Transcript
Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri

2.1.1 Definisi Nyeri

Pada tahun 1996, the International Association for the Study of Pain (IASP),

mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan

(Rosenquist, 2013). Berdasarkan definisi tersebut, nyeri merupakan suatu gabungan

dari komponen obyektif (aspek fisiologik sensorik nyeri) dan komponen subyektif

(aspek emosional dan psikologis). Rasa nyeri memberikan informasi terhadap

stimulus noksius yang memungkinkan tubuh merespons terhadap kerusakan

jaringan yang terjadi. Rasa nyeri ini bersifat individualisme sehingga sulit dinilai

secara obyektif dan harus dilakukan observasi serta penilaian secara rutin dengan

menggunakan alat bantu (Steeds, 2009).

Adanya nyeri yang bersifat akut merupakan alasan individu untuk mencari

sumber pelayanan kesehatan dan pada umumnya timbul setelah terjadinya trauma,

pembedahan, atau suatu proses penyakit. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri

yang disebabkan karena cedera jaringan tubuh dan terjadi aktivasi transducer

nosiseptif pada tempat terjadinya kerusakan jaringan lokal. Cedera lokal ini

menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik nosiseptor dan koneksi ke sentral,

serta sistem saraf otonom. Cedera pada nyeri somatik akut berasal dari permukaan

tubuh atau jaringan muskuloskeletal, sedangkan nyeri viseral akut

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

10

berasal dari organ-organ internal dalam. Secara umum, nyeri akut berlangsung

dalam kurun waktu yang relatif singkat, dan berangsur-angsur menghilang bila

proses patologis yang mendasari dapat diatasi (Marsaban AHM, 2009).

Nyeri akut pascaoperasi merupakan salah satu kekhawatiran bagi pasien-

pasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan. Studi yang dilakukan oleh

Warfield, 2001 di Amerika Serikat melaporkan bahwa sekitar 77% pasien

merasakan nyeri pascaoperasi, dimana 80% diantaranya melaporkan nyeri dengan

intensitas sedang berat. Nyeri pascaoperasi tidak hanya terjadi setelah pembedahan

mayor, bahkan terjadi pada pembedahan yang relatif minor. Selanjutnya terjadi

respon individu terhadap berbagai kerusakan jaringan yang terjadi akibat

pembedahan berupa perubahan neurofisiologi, endokrin, serta fungsi metabolisme.

Berlandaskan pada hal tersebut, penanganan nyeri akut pascaoperasi ini mutlak

dilakukan secara agresif, efektif, dan aman dengan menggunakan pendekatan

multimodal (Marsaban AHM, 2009).

2.1.2 Klasifikasi Nyeri

Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi (Ballantyne,

2008):

a. Nyeri nosiseptif. Nyeri yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan baik

somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun

tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari

jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

11

b. Nyeri neurogenik. Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau

disfungsi primer pada sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera

pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan

terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan

seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya rasa

tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya

alodinia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan

sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically

maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri kronik.

Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian

analgetik konvensional.

c. Nyeri psikogenik. Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa

misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan

pasien tenang

Berdasarkan klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada

lima aksis yaitu:

Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri

Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan

timbulnya nyeri

Aksis III : karakteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler,

kontinyu)

Aksis IV : waktu mula/onset terjadinya nyeri

Aksis V : etiologi nyeri

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

12

Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi (Latief, 2001):

a. Nyeri akut. Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri

ini ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti: takikardi,

hipertensi, hiperhidrosis, pucat, midriasis dan perubahan wajah seperti

menyeringai atau menangis. Bentuk nyeri akut dapat berupa:

1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa.

2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan

jaringan ikat.

3) Nyeri viseral adalah nyeri akibat disfungsi organ viseral.

b. Nyeri kronik. Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda

aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri

yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit atau operasi) atau

awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini

disebabkan oleh :

1) kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf

2) non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll

Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:

a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari

hari dan menjelang tidur.

b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang

bila penderita tidur.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

13

c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat

tidur dan sering terjaga akibat nyeri.

2.1.3 Fisiologi Nyeri

Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan

informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Nosisepsi termasuk menyampaikan

informasi perifer dari reseptor khusus pada jaringan (nosiseptor) kepada struktur

sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai beberapa komponen (Marsaban AHM,

2009):

a. Reseptor khusus yang disebut nosiseptor, pada sistem saraf perifer,

mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noksius.

b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus

noksius ke susunan saraf pusat

c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan

antara serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks

hubungan antara lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus

desenden inhibitor dari otak.

d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus)

menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada CNS.

e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat

relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

14

Gambar 2.1

Lintasan nyeri

f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif

nyeri,ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon

motoris (termasuk withdrawal respon).

g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada

level medulla spinalis.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

15

Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti

pembedahan akan menghasilkan kerusakan sel dengan konsekuensi akan

mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat

menimbulkan nyeri, akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat

algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit, radikal

bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek melalui

mekanisme spesifik (Rosenquist, 2013).

Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai

dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis yang disebut nosisepsi. Ada 4

proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu (Rosenquist, 2013)

1. Tranduksi adalah perubahan rangsang nyeri menjadi aktifitas listrik pada

ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin,

bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan

lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri.

Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat aferen A

delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit,

periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf

aferen A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai

fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke sentral ke susunan saraf

pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan

terbentuknya impuls nyeri.

2. Transmisi adalah proses penerusan impuls nyeri melalui A-delta dan C

serabut yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat aferen A-delta dan C

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

16

impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron

di kornu dorsalis. Serat aferen A-delta dan C yang berfungsi meneruskan

impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta

mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta

menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat

C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medula spinalis kornu dorsalis yang

berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada

nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent A-delta dan C

diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-lateral

dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornu anterior medulla

spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan menimbulkan

peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis dengan segala efek yang

dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornu anterior

medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah

cedera dengan segala akibatnya.

3. Modulasi merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin,

noradrenalin, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior.

Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel

neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis tidak semuanya

diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi

interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem

inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang

lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

17

akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang

lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.

4. Persepsi impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses

yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang

akhirnya menghasilkan rasa nyeri.

Gambar 2.2

Patofisiologi nyeri

2.1.3.1 Reseptor nyeri dan aferem primer

Nosiseptor adalah reseptor di jaringan yang mengalami aktivasi secara

spesifik oleh stimulus noksius. Stimulus noksius ini mengalami suatu proses

transduksi oleh reseptor menjadi sinyal elektrik dan selanjutnya ditransmisikan dari

perifer menuju sistem saraf pusat melalui suatu axon saraf. Nosiseptor ini tersebar

di kulit, otot, jaringan penunjang, pembuluh darah, dan viscera (Marsaban AHM,

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

18

2009). Secara anatomi, nosiseptor merupakan free nerve ending suatu serabut saraf,

dibagi menjadi dua tipe, yaitu:

1) High-threshold mechanoreceptors (HTM), yang berespon terhadap

deformitas mekanis.

2) Polymodal nociceptors, yang berespon terhadap berbagai variasi input

akibat kerusakan jaringan: ion hidrogen (proton), 5-hydroxytryptamine (5-

HT), sitokin, bradikin, histamin, prostaglandin, dan leukotrien.

Mediator inflamasi ini akan membanjiri nosiseptor, menimbulkan

sensitisasi dan aktivasi. Prostaglandin dan bradikinin menimbulkan sensitisasi

nosiseptor dengan stimulus intensitas yang bersifat rendah. Histamin dan 5-HT

menimbulkan sensitisasi langsung terhadap nerve ending. Ion hidrogen dan 5-HT

bekerja langsung di saluran ion membran sel, namun sebagian besar berikatan

dengan reseptor membran sel dan mengaktifkan second-messenger melalui protein

G (Steeds, 2009).

Terdapat dua jenis serabut saraf Aδ dan C. Karakteristik kedua jenis serabut

saraf ini ditampilkan dalam tabel berikut. Serabut saraf aferen primer ini memiliki

badan sel, baik di dorsal root ganglia atau terminal ganglion, dan berakhir di kornu

dorsalis medula spinalis. Meskipun seluruh serabut saraf ini berakhir di kornu

dorsalis medula spinalis, jalur untuk mencapai kornu dorsalis ini bervariasi.

Sebagian besar memasuki kornu dorsalis di sisi ventrolateral dorsal root. Pada sisi

lateral serabut Aβ yang bermielin besar, bersepon terhadap stimulus non noksius

vibrasi dan raba ringan. Sebesar 30% serabut C memasuki medula spinalis melalui

ventral root. Saat memasuki medula spinalis, nerve root ini mengalami bifurkasi

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

19

menjadi cabang ascending ataupun descending, memasuki kornu dorsalis satu atau

dua segmen superior atau inferior dibandingkan dengan segmen aslinya (Steeds,

2009).

Tabel 2.1

Karakteristik Serabut Aferen Primer

Aδ (bermielin) C (tidak bermielin)

Diameter 2-5µm <2 µm

Kecepatan konduksi 5-15 m/s 0,5-2 m/s

Distribusi Permukaan tubuh,

otot, sendi

Jaringan

Sensasi nyeri Cepat, tajam,

terlokalisir baik

Lambat, difus,

tumpul

Posisi sinaps di kornu dorsalis Lamina I dan V Lamina II (substansia

gelatinosa)

Aferen primer nosiseptor merupakan neuron pseudo unipolar dengan badan

sel terletak di dorsal root ganglion (DRG). Mayoritas nosiseptor adalah nociceptor

polimodal serabut C dan berespon terhadap stimuli yang beragam, termasuk

noksious termal (suhu diatas 45°), noksius mekanik, dan stimuli noksious kimiawi.

Perbandingan serabut bermielin ini terhadap yang tidak bermielin di nerve kutaneus

adalah 1:4 (Marsaban AHM, 2009).

Nyeri viseral adalah nyeri yang berasal dari organ-organ internal. Nyeri

viseral ini disebabkan oleh mekanisme berbagi dengan mekanisme nyeri somatik

yang unik berkaitan dengan viseral. Adanya cedera jaringan bukan semata-mata

sebagai penyebab nyeri viseral. Mekanisme non-damaging merupakan penyebab

nyeri viscera, seperti distensi, kontraksi, peregangan mendadak suatu kapsul organ,

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

20

atau traksi ligamen dan pembuluh darah. Karakteristik nyeri viseral ini sulit

dilokalisir dan bersifat difus. Substansia P diekspresikan dalam persentase yang

lebih besar pada serat aferen viseral dibandingkan dengan somatik. Hal ini

menunjukkan bahwa substansi P memberikan kontribusi terhadap proses

viserosensorik. Informasi dari nociceptor aferen viseral menuju ke medula spinalis

dan selanjutnya melalui traktus spinotalamikus kemudian menuju otak. Badan sel

terletak di dorsal root ganglia (DRG) dan serabut berjalan bersama-sama dengan

axon simpatis dan parasimpatis. Berlawanan dengan nyeri kutaneus yang bersifat

tajam dan terlokalisir baik, nyeri viseral ini bersifat difus, tumpul, dan sulit

dilokalisir. Seringkali berkaitan dengan reflek dominan otonom viseral,

bermanifestasi sebagai rasa mual dan berkeringat. Sulitnya melokalisir sumber

nyeri ini diduga sebagai konsekuensi jumlah aferen fiber yang rendah dibandingkan

dengan ukuran permukaan organ yang diinervasi. Serabut ini bertemu di second-

order kornu dorsalis yang juga menerima input segemental spinal kutaneus.

Fenomena reffered pain di segmen dermatomal menghasilkan keadaan allodynia

dan hiperalgesia (Hudspith, 2006).

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

21

Gambar 2.3

Mekanisme Nyeri Viseral

Prevalensi nyeri viseral persisten, episodik atau kronis dijumpai lebih tinggi

pada wanita. Diduga bahwa hormon sex steroid wanita berperan dalam modulasi

nosisepsi viseral. Adanya konvergensi stimuli nosiseptif dan input estrogen pada

neuron primer aferen yang menginervasi viscera uterus. Reseptor estrogen

diekspresikan di neuron primer aferen untuk modulasi sinyal nosiseptif (Hudspith,

2006).

2.1.3.2 Modulasi pada level medula spinalis

Kornu dorsalis medula spinalis adalah tempat serabut aferen primer

bersinap dengan neuron second-order. Terjadi suatu interaksi kompleks antara

interneuron eksitasi dan inhibisi serta traktus inhibisi descending. Kornu dorsalis

terdiri atas lamina Rexed dimana terdapat sejumlah koneksi diantara lamina-lamina

ini. Lamina II dikenal dengan substansia gelatinosa, terbentang dari nukleus

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

22

trigeminus di medulla, sampai fillum terminale di bagian kaudal medula spinalis.

Serabut C berakhir di lamina II dan serabut Aδ berakhir di lamina I dan V. Serabut

Aβ, raba ringan dan vibrasi memasuki medula spinalis sisi medial kornu dorsalis

tanpa bersinap di dorsal column, memberikan cabang kolateral di kornu dorsalis

yang berakhir di lamina III-V, bersinap langsung dengan serabut C tidak bermielin

di lamina II. Lamina II dan V merupakan area penting untuk proses modulasi nyeri

(Rosenquist, 2013).

Terdapat tiga jenis neuron second-order di kornu dorsalis (Rosenquist,

2013):

1) Nosiseptif spesifik, terdapat di lamina II dan III, berespon secara selektif

terhadap stimuli noksious high-threshold.

2) Wide Dynamic range (WDR), terdapat di lamina V dan VI, berespon

terhadap stimulus sensoris dengan kisaran yang luas.

3) Low-threshold, berespon tunggal terhadap stimulus non noksious.

Pada level medula spinalis, jalur transmisi nyeri dari perifer menuju sentral

dikontrol oleh sejumlah mekanisme modulasi sinyal nyeri, diantaranya: mekanisme

kontrol inhibisi oleh pusat yang lebih superior, aktivitas kolateral Aβ, modulasi

segmental spinal oleh sejumlah mekanisme meliputi opioid endogen dan sistem

cannabinoid, asam amino inhibisi, seperti γ-aminobutyric acid (GABA), galanin,

kolesistokinin, dan nitric oxide (Marsaban AHM, 2009).

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

23

Gambar 2.4

Lamina Rexed Penyusun Kornu dorsalis

Mekanisme kontrol inhibisi merupakan mekanisme “close the gate”

terhadap aktivitas transmisi serabut C. Pada tahun 1965, Melzack dan Wall

menyatakan suatu the gate-control theory, bahwa interneuron inhibisi lamina II

dapat diaktivasi secara langsung maupun tidak langsung (melalui interneuron

eksitasi) oleh stimulus non noksious aferen sensoris besar dari kulit (Aβ) yang

selanjutnya menimbulkan supresi transmisi serabut saraf C tidak bermielin

sehingga terjadi blokade nyeri. Mekanisme menggosok area nyeri dapat

menghilangkan rasa nyeri (Steeds, 2009).

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

24

Gambar 2.5

Teori The Gate Control

Melzack dan Wall pada tahun 1965, menyatakan suatu teori the gate control

bahwa proses transmisi nyeri mengalami modulasi mekanisme inhibisi spinal dan

jalur descending. Proses transmisi berlokasi di kornu dorsalis selanjutnya menuju

ke otak. Output dari sel ini bergantung pada informasi yang memasuki kornu

dorsalis dalam berbagai jenis aferen primer. Output dari sel transmisi ini mengalami

regulasi atau modulasi oleh sel inhibisi di substansia gelatinosa, efek tergantung

dari informasi non noksius dari aferen fiber berdiameter besar atau informasi

noksious dari aferen berdiameter kecil. Input non noksious sepanjang serabut aferen

berdiameter besar terutama mengaktifkan sel inhibisi sehingga terjadi penurunan

output dari neuron transmisi. Input noksious sepanjang aferen berdiameter kecil

menghambat sel inhibisi sehingga meningkatkan output dari sel transmisi. Output

dari sel transmisi ini ditentukan oleh keseimbangan relatif aktivitas serabut aferen

berdiameter besar atau pun kecil yang tiba di kornu dorsalis. Level modulasi yang

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

25

lebih jauh dari teori ini adalah adanya jalur descending dari otak yang bekerja untuk

menghambat transmisi informasi. Aktivitas sel transmisi mengalami modulasi baik

bersifat eksitatori dan inhibisi yang berasal dari substansia gelatinosa dan oleh

kontrol inhibisi descending dari brainstem (Rosenquist, 2013; Marsaban AHM,

2009).

Kornu dorsalis mengandung sejumlah peptide dan neurotransmiter asam

amino, neuromodulator, dan masing-masing reseptornya. Neurotransmisi di dalam

kornu dorsalis meliputi (Hudspith, 2006):

1) Transmitter eksitatori dilepaskan dari terminal sentral nociceptor primer

aferen.

2) Transmisi eksitatori diantara neuron medula spinalis.

3) Transmitter inhibisi dilepaskan oleh interneuron di medula spinalis.

4) Transmitter inhibisi dilepaskan dari supraspinal.

Glutamat merupakan neurotransmiter utama di sistem saraf pusat dan

berperan dalam transmisi nosiseptif di kornu dorsalis. Glutamat bekerja di reseptor

AMPA (α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazalepropionic acid), reseptor N-

methyl-D-aspartate, reseptor kainate dan metabotropic glutamate (Rosenquist,

2013).

Pada nyeri inflamasi, nyeri neuropatik, dan nyeri yang disebabkan proses

sentral, amplifikasi neuron eksitatorik pada sistem susunan saraf pusat dapat terjadi.

Proses ini disebut sensistisasi sentral. Sensitisasi sentral merupakan peranan

penting dalam nyeri kronik. Sensitisasi sentral memiliki dua fase. Yang pertama

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

26

fase akut dan cepat, yang kedua memiliki onset yang lebih lambat dan durasi yang

lama. Fase akut sensitisasi sentral menggambarkan perubahan koneksi sinaps dalam

medula spinalis, setelah signal nosiseptif diterima dari nosiseptor perifer.

Nosiseptor ini melepaskan glutamat (transmitter eksitatorik), neuropeptida seperti

substansi P dan CGRP (calcitonin gene-related peptide), dan modulator sinaps

seperti brain derived neurotrophic factor. Bekerja pada reseptor spesifik pada

neuron medula spinalis, neurotransmiter dan neuromodulator ini mengaktifkan

jalur fosforilasi beragam reseptor membran dan saluran ion. Termasuk diantaranya

reseptor NMDA dan AMPA. Perubahan ini menurunkan ambang aktivasi dan

ambang terbukanya saluran ion sehingga meningkatkan eksitabilitas neuron. Efek

keseluruhan perubahan ini adalah peningkatan sensibilitas nyeri dimana rangsangan

yang pada normalnya tidak nyeri akan tetapi dirasakan seperti nyeri. Hal ini disebut

dengan alodinia. Alodinia merupakan keluhan umum pada pasien nyeri kronik

dimana rangsangan yang pada normalnya tidak nyeri (seperti sentuhan, tekanan

ringan, baju, atau sisir) dirasakan sebagai nyeri. Peningkatan sensitivitas terhadap

rangsangan nyeri (hiperalgesia) dan meluasnya sensitifitas ke daerah yang non

traumatik (hiperalgesia sekunder) merupakan manifestasi sensistisasi sentral. Fase

selanjutnya berhubungan dengan peningkatan produksi protein, yang membantu

mempertahankan eksitabilitas dan sensitivitas nyeri. Dinorfin, sebuah peptida

opioid endogen yangdapat meningkatkan eksitabilitas neuron, adalah salah satu

protein yang terlibat dalam efek ini. Protein yang lain adalah cyclooxygenase-2

(COX-2), enzim yang memfasilitasi produksi prostaglandin E2. Prostaglandin ini

merupakan mediator inflamasi (Argoff CE, 2008).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

27

Gambar 2.6

Sensitisasi Sentral

2.1.3.3 Traktus ascending

Second-order neuron mengalami ascending melalui traktus spinotalamikus

menuju talamus sebagai pusat proses informasi somatosensoris. Berdasarkan

tempat berakhirnya, axon traktus spinotalamikus dapat dibagi menjadi dua

kelompok besar. Kelompok pertama berjalan di funikulus anterolateral, bersama-

sama berasal dari medula, pons, dan midbrain, berakhir di sebelah lateral nukleus

ventroposterior dan kompleks posterior talamus. Axon ini berkaitan dengan

komponen nyeri sensoris diskriminatif. Kelompok kedua berakhir di sebelah medial

di nukleus intralaminar, meliputi sentrolateral, ventroposterolateral, dan nukleus

submedian, dimana mengarah ke korteks somatosensori. Masing-masing area

tersebut memiliki peran penting dalam persepsi nyeri dan saling berinteraksi

dengan area brain yang lainnya (Marsaban AHM, 2009).

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

28

Gambar 2.7

Proyeksi Proses Nosiseptif di Rostral

2.1.3.4 Traktus descending

Terdapat suatu mekanisme inhibisi descending yang berasal dari otak untuk

modulasi refleks spinal yang mempengaruhi transmisi nosiseptif pada berbagai

level neuraksis. Dua area penting di batang otak yang terlibat dalam mekanisme

inhibisi adalah periaquaductal grey (PAG) dan nucleus raphe magnus (NRM)

(Steeds, 2009).

2.1.3.4.1 PAG (periaquaductal grey)

Area ini mengelilingi cerebral aqueduct midbrain dan menerima impuls

sejumlah regio brain, termasuk amigdala, frontal, korteks insular, hipotalamus, dan

bersama-sama dengan rostral ventromedial medulla (RVM) berfungsi sebagai

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

29

sistem modulasi nyeri. Stimulasi elektrik neuron PAG menimbulkan eksitasi sel

NRM dan sel kornu dorsalis medula spinalis untuk menghambat transmisi nyeri

(Steeds, 2009). Endorfin disintesis di pituitari dilepaskan ke cairan serebrospinal

dan menunjukkan efek inhibisi pada beberapa titik, termasuk PAG (Hudspith,

2006).

2.1.3.4.2 NRM (nucleus raphe magnus)

Sama seperti PAG, stimulasi elektrik atau kimiawi di midline nukleus raphe

magnus atau ventrolateral medula (nukleus paragigantocellular) menghasilkan sifat

antinosiseptif. Di dalam RVM, terdapat dua jenis neuron, on-cells dan off-cells,

telah teridentifikasi sebagai modulasi nyeri. On-cells menunjukkan peningkatan

firing secara tiba-tiba sedangkan off-cells menghentikan firing segera sebelum

terjadi inisiasi respon nosiseptif. Diduga bahwa serotonin yang dilepaskan akibat

stimulasi disini mengaktifkan interneuron inhibisi dan menimbulkan blokade

transmisi nyeri. Selanjutnya traktus yang berasal dari struktur ini berjalan

descending terutama di funikulus dorsolateral medula spinalis dan mengalami

terminasi di lamina I, II, dan V (Hudspith, 2006).

Molekul signalling terlibat dalam proses nosisepsi, diantaranya bradikinin,

5-HT, dan prostaglandin secara cepat dan reversibel mengubah eksitabilitas viseral

sensori neuron, menurunkan ambang terbentuknya potensial aksi, dan atau

meningkatkan frekuensi sebagai respon terhadap stimulus yang terjadi. Selanjutnya

mengaktivasi G-protein coupled receptor, menghasilkan second- messenger di

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

30

sitosol. Protein kinase akan teraktivasi dan memfosforilasi ion channel (Hudspith,

2006).

2.1.4 Konsekuensi Negatif Nyeri Akut

Kerusakan jaringan saat pembedahan menyebabkan pelepasan biokimiawi

lokal dan menimbulkan perubahan lingkungan mikro yang meliputi otot polos,

kapiler, dan aktivasi serat simpatis eferen. Selanjutnya terjadi aktivasi respon reflek

otonom segmental maupun suprasegmental yang mempengaruhi berbagai fungsi

sistem organ (Liu SS, 2007).

Respon refleks suprasegmental terhadap pusat medula sistem respirasi

menyebabkan hiperventilasi dan meningkatnya tonus otot skeletal yang

menyebabkan penurunan komplian dinding dada dan meningkatnya tekanan

intraabdomen. Akibatnya terjadi mismatch alveolar/arterial yang meningkatkan

risiko hipoksemia. Stimulasi neuron preganglion simpatis di anterolateral horn

medula spinalis menyebabkan peningkatan laju jantung, volume sekuncup dan

sebagai konsekuensinya menyebabkan peningkatan kerja jantung dan konsumsi

oksigen miokard. Hiperaktivitas simpatis menyebabkan menurunnya tonus

gastrointestinal yang mencetuskan timbulnya ileus dan menurunnya fungsi

urinarius (White PP, 2009).

Peningkatan tonus simpatis mengaktifkan neural hipotalamus sehingga

terjadi peningkatan sekresi katekolamin, kortisol, adrenokortikotropik, glukagon,

cyclic adenosine monophosfat, anti duretik, growth hormone, renin, dan hormon

katabolik lainnya. Akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa darah, free fatty

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

31

acids, laktat, dan keton. Respon psikofisiologis berupa rasa cemas dan ketakutan

akibat rasa nyeri akut pascaoperasi meningkatkan respon hipotalamus melalui

stimulus kortikal sehingga terjadi peningkatan sekresi katekolamin dan kortisol

sampai mencapai 50-200%, serta terjadi peningkatan viskositas darah, waktu

pembekuan, fibrinolisis, dan agregasi platelet yang meningkatkan risiko

thromboemboli (Hudspith, 2006).

2.1.5 Penilaian Nyeri

Nyeri merupakan suatu keadaan yang multidimensional sebagai akibat dari

kombinasi rangsang nyeri dan kerusakan jaringan, pengalaman nyeri sebelumnya,

kepercayaan pasien, budaya, dan kepribadian pasien. Rasa nyeri ini bersifat

individualisme sehingga sulit dinilai secara obyektif dan harus dilakukan observasi

serta penilaian rutin dengan menggunakan alat bantu. Hal ini menjelaskan mengapa

pasien dengan tingkat stimulus nyeri dan kerusakan jaringan yang sama akan

merasakan pengalaman nyeri dengan sangat berbeda. Oleh karena tidak terdapat

suatu alat obyektif, maka kita harus mempercayai laporan pasien tentang tingkat

nyeri yang mereka alami (Ballantyne, 2008).

2.1.5.1 Instrumen Penilaian Nyeri

Menurut JCAHO (Joint Commision on Accreditation of Healthcare

Organizations) pada tahun 2001, penilaian nyeri merupakan tanda vital yang kelima

yang harus kita nilai pada setiap pasien. Penilaian nyeri yang teratur dan berulang

harus dilakukan untuk menilai keadekuatan terapi analgesia yang sedang berjalan.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

32

Frekuensi penilaian nyeri tergantung dari durasi dan beratnya nyeri, kebutuhan serta

respon pasien serta jenis obat dan intervensi yang digunakan. Penilaian rasa nyeri

pada pasien pascaoperasi harus meliputi penilaian pada kondisi statik (saat istirahat,

tidak bergerak) dan pada kondisi dinamis (saat bergerak, duduk, batuk). Secara

garis besar, penilaian nyeri dibagi menjadi dua, yaitu penilaian unidimensional dan

penilaian multidimensional (Marsaban AHM, 2009).

Penilaian unidimensional merupakan skala untuk menilai intensitas nyeri

ataupun tingkat berkurangnya nyeri setelah suatu intervensi obat analgesia. Dalam

menilai respon terhadap suatu terapi biasanya dipakai skala penurunan nyeri dan

bukan intensitas nyerinya. Skala kategori menggunakan kata-kata untuk

mendeskripsikan intensitas nyeri atau derajat penurunan nyeri. Verbal descriptive

scale (VDS) biasanya menggunakan kata tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang,

nyeri berat atau sangat nyeri. VDS pertama kali disampaikan oleh Keele pada tahun

1948. VDS lebih sulit digunakan pada pasien pascaoperasi dibandingkan dengan

skala numerikal dan kurang sensitif untuk menilai hasil terapi analgesia

dibandingkan dengan VAS (Ballantyne, 2008). Skala kategori mempunyai

keuntungan karena sederhana, mudah, dan cepat dilakukan, dan berguna pada

pasien-pasien tua atau pasien dengan gangguan penglihatan. Akan tetapi

terbatasnya pilihan kategori dibandingkan dengan numerical scales membuat skala

kategori lebih sulit untuk mengetahui adanya perbedaan terhadap hasil terapi

analgesia yang diberikan (Marsaban AHM, 2009).

Skala numerikal terdapat dalam bentuk sebagai kalimat verbal ataupun

tertulis. Skala numerikal dalam kalimat verbal dikenal sebagai numerical rating

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

33

scale (NRS), disampaikan oleh Downie pada tahun 1978, dimana pasien diminta

untuk menyatakan tingkat nyerinya dalam skala numerikal, biasanya antara 0-10

dimana 0 sebagai tidak nyeri, dan 10 sebagai sangat nyeri. NRS merupakan salah

satu instrumen pengukur nyeri yang sering digunakan dalam penelitian. Skala

numerikal dalam bentuk tertulis dikenal sebagai VAS dan saat ini merupakan

pengukur nyeri yang paling luas digunakan dalam praktek klinis maupun dalam

penelitian. VAS berupa suatu garis lurus horizontal dengan panjang 100 mm, pada

ujung kiri ditandai dengan tidak ada nyeri sedangkan pada ujung kanan ditandai

dengan sangat nyeri, kemudian pasien diminta untuk memberi tanda pada garis

tersebut yang kemudian akan diukur jaraknya dari sebelah kiri. Jarak tersebut

dihitung dalam satuan milimeter (mm) dan mencerminkan tingkat nyeri yang

dialami pasien. Selain dalam posisi horizontal, VAS juga dapat diposisikan vertikal

dan hasilnya tetap valid. Interpretasi nilai VAS sangat bervariasi tergantung dari

definisi yang digunakan, akan tetapi interpretasi nilai VAS yang paling banyak

digunakan yaitu nilai <40 mm sebagai nyeri ringan, 41-70 mm sebagai nyeri

sedang, dan >71 mm sebagai nyeri berat. Hasil dari penilaian VAS ini dapat

digunakan sebagai salah satu pedoman dalam menyesuaikan dosis obat anti nyeri

yang diberikan (Aubrun, 2003; Bodian, 2001). Skala ini mempunyai keuntungan

oleh karena sederhana, mudah, dan cepat menggunakannya, sehingga

memungkinkan pasien menentukan sendiri tingkat nyerinya dalam rentang yang

cukup lebar. Akan tetapi dalam menentukan skala ini diperlukan konsentrasi dan

koordinasi yang cukup baik sehingga tidak dapat dipergunakan pada anak-anak

(Marsaban AHM, 2009). Perubahan nilai VAS juga mempengaruhi tingkat

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

34

kepuasan pasien. Penurunan nilai VAS kira-kira 10 mm atau 15% dikatakan sebagai

nyeri sedikit menurun, penurunan nilai 20-30 mm atau 33% dianggap sebagai

penurunan nyeri yang bermakna dari sudut pasien dan penurunan VAS hingga 66%

dianggap sebagai menghilangnya nyeri yang substansial (Ballantyne, 2008).

Penilaian multidimensional tidak hanya menilai intensitas nyeri, tapi juga

menghasilkan informasi tentang karakteristik nyeri dan dampaknya terhadap

individu pasien. Salah satu penilaian multidimensional yang sering dipakai adalah

the McGill Pain Questionaire (MPQ). MPQ dikembangkan oleh Melzack pada

tahun 1987 untuk memperoleh penilaian kualitatif dan kuantitatif dari nyeri yang

dirasakan oleh pasien. MPQ menghasilkan dua nilai global, yaitu pain rating index

dan intensitas nyeri terkini. MPQ terbukti sebagai penilaian nyeri yang valid dan

dapat dipercaya. Pain rating index diperoleh dari jumlah nilai dari 20 pertanyaan

yang dijawab oleh pasien yang mendeskripsikan segi sensoris, afektif, dan dimensi

nyeri. Intensitas nyeri terkini berupa skala nyeri dari 0-5, dimana 0 = tidak nyeri, 1

= nyeri ringan, 2 = merasa tidak nyaman, 3 = terganggu oleh nyeri, 4 = sangat

terganggu oleh nyeri, 5 = sangat tersiksa oleh nyeri (Marsaban AHM, 2009).

2.2 Opioid

Opioid masih menjadi pilihan utama dalam penatalaksanaan nyeri sedang

sampai berat pascaoperasi bedah mayor. Mekanisme kerja dari opioid yaitu dengan

menstimulasi reseptor µ dan κ yang berada di pusat (batang otak, hipotalamus,

sistem limbik, dan substansia gelatinosa di medula spinalis) dan perifer (traktus

gastrointestinal, reseptor histamin). Aktivasi dari reseptor opioid akan

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

35

menyebabkan penghambatan voltage-gated calcium channel dan meningkatkan

influk kalium yang menyebabkan penurunan eksitabilitas saraf. Pada gambaran

lebih luas dikatakan bahwa opioid akan menghambat transmisi rangsang nyeri dari

saraf aferen pertama ke saraf kedua pada kornu dorsalis medulla spinalis baik

melalui mekanisme presinaptik maupun postsinaptik. Mereka juga mengaktifkan

penghambatan jalan kebawah dari otak tengah, rostral ventromedial medulla dan

berakhir di kornu dorsalis medulla spinalis (Rosenquist, 2013).

Morfin merupakan alkaloid opium yang bekerja agonis, mengikat reseptor

di otak, medulla spinalis, dan jaringan lainnya. Reseptor yang paling dominan yaitu

reseptor µ yang terdistribusi paling banyak pada sistem saraf pusat, dan dengan

konsentrasi yang paling tinggi pada sistem limbik. Morfin mengeluarkan efek

paling utama di sistem saraf pusat dan organ yang berisikan otot polos. Morfin akan

menimbulkan banyak efek termasuk analgesia, penurunan motilitas usus, depresi

nafas, mengantuk, perubahan mood, dan perubahan pada sistem endokrin serta saraf

otonom. Stimulasi langsung pada CTZ (chemoreceptor trigger zone) akan

menimbulkan mual dan muntah. Retensi urin juga bisa terjadi oleh karena

peningkatan tonus spinkter kandung kemih (Rosenquist, 2013).

Absorbsi morfin setelah pemberian intramuskuler dan subkutan terjadi

dalam waktu 30-60 menit dengan analgesia puncak terjadi pada menit ke 50-90

menit. Morfin didistribusikan ke seluruh tubuh, khususnya jaringan berparenkim

seperti ginjal, paru, dan limpa. Konsentrasi yang lebih rendah di dapatkan pada otot

dan jaringan otak. Morfin dapat melewati plasenta dan juga bisa di dapatkan pada

keringat dan air susu ibu meskipun jumlahnya kecil. Morfin 35% terikat oleh

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

36

protein, terutama albumin, di metabolisme di hati dengan jalan konjugasi dengan

asam glukoronat, dan hasil metabolitnya adalah morfin-3-glukoronat, dan morfin-

6-glukoronat yang secara farmakologi aktif dengan waktu paruh yang lebih panjang

dibandingkan dengan morfin. Waktu paruh eliminasi sekitar 1,5-2 jam pada subyek

yang sehat (Omoigui, 1999).

Morfin dapat menimbulkan ketergantungan dan berpotensi untuk

disalahgunakan. Ketergantungan fisik dan psikologis dapat terjadi pada pemberian

yang berulang. Nalokson dapat mengantagonis efek analgesia, depresi susunan

saraf pusat, dan dapat mencetuskan gejala putus obat bila diberikan pada subyek

yang tergantung dengan morfin (Rosenquist, 2013).

2.3 NMDA (N-methyl-D-aspartate) Reseptor Antagonis

NMDA (N-methyl-D-aspartate) reseptor antagonis diberikan sebagai obat

tambahan pada penatalaksanaan nyeri. Reseptor N-methyl-D Aspartate reseptor

adalah ligand-gated ion channel yang memungkinkan masuknya kalsium, sodium,

potassium ke dalam sel. Reseptor diaktifkan oleh glisin dan glutamat dan tidak

terbuka saat membran potensial istirahat. Glutamat merupakan neurotransmiter

eksitasi mayor pada susunan saraf pusat mempunyai peranan signifikan dalam

modulasi nyeri di level medula spinalis. Peranan ini khususnya pada sensitisasi

nosiseptor setelah paparan stimulasi nyeri sehingga meningkatkan besarnya dan

durasi respon neurogenik terhadap nyeri, bahkan setelah inisial perifer telah

dihentikan. Obat ini membawa efek antinosiseptif dengan menghambat sensitisasi

sentral terhadap stimulasi nyeri (Price DD, 2000).

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

37

2.3.1 Ketamin

Ketamin adalah derivatif phencyclidine (anestesi yang digunakan pada

kedokteran hewan), antagonis nonkompetitif NMDA reseptor. Ketamin digunakan

untuk induksi intravena dalam dunia anestesi terutama pada keadaan dimana

rangsangan simpatis dibutuhkan (hypovolemia, trauma). Ketika akses intravena

tidak ada, ketamin dapat digunakan secara intramuskular untuk induksi pada

pediatric atau orang dewasa yang tidak kooperatif. Ketamin dapat dikombinasikan

dengan obat lain (seperti propofol atau midazolam) dalam dosis bolus yang kecil

atau infus untuk sedasi selama blok saraf tepi, endoskopi, dan lain lain. Dosis

subanestesi ketamin dapat menyebabkan halusinasi (tergantung dosis), meskipun

pada praktik sehari-hari efek ini tidak begitu terlihat dikarenakan pemberian

kombinasi dengan midazolam (atau obat sejenisnya) untuk amnesia dan sedasi

(Hirota, 2011).

2.3.1.1 Farmakokinetik

1) Absorbsi. Ketamin dapat digunakan melalui oral, nasal, rectal, subkutan,

dan epidural, walupun dalam praktik sehari-hari ketamin digunakan secara

intravena atau intramuscular. Level peak plasma dicapai dalam 5-15 menit

setelah injeksi intramuscular, dalam 1 menit setelah injeksi intravena, dan

30 menit setelah pemberian oral. Absorbsi ketamin melalui rektal pada

pediatrik dalam suatu studi dapat mencapai 45 menit. Konsentrasi plasma

metabolit norketamin lebih tinggi dibandingkan dengan ketamin sendiri

setelah pemberian oral.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

38

2) Distribusi. Ketamin lebih larut lemak dan sedikit terikat protein (12%)

dibandingkan thiopental, yang memfasilitasi transfer melalui sawar darah

otak. Ketamin didistribusikan ke jaringan dengan perfusi tinggi seperti otak

untuk mencapai level 4-5x lebih tinggi dibandingkan plasma. Karakteristik

ini meningkatkan aliran darah otak dan curah jantung, menghasilkan uptake

cepat oleh otak dan redistribusi setelahnya (waktu paruh distribusi 10-15

menit). Efek kerja ketamin menghilang dengan redistribusi dari jaringan

kaya pembuluh darah ke jaringan kurang pembuluh darah. Awakening

dikarenakan redistribusi dari otak ke kompartemen perifer.

3) Biotransformasi. Ketamin dibiotransformasi di hati menjadi beberapa

metabolit, salah satunya adalah norketamin yang tetap memiliki aktivitas

anestetik. Jalur biotransformasi yang paling penting melibatkan N-

demethylation oleh sitokrom p450 menjadi norketamin. Norketamin

kemudian dihidroksilasi dan mengalami konjugasi menjadi komponen larut

air yang nantinya akan diekskresi dalam urin. Uptake hati yang besar

(hepatic extraction ratio 0,9) menjelaskan waktu paruh eliminasi ketamin

yang relative singkat (1-2 jam) dan tergantung pada perubahan aliran darah

hepar. Pemberian bersamaan dengan diazepam dapat memperpanjang

waktu paruh ketamin dan metabolitnya.

4) Ekskresi. Produk akhir biotransformasi ketamin diekskresi melalui ginjal,

dengan persentase kecil ditemukan di urin dalam bentuk utuh. Waktu paruh

eliminasi 2 jam, yang dikarenakan kombinasi clearance cepat dan volume

distribusi yang besar. Telah dilaporkan dalam studi penelitian bahwa pada

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

39

pediatrik eliminasi ketamin dua kali lebih cepat dibanding dewasa (Haas

DA, 1992; Rosenquist, 2013).

2.3.1.2 Farmakodinamik

1) Susunan saraf pusat. Ketamin menghasilkan suatu keadaan yang dijelaskan

sebagai anestesia disosiatif dengan karakteristik analgesia kuat, amnesia,

dan katalepsi. Komponen disosiatifnya dihasilkan dari pengaruhnya

terhadap sistem limbik dan talamoneokortikal. Pada kondisi ini dikatakan

bahwa otak gagal mentranduksi impuls aferen secara benar karena

gangguan komunikasi normal antara kortek sensori dan area asosiasi.

Hasilnya menyerupai katalepsi yaitu kedua mata tetap terbuka dengan

nistagmus lambat, dan reflek kornea yang intak. Pasien secara umum non-

komunikatif walaupun mereka terlihat sadar. Berbagai derajat hipertonus

otot skeletal dapat terjadi. Kontraksi otot skeletal involuter dapat terjadi

selama pembedahan. Pengguna ketamin memiliki kesulitan sendiri untuk

menilai level sedasi atau anestesi karena tidak dapat menggunakan tanda

gerakan mata, tonus otot atau gerakan pasien sebagai indikator. Efek

ketamin terhadap karakteristik diatas tidak konsisten dengan tanda klasik

anestesia. Ketamin berinteraksi dengan lebih dari 1 tipe reseptor untuk

menghasilkan beragam efek (Haas DA,1992).

Efek analgesia sebagian dimediasi oleh reseptor opioid di otak,

spinal, dan perifer. Ketamin lebih berikatan dengan resptor opioid mu

dibandingkan dengan delta. Ketamin berinteraksi juga dengan reseptor

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

40

opioid sigma/tempat ikatan phenyclyclinidine. Komponen sigma mungkin

memediasi disforia yang dihasilkan oleh ketamin (Hirota, 2011).

Tempat bekerja ketamin melibatkan reseptor NMDA (N-methyl-D-

aspartate). Reseptor ini memainkan peranan besar dalam transmisi

informasi sensorik dan memediasi neuron eksitasi di susunan saraf pusat

setelah interaksi dengan neurotransmiter eksitatorik . Inhibisi NMDA

memberikan efek katalepsi, konsisten dengan efek yang dihasilkan oleh

ketamin (Hirota , 2011).

Ketamin menghasilkan antinosisepsi melalui interaksi dengan

reseptor u pada saraf spinal, anatagonis NMDA reseptor, dan aktivasi jalur

monoaminergik descending pain inhibitory. Afinitas ketamin pada reseptor

NMDA lebih besar dibandingkan terhadap u reseptor, dan jauh lebih besar

dibandingakan reseptor monoamin atau reseptor non-NMDA lain (misalnya

asetilkolinesterase dan reseptor sigma), yang menyebabkan semakin kecil

dosis ketamin semakin selektif ketamin berinteraksi dengan reseptor

NMDA (Price DD, 2000).

Ketamin mempotensiasi efek pelumpuh otot tergantung besar dosis.

Mekanisme ini mungkin melibatkan reseptor muskarinik kolinergik.

Ketamin dapat mengaktifkan gelombang epilepticform pada pasien dengan

gangguan konvulsi (Krystal, 1994).

Emergence merupakan efek samping yang paling sering dilaporkan.

Reaksi ini digambarkan sebagai rasa melayang, mimpi yang tampak jelas,

halusinasi, dan delirium. Insidensi untuk efek ini berkisar 5-30%. Reaksi ini

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

41

pada umumnya muncul pada pasien dengan usia diatas 16 tahun, wanita,

prosedur singkat, dan tergantung dosis dan kecepatan pemberian obat.

Pengggunaaan benzodiazepine dapat mengurangi efek ini (Rosenquist,

2013).

Dogma ketamin terhadap susunan saraf pusat menyebabkan

peningkatan konsumsi oksigen pada serebral, aliran darah serebral, dan

peningkatan tekanan intracranial. Ketamin memvasodilatasi pembuluh

darah otak yang menyebabkan peningkatan aliran darah serebral sebanyak

62-80%. Efek ini berkurang bila diazepam, midazolam, atau tiopental

diberikan sebelum ketamin. Efek ini menghalangi pengunaan ketamin pada

pasien dengan space occupying lesion di intracranial atau trauma kepala.

Publikasi sekarang ini menawarkan bukti yang menyakinkan bahwa bila

dikombinasi dengan benzodiazepine (atau agen lain yang bekerja di reseptor

GABA), dan ventilasi kendali, tapi tidak dengan nitrous oksida, ketamin

tidak meningkatkan tekanan intracranial. Efek samping psikotomimetik

(seperti mimpik buruk dan delirium) saat emergence jarang terjadi pada

pasien pediatrik atau yang telah dipremedikasi dengan benzodiazepine atau

propofol (Rosenquist, 2013).

2) Respirasi. Pada pasien dengan nafas spontan, pemberian obat anestesi

umum lain dapat menyebabkan penurunan FRC (Functional Residual

Capacity) secara cepat. Dengan menurunnya volume paru selama ekspirasi,

jalan nafas yang kecil dan berdinding tipis pada paru dependen memiliki

kecenderungan untuk kolaps. Volume dimana jalan nafas menutup disebut

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

42

closing capacity. Efek mempertahankan FRC adalah menjamin tetap

terbukanya bagian dependen paru ini. Hal ini penting terutama untuk

pediatrik, dimana closing capacity berbeda tipis dengan FRC dibandingkan

dewasa. Pada pediatrik, penurunan kecil dari FRC dapat menyebabkan

penutupan jalan nafas selama pernafasan normal, yang dapat menyebabkan

abnormalitas ventilasi perfusi yang secara klinis terlihat sebagai penurunan

saturasi oksigen. Ketamin dianggap unik karena dapat mempertahankan

FRC selama induksi anestesia (Rosenquist, 2013).

Selama Pemberian ketamin pada pasien bernafas spontan, ventilasi

semenit dipertahankan hampir sama seperti pasien sadar. Perubahan

minimal terjadi pada pertukaran gas dan tidak adanya kejadian atelektasis

dan shunting. Hal ini dikarenakan tonus otot skeletal dipertahankan selama

pemberian ketamin (tidak seperti pada pasien dengan anestesi volatil) maka

atelektasis, perubahan venilasi perfusi, dan FRC tidak terjadi. Pernafasan

dipengaruhi secara minimal oleh ketamin. Ketamin memiliki efek

menguntungkan yang lain, termasuk peningkatan pengembangan paru dan

menurunkan resistensi jalan nafas. Mekanisme kerja efek ini belum dapat

dimengerti sepenuhnya. Bronkodilatasi, yang dihasilkan ketamin,

merupakan hasil inhibisi saluran kalsium oleh ketamin. Racemic ketamin

adalah bronkodilator poten, membuatnya menjadi agen induksi yang baik

untuk pasien asma; bagaimanapun S(+) ketamin memiliki efek

bronkodilator minimal. Ketamin dengan infus kontinu digunakan sebagai

terapi asma yang tidak responsif terhadap pendekatan konvensional. Reflek

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

43

jalan nafas dipertahankan intak, akan tetapi obstruksi jalan nafas parsial

dapat terjadi. Hipersaliva yang disebabkan ketamin dapat dikurangi dengan

pemberian premedikasi agen antikolinergik seperti glikopirolate dan atropin

(Haas DA, 1992; Rosenquist, 2013).

3) Kardiovaskular. Kontras dengan agen anestesi lainnya, ketamin

meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, dan curah jantung, terutama

setelah injeksi bolus cepat. Efek indirek pada kardiovaskular ini

dikarenakan stimulasi sentral dari sitem saraf simpatis dan inhibisi reuptake

norepinephrine setelah dilepas di saraf terminal. Ketamin mendepresi

kontraktilitas miokard, akan tetapi efek ini tertutupi oleh stimulasi simpatis.

Selain itu, kemampuan ketamin meningkatkan konsentrasi katekolamin

dengan menginhibisi neuronal reuptake juga menutupi efek inotropik

negatif ketamin. Oleh karena itu, injeksi bolus dosis tinggi ketamin harus

diberikan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit jantung coroner,

hipertensi tidak terkontrol, penyakit jantung kongestif, atau aneurisma

pembuluh darah (Hirota, 2011; Rosenquist, 2013).

Efek simpatomimetik ini akan meningkatkan kebutuhan oksigen

miokard, oleh karena itu ketamin kontraindikasi pada pasien dengan

kelainan jantung iskemik. Disritmia kardiak jarang terjadi dalam pemberian

ketamin, walaupun studi pada hewan menyatakan ketamin mensensitisasi

miokardium sehingga menyebabkan efek disritmogenik seperti dengan

epinerfrine. Berdasarakan efek kardiovaskular, terutama kemampuan

mempertahankan tekanan darah, ketamin diindikasikan pemberiannya pada

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

44

pediatrik dengan penyakit jantung bawaan sianotik, pasien hipovolemik,

dan syok kardiogenik. Pada pediatrik dengan penyakit jantung bawaan

sianotik, jumlah oksigen yang dapat diambil oleh paru tergantung pada

aliran darah paru. ketamin digunakan untuk menurunkan pintasan kanan ke

kiri, yang akan memaksimalkan aliran darah paru dan tekanan arteri oksigen

(Rosenquist, 2013).

4) Temperatur. Dahulu, ada kekhawatiran bahwa ketamin mencetuskan

hipertermi malignan. Hal ini dikarenakan ketamin dapat meningkatkan

katekolamin sirkulasi, yang dianggap sebagai pencetus hipertermi

malignan. Meskipun demikian ketamin tidak mencetuskan hipertermi

maligna pada suatu studi menggunakan babi. Hal ini diperkuat oleh

rekomendasi Malignant Hyperthermia Association of the United States

(Rosenquist, 2013).

5) Inflamasi

Reaksi inflamasi bertujuan untuk menjaga homeostasis tubuh. Tujuannya

untuk melawan infeksi dan cedera jaringan. Hal ini didasari oleh berbagai

tahap reaksi, yang masing-masing di bawah pengaruh kontrol postif

(proinflamasi) atau negatif( anti inflamasi). Reaksi inflamasi terjadi bila sel

imun inang seperti makrofag, fibroblas, sel mast, dan sel dendrit atau

leukosit sirkulasi mendeteksi patogen atau kerusakan sel. Mekanisme

deteksi melibatkan reseptor surface expressed patern recognition yaitu

resptor Toll (TLRs) yang memegang peranan utama dalam mengaktivasi sel

imun inang. Sebagai konsekuensi reaksi ini, faktor transkripsi (NF-κB, AP1,

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

45

CREB, c/EBP, dan IRF) akan teraktivasi. Leukosit yang berada di sirkulasi

akan terarah ke daerah ini. Mediator histamin, prostaglandin, dan NO akan

menyebakan vasodilatasi lokal. Di bawah pengaruh histamin dan leukotrien,

permeabilitas vaskular akan meningkat. Sel imun yang berada di tempat

infeksi atau terluka akan menyingkirkan benda asing dengan fagisitosis.

Pada saat yang sama akan melepaskan sitokin dan mediator lain yang kan

memulai proses penyembuhan (Kock MD, 2013; Kawamata T, 2000).

Regulasi reaksi inflamasi terjadi pada tingkat perifer dan tingkat

sentral. Pada tingkat perifer, sitokin anti-inflamasi (antagonis reseptor Il-1,

Il-4, Il-10, interferon alfa) akan dilepaskan oleh sel imun yang akan

mengantagonis reaksi inflamasi (IL-1, IL-6, TNF α) dengan mengapoptosis

sel inflamasi. Il-6 akan merangsang produksi CRP (C-Reactive Protein) di

hati dengan mengaktivasi jalur kinase. Pada tingkat sentral, saat terjadi

inflamasi perifer maka akan terdapat komunikasi antara sel imun dan

susunan saraf pusat. Susunan saraf pusat diinformasikan bahwa terjadi

‘sesuatu’ di perifer. Susunan saraf pusat kemudian memodulasi inflamasi

sehingga reaksi ini hanya terjadi di perifer saja. Hal ini diekspresikan

dengan dominasi Th-2 (anti-inflamasi) terhadap Th-1 (pro-inflamasi) (Kock

MD, 2013).

Ketamin dikatakan dapat memperngaruhi inflamasi. Ketamin secara

bermakna mengurangi produksi sitokin inflamasi tanpa mempengaruhi

produksi sitokin anti-inflamsi. Ketamin mengurangi terjadinya eksaserbasi

reaksi inflamasi dan mempercepat resolusi inflamasi dengan membantu

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

46

apoptosis sel inflamasi. Ketamin tidak memiliki efek terhadap sel imun

yang memproduksi sitokin inflamasi bila tidak terdapat stimulus inflamasi.

Efek regulasi ini lebih bermakna bila ketamin diberikan sebelum terjadi

inflamasi. Hal inilah yang juga menjadi dasar mengapa ketamin diberikan

saat induksi anestesi sebelum pembedahan. Ketamin dengan dosis 0,5

mg/kg meningkatkan rasio Th1/Th2 sehingga meningkatkan fungsi imun

pasien. Dalam beberapa penelitian, ketamin menurunkan TNF α, IL-6, IL-

1, dan IL-8 yang pada akhirnya memberikan hasil seperti mengurangi

asidosis dan meningkatkan tingkat kesembuhan (Kock MD, 2013)

Tabel 2.2

Farmakodinamik Ketamin

Susunan saraf pusat Respirasi Kardiovaskular

Anestesia FRC dipertahankan Peningkatan curah

jantung

Analgesia Bronkodilatasi Peningkatan denyut

jantung

Amnesia Hipersalivasi Peningkatan tekanan

darah

Emergence Depresi minimal

2.3.1.3 Aplikasi klinis

Ketamin dapat digunakan untuk sedasi preoperatif dan intraoperatif,

anestesia balance, anestesia regional, anestesia spinal, dan analgesia pascaoperasi.

Ketamin digunakan untuk preoperatif untuk mengurangi anxietas dan memfasilitasi

induksi anestesi umum. Pemberian intramuskular digunakan pada pediatrik. Suatu

studi menyatakan pemberian intramuskular dengan dosis 2 mg/kg menghasilkan

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

47

mula kerja cepat efek disosiasi mulai pada 2,7 menit. Pemberian secara rektal

dengan dosis 10 mg/kg untuk induksi anestesi umum diawali dengan premedikasi

midazolam dan atropin. Penurunan kesadaran terjadi dalam 9-15 menit. Ketamin

juga sudah dipakai untuk anestesia regional dan melaui epidural (Hirota, 2011).

Untuk pemberian sedasi dan analgesia, ketamin diberikan dengan dosis

subanestesi 0,2-0,75 mg/kg intravena, infus kontinu 5-20 ug/kg/menit, 2-4 mg/kg

intramuskular.efek analgesia ketamin tercapai pada konsentrasi plasma 100-150

ng/ml (Rowland L, 2005). Suatu penelitian mengatakan bahwa analgesia dicapai

dengan pemberian ketamin 125-250 ug/kg. Dosis ini cukup untuk mencapai

konsentrasi plasma 100-150 ng/ml (Suzuki M, 1999). Pemberian ketamin 50 ug/kg

tidak memberikan efek analgesia yang cukup, akan tetapi cukup untuk membuat

drowsiness, dosis analgesia paling rendah yang bermakna memberikan efek

analgesia 75 ug/kg (Suzuki M, 1999). Konsentrasi plasma ini dapat dicapai dengan

infus kontinu dengan dosis 3-4 ug/kg/menit setelah bolus awal dan 14 ug/kg/menit

tanpa dosis awal (Keith B, 1996). Untuk anestesia umum, ketamin diberikan

dengan dosis 1-4,5 mg/kg secara intravena, 6,5-10 mg/kg intramuskular (Rowland

L, 2005).

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

48

Tabel 2.3

Keuntungan dan Kerugian Ketamin

Keuntungan Kerugian

Analgesia pada dosis subanestetik Emergence

Amnesia Stimulasi kardiovaskular

Mempertahankan FRC Depresi pernafasan minimal

Reflek laringeal terdepresi minimal Hipersalivasi

Onset yang cepat

Lama kerja terprediksi

Metabolit non-toksik

Larut dalam air

Stabil dalam larutan

Tidak nyeri pasca injeksi

Reaksi alergi minimal

2.3.1.3.1 Aplikasi Klinis Dosis Subanestesia Ketamin

Pada dosis subanestesia, ketamin mengganggu beberapa fungsi kognitif dan

memori. Ketamin menghasilkan emotional withdrawal, afek tumpul, dan

penurunan psikomotor Pada dosis subanestesia ketamin (misalkan 100 ug/kg)

mulai merubah status mood dan mengahasilkan gangguan persepsi sensorik yang

meningkat berdasarkan dosis.(Jouguet-Lacoste J, 2015) Dosis ketamin 75-100

ug/kg menghasilkan sensasi aneh ketika pasien bangun, tapi tidak sampai

menyebabkan disforia, akan tetapi tetap merasakan nyaman ketika bangun. Pada

dosis 500 ug/kg, ketamin menghasilkan efek seperti psikosis, skizofrenia, dan

disforia (Suzuki M, 1999). Dosis subanestesia 0,12 mg/kg menghasilkan

peningkatan metabolisme glukosa pada korteks prefrontal dan kortek cingulata

anterior. Metabolisme glukosa prefrontal dan anterior cingulata berkaitan dengan

pikiran yang tidak terorganisasi, halusinasi, dan paranoia. Oleh karena itu ketamin

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

49

menghasilkan pikiran yang tidak terorganisasi, halusinasi, dan paranioa tergantung

besar dosis. Pemberian ketamin dengan dosis 0,3 mg/kg meningkatkan aliran darah

otak pada daerah kortek anterior cingulata, kortek frontal medius dan inferior.

Pemberian ketamin dengan dosis 0,23 mg/kg bolus mengahsilkan efek emotional

blunting (Rowland L, 2005). Pemusatan perhatian terganggu pada pemberian

ketamin 0,1 mg/kg, usaha yang lebih besar diperlukan untuk memulai dan

mempertahankan perhatian dan emosional pada pemberian ketamin dengan dosis

0,5 mg/kg (Krystal, 1994). Pada pemberian dosis 0,27 mg/kg, ketamin

mengahasilkan gangguan untuk memproses kata setelah pemberian ketamin, akan

tetapi pasien masih dapat mengingat kata sebelum pemberian ketamin (Rowland,

2005). Pada dosis 0,12 mg/kg, ketamin mengganggu kelancaran berbicara yang

beratnya tergantung dosis (Adler, 1998). Ketamin tergantung dosis merubah status

mood, pada dosis 0,1 mg/kg pasien merasakan euforia mild, sensasi tingling pada

wajah dan extremitas, sedangkan pada dosis 0,5 mg/kg pasien merasakan seperti

high saat mabuk. Sebagian besar pasien yang diberikan dosis 0,1 mg/kg merasakan

nyaman, sedangkan pada dosis 0,5 mg/kg pasien bervariasi antara senang sampai

ketakutan (Ahmed S, 2014). Pasien yang memiliki karakter pemegang kontrol, pada

pemberian ketamin merasakan efek tidak nyaman saat pemberian ketamin karena

pasien merasakan tidak lagi dapat memgang kontrol atas dirinya. Pasien yang

memiliki masalah emosional sebelum pemberian ketamin dapat meningkatkan

resiko reaksi tidak menyenangkan terhadap ketamin. Pada kesimpulannya, dosis

ketamin yang lebih besar memberikan efek kecemasan pada penelitian ini (Krystal,

1994; Kochs E, 1996).

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

50

Ketamin menghasilkan peningkatan tekanan darah tergantung dari besar

dosis. Pada penelitian Krystal dkk, ketamin pada dosis 0,1 mg/kg dan 0,5 mg/kg

menghasilkan peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 13,2±1,9 mmHg dan

18,6±2,6 mmHg. Peningkatan tekanan darah diastolik pada dosis ketamin 0,1

mg/kg dan 0,5 mg/kg sebesar 6,9±0,9 mmHg dan 12,5 ±2,2 mmHg. Sedangkan

untuk nadi, pemberian ketamin tersebut tidak memberikan perbedaan bermaknan

dengan pemberian plasebo (Krystal, 1994). Pada penelitian yang dilakukan Nadia

H, menunjukkan tekanan darah arteri rerata tidak berbeda bermakna antara plasebo

dengan pemberian ketamin 0,3 mg/kg saat induksi (88±10 mmHg, 87 ±12 mmHg),

dimana tekanan darah arteri rerata setelah intubasi menunjukkan ketamin (86±6

mmHg) lebih rendah dibandingkan plasebo (94±9 mmHg). Perbedaan bermaknan

juga ditunjukkan pada tekanan darah arteri rerata setelah insisi, dimana ketamin

(94±12 mmHg) lebih rendah dibandingkan plasebo (101±10 mmHg). Tidak ada

perbedaan bermakna antara nadi pasien yang diberikan ketamin dan plasebo saat

induksi. Perbedaan bermakna terlihat pada nadi pasien sesudah intubasi, dimanan

ketami mengahsilkan nadi (90±4 mmHg) yang lebih rendah dibandingkan plasebo

(99±6 mmHg). Begitu juga setelah insisi, pasien dengan pemberian ketamin (93±6

mmHg) menunjukkan nadi lebih rendah dibandingkan plasebo (108±8 mmHg)

(Jouguelet-Lacoste J, 2015).

Ketamin yang diberikan sebelum insisi memiliki efek pada nyeri

pascaoperasi dan mengurangi kebutuhan analgesik. Masukan impuls nyeri durante

operasi dan pascaoperasi menyebabkan stimulasi terus-menerus pada nosiseptor

serabut C dan menyebabkan pelepasan glutamat. Glutamat adalah neurotransmiter

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

51

eksisatori utama pada susunan saraf pusat yang mengaktifkan reseptor postsinaptik

NMDA. Aktivasi reseptor NMDA ini berkontribusi pada proses nyeri seperti wind

up dan sensitisasi sentral. Aktivasi reseptor ini yang terus-menerus memiliki

peranan dalam inflamasi dan proses nyeri neuropatik, yang nantinya akan

menyebabkan hiperalgesia sekunder. Intervensi analgesik sebelum terjadinya

stimulasi nyeri dapat menghambat sensitisasi dan mengurangi nyeri akut ( Helmy

N, 2015; Singh H, 2013).

Pemberian PCA morfin dan ketamin bervariasi mulai dari 0,4mg/ml sampai

dengan 5 mg/ml. Pada suatu penelitian menggunakan ketamin 0,4 mg/ml

dinyatakan gagal untuk mengurangi rasa nyeri (Unlugenc H, 2003). Pada penelitian

dengan dosis ketamin 0,75 mg/ml dikatakan tidak memberikan perbedaan

bermakna dalam konsumsi morfin pascaoperasi (Murdoch CJ, 2002). Pemberian

dosis ketamin 1 mg/ml adalah dosis yang pada penelitian-penelitian dianggap

optimal pada pasien yang menjalani operasi tulang belakang dan panggul (Sveticic

G, 2003).

2.3.1.4 Interaksi Obat

Ketamin berinteraksi secara sinergis dengan agen volatil, propofol,

benzodiazepine, dan agen yang dimediasi oleh reseptor GABA lainnya. Pada

percobaan dengan hewan, pelumpuh otot nondepolarisasi dipotensiasi oleh ketamin

secara minimal. Diazepam dan midazolam merubah efek simultan kardiak dari

ketamin dan diazepam memperpanjang waktu paruh eliminasi ketamin

(Rosenquist, 2013).

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

52

2.3.1.5 Ketamin dan Sensitisasi sentral

Preemptif analgesia adalah terapi antinosisepsi sebelum stimulus

pembedahan, yang mencegah terjadinya perubahan proses sentral dari masukan

aferen (sensitisasi sentral), yang akan melipatgandakan nyeri pascaoperasi. Efek

analgesik ketamin dimediasi oleh beberapa mekanisme. Antagonis nonkompetitif

reseptor NMDA memegang peranan penting untuk efek analgesik ini. Afinitas

ketamin terhadap reseptor NMDA beberapa kali lipat lebih tinggi dibandingkan

terhapat reseptor mu, reseptor glutamat non NMDA, reseptor kolinergik muskarinik

dan nikotinik, dan monoaminergik (Fu ES,1997, Zakine J, 2008). Penambahan

ketamin dosis kecil terhadap opioid menghasilkan efek sinergistik yang sebagian

besar dikarenakan kombinasi inhibisi presinaptik opioid mengurangi transmisi

aferen dengan mengurangi pelepasan neuroteransmitter dan penghambatan post

sinaptik NMDA yang mengurangi wind up dan sentral sensitisasi. Sensistisai

sentral terjadi melalui stimulus (pembedahan) yang menyebabkan aktivasi protein-

kinase C (PKC). PKC sangat sensitif terhadap kalsium, setiap stimulus yang

meningkatkan kalsium intraseluluar di kornu dorsalis akan mengaktifkannya.

Fosforilasi reseptor NMDA menurunkan inhibisi magnesium pada potensial

membran istirahat dan menghasilkan aktivitas sinaptik yang terus-menerus.

Aktivasi ini yang mendasari sentral sensitisai. Dari berbagai obat atau tekhnik

hanya antagonis NMDA yang mengembalikan sensitisasi yang telah terjadi.

Analgesia sebelum insisi bertujuan untuk mencegah atau mengurangi sensitisasi ini

sehingga mengurangi nyeri pascaoperasi (Hajipour A, 2002). Opioid menghasilkan

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

53

anti nosisepsi melalui reseptor mu dan aktivasi jalur descending monoaminergik

pada level medulla spinalis, yang nantinya akan mengaktivasi reseptor NMDA

(Parikh B, 2011). Aktivasi reseptor NMDA pada susunan saraf pusat merupakan

mekanisme yang terlibat pada perubahan adaptif yang mendasari toleransi opioid

dan delayed hiperalgesia. Aktivasi rseptor opioid menyebabkan aktivasi reseptor

NMDA melalui protein kinase. Perkembangan toleransi akut dari opioid yang cepat

terjadi pada hewan dari berbagai macam opioid. Penghambatan terhadap toleransi

ini oleh ketamin telah mendapat perhatian yang serius (Guillou N, 2003;

Subramaniam K, 2004). Stimulasi nosiseptif menyebabkan aktivasi reseptor

NMDA, yang juga dapat terjadi karena pemberian opioid dosis tinggi. Penambahan

ketamin dapat mencegah proses ini (Michelet P, 2007). Pada penelitian Parikh B,

ketamin yang diberikan sebelum insisi dengan dosis 0,15 mg/kg memberikan efek

analgesik sampai pascaoperasi. Waktu paruh ketamin adalah kurang dari 17 menit

dan analgesia yang dihasilkan oleh ketamin dengan dosis 0,125-0,25 mg/kg

intravena bertahan sampai 5 menit ketika konsentrasi plasma >100 ng/mL. Akan

tetapi pada penelitian ini ditemukan bahwa efek analgesia ketamin bertahan sampai

pascaoperasi. Analgesia pascaoperasi yang bertahan lama ini dapat dijelaskan

dengan mekanisme hambatan pada sensitisasi sentral (Parikh B, 2013). Ketamin

dosis rendah 0,15 mg/kg yang diberikan sebelum insisi operasi dapat menurunkan

40 persen konsumsi morfin pada 24 jam pascaoperasi (Hajipour A, 2002).

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

54

2.4 Patient Controlled Analgesia (PCA)

Pemberian analgesia pascaoperasi yang paling lazim digunakan yaitu

melalui PCA atau analgesia terkontrol oleh pasien. PCA secara umum dianggap

memberikan opioid secara intravena, berkala, sesuai permintaan pasien (dengan

atau tanpa infus kontinyu). Tehnik ini berdasarkan pada penggunaan mesin pompa

infus yang canggih dengan mikroprosesor yang mampu mengalirkan dosis opioid

sesuai program saat tombol permintaan ditekan. Analgetik apapun yang diberikan

dengan cara beragam (misal oral, subkutan, kateter epidural, kateter saraf perifer,

atau transdermal) dapat dianggap sebagai PCA bila diberikan segera setelah diminta

oleh pasien dalam jumlah yang cukup (Macintyre PE,2001).

Pada tahun 1993, Ballantyne melaporkan suatu hasil metaanalisis yang

dirancang untuk meneliti hasil-hasil uji klinis pemakaian PCA dan analgesia intra

muskular (IM) konvensional. Mereka membandingkan PCA (tanpa dilanjutkan

infus kontinyu) dengan analgetika opioid intra muskular setiap 3-4 jam. Kriteria

eksklusi meliputi populasi pasien khusus (anak-anak dan orang tua) dan pasien yang

secara rutin dirawat di ICU pascaoperasi jantung. Secara signifikan efikasi

analgesia lebih besar, meskipun perbedaannya kecil (hanya 5,6 pada skala nyeri 0-

100). Beberapa penelitian terbaru yang membandingkan PCA dengan metode

konvensional seperti pemberian analgetika opioid secara intra muskular,

subkutaneus dan intra vena, atau secara infus kontinyu menunjukkan hasil yang

saling berlawanan. Beberapa penelitian menunjukkan secara signifikan PCA lebih

baik sedangkan penelitian lain menunjukkan tidak ada perbedaan (Ballantyne,

2008; Macintyree, 2001).

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

55

Pada tahun 1980, Austin mampu menjabarkan prinsip-prinsip farmakologi

yang merupakan dasar PCA intravena. Didalam penelitian tersebut, diberikan

meperidine dosis kecil yang ditingkatkan secara bertahap, mengukur konsentrasi

plasma dan mengambil kesimpulan skor nyeri pada pasien untuk memperlihatkan

kecuraman kurve konsentrasi-efek untuk analgetik opioid. Peningkatan minimal

konsentrasi meperidine (cukup 3%-5%) di atas konsentrasi yang masih terkait

dengan nyeri berat ternyata secara dramatis dapat mengurangi nyeri. Konsentrasi

terkecil dimana nyeri berkurang disebut sebagai Minimum Effective Analgesic

Concentration (MEAC) atau konsentrasi analgetik efektif minimum. Analgesia

minimal dicapai dengan titrasi opioid hingga MEAC tercapai, yang membatasi

antara nyeri berat dengan analgesia. Lebih jauh lagi, para peneliti ini menemukan

bahwa dosis yang dapat menimbulkan analgesia bervariasi diantara individu,

sehingga disimpulkan bahwa variabilitas dalam farmakodinamik opioid

menyebabkan perbedaan dosis yang diperlukan (Grass JA, 2005).

MEAC individual mungkin ditentukan oleh kadar opioid endogen dalam

cairan serebrospinal preoperatif, pasien dengan kadar opioid endogen yang lebih

besar dalam cairan serebrospinal memerlukan MEAC yang lebih rendah untuk

mendapat dan mempertahankan analgesia. Dua hal yang mempengaruhi efektivitas

analgesia kemudian ditentukan oleh dosis individual dan titrasi sampai nyeri

berkurang untuk mencapai MEAC dan mempertahankan analgesia, serta

konsentrasi opioid plasma dipertahankan dan menghindari peningkatan atau

penurunan yang tajam. Kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi dengan pemberian prn

ataupun injeksi intra muskular sesuai waktu yang ditentukan. Setelah titrasi untuk

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

56

mencapai MEAC dan mendapatkan analgesia, pasien menggunakan PCA untuk

mempertahankan konsentrasi opioid plasma tepat atau sedikit di atas MEAC

individu (konsentrasi plasma optimal). Sebaliknya, pasien yang mendapat injeksi

bolus intra muskular mengalami periode nyeri berat yang signifikan dengan

konsentrasi opioid plasma kurang dari MEAC individu, diikuti dengan pemberian

suntikan berlebihan yang melebihi konsentrasi optimal plasma sehingga

menyebabkan sedasi berlebihan, kemungkinan depresi pernafasan dan tidak

mengurangi nyeri lebih baik (Grass JA, 2005).

PCA dapat diberikan dengan beberapa cara. Dua diantaranya yang paling

lazim adalah dosis sesuai permintaan atau demand dose (dosis yang telah ditetapkan

diberikan sendiri oleh pasien secara berkala) dan infus kontinyu atau background

infusion disertai dosis sesuai permintaan (infus konstan dengan kecepatan tetap

yang disuplementasi dengan dosis sesuai kebutuhan pasien). Untuk semua metode

PCA, terdapat variabel dasar berikut: dosis loading awal, dosis permintaan atau

demand dose, interval dimana mesin terkunci (lockout interval), kencepatan infusi

dasar (background infusion), dan batasan dosis maksimal dalam 1 jam dan 4 jam.

Dosis loading awal memungkinkan dilakukan titrasi obat saat diaktivasi oleh

programmer (bukan pasien). Dosis awal dapat digunakan oleh para perawat di

PACU untuk mentitrasi dosis opioid sampai mencapai MEAC atau oleh perawat

pascaoperasi untuk memberikan dosis breaktrough. Dosis permintaan atau demand

dose (sering disebut sebagai dosis incremental atau dosis PCA) adalah jumlah

analgetik yang diberikan ke pasien pada saat tombol ditekan oleh pasien. Untuk

mencegah overdosis dengan permintaan yang terus-menerus, semua alat PCA

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

57

menggunakan kunci interval (lock out interval), yaitu jarak waktu setelah

pemberian dosis permintaan yang sukses dimana alat tidak akan memberikan dosis

permintaan lagi (walaupun pasien menekan tombol permintaan) sampai waktu yang

telah ditentukan. Infus dasar atau kontinyu adalah infusi dengan kecepatan konstan

yang diberikan tanpa memperhatikan apakah pasien memerlukan dosis permintaan.

Beberapa alat memungkinkan batasan satu jam atau empat jam dengan tujuan

sebagai program alat untuk membatasi pasien dalam interval 1 jam atau 4 jam

mendapat dosis kumulatif total yang lebih sedikit dibanding mereka secara sukses

mendapat dosis permintaan di setiap akhir interval penguncian. Penggunaan

batasan interval 1 jam atau 4 jam ini masih kontroversial. Orang yang pro

memberikan pendapat bahwa batasan ini memberikan keamanan yang lebih baik,

sedangkan yang tidak setuju menyatakan tidak ada data yang menunjukkan

keamanan yang lebih baik. Selain itu, bila pasien menggunakan dosis permintaan

yang cukup untuk mencapai batasan 1 jam atau 4 jam, mereka mungkin

memerlukan analgetik yang lebih banyak bukannya dikunci dari akses lebih jauh

untuk mencapai keseimbangan interval. Batas dosis untuk morfin biasanya diatur

10 mg dalam 1 jam atau 30 mg dalam 4 jam. Perlu diingat bahwa PCA merupakan

terapi pemeliharaan sehingga nyeri yang dirasakan pasien harus dikendalikan dulu

sebelum PCA dimulai (Grass JA, 2005).

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

58

Gambar 2.8

Perbedaan Kadar Serum Obat dengan Berbagai Cara Pemberian

Background infusion dapat diberikan oleh sebagian besar mesin PCA

elektrik. Diharapkan dengan penggunaan infus kontinyu sebagai tambahan dalam

pemberian dosis bolus akan meningkatkan analgesia pada pasien sehingga tidurnya

lebih baik tanpa terbangun akibat nyeri. Kekurangannya adalah opioid tetap

diberikan tanpa memperhatikan level sedasi pasien dan dapat meningkatkan risiko

depresi nafas. Pada orang dewasa penggunaan rutin background infusion tidak

direkomendasikan. Background infusion kemungkinan diperlukan pada pasien

yang toleran terhadap opioid, pasien sudah terbiasa menggunakan opioid sehingga

memerlukan opioid dosis tinggi atau pasien yang mengeluh sering terbangun dari

tidurnya pada malam hari akibat merasakan nyeri hebat (Ballantyne, 2008).

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

59

Semua opioid telah digunakan dengan sukses untuk regimen PCA intra

vena, dengan morfin yang paling banyak dipelajari. Apapun opioid yang dipilih

untuk PCA intravena, pengetahuan tentang farmakologi diperlukan untuk mengatur

variabel dosis pada alat PCA (Grass JA, 2005).

Morfin masih merupakan gold standard untuk PCA intravena, karena masih

banyak dipelajari dan merupakan obat yang paling banyak digunakan untuk PCA

intravena di Amerika Serikat. Morfin merupakan alkaloid opium yang bekerja

agonis, mengikat reseptor di otak, dan medula spinalis. Reseptor yang dominan

adalah reseptor µ yang terdistribusi paling banyak pada sistem saraf pusat, dengan

konsentrasi yang paling tinggi pada sistem limbik. Absorbsi morfin setelah

pemberian intra muskular dan subkutan terjadi pada menit ke-50-90 menit. Morfin

didistribusikan ke seluruh tubuh, khususnya jaringan seperti ginjal, paru, dan limpa.

Morfin 35% terikat oleh protein, terutama albumin, dimetabolisme di hati. Sangat

penting untuk diberi catatan bahwa morfin mempunyai metabolit aktif morfin-6

glukuronide (M6G) yang juga menghasilkan efek analgesia, sedasi, dan depresi

respirasi (Ballantyne, 2008).

Komponen kunci untuk efektivitas terapi PCA adalah titrasi yang sesuai

untuk mendapatkan analgesia awal. Dosis loading morfin 2-4 mg (atau sejumlah

ekuianalgesia opioid alternatif lain) harus diberikan setiap 5-10 menit di PACU

sampai skor nyeri ≤4 dari 10 atau bila frekuensi nafas <12 kali per menit membatasi

untuk pemberian opioid lebih lanjut. Harus menjadi pertimbangan untuk

menggunakan pendekatan terapi multimodal untuk menghasilkan analgesia yang

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

60

optimal dan menurunkan kebutuhan opioid, yang selanjutnya akan menurunkan

potensial efek samping dan depresi respirasi (Ballantyne, 2008).

2.5 Stabilitas Larutan Ketamin-Morfin

Penelitian sekarang ini dalam mekanisme nyeri akut menyimpulkan bahwa

reseptor NMDA memiliki peranan dalam perkembangan hiperalgesia pascaoperasi

dan toleransi akut opioid. Antagonis resptor NMDA seperti ketamin telah banyak

diteliti dalam peranannya dalam meminimalkan nyeri akut pascaoperasi dan

menurunkan kebutuhan opioid. Campuran ketamin dan opioid pada larutan yang

sama merupakan suatu hal yang praktis dan berguna untuk analgesia pascaoperasi

seperti PCA, infus kontinu intravena, dan epidural. Schmid (2002) meneliti

kestabilan larutan morfin sulfat dan racemic ketamin dalam normal saline dalam

pH 5,5-7,5 dalam 4 hari. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa campuran ketamin

dan morfin stabil dalam temperatur ruangan dalam 4 hari dalam berbagai variasi

pH antara 5,5-7,5. Lau MH juga meneiliti kestabilan ketamin dan morfin dengan

hasil bahwa campuran ketamin dan morfin stabil dalam bentuk campuran dalam 24

jam (Lau MH, 1998). Penelitian yang dilakukan Ronald FD juga menunjukkan

bahwa campuran ketamin (2 mg/ml) dengan morfin (2,5, atau 10 mg/ml) secara

fisik dan kimiawi stabil bila dicampur dengan normal saline dengan suhu 23 oC

selama 91 hari. Semua campuran tetap jernih dan tidak bewarna, serta pH tidak

berubah secara signifikan. Konsentrasi setiap campuran tetap diatas 98% dari

konsentrasi awal (Schmid R, 2002).

Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri II.pdf · 1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa. 2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul

61


Top Related