chapter 18 buku implementing continuous quality improvement in health care

12
1 BAB 18. AKREDITASI: MEKANISME PENGATURAN GLOBAL UNTUK MEMAJUKAN KUALITAS DAN KEAMANAN Akreditasi organisasi pelayanan kesehatan merupakan mekanisme pengaturan yang digunakan di berbagai negara di dunia. Akreditasi adalah strategi penting yang olehnya peningkatan kualitas dan keamanan telah dibela dan dilembagakan. Tujuan dari bab ini adalah menyediakan pandangan menyeluruh tentang akreditasi organisasi-organisasi kesehatan. TINJAUAN TERHADAP AKREDITASI Akreditasi adalah pernyataan resmi oleh pihak berwenang bahwa suatu organisasi, jasa, atau seseorang telah menunjukkan kompetensi, kekuasaan atau kredibilitas untuk memenuhi serangkaian standar yang telah ditentukan. Akreditasi adalah mekanisme yang mencoba meyakinkan para stakeholder luar bahwa standar mutu dan keamanan telah diperlihatkan. Tujuan lainnya dari penetapan akreditasi, khususnya pada pelayanan kesehatan, adalah memberikan dasar bagi prakarsa peningkatan mutu (Davis dkk., 2009; Gibberd dkk., 2004; Williams dkk., 2005). Peralihan menuju akreditasi merupakan perwujudan dari pergeseran filosofi dari pemerintah yang lebih mencoba menyediakan kerangka pengaturan layanan-layanan daripada memberikan layanan-layanan itu sendiri. Melalui akreditasi dan strategi- strategi regulasi lainnya, secara tidak langsung pemerintah telah mengejar pengendalian risiko bagi masyarakat. AKREDITASI DALAM INDUSTRI PELAYANAN KESEHATAN Akreditasi banyak ditemukan dalam industri pelayanan kesehatan di seluruh dunia, yang menjadi sebuah elemen dalam jaringan aktivitas mengatur penyelenggaraan dalam sektor kesehatan. Organisasi-organisasi kesehatan dan para profesional secara individu bersama-sama dalam satu jaringan, dan tingkah laku mereka dinilai oleh badan independen melalui program akreditasi, standar dan

Upload: nasiatul-salim

Post on 07-Apr-2017

218 views

Category:

Healthcare


5 download

TRANSCRIPT

1

BAB 18. AKREDITASI: MEKANISME PENGATURAN GLOBAL UNTUK MEMAJUKAN

KUALITAS DAN KEAMANAN

Akreditasi organisasi pelayanan kesehatan merupakan mekanisme

pengaturan yang digunakan di berbagai negara di dunia. Akreditasi adalah strategi

penting yang olehnya peningkatan kualitas dan keamanan telah dibela dan

dilembagakan. Tujuan dari bab ini adalah menyediakan pandangan menyeluruh

tentang akreditasi organisasi-organisasi kesehatan.

TINJAUAN TERHADAP AKREDITASI

Akreditasi adalah pernyataan resmi oleh pihak berwenang bahwa suatu

organisasi, jasa, atau seseorang telah menunjukkan kompetensi, kekuasaan atau

kredibilitas untuk memenuhi serangkaian standar yang telah ditentukan. Akreditasi

adalah mekanisme yang mencoba meyakinkan para stakeholder luar bahwa standar

mutu dan keamanan telah diperlihatkan. Tujuan lainnya dari penetapan akreditasi,

khususnya pada pelayanan kesehatan, adalah memberikan dasar bagi prakarsa

peningkatan mutu (Davis dkk., 2009; Gibberd dkk., 2004; Williams dkk., 2005).

Peralihan menuju akreditasi merupakan perwujudan dari pergeseran filosofi dari

pemerintah yang lebih mencoba menyediakan kerangka pengaturan layanan-layanan

daripada memberikan layanan-layanan itu sendiri. Melalui akreditasi dan strategi-

strategi regulasi lainnya, secara tidak langsung pemerintah telah mengejar

pengendalian risiko bagi masyarakat.

AKREDITASI DALAM INDUSTRI PELAYANAN KESEHATAN

Akreditasi banyak ditemukan dalam industri pelayanan kesehatan di seluruh

dunia, yang menjadi sebuah elemen dalam jaringan aktivitas mengatur

penyelenggaraan dalam sektor kesehatan. Organisasi-organisasi kesehatan dan para

profesional secara individu bersama-sama dalam satu jaringan, dan tingkah laku

mereka dinilai oleh badan independen melalui program akreditasi, standar dan

2

indikator kualitas. Pengaturan melalui jaringan ini disebut “nodal governance

(pengaturan dasar)” (Shearing dan Wood, 2003); artinya, perilaku organisasi, layanan

dan profesional dalam pelayanan kesehatan dibentuk oleh pertambahan variasi

badan pemerintah dan non-pemerintah yang saling berhubungan namun lepas satu

sama lain. Organisasi kesehatan diakreditasi atas manajemen dan ketetapan layanan

mereka, termasuk rumah sakit, dokter praktik umum, fasilitas perawatan lansia, dan

kesehatan masyarakat (AHCS, 2007a; The Joint Commission [TJC], 2010; Simone dan

Epstein, 2009).

Sistem Akreditasi Mandiri bagi Organisasi Kesehatan

Akreditasi dalam kesehatan pertama kali digagas di Amerika Serikat tahun

1917 oleh American College of Surgeons, hingga kini menyebar di 70 negara. Banyak

dari agen akreditasi tersebut bersifat independen, yaitu agen-agen non-pemerintah

yang tidak mencari keuntungan. Agen akreditasi menilai organisasi dan layanan

berdasarkan standar, serta mengembangkan dan menyelia tinjauan untuk

mempertahankan tenaga kerja surveyor. Terkadang, beberapa agen akreditasi

menyusun dan meninjau kembali standar mereka sendiri. Akreditasi melibatkan

penilaian terhadap standar minimum dan belakangan ini telah berkembang menjadi

proses menuju peningkatan mutu berkelanjutan (Cudney dan Reinbold, 2002; Parson

dan Riley, 2009).

Program akreditasi pada tahap awal biasanya fokus pada standar-standar

yang menyasar struktur dan proses-proses organisasi. Pada perkembangannya,

perhatian beralih pada kemampuan organisasi menunjukkan struktur dan proses-

prosesnya berjalan dengan efektif. Oleh karena itu, terdapat pergeseran makna dari

penjaminan mutu menjadi peningkatan mutu. Pergeseran itu dapat digambarkan

dengan contoh survei kepuasan pasien. Program akreditasi yang mengutamakan

pendekatan kepastian mutu akan fokus pada survei kepuasan pasien dan cara-cara

pengembangan dan pengelolaan survei tersebut. Sebaliknya, program akreditasi

dengan filosofi peningkatan mutu akan fokus pada tingkat tanggapan survei,

persoalan-persoalan yang ditemui pasien, tindakan organisasi dan penegasan

3

peningkatan di survei berikutnya. Sebagai tambahan, ada pula model “model audit”

yang dilakukan oleh peninjau luar dengan serangkaian standar mutu untuk menilai

keadaan atau ketiadaan aktivitas mutu organisasional.

Organisasi mencari akreditasi karena motivasi eksternal dan internal

(Greenfield dan Braithwaite, 2007). Motivasi eksternal datang dari pemerintah, para

penjamin, dan konsumen yang menuntut organisasi untuk menunjukkan kualitas

tinggi atau pelayanan kesehatan yang lebih aman (Accreditation Canada, 2009;

AHCS, 2007b; El-Jardali dkk., 2008; HAS, 2008b; TJC, 2010). Pendorong internal

adalah staf organisasi kesehatan yang menginginkan peningkatan pada layanan dan

perawatan yang mereka berikan (Greenfield dan Braithwaite, 2007).

Agen akreditasi telah membentuk sistem pengaturan mandiri (Greenfield,

Pawsey, Naylor dkk, 2009a), yaitu sistem yang responsif terhadap pelaksanaan dan

kebiasaan dari organisasi yang bersangkutan dengan pendekatan yang dinamakan

“pengaturan responsif” (Braithwaite dkk., 2005). Melalui partisipasi dalam

pengembangan program-program akreditasi atau akreditasi organisasi-organisasi

pelayanan kesehatan, terbentuk pemahaman bersama mengenai standar dan

harapan yang sama. Selain itu, para partisipan mengatur perilaku mereka sendiri dan

kolega lainnya untuk memenuhi standar dan harapan tersebut. Sistem itu

menggabungkan penilaian internal, atau pengaturan mandiri, dengan strategi-

strategi yang diatur sendiri dan diamati oleh peninjau rekannya. Para petugas

kesehatan yang turut serta dalam aktivitas akreditasi organisasi secara

umummelaporkan peningkatan mutu dan keamanan. Walau demikian, menurut

riset, pengaruh akreditasi kini berkurang karena partisipasi yang menurun (Paccioni

dkk., 2008).

ISQua mengajukan pengaturan mandiri melalui akreditasi mereka terhadap

agen akreditasi. ISQua menyediakan panduan, dukungan dan penilaian atas

program-program akreditasi dan pelatihan surveyor (http://www.isqua.org). Lebih

lanjut, cara-cara pelaksanaan pengaturan mandiri ditopang melalui dorongan ISQua

terhadap partisipasi dalam organisasinya dan pertemuan-pertemuan membahas

4

kualitas dan keamanan yang diselenggarakannya. Akibatnya, hasil dari ISQua

memperdalam pemahaman mengenai program-program akreditasi.

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN MODEL AKREDITASI

Model Akreditasi

Sebuah model umum akreditasi telah dijalankan oleh banyak agen akreditasi

(Accreditaion Canada, 2009; AHCS, 2007B; TJC, 2010). Organisasi yang hendak

diakreditasi mengembangkan, melaksanakan dan selalu meninjau rencana

peningkatan mutu serta kemajuan penilaian mandirinya menurut program

akreditasi, kemudian mengajukan laporan penilaian mandiri kepada agen akreditasi.

Badan akreditasi menilai laporan organisasi yang bersangkutan dan mengirim tim

survei yang terdiri atas para peninjau yang mengunjungi dan menilai organisasi

secara langsung di tempat. Kunjungan tersebut meliputi pengamatan terhadap

fasilitas, wawancara dengan pegawai, dan peninjauan dokumentasi. Tim survey

kemudian memberikan umpan balik verbal kepada organisasi, dan mengajukan

laporan tertulis kepada agen akreditasi. Laporan yang berisi rangkuman penilaian tim

survei menjadi bahan pertimbangan agen akreditasi untuk memberikan status

organisasi. Akreditasi yang diberikan berlaku untuk jangka waktu tertentu, sesuai

program, pada umumnya 3 hingga 5 tahun. Selama jangka waktu tersebut, badan

akreditasi dapat mengirimkan tim survei secara berkala untuk meninjau kemajuan

program organisasi sehubungan dengan rencana mutu dan standar akreditasi. Para

surveyor memberikan umpan balik secara lisan, dan sesudah disahkan oleh agen

akreditasi, mereka mengajukan laporan tertulis kepada organisasi. Siklus

peningkatan terus berlanjut dengan organisasi menggunakan laporan tersebut untuk

perbaikan dan pengkajian struktur-struktur, proses dan praktik-praktiknya guna

mengenali dan mengendalikan wilayah-wilayah peningkatan.

5

Standar-Standar Akreditasi

Badan akreditasi bertanggung jawab pada pengembangan dan perbaikan

standar. Sudah menjadi hal umum jika agen-agen ini mengembangkan standar-

standar menggunakan wakil-wakil dari industri kesehatan. Sebagai contoh, di

Amerika Serikat (TJC, 2010), Kanada (Accreditation Canada, 2009), Prancis (HAS,

2008a) dan Australia (AHCS, 2007b), standar dikembangkan melalui konsultasi

dengan para ahli pelayanan kesehatan, peneliti, wakil kelompok industri, konsumen,

dan badan pemerintah. Jumlah dan status standar berlainan per program akreditasi.

Standar akreditasi mencakup infrastruktur, organisasional, pelayanan dan

kelangsungan urusan pelayanan pasien (Greenfield dan Braithwaite, 2007; HAS,

2008a). Standar-standar tersebut difokuskan pada proses-proses dan sistem

organisasi serta ketersediaan sumber-sumber bagi organisasi untuk menyediakan

pelayanan. Agen-agen akreditasi terus-menerus memeriksa strategi-strategi untuk

menambah standar yang dimasukkan pada kinerja dan ukuran klinis organisasi

(Accrediation Canada, 2009). Ukuran-ukuran tersebut digunakan oleh para surveyor

untuk memeriksa bagian-bagian tertentu organisasi yang patut dikenakan penilaian

tertutup, atau dilaporkan secara terpisah dari survei akreditasi. Badan akreditasi

membuat laporan tentang organisasi dan pemenuhan klinis dengan panduan-

panduan kelayakan untuk meningkatkan kesadaran dalam industri yang

bersangkutan.

Penggunaan ukuran-ukuran kualitas pelayanan dalam survei akreditasi dan

penerbitan laporan kelayakan merupakan strategi-strategi bagi agen-agen akreditasi

yang bekerja dengan organisasi kesehatan dalam menilai, mengukur dan

meningkatkan pelayanan mereka. Pemanfaatan itu membentuk sistem pengaturan

mandiri di dalam dan di antara organisasi-organisasi pelayanan kesehatan.

DASAR PEMBUKTIAN AKREDITASI ORGANISASI KESEHATAN

6

Walaupun akreditasi pelayanan kesehatan telah meluas di seluruh dunia

sehingga dilangsungkan di lebih banyak negara dan tatanan kesehatan, masih

diperlukan riset lebih lanjut, transparansi dan inovasi mengenai akreditasi

(Greenfield dan Braithwaite, 2009). Tidak hanya riset akreditasi yang semakin

meningkat, kini agen-agen akreditasi juga mengadakan penelitian dan program-

program riset, dan masih ada ketidakjelasan mengenai seberapa transparan agen-

agen tersebut akan melaporkan hasilnya (Greenfield dan Braithwaite, 2009).

Tinjauan Sistematis Literatur Riset Akreditasi

Suatu peninjauan terhadap pustaka riset akreditasi pernah dipublikasikan pad

tahun 2008 (Greefield dan Braithwaite, 2008), yang pada awalnya mengidentifikasi

hampir 34.000 item literatur menyangkut akreditasi dan badan akreditasi, kemudian

dikurangi menjadi sekitar 3.000. Studi-studi tersebut dianalisis dan digolongkan ke

dalam 10 bagian. Tiga di antaranya dinilai tidak mencukupi untuk diambil

kesimpulan, yaitu: pandangan pasien atau kepuasan pasien, pengumuman kepada

publik dan persoalan-persoalan surveyor. Dua item studi yang menunjukkan hasil

konsisten yakni program-program perubahan dan pengembangan profesional.

Program-program akreditasi ternyata meningkatkan pengelolaan fasilitas, kebijakan

dan panduan-panduannya, pengambilan keputusan, dan keamanan. Keterkaitan

antara pengembangan profesional dan akreditasi pun terlihat. Program-program

akreditasi terlihat mendorong dan mendukung pengembangan profesional,

meskipun pengaruhnya kecil.

Pada lima kategori yang tersisa, terdapat hasil riset yang tidak konsisten. Para

profesional menunjukkan kritik dan dukungan terhadap program akreditasi.

Terdapat perhatian sehubungan dengan masalah-masalah biaya, pemenuhan,

standar, konsistensi surveyor dan program-program akan dikenakan pada

perawatan pasien. Padahal, para profesional memandang akreditasi sebagai strategi

memajukan dan melakukan transparansi mutu dan pengambilan keputusan;

program-program tersebut meningkatkan kinerja organisasi. Banyak petugas

kesehatan yang menyimpan pendapat mengenai nilai dan manfaat akreditasi, atau

7

kekurangannya. Dampak organisasional dari program akreditasi tidak jelas,

organisasi yang terakreditasi dan tidak terakreditasi tidak dapat dibedakan dalam

satu penelitian, namun peningkatan organisasional ditemui di penelitian lainnya.

Dampak finansial untuk akreditasi dilaporkan bertambah pada organisasi-organisasi

yang lebih kecil, dan beberapa terbilang cukup tinggi. Walau begitu, pendapat

tersebut diambil karena biaya-biaya yang muncul adalah bagian dari keperluan

organisasi menyangkut kualitas.

Saat ini, hubungan antara akreditasi dan ukuran mutu—indikator-indikator

klinik, kualitas atau kinerja klinis—masih buram. Secara keseluruhan, penilaiana

program-program akreditasi telah memberikan bukti yang bercampur aduk. Di

beberapa kasus, program-program tersebut kredibel, namun di sisi lain nilai dan

hasil-hasilnya dipertanyakan.

Hasil-Hasil dari Riset Lanjutan

Sejak peninjauan sistematis pada tahun 2008, telah diselenggarakan

beberapa studi yang meneliti persoalan-persoalan surveyor. Keandalan dalam

menyurvei diselidiki, karena dianggap penting dalam akreditasi apalagi dalam

pelayanan kesehatan. Kemampuan untuk melaksanakan penilaian, interpretasi dan

pertimbangan yang konsisten, secara individu dan kolektif, merupakan tantangan

bagi para profesional yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan (Greenfield,

Pawsey, Naylor dkk., 2009a). Penelitian terkini menggarisbawahi bahwa survey

akreditasi adalah suatu aktivitas yang berdasarkan pada analisis dokumen, observasi,

dan wawancara, sehingga harus kredibel dan dapat dibuktikan (Greenfield,

Braithwaite dkk., 2008; Greenfield, Pawsey, Naylor, dkk., 2009a). Tim survey

menggunakan tiga metode pengumpulan data kualitatif ini untuk penilaian mereka

(Denzin, 1989; Ely dkk., 1991). Hasil-hasil yang dikeluarkan darri proses rumit ini

tidak dapat ditiru secara tepat, kraena penilaian manusia berpusat pada

pengumpulan data dan proses analisis. Namun tetap saja, mengusahakan aplikasi

standar, pelaksanaan individual dan tim, dan transparansi dalam interpretasi dan

8

pengambilan keputusan merupakan hal penting. Agen-agen akreditasi sebaiknya

didorong untuk mengimplementasikan strategi-strategi untuk memajukan dan

memastikan keandalan proses serta penerapan standar yang konsisten daripada

focus pada keandalan hasil yang dirasa sulit dicapai.

Keandalan survei dipengaruhi enam faktor (Greenfield, Pawsey, Naylor dkk.,

2009a):

1. Program akreditasi, termasuk syarat-syarat dokumentasi untuk organisasi

dan tim survei

2. Hubungan anggota dengan agen akreditasi dan tim survei

3. Personel badan akreditasi

4. Pembaruan tenaga surveyor

5. Manajemen tenaga surveyor

6. Efek dinamis survei pada keandalan survei secara langsung dan tak langsung

Terdapat perdebatan bahwa keandalan proses akreditasi dibangun melalui

faktor-faktor ini. Mereka menyusun harapan yang sama dan terjadi di kalangan

stakeholder; bersama-sama mengajukan keyakinan dan tindakan terstandardisasi

yang menjadi norma kultural akreditasi (Greenfield, Pawsey dan Naylor dkk., 2009a).

Keandalan akreditasi adalah urusan agen-agen akreditasi dan organisasi yang

bersangkutan. Tipologi unik berdasarkan gaya surveyor telah dikembangkan dari

penelitian empiris agar dapat diandalkan (Greenfield, Braithwaite dkk., 2008),

menggolongkan empat gaya surveyor dari dimensi pencatatan (eksplisit/implisit) dan

pertanyaan (oportunistis/terstruktur): tukang diskusi, penjelajah, interogator, dan

penanya. Ini diusulkan agar digunakan para agen akreditasi dalam program pelatihan

surveyor dan menawarkan kesempatan untuk menyusun kecocokan tim surveyor

dengan berbagai pendekatan.

Suatu penelitian telah dikerjakan untuk memahami nilai pengadaan survei

bagi para relawan surveyor dan bagi institusi yang menganutnya (Lancaster dkk,

2010). Para petugas kesehatan yang bertindak sebagai surveyor sukarela

9

memperoleh empat manfaat: mengetahui metode-metode dan inovasi baru dalam

organisasi kesehatan, peluang untuk terlibat dalam pengembangan profesional yang

unik, kesempatan untuk memperoleh keahlian guna mengembangkan mutu dalam

institusi tempat mereka bekerja, dan peluang untuk memberikan sumbangan kepada

proses peningkatan mutu dan memperbesar kesehatan masyarakat dalam organisasi

melebihi pekerjaan mereka yang biasanya.

MASALAH DAN TANTANGAN BAGI PROGRAM-PROGRAM AKREDITASI

Program-Program Akreditasi Sukarela dan Wajib

Mayoritas program akreditasi bersifat sukarela, tetapi di berbagai kasus

organisasi-organisasi pelayanan kesehatan diminta oleh para penyelenggaranya

untuk memperlihatkan upaya peningkatan mutu dan keamanan, termasuk dengan

mengikuti program akreditasi. “Pilihan” yang dimiliki organisasi bukanlah

berpartisipasi atau tidak berpartisipasi dalam akreditasi, melainkan agen dan

program akreditasi yang akan dijalani. Jika akreditasi diperintahkan, seperti apa

dampak yang akan dialami agen akreditasi, organisasi kesehatan dan surveyor?

Apakah agen akreditasi dan organisasi kesehatan akan terpaksa untuk memenuhi

hasil akreditasi yang bagus?

Kekakuan atau Fleksibilitas Program-Program Akreditasi

Masalah yang membingungkan menyangkut program-program sukarela dan

wajib adalah kekakuan dan fleksibilitas dalam sebuah program. Beberapa program

akreditasi telah menunjukkan sifatnya yang kaku dan fleksibel pada saat yang sama.

Riset terpisah yang meneliti program yang diwajibkan dan sukarela menemukan

bahwa keduanya mengandung elemen kewajiban dan kebebasan, dengan dampak

positif masing-masing dan ternyata keduanya dapat disatukan (Touati dan Pomey,

2009). Kekakuan dan fleksibilitas program-program akreditasi masih menjadi

masalah yang belum dikaji secara luas. Seberapa tinggi tingkat yang tepat untuk

10

kekakuan dan fleksibilitas dalam progam akreditasi? Apa efek tingkat kekakuan atau

fleksibilitas tertentu dari program akreditasi?

Biaya Finansial untuk Mengatasi Masalah Mutu dan Keamanan

Tantangan yang dialami petugas kesehatan dalam menangani masalah mutu

dan keamanan adalah menentukan biaya dan keuntungannya. Apakah biaya-biaya

yang muncul karena partisipasi dalam program akreditasi termasuk bagian dari biaya

organisasional guna mengatasi persoalan kualitas dan keamanan? Jika tidak, apakah

analisis biaya vs. keuntungan yang berkaitan dengan partisipasi dalam program

akreditasi?

Standar: Peran Proses vs. Hasil dan Indikator-Indikator Kualitas

Standar program-program akreditasi telah menjadi “indikator proses” karena

lebih fokus pada penyampaian pelayanan daripada hasil dari aktivitasnya. Program-

program yang berlawanan menyangkalnya karena mereka tidak mewakili hasil

perawatan, hanya terbatas pada hal-hal yang kita pahami tentang mutu dan

keamanan. Indikator kualitas dianggap sebagai ukuran yang lebih efektif daripada

itu. Ini menjadi masalah penting berkaitan dengan pemakaian kata-kata yang tepat.

Bagaimana organisasi menggunakan hasil-hasil dari proses dan indikator mutu dan

program-program akreditasi? Apakah akan digunakan secara terpisah atau bersama-

sama? Bagaimana kita menentukan perbedaan dari hasil-hasil tersebut? Apakah

program akreditasi mendorong peningkatan mutu? Jika ya, maka bagaimana

caranya? Dengan perbaikan standar, apakah dapat terus memancing upaya-upaya

peningkatan, ataukah strategi ini mengundang perilaku yang sebaliknya?

Tenaga Surveyor: Masalah-Masalah Ketahanan, Peran dan Keandalan

Para surveyor merupakan elemen penting dalam program-program

akreditasi. Badan-badan akreditasi dapat memiliki tenaga surveyor secara penuh

11

maupun paruh waktu (umumnya relawan), yang pengelolaannya diperlukan

manajemen yang teliti. Agen-agen akreditasi menghadapi kesulitan dalam merekrut

petugas kesehatan yang memadai sebagai surveyor. Keharusan mereka untuk

bekerja kadang bertentangan dengan waktu yang diperlukan untuk menjadi

surveyor. Badan akreditasi berpendapat bahwa menggunakan surveyor penuh waktu

merupakan strategi yang dapat menambah penguasaan teknik-teknik survey dan

interpretasi yang lebih konsisten mengenai standar-standar yang ada. Di sisi lain,

surveyor paruh waktu memiliki pengetahuan terkini tantang sistem kesehatan,

praktik manajemen, dan ekspektasi klinik, tetapi mungkin tidak sekonsisten dalam

survei seperti rekan penuh waktunya. Jika demikian, bagaimana cara

mempertahankan, mengembangkan dan mengelola tenaga survei untuk

meningkatkan keandalan penilaian?

Memperluas Dasar Bukti untuk Akreditasi

Memastikan hasil yang lebih empiris merupakan hal penting untuk

memberikan penopang yang lebih kuat bagi program akreditasi. Diharapkan,

penelitian-penelitian yang sedang berlangsung akan dipublikasikan dalam literatur

yang ditinjau.Transparansi penemuan itu penting untuk kredibilitas program

individual berkontribusi pada dasar ilmu yang lebih luas (Greenfield dan Braithwaite,

2009). Khususnya, patut dicatat pula kontribusi positif dari ISQua dalam mendorong

dan mendampingi agen-agen di berbagai negara. Menyatukan dan menambah dasar

bukti akreditasi penting untuk memastikan pemanfaatan dan efektivitasnya.

Bagaimana cara memperkuat kredibilitas akreditasi? Tindakan apa yang dapat

diambil untuk memperluas dasar bukti dan publikasi hasilnya?

KESIMPULAN

Akreditasi telah dilembagakan dalam sektor dan jurisdiksi pelayanan

kesehatan di seluruh dunia. Itu adalah strategi tata kelola yang memungkinkan

organisasi-organisasi kesehatan baik individual maupun kolektif untuk melakukan

12

pengaturan secara mandiri terkait upaya-upaya peningkatan mutu dan keamanan.

Studi-studi empiris mengenai nilai dan kontribusi akreditasi memperlihatkan

gambaran yang tidak lengkap dan baur bagi para penyelenggara akreditasi. Hasil

riset membuktikan bahwa akreditasi telah mengalami peningkatan dan

menguntungkan di beberapa bidang dan masih tidak menentu di beberapa area yang

lain. Beberapa tantangan yang dihadapi para penyelenggara akreditasi antara lain:

Menentukan program bersifat sukarela atau wajib

Menyeimbangkan fleksibilitas dan kekakuan dalam program

Mengelola biaya finansial terkait dengan akreditasi

Memahami peran proses dan indikator mutu dalam sebuah program

akreditasi atau hubungan mereka terhadap hasil-hasil akreditasi

Menciptakan tenaga survei yang dapat diandalkan dan dipertahankan;

mengembangkan dasar bukti untuk program-program akreditasi.

Agen-agen akreditasi dan para mitranya secara aktif mengambil langkah-

langkah guna lebih memahami dampak organisasional dan klinis dari program-

program akreditasi. Masih diperlukan usaha lebih lanjut, juga penyebaran

pengetahuan untuk membangun dan meneruskan peningkatan yang dihasilkan.

Sumber : William A.Sollecito dan Julie K.Johson. Chapter 18 Buku Implementing

Continuous Quality Improvement in Health care edisi ke empat (2011).