digital_20334294 t32592 seno setyo pujonggo

144

Click here to load reader

Upload: avi-cenna

Post on 28-Dec-2015

88 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

international relations

TRANSCRIPT

Page 1: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

iv

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 2: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

iv

ii

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 3: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

iv

iii

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 4: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

iv

UCAPAN TERIMAKASIH

Dengan telah selesainya tesis ini, perkenankanlah Penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Alloh SWT yang telah memberikan kehidupan yang luar biasa ini dan

Nabi Muhammad SAW yang telah mengajarkan bagaimana caranya untuk

hidup dan menjalaninya dengan selamat, dunia dan akhirat.

2. Orangtua Penulis; Bapak Setiyono, Ibu Rossy Ardhiani M. dan Mamah

Titien atas cinta, doa, semangat dan kesabarannya yang tiada terbalas

sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi ini.

3. Atasan Penulis, Bapak Drs. Rindang Napitupulu, selaku Sesditjenim yang

selalu memberikan semangat dan dukungan sehingga Penulis dapat

menuntaskan studi.

4. Hariyadi Wirawan, Ph.D. selaku Pembimbing Tesis dan Ketua Program

Pasca Sarjana Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI yang

dengan penuh kesabaran dan kebaikan hati telah memberikan bimbingan,

masukan, semangat serta yang utama adalah pendidikan yang berharga

kepada Penulis dalam menjalani keseluruhan rangkaian proses pengerjaan

tesis ini. Terimakasih banyak Pak. Akan selalu teringat “kerendahan hati”

Bapak.

5. Utaryo Santiko, S.Sos., M.Si. selaku Penguji Ahli Tesis yang telah

memberikan masukan-masukan berharga untuk menjadikan tesis ini

menjadi lebih baik.

6. Makmur Keliat, Ph.D selaku Ketua Sidang yang telah banyak memberikan

bimbingan dan bantuan kepada Penulis selama Penulis menjalani studi.

7. Asra Virgianita, S.Sos, MA. selaku Sekretaris Sidang dan Sekretaris

Program Pasca Sarjana Departemen Ilmu Hubungan International FISIP

UI yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan kepada Penulis

selama Penulis menjalani studi.

8. Seluruh jajaran Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Hubungan

Internasional FISIP UI.

9. Rekan-rekan kuliah se-angkatan Penulis: Rangga, Devi, Ari, Jessie, Adit,

Ula, Ita, Ipin, Reza, Kristina, serta rekan-rekan lain yang tidak mungkin

penulis sebutkan satu persatu di dalam kesempatan ini.

10. Sahabat Penulis: Aziz, Aang, Adi, Bobby, Uzan, Pman, Angga, Aam,

Nurdin, Dewi dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Terimakasih sahabat.

11. Rekan-rekan kerja di Direktorat Jenderal Imigrasi: Rekan-rekan KLN &

Sesditjenim atas segala bentuk dukungan dan doa.

12. Keluarga, teman-teman, serta rekan-rekan lain yang tidak mungkin penulis

sebutkan satu persatu di dalam kesempatan ini.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 5: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

iv

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 6: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

iv

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 7: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

iv

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

PROGRAM PASCASARJANA

Seno Setyo Pujonggo. 0806482264

SHANGHAI COOPERATION ORGANIZATION (SCO) SEBAGAI BENTUK

BALANCING RUSIA-CHINA TERHADAP ANCAMAN AMERIKA SERIKAT

DI ASIA TENGAH (1991-2008)

(xiv + 99 halaman + 9 tabel + 3 diagram + 2 gambar + 1 grafik + daftar pustaka (4

dokumen + 9 buku + 25 jurnal ilmiah + 3 tesis + 13 sumber internet)

ABSTRAK

Penelitian dalam tesis ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor

yang menyebabkan Rusia dan China memilih strategi Balancing dengan

membentuk SCO terhadap ancaman yang diberikan Amerika Serikat di Asia

Tengah.

Metode penelitian dalam penelitian ini mengambil bentuk penelitian

eksplanatif karena bertujuan untuk menganalisa dan mengidentifikasikan faktor-

faktor ancaman yang menyebabkan Rusia dan China membentuk SCO di Asia

Tengah.Berdasarkan teknik pengumpulan data, penelitian ini merupakan studi

dokumen atau literatur. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam tesis ini

adalah teori milik Stephen M. Walt, yaitu Balance of Threat guna menganalisis

level ancaman yang diberikan Amerika Serikat di Asia Tengah. Level ancaman

tersebut terdiri dari Aggregate power, Proximate Power, Offensife Power dan

Offensive Intention.

Temuan di dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang

menyebabkan Rusia dan China melakukan strategi Balancing terhadap ancaman

Amerika Serikat di Asia Tengah adalah makin dekatnya kemampuan menyerang

dari NATO karena perluasan keanggotaan NATO yang mengarah ke Eropa Timur

dan berbatasan langsung dengan Rusia (Proximate Power). Dengan bertambahnya

keanggotaan NATO dan makin dekatnya jarak menyerang NATO ke Rusia

menyebabkan Rusia terancam akan pengaruhnya di Asia Tengah secara politik

dan militer. Dalam sektor ekonomi, keinginan AS untuk membangun jalur pipa

energy yang langsung menuju ke Eropa tanpa melewati Rusia sangat merugikan

Rusia. Yang terakhir, dukungan AS yang diberikan kepada Georgia pada perang

tahun 2008 menandakan bahwa AS memberikan sinyal mempunyai kemampuan

menyerang yang baik jika perang tersebut harus mengarah pada Rusia.

vii

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 8: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

iv

UNIVERSITY OF INDONESIA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE

DEPARTMENT OF INTERNATIONAL RELATION

GRADUATE PROGRAM

Seno Setyo Pujonggo. 0806482264

SHANGHAI COOPERATION ORGANIZATION (SCO) AS RUSIA-CHINA’S

STRATEGY TO BALANCE UNITED STATES’ THREAT AT CENTRAL

ASIA (1991-2008)

(xiv + 99 pages + 9 tables + 3 diagrams + 2 images + 1 grafic + bibliography (4

documens + 9 books + 25 scienific journals + 3 theses + 13 internet sources)

ABSTRACT

This reserach is an attempt to identify factors that drove Rusia and China

made Balance Strategy by made SCO to US’s threat at Central Asia.

To answer that question, I will use Balance of Threat Teory by Stephen M.

Walt that mention four Level of Threat that a nation can pose to others, which is

Agrregate Power, Proximate Power, Offensive Power and Offensive Attention.

In conclusion, I find out that there are threat to Rusia and China’s security

and politics in Central Asia that come from NATO-enlargement to the East of

Europe, which is closest to the Russia’ borderline (Proximate Power), and in

economic sector, US need to build a new pipeline without crossing Russia’s

territory is a threat to Russia. The last is offesive capabilities that US shows at

Georgia’s war in 2008.

viii

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 9: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

iv

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ...................................................................................... ii

Kata Pengantar .............................................................................................. v

Ucapan Terimakasih ..................................................................................... vi

Lembar Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah ............................................ vii

Lembar Pengesahan Tesis ............................................................................ viii

Abstrak ........................................................................................................... ix

Abstract .......................................................................................................... xi

Daftar Isi ........................................................................................................ xii

Daftar Tabel ................................................................................................... xiii

Daftar Diagram ............................................................................................. xiv

Daftar Gambar .............................................................................................. xiii

Daftar Grafik ................................................................................................. xiv

Bab I Pendahuluan ........................................................................................ 1

I.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1

I.2 Rumusan Permasalahn ............................................................................ 8

I.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 8

I.4 Signifikansi Penelitian ............................................................................ 9

I.5 Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 10

I.6 Kerangka Konsep .................................................................................... 13

I.6.1 Power ............................................................................................... 13

I.6.2 Balance of Threat Theory ............................................................... 14

I.7 Model Analisa ......................................................................................... 24

I.8 Hipotesis ................................................................................................. 24

I.9 Metode Penelitian ................................................................................... 25

I.10 Sistematika Penulisan ............................................................................. 26

Bab II Kepentingan Rusia dan China di Asia Tengah dan Pembentukan

Shanghai Cooperation Organization (SCO) sebagai pilihan

Balancing Terhadap Ancaman dari AS di Asia Tengah

II.1 Asia Tengah .............................................................................................. 27

II.1.1 Stabilitas Internal Asia Tengah ...................................................... 27

II.1.1.1 Kazakhztan ........................................................................ 28

II.1.1.2 Tajikistan ........................................................................... 29

II.1.1.3 Turkmenistan ..................................................................... 30

II.1.1.4 Uzbekistan ......................................................................... 31

II.1.1.5 Kyrgistan ........................................................................... 31

II.1.2 Militan dan Ekstrimis Asia Tengah ................................................ 32

II.1.3 Potensi Energi Asia Tengah ........................................................... 35

II.2 Kepentingan Rusia dan Dinamika Rusia di Asia Tengah ........................ 37

II.2.1 Pilihan Rusia Terhadap Perluasan NATO ...................................... 50

II.3 Kepentingan China dan Dinamika China di Asia Tengah ....................... 55

II.3.1 Faktor Militan Di Xinjiang ............................................................. 56

II.3.2 Politik Global China ....................................................................... 59

ix

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 10: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

iv

II.3.3 Pilihan China Terhadap Perluasan NATO ..................................... 61

II.4 SCO, Rusia dan China ............................................................................. 63

Bab III Ancaman AS Di Asia Tengah

III.1 Kebijakan AS Dan Dinamika AS di Asia Tengah .................................. 67

III.1.1 Kepentingan Ekonomi AS ........................................................... 88

Bab IV Kesimpulan ....................................................................................... 92

Daftar Pustaka

Lampiran

x

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 11: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

iv

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Perkiraanrecovereable Oil Dan Gas Resources In The Caspian

Region ........................................................................................ 37

Tabel II.2 Persebaran Basis Militer Rusia .................................................... 45

Tabel II.3 Perbandingan Perlengkapan Militer Negara-Negara Baltik Dan

Negara-Negara Yang Berbatasan Dengan Rusia ....................... 45

Tabel II.4 Perbandingan Cadangan Persenjataan Rusia-NATO ................... 46

Tabel II.5 Perbandingan Pembiayaan Militer Rusia-NATO Dalam Milyar

Dolar AS .................................................................................... 46

Tabel II.6 Organisasi Kerjasama Regional Di Kawasan Post-Soviet States .. 54

Tabel III.1 Persebaran Basis Militer NATO Dan AS Di Eropa ..................... 75

Tabel III.2 Kekuatan Militer NATO Tahun 1999-2009 ................................. 76

Tabel III.3 Organisasi Regional Di Wilayah Post-Soviet States ..................... 89

xi

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 12: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

iv

DAFTAR DIAGRAM

Diagram II.1 Persediaan Gas Alam Negara-Negara Tahun 2007 .................. 42

Diagram II.2 Perbandingan Persediaan Gas Alam 10 Negara ....................... 43

Diagram III.1 Anggaran Dan Belanja Pertahanan Militer Negara-Negara ...... 68

xii

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 13: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Peta Asia Tengah ....................................................................... 37

Gambat II.2 Jalur Pipa Minyak Rusia di Asia Tengah ................................... 43

xiii

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 14: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

iv

DAFTAR GRAFIK

Grafik II.1 Pertumbuhan Ekonomi Rusia dan Harga Minyak Dunia Tahun

1997-2003 ..................................................................................... 41

xiv

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 15: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

1

Universitas Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Berakhirnya Perang Dingin antara Blok Uni Soviet dan Blok Amerika

Serikat (AS) memunculkan isu-isu baru dalam hubungan internasional seperti

masalah hak asasi manusia, degradasi lingkungan hidup, masalah kemiskinan dan

terorisme internasional yang kemudian mendapatkan perhatian luas masyarakat

dunia serta sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam situasi keamanan

internasional pasca terjadinya 11 September 2001 (9/11). Seluruhnya merupakan

isu-isu kontemporer yang semasa Perang Dingin cenderung tidak menjadi fokus

utama dikarenakan perhatian dunia pada saat itu terfokus pada isu-isu seputar

politik, militer dan persaingan ideologi (isu-isu high politics).1

Pecahnya Uni Soviet memunculkan delapan negara baru di simpang

strategis penting yaitu terletak di utara Timur Tengah dan wilayah Teluk Parsi,

sebelah barat China, dan selatan Rusia. Tiga negara–Georgia, Armenia dan

Azerbaijan–terletak di pinggiran Eropa. Wilayah ini disebut sebagai Trans-

Kaukakus. Lima negara lain yaitu Kazakstan, Kyrgistan, Tajikistan, Turkmenistan

dan Uzbekhistan, terletak di stepa dan padang yang amat luas dari Laut Kaspia

sampai pegunungan Altai dan Pamir. Sub-kawasan inilah yang disebut sebagai

“Asia Tengah”

4 (empat) negara Asia Tengah yaitu Uzbekistan, Turkmenistan, Tajikistan

dan Kyrgyzstan seluas 1,3 juta persegi. Sedangkan Kazakhstan sendiri seluas 2.7

juta kilometer persegi, hampir seluas India namun dengan populasi 17 juta orang.

Dalam perspektif Rusia, wilayah Asia Tengah adalah keempat negara tersebut

diatas tanpa menghadirkan Kazakhstan karena masyarakatnya secara fisik lebih

dekat dengan masyarakat Turki. Namun dalam banyak penelitian, Kazakhstan

1 Utaryo Santiko, “Kebijakan Luar Negeri Republik Federasi Rusia (2001-2007): Studi Kasus

mengenai Kebijakan Luar Negeri Rusia dalam mendorong Pembentukan Shanghai Cooperation

Organization”, Tesis, FISIP UI, 2008, hlm. 1.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 16: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

2

Universitas Indonesia

dimasukkan kedalam wilayah Asia Tengah karena selalu terhubung dengan apa

yang terjadi pada keempat negara Asia Tengah lainnya.2

Banyak skenario buruk muncul sesaat setelah Uni Soviet terpecah. Salah

satu kepala penasehat Presiden Boris Yeltsin mengingatkan pada masa kelam Uni

Soviet tahun 1991 bahwa Kazakhstan akan terpecah menjadi ribuan Yugoslavia.

Diakibatkan oleh mulai dari kerusuhan terus menerus dan perang sipil hingga

kekerasan dari revolusi Islam dan pembunuhan massal.3

Setelah merdeka dan lepas dari Uni Soviet, negara-negara Asia Tengah ini

berada dalam ketidakjelasan. Kemerdekaannya sangat rapuh dan menghadapi

masalah sosio-ekonomi yang membutuhkan bantuan luar. Tantangan politik bagi

pemerintah pun harus mendapat banyak perhatian. Mereka butuh kerjasama untuk

keuntungan bersama, namun permusuhan dan sengketa antara negara-negara

tersebut belum juga dapat dituntaskan dan dalam beberapa kasus menjadi sangat

buruk. Rasa frustasi dan tekanan muncul ditengah negara-negara tersebut.

Kepastian politik semakin samar bagi peralihan para elit penguasa dari

partai komunis yang sebelumnya, yang telah menjadi sistem yang melekat dalam

negara. Lawan politik dari kaum militan atau yang banyak disebut sebagai

“fundamentalis” Islam di Asia Tengah makin marak sehingga menimbulkan

kebutuhan bagi negara-negara di kawasan untuk saling mengikat diri dalam

sebuah kerjasama dengan negara lain.

Tak lama setelah negara Post-Soviet States ini menyatakan

kemerdekaannya pada kisaran tahun 1992-1993 banyak negara lain yang berusaha

untuk menjalin kerjasama, termasuk Rusia dan Inggris yang telah lama berkuasa

atas daerah ini, pun tak mau kalah. Awalnya, Inggris gagal untuk membuka

perwakilannya di kawasan ini kecuali di Alma Ata. Baru sejak akhir tahun 1993,

Inggris mengumumkan akan membuka kedutaannya di Tashkent dan Baku.

Hampir sama dengan Inggris, Rusia yang mempunyai pengaruh terbatas atau tidak

sebesar dulu di kawasan ini.4

2 Anthony Hyman, “Moving Out Of Moscows’s Orbit: The Outlook For Central Asia”,

International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1994), Vol.69, No.2 (April 1993),

hlm. 289. 3 Ibid.

4 Ibid.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 17: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

3

Universitas Indonesia

Negara Barat lainnya pun mencoba untuk mengambil keuntungan ini

dengan alasan dari faktor ruang lingkup politik, prospek bisnis dan kehormatan.

AS membuka kedutaannya di semua negara-negara Asia Tengah yang diikuti

Jerman, Perancis dan Italia. Tak ketinggalan beberapa perusahaan besar dari Barat

seperti Mercedes Benz dan Newmont Mining Corporation of United States

dengan dana 100 juta dollar US untuk pertambangan emas di Murantau,

Uzbekistan, yang sering dianggap mempunyai simpanan tambang emas terbesar di

dunia. Gas alam dan minyak juga sangat menarik dana dari asing untuk masuk.

Dari wilayah Far East juga tak mau ketinggalan. China, wilayah Xinjiang

khususnya, telah menunjukkan ketertarikannya yang besar untuk membuka

batasannya dalam perdagangan, begitu juga dengan kerjasama bersama.

Perusahaan dari Jepang dan Taiwan sangat tertarik dengan bidang penambangan.

Korea Selatan lebih khusus lagi telah menjalin kerjasama di wilayah Asia Tengah

secara besar. Hal ini disebabkan oleh inisiasi pengusaha dari komunitas etnis

Korea yang mengalami perpindahan manusia pada zaman Stalin dan ditempatkan

di Kazakhstan dan Uzbekistan.

Pada tahun 1997, dalam deklarasi bersama untuk menjadikan dunia yang

multipolar dan formasi baru dalam international order, Presiden Rusia Boris

Yeltsin dan China Jiang Zemin menyatakan komitmen mereka untuk membuat

sebuah kerjasama, dengan tujuan melakukan interaksi strategis di abad 21.

Pernyataan ini tidak saja menjadi tantangan bagi negara lain pada umumnya dan

hegemoni AS pada khususnya namun juga sebagai pernyataan akan dimulainya

sebuah hubungan berkualitas yang pernah dimiliki Moskow dan Beijing setelah

berakhirnya Perang Dingin.5

Sementara itu, kebijakan ekspansi AS ke Post-Soviet States area, dari

wilayah periphery menjadi central kawasan kepentingan strategis AS, pada

perkembangannya juga didukung oleh berbagai perkembangan dalam situasi

internasional, mulai dari Uni Soviet runtuh hingga pasca tragedi 9/11 pada

5 Bobo Lo, “Axis of Convenience: Moscow, Beijing and the New Geopolitics”, Royal Institute of

International Affairs, London, 2008, hlm. 8.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 18: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

4

Universitas Indonesia

khususnya.6 Dimana AS kemudian lebih memiliki “legitimasi” untuk masuk ke

wilayah tersebut dengan mengatasnamakan kampanye global war on terrorism.

Hal tersebut terlihat dari sempat dibangunnya beberapa pangkalan militer AS di

wilayah Asia Tengah seperti Kyrgistan dan Uzbekistan pada saat

dilangsungkannya invasi militer AS ke Afghanistan pada tahun 2001.

Dengan keadaan tersebut, Rusia sebagai negara “pewaris” kejayaan Uni

Soviet tentu saja tidak tinggal diam dengan ancaman keberadaan AS tersebut.

Dalam bidang kebijakan luar negeri, Presiden Rusia, Vladimir Putin, meneruskan

langkah pendahulunya, Boris Yeltsin, untuk terus mendekati RRC sebagai mitra

strategis Rusia. Putin, bersama-sama dengan Jiang Zemin (Presiden RRC saat itu),

memprakarsai pembentukan Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada

Juni 2001.

Selain Rusia dan RRC, SCO juga berangotakan negara-negara dari

kawasan Asia Tengah, yaitu Republik Kyrgiztan, Republik Uzbekistan, Republik

Tajikistan, dan Republik Kazakhsan. Sebagai proyeksi jangka panjang, SCO

tengah menjajaki kemungkinan bagi bergabungnya India, Pakistan, Mongolia, dan

juga Iran ke dalam organisasi ini.7

“Rusia dan China adalah saudara selama-lamanya” begitulah klaim yang

menggambarkan hubungan Sino-Soviet sekitar tahun 1950-an. Walaupun tiga

dekade kemudian berada dalam ketidakpastian dan banyak pertanyaan muncul

terhadap klaim awal tersebut, namun, tahun 1990-an kedua negara tidak hanya

sukses dalam memperbaiki hubungan mereka tetapi juga membentuk kerjasama

strategis di era-21 ini.8

Pembentukan SCO yang diprakarsai oleh Rusia dan RRC kerap disebut

sebagai momentum lahirnya sebuah poros kekuatan regional baru di dalam

konstalasi politik dunia, khususnya di kawasan Asia Pasifik. Bergabungnya dua

negara Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB, yang juga dikenal sebagai dua

kekuatan nuklir dunia, ini kedalam satu wadah kemitraan strategis tentu adalah

6 Annette Bohr, “Regionalism in Central Asia: New Geopolitics, Old Regional Order”,

International Affairs Vol. 80, No. 3, hal.1 dalam Regionalism and the Changing International

Order in Central Eurasia (May, 2004), hlm. 485-502 7 Utaryo Santiko, op. cit., hlm. 4.

8 Elizabeth Wishnick, “Russia and China: Brother Again?”, Asian Survey, Vol. 41, No. 5 (Sep.-

Oct., 2001), hlm. 798.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 19: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

5

Universitas Indonesia

merupakan hal yang menarik. Terlebih mengingat bahwa hubungan diantara

keduanya dalam era Uni Soviet sempat berada dalam kondisi tidak harmonis.

Sengketa berkenaan dengan masalah perbatasan, pertentangan dikarenakan

interpretasi atas ideologi komunisme, serta persaingan perebutan hegemoni

dikawasan Asia Pasifik menjadi isu-isu sentral yang sebelumnya kerap menjadi

hambatan bagi terciptanya kerjasama strategis di antara kedua negara.

Pembentukan SCO dikatakan memiliki arti strategis bagi kedua kedua

negara dikarenakan proses pembentukannya yang memang telah diinisiasikan oleh

keduanya semenjak pertengahan tahun 1990-an. Pada tahun 1996, telah dibentuk

forum kerjasama Shanghai Five yang adalah merupakan cibal bakal pembentukan

SCO. Pada tanggal 26 April 1996, bertempat di Shanghai, RRC, Forum “4+1”

yang beranggotakan Rusia dan tiga negara Asia Tengah (Kazakhstan, Tajikistan,

dan Kyrgizstan) ditambah RRC menandatangani “Perjanjian untuk meningkatkan

saling kepercayaan dalam bidang militer di wilayah perbatasan” (The Agreement

On Deepening Military Trust In Border Regions) yang menjadi titik awal

kerjasama strategis diantara negara-negara tersebut.9

Perjanjian tersebut dikatakan sebagai penanda bagi dimulainya era baru

dalam hubungan antara Rusia, negara-negara bekas Uni Soviet (Post-Soviet

States) dengan RRC yang secara historis kerap mengalami permasalah dan konflik

berkenaan dengan masalah perbatasan yang juga dipengaruhi oleh dampak dari

sejarah dan ingatan masa lalu yang kelam.

Lebih dari dua dekade terakhir, pemimpin Rusia dan China selalu berusaha

untuk membangun sebuah hubungan yang lebih baik dari sebelumnya dengan

berbagai cara dengan berusaha “meninggalkan” masa lalu yang kurang baik yang

telah mengakar dalam kehidupan kedua negara. Diantaranya adalah pada abad ke-

13 Mongol menginvasi Rusia dan berada dalam kekuasaan Mongol selama 300

tahun; Ekspansi Kekaisaran Tsar pada abad ke-19; Perjanjian yang tidak adil pada

masa Dinasti Qing yang harus menyerahkan 1,5 juta kilometer persegi wilayah

China; Kekecewaan yang sangat mendalam dalam “unbreakable friendship” pada

tahun 1950-an; Sengketa perbatasan pada tahun 1969; dan perbedaaan

pengalaman yang sangat mencolok dalam me-modernisasi Post-Soviet Russia dan

9 Utaryo Santiko, op. cit., hlm.8.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 20: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

6

Universitas Indonesia

Post-Mao China. Pengalaman dimasa lalu tersebutlah yang menimbulkan

permusuhan, iri dan ketidakpercayaan di satu sisi, sedangkan mengakomodasi,

memperhitungkan, dan pragmatisme disisi yang lain yang selalu mewarnai

hubungan diantara kedua negara.10

Pendekatan hubungan dengan China dinilai sebagai catatan keberhasilan

kebijakan luar negeri Rusia paling sukses setelah Uni Soviet runtuh. Selama

kepemimpinan Boris Yeltsin, dimana status dan pengaruh Rusia di dunia

internasional mengalami penurunan di semua sektor, kerjasama strategis atau

strategic partnership dengan China meruntuhkan kondisi tersebut.11

Kondisi ini

disempurnakan lagi pada era Vladimir Putin hingga akhir dekade 90-an dengan

pernyataan bahwa hubungan mereka makin mesra, khususnya setelah

penandatanganan Treaty of Good-Neighbourliness, Friendship and Cooperation

pada bulan Juli 2001.

Hal ini disebabkan oleh bahwa kedua negara mempunyai kesamaan yang

strategis. Pertama, keduanya mempunyai pandangan yang sama persis terkait

keinginan untuk menciptakan struktur international order yang sama pasca

Perang Dingin. Tentunya hal ini sangat mencengangkan mengingat keduanya

mempunyai hak veto dalam pembuat kebijakan global di PBB dan pengutamaan

akan “kedaulatan negara” atau national sovereignty dimana bertolak belakang

dengan konsep Barat yang mengusung “humanitarian intervention” dan “limited

sovereignty”. Mereka menginginkan dunia yang multipolar dimana beberapa

negara besar seperti US, Rusia, Eropa Barat, China, India, Jepang ikut andil dalam

pembuatan keputusan, dimana hal ini melawan keadaaan sekarang yang hanya

didominasi oleh kekuatan AS, sendirian.

Rusia dan China juga berbagi banyak kepentingan keamanan dan persepsi

ancaman yang sama. Mulai dari konsep geopolitik seperti spheres of influence dan

balance of power dalam melihat agenda keamanan internasional pasca peristiwa

9/11. Mereka mengambil posisi yang sama dalam perang melawan teror, sikap

terhadap non-proliferation of weapons of mass destruction (WMD) dan

manajemen konflik internasional yang terjadi akhir-akhir ini, khususnya dalam

10

Bobo Lo, “Axis of Convenience: Moscow, Beijing and the New Geopolitics”, loc. cit., hlm. 8. 11

Bobo Lo, Vladimir Putin and the Evolution of Russian Foreign Policy, London and Oxford:

Royal Institute of International affairs/Blackwell, 2003, hlm. 26.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 21: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

7

Universitas Indonesia

kasus Irak. Mereka saling men-support dalam masalah keamanan. China telah

mempublikasikan akan berada dibelakang Putin dalam penanganan konflik

Chechnya, sementara Rusia juga mendukung China dalam menekan separatis

Xinjiang dan Tibet; dan mengakui kebijakan Satu China (One China Policy)

terhadap permasalahan Taiwan. Keduanya juga dalam posisi yang sama dalam

melakukan pengamanan dan stabilisasi di Semenanjung Korea.

Hasil yang didapat bahkan lebih mengesankan lagi dalam agenda bilateral.

Tercatat dalam sejarahnya, diantara mereka dianggap tidak terjadi ketidaksetujuan

yang serius, misalnya dalam menyikapi permasalahan sebelumnya tentang batas

bersama sepanjang 4.300 km dan migrasi ilegal China ke Russian Far East

(RFE).12

Kedua negara juga mencapai pengertian bersama terhadap peran masing-

masing di Asia Tengah. Dengan China yang mengajukan Rusia dalam posisi

memimpin dan menyamakan persepsi ancaman dalam hal Renewed Great Game

di kawasan.13

Di Asia Tengah, Rusia menyatu secara aktif dalam pembangunan kembali

sphere of influence-nya setelah Uni Soviet runtuh. Rusia melihat dirinya sebagai

hegemon di kawasan, yang tidak akan bisa digantikan. Walaupun mendukung

koalisi AS melawan teroris internasional dan menyetujui kehadiran militer AS di

Asia Tengah pasca peristiwa 9/11, tetap saja Rusia merasa ketidaknyamanan yang

akut dengan keterlibatan outside powers ini di kawasan dan akan melakukan

segala cara untuk menghadapinya.

Dalam berhubungan dengan AS, Rusia menggunakan istilah “Strategic

Patience” yang berarti menunggu AS kehilangan kepentingannya di kawasan.

Bukan alasan yang tidak-beralasan mengingat pengalaman sejarah AS, dimana

kebijakan juga dibuat berdasarkan pada dukungan public dalam negerinya, dan

mungkin akan berubah jika dukungan publik dalam negerinya terhadap kasus Irak

pasca peristiwa 9/11 berubah.

Dilain pihak, kedekatan jarak geografi China pada Asia Tengah dan juga

pertimbangan keamanan dan kepentingan ekonominya tidak dapat diperlakukan

sama dengan AS yang akan mudah untuk “pergi” dari kawasan. Walaupun China

12

Bobo lo, “Axis of Convenience: Moscow, Beijing and the New Geopolitics”, loc. cit., hlm. 12. 13

Robert Legvold, Great Power Stakes In Central Asia, Cambrige, MA and London: American

Academy of Arts and Sciences/MIT Press, 2003, hlm. 34.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 22: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

8

Universitas Indonesia

menerima untuk menjadi posisi kedua setelah Rusia di kawasan Asia Tengah dan

juga terhadap hubungan Rusia-China dalam bidang keamanan khususnya dalam

menyikapi radikalisme Islam, belum dapat dipastikan bahwa kesamaan

kepentingan ini akan tetap langgeng dalam tataran praktisnya.

I.2 Rumusan Permasalahan

Bergabungnya Rusia dan RRC di dalam satu wadah kemitraan strategis

tentu akan membawa warna baru dalam tatanan politik dunia. Dengan melupakan

sejarah masa lalu dan persoalan yang hingga kini masih mengganjal, Rusia dan

China terus meningkatkan kerjasama strategisnya khususnya di wilayah dan

dengan negara-negara Asia Tengah. Terutama apabila kita dihadapkan kepada

situasi pasca Perang Dingin yang diwarnai oleh dominasi AS dengan berbagai

aksi unilateralnya dan berbagai isu lain yang terkait dengan kepentingan nasional

negara-negara besar di kawasan. Dengan demikian, menjadi menarik untuk diteliti

terkait mengapa Rusia dan China mengambil pilihan Balancing dengan

membentuk SCO di kawasan Asia Tengah?

Penelitian dilakukan dalam periode 1991 hingga 2008. Hal ini dikarenakan

tahun 1991 adalah masa runtuhnya Uni Soviet, dimana Rusia memulai untuk

merumuskan kebijakan luar negeri dan kebijakan keamanannya yang baru, serta

merdekanya negara-negara baru Post-Soviet States di kawasan Asia Tengah dan

dimulainya interaksi antar Post-Soviet States, dengan juga dengan negara-negara

lain diluar kawasan. Sedangkan tahun 2008 dipilih kerena terjadi perubahan

lingkungan internasional terutama ditandai dengan peristiwa 9/11 dan masa

periode Presiden Rusia, Vladimir Putin, berakhir pada tahun 2008.

I.3 Tujuan Penelitian

1. Menginvestigasi faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa Rusia

dan China melakukan Balancing dengan membentuk SCO dalam menghadapi

ancaman AS di Asia Tengah.

2. Menganalisis dinamika hubungan Rusia dengan China ataupun dengan

aktor Negara lain seperti AS di wilayah Asia Tengah.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 23: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

9

Universitas Indonesia

I.4 Signifikansi Penelitian

1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu untuk lebih

memahami pilihan Balancing atau Bandwagoning dalam Hubungan Internasional

dengan menggunakan teori Balance of Threat. Melalui usaha tersebut, penelitian

ini diharapkan turut menunjukkan dinamika perkembangan kajian keamanan

dalam tradisi realisme. Penelitian menegaskan kembali pemahaman interaksi

negara berdasarkan pemikiran yang memandang kerjasama, tidak hanya

kompetisi, merupakan bagian dari usaha negara dalam self-help system. Penelitian

ini juga mengoperasionalisasikan bagaimana konsep atau dan teori dalam tradisi

realisme menjawab mengapa negara memilih strategi keamanan tertentu

dibanding varian strategi yang lainnya. Dengan menegaskan hal-hal diatas, tentu

saja penelitian ini diharapkan dapat memperkaya perkembangan serta dinamika

khasanah teoritik dalam kajian keamanan serta tradisi realisme yang terus

berkembang dalam ilmu hubungan internasional.

2. Selain signifikansi secara teoritik, penelitian juga diharapkan

memberikan kontribusi terhadap gambaran dinamika interaksi great power Abad

XXI, ketika Rusia yang masih dianggap sebagai great power pesaing AS menjalin

kerjasama keamanan dengan China yang kini semakin diakui sebagai salah satu

negara the emerging power, dengan perkembangan dan pertumbuhannya yang

fantastis. Dengan memaparkan dan menjelaskan pilihan Rusia dan China,

penelitian diharapkan dapat menegaskan pemahaman mengenai Rusia sebagai

great power sehingga menjadi signifikan bagi penelitian-penelitian lanjutan

mengenai dinamika kebijakan Rusia di masa depan. Juga China sebagai the

emerging power dan bagaimana China mewujudkan persepsinya terhadap dunia

global. Juga tak ketinggalan bagaimana kedua negara ini mempersepsikan sebuah

ancaman dari negara lain dan bagaimana mereka menentukan pilihan strategi

keamanan dalam merespon ancaman tersebut.

I.5 Tinjauan Pustaka

Bagian Tinjauan Pustaka pada penelitian ini, pertama, menggunakan

tulisan Bruce Russett and Allan C. Stam yang berjudul “Courting Disaster: An

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 24: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

10

Universitas Indonesia

Expanded NATO vs. Russia and China”14

. Tulisan ini menganalisis tentang

perluasan NATO terhadap negara-negara Post-Soviet States dan dampak yang

ditimbulkan bagi Rusia serta hubungan Rusia dengan negara-negara Post-Soviet

States tersebut dan juga terhadap AS dan China di kawasan.

Russett dan Stam menganalisis pilihan-pilihan yang dimiliki Rusia ketika

NATO memperluas keanggotaannya dan mengancam keamanan negaranya:

pertama, Rusia melakukan kebijakan Bandwagoning seperti yang Presiden

Mikhail Gorbachev lakukan yang membuat berakhirnya Perang Dingin; kedua,

Rusia bersembunyi atau terisolasi didalam lingkaran isolasi persenjataan berat,

sangat bergantung pada senjata nuklirnya dan sangat berpersepsi bahwa terkurung

oleh musuh potensial yang berasal dari Barat, Islamic, dan Asian; ketiga, jika

NATO tidak memasukkan Rusia kedalamnya, maka Rusia akan melihat ke Timur

untuk mencari teman dalam rangka melakukan balancing terhadap ancaman

Barat, yaitu melakukan pendekatan Russo-Sino yang mengarah ke bentuk aliansi

militer.

Selanjutnya, mereka juga menganalisis potensi yang dimiliki NATO bila

Rusia atau China bergabung kedalamnya. Rusia, bagi NATO, bila bergabung

hanya sedikit memberikan pengaruh kepada power NATO. Hal ini dilihat dari

jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan kemampuan persenjataan dan nuklir

Rusia bila digabungkan dengan jumlah NATO tersebut yang ada. Ia juga

memberikan detil kelemahan Rusia bagi NATO bila masuk kedalamnya.

Lain halnya dengan China, bila bergabung dengan NATO, dengan

besarnya jumlah penduduk, pesatnya pertumbuhan ekonomi per tahunnya dan

kemampuan teknologi persenjataan dan juga nuklir akan memberikan pengaruh

yang berarti bagi eksistensi NATO dalam sistem internasional dan juga terhadap

Rusia.

Di lain hal, berseberangan dengan NATO yang sedang tumbuh

menghadapkan Cina dengan 3 (tiga) pilihan sama dengan yang dihadapi Rusia.

Cina akan mencoba untuk melakukan balancing dengan “menggandeng” Rusia

terhadap NATO sekaligus terhadap India dan Jepang. Hal ini disebabkan oleh

14

Bruce Russett dan Allan C. Stam, “Courting Disaster: An Expanded NATO vs. Russia and

China”, Political Science Quaterly, Vol. 113, No.3 (Autum, 1998), hlm. 361-382.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 25: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

11

Universitas Indonesia

karena India sudah lama menjadi lawan Cina dan Jepang tampaknya lebih sulit

lagi bila diajak bergabung dengan China mengingat sudah menyatu secara

ekonomi dan institusi dengan Barat.

Pemerintah AS memperkirakan pengembangan militer Cina akan melewati

Jepang lebih dari satu dekade lagi dan dalam sebuah wawancara dengan Chen

Jian, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, menegaskan naiknya intensitas

ketegangan antara Jepang dengan Cina diantaranya dengan menghentikan bantuan

terhadap Cina sepanjang tahun 1995 karena Jepang menentang program uji coba

nuklir Cina. Sedangkan dilain pihak, Rusia, tanpa Cina pun akan melakukan

balancing terhadap negara lain yang lebih kuat.

Sumber bacaan kedua yang menjadi subjek analisis/tinjauan pustaka di

dalam tesis ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Utaryo Santiko dengan judul

Kebijakan Luar Negeri Republik Federasi Rusia (2001-2007) : Studi Kasus

mengenai Kebijakan Luar Negeri Rusia dalam mendorong Pembentukan

Shanghai Cooperation Organization.

Penelitiannya bertujuan untuk menganalisa dan mengidentifikasikan

faktor-faktor yang menyebabkan kebijakan Rusia untuk membentuk SCO. Teori

yang digunakan dalam tesis ini terdiri atas beberapa teori, yaitu teori perumusan

kebijakan luar negeri, teori kepentingan nasional dan teori kerjasama

internasional. Teori perumusan kebijakan luar negeri Kalevi J. Holsti digunakan

untuk menterjemahkan faktor-faktor domestik dan eksternal yang menyebabkan

kebijakan luar negeri Rusia untuk membentuk SCO.

Dalam tesisnya, Santiko memaparkan peranan Rusia didalam proses

pembentukan SCO dan menjelaskan bagaimana SCO itu berkembang dari

sebelum dan selama mekanisme kerjasama Shanghai Five yang menjadi awal

terbentuknya SCO hingga SCO itu berkembang mengikuti situasi internasional

pada saat itu.

Temuan dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor domestik yang

terdiri dari ancaman atas kepentingan nasional Rusia dalam sektor politik-

keamanan yang berasal dari gerakan kelompok separatis etno-religius di wilayah

Chechnya dan Dagestan. Gerakan separatis-ekstrimis tersebut merupakan bentuk

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 26: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

12

Universitas Indonesia

aktivitas pada level nongovernmental aspects yang mempengaruhi pilihan dan

pelaksanaan Kebijakan Luar Negeri Rusia.

Ditambah lagi, permasalahan ini memliki kesamaan karakter dengan

permasalahan yang dihadapi oleh China berkenaan dengan ancaman dari gerakan

East Turkestan Independence Movement diwilayah Xinjiang. Gearakan-gerakan

serupa juga marak bermunculan di negara-negara Asia Tengah. Dengan

pembentukan SCO, Rusia bertujuan untuk mendapatkan “dukungan eksternal”

didalam upayanya untuk menyelesaikan permasalahan di Chechnya dan Dagestan.

Variabel kedua adalah permasalahan akses terhadap sumber-sumber energi

Rusia dimana geografis dan topografis yang kaya dengan sumber energi, terutama

minyak dan gas alam. Dagestan dan Chechnya adalah merupakan dua wilayah

yang dilewati oleh saluran pipa startegis yang mengalirkan minyak mentah dari

pantai-pantai di laut Kaspia hingga Laut Hitam. Tidak kondusifnya kondisi

keamanan di kedua wilayah tersebut berpotensi mengganggu akses maupun

distribusi sumber-sumber energi yang memiliki arti penting bagi perekonomian

Rusia.

Variabel ketiga yaitu atribut nasional yang termanisfeskan di dalam

kekayaan sejarah dan ambisi global Rusia serta karakter pemimpin nasional. Figur

Presiden Putin yang menggantikan Boris Yeltsin pada 1999 adalah merupakan

variabel individual seorang pengambil kebijakan (decision-maker) didalam proses

perumusan Kebijakan Luar Negeri Rusia dimana ia memiliki ambisi untuk

mengembalikan kejayaan bangsa Rusia di mata dunia internasional.

Faktor eksternal yang menyebabkan Kebijakan Luar Negeri Rusia untuk

membentuk SCO adalah kepentingan Rusia di kawasan Asia Tengah dan peranan

dan kepentingan aktor-aktor eksternal di kawasan post-Soviet States.

Tindakan Rusia untuk membangun kemitraan strategis dengan China

dalam mendorong pembentukan SCO adalah mewujudkan cita-cita pembentukan

dunia yang multipolar dimana kondisi konstalasi politik dunia pasca Perang

Dingin pada saat itu yang hanya menempatkan AS sebagai satu-satunya kekuatan

besar di dunia. Kemudian, ketiadaan struktur keamanan di kawasan post-Soviet

States, dimana memiliki arti penting bagi Rusia, baik secara ekonomi maupun

militer menghadirkan permasalahan tersendiri bagi Rusia. Apalagi kerjasama

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 27: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

13

Universitas Indonesia

Commonwealth of Independent States (CIS) yang semula diharapkan dapat

mengisi kekosongan tersebut tidak dapat melakukannya.

Selanjutnya, Pasca Perang Dingin terjadi peningkatan eskalasi aktivitas

dari AS, NATO dan Uni Eropa di kawasan Post-Soviet States yang

mengakibatkan Rusia harus merumuskan sebuah solusi untuk mempertahankan

status quo peran dan posisi politik-nya yang telah terbangun sekian dekade.

Bersama China, Rusia membentuk mekanisme kerjasama intra-kawasan guna

menjaga keseimbangan tersebut dikawasan.

I.6 Kerangka Konsep

I.6.1 Power

Dalam hubungan internasional, konsep power merupakan salah satu

konsep fundamental yang dapat menjelaskan perilaku dan interaksi negera-negara

dalam hubungan internasional. Esensi dari power adalah kemampuan untuk

mengubah perilaku atau mendominasi. Pemahaman dari Realis Tradisional yaitu

mengukur power dari kemampuan militer suatu negara, dimana kemampuan

militer negara akan memberi negara tersebut kemampuan untuk menyerang

negara lain. Dengan kata lain, power yang dimiliki dalam militer dipakai untuk

memastikan keamanan negara tersebut.15

Thomas Hobbes menyatakan dalam politik internasional, negara berjuang

demi kekuasaan, struggle for power, a war of all against all.16

Morgenthau

memberikan definisi power sebagai kemampuan seseorang untuk mengendalikan

atau mengontrol pikiran dan tindakan orang lain.17

Inti konsep tersebut adalah

pengaruh. Dapat dikatakan pula, semakin besar power maka semakin besar

pengaruh. Dalam konsep power terdapat dua poin yaitu, power sebagai konsep

relasional yaitu, power akan berfungsi bila suatu negara berhubungan dengan

negara lain.

Kedua, power sebagai konsep relatif yaitu mengenai kalkulasi kekuatan

sendiri dan kalkulasi kekuatan negara lain. Jika dua poin tersebut digambarkan

15

Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations : Perspectives and Themes, (England,

Pearson Education Limited, 2001), hlm 29-30. 16

Charles W Kegley Jr. & Eugene R. Wittkopf, World Politics : Trend and Transformation, (New

York, St. Martin Press, 1997), hlm 23. 17

Ibid.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 28: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

14

Universitas Indonesia

maka bila negara A memiliki kekuatan lebih dibanding negara B maka negara A

memiliki pengaruh dominan terhadap negara B dalam hubungan keduanya.

Sejalan dengan dengan pendapat Morgenthau, Robert Dahl melihat kehadiran

power ketika negara dapat mengontrol atau mempengaruhi negara lain. “A has

power over B to the extent that [A] can get B to do something that B would not

otherwise do”.18

John J. Mearsheimer menyatakan bahwa “power lies at the heart of

international politics”.19

Ia berpendapat bahwa power berdasarkan pada

kapabilitas material tertentu yang negara tunjukkan. Misalnya dalam balance of

power, kekuatan yang ditunjukkan adalah sesuatu yang berbentuk aset yang

dikontrol oleh masing-masing great power, seperti senjata nuklir. Ia membagi

power menjadi dua jenis, yaitu latent power dan military power. Latent power

merujuk kepada kekuatan sosio-ekonomi yang akhirnya membentuk military

power seperti kesejahteraan negara dan jumlah populasi.

Great power membutuhkan uang, teknologi, tenaga, dan para personil

untuk membangun kekuatan militer dan terjun dalam perang. Latent power lebih

kepada material yang dibutuhkan untuk membangun military power, sedangkan

military power dilihat berdasarkan ukuran dan kekuatan personil tentara negara

yang didukung oleh peralatan militernya baik untuk kekuatan darat, laut, maupun

udara. Sehingga latent power dan military power saling berhubungan satu sama

lain. Dalam politik internasional, efektif atau tidaknya kekuatan suatu negara

bergantung pada fungsi militer dan bagaimana kekuatan militer mereka dapat

dibandingkan dengan kekuatan militer musuh-musuhnya.

I.6.2 Balance of Threat Theory

Dalam artikelnya , Stephen M. Walt mencoba untuk memahami

bagaimana Negara memilih dengan siapa dia berteman. Pilihan negara untuk

melakukan aliansi biasanya menimbulkan pertanyaan pada tujuan yang mendasari

dari keputusan tersebut, apakah Balancing atau Bandwagoning, yang biasanya

18

John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politic, (New York : W.W.Norton &

Company Ltd, 2001), hlm. 57. 19

Ibid., hlm. 55.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 29: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

15

Universitas Indonesia

hanya bergantung pada pertimbangan power. Balancing adalah bersatu dengan

pihak yang lemah, sedangkan Bandwagoning berarti memilih yang kuat.

Menurutnya, pandangan tersebut terlalu sempit karena menghiraukan

faktor lain seperti mengidentifikasi potensi ancaman (threat) dan sekutu yang

paling menjanjikan, walaupun tidak menampikkan bahwa power merupakan

faktor penting, namun bukanlah satu satunya. Menurutnya, daripada bersekutu

dengan hanya mempertimbangkan power, lebih akurat bila suatu negara bersekutu

dengan atau melawan terhadap power yang mengancam-nya (threatening).20

Ketika memutuskan untuk menjalin sebuah aliansi atau memilih sekutu,

Negara mungkin melakukan Balancing yang artinya beroposisi dengan sumber

ancaman, ataukah melakukan Bandwagoning yang berarti bergabung dengan

sumber ancaman tersebut.

1. Balancing Behavior. Perihal Negara akan melakukan atau bergabung

dalam sebuah aliansi dalam rangka menghindari dominasi Negara yang lebih kuat

telah menjadi bagian utama dari Teori Balance of Power. Berdasarkan hipotesis

ini, Negara bergabung dengan sebuah aliansi untuk melindungi dirinya dari

Negara atau koalisi lain yang berpotensi menjadi ancaman. Negara akan memilih

Balancing dengan dua alasan: Pertama, Negara akan menanggung resiko bila

gagal untuk mengantisipasi hegemoni luar yang berpotensi menjadi ancaman

sebelum mereka menjadi terlalu kuat. Strategi yang paling aman adalah untuk

bergabung dengan mereka yang tidak dapat dengan mudah mendominasi sekutu-

sekutu mereka satu sama lain dalam rangka menghindari didominasi oleh mereka

yang mampu. Kedua, bergabung dengan sisi yang lebih rentan atau lemah dapat

meningkatkan pengaruh anggota baru untuk bergabung, karena Negara yang

lemah memiliki kebutuhan bantuan lebih besar dari yang lebih kuat. Bergabung

dengan pihak yang lebih kuat, sebaliknya, mengurangi pengaruh yang sudah ada

dari sebuah Negara (yang sudah lemah pengaruhnya) sebagai anggota baru dan itu

rentan terhadap keinginan Negara lain untuk bergabung. Sehingga, bergabung

dengan pihak yang lemah dengan demikian menjadi pilihan yang lebih disukai

oleh Negara.

20

Stephen M. Walt, “Alliance Formation and the Balance of World Power”, International

Security, Vol. 9 No. 4 (Spring, 1985), hlm. 4-12.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 30: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

16

Universitas Indonesia

2. Bandwagoning Behavior. Terdapat dua motif Negara melakukan

Bandwagoning: Pertama, bandwagoning dapat diadopsi sebagai sebuah bentuk

“peredaan”. Dengan bergabung dengan negara atau koalisi yang mengancam,

Negara yang melakukan Bandwagoning berharap untuk menghindari serangan

pada dirinya sendiri dengan mengalihkan pada tempat atau Negara atau koalisi

lain. Kedua, negara dapat bergabung dengan Negara atau koalisi yang dominan

akan menang dalam sebuah perang, dalam rangka untuk berbagi hasil rampasan

kemenangan. Secara umum, kedua motif ini mempunyai dua perbedaan yang

melatar-belakanginya. Motif yang pertama, Bandwagoning dipilih dengan alasan

bertahan, artinya mempertahankan kemandirian dalam situasi menghadapi potensi

ancaman. Sedangkan motif yang kedua, Bandwagoning dipilih dengan alasan

menyerang, artinya dalam rangka mendapatkan wilayah kekuasaan.

Sumber Ancaman21

Balancing dan Bandwagoning biasanya hanya terukur oleh power dan

mengabaikan kapan untuk mengidentifikasi potensi ancaman dan aliansi yang

potensial. Untuk itu perlu mengetahui level ancaman yang dapat diberikan oleh

Negara:

1. Aggregate Power. Atau total sumber daya terbesar dari sebuah Negara.

Contoh: populasi penduduk, kapabilitas militer dan industri, kemajuan teknologi,

dll. Semakin lebih besar kemampuan sumber daya sebuah Negara maka Negara

tersebut semakin mengancam Negara lain. Jika power dapat mengancam Negara

lain, maka power juga bisa berlaku sebagai hadiah. Negara dengan power yang

besar mempunyai kapasitas, baik untuk menghukum lawan ataupun untuk

memberikan hadiah pada teman. Dengan sendirinya, aggregate power yang

dimiliki negara lain dapat dijadikan motif pilihan, baik pilihan Balancing ataukah

Bandwagoning.

2. Proximate Power. Negara juga mempunyai kecenderungan untuk

melakukan aliansi sebagai respon sebuah ancaman berdasarkan sebuah kedekatan

jarak. Karena kemampuan sebuah Negara untuk menggunakan power-nya

bergantung pada kedekatan jarak. Negara yang berdekatan tentu memiliki

21

Ibid.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 31: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

17

Universitas Indonesia

ancaman satu sama lain yang lebih besar dibandingkan dengan Negara lain yang

berjauhan. Sama dengan aggregate power, proximate power juga dapat

menimbulkan respon pilihan baik balancing ataupun bandwagoning. Jika sebuah

kedekatan menimbulkan respon balancing, maka bentuk jaring aliansi-nya akan

menyerupai sebuah checkerboards. Istilah umumnya adalah “tetangga-nya

tetangga adalah teman” dan kecenderungan untuk mengepung musuh ditengah

sudah umum digunakan. Sebaliknya, jika kedekatan wilayah mengakibatkan

bandwagoning, maka fenomena yang terjadi adalah hal ini dikarenakan telah

terciptanya sebuah lingkup atau lingkungan penyebaran pengaruh atau sphere of

influence. Negara kecil yang berbatasan dengan Negara dengan power yang lebih

besar mungkin lebih rentan sehingga mereka lebih memilih Bandwagoning

daripada Balancing, apalagi jika Negara tetangga mereka yang lebih kuat tersebut

telah menunjukkan kemampuannya untuk memaksa Negara kecil tersebut untuk

patuh terhadapnya (dalam kondisi kalah dalam perang).

3. Offensive Power. Negara dengan kemampuan menyerang yang lebih besar

sepertinya akan lebih memancing sebuah aliansi bagi negara-negara lain daripada

Negara yang mempunyai kapabilitas militer yang lemah atau bahkan dari yang

hanya mempunyai kapabilitas bertahan saja. Sekali lagi, efek dari faktor ini

beragam. Di satu sisi, ancaman tersebut dapat membuat Negara lain melakukan

balancing dengan beraliansi dengan Negara lainnya. Disisi lain, ketika kekuatan

menyerang memungkinkan kemenangan dapat diraih dengan cepat, maka Negara

lemah akan melihat sedikit harapan untuk bertahan dan akhirnya cepat bergabung

dengan negara berpotensi menang tersebut untuk meraih bagian kemenangan.

Balancing menjadi pilihan yang sulit dilakukan mengingat sangat susah

mendapatkan bantuan dengan cepat dari Negara teman aliansi. Ini menjadi alasan

lain dari terbentuknya “sphere of influence”, Negara yang berbatasan dengan

Negara yang mempunyai kapabilitas menyerang lebih besar dan jauh dari teman

aliansi yang potensial mungkin akan terpaksa memilih untuk melakukan

Bandwagoning karena Balancing diangap sebagai sesuatu yang tidak mungkin.

4. Offensive Intentions. Akhirnya, Negara yang terlihat agresif akan lebih

memprofokasi Negara lain untuk melakukan balancing melawannya.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 32: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

18

Universitas Indonesia

Dengan mempertimbangkan berbagai faktor ancaman tersebut diatas,

maka diharapkan mendapatkan gambaran yang utuh ketika sebuah Negara

memilih untuk melakukan sebuah aliansi. Tidak ada yang dapat mengatakan

faktor mana yang lebih dominan, melainkan semua faktor memainkan peranannya

masing-masing.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 33: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

19

Universitas Indonesia

Gambaran yang menjelaskan teori tersebut adalah sebagai berikut:

BALANCE OF THREAT THEORY

f

a

c

t

o

r

s

AGREGATE POWER

PROXIMATE POWER

OFFENSIVE POWER

OFFENSIVE INTENTION

o

u

t

c

o

m

e

BALANCING

BANDWAGONING

Or

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 34: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

20

Universitas Indonesia

Selain itu, Walt juga menjelaskan implikasi yang berbeda dari dua pilihan

tersebut di dalam politik internasional.22

1. Jika dunia Balancing mempunyai kecenderungan yang dominan akan

terjadi, maka Negara yang mengancam akan memprovokasi Negara lain

untuk melakukan Balancing terhadapnya. Kredibilitas sebuah Negara

teman aliansi menjadi tidak penting dalam dunia Balancing karena Negara

yang berpengaruh tidak berharap Negara teman aliansinya yang lemah

untuk segera membantunya menghadapi Negara yang mengancam. Dalam

dunia Balancing, kebijakan Negara yang mengekang dan mengayomi

menjadi kebijakan yang terbaik. Hal ini dikarenakan oleh Negara yang

mempunyai power yang kuat dianggap mampu “menawarkan” lebih

banyak kepada teman aliansinya yang lemah namun disisi lain dia juga

harus mampu mengatur teman-teman aliansinya yang lemah agar tidak

menjadi agresif terhadap dirinya.

2. Sebaliknya, dunia Bandwagoning akan mengakibatkan dunia ini penuh

dengan persaingan. Jika Negara lain cenderung untuk beraliansi dengan

dirinya yang power-nya lebih kuat dan yang paling mengancam, maka

tercapailah apa yang diinginkan Negara yang menunjukkan power yang

kuat dan paling mengancam tersebut. Persaingan internasional akan

semakin tinggi karena mengalami kekalahan sekali saja dapat memberikan

sinyal akan menjadi kekalahan bagi aliansinya di satu sisi dan

mengakibatkan kemenangan bagi aliansi lawan disisi lain. Jika para

pengambil kebijakan berkeyakinan bahwa dunia Bandwagoning adalah

yang sedang terjadi diluar sana, maka ia akan menaikkan penggunaan

kekuatan (use of force) guna menyelesaikan sengketa internasional.

Karena mereka takut lawan akan mendapatkan kemenangan dengan

menunjukkan power mereka dan mereka akan berasumsi lawan tidak akan

melakukan Balancing melawannya.

Pada akhirnya, salah mengartikan kondisi internasional yang sedang

terjadi mengakibatkan salah membuat keputusan apakah itu Balancing atau

22

Ibid.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 35: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

21

Universitas Indonesia

Bandwagoning akan menjadi bahaya bagi para pembuat keputusan. Jika

Bandwagoning diterapkan di dunia Balancing, maka respon moderat dan santai

dalam melihat ancaman dari luar akan mendorong sekutu mereka menjadi cacat

dan meninggalkan mereka terisolasi dalam koalisi besar yang lemah. Sebaliknya,

menerapkan Balancing (menunjukkan power yang dimiliki dan sifat mengancam

yang sering) di dunia Bandwagoning, akan mengakibatkan Negara atau koalisi

lain akan melawan lebih besar lagi.

Walaupun banyak pembuat kebijakan mengajukan pilihan Bandwagoning

namun pada faktanya yang terjadi adalah Balancing. Hal ini dikarenakan bahwa

sebuah persekutuan yang memberikan kebebasan Negara yang bersekutu untuk

melakukan tindakan secara bebas menjadi lebih disukai untuk dilakukan dibawah

subordinasi Negara yang berpotensi hegemon atau mendominasi. Dasarnya adalah

bahwa niat atau intensi dapat berubah dan persepsi tidak dapat diandalkan.

Sehingga lebih aman untuk melakukan Balancing melawan ancaman daripada

berharap pada Negara kuat untuk menolong.

Banyak fakta sejarah yang menunjukkan bahwa banyak hegemoni yang

berpotensi seharusnya dapat menarik banyak dan makin banyak lagi pendukung,

malah mendapatkan sebaliknya, yaitu semakin banyak pula yang melawan

mereka. Namun bukan berarti Bandwagoning tidak pernah terjadi, setidaknya ada

dua factor. Pertama, Negara dengan power lemah cenderung akan Bandwagoning

karena mereka sangat rentan terhadap tekanan dan mereka tidak akan menambah

kekuatan tambahan apapun terhadap teman aliansinya ketika mereka melakukan

Balancing. Karena mereka hanya bisa melakukan sedikit dari hasil aliansi

tersebut, sehingga mereka lebih baik bergabung dengan pihak yang berpotensi

akan menang (yang mengancam). Kemungkinan lain adalah mungkin Negara

lemah akan melakukan Balancing menghadapi Negara lemah lain, namun akan

lebih mungkin melakukan Bandwagoning bila berhadapan dengan power besar.

Kedua, Negara lemah akan melakukan Bandwagoning ketika teman aliansi tidak

ada. Bahkan Negara lemah akan cenderung melakukan Balancing ketika mereka

percaya akan mendapatkan dukungan dari teman aliansinya. Ketika ini tidak ada,

maka berharap mendapatkan akomodasi dari Negara yang mengancam menjadi

pilihan yang paling mungkin. Secara bersamaan, kedua factor ini membantu

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 36: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

22

Universitas Indonesia

menjelaskan mengapa terkadang Negara dengan power besar mampu menciptakan

sphere of influence. Walaupun Negara tetangga akan melakukan Balancing, tetapi

Negara lemah dan kecil yang terdekat akan melakukan Bandwagoning. Karena

mereka akan menjadi korban pertama penyerangan dimana teman aliansi mereka

jauh jaraknya atau mereka kurang cukup kuat untuk berdiri sendiri atau

melakukan Balancing dengan kuat, maka mengakomodasi Negara tetangga yang

kuat akan menjadi pilihan yang paling masuk akal.

Terkait dengan pilihan Balancing atau Bandwagoning, Walt menjelaskan

dua hal yang mendorong terbentuknya aliansi23

, yaitu:

1. Peran Kesamaan Ideologi

Banyak yang mengira bahwa kesamaan ideologi menjadi hal utama dalam

terjalinnya sebuah aliansi. Namun, hal ini tidak sepenuhya benar. Pertama, Negara

akan cenderung untuk bergabung dengan Negara lain yang mempunyai ideology

Negara yang sama ketika keadaan negaranya sudah merasa aman (secure). Ketika

menghadapi ancaman besar, Negara akan berpikir melakukan aliansi dengan siapa

saja yang mungkin untuk didapatkan guna menghadapi ancaman tersebut.

Sederhananya, pertimbangan keamanan akan menjadi prioritas utama daripada

pertimbangan kesamaan ideologi dalam memilih sebuah aliansi dan aliansi yang

berdasarkan basic-ideologi tidak akan bertahan ketika kepentingan pragmatis juga

ikut bermain.

2. Peran Bantuan (Assistance) Ekonomi dan Militer dalam Formasi

Aliansi

Dalam hipotesis yang berlaku umum, ketentuan bantuan ekonomi dan

militer akan menciptakan aliansi yang efektif, baik dengan menunjukkan

kecenderungan arah kebijakan sebagai rasa terimakasih atas bantuan tersebut atau

karena Negara penerima akan menjadi tergantung pada Negara donor.

Sederhananya, semakin banyak bantuan yang diberikan maka semakin erat aliansi

yang tercipta.

Untuk menyimpulkan bahwa bantuan tersebut adalah hal yang utama

dalam menciptakan aliansi atau sebagai alat yang kuat dalam menciptakan sebuah

pengaruh adalah tidak benar. Perlu diperhatikan bahwa petikan “bantuan

23

Ibid.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 37: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

23

Universitas Indonesia

menciptakan aliansi” mengesampingkan bahwa bantuan ekonomi atau militer

adalah ditawarkan dan diterima hanya jika kedua pihak mempunyai keinginan

tersebut yang sama. Sehingga hubungan dari sebuah bantuan yang besar adalah

hasil atau akibat dari sebuah aliansi, bukan sebuah sebab. Ini terjadi karena

dengan beberapa alasan. Pertama, hingga ketika Negara penyuplai menjadi satu-

satunya Negara yang memberikan bantuan ekonomi atau militer, sebuah aliansi

tidak akan terwujud karena Negara penerima dapat dengan mudah mendapat

bantuan tersebut dari mana saja. Kedua, karena Negara penerima posisinya lebih

lemah dari Negara pemberi, maka ia akan menawar untuk mendapatkan bantuan

yang lebih banyak. Disaat yang sama, Negara pemberi akan rentan untuk menolak

memberikan lebih banyak dengan kekhawatiran akan kehilangan kemungkinan

aliansi oleh Negara penerima jika permohonannya tidak dikabulkan. Ketiga,

semakin penting keberadaan Negara penerima bagi Negara pemberi, maka

bantuan yang diterima akan semakin banyak. Permasalahannya adalah jika Negara

penerima sedemikian pentingnya bagi Negara pemberi, maka Negara pemberi

akan semakin sulit untuk menekan terlalu keras jika suatu saat diperlukan.

Keempat, ketentuan dari bantuan tersebut akan menjadi kekalahan bagi Negara

pemberi, karena bantuan tersebut akan memperkuat posisi Negara penerima dan

akan mengurangi keharusan Negara penerima untuk mematuhi kemauan Negara

pemberi.

Sesuai pemaparan teori diatas, seperti yang dilakukan Walt dalam

analisisnya, variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah sumber ancaman

yang ada, yaitu aggregate power, proximate power, offensive power dan offensive

intentions. Dan lebih memperhatikan pada proximate power sebagai penentu

pilihan yang diambil Rusia dan China dalam memilih balancing ketika

menghadapi ancaman dari AS di kawasan Asia Tengah.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 38: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

24

Universitas Indonesia

I.7 Model Analisa

I.8 Hipotesis

Berdasarkan teori Balance of Threat, maka hipotesis yang dapat diajukan

adalah:

1. Pilihan Balancing Rusia dengan China dengan membentuk SCO di Asia

Tengah dipengaruhi oleh ancaman Aggregate Power, Proximate Power,

Offensive Power dan Offensive Intention dari AS.

2. Ancaman Proximate Power lebih dominan mempengaruhi pilihan

Balancing Rusia dan China di Asia Tengah.

I.9 Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pilihan strategi keamanan

Rusia dan China dengan membentuk SCO dengan menganalisis sumber ancaman

bagi Rusia dan China dengan menggunakan teori Balance of Threat sebagai alat

analisis.

Strategi Balance : membentuk SCO di Asia

Tengah

Balance of Threat Theory:

Amerika Serikat

- Aggregate Power - Proximate Power - Offensive Power - Offensive Intention

Rusia China

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 39: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

25

Universitas Indonesia

Analisis sumber ancaman yang dialami Rusia dan China dari AS akan

menjadi sebuah bentuk penelitian yang dilakukan untuk melihat pola hubungan

antarvariabel yaitu variabel dependen dan independen atau interaksi sebab-akibat

antar variabel yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian analisis

yang bersifat eksplanatif. Penelitian ini menganalisis dan menjelaskan hubungan

kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis.24

Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif

terhadap data-data yang berupa data kualitatif maupun kuantitatif. Informasi yang

diperoleh dituangkan dalam bahasa yang dapat menjelaskan hubungan antara data

satu dengan data lainnya sehingga dapat diperoleh kebenaran atas informasi

tersebut.

Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan pendekatan studi

kepustakaan dengan mengumpulkan data-data sekunder dari berbagai bahan

seperti buku teks, jurnal, surat kabar, dokumen, internet, dan bahan-bahan lainnya.

Data sekunder merupakan data yang telah diperoleh dan diolah oleh penulis

pertamanya. Penulis menggunakan dokumen tertulis yang dihasilkan dari tindakan

aktor lain yang berkaitan dengan permasalahan, pernyataan-pernyataan, dan

tulisan-tulisan politik publik atau perseorangan yang berkaitan dengan perumusan

kebijakan luar negeri serta publikasi dari lembaga-lembaga yang bertugas

mencatat aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan masalah luar negeri

I. 10 Sistematika Penulisan

Bab I : berisi tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,

rumusan permasalahan, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, tinjauan

pustaka, kerangka konsep, model analisa, hipotesis, metode penelitian

serta sistematika penulisan.

Bab II : bab ini memberikan gambaran tentang kondisi umum Asia

Tengah setelah Uni Soviet runtuh, kepentingan Rusia dan China di Asia

Tengah dan bagaimana mereka mempersepsikan sebuah ancaman bagi

24

Masri Singarimbun, Metode dalam Proses Penelitian. Dalam Masri Singarimbun dan Sofian

Effendi, ed. Metode Penelitian Survei Edisi Revisi. (Jakarta, LP3ES, 1989), hlm 5.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 40: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

26

Universitas Indonesia

keamanannya dan juga terbentuknya SCO sebagai strategi Balancing

Rusia dan China dalam menghadapi ancaman dari AS.

Bab III : bab ini berisi tentang analisis ancaman yang diberikan AS kepada

Rusia dan China, baik dengan kerjasama bilateral militer AS dengan

negara-negara Asia Tengah maupun kerjasama regional yang terjalin

dengan baik pula. Ditambah lagi rencana perluasan NATO ke wilayah

Eropa Timur yang mana berbatasan langsung dengan Rusia.

Bab IV : penutup yang berisi kesimpulan.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 41: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

27

Universitas Indonesia

BAB II

KEPENTINGAN RUSIA DAN CHINA DI ASIA TENGAH DAN

PEMBENTUKAN SHANGHAI COOPERATION ORGANIZATION (SCO)

SEBAGAI PILIHAN BALANCING TERHADAP ANCAMAN DARI

AMERIKA SERIKAT DI ASIA TENGAH

II.1. ASIA TENGAH

II.1.1. Stabilitas Internal Asia Tengah

Pecahnya Uni Soviet memunculkan delapan negara baru di simpang

strategis penting yaitu terletak di utara Timur Tengah dan wilayah Teluk Parsi,

sebelah barat China, dan selatan Rusia. Tiga negara–Georgia, Armenia dan

Azerbaijan–terletak di pinggiran Eropa. Wilayah ini disebut sebagai Trans-

Kaukakus. Lima negara lain yaitu Kazakstan, Kyrgistan, Tajikistan, Turmenistan

dan Uzbekhistan- yang menjadi kajian dalam tulisan ini, terletak di stepa dan

padang yang amat luas dari Laut Kaspia sampai pegunungan Altai dan Pamir.

Sub-kawasan inilah yang disebut sebagai “Asia Tengah”

Gambar II.1

Peta Asia Tengah

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 42: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

28

Universitas Indonesia

Sebenarnya, 4 (empat) negara Asia Tengah adalah Uzbekistan,

Turkmenistan, Tajikistan dan Kyrgyzstan seluas 1,3 juta persegi. Sedangkan

Kazakhstan sendiri seluas 2.7 juta kilometer persegi, hampir seluas India namun

dengan populasi 17 juta orang. Dalam standar Rusia, wilayah Asia Tengah adalah

keempat negara tersebut diatas tanpa menghadirkan Kazakhstan karena

masyarakatnya secara fisik lebih dekat dengan masyarakat Turki. Namun dalam

tesis ini, Kazakhstan akan dimasukkan kedalam termonilogi Asia Tengah karena

terhubungnya tiap ulasan dengan keempat negara lainnya.1

Negara-negara Asia Tengah berada dalam ketidakjelasan.

Kemerdekaannya sangat rapuh dan menghadapi masalah sosio-ekonomi yang

membutuhkan bantuan luar. Tantangan politik bagi pemerintah pun harus

mendapat banyak perhatian. Mereka butuh kerjasama untuk keuntungan bersama,

namun permusuhan dan sengketa antara negara-negara tersebut belum juga dapat

dituntaskan dan dalam beberapa kasus menjadi sangat buruk. Rasa frustasi dan

tekanan muncul ditengah negara-negara tersebut.

Kepastian politik semakin samar bagi peralihan para elit penguasa dari

partai komunis yang sebelumnya, yang telah menjadi sistem yang melekat dalam

negara. Lawan politik dari kaum militan atau yang banyak disebut sebagai

“fundamentalis” Islam di Asia Tengah makin marak menimbulkan kebutuhan bagi

negara-negara di kawasan untuk saling mengikat diri dalam sebuah kerjasama.

Negara-negara di Asia Tengah merupakan negara dengan sistem autokrasi.

Kazakstan dan Uzbekistan pernah dipimpin oleh presiden - presiden yang berasal

dari partai komunis. Demikian pula dengan Turkmenistan sampai dengan Presiden

Saparmurat Niyazov yang meninggal pada akhir tahun 2006.

II.1.1.1 Kazakhstan

Adalah negara yang disebut sebagai pemimpin dari negara – negara Asia

Tengah. Secara ekonomi, Kazakstan mempunyai pendapatan perkapita (GDP)

terbesar dibanding negara-negara Asia Tengah lainnya. Bahkan Presiden

Nursultan Nazarbayev pernah mengumumkan pada bulan November 2006 bahwa

1 Anthony Hyman, loc. cit., hlm. 1.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 43: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

29

Universitas Indonesia

Kazakstan berencana untuk menjadikan negara ini sebagai salah satu dari 50

negara kompetitif secara ekonomi.2

Kondisi ekonomi di Kazakstan tidak diikuti oleh kemajuan di bidang

politiknya. Kekuasaan terbesar masih terkonsentrasi di tangan Presiden

Nazarbayev dimana politisi–politisi yang berseberangan dengan pemerintahannya

masih mendapatkan tekanan–tekanan. Nursultan Nazarbayev terpilih lewat pemilu

presiden yang relative bersih.3 Sayangnya sejumlah kasus menunjukkan pemilu

menjadi awal keresahan sosial di negara – negara sekitar, seperti Georgia,

Ukraina, juga Kyrgistan.

Apalagi peristiwa ini dipandang para elite sebagai proses yang didanai

oleh Barat dan merupakan plot mendukung rejim yang pro-Barat. Sementara itu

pemilu juga dilihat sebagai kegagalan demokrasi yang diatur. Menjelang pemilu,

media yang dikontrol negara mendorong agenda presiden hingga terpilih, selain

itu kandidat dari pihak oposisi dan juga media non-pemerintah mengalami

sejumlah tekanan. Kasus di Georgia, Ukraina, juga Kirgistan menunjukkan bahwa

begitu demokrasi yang diatur mulai gagal, rakyat mendapat energi untuk bergerak.

Dan energi baru itu menjadi bencana bagi elit yang sedang berkuasa.

II.1.1.2 Tajikistan

Memiliki prakondisi dengan kegoncangan politik dalam negerinya.

Ekonominya mengalami penurunan yang berlanjut, yang akibatnya ribuan warga

keluar negeri untuk mencari kerja. Sementara Presiden Imomali Rakhmonov

memperkuat kekuasaannya dengan mempersempit pemilu presiden. Perang

Saudara tahun 1992 – 1997 telah menunjukkan bahwa kekayaan minyak

Tajikistan bukan jaminan bahwa ekonomi tidak akan hancur juga ketiadaan

kekejaman dan penderitaan.

Perang Saudara juga memberi pelajaran bahwa tidak semua konfrontasi

politik akan berakhir secara damai. Saat ini Tajikistan juga merupakan negara

perlintasan produk opium dan heroin yang berasal dari Afghanistan menuju

2 Minister of Industry’s statement, “The Development Of The Economic Relations Between

Kyrgyzstan”, AKI-Press, June 23, 2006, di akses dari http://www.akipress.org/news/29316, Maret

14, 2010. 3 “Kyrgistan: A Faltering State”, ICG, Asia Report, No.109, 16 Desember 2005.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 44: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

30

Universitas Indonesia

Eropa. Bahkan dana hasil penjualan obat terlarang tersebut digunakan menjadi

pusat kekuatan informal yang berupaya menformalisasikan pengaruh mereka.4

II.1.1.3 Turkmenistan

Memiliki sistem politik yang dikonsentrasikan di bawah Presiden

Saparmurat Niyazov. Ia seorang presiden seumur hidup yang pribadinya

dikultuskan dan ditampilkan di semua wilayah publik. Dibawah

kepemimpinannya, Turkmenistan dikenal sebagai negara di Asia Tengah yang

paling represif dan terisolasi.5 Dengan sistem seperti ini, kudeta atau pertarungan

bagi suksesi akan menjadi masalah besar pada saat pemimpin meninggal.

Perbedaan pendapat tidak dapat ditoleransi di negara ini. Adanya batasan akses

untuk mendapatkan informasi, dan negara ini dikenal sebagai salah satu negara

dengan catatan hak asasi manusia terparah di dunia.

Masyarakat juga dibatasi untuk mendapatkan pendidikan, lulusan luar

negeri pun tidak diakui dan ideologi yang dipakai Nizayov mendominasi

kurikulum yang digunakan. Namun untuk kepentingan Presiden Nizayov sendiri

seperti untuk masalah kesehatan, ia menggunakan fasilitas bantuan kesehatan dari

luar negeri. Sementara bagi masyarakat biasa, hal tersebut tidak diperbolehkan.

Pada tahun 2005, terjadi kejadian politik besar di Turkmenistan. Sejumlah pejabat

yang dianggap terlibat dalam korupsi di bidang industri minyak dan gas

disingkirkan. Peristiwa itu sendiri dipandang sebagai makin khawatirnya Presiden

Nizayov menghadapi kemungkinan ancaman yang didukung oleh dana yang kuat

dari luar.

Ancaman itu datang dari kalangan eselon tinggi di kekuasannya. Presiden

Nizayov meninggal dunia pada bulan Desember 2006 akibat gagal jantung dan

kekuasannya digantikan oleh penggantinya Gurbangully Berdimuhammedov yang

memenangkan pemilu pada bulan Februari 2007.

4 V. Dubovitsky. “The Tajik-Chinese Relations: The Period Of Woriness Over, The Era Of

Cooperation Begins”, January 30, 2007. Diakses pada

http://enews.ferghana.ru/article.php?id=1810. Februari 06, 2010. 5 “Turkmenistan after Niyazov”, Crisis Group Asia Briefing, No.55, 12 Februari 2007. Diakses

pada http://www.transkaukasusisue/turkmenistan/5649/html.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 45: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

31

Universitas Indonesia

II.1.1.4 Uzbekistan

Disebut sebagai negara yang tidak akan mengalami perubahan rejim yang

disebabkan gagalnya demokrasi yang diatur. Hal itu disebabkan pemilu presiden

dan parlemen tidak memiliki pengaruh yang dapat dirasakan publik. Rejim

Presiden Islam Karimov dikatakan sebagai salah satu rejim yang paling represif

diantara negara – negara Asia Tengah.6 Kebijakan ekonominya telah membuat

kemarahan dari masyarakatnya. Diperkirakan yang mungkin terjadi adalah

perubahan lewat kekerasan sebagaimana yang ditunjukkan dalam kekerasan di

Andijon pada tanggal 12 – 13 Mei 2005.

Kekerasan itu sebelumnya diawali dengan rasa tidak puas akan keadaan

ekonomi dan tidak berjalannya sistem hukum. Serangan Andijon bersenjata

diarahkan ke fasilitas pemerintah, penjara dan pos polisi. Sebagai tanggapan atas

serangan itu, pemerintah dan pihak keamanan melakukan tindakan tegas yang

secara internasional dianggap berlebihan.

Sejak saat itu pemerintah berusaha untuk merubah keadaan hanya semata–

mata untuk menenangkan pihak Barat yang banyak mengkritik kebijakannya dan

melunakkan sanksi yang diberikan, terutama sanksi yang diberikan oleh Uni

Eropa. Namun sesungguhnya perbedaan - perbedaan yang ada juga masih

mendapatkan tekanan. Pembunuhan menghantui gambaran politik di negara ini

yang terlihat dari ketakutan dan keputusan yang diperlihatkan oleh masyarakat.

II.1.1.5 Kyrgistan

Destabilitasi politik terjadi sejak awal 2005. Hal itu dipicu masalah

unfairness dalam pemilu parlemen Februari dan Maret 2005. Rezim menghadapai

ancaman perubahan pada pemerintahan atau Revolusi Warna.7 Ancaman terhadap

kepemimpinan Presiden Kurmanbek Bakiev dan Perdana Menteri Feliks Kulov

dimulai dengan terbunuhnya tiga anggota parlemen. Dalam perkembangannya,

demonstrasi menuntut pemerintah untuk mundur makin marak dengan

terbunuhnya Tynychbek Akmatbaev. Ia adalah saudara dari tokoh kriminal

6 Ibid.

7 Perdana Menteri Bakiev menggantikan Presiden Askar Akayev. Peristiwa tersebut disebut

sebagai Revolusi Tulip. Istilah ini meniru Revolusi Oranye di Ukraina dan Revolusi Merah Jambu

di Georgia yang waktunya tidak jauh berbeda.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 46: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

32

Universitas Indonesia

terkenal Rypek Atmabaev. Ryspek kemudian menjadi figur public vocal.

Kyrgistan mengahadapi kekerasan politik, kerusuhan di penjara, perselisihan hak

tanah, dan juga adanya ketidakpastian sosial. Berbagai peristiwa itu menunjukkan

bagaimana dunia kriminal bawah tanah bisa memainkan pengaruh pada politik

tingkat tinggi dalam kondisi negara dalam keadaan tak berdaya. Apalagi

pemerintah semakin sulit mengkontrol petugas keamanan, suatu hal yang

meningkatkan prospek kekacauan dan kriminalitas.8

II.1.2 Militan dan Ekstrimis Asia Tengah

Keberadaan kelompok Islam di Asia Tengah merupakan karakter yang

paling menonjol dari berbagai masalah di Asia Tengah. Yang dianggap sebagai

pusat pergerakan Islam di Asia Tengah terletak di Lembah Fergana, yang

merupakan pertemuan dari tiga bekas Republik Uni Soviet yaitu Uzbekistan,

Kirgistan, dan Tajikistan. Di wilayah seluas 22 ribu km persegi itu tinggal sekitar

7 juta orang yang menjadikannya wilayah terpadat di Asia Tengah. Selama

bertahun – tahun, pemerintahan di Asia Tengah menganggap lembah itu sebagai

sarang ekstrimis Islam yang menginginkan negara Islam di kawasan. Lembah itu

dianggap sebagai benteng terakhir kepercayaan Wahhabi.9

Wilayah yang sebagiannya didiami oleh etnis Uzbek itu terbagi secara

tidak jelas antara ketiga negara, sehingga ada kantong – kantong yang dikelilingi

wilayah negara-negara lain. Secara garis besar, Uzbekistan menguasai lembah

yang kecil dan Kirgistan menguasai wilayah lembah bagian atas. Setelah Soviet

bubar pada tahun 1990, ekonomi wilayah ini hancur dan menjadi tempat

berkumpulnya militan Islam transnasional yang dikontrol dan didanai dari luar.10

Di lembah Fergana ada dua kelompok utama yakni Gerakan Islam

Uzbekistan (GIU)11

dan Hizb – ul – Tahrir (HT) atau Partai Pembebasan Islam.12

8 Lebih lanjut baca di: “Kyrgistan : A Faltering State”, ICG, Asia Report, No. 109, 16 Desember

2005. 9 “The Goverment of the Xinjiang Uygur Autonomous Region” website, Januari 2006,

http://www.xinjiang.gov.cn/1$002$013/352.jsp?articleid=2006-1-3-0003 diakses pada Maret 12

2010. 10

Pada tahun 2000-an terjadi pengingkatan secara illegal orang-orang asing yang tidak memiliki

kewarganegaraan. Dikabarkan mereka datang dari Afghanistan dan Pakistan. Ramtani Maitras,

Remarking Central Asia, Asia Times. Diakses dari

http://www.asiatimes.com/asiatimes/Central_asia?GE27ago01.html pada 27 Mei 2009. 11

Berkonsentrasi di Asia Tengah dengan fokus di Lembah Fergana.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 47: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

33

Universitas Indonesia

Ada bukti – bukti yang menunjukkan bahwa mereka bekerja sama. Kerjasama itu

dalam bentuk perekrutan: rekrutmen GIU berasal dari HT. Mereka memiliki

tujuan yang sama, yakni mengubah rejim di Uzbekistan, Kyrgistan, Tajikistan dan

Kazakstan.

Gelombang pertama perkembangan Islam politik di Asia Tengah muncul

pertama di Tajikistan pada 1992 yang berupaya mendirikan negara Islam. Mereka

pada awalnya merupakan kekuatan pribumi, berkonsentrasi di propinsi bagian

selatan. Kemudian muncullah apa yang disebut sebagai gelombang kedua, ketika

kekuatan pribumi Tajikistan bergabung dengan pihak luar.

Mereka mengkaitkan diri dengan kelompok di Afghanistan bahkan pada

1996 beroperasi di Afghanistan dan sejumlah pemimpinnya pindah ke kota–kota

di Pakistan. Perang saudara yang muncul di Tajikistan itu melibatkan ideologi

yang tumpang tindih antara demokrasi yang sekuler, nasionalis reformis dan

Islam. Proses perdamaian di Tajik di bawah pengawasan PBB (1994 – 1996)

melibatkan Rusia, AS, Iran, Pakistan dan OSCE Eropa dan OKI.

Keterlibatan negara besar dalam pertarungan di Tajikistan sangat rumit.

Amerika memandang bahwa perang saudara di Tajik (1992 – 1996) merupakan

pertarungan yang melibatkan kelompok di kawasan yang direkayasa Rusia untuk

membenarkan kehadiran militer di Asia Tengah. Sampai dengan pemboman

Kedubes AS, Kenya dan Tanzania pada Agustus 1998, AS mendorong negara

Asia Tengah untuk membangun kerjasama dengan pemerintah Taliban di Kabul.

Naiknya Taliban, yang kemudian mengakibatkan jatuhnya Kabul pada

1996, mendorong Rusia dan Iran untuk bekerjasama dan berupaya menyelesaikan

masalah Tajik. Kedua negara mendorong dilibatkannya kaum oposan dalam

pemerintahan di Dunshanbe. Proses yang bersamaan juga terjadi antara China dan

Rusia yang menghasilkan “Inisiatif Shanghai” setelah adanya tanda – tanda

hubungan antara militan Uyghur dan Taliban pada tahun 1996.

Setelah terjadi penyelesaian di Tajik, militan Uzbek yang tergabung dalam

kelompok Tajik memisahkan diri. Mereka secara terbuka menyatakan bergabung

dengan Taliban. Antara 1996 dan 2001, GIU beroperasi dari wilayah yang

dikuasai Taliban dan meluaskan aktivitasnya di Asia Tengah khususnya

12

HT merupakan gerakan Islam Internasional. Bermarkas di London, dengan cabang di

Birmingham, Liverpool dan Bradford.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 48: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

34

Universitas Indonesia

Uzbekistan dan Kirgistan. Rusia sekali lagi memimpin upaya menghadapi

ancaman militan, sedangkan SCO sedang dalam proses pendirian.

Kepemipinan Moscow dalam menghadapi gerakan Islam itu menimbulkan

reaksi AS. AS menuduh bahwa Rusia mengeksploitasi “ancaman” Islam militan

yang menurut Amerika Serikat sebenarnya tidak ada. Namun sikap Amerika

Serikat berubah setelah terjadi serangan 11 september 2011. AS lalu membangun

sejumlah pangkalan di Asia Tengah dan mendorong front bersama untuk

mengahadapi “teror Islam”. Kesalahan terbesar dari GIU dan Taliban adalah

mereka bekerjasama dengan Al Qaeda. Dalam intervensi militer Amerika Serikat

ke Afghanistan pada Oktober 2001, GIU disingkirkan dan yang selamat banyak

yang lari ke pedalaman Pakistan dan juga kabarnya ditahan di Guantanamo.13

Kekosongan yang ditinggalkan GIU memunculkan gelombang Islam

politis yang ketiga. Munculnya HT. Berbeda dengan gelombang sebelumnya. HT

mengklaim sebagai gerakan pan Islam yang bertujuan untuk membangun

“Kekhalifahan” yang berdasarkan syariat Islam di Asia Tengah. Mereka

berpandangan bahwa Kirgistan merupakan titik terlemah di kawasan. Mayoritas

anggota HT adalah etnik Uzbek yang tinggal di sekitar Lembah Ferghana.14

HT sendiri tidak jelas dan misterius, sebagaimana Taliban. Media AS

sering mewawancarai juru bicara HT yang berkantor di London tetapi tidak ada

yang tahu dimana kepemimpinannya berkedudukan. Diduga HT didanai dari

“lembaga dermawan Arab”. Struktur HT menggunakan sistem sel yang berbentuk

piramid hierarkis yang masing – masing terdiri dari lima orang anggota dengan

seorang pemimpin. Interaksi antar sel terjadi secara tidak langsung.

Kekacauan ekonomi dan sosial di Asia tengah menjadi ladang subur bagi

rekrutmen HT yang kebanyakan para pemuda pengangguran. HT popular di

pedalaman dan para anggota tidak diharuskan menguasai secara mendalam

prinsip-prinsip Islam. Yang paling penting adalah mengakui tujuan syariat dari

partai.

Diduga HT memilki 20 ribu kader yang berasal dari pejabat keamanan

negara Asia Tengah bahkan menyebut angka 60 ribu orang yang merupakan

anggota inti. Pakar Asia Tengah dari AS menyebut HT sebagai kelompok Islam

13

Ibid. 14

Ibid.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 49: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

35

Universitas Indonesia

radikal yang paling populer. Negara Asia Tengah dan Rusia menyebut HT sebagai

organisasi teroris.

Bagaimanapun, sikap keras kelompok-kelompok diatas sedikit banyak

dipengaruhi oleh keberadaan rejim di Asia Tengah. Para pemimpinnya berkuasa

cukup lama, rata-rata satu dekade. Kelima negara mengalami periode yang tidak

pasti dalam proses demokrasi dan reformasi pasar yang mengakibatkan adanya

kemungkinan bagi kegoncangan politik yang mendorong perubahan rejim yang

tidak terencana.

II.1.3 Potensi Energi Asia Tengah

Saat ini Kazakstan diestimasi memiliki 30 sampai 40 milyar barel minyak

mentah. Jumlah ini sama dengan setengah dari minyak yang dimilki Rusia dan

sepadan dengan 11 % dari jumlah minyak yang dimiliki oleh Saudi Arabia.

Kirgistan merupakan negara urutan ke-11 di dunia dibawah Nigeria dan AS untuk

kepemilikan sumber eksplorasi minyaknya. Kirgistan juga dikenal dengan

produksi NGL seperti etanol, propane dan butane.15

Hampir semua produksi

minyaknya berasal dari bagian barat negara itu yang dekat dengan laut Kaspia

kecuali tambang Karachaganak di wilayah tenggara yang berdekatan dengan

Rusia.

Sejak tahun 1995 sudah dilakukan penelitian, investasi luar negeri dan

adanya pengolahan dengan teknologi baru Kazakstan telah menghasilkan tiga kali

lipat minyak mentah. Kazakstan juga berencana pada tahun 2020 dapat

memproduksi sekitar 1.74 MMbbl yang dihasilkan dari empat penambangan yang

besar.

Disamping minyak mentah, Kazakstan juga mempunyai ketersediaan gas

yang ada. Meskipun ekspor gas yang dilakukan masih relatif kecil dibanding

minyak, namun kepemilikan gas alam di Kazakstan diestimasi berada dalam

urutan ke sebelas di dunia, bersama dengan Turkmenistan dan Indonesia.

Hasil ekspor terbesar dari Turkmenistan adalah gas alam. Meskipun

begitu, Turkmenistan juga memproduksi minyak dan mempunyai ketersediaan

15

“Central Asia : Between Hope and Disilussion”, BNP Paribas Conjuncture, 20 April 2006

Diakses dari www.akipress.org .

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 50: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

36

Universitas Indonesia

sekitar 600 juta barel minyak mentah.16

Letak cadangan minyak Turkmenistan

sebagaian ada di lepas pantai. Namun menurut laporan USEIA, US Energy

Information Administration, sejak tahun 2004 cadangan minyak Turkmenistan

telah mengalami penurunan Letak cadangan minyak yang penting ada disebelah

Timur tetapi yang paling penting lagi ada di wilayah Cheleken Penninsula di

daerah barat provinsi Balkan. Perusahaan minyak negara, Turkmenft,

memfokuskan sebagaian besar produksinya di daerah Garashsyzlyk, dimana

terdapat lebih dari 40 ladang produksi minyak dan gas disana.17

Ladang minyak di daerah Kyapaz di Kaspia pada awalnya timbul

perselisihan dengan Azarbaijan. Namun, setelah adanya kesepakatan antara

Turkmenistan-Azarbaijan, perselisihan tersebut dapat diatasi. Saat ini

Turkmenistan telah membuka kawasan ini untuk eksplorasi. Saat ini investasi luar

negeri telah masuk ke negara ini meskipun jumlahnya masih relatif kecil.

Turkmenistan saat ini baru memproduksi dua per tiga dari minyaknya. Berbeda

dengan minyak, gas merupakan produk utama yang dihasiljkan oleh

Turkmenistan. Sebagian besar gas yang diproduksi berasal dari Amu Darya Basin

termasuk Daulatabed yang merupakan salah satu yang terbesar didunia.18

Tabel II.1

Perkiraan Recovereable Oil and Gas Resources in the Caspian Region

Proven Posible Total Proven Posible Total

16

Crisis Group Report, Atyrau, 8 Oktober 2006. Diakses dari www.crisisgroup.org . 17

The USEIA report, diakses dari http://useia/report/2006/980efg/html . 18

“Turkmenistan Leader Orders More Money for Oil, Gas Prospecting amid Doubts Over

Reserves”, Associated Press, 7 Agustus 2006.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 51: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

37

Universitas Indonesia

Oil

Billion bbl

Oil Gas in

triliun gas

cubic m

Gas

Azerbaijan 3.6 27.0 31 0.3 1.0 1.3

Kazakstan 10.0 85.0 95.0 1.5 2.5 4.0

Turkmenistan 1.5 32.0 33.5 4.4 4.5 8.9

Uzbekistan 0.2 1.0 1.2 2.1 1.0 3.1

Rusia 0.2 5.0 5.0 Na Na Na

Iran Na 12.0 12.0 0 0.3 0.3

Total 15.6 163 178 8.3 9.3 17.6

Sumber : Cohen Ariel, “US Interest in Central Asia”, diakses dari

http://www.idea.tr.com/secmeler/abd/us_interest_in_central_asia.htm pada 3

Januari 2010.

II. 2 Kepentingan Rusia dan Dinamika Rusia di Asia Tengah

Setelah runtuhnya Uni Soviet, Rusia seperti dipaksa untuk menjawab

pertanyaan paling fundamental mengenai identitas negaranya dan hubungannya

dengan negara-negara barat dalam sistem dunia pasca Perang Dingin berakhir.

Setelah disintegrasi Uni Soviet pada tahun 1991, Rusia mengalami proses transisi

baik di dalam negeri maupun mengenai prioritas politik luar negerinya. Rusia

yang tidak lagi memproyeksikan politik luar negerinya dalam skala global kecuali

di bidang perlucutan senjata, mulai mengembangkan hubungan kemitraan dengan

AS dan Eropa Barat, mengalami deideologisasi, dan pendekatan pragmatisme.

Dengan kebijakan luar negeri seperti ini, Rusia mulai melakukan

peninjauan hubungannya dengan berbagai negara. Saat ini Rusia sebagai bagian

dari pewaris adidaya Uni Soviet di masa lalu saat perang dingin, merupakan

kekuatan militer tandingan AS yang amat diperhitungkan reputasinya.19

Kebangkitan Rusia pada akhir tahun 1990-an, Presiden Rusia, Vladimir

Putin, mengejar kebijakan luar negeri Rusia yang mengedepankan peran penting

Rusia di dunia. Dalam dokumen resmi kebijakan politik luar negeri Rusia,

19

Devi Oftasari, “Dukungan AS Terhadap Georgia Dalam Konflik Rusia-Georgia”, Tesis, FISIP

UI, Juni 2011, hlm. 41.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 52: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

38

Universitas Indonesia

terutama dalam Foreign Policy Concept dan The National Security Concept,

menggambarkan bahwa kebijakan luar negeri Rusia akan terus fokus pada

menciptakan dan mempertahankan sistem internasional dimana negara-negara

besar tetap menjadi pemimpin dalam tatanan global, bebas mengejar kepentingan

nasional yang ingin dicapai, menghargai negara-negara dalam koridor spere of

influence, dan mempertahankan balance of power diantara negara-negara besar

yang ada.20

Pernyataan Putin mengenai kebijakan luar negeri Rusia tersebut tertuang

dalam dokumen resmi yang dimana didalamnya tertuang prioritas utama

kebijakan luar negeri Rusia pada era Putin, yang berbunyi :

“Promoting the interest of Russian Federation

as a great power and one of the most influential

centers in the modern world [by] ensuring the

country’s security preserving and strengthening

its sovereignty and territorial integrity and its

strong authoritative position in the world

community [in order to promote] the growth of

its political, economic, intellectual, and spiritual

potential.21

“ ...shaping a stable, just, and democratic world

order.... [based] on equitable relations of

partership among states”.22

Penyataan Putin tersebut diartikan sebagai kedaulatan negara, great power,

dan kemitraan diantara negara-negara. Sebenarnya inti dari Foreign Policy

Concept Rusia tersebut adalah geopolitik, yaitu dimana negara-negara di dunia

mengejar kekuasaan dan kepentingan nasionalnya, yang berarti balance of power.

Pemerintahan pada era Putin terlihat lebih mengedepankan pada konsep great

20

Ibid. 21

Jeffrey Mankoff, op. cit., hlm. 12. 22

Ibid., hlm. 13.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 53: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

39

Universitas Indonesia

power, dimana Putin mengharapkan Rusia menjadi negara kuat yang dapat

memimpin dunia terutama didalam dunia yang multipolar. Hal ini terlihat dalam

pernyataan Putin mengenai dunia multipolar dimana dalam sistem internasional

yang multipolar negara-negara besar menjadi aktor-aktor utama dalam tatanan

global yang hubungannya dengan negara-negara lain berdasarkan kalkulasi

kepentingan nasional negaranya.

“We must clearly recognize that the critical

responsibility. . . for securing global stability wil be

borne by the leading world powers [vedushchie

mirovye derzhavy] – powers possesing nuclear

weapons [and] powerful levers of military-political

influence”23

Hubungan Rusia dengan negara-negara Barat menjadi hal yang paling

banyak disorot dalam kebijakan luar negeri Rusia. Interaksi Rusia dengan negara-

negara di seluruh belahan dunia, termasuk negara-negara pecahan Uni Soviet

disekitar batas-batas negaranya, berdasarkan hubungan negara-negara tersebut

dengan komunitas Barat terutama dengan ”negara pemimpin” di komunitas Barat

tersebut yaitu AS. Kenangan masa lalu saat Perang Dingin antara Rusia dengan

AS masih mewarnai hubungan kedua negara tersebut. Walaupun bayangan Perang

Dingin masih ada, pada saat ini Rusia tidak lagi menjadi bentuk ancaman seperti

pada saat Perang Dingin.

Ketika serangan teroris terjadi di AS pada 11 September 2001, Rusia

mengeluarkan pernyataan bahwa negaranya berperang melawan teroris, sejalan

dengan kebijakan luar negeri AS yang memerangi terorisme. Walaupun Rusia

bersama-sama dengan AS melawan terorisme, bukan berarti Rusia selalu memiliki

arah kebijakan luar negeri yang sama dengan AS. Ambisi Rusia dalam tatanan

global masih sangat terlihat yaitu untuk menjadi negara besar didunia. Hal ini

tertuang laporal Trilateral Comission yang berisikan :

23

Ibid., hlm. 16.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 54: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

40

Universitas Indonesia

”Russia is essentially and independent rather than

aggresive and expansionist. Russia will use pressure of

many kinds on less powerful neighboring states and use

leverage with the major powers where it has it . . . but it

does not seek confrontation with them . . . The ambition

of the present leadership, supported by the majority of

the electorate, is to re-establish Russia as a strong,

independent, and unfettered actor on the global stage”.24

Rusia saat ini menjadi negara pengekspor minyak dan gas alam yang

paling utama. Pertumbuhan ekonomi Rusia pada beberapa dekade terakhir

digerakan oleh ekspor energi yang meningkatkan produksi minyak Rusia dan

harga minyak dunia selama beberapa periode. Secara internal, Rusia memenuhi

kebutuhan dalam negerinya dari minyak alam. Bagi Rusia, energi adalah jantung

dari perekonomian Rusia. Energi adalah aset penting bagi Rusia, yang

menunjukkan kekuatan Rusia. Pertumbuhan ekonomi Rusia perlahan namun pasti

berasal dari energinya. Energi Rusia dapat berjalan seimbang dengan harga

minyak dunia. Lihat grafik II.1

Grafik II.1

Pertumbuhan Ekonomi Rusia dan Harga Minyak Dunia

Tahun 1997-2003

24

Ibid., hlm. 23.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 55: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

41

Universitas Indonesia

Sumber : Fiona Hill, Energy Empire: Oil, Gas and Russia’s

Revival, The Foreign Policy Centre, September 2004, hlm 31.

Rusia memiliki persediaan gas alam terbesar di dunia, yaitu sebesar 1,680

triliun meter kubik. Persediaan gas alam Rusia tersebut sebesar seperempat total

persediaan gas alam di dunia. Kebanyakan sumber persediaan gas alam tersebut

terletak di Siberia, dengan Yamburg, Urengoy, dan Medvezhnye sendiri terhitung

sekitar 45% dari total persediaan Rusia. Lebih dari separuh sumber persediaan gas

alam Rusia terletak di Siberia. Beberapa sumber gas alam juga terletak di Rusia

bagian utara.

Pada tahun 2007 Rusia termasuk dalam negara dengan persediaan gas

alam terbesar. Lihat Diagram II.1 Diagram perbandingan jumlah persediaan gas

alam Rusia dengan negara lain dapat dilihat dalam diagram II.2.

Diagram II.1

Persediaan Gas Alam Negara-Negara Tahun 2007

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 56: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

42

Universitas Indonesia

Sumber : Global Fire Power. Proven Oil Reserves. Diunduh dalam

http://www.globalfirepower.com/proven-oil-reserves-by-country.asp

Diagram II.2

Perbandingan Persediaan Gas Alam 10 Negara

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 57: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

43

Universitas Indonesia

Sumber : U.S Energy Information Adminstration. Country Brief Analysis : Russia.

Diunduh dari http://www.eia.doe.gov/cabs/Russia/Background.html

Gambar II.2

Jalur Pipa Minyak Rusia di Asia Tengah

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 58: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

44

Universitas Indonesia

Sumber : U.S. Energy Information Administration.

Country Brief Analysis:Russia. Diunduh dari

http://www.eia.doe.gov/cabs/Russia/Background.html

Para pembuat kebijakan Rusia menyadari bahwa saat ini semua negara

berusaha untuk memperluas pengaruhnya baik dengan menggunakan hard power

maupun soft power.25

Bagi Rusia kekuatan militer merupakan cara yang dapat

digunakan dalam kebijakan luar negerinya, dan perang dapat digunakan sebagai

perpanjangan tangan dari kebijakan luar negerinya, serta pencegahan terhadap

perang sangat sulit dilakukan.26

Bagi para pembuat kebijakan Rusia tersebut,

negara-negara terfokus pada kemampuan militernya masing-masing dibandingkan

25

Dmitri Trenin. “Russia’s Threat Perception an Strategic Posture”. Strategic Studies. November

2007. Hlm. 35. 26

Ibid.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 59: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

45

Universitas Indonesia

dengan pendekatan politik diantara sesama negara. Dengan kata lain, negara-

negara dengan kekuatan militer yang besar dapat menjadi ancaman bagi Rusia.

Tabel II.2

Persebaran Basis Militer Rusia

Sumber : International Institute for Strategic Studies (IISS), “Annual Assessment of

Global Military Capabilities and Defense Economics”, (London, Military Balance 2009)

Tabel II.3

Perbandingan perlengkapan militer negara-negara Baltik dan negara-negara

yang berbatasan dengan Rusia

Sumber : SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute). Diakses dari

http://first.sipri.org

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 60: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

46

Universitas Indonesia

Tabel II.4

Perbandingan cadangan persenjataan Rusia-NATO

Sumber : SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute). Diakses dari

http://first.sipri.org

Tabel II.5

Perbandingan pembiayaan militer Rusia-NATO, dalam miliyar dolar AS

Sumber : SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute). Diakses dari

http://first.sipri.org

Rencana perluasan NATO ke Timur memberikan ketakutan tersendiri bagi

Rusia. Perluasan NATO tersebut dikhawatirkan akan merusak perimbangan

strategis AS dan Rusia di Eropa Timur, karena pengaruh AS di kawasan tersebut

akan semakin besar. Rusia terlihat melancarkan usaha pembendungan terhadap

rencana ekspansi dan perluasan pengaruh negara-negara Barat di Eropa Timur.

Hal ini tak terlepas dari fokus utama kebijakan luar negeri Rusia yang masih

terkait dengan kebijakan luar negeri AS dan kebijakan keamanan.27

Para pemikir

strategis Rusia melihat AS sebagai “dangerous nation”.

Dari perspektif politik, Rusia percaya bahwa setelah Perang Dingin

berakhir AS masih memandang Rusia sebagai lawan, seperti AS melihat China,

Iran dan Korea Utara. Bagi Rusia, AS tidak menginginkan Rusia menjadi negara

yang kuat, dan AS melihat Rusia sebagai pesaing yang kompetitif dimana AS

sangat menolak kebangkitan Rusia. Sehingga, perilaku dan kebijakan AS,

27

Ibid. Hlm. 36.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 61: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

47

Universitas Indonesia

terutama di area vital kepentingan Rusia seperti Eurasia, menjadi suatu ancaman

bagi Rusia dan kepentingan-kepentingan Rusia.

Dalam White Paper pada Oktober 2000, Departemen Pertahanan Rusia

mengeluarkan Doktrin Ivanov yang berisi bahwa setelah Perang Dingin usai bagi

Rusia, namun NATO tetap sebagai organisasi militer yang dapat mempengaruhi

Rusia dalam mengeluarkan doktrin militer maupun kebijakan-kebijakan nuklir.28

“Russia . . . expects NATO member states to put

a complete end to direct and indirect elements of

its anti- Russian policy, both from military

planning and from the political declarations of

NATO member states. . . . Should NATO remain

a military alliance with its current offensive

military doctrine, a fundamental reassessment of

Russia’s military planning and arms

procurement is needed, including a change in

Russia’s nuclear strategy.”

Dari segi geostrategis, Rusia melihat kehadiran militer AS di batas-batas

negara Rusia sebagai suatu bentuk ancaman.29

Sejak tahun 2000 AS telah

membangun basis pertahanannya di Romania, Bulgaria, dan Asia Tengah. Selain

itu AS juga melatih dan melengkapi persenjatan personel-personel militer

Ukraina. Selama beberapa waktu ini, pemerintah AS berupaya mencapai

kesepakatan dengan pemerintah Polandia dan Ceko untuk membangun sistem

pertahanan misil di kedua negara tersebut.

Sebagai bagian dari sistem pertahanan misilnya, AS berencana

menempatkan 10 penangkal rudal di Polandia serta radar pembimbing di Ceko.

Rencana dengan anggaran dana sebesar 1,6 Miliar USD ini telah diratifikasi tahun

2007 oleh pemerintah George W. Bush, mantan Presiden AS. Rencananya proyek

ini akan dioperasikan tahun 2013. AS mengatakan bahwa sistem tersebut akan

28

Stephen J. Blank. “The NATO-Russia Partnership : A Marriage of Convenience or A Troubled

Relationship?”, Strategic Studies, November 2006., hlm. 7. 29

Dmitri Trenin, Loc.Cit.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 62: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

48

Universitas Indonesia

melindungi AS dan negara-negara sekutu di Eropa dari serangan sistem kerja

rudal yang diluncurkan oleh Iran dan Korea Utara.

Akan tetapi rencana ini ditentang oleh Rusia karena dianggap mengancam

keamanan Rusia. Menurut Rusia rencana penempatan sistem anti-rudal AS di

Polandia dan Ceko ini adalah langkah strategis NATO untuk melakukan perluasan

NATO ke arah timur yang tentunya akan mengancam Rusia. Selain itu menurut

Rusia rencana ini juga akan memperkuat NATO dalam mengawasi penempatan

dan pengerahan tentara Rusia, yang akan meningkatkan kemampuan NATO untuk

menyerang Rusia. Reaksi Rusia tersebut menyiratkan ketakutan akan

bertambahnya kekuatan AS di Eropa Timur dengan merangkul negara-negara

pecahan Uni Soviet.

Padahal sejak awal rencana penempatan sistem antirudal AS tersebut

sudah dikatakan bahwa alasan pemerintah Bush terkait rencana ini kembali pada

kemampuan rudal Iran dan ancaman terhadap kepentingan Amerika di Timur

Tengah, bukan Rusia. Namun pernyataan tersebut ditentang keras oleh Rusia.

Rusia meresponnya dengan mengatakan bahwa sangat tidak mungkin jika misil-

misil dari Iran atau Korea Utara dapat melintasi Eropa dan mencapai AS.

Selain masalah pergerakan NATO ke arah timur dan penempatan basis

pertahanan AS di Eropa Timur, masalah politik energi juga menjadi suatu

kekhawatiran bagi Rusia. Keberadaan kawasan Kaukasus sangat vital bagi

kepentingan energi Rusia. Pipa-pipa gas dan minyak banyak yang melintasi

kawasan Kaukasus sampai ke Rusia.

Sehingga stabilitas keamanan di wilayah Kaukasus ini menjadi penting

untuk menjaga kelancaran dan keberlangsungan proyek-proyek pengangkutan dan

pendistribusian minyak dan gas ke pasar-pasar Barat. Georgia, Azerbaijan, dan

Ukraina memiliki jalur strategis gas dari Rusia ke Eropa sehingga hal ini

membenarkan politik luar negeri Rusia yang terus ingin Georgia, Azerbaijan, dan

Ukraina berada dalam pengaruh Rusia.

Selain itu saat ini Laut Kaspia merupakan laut yang diakui dan ditemukan

memiliki kandungan sumber daya gas alam dan minyak yang sangat besar. Laut

Kaspia menjadi tempat incaran baru bagi negara-negara Barat. Sejak lama AS

mengincar kekayaan migas di sekitar Laut Kaspia, yang relatif baru sedikit

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 63: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

49

Universitas Indonesia

dimanfaatkan ketika wilayah itu menjadi bagian dari Uni Soviet. Tidak

mengherankan AS berjuang mati-matian untuk merangkul negara-negara bekas

Soviet di sekitar Laut Kaspia, yang belum sepenuhnya lepas dari komunisme.

Pada pertengahan 1990-an, pemerintahan AS di bawah Presiden Clinton

mendapatkan dua proyek jaringan pipa utama untuk mengekspor migas Kaspia,

dengan tidak melalui wilayah Iran, Rusia, dan China.

Proyek pertama adalah rencana mengekspor gas Turkmenistan melalui

Afganistan dan Pakistan ke Samudra Hindia. Akan tetapi, proyek ini akhirnya

gagal karena keamanan di Afganistan dan Pakistan yang hingga kini sangat tidak

mendukung. Proyek kedua adalah rencana membangun jaringan pipa melingkar

ke barat melalui negara-negara pro-AS di Kaukasus, yaitu Georgia dan

Azerbaijan. Jaringan itu akan digabung dengan jaringan pipa bawah laut yang

menghubungkan Kazakhstan dan Turkmenistan di sisi timur Kaspia, yang

menyambung dengan jaringan pipa Baku (Azerbaijan)-Tbilisi (Georgia)-Ceyhan

(Turki) atau BTC. Jaringan pipa ini menjadi jalan utama untuk mengirimkan

sebagian besar ekspor energi Kaspia ke kawasan Mediterania, dan diproyeksikan

akan menjadi pukulan besar terhadap dominasi rute energi Rusia dari Kaspia ke

Barat.

Ancaman-ancaman yang juga dihadapi oleh Rusia adalah masalah-

masalah yang sebagian besar terkait dengan penganiayaan terhadap minoritas,

revolusi-revolusi dan tuntutan kemerdekaan di negara-negara pecahan Soviet dan

negara-negara di Balkan. Contohnya adalah geopolitik Rusia di pecahan

Yugoslavia yang terkait dengan isu etnis minoritas yaitu seperti muslim, Serbia,

Slavia, Albaneese dan Macedonia. Yugoslavia dikenal sebagai wilayah yang

meiliki banyak perbedaan kultur dan agama yang menyebabkan ketidakstabilan

politik, isu kemanusiaan, dan pengungsi sampai sekarang.

Dalam beberapa kasus AS sering kali terlibat dalam tuntutan kemerdekaan

di beberapa negara-negara pecahan Soviet.30

Selain itu, deklarasi perang melawan

terorisme oleh AS menjadi momentum yang digunakan AS untuk memasuki

media dibawah pengaruh Rusia seperti Kirgiztan, Uzbekistan, dan Georgia. Dapat

30

R. Craig Nation, “U.S. Interests in The New Eurasia”, Strategic Studies, November 2007, hlm.

1.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 64: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

50

Universitas Indonesia

dikatakan daerah tersebut memiliki banyak peluang bagi kekuatan eksternal

seperti NATO dan AS untuk masuk ke dalam wilayah Eropa Timur.

Selain itu Rusia juga sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang ada dalam

kebijakan luar negeri AS yang mengusung demokrasi dan penghormatan terhadap

HAM. Rusia menganggap bahwa nilai-nilai AS tersebut hanya merupakan

kamuflase untuk mencapai kepentingan nasional AS. Dalam Russian Federal

Assembly pada 10 Mei 2006, secara sarkatis Perdana Menteri Putin mengatakan

bahwa HAM dan demokrasi berdiri diatas suatu kepentingan tertentu.31

“We see, after all, what is going on in the world.

The wolf knows who to eat, as the saying goes. It

knows who to eat and is not about to listen to

anyone, it seems. How quickly all the pathos of

the need to fight for human rights and

democracy is laid aside the moment the need to

realize one’s own interests comes to the fore. In

the name of one’s own interests everything is

possible, it turns out, and there are no limits.”

Keinginan Rusia untuk tetap mendominasi negara-negara pecahan Uni

Soviet di Kaukasus telah terlihat sejak tahun 1999 dimana Rusia mencoba untuk

memberi sanksi terhadap semua negara-negara Baltik, hal ini berkaitan erat

dengan program perluasan NATO yang mulai memperluas cakupan

keanggotaannya ke wilayah Kaukasus tersebut. Kepentingan Rusia untuk terus

mencari ladang minyak baru di Kaukasus sangat besar, mengingat posisi Rusia

sebagai pemasok gas terbesar bagi UE dan penyalur minyak terbesar kedua

setelah Arab Saudi.

II. 2. 1 Pilihan Strategi Rusia terhadap Perluasan NATO

31

Stephen J. Blank, op. cit., hlm. 20.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 65: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

51

Universitas Indonesia

Keamanan Rusia pasca berakhirnya Perang Dingin sulit untuk

diperkirakan. Baginya, AS dan NATO masih merupakan musuh walau Perang

Dingin dan NATO telah berubah orientasinya. Perluasan NATO ke wilayah Eropa

membuat Rusia ketakutan, apalagi Estonia, Latvia dan Lithuania berbatasan

langsung dengan Rusia. Mengingat ketiga negara tersebut merupakan negara

pecahan Uni Soviet, membuat Rusia menempatkan keamanan militer di setiap

perbatasan tersebut.

Dimulai dari pembangunan bassis-basis militer di wilayah Eropa Barat dan

Eropa Timur seperti Bulgaria, Rumania dan Polandia oleh NATO, masyarakat

Rusia pun melihatnya sebagai pemindahan garis depan sistem pertahanan NATO

ke dekat wilayah Rusia dan menimbulkan kemarahan. Sepanjang tahun 1990,

militer Rusia menyadari bahwa kemampuan angkatan bersenjata haruslah

ditingkatkan sebab Rusia dihadapkan pada konflik bersenjata secara domestik dan

regional.

Jika dilihat dari perspektif geografi, perluasan NATO tanpa menghadirkan

Rusia didalamnya akan melahirkan keadaan dilemma keamanan (security

dilemma) bagi kedua pihak, yaitu Timur dan Barat. Rusia dihadapkan pada pilihan

untuk melakukan aliansi dengan pihak yang lebih kuat atau kemungkinan lain

yang memungkinkan adalah melakukan Bandwagoning. Sebuah Negara mungkin

akan melakukan kerjasama dengan mereka yang mengancamnya. Inilah yang

dilakukan Mikhail Gorbachev dan mengakhiri Perang Dingin. Hingga Boris

Yeltsin dan pemimpin Rusia demokratis lainnya juga turut mengikuti jejaknya.

Lalu apakah pada saat itu Rusia akan berintegrasi dengan NATO? Itulah yang

menjadi pertanyaan besar dari para pembuat kebijakan Rusia pada saat itu.

Pada saat itu Rusia dihadapkan pada pilihan kedua yaitu “bersembunyi”

atau mundur kedalam terisolasinya kemajuan persenjataan Barat, sangat

menggantungkan pada senjata nuklirnya sendiri dan terjebak dalam persepsi akan

terkepung oleh musuh yang potensial, seperti Barat, Dunia Islam dan Asian.

Jika NATO tidak akan mengajak Rusia masuk, pilihan ketiga bagi Rusia

adalah pilihan yang sangat menarik. Yaitu melihat ke Timur untuk melakukan

Balancing terhadap ancaman dari Barat. Perluasan NATO tanpa Rusia akan

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 66: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

52

Universitas Indonesia

membawa pada pendekatan Russo-Sino (Rusia-Cina) dan bahkan sekutu militer

secara resmi.

Walaupun mereka mempunyai berbagai permasalahan dalam menjalin

hubungan di masa lalu dan kemungkinan akan timbulnya permasalahan jika

mereka membuka hubungan kembali, untuk melindungi kepentingan mereka

Negara akan mencari sekutu siapapun dan dimanapun mereka bisa, dan harus. Hal

ini disebabkan karena Pemimpin Rusia tidak suka menghadapi dua musuh dari

arah yang berbeda.32

Bagi Rusia, pertumbuhan ekonomi Cina yang pesat dan 1,2 milyar

penduduk akan dapat menyeimbangkan NATO. Bagi China, Rusia dengan 150

juta penduduk, sumber daya alam yang melimpah dan juga GNP yang 1/3 darinya

akan menjadi sekutu yang baik. Teknologi militer Rusia yang hampir sama

dengan Barat saat ini melambangkan kemajuan ekonomi dan merupakan pilihan

sekutu yang meyakinkan dalam pembangunan militer kedepan. Dapat dilihat

bahwa kapabilitas Rusia jauh melampaui Cina. Dari angkatan laut hingga

komunikasi, dari roket hingga angkatan udara, hingga senjata nuklir, Rusia

menawarkan banyak hal bagi Cina. Kemudahan akses terhadap teknologi Rusia

akan meningkatkan modernisasi militer Cina dengan pengurangan biaya. Dan juga

mengurangi tambahan biaya untuk melanjutkan kontrak industry militer Rusia

(Rusia’s military-industrial-complex).33

Kekhawatiran akan peningkatan kerjasama militer tersebut akhirnya

terbukti dengan perdagangan persenjataan dan usaha-usaha diplomatic. Cina

setuju untuk membeli 72 pesawat tempur advanced SU-27 dari Rusia dan

membangun basis produksinya di Shenyang untuk memproduksi lebih. Perjanjian

yang sama terjadi pada SU-30 dan juga Moskow mengumumkan penjualan baru

dua kapal laut tempur beroket.34

Dalam kediplomatikan, Rusia menjadi dekat dengan Beijing pada

Desember 1996 dimana Presiden Yeltsin dan Menteri Luar Negeri Cina Li

mengumumkan penarikan pasukan tempur dalam jumlah besar di perbatasan

32

Frank Ching, “Sino-Russian Pact a Good Sign”, Far Eastern Economic Review, 23 May 1996,

hlm. 40. 33

Bruce Russett dan Allan C. Stam, op. cit., hlm. 364. 34

Nigel Holloway,”Brother in Arms: The U.S. Worries about Sino-Russian Military Cooperation,”

Far Eastern Economic Review, 13 March 1997, hlm. 20-21.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 67: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

53

Universitas Indonesia

mereka, melakukan perjanjian perdagangan dan kesepakatan persenjataan lainnya.

Pada pertemuan April 1997 di Moskow antara Yeltsin dan Presiden Cina Jiang

Zemin, menghasilkan deklarasi yang memajukan dunia multipolar ketika selama

ini didominasi tindakan unipolar satu kekuatan tertentu.35

Ditambah Menteri

Pertahanan Rusia, Igor Rodionov, yang menyatakan bahwa hal ini “makin

menguatkan juga hubungan ke lingkup militer”36

. Kerjasama Rusia-China akan

menciptakan kekuatan Eurasian dan aliansi antidemokratik. Aliansi ini akan

bekerja diluar struktur hukum internasional dan norma hak-hak asasi manusia

yang diusung demokrasi Barat selama dua ratus tahun terakhir.

35

Bruce Russett dan Allan C. Stam, op. cit. 36

Beijing Review 39, “Joint Statement by the People’s Republic of China and the Russian

Federation”, 13 Mei 1996, hlm. 6-8.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 68: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

54

Universitas Indonesia

Walaupun pada akhirnya banyak kerjasama yang dilakukan dalam skala

regional, namun Rusia nampaknya menaruh perhatian lebih pada SCO.

Tabel II.6

Organisasi Kerjasama Regional di Kawasan Post-Soviet States

Sumber : S.G. Luzyanin dan K.S. Gadjiev, Glasnost Vol.4 No.2 Oktober 2008-

Maret 2009, hlm. 21-22.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 69: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

55

Universitas Indonesia

II. 3 Kepentingan China dan Dinamika China di Asia Tengah

Baik bagi AS dan Rusia, berakhirnya Perang Dingin tidak menghentikan

mereka akan ketakutan satu sama lain. Namun, apapun yang mengancam Cina

tentunya secara fundamental tidak akan sama dengan konflik ideology lama antara

NATO dan Pakta Warsawa. Tidak hanya ideology konflik, keadaan kondisi

domestic dan pandangannya terhadap dunia luar yang mereka punya, namun juga

keberlanjutan persaingan keduanya tentang perannya di tatanan dunia ini.

Doktrin Lenin, yang menjadi dasar dari system yang dimiliki Soviet,

berdasarkan pada ideology dunia yang revolusioner yang dimotori oleh hasil dari

persaingan kelas diantara kaum proletar. Komunis akan menang diakhir cerita

karena Lenin dan pengikutnya berargumen bahwa Negara Soviet mempunyai

system ekonomi yang paling baik. Lain halnya, dasar ideology dari system yang

dimiliki Cina yang tidak mempunyai ambisi seperti yang dimiliki Rusia. Tujuan

ideology Mao Zedong adalah terpusat pada wilayah revolusi lokal, tidak dimotori

oleh revolusi social secara internasional yang dapat menyambar bagaikan kobaran

api yang ditiup angin besar.

Sekarang, para pemimpin Cina meninggalkan ekonomi Marxist dan

mencoba untuk memodernisasi ekonomi dengan kapitalisme dan pasar bebas.

Bagi Cina, tidak ada yang namanya melawan Barat dengan menjadi rejim

ekspansionis, tetapi lebih kepada melawan penguasa kuat dengan menggunakan

model Asian Authoritarianism. Model ini secara ideology menantang liberalism

barat dan mempunyai cara mengorganisasi yang menarik antara ekonomi dan

politik namun tidak secara fundamental melawan dan menonjolkan eksklusifitas

ideology seperti yang dipunyai Marxisme atau Leninisme.37

Melihat bagaimana Negara meraih sukses di dunia internasional, Rusia

menginginkan sukses sebagai Negara komunis dan tidak seperti Cina yang

ideology-komunis-Mao-nya telah hilang dari inti negaranya. Saat ini, Cina telah

sukses dengan meraih banyak uang dan meningkatkan pengaruhnya di dunia luar.

Tentu saja, kita tidak boleh menghilangkan factor antagonism dari hegemoni

ideology demokratik dan meluasnya ideology authoritarian. Demokrasi

cenderung memiliki hubungan yang damai jika berdampingan dengan Negara

37

Samuel Hantington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, (New York:

Simon and Schuster, 1996).

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 70: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

56

Universitas Indonesia

demokrasi lainnya dan yang bukan autokratis. Dan demokrasi ala Barat harus

melanjutkan hubungannya dengan Cina dalam hak-hak asasi manusia dan

demokrasi.

II. 3. 1 Faktor Militan di Xinjiang

Faktor lain adalah situasi di Propinsi Xinjiang yang didominasi oleh

keturunan Turki Muslim di China adalah salah satu faktor penting dibalik

peningkatan hubungan China dan negara-negara Asia Tengah yang letaknya

berbatasan dengan China. China mempunyai penduduk muslim sebesar 35 juta

jiwa yang didominasi oleh keturunan Turki dan menjadi urutan keempat populasi

orang Turki terbanyak di dunia setelah Turki 53,6 juta jiwa, Iran 35 juta jiwa dan

Uzbekistan 23 juta jiwa.

Hubungan masyarakat minoritas Xinjiang dengan negara-negara Asia

Tengah sangat kuat meskipun terdapat batasan wilayah diantara mereka. Pada saat

terjadi kemerdekaan di negara-negara Asia Tengah pada tahun 1991 akibat

runtuhnya Soviet maka timbul semangat kebangkitan untuk merdeka juga

dikalangan kaum minoritas China, suku Uyghur Xinjiang. Mereka ingin

membentuk negara sendiri yang dinamakan Republik Turkmenistan Timur.38

Islam dipandang China sebagai faktor utama dibalik gerakan separatisme

yang muncul di Xinjiang. Perbedaan pandangan antara pemerintah China dan

penduduk muslim China terjadi hampir diseluruh aspek kehidupan. Pergerakan

muslim di Asia Tengah yang berusaha mengambil kekuasaan di negara Asia

Tengah menjadi pemicu kebangkitan akan gerakan masyarakat muslim China di

Xinjiang untuk ikut serta dalam perjuangan melepaskan diri dari wilayah China.

Di Asia Tengah sendiri, terjadi perbedaan persepsi namun pemerintahan disana

berusaha untuk memerangi fundamentalisme agama dan berusaha untuk

memenangkan pertempuran dengan meminta bantuan daari komunitas dunia dan

negara-negara sekular seperti China, AS dan juga Uni Eropa.

Kaum Uyghur sendiri menganggap bahwa mereka seharusnya

mendapatkan kebebasan politik seperti yang didapatkan saudara-saudara mereka

di Asia Tengah, yaitu kemerdekaan. Pandangan ini diberikan oleh masyarakat

38

Fitria Purnihastuti, “Strategi Keamanan dan Energi Cina di Asia Tengah (2000-2006)”, Tesis,

FISIP UI, 2008.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 71: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

57

Universitas Indonesia

kebanyakan di Asia Tengah namun bukan pemerintahannya sendiri, setidaknya

secara resmi. Jumlah suku Uyghur di Kazakhstan dan Kirgistan yang berjumlah

300.000 orang menciptakan gangguan mobilisasi politik di kawasan China dan

Asia Tengah.39

Sangat jelas bahwa gerakan separatisme di Xinjiang mendapatkan

dukungan dan senjata militer dari saudara seetnik dan seagama mereka di Asia

Tengah sejak tahun 1991. Adanya dukungan atas gerakan separatisme tersebut

merupakan agenda China dalam menciptakan hubungan dengan negara-negara

tetangga di sebelah barat China tersebut. Kekhawatiran China terhadap dukungan

Asia Tengah terhadap gerakan separatisme di Xinjiang diutarakan setelah adanya

bukti yang jelas saat sekitar 50 suku Uyghur dilatih di Afghanistan dan kemudian

masuk ke China melalui beberapa negara di Asia Tengah. Peristiwa ini

menciptakan ketegangan dari semua negara di sekelilingnya.

Situasi semakin rumit setelah intervensi AS di Afghanistan dan

kehadirannya di Asia Tengah. Di satu sisi China berusaha untuk memperkecil

gerakan-gerakan militan muslim dan dukungan kaum Uyghur di Afghanistan dan

Asia Tengah dengan segala cara. Tetapi di lain pihak, tindakan ini akan dapat

mengecewakan muslim di China dan di kawasan karena dianggap tidak

mendukung penegakkan Hak Asasi Manusia yang dijunjung tinggi oleh AS. Lebih

parahnya lagi, pasukan AS dapat memaksa untuk masuk di kawasan ini untuk

beberapa tahun kedepan jika keadaan dan situasi disana tidak stabil dan akan

diperlakukan sesuai kehendak AS.

Bagi China, kehadiran AS di kawasan ini memberikan ancaman akan

akibat dari perang Korea dan Vietnam dan lebih mengancam China lagi pada

jangka panjang dibanding ancaman gerakan separatisme itu sendiri sehingga

China berusaha untuk meminimalisasi kehadiran AS di kawasan ini.

Setelah terjadinya peristiwa 9/11/2001 di New York, AS, persepsi China

tentang lingkungan secara fundamental mengalami perubahan. Hal ini disebabkan

prinsip perang terhadap teroris AS masuk kedalah wilayah Asia Tengah. Hal ini

menyebakan China harus menghadapi konfrontasi kekuatan AS di wilayah

perbatasan bagian barat China. Bagi China, kehadiran militer AS di Asia Tengah

39

Ibid.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 72: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

58

Universitas Indonesia

yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya menciptakan wacana akan adanya

skenario terburuk bagi China. Berpijak pada ketegangan hubungan politik dan

militer AS – China di kawasan Asia Timur, memunculkan usaha China akan

melakukan segala cara untuk mengatasi situasi seperti ini.40

Sejak saat itu, China

berusaha memikirkan kembali kebijakan-kebijakannya dan meningkatkan

posisinya dalam wacana militer dengan cara strategi membujuk dengan

mengkombinasikan instrumen kekuatan militer, ekonomi dan politik untuk

membawa transformasi fundamental hubungan kekuatan di China juga di Asia.

Disamping meningkatkan kekuatan militernya untuk menghadapi masalah

Taiwan dan keikutsertaan militer AS, China juga tidak mengabaikan Asia Tengah

sebagai tempat potensial dari operasi militernya. Menurut laporan tahunan

Departemen Pertahanan AS tentang kekuatan militer China, transformasi pada

tubuh PLA terlihat pada doktrin tentang perang modern, reformasi institusi militer

dan sistem personil, meningkatkan latihan dan pelatihan standar dan akuisisi

sistem persenjataan dari negara lain, khususnya Rusia. Beberapa aspek dari

pembangunan militer China menjadi perhatian analis AS termasuk langkah, ruang

lingkup dari modernisasi strategi penyerangan.

Menurut analis AS, ekspansi militer China telah menuju pada

pengimbangan militer regional / regional militer balance. Perkembangan

modernisasi strategi senjata nulkir, kemampuan akses darat dan laut dan jumlah

senjata penyerangan yang dimiliki China juga dapat menimbulkan ancaman pada

operasi militer AS di kawasan.41

Kombinasi yang dilakukan China secara politik dan lewat modernisasi

militernya terlihat sebagai usaha China untuk mengatasi usaha AS untuk

membatasi ruang geraknya di Asia.42

Kehadiran militer AS di beberapa negara

Asia Tengah semakin terlihat. AS berusaha untuk melakukan strategic

partnership dengan India, Singapura dan Filipina. AS berusaha untuk

menunjukkan kemampuan menyerangnya di jantung Asia dari jarak jauh dan

40

Gennady Chufrin, “the Changing Security Model in Post Soviet”, Central Asia Connections,

Vol. II No.1, March 2003, hlm.4. 41

US Department od Defense, “Military power of the People’s Republic of China”, Annual Report

to Congress, 2006, hlm. 1. 42

Ibid.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 73: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

59

Universitas Indonesia

berusaha untuk melihat ke barat begitu juga ke timur dalam mengembangkan

rencana-rencana strategisnya.

Sebagai usaha untuk memenuhi agenda strategi ini, doktrin strategi dan

konsep operasional China telah mengalami transformasi secara sistematis dan

mengalami reformasi pada kapabilitas dan permintaan untuk menjaga kredibilitas

militer China. Operasi militer China adalah alasan yang melatarbelakangi

pemikiran pemimpin-pemimpin China untuk mengadakan transformasi di dalam

tubuh militernya. Angkatan bersenjata China People Liberation Army (PLA)

melakukan serangkaian tugas di Xinjiang dan Asia Tengah. PLA telah mengalami

transformasi dimana tidak hanya menemui tantangan yang ada di kawasan

tersebut tetapi juga melihat pada pemikiran strategisnya dengan melihat

perubahan politik dunia yang dikenal dengan Revolution Military Affair (RMA).

II. 3. 2 Politik Global China

Dengan terjadinya perubahan-perubahan di lingkungan internasional sejak

berakhirnya Perang Dingin, China kembali melakukan re-evaluasi terhadap

kebijakan keamanannya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari perubahan

politik internasional setelah runtuhnya Uni Soviet yang meninggalkan AS sebagai

satu-satunya kekuatan dunia baik secara ekonomi, politik maupun militer. Pada

peringkat global, China beranggapan bahwa berakhirnya konfrontasi antara dua

super power dunia, maka perang global tidak mungkin terjadi selama ini.43

Namun secara keseluruhan China menilai arah perkembangan saat ini

masih meragukan terbentuknya sebuah tata dunia baru yang lebih adil, setidaknya

tercermin dalam identifikasi China mengenai tiga karakteristik utama politik

global saat ini. Pertama, China menilai, struktur bipolar memang sudah runtuh,

namun struktur baru masih belum menampakkan bentuk yang jelas. Disamping

itu, dunia internasional penuh dengan kontradiksi-kontradiksi baru seperti dunia

harus menghadapi pecahnya konflik etnis, konflik teritorial dan konflik agama.

Kedua, saat ini AS dipersepsikan sebagai “super power” tunggal. China khawatir,

AS sedang berupaya menciptakan suatu tata dunia baru yang didasarkan pada

nilai, kebudayaan dan ideologi AS. China menganggap AS dan negara barat lain

43

Fitria Purnihastuti, loc. cit.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 74: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

60

Universitas Indonesia

sedang menjalankan kebijakan politik kekuatan. Sehingga, China merasa bahwa

AS akan mencegah kekuatan regional manapun untuk menjadi ancaman bagi

kepentngan-kepentingannya.44

Meskipun begitu, China juga melihat AS sedang

menghadapi masalah dalam negerinya karena merosotnya kekuatan ekonominya.

Karena itu, China melihat adanya perkembangan yang tidak terelakkan

kearah multipolarisasi tata dunia global. Dengan demikian China percaya bahwa

sebuah dunia yang multipolar sedang terbentuk. Ketiga, China memperkirakan

bahwa kompetisi ekonomi akan semakin meningkat dan kompetisi diantara

bangsa-bangsa untuk meningkatkan kekuatan nasional komprehensif yang lebih

besar merupakan hal yang tidak bisa terelakkan lagi. China beranggapan bahwa

posisi sebuah bangsa dalam sistem internasional tergantung kepada kekuatan

nasionalnya. Karena itu, jika China ingin meningkatkan posisi internasional, maka

China harus bersaing ketat dalam meningkatkan “kekuatan nasional

komprehensifnya”.45

Sejak kekuasaan Jian Zemin digantikan oleh Hu Jintao – Wen Jiabao,

mereka menekankan pada kepemimpinan bersama atau collective leadership,

dengan melaporkan hasil pertemuan-pertemuan yang dilakukan, menekankan

pada komitmen akan kesejahteraan masyarakatnya dan menekankan pada

kemampuan pemerintahannya. Sementara dalam hubungan dengan negara lain

juga memperlihatkan keinginan yang baik untuk bekerjasama secara internasional

saat dibutuhkan.46

Dalam banyak hal, Hu mengikuti ajaran Den Xioping dengan

menekankan pada kerendahan hati / low profile dalam hubungannya dengan

negara lain. Dibawah kepemimpinannya, China juga menampakkan diri sebagai

kekuatan utama atau yang disebut sebagai “policy reassurance” / kebijakan yang

menentramkan hati.47

Dalam pidatonya di Universitas Harvard, Wen Jiabao menggambarkan

bahwa bangkitnya China dengan cara damai “peaceful rise” yang didedikasikan

untuk perdamaian dan tujuan pembangunan dan perdamaian. Hal inipun yang

kembali ditekankan oleh Wakil Presiden Zeng Qingshong pada pidatonya di PBB,

44

Beijing Review Vol.35, “China in the Future”, 26 Oktober – 1 November 1992, hlm. 26. 45

Ibid. 46

H. Lymana Miller, “How’s Hu Doing?”, Hoover Digest, 2004, No.1, Winter Issue. 47

Diakses dari http://www.pipa.org/onlinereport/china/china_Mar05_rpt.pdf .

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 75: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

61

Universitas Indonesia

ia mengatakan China ingin membangun masyarakat yang harmonis secara

domestik dan juga memberikan ide membangun dunia yang harmoni.

Presiden Hu pada pidatonya di majelis Umum PBB September 2005

mengajak semua pemimpin dunia untuk mendukung upaya menyelesaikan segala

perselisihan dan konflik internasional secara damai dan memperkuat kerjasama.

Kembali ia pun menegaskan komitmen China pada perdamaian, pembangunan

dan kerjasama serta dalam pembangunan yang lebih mementingkan pada

perdamaian dan kemakmuran di seluruh dunia.48

Karena China menekankan pada hubungan baik dengan negara-negara

lain, China menekankan pada kekuatan diplomasi. Hal ini terlihat dengan langkah

China dalam kebijakannya di Asia Tengah yang menekankan pada hubungan baik

dengan negara terdekat/tetangga atau yang dikenal dengan good neighborhood

diplomacy (zhoubian waijiao). China mempunyai dua strategi diplomasinya yaitu

pertama, diplomasi untuk menjaga perdamaian dan lingkungan internasional yang

stabil untuk mendukung kelanjutan pertumbuhan ekonomi dan kestabilan

politiknya, dan kedua, diplomasi yang difokuskan pada keamanan energi / energy

diplomacy.

II. 3. 3 Pilihan Strategi China Terhadap Perluasan NATO

Dalam menghadapi perluasan NATO, Cina menghadapi tiga pilihan dasar

seperti yang dimiliki Rusia. Cina dapat saja mencoba untuk Balancing. Dan

kemungkinan yang paling memungkinkan adalah bergabung dengan Rusia.

Pilihan lainnya adalah melakukan Balancing dengan India dan Jepang. Bentuk

aliansi Cina-India akan ditolak keduanya karena secara strategi geopolitik

tradisional, mengajak Cina tanpa peningkatan perindustrial dan teknologi adalah

mustahil. Begitu juga dengan Jepang, dimana sangat sulit untuk dibayangkan

beraliansi dengan Cina karena mempunyai perekonomian dan institusional yang

sangat terintegrasi dengan AS. Bila Jepang mempunyai pilihan dengan siapa dia

beraliansi, tentunya dengan melihat pertumbuhan ekonomi dan militer Cina yang

48

Robert Suettinger, “The Rise and Descent of Peaceful Rise”, China Leadership Monitor, 2004,

No.12.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 76: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

62

Universitas Indonesia

makin pesat dapat mendorongnya melakukan hubungan yang sangat dekat dengan

NATO.49

Beberapa usaha Cina untuk melakukan perluasan secara kawasan melawan

Negara tetangga yang lemah, tampaknya tergantung dari apakah Rusia bergabung

dengan NATO atau tidak. Ancaman dari wilayah Kepulauan Pasifik, termasuk

Taiwan adalah hal yang paling diperhatikan. Karena hal inilah, melakukan

deterrence berdasarkan keseimbangan kemampuan militer yang stabil, ditambah

dengan perjanjian yang erat dengan Barat dan menghargai kesatuan wilayah Cina

adalah lawan yang sepadan. Anggota awal NATO tidak akan keberatan dengan

hal ini dan mereka mengharapkan kemampuan atau kedekatan secara fisik guna

peningkatan pengaruhnya di urusan Pacific Rim.

Namun Rusia bagi NATO akan menjadi sangat bernilai, memberikan

kedekatan geografisnya, angkatan laut dan basis militer di Timur Jauh (Far East)

dan berpotensial mempunyai kapabilitas militer yang sangat disegani. Masuknya

Rusia kedalam NATO akan menjadi aliansi global yang sangat menjanjikan.

Kedua samudera utara akan mempunyai basis Negara NATO, dengan Eropa yang

stabil sebagai kuncinya. Artikel 5 dan 6 dari perjanjian NATO tidak memasukkan

Asia dari wilayahnya, dimana ketika serangan bersenjata yang ditujukan kepada

Negara NATO manapun berarti ditujukan kepada semua anggota. Dan jika hal ini

diamandemen, tentunya akan menjadi hal yang provokatif bagi Cina. Hal ini dapat

dipahami, bahwa hal yang sama juga dapat terjadi dimanapun diluar

keorganisasian NATO, seperti misalnya keorganisasian dalam kerangka operasi

Combined Joint Task Force.

Respon berikutnya yang dapat dipilih Beijing adalah bersembunyi atau

membentuk kebijakan isolasionis. Kebijakan Luar Negeri Cina berdasarkan pada

politik bersenjata, jika bukan ekonomi, isolasionis akan menyusahkan AS dan

NATO, dan tampaknya reaksi yang kemungkinan besar diberikan Cina akan

seperti ini.

II. 4 SCO, Rusia dan China

49

Bruce Russett dan Allan C. Stam, loc. cit.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 77: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

63

Universitas Indonesia

Sub-bab ini akan memaparkan proses pembentukan Shanghai Cooperation

Organization (SCO). Pembentukan Shanghai Five, yang akhirnya berkembang

dan ber-institusi menjadi sebuah kerjasama mulitilateral, SCO, merupakan proses

yang besar dan penting dalam hubungan internasional. Bagi negara-negara

anggota seperti China, Rusia dan Asia Tengah, pembentukan mekanisme

multilateral untuk keamanan regional dan kerjasama ekonomi adalah kali pertama

dalam sejarah mereka.

China membangun hubungan komunikasi dengan Asia Tengah sejak

rencana Jalur Sutra 2000 tahun lalu, namun mempunyai hubungan langsung

dengan kawasan tersebut hanya setelah kawasan tersebut menjadi bagian dari

Kerajaan Rusia dan berlanjut menjadi Uni Soviet. Sebagai bagian dari pecahan

Uni Soviet, Rusia, Kazakhstan, Kyrgystan dan Tajikistan telah menyatu dalam

sebuah kelompok negosiasi, usaha pencarian jalan keluar dari permasalahan

perbatasan dengan China sejak 1991 hingga 1995.

Pembicaraan mengenai masalah perbatasan ini menggambarkan

kehendaka Rusia dan tiga negara Asia Tengah untuk mencegah segala power

China, yang politik dan ekonominya semakin kuat, untuk mengambil keuntungan

dari keadaan setelah runtuhnya Uni Soviet untuk menekan dan meng-klaim batas

wilayah di Asia Tengah dan Russian Far East menjadi seperti zaman Kerajaan

Rusia dan era Soviet.50

Pada saat itu, Tajikistan masih berurusan dengan China terkait sengketa

perbatasan, tetapi Rusia, kazakhstan dan Kyrgyzstan telah berhasil mencapai

kesepakatan dengan China sehingga akhirnya pada 26 April 1996, kepala negara

dari kelima negara-negara ini mengadakan pertemuan di Shanghai guna

menuntaskan masalah sengketa perbatasan mereka dengan China dan beralih pada

kepentingan bersama dan masalah yang lain.

Para pemimpin dari negara-negara Shanghai Five ini bertemu untuk

mengeksplorasi kebutuhan akan penciptaan suatu mekanisme yang mengusung

saling kepercayaan dan keamanan dalam nuasa militer dan mencapai kesepakatan

untuk dapat melakukan latihan militer dalam jarak 100 km antara perbatasan

China dan keempat negara lainnya. Kesepakatan selanjutnya, ditandatangani

50

Chien-peng Chung, “the Shanghai Cooperation Organization: China’s Changing Influence in

Central Asia,” The China Quarterly No.180 (Des,2004) hlm. 989-1009.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 78: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

64

Universitas Indonesia

tahun 1997 dalam Second Summit di Moskow, yang berisi pembatasan

penempatan militer maksimal sebanyak 130.400 personel dalam 100 km

perbatasan China dengan negara-negara lainnya.51

Selanjutnya, dalam Almaty Declaration di pertemuan ketiga Shanghai Five

yang betempat di ibukota Kazakhstan pada Juli tahun 1998 ini, para negara-negara

angota menyatakan untuk melawan ancaman keamanan transnasional seperti

separatisme yang bernuansa etnis, fundamentalis agama, terorisme internasional,

penyelundupan senjata, penjualan obat-obat terlarang dan kejahatan lintas batas

lainnya. Deklarasi ini yang menjadi dasar dari keberadaan SCO, dimana terkenal

dengan sebutan perlawanan terhadap “three evils” yaitu separatisme,

fundamentalisme, dan terorisme.52

Dalam konteks Asia Tengah, tentunya hal ini

sangat tepat dan berarti karena faktor militan muslim dan sentimen etnis yang

tinggi. Kemudian, tahun 1998 adalah tahun rejim fundamental Taliban telah

menguasai seluruh Afghanistan. Dalam agenda Fourth Summit bulan Agustus

1999 yang bertempat di ibukota Kyrgyzstan, Bishek, disepakati usulan

Kysgyzstan untuk membangun pusat yang mengkoordinasikan tindakan terhadap

anti-teroris yang akan diambil oleh negara-negara anggota.

Pertemuan kelima bertempat di ibukota Tajikistan, Dushanbe pada bulan

Juli 2000 dan memasukkan Uzbekistan sebagai observer dalam Shanghai Five.

Dalam pertemuan ini juga, Presiden Jiang Zemin mengusulkan perubahan pada

Shanghai Five dengan membentuk pertemuan tim perumus yang bertujuan

membuat peraturan dan mekanisme institusi untuk kerjasama multilateral. Hingga

akhirnya pada 15 Juni 2000 terbentuklah SCO dengan masuknya Uzbekistan

didalamnya.

SCO sebagai salah satu kelompok kerjasama negara-negara yang terbaru

dan salah satu organisasi yang berkaitan dengan Asia Tengah menyelenggarakan

pertemuan rutinnya yang ke tiga pada 28 Mei 2003 di Moskow. Dalam pertemuan

tersebut, diangkatlah seorang sekretaris jenderal yang pertama, Zhang Deguang,

yang sebelumnya adalah seorang dari perwakilan China di Rusia. Selain itu,

mereka juga membangun pertemuan terakhir mereka yang menyepakati charter

tentang struktur, tujuan dan tugas dari organisasi ini, dan juga pembentukan

51

Ibid. 52

Utaryo Santiko, loc. cit.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 79: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

65

Universitas Indonesia

sekretaiat tetap di Beijing untuk mengkordinasikan aktifitas dari organisasi ini

pada tanggal 7 Juni 2002.

Adanya China di dalam SCO memberikan pengaruh tersendiri. Dengan

jumlah penduduk sekitar 1.5 milyar manusia dan 60% dari dataran Eurasian

lengkap dengan perekonomiannya yang meningkat sementara Asia Tengah hanya

mempunyai populasi sekitar 50 juta orang. Uzbekistan, negara Asia Tengah yang

paling berseberangan dengan pengaruh Rusia, bergabung pada saat diresmikannya

SCO. Rusia yang juga telah bersepakat dengan AS untuk mengurangi kepala hulu

ledak nuklir, akhirnya mengajak China dan menunjukkan ekspresi perlawanan

kepada AS yang keluar dari Anti-Ballistic Missiles (ABM) Treaty tahun 1972.

Selain itu, China juga berusaha mengarahkan negara-negara anggota untuk

melawan keterlibatan asing dalam menyelesaikan isu Taiwan atau penempatan

pasukan US dalam sistem Theatre Missile Defence (TMD) di sebelah barat Pasifik

yang melindungi Taiwan.

Pada saat ini, SCO juga mendiskusikan bahwa China, diwaktu yang akan

datang, dapat mengirimkan pasukan bersenjatanya ke Asia Tengah untuk

melawan ancaman teroris disana, jika diminta oleh kepemerintahan regional. Jika

hal ini terjadi, maka akan menjadi perubahan yang paling signifikan dalam

kebijakan luar negeri China yang tidak akan menempatkan pasukan atau mencari

pangkalan militer di negara lain.

Secara signifikan, formasi SCO juga menggambarkan bahwa untuk

pertama kalinya China menjadi anggota dari kelompok organisasi formal yang

tidak berorientasi ekonomi. China juga yang termasuk aktif dan menciptakan atau

membentuk arah kebijakan SCO. Tiga hari setelah peristiwa 9/11, yaitu pada

tanggal 14 September 2001, dalam pertemuan para perdana menteri di Almatay,

perwakilan dari China, Zhu Rongji-lah yang mendesak agar segera dibuat charter

dan pembuatan pusat anti-terorisme di Bishek. Namun, Kazakhstan menilai

bahwa organisasi regional ini harus lebih menitikberatkan pada kerjasama

ekonomi saja. Rusia juga berargumen bahwa CIS juga sudah mempunyai badan

anti terorisme, namun argumen China yang menang.

Beberapa kegiatan institusi yang diambil dalam St. Petersburg Summit

dapat dikategorikan sebagai usaha Beijing untuk memajukan “gigi” SCO didepan

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 80: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

66

Universitas Indonesia

aksi AS yang cepat di kawasan dalam hal mengintervensi Afghanistan. Charter-

nya sendiri berisi tentang penjagaan terhadap power politic, unilateralisme dan

usaha SCO untuk memposisikan dirinya sebagai organisasi yang mempunyai

badan permanen dan didukung penuh oleh China sebagai reaksi terhadap

keberadaan AS di Asia Tengah dan keinginan China untuk tidak membiarkan

dominansi AS di kawasan dan dunia. China juga berharap, dengan menyokong

penuh SCO akan mewujudkan cita-cita menciptakan dunia yang multipolar

dengan menggandeng Rusia.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 81: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

67

Universitas Indonesia

BAB III

ANCAMAN AMERIKA SERIKAT DI ASIA TENGAH

III. 1 Kebijakan Luar Negeri AS dan Dinamika AS di Asia Tengah.

Pada akhir dekade abad ke-20 dan akhir Perang Dingin, hubungan antar

negara dalam sistem internasional menunjukkan bentuk hubungan yang beragam,

baik kerjasama, kompetisi, maupun konflik. Periode setelah berakhirnya Perang

Dingin telah menciptakan geopolitik baru dan menimbulkan beberapa jenis

persaingan dan konflik baik internal maupun eksternal. Namun selain kompetisi

dan konflik, kerjasama antar negara-negara pun banyak terbentuk. Tidak hanya

kerjasama dalam satu kawasan tetapi juga antar kawasan. Walaupun banyak

terjadi kerjasama antar negara, pencapaian kepentingan nasional masing-masing

negara tetap diutamakan.1

Pola kerjasama yang dilakukan saat ini lebih banyak kepada kerjasama

antara negara-negara kecil dengan negara-negara besar. Misalnya kerjasama

negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Karena dengan

melakukan kerjasama dengan negara-negara maju diharapkan dapat meningkatkan

kekuatan negara-negara berkembang tersebut baik melalui kerjasama ekonomi,

pertahanan, dan sebagainya. AS adalah negara yang paling banyak menjalin

kerjasama dengan negara-negara lain.

Saat ini dunia mengakui posisi AS sebagai pemimpin dunia. AS saat ini

masih memimpin dalam hal ekonomi, moneter, teknologi, dan budaya di seluruh

lapisan dunia. Dalam hal militer, AS masih unggul dari negara-negara lain, baik

dari segi kuantitas maupun kualitas peralatan dan personil militer. Selain itu biaya

yang dikerluarkan untuk kebutuhan militer negaranya jauh lebih tinggi jika

dibandingkan dengan negara-negara lain.2

1 Defi Oftasari, loc. cit., hlm. 82.

2 Ibid.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 82: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

68

Universitas Indonesia

Diagram III.1

Anggaran dan Belanja Pertahanan Militer Negara-Negara

Sumber : Global Fire Power. Defense Spending Budget. Diunduh dari

http://www.globalfirepower.com/defense-spending-budget.asp

Dengan kekuatan AS yang besar tersebut, AS sering kali menjalin

kerjasama dengan negara-negara lain, misalnya dengan negara-negara CIS atau

Post Soviet Country. Di kawasan Kaukasus sendiri kepentingan AS di kawasan ini

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 83: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

69

Universitas Indonesia

semakin terlihat dengan adanya kedekatan AS dengan beberapa negara-negara

Kaukasus. Kemerdekaan beberapa negara-negara di kawasan tersebut yang pro-

Barat semakin penting bagi keberadaan AS di Kaukasus. Peristiwa 11 September

2001 memberikan pengalaman yang berharga bagi AS.

Reaksi dan respon dari negara-negara kawasan Asia Tengah dan Kaukasus

terhadap tindakan teroris tersebut menunjukkan dukungan mereka terhadap AS.

Negara-negara seperti Azerbaijan, Georgia, dan Uzbekistan merupakan negara-

negara yang paling pertama memberikan bantuan dan dukungan terhadap AS

dalam peristiwa 11 September 2001. Di sisi lain, negara-negara yang dekat

dengan Rusia, seperti Armenia dan Tajikistan, tidak dapat memberikan keputusan

sendiri, melainkan menunggu reaksi dari Rusia.

Walaupun begitu, sangat sulit untuk memprediksi kepentingan AS di

Kawasan Asia Tengah dan bagaimana implikasinya dengan kebijakan yang ia

ambil. Seperti misalnya, terhadap sumber daya energy. Sangat jelas AS ingin

mengamankan jalur terhadap sumber daya ini. Bagaimana kepentingan ini

terefleksikan kedalam sebuah kebijakan adalah hal yang lain lagi. Apakah

kepentingan untuk mengamankan jalur sumber daya ini tercermin kedalam sebuah

kerjasama ataukah sebuah kompetisi terhadap Rusia dan China? Pilihan AS tidak

hanya bergantung pada apa yang dilakukan oleh Negara-negara tadi, namun juga

bergantung pada cara AS mempersepsikan kebijakan-kebijakan mereka.

Bagi AS, Asia Tengah hanyalah wilayah yang termajinalkan atau

“periphery of periphery” dalam perumusan kebijakan luar negerinya. Hingga

akhirnya kejadian 11 September 2011, membuat AS mengubahnya menjadi

wilayah sentral atau utama dari perumusan kebijakan luar negerinya.3

Terdapat tiga fase perubahan dalam kebijakan luar negeri AS terhadap

Asia Tengah. Pertama, tahun 1991-1994, AS menjalin hubungan dengan Negara

yang baru merdeka segera setelah Negara-negara tersebut memerdekakan dirinya.

Kebijakan AS terhadap kawasan tersebut fokus untuk menguatkan kemerdekaan

Negara tersebut dan mentransfer nilai-nilai demokrasi, Hak Asasi Manusia

(HAM) dan liberalisasi ekonomi. Sebagai tambahan, Pemerintahan Clinton

3 S. Neil Macfarlane, “Regionalism and the Changing International Order in Central Eurasia”,

International Affairs, Vol. 80, No. 3 (May, 2004), (Royal Institute of International Affairs 1944-),

hlm. 447-461.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 84: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

70

Universitas Indonesia

mempunyai kepentingan yang abadi dalam pencegahan terhadap tidak

terkontrolnya proliferasi senjata pemusnah massal.

Namun, terdapat kepentingan lain bagi AS di Kawasan Asia Tengah, yaitu

kepentingan militer. Dimana pada saat itu, Rusia mencoba untuk tetap

menggenggam pengaruhnya di Kawasan Asia Tengah dengan membentuk

Commonwealth of Independent States (CIS) dan membentuk struktur keamanan

bersama negara-negara Commonwealth dibawah Tashkent Treaty tahun 1992.

Tetapi pada saat itu, perhatian para pembuat kebijakan AS masih kecil mengingat

keadaan Rusia pada saat itu masih terlalu lemah untuk membangkitkan kembali

power negaranya.

Perspektif AS berubah pada pertengahan tahun 1992 ketika Washington

menjadi sibuk mencari sumber daya energy alternative diluar kawasan Timur

Tengah. Dalam tahun paruh kedua pemerintahan Clinton pada saat itu,

Washington sudah melirik Laut Kaspia sebagai cadangan sumber energy yang

besar bagi kepentingan AS dan menjadikan rute ekspor sebagai isu ekonomi

sekuriti bagi AS. Hal selanjutnya yang disadari AS adalah bahwa menjalin sebuah

kerjasama kawasan tentang ekspor energy adalah hal yang paling memungkinkan

mengingat jalur ekspor dari kawasan itu harus melewati minimal 2 negara

kawasan.

Sebenarnya kawasan Asia Tengah menyimpan berbagai macam

permasalahan diantara Negara-negara kawasan. Seperti misalnya Kazakhstan

yang mempertimbangkan dampak dari setiap pilihan yang dia ambil dalam

menjalin hubungan dengan AS dan Rusia. Contoh lain adalah hubungan

Turkmenistan dengan Azerbaijan yang sedang mengalami sengketa terhadap

kepemilikan energy lepas pantai, potensi kompetisi untuk pasar gas dan dalam

konteks ini tentang kemandirian rute ekspor untuk sumberdaya Turkmenistan.

Dengan kesadaran permasalahan tersebutlah, Pemerintah AS percaya

bahwa ketergantungan kepada ekspor minyak dan gas regional dan keamanan

investasi energy AS di kawasan tersebut bergantung pada isu stabilitas kawasan

secara luas dan keefektifitasan pembangunan militer Negara, mempromosikan

Kerjasama untuk Kedamaian (Partnership for Peace / PfP) melalui NATO

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 85: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

71

Universitas Indonesia

dengan lebih aktif dan menuangkan spirit tersebut kedalam program bantuan

militer, khususnya terhadap Kazakhstan dan Kyrgyzstan.4

Elemen penting dari proses ini adalah formasi “US encouragement of the

Central Asian Battalion” di bulan Desember 1995. Unit ini adalah gabungan

prajurit Kazakh, Kyrgyz dan Uzbek yang dibentuk dibawah pengawasan NATO

dan dengan bantuan US CENTCOM yang bertugas dibidang manajemen konflik

dan penjaga perdamaian (peacekeeping). Pasukan ini telah beroperasi dengan

partisipasi NATO dan US sejak 1997.

Lagi, AS tetap memegang peranan mengendalikan struktur kerjasama

regional tersebut. Walaupun, dasar dari Central Asian Battalion adalah trilateral

dan regional (kawasan), namun terlihat dengan jelas bahwa semua diciptakan

untuk partisipasi kerangka kerja NATO’s PfP. Pemerintah AS tidak menentang

namun tidak juga dengan lantang mendukung hal tersebut.

Satu hal yang menonjol dari respon multilateral terhadap konflik regional

di Central Asia adalah terlibatnya CIS dalam perang sipil Tajikistan. Kepentingan

energy dan agenda keamanan di Asia Tengah jelas menghilangkan maksud dari

agenda AS sebelumnya yaitu demokratisasi dan kepemerintahan yang baik (Good

Governance). Melaksanakan kebijakan tersebut tampaknya lebih rumit dari

melaksanakan kebijakan-kebijakan yang lebih konkrit.

Usaha kepemerintahan AS untuk memenuhi kepentingan jalur pipa dan

kerjasama militer menimbulkan kebingungan terhadap power di kawasan.

Pembuat kebijakan AS menekankan keinginannya untuk melibatkan Rusia dalam

pembangunan di sector energy kawasan. Namun, pernyataan dan tindakannya

juga memperlihatkan bahwa AS mengasingkan Rusia dalam jalur ekspor dengan

membuat rute barat daya. Misalnya pembangunan pipa Trans-Caspian dan BTC.

Pemikiran rasional yang dapat menjelaskan hal tersebut telah jelas

dinyatakan oleh Ombudsman AS untuk Energy dan Kerjasama Perdagangan

dengan Negara-negara yang Baru Merdeka adalah

“Melanjutkan ketergantungan terhadap jalur pipa Rusia

akan sangat membahayakan karena ini akan membiarkan

4 S. Neil Macfarlane, op. cit.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 86: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

72

Universitas Indonesia

Moskow secara sepihak menaikkan tariff dan

menghambat ekspor Caspian atau melakukan ancaman-

ancaman ini untuk memenangkan perihal politik dan

ekonomi dari Negara tetangganya.”

Selanjutnya, tindakan-tindakan dari aktifitas PfP di sector keamanan

berujung pada usaha untuk menolak orientasi eksternal dalam kerjasama

keamanan kawasan selain yang berkiblat ke Barat dan memasukkan Negara-

negaranya dalam struktur NATO yang terbentuk tahun 1994 dan semua Negara-

negara Asia Tengah, kecuali Tajikistan, untuk masuk didalamnya.

Disisi lain dari perspektif AS, kerjasama keamanan di Asia Tengah ketika

waktu itu adalah sebuah bentuk respon untuk menyingkirkan keberadaan Rusia di

wilayah tersebut. Ketidak-ikutsertaan Rusia dalam keputusan perluasan NATO

tahun 1994-1995 dilahirkan oleh penguatan strategis pengaruh Rusia dalam

melakukan sphere of influence. Percepatan aksi PfP dan spirit PfP tercermin

dalam beberapa usaha untuk menyeimbangkan penguatan Rusia kembali dan

usahanya membentuk kerjasama keamanan Russocentric dibawah pengawasan

CIS.

Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) adalah organisasi politik yang

pada awalnya dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan keamanan seluruh

anggota dibawah prinsip-prinsip Piagam PBB dari agresi Uni Soviet pada masa

Perang Dingin. Berakhirnya Perang Dingin tidak mengakibatkan aliansi militer ini

bubar, tetapi mengakibatkan perubahan struktur, organisasi, kemampuan dan

tujuan strategis yaitu dalam hal kemampuan militer. Selain itu, NATO juga

memperluas keanggotaannya ke wilayah Eropa Timur (Polandia, Hongaria,

Republik Ceko). Keberhasilan ekspansi NATO ke wilayah Eropa Timur

menambah jumlah negara anggota NATO diwilayah ini.

Bersamaan dengan adanya ekspansi NATO, aliansi ini juga berusaha

untuk mendukung transformasi di negara-negara bekas pengaruh Uni Soviet di

Eropa Tengah dan Timur seperti Hungaria, Polandia dan Cekoslovakia yang

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 87: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

73

Universitas Indonesia

menjadi pelopor negara Eropa Timur yang mengajukan aplikasi sebagai anggota

NATO.5

Pada tahun 2004, Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Romania, Slovakia

dan Slovenia bergabung menjadi anggota NATO. Hingga saat ini, negara anggota

NATO bertambah menjadi 28 negara dengan masuknya Albania dan Kroasia pada

tahun 2009. Negara yang tergabung kerjasama militer dan terikat dalam NATO

membuat anggotanya disyaratkan untuk meningkatkan pembiayaan militernya.

Ekspansi NATO ini dimaksudkan sebagai cara untuk menyebarkan nilai

demokrasi dan ,menangkal kemungkinan agresi Rusia dimasa yang akan datang.

Pada tahun 2003, Perang Irak memaksa dan membagi anggota NATO

menjadi dua bagian. Perancis dan Jerman menolak dengan tegas adanya perang.

Turki juga menolak adanya serangan AS di Irak. Disaat yang sama, NATO

menjadikan Rumania sebagai salah satu negara anggotanya dan berencana akan

makin meluas lagi kewilayah Timur dan mendekati perbatasan Rusia. Ketakutan

akan potensi kekuatan besar yang dimiliki oleh NATO ini memperkuat sikap

nasionalisme dan politik anti-Barat di Rusia. Dan untuk mengantisipasi hal ini,

NATO membentuk kategori atas organisasi kerjasama untuk perdamaian yang

diikuti oleh hampir seluruh negara di Eropa Timur dan negara bekas Uni Soviet

termasuk Rusia didalamnya.

Namun disisi lain, adanya serangan NATO terhadap Serbia menambah

ketakutan NATO terhadap ancaman ekspansi NATO ke Timur Eropa. Selain itu,

NATO juga menjalin kerjasama dengan Georgia dan Ukraina dimana

menimbulkan perang melawan Rusia pada tahun 2008.6 NATO mulai

menggunakan militernya untuk mengatasi masalah kolektif politik kepentingan,

termasuk stabilitas regional. Sejak perang Dunia II, khususnya selama Perang

Dingin, keamanan Eropa sangat bergantung pada perlindungan AS melalui NATO

dengan membelanjakan 300 milyar dolar AS atau sekitar 40-45 % dari anggaran

5 Nurani Chandrawati, “Penggabungan Eropa Tengah dan Timur kedalam Uni Eropa : Analisis

Dampak Bagi Indonesia” Jurnal Luar Negeri (Eropa Tengah dan Timur Bagi Indonesia) BPPK

Kemlu, 2004. 6 Devi Oftasari, ibid.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 88: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

74

Universitas Indonesia

Militer Dunia. Sedangkan Uni Eropa (UE) total menghabiskan 170 milyar dolar

AS.7

Selama Perang Dingin, AS menempatkan sekitar 300.000 pasukan

militernya di Eropa yang dilengkapi dengan pesawat penyerang, tank dan

peralatan lainnya. Setelah Perang Dingin berakhir, kekuatan personil kemudian

dipangkas sekitar 100.000 personil dan tetap eksis hingga sekarang. Hal ini

dikarenakan negara-negara anggotanya percaya bahwa dengan adanya NATO

akan menjamin adanya stabilitas.

Struktur komando NATO berevolusi selama Perang Dingin dan akibatnya,

16 negara anggota diperkirakan memiliki kekuatan sekitar 5.252.800 militer aktif,

termasuk sebanyak 435.000 pasukan AS dikerahkan dibawah struktur komando.

Pada tahun 2000, pasukan NATO aktif berkisar pada jumlah 3.448.590 ke

3.986.045 pada tahun 2001. Terjadi peningkatan sekitar 16 %. Saat ini, 28

anggota NATO mempertahankan kekuatan 3.793.785 militer aktif termasuk

137.836 pasukan dikerahkan oleh AS.8

Sejak tahun 2006, NATO menempatkan pasukannya di Afghanistan

dengan nama International Security Assisstance Forces (ISAF) sebanyak 50.000

pasukan. Anggaran militer NATO dalam setiap tahunnya mengalami peningkatan

dan terbesar diantara pengalokasian kepada lainnya. Lebih dari setengah dana

pengeluaran NATO digunakan untuk membayar biaya operasional dan

pemeliharaan staf militer internasional. NATO menghabiskan dana sekitar 220

milyar dolar AS untuk biaya kekuatan militer. Anggaran ini mencakup biaya

administrasi yang berhubungan dengan kegiatan militer organisasi terserbut

seperti armada operasi dan badan pemeliharaan.

Dalam segi persenjataan NATO memiliki 11.505 tank, 22.790 kendaraan

lapis baja, 1.327 helikopter penyerang, 3.802 pesawat tempur, 211 kapal induk,

7 A. Agus Sriyono, Trans-Atlantik Di Simpang Jalan : Percikan Pemikiran Diplomat Muda, PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm.175. 8 W. Bruce Weinrod and Charles L. Barry, “NATO Command Structure Considerations For the

Future” Center for Technology and National Security Policy, National Defense University, 2010.

Diunduh dari

http://www.ndu.edu/CTNSP/docUploaded/DTP%2075%20NATO%20Command%20Structure.pd

f.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 89: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

75

Universitas Indonesia

133 kapal selam.9 Dalam persenjataan nuklir, AS memiliki 12.000 hulu ledak

nuklir, Perancis 350 hulu ledak nuklir dan Inggris 185 hulu ledak nuklir.

Selain itu, NATO juga memiliki sejumlah basis militer di wilayah Eropa

dan negara yang berbatasan dengan wilayah Rusia yang digambarkan dalam tabel

berikut:

Tabel III.1

Persebaran Basis Militer NATO dan US di Eropa

Bosnia and Herzegovina Basis eagle di tuzla (EU/US), kamp

McGovern (pasukan PBB). Bosnia dan

Herzegovina (selatan dan timur), pabrik

logam banja luka,

Bulgaria Area pelatihan di Novo Selo, basis

militer di Novo Selo, pangkalan udara

dekat Plovdiv

Czech Republic-Poland Basis pertahanan misil

Romania Basis militer di Mihail Kogalniceanu,

Constanza Badabag, Cincu dan tempat

latihan di Smardan

Serbia, Kosovo Camp Bondsteel, basis militer di

Urosevac

Turkey Pangkalan udara Incirlik di Adana

Guam (USA) Basis Camp Andersen

Kyrgyzstan (NATO dan AS) Basis NATO-AS di Manas/Ganci

Sumber: SIPRI Policy Paper No.18. Diakses dari http://first.sipri.org

9 Terdapat dalam artikel “Perjanjian CFE” yang diakses melalui http://first.sipri.org.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 90: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

76

Universitas Indonesia

Tabel III.2

Kekuatan Militer NATO tahun 1999 – 2009

Sumber : Institute for Strategic Studies (IISS)

Hal yang sama dengan kebijakan AS adalah terhadap GUAM (Georgia,

Ukraina, Azerbaijan, Moldova), sebuah kelompok kawasan tidak resmi yang

dibentuk pada pertengahan tahun 1990-an di bekas Republik Soviet, yang tidak

menyenangi kerjasama dalam kerangka CIS dan berharap untuk membentuk

kerangka kerjasama yang sama untuk melakukan Balancing terhadap Rusia.

GUAM (sekarang GUUAM, dengan penambahan Uzbekistan didalamnya) adalah

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 91: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

77

Universitas Indonesia

satu-satunya struktur kerjasama kawasan di bekas wilayah Rusia yang didukung

oleh AS.

Jika perspektif AS pada keterlibatan Rusia di kawasan tersebut adalah

ambivalen dalam pertengahan dan akhir 1990-an, lain halnya dengan keterlibatan

Iran di kawasan tersebut yang jelas bermusuhan. Kepentingan Iran yang sangat

terlibat (positif dan negatif) dalam Asia Tengah dan dalam pengembangan energi

Kaspia. Iran berhak mendapatkan porsi dari rute ekspor yang dikembangkan di

laut Kaspia dan memberikan sebuah jalan di wilayah selatan yang jelas menjadi

alternatif untuk energi ekspor.

Namun AS telah menyatakan bahwa Iran termasuk dalam kelompok

teroris internasional dan telah menerapkan sanksi ekonomi terhadap Iran di tahun

I996 (termasuk juga Libia pada waktu itu). Perusahaan-perusahaan besar AS

dilarang melakukan investasi atau terlibat di wilayah Iran dan Amerika Serikat

sangat kecewa dengan negara-negara Asia Tengah karena telah menjajaki kerja

sama energi dengan negara itu. AS berusaha mencegah perkembangan ekspor

lewat rute selatan yang melalui Iran.

Sebaliknya, perspektif AS pada keterlibatan Cina di Asia Tengah

kurang memiliki dorongan strategis yang jelas. Adanya usaha jalur pipa Cina

hanya menarik sedikit perhatian bagi kepentingan AS. Hal ini disebabkan oleh

keraguan AS mengenai kelangsungan hidup komersial Cina.

AS menyambut pembentukan Shanghai Lima (sekarang Organisasi

Kerjasama Shanghai atau SCO) dengan ketidakpedulian. Sejauh bertujuan untuk

tujuan aslinya yaitu menyatakan menyelesaikan masalah perbatasan yang sejak

lama telah menjadi kendala, selama itu pula AS menganggapnya baik-baik saja.

Tampaknya hanya ada sedikit kekhawatiran AS bahwa ini akan

berkembang menjadi lembaga multilateral yang lebih substansial, setidaknya

karena sedikitnya keyakinan pada kekuatan-politik yang malah akan berpotensi

kompetitif bagi kepentingan Rusia dan China itu sendiri karena mereka

menetapkan batasan cukup ketat pada pengembangan inisiatif ini.

Bergantinya kepemimpinan Pemerintah AS yaitu Presiden Bush pada

Januari 2001 dan penyebaran kewajiban kembali di kawasan Asia Tengah

memunculkan perhatian para actor kawasan dan pelaksanaan pembangunan

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 92: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

78

Universitas Indonesia

energy didalamnya, bahwa AS akan mengurangi keterlibatannya di kawasan

tersebut. Namun, kekhawatiran tersebut tidak terjadi akibat peristiwa penyerangan

WTC pada September 2011 yang melahirkan kebijakan Perang terhadap Teror

(War on Teror).

Dalam fase ketiga dari kebijakan AS di Asia Tengah terjawablah dengan

jelas apa yang menjadi perdebatan tentang letak Kawasan Asia Tengah di dalam

Kebijakan Luar Negeri AS. Target utama AS dalam menghadapi Al Qaeda adalah

Afganistan. Untuk mendukung Aliansi Utara menghadapi Taliban memasuki

Afganistan dari utara, AS harus meningkatkan hubungan strategisnya dengan

Negara-negara Asia Tengah. Secara umum, keberadaan fasilitas militer di

Uzbekistan menjadi pusat perintah dan poin awal untuk pasukan khusus dan

operasi pencarian dan penyelamatan, angkatan udara dan pastinya untuk pasukan

“Predator” (predator drones).10

Dengan dukungan terhadap kebijakan War on Teror oleh Presiden Rusia,

Vladimir Putin, kebijakan utama untuk meningkatkan peran keamanan Amerika di

Asia Tengah, AS bergerak cepat untuk mengamankan fasilitas akses militer di

Kyrgyzstan (Manas) dan Uzbekistan (Khanabad) dan untuk menempatkan

pasukan disana dalam jumlah yang terbatas. Pada awal tahun 2003, jumlah

pasukannya diperkirakan sebanyak 3000 personel militer AS di Kyrgyzstan dan

1000 personel militer di Uzbekistan.

Bagaimanapun, Asia Tengah tidak hanya dilihat sebagai tempat singgah

operasi militer di Negara tetangganya tetapi lebih dari itu. Asia Tengah dianggap

dapat menjadi tempat penyebaran terorisme. Kekhawatiran ini disebabkan oleh

dekatnya hubungan Al-Qaeda dengan the Islamic Movement of Uzbekistan (IMU),

yang awalnya berasal dari Afganistan dan Tajikistan masuk kedalam Kyrgyzstan

pada tahun 1999 dan 2000. Mendalamnya keterlibatan strategi AS di Asia Tengah

dibarengi oleh meningkatnya kebutuhan pendampingan keamanan di kawasan

tersebut. Besarnya bantuan yang diberikan adalah sekitar 580 milyar US$ dalam

angaran tahun 2002. Besaran ini meningkat dua kali lipat dari anggaran tahun

2001.

10

Ibid.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 93: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

79

Universitas Indonesia

Kerjasama yang dilakukan oleh AS tidak terlepas dari kepentingan

nasional AS yaitu pertahanan negara, mempromosikan nilai-nilai demokratis AS,

menciptakan tatanan dunia yang baru, dan memperbesar kesejahteraan ekonomi

negaranya.11

Kepentingan nasional yang ingin dicapai oleh AS ini tersirat dalam

National Security Strategy tahun 2002 yang berbunyi sebagai berikut :

“In keeping with our heritage and principles, we do not

use our strength to press for unilateral advantage. We

seek instead to create a balance of power that favors

human freedom: conditions in which all nations and all

societies can choose for themselves the rewards and

challenges of political and economic liberty. In a world

that is safe people will be able to make their own lives

better. We will defend the peace by fighting terrorists and

tyrants. We will preserve the peace by building good

relations among the great powers. We will extend the

peace by encouraging free and open societies on every

continent.”12

Selain kepentingan nasional AS tersebut, kondisi internasional yang saat

ini sangat dinamis ikut mempengaruhi kebijakan luar negeri AS. Kebijakan

pertahanan negara sangat dikedepankan mengingat kondisi internasional yang

dapat membahayakan AS, yaitu seperti terorisme, idealisme radikal, dan

sebagainya. Perang melawan terorisme secara terang-terangan dikumandangkan

oleh AS dan sekutu-sekutunya.

Negara-negara Barat, terutama AS, memiliki kepentingan juga dalam hal

menyebarkan prinsip kebebasan dan demokrasi. Mempromosikan stabilitas

regional, demokrasi, good governance, merupakan dasar dari kebijakan luar

negeri AS. Ancaman terorisme transnasional, perdagangan illegal, dan sebagainya

merupakan bentuk ancaman yang menjadi perhatian AS saat ini. Sejak tragedi 11

11

Thomas D. Kraemer, “Addicted To Oil : Strategic Implications of American Oil Policy”,

Strategic Studies, May 2006, hlm 9-10. 12

Ibid., hlm 9.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 94: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

80

Universitas Indonesia

September 2001, kebijakan luar negeri AS meluas kepada perlawanan terhadap

teroris. AS secara gencar menyuarakan perang terhadap teroris dan mencari

aliansi. Selain perang melawan teror, AS juga mempromosikan nilai-nilai

kebebasan dan demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Pertahanan AS

Donald Rumsfeld sebagai berikut:

“to win the war on terror, we must also win the

war of ideas.”13

Gagasan AS untuk mempromosikan kebebasan dan nilai-nilai demokrasi

tercantum dalam National Security Strategy yang berbunyi sebagai berikut :

“Freedom is the non-negotiable demand of

human dignity; the birthright of every person—

in every civilization. Throughout history,

freedom has been threatened by war and terror;

it has been challenged by the clashing wills of

powerful states and the evil designs of tyrants;

and it has been tested by widespread poverty and

disease. Today, humanity holds in its hands the

opportunity to further freedom’s triumph over

all these foes. The United States welcomes our

responsibility to lead in this great mission”.14

“The great struggles of the 20th century between

liberty and totalitarianism ended with a decisive

victory for the forces of freedom—and a single

sustainable model for national success: freedom,

democracy, and free enterprise”.15

13

Ibid. 14

Ibid. 15

Ibid.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 95: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

81

Universitas Indonesia

Dalam The National Security AS secara eksplisit disebutkan bahwa tipe

pemerintahan yang menjadi dasar jalannya pemerintahan suatu negara

mencerminkan nilai-nilai demokratis AS :

“The great struggles of the 20th century between

liberty and totalitarianism ended with a decisive

victory for the forces of freedom—and a single

sustainable model for national success: freedom,

democracy, and free enterprise.”16

Hal ini dapat dilihat pada saat Rose Revolution terjadi, Georgia

mengatakan bahwa memiliki elemen yang dijunjungnya yaitu demokrasi. Prinsip

demokrasi tersebut diusung Georgia tidak hanya di negaranya namun juga bagi

Eurasia. Presiden Saakhsvilli menyuarakan demokrasi sebagai salah satu elemen

negaranya. Saakashvilli menyebut Georgia sebagai “beacon of democracy” pasca

periode runtuhnya Uni Soviet. Sejak saat itu, demokrasi menjadi elemen yang

dalam pembangunan politik yang mengalami stagnasi di Eurasia. Ukraina, Asia

Tengah, dan kawasan Kaukasus berharap bahwa demokrasi dapat membawa

kawasan tersebut pada masa depan yang lebih baik.

Perkembangan ini sangat menguntungkan AS yang mengusung kebebasan

dan demokrasi dalam kebijakan luar negerinya. Presiden AS pada saat itu,

Presiden George W. Bush, sedang giatnya mempromosikan demokrasi lebih jauh

ke kawasan Timur Tengah. Kebijakan luar negeri AS saat itu adalah

mengedepankan elemen demokrasi. Pada bulan Mei 2005 Presiden Bush

berkunjung ke Tbilisi Georgia. Dimana kunjungan tersebut merupakan pertama

kalinya presiden AS berkunjung ke Asia Tengah atau kawasan Kaukasus.

Kunjungan tersebut menandakan bentuk apresiasi AS terhadap Georgia yang

menjadikan demokrasi sebagai elemen penting dalam kebijakan luar negerinya.

Dalam hal ini, Georgia secara simbolis merupakan gambaran dari keberadaan AS

di kawasan tersebut. Georgia dipandang AS sebagai negara yang dapat

mencerminkan betapa pentingnya pembentukan demokrasi dalam suatu negara.

16

Ibid.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 96: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

82

Universitas Indonesia

Demokrasi yang ada di Georgia merupakan bentuk kepentingan AS di kawasan

Kaukasus.

Georgia memiliki arti penting bagi AS yaitu Georgia membantu AS dalam

menjunjung prinsip-prinsip yang diusung oleh AS yaitu keadulatan negara,

demokrasi, dan keamanan. Sehingga Georgia menjadi titik utama sphere of

influence AS di Kaukasia, yang membentuk mata rantai politik luar negeri AS di

Eurasia dan meneruskannya ke wilayah Asia Tengah.17

Dua karakteristik dari keterlibatan AS di Asia Tengah adalah saling

bertentangan. Satu, dia menekankan pada hubungan bilateral, misalnya pada

khususnya pada Uzbekistan. Walaupun Pemerintahan AS menunjukkan bahwa

kerjasama kawasan adalah penting, khususnya di bidang transportasi, daya listrik

dan transmisi, juga pengaturan air, namun pada nyatanya pemerintah AS hanya

sedikit memberikan bantuan untuk meningkatkan hubungannya menjadi

kerjasama kawasan. Menurut Robert Legvold, tidak ada posisi formal yang jelas

yang menyatakan bahwa Rusia mendukung institusi kawasan yang menyangkut

wilayah Asia Tengah, sama halnya dengan perhatian pemerintah AS dalam

memberikan perhatian atau dukungan atau inisiatif kerjasama di kawasan

tersebut.18

Hal ini disebabkan tidak hanya bahwa AS kurang memiliki kepentingan

yang besar dalam hal kerjasama kawasan, namun karena AS merasa kurang

mendapatkan hal yang positif dalam kerjasama ini. Komitmen bilateral,

cenderung mengurangi insentif yang sudah ada terhadap kerjasama kawasan.

Sebagai gambaran, ketidakjelasan dalam lingkungan kerjasama keamanan yang

ditambah dengan kesulitan keamanan yang dihadapi semua Negara kawasan

tersebut, tampaknya akan mengarah pada keamanan regional.

Bagaimanapun juga, kepastian AS dalam memberikan garansi keamanan

kepada Uzbekistan menjadi berkurang atau hilang sama sekali ketika masuk

kedalam struktur keamanan regional. Padahal, pada Maret 2002, pada Strategic

Partnership and Cooperation Framework Agreement antara AS dan Uzbekistan

menekankan bahwa AS akan terlibat dengan serius terhadap ancaman luar yang

mengganggu keamanan dan kesatuan wilayah Uzbekistan.

17

Devi Oftasari, loc. cit. 18

Legvold, “Great Power Stakes in Central Asia”, loc. cit., hlm. 29–30.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 97: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

83

Universitas Indonesia

Padahal, peningkatan bantuan militer AS kepada Uzbekistan dapat

menggangu keharmonisan hubungan Negara-negara di wilayah Asia Tengah. Hal

ini dapat menyebabkan actor lain di kawasan mencari dukungan alternatif lain dari

luar dan melemahkan komitmen mereka terhadap Kekawasanan Asia Tengah.

Selain itu, actor lain di kawasan akan mencari kompensasi lain untuk mengatasi

kerawanan baru terhadap Negara mereka dengan mengurangi kedekatan hubungan

dengan AS. Dan hal ini akan berpengaruh pada Kewilayahan Asia Tengah.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 98: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

84

Universitas Indonesia

Tabel III.3

Organisasi Regional di Wilayah Post-Soviet States

Sumber : S.G. Luzyanin dan K.S. Gadjiev, Glasnost, Vol.4 No.2 Oktober 2008-Maret

2009, hlm. 21-22.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 99: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

85

Universitas Indonesia

Satu hal yang menjadi pengecualian terhadap focus kebijakan hubungan

bilateral AS adalah GUUAM. Badan ini telah menjadi tidak aktif pada awal tahun

di decade ini. Uzbekistan, satu-satunya anggota Negara Asia Tengah, telah

menghentikan komitmen keanggotaannya pada tahun 2002.

Setelah penyerangan teroris terhadap New York dan Washington pada

tahun 2001, AS bermaksud untuk merevitalisasi organisasi ini, menekan

Uzbekistan untuk memikirkan ulang partisipasinya dan menyediakan bantuan

ekonomi untuk organisasi ini. Di bulan Mei 2002, pemerintah AS menganggarkan

46 milyar dolar AS untuk proyek bersama meningkatkan perdagangan dan

membuat prosedurnya dan juga untuk memberantas kejahatan dan perdagangan

narkotik.

Secara keseluruhan, terutama Tajikistan, bantuan keamanan adalah

kategori yang paling besar. Uzbekistan sendiri mendapatkan lebih dari dua kali

bantuan dan termasuk kedalam Negara kedua penerima bantuan keamanan dari

AS. Tajikistan menerima bantuan keamanan sebesar 79 milyar dolar AS pada

tahun 2002. Alokasi terbesar kedua adalah sector bantuan kemanusiaan sebesar 52

milyar dolar AS. Dalam pertemuan Yalta pada July 2003, kelompok ini

meluncurkan tiga proyek, yaitu latihan unit anti-teror, pembangunnan pusat

informasi yang memfokuskan pada terorisme dan narkotik dan juga gedung

parlemen.

Karakteristik kuat kedua yang menggambarkan keterlibatan pemerintahan

AS di kawasan tersebut adalah besar dan berat-nya bantuan yang diberikan terkait

keamanan, khususnya yang menyangkut pengawasan batas wilayah, non-

proliferasi dan anti narkotik dan anti teroris dan juga makin luasnya bantuan yang

diberikan dalam bidang ini. Bantuan dalam bidang ekonomi, social dan kesehatan,

dan masalah masyarakat sipil mendapatkan porsi yang lebih kecil di kawasan ini

secara keseluruhan.

Hal ini disebabkan oleh tujuan utama pemerintah AS masuk ke wilayah itu

adalah untuk memberikan bantuan keamanan khususnya untuk Uzbekistan,

walaupun hal ini mempunyai kadar berbeda antara satu Negara dengan Negara

lain, tergantung Negara penerimanya.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 100: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

86

Universitas Indonesia

Dalam hitungan yang luas dari kepentingan dan nilai dari kebijakan AS di

kawasan, dapat terlihat bahwa terjadi perluasan bahkan perubahan terhadap

agenda kebijakan normative pemerintahan AS. Pada awalnya, pemerintah AS

terus mengkritik masalah pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM) kepada

Uzbekistan lalu kemudian berubah ke isu yang lebih serius dan strategis-teknis.

Kepemerintahan Bush tidak memasukkan Uzbekistan sebagai Negara yang perlu

diperhatikan dalam hal pelanggaran hak-hak asasi manusia. Insiden teroris di

Uzbekistan pada bulan Maret 2004 malah memperkuat kecenderungan AS

mengutamakan kerjasama strategis dalam perubahan internal Negara tersebut.

Di Negara lainnya, Azerbaijan misalnya, pemerintah AS beralih

perhatiannya dari ancaman serius di Baku menjadi memastikan pemilihan

presiden pada Oktober 2003 berjalan bebas dan adil. Bahkan Wakil Menteri

Dalam Negeri AS memberikan ucapan selamat lewat telepon kepada Ilham Aliev

karena kemenangannya.

Selang sebulan setelah pemilihan, pejabat senior pemerintahan, termasuk

Colin Powell dan Donald Rumsfeld, mengunjungi Azerbaijan dalam rangka

dukungan AS kepada pemerintahan. Akhirnya bantuan militer meningkat. Dan

dengan persetujuan AS, World Bank dan the European Bank for Reconstruction

and Development setuju untuk memberikan pinjaman sebesar 200 milyar dolar AS

masing-masing sebagai bagian dari bantuan keuangan pembangunan jalur pipa

Baku - Ceyhan.

Seperti biasanya, pemerintahan AS tidak pernah serius berusaha untuk

mempromosikan tujuan dasarnya yaitu penegakkan HAM ketika hal ini

mengancam kestabilitasan hubungan antar kedua Negara yang AS anggap

“berarti” bagi AS. Dan sejatinya, pemerintahan AS hanya focus terhadap

kerjasama bilateral daripada mensukseskan pembangunan struktur kawasan, baik

dari bidang militer maupun ekonomi. Terlihat dari digalakkannya program-

program World Trade Organization (WTO) daripada mensukseskan kerjasama

ekonomi kawasan dan perdagangan kawasan. Bahkan memasukkan Kyrgyzstan

sebagai satu-satunya Negara di Asia Tengah untuk bergabung dalam keanggotaan

WTO.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 101: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

87

Universitas Indonesia

Ketika AS mengumumkan bahwa AS perlu untuk mengerahkan militernya

melawan pemerintahan Taliban di Afghanistan, sebenarnya negara-negara SCO di

Asia Tengah sedang mengalami permasalahan terhadap permasalahan dengan isu

agama selama bertahun-tahun sehingga dengan segera men-support AS.

Uzbekistan dan Kyrgyzstan mempersilahkan 3000 pasukan dan peralatan untuk

ditempatkan di pangkalan Khanabad dan Manas dekat Bishek yang merupakan

hasil dari diskusi dengan General Tommy Franks, kepala US Central Command

yang bertanggungjawab atas wilayah Afghanistan.

Sementara, kedatangan US Secretary of State, Donald Rumsfeld,

bermaksud untuk membujuk Kazakhstan dan Tajikistan mengizinkan wilayah

udaranya dilewati atau digunakan pesawat tempur mereka. Hasilnya, dalam bulan

April 2002, pemerintahan Kazakh mengizinkan militer AS menggunakan tiga

badara udaranya di Almaty, Chimkent dan Jambyl.

MoU yang ditandatangani antara Kyrgyztan dan AS pada 15 Februari

2002 dapat dilihat sebagai penerimaan kehadiran militer AS di negara tersebut.

Kemudian, deklarasi bersama antara US-Uzbekistan tanggal 12 Maret 2002 dalam

Strategic Partnership and Cooperation Framework, dalam bagiannya, menyatakan

bahwa akan menjadi perhatian AS yang dalam terhadap ancaman luar yang

mengarah pada keamanan dan kesatuan wilayah Uzbekistan. Terhadap akses ke

Khanabad dan fasilitas logistik di pihak Uzbek yang berbatasan dengan

Afghanistan, AS menyediakan bantuan sebesar 160 juta dolar AS kepada

Uzbekistan dengan rincian sebesar 43 juta dolar AS di bantuan militer di 2002.

Washington juga menyediakan Tajikistan sebesar 125 juta dolar AS tahun 2002.

Sementara pemerintahan Inggris memberikan bantuan sebesar 20 juta dolar AS

kepada Kyrgyzstan di tahun yang sama.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 102: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

88

Universitas Indonesia

III. 1. 1. Kepentingan Ekonomi AS

AS merupakan negara adidaya yang memiliki sistem perekonomian yang

cukup stabil. Walaupun beberapa kali mengalami pasang surut dalam

perekonomiannya, namun tidak terlalu berpengaruh banyak dalam

perekonomiannya. Dalam hal minyak dan gas, pada tahun 2009 AS menempati

posisi paling puncak sebagai negara yang mengkonsumsi minyak paling besar di

dunia. Dengan kebutuhan minyak yang sangat besar tersebut, AS merasa

memerlukan negara-negara yang memiliki pasokan minyak yang sangat besar

untuk memenuhi kebutuhan minyak negaranya. Sehingga negara-negara dengan

persediaan sumber daya alam minyak dan gas, serta negara-negara yang menjadi

negara transit dalam pendistribusian minyak dan gas menjadi sangat penting

keberadaannya bagi AS.

Pada tahun 2006 mantan Presiden AS George W. Bush pernah

menyatakan bahwa AS bergantung pada minyak. Dalam pernyataannya tersebut

George W. Bush menambahkan bahwa kebutuhan minyak AS yang sangat banyak

sangat bergantung pada kawasan Timur Tengah. Kemudian lebih lanjut George

W. Bush menyatakan akan mengganti 75% kebutuhan minyak yang didatangkan

dari Timur Tengah dengan negara-negara penghasil minyak lainnya.

“America is addicted to oil, which is often

imported from unstable parts of the world. It

was time for the United States to move beyond a

petroleum-based economy and make our

dependence on Middle Eastern oil a thing of the

past. It’s time to replace more than 75 percent of

our oil imports from the Middle East by 2025”.19

Namun sebenarnya kebijakan negara AS akan minyak telah dinyatakan

sebelumnya oleh mantan Presiden AS Richard Nixon pada tahun 1973 mengenai

keinginan Rusia untuk mengedepankan kebutuhan akan energi yang sangat besar.

Politik internasional yang terjadi pada saat itu adalah adanya embargo minyak

19

Ibid., hlm 9.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 103: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

89

Universitas Indonesia

oleh negara-negara Arab sehingga menyebabkan keterbatasan sumber daya

minyak yang dapat diimpor oleh AS dan harga minyak yang melambung tinggi.

Sehingga muncul gagasan untuk menggantungkan sumber daya minyak ke

kawasan lain yang terbilang cukup aman.

Sebenarnya AS telah sangat berhati-hati terhadap kebutuhannya akan

minyak, terutama setelah terjadinya kenaikan harga minyak yang sangat drastis

pada tahun 1973-1973 dan 1978-1980. AS sempat menyatakan untuk mengurangi

ketergantungannya akan minyak dari luar negeri. Namun yang terjadi adalah AS

justru semakin meningkatkan ketergantungan minyaknya dari luar negeri. Bahkan

tidak hanya ke negara-negara Arab saja, namun ke negara-negara yang memiliki

sumber energi minyak yang banyak.20

AS memperluas cakupan kebijakan

negaranya kepada negara-negara pecahan Uni Soviet sejak runtuhnya Uni Soviet

tahun 1991. Hancurnya Uni Soviet tahun 1991 tersebut langsung disikapi

sejumlah investor AS dengan berburu ke negara-negara pecahan Uni Soviet,

khususnya industri migas di cekungan Kaspia.

Sejak saat itu investor AS menginvestasikan uangnya kepada negara-

negara tersebut, terutama pada industri minyak dan gas Teluk Kaspia. Pada awal

tahun 1990-an perusahaan energi Barat mengembangkan beberapa proyek seperti

ladang minyak Tengiz di Kazahstan, ladang minyak Azeri-Chirag-Guneshli

(ACG) di Azerbaijan, dan ladang gas alam Dauletabad di Turkmenistan. Sejak

saat itu, negara-negara pecahan Uni Soviet yang bekerjasama dengan perusahaan-

perusahaan AS setuju untuk membangun rute jalur pipa minyak dan gas dengan

memotong beberapa negara-negara yang dianggap AS dapat menghambat

kepentingan negaranya, seperti Rusia dan Iran.

Jalur pipa tersebut tidak hanya memotong pendapatan kedua negara

tersebut dari biaya transit, namun juga dapat mengurangi hambatan yang mungkin

terjadi akibat ketegangan politik yang ada. Selain itu, pemotongan jalur pipa

minyak dan gas tersebut memberikan peluang kepada AS untuk membangun

aliansi yang pro-AS. Sudah sejak lama jalur pipa di Eropa Timur didominasi oleh

Rusia, terutama rute jalur pipa minyak dari Teluk Kaspia menuju negara-negara

Barat.

20

S. Neil MacFarlane, “The United States and Regionalism in Central Asia”, International Affairs

(Royal Institue of International Affairs 1944), Vol. 80, No.3, hlm. 449.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 104: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

90

Universitas Indonesia

Perusahaan-perusahaan dan konsultan AS mendesak negara-negara bekas

Uni Soviet menyetujui rute jaringan pipa migas yang menghindari negeri-negeri

yang dianggap AS sebagai musuh, yaitu Rusia dan Iran. Usaha AS untuk

memenuhi kepentingan ekonominya terkait dengan jalur pipa minyak dan gas

adalah melalui negara-negara kecil yang pro-AS di kawasan Kaukasus yaitu

Georgia dan Azerbaijan. AS menjalin kerjasama dengan kedua negara tersebut,

bersama dengan Kazahkstan dan Turkmenistan, membangun jalur pipa minyak

dan gas dibawah laut yang dapat menghubungkan Kazahkstan dan Turkmenistan

di bagian timur pesisir Teluk Kaspia, dan Azerbaijan di bagian baratnya. Jalur

pipa minyak dan gas Baku (Azerbaijan)- Tbilisi (Georgia)- Ceyhan (Turki) ini

akan menjadi jalur ekspor energi yang sangat besar menuju Mediterania. Jalur

pipa minyak ini akan sangat menguntungkan bagi AS, dan akan mengurangi

dominasi Rusia dalam hal rute energi dari Kaspia menuju Barat.21

Jalur pipa minyak dan gas ini menghabiskan dana sampai dengan 4 miliar

USD dengan saham sebesar 30% dimiliki oleh British Petroleum Inggris. Jalur ini

terpusat di Georgia, tidak membawa minyak Kaspia melalui Iran, Afghanistan dan

Pakistan, atau Rusia. Jalur pipa minyak dan gas Baku- Tbilisi - Ceyhan (BTC) ini

diresmikan pada masa pemerintahan Presiden AS Bill Clinton, dimana bersama

Azerbaijan, Georgia, dan Turki, menyatakan bahwa jalur pipa tersebut merupakan

pencapaian yang sangat penting pada akhir abad ke-20.

Pembukaan jalur pipa minyak dan gas ini, selain untuk kepentingan

ekonomi AS, juga merupakan bagian rencana geostrategis besar AS untuk

mendapatkan pengaruh di negara-negara bekas wilayah Uni Soviet, sejak adikuasa

ini bubar pada tahun 1991. Strategi AS punya tiga tujuan utama yaitu, pertama,

memastikan pintu masuk dunia Barat pada cadangan energi di wilayah Kaspia dan

Asia Tengah. Kedua, mengurangi pengaruh Rusia di wilayah bekas Uni Soviet

Selatan, serta ketiga meningkatkan demokrasi di negara-negara kawasan, yaitu

dari Georgia di ujung Barat sampai Kirgizia yang berbatasan dengan Cina.

Wilayah ini sampai disebut pipastan, karena begitu besarnya cadangan energi

yang ada.

21

Lawrence Saez, “US Policy and Energy Security in South Asia : Economic Prospects and

Strategic Implications”, Asian Survey, Vol. 47, No. 4 (July/August 2007), hlm. 660.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 105: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

91

Universitas Indonesia

Pentingnya keberadaan minyak Laut Kaspia juga semakin meningkat.

Kawasan Kaspia terbilang sangat strategis sebagai pemasok minyak, mengingat

kondisi kawasan tersebut yang stabil dan tidak penuh konflik. Tidak seperti

pemasok minyak lainnya yang cenderung rawan konflik dengan kondisi politik

negara yang tidak stabil seperti di Iran, Arab Saudi, dan Venezuela. Selama

beberapa dekade terakhir, kawasan Kaukasus dipandang sebagai suatu

kesempatan yang bagus untuk menciptakan tempat transit yang menghubungkan

Eropa ke Asia Tengah, China, dan India melalui Laut Hitam, Georgia, Azerbaijan,

dan Laut Kaspia.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 106: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

92

Universitas Indonesia

BAB IV

KESIMPULAN

Setelah lepas dan merdeka dari Uni Soviet, negara-negara Post-Soviet

States dihadapkan pada permasalahan internal dan juga antar negara di kawasan

yang membutuhkan negara lain untuk mengatasinya. Banyak negara pun mencoba

untuk memasuki kawasan Asia Tengah sebagai kebijakan luar negeri strategisnya.

Namun respon yang diberikan tidaklah sama. Hal ini disebabkan oleh faktor

historis internal negara-negara tersebut dengan Rusia yang membuatnya harus

memikirkan kembali dampak atau respon yang diberikan oleh Rusia.

Bagi negara-negara di Asia Tengah, AS dianggap sebagai ancaman dan

mereka memilih untuk melakukan Bandwagoning secara bilateral daripada

melakukan Balancing secara multilateral-kawasan. Masalah pelanggaran

kemanusiaan, baik dari bidang politik dan ekonomi yang kerap terjadi membuat

mereka harus melakukan hal tersebut karena para pemangku kebijakan negara-

negara tersebut mengetahui bahwa pemerintahan AS akan menjadi lebih

kooperatif dan tidak terlalu menekan mereka tentang isu pelanggaran HAM dan

masalah kemanusiaan jika mereka memfasilitasi apa yang AS inginkan dari

mereka, yaitu akses sumber daya energi. Khususnya jalur pipa energi untuk

menghindari dominansi jalur energi dari Rusia yang selama ini digunakan.

Hal ini dikarenakan dahulu, sebelum pecahnya Uni Soviet, Laut kaspia

sepenuhnya dikontrol oleh Kremlin, namun setelah merdeka wilayah ini

mengalami perubahan pergolakan secara geopolitik. Sekarang negara-negara baru

Post Soviet States ini yang mengontrol deposit mineral dan energi dalam jumlah

yang besar dan mengundang ketertarikan para investor asing dari negara-negara

besar. Disamping itu, proyek pipanisasi minyak dan gas bumi di Asia Tengah

adalah proyek yang menguntungkan karena wilayah Asia Tengah adalah wilayah

landlock, khususnya bagi Azerbaijan dan Kazakhstan sebagai penghasil energi

utama sehingga kedua negara ini pasti membutuhkan negara lain guna

mengekspor kemampuan energinya.

Sementara, rute pipanisasi yang eksis adalah yang melalui wilayah Rusia.

Hal inilah yang membuat Rusia tidak ingin kehilangan pengaruhnya di wilayah

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 107: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

93

Universitas Indonesia

Asia Tengah. Jaringan pipa ini juga yang menjadi alasan dari kerjasama Rusia

dengan China dalam rangka membangun jaringan pipa dari Kazakstan menuju

China dengan nilai proyek sebesar US$ 10 milyar. Untuk itulah peran Rusia di

Asia Tengah tidak dapat dielakkan lagi oleh China. Sehingga melalui kerjasama

strategis kedua negara ini China berusaha menggunakan pengaruh Rusia di Asia

Tengah guna melancarkan kebutuhannya akan keamanan dan penyaluran energi

dari Rusia-Asia Tengah menuju China.

Pada awalnya, kebijakan pemerintah Clinton dalam orientasi ketimuran

berfokus pada pembangunan dan impor energi dari kawasan. Agenda lainnya

adalah mempromosikan keanggotaan NATO dan keterikatan program PfP nya

dengan negara-negara Asia Tengah, namun seiring dengan berkembangnya situasi

dunia internasional, khususnya pasca tragedi 9/11, AS mempunyai agenda lain

yaitu pemberantasan teroris internasional. Namun dalam perjalanannya, mulai

terlihat bahwa sebenarnya AS memilki agenda jangka panjang yang

membahayakan kepentingan Rusia dan Asia Tengah.

Persepsi ancaman yang sama pun diberikan China terhadap keberadaan

AS di Asia Tengah dalam agenda pemberantasan teroris internasional di

Afghanistan dan Irak. Penempatan pasukan militer AS di Asia Tengah

dipersepsikan China sebagai bentuk penangkalan terhadap lingkungan strategis

China dan sebagai bagian dari hegemoni global AS. Bagi China, Asia Tengah

dianggap sebagai sentral dari kekuatan geopolitik karena menghubungkan antara

dunia Timur dan Barat. Ditambah lagi, China harus memikirkan alternatif lain

dari ketergangtungannya dari sektor energi Timur Tengah dan juga hidrokarbon.

Dalam cakupan yang lebih luas, perdagangan Cina dengan kawasan

tersebut meningkat dari sekitar 500 juta dolar AS pada tahun 1992 menjadi 1.2

miliar di tahun 1999 dan akan terus meningkat. Tantangan dari permasalahan

pemisahan diri suku Uighur menambah kepentingan Cina di kawasan. Hal

tersebut tercermin dari buku putih pertahanan Cina yang memasukkan hal tersebut

kedalam ancaman terhadap keamanan nasional. Tapi, tumbuhnya kehadiran

strategi AS di kawasan membuat China lebih memperdalam lagi strategi

keamanan Cina di kawasan secara bersamaan.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 108: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

94

Universitas Indonesia

Dalam perspektif AS, dengan adanya ancaman terhadap keseimbangan

keamanan hubungan negara-negara di kawasan Asia Pasifik yaitu dengan China

sebagai salah satu negara pengekspor teknologi rudal di kawasan tersebut,

membuat AS melakukan penyeimbangan militer di Asia Pasifik. Diantaranya

dengan program Pertahanan Rudal Nasional (National Misille Defense) dan

rencana pergelaran Pertahanan Rudal Mandala di Asia Timur.

Hal inipun direspon balik China dengan melakukan pendekatan yang

intense kepada Rusia hingga pada tahun 1997, sebagai bagian dari komitmen yang

telah terjadi pada tahun 1996 lewat Shanghai Five, Presiden Jiang Zemin dan

Presiden Yeltsin sepakat untuk mempromosikan kebijakan internasional yang

berbasis pada multipolarisasi, menghormati perjanjian ABM tahun 1979 antara

AS dan bekas Uni Soviet dan menentang kebijakan AS dan NATO yang bertajuk

humanitarian intervention seperti yang terjadi di Kosovo dengan gaya

unilateralisme-nya.

Para pemimpin Rusia dan China khawatir akan implikasi yang

ditimbulkan dari intervensi urusan dalam negeri di negara-negara multi etnis ini

dimana Rusia dan China termasuk didalamnya, yang tengah menghadapi gerakan

separatisme dan tuntutan untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar di

Xinjiang dan Tibet serta penolakan kuat dari Taiwan untuk reunifikasi dengan

China kembali.

Ditambah, bagi China sendiri merasa penting untuk membatasi tindakan

AS terhadap sanksi yang diterapkan bagi China dalam hal masalah HAM. Adanya

akibat buruk dari pembunuhan yang berskala besar yang terjadi dilapangan

Tianemen pada tahun 1989 telah membawa dampak semakin menguatnya

supremasi AS dalam menekan China yang berkaitan dengan masalah HAM.

Faktor lainnya adalah aliansi keamanan AS-Jepang yang secara sengaja

melibatkan Taiwan yang menjadi keberatan bagi China. Dilain pihak, Rusia

mengkritik aliansi tersebut karena mengecualikan Rusia dalam masalah di

wilayah Rusia Timur Jauh dan beberapa pulau lain yang disengketakan antara

Rusia dengan Jepang.

Sementara itu, kerjasama strategis Rusia dan China terus meningkat.

Dalam kerjasama ekonomi, kemitraan ini menawarkan alternatif teknologi,

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 109: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

95

Universitas Indonesia

pendanaan dan pasar bagi bahan baku, barang dan jasa bagi satu sama lainnya.

Guna mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, China

membutuhkan pasokan bahan baku seperti minyak, besi, baja alumunium, sulfur

dan berbagai bahan mineral.

Dan sebagian dari kebutuhannya itu dipasok oleh Rusia yang kaya akan

kebutuhan tersebut. Nilai perdagangan China-Rusia adalah US$ 3.3 milyar pada

tahun 1999 senilai 1.8 % dari nilai perdagangan luar negeri China dan 5.7 dari

nilai perdagangan luar negeri Rusia. Potensi perdagangan dan investasi kedua

negara sangat besar. Kedua negara juga menjalin kerjasama dalam bidang civilan

high tech, termasuk dalam bidang perminyakan.

Khusus mengenai penjualan senjata dan transfer teknologi, China adalah

pasar penting bagi senjata Rusia. Dalam beberapa tahun terakhir, empat puluh

persen dari ekspor senjata Rusia dikonsumsi oleh China dengan nilai sekitar US$

1 milyar per tahun. Sementara data lain menunjukkan bahwa nilai ekspor senjata

Rusia yang dikonsumsi China sebesar US$ 2 milyar per tahun. Dilaporkan bahwa

kedua negara pada tahun 1999 telah menandatangani paket penjualan militer dan

antara tahun 2000 dan 2004 bernilai US$ 20 milyar. Dalam kerjasama tersebut,

Rusia melakukan transfer pengetahuan tentang desain hulu ledak dan teknologi

sistem pemandu AS.

Transfer teknologi demikian merupakan kunci keberhasilan bagi

upgrading potensi militernya. China dan Rusia telah memiliki mekanisme bagi

transfer teknologi dan intelegence sharing. Rusia bahkan mengijinkan China

menggunakan sistem GPS Rusia yang dikenal dengan GLNASS. Demikian pula

real time satelite imagery dipasok Rusia ke China. Pada dasarnya, kerjasama di

bidang persenjataan dan transfer teknologi China dan Rusia adalah simbiosis.

Melalui kerjasama ini, China mendapatkan kemampuan untuk menandingi AL

dan kekuatan udara AS, juga dapat mempertahankan kelangsungan industri

pertahanannya melalui dana hasil penjualan senjata China dan juga dapat

memodernisasi angkatan bersenjatanya.

Pada 15 Juni 2001, Presiden Jiang Zemin dan Presiden Vladimir Putin

beserta negara Asia Tengah lainnya membentuk SCO sebagai peningkatan

hubungan yang telah terjalin lewat Shanghai Five.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 110: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

96

Universitas Indonesia

Dilatarbelakangi atas dasar faktor geopolitik, ekonomi dan militer yang

sangat komplek dan melibatkan pertimbangan yang serius diantara kedua negara,

peningkatan hubungan Sino-Rusia ini merupakan sinyal pada dunia Barat, AS

khususnya, untuk mempertimbangkan kembali langkah-langkah unilateralnya di

Asia Tengah.

Eksistensi Rusia dan China dalam SCO pada dasarnya dipandang sebagai

simbol kebesaran SCO sebagai organisasi regional, sehingga begaimanapun kedua

negara itu merupakan penentu dalam merealisasikan misinya. Untuk itu tidak

mengherankan bila srtategi multipolar SCO banyak diwarnai oleh kedua negara

besar ini. Dalam berbagai media massa internasioanl nampak China dan Rusia

sering menyebut hegemoni AS dan kekuatan politik AS sebagai wujud

pembentukan tata baru internasional dibawah kendali PBB. Dalam

perkembangannya China dan Rusia telah memulai mengadakan kerjasama latihan

militer besar-besaran yang dimulai pada tahun 1999.

Realitas ini membuktikan bahwa baik China maupun Rusia senantiasa

berusaha membangun kekuatan besar dan berusaha meyakinkan kepada anggota

SCO lainnya di Asia Tengah bahwa dalam melihat masalah keamanan regional

harus dilakukan melalui aliansi diantara mereka. Hal ini digambarkan Rusia

kepada kelompok regionalnya bahwa saat ini ada indikasi ancaman NATO

terhadap perluasannya yang mengarah ke Timur. Sehingga harus dihadapi secara

hati-hati, begitupula munculnya aktifitas kelompok radikal di Chechnya yang

melingkupi aliansi Moskow dan Asia Tengah sehingga penting untuk saling

mengimbangi dan memberikan jaminan keamanan terhadap kedaulatan masing-

masing negara.

Disamping itu, China telah menjelaskan bahwa adanya dominasi AS

setelah berakhirnya Perang Dingin dan keberhasilannya dalam Perang Teluk serta

dukungannya terhadap keamanan Taiwan dapat menjadi ancaman yang serius di

kawasan sehingga diharapkan negara-negara anggota SCO senantiasa membangun

kekuatan ekonomi melalui berbagai kerjasama perdagangan dalam upaya

menghadapi kekuatan ekonomi Barat dan Jepang yang kini berkembang dengan

pesatnya dan seringkali juga diskriminatif serta tidak seimbang.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 111: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

97

Universitas Indonesia

Secara konkrit, pada bulan Agustus 2005, Rusia dan China juga

menyelenggarakan latihan bersama untuk pertama kalinya selama lebih dari 40

tahun ini. Meskipun dikatakan bahwa latihan ini merupakan latihan anti terorisme,

namun didalamnya juga ternasuk kombinasi senjata pertahanan melawan kekuatan

angkatan musuh konvensional yang besar. Banyak yang meragukan akan latihan

ini diperuntukkan bagi hanya perlawanan terhadap teroris karena latihan ini

dianggap juga sebagai usaha perlawanan untuk campur tangan AS diwilayah

teritorial mereka.

Peran SCO ini juga terlihat dari apa yang dilakukan Uzbekistan terhadap

kehadiran pasukan AS di negaranya. Uzbekistan pada tanggal 31 Juli 2005

akhirnya membatalkan perjanjian yang telah dibuat dengan AS mengenai

pangkalan militer AS di negaranya. Uzbekistan meminta AS untuk menutup

pangkalan militernya dan hal itu terealisasikan pada tanggal 21 November 2005

dimana tantara AS meninggalkan dan keluar dari Uzbekistan.

Contoh lainnya adalah banyaknya analis yang mengatakan bahwa Presiden

Uzbekistan, Islam Karimov adalah orang yang mengatur terjadinya demonstrasi

anti AS yang menyatakan penolakan mereka akan kehadiran AS untuk

menyelidiki Peristiwa Andijon tahun 2005. Anggota SCO lainnya juga

menunjukkan dukungan yang besar akan langkah yang dilakukan oleh Karimov

dalam menangani Peristiwa Andijon tersebut dimana China serta Rusia juga

mendukung akan penurunan hubungan yang terjadi antara Uzbekistan-AS.

Selain penjualan senjata, latihan militer bersama China – Rusia juga

diselenggarakan pada tanggal 18-25 Agustus 2006 di Valdiostok meliputi

military-political consultations, latihan yang dilaksanakan didaerah teritorial

China yaitu di wilayah Shandong dan Laut Kuning. Pada tanggal 20-23 Agustus,

latihan militer untuk aspek komando dan koordinasi dalam peperangan. Tahap

yang terakhir, pada 24-25 Agustus, latihan difokuskan pada penyelenggaraan

blokade militer, penyerangan ampibi, latihan penerbangan pesawat tempur dan

operasi penyerangan yang ditunjukkan untuk memasuki daerah lawan.

Sejumlah 70 kapal laut dan kapal selam digunakan dalam latihan ini

beserta 10.000 personil militer. Anggota militer Rusia berjumlah 1.800 personil

dan sisanya merupakan personil militer China. Kekuatan Laut ini terdiri dari 10

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 112: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

98

Universitas Indonesia

kapal dengan armada yang tempatkan di Pasifik, termasuk 100 orang infantri laut.

Sementara itu kekuatan Udara berjumlah lebih dari 20 pesawat buatan Rusia

dimana dua diantaranya yaitu Tu-95MS BEAR adalah pesawat pembom strategis,

4 buah pesawat Tu-22M3 BACKFIRE yang merupakan pesawat pembom jarak

jauh, pesawat pembom Su-24M2 FENCER, pesawat penyerang Su-27SM

Flanker, pesawat transportasi II-76 CANDID, satu pesawat pengontrol dan

penjaga A-50 MAINSTAY dan pesawat pengisi bahan bakar di udara, II-78

MIDAS beserta 100 personilnya termasuk juga peralatan penyerangan udara yaitu

12 BMD dan BTRD. China berpartisipasi dalam latihan ini dengan membawa

sekitar 8000 personil yang meliputi insinyur, pesawat anti-altileri dan unit

komunikasi, pesawat tempur, senjata khusus dan tank-tank batalion, infanteri

mekanik dan altileri serta 60 kapal laut dan kapal selam.

Sebelumnya baik pasukan udara Rusia dan China telah melakukan latihan

bersama. Begitu terlihat bahwa China sangat ingin belajar dari tentara-tentara

udara Rusia. Operasi kedua negara sejauh ini memperlihatkan hubungan yang

baik dan berjalan dengan baik karena kedua negara ini menggunakan peralatan

yang sama. Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Ivanov menyatakan bahwa pesawat

pembom strategis Rusia dapat digunakan untuk melawan teroris seperti juga

dalam hal mencegah serangan di manapun di dunia ini.

Walaupun kehadiran pasukan AS di kawasan ketika ingin menginvasi Irak

telah mendapat persetujuan Presiden Putin, kelanjutan penempatan kekuatan AS

di kawasan tampaknya mengarah pada stategi jangka panjang AS daripada untuk

keperluan militer sesaat. Dan hal ini tentu saja memalukan dan secara strategi

mengancam Rusia dan juga China

Strategi kerjasama regional SCO selain menjalankan konsep saling

mendukung (mutual support) diantara mereka dalam menciptakan keamanan

kooperatif regional, terdapat konsep dan strategi mendasar yang menjadi agenda

bagi tujuan utama organisasi tersebut. Dalam Deklarasi Shanghai, secara eksplisit

telah ditegaskan berbagai penekanan tentang betapa pentingnya pembentukan

sebuah dunia multipolar sebagai jalan menuju pembangunan bersama dikawasan.

Strategi multipolar sesungguhnya merupakan kode blok diplomatik yang

digunakan oleh Rusia dan China serta empat negara anggota SCO untuk

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 113: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

99

Universitas Indonesia

menghadang pengaruh AS di dunia. Negara-negara anggota SCO berpendapat

bahwa pengaruh AS harus diimbangi secara rasional sehingga tidak meluas dan

tidak merintangi kepentingan bersama regional dari kekuatan yang cenderung

merugikan dan menimbulkan disparitas bagi negara-negara berkembang.

Negara-negara SCO juga berpendapat bahwa “hegemoni dan politik”

kekuatan telah muncul kembali dalam bentuk dan wajah baru yang disebut

sebagai “neo-intervensionisme” sehingga harus dihadapi secara bersama sesuai

konvergensi dan kapabilitas masing-masing. Kondisi ini mendorong menguatnya

kesamaan persepsi tentang perlunya menciptakan dunia multipolar ketimbang

hanya didominasi oleh Barat khususnya blok AS dan sekutunya dengan

mengabaikan mekanisme dewan keamanan PBB.

Dari faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, tampak jelas bahwa

pembentukan organisasi SCO merupakan bagian dari kemitraan strategis Rusia

dengan China dalam upaya melakukan balancing terhadap ancaman yang

diberikan AS di kawasan Asia Tengah, khususnya faktor proximate power dimana

AS melakukan sphere of influence, baik secara bilateral maupun lewat program

NATO ke negara-negara bekas Uni Soviet seperti di kawasan Eropa Barat yang

menandakan bergesernya garis pertahanan NATO dari Eropa Barat ke Eropa

Timur, dan berbagai bentuk kerjasama dengan negara-negara di Asia Tengah yang

tentunya mengancam Rusia dan China baik dari lingkup geopolitik, ekonomi dan

juga keamanan; Aggregate power dan Offensive Power juga ditunjukkan dengan

peningkatan kekuatan persenjataa dan personil militer siap perang dan anggaran

militer NATO bersamaan dengan bertambahnya jumlah negara anggota NATO;

dan juga offensive intention yang diberikan AS dengan kerjasama militer dan

kemitraan strategis yang dijalin dengan negara-negara bekas Uni Soviet tersebut,

seperti menjamin dengan penuh keamanan terhadap ancaman keamanan

Tajikistan dan membantu Georgia dalam perang tahun 2008.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 114: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

100

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

I. DOKUMEN

“Charter of Shanghai Cooperation Organization”. http://www.sectsco.org

“Declaration on the Fifth Anniversary of the SCO”.

http://www.sectsco.org

“The Shanghai Convention on Combating Terorism, Separatism and

Extremism”. http://www.sectsco.org

“Treaty on Long Term Good-Neigborliness, Friendship & Cooperation

Between the Member States of the SCO”. http://www.sectsco.org

II. BUKU

Bobo Lo, Vladimir Putin and the Evolution of Russian Foreign Policy,

London and Oxford: Royal Institute of International

affairs/Blackwell, 2003

Hantington, Samuel, The Clash of Civilizations and the Remaking of

World Order, (New York: Simon and Schuster, 1996)

International Institute for Strategic Studies (IISS), Annual Assessment of

Global Military Capabilities and Defense Economics, (London,

Military Balance 2009)

Kegley Jr, Charles W., & Wittkopf, Eugene R., World Politics : Trend and

Transformation, (New York, St. Martin Press, 1997)

Legvold, Robert, Great Power Stakes In Central Asia, Cambrige, MA and

London: American Academy of Arts and Sciences/MIT Press, 2003

Mearsheimer, John J., The Tragedy of Great Power Politic, (New York :

W.W.Norton & Company Ltd, 2001)

Singarimbun, Masri, Metode dalam Proses Penelitian. Dalam Masri

Singarimbun dan Sofian Effendi, ed. Metode Penelitian Survei

Edisi Revisi. (Jakarta, LP3ES, 1989)

Sriyono, A. Agus, Trans-Atlantik Di Simpang Jalan : Percikan Pemikiran

Diplomat Muda, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004

Steans, Jill., & Pettiford, Lloyd, International Relations : Perspectives and

Themes, (England, Pearson Education Limited, 2001)

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 115: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

101

Universitas Indonesia

III. JURNAL ILMIAH

“Kyrgistan: A Faltering State”, ICG, Asia Report, No.109, 16 Desember

2005

“Turkmenistan Leader Orders More Money for Oil, Gas Prospecting amid

Doubts Over Reserves”, Associated Press, 7 Agustus 2006

Beijing Review 39, “Joint Statement by the People’s Republic of China

and the Russian Federation”, 13 Mei 1996

Beijing Review Vol.35, “China in the Future”, 26 Oktober – 1 November

1992

Blank, Stephen J., “The NATO-Russia Partnership : A Marriage of

Convenience or A Troubled Relationship?”, Strategic Studies,

November 2006

Bobo Lo, “Axis of Convenience: Moscow, Beijing and the New

Geopolitics”, Royal Institute of International Affairs, London, 2008

Bohr, Annette, “Regionalism in Central Asia: New Geopolitics, Old

Regional Order”, International Affairs Vol. 80, No. 3, hlm.1 dalam

Regionalism and the Changing International Order in Central

Eurasia (May, 2004)

Chandrawati, Nurani, “Penggabungan Eropa Tengah dan Timur kedalam

Uni Eropa : Analisis Dampak Bagi Indonesia” Jurnal Luar Negeri

(Eropa Tengah dan Timur Bagi Indonesia) BPPK Kemlu, 2004

Chien-peng Chung, “the Shanghai Cooperation Organization: China’s

Changing Influence in Central Asia,” The China Quarterly No.180

(Des,2004)

Chufrin, Gennady, “the Changing Security Model in Post Soviet”, Central

Asia Connections, Vol. II No.1, March 2003

D. Kraemer, Thomas. “Addicted To Oil : Strategic Implications of

American Oil Policy”, Strategic Studies, May 2006

Frank Ching, “Sino-Russian Pact a Good Sign”, Far Eastern Economic

Review, 23 May 1996

Holloway, Nigel,”Brother in Arms: The U.S. Worries about Sino-Russian

Military Cooperation,” Far Eastern Economic Review, 13 March

1997

Hyman, Anthony, “Moving Out Of Moscows’s Orbit: The Outlook For

Central Asia”, International Affairs (Royal Institute of International

Affairs 1994), Vol.69, No.2 (April 1993)

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 116: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

102

Universitas Indonesia

Macfarlane, S. Neil, “Regionalism and the Changing International Order

in Central Eurasia”, International Affairs, Vol. 80, No. 3 (May,

2004), (Royal Institute of International Affairs 1944-)

MacFarlane, S. Neil, “The United States and Regionalism in Central

Asia”, International Affairs (Royal Institue of International Affairs

1944), Vol. 80, No.3

Miller, H. Lymana, “How’s Hu Doing?”, Hoover Digest, 2004, No.1,

Winter Issue

Nation, R. Craig, “U.S. Interests in The New Eurasia”, Strategic Studies,

November 2007

Russett, Bruce, dan Stam, Allan C., “Courting Disaster: An Expanded

NATO vs. Russia and China”, Political Science Quaterly, Vol. 113,

No.3 (Autum, 1998)

Saez, Lawrence. “US Policy and Energy Security in South Asia :

Economic Prospects and Strategic Implications”, Asian Survey,

Vol. 47, No. 4 (July/August 2007)

Suettinger, Robert, “The Rise and Descent of Peaceful Rise”, China

Leadership Monitor, 2004, No.12

Trenin, Dmitri, “Russia’s Threat Perception an Strategic Posture”.

Strategic Studies. November 2007

US Department of Defense, “Military power of the People’s Republic of

China”, Annual Report to Congress, 2006

Walt, Stephen N., “Alliance Formation and the Balance of World Power”,

International Security, Vol. 9 No. 4 (Spring, 1985)

Wishnick, Elizabeth, “Russia and China: Brother Again?”, Asian Survey,

Vol. 41, No. 5 (Sep.-Oct., 2001)

IV. TESIS

Oftasari, Devi, “Dukungan AS Terhadap Georgia Dalam Konflik Rusia-

Georgia”, Tesis, FISIP UI, Juni 2011

Purnihastuti, Fitria, “Strategi Keamanan dan Energi Cina di Asia Tengah

(2000-2006)”, Tesis, FISIP UI, 2008

Santiko, Utaryo, “Kebijakan Luar Negeri Republik Federasi Rusia (2001-

2007): Studi Kasus mengenai Kebijakan Luar Negeri Rusia dalam

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 117: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

103

Universitas Indonesia

mendorong Pembentukan Shanghai Cooperation Organization”,

Tesis, FISIP UI, 2008

V. SUMBER INTERNET

“Central Asia : Between Hope and Disilussion”, BNP paribas

Conjuncture, 20 April 2006. Diakses dari www.akipress.org

“Perjanjian CFE” yang diakses melalui http://first.sipri.org

“The Goverment of the Xinjiang Uygur Autonomous Region” website,

Januari 2006,

http://www.xinjiang.gov.cn/1$002$013/352.jsp?articleid=2006-1-

3-0003 diakses pada Maret 12 2010

“Turkmenistan after Niyazov”, Crisis Group Asia Briefing, No.55, 12

Februari 2007. Diakses pada

http://www.transkaukasusisue/turkmenistan/5649/html

Ariel, Cohen, “US Interest in Central Asia”, diakses dari

http://www.idea.tr.com/secmeler/abd/us_interest_in_central_asia.ht

m pada 3 Januari 2010

Crisis Group Report, Atyrau, 8 Oktober 2006. Diakses dari

www.crisisgroup.org

Dubovitsky, V., “The Tajik-Chinese Relations: The Period Of Woriness

Over, The Era Of Cooperation Begins”, January 30, 2007. Diakses

pada http://enews.ferghana.ru/article.php?id=1810. Februari 06,

2010

http://www.pipa.org/onlinereport/china/china_Mar05_rpt.pdf

Maitras, Ramtani, “Remarking Central Asia”, Asia Times. Diakses dari

http://www.asiatimes.com/asiatimes/Central_asia?GE27ago01.html

pada 27 Mei 2009

Minister of Industry’s statement, “The Development Of The Economic

Relations Between Kyrgyzstan”, AKI-Press, June 23, 2006, di

akses dari http://www.akipress.org/news/29316, Maret 14 2010

SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute)

http://first.sipri.org

The USEIA report, diakses dari http://useia/report/2006/980efg/html

Weinrod, W. Bruce and Barry, Charles L., “NATO Command Structure

Considerations For the Future” Center for Technology and National

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 118: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

104

Universitas Indonesia

Security Policy, National Defense university, 2010. Diunduh dari

http://www.ndu.edu/CTNSP/docUploaded/DTP%2075%20NATO

%20Command%20Structure.pdf

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 119: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

105

Universitas Indonesia

Bishkek Declaration of the Heads of the Member States of the Shanghai Cooperation

Organisation

2007-8-16

The heads of the member states of the Shanghai Cooperation Organisation (hereinafter

referred to as the SCO or the Organisation) – the Republic of Kazakhstan, the People’s

Republic of China, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation, the Republic of Tajikistan

and the Republic of Uzbekistan, guided by united or similar approaches to the key problems

of modernity, during a meeting of the Council of Heads of SCO Member States on 16 August

2007 in Bishkek state as follows:

The fast evolving process of globalisation adds to the interdependence of states, as a result

their security and development become interconnected. Modern challenges and threats can be

effectively counteracted through concerted efforts of the international community on the basis

of agreed principles and in the framework of multilateral mechanisms. Unilateral action

cannot resolve the existing problems.

An effective global security system can only be built under the auspices of the UN and in

strict accordance with its Charter.

Cooperation in counteracting new challenges and threats must be conducted in a consistent

manner, without resorting to double standards, in strict observance of norms of the

international law.

The international security agenda must not exclude such tasks as ensuring the stability of

world economy, reduction of poverty, evening up the social and economic development level,

maintaining the economic, environmental, energy, informational security, as well as

protection of the population and territories of the member states of the Organisation against

natural and technological disasters.

The SCO member states advocate creation of a security structure on the basis of generally

accepted norms of the international law that will:

- reflect the balance of interests of all subjects of international relations;

- guarantee the right of every state to choose independently its way of development based

on its unique historical experience and national features, to protect its state integrity and

national dignity, to participate equally in international affairs;

- ensure the settlement of international and regional conflicts and crises through political

and diplomatic means in strict accordance with principles and norms of the international law

and with consideration of legitimate interests of all parties concerned;

- preserve the diversity of cultures and civilisations, encourage implementation of initiatives

aimed at deepening of dialogue among civilisations and religions.

The SCO member states are determined to interact closely on tackling the issues of the UN

reform. The reform of the pan global organisation, first and foremost its Security Council,

must gain as much wider consensus of its members. Successful cooperation in this field is a

key to genuine realisation of the aspiration of all the SCO member states towards

comprehensive strengthening of the authority of the UN and reaffirming the central position

of the Security Council in the field of protecting international peace and security.

The SCO member states consistently stand up for strengthening strategic stability, non-

proliferation of weapons of mass destruction, and consider it an important and urgent step to

draft an international legal document on preventing the deployment of weapons in outer space,

use of force or the threat of using force against space objects.

The heads of state note the significance of approval of the Central Asia Nuclear-Weapon-

Free Zone Treaty (Semipalatinsk, 8 September 2006) and welcome the adoption of the

respective resolution at the 61st session of the UN General Assembly, which highly values the

contribution of Central Asian states to the cause of consolidating the regime of nuclear non-

proliferation, advancing cooperation on peaceful use of nuclear energy, as well as

strengthening the international and regional peace and security.

The heads of state support the efforts of the participating states of the Central Asia Nuclear-

Weapon-Free Zone Treaty on concluding a Protocol on Security Guarantees with the nuclear-

weapon states, which would ensure genuine existence of a nuclear free zone in the region.

Being aware of the stimulating effect the rapid development and massive use of information

technology is having on the social progress of humanity, the SCO member states express

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 120: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

106

Universitas Indonesia

concern over the threat of using it for purposes inconsistent with the tasks of protecting

international stability and security.

The SCO member states stand ready to develop cooperation and step up joint efforts on

strengthening international information security in all aspects.

The heads of state believe that stability and security in Central Asia can be provided first

and foremost by the forces of the region’s states on the basis of international organisations

already established in the region.

The member states stress the need for collective efforts on counteracting new challenges

and threats. They highly rate the activity of the SCO Regional Antiterrorist Structure and

believe that it possesses a significant potential for further enhancement of interaction in the

fight against terrorism, separatism and extremism.

Expressing concern over the threat of narcotics coming from Afghanistan and its negative

effect on Central Asia, the heads of state call for consistent strengthening of anti-narcotics

cooperation in the framework of the Organisation, combining international efforts on the

creation of anti-narcotics belts around Afghanistan. The SCO member states stand ready to

participate in the efforts to normalise the political situation in Afghanistan, to develop

economic cooperation with the country. The activity of the SCO – Afghanistan Contact Group

will intensify.

The heads of the SCO member states note the important role of energy sector as a basis for

steady economic growth and security, and attach special significance to strengthening

interaction in this direction. Reliable and mutually beneficial partnership in various fields of

energy sector will help strengthen the security and stability across the SCO region and the

wider world alike. Comparison of energy strategies in the SCO framework is a pressing task.

Considering the current resources, demand, capabilities and the potential, the SCO member

states will continue to promote dialogue on energy issues and practical cooperation among

energy-producing, transit and consumer states.

The SCO member states reaffirm their commitment to provide mutual practical assistance

in implementation of the national economic development programmes.

The SCO member states reiterate that the Organisation is open for interaction with all interested

partners based on the international law and generally accepted norms of international relations

with the aim of finding mutually acceptable solutions for the pressing problems of modernity.

2007

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 121: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

107

Universitas Indonesia

Charter of the Shanghai Cooperation Organization

2009-5-7

The People's Republic of China, the Republic of Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the

Russian Federation, the Republic of Tajikistan and the Republic of Uzbekistan being the founding

states of the Shanghai Cooperation Organization (hereinafter SCO or the Organization),

Based on historically established ties between their peoples;

Striving for further enhancement of comprehensive cooperation;

Desiring to jointly contribute to the strengthening of peace and ensuring of security and

stability in the region in the environment of developing political multipolarity and economic and

information globalization;

Being convinced that the establishment of SCO will facilitate more efficient common use of

opening possibilities and counteracting new challenges and threats;

Considering that interaction within SCO will promote the realization of a huge potential of

goodneighborliness, unity and cooperation between States and their peoples;

Proceeding from the spirit of mutual trust, mutual advantage, equality, mutual consultations,

respect for cultural variety and aspiration for joint development that was clearly established at the

meeting of heads of six States in 2001 in Shanghai;

Noting that the compliance with the principles set out in the Agreement between the People's

Republic of China, the Republic of Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation and

the Republic of Tajikistan on Strengthening Confidence in the Military Field in the Border Area of

26 April, 1996, and in the Agreement between the People's Republic of China, the Republic of

Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation and the Republic of Tajikistan on

Mutual Reductions of Armed Forces in the Border Area of 24 April , 1997, as well as in the

documents signed at summits of heads of the People's Republic of China, the Republic of

Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation, the Republic of Tajikistan and the

Republic of Uzbekistan in the period from 1998 to 2001, has made an important contribution to

the maintenance of peace, security and stability in the region and in the world;

Reaffirming our adherence to the goals and principles of the Charter of the United Nations,

other commonly acknowledged principles and rules of international law related to the maintenance

of international peace, security and the development of goodneighborly and friendly relations, as

well as the cooperation between States;

Guided by the provisions of the Declaration on the Creation of the Shanghai Cooperation

Organization of 15 June, 2001,

Have agreed as follows:

Article 1

Goals and Tasks The main goals and tasks of SCO are:

to strengthen mutual trust, friendship and goodneighborliness between the member States;

to consolidate multidisciplinary cooperation in the maintenance and strengthening of peace,

security and stability in the region and promotion of a new democratic, fair and rational political

and economic international order;

to jointly counteract terrorism, separatism and extremism in all their manifestations, to fight

against illicit narcotics and arms trafficking and other types of criminal activity of a transnational

character, and also illegal migration;

to encourage the efficient regional cooperation in such spheres as politics, trade and

economy, defense, law enforcement, environment protection, culture, science and technology,

education, energy, transport, credit and finance, and also other spheres of common interest;

to facilitate comprehensive and balanced economic growth, social and cultural development

in the region through joint action on the basis of equal partnership for the purpose of a steady

increase of living standards and improvement of living conditions of the peoples of the member

States;

to coordinate approaches to integration into the global economy;

to promote human rights and fundamental freedoms in accordance with the international

obligations of the member States and their national legislation;

to maintain and develop relations with other States and international organizations;

to cooperate in the prevention of international conflicts and in their peaceful settlement;

to jointly search for solutions to the problems that would arise in the 21st century.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 122: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

108

Universitas Indonesia

Article 2

Principles The member States of SCO shall adhere to the following principles:

mutual respect of sovereignty, independence, territorial integrity of States and inviolability of

State borders, non-aggression, non-interference in internal affairs, non-use of force or threat of its

use in international relations, seeking no unilateral military superiority in adjacent areas;

equality of all member States, search of common positions on the basis of mutual

understanding and respect for opinions of each of them;

gradual implementation of joint activities in the spheres of mutual interest;

peaceful settlement of disputes between the member States;

SCO being not directed against other States and international organizations;

prevention of any illegitimate acts directed against the SCO interests;

implementation of obligations arising out of the present Charter and other documents

adopted within the framework of SCO, in good faith.

Article 3

Areas of Cooperation The main areas of cooperation within SCO shall be the following:

maintenance of peace and enhancing security and confidence in the region;

search of common positions on foreign policy issues of mutual interest, including issues

arising within international organizations and international fora;

development and implementation of measures aimed at jointly counteracting terrorism,

separatism and extremism, illicit narcotics and arms trafficking and other types of criminal activity

of a transnational character, and also illegal migration;

coordination of efforts in the field of disarmament and arms control;

support for, and promotion of regional economic cooperation in various forms, fostering

favorable environment for trade and investments with a view to gradually achieving free flow of

goods, capitals, services and technologies;

effective use of available transportation and communication infrastructure, improvement of

transit capabilities of member States and development of energy systems;

sound environmental management, including water resources management in the region, and

implementation of particular joint environmental programs and projects;

mutual assistance in preventing natural and man-made disasters and elimination of their

implications;

exchange of legal information in the interests of development of cooperation within SCO;

development of interaction in such spheres as science and technology, education, health care,

culture, sports and tourism.

The SCO member States may expand the spheres of cooperation by mutual agreement.

Article 4

Bodies 1. For the implementation of goals and objectives of the present Charter the following

bodies shall operate within the Organization:

The Council of Heads of State;

The Council of Heads of Government (Prime Ministers);

The Council of Ministers of Foreign Affairs;

Meetings of Heads of Ministries and/or Agencies;

The Council of National Coordinators;

The Regional Counter-terrorist Structure;

Secretariat.

2. The functions and working procedures for the SCO bodies, other than the Regional

Counter-terrorist Structure, shall be governed by appropriate provisions adopted by the Council of

Heads of State.

3. The Council of Heads of State may decide to establish other SCO bodies. New bodies

shall be established by the adoption of additional protocols to the present Charter which enter into

force in the procedure, set forth in Article 21 of this Charter.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 123: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

109

Universitas Indonesia

Article 5

The Council of Heads of State The Council of Heads of State shall be the supreme SCO body. It shall determine priorities

and define major areas of activities of the Organization, decide upon the fundamental issues of its

internal arrangement and functioning and its interaction with other States and international

organizations, as well as consider the most topical international issues.

The Council shall hold its regular meetings once a year. A meeting of the Council of Heads

of State shall be chaired by the head of State organizing this regular meeting. The venue of a

regular meeting of the Council shall generally be determined in the Russian alphabetic order of

names of the SCO member States.

Article 6

The Council of Heads of Government (Prime Ministers) The Council of Heads of Government (Prime Ministers) shall approve the budget of the

Organization, consider and decide upon major issues related to particular, especially economic,

spheres of interaction within the Organization.

The Council shall hold its regular meetings once a year. A meeting of the Council shall be

chaired by the head of Government (Prime Minister) of the State on whose territory the meeting

takes place.

The venue of a regular meeting of the Council shall be determined by prior agreement among

heads of Government (Prime Ministers) of the member States.

Article 7

The Council of Ministers of Foreign Affairs The Council of Ministers of Foreign Affairs shall consider issues related to day-to-day

activities of the Organization, preparation of meetings of the Council of Heads of State and

holding of consultations on international problems within the Organization. The Council may, as

appropriate, make statements on behalf of SCO.

The Council shall generally meet one month prior to a meeting of the Council of Heads of

State. Extraordinary meetings of the Council of Ministers of Foreign Affairs shall be convened on

the initiative of at least two member States and upon consent of ministers of foreign affairs of all

other member States. The venue of a regular or extraordinary meeting of the Council shall be

determined by mutual agreement.

The Council shall be chaired by the minister of foreign affairs of the member State on whose

territory the regular meeting of the Council of Heads of State takes place, during the period

starting from the date of the last ordinary meeting of the Council of Heads of State to the date of

the next ordinary meeting of the Council of Heads of State.

The Chairman of the Council of Ministers of Foreign Affairs shall represent the Organization

in its external contacts, in accordance with the Rules of Procedure of the Council.

Article 8

Meetings of Heads of Ministries and/or Agencies According to decisions of the Council of Heads of State and the Council of Heads of

Government (Prime Ministers) heads of branch ministries and/or agencies of the member States

shall hold, on a regular basis, meetings for consideration of particular issues of interaction in

respective fields within SCO.

A meeting shall be chaired by the head of a respective ministry and/or agency of the State

organizing the meeting. The venue and date of a meeting shall be agreed upon in advance.

For the preparation and holding meetings the member States may, upon prior agreement,

establish permanent or ad hoc working groups of experts which carry out their activities in

accordance with the regulations adopted by the meetings of heads of ministries and/or agencies.

These groups shall consist of representatives of ministries and/or agencies of the member States.

Article 9

The Council of National Coordinators The Council of National Coordinators shall be a SCO body that coordinates and directs day-

to-day activities of the Organization. It shall make the necessary preparation for the meetings of

the Council of Heads of State, the Council of Heads of Government (Prime Ministers) and the

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 124: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

110

Universitas Indonesia

Council of Ministers of Foreign Affairs. National coordinators shall be appointed by each member

State in accordance with its internal rules and procedures.

The Council shall hold its meetings at least three times a year. A meeting of the Council shall

be chaired by the national coordinator of the member State on whose territory the regular meeting

of the Council of Heads of State takes place, from the date of the last ordinary meeting of the

Council of Heads of State to the date of the next ordinary meeting of the Council of Heads of

State.

The Chairman of the Council of National Coordinators may on the instruction of the

Chairman of the Council of Ministers of Foreign Affairs represent the Organization in its external

contacts, in accordance with the Rules of Procedure of the Council of National Coordinators.

Article 10

Regional Counter-Terrorist Structure The Regional Counter-terrorist Structure established by the member States of the Shanghai

Convention to combat terrorism, separatism and extremism of 15 June, 2001, located in Bishkek,

the Kyrgyz Republic, shall be a standing SCO body.

Its main objectives and functions, principles of its constitution and financing, as well as its

rules of procedure shall be governed by a separate international treaty concluded by the member

States, and other necessary instruments adopted by them.

Article 11

Secretariat Secretariat shall be a standing SCO administrative body. It shall provide organizational and

technical support to the activities carried out in the framework of SCO and prepare proposals on

the annual budget of the Organization.

The Secretariat shall be headed by the Executive Secretary to be appointed by the Council of

Heads of State on nomination by the Council of Ministers of Foreign Affairs.

The Executive Secretary shall be appointed from among the nationals of member States on a

rotational basis in the Russian alphabetic order of the member States' names for a period of three

years without a right to be reappointed for another period.

The Executive Secretary deputies shall be appointed by the Council of Ministers of Foreign

Affairs on nomination by the Council of National Coordinators. They cannot be representatives of

the State from which the Executive Secretary has been appointed.

The Secretariat officials shall be recruited from among nationals of the member States on a

quota basis.

The Executive Secretary, his deputies and other Secretariat officials in fulfilling their official

duties should not request or receive instructions from any member State and/or government,

organization or physical persons. They should refrain from any actions that might affect their

status as international officials reporting to SCO only.

The member States shall undertake to respect the international character of the duties of the

Executive Secretary, his deputies and Secretariat staff and not to exert any influence upon them as

they perform their official functions.

The SCO Secretariat shall be located at Beijing (the People's Republic of China).

Article 12

Financing SCO shall have its own budget drawn up and executed in accordance with a special

agreement between member States. This agreement shall also determine the amount of

contributions paid annually by member States to the budget of the Organization on the basis of a

cost-sharing principle.

Budgetary resources shall be used to finance standing SCO bodies in accordance with the

above agreement. The member States shall cover themselves the expenses related to the

participation of their representatives and experts in the activities of the Organization.

Article 13

Membership The SCO membership shall be open for other States in the region that undertake to respect

the objectives and principles of this Charter and to comply with the provisions of other

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 125: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

111

Universitas Indonesia

international treaties and instruments adopted in the framework of SCO.

The admission of new members to SCO shall be decided upon by the Council of Heads of

State on the basis of a representation made by the Council of Ministers of Foreign Affairs in

response to an official request from the State concerned addressed to the acting Chairman of the

Council of Ministers of Foreign Affairs.

SCO membership of a member State violating the provisions of this Charter and/or

systematically failing to meet its obligations under international treaties and instruments,

concluded in the framework of SCO, may be suspended by a decision of the Council of Heads of

State adopted on the basis of a representation made by the Council of Ministers of Foreign Affairs.

If this State goes on violating its obligations, the Council of Heads of State may take a decision to

expel it from SCO as of the date fixed by the Council itself.

Any member State shall be entitled to withdraw from SCO by transmitting to the Depositary

an official notification of its withdrawal from this Charter no later than twelve months before the

date of withdrawal. The obligations arising from participation in this Charter and other instruments

adopted within the framework of SCO shall be binding for the corresponding States until they are

completely fulfilled.

Article 14

Relationship with Other States and International Organizations SCO may interact and maintain dialogue, in particular in certain areas of cooperation, with

other States and international organizations.

SCO may grant to the State or international organization concerned the status of a dialogue

partner or observer. The rules and procedures for granting such a status shall be established by a

special agreement of member States.

This Charter shall not affect the rights and obligations of the member States under other

international treaties in which they participate.

Article 15

Legal Capacity As a subject of international law, SCO shall have international legal capacity. It shall have

such a legal capacity in the territory of each member State, which is required to achieve its goals

and objectives.

SCO shall enjoy the rights of a legal person and may in particular:

- conclude treaties;

- acquire movable and immovable property and dispose of it;

- appear in court as litigant;

- open accounts and have monetary transactions made.

Article 16

Decisions-Taking Procedure The SCO bodies shall take decisions by agreement without vote and their decisions shall be

considered adopted if no member State has raised objections during the vote (consensus), except

for the decisions on suspension of membership or expulsion from the Organization that shall be

taken by "consensus minus one vote of the member State concerned".

Any member State may expose its opinion on particular aspects and/or concrete issues of the

decisions taken which shall not be an obstacle to taking the decision as a whole. This opinion shall

be placed on record.

Should one or several member States be not interested in implementing particular

cooperation projects of interest to other member States, non‑participation of the abovesaid

member States in these projects shall not prevent the implementation of such cooperation projects

by the member States concerned and, at the same time, shall not prevent the said member States

from joining such projects at a later stage.

Article 17

Implementation of Decisions The decisions taken by the SCO bodies shall be implemented by the member States in

accordance with the procedures set out in their national legislation.

Control of the compliance with obligations of the member States to implement this Charter,

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 126: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

112

Universitas Indonesia

other agreements and decisions adopted within SCO shall be exercised by the SCO bodies within

their competence.

Article 18

Permanent Representatives In accordance with their domestic rules and procedures, the member States shall appoint their

permanent representatives to the SCO Secretariat, which will be members of the diplomatic staff

of the embassies of the member States in Beijing.

Article 19

Privileges and Immunities SCO and its officials shall enjoy in the territories of all member States the privileges and

immunities which are necessary for fulfilling functions and achieving goals of the Organization.

The volume of privileges and immunities of SCO and its officials shall be determined by a

separate international treaty.

Article 20

Languages The official and working languages of SCO shall be Russian and Chinese.

Article 21

Duration and Entry into Force This Charter shall be of indefinite duration.

This Charter shall be subject to ratification by signatory States and shall enter into force on

the thirtieth day following the date of the deposit of the fourth instrument of ratification.

For a State which signed this Charter and ratified it thereafter it shall enter into force on the

date of the deposit of its instrument of ratification with the Depositary.

Upon its entering into force this Charter shall be open for accession by any State.

For each acceding State this Charter shall enter into force on the thirtieth day following the

date of receiving by the Depositary of appropriate instruments of accession.

Article 22

Settlement of Disputes In case of disputes or controversies arising out of interpretation or application of this Charter

member States shall settle them through consultations and negotiations.

Article 23

Amendments and Additions By mutual agreement of member States this Charter can be amended and supplemented.

Decisions by the Council of Heads of State concerning amendments and additions shall be

formalized by separate protocols which shall be its integral part and enter into force in accordance

with the procedure provided for by Article 21 of this Charter.

Article 24

Reservations No reservations can be made to this Charter which contradict the principles, goals and

objectives of the Organization and could prevent any SCO body from performing its functions.

If at least two thirds of member States have objections the reservations must be considered as

contradicting the principles, goals and objectives of the Organization or preventing any body from

performing its functions and being null and void.

Article 25

Depositary The People's Republic of China shall be the Depositary of this Charter.

Article 26

Registration Pursuant to Article 102 of the Charter of the United Nations, this Charter is subject to

registration with the Secretariat of the United Nations.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 127: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

113

Universitas Indonesia

Done at Saint-Petersburg the seventh day of June 2002 in a single original in the Chinese and

Russian languages, both texts being equally authoritative.

The original copy of this Charter shall be deposited with the Depositary who will circulate its

certified copies to all signatory States.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 128: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

114

Universitas Indonesia

Charter of the Shanghai Cooperation Organization

2009-5-7

The People's Republic of China, the Republic of Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the

Russian Federation, the Republic of Tajikistan and the Republic of Uzbekistan being the founding

states of the Shanghai Cooperation Organization (hereinafter SCO or the Organization),

Based on historically established ties between their peoples;

Striving for further enhancement of comprehensive cooperation;

Desiring to jointly contribute to the strengthening of peace and ensuring of security and

stability in the region in the environment of developing political multipolarity and economic and

information globalization;

Being convinced that the establishment of SCO will facilitate more efficient common use of

opening possibilities and counteracting new challenges and threats;

Considering that interaction within SCO will promote the realization of a huge potential of

goodneighborliness, unity and cooperation between States and their peoples;

Proceeding from the spirit of mutual trust, mutual advantage, equality, mutual consultations,

respect for cultural variety and aspiration for joint development that was clearly established at the

meeting of heads of six States in 2001 in Shanghai;

Noting that the compliance with the principles set out in the Agreement between the People's

Republic of China, the Republic of Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation and

the Republic of Tajikistan on Strengthening Confidence in the Military Field in the Border Area of

26 April, 1996, and in the Agreement between the People's Republic of China, the Republic of

Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation and the Republic of Tajikistan on

Mutual Reductions of Armed Forces in the Border Area of 24 April , 1997, as well as in the

documents signed at summits of heads of the People's Republic of China, the Republic of

Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation, the Republic of Tajikistan and the

Republic of Uzbekistan in the period from 1998 to 2001, has made an important contribution to

the maintenance of peace, security and stability in the region and in the world;

Reaffirming our adherence to the goals and principles of the Charter of the United Nations,

other commonly acknowledged principles and rules of international law related to the maintenance

of international peace, security and the development of goodneighborly and friendly relations, as

well as the cooperation between States;

Guided by the provisions of the Declaration on the Creation of the Shanghai Cooperation

Organization of 15 June, 2001,

Have agreed as follows:

Article 1

Goals and Tasks The main goals and tasks of SCO are:

to strengthen mutual trust, friendship and goodneighborliness between the member States;

to consolidate multidisciplinary cooperation in the maintenance and strengthening of peace,

security and stability in the region and promotion of a new democratic, fair and rational political

and economic international order;

to jointly counteract terrorism, separatism and extremism in all their manifestations, to fight

against illicit narcotics and arms trafficking and other types of criminal activity of a transnational

character, and also illegal migration;

to encourage the efficient regional cooperation in such spheres as politics, trade and

economy, defense, law enforcement, environment protection, culture, science and technology,

education, energy, transport, credit and finance, and also other spheres of common interest;

to facilitate comprehensive and balanced economic growth, social and cultural development

in the region through joint action on the basis of equal partnership for the purpose of a steady

increase of living standards and improvement of living conditions of the peoples of the member

States;

to coordinate approaches to integration into the global economy;

to promote human rights and fundamental freedoms in accordance with the international

obligations of the member States and their national legislation;

to maintain and develop relations with other States and international organizations;

to cooperate in the prevention of international conflicts and in their peaceful settlement;

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 129: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

115

Universitas Indonesia

to jointly search for solutions to the problems that would arise in the 21st century.

Article 2

Principles The member States of SCO shall adhere to the following principles:

mutual respect of sovereignty, independence, territorial integrity of States and inviolability of

State borders, non-aggression, non-interference in internal affairs, non-use of force or threat of its

use in international relations, seeking no unilateral military superiority in adjacent areas;

equality of all member States, search of common positions on the basis of mutual

understanding and respect for opinions of each of them;

gradual implementation of joint activities in the spheres of mutual interest;

peaceful settlement of disputes between the member States;

SCO being not directed against other States and international organizations;

prevention of any illegitimate acts directed against the SCO interests;

implementation of obligations arising out of the present Charter and other documents

adopted within the framework of SCO, in good faith.

Article 3

Areas of Cooperation The main areas of cooperation within SCO shall be the following:

maintenance of peace and enhancing security and confidence in the region;

search of common positions on foreign policy issues of mutual interest, including issues

arising within international organizations and international fora;

development and implementation of measures aimed at jointly counteracting terrorism,

separatism and extremism, illicit narcotics and arms trafficking and other types of criminal activity

of a transnational character, and also illegal migration;

coordination of efforts in the field of disarmament and arms control;

support for, and promotion of regional economic cooperation in various forms, fostering

favorable environment for trade and investments with a view to gradually achieving free flow of

goods, capitals, services and technologies;

effective use of available transportation and communication infrastructure, improvement of

transit capabilities of member States and development of energy systems;

sound environmental management, including water resources management in the region, and

implementation of particular joint environmental programs and projects;

mutual assistance in preventing natural and man-made disasters and elimination of their

implications;

exchange of legal information in the interests of development of cooperation within SCO;

development of interaction in such spheres as science and technology, education, health care,

culture, sports and tourism.

The SCO member States may expand the spheres of cooperation by mutual agreement.

Article 4

Bodies 1. For the implementation of goals and objectives of the present Charter the following

bodies shall operate within the Organization:

The Council of Heads of State;

The Council of Heads of Government (Prime Ministers);

The Council of Ministers of Foreign Affairs;

Meetings of Heads of Ministries and/or Agencies;

The Council of National Coordinators;

The Regional Counter-terrorist Structure;

Secretariat.

2. The functions and working procedures for the SCO bodies, other than the Regional

Counter-terrorist Structure, shall be governed by appropriate provisions adopted by the Council of

Heads of State.

3. The Council of Heads of State may decide to establish other SCO bodies. New bodies

shall be established by the adoption of additional protocols to the present Charter which enter into

force in the procedure, set forth in Article 21 of this Charter.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 130: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

116

Universitas Indonesia

Article 5

The Council of Heads of State The Council of Heads of State shall be the supreme SCO body. It shall determine priorities

and define major areas of activities of the Organization, decide upon the fundamental issues of its

internal arrangement and functioning and its interaction with other States and international

organizations, as well as consider the most topical international issues.

The Council shall hold its regular meetings once a year. A meeting of the Council of Heads

of State shall be chaired by the head of State organizing this regular meeting. The venue of a

regular meeting of the Council shall generally be determined in the Russian alphabetic order of

names of the SCO member States.

Article 6

The Council of Heads of Government (Prime Ministers) The Council of Heads of Government (Prime Ministers) shall approve the budget of the

Organization, consider and decide upon major issues related to particular, especially economic,

spheres of interaction within the Organization.

The Council shall hold its regular meetings once a year. A meeting of the Council shall be

chaired by the head of Government (Prime Minister) of the State on whose territory the meeting

takes place.

The venue of a regular meeting of the Council shall be determined by prior agreement among

heads of Government (Prime Ministers) of the member States.

Article 7

The Council of Ministers of Foreign Affairs The Council of Ministers of Foreign Affairs shall consider issues related to day-to-day

activities of the Organization, preparation of meetings of the Council of Heads of State and

holding of consultations on international problems within the Organization. The Council may, as

appropriate, make statements on behalf of SCO.

The Council shall generally meet one month prior to a meeting of the Council of Heads of

State. Extraordinary meetings of the Council of Ministers of Foreign Affairs shall be convened on

the initiative of at least two member States and upon consent of ministers of foreign affairs of all

other member States. The venue of a regular or extraordinary meeting of the Council shall be

determined by mutual agreement.

The Council shall be chaired by the minister of foreign affairs of the member State on whose

territory the regular meeting of the Council of Heads of State takes place, during the period

starting from the date of the last ordinary meeting of the Council of Heads of State to the date of

the next ordinary meeting of the Council of Heads of State.

The Chairman of the Council of Ministers of Foreign Affairs shall represent the Organization

in its external contacts, in accordance with the Rules of Procedure of the Council.

Article 8

Meetings of Heads of Ministries and/or Agencies According to decisions of the Council of Heads of State and the Council of Heads of

Government (Prime Ministers) heads of branch ministries and/or agencies of the member States

shall hold, on a regular basis, meetings for consideration of particular issues of interaction in

respective fields within SCO.

A meeting shall be chaired by the head of a respective ministry and/or agency of the State

organizing the meeting. The venue and date of a meeting shall be agreed upon in advance.

For the preparation and holding meetings the member States may, upon prior agreement,

establish permanent or ad hoc working groups of experts which carry out their activities in

accordance with the regulations adopted by the meetings of heads of ministries and/or agencies.

These groups shall consist of representatives of ministries and/or agencies of the member States.

Article 9

The Council of National Coordinators The Council of National Coordinators shall be a SCO body that coordinates and directs day-

to-day activities of the Organization. It shall make the necessary preparation for the meetings of

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 131: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

117

Universitas Indonesia

the Council of Heads of State, the Council of Heads of Government (Prime Ministers) and the

Council of Ministers of Foreign Affairs. National coordinators shall be appointed by each member

State in accordance with its internal rules and procedures.

The Council shall hold its meetings at least three times a year. A meeting of the Council shall

be chaired by the national coordinator of the member State on whose territory the regular meeting

of the Council of Heads of State takes place, from the date of the last ordinary meeting of the

Council of Heads of State to the date of the next ordinary meeting of the Council of Heads of

State.

The Chairman of the Council of National Coordinators may on the instruction of the

Chairman of the Council of Ministers of Foreign Affairs represent the Organization in its external

contacts, in accordance with the Rules of Procedure of the Council of National Coordinators.

Article 10

Regional Counter-Terrorist Structure The Regional Counter-terrorist Structure established by the member States of the Shanghai

Convention to combat terrorism, separatism and extremism of 15 June, 2001, located in Bishkek,

the Kyrgyz Republic, shall be a standing SCO body.

Its main objectives and functions, principles of its constitution and financing, as well as its

rules of procedure shall be governed by a separate international treaty concluded by the member

States, and other necessary instruments adopted by them.

Article 11

Secretariat Secretariat shall be a standing SCO administrative body. It shall provide organizational and

technical support to the activities carried out in the framework of SCO and prepare proposals on

the annual budget of the Organization.

The Secretariat shall be headed by the Executive Secretary to be appointed by the Council of

Heads of State on nomination by the Council of Ministers of Foreign Affairs.

The Executive Secretary shall be appointed from among the nationals of member States on a

rotational basis in the Russian alphabetic order of the member States' names for a period of three

years without a right to be reappointed for another period.

The Executive Secretary deputies shall be appointed by the Council of Ministers of Foreign

Affairs on nomination by the Council of National Coordinators. They cannot be representatives of

the State from which the Executive Secretary has been appointed.

The Secretariat officials shall be recruited from among nationals of the member States on a

quota basis.

The Executive Secretary, his deputies and other Secretariat officials in fulfilling their official

duties should not request or receive instructions from any member State and/or government,

organization or physical persons. They should refrain from any actions that might affect their

status as international officials reporting to SCO only.

The member States shall undertake to respect the international character of the duties of the

Executive Secretary, his deputies and Secretariat staff and not to exert any influence upon them as

they perform their official functions.

The SCO Secretariat shall be located at Beijing (the People's Republic of China).

Article 12

Financing SCO shall have its own budget drawn up and executed in accordance with a special

agreement between member States. This agreement shall also determine the amount of

contributions paid annually by member States to the budget of the Organization on the basis of a

cost-sharing principle.

Budgetary resources shall be used to finance standing SCO bodies in accordance with the

above agreement. The member States shall cover themselves the expenses related to the

participation of their representatives and experts in the activities of the Organization.

Article 13

Membership The SCO membership shall be open for other States in the region that undertake to respect

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 132: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

118

Universitas Indonesia

the objectives and principles of this Charter and to comply with the provisions of other

international treaties and instruments adopted in the framework of SCO.

The admission of new members to SCO shall be decided upon by the Council of Heads of

State on the basis of a representation made by the Council of Ministers of Foreign Affairs in

response to an official request from the State concerned addressed to the acting Chairman of the

Council of Ministers of Foreign Affairs.

SCO membership of a member State violating the provisions of this Charter and/or

systematically failing to meet its obligations under international treaties and instruments,

concluded in the framework of SCO, may be suspended by a decision of the Council of Heads of

State adopted on the basis of a representation made by the Council of Ministers of Foreign Affairs.

If this State goes on violating its obligations, the Council of Heads of State may take a decision to

expel it from SCO as of the date fixed by the Council itself.

Any member State shall be entitled to withdraw from SCO by transmitting to the Depositary

an official notification of its withdrawal from this Charter no later than twelve months before the

date of withdrawal. The obligations arising from participation in this Charter and other instruments

adopted within the framework of SCO shall be binding for the corresponding States until they are

completely fulfilled.

Article 14

Relationship with Other States and International Organizations SCO may interact and maintain dialogue, in particular in certain areas of cooperation, with

other States and international organizations.

SCO may grant to the State or international organization concerned the status of a dialogue

partner or observer. The rules and procedures for granting such a status shall be established by a

special agreement of member States.

This Charter shall not affect the rights and obligations of the member States under other

international treaties in which they participate.

Article 15

Legal Capacity As a subject of international law, SCO shall have international legal capacity. It shall have

such a legal capacity in the territory of each member State, which is required to achieve its goals

and objectives.

SCO shall enjoy the rights of a legal person and may in particular:

- conclude treaties;

- acquire movable and immovable property and dispose of it;

- appear in court as litigant;

- open accounts and have monetary transactions made.

Article 16

Decisions-Taking Procedure The SCO bodies shall take decisions by agreement without vote and their decisions shall be

considered adopted if no member State has raised objections during the vote (consensus), except

for the decisions on suspension of membership or expulsion from the Organization that shall be

taken by "consensus minus one vote of the member State concerned".

Any member State may expose its opinion on particular aspects and/or concrete issues of the

decisions taken which shall not be an obstacle to taking the decision as a whole. This opinion shall

be placed on record.

Should one or several member States be not interested in implementing particular

cooperation projects of interest to other member States, non‑participation of the abovesaid

member States in these projects shall not prevent the implementation of such cooperation projects

by the member States concerned and, at the same time, shall not prevent the said member States

from joining such projects at a later stage.

Article 17

Implementation of Decisions The decisions taken by the SCO bodies shall be implemented by the member States in

accordance with the procedures set out in their national legislation.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 133: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

119

Universitas Indonesia

Control of the compliance with obligations of the member States to implement this Charter,

other agreements and decisions adopted within SCO shall be exercised by the SCO bodies within

their competence.

Article 18

Permanent Representatives In accordance with their domestic rules and procedures, the member States shall appoint their

permanent representatives to the SCO Secretariat, which will be members of the diplomatic staff

of the embassies of the member States in Beijing.

Article 19

Privileges and Immunities SCO and its officials shall enjoy in the territories of all member States the privileges and

immunities which are necessary for fulfilling functions and achieving goals of the Organization.

The volume of privileges and immunities of SCO and its officials shall be determined by a

separate international treaty.

Article 20

Languages The official and working languages of SCO shall be Russian and Chinese.

Article 21

Duration and Entry into Force This Charter shall be of indefinite duration.

This Charter shall be subject to ratification by signatory States and shall enter into force on

the thirtieth day following the date of the deposit of the fourth instrument of ratification.

For a State which signed this Charter and ratified it thereafter it shall enter into force on the

date of the deposit of its instrument of ratification with the Depositary.

Upon its entering into force this Charter shall be open for accession by any State.

For each acceding State this Charter shall enter into force on the thirtieth day following the

date of receiving by the Depositary of appropriate instruments of accession.

Article 22

Settlement of Disputes In case of disputes or controversies arising out of interpretation or application of this Charter

member States shall settle them through consultations and negotiations.

Article 23

Amendments and Additions By mutual agreement of member States this Charter can be amended and supplemented.

Decisions by the Council of Heads of State concerning amendments and additions shall be

formalized by separate protocols which shall be its integral part and enter into force in accordance

with the procedure provided for by Article 21 of this Charter.

Article 24

Reservations No reservations can be made to this Charter which contradict the principles, goals and

objectives of the Organization and could prevent any SCO body from performing its functions.

If at least two thirds of member States have objections the reservations must be considered as

contradicting the principles, goals and objectives of the Organization or preventing any body from

performing its functions and being null and void.

Article 25

Depositary The People's Republic of China shall be the Depositary of this Charter.

Article 26

Registration Pursuant to Article 102 of the Charter of the United Nations, this Charter is subject to

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 134: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

120

Universitas Indonesia

registration with the Secretariat of the United Nations.

Done at Saint-Petersburg the seventh day of June 2002 in a single original in the Chinese and

Russian languages, both texts being equally authoritative.

The original copy of this Charter shall be deposited with the Depositary who will circulate its

certified copies to all signatory States.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 135: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

121

Universitas Indonesia

The Executive Committee of the Regional

Counter-Terrorism Structure

The Executive Committee of the Regional Counter-Terrorism Structure (RCTS) of the Shanghai

Cooperation Organisation (SCO) is the permanent body of the SCO RCTS based in Tashkent, the

capital of Uzbekistan. Its main tasks and duties are as follows:

1. Maintaining working relations with competent institutions of the member states and

international organisations tackling issues of fighting terrorism, separatism and extremism;

2. Assistance in interaction among the member states in preparation and staging of

counterterrorism exercises at the request of concerned member states, preparation and conduct of

search operations and other activities in the field of fighting terrorism, separatism and extremism;

3. Joint drafting of international legal documents concerning the fight against terrorism, separatism

and extremism;

4. Gathering and analysis of information coming to the RCTS from the member states, formation

and filling of RCTS data bank;

5. Joint formation of a system of effective response to global challenges and threats;

6. Preparation and holding of scientific conferences and workshops, assistance in sharing

experience in the field of fighting terrorism, separatism and extremism.

Director is the chief administrative officer of the RCTS Executive Committee. The nominee, a

citizen of an SCO member state, is appointed by the Council of Heads of State upon the

recommendation of the RCTS Council for a period of three years.

The Regional Counter-Terrorism Structure operates in accordance with the SCO Charter, the

Shanghai Convention on Combating Terrorism, Separatism and Extremism, the Agreement among

the SCO member states on the Regional Anti-Terrorism Structure, as well as documents and

decisions adopted in the SCO framework.

Myrzakan U.Subanov was appointed Director of the SCO RCTS Executive Committee on 1

January 2007.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 136: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

122

Universitas Indonesia

The Shanghai Convention on Combating Terrorism, Separatism and Extremism

2009-5-7

The Republic of Kazakhstan, the Peoples' Republic of China, the Kyrgyz Republic, the

Russian Federation, the Republic of Tadjikistan, and the Republic of Uzbekistan (hereinafter

referred to as "the Parties"),

guided by the purposes and principles of the Charter of the United Nations concerning

primarily the maintenance of international peace and security and the promotion of friendly

relations and cooperation among States;

aware of the fact that terrorism, separatism and extremism constitute a threat to international

peace and security, the promotion of friendly relations among States as well as to the enjoyment of

fundamental human rights and freedoms;

recognizing that these phenomena seriously threaten territorial integrity and security of the

Parties as well as their political, economic and social stability;

guided by the principles of the Almaty Joint Statement of 3 July 1998, the Bishkek

Declaration of 25 August 1999, the Dushanbe Declaration of 5 July 2000 and the Declaration on

the Establishment of the Shanghai Cooperation Organization of 15 June 2001;

firmly believing that terrorism, separatism and extremism, as defined in this Convention,

regardless their motives, cannot be justified under any circumstances, and that the perpetrators of

such acts should be prosecuted under the law;

believing that joint efforts by the Parties within the framework of this Convention are an

effective form of combating terrorism, separatism and extremism,

have agreed as follows:

Article 1 1. For the purposes of this Convention, the terms used in it shall have the following

meaning:

1) "terrorism" means:

a) any act recognized as an offence in one of the treaties listed in the

Annex to this Convention (hereinafter referred to as "the Annex") and as

defined in this Treaty;

b) any other act intended to cause death or serious bodily injury to a

civilian, or any other person not taking an active part in the hostilities in a

situation of armed conflict or to cause major damage to any material

facility, as well as to organize, plan, aid and abet such act, when the

purpose of such act, by its nature or context, is to intimidate a population,

violate public security or to compel public authorities or an international

organization to do or to abstain from doing any act, and prosecuted in

accordance with the national laws of the Parties;

2) "separatism" means any act intended to violate territorial integrity of

a State including by annexation of any part of its territory or to disintegrate

a State, committed in a violent manner, as well as planning and preparing,

and abetting such act, and subject to criminal prosecuting in accordance

with the national laws of the Parties;

3) "Extremism" is an act aimed at seizing or keeping power through the

use of violence or changing violently the constitutional regime of a State,

as well as a violent encroachment upon public security, including

organization, for the above purposes, of illegal armed formations and

participation in them, criminally prosecuted in conformity with the national

laws of the Parties.

2. This Article shall not affect any international treaty or any national law of the Parties,

provides or may provide for a broader application of the terms used in this Article.

Article 2 1. The Parties, in accordance with this Convention and other international obligations and

with due regard for their national legislations, shall cooperate in the area of prevention,

identification and suppression of acts referred to in Article 1 (1) of this Convention.

2. In their mutual relations, the Parties shall consider acts referred to in Article 1 (1) of

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 137: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

123

Universitas Indonesia

this Convention as extraditable offences.

3. In the course of implementation of this Convention with regard to issues concerning

extradition and legal assistance in criminal cases, the Parties shall cooperate in conformity with

international treaties to which they are parties and national laws of the Parties.

Article 3 The Parties shall take such measures as can prove necessary, including, as appropriate, in

the field of their domestic legislation, in order to ensure that in no circumstances acts referred to in

Article 1 (1) of this Convention should be subject to acquittal based upon exclusively political,

philosophical, ideological, racial, ethnic, religious or any other similar considerations and that they

should entail punishment proportionate to their gravity.

Article 4 1. Within 60 days after the Depositary has been notified about the completion of internal

procedures necessary for the entry into force of this Convention, a Party shall provide to the

Depositary, through diplomatic channels, in writing a list of its central competent authorities

responsible for the implementation of this Convention, and the Depositary shall transmit the above

list to other Parties.

2. Central competent authorities of the Parties in charge of issues relating to

implementation of the provisions of this Convention shall directly communicate and interact with

each other.

3. In case of any amendments to the list of central competent authorities of a Party, that Party

shall send an appropriate notification to the Depositary who shall inform the other Parties

accordingly.

Article 5 Upon mutual consent, the Parties can hold consultations, exchange views and coordinate

their positions on issues of combating acts referred to in Article 1 (1) of this Convention, including

within international organizations and at international fora.

Article 6 In accordance with this Convention, the central competent authorities of the Parties shall

cooperate and assist each other through:

1) exchange of information;

2) execution of requests concerning operational search actions;

3) development and implementation of agreed measures to prevent,

identify and suppress acts referred to in Article 1 (1) of this Convention, as

well as mutual information on the results of their implementation;

4) implementation of measures to prevent, identify and suppress, in

their territories, acts referred to in Article 1 (1) of this Convention, that are

aimed against other Parties;

5) implementation of measures to prevent, identify and suppress

financing, supplies of weapons and ammunition or any other forms of

assistance to any person and/or organization for the purpose of committing

acts referred to in Article 1 (1) of this Convention;

6) implementation of measures to prevent, identify, suppress, prohibit

or put an end to the activities aimed at training individuals for the purpose

of committing acts referred to in Article 1 (1) of this Convention;

7) exchange of regulatory legal acts and information concerning

practical implementation thereof;

8) exchange of experience in the field of prevention, identification or

suppression of acts referred to in Article 1 (1) of this Convention;

9) various forms of training, retraining or upgrading of their experts;

10) conclusion, upon mutual consent of the Parties, of agreements on

other forms of cooperation, including, as appropriate, practical assistance

in suppressing acts referred to in Article 1 (1) of this Convention and

mitigating consequences thereof. Such agreements shall be formalized in

appropriate protocols that shall form an integral part of this Convention.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 138: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

124

Universitas Indonesia

Article 7 The central competent authorities of the Parties shall exchange information of mutual

interest, inter alia, on:

1) planned and committed acts referred to in Article 1 (1) of this

Convention, as well as identified and suppressed attempts to commit them;

2) preparations to commit acts referred to in Article 1 (1) of this

Convention, aimed against heads of state or other statesmen, personnel of

diplomatic missions, consular services and international organizations, as

well as other persons under international protection and participants in

governmental visits, international and governmental political, sports and

other events;

3) organizations, groups and individuals preparing and/or

committing acts referred to in Article 1 (1) of this Convention or otherwise

participating in those acts, including their purposes, objectives, ties and

other information;

4) illicit manufacturing, procurement, storage, transfer,

movement, sales or use of strong toxic, and poisonous substances,

explosives, radioactive materials, weapons, explosive devices, firearms,

ammunition, nuclear, chemical, biological or other types of weapons of

mass destruction, as well as materials and equipment which can be used

for their production, for the purpose of committing acts referred to in

Article 1 (1) of this Convention;

5) identified or suspected sources of financing of acts indicated

in Article 1 (1) of this Convention;

6) forms, methods and means of committing acts indicated in

Article 1 (1) of this Convention.

Article 8 1. Cooperation among central competent authorities of the Parties within the framework

of this Convention shall be carried out in a bilateral or multilateral format on the basis of a request

for assistance as well as by way of providing information upon the initiative of the central

competent authority of a Party.

2. Requests or information shall be forwarded in writing. In case of urgency, the requests

or information can be transmitted orally but within 72 hours thereafter they should be confirmed in

writing and with the use of technical means of text transmission, as necessary.

If there are any doubts about the authenticity of a request or information or the contents

thereof additional confirmation or clarification of the above documents can be requested.

3. A request should contain the following:

a) the name of the requesting and requested central

competent authorities;

b) purposes of and grounds for the request;

c) description of the contents of the assistance required;

d) any other information which could be useful for a timely

and appropriate execution of the request;

e) degree of confidentiality, as necessary.

4. Requests or information transmitted in writing shall be signed by the head of the

requesting central competent authority or his or her deputies or shall be certified by the official

seal of that central competent authority.

5. Requests and documents transmitted therein, as well as information shall be provided

by the central competent authority in one of the working languages mentioned in Article 15 of this

Convention.

Article 9 1. The requested central competent authority shall take all necessary measures to ensure a

prompt and most complete execution of the request and, within the shortest possible time, shall

provide information on the results of its consideration.

2. The requesting central competent authority shall be notified, without delay, about the

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 139: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

125

Universitas Indonesia

circumstances that prevent or significantly hamper the execution of a request.

3. If the execution of a request is outside the competence of the requested central

competent authority that authority shall transmit the request to another central competent authority

of its State, which has the competence to execute it and shall without delay notify the requesting

central competent authority accordingly.

4. The requested central competent authority can request additional information which it

considers necessary for the execution of the request.

5. Requests shall be executed on the basis of the legislation of the requested Party. Upon

request by the requesting central competent authority, the legislation of the requesting Party may

be applied if this does not contradict fundamental legal principles or international obligations of

the requested Party.

6. Execution of a request can be postponed or denied completely or in part in case the

requested central competent authority considers that its execution could prejudice the sovereignty,

security, public order or other substantial interests of its State or that it contradicts the legislation

or international obligations of the requested Party.

7. Execution of a request can be denied if the act in connection with which the request

was made does not constitute an offence under the legislation of the requested Party.

8. If, in accordance with paragraph 6 or 7 of this Article, the execution of a request is

denied in full or in part or if it is postponed, the requesting central competent authority shall be

notified accordingly in writing.

Article 10 The Parties will conclude a separate agreement and will adopt other necessary documents in

order to establish and provide for functioning of a Parties' Regional Counter-terrorist Structure

with the headquarters in Bishkek, the purpose of which would be to effectively combat the acts

referred to in Article 1 (1) of this Convention.

Article 11 1. For the purposes of implementation of this Convention, central competent authorities

of the Parties may establish emergency lines of communication and hold regular and extraordinary

meetings.

2. For the purposes of implementation of the provisions of this Convention, the Parties

may, as necessary, provide technical and material assistance to each other.

3. Materials, special means, facilities and technical equipment received by a Party on the

basis of this Convention from another Party shall not be subject to transfer without a prior written

consent of the providing Party.

4. Information about methods of conducting operational search activities, specifications

of special forces and means and supporting materials used by central competent authorities of the

Parties in order to provide assistance within the framework of this Convention, shall not be subject

to disclosure.

Article 12 The central competent authorities of the Parties may conclude specific agreements among

them governing modalities for the implementation of this Convention.

Article 13 1. Each Party shall assure the confidential nature of the information and documents

received if they are sensitive or if the providing Party considers their disclosure undesirable. The

degree of sensitiveness of such information and documents shall be determined by the providing

Party.

2. Without a written consent of the providing Party, the information or response to the

request received pursuant to this Convention, may not be used for purposes other than those for

which they were requested or provided.

3. The information and documents received by a Party pursuant to this Convention from

another Party shall not be transmitted without a prior written consent of the providing Party.

Article 14

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 140: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

126

Universitas Indonesia

Each Party shall bear independently the costs of the implementation of this Convention,

unless otherwise agreed.

Article 15 The working languages to be used by the central competent authorities of the Parties in their

cooperation within the framework of this Convention shall be Chinese and Russian.

Article 16

This Convention shall not limit the right of the Parties to conclude other international treaties

on matters that constitute the subject of this Convention and do not contradict its purposes and

object, nor shall it affect the rights and obligations of the Parties under other international treaties

to which they are Parties.

Article 17

Any disputes, concerning interpretation or application of this Convention shall be settled

through consultation and negotiation between the interested Parties.

Article 18

1. This Convention shall be deposited with the People’s Republic of China. Official

copies of this Convention shall be sent by the Depositary to other Parties in the course of 15 days

after its signing.

2. This Convention shall enter into force on the thirtieth day following the receipt by the

Depositary the last notification in writing from the Republic of Kazakhstan, the People’s Republic

of China, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation, the Republic of Tajikistan, or the Republic

of Uzbekistan informing it of the completion of national procedures necessary for this Convention

to enter into force.

Article 19

1. Following the entry into force of this Convention other States may, subject to the

consent of all the Parties, accede to it.

This Convention shall enter into force for each acceding State on the thirtieth day following

the receipt by the Depositary of a notification in writing informing it of the completion of national

procedures necessary for this Convention to enter into force. On this date, the acceding State shall

become Party to this Convention.

Article 20 1. Amendments and additions may, subject to the consent of all Parties, be made to the

text of this Convention, which shall be effected by Protocols being an integral part of this

Convention.

2. Any Party may withdraw from this Convention by notifying in writing the Depositary

of the decision 12 months prior to the date of anticipated withdrawal. The Depositary shall inform

the other Parties of this intention within a 30‑day period following the receipt of the notification of

withdrawal.

Article 21 1. When forwarding to the Depositary its notification of the completion of internal

procedures necessary for this Convention to enter into force, a Party which does not participate in

one of the treaties enumerated in the Annex may declare that this Convention shall be applied to

the Party with that

treaty regarded as not included in the Annex. Such declaration shall cease to be effective after

notifying the Depositary of the entry of that treaty into force for the Party.

2. When one of the treaties listed in the Annex ceases to be effective for a Party, the latter

shall make a declaration as provided for in paragraph 1 of this Article.

3. The Annex may be supplemented by treaties that meet the following conditions:

1) they are open for signature to all States;

2) they entered into force; and

3) they were ratified, accepted, approved or acceded to by at least

three Parties to this Convention.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 141: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

127

Universitas Indonesia

4. After the entry into force of this Convention, any Party may propose an amendment to

the Annex. The proposal for amending the Annex shall be forwarded to the Depositary in written

form. The Depositary shall notify all the proposals that meet the requirements of paragraph 3 of

this Article to the other Parties and seek their views on whether the proposed amendment should

be adopted.

5. The proposed amendment shall be considered adopted and shall come into force for all

the Parties 180 days after the Depositary has circulated the proposed amendment, except when

one-third of the Parties to this Convention inform in writing the Depositary of their objections to

it.

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 142: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

128

Universitas Indonesia

Treaty on Long-Term Good-Neighborliness, Friendship and Cooperation Between the

Member States of the Shanghai Cooperation Organization

2007-8-16

Member States of the Shanghai Cooperation Organization (hereinafter referred to as "the SCO", or

"Organization"): the Republic of Kazakhstan, the People's Republic of China, the Kyrgyz

Republic, the Russian Federation, the Republic of Tajikistan, the Republic of Uzbekistan,

hereinafter referred to as "the Contracting Parties";

Bound by historical ties of good-neighborliness, friendship and cooperation;

Guided by the goals and principles of the Charter of the United Nations, universally recognized

principles and norms of international law, as well as by the Charter of the Shanghai Cooperation

Organization of 7 June 2002;

Convinced that strengthening and deepening relations of good-neighborliness, friendship and

cooperation between the Member States of the Organization corresponds to the fundamental

interests of their peoples and contributes to peace and development in the SCO space and in the

whole world;

Recognizing that globalization processes increase interdependence of States, as a result of which

their security and prosperity are becoming inextricably intertwined;

Believing that contemporary challenges and threats to security have a global nature and can only

be effectively met through joint efforts and adherence to the agreed principles and interaction

mechanisms;

Mindful of the need to respect cultural and civilizational variety of the contemporary world;

Reaffirming their readiness to expand mutually beneficial cooperation between them and with all

interested States and international organizations to promote a just and rational world order creating

favorable conditions for a sustainable development of the Organization's Member States;

Reaffirming further that this Treaty shall not be directed against any States or organizations, and

that the Contracting Parties shall follow the principle of openness to the other countries of the

world;

Seeking to make the SCO space a region of peace, cooperation, prosperity and harmony;

Guided by the intention to contribute to more democratic international relations and to the

establishment of a new architecture of global security on the basis of equality, mutual respect,

mutual trust and benefit, as well as abrogation of a bloc-based and ideological division;

Determined to strengthen friendly relations between the Organization's Member States so that

friendship between their peoples is handed down from generation to generation;

Have agreed as follows:

Article 1

The Contracting Parties shall develop long-term relations of good-neighborliness, friendship and

cooperation in the areas of mutual interest for the Contracting Parties in accordance with

universally recognized principles and norms of international law.

Article 2

The Contracting Parties shall settle differences between them peacefully, using, as a guidance, the

Charter of the United Nations and universally recognized principles and norms of international

law, as well as the Charter of the Shanghai Cooperation Organization of 7 June 2002.

Article 3

The Contracting Parties shall respect each other's right to choose ways of political, economic,

social and cultural development, taking into account the historical background and national

peculiarities of each State.

Article 4

The Contracting Parties, respecting principles of state sovereignty and territorial integrity, shall

take measures to prevent on their territories any activity incompatible with these principles.

The Contracting Parties shall not participate in alliances or organizations directed against other

Contracting Parties and shall not support any actions hostile to other Contracting Parties.

Article 5

The Contracting Parties shall respect the principle of inviolability of borders and make active

efforts to build confidence in border regions in the military sphere, determined to make the borders

with each other borders of eternal peace and friendship.

Article 6

In case of a situation threatening its security, a Contracting Party may hold consultations within

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 143: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

129

Universitas Indonesia

the Organization with other Contracting Parties to provide an adequate response to the situation

that emerged.

Article 7

The Contracting Parties shall make efforts within the framework of the SCO to maintain and

strengthen international peace and security, and shall promote coordination and cooperation in

such areas as safeguarding and strengthening the role of the United Nations, maintaining global

and regional stability, advancing international arms control process, preventing the proliferation of

weapons of mass destruction and their delivery means; they shall also hold regular consultations

on those issues.

Article 8

The Contracting Parties, in accordance with their national legislations and on the basis of

observing generally recognized principles and norms of international law, international treaties, to

which they are parties, shall actively develop cooperation to counteract terrorism, separatism and

extremism; illegal trafficking in drugs, psychotropic substances and their precursors and arms;

other forms of transnational criminal activity; as well as illegal migration.

The Contracting Parties, in accordance with their national legislations and on the basis of

international treaties, to which they are parties, shall build up their interaction in searching,

apprehending, extraditing and transferring persons suspected of, charged with or sentenced for

committing crimes related to terrorist, separatist, extremist activities or other crimes.

The Contracting Parties shall develop cooperation in the field of state border security and customs

control, regulation of labor migration, and provision of financial and information security.

Article 9

The Contracting Parties shall promote contacts and cooperation between law enforcement and

judicial authorities of the Contracting Parties.

Article 10

The Contracting Parties shall develop various forms of cooperation between their Defense

Ministries.

Article 11

The Contracting Parties shall develop cooperation in such fields as promoting the implementation

of human rights and fundamental freedoms in accordance with their international obligations and

national legislations.

The Contracting Parties in accordance with their international obligations as well as national

legislations, shall guarantee in their territories the observance of legitimate rights and interests of

citizens of the other Contracting Parties residing in their territories, and shall facilitate the

provision of necessary mutual legal assistance.

Article 12

The Contracting Parties shall recognize and protect each other's legitimate rights and interests

relative to the property possessed by a Contracting Party in the territory of another Contracting

Party.

Article 13

The Contracting Parties shall strengthen economic cooperation on the basis of equality and mutual

benefit and shall create favorable conditions for developing trade, encouraging investments and

exchanging technologies within the framework of the SCO.

The Contracting Parties shall facilitate economic activities including the provision of legal

conditions for activities, in their territories, of natural and legal persons of other Contracting

Parties, who are engaged in a legal economic activity, as well as the protection in their territory of

legitimate rights and interests of such natural and legal persons.

Article 14

The Contracting Parties shall develop cooperation in international financial institutions, economic

organizations and fora, of which they are members, and shall facilitate membership of other

Contracting Parties in those organizations in accordance with the statutory provisions of such

institutions, organizations and fora.

Article 15

The Contracting Parties shall develop cooperation in the sphere of industry, agriculture, finance,

energy, transport, science and technology, innovation, information, telecommunications, air space,

and other spheres of mutual interest to them and shall encourage various forms of regional

projects.

Article 16

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013

Page 144: Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo

130

Universitas Indonesia

The Contracting Parties shall take all possible measures to promote cooperation in the legal

sphere; hold regular exchanges of information on the legislation under development, adopted or in

force; and cooperate in the development of international legal instruments.

The Contracting Parties shall encourage contacts and cooperation between their legislative

authorities and their representatives.

Article 17

The Contracting Parties shall develop cooperation in providing environmental protection,

ecological security and sound environmental management and shall take necessary measures to

develop and implement special programs and projects in these fields.

Article 18 The Contracting Parties shall render mutual support and assistance in preventing natural and

technogenic emergencies and mitigating consequences thereof.

Article 19

The Contracting Parties shall develop mutual exchanges and cooperation in the fields of culture,

art, education, science, technologies, health, tourism, sport and other social and humanitarian

spheres.

The Contracting Parties shall mutually promote and support direct links between cultural,

educational, scientific and research institutions; joint scientific and research programs and

projects; as well as cooperation in training, exchange of students, scientists and specialists.

The Contracting Parties shall actively contribute to creating favorable conditions for studying the

languages and cultures of other Contracting Parties.

Article 20

This Treaty shall not affect the rights and obligations of the Contracting Parties under other

international treaties to which they are parties.

Article 21

To implement this Treaty, the Contracting Parties may conclude international agreements in

specific fields of mutual interest.

Article 22

Disputes related to the interpretation or implementation of the provisions of this Treaty shall be

settled through consultations and negotiations between the Contracting Parties.

Article 23

This Treaty shall be subject to ratification by the Contracting Parties -Signatories to it.

This Treaty shall be indefinite and shall enter into force from the date of deposit of the last

instrument of ratification to the Depositary.

This Treaty shall remain in force for any Contracting Party while it is a Member State of the

Organization. Participation of a Contracting Party in this Treaty shall cease automatically from the

date of the termination of its membership in the SCO.

Upon entry into force of this Treaty, it shall be open for accession by any State that has become a

member of the Organization. For the accessing State this Treaty shall enter into force on the

thirtieth day from the date of deposit of the relevant instrument of accession to the Depositary.

Article 24

This Treaty may be amended and supplemented by separate protocols as agreed upon by all the

Contracting Parties.

Article 25

The original copy of this Treaty shall be deposited with the Depositary.

The Secretariat of the Shanghai Cooperation Organization shall be the Depositary of this Treaty

and shall transmit to the Contracting Parties certified copies thereof within fifteen days from the

date of its signature.

Article 26

This Treaty shall be subject to registration with the United Nations Secretariat in accordance with

Article 102 of the UN Charter.

Done in the city of Bishkek on 16 August 2007 in one copy in the Russian and Chinese languages,

both texts being equally authentic.

2008

Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013