. Development and Evaluation of Detection System for Staphylococcal Exfoliative Toxin a Responsible for Scalded Skin Syndrome. J Clin Microbiol. 2001; 39: 2050-54
2. Travers JB, Mousdicas N. Gram-positive Infections Associated with Toxin Production. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1710-19.
3. Craft N, Lee P, Zipoli M, Weinberg A, Swartz M, et al. Superficial Cutaneous Infection and Pyodermas. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1694-8.
4. Morgan MB, Smoller BR, Somach SC, eds. Staphylococcal Toxin-Mediated Scalded Skin and Toxic Shock Syndromes. In: Deadly Dermatologic Diseases Clinicopathologic Atlas and Text. Cleveland: Springer; 2007. p. 133-6.
5. Mertz PM, Cardenas T, Snyder R, Kinney M. Staphylococcus aureus Virulence Factors Associated with Infected Skin Lesions Influence on the Local Immune Response. Arch Dermatol. 2007; 143(10): 1259-63
6. Resnick SD. Pyodermas and toxin-mediated syndromes. In: Harper J, Oranje A, Prose N, eds. Textbook of pediatric dermatology, 2nd ed. London: Blackwell publishing; 2006. p. 455-65.
7. Lebon A, Labout J, Verbrugh H, Jaddoe V.W, Hofman A, Wamel W, et al. Role of Staphylococcus aureus Nasal Colonization in Atopic Dermatitis in Infants. Arch Pediatr Adolesc Med. 2009;163(8):745-749.
8. Rooks Grattan CEH, Black AK.. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, eds. Rook’s Textbook in Dermatology. Massachusetts: Blackwell Science; 2004. p.47.31-3
9. Ladhani S, Joannou C.L, Lachrie D.P, Evans R, Poston S.M, Clinical, Microbial, and Biochemical Aspects of the Exfoliative Toxins Causing Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. J Clin Microbiol. 1999; 12: 224-42.
10. Kaplan M.H., Chmel H. Hseih A. Staphens, Brinsko V. Importance of exfoliative toxin A producing Staphylococcus aureus strains isolated from clustered epidemics of neonatal pustulosis. J. Clin. Microbiol. 1986;23:83–91.
11. Patel GK, Wyatt H, Kubiak EM, Clark SM, Mills CM. Staphylococcus aureus Colonization of Children with Atopic Eczema and Their Parents. J Acta Derm Venereol. 2001. 81: 366-7
12. Fauzi N, Sawitri, Pohan S. Korelasi antara jumlah koloni Staphylococcus aureus dan IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada dermatitis atopik. Dalam : Makalah Lengkap Temu Ilmiah Manifestasi Atopik Pada Kulit. Surabaya : SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dr Soetomo. 2009.
13. Hanakawa Y, Schechter NM, Lin C, Garza N, Yamaguchi T. Molecular Mechanism of Blister Formation in Bullous Impetigo and Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. J. Clin. Invest. 2002; 110: 53–60.
13
14. Dancer SJ, Noble WC. Nasal, Axillary, and Perineal Carriage of Staphylococcus Aureus Among Woman: Identification of Strains Producing Epidermolytic Toxin. J Clin Pathol. 1991;44:681-4
15. Papageorgiou AC, Acharya KR, Shapiro R, Passalacqua EF. Crystal Structure of the Superantigen Enterotoxin C2 from Staphylococcus aureus. Struct. 1995;3:769-79
16. Lee, C. Y., J. J. Schmidt, A. D. Johnson-Winger, L. Spero, and J. J. Iandolo. Sequence determination and comparison of exfoliative toxin A and toxin B genes from Staphylococcus aureus. J. Bacteriol. 1987;169:3904-09.
17. Sakurai S, Suzuki H, Kondo I. DNA Sequencing of the eta Gene Coding for Staphylococcal Exfoliative Toxin Serotype A. J of Gen Microbiol. 1988; 134: 711-7.
18. Ladhani S. Recent Development in Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. J Clin Microbiol Infect. 2001; 7: 301-7
19. Payne AS, Hanakawa Y, Amagai M, Stanley JR. Desmosomes and Disease : Pemphigus and Bullous Impetigo. J Cell Sci. 2004; 16:536-43.
20. Angst BD, Marcozzi C, Magee AI, The Cadherin Superfamily Diversity in Form and Function. J Cell Sci. 2001; 14: 629-41
21. Green, K.J., and Gaudry, C.A. 2000. Are desmosomes more than tethers for intermediate filaments? Nat. Rev. Mol. Cell Biol. 1:208–216.
22. Runswick SK, O Hare MJ, Jones L, Streuli CH, Garrod DR. Desmosomal adhesion regulates epithelial morphogenesis and cell positioning. Nat Cell Biol. 2001. 3: 823-30.
23. Nagasaka T, Nishifuji K, Ota T, Whittock N, Amagai M. Defining the pathogenic involvement of desmoglein 4 in pemphigus and staphylococcal scalded skin syndrome. J. Clin. Invest. 2004. 114:1484–92
24. Schafer S, Koch PJ, Franke WW. Identification of the Ubiquitous Human Desmoglein, Dsg2, and the Expression Cataloque of the Subfamily of Desmosomal Cadherin. Exp Cell Res. 1994. 211:391-9
25. Kljuic A. Desmoglein 4 in Hair Follicle Differentiation and Epidermal Adhesion: Evidence of Inherited Hypotrichosis and Acquired Pemphigus Vulgaris. Cell. 2003. 113: 249-60
26. Whittock NV, Bower C. Genetic Evidence for a Novel Human Desmosomal Cadherin. J Invest Dermatol. 2003. 120: 523-30
27. Amagai M, Matsuyoshi N, Wang ZH, Andi C, Stanley JR. Toxin in Bullous Impetigo and Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome Targets Desmoglein-1. Nat Med. 2000; 6: 1275-7.
28. Amagai M, Stanley JR. Mechanism of Disease Pemphigus, Bullous Impetigo, and the Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome. N Engl J Med. 2006; 355: 1800-10.
29. Plano LRW, Gutman DM, Woinschnik M, Collins CM. Recombinant Stapylococaus aureus exfoliative taxins are not bacterial superantigens. Infect Immun 2000; 68 : 3048-52
30. Choi Y, Kotzin B, Callahan J, Marrack P, Kappler J. Interaction of Staphylococus aureus taxin superantigens with human T cells. Proc Natl Acad Sci USA 1990; 86 : 8941-5
31. Monday SR, Vath GM, Ferens WA et al. Unique Superantigen Activity in Staphylococcal Exfoliative Toxins. J Immunol. 1999; 162: 4550-9
32. Vath GM, Earhart CA, Rago JV. The Structure of the Superantigen Exfoliative Toxin A Suggest Novel Regulation as a Serine Protease. Biochemistry. 1997; 36: 1559-66
14
33. Vath GM, Earhart CA, Monie DD, Landolo JJ, Schlievert PM. The Crystal Structure of Exfoliative Toxin B: a Superantigen with Enzymatic Activity. Biochemistry. 1999; 38:239-46
34. Chidgey M. Desmosomes and disease: an update. Histol. Histopathol. 2002. 17, 1179-1192
35. Getsios S, Huen AC, Green KJ: Working out the strength and flexibility of desmosomes. Nat Rev Mol Cell Biol. 2004, 5:271-281.
36. Angst BD, Marcozzi C, Magee AI: The cadherin superfamily: diversity in form and function. J Cell Sci. 2001, 14:629-641.
37. Mahoney MG. Explanation for the Clinical and Microscopic Localization of Lesion in Pemphigus Foliaceus and Vulgaris. J Clin Invest. 1999. 103: 461-8
38. Wu H. Protection of Neonates against Pemphigus Foliaceus by Desmoglein 3. N Engl J Med.2000. 343: 31-5
15