perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BENTUK PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PRINSIP KEKUASAAN
KEHAKIMAN YANG MERDEKA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
AFIF DARMAWAN
NIM E0007004
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
BENTUK PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PRINSIP KEKUASAAN
KEHAKIMAN YANG MERDEKA
Oleh
AFIF DARMAWAN
E0007004
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 19 Januari 2012
Dosen Pembimbing Skripsi
Pembimbing I Pembimbing II
M. Madalina, SH.,M.Hum Isharyanto, SH.,M.Hum NIP. 19601024 1986602 2 001 NIP. 19780501 200312 1 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
BENTUK PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PRINSIP KEKUASAAN
KEHAKIMAN YANG MERDEKA
Oleh
Afif Darmawan
E0007004
Telah diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada : Hari : Senin Tanggal : 30 Januari 2012
DEWAN PENGUJI
(1) Djatmiko Anom Husodo S.H.,M.H. NIP. 19700621 200604 2 001__________________:....................................
Ketua
(2) Isharyanto, SH.,M.Hum NIP. 19780501 200312 1 002__________________:...................................
Sekretaris
(3) M. Madalina, SH.,M.Hum NIP. 19601024 1986602 2 001_________________:...................................
Anggota
Mengetahui :
Dekan
Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H.,M.Hum NIP. 19570203 198503 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
BENTUK PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PRINSIP KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG
MERDEKA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam
penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar
pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi)
dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skipsi) ini.
Surakarta, 11 Januari 2012
Yang membuat pernyataan
Afif Darmawan NIM.E0007004
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
"Rome Isn't Built In One Night "
"Going an Extra Mille"
"No Pain No Gain"
"1% talent, 99% hardwork"
"If you think you Can, It Can!"
"Lets Do The Best and Let God Do The Rest"
"Jangan banyak bicara sebelum mempunyai Karya"
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Persembahan seutuhnya hanya untuk ALLAH SWT
Dan Baginda Rasullulah SAW
yang Telah Menunjukan Jalan Terang akan Kehidupan
dan :
Fafa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRAKSI
AFIF DARMAWAN, E0007004, BENTUK PENGAWASAN HAKIM OLEH
KOMISI YUDISIAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PRINSIP
KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA, Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap hakim ketika menjalankan tugasnya. Selain itu untuk mengetahui bagaimana implikasi dari pengawasan tersebut ditinjau dari prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: jenis penelitian normatif, sifat penelitian preskriptif, pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual, teknik analisis bahan hukum dengan metode interpretasi, pengumpulan bahan hukum dengan mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu tersebut, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Sumber penelitian hukum dari bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, cetakan-cetakan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim serta bahan hukum sekunder yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan bahwa Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasan memiliki dua instrumen yaitu membuat kode etik dan mengawasi hakim. Pengawasan terhadap hakim dengan cara pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif dibagi menjadi dua yaitu yang bersifat positif dan negatif. Sedangkan pengawasan represif juga dibagi menjadi dua yaitu positif dan negatif. Setiap laporan atau informasi yang diberikan oleh masyarakat tentang adanya pelanggaran hakim dapat disampaikan ke Komisi Yudisial melalui surat tertulis yang bisa langsung dikirim ke alamat kantor dan sistem pengaduan online. Terdapat 97 hakim yang direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi kepada Mahkamah Agung. Kebebasan meliputi hakim secara individu dan kelembagaan dan ditopang prinsip impartiality ketika memutus sebuah perkara dan political insularity serta pengawasan justru akan mendorong hakim untuk bersikap lebih imparsial dan independen.
Kata Kunci: Komisi Yudisial, Pengawasan Hakim, Kekuasaan Kehakiman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRACT
AFIF DARMAWAN, E0007004, THE FORM OF JUDGE
SUPERVISION BY JUDICIAL COMMISSION AND ITS IMPLICATION TO
THE PRINCIPLE OF INDEPENDENT JUSTICE POWER, Faculty Of Law Of
Sebelas Maret University Surakarta.
This research aims to find out what the supervision form the Judicial Commission has in supervising the judge in its task performance. In addition, it also aims to find out what the implication of such the supervision viewed from the principles of independent justice power.
The research method used in this legal writing included: normative type of research, prescriptive nature of research, statute and conceptual approaches, technique of analyzing law materials used was interpretation method, the law material was collected by looking for legislation about or relating to the issue and primary, secondary and tertiary law materials. The legal study source from primary law material consisted of legislation, official publication or treatise in legislation and judge’s verdicts as well as secondary law material constituting all publications about the law not belonging to official document.
Based on the result of research and discussion, the following conclusions can be drawn. Judicial commission in implementing the supervision function has two instruments: developing ethical code and supervising the judge. The supervision against the judge was done preventively and repressively. Preventive supervision was divided into two: positive and negative. The repressive supervision was also divided into two: positive and negative. Every report or information given by the society about the judge violation can be conveyed to the Judicial Commission in written document that could be sent to the office address and online grievance system. There were 97 judges recommended to be imposed with penalty by the Supreme Court. Independence including the judge individually and institutionally and supported by impartiality principles when adjudicating a case and political insularity as well as supervision even encouraged the judge to have more impartial and independent attitude. Keywords: Judicial commission, Judge Supervision, Judicial Power
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul :
BENTUK PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PRINSIP KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG
MERDEKA. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat memperoleh
gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan,
bimbingan, dorongan, saran dan nasehat dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada :
1. Allah SWT dengan segala rahmat dan hidayahnya yang telah diberikan kepada
penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
2. Ibu Prof. Dr Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ibu Madalina, S.H.,M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara sekaligus
Pembimbing I dan Bapak Isharyanto S.H,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II
serta Tim penguji yang telah menguji untuk menyempurnakan penulisan hukum
ini.
4. Ibu Djuwityastuti, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Akademik.
5. Keluarga yang selalu memberi dorongan dan harapan.
6. Semua anggota Kontrakan La Roiba Wahyu, Pery, Budi, dan Bang Rohmadi
yang selalu memberi inspirasi dan dukungan.
7. Teman-teman satu perjuangan Angkatan 07 Mbah Muhson, Gatot, dan Bung
Rian yang selalu heppy di penghujung masa kuliah.
8. Adik-adiku seperjuangan Mustain, Ismail, Rintis, Deddy, dll yang selalu
bersemangat dalam setiap langkahnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuannya bagi penulis dalam penyelesaian penulisan hukum ini.
Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memmberikan manfaat bagi
kita sebagai kalangan akademisi, terutama untuk penulisan, praktisi, maupun
masyarakat umum.
Surakarta, 11 Januari 2012
penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9
E. Metode Penelitian .............................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan Hukum ........................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori .................................................................................
1. Negara Hukum ............................................................................
2. Konstitusi.....................................................................................
3. Kekuasaan Kehakiman.................................................................
4. Pengawasan Hakim.......................................................................
14
20
25
33
14
B. Kerangka Pemikiran ...........................................................................
BAB III PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Bentuk Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial.............................
1. Instrumen Pengawasan.................................................................
37
40
40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
2. Metode Pengawasan.......................................................................
3. Mekanisme Pengajuan Laporan......................................................
4. Hasil dari Pengawasan....................................................................
B. Implikasi Pengawasan Terhadap Prinsip Kekuasaan Kehakiman yang
Merdeka.................................................................................................
1. Implikasi secara Yuridis.................................................................
2. Implikasi secara Kultural................................................................
53
54
57
59
59
64
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………......... 70
B. Saran……………………………………..……………………………. 72
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR TABEL
2. Tabel Sanksi Untuk Hakim................................................................................48
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR BAGAN
1. Bagan Proses Pengawasan Hakim.......................................................................46
3. Proses Penjatuhan Sanksi Bagi Hakim................................................................50
4. Bagan Alur Pengaduan Online............................................................................55
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini masalah lembaga peradilan di Indonesia sangat marak dibicarakan.
Peradilan sebagai lembaga yang banyak dijadikan tumpuan harapan masyarakat
dalam memperjuangkan keadilan dihadapkan dengan permasalahan rumit. Intervensi
dari pihak luar peradilan seperti kekuatan legislatif, eksekutif, maupun kekuatan lain
seperti media massa turut andil dalam memperkeruh jati diri peradilan dalam
melaksanakan tugasnya dengan baik. Nilai independensi atau kemerdekaan seorang
hakim dalam sebuah institusi peradilan merupakan harga mutlak untuk tercapainya
keadilan hukum yang mampu memberikan rasa puas ke semua pihak. Tapi
tampaknya hal ini kian sulit terwujud melihat banyak sekali tantangan yang dihadapi
baik dari lingkungan internal maupun eksternal dari sebuah institusi peradilan.
Banyak bermunculanya kasus-kasus seputar mafia hukum dan mafia kasus
semakin menjadikan masyarakat kian tidak percaya kepada keadilan. Terlebih kepada
hakim, jaksa, maupun pihak kepolisian. Permasalahan ini sebenarnya sudah ada sejak
institusi peradilan mulai terbentuk di Republik Indonesia. Pada era pra kemerdekaan
yaitu masa penjajahan Belanda, pengadilan diberlakukan secara berbeda antara
golongan Eropa dengan golongan diluar Eropa. Pengadilan untuk orang Eropa
dikelola oleh hakim-hakim yang berkeahlian hukum profesional bahkan hingga
mendatangkan ahli-ahli hukum dari Belanda. Tetapi di sisi lain pengadilan untuk
orang-orang pribumi justru dikelola dibawah yuridiksi pejabat-pejabat eksekutif. (Adi
Sulistiyono, 2011: 3) Akibatnya tentu pengadilan menjadi tidak memihak. Apalagi
sarat dengan nuansa kepentingan politis kolonial. Pihak pribumi tidak bisa menikmati
keadilan karena disamping tidak tersedianya fasilitas dan sarana pengadilan yang baik
juga dihadapkan dengan intervensi eksekutif Belanda yang sangat ketat.
Pada era penjajahan Jepang. Pemerintahan berkuasa saat menerapkan
kebijakan untuk menghapuskan dualisme dalam tata peradilan di Indonesia dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
melakukan reorganisasi dan restrukturisasi dengan menghapuskan pembedaan antara
peradilan Gubernemen dan Peradilan Bumiputera. Sehingga Jepang pada saat itu
menerapkan kebijakan yang pada akhirnya kelak menjadi prelude yang menuju
kepada sistem peradilan nasional setelah Indonesia merdeka dan memiliki sistem
peradilanya sendiri. (Adi Sulistiyono, 2011: 4)
Tiba pada masa pasca kemerdekaan era orde lama pimpinan presiden
Soekarno. Pembagian kekuasaan seperti halnya dalam konsep Trias Politica
dihilangkan, karena Presiden Soekarno mempunyai anggapan bahwa doktrin tersebut
adalah barang usang. (Adnan Buyung Nasution, 2007: 53) Pada saat itu tercatat
sebagai masa kelam bagi sistem peradilan di Indonesia karena Presiden
diperbolehkan untuk melakukan intervensi terhadap jalanya persidangan dan presiden
diperkenankan menghentikan perkara yang sedang diperiksa atau mempengaruhi
jalanya persidangan. Disamping itu muncul Per.Pres.4/1962,Ln.38 dimana Ketua
Mahkamah Agung Wirjono Projodikoro ditetapkan menjadi penasehat hukum dari
presiden dengan pangkat menteri. Sehingga kedudukan Ketua Mahkamah Agung
yang harusnya sejajar dengan Presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945 menjadi
dibawah Presiden. Sehingga pada saat itu kebanyakan hakim pada semua tingkatan
termasuk Mahkamah Agung merasa terpukul dengan kebijaksanaan Presiden yang
menempatkan insitutsi peradilan dibawah bayang-bayang kekuasaan terpimpin atau
otoriter. (Adi Sulistiyono, 2011: 8)
Di sisi yang lain menurut Andy Hamzah bahwa pada zaman orde lama
Kejaksaan dan Pengadilan tidak mandiri karena berada dibawah atap kementerian
(departemen) kehakiman, namun independen karena Jaksa Agung pada Mahkamah
Agung bukan anggota kabinet, dapat menangkap menteri kehakiman yang secara
administratif adalah atasannya. Sehingga jika kejaksaan independen akan menunjang
putusan hakim yang independen pula. (Andy Hamzah, 2003: 3)
Pada masa orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto hukum
ditempatkan dalam posisi strategis dalam proses kenegaraan di Indonesia. Pada saat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
itu pembangunan telah menjadi suatu ideologi yang tidak hanya ditaati tetapi juga
ditakuti. Pengadilan dalam memutus perkara tidak boleh menyimpang dari konsep
pembangunan menurut penafsiran pemerintah. Hakim disisi yang lain juga menjadi
pribadi yang mudah diintervensi penguasa, mudah disuap, bahkan seringkali
putusanya banyak mencederai rasa keadilan. (Adi Sulistiyono, 2011: 10) Hal ini
dibuktikan dengan banyak sekali putusan hakim yang sarat dengan kepentingan
penguasa dengan dalih pembangunan. Salah satu contohnya adalah putusan dalam
perkara Palang Merah Indonesia pada tanggal 8 Juni 1992 yang menyatakan putusan
Mahkamah Agung tidak dapat dijalankan karena pada saat itu ketua Mahkamah
Agung yaitu Purowoto Ganasubrata mengeluarkan sebuah surat sakti. (Adi
Sulistiyono, 2011: 11)
Hingga sampai pada era reformasi dan sampai saat ini, tak henti-hentinya
permasalahan seputar lembaga peradilan menjadi momok dalam perkembangan
ketatangaraan di Indonesia. Namun Perkembangan lebih baik dan cukup melegakan
muncul ketika era reformasi. Hal ini dapat dilihat dengan muncul pembaharuan terus
menerus terhadap hukum positif yang mengatur tentang fungsi kekuasaan kehakiman.
Munculnya TAP MPR NomorX/MPR/1998 menjadi awalan dibentuknya sistem
peradilan yang lebih independen. Dalam TAP MPR tersebut diatur tentang:
a. Pemisahan fungsi yudikatif dan eksekutif. b. Mewujudkan sistem hukum nasional melalui program legislasi nasional
terpadu. c. Menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarkat, berbangsa dan
bernegara. d. Terbentuknya sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk
penyelenggaraan negara yang menghormati dan munjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Kemudian pada era pemerintahan Presiden Bacharuddin Yusuf Habibie
disahkan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 yang dalam undang-undang tersebut mulai diatur
tentang mekanisme perubahan manajemen dalam Mahkamah Agung menjadi satu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
atap. Semula sistem manajamen pengadilan berada di dalam dua atap yaitu dibawah
Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman. (Adi Sulistiyono, 2011: 14)
Namun dalam kenyataan praksis ternyata masih banyak ditemui banyak
penyimpangan dalam proses peradilan. Bahkan kasus-kasus yang melibatkan mafia
peradilan semakin banyak terjadi, padahal istilah mafia hukum sendiri sudah muncul
sejak tahun 1970 sebagaimana dilontarkan oleh kalangan advokat melalui Peradin.
(Sirajuddin, 2006: 61) Apalagi mafia peradilan tidak hanya melibatkan hakim saja
tetapi juga semakin merambah ke aparat penegak hukum yaitu kepolisian. Hasil
penelitian dari YPSDI di Jawa Timur menunjukan bahwa secara kualitatif dan
kuantitatif terjadi penyelewengan yang dikeluhkan oleh para pencari keadilan.
Penyelewengan tersebut melibatkan instansi kepolisian (polsek, polresta, polwil,dan
polda), kejaksaan (negeri dan tinggi), dan pengadilan (negeri dan tinggi). (Sirajuddin,
2006: 64)
Jajak pendapat Litbang Kompas pada tanggal 9 sampai 11 November 2011
memperlihatkan 86% masyarakat menyatakan bahwa hakim belum bebas dalam
memutuskan vonis perkara dari intervensi pihak di luar kekuasaan kehakiman.
Sedangkan hanya 6,1% menyatakan bebas dan 7,6% menyatakan tidak tahu. Hal ini
menunjukan bukti mencengangkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat kepada
hakim masih rendah. Masyarakat juga masih beranggapan bahwa hakim belum
independen dalam memutus suatu perkara. Lebih jauh lagi survei jajak pendapat
Kompas juga memaparkan bahwa 95,2% masyarakat menilai bahwa keputusan hakim
dalam membebaskan koruptor dari jeratan hukum belum sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat. Sedangkan hanya 2,7% setuju, dan 2,1% tidak tahu. (Adi Sulistiyono,
2010: 18) Hal ini tentu menyebabkan kepercayaan publik terhadap institusi
pengadilan menjadi semakin rendah.
Dari beragam permasalahan tersebut muncul pemikiran penting bahwa
pelaku utama dalam proses pemeriksaan perkara dengan segala tujuanya berporos
kepada hakim. Hakim memiliki posisi sentral dalam mengeluarkan putusan atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
vonnis. Baik buruknya putusan dan adil tidaknya putusan akan kembali lagi kepada
hakim. Jabatan hakim merupakan jabatan yang mulia karena dapat memutuskan nasib
dari seseorang dengan putusanya. Putusan hakim yang dilakukan dengan jujur dan
menggunakan akal pikiran dengan sungguh-sungguh akan menghasilkan nilai yang
benar. Sehingga ada istilah tentang justice cant do wrong, bahwa hakim tidak bisa
salah. (Taufiqurrohman, 2011: 76) Hakim menjadi kekuatan sentral dalam
menjalankan fungsi dari kekuasaan kehakiman, dan karena itu menjadi
penanggungjawab utama dalam mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap sistem, moral dan integritas lembaga peradilan. (Suparman
Marzuki, 2011: 2)
Berdasarkan pentingnya posisi hakim tersebut maka muncul gagasan tentang
dibentuknya Komisi Yudisial. Sebuah Komisi yang sifatnya independen yang
bertugas untuk mengawasi perilaku dan tindak tanduk hakim dalam melaksanakan
kewenanganya dalam menjalankan proses peradilan. Komisi ini memiliki tugas
penting untuk menjaga hakim agar tetap berwibawa dan on the right track
berdasarkan kode etiknya. Alasan dibentuknya Komisi Yudisial sendiri merupakan
cerminan dari politik hukum dari sebuah negara yang mengalami proses transisi dari
rezim otoritarian ke rezim demokrasi. (Suparman Marzuki, 2011: 1)
Komisi Yudisial secara prinsipal sebenarnya ingin menegakan martabat dan
keluhuran hakim, sebagaimana disebutkan di dalam pasal 24B UUD 1945 yaitu
Komisi Yudisial mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan mengakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pengawasan yang dilakukan
sebenarnya tidak didasarkan ketidakpercayaan atau kecurigaan, tetapi sistem yang
harus ada untuk memastikan terlaksananya prinsip transparansi dan akuntabilitas dari
pelaksanaan kekuasaan kehakiman sehingga dapat dijalankan prinsip fair trial.
(Suparman Marzuki, 2011: 2)
Namun yang menjadi permasalahan adalah tentang mekanisme pengawasan
hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial itu sendiri. Selama ini memang muncul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
banyak sekali perdebatan tentang bagaimana cara mengawasi hakim yang tepat.
Bahkan lebih ekstrim lagi muncul dua kutub yang saling berseberangan dalam
melihat bagaimana bentuk ideal dalam mengawasai hakim. Ada yang menggap
bahwa seluruh hakim memang masuk dalam kategori pengawasan Komisi Yudisial.
Namun ada juga yang berpandangan bahwa Komisi Yudisial boleh mengawasi hakim
diluar Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
Hal ini tecermin dari adanya permohonan judicial review terhadap Undang-
undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang diajukan oleh 31 Hakim
Agung ke Mahkamah Konsitusi beserta peristiwa penting yang mengawali dan
melatar belakangi munculnya permohonan tersebut. Pertama, Komisi Yudisial
merekomendasikan untuk menjatuhkan sanksi lima hakim pengadilan tinggi Jawa
Barat termasuk Kepala Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nana Juwana dan akhirnya
Mahkamah Agung menonpalukan dan menarik Nana Juwana ke Mahkamah Agung.
Kedua, Komisi Yudisal memeriksa kasus suap di Mahkamah Agung. Hakim Agung
Usman Karim dan Parman Suparman yang terlibat kasus suap dengan pengusaha
Probosutedjo hingga Komisi Yudisial memanggil ketua Mahkamah Agung dua kali,
dan tetap menolak karena telah memberikan keterangan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi. Ketiga, Munculnya usulan kocok ulang hakim Agung oleh
Komisi Yudisial melalui sebuah perpu. Keempat, Komisi Yudisial menggulirkan
informasi bahwa 13 Hakim Agung bermasalah dan terhadap informasi ini beberapa
Hakim Agung melaporkan ke pihak kepolisian. Kelima, Gagasan mengenai revisi
Undang-undang Komisi Yudisial juga semakin kuat di publik. (Muji Kartika, 2006:
53)
Sehingga pada ujungnya Mahkamah Konstitusi seperti yang diketahui
bersama mengeluarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
yang isinya membatalkan dan mencabut pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 22
tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terkait fungsi pengawasan hakim. Dalam
putusan tersebut Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal-pasal yang berkaitan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
dengan mekanisme pengawasan hakim dan juga objek pengawasanya. Akibat dari
putusan itu Komisi Yudisial tidak mempunyai landasan hukum untuk mengawasi
hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsitusi karena definisi hakim Agung dan
Konsitusi diterjemahkan berbeda oleh Hakim Konstitusi.
Ketua Komisi Yudisial periode 2010-2015 berpendapat bahwa putusan yang
lahir dari persepsi seperti itu secara yuridis konstitusional cacat moral dan hukum.
Apalagi peran pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim Mahkamah Konstitusi
belum sempat dijalankan, sehingga belum ada alat ukur untuk menilai bahwa praktik
pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim Mahkamah Konstitusi bermasalah.
Adalah tidak fair apabila legitimasi putusan Mahkamah Konstitusi itu mengambil
praktik pengawasan hakim dilingkungan Mahkamah Agung selama ini sebagai dasar
pembenaran putusan Mahkamah Konstitusi, karena tugas dan kewenangan, jumlah
dan problem hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sangat berbeda.
(Suparman Marzuki, 2011: 1)
Namun akhirnya muncul revisi undang-undang terbaru dengan disahkanya
Undang-undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Undang-undang tersebut sebagai
jawaban atas perdebatan selama ini tentang bagaimana bentuk pengawasan ideal
terhadap hakim yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial. Bentuk pengawasan ini
terbilang berbeda karena mekanisme yang tercantum adalah mengganti sistem yang
lama dengan sistem yang baru. Hal ini menjadi menarik mengingat pengawasan
selalu menjadi perdebatan panjang bagi para pemangku kepentingan. Apakah
pengawasan hakim bertentangan dengan prinsip kemerdekaan atau independensi
hakim dalam menjalankan fungsi dan tugas yudisialnya.
Berdasarkan pertimbangan dan pemaparan latar belakang diatas maka
penulis mengadakan penelitian mengenai bentuk pengawasan hakim oleh Komisi
Yudisial dan juga implikasi dari pengawasan tersebut terhadap prinsip kekuasaan
hakim yang merdeka, Sehingga penulis menyusun judul penulisan ini dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
“BENTUK PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PRINSIP KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG
MERDEKA”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disusun
rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana bentuk pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial?
2. Bagaimana implikasi bentuk pengawasan hakim tersebut terhadap prinsip
kekuasaan kehakiman yang merdeka?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui bagaimana bentuk pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial.
b. Untuk mengetahui bagaimana implikasi bentuk pengawasan hakim oleh Komisi
Yudisial terhadap prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh hasil penelitian yang nanti digunakan penulis sebagai syarat
untuk memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
b. Untuk memperoleh dan menambah wawasan bagi sumbangsih ilmu
pengetahuan di bidang ilmu hukum .
c. Untuk menambah pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Tata
Negara.
d. Untuk mengembangkan proses penalaran yang dinamis bagi penulis
berdasarkan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum yang diperoleh dan
dipelajari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
e. Untuk mengembangkan cara berfikir yang kritis bagi penulis dalam bidang
ilmu hukum yang didapat dalam perkuliahan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu di bidang hukum
pada umumnya.
b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu di bidang hukum
tata negara pada khususnya.
c. Memberikan sumbangan pemikiran dalam hal kewenangan Komisi Yudisial
dalam mengawasi hakim .
d. Memberikan pemikiran dalam hal pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial
terhadap prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka.
e. Menambah dan memberikan sumbangan referensi bagi penelitian dalam
konteks kewenangan Komisi Yudisial dalam menjalankan fungsinya .
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang telah diteliti.
b. Meningkatkan daya penalaran, daya kritis, dan menerapkan ilmu pengetahuan
di bidang ilmu hukum yang dipelajari penulis dalam perkuliahan yang didapat.
c. Menambah pemikiran dan wawasan pengetahuan di bidang hukum bagi
masyarakat terkait dengan bentuk pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial.
d. Memberikan pemahaman bagi masyarakat agar menyadari pentingnya
pengawasan terhadap hakim demi terciptanya peradilan yang adil dan tidak
memihak serta bersih dan berwibawa.
e. Memberikan sumbangan referensi bagi penelitian dalam bidang bentuk dan
kewenangan Komisi Yudisial di berbagai negara dalam melakukan pengawasan
terhadap hakim.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis nanti dalam penelitian adalah
1. Jenis Penelitian
Peter Mahmud Marzuki mengatakan penelitian hukum dilakukan sebagai
preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Jawaban yang dihasilkan
adalah right, appropriate, inappropriate, atau wrong. Lebih jauh penelitian hukum
tidak mengenal adanya hipotesis dan istilah data. (Peter Mahmud Marzuki, 2008:
36) Sehingga jenis penelitian yang dipilih adalah jenis penelitian hukum. Yaitu
penelitian dengan melakukan analisis terhadap bahan-bahan hukum meliputi bahan
hukum primer dengan bahan hukum sekunder. Penelitian merupakan penelitian
hukum normatif atau bisa disebut penelitian hukum doktrinal atau kepustakaan.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Istilah pendekatan penelitian dengan metode
pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang
tersebut. (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 93). Sedangkan pendekatan penelitian
dengan pendekatan konseptual adalah pendekatan dengan beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu
yang dihadapi. (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 95).
3. Jenis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini bahan hukum yang dipakai adalah bahan hukum
primer dan sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen
resmi. (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 141).
4. Sumber Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer, yaitu:
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
3) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
5) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia bersama
Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009
dan Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim.
6) Bahan Hukum Sekunder, yaitu: Buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis,
dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum.
b. Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini adalah studi dokumen atau studi kepustakaan (literature research)
yaitu pengumpulan dan identifikasi bahan hukum yang didapat melalui buku
referensi, karangan ilmiah, dokumen resmi, makalah, jurnal, media massa
seperti koran, internet, serta bahan-bahan yang memiliki keterkaitan dengan
penelitian yang dibuat. Kemudian bahan hukum disusun serta dikonstruksikan
dengan sistematis.
5. Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum yang digunakan peneliti adalah menggunakan
metode interpretasi. Di dalam literatur, interpretasi dibedakan menjadi interpretasi
berdasarkan kata-kata undang-undang, pembuat undang-undang, interpretasi
sistematis, dan interpretasi historis. (Peter Mahmud, 2005: 106 )
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
F. Sistematika Penelitian
BAB I: PENDAHULUAN
Dalam penulisan ini penulis menguraikan mengenai:
a. Latar Belakang Masalah
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Penelitian
d. Manfaat Penelitian
e. Metode Penelitian
f. Sistematika Penulisan
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kerangka teori dan
kerangka pemikiran yang berkaitan dengan judul dan permasalahan yang akan diteliti,
yaitu:
a. Kerangka Teori
1) Tinjauan Tentang Negara Hukum
2) Tinjauan Tentang Konstitusi
3) Tinjauan Tentang Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka.
4) Tinjauan Tentang Pengawasan Hakim
b. Kerangka Pemikiran
Memaparkan dan mendeskripsikan mengenai ide penelitian, dan
menjelaskan mengenai permasalahan dan hasil penelitian yang dituangkan
dalam bentuk bagan.
BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan hasil yang diperoleh dari analisis
yaitu berupa hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah yang
telah ditentukan sebelumnya yaitu: Bagaimana bentuk pengawasan hakim oleh
Komisi Yudisial? Bagaimana implikasi bentuk pengawasan hakim tersebut terhadap
prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB IV: PENUTUP
Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai kerangka teori dan
kerangka pemikiran yang berkaitan dengan judul dan permasalahan yang akan diteliti
, yaitu: A. Kesimpulan dan B. Saran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Negara Hukum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah negara adalah organisasi
dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati
oleh rakyat atau sebuah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah
tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif,
mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan
nasionalnya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008)
Dalam literatur bahasa asing dikenal istilah Staat, State, dan Etat. Bahasa
Belanda mengartikan negara sebagai Staat, Inggris state, dan Perancis adalah etat.
Istilah staat mempunyai sejarah sendiri. Istilah itu mula-mula dipergunakan di
abad ke-15 di Eropa Barat. Anggapan umum yang diterima bahwa kata staat itu
dialihkan dari kata bahasa Latin yaitu status atau statum. (Nimatul Huda, 2010: 1)
Negara hukum sering dikenal dengan istilah rechtstaat, the rule of law,
dan nomocracy. Istilah rechstaat banyak ditemui di dalam konsep negara-negara
Eropa dan dikembangkan oleh para sarjana hukum seperti Immanuel Kant, Paul
Labland, Julius Stahl, dan Ficthe. Istilah rechtsaat sendiri berasal dari Bahasa
Belanda yang artinya negara hukum. Sedangkan dalam tradisi Anglo-Saxon di
negara-negara Amerika tidak dikenal istilah rechstaat tetapi the rule of law.Secara
harfiah dapat diterjemahkan sebagai hukum yang berlaku atau hukum yang
berkuasa. Hal ini sering dikaitkan dengan prinsip the Rule of Law, and not of Man
seperti yang dicetuskan oleh A.V. Dicey yang artinya bahwa yang dianggap
pemimpin dalam sebuah negara adalah hukum bukan orang. Mengenai istilah
nomocracy berasal dari perkataan nomos dan cratos. Nomos berarti norma,
sedangkan cratos atau kratien adalah kekuasaan. Hal ini dibayangkan sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.
(Jimly Asshiddiqie, 2011: 198)
Gagasan the rule of law dicirikan pada konstitusi yang bersumber pada
hak-hak asasi manusia, adanya persamaan dimuka hukum bagi semua warga
negara, dan adanya keyakinan bahwa hukum dijadikan dasar menyelesaikan segala
permasalahan. Roberto Mangabeira Unger berpendapat bahwa kekuasaan
pemerintahan harus dipisahkan dengan kekuasaan peradilan agar terjamin
persamaan dan demikian halnya dengan jaminan kesetaraan yang tercipta dengan
adanya pembedaan kekuasaan peradilan dengan kekuasaan pemerintahan. Melalui
adanya pemisahan kekuasaan tersebut maka sistem hukum diharapkan dapat
menjadi penyeimbang bagi organisasi sosial. (Andi M. Asrun, 2004: 49)
Terdapat sedikit perbedaan mengenai konsep rechstaat dan the rule of
law. Tetapi memang perbedaan tersebut tidak begitu dipermasalahkan karena
memang keduanya berasal dari dua sistem yang berbeda. “Konsep rechstaat
bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law, sedangkan konsep
the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law.
Karakteristik common law adalah judicial”. (Nimatul Huda, 2010: 93) Jadi
keduanya berasal dari tradisi hukum yang berbeda antara Eropa Kontinental
dengan sistem civil law dan Anglo-Saxon dengan sistem common law.
Konsep negara hukum bisa dikaji sebagai suatu kondisi masyarakat,
dimana hukum dalam negara demokratis ditentukan oleh rakyat yang tidak lain
merupakan pengaturan hubungan diantara sesama rakyat. Rakyat sebagai pemilik
kedaulatan menentukan proses pembuatan peraturan perundang-undangan melalui
wakil-wakilnya sebagai upaya perlindungan hak-hak rakyat. (Andi M. Asrun,
2004: 40).
Aristoteles mengemukakan gagasanya tentang negara hukum sebagai he
who bids the law rule may be deemed to bid God and Reason alone rule, but he
who bids man rule adds and element of the beast for desire is a wild beast, and
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
passion perverts the minds of rulers, even when they are the best of men. The law
is reason unaffected by desire. Aristoteles berpendapat bahwa hukum harus
diberikan lebih besar kepada pelaksanaan kekuasaan negara daripada kehendak
setiap manusia. Penghormatan terhadap hukum juga harus dilaksanakan oleh
kelompok warga masyarakat yang tidak setuju dengan suatu peraturan perundang-
undangan. (Andi M. Asrun, 2004: 41)
Utrecht membedakan negara hukum, yaitu negara hukum formil atau
negara hukum klasik, dan negara hukum materiil atau negara hukum modern.
Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan
sempit dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Tugas negara adalah
melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut untuk menegakkan
ketertiban. Sedangkan pengertian negara hukum materiil mencakup lebih luas
termasuk keadilan di dalamnya. Tugas negara tidak hanya menjaga ketertiban
dengan melaksanakan hukum, tetapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai
bentuk keadilan (Welfarestate). (Jimly Asshiddiqe, 2011: 131)
Lahirnya konsep negara hukum formal berkembang pada abad
kesembilan belas di Eropa, dengan corak pemikiran utamanya terletak pada
gagasan pembatasan kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi baik
yang tertulis maupun tidak tertulis. Melalui konstitusi inilah ditentukan batas-batas
kekuasaan pemerintah dan jaminan hak-hak politik rakyat, di mana kekuasaan
pemerintah diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum.
Peran pemerintah lebih sebagai pelaksana dari berbagai keinginan rakyat
sebagaimana dirumuskan dalam lembaga perwakilan rakyat. Negara hukum formal
ini kemudian dikenal dengan sebutan nachtwachterstaat atau negara penjaga
malam. (Andi M. Asrun, 2004: 46)
Munculnya konsep negara hukum material lahir akibat reaksi terhadap
gagasan negara hukum formal, yang melahirkan ekses dari industrialisasi pasca
revolusi industri dan sistem kapitalisme. Negara dituntut untuk aktif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
mengembangkan segenap upaya mensejahterakan masyarakat melalui pengaturan
kehidupan ekonomi dan sosial. Aksentuasi perjuangan negara untuk turut
membangun kesejahteraan rakyat itulah kemudian melahirkan istilah welfare state.
Pemerintah diberi tugas membangun kesejahteraan umum dalam berbagai bidang
dengan pemberian kemerdekaan kepada administrasi negara untuk menjalankan
misi tersebut. (Andi M. Asrun, 2004: 47)
Pandangan akademisi dengan paradigma lain seperti yang dikemukakan
M. Tahir Azhary, menyebutkan ada lima konsep dari sebuah negara hukum yaitu:
a. Negara hukum nomokrasi islam yang diterapkan di negara-negara islam. b. Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtstaat. c. Negara hukum rule of law yang diterapkan di negara-negara Anglo Saxon. d. Negara hukum socialist yang diterapkan di negara-negara komunis. e. Negara hukum Pancasila. (Sirajuddin, 2006: 14)
Masalah negara hukum pada hakikatnya tidak lain daripada persoalan
tentang kekuasaan. Di satu pihak terdapat negara dengan kekuasaan yang menjadi
syarat mutlak untuk dapat menjalankan pemerintahan atau memerintah. Di lain
pihak terdapat rakyat yang diperintah yang pada dasarnya enggan melepaskan
segala kekuasaanya untuk diserahkan kepada pemerintah. Oleh karena itu paham
negara hukum tidak dapat dipisahkan dengan paham kerakyatan atau demokrasi.
Hukum harus tampil sebagai instrumen untuk membatasi kekuasaan pemerintah
negara yang diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kehendak dan
kekuasaan rakyat. Hubungan negara hukum dan demokrasi adalah begitu erat,
karena kedaulatan atau demokrasi menjadi unsur material dari negara hukum.
(Djatmiko Anom Husodo, 2007: 3).
Ahsin Thohari berpendapat ada beberapa syarat dasar bagi pemerintahan
yang demokratis di bawah konsep rule of law adalah pertama, perlindungan
konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
ketiga, pemilihan umum yang bebas; keempat, kebebasan menyatakan pendapat;
kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan keenam, pendidikan
kewarganegaraan. Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa kekuasaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
kehakiman yang bebas menjadi pilar yang sangat penting baik dalam Negara
Hukum tradisi Rechtsstaat maupun dalam tradisi Rule of Law. Dengan kata lain,
keberadaan kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak menjadi syarat
yang penting bagi kedua tradisi negara hukum tersebut. (Ahsin Thohari, 2004: 7)
Constitution mengemukakan tiga prinsip penting dari negara hukum.
Ketiga prinsip tersebut yaitu:
a. Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang
pengaruh dari arbitary power dan meniadakan kesewenang-wenangan,
prerogatif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah.
b. Persamaan di depan hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua
golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary
court, ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, tidak ada
peradilan administrasi negara.
c. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum
konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak
individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan. (Nimatul Huda,
2010:1)
F.J. Stahl memberikan pendapatnya mengenai unsur-unsur dari negara
hukum yaitu adanya:
a. Jaminan terhadap hak-hak asasi. b. Penyelenggaraan negara berdasarkan trias politika (pemisahan kekuasaan). c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang. d. Peradilan administrasi.
Jimly Asshiddiqie mengemukakan beberapa prinsip pokok yang terdapat
dalam negara hukum. Kedua pokok prinsip tersebut yaitu:
a. Supremasi Hukum (Supremacy Law). b. Persamaan dalam Hukum (Equality Before the Law). c. Asas Legalitas (Due Process of Law). d. Pembatasan Kekuasaan. e. Organ-organ Penunjang yang Independen. f. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak. g. Peradilan Tata Usaha Negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
h. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). i. Perlindungan Hak Asasi Manusia. j. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat). k. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtstaat). l. Transpransi dan Kontrol Sosial.(Jimly Asshiddiqie, 2010:127)
Nimatul Huda memberikan pendapatnya mengenai ciri-ciri dari negara
hukum menjadi tiga hal yaitu:
a. Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.
b. Adanya pembagian kekuasaan negara. c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. (Nimatul Huda, 2010: 93)
Franz Magnis Suseno menyebut empat syarat dalam gagasan negara
hukum yaitu Pertama, adanya asas legalitas yang berarti pemerintah bertindak
semata-mata atas dasar hukum yang berlaku; Kedua, adanya kebebasan dan
kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam fungsinya untuk menegakkan
hukum dan keadilan; Ketiga, adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia; dan Keempat, adanya pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi atau
hukum dasar. (Ahsin Thohari, 2004: 8)
Menurut The International Comission of Jurist negara hukum harus
memiliki beberapa prinsip-prinsip yang dianggap sebagai ciri penting, yaitu:
1. Negara harus tunduk pada hukum. 2. Pemerintah menghormati hak-hak individu. 3. Peradilan bebas dan tidak memihak. (Jimly Asshiddiqie, 2010: 126)
Sedangkan Nimatul Huda dalam pandanganya mengenai negara hukum
yang berlandaskan kepada perspektif hukum islam atau nomokrasi Islam. Terdapat
sembilan prinsip-prinsip umum negara hukum yaitu: “Kekuasaan sebagai amanah,
Musyawarah, Keadilan, Persamaan, Pengakuan dan Perlindungan terhadap hak-
hak asasi manusia, Peradilan bebas, Perdamaian, Kesejahteraan, dan Ketaatan
Rakyat”. (Nimatul Huda, 2010: 38)
Sehingga berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
negara hukum adalah negara yang memegang prinsip perlindungan hak asasi
manusia, sistem hukum sebagai supremasi tertinggi, bersifat demokratis, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
mengedepankan kesejahteraan rakyat serta memiliki sistem peradilan yang
obyektif dan baik.
2. Konstitusi
Konstitusi diterjemahkan dengan istilah yang berbeda-beda dalam
berbagai bahasa. Bahasa Latin menyebutnya constitutio. Sedangkan constitution
adalah istilah yang digunakan dalam bahasa Inggris. Sedangkan dalam literatur
bahasa Perancis dikenal istilah droit constitutionnel. Bahasa Belanda
mengidentifikasikan dengan istilah constitutie , dan Bahasa Jerman dengan
gerundgesetz. (Jimly Ashiddiqqie, 2007: 119) Keempat istilah dalam berbagai
bahasa tersebut memiliki makna yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Hanya
saja muncul pemaknaan yang agak berbeda untuk membedakan penamaan dari
bentuk atau macam konstitusi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan pengertian konstitusi yaitu
“segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan dan, atau Undang-undang
Dasar suatu negara”. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Dalam kamus
Oxford Dictionary of Law, perkataan consitution diartikan sebagai the rules and
practices that determine the composition and functions of the organs of the central
and local goverment in a state and regulate the relationship between individual
and the state. Artinya yang dinamakan konstitusi itu tidak saja aturan yang tertulis,
tetapi juga apa yang dipraktikan dalam kegiatan penyelenggaraan negara, dan yang
diatur itu tidak saja berkenaan dengan organ negara beserta kompisisi dan
fungsinya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat pemerintah daerah (local
goverment), tetapi juga mekanisme hubungan antara negara atau organ negara itu
dengan warga negara. (Jimly Asshiddiqie, 2007: 120)
Menurut Carl Schmitt dalam bukunya “Verfassungslehre”, Konstitusi
dapat dipahami dalam empat pengertian. Keempat kelompok pengertian itu adalah:
(1) konstitusi dalam arti absolut (absoluter verfassungbegriff), (2) konstitusi dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
arti relatif (relativer verfassungbegriff), (3) konstitusi dalam arti positif (der
positive verfassungbegriff), (4) konstitusi dalam arti ideal (idealbegriff der
verfassung). (Jimly Asshiddiqie, 2007: 126)
James Bryce, menyatakan konstitusi adalah A frame of political society,
organized through and by law, that is to say on in which law has estabilished
permanent institutions with recognised functions and definite rights. Dari definisi
tersebut, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusanya sebagai kerangka
negara yang diorganisasi dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum
menetapkan pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen,
Fungsi dari alat-alat kelengkapan, dan Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
(Dahlan Thaib, 2010: 11)
C.F. Strong melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri
sebagai berikut Constitution is a collection of principles according to which the
power of the goverment, the rights of the governed, and the relations between the
two are adjusted. Artinya konstitusi dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-
asas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas), Hak-hak
dari yang diperintah, dan Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah
(menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia). (Dahlan Thaib, 2010: 11)
Dapat dilihat bahwa para sarjana hukum mempunyai definisi yang
beragam mengenai konstitusi. Menurut salah satu pakar hukum tata negara yang
bernama Herman Heller, konstitusi adalah mencakup tiga faktor penting: (1)Die
Politische verfassung als gessellschaftlich wirk leit yaitu pencerminan dari
kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan, (2)Die
Verselbstandigte rechtsverfassung atau kesatuan kaidah yang hidup dalam
masyarakat, (3)Die gesheriben verfassung yaitu sebuah naskah tertulis yang
menjadi undang-undang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. (Dahlan
Thaib, 2011: 9) Jika dipahami, pengertian konstitusi menurut Herman Heller
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
mencakup aspek sosiologis kemasyarakatan, aspek yuridis atau hukum yang
berlaku, dan aspek konstitusi secara formal atau tertulis.
Ada pula pandangan dari sarjana tata negara F. Lassalle yang menyatakan
bahwa konstitusi adalah meliputi Sosiologische politische begrip yaitu sintesis
faktor-faktor kekuatan yang nyata (dereeke machtsfactoren) dalam masyarakat dan
Yurisdische begrip atau suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan
sendi-sendi pemerintahan. (Dahlan Thaib, 2011: 10) Pandangan F. Lassale tidak
jauh berbeda dengan pandangan Herman Heller, keduanya menjelaskan bahwa
konstitusi meliputi bentuk nyata atau cerminan dari kehidupan masyarakat yang
sesungguhnya. Artinya keadaan sosiologis politis suatu masyarakat akan menjiwai
bentuk dari konstitusi. Kemudian dikenal adanya bentuk konstitusi tertulis yang
diwujudkan dalam bentuk naskah atau dokumen tertulis.
Konstitusi dapat berwujud baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Ada
pandangan yang beranggapan bahwa konstitusi mencakup pengertian naskah yang
sifatnya tertulis atau dibukukan secara terkodifikasi. Pandangan ini seperti dianut
dalam perisitilahan negara-negara yang sistem hukumnya bercorak eropa
kontinental dimana pandangan legisme begitu kuat dalam membentuk sistem
hukumnya. Sehingga di negara Belanda misalnya dikenal pembedaan antara
consitutie atau konstitusi dengan grondwet atau undang-undang dasar.
Demikian juga ada pandangan yang menganggap konstitusi wujudnya
tidak harus tertulis. Konstitusi dapat berbentuk adat istiadat ataupun kebiasaan-
kebiasaan yang mengatur aturan ketatanegaraan sebuah negara. Hal ini
diungkapkan oleh Phillips Hood dan Jackson bahwa konstitusi adalah “a body of
laws, customs and conventions that define composition and powers of the organs
of the State and that regulate the relations of the various State organs to one
another and to the private citizen”. (Jimly Asshiddiqie, 2009: 17 ) Secara umum
dapat diterjemahkan bahwa konstitusi berwujud adat istiadat dan konvensi-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
konvensi. Konstitusi dalam bentuk seperti ini dianut oleh negara-negara seperti
Inggris, Israel dan Mesir.
Secara konseptual konstitusi muncul dari hasil perjuangan politik sebuah
bangsa dalam suatu negara. Yang pada prinsipnya meliputi prinsip-prinsip umum
yang dipegang oleh bangsa tersebut. Apa yang diungkapkan A.A.H. Struyken
bahwa sebuah undang-undang dasar merupakan dokumen tertulis yang berisi
tentang hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau, tingkat-tingkat
tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa, pandangan-pandangan tokoh
bangsa yang hendak diwujudkan sekarang maupun masa datang, dan suatu
keinginan dimana perkembangan kehidupan ketatanegaraan hendak dipimpin.
(Dahlan Thaib, 2011: 14)
Konstitusi mulai dikenal dalam kerangka kehidupan politik telah disusun
melalui dan oleh hukum sejak zaman sejarah Yunani, dimana mereka telah
mengenal beberapa kumpulan hukum. Pada tahun antara 624-404 SM Athena
pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri
berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.
Pemahaman awal konstitusi pada saat itu hanyalah suatu kumpulan dari peraturan
adat istiadat semata. Pada masa Kekaisara Roma, pengertian constitutionnes
memiliki arti suatu kumpulan peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau para
preator. Termasuk didalamnya pernyataan-pernyataan pendapat para ahli hukum
atau negarawan, serta adat kebiasaan setempat, dan undang-undang. Konstitusi
Roma mempunyai pengaruh besar sampai abad pertengahan. Konsep kekuasaan
tertinggi dari para Kaisar Roma telah menjelma dalam bentuk L’Etat General di
Prancis, bahkan kegandrungan orang Romawi akan ordo et unitas telah
memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham Demokrasi Perwakilan dan
Nasionalisme. (Dahlan Thaib, 2011: 2)
Konstitusi juga ditemukan pada tahun 622 M di kota Madinah. Konstitusi
ini berbentuk piagam tertulis yang dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Muhammad dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tidak lama setelah beliau
hijrah dari Mekah ke Yatsrib, nama kota Madinah sebelumnya. Para ahli menyebut
Piagam Madinah ini dengan sebutan berbeda-beda. Ada isitilah The Constitution
of Medina, Charter, Treaty, Agreement, atau piagam serapan dari kata al-shahifah.
Secara keseluruhan Piagam Madinah itu berisi 47 pasal ketentuan. Yang salah
satunya berisi tentang jaminan persamaan dan persatuan dalam keragaman. (Jimly
Asshiddiqie, 2010: 14)
Konsitusi kemudian berkembang dalam sejarahnya. Inggris pasca
pecahnya The Glorius Revolution pada tahun 1688. Kemenangan kaum bangsawan
dalam revolusi istana telah menyebabkan berakhirnya absolutisme di Inggris serta
munculnya parlemen. Pada akhirnya muncul Declaration of Independence dan
menetapkan konstitusinya sebagai dasar negara yang berdaulat. (Dahlan Thaib,
2011:4)
Konstitusi mempunyai peranan besar dalam relasi antara rakyat dengan
negara. Peran dari konstitusi hakekatnya menjaga kekuasaan dari negara yang
pada dasarnya bersifat mutlak dan harus ditaati. Kekuasaan tersebut sangat mudah
diselewengkan jika tidak ada instrumen yang kuat dan tegas untuk membatasinya.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Lord Acton dengan adagiumnya. Power
tends to corrupt, Absolute power corrupt absoluetly. Bahwa kekuasaan cenderung
disalahgunakan dan bahkan kekuasaan yang absolut tanpa pembatasan sudah pasti
kekuasaan yang otoriter.
Hal tersebut menjadikan pentingnya cakupan dari konstitusi agar mampu
mewujudkan mekanisme pembatasan bagi penguasa atau negara. “Pada prinsipnya
tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kesewenangan tindakan pemerintah,
untuk menjamin hak-hak yang diperintah, dan merumuskan pelaksanaan
kekuasaan yang berdaulat”. (Dahlan Thaib, 2011: 23) Mirriam Budiarjo
mengatakan setiap undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai
Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
eksekutif, dan yudikatif. Kemudian pengaturan hak asasi manusia, prosedur
mengubah undang-undang dasar, serta adakalanya memuat larangan untuk
mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar. (Dahlan Thaib, 2011: 16)
Oleh karena konstitusi itu sendiri adalah hukum yang dianggap paling
tinggi tingkatanya, maka tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk
mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi
itu adalah keadilan, ketertiban, perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan
atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana
dirumuskan sebagai tujuan bernegara pleh para pendiri negara (the founding
fathers and mothers). (Jimly Asshidiqqie, 2007: 149)
Jadi berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
konstitusi adalah dasar hukum tertinggi suatu negara baik bersifat tertulis maupun
tidak tertulis yang berisi tentang ketentuan ketetatanegaraan beserta tujuan
bernegara dari negara itu sendiri.
3. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka
Kekuasaan Kehakiman memiliki arti kekuasaan dalam menjalankan
fungsi-fungsi terkait kewenangan yudisial. Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah
kekuasaan yudikatif. Bahasa Belanda menyebutnya sebagai judicatief. Sedangkan
dalam bahasa Inggris dikenal istilah judicial, judiciary, atau judicature.
Menurut Bagir Manan kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum
yang demokratis adalah:
a. Kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi bagi kehidupan demokrasi dan terjaminnya perlindungan dan penghormatan atas hak asasi manusia.
b. Kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi tegaknya paham negara berdasarkan konstitusi yang menghendaki agar kekuasaan negara dibatasi.
c. Kekuasaan kehakiman yang mandiri diperlukan untuk menjamin netralitas terutama apabila sengketa terjadi antara warga negara dengan negara atau pemerintah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
d. Penyelesaian sengketa hukum oleh keuasaan kehakiman yang mandiri merupakan dasar bagi berfungsi sistem hukum dengan baik. (Sirajuddin, 2006: 30)
Sudikno Metrokusumo menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
peradilan sebagai realisasi dari kekuasaan kehakiman mengandung arti menerima,
memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan. Atau
dengan kata lain, “peradilan adalah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya
tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan
diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pun dengan cara
memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah
eigenrichting”. (Djatmiko Anom Husodo, 2007: 5).
Hakim sebagai komponen terpenting dalam menjalankan fungsi
kekuasaan kehakiman memiliki beberapa prinsip dasar yang sangat penting.
Prinsip-prinsip tersebut menjadi acuan bagi hakim agar mampu menjalankan tugas
dan fungsi yudisialnya seperti memeriksa perkara, memutus perkara, dan tugas-
tugas lain dengan baik. Tanpa adanya prinsip tersebut kedudukan hakim dalam
menjalankan tugasnya menjadi tidak berarti. Lars P. Feld mengemukakan
mengenai pentingnya fungsi dari sebuah peradilan yaitu:
“If contracting parties voluntarily entered into a contract and one of the parties believes that the other side hasn’t lived up to the contract, impartial dispute resolution is important” Apabila salah satu pihak mentaati kontrak sedangkan pihak yang lain
menolak untuk mentaati sebuah kontrak yang dibuat. Maka sebuah penyelesaian
melalui pengadilan yang bersifat tidak memihak menjadi sangat penting.
“The citizens are in need of an organization that can adjudicate who is right, i.e. who has acted according to the law. If the judiciary is not independent from executive and legislature, citizens will not trust in the relevance of the rule of law,” Masyarakat membutuhkan sebuah lembaga yang mampu memutuskan
mana yang benar dan mana yang salah. Apabila kekuasaan kehakiman tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
independen dari pengaruh eksekutif maupun legislatif maka masyarakat menjadi
tidak percaya kepada konsep negara hukum.
“In the absence of an impartial arbiter, conflicts between government
branches are most likely to develop into power games. An independent
judiciary can keep them within the rules laid out in the constitution”.
(Lars P. Feld, 2003: 2)
Kekosongan dari penyelesaian sengeketa yang tidak berpihak antara
cabang kekuasaan akan menyebabkan permainan kekuasaan. Kekuasaan
kehakiman yang merdeka akhirnya menjadi solusi untuk membatasi hal tersebut
dengan berpatokan dari konstitusi. Konsepsi diatas menekankan begitu pentingnya
prinsip independensi kehakiman yang merdeka yang ditopang dengan asas
independensi. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak adalah
sesuatu yang mutlak yang harus ada karena merupakan prasyarat bagi terciptanya
cita negara hukum dan jaminan terwujudnya hukum dan keadilan. (Ahsin Thohari,
2007: 69)
Menurut Christopher M. Larkins secara konseptual independensi atau
kebebasan hakim memiliki arti:
a. The independence of the individual judges ; 1) Substantive Independence, yaitu dalam membuat keputusan dan
menjalankan tugasnya, hakim hanya tunduk pada hukum. Hakim harus bebeas dari encroachment (gangguan) dari lembaga eksekutif dan legislatif.
2) Personal independence, yaitu bahwa undang-undang, tradisi-tradisi peradilan serta kebiasaan-kebiasaan untuk meningkatkan independensi hakim dalam masa jabatan dan kedudukanya yang bersifat tetap.
b. The collective independence of the judiciary as a body, Independensi Badan Judisial, yaitu sejauh mana pengadilan secara keseluruhan ditopang dengan administrasi pengadilan yang mampu menegakkan independensinya. (Djatmiko Anom Husodo, 2007: 6)
Lebih jauh dan mendalam Chirstoper M. Larkins menyatakan bahwa
independensi kehakiman sebagai suatu ajudication oleh neutral third mempunyai
dua arti penting, Pertama yaitu penerapan prinsip keadilan, tanpa memandang
status para pihak yang berperkara. Kedua, prinsip independensi ini menjadi sangat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
penting manakala pemerintah merupakan salah satu pihak yang berperakara.
(Djatmiko Anom Husodo, 2007: 6)
Alexies de Tocqueville menyatakan ada tiga ciri bagi independensi
kehakiman. Pertama, kekuasaan kehakiman disemua negara merupakan pelaksana
fungsi peradilan dimana pengadilan hanya bekerja kalau ada pelanggaran hukum
tanpa ada satu kekuasaan lainya yang dapat melakukan intervensi. Kedua, fungsi
peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus pelanggaran hukum yang khusus.
Hakim dikatakan masih dalam koridor tugasnya jika dalam memutuskan perkara ia
menolak menerapkan prinsip yang berlaku umum. Namun jika ia menolak pada
saat tidak dalam memeriksa suatu perkara, ia dapat dihukum atas dasar
pelanggaran tersebut. Ketiga, kekuasaan kehakiman hanya berfungsi jika
diperlukan dalam hal adanya sengketa yang diatur dalam hukum. (Andi M. Asrun,
2004: 52)
Independensi menurut Joel G. Verner dinyatakan the ability to decide
cases on the basis of estabilished law and the merits of the case, without
substansial interference from other political or govermental agent. Intervensi
substansial tersebut dapat dilihat dari tekanan kepada hakim mulai dari proses
persidangan kasus. Bentuk tekanan tersebut bermacam-macam. Tekanan dapat
berupa intimidasi atau ancaman fisik kepada hakim. Tekanan dapat datang dari
kelompok politik atau pihak-pihak yang diperiksa di pengadilan, dan bahkan
melalui media massa. Tekanan kepada hakim tersebut membuka peluang bagi
ketidaknetralan hakim dalam memeriksa suatu perkara. Hakim pada akhirnya
menjatuhkan putusan bukan didasarkan kepada fakta-fakta dalam persidangan,
tetapi lebih pada keberpihakan pada salah satu pihak sebagai upaya
menyelamatkan diri. (Andi M. Asrun, 2004: 55)
Dalam perspektif sistem peradilan Islam dikenal beberapa prinsip-prinsip
yang dipegang oleh hakim. Seperti yang dikemukakan oleh Abdul Manan ada tiga
kondisi apa yang seharusnya hakim lakukan pada saat memeriksa perkara yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
a. Seorang hakim tidak boleh mengadili suatu perselisihan yang mana salah satu
pihaknya memiliki hubungan kekerabatan denganya.
b. Seorang hakim tidak boleh memeriksa kasus yang mana salah satu pihak yang
terkait adalah musuhnya.
c. Seorang hakim dituntut untuk tidak melakukan hubungan di luar urusan
perkerjaan dengan pihak yang berperkara, diluar pengadilan. (Abdul Manan,
2007: 144)
Adanya potensi gangguan terhadap pelaksanaan peradilan, independensi
peradilan dapat dirumuskan sebagia berikut Judicial independence refers to the
exisctence of judges who are not manipulated for political gain, who are impartial
toward the parties of a disputes, and who form a judicial branch which has the
power as an institution to regulate the legality of goverment behaviour, enact
“neutral” justice, and determine significant constitutional and legal values. (Andi
M. Asrun, 2004: 55)
Jadi secara konseptual independensi dapat diuji melalui dua hal, yaitu
ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik
(political insularity). Apa yang disampaikan Muhammad Asrun bahwa
imparsialitas proses peradilan setidaknya mencakup beberapa hal penting.
Pertama, imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan
mendasarkan putusanya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas
dasar keterikatan dengan salah satu pihak yang berperkara. Kedua, Imparsialitas
hakim memang bukan sesuatu yang mudah dideteksi dimana hal itu hanya dapat
dilacak dari prilakunya selama menjadi hakim vis-a-vis kerterkaitanya dengan
pihak berperkara dalam konteks hubungan sosial ataupun hubungan politik.
Ketiga, imparsialitas proses peradilan hanya dapat dicapai jika hakim dapat
melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan
(collegial) dengan pihak yang berperkara. Karenanya, hakim harus mengundurkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
diri dari proses persidangan jika melihat adanya potensi imparsialitas. (Andi M.
Asrun, 2004: 53)
Ketidakberpihakan (impartiality) kekuasaan kehakiman tidak hanya
ketiadaan bias atau kecurigaan tertentu terhadap hakim saja, melainkan juga
berlaku bagi hal-hal yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain
seperti pandangan politik dan agama yang ianut oleh hakim. J.A.G. Griffith
mengatakan:
Impartiality means not merely absence of personal bias or prejudice in
the judge, but also the exclusion of relevant considerations, such as his
political or religious views. Individual litigants expect to be heard fairly
and fully and to receive justice. Essentially, this view rests on an
assumption of judicial neutrality.
Kekuasaan kehakiman memang bukan merupakan entitas yang hampa
dari kepentingan-kepentingan politik, karena politik memiliki potensi dan
kecenderungan yang sangat besar untuk melakukan intervensi terhadap kekuasaan
kehakiman. Politik mempunyai derajat determinasi yang tinggi terhadap
independensi kekuasaan kehakiman. (Ahsin Thohari, 2004: 10)
Dalam hal political insularity, Keterputusan relasi dengan dunia politik
bagi hakim akan sangat mendukung imparsialitas proses peradilan. karena hal ini
merupakan sesuatu yang masuk akal bahwa hakim diasumsikan menjadi bagian
dari partai politik tertentu dalam pemilihan umum. Karena itu keterikatan seorang
calon hakim dengan partai politiknya harus dilepaskan ketika dia diangkat menjadi
hakim. (Andi M. Asrun, 2004: 54)
Paulus E. Lotulung, menyatakan bahwa batasan atau rambu-rambu yang
harus dilihat dalam implementasi kebebasan adalah aturan-aturan hukum baik
yang sifatnya prosedural maupun substansial materiil yang merupakan batasan
bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak
melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah bertindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
subordinated pada hukum dan tidak bertindak contra legem. (Ahsin Thohari,
2010: 72)
Basic Principles on the Independence of the Judiciary dirumuskan untuk
membantu negara-negara di dunia mengaplikasikan gagasan kekuasaan kehakiman
yang merdeka dan tidak memihak. Khusus mengenai kemerdekaan kekuasaan
kehakiman ada sembilan pasal yang mengatur tentang hal tersebut yaitu Pasal 1
menyatakan bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman harus dijamin oleh negara
yang ditetapkan di dalam konstitusi atau undang-undang negara. Tugas
penghormatan dan pengamatan terhadap kemerdekaan kehakiman merupakan
tugas pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya. Pasal 2 menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman harus memutuskan suatu perkara dengan tanpa sikap
memihak, berdasarkan fakta-fakta sesuai dengan peraturan perundang. undangan,
tanpa pembatasan apa pun juga, tanpa pengaruh-pengaruh yang tidak benar, tanpa
bujukan, tanpa tekanan, tanpa ancaman atau campur tangan, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dari bagian apa pun atau untuk alasan apa pun. Pasal 3
meyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus mempunyai yurisdiksi dan harus
kewenangan untuk memutuskan apakah perkara-perkara yang diajukan untuk
diputuskan tersebut berada dalam kompetensinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pasal 4 menyatakan tidak boleh ada campur tangan terhadap
proses peradilan dalam bentuk apa pun, juga putusan-putusan pengadilan tidak
boleh direvisi. Pasal 5 menyatakan setiap orang mempunyai hak untuk diselidiki
dan diputus oleh pengadilan biasa atau pengadilan yang menggunakan prosedur-
prosedur hukum yang telah ditetapkan. Pasal 6 menyatakan prinsip kemerdekaan
kekuasaan kehakiman membutuhkan pengadilan yang dapat menjamin bahwa
proses peradilan dilaksanakan secara jujur dan hak-hak dari para pihak dihormati.
Pasal 7 menyatakan negara anggota mempunyai tugas untuk menyediakan sumber
daya-sumber daya yang memadai untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
dapat melakukan fungsi-fungsinya secara sebagaimana mestinya. (Ahsin Thohari,
2004: 16)
Kemudian dalam Vienna Declaration and Programme of Action diatur
bahwa administrasi pengadilan, termasuk penegakan hukum dan lembaga
penuntutan, khususya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan profesi hukum
yang sepenuhnya sesuai dengan dengan ukuran-ukuran yang dapat dilaksanakan
yang terdapat dalam instrumen HAM internasional adalah suatu hal yang
mendasar untuk memenuhi dan merealisasikan HAM tanpa diskriminasi dan
sangat diperlukan dalam proses demokrasi dan pembangunan yang berkelanjutan.
Lembaga-lembaga yang berkaitan dengan administrasi pengadilan harus dibiayai
secara memadai, serta bantuan finansial dan teknik yang meningkat harus
disediakan oleh masyarakat internasional. Hal ini merupakan kewajiban PBB
untuk membuat bergunanya program-program pelayanan laporan dalam
memprioritaskan dasar untuk mencapai administrasi pengadilan yang merdeka dan
kuat. (Ahsin Thohari, 2004: 17)
Lebih lanjut dikatakan bahwa independensi harus diikat dengan
pertanggungjawaban atau akuntabilitas, dimana keduanyanya pada dasarnya
merupakan dua sisi koin mata uang yang sama.(Ahsin Thohari, 2010:72) Hal ini
seperti apa yang dikemukakan oleh Stephen B. Burbank, Bahwa independesi
peradilan adalah sebuah koin dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dengan
akuntabilitas peradilan. “Judicial independence is merely the other side of the coin
from judicial account ability..”. (Stephen B. Burbank, 2007: 911)
John Ferejohn, menyatakan bahwa independensi adalah sebuah konsep
yang relatif dan bukan absolut. Ferejohn mengatakan bahwa one definitonal
problem is that judicial independence is a relative, not an absolute concept. The
following definiton of ‘dependency’ highlights the relative nature of judicial
independence: in a person or institution is...dependent...if unable to do its job
without relying on some other institution or group. Artinya independensi peradilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
adalah keadaan dimana peradilan dapat menjalankan tugasnya tanpa memiliki
ketergantungan dengan pihak lain. (Ahsin Thohari, 2007: 71)
Sebagai badan peradilan yang independen kekuasaan kehakiman dalam
menjalankan sifat independenya harus dapat dikontrol oleh publik atau melalui
lembaga khusus. Harus disadari bahwa independensi diikat pula dengan
pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa
tanggung jawab. Dengan perkataan lain dipahami bahwa dalam konteks kebebasan
hakim haruslah diimbangi dengan pasanganya yaitu akuntabilitas peradilan
(judicial accountability). (Ahsin Thohari, 2010: 72)
Ahsin Thohari menyimpulkan ada lima syarat dari kekuasaan kehakiman
yaitu pengangkatan terhadap pejabat lembaga peradilan yang tidak bersifat politik,
masa jabatan dan gaji yang terjamin, tidak ada intenvensi dari kekuasaan eksekutif
dan legislatif terhadap proses peradilan dan pengadilan, dan adanya otonomi
secara administratif, dan anggaran belanja. Kelima hal tersebut menjadi semacam
tonggak yang dapat dijadikan parameter kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
(Ahsin Thohari, 2004: 11)
Jadi berdasarkan penjelasan diatas pengertian prinsip kekuasaan
kehakiman yang merdeka adalah kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya
baik secara individual maupun kelembagaan dengan memiliki patokan bahwa
adanya prinsip ketidakberpihakan kepada pihak manapun dalam sebuah perkara
(impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik atau kepentingan
apapun (political indularity).
4. Pengawasan Hakim
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengawasan diartikan sebagai
penilikan dan penjagaan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008) J.S. Badudu
mengartikan kontrol dengan pengawasan, pemeriksaan, dan pengendalian. Dalam
lingkup teori ilmu manajemen, kontrol disamakan dengan pengawasan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
merupakan salah satu elemen dari tugas-tugas manajerial yaitu mencakup tindakan
pengukuran dan perbaikan (koreksi) suatu performa, oleh karenanya kontrol atau
pengawasan meliputi tindakan menetapkan standar-standar, mengukur performa
dengan standar-standar yang ditetapkan, umpan balik hasil-hasil yang dicapai, dan
memperbaiki (mengoreksi) penyimpangan-penyimpangan dari standar-standar
yang ditetapkan. (Agus Budi Susilo, 2007: 63)
Kata kontrol sendiri merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa
inggris yaitu control. Sedangkan pengertian kontrol secara etimologis menurut
Oxford Advance Learner’s Dictionary mempunyai arti power or authority to
direct, order or limit dan means of limiting or regulating. (Agus Budi Susilo,
2007: 63)
George R. Terry menyatakan bahwa pengawasan ialah “Control is to
determine what is accomplished evaluate it, and apply corrective measures, if
needed to insure result in keeping with the plan”. Henry Fayol juga
mengemukakan pendapatnya bahwa pengawasan adalah “Control consist in
verivying wether everything occur in conformity with the plan adopted, the
instruction issued and principles estabilished. It has for object to point out
weakness and errors in order to rectivy then and prevent recurrance”. Newman
mengatakan pengawasan adalah “control is assurance that the performance
conform to plan”. (Muchsan, 2007: 37) Tampak dari ketiga pengertian tersebut
bahwa pengawasan dijalankan untuk mengukur apakah sebuah persitiwa itu sesuai
dengan apa yang direncanakan sebelumnya atau tidak.
Menurut Siagian memberikan definisi mengenai pengawasan yaitu
“proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk
menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan
rencana yang telah ditentukan”. Sedangkan Suyamto memberikan definisi
pengawasan yaitu “segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah
sesuai dengan yang semestinya atau tidak”. (Muchsan, 2007: 37)
Muchsan mengatakan bahwa pengawasan adalah kegiatan untuk menilai
suatu pelaksanaan tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan hanyalah
terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan
tolak ukur yang telah ditentukan sebelumnya atau tidak, Sehingga kegiatan
pengawasan tidak terdapat kegiatan korektif atau pengarahan. Jadi muncul istilah
yang berbeda antara pengawasan dan pengendalian. Pengendalian lebih luas
lingkup pengertianya daripada pengawasan. Hal ini disebabkan karena
pengendalian memiliki kegiatan pengawasan ditambah dengan kegiatan korektif
dan pengarahan. (Muchsan, 2007: 38)
Menurut pendapat Muchsan, pengawasan memiliki beberapa unsur
penting yaitu antara lain:
a. Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat pengawas. b. Adanya suatu rencana yang mantap sebagai alat penguji terhadap pelaksanaan
suatu tugas yang akan diawasi. c. Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang
sedang berjalan maupun terhadap hasil yang dicapai dari kegiatan tersebut. d. Tindakan pengawasan berakhir dengan disusunya evaluasi akhir terhadap
kegiatan yang dilaksanakan serta pencocokan hasil yang dicapai dengan rencana sebagai tolak ukurnya.
e. Untuk selanjutnya tindakan pengawasan akan diteruskan dengan tindak lanjut baik secara administratif maupun secara yuridis. (Muchsan, 2007: 38)
Secara lebih terperinci pengawasan dibagi menjadi empat jenis. Pertama,
Pengawasan melekat yaitu pengawasan yang langsung dilakukan oleh pejabat
terhadap bawahannya atas setiap tugas yang menjadi tanggung jawab bawahannya
itu. Kedua, Pengawasan preventif yaitu pengawasan terhadap peraturan daerah dan
keputusan kepala daerah mengenai pokok tertentu yang baru akan berlaku sesudah
ada pengarahan pejabat yang berwenang. Ketiga, Pengawasan represif yaitu
penangguhan atau pembatalan peraturan daerah atau keputusan kepala daerah oleh
pejabat yang berwenang. Keempat, Pengawasan umum yaitu pengawasan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap segala kegiatan pemerintah daerah.
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008)
Menurut Paulus Effendi Lotulung, pengawasan yang dilakukan sebelum
dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah ataupun peraturan
lainnya yang pengeluarannya memang menjadi wewenang pemerintah (preventif)
maka disebut kontrol a-priori. Sedangkan pengawasan yang dilakukan itu baru
terjadi setelah dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pemerintah atau sesudah
terjadinya tindakan atau perbuatan pemerintah (represif atau korektif), hal ini
disebut sebagai kontrol a-posteriori. (Agus Budi Susilo, 2007: 63)
Agus Budi Susanto berpendapat kontrol merupakan suatu instrumen
untuk mengawasi jalannya suatu tugas, fungsi, wewenang seseorang ketika
mendapat suatu jabatan (amanah) tertentu agar tercapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan sekaligus mengoreksinya ketika ada penyimpangan-penyimpangan.
Bila kata “kontrol” di atas disandingkan dengan kata “yuridis” yang mengandung
arti “menurut hukum” atau “secara hukum”, maka kontrol yuridis kaitannya
dengan fungsi administrasi negara akan mempunyai makna sebagai suatu
instrumen yang mengawasi dan mengoreksi dari segi hukum terhadap pelaksanaan
tugas administrasi negara dalam menjalankan urusan pemerintahan untuk
mencapai tujuan negara yang adil dan makmur (welfare state). (Agus Budi Susilo,
2007: 63)
Jadi berdasarkan penjelasan diatas pengawasan adalah kegiatan yang
bertujuan untuk menjaga agar semua pekerjaan atau wewenang yang sedang
dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana atau aturan perundang-undangan
dengan tujuan agar tujuan dari pelaksanaan kewenangan tersebut dapat tercapai
dengan semestinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
UUD 1945 pasal 24B ayat (1)
UU no. 22 Tahun 2004 dan UU no. 18 Tahun 2011
KOMISI YUDISIAL
PENGAWASAN
HAKIM
Independensi Hakim
Implikasinya
A. Kerangka Pemikiran
Instrumen Pengawasan
Metode Pengawasan
Mekanisme Pengajuan Laporan
Hasil Pengawasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Penjelasan:
Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 mengatur tentang fungsi dan
kewenangan kekuasaan kehakiman di Indonesia yang meliputi Mahkamah Agung
beserta lembaga peradilan dibawahnya, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial diatur di dalam pasal 24B dimana pengaturan lebih khusus mengenai
bentuk pengawasan hakim tercantum di dalam ayat (1) yaitu:
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Fungsi
pengawasan tersebut kemudian diatur lebih lanjut di dalam Undang-undang Nomor
18 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial
Berdasarkan bentuk pengawasan hakim yang dimiliki oleh Komisi Yudisial
maka dalam menjalankan kewenanganya akan dikaji melalui 4 faktor. Pertama,
Instrumen pengawasan. Faktor ini akan mengkaji instrumen apa yang akan digunakan
oleh Komisi Yudisial untuk menjalankan fungsi pengawasanya. Kedua, Metode
Pengawasan. Faktor ini akan memaparkan bagaimana metode atau sistem
pengawasan yang digunakan dalam mengawasai hakim dalam menjalankan tugasnya.
Ketiga, Mekanisme pengajuan laporan. Artinya mekanisme dalam pelaporan
jika terjadi tindakan atau perilaku hakim yang bertentangan dengan kode etik.
Bagaimana mekanisme dan sistematikanya. Keempat, Hasil dari pengawasan. Disini
akan dijelaskan mengenai akibat dari keputusan Komisi Yudisial apabila telah
dinyatakan adanya pelanggara kode etik yang telah dilakukan hakim berdasarkan
hasil pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan. Bentuk pengawasan oleh Komisi
Yudisial akan bersentuhan dengan hakim yang sedang menjalankan tugas
yudisialnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Tentu pengawasan ini akan berbenturan diantara prinsip Independensi atau
kemerdekaan hakim. Pengawasan disatu sisi akan berseberangan dengan kebebasan
hakim disisi yang lain. Sehingga akan dianalisa dan dipaparkan bagaimana implikasi
dari pengawasan tersebut berkaitan dengan karakter independen hakim.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
BAB III
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Bentuk Pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial
1. Instrumen Pengawasan
Untuk mengetahui bagaimana Instrumen Pengawasan Komisi Yudisial
terlebih dahulu kita merujuk kepada konstitusi, dimana disana tercantum mengenai
mandat konstitusional dari Komisi Yudisial. Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945
menyebutkan bahwa:
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sebagaimana disebutkan di pasal diatas Komisi Yudisial memiliki
wewenang pokok yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan ditambah
wewenang lain yaitu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim. Arti menjaga dan menegakkan bisa dikatakan sebagai dasar
bagi Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan kepada hakim. Menjaga
berarti mencegah dan menegakkan berarti menindak apabila ada hakim yang
melakukan pelanggaran. Disinilah peran Komisi Yudisial dalam mengawasi tindak
tanduk hakim demi semata-mata menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan
perilaku mereka.
Sebelum melihat lebih jauh tentang instrumen pengawasan hakim, harus
diketahui terlebih dahulu objek yang diawasi. Tentu objek yang diawasi adalah
hakim. Namun hakim manakah yang akan dijadikan objek pengawasan. Pada
awalnya didalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
dijelaskan di dalam BAB I Ketentuan Umum pasal (1) ayat 5 Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bahwa yang dimaksud:
Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya Berpijak dari pasal diatas yang menjadi objek pengawasan
Komisi Yudisial adalah Hakim Agung, Hakim Mahkamah Konsitusi dan hakim
disemua lingkungan peradilan Negeri, peradilan Militer, peradilan Agama, dan
peradilan Tata Usaha Negara serta peradilan khusus didalamnya sampai tingkat
dibawah Mahkamah Agung. Seharusnya berdasarkan pasal tersebut hakim adhoc
juga termasuk didalamnya.
Tetapi objek tersebut dicabut, sebagaimana kita ketahui bersama dalam
putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Komisi Yudisial tidak berhak melakukan
pengawasan terhadap Hakim Agung dan juga Hakim Konstitusi. Sehingga
berdasarkan ratio legis maka yang menjadi objek pengawasan hakim saat itu
adalah seluruh hakim saja diluar Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi.
Hingga setelah dicabutnya ketentuan dalam Undang-undang itu setelah enam baru
muncul Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Pasca munculnya Undang-undang terbaru objek pengawasan hakim
Komisi Yudisial berubah. Didalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2011
perubahan atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
BAB I Ketentuan Umum pasal (1) ayat 5 disebutkan bahwa:
Hakim adalah hakim dan hakim adhoc di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan. Berdasarkan pasal diatas yang menjadi objek pengawasan Komisi
Yudisial adalah seluruh baik hakim karier ataupun hakim adhoc baik di
lingkungan Mahkamah Agung maupun di semua lingkungan Badan Peradilan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang menjadi objek pengawasan oleh Komisi
Yudisial saat ini hanya meliputi hakim dan hakim adhoc, sedangkan Hakim Agung
dan Hakim Konstitusi diluar pengawasan Komisi Yudisial. Hal ini tentu
meneruskan kembali apa yang menjadi keputusan Mahkamah Konsitusi bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi tidak dapat diawasi karena
inkonstitusional.
Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana
dijelaskan diatas memiliki dua instrumen penting yaitu: Membuat kode etik dan
Mengawasi Hakim. Keduanya merupakan instrumen yang dijadikan cara bagi
Komisi Yudisial untuk menjaga agar hakim tetap berada didalam jalurnya yaitu
sesuai apa yang dicita-citakan dalam konstitusi. Hakim dalam menjalankan fungsi
yustisialnya dapat tetap berjalan secara profesional dan bermartabat. Keduanya
pun akan bermuara dalam titik yang sama yaitu secara prinsipal adalah untuk
melaksanakan pengawasan.
Instrumen pertama, Membuat kode etik. Komisi Yudisial mempunyai
kewenangan untuk menetapkan kode etik atau code of conduct yang akan
dilaksanakan sebagai tatanan moral dan tuntunan perilaku secara tertulis. Fungsi
dari kode etik ini sendiri adalah selain menjadi pedoman baik bagi Komisi
Yudisial untuk melakukan pengawasanya, menjadi pedoman bagi hakim sendiri
untuk mengetahui kode etik profesinya sebagai hakim. Sehingga mereka dapat
memahami dan mengamalkanya. Instrumen ini berdasarkan kepada Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial pasal (13) poin c bahwa Komisi Yudisial
berhak untuk:
Menetapkan Kode Etik dan atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Segala bentuk pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan hakim
nanti, akan ditentukan oleh Komisi Yudisial dengan berpatokan kode etik yang
telah dibuat ini. Bagaimana mengetahui, menilai, dan mempertimbangkan bahwa
seorang hakim itu tidak lagi menjalankan fungsinya dengan baik maka kode etik
adalah tolak ukurnya. Selama kode etik tidak dilaksanakan dengan baik dan hal
tersebut dapat dibuktikan maka Komisi Yudisial mempunyai dasar untuk
memberikan sanksi. Tidak hanya digunakan untuk kedua hal tadi, kode etik juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
salah satunya dipergunakan untuk dasar pengawasan bagi Mahkamah Agung
untuk mengawasi hakim. Tentu yang dimaksud adalah pengawasan dari internal
Mahkamah Agung. Hal ini merujuk kepada salah satu kode etik yang dibuat
Komisi Yudisial bersama dengan Mahkamah Agung ,yaitu Keputusan Bersama
Ketua Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomo: 047/KMA/SKB/2009
dan Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim. Dimana Keputusan Bersama tersebut dijadikan dasar bagi kedua lembaga
untuk dijadikan pedoman pengawasan.
Instrumen kedua, Pengawasan Hakim. Instrumen ini adalah instrumen
yang paling utama dari Komisi Yudisial. Pengawasan Hakim yang dilakukan
Komisi Yudisal dilakukan dengan cara pemantauan, pemeriksaan, dan usulan
pemberian sanksi kepada Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim.
Dalam melakukan upaya-upaya pengawasan terhadap perilaku hakim baik ketika
saat dinas maupun diluar dinas Komisi Yudisial berpedoman pada kode etik dan
pedoman perilaku hakim. (Pasal 19A Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Hal
penting yang perlu dicatat adalah Komisi Yudisial harus tetap menjaga
kemandirian dan kebebasan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus
perkara juga menjaga kerahasiaan, keterangan atau informasi yang diperoleh dari
pengawasan dan pemantauan. (Pasal 20A ayat (1) poin d Undang-undang Nomor
18 Tahun 2011) Informasi ini bersifat rahasia dan tertutup.
Mekanisme dalam pengawasan dijalankan dengan cara Pertama, Tahap
penerimaan laporan dan informasi terkait dugaan pelanggaran kode etik atau
pedoman perilaku oleh hakim. Komisi Yudisial menerima laporan dari masyarakat
berkaitan dengan pelanggaran kode etik dan atau pedoman perilaku hakim yang
terjadi dan diketahui oleh masyarakat. (Pasal 20 ayat (1) poin b dan Pasal 22 ayat
(1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Laporan dari masyarakat ini bisa
didapat melalui pengaduan secara tertulis baik disampaikan melalui surat biasa
atau melalui jalur online melewati situs resmi Komisi Yudisial. Selain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
mendapatkan laporan dari masyarakat, Komisi Yudisial juga berinisiatif aktif
dalam melakukan pemantauan (pasal 20 ayat (1) poin a Undang-undang Nomor 18
Tahun 2011) dan memperoleh informasi di lapangan, misalnya dengan melakukan
pemantauan dan pengawasan hakim di persidangan atau ketika sedang berdinas.
Kedua, Tahap verifikasi. Berdasarkan keterangan dan informasi yang
diperoleh, Komisi Yudisial melakukan verifikasi, klarifikasi dan investigasi
terhadap laporan dugaan pelanggaran kode etik dan atau pedoman perilaku hakim.
Proses pemeriksaan ini dilaksanakan secara tertutup. (Pasal 20 ayat (1) poin c
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Sebelum melakukan pemeriksaan,
Komisi Yudisial memverifikasi terlebih dahulu dari laporan yang diterima
sebelum diproses lebih lanjut apakah termasuk laporan pelanggaran atau tidak.
Ketiga, Tahap pemeriksaan. Proses selanjutnya adalah pemeriksaan
dengan cara melakukan pemanggilan hakim yang bersangkutan untuk dimintai
keterangan. Hakim yang dipanggil akan menjalani proses pemeriksaan
berdasarkan informasi yang telah didapat. Setiap pemeriksaan yang dilakukan
wajib disertai dengan berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim
dan juga Komisi Yudisial. (Pasal 22B ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun
2011) Hakim dalam proses ini diberi kesempatan untuk memberikan klarifikasi
terlebih dahulu. Apakah benar dia telah melakukan tindakan yang diduga
melanggar kode etik. Waktu yang diberikan adalah 14 hari bagi Hakim tersebut
semenjak adanya pemanggilan dari Komisi Yudisial. (Pasal 22B ayat (1) poin b
dan Pasal 22B ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) Selain memanggil
dan meminta keterangan kepada hakim, Komisi Yudisial juga memanggil dan
meminta keterangan kepada Saksi. Pemanggilan terhadap saksi dapat dilakukan
dengan paksa apabila ternyata saksi tidak berkehendak untuk menghadiri
panggilan. Begitu juga Badan Peradilan dapat dimintai untuk memberikan
keterangan terkait adanya pelanggaran hakim yang bersangkutan. Setiap informasi
dan keterangan yang didapat dari pencarian data yang dilakukan oleh Komisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Yudisia bersifat rahasia dan tertutup. (Pasal 20A ayat (1) poin c Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2011)
Dalam upaya pengawasan bagi Komisi Yudisial, Undang-undang Nomor.
18 Tahun 2011 mengatur tentang batasan waktu bagi hakim atau Badan peradilan
dalam memberikan keterangan informasi dan data yang diminta untuk kepentingan
pemeriksaan. Waktu yang diberikan adalah selama 14 hari sejak Komisi Yudisial
memberikan permintaan kepada mereka, Namun apabila terjadi penolakan atau
tidak memberikan keterangan selama waktu yang telah ditentukan. Maka Komisi
Yudisial dapat meminta kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung yang
nantinya meminta kepada hakim dan badan peradilan tersebut untuk memberikan
keterangan. Waktu yang diberikan selama 14 hari sejak Mahkamah Agung
menerima permintaan dari Komisi Yudisial. Jika ternyata dalam tempo waktu 14
hari hakim dan badan peradilan yang bersangkutan tetap tidak memberikan
keterangan maka Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi kepada mereka. (Pasal 22
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)
Sebagai tambahan untuk menunjang perolehan keterangan yang akurat
Komisi Yudisial dapat meminta bantuan dalam hal ini berkoordinasi dengan aparat
penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan untuk
memperoleh data dan keterangan berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran
kode etik dan atau pedoman perilaku hakim oleh hakim. Bahkan aparat penegak
hukum dalam hal ini meliputi kepolisian wajib menindak lanjuti permintaan
Komisi Yudisial sebagaimana yang dimaksud. (Pasal 30 ayat (3) dan (4) Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2011) selain itu Komisi Yudisial juga diberi wewenang
mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan,
kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran
martabat hakim. Artinya jika ada usaha untuk mencemarkan hakim maka Komisi
Yudisial harus bertindak. (Pasal 20 ayat (1) poin e Undang-undang Nomor 18
Tahun 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Keempat, Kesimpulan Pemeriksaan. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas
dugaan pelanggaran Kode Etik dan atau Perilaku Hakim yang telah dilakukan.
Komisi Yudisial menyimpulkan hasil pengawasan dengan mengeluarkan sebuah
keputusan. Sifat dari keputusan ini berupa usulan. Usulan yang akan disampaikan
kepada Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim dan kemudian
dilaksanakan penjatuhan sanksinya oleh Mahkamah Agung. Adapun hasil
keputusan itu terdiri dari dua jenis: terbukti dan tidak terbukti.
1. Bagan Proses Pengawasan Hakim Sumber: Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Informasi dugaan
pelanggaran
Laporan dari
Masyarakat Komisi Yudisial
Pemanggilan dan Meminta Keterangan
Verfikiasi Laporan
Pemeriksaan
Dugaan Pelanggaran
Terbukti
Dugaan Pelanggaran
Tidak Terbukti
Badan Peradilan
Kesimpulan Pemeriksaan
Hakim Saksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Jika hasil pemeriksaan dinyatakan terbukti, Maka Komisi Yudisial
menindaklanjutinya dengan memberikan usulan berupa penjatuhan sanksi terhadap
hakim yang diduga melakukan pelanggaran tersebut. Usulan ini ditujukan kepada
Mahkamah Agung (Pasal 22D ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)
dan Majelis Kehormatan Hakim. (Pasal 22F ayat (1) Undang-undang Nomor 18
Tahun 2011) Sanksinya terdiri dari tiga tingkatan yaitu: sanksi ringan, sanksi
sedang, dan sanksi berat. Disetiap tingkatan tersebut terdapat beberapa jenis sanksi
yang berbeda-beda. Sanksi ringan terdiri dari: Teguran lisan, Teguran tertulis, dan
Pernyataan tidak puas secara tertulis. Sanksi sedang terdiri dari: Penundaan
kenaikan gaji berkala paling lama selama satu tahun, Penurunang gaji sebesar satu
kali kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun, Penundaan kenaikan pangkat
paling lama satu tahun dan hakim non palu paling lama enam bulan. Sanksi berat
terdiri dari: Pembebasan dari jabatan struktural, hakim non palu lebih dari enam
bulan sampai dengan dua tahun, Pemberhentian sementara, Pemberhentian tetap
dengan hak pensiun dan Pemberhentian tetap dengan tidak hormat. (Pasal 22D
ayat (1) huruf a, b, dan c Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)
Semua sanksi tersebut terkecuali sanksi berat berupa pemberhentian tetap
dengan hak pensiun dan pemberhentian tetap dengan tidak hormat ditujukan
kepada Mahkamah Agung. Yang berhak untuk menjatuhkan sanksi adalah
Mahkamah Agung, sementara Komisi Yudisial hanya sebatas mengajukan usulan.
Namun terdapat beberapa ketentuan untuk memberikan ruang agar usulan Komisi
Yudisial tersebut bisa berjalan dan ditindaklanjuti. Sehingga tidak berhenti saja di
tangan Mahkamah Agung. Jika tidak terdapat perbedaan pendapat antara
Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial mengenai usulan yang diajukan, Maka
sanksi tersebut berlaku secara otomatis dan wajib bagi Mahkamah Agung untuk
melaksanakanya. Dalam hal ini dalam waktu 60 hari secara usulan diterima. (Pasal
22E ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
2. Tabel Sanksi Untuk Hakim
Sanksi Ringan Sanksi Sedang Sanksi Berat
- Teguran lisan.
- Teguran tertulis.
- Pernyataan tidak
puas secara tertulis.
- Penundaan kenaikan gaji berkala
paling lama selama satu tahun.
- Penurunang gaji sebesar satu
kali kenaikan gaji berkala paling
lama satu tahun.
-Penundaan kenaikan pangkat
paling lama satu tahun.
-Hakim non palu paling lama
enam bulan.
-Pembebasan dari
jabatan struktural.
-Hakim non palu lebih
dari enam bulan sampai
dengan dua tahun.
-Pemberhentian
sementara.
- Pemberhentian tetap
dengan hak pensiun.
- Pemberhentian tetap
dengan tidak hormat.
Sumber: Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Jika terdapat perbedaan pendapat antara Mahkamah Agung dengan
Komisi Yudisial mengenai usulan yang diajukan. Maka dilakukan pemeriksaan
bersama antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial terhadap hakim yang
yang bersangkutan. (Pasal 22E ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)
Namun apabila dalam waktu 60 hari sejak diterimanya usulan kepada Mahkamah
Agung, ternyata tidak ada kata sepakat. Maka usulan tersebut tetap wajib dan
otomatis dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Tetapi dengan syarat hasil usulan
tersebut memang sudah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang-
undang dalam hal pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran kode etik atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
pedoman perilaku hakim. (Pasal 22E ayat (3) Undang-undang Nomor 18 Tahun
2011) Khusus bagi sanksi berat yang berupa pemberhentian tetap dengan hak
pensiun dan pemberhentian tetap dengan tidak hormat. Komisi Yudisial
mengajukan usulan sanksi tersebut melalui Majelis Kehormatan Hakim. (Pasal
22F ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)
Majelis Kehormatan Hakim adalah perangkat yang dibentuk antara
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang bertugas memeriksa dan memutus
adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan atau Pedoman Perilaku Hakim (Pasal 1
ayat (7) dan pasal 22F ayat (3) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011) yang
terdiri dari empat perwakilan dari Komisi Yudisial dan tiga perwakilan dari
Mahkamah Agung. (Pasal 22F ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011).
Majelis ini memiliki mekanisme musyawarah mufakat untuk mengambil
keputusan, namun jika tidak tercapai sepakat terdapat mekanisme pengambilan
suara terbanyak. (Pasal 22F ayat (4) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)
Majelis mempunyai waktu 60 hari sejak diterimanya usulan untuk
memeriksa dan memutus usulan yang diajukan oleh Komisi Yudisial. Hasil dari
keputusan Majelis Kehormatan Hakim nantinya harus dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung. (Pasal 22F ayat (3) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)
Pelaksanaan tersebut terhitung sejak 30 hari diucapkanya keputusan oleh Majelis
Kehormatan Hakim. (Pasal 22F ayat (5) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)
Jika ternyata hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dinyatakan
tidak terbukti. Maka Majelis Kehormatan Hakim menyatakan bahwa dugaan
pelanggaran tidak terbukti dan juga memulihkan nama baik hakim yang
bersangkutan. (Pasal 22G Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
3. Proses Penjatuhan Sanksi Bagi Hakim Sumber: Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
USULAN SANKSI dari KY
Sanksi ringan, sedang, dan berat (kecuali
pemberhentian tetap)
Sanksi pemberhentian tetap.
Mahkamah Agung
Majelis Kehormatan Hakim
Tidak ada perbedaan pendapat
Ada perbedaan pendapat
Keputusan MKH
DILAKSANAKAN OLEH MAHKAMAH
AGUNG
Pemeriksaan bersama
dengan KY
60 Hari
60 Hari
30 Hari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial akan dilaksanakan oleh
perangkat-perangkat khusus yang terdapat di dalam struktur organisasinya.
Perangkat khusus yang berwenang menjalankan fungsi pengawasan dilakukan oleh
dua perangkat yaitu Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi, dan Bidang
Pencegahan dan Layanan Masyarakat. Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 tahun
2011 tentang Wewenang dan Tugas Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Bidang
Komisi Yudisial menjabarkan mengenai fungsi pengawasan yang akan
dilaksanakan oleh kedua bidang tersebut.
Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi adalah bidang khusus yang
melaksanakan program pengawasan langsung kepada hakim dalam melaksanakan
tugas-tugas keseharianya baik di lingkungan dinas maupun diluar kedinasan.
Secara umum Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi yang memiliki fungsi
dan wewenang sebagai berikut:
a. Pengawasan hakim yang meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim dalam rangka menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim dan pengamatan perilaku hakim baik
secara langsung maupun tidak langsung.
b. Investigasi hakim yang meliputi pengusulan penetapan anggota sidang panel
untuk pemeriksaan perkara kepada Wakil Ketua Komisi Yudisial, penetapan
jadwal pemeriksaan, pemanggilan hakim terlapor, mengundang pelapor dan
pihak-pihak yang diperlukan untuk dimintai keterangan, pemeriksaan hakim,
pengiriman rekomendasi, dan investigasi dalam rangka pengawasan hakim,
c. Penanganan laporan yang meliputi penerimaan laporan masyarakat,
penerimaan audiensi terkait laporan masyarakat, proses penelitian berkas
laporan masyarakat, dan pengiriman hasil rekapitulasi perilaku hakim
berdasarkan laporan masyarakat.
d. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penanganan serta investigasi hakim yang
meliputi monitoring tindak lanjut rekomendasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Bidang Pencegahan dan Layanan Masyarakat adalah salah satu bidang
khusus di Komisi Yudisial yang melakukan pengawasan dengan cara pencegahan
dan tindakan preventif. Upaya yang dilakukan juga melibatkan partisipasi dan
pelayanan kepada masyarakat untuk memberikan pendidikan serta pencegahan
yang sifatnya jangka panjang. Kewenangan bidang ini secara umum adalah
sebagai berikut:
a. Upaya pencegahan terhadap pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku
hakim yang meliputi kegiatan diseminasi tentang kewenangan dan kelembagaan
Komisi Yudisial serta kode etik dan pedoman perilaku hakim, kegiatan
peningkatan kemampuan teknis yudisial dalam rangka menjaga kehormatan,
keluruhan martabat serta perilaku hakim, permintaan laporan berkala dari badan
peradilan, dan mengkoordinasikan kegiatan pemantauan persidangan.
b. Layanan masyarakat dalam rangka layanan informasi dan peningkatan
partisipasi publik yang meliputi kegiatan penyusunan laporan tahunan,
penyediaan akses informasi untuk masyarakat dalam rangka transparansi dan
akuntabilitas.
c. Sosialisasi peran, fungsi, dan kewenangan Komisi Yudisial yang meliputi
kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
Jadi Komisi Yudisial memiliki dua instrumen penting dalam menjalankan
fungsi pengawasanya yaitu menetapkan kode etik dan pengawasan hakim. Kedua
instrumen tersebut didukung dengan alat kelengkapan berupa bidang khusus yang
terdapat dalam struktur organisasi Komisi Yudisial. Kedua bidang tersebut adalah
bidang pengawasan dan investigasi hakim sebagai pelaksana pengawasan secara
langsung dan bidang pencegahan dan layanan masyarakat sebagai pelaksana
pencegahan dan pemberdayaan masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
2. Metode Pengawasan
Komisi Yudisial dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
serta menjaga perilaku hakim (Pasal 24B ayat (1) UUD 1945), melakukan
pengawasan terhadap hakim dimana akan menghasilkan dua hal yaitu pengawasan
preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif dibagi menjadi dua yaitu
yang bersifat positif dan negatif. Sedangkan pengawasan represif juga dibagi
menjadi dua yaitu positif dan negatif.
Pengawasan preventif meliputi pengawasan yang dilakukan Komisi
Yudisial ketika hakim menjalankan tugas-tugasnya maupun ketika diluar tugasnya
secara umum. Hal ini ditafsirkan dari kata “menjaga” perilaku hakim. Menjaga
berarti memiliki makna melakukan pencegahan. Pengawasan ini mengacu dan
berpedoman kode etik atau pedoman perilaku hakim. Pengawasan preventif yang
sifatnya positif adalah dengan memberikan dan mengusahakan upaya-upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan para hakim dan juga kapasitas hakim. (Pasal 20 ayat
(2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011)
Sedangkan Pengawasan preventif yang sifatnya negatif adalah
pengawasan Komisi Yudisial secara langsung maupun tidak langsung kepada
Hakim. Dalam bentuk secara tidak langsung pengawasan meliputi penerimaan
laporan masyarakat tentang adanya hakim yang diketahui telah melakukan dugaan
pelanggaran kode etik. Sedangkan secara langsung meliputi upaya Komisi
Yudisial mengawasi hakim secara langsung di lapangan seperti memantau di
dalam proses persidangan atau dalam bentuk pengawasan lain.
Metode pengawasan represif dilakukan Komisi Yudisial dengan
melakukan upaya dan proses pemeriksaan apabila terjadi pelanggaran yang
dilakukan oleh hakim. Pengawasan ini dalam rangka menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kata “menegakkan” dapat ditafsirkan
sebagai upaya agar hukum atau aturan dapat ditaati atau dipatuhi dengan ancaman
sanksi apabila aturan tersebut dilanggar. Pengawasan represif negatif dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
jika ada hakim yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik atau pedoman
perilaku hakim Komisi Yudisial melakukan upaya-upaya pemeriksaan dan
berujung kepada penjatuhan sanksi apabila ternyata terbukti.
Sedangkan Pengawasan represif yang sifatnya positif adalah upaya-upaya
hukum yang dilakukan oleh Komisi Yudisial apabila ada pihak-pihak seperti
perseorangan, badan hukum, atau kelompok yang merendahkan kehormatan dan
keluhuran martabat hakim. (Pasal 20 ayat (1) poin e Undang-undang Nomor 18
Tahun 2011) Komisi Yudisial memiliki kewajiban untuk menjaga tidak hanya dari
sikap dan perilaku tetapi juga menjaga dari upaya dari luar yang ingin merusak
kehormatan dan keluhuran serta martabat hakim.
3. Mekanisme Pengajuan Laporan
Setiap laporan atau informasi yang diberikan oleh masyarakat tentang
adanya pelanggaran hakim dapat disampaikan ke Komisi Yudisial melalui surat
tertulis yang bisa langsung dikirim ke alamat kantor. Selain itu sebagai salah satu
lembaga modern Komisi Yudisal juga dilengkapi sistem pengaduan online atau
melalui internet sistem pengaduan laporan masyarakat ini dikembangkan melalui
aplikasi yang berbasis web. Untuk mengakses aplikasi ini dibutuhkan web
browser.
Aplikasi pengaduan online ini mengandung pengertian bahwa aplikasi
perangkat lunak ini terhubung dengan jaringan internet dengan harapan
masyarakat dapat dengan mudah memberikan pengaduan dari mana dan kapan saja
tanpa terhambat masalah waktu dan geografis. Aplikasi pengaduan online
dibangun dan dikembangkan dengan tujuan untuk memfasilitasi masyarakat
pelapor dari seluruh lapisan untuk mengadukan perlakuan tidak adil yang dialami
yang dilakukan oleh pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman atau untuk
mengadukan perilaku hakim yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku
hakim. (Laporan Tahunan Komisi Yudisial tahun 2010, 2010: 49)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Cara pengaduan online cukup dengan mengakses situs Komisi Yudisial
yang beralamat di www.komisiyudisal.go.id. Disitu akan ditemui link yang
berjudul “Pengaduan Online”. Melalui link tersebut Pengadu dapat mendaftar
dengan mengisi form pendaftaran yang tersedia. Setelah mengisi form pendaftaran
, pengadu memperoleh username dan password yang akan digunakan untuk login.
Setelah login pengadu dapat mengakses form pengaduan. Disini pengadu dapat
mengisi form pengaduan dan setelah selesai cukup klik kirim. Maka pengaduan
diterima ke Komisi Yudisial. Setelah selesai dalam pengisian data, cetak dokumen
tersebut sebagai tanda bukti pengiriman. Kemudian menyerahkan bukti pengaduan
online, dokumen pengaduan asli dan dokumen pendukung kepada Komisi Yudisial
melalui Loket Pengaduan dalam tenggang waktu 14 hari kerja setelah pengaduan
online. Jika tidak dipenuhi selama 14 hati maka pengaduan yang diajukan dengan
sendirinya akan terhapus.
4. Bagan Alur Pengaduan Online Sumber: http://www.komisiyudisial.go.id
Mengakses situs Komisi Yudisial : www.komisiyudisial.go.id
Mengakses Pengaduan Online dan Pilih Pendaftaran
Mengisi Fromulir Pendaftaran (untuk mendapatkan username dan password)
Login dengan Username dan Password
Mengisi Formulir Pengaduan dan klik KIRIM
Menyerahkan bukti pengaduan online secara tertulis dalam waktu 14 hari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Laporan pengaduan yang disampaikan baik melalui cara biasa atau online
harus memenuhi syarat yang telah ditentukan. Setidaknya laporan pengaduan yang
diajukan oleh pelapor atau kuasanya yang mendapat kuasa khusus harus berbentuk
tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan melengkapi syarat-syarat:
a. Identitas pelapor yang lengkap, meliputi: nama, alamat, pekerjaan, Nomor
telepon disertai dengan KTP pelapor. Jika pelapor bertindak selaku kuasa,
disertai dengan surat kuasa khusus melaporkan pengaduan ke Komisi Yudisial
RI.
b. Identitas terlapor (hakim) secara jelas, meliputi Nama, jabatan, alamat instansi,
nomor perkara (jika terkait perkara di Pengadilan)
c. Uraian mengenai hal yang menjadi dasar laporan, yang meliputi alasan
laporan diuraikan secara jelas dan rinci disertai alat bukti yang diperlukan (copy
salinan sah putusan atau penetapan yang telah dilegalisir Pengadilan, surat-surat
bukti, saksi dan lain-lain) dan hal-hal yang dimohonkan untuk diperiksa dalam
laporan dimaksud.
d. Bukti-bukti pendukung, meliputi:
1) Dalam hal terlapor hakim Pengadilan Tingkat Pertama, melampirkan copy
putusan pengadilan tersebut;
2) Dalam hal terlapor hakim Pengadilan Tingkat Banding, melampirkan copy
putusan pengadilan pertama dan putusan pengadilan tinggi;
3) Dalam hal terlapor hakim agung (kasasi), melampirkan copy putusan
pengadilan pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (kasasi);
4) Dalam hal terlapor hakim agung (peninjauan kembali), melampirkan copy
putusan pengadilan pertama, pengadilan tinggi, kasasi dan peninjauan
kembali;
5) Jika laporan terkait eksekusi harus melampirkan copy salinan putusan yang
terkait dengan eksekusi tersebut, surat permohonan eksekusi (bagi
pelapornya pemohon eksekusi), Copy surat penetapan eksekusi, Copy surat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
teguran (aanmaning), Copy berita acara pelaksanaan eksekusi, Copy berita
acara sita eksekusi, Laporan pengaduan ditandatangani oleh pelapor atau
kuasanya.
(http://komisiyudisial.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=
2188&Itemid=197&lang=in)
Berdasarkan data yang diperoleh melalui Laporan Pertanggungjawaban
Tahunan Komisi Yudisial tahun 2005-2010 jumlah pengguna sistem pengaduan
online sejak tahun 2010 hingga 2011 mencapai 69 pengaduan. Dengan rincian
tahun 2010 sebesar 28 dan tahun 2011 mencapai sebesar 41 pengaduan.
Sedangkan data jumlah pengaduan melalui jalur biasa dari tahun 2005 hingga
tahun 2011 mencapai sebesar 1527 pengaduan. Rincianya adalah tahun 2005
sebesar 308 pengaduan, 2006 sebesar 482 pengaduan, 2007 sebesar 549
pengaduan, 2008 sebesar 639 pengaduan 619 pengaduan, 2009 sebesar 1360
pengaduan, 2010 sebesar, 2011 sebesar 1527 pengaduan. Terlihat bahwa jumlah
pengaduan melalui sistem online lebih sedikit jumlahnya daripada melalui jalur
biasa.
4. Hasil dari Pengawasan
Hasil dari mekanisme pengawasan yang telah dijelaskan diatas Komisi
Yudisial bersama dengan Mahkamah Agung telah menjatuhkan sanksi ke beberapa
hakim. Data diperoleh melalui Laporan Pertanggungjawaban Tahunan Komisi
Yudisial periode 2005 sampai 2010 adalah bahwa:
Terdapat 97 hakim yang direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi kepada
Mahkamah Agung dengan rincian sebanyak 45 hakim direkomendasikan untuk
dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis. 36 hakim direkomendasikan sanksi
pemberhentian sementara dari jabatan hakim yang lamanya mulai dari 6 bulan
sampai dengan 2 tahun. Sedangkan sisanya sebanyak 16 orang direkomendasikan
untuk dijatuhi sanksi pemberhentian tetap dari jabatan hakim.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
97 hakim tersebut dilihat dari tingkat pengadilanya, Sebanyak 83 hakim
berasal dari tingkat pertama dan 14 hakim berasal dari hakim tingkat banding.
Sedangkan bila dilihat dari jenis pengadilanya, Sebanyak 74 hakim berasal dari
peradilan umum tingkat banding, 3 hakim berasal dari pengadilan hubungan
industrial, 2 orang hakim dari pengadilan agama, 2 orang hakim dari pengadilan
tipikor dan 2 hakim dari pengadilan tata usaha negara.
Jenis-jenis pelanggaran yang dilakukan 97 hakim tersebut dibagi menjadi
dua kelompok yaitu sebelum dan sesudah adanya Surat Kesepakatan Bersama
(SKB) Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim antara Mahkamah Agung
dengan Komisi Yudisial. Sebelum adanya SKB hakim dinyatakan: Tidak
profesional 17 hakim, Tidak berdisiplin tinggi 13 hakim, Melanggar sikap
berperilaku Jujur 5 hakim, dan Melanggar sikap berperilaku adil 5 hakim. Setelah
adanya SKB hakim yang dinyatakan Tidak berperilaku adil sejumlah 8 hakim,
Tidak berperilaku jujur 16 hakim, Tidak berperilaku arif dan bijaksana 1 hakim,
Tidak berintegritas tinggi 13 hakim, Tidak bertanggungjawab 3 orang, Tidak
menjunjung ringgi harga diri 3 hakim, Tidak berdisiplin tinggi 51 hakim dan Tidak
bersikap profesional 68 hakim. Dari data tersebut satu orang hakim dapat
melakukan lebih dari satu macam pelanggaran.
Sedangkan untuk hakim yang direkomendasikan melalui Majelis
Kehormatan Hakim berjumlah 3 orang yang diajukan oleh Komisi Yudisial.
Sedangkan ada 5 hakim yang diajukan sendiri oleh Mahkamah Agung. Sejak
pertama kali dibentuk Majelis Kehormatan Hakim telah melakukan sidang selama
8 kali dengan mengeluarkan putusan 5 pemberhentian tetap dengan tidak hormat
dan sisanya tidak bersidang selama lebih dari dua tahun dan dimutasikan. Untuk
sanksi mutasi dan pemberhentian sementara tidak berlaku lagi karena sudah diatur
berebeda dengan munculnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
A. Implikasi Pengawasan Terhadap Prinsip Kekuasaan Kehakiman yang
Merdeka.
1. Implikasi Yuridis
Kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti kuasa untuk menjalankan
fungsi yudisial seperti menyelenggarakan peradilan dan memutus suatu perkara
dengan bebas tekanan maupun intervensi. Seperti yang telah dijelaskan di bab
sebelumnya. Kebebasan atau kemerdekaan itu meliputi hakim secara individu
maupun kelembagaan. Keduanya juga ditopang dengan prinsip penting bahwa
kekuasaan kehakiman harus bebas dan tidak memihak kepada siapapun
(impartiality) ketika memutus sebuah perkara serta bebas dari campur tangan dari
kepentingan luar (political insularity). Prinsip tersebut menjadi sangat penting
untuk menjaga agar sebuah keputusan pengadilan dapat dinilai sebagai keputusan
yang mampu memberikan rasa keadilan bagi para pihak. Tanpa adanya kebebasan
dan kemandirian sebuah keputusan hakim akan sangat rentan sekali pengaruh
kepentingan asing. Sehingga hasil keputusanya pun diragukan keabsahanya. Jadi
mutlak adanya bahwa kekuasaan kehakiman mempunyai perlindungan yuridis
untuk menjaga agar mereka tetap dalam relnya yaitu independen atau merdeka.
Hukum positif Indonesia menjamin bahwa kekuasaan kehakiman dan
hakim selaku subyek yang menjalankan pilar tersebut merupakan pihak yang
memiliki hak konstitusional sebagai lembaga yang independen. Konsitusi dengan
tegas mengatur dalam bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 24 ayat (1)
bahwa :
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Apa yang tercantum diatas menunjukan bahwa hakim memiliki hak
konsitusional sebagai subyek yang mampu menjalankan sebuah proses peradilan
dengan merdeka dengan tujuan agar hukum dan keadilan dapat ditegakkan.
Mandat dalam konstitusi tersebut juga menunjukan bahwa hakim memang secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
nyata adalah subyek yang bebas dalam menjalankan fungsinya tetapi dengan
dengan batasan untuk mencapai hukum dan keadilan. Selain itu, di dalam beberapa
peraturan perundang-undangan hakim juga memiliki jaminan yuridis bahwa
mereka mendapat perlindungan agar tetap independen.
Sebagaimana tercantum dalam konsitusi di dalam Undang-undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kehakiman pasal (3) ayat (1) dan (2) diatur mengenai
jaminan kemerdekaan dan kebebasan hakim:
(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan Hakim Konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun jaminan
tersebut tentu tidak berarti, jika tanpa adanya upaya pengawasan. Apa yang
dijelaskan di bab sebelumnya bahwa prinsip independensi dengan akuntabilitas
merupakan dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan. Kebebasan dalam sebuah
peradilan harus juga dibarengi dengan pertanggungjawaban yang benar dan
terbuka. Tanpa adanya pertanggunjawaban maka kebebasan akan digunakan tanpa
kontrol dan menjadi sewenang-wenang. Akibatnya esensi dari kebebasan untuk
mencapai keadilan justru disalah artikan.
Maka Komisi Yudisial dengan perangkat pengawasan yang telah
dijelaskan di bab sebelumnya, melakukan pengawasan terhadap kekuasaan
kehakiman dalam ranah etika. Pengawasan dalam ranah etika berarti mengawasi
dalam konteks tata perilaku dan bukan kepada bidang teknis yudisial. Pengawasan
ini berpatokan dengan kode etik atau pedoman perilaku hakim yang didalamnya
terdapat berbagai macam ketentuan mengenai tata perilaku hakim. Pengawasan ini
berjalan dengan pengawasan teknis yudisial yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memegang kewenangan tertinggi di bidang
pengawasan atas peradilan dan tingkah laku hakim dalam menjalankan tugas di
seluruh tingkatan peradilan. Aspek yang diawasi oleh Mahkamah Agung biasa
disebut sebagai aspek teknis yudisial. Dalam melakukan kewenangannya,
Mahkamah Agung dapat melakukan tindakan-tindakan seperti meminta
keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan, memberi
petunjuk, teguran atau peringatan yang dianggap perlu, dan lain-lain. (Ahsin
Thohari, 2004: 30) Jadi Komisi Yudisial mengawasi perilaku sedangkan
Mahkamah Agung mengawasi substansi perkara.
Hal penting yang perlu diketahui bahwa Komisi Yudisial dalam
menjalankan pengawasan perilaku tersebut memiliki batasan yang sangat jelas
yaitu dijelaskan dalam pasal 20A ayat (1) poin d Undang-undang Nomor 18 Tahun
2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 22 tentang Komisi Yudisial
bahwa:
Komisi Yudisial wajib: menjaga kemandirian dan kebebasan Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Dua hal penting yang tertulis disana adalah Komisi Yudisial harus
menjaga kemandirian dalam hal ini adalah jangan sampai Komisi Yudisial justru
mempengaruhi kemandirian hakim dalam memeriksa perkara. Kewenangan untuk
memeriksa perkara adalah milik hakim. Disitulah esensi dari kemandirian seorang
hakim. Pengawasan yang justru mengganggu kemandirian hakim adalah
berbahaya. Hakim misal jadi merasa tertekan, takut, atau merasa terlalu diawasi
oleh Komisi Yudisial. Karena muncul intervensi berlebihan yang dilakukan oleh
Komisi Yudisial terhadap kebebasan hakim. Hal ini tentu tidak tepat apabila hakim
memang memiliki prinsip political insularity atau kemandirian tanpa adanya
intervensi darimanapaun. Secara pribadi dia tidak boleh terlalu diawasi dalam hal
memeriksa perkara .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Kewenangan Komisi Yudisial tentu hanya sebatas perilaku hakim dalam
menjalankan tugasnya. Bahkan pengawasan tersebut berpatokan atas kode etik
yang telah ditetapkan. Namun Komisi Yudisial tetap dapat melakukan pengawasan
perilaku hakim ketika menjalankan proses persidangan. Pada waktu itulah dapat
dilaksanakan proses pemantauan dalam persidangan. Pemantauan ini bertujuan
untuk mendapatkan sebuah persidangan yang fair (fair trial). Komisi Yudisal
dapat mengawasi misalnya sikap hakim dalam mentaati tata tertib persidangan.
Apakah dia mampu bekerja profesional atau tidak . Misalnya apakah hakim dapat
menjalankan sidang sesuai waktu yang ditentukan. Tepat waktu dan disiplin sesuai
ketentuan yang telah dibuat.
Hanya muncul problematika dengan adanya boleh tidaknya keputusan
pengadilan yang dikeluarkan oleh hakim diperiksa oleh Komisi Yudisial. Apakah
pemeriksaan putusan menjadi sebuah bentuk intevensi Komisi Yudisial terhadap
kemandirian dan kebebasan hakim. Secara yuridis pengawasan Komisi Yudisial
terhadap sebuah putusan yang sifatnya mengikat tentu tidak berpengaruh dan tidak
dapat merubahn isinya. Putusan hakim hanya bisa dirubah dengan mekanisme
hukum yang telah ditetapkan. Seperti banding, kasasi atau peninjauan kembali.
Selain itu terdapat asas res judicata pro veritatae habiteur yaitu putusan
hakim dianggap benar. Apapun hasil keputusanya keputusan hakim dianggap
benar dan tidak salah. Sehingga hasil tersebut tidak bisa dirubah-rubah lagi. Jika
putusan hakim dapat dirubah tanpa mekanisme hukum yang jelas berarti sama saja
putusan tidak memiliki kepastian hukum yang justru akan mencederai rasa
keadilan. Terlebih putusan hakim adalah termasuk wilayah teknis yudisial.
Sedangkan pengawsaan Komisi Yudisial hanya terbatas kepada perilaku dan etika
hakim. Putusan bukan masuk wilayah perilaku tetapi wilayah yudisial. Wilayah ini
merupakan tanggung jawab Mahkamah Agung selaku lembaga yang mengawasi
teknis yudisial dari lembaga peradilan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Sedangkan jika dicermati Komisi Yudisial tentu dapat melakukan
pengawasan terhadap putusan hakim. Bukan terhadap substansi atau yudex factie
dalam putusan tersebut. Tetapi lebih kepada perilaku atau sikap hakim dalam
memeriksa dan memutus sebuah perkara apakah sudah profesional ataukah tidak.
Jika hakim tidak mentaati prosedur persidangan dengan misalnya secara sengaja
mengabaikan keterangan saksi atau mengabaikan bukti yang secara jelas bisa
menjadi pertimbangan, maka Komisi Yudisial dapat menilai hal tersebut sebagai
bentuk pelanggaran kode etik. Karena hakim dinilai tidak profesional dengan
mengabaikan prinsip-prinsip dalam sebuah proses peradilan yang fair. Pedoman
atau dasar Komisi Yudisial tentu dengan menilai hasil keputusan hakim tersebut
atau sering disebut dengan istialah eksaminasi.
Sirajuddin menjelaskan bahwa proses eksaminasi terhadap putusan hakim
bukanlah bertujuan untuk mencari dampak hukum (legal impact) tetapi lebih
kepada dampak moral (moral impact) sebagai bentuk kontrol publik terhadap
putusan. (Sirajuddin, 2004: 144) Artinya dampak secara moral adalah tujuanya
agar para aparat, pihak, atau siapapun yang terlibat dalam sebuah persidangan
mengetahui untuk tetap mentaati kepada prosedur-prosedur beracara yang telah
ditetapkan.
Apa yang dilakukan Komisi Yudisial dengan mengawasi sebuah putusan
akan menjadi langkah awal dicetuskannya istilah eksaminasi putusan dalam dunia
peradilan di Indonesia. Untuk saat ini langkah Komisi Yudisial hanya sebatas
mengawasi putusan tersebut dan menghasilkan keputusan berupa rekomendasi.
Tentu saja rekomendasi itu akan berujung di Mahkamah Agung. Disitulah letak
kelemahannya. Besar kemungkinan Mahkamah Agung akan menilai bahwa
rekomendasi Komisi Yudisial ini akan tidak sesuai dan menjadi perbedaan
pendapat. Karena hal tersebut diluar kewenangan Komisi Yudisial dalam
mengawasi hakim.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Secara yuridis pun belum ada payung hukum untuk mengatur tentang
upaya eksaminasi putusan. Sehingga Komisi Yudisial hanya sebatas menilai
dengan paradigma yang berbeda dengan paradigma Mahkamah Agung. Tanpa
adanya payung hukum yang jelas besar kemungkinan timbul predebatan
berkepanjangan antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung dalam menilai
sebuah pelanggaran hakim di dalam putusan yang dikeluarkan di sidang.
Padahal menurut Ahsin Thohari dasar dibentuknya Komisi Yudisial
adalah untuk menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena
senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di
sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena
setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi
Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan
mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan
dieliminasi. (Ahsin Thohari, 2004: 2) Artinya memang eksaminasi putusan
menjadi sesuatu yang tepat untuk diterapkan dalam rangkan mengawasi hakim di
lembaga peradilan Indonesia.
2. Implikasi Kultural
Pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial pada dasarnya untuk
menjaga perilaku hakim agar menjalankan tugasnya dengan baik. Sebenarnya
pengawasan ini tidak hanya dilakukan oleh Komisi Yudisial bersamaan dengan
Mahkamah Agung saja. Tetapi juga melibatkan masyarakat. Menurut Ahsin
Thohari dibentuknya Komisi Yudisial adalah melakukan monitoring secara
intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan cara melibatkan unsur-unsur
masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring
secara internal saja. (Ahsin Thohari, 2007: 30) Hal ini menunjukan bahwa
dibutuhkan berbagai macam elemen untuk melakukan pengawasan terhadap
lembaga peradilan pada umumnya dan hakim pada khususnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Sedangkan Komisi Yudisial dengan kewenanganya mengawasi hakim
dengan berpatokan kode etik atau pedoman perilaku hakim yang ditetapkan
bersama Mahkamah Agung. Melalui kode etik ini Komisi Yudisial berpegang
kepada prinsip-prinsip umum kode etik hakim yaitu seperti yang disebutkan dalam
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia bersama Ketua
Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:047/KMA/SKB/IV/2009 dan
Nomor:02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim. Terdapat
10 aturan yaitu : (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku jujur, (3) Berperilaku Arif
dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegrasi Tinggi, (6) Bertanggung
Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku
Rendah Hati, (10) Bersikap Professional.
Dalam hal berperilaku adil ada beberapa ketentuan dalam kode etik yang
menunjukkan bahwa hakim ketika menjalankan tugas dinasnya harus bersikap:
menghormati asas praduga tak bersalah dan tanpa mengharapkan imbalan, wajib
tidak memihak, menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pencabutan
haknya untuk mengadili perkara yang bersangkutan. Dilarang memberikan kesan
bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penuntut
dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang
bersangkutan. Dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan,
prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal, dsb. Hal
ini mengindikasikan bahwa hakim dituntut untuk bersikap adil bahkan hingga hal-
hal terkecil. Seperti menunjukan rasa tidak suka maupun tidak suka tidak
diperbolehkan. Sehingga diharapkan hakim dapat memberikan rasa kepercayaan
kepada pencari keadilan di pengadilan.
Kemudian dalam hal berperilaku Jujur disebutkan dalam kode etik bahwa
hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau
yang dapat menimbulkan kesan tercela, Hakim harus memastikan bahwa sikap,
tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta
para pihak berperkara. Sehingga tercermin sikap ketidak berpihakan Hakim dan
lembaga peradilan (impartiality). Artinya hakim memang dituntut untuk benar-
benar manjaga sikapnya agar masyarakat atau pihak-pihak yang berperkara mau
mempercayai adanya keadilan dalam diri hakim.
Selain itu hakim juga dilarang untuk menerima atau menerima hadiah dari
pihak-pihak yang berperkara. Di dalam kode etik diatur bahwa hakim tidak boleh
meminta atau menerima dan harus mencegah suami atau istri hakim, orang tua,
anak, atau anggota keluarga hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji,
hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari:
Advokat, penuntut orang yang sedang diadili, pihak lain yang kemungkinkan kuat
akan diadili, pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan
diadili oleh hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut
dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi hakim dalam
menjalankan tugas peradilannya.
Selain bersikap jujur hakim juga akan diawasi dalam sikap arif dan
bijaksana. Kode etik menjelaskan bahwa hakim dilarang mengadili perkara dimana
anggota keluarga hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang
berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara tersebut,
dilarang mengizinkan tempat kediamannya digunakan oleh seorang anggota suatu
profesi hukum untuk menerima klien atau menerima anggota-anggota lainnya dari
profesi hukum tersebut, wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak ketiga
lainnya, dilarang menggunakan wibawa pengadilan untuk kepentingan pribadi,
keluarga atau pihak ketiga lainnya, dilarang mempergunakan keterangan yang
diperolehnya dalam proses peradilan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan
wewenang dan tugas yudisialnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Dalam hubungan dengan publik atau umum hakim juga dituntut untuk
tidak mengeluarkan pernyataan kepada masyarakat yang dapat mempengaruhi,
menghambat atau mengganggu berlangsungnya proses peradilan yang adil,
independen, dan tidak memihak. Kemudian tidak boleh memberi keterangan atau
pendapat mengenai substansi suatu perkara di luar proses persidangan pengadilan,
baik terhadap perkara yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain dan
hakim yang diberikan tugas resmi oleh Pengadilan dapat menjelaskan kepada
masyarakat tentang prosedur beracara di Pengadilan atau informasi lain yang tidak
berhubungan dengan substansi perkara dari suatu perkara.
Dalam hal berperilaku rendah hati, hakim dituntut untuk berjiwa
pengabdian kepada negara. Hakim harus melaksananakan pekerjaan sebagai
sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan hakim bukan semata-mata sebagai mata
pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan
sebuah amanat yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan
Yang Maha Esa. Popularitas hakim tidak boleh bersikap, bertingkah laku atau
melakukan tindakan mencari popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan dari
siapapun juga.
Integritas merupakan salah satu prinsip yang sangat penting. Hakim
dituntut untuk memiliki sikap integritas yang tinggi. Baik ketika berhubungan
dengan urusan keluarganya sendiri. Kode etik mengatur bahwa hakim dilarang
mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis,
Hakim, Anggota lainnya, Penuntut, Advokat dan Panitera yang menangani perkara
tersebut dan juga hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila hakim itu
memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara,
Penuntut, dan Advokat yang menangani perkara tersebut.
Kemudian dalam konteks pekerjaanya, Hakim dilarang untuk mengadili
suatu perkara apabila pernah mengadili atau menjadi Penuntut, Advokat atau
Panitera dalam perkara tersebut pada persidangan di Pengadilan tingkat yang lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
rendah, dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah menangani hal-hal yang
berhubungan dengan perkara atau dengan para pihak yang akan diadili, saat
menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum menjadi, dilarang mengijinkan
seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa orang tersebut seakan-akan
berada dalam posisi khusus yang dapat mempengaruhi hakim secara tidak wajar
dalam melaksanakan tugas-tugas peradilan, dilarang mengadili suatu perkara yang
salah satu pihaknya adalah organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik
apabila hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam organisasi, kelompok
masyarakat atau partai politik tersebut.
Selain integritas prinsip yang cukup penting adalah profesionalitas.
Karena dengan adanya prinsip ini dalam diri hakim, perkara-perkara di
persidangan dapat diputuskan dengan baik. Dalam penerapanya seperti
dicantumkan dalam kode etik yaitu: Pertama, hakim harus mengambil langkah-
langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik,
Kedua, hakim harus secara tekun melaksanakan tanggung jawab administratif dan
bekerja sama dengan para hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan
administrasi peradilan, Ketiga, hakim wajib mengutamakan tugas yudisialnya
diatas kegiatan yang lain secara profesional. Keempat, hakim wajib menghindari
terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang
dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat
pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili
suatu perkara yang ditanganinya.
Ada beberapa ketentuan penting dalam kode etik tentang pembatasan
pekerjaan bagi seorang hakim. Dalam kode etik diatur bahwa hakim dilarang
menjadi Advokat, atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan perkara. hakim
dilarang bekerja dan menjalankan fungsi sebagai layaknya seorang Advokat,
sebagai arbiter atau mediator dalam kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
jabatan yang secara tegas diperintahkan atau diperbolehkan dalam undang-undang
atau peraturan lain, dan menjabat sebagai eksekutor, administrator atau kuasa
pribadi lainnya, kecuali untuk urusan pribadi anggota keluarga hakim tersebut, dan
hanya diperbolehkan jika kegiatan tersebut secara wajar (reasonable) tidak akan
mempengaruhi pelaksanaan tugasnya.
Selain itu untuk bertindak independen, hakim seperti yang dicantumkan
dalam kode etik harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan bebas dari
pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun
tidak langsung dari pihak manapun, hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak
patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain yang
berpotensi mengancam kemandirian hakim dan badan peradilan dan hakim wajib
berperilaku mandiri guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap badan
peradilan.
Jadi berdasarkan beberapa prinsip yang tercantum dalam kode etik inilah
yang nantinya menjadi dasar acuan bagi Komisi Yudisial dalam melakukan
pengawasan perilaku hakim. Memang secara konseptual pedoman atau kode etik
sudah komperhensif dan menyeluruh. Jika hakim dengan kemauanya sendiri mau
menjalankan itu semua bisa dikatakan lembaga peradilan kita adalah lembaga yang
independen.
Jika dicermati pengawasan hakim dalam konteks perilaku yang dilakukan
Komisi Yudisial ini akan mendorong agar hakim bertindak dengan baik dalam
menyelesaikan perkara di pengadilan. Pengawasan justru akan mendorong hakim
untuk bersikap lebih imparsial dan independen. Semakin diwasai seharusnya
hakim akan bersikap lebih independen dalam menyelesaikan tugasnya. Sikap-
sikap seperti profesional, adil, jujur, dan bersikap mandiri adalah indikasi bahwa
hakim tersebut bersikap independen dalam peradilan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang diuraikan dalam bab hasil penelitian dan pembahasan,
maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut :
1. Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana
dijelaskan diatas memiliki dua instrumen penting yaitu: Membuat kode etik dan
Mengawasi Hakim. Keduanya merupakan instrumen yang dijadikan cara bagi
Komisi Yudisial untuk menjaga agar hakim tetap berada didalam jalurnya yaitu
sesuai apa yang dicita-citakan dalam konstitusi. Hakim dalam menjalankan
fungsi yudisialnya dapat tetap berjalan secara profesional dan bermartabat.
2. Komisi Yudisial dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim melakukan pengawasan terhadap hakim dimana akan
menghasilkan dua hal yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif.
Pengawasan preventif dibagi menjadi dua yaitu yang bersifat positif dan
negatif. Sedangkan pengawasan represif juga dibagi menjadi dua yaitu positif
dan negatif.
3. Setiap laporan atau informasi yang diberikan oleh masyarakat tentang adanya
pelanggaran hakim dapat disampaikan ke Komisi Yudisial melalui surat tertulis
yang bisa langsung dikirim ke alamat kantor. Selain itu sebagai salah satu
lembaga modern Komisi Yudisal juga dilengkapi sistem pengaduan online atau
melalui internet sistem pengaduan laporan masyarakat ini dikembangkan
melalui aplikasi yang berbasis web. Untuk mengakses aplikasi ini dibutuhkan
web browser.
4. Terdapat 97 hakim yang direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi kepada
Mahkamah Agung dengan rincian sebanyak 45 hakim direkomendasikan untuk
dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis dan 36 hakim direkomendasikan sanksi
pemberhentian sementara dari jabatan hakim yang lamanya mulai dari 6 bulan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
sampai dengan 2 tahun. Sedangkan sisanya sebanyak 16 orang
direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi pemberhentian tetap dari jabatan
hakim.
5. Kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti kuasa untuk menjalankan fungsi
yudisial seperti menyelenggarakan peradilan dan memutus suatu perkara
dengan bebas tekanan maupun intervensi. Seperti yang telah dijelaskan di bab
sebelumnya. Kebebasan atau kemerdekaan itu meliputi hakim secara individu
maupun kelembagaan. Keduanya juga ditopang dengan prinsip penting bahwa
kekuasaan kehakiman harus bebas dan tidak memihak kepada siapapun
(impartiality) ketika memutus sebuah perkara serta bebas dari campur tangan
dari kepentingan luar (political insularity).
6. Pengawasan hakim dalam konteks perilaku yang dilakukan Komisi Yudisial ini
akan mendorong agar hakim bertindak dengan baik dalam menyelesaikan
perkara di pengadilan. Pengawasan justru akan mendorong hakim untuk
bersikap lebih imparsial dan independen. Semakin diwasai seharusnya hakim
akan bersikap lebih independen dalam menyelesaikan tugasnya. Sikap-sikap
seperti profesional, adil, jujur, dan bersikap mandiri adalah indikasi bahwa
hakim tersebut bersikap independen dalam peradilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
B. Saran
Berdasarkan atas penelitian yang telah dilakukan terhadap pengawasan
hakim oleh Komisi Yudisial dan implikasi pengawasan tersebut terhadap prinsip
kekuasaan kehakiman yang merdeka, Maka penulis memberikan beberapa saran
yaitu:
1. Pengawasan perilaku hakim mutlak dibutuhkan bagi sebuah negara yang
mengedepankan hukum sebagai panglima dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan di masyarakat. Tanpa ada pengawasan maka hakim
dikhawatirkan akan menjadi bertindak tidak terkontrol dalam menjalankan
fungsi yustisialnya dan melakukan perilaku tidak terpuji yang bertentangan
dengan kode etik.
2. Pengawasan hakim tidak hanya terfokus dalam pengawasan represif yang
sifatnya negatif yaitu seputar investigasi atas dugaan pelanggaran dan proses
penjatuhan sanksi. Pengawasan yang sifatnya preventif positif perlu
ditingkatkan pula. Misalnya dengan peningkatan jumlah gaji yang bertujuan
untuk memperbaiki kesejahteraan hakim. Tujuanya tidak lain adalah untuk
meningkatkan kinerja hakim itu sendiri dalam menjalankan fungsinya. Hakim
menjadi lebih fokus menyelesaikan perkara yang ditangani sehingga hasil
putusan menjadi lebih baik.
3. Perlu segera diatur mengenai peraturan eksaminasi putusan. Komisi Yudisial
agar mampu memberikan pengawasan yang lebih kuat dan ketat terhadap
kinerja hakim dalam mengeluarkan sebuah putusan . Agar hakim dan seluruh
pihak yang berperkara di pengadilan bisa mentaati prosedur peradilan yang
berlaku dengan baik.
4. Perlu peningkatan dalam kapasitas baik kuantitas maupun kualitas dari Komisi
Yudisial dalam menjalankan fungsi pengawasan. Komisi Yudisial tidak hanya
mengawasi hakim-hakim yang berada di satu wilayah saja tetapi mengawasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
hakim di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga peningkatan sumber daya
manusia serta dukungan struktural dan kelembagaan mutlak dibutuhkan.
5. Perlu dukungan dari berbagai pihak untuk meningkatkan upaya pengawasan
terhadap hakim. Tidak hanya dari pihak Komisi Yudisial saja bersama dengan
Mahkamah Agung. Peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga lain non
pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat atau media sangat membantu
dan berperan penting dalam mengawasi perilaku hakim.
6. Semakin dibuat sistem pengawasan yang lebih baik terhadap perilaku hakim
melihat Hakim Mahkamah Konsitusi tidak menjadi obyek pengawasan Komisi
Yudisial. Padahal akan sangat berbahaya jika hakim lepas dari pengawasan
secara etik dari sebuah lembaga yang sifatnya eksternal dan terpisah dari
lembaga yang bersangkutan.
7. Peningkatan sistem peradilan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
untuk mewujudkan hakim yang lebih kompeten dan independen dengan cara
penguatan dalam aspek administratif seperti penggajian, kenaikan pangkat,
penempatan hakim, promosi jabatan, dsb. Sehingga dalam aspek administratif
hakim tidak terkendala masalah dan dapat bekerja lebih fokus.
8. Penguatan sistem peradilan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk
mewujudkan hakim yang lebih kompeten dan berkualitas dengan cara
penguatan dalam aspek substantif seperti pelatihan dan pembekalan yang
terukur dan tercencana bagi hakim, pemberian sanksi yang tegas dan disiplin,
serta pengawasan secara kontinyu. Sehingga dalam aspek substantif hakim
menjadi lebih bagus kualitas sumber daya manusianya dalam menunaikan
tugas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdul Manan. 2007. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian
dalam Sistem Peradilan Islam. Jakarta:Kencana.
Adnan Buyung Nasution. 2007. Arus Pemikiran Konstitusionalisme: Hukum dan
Peradilan. Jakarta:Kata Hasta Pustaka.
A. Ahsin Thohari. 2004. Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan. Jakarta:ELSAM.
Andy Muhammad Asrun. 2004. Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah
Soeharto. Jakarta:ELSAM.
Dahlan Thaib. 2011. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta:Rajawali Pers.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I & II.
Jakarta:Konstitusi Press.
______________. 2009. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Jakarta:Bhuana
Ilmu Populer.
______________. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:Sinar
Grafika.
______________. 2010. Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta:Sinar Grafika.
______________. 2011. Hukum Tata Negara & Pilar-pilar Demokrasi. Jakarta:Sinar
Grafika.
Komisi Yudisial. 2010. Laporan Akhir Periode Komisi Yudisial Republik Indonesia
2005-2010. Jakarta:Komisi Yudisial.
Muchsan. 2007. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta:Liberty.
Ni’matul Huda. 2010. Ilmu Negara. Jakarta:Rajawali Pers .
Peter Mazhmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta:Kencana .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sirajuddin. 2006. Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik. Bandung:Citra Aditya
Bakti.
Soehino. 1998. Ilmu Negara . Jakarta:Liberty.
Taufiqurrohman Syahuri. 2007. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum.
Jakarta:Kencana.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta:Balai Pustaka.
Makalah
Adi Sulistiyono. 2011.”Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka: Sebuah Mitos”.
Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Menggagas Kekuasaan
Kehakiman yang Ideal untuk Indonesia yang diselenggarakan kerjasama
Forum Hakim Progresif Indonesia dengan KSP Principium Fakultas Hukum
UNS Surakarta, pada tanggal 17 Desember 2011.
Andy Hamzah. 2003.”Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman”.
Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional “Penegakan Hukum dalam
Era Pembangunan Berkelanjutan” yang diselenggarakan kerjasama Badan
Pembinaan Hukum Nasional dan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia RI, pada tanggal 14-18 Juli 2003.
Djatmiko A. Husodo. 2007. “Tinjauan Teori Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
Merdeka dan Implementasinya dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009”. Makalah. Disampaikan sebagai bahan perkuliahan Hukum Konstitusi
dan Demokrasi Pancasila Fakultas Hukum UNS Surakarta.
Hamdan Zoelfa. 2011. “Kekuasaan Kehakiman dalam Konstitusi dan Praktiknya di
Negara Indonesia”. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional
Menggagas Kekuasaan Kehakiman Yang Ideal Untuk Indonesia yang
diselenggarakan kerjasama Forum Hakim Progresif Indonesia dengan KSP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Principium Fakultas Hukum UNS Surakarta, pada tanggal 17 Desember
2011.
Suparman Marzuki. 2011. “Prospek dan Peluang Komisi Yudisial dalam Pengawasan
Hakim MK”. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Menggagas
Kekuasaan Kehakiman Yang Ideal Untuk Indonesia yang diselenggarakan
kerjasama Forum Hakim Progresif Indonesia dengan KSP Principium
Fakultas Hukum UNS Surakarta, pada tanggal 17 Desember 2011.
_______________. 2011. “Independensi Kekuasaan Kehakiman”. Makalah.
Disampaikan pada Seminar Nasional Menggagas Kekuasaan Kehakiman
Yang Ideal Untuk Indonesia yang diselenggarakan kerjasama Forum Hakim
Progresif Indonesia dengan KSP Principium Fakultas Hukum UNS
Surakarta, pada tanggal 17 Desember 2011.
Jurnal
Agus Budi Susilo. 2007. “Kontrol Yuridis PTUN dalam Menyelesaikan Sengketa
Tata Usaha Negara di Tingkat Daerah”. Jurnal Hukum. Vol.14, No.1.
Ahsin Thohari. 2010. “Desain Konstitusional Komisi Yudisial dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol.7, No.1.
Lars P. Field. 2003. “Economic Growth and Judicial Independence: Cross Country
Evidence Using A New Set of Indicators”. Cesifo Working Paper. Vol. April
2003, No.906.
Muji Kartika R. 2006. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi: Analisis Putusan MK
tentang Undang-Undang Komisi Yudisial”. Jurnal Konstitusi. Vol.3, No.3.
Stephen B. Burbank. 2007. “Judicial Independence, Judicial Accountability, and
Interbranch Relations”. The Georgetown Law Journal. Vol.95, No.909.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Internet
Komisi Yudisial Republik Indonesia. Pengaduan Online.
<http://203.142.65.118/pengaduan/pengaduan_online/index.php>[14Januari
2012 pukul 08.17].
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia bersama Ketua
Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:047/KMA/SKB/IV/2009 dan
Nomor:02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim.