diagnosis dan tatalaksana limfoma non hodgkin

38
BAB I PENDAHULUAN Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sangat jarang berasal dari sel NK ("natural killer") yang berada dalam sistem lirnfe yang sangat heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun prognosis. Pada LNH sebuah sel limfosit berproliferasi secara tak terkendali yang mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh se1 LNH berasal dari satu sel limfosit, sehingga semua sel dalam tumor pasien LNH memiliki imunoglobulin yang sama pada permukaan selnya 1 . Insiden LNH terus mengalami peningkatan sekitar 3,4% setiap tahunnya. The American Cancer Society memperkirakan terdapat 65.980 kasus baru setiap tahun dan 19.500 di antaranya meninggal dunia akibat LNH pada tahun 2009. Di Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak, bahkan Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (BAKORNAS HOMPEDIN) menyatakan, insiden Limfoma lebih tinggi dari leukemia dan menduduki peringkat ketiga kanker yang tumbuh paling cepat setelah melanoma dan paru 2 . 1

Upload: edi-darmawan

Post on 28-Apr-2017

263 views

Category:

Documents


18 download

TRANSCRIPT

Page 1: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

BAB I

PENDAHULUAN

Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner limfosit

yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sangat jarang berasal dari sel

NK ("natural killer") yang berada dalam sistem lirnfe yang sangat heterogen, baik

tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun

prognosis. Pada LNH sebuah sel limfosit berproliferasi secara tak terkendali yang

mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh se1 LNH berasal dari satu sel

limfosit, sehingga semua sel dalam tumor pasien LNH memiliki imunoglobulin

yang sama pada permukaan selnya1.

Insiden LNH terus mengalami peningkatan sekitar 3,4% setiap tahunnya.

The American Cancer Society memperkirakan terdapat 65.980 kasus baru setiap

tahun dan 19.500 di antaranya meninggal dunia akibat LNH pada tahun 2009. Di

Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak, bahkan Badan

Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia

(BAKORNAS HOMPEDIN) menyatakan, insiden Limfoma lebih tinggi dari

leukemia dan menduduki peringkat ketiga kanker yang tumbuh paling cepat

setelah melanoma dan paru2.

Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa

faktor risiko yang menyebabkan terjadinya LNH, yaitu onkogen, infeksi virus

Ebstein Barr, Human T-leukemia Virus-I (HTLV-I), penyakit autoimun dan

defesiensi imun1,3.

Diagnosis LNH ditegakkan dari hasil pemeriksaan histologi biopsi eksisi

(excisional biopsy) kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal3. Stadium

LNH didasarkan atas kriteria Ann Arbor yang terdiri dari: stadium I (mengenai

satu regio KGB atau satu organ ekstralimfatik); stadium II (mengenai dua atau

lebih KGB pada satu sisi diafragma atau satu organ ekstralimfatik dan satu atau

lebih KGB pada satu sisi diafragma); stadium III (mengenai KGB pada kedua sisi

diafragma, yang dapat disertai dengan keterlibatan limpa atau terlokalisasi pada

1

Page 2: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

2

satu organ ekstralimfatik atau keduanya); stadium IV (mengenai KGB secara

difus mengenai satu atau lebih organ ekstralimfatik, dengan atau tanpa disertai

keterlibatan pada KGB)4.

Pengobatan dengan menggunakan kombinasi kemoterapi (multiagent) dapat

mempengaruhi prognosis dari penyakit. Prognosis limfoma tergantung pada tipe

histologi dan staging3.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan telaah ilmiah ini adalah untuk menjelaskan secara singkat

diagnosis dan tatalaksana Limfoma Non Hodgkin.

Page 3: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner limfosit

yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sangat jarang berasal dari sel

NK ("natural killer") yang berada dalam sistem lirnfe; yang sangat heterogen, baik

tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun

prognosis1.

Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau non-Hodgkin Lymphomas merupakan

penyakit yang sangat heterogen dilihat dari segi patologi dan klinisnya.

Penyebarannya juga tidak seteratur penyakit Hodgkin serta bentuk ekstra-nodal

jauh lebih sering dijumpai3.

2.2 Epidemiologi

Limfoma maligna merupakan salah satu kanker yang dapat disembuhkan

dengan kemoterapi atau dengan kombinasi radioterapi. Insiden penyakit ini

khususnya LNH terlihat terus mengalami peningkatan sekitar 3,4% setiap

tahunnya. The American Cancer Society memperkirakan terdapat 65.980 kasus

baru setiap tahun dan 19.500 di antaranya meninggal dunia akibat LNH pada

tahun 2009.

Di Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak, bahkan

Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam

Indonesia (BAKORNAS HOMPEDIN) menyatakan, insiden Limfoma lebih

tinggi dari leukemia dan menduduki peringkat ketiga kanker yang tumbuh paling

cepat setelah melanoma dan paru2.

3

Page 4: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

4

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi terjadinya sebagian besar LNH sampai saat ini belum diketahui.

Ada beberapa faktor risiko terjadinya LNH yaitu1,3,4:

a. Imunodefisiensi: diketahui sekitar 25% kelainan herediter langka yang

berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah severe combined

immunodeficiency, hypogamma globulinemia, common variable

immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia.

Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali

dihubungkan pula dengan Epstein-Barr virus (EBV) dan jenisnyaberagam,

mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga limfoma monokional.

b. Agen Infeksius: EBV DNA ditemukan pada95% limfoma Burkit endemik,

dan lebih jarang ditemukan pada limfoma Burkit sporadik. Karena tidak

pada semua kasus limfoma Burkit ditemukan EBV, hubungan dan

mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkit belum diketahui.

Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor

lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor yang terinfeksi EBV

dan meningkatkan risiko terjadinya kerusakan genetik. EBV juga

dihubungkan dengan posttranspIant lymphoproIifer ative disorders

(PTLDs) dan AIDS-associat ed lymphomas.

Selain EBV DNA, HTLV-1 juga merupakan agen penyebab

leukimia/limfoma sel T dewasa/ imunodefisiensi (herediter atau didapat)

yang merupakan faktor pencetus untuk terjadinya limfoma sel B. Pada

sindrom defisiensi imun didapat (AIDS) terdapat peningkatan insidensi

limfoma di tempat-tempat yang tidak umum, misalnya di sistem saraf

pusat. Limfoma tersebut biasanya berasal dari sel B dan secara histologi

berderajat tinggi atau sedang.

Enteropati yang diinduksi gluten serta limfadenopati angioimunoblastik

merupakan faktor pemcetus terjadinya limfoma sel T, dan beberapa

limfoma jaringan limfoid yang terkait dengan mukosa (mucosa-assosiated

lymphoid tissue, MALT) di lambung, faktor pencetusnya dikaitkan dengan

Page 5: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

5

infeksi Helicobacter. Infeksi hepatitis C juga telah diajukan sebagai faktor

risiko terjadinya limoma non-Hodgkin.

c. Paparan Lingkungan dan Pekerjaan: Beberapa pekerjaan yang sering

dihubungkan dengan risiko tinggi adalah petemak sefta pekerja hutan dan

peftanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut

organik.

d. Diet dan Paparan Lainnya: risiko LNH meningkat pada orang yang

mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok. dan yang terkena

paparan ultraviolet.

2.4 Klasifikasi dan Histopatologik

Klasifikasi histopatologik merupakan topik yang paling membingungkan

dalam studi limfoma maligna karena perkembangan klasifikasi ini demikian cepat

dan dijumpai berbagai jenis klasifikasi yang satu sama lain tidak kompatibel. Pada

tahun 1994 telah dikeluarkan klasifikasi Revisied American European Lymphoma

(REAL) dan diterapkan secara luas. Klasifikasi REAL/WHO mencakup semua

keganasan limfoid dan limfoma dan lebih berdasarkan klinis dibandingkan dengan

skema-skema klasifikasi sebelumnya. Secara umum terjadi pergeseran pembagian

limfoma yang awalnya hanya berdasarkan penampilan histologik menjadi lebih ke

arah sindrom dengan gambaran morfologik, imunofenotipe, genetik, dan klinis

yang khas. Klasifikasi ini juga berguna untuk mempertimbangkan kemungkinan

asal keganasan masing-masing limfoid berdasarkan fenotipe dan status penataan

ulang imunoglobulinnya3.

Page 6: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

6

Tabel 1. Klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL) untuk neoplasma limfoid

Sel B (85%) Sel T dan sel NK (15%)Neoplasma prekursor sel B

Limfoma/leukimia limfoblastik prekursor B (ALL-B/LBL)

Neoplasma sel B matur (perifer) Leukimia limfositik kronik sel

B/ Limfoma limfositik kecil Leukimia prolimfositik sel B Limfoma limfoplasmasitik Limfoma sel B zona marginal

limpa (limfosit vilosa) Leukimia sel berambut Myeloma sel plasma/

plasmasitoma

Limfoma sel B zona marginal ekstranodal tipe MALT

Limfoma sel mantel Limfoma folikular Limfoma sel B zona marginal

nodal Limfoma sel B besar difus Limfoma Burkitt

Neoplasma prekursor sel T Limfoma/leukimia limfoblastik

prekursor T (ALL-T/LBL)

Neoplasma sel T matur (perifer) Leukimia prolimfositik sel T Leukimia limfositik granular sel T Leukimia sel NK agresif Leukimia/Limfoma sel T dewasa

(HTLV-1)

Limfoma sel T/NK ekstranodal, tipe nasal

Limfoma sel T jenis enteropati Mycosis fungoides/ sindrom

Sezary Limfoma sel besar anaplastik, tipe

kutaneus primer

Limfoma sel T perifer, tidak dispesifikasi

Limfoma sel T angioimunoblastik Limfoma sel besar anaplastik, tipe

sistemik primer

2.5 Patogenesis Limfoma Non Hodgkin

Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan

limfosit terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen

(antigent independent) dan tahap yang tergantung anrigent (antigent dependent).

Pada tahap I, sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B, kemudian

menjadi sel B imatur dan sel B matur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal

sebagai naive B-cell. Apabila sel B terkena rangsangan antigen, maka proses

Page 7: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

7

perkembangan akan masuk tahap 2 yang terjadi dalam berbagai kopartemen

folikel kelenjar getah bening, dimana terjadi immunoglobuline gene

rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel plasma yang akan pulang

kembali ke sumsum tulang.

Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh

seperti sel limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang

disebut imunoblas T atau imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini

berlangsung secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini disebabkan akibat

terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi berlebihan ini

menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya membesar,

kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan

selnya mengalami perubahan.

Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B cell dapat

langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel

plasma. Sebagian besar naiv B cell dapat langsung mengalami transformasi

menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar naiv B cell

mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular B-blast, centroblast,

centrocyte, monocyte B cell dan sel plasma.

Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat

terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang

tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat

adanya rangsangan imunogen). Proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening,

dimana sel limfosit tua berada dlluar "centrum germinativum" sedangkan

imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum germinativum" Beberapa

perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya makin besar;

2). Kromatin inti menjadi lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein

permukaan sel mengalami perubahan reseptor1.

Penataan ulang kromosom yang salah merupakan mekanisme mutasi yang

penting terhadap LNH sel B. Memahami mekanisme dasar yang berkontribusi

terhadap proses ini relevan dengan pembahasan epidemiologi saat ini. Sedikit

yang diketahui tentang agen yang mempengaruhi penyusunan ulang kromosom

Page 8: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

8

abnormal, namun pada pertemuan ini Kirschhas telah memberikan bukti bahwa

paparan kerja pestisida dapat meningkatkan laju pembentukan rekombinasi yang

salah [misalnya, inv (7) PL3, Q35)] antara gen reseptor sel T. Sementara inversi

ini tidak terkait dengan aktivasi onkogen, ini menunjukkan bahwa faktor-faktor

eksogen dapat mempengaruhi proses rekombinasi dalam sel. telah dijelaskan

penyusunan ulang kromosom, termasuk translokasi stabil dalam aplikator fumigan

(pengasapan) terpajan fosfin9. Gen Ig di B-sel (dan T-sel reaktivitas gen dalam

sel-T) mengalami perubahan struktural yang luas selama perkembangan normal.

Ada dua proses penataan ulang terpisah: V-(D)-J penyusunan ulang yang terjadi

selama tahap pro-B/pre-B awal dan berat rantai isotipe beralih yang terjadi di

matang perifer B-sel. Dalam setiap proses DNA rusak dan bergabung kembali,

enzim yang berbeda mungkin terlibat dalam kedua proses. V-(D)-J gen menata

ulang langkah melibatkan gen Ig dalam tiga lokus kromosom yang berbeda:

DHJH, VH DHJH pada kromosome (chr) 14; VKJK pada kromosom 2,

dan V λJλ pada kromosom 229.

Disamping itu, BCL-6 represor transkripsi yang sering mengalami

translokasi dalam limfoma, mengatur deferensiasi germinal center sel B dan

peradangan. Skrining mikroangiopati DNA mengidentifikasi gen-gen yang

ditekan oleh BCL-6, termasuk banyak gen aktivasi limfosit, menunjukkan bahwa

BCL-6 memodulasi sinyal reseptor sel B. BCL-6 represi dari dua gen kemokin,

MIP-1alpha dan IP-10, juga mungkin meminimalkan respon inflamasi. Blimp-1,

BCL-6 target lain, sangant penting untuk diferensiasi plasmacytic. Sejak ekspresi

BCL-6 tidak ada dalam sel plasma, represi balon-1 oleh BCL-6 dapat mengontrol

diferensiasi plasmacytic. Memang, penghambatan BCL-6 fungsi melakukan

perubahan indikasi diferensiasi plasmacytic, termasuk penurunan ekspresi c-Myc

dan peningkatan ekspresi siklus inhibitor p27KIP1 sel. Data ini menunjukkan

bahwa transformasi maligna oleh BCL-6 melibatkan penghambatan diferensiasi

dan penigkatan proliferasi10,11.

Selain mutasi gen, penuaan mungkin merupakan faktor penting dalam

patogenesis Kelompok I LNH sel B, karena tumor ini terjadi terutama di

kelompok usia yang lebih tua, dan peningkatan angka kejadian dalam setiap

Page 9: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

9

kelompok usia lebih dari 55 tahun. Penjelasan biologis bagaimana penuaan

berpengaruh terhadap limfoma genesis belum dipahami dengan baik. Efek

penuaan pada sistem kekebalan tubuh telah dipelajari selama beberapa tahun.

Konsep bahwa penuaan adalah keadaan imunodefisiensi mungkin peryataan yang

terlalu umum. Pada pemeriksaan sumsum tulang ditemukan Clonotypes baru.

Hasil yang didapatkan oleh peneliti sebelumnya yaitu adanya disregulasi dari

sistem kekebalan tubuh. Pertama, diketahui bahwa timus berinvolusi sehingga sel

T bergantung lebih banyak pada kolam perifer. Selain itu, proliferasi sel T dan

produksi IL-2 mengalami penurunan. Sel T autoreaktif muncul dengan

bertambahnya usia. Dalam garis keturunan sel B respon humoral terhadap antigen

asing menurun sementara produksi antibodi autoreaktif meningkat. Perubahan

dalam repertoar B-sel pada tikus terjadi dengan penuaan yang mungkin berubah

yaitu gen V, D,dan J. sel B manusia dari individu yang berusia tua mengalami

proliferasi 50% kurang efisien dibandingkan dari usia muda, perbedaan ini

mungkin karena gangguan dalam komponen jalur transduksi sinyal tertentu dalam

sel-B. Penuaan juga berhubungan dengan ketidakseimbangan dalam T-dan B-

repertoar. Pengaturan ukuran dan aktifitas proliferasi clonotypes B-sel tertentu

pada orang tua mungkin kurang dikontrol dengan baik karena perubahan dalam

kompartemen sel-T. Ini ditambah dengan peningkatan frekuensi autoreaktif

clonotypes, dapat menghasilkan populasi B-sel yang kurang patuh pada peraturan

oleh sel T, sehingga meningkatan risiko untuk mengalami pertumbuhan otonom9.

Selain itu LNH sel B memiliki hubungan dengan keadaan

immunodeficiency, yang paling sering adalah oligoclonal atau poliklonal, dan ini

telah mengangkat isu bahwa beberapa limfoma ini lebih kepada

lymphoproliferative daripada gangguan neoplastik. Banyak limfoma timbul dalam

berbagai bentuk immunodeficiency seperti EBV+, menunjukkan peran partisipatif

gen EBV dalam proses lymphomagenic. Mekanisme dasar untuk limfomagenesis

pada immunodeficiency diduga melibatkan gangguan pengawasan imunologi dan

kemampuan sel-T untuk menghilangkan sel-sel mengekspresikan antigen

permukaan sel atipikal. Dalam sel B virus dipertahankan sebagai plasmid dalam

sitoplasma sel yang beristirahat, sehingga sejumlah besar sel B terinfeksi. Kondisi

Page 10: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

10

ini akan mempengaruhi pertumbuhan sel B menjadi sel ganas. Sel B yang baru

terinfeksi (nonneoplastic) dan baris sel lymphoblastoid yang dibiakkan dari darah

orang yang terinfeksi terus-menerus mengekspresikan beberapa protein virus

EBNAs 1, 2a, 3a, 3b, 3c dan EBNA-LP, LMP1, 2A, 2B tapi menghasilkan sangat

sedikit virus. Protein membran merupaka target antigen untuk sitotoksik T-sel9.

Sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap rnempertahankan

sifat "dasar"nya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat

mudah masuk aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan

sel kanker dari imunobias amat jarang masuk ke dalam aliran darah, namun

dengan tingkat mitosis yang tinggi1.

2.6 Klasifikasi Limfoma Non-Hodgkin

Secara umum klasifikasi LNH dibuat berdasarkan kemiripan sel-sel pada

suatu tipe LNH dengan limfosit normal dalam berbagai kompartemen diferensiasi.

Klasifikasi histopatologik harus disesuaikan dengan kemampuan patologis serta

fasilitas yang tersedia. Dua jenis klasifikasi yang paling umum dipakai adalah

klasifikasi Kiel dan Working formulation. Dibawah ini di uraikan klasifikasi

Rappaport yang merupakan awal klasifikasi LNH modern, Working formulation,

serta klasifikasi terbaru REAL3,4.

Tabel 2. Klasifikasi Rappaport

1. Lymphocytic, poorly differentiateda. Nodular (NLPD)b. Diffuse (DLPD)

2. Lymphocytic, well differentiateda. Diffuse (DLWD)

3. Mixed lymphocytic histiocytica. Nodular (NMLH)b. Diffuse (DMLH)

4. Undifferentiateda. Diffuse (DU)

Burkitt type Non-Burkitt (lymphoblastic) type

Page 11: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

11

Klasifikasi Rappaport memakai dasar bentuk morfologik, makin mendekati

bentuk limfosit kecil dianggap sel yang berdiferensiasi baik, sedangkan sel yang

lebih besar dianggap berdiferensiasi tidak baik. Sehubungan dengan itu, dilihat

susunan sel, apakah noduler, atau difus.

Klasifikasi Kiel

Klasifikasi Kiel membagi LNH menjadi 2 golongan besar, yaitu:

a. LNH dengan derajat keganasan rendah

b. LNH dengan derajat keganasan tinggi

Klasifikasi Kiel sudah menyesuaikan dengan kompartemen dari kelenjar getah

bening, serta membedakan asal sel, apakah dari limfosit B atau limfosit T

Tabel 3. Klasifikasi Kiel

Sel BLow grade malignancyLymphocyticLymphoplasmacyticPlasmacyticCentroblastic/centrocyticFollicularDiffuseCentrocytic

High grade malignancyCentroblasticImmunoblasticLarge cell anaplastic (Ki-1+)Burkitt’s lymphomaLymphoblastic

Rare types

Sel THigh grade malignancyLymphocyticSmall cerebriform cellMycosis funguidesSezary’s syndromeLymphoepitheloid (Lenner’s lymphomas)Angioimmunoblastic T zonePleomorphic small cell

High grade malignancyPleomorphic medium and large cellImmunoblasticLarge cell anaplastic (Ki-1+)LymphoblasticRare types

Page 12: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

12

Perumusan Praktis untuk Penggunaan Klinis

Perumusan praktis untuk penggunaan klinik (working formulation for

clinical usage) merupakan klasifikasi yang banyak dipakai. Sebetulnya klasifikasi

ini merupakan jembatan antar berbagai klasifikasi yang ada.

Klasifikasi yang baru dibuat berdasarkan perkembangan limfosit yang

dengan demikian dapat dihubungkan dengan letak sel pada kompartemen kelenjar

getah bening normal. Maka secara umum klasifikasi limfoma berasal dari sel B

adalah:

1. Precursor B-cell lymphoma

Limfoma dianggap berasal dari limfoblast. Dapat terjadi dalam bentuk

leukemia ataupun limfoma, yang keduanya identik atau disebut

lymphoblastic leukemia/lymphoma.

2. LNH yang berasal dari naive B-cell

LNH ini disebut sebagai small lymphocytic lymphoma (SLL) yang identik

dengan bentuk chronic lymphocytic leukemia (CLL).

3. LNH berasal dari germinal center dari suatu folikel limfoid. LNH dari

germinal center dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:

a. Follicular lymphoma: terdiri dari sel yang sangat mirip dengan sel dari

germinal center normal. LNH jenis ini biasanya bersifat indolen, tetapi

incurable. Follicular lympoma sering disertai translokasi kromosom 14

dan 18 {t(14;18)} yang menyebabkan juxtaposisi bcl-2 gene yang

mengatur apoptosis dengan Ig heavy chain gene.

b. Large cell lymphoma: terdiri dari sel-sel besar yang terdapat dalam

folikel normal (centroblast). Jenis ini sering bersifat difus karena itu

disebut sebagai diffuse large cell lymphoma. LNH jenis ini bersifat

agresif, tetapi sangat responsif terhadap kemoterapi.

4. LNH yang berasal dari mantle zone

LNH jenis ini disebut sebagai mantle zone lymphoma. Secara

imunofenotipe mirip dengan SLL, tetapi menunjukkan CD5 positif.

Perjalanan klinis slowly progressive dan incurable dengan standard

chemotherapy.

Page 13: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

13

5. LNH yang berasal dari marginal zone atau parafollicular

Termasuk dalam golongan ini adalah: B-cell monocytoid lymphoma, low-

grade mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma dan splenic

marginal zone lymphoma. Terdiri dari sel-sel limfosit kecil yang

menempati zone marginal atau prafolikuler dari folikel limfoid normal.

2.7 Gambaran Klinis Limfoma Non-Hodgkin

a. Gejala klinik limfoma non-hodgkin

1. Limfadenopati superfisial. Sebagian besar pasien datang dengan

pembesaran kelenjar getah bening asimetris yang tidak nyeri pada satu

atau lebih regio kelenjar getah bening perifer.

2. Gejal konstutisional. Demam, keringat pada malam hari, dan

penurunan berat badan lebih jarang terjadi pada penyakit Hodgkin.

Dapat terjadi anemia dan infeksi dengan jenis yang ditemukan pada

penyakin Hodgkin

3. Gangguan orofaring. Pada 5-10% pasein, terdapat penyakit di struktur

orofaringeal (cincin Waldeyer) yang dapat menyebabkan timbulnya

keluhan sakit tenggorok atau nafas berbunyi atau tersumbat.

4. Anemia, netropenia dengan infeksi, atau trombositopeni dengan

purpura merupakan gambaran pada penderita penyakit sumsum tulang

difus. Sitpenia juga dapat disebabkan oleh autoimun.

5. Penyakit abdomen. Hati dan limpa seringkali membesar dan kelenjar

getah bening retroperitonela atau mesentrika sering terkena. Saluran

gastrointestinal adalah lokasi ekstranodal yang paling sering terkena

setelah sumsum tulang, dan pasien bisa datang gejala nyeri abdomen

akut.

6. Gejala pada organ lain. kulit, otak, testis, atau tiroid sering terkena.

Kulit juga secara primer terkena pada dua jenis limfoma sel T yang

tidak umum dan terkait erat: mikosis fungoides dan sindrom Sezary.

Page 14: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

14

b. Kelainan Hematologi

Pada pemeriksaan hematologi seorang LNH dapat dijumpai kondisi

sebagai berikut:

1. Biasanya ditemukan anemia normositik normokrom, tetapi hemolitik

autoimun juga dapat terjadi3.

2. Pada penyakit lanjut yang disertai dengan keterlibatan sumsum tulang,

mungkin terdapat netropenia, trombositopenia (khususnya jika limpa

membesar), atau gambaran leukoeritroblastik.

3. Dapat dijumpa sel sel limfoma (misalnya sel zona selubung, sel

limfoma folikuler berbelah, atau blast) dengan kelainan inti yang

bervariasi, dapat ditemukan dalam darah tepi beberapa pasien.

4. Biopsi trephin sumsum tulang menunjukkan lesi fokal pada 20%

kasus. keterlibatan sumsum tulang lebih sering ditemukan pada

limfoma maligna derajat rendah. Pada pemeriksaan petanda

imunologik dengan teknik fluorensi atau peroksidase dapat

mendeteksi keterlibatan minimal (misalnya suatu populasi klonal sel B

yang terbatas) yang mudah dikenali dengan mikroskop konvensional7.

c. Petanda imunologik

Pemeriksaan petanda imunologik (immunological marker) untuk

melihat ekspresi antigen pada permukaan sel sangat penting untuk

menentukan jenis sel (sel B atau sel T) serta tingkat perkembangannya.

Antigen diferensiasi kelompok yang berguna dalam penegakan

diagnosis limfoma dapat dilihat pada tabel.

Tabel 4. Antigen diferensiasi kelompok (cluster differentiation, CD)

Sel T Sel B Petanda aktivasi Antigen umum leokosit

CD2CD3CD5CD7

Subset sel TCD4CD8

CD19CD20CD22CD24

Sel B langkaCD5

CD23CD25CD30

CD45

Page 15: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

15

Berbagai subtipe limfoma non-hodgkin dikaitkan dengan translokasi

kromosom khas yang mempunyai nilai diagnostik dan prognostik.

Kalainan yang sangat khas adalah t(8;4) pada limfoma Butkitt, t(14;18)

pada limfoma folikular, t(11;14) pada limfoma sel selubung, t(2;5) pada

sel besar anaplastik.

d. Kimia Darah

Dapat terjadi peningkatan asam urat serum. Uji fungsi hati yang

abnormal mengesankan adanya penyakit diseminata. Kadar LDH serum

meningkat pada penyakit yang lebih cepat berproliferasi dan kuas serta

dapat digunakan sebagai suatu petanda prognostik.

2.8 Stadium Penyakit

Penentuan stadium didasarkan pada jenis patologi dan tingkat keterlibatan.

Jenis patologi (tingkat rendah, sedang atau tinggi) didasarkan pada formulasi kerja

yang baru. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor.

a. Formulasi kerja yang baru5

Tingkat rendah:

1. Limfositik kecil

2. Sel folikulas, kecil berbelah

3. Sel folikulas dan campuran sel besar dan kecil berbelah

Tingkat sedang:

1. Sel folikulis, besar

2. Sel kecil berbelah, difus

3. Sel campuran besar dan kecil, difus

4. Sel besar, difus

Tingkat tinggi:

1. Sel besar imunublastik

2. Limfoblastik

3. Sel kecil tak berbelah

Page 16: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

16

b. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor1

Stadium I:

Keterlibatan satu daerah kelenjar getah bening (I) atau keterlibatan satu

organ atau satu tempat ekstralimfatik(IIE)

Stadium II:

Keterlibatan 2 daerah kelenjar getah bening atau lebih pada sisi diafragma

yang sama. II2: pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi diafragma. II3:

pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi diafragma. IIE: pembesaran 1 regio

atau lebih KGB dalam 1 sisi diafragma dan 1 organ ekstra limfatik tidak

difus / batas tegas.

Stadium III:

Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua did diafragma (III),

yang juga dapat disertai dengan keterlibatan lokal pada organ atau tempat

ekstralimfatik (IIIE) atau keduanya (IIIE+S)

Stadium IV:

Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus.

2.9 Diagnosis

a. Anamnesis

Umum:

Pemebesaran kelenjar getah bening dan malaise umum

- Berat badan menurun 10% dalam waktu 6 bulan

- Demam tinggi 380C 1 minggu tanpa sebab

- Keringan malam

Keluhan anemia

Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring)

Penggunaan obat (Diphantoine)

Khusus:

Penyakit autoimun

Kelainan darah

Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis)

Page 17: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

17

b. Pemeriksaan Fisik

PembesaranKGB

Kelainan/pembesaran organ

Performace status: ECOG atau WHO/Kamofsky

c. Pemeriksaan Diagnostik

a. Laboratorium

Rutin

Hematologi:

- Darah perifer lengkap

- Gambaran darah tepi

Urinalisa:

- Urin lengkap

Kimia klinik:

- SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam

urat.

- Alkali fosfatase

- Gula darah puasa dan 2 jam pp

- Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P

Khusus

- Gamma GT

- Cholinesterase (CHE)

- LDH/fraksi

- Serum Protein Elektroforesis (SPE)

- Imuno Elektroforese (IEP)

- Tes coombs

- B2 Mikroglobulin

Page 18: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

18

b. Biopsi

Biopsi KGB dilakukan hanya I kelenjar yang paling

representatif, superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenj ar

perifer/superfi sial yang representatif, maka tidak perlu biopsi

intra abdominal atau intratorakal. Spesimen kelenjar diperiksa:

- Rutin

Histopatologi: REAL-WHO dan Working

Formulation

- Khusus

Imunoglobulin permukaan dan Histo/sitokimia

Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sitologi.

FNAB dilalrukan atas indikasi tertentu.

Tidak diperlukan penentuan stadium laparatomi.

c. Aspirasi sumsum tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2

sisi spina iliaca dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm.

d. Radiologi

Rutin:

- Toraks foto PA dan lateral

- CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah)

Khusus:

- CT scan toraks

- USGAbdomen

- Limfografi,limfosintigrafi

e. Cairan tubuh lain: cakan pleura, asites, cairan serebrospinal j ika

dilakukan punksi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, di

samping pemeriksaan rutin lainnya.

f. Immunophenotyping: Parafinpanel: CD 20, CD 3.

Diagnosis LNH harus ditegakkan dari pemeriksaan histologi biopsi seksisi

kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal. Pemeriksaan dari hasil aspirasi

Page 19: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

19

jarum tidak memadai untuk diagnosis komfirmatif. Dilakukan klasifikasi

histopatologik menurtu klasifikasi yang lazim dipakai (di Indonesia umumnya

gabungan working formulation dan Kiel). Kemudian dilakukan prosedur

penderajatan penyakit sehingga derajat penyakit dapat ditentukan.

2.10 Penatalaksanaan

Terapi untuk LNH terdiri atas terapi spesifik untuk membasmi sel limfoma

dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau untuk

menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi. Terapi spesifik untuk

LNH dapat diberikan dalam bentuk berikut:

1. Radioterapi

a. Untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I)

b. Untuk ajuvan pada bulky disease

c. Untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut

2. Kemoterapi

a. Kemoterapi tunggal (singel agent)

Chlorambucil atau siklofosfamid untuk LNH derajat keganasan rendah

b. Kemoterapi kombinasi dibagi menjadi 3, yaitu:

i. Kemoterapi kombinasi generasi I terdiri atas:

CHOP (cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine,

prednison)

CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + bleomycine)

COMLA (cyclophosphamide, vincristine, methotrexate with

leucovorin rescue)

CVP/COP (cyclophosphamide, vincristine, prednison)

C-MOPP (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,

prednison, procarbazine)

ii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:

COP-Blam (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,

prednison, bleomycin, doxorubicine, procarbazine).

Page 20: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

20

Pro-MACE-MOPP (prednison, methotrexate with leucovorin

rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide,

mechlorethamine, vincristine, procarbazine).

M-BACOD (methotrexate with leucovorin rescue, bleomycin,

doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, dexamethasone).

iii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:

COPBLAM III (cyclophosphamide, infusional vincristine,

prednison, infusional bleomycin, doxorubicine, procarbazine).

ProMACE-CytaBOM (prednison, methotrexate with

leucovorin rescue, doxorubicine, doxorubicine,

cyclophosphamide, etoposide, cytarabine, bleomycin,

vincristine, methotrexate with leucovorin rescue).

MACOP-B (methotrexate with leucovorin rescue,

doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, prednison,

bleomycin).

Dari perkembangan terapi sampai saat ini ternyata kemoterapi kombinasi

CHOP terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi lain.

penambahan jenis kemoterapi ataupun lama pemberian tidak menambah

angka kesembuhan. Oleh karena itu, kemoterapi generasi kedua dan ketiga

jarang digunakan. (hemato merah).

3. Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan terapi

baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka panajang.

4. Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem

cell transplantasi.

5. Terapi dengan imunomodulator

Terapi dengan interferon diberikan untuk indolent lymphoma,

dikombinasikan dengan kemoterpai atau diberikan setelah kemoterapi

untuk memperpanjang masa remisi. Tetapi hasilnya sampai sekarang

masih kontroversial.

Page 21: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

21

6. Targeted therapy

Antibodi monoklonal: rituximab suatu chimeric monoclonal antibody

ditujukan untuk antigen CD20 yang diekspresikan oleh semua sel limfosit

B. Pemberian rituximab intravena setiap minggu selama 4 minggu

memberikan remisi parsial pada 50% LNH indolen. Sekaran gcenderung

digabung dengan kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada LNH

agresif.

Regimen kemoterapi yang paling umum dipakai adalah CHOP:

1. Cyclophosphamide 750 mg/m2 i.v. hari 1

2. Hydroxydaunomycine (adriamycine) 50 mg/m2 i.v. hari 1

3. Oncovin (vincristine) 2 mg/m2 i.v. hari 1 dan 5

Siklus diulangi setiap 3 minggu, sampai terjadi remisi komplit, kemudian

ditambah 2 siklus lagi. Jika sampai siklus ke-6 tidak terjadi remisi komplit,

sebaiknya diganti regimen lain. Data terbaru menunjukkan bahwa penambahan

anti-CD20 (Rituximab) pada terapi CHOP memperbaiki tingkat remisi DLCL8.

2.11 Prognosis

LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik yaitu Indolent

Lymphoma dan Agresif Lymphoma. LNH Indolen memiliki prognosis yang

relatif baik, dengan median survival I 0 tahun, tetapi biasanya tidak dapat

disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau

folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek,

namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi

intensif. Risiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologis

"divergen" baik pada kelompok Indolen maupun Agresif.

International Prognostik Index (IPI) digunakan untuk memprediksi

outcome pasien dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi

regimen kombinasi yang mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan

pada hampir semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi

Page 22: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

22

prognosis, yaitu usia, serum LDH, status performans, stadium anatomis, dan

jumlah lokasi ekstra nodal.

Setiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga

abnormalitas dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor yang

didapat arfiara 0-5. Pada pasien usia <60 “ (age adjusted lPl), indeks yang

digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi faktor stadium anatomis, serum

LDH, dan status “performance”, tanpa status ekstra nodal.

Gambar 1. Indeks Prognostik Pasien LNH.

Gambar 1. Indeks Prognostil Pasien LNH

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V

Page 23: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

BAB III

KESIMPULAN

Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner limfosit

yang dapat berasal dari limfosit B dan limfosit T yang merupakan penyakit yang

sangat heterogen dilihat dari segi patologi dan klinisnya.

Etiologi sebagian besar Limfoma Non-Hodgkin tidak diketahui. Namun

terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya Limfoma Non-

Hodgkin, yaitu onkogen, infeksi virus Ebstein Barr, Human T-leukemia Virus-I

(HTLV-I), penyakit autoimun dan defesiensi imun.

Diagnosis Limfoma Non-Hodgkin bisa didapatkan melaui amanmnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Tetapi untuk penegakan

diagnosis pasti Limfoma Non-Hodgkin adalah dengan melakukan pemeriksaan

histologi biopsi eksisi (excisional biopsy) kelenjar getah bening atau jaringan

ekstranodal. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan pemebesaran

kelenjar getah bening dan malaise umum, dan pada pemeriksaan labratorium

biasanya ditemukan anemia normositik normokrom. Selain itu pemeriksaan

petanda imunologik (immunological marker) untuk melihat ekspresi antigen pada

permukaan sel juga sangat penting untuk menentukan jenis sel (sel B atau sel T)

serta tingkat perkembangannya.

Terapi untuk Limfoma Non-Hodgkin terdiri atas terapi spesifik untuk

membasmi sel limfoma dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum

penderita atau untuk menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi.

Terapi spesifik yaitu radioterapi, kemoterapi (CHOP), Transplantasi sumsum

tulang, transplantasi sel induk, imunomodulator, dan targeted therapy.

23

Page 24: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Setioyohadi, B. 2009. Limfona Non-Hodgkin. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid II. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam;

1251-1260.

2. Sutrisno, H. 2010. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Limfoma

Non-Hodgkin Yang Dirawat Di Rsup Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit

Dalam volume 2; 96-102

3. Hoffbrand A.V. 2005. Limfoma maligna. Kapita Selekta Hematologi Edisi

4. Jakarta: EGC; 185-198

4. Bakta IM. 2007. Limfoma maligna. Hematologi klinik ringkas. Cetakan I.

Jakarta: EGC;.p.192- 219.

5. Santoso, M., Krisfu, C. 2004. Diagnostik dan Penatalaksanaan LNH. Dexa

media: No. 4(17).

6. Emmanouillides C, Casciato DA. 2004. Hodgkin and non-Hodgkin

lymphoma. In Manual of clinical oncology, 5th Ed. Lippincot Williams &

Wilkins : 435-56.

7. Bruce D. Cheson. 2007. Revised Response Criteria for Malignant

Lymphoma. Journal Of Clinical Oncology. Volume 25(5); 581

8. Forspointner R, Dreyling M, Repp R, et all. 2004. The summary: The

addition of rituximab to a combination of fludarabine, cyclophosphamide,

mitoxantrone (FCM) significantly increases the response rate and prolongs

survival as compared to FCM alone in patients with relapsed and

refractory follicular and mantle cell lymphomas. Results from a

prospective randomized study of the German Low Grade Lymphoma

Study Group (GLSG). Blood (4); 3061-7l.

9. Potter M. 1992. Pathogenetic Mechanisms in B-Cell Non-Hodgkin's

Lymphomas in Humans. Cancer Research. 52: 5525s-5528s.

Page 25: Diagnosis Dan Tatalaksana LIMFOMA NON Hodgkin

25

10.Pasqualucci, at al. 2003. Molecular Pathogenesis of Non-Hodgkin's

Lymphoma: the Role of Bcl-6. Institute for Cancer Genetics, Columbia

University. Vol 44 (S3) S5-S12.

11.Shaffer AL, at al. 2000. BCL-6 represses genes that function in lymphocyte

differentiation, inflammation, and cell cycle control. 13(2):199-212.