pustaka.pu.go.idpustaka.pu.go.id/sites/default/files/1975_kemungkinan_pencemaran_k... · gabung...

45

Upload: trinhthu

Post on 26-Feb-2018

231 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

KEMUNGKINAN PENCEMARAN KARENA PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK

01 JAKARTA

OLEH

ISTIGNO ANDRINI MARTONO

I :, r: PARTEME PEK ERJAAN UMUM 0 U SLITBANG

' '· 1: R PUS TA KA AN

' / 8/H /T/ L

N. l. : ~~I ~I N K • 9/ ;:) 'I , -0

• • "' • -' • ~ - .- • 71 1$ I /-c.

PERUSAHAAN UMUM LISTRIK NEGARA

LEMBAGA MASALAH KETENAGAAN JAKARTA . NOPEMBER 1975

D A F T A R I S I

1. Pendahuluan

2 •• engaruh Pencemaran Udara pada Kesehatan

3. Penyebaran Unsur-unsur Kontaminasi Udara

4. Per hi tung an P~ncemaran Udara dari PLTU

5. Perhitungan Teoritis Pencemaran Udara dari PLTG

6. Pengaruh Air Pendingin

7. Kesimpulan

Pengakuan

Daftar Literatur

Lampiran-lampiran

lamp. 1 Perbandingan kapasitas pembangkitan tenaga listrik thermal

lamp. 2 Pembangkit listrik tenaga panas PLN sampai REPELITA II pada kota-kota terpenting

- lamp. 3 Climatological summary

- lamp. 4

- lamp. 5

- lamp. 6

- lamp. 7

Station Jakarta Observatory -Indonesia

Period of records 1961-1970 ( 10 years ) Harga batas 50 2 untuk standar kwalitas uda­ra dari berbagai negara

Cotoh standar kwalitas udara, California 1971 Rumus-rumus untuk perhitungan teoritis pence1uaran udara dari PLTU *)

Jakarta

hal.

1.

1.

5.

9.

13.

14.

17.

Abstract

English title PROBABILITIES OF POLLUTION FROM THERMAL POWER

GENERATION IN THE VICINITY OF JAKARTA

An approach was made to study probable pollution effects fTom existing and planned thermal power stations of the State Electric Authorit~ up till the end of the second Five Year Development Plan at 1978.

The planned power capacity of 682 MW is still very low compared to cities with known air pollution calamities. Tall single multiflue stacks of over 70 m will suffice to keep ground level S0 2 concen­trations below 0,04 ppm if using fuel oil containing 3,5% sulfur. Down town Jakarta with slow congested traffic is already polluted by exhaust CO and hydrocarbon gasses. The seasonal northwestern winds from December to March will carry the flue gasses from the planned 300 MW Muarakarang power station to downtown Jakarta.Our­ing that time, it will be prudent to change to low"sulfur Indone­sian fuel oil, to avoid possible synergistic effects from combina­tion of S02 , CO and hydrocarbon gasses in the humid rainy season . Thermal pollution from cooling water discharge will have little ef­fect on fishery, since the coastal waters of Jakarta are no breed­ing grounds for commercial fishes.

KEMUNGKINAN PENCEMARAN KARENA PEMBANGKITAN

TENAGA LISTRIK DI JAKARTA

Istigno, Andrini Martono

1. P E N D A H U L U A N

Pada saat ini di Indonesia belum ada peraturan-peraturan

pembatasan mengenai pencemaran yang berhubungan dengan pem -

bangkitan tenaga listrik, baik pencemaran udara karena gas-gas

pembakaran, maupun pencemar~ thermal karena pembuangan air

pendingin. 32 ) Jumlah kapasitas pembangki tan listrik masih sa -

ngat minimal dibandingkan negara-negara yang telah berkembang

dan masih banyak persoalan pencemaran lain yang lebih perlu

di tanggulangi yang terutama di akibatkan oleh kemiskinan dan ur­

banisasi yang sangat meningkat. Tetapi mengingat akan rencana

peningkatan kapasitas tenaga listrik dua kali lipat setiap li­

ma tahun, maka sebaiknya dalam perancangannya segi-segi yang

negatip ini sejauh rnungkin dihindarkan. Maka telah diusahakan

melakukan pendekatan terhadap kemungkinan pencemaran udara

maupun pencemaran thermal karena pembuangan air pendingin, ter­

utama di daerah Jakarta.

2. · PENGARUH PENCEMARAN UDARA PADA KESEHATAN

Asap, jelaga dan debu adalah sisa-sisa pembakara~ yang

mula pertama dianggap mengganggu pernapasan, penglihatan dan

mengotori daerah sekitarnya. Pencemaran jenis-jenis ini masih

terjadi di Indonesia, walaupun mungkin tidak lagi berasal dari

pembangkit tenaga listrik ( PLN ).

Penduduk disekitar cerobong rendah yang memuntahkan pencemar­

pencemar tersebut telah puas dengan pemberian "ganti rugi" se­

kedarnya.

Manusia memerlukan sejumlah kecil belerang untuk badannya,

tetapi konsentrasi yang terlalu tinggi dari so2 akan mengaki -

batkan makin parahnya penyakit-penyakit pernapasan dan jantung

yang khronis.

Yang terutama terpengan.1h adalah anak-anak dan yang telah ben.1s,ia

lanjut, yang memang telah mengidap penyakit jantung, astma, bron­

chitis, dan lain~lain penyakit pernapasan.

Temp at

2.

Beberapa peristiwa yang parah beserta kondisi setempat ter­cantum pada tabe1 dibawah ini :

r - . k b d SO) er1st1wa or an pencemaran u ara.

Tahun Kadar S02 ( ppm )

Jumlah kematian

Kondisi setempat

Faktor lain :I I

1-------+-----+------+------+-----t---------j I

Lembah Meu- 1930 se, Be1gia (5 hari)

10 - 40 60 - lembah; - 1embab, - daerah - inversi

industri

Donora, USA 1948 2 20 - lembah, - kabut tebal,

London

London

(5 hari)

1952 1,34 1.597 l) (5 hari)

1962 1,98

- daerah industri .

Kota industri

idem

- debu dari pabrik baj a & seng, 18) 25001Jg/m 3

- inversi

- asap 44601-lg/m~i - lembab/kabut 'I

inversi

- lembab/kabut I

Dari kondisi setempat dan faktor-faktor lain ternyata bahwa

berbagai faktor ikut menyebabkan malapetaka pencemaran. Ke­empat peristiwa trrsebut terjadi pada musim dingin.

so2 sendiri pada konsentrasi < 25 ppm akan mempengaruhi I'

sistim pernapasan"· bagian atas saja. Sedang bila < 10 ppm ti-dak mengganggu mata. Tetapi ketahanan terhadap so2 akan sangat berkurang bila so2 terdapat bersamaan dengan kelembaban yang tinggi atau adanya " aerosol."

Pada tahun 1956 Inggris ~engeluarkan peraturan pembatasan asap. Dan ternyata korban peristiwa pencemaran tahun 1962, ·ku­rang dari tahun 1952, wa1aupun kadar so2 pada peristiwa tahun 1962 lebih tinggi, karena berkurang faktor-faktor lain.

3.

so2 akan terabsorpsi oleh lendir pada sistim pernapasan se­

belah atas, maka pengaruhnya/iritasinya tidak begitu parah.

Tetapi hila ada aerosol ( 0,005~- SO~), so2 dapat terabsorpsi

pada permukaan partikel-partikel dan terbawa sampai kedalam paru­

paru. Karena absorpsi tersebut kadar so2 setempat jadi lebih

tinggi.

Partikel-partikel yang besarnya lebih dari 10 micron akan

tertangkap dalam hidung dan tenggorokan. Tetapi partikel yang be­

sarnya kurang dari 2 micron bisa menembus sampai kedalam paru-pa­

ru. Dengan demikian S02 dengan kadar tinggi tersebut dapat meng -

akibatkan gangguan pada paru-paru.

so2 dapat teroksidasi menjadi so3 karena berbagai faktor,

antara lain : kelembaban udara, adanya katalisator Fe2o3 dan

Al 2o3, absorpsi radiasi solar, adanya NOx dan hidrokarbon tak je­

nuh. so3 yang terbentuk itu lalu dapat terlarut dalam titik-titik

air dalam udara yang lembab. Butiran-butiran asam itu dapat ber­

gabung dengan molekul-molekul air lain dan dengan demikian mem -

bentuk kabut, dan dapat terkondensasi pada butiran/zat padat

(aerosol). Maka adanya beberapa unsur/faktor bersamaan, so2 de­

ngan NO , kelembaban dan aerosol akan memberikan akibat lebih he-x sar dari pada pengaruh masing-masing faktor dijumlahkan.

NOx ( NO dan N02 ) dan hidrokarbon sisa pembakaran tak sem­

purna, dapat mengalami reaksi fotokimia dimana terjadi ozon dan

oksidator-oksidator lain yang menyebabkan gangguan pada mata dan

tenggorokan, serta mengurangi kecerahan dengan warna kecoklatan.

Kabut fotokimia semacam ini misalnya terjadi di kota Los Angelos

dan diberbagai kota Jepang ( 48025 korban dalam tahun 1971 )~4 ) Di Indonesia penyakit pernapasan merupakan juga salah satu

penyakit rakyat yang penting ( lihat tabel dibawah ). Dan penya­

kit paru-paru merupakan yang paling banyak pasiennya dari Bagian

Anak RSTM, Jakarta. Tetapi hal ini terutama disebabkan penularan.

Pengaruh lain adalah "pencemaran" karena debu rumah (housedust )

4.

Banyaknya kematian yang disebabkan o1eh beberapa penyakit di DKI

Jakarta, tahun 1967 - 1970, 3)

Jenis Penyakit T a h u n

1967 1968 1969 1970

Penyakit alat pernapasan, 10.002 10.926 7.064 8.100 Influenza, Bronchitis, PnelUlloni

Usia lanjut 1. 789 2.016 1.456 1.801

T. B. c. 1. 279 1.474 1.030 3. 724

Batu-batu ginjal 3 2 - 5

Enteritis 4.597 4.276 3.004 1.246

Jantung 642 591 537 989

Dysentri 308 295 104 171

Pendarahan otak 300 225 264 296

Cirrhosis of Liver 119 115 77 77

Typhus 114 52 37 35

Hypertensi 112 101 82 132

Dyptheria 64 42 31 16

Kelainan bawaan 61 69 72 101

Kecelakaan lalu lint as 47 50 50 59

Pernbunuhan ( bunuh diri ) 21 12 13 52

Kecelakaan keracunan 22 80 21 10

Lain-lain 14.068 12.534 9.851 12.075

J u rn 1 a h 33.548 32.860 23.693 28.889

5.

3. PENYEBARAN UNSUR UNSUR KONTAMINASI UDARA

Di Indonesia problernatika pencernaran udara belurn begitu se­

rius hingga saat ini. Karenanya penyelidikan akan pencernaran uda-

ra rnasih di atas kertas saja. Pada negara-negara yang telah

rnaju industrinya, pencernaran udara sudah dianggap persoalan yang

perlu dibatasi guna rnelindungi rnasyarakat beserta lingkungannya.

Karena itu data yang tertera dalarn tulisan ini adalah data dari

negara-negara yang telah rnelakukan penyelidikan rnengenai hal ter­

sebut, yang rnungkin tidak dapat begitu saja berlaku bagi Indone -

sia.

Di Arnerika Serikat negara-negara bagian rnernpunyai standar pence -

rnaran udara yang berbeda-beda, begitu pula di Inggris, Jepang dan

sebagainya. Hal ini tergantung dari banyak faktor antara lain ke­

padatan penduduk, lingkungan dan sebagainya.

Untuk PTL ( Pernbangkit Tenaga Listrik ) penyebab utarna yang rnern­

pengaruhi pencernaran udara adalah

kadar belerang yang tinggi dalarn bahan bakar

- konstruksi dan cara operasi PTL

- tinggi cerobong asap serta konstruksinya

- letak pusat pernbangkitan·

besarnya unit PTL dan jurnlah jam operasi

Faktor-faktor ini secara garis besarnya dapat dikernukakan sebagai

berikut :

3 .1. Kadar be lerang yang tinggi dalarn bah an bakar.

Di Jakarta PTL rnernakai bahan bakar cair berupa residu,

atau rninyak solar ( HSD ). Berdasarkan spesifikasi bahan ba­

kar cair di Indonesia residu rnengandung rnaksirnurn 3,5% S;

HSD ± 0,5%; IDO 1,5% S. Kontarninasi bahan bakar cair yang

dapat rnenirnbulkan pencernaran·udara yang terpenting adalah

senyawa belerang ( lihat perhitungan untuk PLTG, PLTU ). Ha­

sil pernbakaran suatu bahan bakar akan rnenghasilkan panas dan

sisa pernbakaran.

Sisa pernbakaran tersebut sebagian terkurnpul dalarn ruang ba -

kar serta saluran-salurannya dan bagian terbesar (gasnya) di

huang lewat cerobong. Adanya kadar belerang yang tinggi da -

lam bahan bakar rnengakibatkan bertarnbahnya kadar belerang

6.

dalam gas bakar sebagai so2 atau senyawa belerang lain.

Di beberapa negara usaha untuk mengurangi kadar belerang

dalam minyak seminimal mungkin telah banyak diusahakan de -

ngan berbagai cara. Dalam usaha pencegahan pencemaran udara

maka beberapa negara mengharuskan pemakaian residu dengan ka­dar belerang kurang dari 1% seperti misalnya beberapa negara

bagian di USA, beberapa tempat di Jepang misalnya Tokyo mau­

pun. di negara-nagara Eropa.

Di Indonesia, khususnya di Jakarta pembatasan kadar be­

lerang untuk residu seminimal mungkin secara tegas belum ada.

Peraturan pemerintah DKI Jakarta No. 12 Th 1971 tentang pen­

cegahan pengotoran udara hanya menyatakan pelarangan merugi­

kan kesehatan umum. Akan tetapi batas kadar pencemaran tidak

dijelaskan. Hal ini dapat dimengerti karena selain merupakan hal yang "baru", juga belum dilakukan penyelidikan yang men­

dalam ataupun belum ada laporan gangguan kesehatan akibat

pencemaran udara di Jakarta.

3.2. Konstruksi dan cara operasi

Kadar zat-zat pencemar seperti so2 dan NOx, selain di -

tentukan oleh bahan bakar juga di tentukan oleh konstruksi

ruang bakar dan saluran-saluran asap serta cara pengaturan

pembakaran. Masing-masing jenis pembangkit mempunyai perbe­

daan prinsip dalam konstruksi ruang bakar dan saluran-saluran

asapnya.

Pada PLTU konstruksinya tergantung antara lain dari tipe dan

jenis ketel, jenis pemanas udara ( air-preheater ). Komposi­

si gas asap juga tergantung adanya alat-alat atau proses pem­bersihan gas asap, seperti adanya pemisah debu, absorpsi S02

dengan penggunaan "additives" pada minyak bakar atau dengan

sistim pencucian gas asap (stack gas). Udara yang berlebihan

dan temperatur api yang tinggi akan memperbanyak terj adinya

NOx. Usaha-usaha untuk mengurangi terjadinya S02 dan NOx pa­

da PLTU dengan absorpsi S02 atau pencucian gas asap. serta

membatasi seminimal mungkin udara berlebih, akan memerlukan

7

biaya yang t_ing_si .tmtuk,,p~.r_al(it~.W, pemeliharaan dan akan me­

ngurangi_ ef~siensi ba.~ar: .. ~fl4a P_LT~. 9al;:un pros.es pembakaran

digunakan u.dara berle.bih yang bes,ar: s,ekalidi banding dengan

PLTU. Suhu _gas asap jug(ljauh lebih besar. Tetapi ruang ba -. • - J '• .

kar dan sistim saluran gas ~ap j auh l~bih sederhana. Maka . . ' ~ . . . - ' . .

dengan k.omposisi, bahan bakar yang sama, dengan PLTU, PLTG

akan menghas_pkan NOx )ebih ban:rais.

3. 3. Tinggi cerobong asap.

Tinggi reridahnya ceroborig ( H0 ) bei-perigaruh besar

terhadap pencemaran udara. Makin tinggi cerobong asap, rna­

. kin j auh dan luas periyebarannya, seh:lngga makin kecil ka -

dar pencemar yang sampai di permukaan tanah dalam setiap

satuan waktu. ) '

Untuk menambah tingginya semburan gas bakar·dari cerobong

(He= effective.height) yaitu ifaktor yang menent~kan ja­

rak dan konsentrasi ?encemar maksimum di permukaan tanah, . . . . . -

beberapa ceroborig dapat d1gabung Trierij adi satu; karena ke-

hiiangan pana; g~s bak~r-berku~ang/semburanriya lebih ting-.. ' . . . .

gi (He lebih tinggi ).

Bila terdapat banyak sumber/cerobong dalam satu daerah,

meninggikan cerobong tidak lagi dapat membantu pengurang­

an pencemaran, karena tinggi cerobong tidak mempengaruhi

jumlah gas bekas.atau:pencemar~pencemar yang dikeluarkan­

nya.

3.4. Letak pusat pembangkitan.

Lokasi pembangkit antara lain· diteri.tukan · oleh pol a

rene ana tat a kota, dari pada umumny'a diberi lcikasi di bat as

atau di luar kota. Dalam merientukan lokas'i. ini, perlu di -

perhatikan persoalan geografi; berbukit-bukit, lembah atau

datar. Daerah lembah at au perbuki tan· tidak menguntungkan

terhadap p~myebaran gas bakar, 'k~ima asap· dapat: tertahan

setempat. u~tuk j angk a waktu laina misalnya yang terj adi pa­

da peristiwa Meuse dan Donora ( lihat halaman 2 j.

*)

B.

Selain geografi, perlu diperhatikan arah dan kecepatan angin setempat. Dalam musibah pencemaran di Meuse, Donora dan Lon­don terdapat faktor terjadinya inversi, yaitu keadaan atmos­fera yang sangat stabil, tidak ada angin. Atmosfera stabil untuk daerah lintang sedang dapat terjadi pada musim dingin hila massa udara dari daerah tropis yang panas berhembus di­atas suatu daerah keadaan inversi ini dapat berlangsung sam­pai beberapa hari. Didaerah tropis atmosfera stabil terjadi pada waktu pagi selama satu-dua jam saja. Karena perubahan terjadi dalam siklus satu hari, tidak akan terjadi keadaan

inversi selama berhari-hari yang membahayakan tingkat pence­maran. *)

Arah angin musim untuk daerah Jakarta adalah dari timur se­lama·bulan April - Agustus dan dari arah barat laut selama bulan Desember - Maret ( lihat lampiran : Climatological Summary ) .

Adanya kahut seperti terjadi sepanjang tahun di Palemhang ( lihat lampiran 2.) juga merupakan faktor yang rrenamhah tingkat pencemaran, seperti ternyata pada peristiwa pence -maran di London.

3.5. Besarnya unit PTL dan jam operasi.

Kiranya "ukup jelas hahwa makin besar unit pemhangkit­an dan makin lama operasi setiap harinya, akan dipakai ha -han hakar makin hanyak. Hingga kadar S02 juga akan makin hertamhah dalam pencemaran udara, hila faktor-faktor lain seperti tinggi cerohong misalnya adalah sama. Sehagai contoh gamharan hal tersehut diatas dapat dilihat hasil-hasil perhitungan pencemaran udara akihat PLTU pada hab 4.

PLTU Priok dalam tahun 1971 herkapasitas 50 MW dan menggunakan hahan hakar sekitar 401 juta liter; hila kadar helerangnya 2% saj a. maka jumlah S02 yang dihamhurkan ke udara sehesar ! 16 juta kg.

Komunikasi lisan dengan Drs. Susanto, Lembaga Meteorologi & Geofisika. ·

9.

Dari hasil perhitungan dengan dasar faktor beban 60%, sfc

( specific fuel consumption ) = 0,35 1/kWh, kapasitas ISO MW

pada tahun 1973, maka bahan bakar yang dipakai

8600 x 60 x ISO 10 3 x 0,35 = 2,940 I0 3 .ton/tahun. Maka hila kada~ belerang dalam residu 2% saja,jurnlah belerang yang di­

semburkan ke udara setiap tahun = ! 58 juta kg/tahun, atau ± 1,66 kg/detik.

Pencemaran udara merupakan kombinasi dari berbagai sum­her, selain pembangkit tenaga listrik, juga kendaraan bermo­

tor dan industri. Maka waktu operasi akan mempengaruhi ting­

kat pencemaran. Bila beban puncak jatuh bersamaan dengan saat

lalu lintas terpadat, maka pencemaran karena asap kendaraan

bermotor berupa CO dan sisa hidrokarbon yang di Jakarta sudah cukup tinggi Sl) akan bertambah parah dengan adanya tambahan

S02 dari PLTU atau NOx dari PLTG. Pada saat ini konsumsi lis­trik terbesar adalah untuk rumah tangga; untuk Jakarta 1974

beban puncak ± 245 MW diperlukan malam hari antara jam 18.00-

22.00, dibandingkan dengan ! 200 MW untuk siang hari.

4. PERHITUNGAN PENCEMARAN UDARA DAR! PLTU

Pusat Listrik Tenaga Uap ( PLTU ) yang dipunyai PLN dalam operasinya mempergunakan bahan bakar Residu dan HSD. Tetapi jum -lah terbesar bahan bakar yang dipergunakan adalah Residu, pema -

kaian HSD hanya saat-saat tertentu yaitu sewaktu start operasi

dan sebagai penyala. Karena pemakaian HSD hanya dalam jumlah yang

kecil dibandingkan residu maka dalam perhitungan disini diabaikan. Menurut hasil-hasil pemeriksaan laboratorium komposisi residu ha­

nya sedikit perubahan-perubahannya. Dalam perhitungan disini di­ambil hasil analisa dari Mitsubishi Heavy Industry terhadap con­

toh residu Indonesia tahun 1969.

Hasil analisa tersebut sebagai berikut

Carbon 85,5% menurut berat.

Hydrogen 11,5% menurut berat.

Oxygen 0,7% menurut berat.

Nitrogen 0,7% menurut berat.

Belerang 2% menurut berat.

Kadar air maksimum 0,075% menurut volume.

Kadar abu 0,017% menurut berat.

10.

Dengan diketahui kor::posisi kimia rc-sidu da•·1.tl2.l• ai

hitung jumlah gas asap ( flue gas ) teuritis :;etiap kil:::grJI:~

bahan bakarnya. Dalam perhitungan pencernaran udara dari PLTlJ ini rumus-rumus dan data-data dia'Ilbi 1 dari Laporan Team Je -pang 47) yaitu "Report on Thennal Site Survey and Planning

in the Republic of Indonesia Volume II I" ( lihat lampiran 6 )

Dari hasil perhitungan jtunlah "gas asap" teoritis setiap ki­logram didapatkan :

Volume gas.asap Qo = 11,38 Nm 3/Kg.

Udara lebih untuk pernbakaran diambil A = 1,17

sehingga Qo' = 13,2 Nrn 3 /Kg.

Berat jenis residu = 0,9436 kg/rn 3 •

Faktor beban diambi1 82% (rata-rata).

Kecepatan angin = 5 rn/detik.

Suhu gas asap ke1uar cerobong diarnbil 120°C. Maka dapat1ah dihitung beberapa variasi unit PLTU dengan

tinggi cerobong dan kadar belerang yang berbeda-beda.

Hasi1-hasil perhitungan tersebut kemudian disusun da1am ta ·

bel-tabe1 sebagai berikut :

Untuk 1 unit PLTU dengan kapasitas 25 MW.

Variasi kadar be1erang dalarn bahan bakar residu 2%; 2,5%;

3%; 3,5%.

Variasi tinggi cerobong 50; 60; 70; 80 m.

Kadar maksimum S02 ( C max ) dipennukaan tanah

( " Ground Leve 1 " ) sebagai berikut :

C max. ( ppm vo1 I vo1 )

~ ) so 60 70 80 0

2 0,024 0,019 0,016 0,012

2,5 0,030 0,024 0,019 0,015

3 0,036 0,028 0,026 0,018

3,5 0,042 0,033 0,036 0,022

11.

Letak terj auh dimana terdapat C max pada S=2% :

X max. ( km )

~ ) so 60 70 80 MW

2S 2,8S 3,3 3,74 4,20

Untuk 1 unit PLTU dengan kapasitas SO MW.

Variasi kadar be1erang da1am bahan bakar residu 2%; 2,S%; 3%; 3,S%.

Variasi cerobong ( tinggi ) SO; 60; 70; 80; 90; 100 m.

Kadar maksimum S02 ( C max ) dipennukaan tanah :

C max. ( ppm )

~ ) so 60 70 80 90 100 0

2 0,030 0,02S 0,020 0,017 0,014 0,012

2,S 0,038 0,031 0,023 0,021 0,018 0,016

3 0,046 0,037 0,026 0,024 0,022 0,019

3,S O,OS8 0,043 0,030 0,028 0,02S 0,022

X max. ( Km ) Letak terj auh dimana terdapat C max dengan

s = 2 %.

Tinggi cerobong

~ so 60 70 80 90 100

so 3,S 3,98 4,S 4,9 S,38 s, 86

12.

Untuk 1 unit dengan kapasitas 100 MW

Variasi kadar belerang da1am bahan bakar residu 2%; 2,5%; 3%; 3,5% Variasi tinggi cerobong 50; 60; 70; 80; 90; 100 m. Kadar maksimum S02 ( C max ) dipermukaan tanah sebagai barikut :

c max.

~ )

so 60 70 80 90 100 %

2 0,030 0,027 0,023 o.o2o 0,018 0,016

2,5 0,040 0,033 0,029 0,025 0,022 0,020

3 0,041 0,040 0,035 0,030 0,026 0,023

3,5 0,055 0,047 0,040 0,035 0,031 0,027

Letak terj auh dimana terdapat C max pada S = 2%

X max. ( km )

~ so 60 70 80 90 100 w

100 4,9 5,39 5 J 87 6,35 6,84 7,34

13.

5. PERHITUNGAN TEORITIS PENCEMARAN UDARA DARI PLTG.

Di Sektor Pembangkitan Tanjung Priok saat ini ada 4 PLTG

yang jalan, satu di Tanjung Priok dan tiga di Pulo Gadung. Jam

operasinya belum tertentu, biasanya dari jam 8.00 sampai 22.00.

Direncanakan kemudian hanya untuk beban puncak saja, kecuali hi­

la terjadi hal-hal khusus, akan disesuaikan menurut kebutuhan.

Bahan bakar yang digunakan adalah HSD, dengan "specific fuel

consumption" ( sfc ) rata-rata 0,42 ljkWh.

Karena belum didapatkan data komposisi kimia HSD Indonesia,

maka dalam perhitungan ini diambil perkiraan berdasarkan HSD da­

ri Mediterancan Continent Distillate dan HSD dari Venezualan

Crached Distillate dari Kent Handbook, Vol. Power, tabel 3, ha -

laman 2-48.

C = 86%; H = 13,5%; 0 & N = 0,05%

kadar belerang menurut spesifikasi di Indonesia maksimum

0,3%.

Maka dengan perbandingan bahan bakar terhadap udara 1 : 50, dari

perhitungan teoritis didapatkan kadar maksimum S02 dalam asap

satu unit PLTG dengan beban 20 MW adalah 0,12 g/m 3 atau 42 ppm.

Bila diperhitungkan untuk PLTU menurut data-data dalam bab 4,

didapatkan kadar so2 dalam gas asap kira-kira 1040 ppm. maka pen­

cemaran karena S02 dari PLTG adalah sangat kecil dibandingkan

PLTU.

Karena besarnya volume udara berlebih dan temperatur pemba­

karan yang tinggi, maka kemungkinan pembentukan NOx lebih tinggi

dari pada PLTU, dimana udara lebih dapat dibatasi seminimal mung­

kin. Dalam grafik yang dikemukakan R.J. Johnson, 22 ) gas turbin

General Electric mengeluarkan NOx 100 - 200 ppm untuk temperatur

bakar 900 - 1100°C. Maka kadar NOx dari PLTG inipun juga jauh le­

bih keci 1 dari pada kadar S02 dalam gas asap PLTU tersebut diatas.

Kadar NOx dalam gas asap PLTG masih dapat dikurangi dengan meren­

dahk an temperatur api ( bukan temperatur ~akar ) dan inj eks i air

atau uap air. Kadar H20 yang tinggi akan menurunkan pembentukan

NOx. Kelembaban 3Pcsifik di Jakarta seperti diperhitungkan dari

tabel klimatologi pada lampiran 3 adalah tinggi, yaitu rata-rata

l, 75 ~o pad a mus im kering ( September ) dan rat a- rata 1, 9% pada

14.

musim hujan ( Februari )» atau m1n1mum 0,9% dan maksimum 2,9%. Menurut grafik D.E. Car1 9) kadar NOx pada tingkat kelembaban spesifik 0,9%- 2,9% adalah 0,95- 0,7% dari kadar NOx pada ke­lembaban spesifik 0,5% ( musim dingin yang kering ).

6. PENGARUH AIR PENDINGIN

Pembuangan bekas air pendingin yang mungkin mempengaruhi kehidupan dalam sungai atau laut adalah temperaturnya yang ting­gi dan bahan kimia yang dikandungnya.

Dalam merubah tenaga panas menjadi tenaga listrik, PLTU pada umumnya mempunyai efisiensi kurang dari 40%; 60% dari tena­ga panas yang digunakan akan terbuang melalui cerobong dan mela­lui air pendingin.

PLTN mempunyai efisiensi thermal kurang dari PLTU dan terutama karena hampir seluruh panas dibuang melalui air pendingin, maka akibat pencemaran panas pada kehidupan dalam air adalah jauh le­bih tinggi. Tambahan pula kapasitas MW minimal PLTN yang masih e~onomis cukup besar, sehingga kebutuhan akan air pendingin le -bih besar dari pada PLTU, demikian pula persoalan yang diakibat­kan.

Perbandingan pembuangan panas melalui air pendingin adalah sebagai berikut 5)

PLTU 1512 kcal/kWh ( 6000 Btu/kWh ) PLTN 2520 kcal/kWh · (10000 Btu/kWh ) Kenaikan temperatur air akan mempengaruhi peri kehidupan

didalamnya. Penggunaan/kebutuhan oksigen akan naik dua kali li· pat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10°C sampai batas 30°-350C. Pada hal makin tinggi temperatur air, makin kurang oksi -gen yang dapat dikandungnya.

Batas ketahanan tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang air adalah spesifik untuk masing-masing. Dan bahkan dapat berbeda untuk jenis/species yang sama, bila berasal dari tempat yang berbeda temperaturnya.

Bagi daerah bermusim dingin, kenaikan temperatur air sam -pai suatu batas tertentu dapat membantu pertumbuhan ikan lebih cepat, demikian pula penetasan telur ikan.

15.

Tetapi bila melalui batas ketahanannya, telur-telur tidak menetas

dan terutama ikan-ikan yang sedang twnbuh akan mati. Ikan dewasa

pada wnwnnya lebih tahan terhadap perubahan panas. Air panas ini

bahkan dapat dimanfaatkan untuk memelihara ikan-ikan yang hanya

hidup di daerah yang lebih panas.

Tetapi untuk daerah tropis yang panas, dimana temperatur air

tidak banyak berubah sepanjang tahun, ikan-ikan hidup hanya bebe­

rapa °C di bawah batas ketahanannya.

Dapat dibandingkan temperatur air laut sebagai berikut

Jakarta 27 - 31. 50°C

Inggris 2 22°C

Menurut suatu penyelidikan ikan tropis di Florida, 2) ketahan­

an terhadap panas beberapa ikan dan phytoplankton adalah sebagai

berikut :

algae

udang dan kepiting

larva dan telur

Selain ketahanan ikan dan telumya terhadap panas, juga banyak pe­

ngaruhnya ketahanan twnbuh-twnbuhan air, yang merupakan makanan

ikan. Dengan matinya tumbuh-tumbuhan sumber makanan ikan, maka

ikan-ikan dengan sendirinya akan mencari makanan di tempat lain.

Matinya phytoplankton juga menyebabkan pengurangan produksi oksi­

gen. Selanjutnya didapatkan bahwa pada daerah terpanas dongan ke­

naikan suhu ± 5°C semua binatang air menghilang, dan pada tempe -

ratur lebih dari 33°C banyak binatang mati. Sering juga d.idapa.t -

kan bahwa jenis-jenis ikan yang digemari berganti oleh jenis-je­

nis lain yang tidak digemari.

Aliran air pendingin dapat membawa manfaat dengan terisapnya

makanan dari lapisan air dibawah, sehingga sering didapatkan banyak

ikan pad a "discharge". Hal ini dij unpai pada PLTU Priok Unit I II

& IV yang mempunyai perbedaan temperatur air "intake" dan "dis -

charge" sebesar 2 - 4°C ( ~emperatur air masuk rata-rata 27,5 -

29,5 °C ) . Perbedaan temperatur "intake" dan "discharge" air pen­

dingin PLTU Priok Unit I & II adalah 6 - 8°C.

Pengaruh air pendingin yang panas akan lebih besar pada su -

ngai dan danau, dari pada di tepi laut yang lebih luas. Di Indone­

sia dalam waktu dekat kiranya pembangkit listrik yang besar baru

16.

diperlukan untuk kota-kota besar yang sebagian besar terletak dekat pantai, seperti Jakarta, Surabaya, Medan. Tetapi di pantai kota-kota besar ini pengaruh pencemaran ( kotoran ) dari sumber­sumber lain, bahkan mungkin lebih besar dari pada air pendingin. Telah ternyata bahwa produksi oksigen oleh phytoplankton sangat berkurang bila air makin keruh. B)

Distribusi thermal dari air pendingin ditepi laut dan danau ditentukan oleh berbagai faktor, terutama arah dan kecepatan angin. Umumnya pola distribusi air pendingin ditentukan dengan cara pengukuran suhu setempat.

Walaupun pengaruh air pendingin pada air laut kurang dari pada sungai, perlu diingat bahwa pinggiran pantai dan muara su­ngai merupakan tempat penetasan telur dan tempat tumbuhnya ikan­ikan yang baru lahir, yang justru sangat peka terhadap kenaikan temperatur. Tepian pantaipun merupakan daerah nelayan atau tam­bak-tambak ikan yang mengambil bibit ikan dari laut sekitarnya. Maka walaupun mungkin pengurangan produksi ikan secara nasional tidak akan terpengaruhi, kehidupan nelayan akan terancam karena tidak mampu mengalihkan kegiatannya ke lain bidang.

Dari observasi Lembaga Oceanografi Nasional dalam rangka rencana pembangunan PLTU Muarakarang, di laut sekitarnya hanya terdapat ikan-ikan muda saja ( juvenil ), dan kebetulan bukan da­ri jenis-jenis kelas satu. Antara lain di dapat ikan-ikan muda

·"" jenis ikan tembang dan ikan talang-talang. Maka pengaruh adanya PLTU di daerah itu tidak terlalu besar.

Observasi sejenis perlu diadakan pada daerah-daerah PLTU yang direncanakan, terutama yang terletak di daerah tambak/nela­yan seperti Gresik misalnya. Selain sebelum dibangun, sebaiknya dilanjutkan observasi setelah PLTU beroperasi sehingga di dapat­kan data lebih lanjut mengenai pengaruh air pendingin.

Selain menyebabkan pencemaran karena panas, air pendingin yang dibuang juga mungkin mengandung khlor, yang digunakan untuk menanggulangi pengaruh organisme-organisme yang mengotori sistim pendinginan. Adanya khlor dalam air pendingin akan mengurangi produksi ikan dan juga konsentrasi chlorophyl akan berkurang. Te­tapi batas PH 6-9 yang diberikan kiranya cukup luas untuk dapat dipenuhi. 7)

17.

Pembangkit listrik tenaga panas bumi ( PLTP ) mempunyai per­

soalan tersendiri terhadap kemungkinan pencemaran air.

Uap geothermal yang mengembun dalam proses pembangkitan mengan -

dung zat-zat kimia yang j enis dan kadamya tergantung lapisan

tanah asalnya. Air hasil pengembunan ini kemudian dibuang dalam

sungai.

Dalam daftar analisa kimia air kawah daerah Dieng yang di -

kumpulkan oleh Truesdell, ll) tidak tercantum zat-zat yang beracun

yang sering disebut-sebut seperti air raksa ( Hg ) atau Arsen.

Zat-zat yang terdapat pada kadar yang tinggi yang mungkin mempe -

ngaruhi kehidupan di sungai dan penggunaan airnya oleh manusia

adalah sulfat ( S04" ) di Sikidang dan Candradimuka dan chlor di

Plantungan

7. KES IMPULAN.

Dari pendekatan yang dilakukan serta data terbatas yang ter­

kumpul, dapat diambil kesimpulan bahwa pencemaran udara karena

pembangkitan tenaga listrik di Jakarta sampai akhir PELITA II be­

lum akan menimbulkan masalah, baik ditinjau dari segi kapasitas

pembangkitan, ataupun dari kondisi cuaca dan geografi.

Untuk satu unit PLTU 100 MW harga batas so2 pada permukaan tanah

menurut standar California sebesar 0,04 ppm ( lampiran 5 ) akan

tercapai pada kondisi kadar S dalam minyak bakar 3,5%, tinJgi ce­

robong 70 meter. Negara-negara lain seperti tercantum dalam lam­

piran 4 mempunyai harga batas yang lebih tinggi.

Laporan PLN Triwulan I, 1975 - 1976 menyebutkan bahwa minyak ba­

kar yang diterima PLTU Perak mempunyai kadar S 2,8%. Usaha mengu­

rangi S02 cukup dilakukan dengan menggunakan cerobong yang tinggi;

lebih baik hila dilakukan penggabungan cerobong beberapa unit

( single multi flue chimney ) untuk mendapatkan penyemburan gas

asap yang lebih tinggi.

Daerah kota yang padat dan lambat lalu lintasnya telah menanggung

pencemaran' akibat kendaraan bermotor, berupa CO dan sisa hidro -

karbon. Lokasi PLTU Muarakarang disebelah barat laut memungkinkan

pengaliran gas asap kearah kota dengan jarak Xmax 5 - 7 km, kare­

na pengaruh angin musim pada bulan Desember sampai Maret (lihat

lampiran 3).

18.

Bila kapasitas PLTU makin ditingkatkan sehingga so2 yang timbul

tidak dapat diabaikan lagi, dapat diambil tindakan dengan meng­

ganti minyak bakar dengan yang berkadar belerang rendah, selama

j angka waktu angin musim bar at laut.

Lokasi PLTG Pulo Gadung memungkinkan gas asap yang mengandung se­

dikit NOx mengalir ke daera:..._ Sale!Tiba karena angin musim dari arah

timur selama bulan April sampai Agustus. Tetapi karena PLTG di -

rencanakan untuk beban puncak, operasinya tidak terus menerus,

sehingga pengaruhnya kurang dari pada PLTU. Lokasi PLTU dan PLTG

Priok lebih menguntungkan terhadap arah angin. Diantara kota be­

sar lain yang mungkin terjadi pencemaran udara adalah Palembang

yang merupakan daerah industri dan pengilangan dan sering berka­

but ( lihat lampiran 2 ). Tetapi soal pembangkitan tenaga listrik

( PLN) di kota ini hanya merupakan faktor kecil ( 150 MW ).

Lokasi Gresik untuk PLTU cukup jauh dari kota Surabaya. Ada­

nya industri 'petro kim~a dan semen yang cukup besar merupakan

hal yang perlu diperhitungkan untuk pencemaran daerah tersebut.

Pabrik semen merupakan penghasil NOx yang tinggi 11) karena ting­

ginya temperatur bakar (! 1650°C ), sedangkan S02 sebagian akan

bersenyawa dengan material da1am tungku. Statistik Ditjen Migas

tahun 1973 menunjukan bahwa konsumsi minyak bakar untuk Surabaya

ternyata 1ebih besar ( 388.656 k1 ) dari pada Jakarta ( 347.429-

k1 ) .

Pencemaran air karena pembuangan air pendingin yang panas a­

kan berarti bi1a mu1ai di bangun PLTN yang memer1ukan air pendi -

ngin da1am jum1ah besar.

Untuk menghindari akibat-akibat yang merugikan perikanan, perlu

dilakukan survai mengenai jenis kehidupan air sekitar lokasi, dan

kepekaannya terhadap kenaikan suhu. Perlu dijaga agar beda tempe­

ratur air pendingin yang masuk dan keluar tidak berakibat fatal

terhadap peri kehidupan air sekitarnya.

Aa/is/1291975.-

PEN<iAICUAN

Naskah publikasi ini merupakan penyempumaan dari bahan yang

diajukan pada Diskusi Ilmiah Lembaga Masalah Ketenagaan PLN pada

tanggal 20 Maret 1975.

Dengan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada me -

rek.a yang telah memberikan saran-saran dan pendapatnya, antara

lain : Ir. Sudjanadi, Ir. Vincent T. Radja, dan Drs. C.S. Hutasoit

dari PLN, Drs. Susanto dari Lembaga Meteorologi dan Geofisika dan

dr. I. Budiman dari RSTM.

DAFTAR LITERATUR

PENCEMARAN UDARA

1. Air pollution and health London,_ ~i~man Medical and Scientific Publishing Co .. Ltd.

2. Air quality criteria for nitrogen oxides. Environmental Protection Agency. Air Pollution Control Office. Washington D.C., January 1971.

3. Almanak Indonesia, 1968. Jilid I. Jakarta, B.P.S., 1969 : p. 324.

4. Barret, D.F. and J.R. Small. Emission monitoring of S02 and NOx· Chern. Eng. Progress, vol. 69, no. 12, December 1973.

5. Barthel, C.E. The United Nations Conference on the human environment. Its implications for air pollution prevention associations. J. Air Pollut. Contr. Assoc .. , vol. 22, no. 12, December 1972: p. 950-954.

6. Blokker, P.C. The atmospheric chemistry and long-range drift of sulphur dioxide. J. Inst. Petrol., vol. 56, no. 548, March 1970 : p. 71-79.

7. Blokker, P.C. Comments on air quality standards in different countries. Stichting Concawe, The Hague, September 1969 : 12 p ..

8. Boerema, J. Daily forecast of windforce in Java. Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium te Batavia. Verhandelingen no. 27. Batavia, .1934 : 8 p ..

9. Carl, D.E. Influence of ambient humidity on nitric oxide generation. Gas turbine international, May - June 1974 : p. 28-32.

10. Dalal, V. Environment, energy and the need for new technology. Energy Conversion, vol. 13, 1973 : p. 85-94.

11. Daugherty, K.E. A review of cement industry pollution control. Ceramic. Bull., vol 54, no. 2, 1975 : p. 189-192.

12. ECAFE, Sub-Committee on Energy Resources and Electric Power 11th Session, 30 May - 6 June 196'8, Singapore.

a. Air pollution caused by fuel burning thermal power plants. ( USRR Delegation).

'" b. Air pollution studies in the National Electricity Board of States of Malaya. (Malaysia Delegation).

c. Present conditions of atmosphere contamination and measures for prevention. (Japanese Delegation).

2.

13. Engdahl, R.B. A critical review of regulations for the control of sulphur. oxide emissions. J. Air Pollut. Contr. Assoc., vol. 23, no. S, May 1973 : p. 364-375.

14. Final report completed on reactions of sulphur in stack plumes research project. Edison Electr. Inst. Bull.

15. Fox, R.D. Pollution control at the source. Chern. Eng., August 1973: p. 72-82.

16. Friedlander, G.D. Airborne asphyxia - an international problem. IEEE. Spectrum, October 1965 : p. 56-69.

17, Gent, M.R. Minimum emission dispatch. 1971 Pica Conf., Boston, Mass., May 24-26, 1971.

18. Hemeon, W.C.L. A critical review of regulation for the control of particu­late emissions. J. Air Pollut. Contr. Assoc., vol 23, no. S, May 1973: p. 376-387.

19 . Hirst • E . Pollution - control energy. Mech. Eng., September 1974.

20. Iverah, D. The calculation of stack heights. Australian Chern. Eng., May 1973 : p. 11-18.

21. Johnson, R.H. Control of gas turbine emissions in the world environment. General Electr. 1974.

22. Johnson, R.H. Gas turbine environmental factors - 1973. General Electr. 1972.

23. Kooy & A.I. Elshout. De emissie van stikstof oxyden. Elektrotechniek, ( 49) 1973 ( 23 ).

24. Mac Kennon, D.J. & T,R. Ingraham. Note on minimizing NOx pollution from steam boilers. J. Air Pollut. Contr. Assoc., vol. 22, no. 6, June 1972.

25. Mac-Leod, J. Fuel oil-its impact on air pollution and effects of additives. Energy International, February 1972.

26. Marsh, K.J. & V.R. Withers. An experimental study of the dispersion of the emissions from chimneys in reading. III. The investigation of dispersion calculations. Atmospheric Environment. Pergamon Press, vol. 3, 1969 p. 281-302.

3.

27. Maurin, P.G. C-E's air pollution control system and its controls. ISA IPI 72462, 1972 : p. 69-72.

28. Mills, A. & H. Perry. Fossil fuel- power pollution. Chern. Tech., January 1973 : p. 53-63.

29. Montgomery, T.L. Controlling ambient S02. J. Metal, June 1973 : p. 35-41.

30. Meykar, O.A. Progress of protection of the environment and resources in the US - A historical survey. IEEE. Trans. Aerospase and Electronic Systems, July 1974 : p. 521-527.

31. Morgan, M.G. et al. The social costs of producing electric power from coal a first order calculation. Proc. IEEE, October 1973.

32. Pencegahan pengotoran udara, air dan lep~s pantai dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, no. 12, th. 1971.

33. Power station for environmental protection. Kraftwerk Union. Order no. KWU 163-101, September 1972. Abteilung Publizistik.

34. Quality of the environment in Japan. Environmental Agency, Tokyo, 1972.

35. Sax, N. I. Dangerous properties of industrial material handbook. New York, Reinhold Publ., 1968.

36. Schimmel, H. & L. Greenburg. A study of the relation of pollution to mortality. New York City, 1963-1968. J. Air Pollut. Contr. Assoc., vol. 22, no. 8, August 1972 p. 607-616.

37. Schweizer, P.F. Determining optimal fuel mix for environmental dispatch. IEEE. Trans. on Automatic Contr., October 1974.

38. Sheehy, J.P. Handbook of air pollution. NTIS, Springfield.

39. Smith, R.S. Control stack gas pollution. Hydrocarbon Processing, September 1972 : p. 223-225.

40. Sporn, P. Our environment options on the way into the future. IEEE. Spectrum, May 1973.

4.

41. State of the art for controlling NOx emissions. Part I. Utility boilers. Environmental Protection Agency. Washington, D.C., September 1972.

42. Sulphur pollution across national boundaries. Ambio, vol. 1, no. 1, February 1972 : p. 15-20.

43. Susanto. Data-data meteorologi dan geofisika di Indonesia khususnya Jawa dalam hubungan dengan persiapan lokasi PLTN. Lokakarya Penentuan Lokasi PLTN, Karangkates 1975.

44. Teller, A.J. Air pollution control. Chern. Eng./Deskbook issue, May 8, 1972 : p. 93-98.

45. World Energy Conf. IX, Detroit 1974, Division 2 : a. Billi, B. et al.

The environment and electric power generation. b. Biswas, A.K. & K. Hare

Energy and the environment c. Nekrasov, A.M. et al.

Prevention of atmospheri~ pollution by thermal power plants and assessment of the Techno-Economic effective­ness of measures in use in the Soviet Union.

d. Williams, D.E. The gas turbine and environment.

46. World Power Conf. VII, Moscow, 1968. a. Clarke, A.J. & A. Martin.

Air pollution control in British power plants. Section C, Paper 82. Great Britain.

b. Keyoura, R. Desulphurization and control of air pollution as the rational utilization of high sulphur content fuel. Section C, Paper 102. Japan.

c. Meeman, M. · The influence of air pollution on the consumption of various sources of energy. Section C, Paper 269. Israel.

47. Walther, E.G. A rating of the major air pollution and their sources by effect. J. Air Pollut. Contr. Assoc., vol. 22, no. 5, May 1972 : p. 352-355.

48. Watanabe, Y. et al. Report on thermal power site survey and planning in the Republic of Indonesia. o.T.C-A., Tokyo, 1973.

49. Wiel. S. Evaluating local air pollution control administration effectiveness. J. Air Pollut. Contr. Assoc., vol. 22, no. 6 June 1972 p. 437-443.

s.

SO. Williamson, S.J. Fundamentals of air pollution. Addison Wesley, 1973 : chapter 8 Sulphurous smo~; chapter 12 : Control air pollution.

51. Santoso, W. & Aboejoewono. Masalah pengotoran air perrnukaan sungai dan beberapa kasus pengotoran udara di wilayah DKI Jakarta. · Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan, Jakarta, 1975.

52. Zalogin, M.G. & L.I. Kropp. Problems of protecting the atmosphere from pollution by chimney emissions of power stations. Teploenergetika 1972, 19 (10) : p. 2-4.

PENCEMARAN AIR

1. Axtmann, R.C. Environmental impact of a geothermal power plant. Science, vol. 187, no. 4179 : p. 795-803.

2. Bader, R.G., M.A. Roessler; A. Thorang. Thermal pollution of a tropical marine estuary. F.A.O. Technical Conf. on Marine Pollution and its Effects on Living Resources and Fishing, Rome, 6-18 December 1970.

3. Considerations affecting steam power plant site selection. Energy Policy Staff, Office of Science & Technology, USA, Washington D.C., 1968.

4. Courant, C.C. & H.A. Pfuderer. Thermal effects. J. WPCF., vol. 46, no. 6, 1974 : p. 1476-1541.

5. Davidson, B. & R.W. Bradshaw Thermal pollution of water systems Environmental Sci. & Techn., vol. 1, no. 8, August 1967 p. 618-630.

6. Dwiponggo, A. Ikan laut Indonesia; beberapa jenis ikan komersi1. Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Jakarta 1970.

7. Hamilton, D.H. et al. Power plant : effects of chlorination on estuarine primary production. Science, vol. 169, July 1970 : p. 197-198.

8. Pescod, ~.B. Photosynthetic oxygen production in a polluted tropical estuary. J. WPCF., August 1969 : p. 309-321.

9. Koops , f. R. J. Hydrobiological investigations on the consequences of the use of surface water for cooling purposes in the Netherlands. Proc. 9th W.E.C., Detroit 1974, Paper no. 2-2-7.

6.

10. Langford, T.E. Ecology and cooling water from power stations; a review of recent biological research in Britain. Proc. 9th W.E.C., Detroit 1974, Paper no. 2-2-3.

11. Truesdell, A.H. Preliminary geochemical evaluation of the Dieng Mountains, Central Java for the production of geothermal energy. Proyek Survey Tenaga Listrik, Jakarta 1970

Lampiran 1.-

Perband~ngan kapas~tas pembangkitan . ' .

tenaga listrik thermal

. kota I daerah tahun kapasitas ( MW )

daerah Tokyo 1972. 13813

New York 1970 7350 (peak demand)

1966 8909

Phi !adelphia 1966 3205

Singapura 1970 644

Jakarta ( PLN ) 1975 220

1978 683

Surabaya ( PLN ) 1975 58

+ Gresik ( PLN ) 1978 358

Malaysia 1968 390

Kota

Larnpiran : 2.-

Pembangkit 1istrik tenaga panas PLN sampai REPELITA II

pada kota-kota terpenting

Jenis ~ ' MW Jwn1ah Faktor cuaca d~) Pembang- REPELITA II 1973 MW kondisi setempat kit

M e d a n PLTD 24 16,654 40,654 - tidak ada angin Mei-Desember

PLTG 20 14 34 - angin dari utara Januari-April.

PLTU so 50 - daerah industri seb. utara Medan

Palembang PLTD - 14,635 14,635 - kabut sepanjang tahun, kecuali Des ember

PLTG 15 14 29 - harnpir tidak ada angin

PLTU - 25 25 - daerah industri & pengi 1angan

Surabaya PLTD 8 8 - angin dari teng-gara Mei-Okt.

- angin dari barat laut Des. -Maret

PLTU 100 so 150 - daerah industri & PLTU di Gresik

Gresik PLTU 200 200

Semarang PLTD 6,020 6,020 - bukit-bukit PLTG 20 14 34 - angin dari timur

April-September PLTU 200 200 - angin dari barat

laut Okt. -Maret

Jakarta PLTD 12,600 12,600 - angin dari barat laut Des. -Maret

- angin dari timur April-Agustus

PLTG 200 220 - kepadatan mobil PLTU 300 150 450 - daerah industri

& padat penduduk

non PLN 40

*) Data-data Lembaga Meteoro1ogi & Geofisika, Jakarta

M 0 NTH MAX

JANUARY 96

FEBRUARY 96

MARCH 96

APRIL 95

MAY 95

JUNE 94

JULY 92

AUGUST 90

SEPTEMBER 89

OCTOBER 91

NOVEMBER 94

DECEMBER 95

YEAR 94

Lampiran : 3.-

Climatological Summary.

Station

Period of records

Jakarta Observatory - Indonesia

1961 - 1970 ( 10 years )

RELATIVE HUMIDITY % TEMPERATURE oc WIND

AVERAGE EXTREME AVERAGE PREVAILING ME AN MAXIMUM

MEAN MIN MIN YEAR MAX MEAN MIN DIRECTION VELOCITY VELOCITY

rn/SEC. rn/SEC

85 66 45 1969 30.1 26.3 23.5 NW 1.6 13.0

85 67. 52 1961 30.1 26.3 23.7 NW 1.7 12.0

83 63 41 1965 31.2 26.9 23.7 NW 1.5 10.0

82 62 45 1968 32.1 27.5 24.1 E 1.5 11.5

80 59 41 1964 32.4 27.7 24.1 E 1.6 11.5

78 55 31 1964 32.1 27.2 23.2 E 1.6 11.5

76 54 37 1961 32.1 27.0 22.8 E 1.8 10.0

74 51 31 1967 32.2 27.1 22.7 E 1.7 10.0

73 51 30 1965 32.8 27.6 23.2 N 1.8 12.0

75 54 26 1965 33.0 27.8 23.8 N 1.8 14.0

79 59 26 1965 32.2 27.3 23.9 N 1.5 13~5

82 62 42 1963 31,3 26.7 23.7 NW 1.5 14.0

79 59 26 1965 31.8 27.1 23.5 E 1.6 14.0

_.___ __ ·-- ---··- L-. -· --

Data dari Lernbaga Meteoro1ogi & Geofisika

YEAR

1965

1966

1970

1965

1965

1965

1966

1966

1967

"1969

1967

1970

69+70

Lampiran : 4,-Harga batas S0 2 untuk standar kwalitas udara dari berbagai negara

ppm ( 1 ppm = 2860 ~g/m 3 )

Jilo. Negara Negara/kota Jenis Peraturan 1/2 jam 1 jam 8 jam 24 jam

1. Belanda Rotterdam Saran standar 0,35 0,122 ( 3%/bl.)

2. Jerman Barat VDI 2108 0,14 - 0,262 ( 1/2 - 2 jam )

3. Swis Standar 0,308 (musim panas), 0,203 ( musim panas ), ! 0,51 (musim dingin) 0,308 ( musim dingin )

-4. Swedia Negara Rekomendasi 0,255 ( 1%/th.) 0,101 ( 3%/bl.) '

5. Perancis Paris Standar 0,262 . ( 4%/6bl.)- ----,

6. Inggris Tidak resnli 0,189 ( 3 menit ) - -------------------- -- ----------------------

Federasi 0,03 •)

7. Amerika Serikat California Merugikan 1,00 0,283 Gawat 4, 72

Colorado Standar 0,507 ( 1%/3 bl.) 0,101 ( 1%/3 bl.) Montana Standar 0,101 ( 1%/3 bl.) New York Standar 0,236 ( 1%/th.) 0,101 ( 1%/th.)

0,378 ( 2%/th.) 0,140 ( 2%/th.) --8. Jerman Timur Standar 0,262 ( 2,5 jam ) 0,063 - 0,079 ( tergan-

tung distrik ) 9. Rusia & Standar 0,175 ( 20 menit ) 0,052 ( 5% ) Cekoslowakia

10. Jepang Standar 0,206 ( 1%/th •. ) 0,101 ( 12%/th.) 0,052 ( 30%/th.)

Membahayakan 0,5245 ----- ------ ---L__

Data : P.C. Blokker CO..ents on Air Quality Standards in Different Countries, - Sept.l969 ( Satuan naskah asli dalam ~g/m 1 )

•) Rata-rata setahun, Standar Federal Amerika Serikat 1971 S. Williamson. Fundamentals of Air Pollution, p - 340 •

Lampiran : 5.-

Contoh standar kwalitas udara, California 1971

Pencemar Waktu pencemaran Konsentrasi T u j u a n s t a n d a r

Oksidator foto- 1 jam 0,10 ppm Mencegah iritasi mata dan gangguan pernapasan kimia (sebagai (200 llg/m 3 ) pada penderita penyakit pernapasan. NOz) Mencegah kerusakan tumbuh-tumbuhan. Karbon monoks i- 12 jam 10 ppm Mencegah gangguan pada pengangkutan oksigen da ( co ) ( 11 mg/m 3 ) oleh darah, berdasarkan kadar carboxy haemo-

1 jam 40 ppm ( 46 mg/rn 3 )

globine lebih dari 2%.

Oksida belerang 24 jam 0,04 ppm Mencegah bertambah parahnya penyakit pernapas-( SOz ) (105 llg/m 3 ) an yang khronis dan kerusakan pada tumbuh-tmn-

bu.~an. 1 jam 0,5 ppm Mencegah kernungkinan gangguan dari fUngsi paru-

(1310 llg/rn 3 ) paru dan bau yang rnenusuk. Nitrogen diok- 1 jam 0,25 ppm Mencegah gangguan kesehatan dan pengurangan I

sida (N02) (470 llg/m 3 ) kecerahan karena discoloration Partikel-par - Rata-rata se- 0,03 ppm Mernperbaiki kecerahan udara dan mencegah gang-kel tahun ( 60 llg/rn 3 ) guan pernapasan yang parah bila ada bersama

o.o5 ppm so2

Samuel J. Williamson.

Fundamentals of air pollution.Addison Wesley, 1973, hal 391.

Lampi ran 6.-

Rurnus-rumus untuk perhitungan teoritis pencemaran udara dari PLru *)

1. Perhitungan teori tis jumlah "flue gas" Qo :t J Nm 3

Q0 = 1,87 C + 11,2 H + 0,7 S + 0,79 A0 /kg

dimana ·

Ao = 8, 89 C + 26, 7 H + 3, 33 S [ Nm 3 /kg J 2. Jurnlah gas asap ( flue gas ) teoritis dengan memperhitungkan

udara lebih, Q'

Q' = Qo + ( A - 1 ) Ao dim ana

A = koefisien udara lebih

3. Jumlah gas asap yang dikeluarkan

Q = Q' X F ~Nm 3 /jarn~ 4. Temperatur gas asap keluar dari cerobong

T = (t • 273)°K

5. Kecepatan gas asap keluar dari cerobong

1 273 + t Q • 3600 2 73 ~ J V = --------- m/det. luas penarnpang cerobong.

6. Perhitungan tinggi efektif He

He = Ho + k ( Hm + Ht ) [ m ]

*)

dimana

H0 - tinggi cerobong [ rn ]

Hm· - tinggi "flue gas" sesaat [ m ]

k - koefisien pembetulan ( 0,5- 0,75)

Ht - tinggi karena pengaruh suhu [ m ]

Y. Watanabe, et al.

Report on the Thermal Power Site Survey and Planning in the

Republic Indonesia.

- OTCA, Tokyo, 1973.-

7. Tinggi gas asap sesaat dihitung dengan rurnus

Hm _ 0,795 Q. V [ m] - 1' + 2,58

. v

8. Tinggi karena pengaruh suhu ( Ht )

Ht = 2 , 0 1 . 10- 3 • Q (T - 2 8 8) (1 n Y + ~ 1) [ m ]

dimana 1 v

y = VQV • ( 1460 - 296 . T _ 288 ) + 1

9. Jum1ah oksida be1erang yan~ dike1uarkan dari cerobong q'

q' = 0,7. 1 ~0 • F ~Nm /jam~ 10. Jum1ah kadar oksida be1erang maksimum di permukaan tanah

Cmax = 1, 72 f-2. [ ppm ] e

11. Jarak sampai ke titik Smax

~ax = 20, 8 He 1. l'+ 3 [ km ]

Arti huruf-huruf da1am rumus :

Q0 - Jum1ah gas asap teoritis dari bahan bakar pada pembakaran

sempurna [ Nm 3 /kg ]

Q' - Jum1ah gas asap teoritis akibat adanya udara lebih [Nm 3 /kg]

Q - Jum1ah keluar cerobong [ Nm 3/kg ]

A0 - Faktor koreksi pembakaran bahan bakar [ Nm 3 /kg ]

) - Koefisien udara lebih [ % ]

F Jumlah pemakaian bahan bakar setiap jam [ kg/jam ]

T - Suhu gas asap ke1uar ujung cerobong [ °K ]

t - Suhu. gas asap keluar ujung cerobong [ °C ]

V - Kecepatan gas asap ke1uar cerobong [ m/det ]

He - Tinggi efektif gas asap [ m ]

H0 - Tinggi cerobong [ m ]

~n - Tinggi gas asap keluar cerobong sesaat [ m ]

Ht - Tinggi gas asap keluar cerobongJkarena pengaruh temperatur

gas [ m ]

k - koefisien pembetulan tinggi gas asap

y - Faktor koreksi

q' - Jumlah S0 2 keluar cerobong [ Nm 3/jam )

Cmax- Kadar S02 maksimum dipennukaan tanah [ ppm ]

Xmax- Jarak antara sumbu cerobong dengan titik Cmax

SKALA 1 80.000

JAKARTA

-.I i

i . '~ ..

'-_/"•. ';

: i i; '' i;

CAWANG SIS 1SOnOKV

' ..

L:tr.1pi r at

'4 \ ~ I

0 ,...