Transcript
Page 1: 100414538 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME

Oleh: Ardeshelly Adnan, S.Ked

Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK UNSRI/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

2012

PENDAHULUAN

Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan kelainan kulit

ditandai dengan eksantem generalisata, lepuh luas disertai erosi dan deskuamasi

superfisial. Kelainan ini disebabkan oleh toksin eksfoliatif (ETs) yaitu toksin

eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan strain Staphylococcus aureus

(biasanya faga grup 2).1,2

Pada tahun 1878, Von Rittershan pertama kali menguraikan SSSS pada

anak. Levine and Nordon, tahun 1972, menemukan kasus pertama pada dewasa.

Hingga tahun 2000, diperkirakan 40 kasus SSSS pada dewasa telah dilaporkan

dalam penelitian.3

Staphylococcal scalded skin syndrome umumnya terjadi pada bayi dan

anak-anak usia di bawah lima tahun tetapi jarang ditemukan pada dewasa.

Diantara kasus yang pernah dilaporkan, lelaki cenderung lebih banyak dari wanita

dengan perbandingan 2:1, dimana 50% kasus terjadi sebelum usia 50.2,3

Pasien SSSS memiliki gejala klinis berupa demam dan malaise yang

timbul beberapa hari setelah infeksi staphylococcal.4 Perkembangan lesi dapat

berupa erupsi kemerahan pada kulit yang menyebar dengan bula berdinding

kendur. Lapisan atas kulit akan mengelupas, meninggalkan luka terbuka yang

lembab, merah dan nyeri. Daerah predileksi penyakit ini ditemukan pada wajah,

axilla, selangkangan dan leher biasa terlibat. Dengan perawatan tepat, erosi dapat

mengering dengan cepat dan deskuamasi akan terjadi dalam beberapa hari.3,4

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme,

identifikasi ET, dan hasil biopsi. Prognosis pada anak biasanya baik, tetapi pada

dewasa diperlukan pemantauan yang ketat.3

1

Page 2: 100414538 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Tujuan referat ini adalah untuk memperdalam pengetahuan mengenai

manifestasi klinik, penegakkan diagnosis, hingga tatalaksana yang tepat dalam

menangani kasus SSSS. Informasi tersebut diharapkan nantinya dapat membantu

dokter layanan primer untuk bertindak secara cepat dan tepat dalam menghadapi

kasus SSSS.

ETIOLOGI

Staphylococcal scalded skin syndrome disebabkan oleh toksin eksfoliatif

(ETs) yaitu toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan dari strain

toksigenik bakteri staphylococcus aureus (faga grup 2).5

Desmosom merupakan sebagian dari sel kulit yang bertanggungjawab

sebagai perekat kepada sel-sel kulit. Toksin yang mengikat pada molekul di antara

desmosom dikenali sebagai desmoglein dan kemudiannya memisah sehingga kulit

menjadi tidak utuh.4,5

Toksin eksfoliatif memiliki target kerja pada desmoglein 1 merupakan

desmosom glikoprotein transmembran yang mempertahankan adhesi antar sel

pada epidermis.6,7

PATOFISOLOGI

Toksin eksfoliatif (ETs) merupakan serin protease yang dapat

menimbulkan celah pada ikatan adhesi antar sel molekul desmoglein 1, yang

tampak pada bagian atas epidermis yaitu antara stratum spinosum dan granulosum

sehingga menimbulkan bula berdinding tipis yang mudah pecah, memperlihatkan

Nikolsky sign positif.6,7 Pada SSSS toksin berdifusi dari fokus infeksi, dan tidak

adanya antibodi antitoksin spesifik dapat menyebabkan penyebaran toksin secara

hematogen. Meskipun strain toksigenik S. aureus yang terbanyak adalah faga grup

II (subtype 3A, 3B, 3C, 55 dan 71), selain itu juga terdapat strain faga grup I dan

III.2 Adanya keterlibatan desmoglein 1 pada SSSS menyerupai penyakit autoimun

pemfigus foliaseus.6,7

2

Page 3: 100414538 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Salah satu fungsi fisiologi utama kulit adalah barier terhadap infeksi, yang

terletak pada stratum korneum. Adanya toksin eksfoliatif yang dimiliki S.aureus

memungkinkan proliferasi dan penyebarannya di bawah barier tersebut. Sekali

kulit dapat mengenali toksin eksfoliatif tersebut, S. aureus dapat menyebar

sehingga menimbulkan celah di bawah stratum korneum.8

Toksin staphylococcus terdiri atas toksin eksfoliatif A dan B (ETA dan

ETB) yang menyebabkan lepuhnya kulit pada SSSS. ETA terdiri atas 242 dengan

berat molekul 26.950 kDa, bersifat stabil terhadap panas dan gennya terletak pada

kromosom sementara ETB terdiri atas 246 asam amino dengan berat molekul

27.274 kDa, bersifat labil terhadap pemanasan dan gennya berlokasi pada

plasmid.2,7 Toksin ini dihasilkan pada fase pertumbuhan bakteri dan diekskresikan

dari kolonisasi staphylococcus sebelum diabsorpsi melalui sirkulasi sistemik.

Toksin mencapai stratum granulosum epidermis melalui difusi pada kapiler

dermal.2 Studi histologis menunjukkan bahwa ikatan ETs pada keratinosit kultur

isolasi kulit menyebabkan terbentuknya vesikel yang mengisi ruang antarsel,

diikuti cairan interseluler yang mengisi ruang antara stratum granulosum dan

spinosum. Pemeriksaan laboratorium mendukung bahwa ETB lebih pirogenik

dibandingkan ETA, sementara studi klinis menunjukkan meskipun ETA dan ETB

dapat menyebabkan SSSS lokal, tetapi ETB lebih sering diisolasi dari anak yang

menderita SSSS generalisata dan juga dapat menyebabkan eksfoliasi generalisata

pada orang dewasa yang sehat.1,2

Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS (Gambar.1).

Desmosom adalah intercelluler adhesive junction yang secara struktural

berhubungan dengan filamen intermediet intraseluler. Desmosom ini

diekspresikan oleh sel epitel dan beberapa sel lainnya yang banyak terdapat pada

jaringan yang mengalami stress mekanik, seperti kulit, mukosa gastrointestinal,

jantung, dan kandung kemih.3,7 Desmoglein (Dsg) merupakan komponen

transmembran mayor pada desmosom yang berperan tidak hanya pada adhesi

antar sel epitel tetapi juga pada morfogenesis sel epitel.9 Terdapat 3 isoform

desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2, dan Dsg3. Dsg 2 terdapat pada semua jaringan

3

Page 4: 100414538 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

yang memiliki desmosom termasuk epitel dan miokard, sedangkan Dsg1 dan

Dsg3 terbatas pada epitel skuamos bertingkat.9,10

Gambar 1. Desmoglein merupakan target pada SSSS9

ETA dan ETB menyebabkan bula dan pengelupasan kulit dengan cara

menghambat desmosom pada lapisan sel granular epidermal sehingga terjadi

pemisahan intradesmosomal.1 Lebih dari satu dekade diduga bahwa toksin

tersebut terikat secara langsung pada cadherin desmosomal, yaitu desmosglein1

(Dsg1).10 Meskipun pemisahan sel epidermal ditunjukkan oleh toksin eksfoliatif

(ETs), gejala klinis SSSS tidak dapat diterangkan oleh aksi toksin tersebut. ETs

juga bisa bertindak sebagai lipase sekaligus mengaktifkan protease lain yang pada

gilirannya menyebabkan pengaruh patogenik.9,10

4

Page 5: 100414538 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Toksin epidermolitik difiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi pada tubulus

proksimal dimana kemudian dikatabolisme oleh sel-sel tubulus proksimal.

Kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) bayi kurang dari 50% GFR orang dewasa

normal, dan hal ini terbanyak ditemukan pada dua tahun pertama kehidupan. Hal

ini menjelaskan mengapa bayi-bayi, pasien dengan gagal ginjal kronik, dan pasien

yang menjalani hemodialisa merupakan faktor predisposisi terjadinya SSSS.6

MANIFESTASI KLINIK

Infeksi S. aureus berawal dari lokasi-lokasi tertentu seperti kulit,

tenggorokan, hidung, mulut, atau saluran pencernaan. SSSS timbul berupa bercak

kemerahan yang diikuti pengelupasan epidermis menyeluruh.8

Staphylococcal scalded skin syndrome biasanya dimulai dengan demam,

malaise, gelisah, dan nyeri. Selanjutnya diikuti kemerahan meluas pada kulit yang

biasa terjadi pada daerah lipatan, seperti leher, axilla, selangkangan dan muka.

Dalam waktu 24-48 jam terbentuk benjolan-benjolan berisi cairan, benjolan-

benjolan ini mudah pecah, dan meninggalkan kesan yang tampak seperti terbakar.

Dua sampai tiga hari lapisan atas kulit akan mengeriput dan terjadi pengelupasan

lembaran kulit, meninggalkan luka terbuka yang lembab, merah dan nyeri. Luka

terbuka selanjutnya akan mengering dan terjadi deskuamasi, kondisi ini biasanya

dapat sembuh dalam 7–14 hari.8,11

A B

Gambar 2.(A) bercak kemerahan yang menyebar pada lengan, muka dan badan bayi penderita SSSS, (B) bula berdinding tipis yang pecah dan meninggalkan kesan terbakar8

5

Page 6: 100414538 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Gambar.3 Luka yang telah mengering dan mulai terjadi deskuamasi14

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme,

identifikasi ET, dan hasil biopsi.3

Pada umumnya penyakit ini diawali dengan demam, karena infeksi saluran

nafas atas, kelainan kulit yang timbul diawali oleh eritema yang timbul mendadak

pada lipat paha, muka, leher, dan ketiak yang kemudian meluas ke seluruh tubuh

tapi tidak melibatkan membran mukosa dengan Nikolsky’s sign positif (Gambar.4)

dan nyeri tekan.12,13 Dalam waktu 24-48 jam akan timbul bula-bula besar

berdinding kendur, yang selanjutnya akan terjadi pengeriputan spontan disertai

pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tampak daerah erosif yang mirip

dengan kombustio dalam beberapa hari akan mengering dan terjadi deskuamasi.

Penyembuhan akan terjadi pada 10-14 hari tanpa disertai sikatriks.12,14

6

Page 7: 100414538 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Gambar 4. Nikolsky’s sign positif pada penderita SSSS9

Pemeriksaan kultur bula yang intak pada SSSS biasanya steril (tidak

ditemukan staphylococcus), hal ini sesuai dengan patogenesis penyebaran toksin

secara hematogen berasal dari fokus infeksi yang jauh.6 Sedangkan pada impetigo

bulosa pemeriksaan kultur dan pewarnaan gram menunjukkan adanya

staphylococcus.7

Pada gambaran histopatologi didapatkan pemisahan pada epidermis antara

stratum granulosum dan stratum spinosum. Akantolisis pada stratum granulosum

dan pembentukan belahan subkorneal ditemukan pada lesi awal, pada tahap

deskuamasi tampak epidermis yang utuh dengan celah pada stratum korneum

(Gambar.5). Beberapa limfosit mengelilingi pembuluh darah superficial. Dua ET

(ETA dan ETB) dapat dilihat pada imunofluoresensi, dimana ET berikatan dengan

granula-granula keratohialin.6,11

7

Page 8: 100414538 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Gambar.5 Histopatologi SSSS, dimana hilangnya adhesi sel pada epidermis superfisial.9

Staphylococcal scalded skin syndrome dan impetigo bulosa merupakan

penyakit kulit melepuh yang disebabkan ET, akan tetapi pada impetigo bulosa, ET

hanya terdapat pada area infeksi sehingga kultur bakteri dapat diperoleh dari isi

lepuh. Pada SSSS, ET tersebar secara hematogen dan akan berpotensi

menyebabkan kerusakan epidermal pada bagian tempat terjauh.6,14

Staphylococcal scalded skin syndrome dibedakan dari toxic epidermal

necrolysis (TEN) berdasarkan bagian yang mengalami kerusakan, dimana SSSS

terjadi pada intraepidermal sedangkan TEN menyebabkan nekrosis pada seluruh

lapisan epidermal (pada batas membran dasar). Staphylococcal scalded skin

syndrome memiliki tingkat keparahan yang lebih rendah dan tidak melibatkan

erosi membrane mukosa jika dibandingkan dengan TEN. Pada SSSS, hasil

pemeriksaan preparat Tzanck dari area lepuh yang dipecahkan akan didapatkan

sejumlah sel epitel dengan inti sel besar dan sel-sel akantolitik tetapi tidak

ditemukan sel-sel inflamasi sedangkan TEN hanya memiliki sel epitel yang

sedikit dan tidak memiliki sel akantolitik tetapi banyak terdapat sel-sel

inflamasi.6,11

PENATALAKSANAAN

Terapi untuk SSSS harus ditujukan untuk mengeradikasi infeksi S. aureus.

Pengobatan biasanya memerlukan perawatan inap dan pemberian antibiotik anti-

staphylococcal intravena. Untuk kasus yang tidak berat, antibiotik oral dapat

diberikan sebagai pengganti setelah beberapa hari. Kerusakan fungsi perlindungan

8

Page 9: 100414538 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

kulit yang luas pada lesi SSSS, menyebabkan gangguan cairan dan elektrolit.

Pemantauan cairan ditunjang penggunaan antibiotik yang tepat serta perawatan

kulit, sangat berguna untuk mempercepat penyembuhan. Penggunaan baju yang

meminimalkan gesekan juga dapat membantu mengurangi terjadinya

pengelupasan kulit akibat gesekan. Kompres daerah lesi untuk membersihkan dari

jaringan-jaringan epidermis yang telah nekrosis. Salep antibiotik muporicin

diberikan beberapa kali dalam sehari pada area lesi termasuk pada sumber infeksi

sebagai tambahan terapi antibiotik sistemik.6

PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

Komplikasi paling berat yang dapat terjadi pada pasien SSSS adalah

gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.6 Komplikasi lain yang sering terjadi

berupa dehidrasi, infeksi sekunder, dan sepsis. Kasus SSSS pada anak jarang

menyebabkan sepsis sehingga angka kematiannya lebih rendah (1-5%). Angka

kematian pada dewasa lebih besar (mencapai 50-60%) karena diikuti beberapa

faktor penyebab kematian lainnya dan peningkatan kejadian sepsis.6,7

KESIMPULAN

Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome (SSSS) merupakan suatu penyakit

epidermolisis yang disebabkan oleh ET (ETA dan ETB) dari Staphylococcus

aureus. Gejala berupa kemerahan meluas pada kulit diikuti terbentuknya

benjolan-benjolan berisi cairan, mudah pecah, dan tampak seperti terbakar.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme,

identifikasi ET, dan hasil biopsi. Terapi untuk SSSS bertujuan untuk

mengeradikasi infeksi S. aureus dengan pemberian antibiotik, pemantauan cairan,

dan perawatan kulit. Prognosis pada anak lebih baik dibandingkan dewasa karena

jarang terjadi sepsis. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, dehidrasi,

infeksi sekunder, dan sepsis merupakan komplikasi SSSS yang sering terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

9

Page 10: 100414538 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

1. Donohue D, Robinson B, Goldberg NS. Staphylococcal scalded skin

syndrome in a woman with chronic renal failure exposed to human

immunodeficiency virus. Cutis 1991;47:317-8.

2. Ladhani S, Robbie S, Garratt RC, Chapple DS, Joannou CL, Evans RW.

Development and Evaluation of Detection System for Staphylococcal

Exfoliative Toxin a Responsible for Scalded Skin Syndrome. J Clin

Microbiol. 2001; 39: 2050-54

3. Luk N.M. Adult Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Hong

Kong Dermatology & Venereology Bulletin. 2002; 10 (1): 25.

4. Weston WL, Erythema Multiforme and Steven-Johnson syndrome. In:

Bolognia J.L, Jorizzo LJ, Rapihi RP (editors). Dermatology: volume one.

London. Mosby: 2003.p 313-16

5. Clark RA dan Hopkins T , The other eczemas, In: Moschella S, Hurley H

(editor). Dermatology: 3rd ed. Edinburgh: Mosby: 2003. p. 489-93

6. Travers JB, Mousdicas N. Gram-positive Infections Associated with Toxin

Production. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Austen KF, Goldsmith LA, Katz

SI, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7 th ed. New York:

McGraw-Hill; 2008. p. 1710-19.

7. Morgan MB, Smoller BR, Somach SC, eds. Staphylococcal Toxin-

Mediated Scalded Skin and Toxic Shock Syndromes. In: Deadly

Dermatologic Diseases Clinicopathologic Atlas and Text. Cleveland:

Springer; 2007. p. 133-6.

8. Hanakawa Y, Schechter NM, Lin C, Garza N, Yamaguchi T. Molecular

Mechanism of Blister Formation in Bullous Impetigo and Staphylococcal

Scalded Skin Syndrome. J. Clin. Invest. 2002; 110: 53–60.

9. Amagai M, Matsuyoshi N, Wang ZH, Andi C, Stanley JR. Toxin in

Bullous Impetigo and Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome Targets

Desmoglein-1. Nat Med. 2000; 6: 1275-7.

10

Page 11: 100414538 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

10. Runswick SK, O Hare MJ, Jones L, Streuli CH, Garrod DR. Desmosomal

adhesion regulates epithelial morphogenesis and cell positioning. Nat Cell

Biol. 2001. 3: 823-30.

11. Rooks Grattan CEH, Black AK.. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,

Griffiths C, eds. Rook’s Textbook in Dermatology. Massachusetts:

Blackwell Science; 2004. p.47.31-3

12. Kane KSM, Ryder JB, Johnson RA,Baden HP, Stratigos A. Cutaneous

bacterial infektions. In Color atlas & synopsis of pediatric dermatology.

New York: 2002: 474-5.

13. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, Bacterial infections involving the

skin. In Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology.

Edisi ke-5. USA: Mc. Graw Hill, 2005: 620-3.

14. James WD, Berger TG, Elston DM. Hansen’s disease. In Andrews

Diseases of THE Skin Clinical Dermatology. 10th ed. New York:

Saunders Elsevier; p. 344-52

11

Page 12: 100414538 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Tugas REFERAT

Antibiotik untuk eradikasi bakteri S.Aureus pada penyakit SSSS

Nafcillin 100 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis atau 50 mg/kg/hari dibagi

dalam 4 dosis peroral, 7-10 hari

Penicillin G procaine (300K U/hari IM untuk BB<30 kg, 600K sampai 1

million U/hari IM untuk BB>30 kg)

Amoxicillin-clavulanate 45 mg/kg/hari/peroral dibagi dalam 2 dosis, 7-10

hari

Cefazolin 100 mg/kg/hari IV dibagi dalam 4 dosis

Cephalexin 40 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis, 7-10 hari

Sumber: Veien NK. The clinician's choice of antibiotics in the treatment of

bacterial skin infection. Br J Dermatol. Dec 1998;139 Suppl 53:30-6

12


Top Related