dampak penindasan pada perempuan poskolonial india dalam colorism dan aktivitas skin bleaching

65
Dampak Penindasan Pada Perempuan Poskolonial India Dalam Colorism dan Aktivitas Skin Bleaching ERA BRILLIANA LARGIS 071012008 Abstrak Tulisan ini akan menjelaskan mengenai adanya penindasan pada perempuan poskolonialis India yang salah satu dampaknya adalah munculnya colorism dan aktivitas skin bleaching. Penulisan dilatar belakangi dengan tingginya aktifitas skin bleaching dengan menggunaan produk pemutih atau pencerah kulit di negara-negara bekas koloni, terutama India, yang pada umumnya masyarakatnya tidak mempunyai warna kulit putih (coloured atau non-white). Hal ini menunjukkan adanya preferensi dan penghargaan yang lebih tinggi terhadap kulit putih (Colorism), yang tidak hanya dicerminkan dalam pandangan masyarakatnya, tetapi juga embedded dan reinforced dalam struktur sistem hirarki sosialnya. Adanya fenomena kontemporer tersebut memiliki hubungan erat dengan sejarah oppression (Penindasan)yang dilakukan oleh sistem patriarki dan kolonialisasi Inggris di India. Permasalahan akan dibahas dengan menguraikan terlebih dahulu mengenai proses sejarah penindasan sistem masyarakat patriarki tradisional, kolonial dan poskolonial di India untuk mengetahui perkembangan posisi perempuan India serta bagaimana mereka ditindas. Kemudian akan dilanjutkan dengan menganalisis dampak penindasan tersebut terhadap persepsi dan preferensi tentang warna kulit putih dan standar nilai kecantikan dalam perempuan poskolonial India sehingga menyebabkan munculnya colorism. Analisis akan dilakukan dengan menggunakan kerangka poskolonial feminis melalui konsep Double colonization/oppression dan Internalized Oppression. Melalui analisis kerangka konsep tersebut diketahui bahwa tingginya aktifitas skin bleaching yang dicerminkan dengan penggunaan produk pemutih kulit pada perempuan di India merupakan akibat dari adanya double oppression yang diinternalisasi secara meluas oleh masyarakat poskolonial India, sehingga turut mengubah struktur sosial ekonomi India. Selain itu, munculnya colorism dan adanya aktivitas skin bleaching di India merupakan hasil 1

Upload: era-b-largis

Post on 17-Nov-2015

258 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

that prevalence of colorism and skin bleaching activities in India was the result of widened and prolonged oppression and further internalized by people in India for centuries, therefore affected their postcolonial behavior (endogenous factor), including embedded in their social economical structure. Another finding of this writing also found that Globalization was also related as one of the exogenous enforcing factor of those phenomenon.

TRANSCRIPT

Dampak Penindasan Pada Perempuan Poskolonial India Dalam Colorism dan Aktivitas Skin Bleaching

ERA BRILLIANA LARGIS071012008

Abstrak

Tulisan ini akan menjelaskan mengenai adanya penindasan pada perempuan poskolonialis India yang salah satu dampaknya adalah munculnya colorism dan aktivitas skin bleaching. Penulisan dilatar belakangi dengan tingginya aktifitas skin bleaching dengan menggunaan produk pemutih atau pencerah kulit di negara-negara bekas koloni, terutama India, yang pada umumnya masyarakatnya tidak mempunyai warna kulit putih (coloured atau non-white). Hal ini menunjukkan adanya preferensi dan penghargaan yang lebih tinggi terhadap kulit putih (Colorism), yang tidak hanya dicerminkan dalam pandangan masyarakatnya, tetapi juga embedded dan reinforced dalam struktur sistem hirarki sosialnya. Adanya fenomena kontemporer tersebut memiliki hubungan erat dengan sejarah oppression (Penindasan)yang dilakukan oleh sistem patriarki dan kolonialisasi Inggris di India. Permasalahan akan dibahas dengan menguraikan terlebih dahulu mengenai proses sejarah penindasan sistem masyarakat patriarki tradisional, kolonial dan poskolonial di India untuk mengetahui perkembangan posisi perempuan India serta bagaimana mereka ditindas. Kemudian akan dilanjutkan dengan menganalisis dampak penindasan tersebut terhadap persepsi dan preferensi tentang warna kulit putih dan standar nilai kecantikan dalam perempuan poskolonial India sehingga menyebabkan munculnya colorism. Analisis akan dilakukan dengan menggunakan kerangka poskolonial feminis melalui konsep Double colonization/oppression dan Internalized Oppression. Melalui analisis kerangka konsep tersebut diketahui bahwa tingginya aktifitas skin bleaching yang dicerminkan dengan penggunaan produk pemutih kulit pada perempuan di India merupakan akibat dari adanya double oppression yang diinternalisasi secara meluas oleh masyarakat poskolonial India, sehingga turut mengubah struktur sosial ekonomi India. Selain itu, munculnya colorism dan adanya aktivitas skin bleaching di India merupakan hasil interaksi gabungan dari faktor endogeneous dinamika sistem patriarki masyarakat India dan faktor exogenous kolonialisasi Inggris dan diperkuat oleh adanya globalisasi.

Kata-kata kunci: Perempuan India, Patriarki, Skin bleaching, Double Oppression, white supremacy, Internalized Oppression, Colorism, Stratifikasi sosial.

Effect of Oppression to Women in Postcolonial India, Case of Colorism and Skin Bleaching Activities

Abstract

This writing addressed about Oppression to Women in Postcolonial India which showed in rampant existence of Colorism and skin bleaching activites. Persistence and pervasiveness of colorism and also skin bleaching activities in postcolonial countries especially India where their Native or Normal skin color are coloured or non-white, is the reason why this reasearch was written. This research examined that there are some tendencies to prefer White or lighter skin color over black or darker one or colorism. These were not only showed in Indian people general view but also embedded and reinforced in their social hierarchy structure. This research further found those phenomenon strongly related to their history of oppression of patriarchy and British colonialism in India. This Issues explained with firstly described about the historical timeline and changing state of women oppression in India from traditional India until postcolonial India. Next explanation analyzed about the impact and influence of the oppressions to perception and preference over white or lighter skin color and also over beauty standard in Postcolonial India that triggered colorism and later skin bleaching activities. This writing employed Postcolonial feminism as an approach using its concept of Double oppression and Internalized oppression which found consistend with the topic. As the result of analysis, it was found that pervalence of colorism and skin bleaching activities in India was the result of widened and prolonged oppression and further internalized by people in India for centuries, therefore affected their postcolonial behavior (endogenous factor), including embedded in their social economical structure. Another finding of this writing also found that Globalization was also related as one of the exogenous enforcing factor of those phenomenon.

Keyword: India Women, Patriarchy, Skin Bleaching, Double oppression, white supremacy, internalized oppression, colorism, Social stratification2

Adanya fenomena global 20 tahun terakhir yaitu Skin bleaching[footnoteRef:2] merupakan fenomena yang walaupun telah lama ada, tetapi baru menjadi suatu isu yang penting untuk dibahas ketika aktivitas tersebut dilakukan oleh hampir sebagian masyarakat dunia ketiga yang memiliki kulit berwarna, dan memiliki sejarah kolonial Eropa atau hubungan dekat dengan Amerika Serikat[footnoteRef:3] yang menunjukkan adanya hubungan erat antara skin bleaching dan sejarah penjajahan atau kolonialisasi[footnoteRef:4]. [2: Skin bleaching, Skin Whitening, Skin Lightening, Atau Skin Toning dalam hal ini mempunyai definisi yang sama berdasarkan definisi Blay, Charles, Franklin dan Miresebagai tindakan yang disengaja untuk merubah warna kulit alami seseorang menjadi relatif atau substantif menjadi berwarna lebih terang melalui penggunaan bahan kimia pemutih kulit. Atau definisi yang lebih ilmiah oleh Imani Franklin dimana mengatakan bahwa Skin bleaching adalah penggunaan produk dermatologis, kosmetik, atau produk Degpimentation rumahan yang mencegah produksi melanin dan atau menghapus lapisan atas dari epidermis] [3: Margaret L.Hunter, Buying Racial Capital: skin-bleaching and cosmetic surgery in a globalized world, Journal of Pan African Studies 4,no.4 (2011) 143] [4: Yaba & Charles, Skin bleaching and Global White Supremacy) 6]

Aktivitas pemutihan kulit menurut WHO (World Health Organization) secara umum dilakukan oleh masyarakat di Asia dan Afrika Tengah mempunyai potensi efek samping yang serius dan fatal[footnoteRef:5]. Penggunaan Produk-produk Skin bleaching ini walaupun mempunyai kemungkinan membahayakan bagi tubuh, masih banyak dilakukan dan mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat menjadi salah satu ukuran kekuatan keinginan atau preferensi dari penggunanya, yang dalam hal ini adalah masyarakat kulit berwarna di negara dunia ketiga,untuk memiliki kulit yang putih atau cerah daripada warna kulit asli (native), yang merupakan salah satu bentuk persepsi tentang hirarki warna kulit atau adanya colorism yang erat hubungannya dengan sejarah kolonialisasi dan penindasan. [5: Ramakant Sahu, Poornima Saxena, Sapna Johnson, Heavy Metals in cosmetics Centre for science and environment (2014) 5]

Tingginya penggunaan produk pemutih kulit di dunia ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah jenis dan juga penjualan produk - produk tersebut. Joanne[footnoteRef:6] memaparkan pada tahun 2005, terdapat 62 produk pemutih kulit baru yang dikeluarkan dipasar Asia Pasifik, dimana hingga 2009 bertambah hingga rata-rata 56 produk baru lain. Montajula Suvattanadilok[footnoteRef:7] mengatakan bahwa berdasarkan Analisis Industri Global, produk pemutih atau pencerah kulit mengalami peningkatan penjualan dari waktu ke waktu dalam pasar kosmetik global. Pada tahun 2012, produk ini meningkat sebanyak 2 milliar penjualan di pasar Asia-Pasifik. Amina Mire[footnoteRef:8] juga menambahkan, di pasar dunia produk pemutih kulit tahun 2009 mempunyai nilai sebesar US$18 Milliar, yang dipasarkan khususnya pada perempuan dengan kulit berwarna (women of color) di Asia Pasifik, walaupun penggunaannya dilakukan oleh baik perempuan dan pria, akan tetapi perempuan secara umum mempunyai tingkat penggunaan yang lebih tinggi dari laki-laki[footnoteRef:9]. Penjualan atau promosi tentang kulit putih ini telah dipasarkan di Asia sejak 10-20 tahun terakhir dengan Market Share pada produk tersebut semakin meningkat khususnya produk dari Jepang dan China pada 5-10 tahun terakhir[footnoteRef:10]. [6: Joanne L. Rondilla, Colonial Faces: Beauty and Skin Color Hierarchy in the Philippines and the U.S., U.C. Berkeley Ethnic Studies (2012) 3] [7: Montajula Suvattanadilok, skin whitening products purchasing intention analysisResearch Journal Of Business Management (2013) 1] [8: Amina Mire, The Scientification of Skin Whitening and the Entrepreneurial University-Linked Corporate Scientific Officer, Canadian Journal Of Science, Mathematics, And Technology Education 12, no. 3 (2012) 273] [9: Oleh Adebajo, 2002; Blay, 2009; Harada et al, 2001; Lewis et al, 2009; Mahe et al, 1993; Mahe, Ly & Gounongbe, 2004; Olumide et al, 2008 dalam Margaret L.Hunter, Buying Racial Capital: skin-bleaching and cosmetic surgery in a globalized world, Journal of Pan African Studies 4,no.4 (2011) 143] [10: Mire, The Scientification of Skin Whitening and the Entrepreneurial University-Linked Corporate Scientific Officer, 274]

India merupakan salah satu pasar terbesar bagi produk pemutih atau pencerah kulit didunia dengan estimasi 60-65% dari penduduk perempuannya menggunakan produk pemutih atau pencerah kulit, dengan konsumen terbesar adalah perempuan berumur 16-35 tahun[footnoteRef:11]. Setiap thaun lebih dari 250 ton krim pemutih dikonsumsi oleh masyarakat India, dan pada 2010 AC Nielsen mengatakan bahwa penjualan krim pemutih mencapai AS$432 juta, dan pada 2012 menjadi AS$ 634 juta[footnoteRef:12]. Produk pemutih atau pencerah kulit di India masuk dalam kategori FMCG (Fast Moving Consumer Goods) dalam Personal Care Products, yang berdasarkan data pada Market Survey [footnoteRef:13]di India mengenai sektor tersebut, menunjukkan bahwa produk pemutih atau pencerah mempunyai porsi yang cukup besar sebanyak 56% atau Rs 11.75 Milliar dari total keseluruhan sektor perawatan kulit yang mempunyai nilai Rs.21 Milliar (Lihat Gambar 1 [footnoteRef:14]). [11: Franklin, Living in A Barbie World: Akin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailan, 9] [12: Sapto Pradityo, Putih Tak Selalu Lebih Cantik Majalah Detik Edisi 14-20 April (2014), 118] [13: Italian Trade Commission, the cosmetic & personal care sector in Indiia, Market Research (2008) 17] [14: Italian Trade Commission, the cosmetic & personal care sector in Indiia, Market Research (2008) 17]

Gambar 1 Besar Market Share dari Skin Bleaching Product di India 2008

Pentingnya pembahasan mengenai hubungan antara poskolonialisme dan penggunaan produk pemutih atau pencerah kulit untuk merubah warna kulit, merupakan pembahasan yang penting, dimana menurut Jemma Pierre[footnoteRef:15] Pemutihan kulit atau segala tindakan yang menjunjung whiteness seharusnya dimasukkan dalam pembahasan mengenai struktur global karena adanya perbedaan dan kekuasaan atau sebagai bentuk Hirarki dunia dalam ras, ideologi whiteness sebagai sebuah power yang mempengaruhi kondisi Sosial politik bahkan sampai ke area yang kecil atau detail dalam kehidupan masyarakat dunia. Memutihkan atau mencerahkan warna kulit sebagai fenomena yang global, menunjukkan bahwa masih terdapat isu mengenai diskriminasi warna kulit (Colorism), hal ini berhubungan erat dengan penjajahan masa kolonial dan perbudakan atau oppression masa lalu[footnoteRef:16]. [15: Jemima Pierre, I Like Your Colour! Skin bleaching and Geographies of Race in Urban Ghana, Feminist Review 90 (2008) 11] [16: Petra Alaine Robinson, Skin bleaching in Jamaica: A Colonial Legacy, (Dissertasiion paper, Texas: A&M university, 2011) 86]

Memutihkan atau mencerahkan warna kulit sebagai fenomena yang global, menunjukkan bahwa masih terdapat isu mengenai diskriminasi warna kulit (Colorism), hal ini berhubungan erat dengan penjajahan masa kolonial dan perbudakan atau oppression masa lalu[footnoteRef:17]. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan melihat latar belakang kondisi sejarah dan bagaimana hal tersebut mendorong adanya aktivitas penggunaan pemutih kulit (Skin bleaching) yang terjadi di masyarakat khususnya perempuan dunia ketiga, yang dalam hal ini difokuskandi India. [17: Petra Alaine Robinson, Skin bleaching in Jamaica: A Colonial Legacy, (Dissertasiion paper, Texas: A&M university, 2011) 86]

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini umumnya menggunakan kerangka pemikiran poskolonial feminis dengan konsep double colonization atau Double Oppression untuk menjelaskan fenomena yang dialami oleh perempuan dunia ketiga[footnoteRef:18]. Feminisme dibawah kerangka poskolonialisme menganggap bahwa patriarki dan imperialisme merupakan bentuk dominasi dan penindasan (Oppression) yang sama terhadap pihak yang lebih lemah terutama perempuan [footnoteRef:19]. Poskolonial feminist muncul sebagai kritik atas adanya pemikiran western feminist yang cenderung menggeneralisasikan pemikiran tentang keadaan perempuan didunia, dan cenderung melihatnya dari pandangan barat (Hasan 2009, 29). Oleh karena itu poskolinial feminist, ingin menunjukkan sisi lain dari pemikiran feminis dari negara-negara dunia ketiga atau negara-negara yang dulunya merupakan bekas koloni dari bangsa Eropa. Konsep ini juga dijelaskan berdasarkan tesis Edward Said mengenai hubungan antara Orientalis yaitu negara-negara kolonial Barat tertutama Eropa yang menganggap diri mereka superior dan civilized dari masyarakat yang dikoloni di bagian bumi lain terutama Eastern yang disebut sebagai Oriental. Pandangan Orientalist kemudian membagi dunia menjadi Western dan Orientals, dimana dalam kerangka feminis, dari pandangan Orientalis, Perempuan Oriental merupakan pihak yang pasif, tidak dapat menyampaikan suaranya selalu menginginkan western untuk mengangkat ide atau causes, sehingga mereka selalu bergantung terhadap peradaban western yang lebih superior dari mereka (Hasan 2009, 30). Tulisan ini juga menggunakan tesis Gayatri Spivak dalam menjelaskan bagaimana kolonial Eropa sebagai pihak yang dominan mempengaruhi masyarakat yang dikoloni melalui konstruksi pemikiran sehingga dapat dikontrol, menjadi subjek, menjadi properti kepemilikan dan dieksploitasi melalui sistem, tulisan dan pengetahuan (Morton 1972, 33). [18: Mahmudul Hasan, The Orientalization of Gender 29] [19: Bill & Gareth Griffiths & Helen Tiffin. Postcolonial studies:the key concept secondedition Ed. Ashcroft, Griffiths, Tiffin (London: Routledge, 1995) ,144]

Konsep double colonization atau double oppression ini dialami oleh perempuan negara kolonial yang mempunyai identitas tidak berkulit putih (non-white) atau colored women, sehingga dalam sistem patriarki ditindas karena posisinya sebagai perempuan (being women) dan ditindas dalam sistem kolonial karena bukan merupakan kulit putih (being non-white) atau merupakan bagian dari negara yang dikoloni (colonized people)[footnoteRef:20]. Double colonization merupakan konsep yang pertama kali dikemukakan pada pertengahan 1980an, dan merupakan konsep feminisme poskolonial yang disebutkan dalam tulisan Holst Peteresen dan Rutherford tahun 1985. Penindasan dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan dunia ketiga dianggap lebih parah karena mereka harus mengalami dua jenis penindasan sekaligus, yaitu dari sistem patriarki yang sudah ada sebelumnya dari laki-laki lokal, dan penindasan kolonial Eropa. Konsep double colonization atau double oppression ini dialami oleh perempuan negara kolonial yang mempunyai identitas tidak berkulit putih (non-white) atau colored women, sehingga dalam sistem patriarki ditindas karena posisinya sebagai perempuan (being women) dan ditindas dalam sistem kolonial karena bukan merupakan kulit putih (being non-white) atau merupakan bagian dari negara yang dikoloni (colonized people) (Lundin 2008, 18). [20: Ingela Lundin, Double Oppression in the color purple and wide sargasso sea. A comparison between the main characters celie and Antoinette Humanities and Social Sciences (2008) 18]

Sehingga dapat dikatakan untuk menjelaskan tentang faktor yang menyebabkan kulit putih atau terang lebih disukai oleh masyarakat di India, double colonization dapat menjelaskan mengenai bagaimana sejarah patriarki sebagai faktor endogenous dan kolonialisasi Inggris sebagai faktor exogenous membentuk pemikiran mengenai kecantikan perempuan di India. Akan tetapi konsep double colonization ini tidak menjelaskan secara langsung bagaimana faktor sejarah baik kolonisasi patriarki dan kolonialisasi Inggris, menjadi faktor pendorong aktivitas skin bleaching. Akan tetapi konsep ini lebih menjelaskan faktor yang menyebabkan pandangan, pemikiran, perspektif masyarakat India sehingga lebih menghargai, memilih, dan memandang kulit putih atau terang lebih cantik atau superior dibandingkan warna kulit aslinya, sehingga nantinya menjadi motivasi adanya perilaku skin bleaching.Konsep dari pemikiran Postkolonial lain juga menyatakan bahwa pengalaman tertindas dalam jangka waktu yang lama dan secara turun-temurun dapat mengakibatkan individu menginternalisasikan inferioritas yang mereka dapatkan dari penjajahan (David 2014, 15). Poskolonialisme berbicara tidak hanya mengenai kondisi negara dan masyarakat koloni setelah kolonialisasi berakhir tetapi juga membicarakan mengenai proses dan dampak yang ditinggalkan oleh kolonialisasi atau karena adanya dekolonialisasi baik dalam segi sosial, budaya, ekonomi dan politik (Ascorf, Tiffin dan Griffiths 1995, 170). Hal ini dapat dijelaskan melalui tesis E.J.R David tentang Internalized Oppression yang menggabungkan bagaimana tindakan penindasan dari kolonial dapat mengubah psikologi bangsa yang dijajah sehingga mengubah pemikiran, tindakan,perilaku, serta kondisi fisik dan mental pihak yang dijajah (David 2014, 1).Internalized oppression didefinisikan sebagai turning upon ourselves, upon our families, and upon our own people the distress patterns that result from the . . . oppression of the (dominant) society (David 2014, 18). Harrell (dalam David 2014, 18) menyatakan dalam kolonialisme keberadaan Masyarakat Manichean, atau masyarakat yang dipandang kebalikan dari negara asal kolonial, segala sesuatu yang dimiliki oleh mereka sebagai kelompok yang didominasi baik itu bahasa, karakter fisik, nilai budaya, dan tradisi merupakan inferior, tidak dinginkan (undesirable), atau memiliki karakter yang negatif, sehingga sebaliknya, segala sesuatu yang dimiliki oleh kelompok dominan merupakan superior dan dinginkan (desirability). Kolonialisasi yang terinternalisasi secara bertahap menurut fase kolonial Fanon (1965 dalam David 2014, 6) mempunyai dampak yang besar terhadap psikologis dari pihak yang dijajah. Pencemaran dan ketidakadilan secara berkelanjutan yang dialami oleh masyarakat terjajah biasanya mengakibatkan kepada timbulnya self-doubt, kebingungan terhadap identitas, dan perasaan inferior. Memmi (1965 dalam David 2014, 10) menambahkan bahkan seringkali masyarakat terjajah akan mempercayai bahwa inferioritas adalah identitas asli mereka. Dimana Freire (1970 dalam David 2014, 10) melanjutkan bahwa identitas yang inferior tersebut nantinya akan menimbulkan keinginan untuk menghilangkan identitas diri mereka tersebut dan berusaha untuk mejadi sama atau lebih seperti para kolonialnya yang lebih superior. Hal inilah yang kemudian membentuk perilaku colorism pada masyarakat India. Colorism (Franklin 2012, 8)diartikan sebagai menilai atau berprasangka (prejudice) berdasarkan hirarki tingkat terang atau putihnya warna kulit, yang biasanya dilakukan oleh masyarakat dalam (intra) ras tertentu. Keinginan untuk mendapatkan penampilan atau kulit yang putih atau lebih terang merupakan salah satu bentuk penindasan yang diinternalisasikan atau internalized oppression, dimana David (2014, 10) berusaha melihat fenomena skin bleaching sebagai akibat dari faktor sejarah dan kondisi sosiopolitik kontemporer, bukan dari segi individual (David 2014, 2). Penindasan juga dapat terjadi secara terang-terangan (overt) atau secara halus (subtle), dimana dalam bentuk yang lebih halus akan lebih berpengaruh besar terhadap psikologi dari pihak yang ditindas, bahkan dalam level alam bawah sadar (unconscious level) (David 2014, 6). Maka dari itu, jika internalized oppression terjadi secara historis baik melalui cara yang overt maupun subtle tentang ke-inferior-an dari pihak tersebut maka nantinya anggota dari kelompok yang tertindas tidak akan lagi membutuhkan keberadaan kelompok dominan untuk memaksakan atau mengingatkan tentang inferioritas dari mereka karena mereka telah mulai meng-inferior-kan diri mereka sendiri baik secara overt ataupun subtle way (David 2014, 16). Hal ini dapat menjelaskan mengapa aktivitas skin bleaching dan penghargaan terhadap kulit putih atau terang walaupun telah terjadi dalam waktu yang lama, dan didorong oleh aspek historis menjadi fenomena kontemporer. Konsep ini dapat menjelaskan dan melengkapi konsep double oppression/colonization dengan menjelaskan bagaimana penghargaan mereka terhadap kulit putih diwujudkan dalam tindakan skin bleaching sebagai akibat dari internalized oppression. Double colonization/oppression, yaitu dari sistem patriarki India (sebagai faktor endogeneous) dan sistem kolonial Inggris (sebagai faktor exogenous) memunculkan penghargaan atas superioritas kecantikan kulit putih. Faktor endogeneous dominasi patriarki menyebabkan perempuan hanya dipandang sebagai objek dan properti laki-laki yang dinilai berdasarkan kecantikan fisik, sedangkan faktor exogenous kolonial Inggris menyebabkan white ideal of beauty sebagai standar pada perempuan di India yang juga diperdalam dengan adanya globalisasi. Gabungan kedua faktor menyebabkan klasifikasi status sosial perempuan poskolonial India berdasarkan White ideal of beauty. Sedangkan Internalized oprression menjelaskan secara lebih lanjut proses psikologis perilaku colorism yang menjelma kedalam aktivitas skin bleaching dalam lingkungan masyarakat poskolonial sekarang. Colorism menyebabkan masyarakat India secara tidak sadar lebih menghargai superioritas kulit putih dan mengubah pemikiran, mental, dan respon fisik sehingga termanifestasi dalam perilaku atau aktivitas skin bleaching. Perilaku ini merupakan strategi masyarakat kulit berwarna untuk lepas dari inferioritas warna kulit aslinya. Konsep ini dapat menjelaskan proses berubahnya pemikiran atau ide tentang kulit putih atau terang menjadi suatu aktivitas yaitu skin bleaching, serta juga dapat menjelaskan eksistensinya pada masyarakat poskolonial masa kini.

Double Colonization dan Internalized Oppression di IndiaSistem Patriarki tradisional India yang dipengaruhi oleh agama dan adat budayanya membentuk masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial yang kuat sehingga muncul kelas-kelas dan simbol dan karakter pembedaannya masing-masing yang nantinya mempengaruhi bagaimana penilaian terhadap kecantikana akan kulit putih bertahan dalam masayarakatnya secara khusus. Berubahnya kondisi sejarah masyarakat patriarki India berdampak terhadap posisi perempuan dalam masyarakat India karena mempengaruhi struktur dan nilai sosial pada saat itu. Perubahan tersebut akan menjelaskan bagaimana bentuk stratifikasi sosial dalam sistem patriarki masyarakat India yang mempengaruhi bagaimana perempuan dipandang, diperlakukan, dikontrol dan ditindas, baik dalam masyarakat India awal pre-kolonial, kolonial, dan poskolonial. Sehingga pada dasarnya pembahasan pada bab ini akan meliputi 3 hal yaitu bentuk sistem patriarki, kondisi perempuan India, dan juga adanya tendensi terhadap kulit putih atau cerah. Perubahan dari ketiga masa tersebut kemudian akan dapat menjelaskan bagaimana proses sejarah patriarki memiliki hubungan erat dengan fenomena yang terjadi dalam masyarakat poskolonial India khususnya perempuan sehingga memiliki tendensi pada kulit putih atau colorism.Sistem patriarki Di India disimbolkan dengan menunjukkan secara implisit bahwa posisi perempuan lebih inferior dari laki-laki melalui aktivitas atau ritual-ritual, budaya dan adat yang ada[footnoteRef:21]. Kondisi perempuan di India pada masa Reg Vedas atau sekitar 800 AD, sistem matrinial di India digantikan oleh sistem patrinial[footnoteRef:22] yang mengubah posisi perempuan di India yang awalnya cukup penting menjadi semakin tertindas[footnoteRef:23] menjadi Inferior dan subordinate[footnoteRef:24]. Posisi perempuan kemudian ditentukan pada dasarnya melalui posisi kasta mereka pada saat itu, dimana perempuan yang berasal dari kasta yan tinggi mempunyai posisi yang cukup penting dan berpengaruh khususnya dalam hal ritual agama[footnoteRef:25]. Konstruksi sistem patriarki di India erat hubungannya dengan adanya agama, yang melegitimasi otoritas, superioritas dan dominasi laki-laki atas perempuan termasuk dalam hukum dan norma yang mengatur tentang kontrol atas kepemilikan. Dalam laws of Manu[footnoteRef:26] disebutkan bahwa secara alamiah perempuan bersifat disloyal dan seharusnya bergantung terhadap laki-laki. Suami harus dipuja sebagai tuhan, yang menggambarkan mereka sebagai tuan, master, pemilik, penyedia dimana perempuan memiliki status yang sama dengan kasta Shudra. Posisi dan peran perempuan di India mengalami penurunan dan bentuk oppression dari sistem patriarki adalah ketika hak-hak politis mereka dicabut, munculnya child marriage, adanya anggapan pada saat itu dimana keberadaan anak perempuaan dianggap sebagai sumber ketidakberuntungan atau misery[footnoteRef:27], tidak diijinkan mereka untuk mempelajari Vedas dan ikut serta dalam ritual agama [footnoteRef:28]. Perempuan juga disamakan sebagai bagian dari properti dalam Epics, smritis, Puranas[footnoteRef:29], yang dapat ditukarkan dengan properti lain, yang merupakan ciri ciri dari sistem kepemilikan pribadi atau private property dari sistem patriarki. Hukum Brahmanical juga mengatakan adanya larangan kepemilikan atas properti apapun bagi perempuan kecuali beberapa barang yang didapatkan ketika menikah[footnoteRef:30]. Adanya larangan untuk menikah kembali bagi perempuan janda, dan adanya pandangan dan perlakuan sosial yang buruk bagi janda[footnoteRef:31]. [21: Suranjita Ray Understanding Patriarchy Human Rights, Gender & Environment Course, University of Delhi (2008) 17] [22: India awalnya mengikuti sistem Matrilineal yang tertera dalam kitab Brihadaranyaka Upanisha, Vedasm Manudharma Sastram Arthasastra of Kautilya dimana masa sebelum 712 AD yaitu disebut sebagai zaman Vedic,dan Epic perempuan memiliki posisi yang tinggi dan sama dengan laki-laki, serta merupakan simbol kekuatan (Shaksthi) terutama karena adanya fungsi reproduksi yang dihargai. H al ini mulai berubah ketika Age of Sutras sekitar abad setelah 712 AD.Ray Understanding Patriarchy 17] [23: Secara sejarah dulunya pada jaman Vedic dan Epic, keberadaan perempuan dikatakan setara dengan laki-laki, dimana perubahan akan hal tersebut terjadi pada post-verdic (periode brahmanical dan medieval) seiring dengan adanya sistem kepemilikan privat dan terciptanya masyarakat kelas. Ray Understanding Patriarchy 17] [24: Paladugu Parvathi Devi, Empowerment of rurual scheduled caste women: Status of women in India, historical background Department of Scientific Socialism: Acharya Nagarjuna University (2013) 39] [25: Devi, Empowerment of rurual scheduled caste women: Status of women in India, historical background 40] [26: Ray Understanding Patriarchy 17] [27: tertera dalam beberapa kitab Hindu seperti Aiterya Brahmana dan juga Atharva Veda dalam Devi, Empowerment of rurual scheduled caste women: Status of women in India, historical background 40] [28: Devi, Empowerment of rurual scheduled caste women: Status of women in India, historical background, 40] [29: Dalam Devi, Empowerment of rurual scheduled caste women: Status of women in India, historical background 41] [30: Devi, Empowerment of rurual scheduled caste women: Status of women in India, historical background 42] [31: Devi, Empowerment of rurual scheduled caste women: Status of women in India, historical background 42]

Adanya budaya sati[footnoteRef:32], child marriage, Dowry system[footnoteRef:33], Parda[footnoteRef:34], Devdasi[footnoteRef:35]dan dipandang sebagai alat untuk menjaga kemurnian (purity) dari kasta mereka dengan sistem endogamy[footnoteRef:36]untuk mempertahankan suksesi patrinial dan juga ketakutan bangsa Arya karena jumlah mereka yang kecil akan berasimilasi dengan populasi lokal dan kehilangan identitas mereka yang superior[footnoteRef:37]. Ritual dan adat tersebut pada umumnya merupakan bentuk dari subordinasi dan oppression sistem patriarki kasta terhadap perempuan tradisional India. [footnoteRef:38] Walaupun terdapat penghargaan terhadap warna putih daripada hitam pada masa tersebut, akan tetapi belum cukup krusial untuk menunjukkan ada kecenderungan pada pemilihan kulit putih atau whiteness secara rasial per se, karena masyarakat India pada masa itu lebih cenderung dipersatukan oleh agama yang mengedepankan purity daripada ras. Akan tetapi bisa dikatakan pada zaman tersebut telah ada bentuk stratifikasi sosial yaitu kasta yang memberikan privilege terhadap kelompok masyarakat tertentu yaitu bangsa pendatang Indo-Aryan dan mereka berusaha membatasai privilege tersebut dengan metode-metode adat atau aturan agama seperti endogamy, sati, dsb. Akan tetapi hal diatas menunjukkan bahwa sistem patriarki di India sangat memiliki pengaruh tentang status dan peran perempuan termasuk dalam mengkonstruksi nilai apa yang paling dihargai oleh masyarakat pada masa itu, yang menguntungkan dan menunjukkan maskulinitas laki-laki India termasuk pada standar perempuan sebagai property. [32: Upacara atau ritual membakar diri yang dilakukan oleh istri ketika suaminya meninggal sebagai simbol kepemilikan dan ikatan dengan suaminya. Sati sendiri secara harfiah berarti murni atau virtuous women dalam Samuel Stanely & Santosh Kumari, Position of women in Colonial Era International Journal of Education Research and Technology, Vol 1 [2] December (2010) 109] [33: System bride price atau sejumlah kompensasi yang harus diberikan kepada keluarga pihak yang ingin menikah. Dalam Romila Thapar, The Penguin History of Early India: from the origins to AD 1300 (London: Penguin Groups, 2002) 164] [34: larangan meninggalkan area domestik dan adanya pemisahan antara publik dan private kepada perempuan, dimana mereka tidak mempunyai hak dalam menentukan apa yang mereka inginkan yang berhubungan dengan badan dan pemikiran mereka terutama masalah reproduksi. Ray Understanding Patriarchy 17] [35: Bentuk menukarkan atau memberikan keluarga perempuan mereka ke kasta yang lebih tinggi, kurang lebih seperti prostitusi, akan tetapi selain dilakukan untuk mendapatkan harta atau uang, juga dilakukan untuk memenuhi beberapa syarat ritual agama atau untuk kepentingan tempat agama. Devi, Empowerment of rurual scheduled caste women: Status of women in India, historical background 47-48] [36: pernikahan hanya boleh dilakukan dengan orang dari kasta atau kelas sosial yang sama. Kasta tidak hanya menentukan social division of labour tetapi juga sexual division of labour. Ray Understanding Patriarchy 18] [37: Bhattacharya, The desire for whiteness: can law and economics explain it?, 126] [38: Ray Understanding Patriarchy 17]

Preferensi terhadap kulit putih sendiri lebih banyak ditekankan dan diperjelas dengan masuknya Inggris ke India diawali sekitar abad ke 17 , yang bertahan selama hampir 200 tahun mempengaruhi adanya double colonization terhadap perempuan India[footnoteRef:39]. Masuknya Inggris ke India diawali sekitar awal abad ke 17, bertahan selama hampir 200 tahun, diawali oleh masuknya English East India Company (EEIC) pada 1613 di Surat[footnoteRef:40]. Inggris mulai menguasai dan mengontrol wilayah di India tahun 1757 setelah menang perang Plassey tahun 1757 dan perang Buxar 1764 membuat mereka menguasai bagian timur Bengal dan Bihar, kemudian mulai meletakkan dasar dari kekaisaran Inggris di India[footnoteRef:41]. Tahun 1818 India baru benar-benar menerima Inggris sebagai paramount Power di India. Inggris merupakan kekuasaan tertinggi di India, dimana seluruh wilayah India berada dibawah pemerintahan politik Inggris, tidak memiliki kekuatan militer atau untuk melakukan hubungan luar negri ataupun kebijakan sendiri. Hal ini dilakukan dengan beberapa cara, seperti menandatangani perjanjian dengan penguasa di wilayah tertentu untuk mengatur dan mempertahankan daerah kekuasaan Inggris, dan juga mempunyai kewajiban untuk memberikan retribusi terhadap pemerintahan Inggris[footnoteRef:42]. Baru pada sekitar tahun 1858 baru kemudian pemerintah administratif India diambil alih oleh kerajaan Inggris dari EEIC secara total[footnoteRef:43]. Dibawah Inggris, wilayah India diklasifikasikan menjadi beberapa kelas, dengan perbedaan dalam tingkat kekuasaan dan undang-undang, yang walaupun berbeda ditiap wilayah, kemudian secara perlahan semua mengadopsi sistem yang digunakan oleh Inggris. Hal ini dikarenakan masuknya kolonial Inggris yang membawa sistem White Supremacy sebagai bagian dari ideologi dan sistemnya dalam melakukan eksploitasi dan penindasan di sebuah wilayah, bangsa, dan masyarakat non-white yang didasarkan pada kepemilikan kulit putih, terang atau memiliki keturunan Eropa[footnoteRef:44]. White supremacy merupakan sebuah ideologi yang meligitimasi adanya kolonialisasi Eropa terhadap bangsa non-white, karena konstruksi mereka terhadap perbedaan rasial biologis dimana kolonial Eropa yang berkulit putih lebih superior dari colonized non-white yang lebih inferior. [39: Iyer, the long-term impact of colonial rule: evidence from india, 7] [40: Laksmi Iyer, the long-term impact of colonial rule: evidence from India, (Boston:Harvard Business School, 2003) 6] [41: Iyer, the long-term impact of colonial rule: evidence from India, 7] [42: Iyer, the long-term impact of colonial rule: evidence from India, 6] [43: Iyer, the long-term impact of colonial rule: evidence from India, 8] [44: Yaba & Charles, Skin bleaching and Global White Supremacy, 6]

Sebagai suatu sistem dan ideologi untuk mempertahankan dan memperkuat posisi kolonial Eropa, keberadaan white supremacy memerlukan partisipasi seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat non-white yang dikoloni melalui cara mereka berfikir, merasakan, berperilaku, atau beraktifitas, sehingga menguntungkan secara ekonomi, politik dan sosial bagi kulit putih[footnoteRef:45]. Hal ini kemudian berdampak pada misi civilizing mereka, sehingga juga turut membawa nilai-nilai supremasi kulit putih seperti keuntungan dan standar ideal kecantikan pada perempuan.[footnoteRef:46]. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong Double colonization perempuan India dari kolonialisasi Inggris, dimana kemudian pemaksaan sistem dan ideologi white supremacy merubah pandangan perempuan India atas adanya superioritas kolonial Inggris yang berkulit putih dan turut serta menegakkan, mempertahankan serta menerima hal tersebut. [45: Yaba & Charles, Skin bleaching and Global White Supremacy, 7] [46: Yaba & Charles, Skin bleaching and Global White Supremacy, 7]

Selain itu kedatangan kolonial Inggris yang civilized salah satunya adalah dengan menyebarkan nilai-nilai, ide, budaya yang mereka bawa sebagai pihak yang superior (Civilizing Mission). Hal ini berhubungan erat dengan adanya teori Darwin dalam survival of the fittest dimana masyarakat kolonial Inggris mempercayai bahwa bangsa Eropa dalam hal ini Kolonial Inggris berkulit putih merupakan makhluk yang paling fittest setelah selesksi alam di dunia dan mereka memiliki kewajiban untuk menyebarkan ide, nilai, budaya mereka ke orang-orang yang terbelakang atau inferior[footnoteRef:47]. Hal ini didukung juga oleh Rudyard Kipling[footnoteRef:48] dalam tulisannya tahun 1899 yang berjudul The Whites Mans Burden sebagai bentuk pandangan kolonial eropa dalam hal ini Inggris terhadap masyarakat yang dianggap inferior lain. The Whites Mans Burden merupakan bentuk dari adanya ideologi White Supremacy dari Inggris dimana merupakan bentuk legitimasi dari adanya eksploitasi dan pendindasan terhadap wilayah, bangsa dan masyarakat yang tidak berkulit putih oleh mereka yang berkulit putih atau memiliki keturunan Eropa[footnoteRef:49]. [47: Classzone, Chapter 27: The Age of Imperialism, dalam World History Ed. McDougal Littell Classzone (2002) diakses dalam http://www.classzone.com/books/wh_survey/index.cfm , (pada 24 Maret 2014), 482] [48: Classzone, Chapter 27: The Age of Imperialism, 482] [49: Yaba & Charles, Skin Bleaching and Global White Supremacy 6]

Konstruksi dari white supremacy ini dilakukan dalam banyak segi dari kehidupan, termasuk dalam kebiasaan, pendidikan dan nilai budaya Kolonial Inggris. Salah satu bentuk paling umum mempertahankan dan menyebarkan white supremacy adalah melalui Christianity yang membenarkan adanya whiteness merupakan simbol kebaikan the light, moralitas dimana Blackness mencerminkan sesuatu yang gelap,terkutuk dan amoral dan jahat (Manichaeism)[footnoteRef:50]. Selain itu juga kolonial Inggris menjunjung adanya Rasisme, obsesi terhadap kebersihan dan juga turut membawa komoditas mereka sebagai bentuk simbol pengetahuan dan superioritas budaya mereka, dalam hal ini termasuk Toiletries[footnoteRef:51]. Hal ini yang kemudian nantinya menjadi awal dari masuknya komoditas-komoditas Inggris ke India pada masyarakat Poskolonial termasuk Skin Bleaching Prosuct sebagi bentuk dari commodity racism. [50: Yaba & Charles, Skin Bleaching and Global White Supremacy 8] [51: Yaba & Charles, Skin Bleaching and Global White Supremacy 13]

Sehingga dapat dikatakan untuk menjelaskan tentang faktor yang menyebabkan kulit putih atau terang lebih disukai oleh masyarakat di India, double colonization dapat menjelaskan mengenai bagaimana sejarah patriarki sebagai faktor endogenous dan kolonialisasi Inggris sebagai faktor exogenous membentuk pemikiran mengenai kecantikan perempuan di India. Akan tetapi konsep double colonization ini tidak menjelaskan secara langsung bagaimana faktor sejarah baik kolonisasi patriarki dan kolonialisasi Inggris, menjadi faktor pendorong aktivitas skin bleaching. Akan tetapi konsep ini lebih menjelaskan faktor yang menyebabkan pandangan, pemikiran, perspektif masyarakat India sehingga lebih menghargai, memilih, dan memandang kulit putih atau terang lebih cantik atau superior dibandingkan warna kulit aslinya, sehingga nantinya menjadi motivasi adanya perilaku skin bleaching.Hal ini dapat dilengkapai dengan menggunakan konsep dari pemikiran Postkolonial lain juga menyatakan bahwa pengalaman tertindas dalam jangka waktu yang lama dan secara turun-temurun dapat mengakibatkan individu menginternalisasikan inferioritas yang mereka dapatkan dari penjajahan[footnoteRef:52]. Poskolonialisme berbicara tidak hanya mengenai kondisi negara dan masyarakat koloni setelah kolonialisasi berakhir tetapi juga membicarakan mengenai proses dan dampak yang ditinggalkan oleh kolonialisasi atau karena adanya dekolonialisasi baik dalam segi sosial, budaya, ekonomi dan politik [footnoteRef:53]. Hal ini dapat dijelaskan melalui konsep Internalized Oppression yang menggabungkan bagaimana tindakan penindasan dari kolonial dapat mengubah psikologi bangsa yang dijajah sehingga mengubah pemikiran, tindakan,perilaku, serta kondisi fisik dan mental pihak yang dijajah[footnoteRef:54]. [52: E.J.R. David, Chapter1: What is internalized oppression and so what, dalam Internalized Oppression: The Psychology of Marginal Groups. Ed. E.J.R David (New York: Springer, 2014) 15] [53: Postcolonial studies:the key concept second edition Ed. Ashcroft, Griffiths, Tiffin,170] [54: David, Chapter1: What is internalized oppression and so what 1]

Kolonialisasi yang terinternalisasi secara bertahap menurut fase kolonial Fanon[footnoteRef:55] mempunyai dampak yang besar terhadap psikologis dari pihak yang dijajah. Pencemaran dan ketidakadilan secara berkelanjutan yang dialami oleh masyarakat terjajah biasanya mengakibatkan kepada timbulnya self-doubt, kebingungan terhadap identitas, dan perasaan inferior. Memmi[footnoteRef:56] menambahkan bahkan seringkali masyarakat terjajah akan mempercayai bahwa inferioritas adalah identitas asli mereka. Dimana Freire[footnoteRef:57] melanjutkan bahwa identitas yang inferior tersebut nantinya akan menimbulkan keinginan untuk menghilangkan identitas diri mereka tersebut dan berusaha untuk mejadi sama atau lebih seperti para kolonialnya yang lebih superior. Keinginan untuk mendapatkan penampilan atau kulit yang putih atau lebih terang merupakan salah satu bentuk penindasan yang diinternalisasikan atau internalized oppression, dimana David[footnoteRef:58] berusaha melihat fenomena skin bleaching sebagai akibat dari faktor sejarah dan kondisi sosiopolitik kontemporer, bukan dari segi individual[footnoteRef:59]. Hal inilah yang kemudian membentuk perilaku colorism pada masyarakat India. Colorism[footnoteRef:60] diartikan sebagai menilai atau berprasangka (prejudice) berdasarkan hirarki tingkat terang atau putihnya warna kulit, yang biasanya dilakukan oleh masyarakat dalam (intra) ras tertentu. [55: Fanon (1965) dalam David, Chapter1: What is internalized oppression and so what 6] [56: Memmi, 1965 dalam David, Chapter1: What is internalized oppression and so what, 10] [57: Freire, 1970 David, Chapter1: What is internalized oppression and so what, 10] [58: David, Chapter1: What is internalized oppression and so what, 10] [59: David, Chapter1: What is internalized oppression and so what 2] [60: Imani Franklin, Living in A Barbie World: Akin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailand Center For Democracy, Development, and the Rule of Law (Standford University, 2012) 8]

Konsep ini kemudian dapat menjelaskan dan melengkapi konsep double oppression/colonization dengan menjelaskan bagaimana penghargaan mereka terhadap kulit putih diwujudkan dalam tindakan skin bleaching sebagai implemntasi real akibat dari internalized oppression. Internalized oprression menjelaskan proses psikologis perilaku colorism yang menjelma kedalam aktivitas skin bleaching dalam lingkungan masyarakat poskolonial sekarang. Konsep ini dapat menjelaskan proses berubahnya pemikiran atau ide tentang kulit putih atau terang menjadi suatu aktivitas yaitu skin bleaching, serta juga dapat menjelaskan eksistensinya pada masyarakat poskolonial masa kini.

Colorism dan Aktivitas Skin Bleaching di India

Colorism pertama kali muncul dalam tulisan Alice Walker[footnoteRef:61] yang diartikan sebagai perlakuan yang merugikan (prejudicial) atau istimewa (preferential) terhadap individu tertentu dalam ras yang sama berdasarkan warna kulitnya. Menurut Verna Keith[footnoteRef:62], Imani Franklin[footnoteRef:63], dan Nakano Glenn[footnoteRef:64]Colorism pada intinya didefinisikan sebagai adanya perlakuan istimewa (Privilege) atau khusus terhadap warna kulit yang lebih terang daripada warna kulit yang lebih gelap berdasarkan hirarki gradasi warna kulit yang biasanya terjadi dalam kelompok intrarasial dan interrasial tertentu. Sejarah dari munculnya colorism erat hubungannya dengan adanya dengan sikap rasisme kolonial dalam perdagangan dan dalam memperlakukan slave African American serta dalam pembagian pekerjaan mereka. Buruh diambil secara paksa dari tempat tinggal mereka dan didistribusikan ke negara lain yang merupakan daerah kekuasaan kolonial, yang melalui warna kulit mereka merupakan salah satu bentuk penanda identifikasi mereka sebagai individu yang dapat dimanfaatkan tenaganya oleh kolonial yang berkulit putih[footnoteRef:65]. Paham rasisme kolonial kulit putih kemudian membuat mereka merasa lebih superior dari mereka yang berkulit gelap, dimana asosiasi negatif menjadi identik dengan kuilit gelap memudahkan warna kulit sebagai instrumen subjugasi Afrika kolonial[footnoteRef:66]. Dalam perdagangan buruh, mereka yang memiliki keturunan Eropa atau berkulit lebih terang lebih mempunyai harga yang lebih tinggi dari keturunan asli yang tidak berkulit putih[footnoteRef:67]. Dalam pembagaian pekerjaan buruh yang kulitnya lebih terang, akan lebih dipilih sebagai pelayan rumah atau pelayan pribadi karena lebih dipandang menarik secara estetika (aesthetically appealing) dan dianggap lebih superior dalam menangani pekerjaannya dari buruh yang lain dengan kulit lebih gelap[footnoteRef:68]. Sehingga buruh dengan kulit yang lebih terang, memiliki kemungkinan untuk mendapatkan posisi domestik, skill, makanan dan pakaian yang lebih baik, kesempatan pendidikan yang lebih tinggi, dan diperlakukan lebih baik oleh majikannya[footnoteRef:69]. Pada masyarakat India yang colorism status sosial khususnya perempuan menjadi banyak bergantung pada warna kulitnya sebagai bentuk sumberdaya atau aset. Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat India dengan sistem Pigmentocracy.Pigmentocracy merupakan terminologi yang menunjukkan adanya masyarakat yang menentukan kekayaan dan status sosial berdasarkan warna kulit. Terdapat banyak macam pigmentocracy dalam masyarakat dunia dengan karakteristik masing-masing, akan tetapi secara umum mereka lebih menghargai individu dengan warna kulit yang terang atau cerah[footnoteRef:70]. [61: Alice Walker, if the present looks like the past, what does the future look like (1983) dalam Franklin, Living in A Barbie World: Akin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailand (2012), 8] [62: Verna M.Keith, A colorstruck World: Skin tone, Achievement and self-esteem among African American Women (2010), 25] [63: Franklin, Living in A Barbie World: Akin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailand, 8] [64: Evelyn Nakano Glenn (2008) dalam Angelique Howard , The prevalence and effecs of colorism within the african american community. California State University, (Sacramento: 2006), 11] [65: Howard, The prevalence and effecs of colorism within the african american community 17] [66: Howard, The prevalence and effecs of colorism within the african american community 17] [67: Keith, A colorstruck World: Skin tone, Achievement and self-esteem among African American Women 27] [68: Keith, A colorstruck World: Skin tone, Achievement and self-esteem among African American Women 27] [69: Keith, A colorstruck World: Skin tone, Achievement and self-esteem among African American Women 27] [70: Richard Lynn. Pigementocracy: Racial Hierarchies in the Carivvean and Latin America University of Ulster. The occidental Quarterly vol.8 no.2 Summer (2008), 25]

Kecenderungan colorism masyarakat India menurut Imani Franklin[footnoteRef:71] telah tampak dan mengakar sejak anak-anak, yang diungkapkan dalam observasinya pada 2010 di sebuah sekolah di Tamil Nadu, dimana 29 murid berumur 10-17 tahun, 24-nya memilih kulit yang lebih terang atau putih[footnoteRef:72]. Signifikansi warna kulit juga kemudian tampak pada hasil penelitian lain yang membuktikan di India sebelum diatur dan dilarang dalam undang-undang tahun 1961, Mas Kawin atau mahar (Dowry) yang diberikan kepada calon suami dari pihak calon istri akan lebih besar atau lebih banyak jika calon Istri tidak mempunyai kulit yang terang atau putih[footnoteRef:73]. Selain itu juga adanya kecenderungan memilih kulit yang lebih terang dan putih, serta pentingnya karakter tersebut dalam iklan perjodohan (Matrimonial Ads) yang dilakukan oleh Hindustan Times yang mengatakan bahwa 2.8% pria dan 13.5% perempuan menyertakan warna kulitnya yang putih atau terang dalam iklan tersebut[footnoteRef:74]. Menunjukkan adanya tradisi India yang memberikan privilege atau keistimewaan pada individu yang berkulit terang atau putih dan juga mempromosikan prejudice berdasarkan warna kulit[footnoteRef:75]. [71: Franklin, Living in A Barbie World: Akin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailand, 32] [72: Franklin, Living in A Barbie World: Akin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailand33] [73: Franklin, Living in A Barbie World: Akin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailand35] [74: Franklin, Living in A Barbie World: Akin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailand34] [75: Saifee (2006) dalam Parameswaran & Cardoza, Melanin on the Margins: Advertising and the Cultural Politics of Fair/Light/White Beauty in India, 230]

Motivasi dari adanya kecenderungan pada kulit putih atau cerah yang ditunjukkan masyarakat India, dijelaskan oleh Imani[footnoteRef:76] mengatakan, kaum perempuan melakukannya tidak hanya untuk kecantikan tetapi juga sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan sosial dan ekonomi atau sebagai bentuk social capital. Keuntungan ini dapat berupa mempermudah persaingan dalam mencari pekerjaan yang mengedepankan penampilan fisik[footnoteRef:77], serta prospek masa depan dalam hal pernikahan dengan laki-laki yang memiliki status sosial yang tinggi hingga terjadinya mobilisasi status sosial[footnoteRef:78]. Robinson juga mengatakan bahwa dari penelitiannya tentang skin bleaching tujuan dari dilakukannya hal tersebut adalah; pertama, merupakan indikator status sosial dan social capital di masyarakat. Kedua, memiliki kulit yang putih atau cerah tidak hanya dianggap lebih cantik tetapi juga merupakan aset individu. Ketiga, kulit yang lebih cerah dan putih mempunyai efek terhadapdiri sendiri (self-image), dan juga popularitas dalam peers, courtship, pernikahan, rumah tangga, ekonomi, pendidikan, dan juga kesehatan. Keempat, secara umum mempunyai kulit yang lebih putih atau cerah meningkatkan kesempatan hidup (life chances) dan privilege[footnoteRef:79]. [76: Franklin, Living in A Barbie World: Akin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailand46] [77: Keith, A colorstruck World: Skin tone, Achievement and self-esteem among African American Women, 26] [78: Franklin, Living in A Barbie World: Akin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailand 47] [79: Robinson, Skin Bleaching in Jamaica: A Colonial Legacy, 216]

Adanya keuntungan baik secara sosial ataupun ekonomi yang didapatkan karena kepemilikan kulit putih atau cerah, tidak hanya berada dalam taraf perspektif masyarakat tetapi juga ada dalam tatanan struktural institusi sosial ekonomi masyarakatnya[footnoteRef:80]. Hal ini merupakan hasil dari interaksi proses sejarah masyarakat India, dimana standar kecantikannya tidak saja dipengaruhi oleh standar western akan tetapi juga berinteraksi dengan nilai budaya lokal India dalam implementasinya. Standar kulit putih tersebut menjadi bentuk dari aset bagi perempuan India untuk melakukan mobilitas sosial dalam masyarakat patriarkinya. Perempuan India tampak masih bergantung pada peran laki-laki dalam melakukan mobilitas sosial, serta masih digunakannya kecantikan dalam hal ini warna kulit sebagai karakter dan objektifikasi yang menentukan nilai perempuan.[footnoteRef:81]Whitenessas a commodity atau social capital menurut Cheryl Harris[footnoteRef:82] merupakan sebuah komoditas, aset properti, dan bukti dari usaha dari masyarakat non kulit putih untuk pass sebagai kulit putih dan mendapatkan privilege eksklusif yang sama. Slavery dan kolonialisme mendukung adanya konstruksi whiteness sebagai property karena melambangkan mastership, superioritas[footnoteRef:83]. Pada perkembangannya dalam masa poskolonial mereka dengan kulit gelap kemudian menerima bahwa standar kecantikan dan aset dalam kehidupan sosial adalah dengan menjadi lebih putih, menyebabkan desire of whiteness dan berusaha untuk mendapatkan hal tersebut melalui skin-bleaching. [80: Hunter, Buying Racial Capital: skin-bleaching and cosmetic surgery in a globalized world 144] [81: Bhattacharya, The desire for whiteness: can law and economics explain it? 122] [82: Bhattacharya, The desire for whiteness: can law and economics explain it?, 120] [83: Bhattacharya, The desire for whiteness: can law and economics explain it?, 120]

Bentuk dari Colorism dalam tulisan ini fokus pada adanya Skin bleaching. Sebagai bentuk nyata dari adanya Colorism, skin bleaching merupakan manifestasi colorism kedalam sebuah aktivitas atau kegiatan yang nyata. Skin bleachingdalam tulisan ini didefinisikan mengikuti definisi Blay, Charles[footnoteRef:84] dan Amina Mire[footnoteRef:85] sebagai tindakan yang disengaja untuk mengubah warna kulit alami seseorang menjadi relatif atau substantif menjadi berwarna lebih terang melalui penggunaan bahan kimia pemutih kulit baik dalam bentuk krim, pill, sabun, ataupun lotion. Atau definisi yang lebih ilmiah oleh Imani Franklin dimana mengatakan bahwa Skin bleachingadalah penggunaan produk dermatologis, kosmetik, atau produk Degpimentation rumahan yang mencegah produksi melanin dan atau menghapus lapisan atas dari epidermis[footnoteRef:86]. Dalam Kerangka pemikiran poskolonial feminis, skin bleaching dapat dikatakan sebagai bentuk dari bargain kaum perempuan terhadap penindasan yang didapatkan dari kaum yang dominan. Deniz Kandiyoti[footnoteRef:87] menyatakan terdapat bentuk patriarchial bargain untuk menjelaskan adanya strategi perempuan yang berada dalam penindasan sistem patriaki untuk memaksimalkan keamanan atau mengoptimlakan pilihan hidup mereka. Perempuan merespon atas dominasi laki-laki secara berbeda dimana hal tersebut bergantung pada kesempatan yang ditwarkan dalam sistem patriarki tersebut[footnoteRef:88]. Respon tersebut dapat berupa kolaborasi, dimana perempuan menjadi guardian dari nilai adat dan budaya patriarki tersebut, atau dapat juga dalam bentuk perilaku tertentu yang dapat menguntungkan tanpa memunculkan konflik, baik secara pasif maupun aktif[footnoteRef:89]. Dimana perempuan India, baik dalam periode dominasi patriarki tradisional, kolonial maupun poskolonial, melakukan tindakan-tindakan tertentu sebagai bentuk bargain mereka agar posisi mereka didentifikasi oleh pihak dominan dan sekaligus mencerminkan penerimaan atas kondisi mereka. Sehingga perempuan poskolonial India dalam sistem patriarki poskolonial yang cenderung colorism berusaha melakukan bargain melalui strategi skin bleaching sehingga dapat diidentifikasi oleh sistem dominan tersebut dan mendapatkan keuntungan tertentu. [84: Yaba & Charles, Skin bleaching and Global White Supremacy, 1] [85: Amina Mire, Pigmentation and Empire NewBlackMagazine, 14 Agustus 2010, http://www.thenewblackmagazine.com/view.aspx?index=2382 (diakses 12 Maret 2014) ] [86: Imani Franklin, Living in A Barbie World: Akin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailand Center For Democracy, Development, and the Rule of Law (Standford University, 2012)] [87: Deniz Kaniyoti (1988) dalam Amalia Saar, Postcolonial Feminism, the Politics of Identifocation, and the Liberal Bargain, Gender and Society Vol. 19 No.5 October (2005), 680] [88: Saar, Postcolonial Feminism, the Politics of Identifocation, and the Liberal Bargain, 680] [89: Saar, Postcolonial Feminism, the Politics of Identifocation, and the Liberal Bargain 680]

Skin bleaching sering disamakan dengan aktifitas Tanning yaitu menggelapkan warna kulit baik secara alami maupun dengan bantuan kimia atau mesin. Akan tetapi kedua hal ini merupakan hal yang berbeda, dimana skin bleaching memiliki arti yang lebih dalam dan lebih merupakan bentuk aktifitas yang melalui proses kompleks interaksi antara sejarah, kelas sosial, posisi perempuan serta juga adanya globalisasi. Sedangkan Tanning lebih merupakan simbol leisure, dan salah satu bentuk aktifitas temporer yang muncul pada kalangan kulit putih. Lois Banner[footnoteRef:90] menjelaskan dalam tulisannya mengenai munculnya Tanning merupakan tren yang diawali oleh ikon fashion Coco Chanel tahun 1920an[footnoteRef:91]dianggap sebagai bentuk leisure activities seperti olahraga dan sensual beach behavior, serta juga bagaimana mereka memandang pale skin merupakan mereka yang bekerja indoor di pabrik, bukan mereka yang bersenang-senang atau memiliki waktu dan sumber daya untuk melakukan aktivitas leisure seperti Tanning. Tan skin merupakan tanda dari leisure not labor[footnoteRef:92]. Ditambahkan oleh Ayu Saraswati[footnoteRef:93] yang meneliti tentang warna kulit di Indonesia dan AS, juga mengatakan bahwa tanning lebih merupakan hal yang berhubungan dengan postmodern playfullness, menunjukkan temporaritas keinginan untuk mengubah warna kulit,tidak secara permanen. Adanya segi playfullness sebagai bentuk aksesori fashion, merupakan bentuk perhiasan (adornment) yang dapat dipakai atau dilepas dengan mudah, kemampuan mereka untuk mengontrol gradasi warna kulit mereka[footnoteRef:94]. Tanning tidak menandakan adanya keinginan perempuan kulit putih mengubah asal ras mereka. Mereka tidak melakukan tanning untuk terlihat half black, akan tetapi untuk terlihat white but with a tan[footnoteRef:95]. sedangkan mereka yang non kulit putih mengubah warna kulit menjadi lebih putih untuk mengubah persepsi orang lain mengenai ras atau keturunan mereka, agar mereka terlihat half-white[footnoteRef:96]. White women masih memiliki dan mendapatkan privilege mereka walaupun tanpa tanning, sedangkan non-white harus mengubah warna kulit mereka untuk mendapatkan privilege tersebut[footnoteRef:97]. Ditambah lagi dalam aktivitas skin bleaching terdapat adanya sejarah atau konsep white supremacyyang mempengaruhi sebagian besar masyarakat non-Eropa atau poskolonialis di dunia. Sedangkan tanning tidak berarti terdapat bentuk dari brown atau dark supremacy[footnoteRef:98]. Salah satu bentuk analisis paling mudah menurut Imani Franklin[footnoteRef:99] adalah dengan melihat cara produsen mempromosikan kedua produk, dimana tanning pada umumnya ditujukan untuk enhance daripada correct warna kulit mereka. Sehingga dari segi terminologi sendiri digunakannnya kata Tan daripada dark atau black menunjukkan bahwa tidak adanya keinginan untuk merubah warna kulit menjadi black atau dark melainkan tan atau bronze[footnoteRef:100]. [90: dalam Rondilla, Colonial Faces: Beauty and Skin Color Hierarchy in the Philippines and the U.S., 48] [91: Lois Banner (1984) dalam Rondilla, Colonial Faces: Beauty and Skin Color Hierarchy in the Philippines and the U.S., 48] [92: Rondilla, Colonial Faces: Beauty and Skin Color Hierarchy in the Philippines and the U.S., 45] [93: Ayu L. Saraswati (2010) dalam Rondilla, Colonial Faces: Beauty and Skin Color Hierarchy in the Philippines and the U.S., 45] [94: Rondilla, Colonial Faces: Beauty and Skin Color Hierarchy in the Philippines and the U.S., 53] [95: Rondilla, Colonial Faces: Beauty and Skin Color Hierarchy in the Philippines and the U.S., 45] [96: Rondilla, Colonial Faces: Beauty and Skin Color Hierarchy in the Philippines and the U.S., 45] [97: Rondilla, Colonial Faces: Beauty and Skin Color Hierarchy in the Philippines and the U.S., 45] [98: Franklin, Living in A Barbie World: Akin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailand, 46] [99: Franklin, Living in A Barbie World: Akin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailand, 46] [100: Franklin, Living in A Barbie World: Akin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailand, 46]

Sevagai salah satu pengukur megenai tingginya aktivitas skin bleaching tersebut adalah dengan melihat jumlah penjualannya dari tahun ketahun di India. Berdasarkan data pada Market Survey [footnoteRef:101]di India mengenai sektor tersebut, menunjukkan bahwa produk pemutih atau pencerah mempunyai porsi yang cukup besar sebanyak 56% atau Rs 11.75 Milliar dari total keseluruhan sektor perawatan kulit yang mempunyai nilai Rs.21 Milliar. Survey ini juga kemudian mengatakan bahwa 90% dari perempuan di India mengkategorikan produk pemutih atau pencerah kulit sebagai produk yang sangat dibutuhkan (highly needed), dan pada tahun 2006 mempunyai nilai produk sebanyak Rs. 12 Milliar dengan pertumbuhan pertahunnya mulai dari 10-15 % pada 5 tahun terakhir (Lihat Gambar 2)[footnoteRef:102]. [101: Italian Trade Commission, the cosmetic & personal care sector in Indiia, Market Research (2008) 17] [102: Italian Trade Commission, the cosmetic & personal care sector in Indiia 18]

Gambar 2 Perkembangan Penjualan Produk skin bleaching di India tahun 2009-2012

Produsen dari produk pemutih kulit di India dikuasai oleh perusahaan multinasional Hindustan Unilever Limited (HUL) yang memiliki besar market share sebanyak 76% dengan penjualan produk skin bleaching bermerk Fair and Lovely(lihat Gambar 3)[footnoteRef:103]. [103: Italian Trade Commission, the cosmetic & personal care sector in Indiia 26]

Gambar 3 Dominasi HUL dalam pasar Skin Bleaching Product di India dengan Fair & Lovely sebagai produk yang paling banyak dikonsumsi

Selain dalam produk pemutih kulit, dermatologist dan beauticians turut juga diuntungkan dengan adanya fenomena skin bleaching ini, dimana menurut Olivera[footnoteRef:104] (2001) di Mumbai saja terdapat 50-60 kasus kesehatan yang berhubungan dengan pemutihan kulit. Beauty services yang juga mendapat keuntungan dari fenomena ini juga mengatakan konsumennya rela membayar $9-$18 dalam satu kali konsultasi. Perry[footnoteRef:105] menambahkan bahwa telah muncul sekitar 60.000 salon kecantikan yang menawarkan pemutihan kulit di India. Sehingga bisa dikatakan terdapat peningkatan dalam industri kosmetik pemuth kulit pada 10 tahun terakhir baik dalam penjualannya, macam produknya, jumlah produsen, target pasar, dan juga bentuk pelayanan jasa dalam sektor skincare. [104: Olivera (2001) dalam Parameswaran & Cardoza, Melanin on the Margins: Advertising and the Cultural Politics of Fair/Light/White Beauty in India 238] [105: Perry (2005) dalam Parameswaran & Cardoza, Melanin on the Margins: Advertising and the Cultural Politics of Fair/Light/White Beauty in India 239]

Hal ini juga menjadikan pandangan perempuan India bahwa halangan bagi mereka untuk melakukan mobilitas sosial adalah produksi melanin dikulit mereka atau keadaan fisik mereka, bukan struktur kekuasaan institusional dari sosialnya. Salah satu bentuk pergerakan yang menentang atau mengkritisi adanya colorism adalah Shobhan Bantwal (2006) yang mempertanyakan tentang standar kecantikan pada masyarakat India yang colorism. Pada tahun 2002, The All India Democratic Womens Association mengirimkan petisi mereka terhadap HUL untuk dicabutnya iklan yang mempromosikan Fair &Lovely yang dianggap mendukung adanya colorismdi India[footnoteRef:106]. Setelah diusungnya masalah ini ke National Human Rights Commission dan juga Ministry of Information and Broadcasting di India, iklan tersebut kemudian dilarang dan dicabut oleh HUL pada 2003[footnoteRef:107]. Kemudian juga mulai munculnya kampanye WOW (Women of Worth) melalui artis India Nandita Das, yang menyatakan kekhawatirannya mengenai konsumsi skin bleaching product dan colorism di India. Melalui gerakannya yang disebut sebagai Dark Is beautiful, melalui wawancara email yang penulis lakukan, Nandita Das[footnoteRef:108] menyatakan bahwa keberadaan colorism di India memiliki dampak yang cukup besar dalam kehidupan sehari-hari rakyat India, sehingga Das ingin menyuarakan adanya hal tersebut dan empower para perempuan di India. Das juga menyatakan bahwa memiliki kulit yang putih atau terang dalam dunia entertainment khususnya, memiliki tingkat kepentingan yang cukup tinggi, terutama dalam memerankan masyarakat dengan status sosial tinggi, dimana menurutnya media India memiliki andil yang cukup banyak dalam mempromosikan colorism[footnoteRef:109]. [106: Parameswaran & Cardoza, Melanin on the Margins: Advertising and the Cultural Politics of Fair/Light/White Beauty in India 264] [107: Parameswaran & Cardoza, Melanin on the Margins: Advertising and the Cultural Politics of Fair/Light/White Beauty in India, 264] [108: Nandita Das, Interview oleh penulis, 27 Juli 2014.] [109: Nandita Das, Interview oleh penulis, 27 Juli 2014.]

Double Colonization dan kaitannya dengan Globalisasi pada negara poskolonialColorism dan aktifitas skin bleaching dapat dikatakan terjadi hampir diseluruh bagian dunia, khususnya negara-negara yang memiliki sejarah kolonialisme dan imperialisme. Munculnya aktivitas skin bleaching secara global ini selain didorong oleh faktor sejarah juga didorong oleh adanya globalisasi terutama globalisasi pasar dan informasi. Adanya colorism dan rasisme preferensi terhadap kulit putih akibat dari proses sejarah kolonial memberikan kesempatan atau dasar bagi para pelaku ekonomi yang banyak berasal dari negara kolonial Eropa, memanfaatkannya sebagai dasar komoditas dan menguatkannya kembali pada era poskolonial. Melalui bantuan globalisasi ekonomi, transportasi dan juga informasi, nilai superior western seperti rasisme dan colorism reinforced dan dikomodifikasi dalam bentuk industri modern produk kecantikan[footnoteRef:110]. Perusahaan produk kecantikan[footnoteRef:111] kemudian membangun pangsa pasar internasional melalui ekspor dan investasi secara langsung, yang pada akhirnya tidak saja menjual produk kecantikannya akan tetapi juga membentuk dan menyebarkan persepsi tentang standar kecantikan secara global[footnoteRef:112]. Sehingga bisa dikatakan hal ini merupakan perpotongan antara adanya global market dan global information yang membentuk konvergensi atau homogenisasi dari standar ideal dari kecantikan (homogenization of beauty ideals and practices) di seluruh dunia. [110: Geoffrey Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective Instutute Of American Studies EuRamerica Vol.41 No.4 (2011), 910] [111: Definisi dari industri kecantikan atau beauty industry yang digunakan dalam hal ini termasuk fragrances, hair and skincare products, color cosmetics, bath & shower products, oral care dan baby care. Tidak termasuk didalamnya jasa seperti salaon atau hairdressers, produk medis, surgery atau fashion. Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective, 887] [112: Geoffrey Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective Instutute Of American Studies EuRamerica Vol.41 No.4 (2011), 910]

Penyebaran produk skin bleaching ini Pada tahun 2005 terdapat 62 produk pemutih kulit baru yang masuk dalam wilayah Asia Pasifik, dimana rata-rata 56 produk pemutih kulit masuk pertahun sejak 4 tahun yang lalu[footnoteRef:113] Sedangkan di Asia, perusahaan multinasional mulai memasarkan produk pemutih kulit high end pada wanita Asia di Jepang, dimana pada tahun 2001 pasar produk pemutih kulitnya bernilai $5.6 milliar dollar, dan di China pada tahun 2002 bernilai sekitar $1.3 milliar dollar[footnoteRef:114]. Industri kosmetik global atau produk kecantikan modern (dengan skala pabrik dan marketing brand) sendiri memang berawal atau berasal dari Eropa dan Amerika Utara pada awal abad ke-19, walaupun penggunaan produk kecantikan telah ada sejak lama[footnoteRef:115]. Dimana perbedaannya terdapat pada akses terhadap beauty products tersebut dimana pada masa sebelum produksi modern, aksesnya hanya terbatas pada kalangan elit yang memiliki pendapatan, posisi sosial yang tinggi, dan juga high leisure activity. Hal ini kemudian berubah karena industrialisasi membuat aksesnya terbuka bagi lapisan masyarakat manapun sebagai akibat dari diproduksi dan dipasarkan secara massal, serta didukung dengan adanya peningkatan transportasi, informasi, media dan juga kondisis ekonomi dunia[footnoteRef:116]. [113: Fuller (2006) dalam Parameswaran & Cardoza, Melanin on the Margins: Advertising and the Cultural Politics of Fair/Light/White Beauty in India,219] [114: Mire, The Scientification of Skin Whitening and the Entrepreneurial University-Linked Corporate Scientific Officer,219] [115: Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective , 886] [116: Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective , 887]

Awal mula dari muncul dan meningkatnya industri produk kecantikan ini terutama yang menjual produk pemutih kulit menurut Wiegman[footnoteRef:117] berhubungan dengan adanya penggunaan Scientific Racism[footnoteRef:118]sebagai alat untuk melegitimasi adanya slavery dan penjajahan teritori dalam white supremacy oleh kolonial Eropa[footnoteRef:119]. Industri kosmetik global atau produk kecantikan modern (dengan skala pabrik dan marketing brand) sendiri memang berawal atau berasal dari Eropa dan Amerika Utara pada awal abad ke-19, walaupun penggunaan produk kecantikan telah ada sejak lama[footnoteRef:120]. Dimana perbedaannya terdapat pada akses terhadap beauty products tersebut dimana pada masa sebelum produksi modern, aksesnya hanya terbatas pada kalangan elit yang memiliki pendapatan, posisi sosial yang tinggi, dan juga high leisure activity. Hal ini kemudian berubah karena industrialisasi membuat aksesnya terbuka bagi lapisan masyarakat manapun sebagai akibat dari diproduksi dan dipasarkan secara massal, serta didukung dengan adanya peningkatan transportasi, informasi, media dan juga kondisis ekonomi dunia[footnoteRef:121].K emudian dengan adanya revolusi industri dan peningkatan dalam sektor ekonomi, metode civilizing mission kolonial berubah menjadi commodity racism[footnoteRef:122]yaitu dimana penggunaan komoditas sebagai simbol civilization oleh bangsa Eropa, dan mempermudah penerimaan hal tersebut keseluruh pihak, tidak hanya mereka yang memiliki tingkat literasi yang tinggi[footnoteRef:123]. Salah satu bentuk dari commodity racism Inggris dalam mempromosikan superioritasan kulit putih dan mengasosiasikannya dengan kebersihan adalah melalui komoditas sabun[footnoteRef:124]. Produk sabun dari Inggris dan AS seringkali mengklaim bahwa penggunaan produk sabun dari mereka akan memutihkan kulit dari masyarakat non-white yang berarti meberikan civilzation terhadap mereka[footnoteRef:125]. [117: Wiegman (1995) dalam Parameswaran & Cardoza, Melanin on the Margins: Advertising and the Cultural Politics of Fair/Light/White Beauty in India, 221] [118: Scientific racism merupakan alat yang digunakan untuk melegitimasi adanya rasisme, yang memiliki dasar science seperti yang terlihat dalam penemuan scientific, ilmu antropologi, jurnal medis, travel writing dan ethnographies. Dalam McClintock, Imperial Leather: Race, Gender and sexuality in the colonial contest, 33] [119: Gray (1995);Hill-Collins (1999); Kern Foxworth (1990);Manring (1998) dalam Parameswaran & Cardoza, Melanin on the Margins: Advertising and the Cultural Politics of Fair/Light/White Beauty in India, 222] [120: Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective , 886] [121: Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective , 887] [122: Commodity racism merupakan bentuk khusus dari zaman Victorian dimana untuk mendukung dan melegitimasi rasisme dan bentuk superioritas lain, Kolonial menggunakan barang atau komoditas rumah tangga yang dianggap sebagai cerminan civilized life mereka seperti sabun, baju dengan didukung oleh advertising dan fotografi dalam promosinya, McClintock, Imperial Leather: Race, Gender and sexuality in the colonial contest, 34] [123: McClintock, Imperial Leather: Race, Gender and sexuality in the colonial contest, 34] [124: McClintock, Imperial Leather: Race, Gender and sexuality in the colonial contest 34] [125: McClintock (1995) dalam Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective ,892]

Pada perkembangannya, mengglobalnya industri produk kecantikan memiliki hubungan erat dengan gelombang pertama globalisasi ekonomi dan pasar pada abad ke-19 yang dipelopori oleh para business enterprise[footnoteRef:126]. Ketika perusahaan dari Eropa dan Amerika Utara setelah membawa produknya melintasi batas negaranya paska revolusi industri, mulai melakukan pendirian perusahaan atau industrinya di negara lain dengan terus meningkatkan infrastuktur, teknologi dan mesin dalam produksi mereka sehingga memunculkan kemampuan untuk produksi secara massal dan ekspor secara global. Munculnya industri modern produk kecantikan memanfaatkan globalisasi ekonomi pada akhir 1850-1900an sebagai bentuk dari civilizing mission terhadap negara yang dijajah oleh kolonial.[footnoteRef:127] Perkembangan secara global pasar produk kecantikan pada awalnya banyak didominasi oleh negara barat, seperti Eropa dan Amerika Serikat. Pada 1920an terjadi peningkatan konsumsi dan produksi di AS, yang kemudian juga turut diekspor ke kota-kota besar di Amerika Latin dan Asia seperti Buenos Aires, Tokyo, dan Shanghai[footnoteRef:128]. Pada 1950an, akibat perang dunia ke 2 konsumsi global didominasi oleh Amerika, yang setelah itu pada tahun 1976 jumlah konsumsi pasar Jepang meningkat menjadi kedua terbesar setalah AS. dimana pada tahun 2008 negara BRICs (Brazil, China, Russia dan India) memiliki 1/5 bagian dari konsumen seluruh dunia (Lihat Gambar 11)[footnoteRef:129]. [126: Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective , 889] [127: Jones, Blonde and Blue-eyed? Globalizing beauty, c.1945-c1980, 130] [128: Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective ,887] [129: Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective , 888]

Gambar 11 Pertumbuhan pasar global produk kecantikan 1913-2008Sebelum perusahaan asing mulai mengekspor produk kecantikannya, persepsi tentang kecantikan atau standar kecantikan pada umumnya bersifat lokal[footnoteRef:130]. Baru kemudian setelah produk kecantikan ini menyebar pada abad ke-19 pertumbuhan industri kecantikan memunculkan homogenisasi dari standar ideal kecantikan, baik dalam bentuk ide, asumsi, dan kebiasaan yang merujuk Eropa sebagai benchmark[footnoteRef:131]. Hal ini dibuktikan dengan adanya Paris, Prancis sebagai pusat kecantikan dan fashion, yang merefleksiakan reputasinya sebagai refined luxury dan semakin meningkatnya industri parfum Prancis[footnoteRef:132]. Adanya homogenisasasi standar kecantikan kemudian mencapai momentum setelah 1914 ketika menyebarnya budaya Hollywood[footnoteRef:133] sebagai pendorong baru dalam memberikan standar kecantikan[footnoteRef:134], termasuk dalam perannya menyebarkan standar kecantikan melalui kontes kecantikan seperti Miss World pada 1951 dan Miss Universe pada 1952[footnoteRef:135]. [130: Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective , 891] [131: Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective , 891] [132: Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective , 891] [133: Hollywood kemudian menjadi salah satu sebab munculnya Bollywood di India, dimana Setelah perang dunia ke 2 peran dari Hollywood sebagai Western-Orchestrated kecantikan internasional melalui budaya dan medianya dan menjadi pusat atau sumber pernting dari program Televisi pada saat 1950an. Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective , 891] [134: disebut sebagai standar kecantikan pada saat itu atau yang disebut Van Esterik (1996) sebagai Miss Universe Standard of beauty dengan kulit yang cerah atau terang dan mata yang lebar. Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective , 893 ] [135: Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective , 895]

Seperti halnya industri sabun pada oleh pemerintah Kolonial Inggris pada akhir abad 90an, globalisasi setelah 1945 juga mendifusi atau membaurkan ide dan aktifitas hygiene dan beauty dari Barat khususnya Amerika Serikat sebagai sumber inovasi dan setter of fashion[footnoteRef:136]. Akan tetapi kemudian pada tahun 1980-an walaupun AS memiliki pengaruh besar dalam konvergensi standar kecantikan, mulai muncul tindakan resistensi dari sistem lokal, terutama dari negara ekonomi berkembang. Mereka mulai memasukkan dan mempertimbangkan kembali tradisi lokal mereka dan menemukan kepercayaan diri baru bahwa mereka yang banyak berasal dari negara Asia dan Afrika, dapat memiliki standar kecantikan mereka sendiri, dan menjadi just as beautiful as anyone else[footnoteRef:137]. Hal inilah kemudian menyebabkan homogenisasi standar kecantikan tidak terjadi secara penuh, akan tetapi masih memiliki karakter atau perbedaan dan penyesuaian dengan nilai lokal[footnoteRef:138]. Atau seperti yang dikatakan oleh George Jones, standar kecantikan global saat ini memang growing evermore flat, akan tetapi juga evermore spiky, as the local re-assert itself and the wealth of countries and regions beyond the west grows[footnoteRef:139]. Dimana hal ini tampak pada produk skin bleaching di India, sebagai contoh Fair and Lovely di India oleh HUL dalam promosinya menggunakan aktor atau artis lokal dan menghubungkan penggunaannya dengan bagaimana masyarakat India menghargai kecantikan sebagai bentuk social capital baik dalam bentuk status sosial, pekerjaan, ataupun pasangan. Dimana branding dan promoting menggunakan isu-isu tersebut kecil kemungkinannya akan berhasil jika dilakukan ditempat lain dengan nilai budaya dan sosial yang berbeda[footnoteRef:140] [136: Jones, Blonde and Blue-eyed? Globalizing beauty, c.1945-c1980, 140] [137: Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective ,906] [138: Jones, Blonde and Blue-eyed? Globalizing beauty, c.1945-c1980, 140] [139: Geoffrey Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective Instutute Of American Studies EuRamerica Vol.41 No.4 (2011), 910-911] [140: Jones, Globalization and Beauty: A Historical and Firm Perspective , 908]

Bisa disimpulkan bahwa mengglobalnya fenomena skin bleaching di India dan secara global pada umumnya selain merupakan bentuk interaksi proses sejarah penindasan dan internalisasi colorism terhadap bentuk aktifitas nyata, juga merupakan hasil dari interaksi nilai tersebut dengan faktor lain yaitu adanya terjadinya globalisasi, terutama dalam hal ekonomi, pasar, informasi dan transportasi. Adanya fenomena mengglobalnya skin bleaching merupakan salah satu dampak dari mengglobalnya industri produk kecantikan yang kemudian membuat nilai-nilai standar kecantikan yang sebelumnya ditentukan oleh masyarakat lokal menjadi ditentukan oleh industri tersebut. hal ini memunculkan kesamaan atau semakin membaurnya standar dan nilai tentang kecantikan diseluruh dunia dan memunculkan homogenisasi, walaupun tidak terjadi secara total. Standar white ideal beauty merupakan standar yang mendominasi industri produk kecantikan, sehingga kemudian skin bleaching sebagai salah satu sektornya juga mengikuti standar tersebut.

KesimpulanPosisi perempuan poskolonial India dipengaruhi dan dibentuk oleh proses penindasan sistem patriarki dan kolonialisme yang panjang dan cukup lama, sehingga menyebabkan terjadinya internalisasi yang mempengaruhi perilaku dan pemikiran mereka hingga saat ini. Analisis yang telah diuraikan sebelumnya membahas mengenai bagaimana proses penindasan patriarki dan kolonial pada bab II sehingga berdampak pada masyarakat poskolonial India, khususnya perempuan yang menunjukkan adanya colorism dan tingginya aktivitas skin bleaching pada bab III. Sehingga bisa disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan penulis sesuai dengan hasil dari analisis yang ada, bahwa penindasan terhadap perempuan poskolonial di India merupakan hasil dari adanya double oppression, baik secara endogen yaitu patriarki lokal India dan secara eksogen yaitu kolonial Inggris, yang diinternalisasikan sehingga menyebabkan adanya perubahan pemikiran, perilaku dan struktur masyarakat poskolonial India yang cenderung colorism dalam menilai perempuannya terutama dalam hal objektifikasi kecantikan sehingga menyebabkan perempuan India melakukan aktivitas skin bleaching. Selain itu, hasil analisa juga menunjukkan adanya faktor eksogen lain yaitu adanya peran globalisasi dalam mengintensifikasi dan menyediakan produk skin bleaching bagi perempuan poskolonial India. Kesimpulan-kesimpulan ini didasari dengan adanya beberapa hasil dari analisis berikut:Pertama, dalam membahas penindasan terhadap perempuan poskolonial India, terdapat hubungan erat antara perubahan sistem patriarki, struktur stratifikasi masyarakat, yang mempengaruhi posisi perempuan India. Dimana proses sejarah berubahnya bentuk sistem patriarki akan mempengaruhi siapa yang akan menduduki stratifikasi tertinggi dalam masyarakat dan kemudian mendapatkan hegemoni, kekuasaan dalam mengkonstruksikan posisi bagaimana perempuan ditindas dan diobjektifikasi, bagaimana seharusnya peran perempuan dalam periode tersebut, serta dimana posisi perempuan dalam masyarakat. Posisi perempuan dalam masyarakat kemudian dapat menunjukkan tantangan apa dan strategi apa yang dilakukan oleh perempuan India untuk menghadapi posisi mereka, dan menjelaskan alasan perilaku atau respon mereka dalam lingkungan sosialnya. Dari sistem patriarki tradisional dengan struktur kasta, posisi sosial yang paling tinggi dan yang dianggap paling maskulin adalah laki-laki kasta Brahmins Indo Aryan, yang kemudian memiliki kekuasaan dan hegemoni dalam mengkonstruksi nilai superior dalam masyarakat melalui ritual agama dan penekanan pada nilai purity dalam kasta sehingga perempuan dengan kasta tertinggi merupakan simbol maskulinitas sekaligus superioritas kasta Brahmins, sehingga bisa dikatakan nilai tertinggi standar kecantikan dipegang oleh mereka. Sedangkan pada masa patriarki kolonial, keberadaan kasta menjadi lebih terbuka, dimana terdapat pergeseran aktor dalam posisi superioritas dan maskulinitas patriarki lokal menjadi kolonial yang menduduki posisi sosial yang tertinggi. Kolonial Inggris memiliki hegemoni dan kekuasaan dalam mengkonstruksi nilai yang ada, yaitu melalui Civilizing mission dalam white supremacy. Hal ini kemudian berpengaruh kemudian terhadap posisi perempuan India, yang semakin jatuh ke posisi kelas sosial paling bawah karena double oppressions, dimana standar nilai perempuan tertinggi dipegang oleh white colonial women. Perubahan-perubahan tersebut kemudian mempengaruhi posisi perempuan poskolonial, penindasan yang kemudian diinternalisasi menjadi sebuah perilaku dan pemikiran menyebabkan masyarakat poskolonial India menggunakan kecantikan sebagai bentuk aset dalam mobilitas sosial atau yg disebut sebagai pigmentocracy.Kedua, Double colonization dan internalisasi penindasan menyebabkan perempuan poskolonial India, berusaha untuk melakukan bargain terhadap posisinya, dimana mereka menerima anggapan inferioritas mereka, dan berusaha untuk menjadi lebih superior dengan menginternalisasi nilai-nilai dari pihak dominan dimana dalam penelitian ini fokus pada kecantikan warna kulit tertentu. Standar kecantikan yang berubah menurut kelompok dominan menyebabkan diinternalisasikannya oleh masyarakat poskolonial India bahwa cantik merupakan simbol superioritas, dimana standarnya merupakan warisan kolonial white supremacy kulit putih adalah yang paling bernilai tinggi. Hal inilah yang kemudian menyebabkan munculnya penghargaan dan preferensi terhadap kulit putih atau Colorism dalam masyarakat poskolonial India.Ketiga, Colorism yang muncul dalam masyarakat India secara luas menjadikan hal tersebut terimplementasi dalam struktur sosial masyarakat India, sehingga warna kulit tertentu yaitu kulit putih atau terang menjadi bentuk aset, modal dalam meningkatkan kehidupan dan mobilitas sosial perempuan India, baik dalam pekerjaan, pendidikan, ataupun pernikahan. Hal ini menyebabkan keinginan perempuan India untuk menjadi lebih putih relatif tinggi karena adanya keuntungan atau privilege sosial, yang kemudian membuat aktivitas skin bleaching menjadi inevetable.Keempat, colorism tidak hanya terjadi di India, tetapi hampir seluruh negara poskolonial atau yang memiliki sejarah dan dipengaruhi oleh negara kolonial Eropa. Dimana hal inilah yang kemudian dijadikan atau dimanfaatkan oleh pebisnis kolonial Eropa untuk memanfaatkan colorism dan rasisme sebagai dasar untuk memproduksi produk pemutih kulit. Dan dengan adanya dukungan ekspansi ekonomi, globalisasi ekonomi, informasi dan transportasi, menjadikan industri produk pemutih kulit ini mengglobal serta memfasilitasi aktivitas skin bleaching secara massal.Sehingga melalui analisis dan eksplorasi panjang penindasan perempuan poskolonial India tersebut, menunjukkan bahwa dalam masyarakat poskolonial, perilaku dan fenomena yang terjadi tidak hanya dibentuk dan dipengaruhi oleh sejarah kolonial saja, tetapi juga terdapat interaksi dengan nilai lokal budaya asli negara tersebut.

16

Daftar PustakaBuku:Ashcroft, Bill & Gareth Griffiths & Helen Tiffin. The post-colonial studies readerEd. Ashcroft,Griffiths & Tiffin ,London: Routledge, 1995 Ashcroft, Bill & Gareth Griffiths & Helen Tiffin. Postcolonial studies:the keyconcept second edition Ed. Ashcroft, Griffiths, Tiffin ,London: Routledge, 1995 David,E.J.R. Internalized Oppression: The Psychology of Marginal Groups. Ed.E.J.R David ,New York: Springer, 2014Moeloeng,Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif ,Bandung: Remaja Rosdakarya,1996Nakamura, Hajime. Ways Of Thinking of Eastern Peoples: India, China, Tibet,JapanUniversity Of Hawaii Honolulu :East west Center, 1971.Silalahi,Ulber . Metode Penelitian Sosial ,Bandung: Rafika Aditama, 2009Thapar,Romila. The Penguin History of Early India: from the origins to AD 1300London: Penguin Groups, 2002.

Jurnal Akademik:Ambedkar,Babasaheb. Reservation In India 2002 [pdf] dalamHttps://www.ambedkar.org/News/reservationinIndia.pdf (diakses pada 20Maret 2014)Baker, Walter. The Practice of Femicide in Postcolonial India and the Discourse ofpopulation Control within Nation State State University Of New York Press. Albany, 2005 Bhattacharya, Shilpi the desire for whiteness: can law and economics explain it?,Columbia journal od Race and Law 2 No.1 ,2012Blay, Yaba A. & Christopher A.D. Charles. Skin bleaching and Global WhiteSupremacyThe journal of Pan African Studies 4 no.4 ,2011 Carey, Simon .The legacy of British Colonialism in India Post 1947 New ZealandResearch of Economy Foundation NZREF Vol 2. 2012.Chitnis, Varsha & Danay Wright, The legacy of colonialism: law and womens rightin India University of Florida Levin College of Law ,2007.Deane, Tamishnie A brief history of discrmination in India University of SouthAfrica, 2009Deshpande, Manali S. History of The Indian Caste System and Its Impact on IndiaToday Senior Project Paper California Polytechnic State University 2010Devi,Paladugu Parvathi. Empowerment of rurual scheduled caste women: Status of women in India, historical background Department of Scientific Socialism: Acharya Nagarjuna University 2013.Franklin,Imani. Living in A Barbie World: Skin Bleaching and the preference fro Fair Skin In India, Nigeria, and Thailand Center For Democracy, Development, and the Rule of Law ,Standford University, 2012 Fokuo,J. Konadu. The Lighter side of Marriage: Skin Bleaching in Post ColonialGhanaAfrican and Asian Studies 8, 2009. Gayathridevi, women, society and gender in India historical, functional andfuturistic perspectives Identifying the Elements of Heritage of Development Thinking in IndiaProject Paper, 2012Gull,Raashida. Of Feminism, Colonialism and Nationalism in India: Drawing ARelationship, The International Journal of Social Sciences Vol 19 No.1 Januari 2014.Hall, Ronald E. The Bleaching Syndrome Among People of Color: Implication ofSkin Color for Human Behavior in the Social Environment, Journal of Human Behavior in the Social Environment Vol.13 (3) 2006.Hall, Alicia V. body image as a function of colorism:testing a theoretical modelGraduate school theses and dissertations University of South Florida.,2003.Hasan,Mahmudul. The Orientalization of Gender, The American Journal of IslamicSciences 4 No.22 ,2009 Howard, Angelique. The prevalence and effecs of colorism within the africanamerican community. California State University, ,Sacramento, 2006Hunter, Margaret L. Buying Racial Capital: skin-bleaching and cosmetic surgery ina globalized world, Journal of Pan African Studies 4,no.4 ,2011 Hunter,Margaret L. If You are Light You Are Alright: Light skin color as socialcapital for Women of Color, Gender and Society 16 no.2 ,2002Iyer,Laksmi .the long-term impact of colonial rule: evidence from India,Boston:Harvard Business School, 2003Johnson, Pamela s. & Jennifer A. Johnson, The Oppression of Women In IndiaViolence Against Women Vol.7 No. 9 September 2001.Jones, Geoffrey. Globalization and Beauty: A Historical and Firm PerspectiveInstutute Of American Studies EuRamerica Vol.41 No.4, 2011.------------------ Blonde and Blue-eyed? Globalizing beauty, c.1945-c1980 Economic History Review Vol.6. No.1, 2008.Keith,Verna M. A colorstruck World: Skin tone, Achievement and self-esteemamong African American Women ,2010Lundin,Ingela. Double Oppression in the color purple and wide sargasso sea. Acomparison between the main characters celie and Antoinette Humanitiesand Social Sciences ,2008Lynn, Richard. Pigementocracy: Racial Hierarchies in the Carivvean and LatinAmerica University of Ulster. The occidental Quarterly vol.8 no.2 Summer 2008.Mire, Amina. The Scientification of Skin Whitening and the EntrepreneurialUniversity-Linked Corporate Scientific Officer, Canadian Journal Of Science, Mathematics, And Technology Education 12, no. 3 ,2012Morton, Stephen. Gayatri Chakravrty Spivak British Library of CongressRoutledge:London, 1972Parameswaran, Radhika & Kvitha Cardoza, Melanin on the Margins: Advertisingand the Cultural Politics of Fair/Light/White Beauty in India Journalism and Communication Monographs Vol 11. No.3 Autumn, 2009.Pierre,Jemima. I Like Your Colour! Skin bleaching and Geographies of Race inUrban Ghana, Feminist Review 90 ,2008Ray, Suranjita. Understanding Patriarchy Human Rights, Gender & EnvironmentCourse,University of Delhi ,2008Robinson, Petra Alaine. Skin bleaching in Jamaica: A Colonial Legacy,,Disse