desirable stress undesirable stress -...
TRANSCRIPT
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stres dapat mengenai semua orang dan semua usia. Stres baik ringan, sedang maupun
berat dapat menimbulkan perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan perilaku. Stres
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu akut dan kronik. Efek psikologi stres tidak
tergantung pada jumlah stres maupun beratnya stres yang terjadi, akan tetapi tergantung pada
status stres itu sendiri, apakah stres tersebut diinginkan (desirable stress) atau tidak
diinginkan (undesirable stress). Stres yang tidak diinginkan mempunyai potensi yang lebih
besar dalam menimbulkan efek psikologis.
Masuk lembaga pemasyarakatan dan menjalani kehidupan sebagai narapidana adalah
suatu stres yang tidak diinginkan, stres yang berat dan membutuhkan penyesuaian diri yang
berat. Penyesuaian tersebut meliputi fisik, psikis, dan sosial. Situasi lingkungan yang terpaksa
harus didapat, dibedakan atas lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan fisik adalah semua
benda mati yang ada di sekeliling narapidana, misalnya ruangan sel, bangunan penjara dan
pagar penjara. Sedangkan lingkungan sosial terdiri dari teman satu sel, sipir, tukang kebun,
tim medis penjara, juru masak, dan rohaniawan (Saputra, 2008).
Lembaga pemasyarakatan (Lapas) atau yang lebih di kenal dengan nama penjara.
Istilah tersebut sudah sangat membuat rasa takut dan perasaan yang tidak menyenangkan,
karena stigma yang melekat di dalamnya, seperti pemukulan, penyiksaan, pelecehan seksual,
kesehatan yang buruk, fasilitas yang minim dan kapasitas yang berlebihan. Secara umum,
permasalahan yang menuntut narapidana untuk menyesuaikan diri adalah kehilangan
kebebasan fisik, kehilangan kontrol atas hidup, kehilangan keluarga, kehilangan barang dan
jasa, kehilangan keamanan, kehilangan hubungan heteroseksual, kurangnya stimulasi, dan
gangguan psikologis. Semua tekanan yang dialami narapidana di dalam penjara dapat
menimbulkan penyakit, baik itu penyakit fisik ataupun psikis, seperti sering melamun, mudah
tersinggung, menyerang orang lain, dan bahkan bunuh diri (Rininta, 2004).
Persepsi masyarakat yang jelek tentang seorang narapidana memberikan efek yang
buruk terhadap persepsi narapidana di masyarakat tentang diri mereka, sehingga narapidana
kehilangan rasa kepercayaan diri dan merasakan kecemasan menghadapi penerimaan
masyarakat setelah hukuman berakhir (Kartono, 2011). Hukuman pemenjaraan yang sangat
14
lama akan menimbulkan tekanan-tekanan batin yang semakin memberat dengan
bertambahnya waktu pemenjaraan, sehingga akan muncul rasa rendah diri yang hebat,
kecenderungan autistik dan usaha melarikan diri dari realitas yang traumatik
Gangguan atau persepsi terhadap perubahan lingkungan baik itu yang negatif
(ancaman) maupun positif (hadiah) akan menyebabkan serangkaian perubahan fisiologis
organisme untuk beradaptasi, yang paling penting adalah aktivasi dari sumbu HPA. Sumbu
HPA memediasi pelepasan glukokortikoid dari glandula adrenal, dimana glukokortikoid
tersebut menyebabkan organisme lebih waspada terhadap perubahan lingkungan atau
fisiologis dan untuk mempertahankan homeostatis. Stress yang berat atau berkepanjangan
seperti menjadi narapidana akan menyebabkan disregulasi dari sumbu HPA, yang kemudian
akan menimbulkan gangguan jiwa seperti depresi, anxietas, bahkan gangguan psikotik.
Gangguan depresi merupakan gangguan psikiatri yang banyak diderita oleh penduduk
dunia. Prevalensinya berkisar antara 15-30%. Di Amerika Serikat, depresi mengenai hampir
17 juta penduduk setiap tahun. Angka kejadiannya meningkat pada beberapa populasi khusus
seperti lanjut usia dan pasien dengan kondisi medis umum. Berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar 2007, prevalensi gangguan mental emosional berupa depresi dan cemas pada
masyarakat berumur di atas 15 tahun mencapai 11,6 persen (BPPT Depkes, 2008).
Diperkirakan jumlah yang menderita gangguan kecemasan ini baik yang akut maupun kronik
mencapai 5% dari jumlah penduduk, dengan perbandingan antara wanita dan pria 2 : 1
(Hawari, 2001). Salah satunya adalah kesehtan mental para narapidana di penjara. Masalah
kesehatan mental tertinggi ada di penjara (Mitchell, 2010).
Warga binaan memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan kesehatan baik fisik
mauapun mental selama masa pembinaan. Namun hal tersebut kurang mendapatkan
perhatian. Kenyataannya banyak narapidana yang mengalami gangguan psikologis seperti
cemas, stress, depresi dari ringan sampai berat (Butler dan Allnut, 2005). Gangguan jiwa
yang sering ditemui di lapas adalah gangguan afektif, gangguan kepribadian dan skizofrenia
(James dan Lauren, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh University Of South Wales menunjukkan bahwa 36 %
masalah kesehatan mental yang dirasakan oleh penghuni Lapas adalah anxietas dan wanita
lebih tinggi tingkat kejadianya dibandingkan dengan pria yaitu 61 % : 39% (Butler dan Allnut,
2005). Hasil 62 survei di 12 negara dan mencakup 22.790 narapidana menemukan tiap 6
bulan terjadi prevalensi psikosis pada pria 3,7 % dan wanita 4 %, depresi mayor pada pria 10
% dan wanita 12 % serta gangguan kepribadian pada pria 65 % dan wanita 42 % (WHO
15
Conference on Women’s Health in Prison, 2008). Narapidana menjelang bebas memiliki
kecenderungan depresi yang disebabkan oleh kecemasan narapidana dalam menghadapi masa
depan (Novianto, 2008). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fahruliana (2011)
menyatakan bahwa munculnya kecemasan pada narapidana umumnya saat menjelang masa
pembebasan.
Menjalani kehidupan sebagai narapidana di Lembaga Pemasyarakatan bukan
merupakan sesuatu yang menyenangkan. Individu dituntut melakukan penyesuaian terhadap
kehidupan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Penyesuaian yang dilakukan terhadap
kehidupan narapidana membutuhkan variabel waktu. Masa hukuman narapidana yang satu
dengan narapidana yang lain berbeda. Lama masa hukuman yang harus dijalani oleh para
narapidana didasarkan atas berat ringannya tindak kejahatan yang dilakukan oleh narapidana
tersebut.
Meningkatnya tindak krimininalitas dan penegakkan hukum berdampak pada banyak
penghuni Lapas. Namun, hingga saat ini, kapasitas Lapas belum sebanding dengan jumlah
penghuninya. Sudah menjadi fakta publik, kerusuhan demi kerusuhan yang terjadi di dalam
LP beberapa tahun terakhir ini memiliki karakter sebab yang sama, yakni tidak seimbangnya
antara kapasitas bangunan dan jumlah penghuni penjara (Mujahid, 2013). Kejadian terakhir
yang paling menggemparkan dan baru terjadi adalah penyerbuan dan pembunuhan napi oleh
oknum anggota pasukan khusus di LP Cebongan Sleman pada 23 Maret 2013 (Media
Indonesia, 16 Juli 2013). Akibat kejadian tersebut, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bukan
saja harus melakukan evaluasi terhadap sistem pengamanan, tetapi juga perlu memberikan
terapi psikologis kepada petugas Lapas Cebongan dan penghuni Lapas. Mereka menyaksikan
langsung empat hukuman itu dieksekusi dengan cara ditembak dari jarak dekat. “Sampai hari
keempaat pasca-kejadian, ada hukuman yang belum bisa makan karena trauma dan shock
mencium dan melihat korban serta darah berceceran,” ucap Kalapas Sleman, B.Sukamto
(Warta Pemasyaraktan, 2013) .
B. Permasalahan
Dari uraian di atas dapat dirumuskan masalah : Apakah terdapat hubungan antara
lamanya menjalani hukuman dengan depresi pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Cebongan, Sleman, Yogyakarta?
16
C. Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara lamanya
menjalani hukuman dengan depresi pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan,
Sleman, Yogyakarta.
D. Manfaat
Apabila hasil penelitian ini dapat menunjukkan adanya hubungan antara lamanya
menjalani hukuman dengan depresi pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan,
Sleman, Yogyakarta diharapkan dapat memberi manfaat, berupa:
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan tambahan pengetahuan bagi semua
pihak, berupa pengetahuan tentang hubungan antara lamanya menjalani hukuman dengan
depresi pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta
2. Manfaat Praktis
Diharapkan dengan tulisan ini, deteksi dini dan perumusan strategi dalam penanganan
depresi pada narapidana yang tinggal di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman
Yogyakarta, menjadi lebih komprehensif sehingga angka prevalensi depresi dapat ditekan.
E. Keaslian Penelitian
1. Hassan et al (2011); melakukan penelitian mengenai prevalensi dan prediktor dari
simptom psikiatri pada narapidana selama penahanan awal. Persamaan penelitian ini
adalah pada sebagian tujuan penelitian dan populasi penelitian. Perbedaannya terdapat
pada desain penelitian dimana penelitiannya adalah cohort, karakteristik subjek
penelitian penelitian dan kuesioner penelitian.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Assadi et al (2006) dengan judul morbiditas psikiatri pada
Narapidana ; penelitian prevalensi di Iran, dimana tujuan penelitiannya adalah untuk
menginvestigasi prevalensi gangguan psikiatri pada Narapidana Iran. Persamaan
penelitian ini diantaranya adalah menginvestigasi prevalensi depresi pada Narapidana
dan hubungannya dengan lama penahanan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
Assadi adalah populasi penelitiannya terbatas pada satu Lembaga pemasyarakatan,
Gangguan psikiatri yang diteliti hanya depresi, dan kuesioner yang di pakai adalah Beck
Depression Inventory sedangkan pada Penelitian Assadikuesioner yang di pakai adalah
17
Structured Clinical Interview for DSM-IV (SCID) dan the Hare psychopathy
checklist:screening version (PCL-SV)
3. Penelitian Pinese et al tahun 2010 dengan judul prediktor demografi dan klinis dari
simptom depresi pada wanita yang di penjara. Persamaan penelitian ini adalah pada
variabel penelitian dan kuesioner depresi yang menggunakan Beck depression inventory.
Perbedaan penelitian ini adalah pada populasi penelitian, dimana pada penelitian Pinese
et al, populasinya pada Narapidana wanita.
4. Penelitian Ravazi et al tahun 2012 dengan judul depresi dan anxietas pada anak-anak
dari Narapidana perang: penelitian cross sectional. Persamaan penelitian ini adalah pada
disain penelitian dan sebagian variabel penelitian yaitu simptom depresi serta sebagaian
kuesioner depresi yaitu Beck Depression Inventory. Perbedaan penelitian terdapat pada
populasi penelitian dan kuesioner penelitian, dimana pada penelitian Ravazi populasinya
adalah anak-anak dari narapidana perang. Penelitian Ravazi merupakan kombinasi dari
wawancara psikologis dan Kuesioner ( BDI dan HARS).
5. Lubis A (2008); Sindrom depresif pada Narapidana Lembaga pemasyarakatan anak
Medan. Tujuan penelitian ini untuk melihat hubungan antara simptom depresi dengan
variabel sosiodemografi (umur, pendidikan, tempat tinggal, sosial ekonomi orang tua,
status perkawinan orang tua, jenis tindak pidana, dan lamanya hukuman) pada
narapidana anak Lapas Medan. Persamaan penelitian ini adalah pada desain penelitian
yaitu cross sectional, sedangkan perbedaannya terdapat pada subjek penelitian dan
kuesioner penelitian.