buku gai' bintang

72
1

Upload: bram-dinipoenya

Post on 24-Jul-2015

120 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Gai' Bintang

Hak cipta yang dilindungi undang-undang pada: PenulisHak Penerbitan pada :

1

Page 2: Buku Gai' Bintang

Dicetak oleh :Perancang Kulit : Syaf Anton WrSumber foto :Setting & layout :Cetakan Pertama : 2007Cetakan Kedua : 2009

DAFTAR ISI

Pengantar …………………………………………………..Daftar Isi …………………………………………………..Sekapur Sirih ………………………………………………Pa’-kopa’ Eling ………………………….………………..Cong-koncong Konce ………………….…………………..Re-sere Panang ………………………….…………………Kor-Tanoker …………………………….…………………Tan-Pangantanan ………………………….……………….Set-seset Maloko’ ……………………………..…………….Ler-Saaler …………………………..……………………….Jan-anjin ……………………………………..……………..Gai’ Bintang ………………………………………....………Es Lilin Cabbi ……………………………………………….Tun Laetun ……………………………………………………Jam-jam To’ …………………………………………………Beberapa Contoh Syair Kidung Anak Madura …………….Daddilyan ……………………………………………………Din-dindi’ ……………………………………………………Aeng Lema’ ………………………………………………...Lar-olar Kolarjang ………………………………………….Ko’-tongko’an Calelet ………………………………………Ke’-rangke’ Kononengan …………………………………..Ko-soko Bibir ………………………………………………Po’-popo’ Ame-ame ………………………………….……..Lai-ilaha Illalla ………………………………………….…..Mon-temmon Buko ………………………………………….Lelle Nariyo …………………………………………………Ba-baba Bulan ……………………………………………….Di-padi Cemplo Lo’ling ……………………………………..

2

Page 3: Buku Gai' Bintang

Cing-kicing Kere’ ……………………………………………Bing Ana’ ……………………………………………………Bara’ Ro ……………………………………………………..Ti’ Titi ‘ …………………………………………………….Ta’ Goyang Tul-tul ……………………………………………..Monyena Jam …………………………………………………Bu, Lae Bu …………………………………………………….Re-re Re Kolek ………………………………………………..Adik Nanges …………………………………………………….Daftar Pustaka ……………………………………………….

SEKAPUR SIRIH

Gugusan kepulauan Madura di kenal sebagai daerah dengan alam yang

tandus. Wilayah Madura terdiri dari sekitar tujuh puluh pulau, daerah minus semacam

ini di cap tidak mungkin memiliki kegiatan kesenian dibandingkan dengan pulau

tetangganya, yaitu Jawa. Ternyata anggapan tersebut sangat keliru, karena suku

bangsa Madura memiliki kekayaan karya seni yang sangat fenomenal. Ketidak-

tahuan tentang kesenian tersebut disebabkan wilayah ini hanya dianggap sebagai

daerah pinggiran Jawa, baik di pandang dari sudut geografis, historis dan budaya.

Bentuk kesenian yang ada dan berkembang di masyarakat Madura berupa seni

tari, seni pertunjukan, seni musik dan juga upacara-upacara ritual yang sampai saat

ini masih di gelar, khususnya oleh masyarakat tradisional. Ini menandakan bahwa

sebenarnya kebudayaan Madura cukup tinggi, karena sebagai makhluk sosial manusia

Madura mampu menunjukkan hasil kebudayaannya, sebagai makhluk sosial manusia

Madura mempunyai naluri kebudayaan yang berasal dari naluri sosial. Naluri tersebut

tumbuh dari rasa rohani, rasa intelek, rasa etik dan estetik, rasa seni, rasa agama dan

rasa diri.

3

Page 4: Buku Gai' Bintang

Dari sekian banyak ragam karya sastra, salah satu peninggalan karya sastra

yang cukup membanggakan adalah sastra lisan yang masih tetap bertahan sampai

sekarang.. Walaupun jenis puisi lisan mulai tergerus oleh arus budaya global sehingga

tidak dikenal lagi oleh masyarakatnya, namun demikian puisi lisan tersebut masih

mendapat tempat di hati masyarakat, terutama masyarakat tradisional. Hal ini

disebabkan puisi lisan menggunakan bahasa yang sangat sederhana, namun kaya

makna. Kesederhanaan dimaksudkan anak-anak cepat menangkap makna yang

tersirat dalam puisi yang dikemas dalam bentuk nyanyian dan permainan. Melalui

permainan anak-anak diajak untuk mengoptimalkan kecerdasan emosional dengan

tujuan untuk memanusiakan manusia. Dengan mengoptimalkan kecerdasan

emosional, anak-anak diajak untuk mengasah kemampuan merasakan, memahami,

dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,

informasi, dan koneksi.

Disamping itu bentuk permainan adalah untuk membangun solidaritas sejak

dini dalam komunitas bermasyarakat agar senantiasa rukun dan guyub, disamping itu

untuk mengembangkan kecerdasan emosional dengan cara bermain, dimana dalam

arena permainan itu ditanamkan sikap-sikap toleran, simpati, empati, dan memahami

berbagai karakter yang dimiliki oleh teman bermain. Dalam arena permainan tersebut

secara tidak sadar anak-anak akan mengetahui sekaligus ber-interaksi dengan karakter

yang berbeda, ada yang mempunyai sikap sabar, pemalu maupun temperamental dan

sebagainya. Bercampur-baurnya berbagai karakter tersebut menyadarkan anak bahwa

mereka memang tidak sama. Dengan pemahaman seperti itu maka membangun

kesadaran sosial dalam masyarakat komunal ditanamkan sejak dini. Pemahaman

interaksi sosial dimulai dari lingkungan terdekat, yaitu lingkungan bermain teman

sebaya, lingkungan keluarga, dan merambah pada lingkup yang lebih luas.

Adapun jenis permainan anak-anak yang sering dimainkan antara lain,

Daddaliyan, Ker-tanoker, Lir-Saalir, Jan-Anjin, Gai Bintang, Cung Kuncung Kunce,

Pa’ Kopa’ Eling, Ke’ Rangke’. Set-Seset Maloko’, Mon temon Buko, Ba-baba Bulan,

Di-Dindi’ Leya’Leyo’, Lar- Olar Kolarjang, Tan-Pangantanan, Dipadhi Cemplo

Lo’ling, Po’ kopo’ Ame-ame, lir Saalir, Kosoko Bibir, Aeng Lema’, Bing Ana’. Dul

4

Page 5: Buku Gai' Bintang

Kannang-Dul Kennong. Pada prinsipnya melalui lantuman dan permainan, jiwa

anak-anak ditanamkan pemahaman dan penanaman nilai filosofi kehidupan yang

bernafaskan nilai-nilai humanis. Penanaman nilai tersebut disebabkan oleh

kewajiban utama orang tua untuk memberikan pendidikan, bukan hanya

mengoptimalkan kecerdasan intelektual saja, melainkan mengembangkan kecerdasan

emosional serta mengasah kecerdasan spiritual kepada putra putrinya sebagai bekal

hidup bermasyarakat. Berbagai disiplin ilmu ditanamkan agar kelak anak mampu

berdikari dan mandiri, baik secara material, emosional, dan spiritual dalam tata

pergaulan di masyarakat. Dengan demikian anak mampu memilah dan memilih serta

mengamalkan ilmu yang dimiliki, dan bisa menjadi manusia yang paripurna. Untuk

mencapai kesempurnaan hidup maka nilai-nilai moralitas perlu ditanamkan sejak

dini. Dan penanaman itu dilakukan melalui permainan dan nyanyian.

Permainan merupakan media taman bermain yang sekaligus sebagai area

pendidikan di dalam menanamkan nilai-nilai universal kehidupan. Namun sangat

disayangkan, area tersebut kini secara perlahan disingkirkan dan tidak mendapat

tempat dalam dunia anak-anak. Otak anak-anak masa kini hanya dioptimalkan dalam

satu area saja, yaitu pengoptimalan otak kiri dan pendewaan kepada kecerdasan

intelektual. Padahal Folklore yang dimiliki oleh suku bangsa Madura merupakan

media pengoptimalan otak kanan (kecerdasan emosional). Menurut pakar psikologis,

bahwa kecerdasan emosional (EQ) memberikan saham yang sangat besar, yaitu 80 %

bagi kesuksesan hidup seseorang. Pengoptimalan EQ adalah kemampuan merasakan,

memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber

energi, informasi, koneksi dan pengaruh manusia. Emosi adalah bahan yang tidak

tergantikan bagi otak agar mampu melakukan penalaran yang tinggi. Emosi menyulut

kreatifitas, Kolaborasi dan inisiatif. Disamping itu juga EQ sangat penting untuk ;

proses penyembuhan, pemecahan masalah, kreatifitas serta menjalin dan menikmati

hubungan yang bermakna.

Saat ini Kecerdasan Emosional (EQ) menjadi sebuah trend baru di negara-

negara maju, padahal suku bangsa Madura telah lama memiliki warisan budaya

tersebut. Warisan budaya dalam bentuk Folklore yang berisi nilai-nilai universal

5

Page 6: Buku Gai' Bintang

kehidupan, nilai-nilai kearifan yang dikemas dalam bentuk permainan dan nyanyian.

Seharusnya folklore kembali dijadikan sebagai media pengoptimalan otak kanan,

yang lebih berorientasi pada seni musik, seni tari, kesenian, seni rupa, fantasi,

imajinasi, mimpi dan halusinasi.

Sumenep, Mei 2010

Penulis

PA’ KOPA’ ELING

Pa’ kopa’ elingelingnga sakoranjieppa’na olle paparingana’ tambang tao ngajingaji babana cabbika’angka’na sarabi potthone cocco’ dhangdhang pote keba molee cocco’ dhangdhang celleng keba melleng

Terjemahan bebas :

Bertepuk-tepuk ingat, sadar sekeranjangsang bapak mendapatkan anugerahanak bodoh jadi (bisa) mengaji mengaji di bawah cabai, suguhannya serabi gosong di patuk elang putih di bawa pulang di patuk elang hitam dibawa nakal

Terang bulan (purnama) merupakan waktu yang senantiasa ditunggu-tunggu,

karena pada saat terang bulan tersebut bulan hanya anak-anak yang bersuka cita,

tetapi juga orang tua. Biasanya pada saat terang bulan anak-anak berkumpul di

halaman rumah, dan kemudian berkelompok. Biasanya yang paling disukai oleh

anak-anak adalah menyanyikan lagu Pa’ Kopa’ Eling, secara bergantian mereka

menyanyikan lagu ini dan disertai pula dengan tepuk tangan.

6

Page 7: Buku Gai' Bintang

Makna yang Tersirat dalam Bait-Bait Syair

Syair-syair yang terdapat pada lantuman nada-nada di atas sangatlah

sederhana, namun apabila di kaji lebih mendalam maka syair-syair tersebut

mengandung makna yang demikian mendalam. Makna tersebut berisi nasehat tentang

manusia dan jiwa spiritual yang harus dimilikinya.

Sebagai Khalifah di muka bumi, manusia mempunyai tugas yang sangat mulia

yaitu menjadi pemimpin. Oleh sebab itu pemenuhan kebutuhan spiritual sama

pentingnya dengan kebutuhan material. Dengan demikian akan tercipta kehidupan

yang serasi, seimbang, dan harmonis. Dengan berbekal pengetahuan agama yang kuat

maka manusia tidak mudah tergoda dan terombang-ambing oleh perubahan serta

dinamika perubahan jaman.

Pemenuhan kebutuhan spiritual (agama) merupakan sesuatu yang sangat

signifikan. Oleh sebab itu sejak usia dini anak-anak diperkenalkan dengan nilai-nilai

agama, yaitu dengan jalan melaksanakan proses pembelajaran. Sejak kecil anak-anak

diwajibkan mengaji, shalat, puasa serta kewajiban-kewajiban agama lainnya. Proses

pembelajaran tersebut dilakukan secara bertahap, terus menerus, dan

berkesinambungan serta disesuaikan dengan usia kematangan dan pertumhuhan

anak. Sebagaimana terdapat pada kalimat, //ana’ tambang tao ngaj, ngaji babana

cabbi//,( //anak bodoh jadi (bisa) mengaji, mengaji di bawah cabai//)

Sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, masyarakat komunal

menciptakan suatu tatanan agar dalam menjalankan kebersamaan (kehidupan

bersama) berjalan secara harmonis. Dan tatanan tersebut, baik yang tertulis maupun

tidak tertulis secara berkesinambungan ditransferkan kepada generasi berikutnya

melalui pendidikan informal dalam keluarga, lingkungan masyarakat maupun

pendidikan formal di sekolah-sekolah. Hal itu termaktup dalam kalimat, “Pa’ kopa’

eling, elingnga sakoranji” // Bertepuk-tepuk ingat, sadar sekeranjang //. Kalimat

tersebut mengingatkan bahwa betapa pentingnya sebuah kesadaran untuk menuntut

ilmu.

7

Page 8: Buku Gai' Bintang

Untuk mendapatkan generasi yang ber-kualitas, orang tua mempunyai

tanggung jawab serta memegang peranan utama sebagai pendidik pertama sekaligus

motivator bag keberhasilan pendidikan putra putrinya. Sebagaimana tertera dalam

kalimat, “eppa’na olle paparing”, (bapak mendapatkan anugerah). Dan anugerah

tersebut merupakan kegembiraan, kebahagiaan, dan kebanggaan bagi bapak karena

sang anak telah mampu menyerap dan menguasai ilmu.

Adapun nilai etika dan moralitas yang tinggi dalam puisi di atas adalah,

hendaknya ilmu yang dimiliki tidak disalahgunakan d an benar-benar diamalkan

karena ilmu mempunyai dua sisi dimensi, yaitu kebaikan dan kejahatan. Ilmu akan

menjadi suatu bencana apabila dipergunakan oleh orang-orang yang mempunyai

moral rendah dan tidak bertanggung jawab, sebaliknya ilmu akan mendatangkan

manfaat serta kemaslahatan bagi umat manusia apabila berada di tangan-tangan

manusia yang mempunyai moralitas tinggi. Hal tersebut dapat disimak pada bait,

“e cocco’ dhangdhang pote keba mole, e cocco’ dhangdhang celleng keba melleng”

(di patuk elang putih di bawa pulang, di patuk elang hitam dibawa nakal)

CUNG-KUNCUNG KONCE

Cung kuncung kunceKoncena lo-olowanSabanyong sakethengNa’kana’ marking-markungBaba’anna kapung-kapungNgek-serngeggan, rut-suruddanPangantan tao abajangPabajanggnga ketha’ keddungOndurragi jung baba’an

Cung-kuncung kolorKolorra bintang kangkongSater-oler sakomancerBibidanna tajin jabaLali lana lali lanthung

8

Page 9: Buku Gai' Bintang

Ondurragi jung-baba’an

Cung acung lerenganKkembang ala’ kembang alingTaruttut onta-ontaPamakona kaju sentikOndur setthong jung baba’an

Cung acung lerengan, pettha tale lempungBuwana apung-apung, ta’ ngok-serngoganTa’ ngek-serngegan, jumantre-jumantreNangga’a bajangBajangnga kethak kedhungOndurragi jung baba’an

Terjemahan bait bebas bait 1

Kuncung-kuncung kunci, kuncinya beruas-ruassebuku seruas anak-anak duduk-duduk dibawah pohon kapuk cekikikan cekakakan sang pengantin ber-sembahyang sembahyang asal gerak

Bentuk Permainannya

Permainan ini dimainkan oleh dua sampai empat anak, permainan ini

dilakukan dengan cara duduk berhadapan. Jempol tangan kiri ditegakkan dan

keempat jari yang lain dalam posisi menggemgam. Kemudian keempat jari tangan

kanan menggemgam jempol tangan kiri, dan jempol tangan kanan ditegakkan. Anak-

anak yang lain kemudian meletakkan tangannya di atas tangan anak yang pertama

dengan posisi yang sama, begitu seterusnya. Setelah semua anak meletakkan

tangannya dalam posisi tersebut, lalu mereka menyanyikan lagu tersebut sambil

menggoyang-goyangkan tangan, pada saat bait terakhir dinyanyikan, “ondurragi jung

9

Page 10: Buku Gai' Bintang

baba’an” maka telapak tangan yang paling bawah diposisikan tertelungkup.

Kemudian anak-anak tersebut menyanyikan lagu tersebut secara terus menerus

sampai semua tangan tumpang tindih tertelungkup. Setelah semua tangan

tertelungkup, maka tangan yang paling atas memukul tangan dibawahnya, dan begitu

seterusnya. Atau juga dengan cara lain, setelah semua tangan tertelungkup maka

tangan yang paling atas mengambil tangan yang dibawahnya kemudian diletakkan di

atas kepala masing-masing anak.

Makna Umum dari Syair Cung-Kuncung Konce

Jenis permainan ini seringkali dikonotasikan dengan seksualitas, karena melihat

posisi tangan ketika sedang bermain. Posisi jempol kiri yang menggemgam keempat

jari lainnya, dan juga ketika genggaman digoyang-goyangkan, seakan-akan sedang

melakukan persetubuhan. Hal ini diperkuat oleh baris kedua dengan kata, “lo-

olowan” yang diterjemahkan , ‘tertidur karena terlalu kepayahan.” Tentu saja

kepayahan disini disebabkan sang pengantin telah selesai melaksanakan

kewajibannya.

Konon lagu ini dinyanyikan oleh anak-anak ketika sedang ada hajatan

perkawinan. Lagu ini dinyanyikan sebagai tanda sang pengantin telah memasuki

peraduan kamar pengantinnya.

Makna Khusus pada Syair Cung-Kuncung Konce

Walaupun secara umum masyarakat menilai bahwa lagu ini syarat dengan

muatan seksualitas, namun apabila dikaji lebih mendalam terdapat nilai-nilai filosofi

yang sangat mendalam sekaligus nilai-nilai kearifan, etika dan moralitas. Nilai-nilai

tersebut terutama terdapat pada bait pertama. Sedangkan bait kedua dan seterusnya

merupakan syair-syair tambahan untuk lebih memperpanjang nyanyian tersebut.

Secara gamblang pada bait pertama dalam puisi lisan Cung Kuncung Kunce

memberikan gambaran utuh tentang perilaku yang semestinya dimiliki oleh

masyarakat. Sopan santun, etika serta tata krama menempati urutan teratas sebagai

10

Page 11: Buku Gai' Bintang

perilaku yang patut dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Penghormatan dan

penghargaan yang tinggi akan diberikan kepada setiap masyarakat dari berbagai

kalangan, apabila mampu menunjukkan sifat, sikap serta perilaku yang baik.

Sebaliknya, walaupun menyandang status sosial tinggi serta bermartabat tidak akan

mendapatkan penghormatan dari anggota masyarakat lainnya apabila menunjukkan

perilaku yang cacat dan tercela.

Perilaku yang paling tercela adalah sikap yang ditunjukkan oleh seseorang

terhadap penganut agama yang sedang menjalankan ibadah. Gambaran ini dapat

dikutip dari kalimat, //Na’kana’ marking-markung /Baba’anna kapung-kapung /

Ngek-serngeggan, rut-suruddan//, (//anak-anak duduk-duduk / dibawah pohon

kapuk / cekikikan cekakakan//). Kalimat dalam puisi tersebut adalah ungkapan yang

ditujukan kepada seseorang yang dengan sengaja tidak menghormati serta

menghargai seseorang yang sedang menjalankan ibadah. Melalui sindiran tersebut

diharapkan mampu merubah perilaku tercela menjadi perilaku yang terpuji.

Penanaman nilai-nilai etika maupun spiritual (agama) yang dilakukan sejak

dini, diharapkankan mampu membentuk kepribadian yang matang sampai dewasa.

Apalagi ketika telah memasuki usia matang perkawinan. Nilai-nilai kebaikan,

perilaku terpuji serta kematangan kepribadian yang dimiliki akan menjadi bekal serta

menjadi benteng kokoh ketika menghadapi problematika kehidupan. Salah satu nilai

yang paling penting adalah menjalankan kewajiban shalat lima waktu, namun dalam

realita yang ada banyak sekali manusia (umat muslim) melalaikan kewajiban tersebut,

sebagaimana diungkapkan dalam kalimat, //Pangantan tao abajang /Pabajanggnga

ketha’ keddung//( sang pengantin ber-sembahyang / sembahyang asal gerak).

Bangunan yang kokoh tentunya ditunjang oleh pondasi dan ting-tiang kokoh

serta kuat. Perumpamaan tersebut dapat dijadikan tolak ukur kehidupan beragama.

Seseorang yang mengaku dirinya beragama, tentunya akan menjalankan semua

ketentuan yang disyariatkan oleh agama yang dianutnya. Namun sering terjadi

manusia hanya menggunakan agama sebagai identitas diri agar diakui keberadaannya

oleh lingkungan masyarakatnya.

11

Page 12: Buku Gai' Bintang

Maka filosofi mendalam dalam syair Cung Kuncung Kunceini membidik

sosok manusia yang hanya menggunakan agama sebagai identitas dan simbol. Ibadah

shalat lima waktu sebagai tiang penyangga bangunan kokoh Islam, dijalankan hanya

sebatas ritual semata. Akibat dari sikap yang tidak konsisten terhadap agamanya,

maka perilaku yang dijalankan sama sekali jauh dari nilai-nilai yang disyariatkan

oleh agama.

Shalat lima waktu merupakan salah satu rukun Islam yang wajib

dilaksanakan. Ibadah tersebut adalah ibadah pribadi yang langsung berhubungan

dengan Sang Khalid, yaitu totalitas kepasrahan pribadi seorang muslim serta

implementasi ibadah tersebut dalam kehidupan sosial nya di masyarakat. Keselarasan

ibadah vertikal dengan ibadah horizontal harus seimbang. Dengan demikian maka

akan terciptalah suatu kehidupan yang harmonis serta tatanan masyarakat yang tertib.

Secara tersirat, syair Cung Kuncung Kunce mengingatkan umat muslim untuk

menjalankan ibadah shalat dengan sebenar-benarnya. Karena nilai yang terkandung

dalam shalat dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Dengan melakukan

ritual shalat, manusia akan lebih dekat dengan Sang pencipta-Nya. Dengan

melaksanakan shalat secara baik dan benar akan menjadikannya seorang pribadi

yang matang, kuat dan kokoh. Oleh sebab itu melalui syair Cung Kuncung Kunce,

manusia diingatkan agar dalam menjalankan ibadah shalat bukan hanya sebatas ritual

semata, melainkan melaksanakannya dengan kesungguhan hati dan sepenuh jiwa.

Melalui tulisannya, penyair mengingatkan agar manusia dalam menjalankan

ibadah shalat tidak melakukannya setengah-setengah. Dalam arti apabila shalat

hanya dilakukan sebatas ritual saja, maka akan mengakibatkan tidak adanya

keselarasan tingkah laku. Shalat yang bertujuan menyembah Sang Pencipta,

menjauhi semua larangan serta mematuhi semua perintah-Nya hanya dijadikan

simbol-simbol keagamaan. Hal itu menyebabkan walaupun manusia rajin beribadah,

namun masih mengerjakan perbuatan yang tercela, melanggar aturan, berjudi,

berzinah maupun mencuri.

12

Page 13: Buku Gai' Bintang

RE-SERE PENANG

Re sere penang

Penangnga penang jambe

Maju kaka’ maju ale’

Pa bagus tengkana, lako becce’

Kalellan e ka’dinto

Terjemahan bebas :

Sirih-sirih pinang

pinangnya pinang jambe

mari kakak mari adik

perbaiki tingkah laku

berperilaku mulia

diridhoi lewat disini

Usia dini merupakan masa yang paling rawan sekaligus masa yang paling

menentukan bagi pembentukan jiwa dan kepribadian. Menurut para pakar psikologi

usia tersebut merupakan penentu keberhasilan, karena pada masa itu jaringan otak

bekerja maksimal menyerap informasi dari luar serta menyimpannya dengan rapi

dalam memori otak. Oleh sebab itu penanaman nilai-nilai yang berlaku dalam

masyarakat terutama yang berkaitan dengan adab sopan santun, budi pekerti, etika,

norma-norma serta tata krama diperkenalkan sejak usia dini. Penanaman nilai-nilai

tersebut ditransformasikan dengan memberikan contoh nyata serta suri tauladan oleh

generasi tua. Proses transformasi tersebut dilakukan secara perlahan, bertahap, dan

berkesinambungan serta dilandasi oleh perasaan kasih sayang, sebagaimana

terungkap dalam kalimat, “Re sere penang / Penangnga penang jambe”( Sirih-sirih

pinang / pinangnya pinang jambe) – (daun sirih dan pinang merupakan simbol sejoli

(tak terpisahkan) terutama untuk “mena” (Madura) atau “nyusur” (Jawa).

13

Page 14: Buku Gai' Bintang

Setelah anak menjelang dewasa dan diakui sebagai bagian anggota

masyarakat, maka interaksi sosial dilakukan sebagai upaya membaurkan diri dengan

lingkungan masyarakatnya. Di samping itu interaksi sosial dilakukan untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam proses interaksi tersebut dapatlah

dilihat bagaimana kemampuan manusia menjalin hubungan yang baik, dikagumi,

dihormati, disukai serta menyenangkan. Tak salah kiranya puisi lisan Re Sere Penang

memberikan gambaran bahwa kemuliaan manusia hanya dapat dilihat dan

dipancarkan dari kepribadian dan budi pekerti luhur. Sebagaimana terungkap dalam

kalimat, “bagus tengkana, lako becce’” (bagus tingkahnya / berperilaku mulia ).

Proses panjang pembentukan akhlak mulia dan kebersihan jiwa mental

spiritual bagi kau muda merupakan tanggung jawab orang tua. Untuk menumbuhkan

kesadaran akan tanggung jawab mental dan moral, diperlukan keteladanan dari

lingkungan keluarga maupun masyarakatnya. Oleh sebab itu kontrol yang

dilaksanakan oleh orang tua, keluarga , dan lingkungan masyarakat sangatlah penting.

Kontrol sosial yang ketat merupakan ikatan tanggung jawab bersama, tanpa

melanggar hak azasi. Kontrol yang sangat ketat tersebut diharapkan akan mampu

mencetak pemuda-pemudi yang bertanggung jawab terhadap perilaku, mempunyai

akhlak yang mulia serta moralitas tinggi.

Dengan memiliki perilaku yang mulia, kaum muda akan menjadi insan-insan

yang bertanggung jawab, patuh, di sukai, di hormati, di hargai dan akan mampu

menciptakan lingkungan yang harmoni bagi masyarakatnya. Dengan memiliki

ketahanan mental serta moralitas yang kuat, maka akan terbentuklah sebuah generasi

yang tangguh. Sebagaimana termaktup dalam kalimat, “Kalellan e ka’dinto”,

(diridhoi lewat disini).

KER-TANOKER

Kertanoker, dimma bara’ dimma temorKer-soker, sapa nyapa kaadha’ lanjang omorKer-tanoker jambuna massa’ saseba’Ker-tanoker lagguna nyapa kaadha’

14

Page 15: Buku Gai' Bintang

Ker-tanoker jambuna massa’ sapennayKer-tanoker lagguna nyapa e songayKer-tanoker jambuna massa’ sacorongKer-tanoker lagguna nyapa e lorongKer-tanoker jambuna massa’ pagarKer-tanoker lagguna nyapa e langgar

Terjemahan bebas :

Ker-tanoker dimana barat, dimana timur ker-tanoker, siapa yang menyapa duluan akan panjang umur Ker-tanoker ada jambu masak separuh Bila tak bertegur sapa, besok menyapa duluan Ker-tanoker ada jambu masak sekeranjang Boleh bertengkar besok menyapa di sendang Ker-tanoker ada jambu masak setakaran Boleh bertengkar besok menyapa di jalan Ker-tanoker ada jambu masak di pagar Boleh bertengkar besok menyapa di langgar

Ker-tanoker (kepompong) adalah makhluk hidup jelmaan ulat yang sedang

menjalankan proses metamorfosis. Ulat yang semula berbentuk bulat panjang, lembek

dan menjijikkan kemudian berubah bentuk menjadi kepompong yang dibalut

semacam serat, menempel dan bergelantungan di dahan, maupun di daun-daun. Pada

masa pertapaan dan menjadi Tanoker inilah anak-anak sering mengambilnya dan

menjadikannya sebagai alat bermain. Sebelum Tanoker mengeras, ujung kepala

sedikit lembek, dan apabila mendengar suara maka ujung yang berbentuk memanjang

ini akan bergerak-gerak, ke kanan, ke kiri maupun ke depan dan ke belakang.

Dan biasanya permainan ini dilakukan ketika anak-anak berselisih ataupun

bertengkar dan kemudian tidak saling bertegur sapa (bahasa Madura; soker). Nah,

anak-anak yang tidak bertegur sapa tersebut sebenarnya ingin menyapa, tetapi karena

saling menjaga gengsi mereka bersikeras tidak menyapa. Tetapi ketika salah satu

anak sudah tidak tahan untuk menyapa karena tidak punya teman bermain, maka anak

tersebut mencari Ker-tanoker (kepompong). Melihat anak yang satunya akan

menyapa, yaitu dengan mencari Ker-tanoker, maka ia pun berlari untuk mencari Ker-

tanoker pula.

15

Page 16: Buku Gai' Bintang

Masing-masing anak-anak itu sudah mempunyai seekor Tanoker, lalu kedua

anak tersebut nangkring di kayu pagar masing-masing rumah. Kemudian kedua anak

tersebut saling (sambit) melempar kalimat yang ada pada syair Ker-tanoker dan saling

menjawab pula. Nah; kedua anak yang saling tidak bertegur sapa tersebut akhirnya

saling menyapa dan saling memaafkan.

Permainan dan nyanyian Ker-tanoker bukan hanya dipakai sebagai media

membuka area diplomat di kalangan anak-anak. Tetapi pada musim Tanoker

digunakan pula sebagai media bermain, pada musim Tanoker inilah anak-anak

bergembira ria, bersenda gurau dan saling melemparkan kalimat dalam bentuk pantun

dan saling bersahutan menjawab pantun yang dilontarkan oleh kawan sebayanya.

Apabila ujung kepala itu bergerak-gerak, itu menandakan bahwa pantun yang mereka

sampaikan itu benar, dan harus pula di jawab oleh yang lainnya. Permainan ini bis

dimainkan oleh dua orang, bisa juga berkelompok. Semakin banyak anak bergabung

ikut bermain, maka semakin ramai dan mengasyikkan permainan tersebut. Masing-

masing anak akan mencari Tanoker untuk dijadikan alat untuk bermain. Biasanya

Tanoker yang menjadi incaran anak-anak adalah yang besar, mereka mencarinya di

pohon yang sering dijadikan tempat bertelur ulat, misalnya pohon kedondong, jeruk,

Ketapang, dan pohon pisang

Makna yang Terkandung dalam Bait-Bait Ker-Tanoker

Kata Ker-tanoker merupakan diksi yang mendekati kata “soker” (tidak

bertegur sapa), dengan demikian terjadi keserasian pengucapan baik di awal kalimat

maupun akhir kalimat pada pantun yang diucapkan. Walaupun bahasa yang

digunakan sangat sederhana, namun mengandung makna tersirat mendalam. Makna

mendalam yang terdapat pada syair ini tentang esensi persaudaraan, persahabatan,

dan perdamaian. Hal ini disebabkan dalam interaksi sosial dalam kehidupan yang

komunal, setiap pribadi dan individu, masing-masing mempunyai kepribadian, watak,

dan karakter yang berbeda. Tentu saja dalam proses interaksi tersebut akan terjadi

benturan-benturan, baik pemikiran, persepsi, keinginan, maupun kepentingan. Akibat

16

Page 17: Buku Gai' Bintang

dari ketidaksamaan tersebut maka akan terjadi perdebatan, pertengkaran bahkan

menjurus pada pertikaian fisik.

Untuk meredam berbagai bentuk benturan tersebut syair ini memberikan rambu-

rambu bagaimana harus berbuat, yaitu sebuah sikap mengalah. Mengalah belum tentu

kalah. Peribahasa mengatakan,” Kalah jadi arang, menang jadi abu”. Dengan

memiliki sikap mengalah maka akan terbangun sebuah kerukunan, dan dalam dimensi

yang lebih luas akan terbangun perdamaian yang abadi. Karena hakekat

sesungguhnya dari setiap pertengkaran dan pertikaian adalah untuk menguji

kerukunan. Bila terjadi perselisihan, berarti kerukunan sedang di uji. Mendahului

berbuat baik, mendahului menyapa, mendahului membuka area diplomatik

menunjukkan kematangan emosional maupun spiritual yang tinggi. Dengan

demikian mendahului berbuat baik, yaitu dengan jalan menyapa maka akan

mempererat tali persahabatan dan persaudaraan, tali silaturrahim serta akan

melanggengkan perdamaian.

Sikap mengalah dan sifat pemaaf harus dimiliki oleh setiap individu, dan itu

perlu ditanamkan sejak dini. Oleh karenanya, syair Ker-tanoker memberikan

gambaran kongkrit bagaimana harus bersikap ketika menghadapi pertentangan

maupun pertikaian, yaitu dengan cara mengalah dan menyapa. Membuka area

diplomatik dapat dilakukan dimana saja, terutama tempat-tempat yang

memungkinkan orang bertemu dan berkumpul. Dimana orang melakukan aktivitas

keseharian dalam memenuhi kebutuhan hidup maupun saling ber-interaksi sebagai

makhluk sosial. Tempat-tempat tersebut, antara lain di jalan, di langgar, di sendang,

maupun di pasar. Sebagaimana yang termaktup pada isi syair,

//Ker-tanoker lagguna nyapa kaadha’ / Ker-tanoker lagguna nyapa e songay /Ker-

tanoker lagguna nyapa e lorong /Ker-tanoker lagguna nyapa e langgar // -

(// Bila tak bertegur sapa, besok menyapa duluan / Boleh bertengkar besok menyapa

di sendang / Boleh bertengkar besok menyapa di jalan / Boleh bertengkar besok

menyapa di langgar //).

Bait-bait sederhana yang terdapat pada syair Ker-tanoker mengajak setiap

pribadi untuk menunjukkan kematangan pribadi, baik kematangan psikis maupun

17

Page 18: Buku Gai' Bintang

fisik. Dengan memiliki kematangan kepribadian, maka perbedaan pendapat,

perbedaan persepsi, perbedaan keinginan, karakter maupun watak bukan berarti

membuka lebar jalan pertentangan atau pertikaian, malah sebaliknya akan membuka

pintu kerukunan dan perdamaian. Sebagaimana dikatakan bahwa perbedaan itu

adalah suatu rahmat. Nilai etika dan moralitas tinggi inilah yang mesti dijadikan

bahan renungan panjang setiap pribadi untuk membangun masyarakat komunal yang

rukun, guyub dan ber-keadilan.

TAN-PANGANTANAN (TAN-MANTANAN)

Tradisi Tan Pangantanan merupakan sebuah permainan yang dilakukan oleh

anak-anak di kala senggang. Permainan yang sangat menyenangkan ini dilakukan

setelah panen tiba, setelah anak-anak selesai membantu panen di sawah. Mereka

biasanya berkumpul, dan secara spontan membentuk kelompok yang terdiri dari

kelompok utama (perempuan) dan kelompok besan (laki-laki). Kedua kelompok

tersebut kemudian berlomba untuk menghias pengantin jagoannya di tempat yang

berbeda. Adapun hiasan yang dipakai oleh sepasang pengantin anak-anak tersebut

sangat sederhana, terdiri dari kain panjang (samper palekat) yang dililitkan ke tubuh

masing-masing pengantin sebatas dada. Sedangkan tata rias memakai lulur yang

dibuat dari beras dan temmo (kunir & kunyit putih). Lulur tersebut dibalurkan ke

seluruh tubuh dan wajah pengantin, sehingga tampak bagian tubuh yang diluluri

berwarna kuning (koneng ngamennyor). Sedangkan untuk mempercantik penampilan,

maka di atas kepala di pasang sebuah mahkota yang di buat dari rangkaian daun

nangka, dan roncean bunga melati. Aksesoris pengantin agar tampil menarik adalah

rumbaian dari roncean daun melati (to’oran dhaun malate) yang digantungkan di

leher, serta dilengkapi pula sumping daun kamboja, gelang kaki dan beberapa

pelengkap bawaan yang di bawa oleh pengiring.

18

Page 19: Buku Gai' Bintang

Setelah siap, kedua belah pihak bersepakat mempertemukan kedua pengantin

di tempat yang telah ditentukan. Setelah kedua pengantin bertemu lengkap dengan

para pengiringnya, baru kedua belah pihak bersepakat untuk mengarak kedua

mempelai. Sepasang pengantin tersebut kemudian di arak keliling kampung,

berkeliling dari kampung satu ke kampung lainnya. Arak-arakan tersebut mampu

menyedot perhatian masyarakat yang dilewati, dan terkadang iringan pengantin

semakin panjang karena diikuti penonton lainnya, terutama anak-anak. Sambil

berjalan para pengiring melantumkan syair, Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.

Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang

Dhe’ nong dhe’ ne’ nangNanganang nganang nong dhe’Nong dhe’ ne’ nang jaga jaggurLa sayomla haeto lillahYa amrasol kalimas topa’Haena haedhang haena dhangkongPangantanna din ba’aju din tamenggung

Ayola’ yole nengkong abli pole ngantolKoddu’ pace pacenan, langsep buko lon alonPangantan ka’imma pangantanMantan loji pamaso’a ka karatonBu’ saeng lema’, bu’ saeng lema’Aeng tase’ bang kambanganDhu panarema, dhu panaremaBalanjana saare korang

Bidaddari le’ bidaddar kongNase’ obi le’ kowa lurkingBan-gibannna le’ nase’ jagungPangerengga le’ pate’ buttongYa, hadirin tore so’onnagi Paneka pangantan sopaja kengeng salametYa salam, ya salam

19

Page 20: Buku Gai' Bintang

Kitab suci dah lama-lamanyaKini pengantin lah tiba lah tibaKepada kawan-kawanku semuaMudah-mudahan berjumpa lagi

Tan-taretan sadajana e dalem somanaDi sana e ka’dinto Karangduwek nyamaeponNyara taretan abadi kacintaan abadi kanesseranOlle tetep Islam ban Iman

Jam yuju jam delapan, ana’ serdadu mekol senapan (dar)Yam berana’ etekla ayam pengantin baru sudah berjalan

Tette ajam bindhara, pangantan ka’ imma pangantanPangantanna din ba’aju din tamongkong

Jas Turki pakaian celana putiAan’ ayam berani mati, jas turki sudah mati

La bu’na mela, ajam poteCocco’ sengkang e soro pajikaran

Uraian Peristiwa dalam Bait-Bait, “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.”

Berdasarkan analisa yang terkandung dalam syair, dan berdasarkan perkiraan

sesepuh Sumenep, H. Saleh Muhammady, bait-bait “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang”,

bahwa syair ini diciptakan sekitar tahun 1574 M, sebagaimana tertera dalam kalimat,

kalimas topa’”, yaitu dari kata sa’ (1), lema’ (5), to’ (7) dan pa’ (4). Namun tidak

menutup kemungkinan angka tersebut belum menjamin kebenarannya, karena analisa

lain, kata, “kalimas topa’” memiliki makna lain pula.

Apabila ditelusuri, maka dapatlah di tarik sebuah rentetan sejarah awal

terbentuknya tradisi ini (tan-pangantanan) dapat diuraikan dalam kalimat, “Koddu’

pace pacenan, langsep buko lon alon”. Kata koddu’, yang condong pada jaman

pemerintahan Pangeran Keddu (pangeran Wetan - 1574 M), yaitu pada jaman Ratu

Tirtonegoro (tumenggung Pacinan, anak tiri Ratu Tirtonegoro) sebagai di sebut dalam

kata, “bukong”, artinya kakak tua, yaitu perlambang burung yang menjelaskan bahwa

20

Page 21: Buku Gai' Bintang

Tumenggung Pacinan adalah kakak Panembahan Sumolo (pendiri masjid Jamik dan

keraton Sumenep).

Rentetan Peristiwa Sejarah pada Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang

Pengungkapan sejarah pangeran Wetan yang menghancurkan tentara Bali

ketika menyerang Sumenep. Sebagaimana di sebut dalam kalimat, “mon ta’ nondhe’

jaga jaggur”, artinya kalau tidak tunduk maka akan dijatuhkan ke laut (jaggur,

sinonim suara benda jatuh ke air). Tentara Bali mengalami kekalahan, dan kemudian

sisa-sisa tentara Bali tersebut menyingkir ke daerah pinggiran. Daerah pemukiman

yang ditempati oleh sisa-sisa tentara Bali dan keturunannya tersebut dinamakan

Pinggir Papas. Sampai saat ini tradisi Bali (Hindu) masih dijadikan acara ritual, yang

dikenal dengan ritual “Nyadar.”

Tentang pemerintahan Pangeran Lor II dan Pangeran Wetan II, dan

meramalkan masuknya kolonial Belanda, sebagaimana disebut pada kalimat, “Haena

haedhang haena dhangkong”, maksudnya (sujud). Kalimat tersebut menjelaskan

masuknya sekularisme di Sumenep, yang tentunya isme yang di bawa oleh penjajah

Belanda tersebut akan berakibat terganggunya stabilitas pemerintahan, Tumenggung

Sumenep.

Pengungkapan masa pemerintahan Cakranegara I, “Pangantan loji pamaso’a

ka karaton”, (pengantin lojji dimasukkan ke keraton). Ini berkaitan dengan kisah,

ketika pangeran Cakranegara I dalam perjalanan ke Demak. Di tengah perjalanan,

tepatnya di daerah Sampang pangeran Cakranegara dirampok sehingga beliau tidak

bisa kembali ke Sumenep. Akibat peristiwa tersebut maka terungkaplah kalimat,

“pangantan, ka’ imma pangantan”, artinya pengantin kemana pengantin (pangeran) ?

Kalimat, “aeng tase’ bangkambangan” (air laut mengambang). Makna pada

kalimat tersebut terjadi pada masa pemerintahan Raden Mas Anggadipa yang berasal

dari seberang. Pada masa itu rakyat tidak menyenangi pemimpin yang bukan berasal

21

Page 22: Buku Gai' Bintang

dari istana Sumenep, akibat rasa ketidaksenangan tersebut maka muncullah

pemberontakan. Namun pemberontakan rakyat tersebut dapat ditaklukkan oleh Raden

Mas Anggadipa. Peristiwa tersebut memunculkan sebuah kalimat, “duh panarema,

duh panarema”, yang berarti terimalah semua itu dengan besar hati dan lapang dada.

Pencerminan kisah yang terjadi pada masa pemerintahan Jayeng Pati. Pada masa itu

terjadi krisis ekonomi dan mampu mengganggu stabilitas. Krisis yang terjadi tersebut

disebabkan oleh ulah Jayeng Pati sendiri karena Jayeng Pati merubah peraturan dan

adat istiadat. Di samping itu Jayeng Pati merupakan otak peristiwa perampokan

terhadap Cakranegara I. Pada masa pemerintahan Jayeng Pati, mengalami krisis

ekonomi dan menyebabkan kehidupan rakyat mengalami masa-masa pahit, dan itu

menyebabkan rakyat hanya mampu makan, “nase’ obi kowa lorkong”, artinya makan

ubi dan sayur lorkong (jenis tanaman makanan ular).

Pada masa inilah tumbuh subur penyakit mental di kalangan istana, yaitu oportunis,

KKN, dan ABS. peristiwa ini dikiaskan pada kalimat, ”pangerengnga pate’

buttong”, artinya pengiringnya adalah anjing tak berekor.

Kisah tentang masa kepemimpinan Yudha Negara, ialah masa kembalinya

dari keturunan Pangeran Cakraningrat I setelah merebut kekuasaan dari Jayeng Pati

dengan bekerja sama dengan Pangeran Trunojoyo. Saat itulah rasa patriotisme mulai

menjalar, masa usaha menghancurkan kolonialisme Belanda, meski masih memakai

sistem pemerintahan feodalisme aristokrat. Namun mendapat pujian rakyat,

sebagaimana terdapat pada kalimat, “paneka pangantan sopaja kengeng Salamet, ya

salam, salam”, (ini pengantin (pangeran) supaya mendapat keselamatan, ya selamat,

selamat), yang pada masa itu masih bergolak perlawanan Trunojoyo.

Kisah tentang masa pemerintahan Pulong Jiwo, “kini pengantin lah tiba”, yang

dimaksud dalam kalimat tersebut adalah kembalinya Pulong Jiwo dengan

mengadakan perbaikan-perbaikan di dalam sistem pemerintahan dan juga

rasionalisme kultur yang rusak akibat masa pemerintahan Jayeng Pati.

22

Page 23: Buku Gai' Bintang

Penerus kebijakan Pulong Jiwo, yaitu pangeran Romo. Ia dianggap orang yang

mumpuni dengan menerapkan sistem bapaisme yang merupakan perangkat dari

sistem feodalisme aristokrat, sehingga terjadi revolusi keraton. Untuk ini terungkap,

“tan taretan sadjana e dalem somana”, artinya saudara-saudara yang berada dalam

soma (rumah tangga), jadilah kepala rumah tangga yang baik dan bijak. Adat istiadat

mulai berkembang dengan harapan, “olle tetep Islam dan Iman”, agar tetap Islam dan

Iman.

Kisah masa pemerintahan Wiromenggolo I, yaitu saat terjadi pemberontakan

melawan Belanda, disebut, “ana’ serdadu mekol senapan,” (anak serdadu memikul

memanggul senjata). Menyebut Wiromenggolo I yang anti Belanda namun masih

tertutup, termasuk yang anti Belanda ialah Wiromenggolo II serta cucunya, Jaga

Sastro yang tewas ketika menyelamatkan pangeran Diponegoro pada saat

pertempuran di Madura.

Kisah masa pangeran Lolos, sebagaimana disebut, “pangantan ka’imma pangantan”,

(penganten (pangeran) dimana pangeran), pada waktu pangeran Lolos di serang

Raden Buka’. Pangeran Lolos disebut juga pangeran Jimat.

Masa pemerintahan Raden Buka’ (Jimat), dijelaskan pada kalimat, “jas Turki pakaian

celana puti”, dimaksud jas Turki celana putih, yaitu pakaian jas bentuk terbuka

sebagaimana pakaian orang Turki, dengan kopiah merah berumbai-rumbai. Jas

terbuka ini menandakan jaman masa Raden Buka’.

Masa Ke’ Lesap, yang tertera pada kalimat, “Yam beranak etekla ayam pengantin

baru sudah berjalan”. Maksudnya pemerintahan diganti oleh seseorang tapi bukan

dari tutrunan pangeran Wetan. Memerintah hanya sebentar karena selalu terjadi

peperangan.

23

Page 24: Buku Gai' Bintang

“La bu’na mela ajam poté”, artinya masa pemerintahan oleh seorang ibu, yaitu Ratu

Tirtonegoro. Roda pemerintahan berikutnya diserahkan kepada Bindara Saod (1750-

1762 M). namun timbul permasalahan sebagaimana dalam kalimat, “cocco’ sangkang

e soro pajikaran”, artinya dipatuk burung gelatik disuruh tukang pedati. Yaitu

pemerintahan pedati yang bukan dari keturunan pangeran Wetan, tapi dari orang

kebanyakan (golongan masyarakat rendah).

Rentetan analisis di atas hanya merupakan bagian-bagian tertentu dari masing-

masing bait. Namun demikian versi lain masih terjadi penafsiran lain yang bersifat

dimensional. Jadi makna ganda dan dimensionalis dogma yang terkandung

merupakan rangkaian makna yang tersirat. Maknanya juga bisa berarti dialektika

sejarah, budaya, filsafat, sufistik melalui Doktrin-doktrin yang memiliki kekuatan

politik serta kritik sosial pada jamannya.

Disisi lain, syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang mempunyai pengertian

mengangkat ritualisme melalui jalur pengantin anak-anak, sebagaimana harapan

penciptanya (anonim) agar lebih mudah dan leluasa dijiwai oleh masyarakatnya, yaitu

ritual pengantin yang diangkat menjadi tradisi (folklore).

Demikian pula irama yang dihasilkan, bagaikan lantuman gaung penderitaan,

ketidakpuasan, kecintaan, keagungan, kebahagiaan seperti letupan-letupan detak

gendang dan gong di pendapa. Maka terciptalah rasa senasib sepenanggungan,

sebagaimana dimaksud pada kata, “dhe’-nondhe’”, yang berasal dari kata, “dhu’

nondhu’”, yang artinya menunduk. Dalam pengertian nondhu’ para orang tua Mdura,

menyimpulkan kepada, “Bapa’, babu’, guru, rato”, maksudnya tunduk kepada ayah,

ibu, guru (ulama), dan ratu (pemimpin).

KANDUNGAN FILSAFAT

Nilai filsafat yang terkandung dalam syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang

merupakan manifestasi dari latar belakang sejarah yang terkondisi oleh berbagai

permasalahan kehidupan. Kebenaran yang tersirat merupakan makna

dimensionalisme dogma. Maknanya bisa berarti dialektika sejarah, budaya, filsafat,

24

Page 25: Buku Gai' Bintang

sufisme melalui kerangka doktrina-doktrina yang mempunyai kekuatan politik dalam

kritik-kritik sosial pada jamannya.

Dari sudut budaya, pengertian Dhe’ nong dhe’ ne’ nang mengangkat

ritualisme dari jalur pengantin anak-anak, menuju obyek sasaran yang dikehendaki

oleh pembuatnya. Hal ini nampak jela terungkap pada tiap-tiap bait, bait pertama

hingga bait tiga belas, merupakan ritualisme dari awal pengantin sampai pada babak

kelahiran (bait 9) dan diteruskan sampai beberapa bula berikutnya.

Disebutkan pada awal bait, secara filsafat dapat di teropong sebagai masa

bulan madu, yang diiringi dengan suasana gembira dan bahagia dalam irama

gamelan, dhe’- nondhu’ (dhu’-nondhu’ artinya masa menunduk), yaitu rasa bahagia

tetapi diliputi rasa malu, hati yang tenang karena sudah berlabuh kebahagiaan.

Tenang disini diungkap pada kalimat, “ne’ nang jaga (gong) jaggur”. Jaggur

berkonotasi dua pengertian, yaitu jatuh dan atau buah pohon jati. Ini merupakan

idealisme pengantin yang tinggi, suatu nilai kerahasiaan wanita (keperawanan) yang

selalu didambakan pada awal malam pertama. Buah pohon jati (bulat kecil merah

membara terdapat noktah hitam) mempunyai maksud setitik, yang melambangkan

titik mutfah yang terjaga. Bahkan dalam pengertian haena haedeng haena

dhangkong, masa itu adalah masa penyesuaian watak dan karakter.

Menurut sunnnaturrasul dikatakan, waktu mutfah dimasuki ruh yang terdapat

pada bait ke-3, dan selamatan pada bait ke-7. perjuangan hidup dan mati pada bait ke-

8 dan ke-9, yang mempunyai arti masa kelahiran. Sementara pengamat yang lain

mengatakan, kalimat pakaian jas Turki merupakan singkatan bahasa Madura, yang

ber-pengertian bahwa masa membersihkan diri pada masa persalinan. Sehingga

secara budaya, merupakan ritualisme adat yang secara universal semua orang

mengalami peristiwa tersebut.

Dalam pengertian sudut filsafat, sangat jelas sekali bahwa dimaksudkan

merupakan ajaran atau doktrina ontologia, yang menjelaskan tentang hakekat asal,

akhir dari tujuan hidup. Dan apabila dikaitkan dengan ilmu kebatinan Jawa, hal ini

merupakan hakekat Sangkaning Dumadi. Yaitu, hakekat sebelum dan sesudah hidup.

25

Page 26: Buku Gai' Bintang

Pengertian masa Dhe’ nong dhe’ ne’ nang, yaitu pada masa Awang Wung, masa

kekosongan dalam awal azal.

Bait ke-3 memberikan pengertian filsafat yang tinggi sampai bait ke-12. ini

merupakan doktrin filsafat tentang hidup. Tentang hakekat, tarekat, dan makrifat

dalam syariat hidup. Tentang awal tidak hidup menjadi ada hidup dan tidak ada

hidup, dan hidup yang dikekalkan dari semua makhluk. “Ada hidup”, yang

dikemukakan dalam, “jaga jaggur”, yaitu hakekat Jati sperma yang hidup, (“jaga

berarti bangun dari tidur, bhs. Madura). “Haetolillah” (Hidayatullah), berserah diri

kepada Allah. “Ayam beranak etek” (ayam beranak bebek), ini menjelaskan filsafat

periodeisme, bukan menjelaskan dan mendukung filsafat Darwinisme, yang

digelarkan pada teori evolusinya, dan juga bukan merupakan revolusinya Kal Mark.

Tetapi merupakan sebuah realitas di bumi Sumenep tentang periodeisme

metamorfosis. Tidak ada manusia dari kera menurut Dhe’ nong dhe’ ne’ nang, tetapi

yang ada ialah logika, “Yam beranak, eteklah ayam”, karena ayam mengeram telur

etek (bebek). Demikian antara lain kandungan filsafat yang tercakup dari bagian-

bagian bait dan baris tertentu.

Ungkapan lain yang terungkap, bahwa Dhe’ nong dhe’ ne’ nang tersimpan

doktrin tasawuf yang terkandung didalamnya. Yaitu, pada bait ke-1 sampai bait ke-4

yang menyangkut ilmu psikis. Bait ke-5 sampai ke-8 menjelaskan tentang ilmu

methaphisik. Dan bait ke-13 memjelaskan tentang pendapat dari penulisnya, yaitu

tentang hakekat, “cocco’ sengkang esoro pajikaran”, yaitu tentang hakekat paruh

burung gelatik disuruh pedati. “Soro” dalam bahasa Madura mengandung makna

kunci (sorok). Jadi apabila dipadukan bisa berarti paruh burung Gelatik pada kunci

pedati. Sehingga dengan kata lain, ungkapan tersebut dapat berarti paruh yang

bersudut, berpusat pada titik poros kunci pedati, maka berarti bahwa dorongan

perputaran roda pedati. Dalam tasawuf yang dua belas itu, merupakan dialektika dan

romantika gerak roda pedati, dalam pengulangan hakekat ajaran tasawuf.

Kajian tentang syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang memng memerlukan peralatan

dan wacana yang memadai, karena makna yang terkandung didalamnya mengandung

isyarat-isyarat yang sangat mendalam. Sebab tradisi semacam Tan Pangantanan ini

26

Page 27: Buku Gai' Bintang

memiliki akar budaya yang sangat kuat sebagai landasan terbentuknya tatanan

kehidupan masyarakatnya pada jaman dulu hingga sekarang. Secara implisit makna

kandungan dalam syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang masih sangat banyak dan perlu

pendalaman. Namun untuk mengungkap makna seluruhnya tidaklah semudah

membalikkan telapak tangan, karena didalamnya masih tersimpan dimensi lain yang

berkaitan dan bersifat transendental.

SET-SESET MALOKO’

Set-seset maloko’Iya tompe, iya bu’bu’Tompena bagi ka mama’naBu’ bu’na bagi ka embu’na

Terjemahan capung-capung kecil ini kulit (dedak kasar/luar) jagung, ini dedak jagung kulit (dedak kasar) untuk sang bapak dedak jagung untuk sang ibu

Seset (Capung) adalah sejenis serangga yang banyak diketemukan pada

pergantian musim hujan ke musim kemarau. Pada pergantian musim inilah Capung-

capung mulai mengepakkan sayapnya, membelah angkasa. Nyanyian yang hanya

terdiri dari empat bait ini biasanya dinyanyikan oleh seorang ibu sambil

menggendong anaknya ketika sedang menyuapi makanan pada sang anak.

Set-seset maloko’, adalah rangkaian kalimat yang sangat sederhana, namun

apabila dikaji lebih jauh lagi maka setiap baris dalam kalimat tersebut mempunyai

nilai filosofis yang sangat mendalam. Secara umum bait-bait ini memberikan nuansa

umum tentang perbuatan baik dan menyenangkan kepada siapapun. Namun secara

27

Page 28: Buku Gai' Bintang

khusus, baris ketiga dan keempat memberi penekanan tentang keutamaan makhluk

ciptaan-Nya, yaitu keutamaan seorang ibu.

Ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah nabi besar

Muhammad SAW, siapakah orang pertama yang wajib dihormati dan diutamakan,

Rasulullah menjawab ibu, pertanyaan tersebut dilontarkan sampai tiga kali, dan

Rasulullah tetap menjawab ibu, baru keempat kali Rasulullah menjawab bapak. Ruh

dari sabda nabi besar Muhammad SAW tersebut telah menjadi darah yang mengalir

dalam setiap nadi dan menjadi kultur suku bangsa Madura yang menempatkan sosok

ibu menduduki tempat yang sangat istimewa dan utama. Tidaklah mengherankan

apabila penulis syair ini memberikan sesuatu yang sangat istimewa bagi sang ibu,

“bu’bu’na bagi ka embu’na”.

Baris keempat, “bu’bu’na bagi ka embu’na”, kalimat ini sejalan dengan

kebutuhan ibu dalam pemenuhan gizi.. Bu’ bu’ (dedak jagung ) adalah bahan

makanan mengandung nutrisi gizi yang sangat tinggi. Mengapa bu’ bu’ (dedak

jagung) ini diberikan kepada ibu ? Bukan kepada Bapak ? Mengapa sang bapak cuma

di beri tompe (kulit luar/dedak kasar) ? Pertanyaan ini tentunya sesuai dengan

kebutuhan ibu sebagai pendonor pertama kebutuhan nutrisi gizi bagi putra-putrinya..

Dedak jagung adalah bahan makanan yang halus dan enak, banyak mengandung gizi

yang tentunya sangat berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama

untuk ibu hamil dan menyusui. Mengapa bu’bu’, bukan makanan lain seperti beras ?

Karena ketika penulis syair ini hidup pada masa itu, jagung merupakan makanan

pokok suku Madura.

Namun esensi dari baris keempat pada puisi lisan tersebut, bahwa manusia

Madura memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada sosok Ibu. Tentunya

ini merupakan ruh dari kultur budaya Madura yang relegius.

28

Page 29: Buku Gai' Bintang

LIR-SAALIR

Lir saalir lirsaalir alirkungKan akowak epakajeMa’ ta’ rengsa se nyareLir saalir lirsaalir alirkungReng ta’ kowat ja’ akarjaMa’ ta’ sossa budhi are

Lir saalir lirsaalir alirkungKa gunong ngala nyorowanKope bella kabadha’anLir saalir lirsaalir alirkungPeker bengong ta’ karowanNape bula katamba’a

Lir saalir lirsaalir alirkungNgala’ baddha ban-sarombenNyambi padhi gan sakesse

Lir saalir lirsaalir alirkungDika jaga ja’ ban-abanDuli mandhi ma’le berrse

Lir saalir lirsaalir alirkungNgenjam buku pas pabaliSe andhi’ ma’ ta’ seddhi

29

Page 30: Buku Gai' Bintang

Lir saalir lirsaalir alirkungSabban laggu dika mandiJa’ loppa ngossowe gigi

Lir saalir lirsaalir alirkungMon teggal badha atoghuBa’na entar mon kacapo’

Lir saalir lirsaalir alirkungLamon ba’na ngedhing lagguDuli jaga mokka’ sapo’

Lir saalir lirsaalir alirkungMolong tarnya’ ekaganganNgeba kaju gan saso’on

Lir saalir lirsaalir alirkungAgabbasan katedunganBantal gulung pas esoson

Lir saalir lirsaalir alirkungLambajung baddhai kesseE attassa etopoe

Lir saalir lirsaalir alirkungMon terro romana berseTanto bai esapoe

Lir saalir lirsaalir alirkungMon ka teggal ngeba laddingSe ta’ parlo pas epoger

Lir saalir lirsaalir alirkungSamarena pas ka jeddhingTerros mandhi ma’le segger

Pengertian bebas bait 1 dan 2

Lir saalir lirsaalir alirkung (sebagai pembatas sampiran dan isi, juga sebagai pembuka)

berteriak kuat-kuat mencari biar tak penat kalau tak mampu jangan dipaksakan mengadakan perhelatan

30

Page 31: Buku Gai' Bintang

agar tak susah di hari kemudian ke gunung mengambil tawon (lebah) botol pecah adanyapikiran bingung tak karuan bagiku apakah obatnya

Nyanyian (lagu) Lir-saalir yang bernada riang dan sedikit menggelitik ini

senantiasa di awali dengan syair Lir saalir lirsaalir alirkung, dan juga ketika

pergantian baris kedua dan di akhir nyanyian.. Biasanya anak-anak membentuk

kelompok dan menyanyikan secara bergantian. Ketika sampai pada kalimat, “Lir

saalir lirsaalir alirkung” maka secara spontan tangan mereka akan bertepuk tangan

dengan riuh serta menyerukan kata kung dengan nada yang panjang.. Bait Lir saalir

lirsaalir alirkung merupakan pembatas sampiran dan isi dan juga sekaligus dijadikan

pembuka ketika memulai nyanyian.

Makna yang Terkandung

Bait-bait yang disampaikan dalam nyanyian Lir saalir lirsaalir alirkung

sangatlah sederhana, namun dari kesederhanaan tersebut mengandung nilai-nilai

kearifan yang sangat tinggi, khususnya syair ini memberikan nasehat kepada

seseorang tanpa melukai perasaan yang dinasehati.

Syair ini mengingatkan kepada semua orang agar berbuat sesuai dengan

kemampuan, ini berkaitan dengan interaksi sosial di masyarakat. Biasanya individu-

individu dalam masyarakat ingin lebih dibandingkan dengan orang lain. Sebagai

makhluk sosial interaksi instens senantiasa dilakukan, baik dalam bentuk organisasi,

perkumpulan, maupun pengajian. Syair ini memberi wejangan kepada siapapun

untuk tidak memaksakan diri meniru cara orang lain yang lebih mempunyai peluang

di bidang finansial atau materi. Terutama ketika sedang mempunyai hajatan atau

perhelatan, sebagaimana yang termaktub dalam kalimat, “Reng ta’ kowat ja’ akarja,

ma’ ta’ sossa budhi are”. (kalau tak mampu jangan dipaksakan mengadakan

perhelatan / agar tak susah di hari kemudian).

31

Page 32: Buku Gai' Bintang

Dengan kata lain, jangan sok gengsi. Gengsi, kata tersebut merupakan pemicu

untuk berbuat memaksakan diri walaupun tidak mampu. Gengsi pula yang

menyebabkan seseorang nekat berhutang kian kemari hanya untuk memuaskan nafsu

ingin dipuji, karena meskipun secara materi tidak mampu tetapi dengan cara apapun

bisa melaksanakan hajatan sangat meriah dan mendapat pujian. Syair ini

mengingatkan agar berbuat sesuai dengan kemampuan, tidak memaksakan diri untuk

hanya sekedar menaikkan gengsi. Karena dengan pemaksaan diri yang berlebihan,

maka akan mendapatkan kesusahan di kemudian hari. Syair ini memberikan

gambaran yang sangat jelas dan utuh, “//Lir saalir lirsaalir alirkung / Ka gunong

ngala nyarowan / Kope bella kabadha’an / Lir saalir lirsaalir alirkung / Peker

bengong ta’ karowan / Nape bula katamba’a //. (//ke gunung mengambil tawon

(lebah) / botol pecah adanya / pikiran bingung tak karuan / bagiku apakah obatnya//)

JAN-ANJIN

Jan anjin lang kocipla’ lan koceblungNgala’ aéng badai bagungKapandiya jaga tedhungTa’ cipla’ ciblung

Terjemahan bebas :

Ayun-ayun kocipla’ lang kociblung

32

Page 33: Buku Gai' Bintang

mengambil air didalam tempayan untuk mandi bangun tidur kocipla’ kociblung

Biasanya nyanyian ini didendangkan oleh ibu-ibu muda untuk anak balitanya.

Sambil duduk di kursi yang agak tinggi sang ibu mendendangkan lagu, kaki sang ibu

dijulurkan sampai mencapai tanah. Kemudian anak diletakkan diantara pergelangan

kaki. Tangan anak dipegang oleh ibu kuat-kuat. Setelah itu kaki sang ibu diayun-

ayunkan keatas dan ke bawah sambil mendendangkan lagu tersebut. Tentu sang anak

tertawa senang dengan ayunan kaki sang ibu.

Nyanyian ini menggambarkan kegembiraan yang meluap saat mengambil air.

Kondisi geografis Madura yang menyebabkan kondisi alam yang kurang

menguntungkan. Dengan curah hujan yang sangat kecil menyebabkan lahan-lahan di

wilayah Madura tandus. Maka tidaklah mengherankan ketika mengambil air di

sungai, di sumber mata air maupun di sendang, luapan kegembiraan itu muncul

dalam bentuk nyanyian. Keciplak, keciblung adalah irama yang dihasilkan apabila

tangan dipukulkan ke arah air.

Di samping air merupakan sumber kehidupan yang utama, ternyata air juga

mempunyai irama. Dan ini sudah dibuktikan oleh ilwuwan Jepang dengan

penelitiannya yang intensif pada air. Air bukan hanya melepaskan dahaga semata

atau menghasilkan irama saja, melainkan juga sumber tenaga dan muara dari hidup

sehat. Oleh karenanya, menjaga kesehatan menjadi sangat penting yaitu dengan

melakukan ritual mandi’.

GAI’ BINTANG

Gai’ bintang ya le’ gaggar bulanpagai’na janor konéngkaka’ elang ya le’ sajan jaupajauna e lon-alonliya lites, kembang ates, tocca’ toccer

Terjemahan bebas :

33

Page 34: Buku Gai' Bintang

Menjolok bintang yang jatuh rembulan alatnya janur kuning abang pergi kian jauh jauhnya ke alun-alun (liya lites, kembang ates, tocca’ toccer)

Menjolok bintang, adalah sesuatu yang sangat mustahil, siapapun tidak akan

bisa melakukan pekerjaan tersebut. Apalagi alat yang dipakai menjolok hanya janur

kuning, apabila ditegakkan maka janur tersebut akan melengkung. Nyanyian tersebut

merupahan sindiran yang sangat halus dan disampaikan kepada siapapun yang

berangan-angan terlalu tinggi. Peribahasa Madura juga mengatakan, “mlappae manok

ngabang – (membumbui burung terbang)”. Tentu saja ada kesamaan tujuan dari bait

pertama puisi gai’ bintang dengan peribahasa Madura, mlappae manok ngabang,

yaitu memberikan sebuah persepsi bahwa terkadang sesuatu yang diperoleh tidak

sesuai dengan harapan, bahwa semua yang diinginkan oleh manusia tidak akan

menjadi kenyataan. Semuanya tergantung kepada pemberian-Nya. Hal itu terdapat

pada syair, gai bintang, ya le’ gaggar bulan (menjolok bintang, yang jatuh

rembulan).

Kandungan isi yang dapat di petik pada syair ini adalah nilai relegiuitas.

Dalam benak manusia, bintang merupakan benda langit yang paling jauh dari

permukaan bumi dan sinarnya mampu memberikan penerangan di malam gelap

gulita. Bintang juga menjadi penunjuk arah, terutama untuk para nelayan ketika

mengarugi lautan yang luas. Bahkan bintang menjadi penunjuk untuk para petani

ketika akan memulai bercocok tanan. Menjolok bintang, merupakan sebuah impian,

namun yang terjatuh justru rembulan. Mengapa rembulan ? Karena rembulan

merupakan benda paling dekat dengan bumi, dan apabila rembulan secara penuh

menampakkan wajahnya, maka untuk meraihnya cukup dengan menjangkaukan

tangan.

Kaka’ elang ya le’ sajan jau’ (abang pergi kian jauh), bait ketiga ini

memberikan semacam legitimasi pada bait pertama dan kedua. Dan kemudian

ditutup dengan kalimat, pajauna e lon-alon, (jauhnya ke alun-alun). Syair ini

34

Page 35: Buku Gai' Bintang

memberikan semacam sinyal kepada manusia tentang sebuah nilai, yaitu

memberikan sebuah persepsi bahwa terkadang sesuatu yang diperoleh tidak sesuai

dengan harapan, bahwa semua yang diinginkan oleh manusia tidak akan menjadi

kenyataan. Semuanya tergantung kepada pemberian-Nya

ES LILIN CABBI

Es lilin campor cabbi, ayo, biBittas ngonyer, ayo nyerNyerra otang, ayo tangTanggal ennem, ayo nemNembung pete’, ayo te’Tekos juling, ayo lingLingker olar, ayo larLar barongso, ayo soSoma raja, ayo jaJa maraja !

Permainan ini biasanya dimainkan secara berkelompok, paling sedikit diikuti oleh 4 orang anak, biasanya berpasangan, semakin banyak anak bergabung maka semakin ramai dan seru. Pada sore ataupun pada saat senggang ketika anak sudah terbebas dari rutinitas kegiatan wajib, misalnya belajar atau mengaji biasanya mereka berkumpul. Nyanyian dan permainan Es Lilin Cabbi ini berirama mars, cukup dinamis, dan mampu mengundang suasana hati yang cukup menyenangkan dan menggembirakan. Bukan hanya lagunya yang dinamis, tetapi juga gerakan-gerakan dalam permainan ini mengasah. motorik anak.

Lagu dan permainan ini dilakukan secara bersamaan, sambil bernyanyi mereka membentuk lingkaran dan berputar dalam posisi tangan saling berpegangan dan berhadapan. Setelah bait terakhir berakhir maka anak-anak yang bermain secara

35

Page 36: Buku Gai' Bintang

bersamaan membalikkan badan tanpa melepaskan genggaman tangan. Setelah itu mereka mencari pasangan untuk saling mengaitkan salah satu kaki. Setelah itu mereka saling bertahan agar kaki mereka yang tertaut tidak lepas. Terkadang untuk menambah permainan semakin seru, pasangan-pasangan yang kakinya saling bertaut melompat bersamaan. Kalau tautan kaki sepasang anak-anak tersebut lepas, ini menandakan pasangan tersebut kalah.

Biasanya permainan dimainkan berkali-kali, sampai semua pasangan merasakan kalah. Gelak tawa keceriaan dan aroma kegembiraan senantiasa mengiringi permainan ini. Nyanyian dan permainan ini bukan hanya mampu mendidik anak-anak bersosialisasi dengan teman sebaya, tetapi juga sebagai arena olahraga untuk menyehatkan badan. Karena seluruh aktivitas permainan ini penuh gerakan-gerakan yang menuntut anak bersikap aktif dan dinamis.

TUN LAETUN

Tun laetun, laetun tellorra kopek,ala itun mundong, pak guplak sidin balik koko komel

Nyanyian Tun Laitun biasanya dinyanyikan oleh anak-anak, baik perempuan

atau laki-laki. Biasanya dinyanyikan dan dimainkan untuk menghibur anak balita

ketika anak tersebut ngambek dan menangis tidak ada hentinya. Ketika sang Balita

tersebut menangis dan tidak bisa di hibur dan didiamkan, maka sang ibu akan

memanggil anak-anak untuk berkumpul dan menyanyikan lagu Tun Laitun. Lagu

yang cukup sederhana ini biasanya dapat menghibur sang Balita dan

menghentikannya dari tangisan yang berkepanjangan.

Setelah beberapa anak berkumpul, lalu mereka duduk bersimpuh di lantai

dengan posisi melingkar. Kedua telapak tangan anak-anak tersebut dikembangkan

dan saling bersentuhan antara kedua telapak tangan. Biasanya sebelum permainan ini

dimulai, mereka melakukan suit, yang menang suit akan mengawali permainan.

Bersamaan mereka bernyanyi dipimpin oleh yang pertama memenangkan suit, tangan

kanan pemenang suit secara bergantian dan berkeliling menunjuk rentangan telapak

tangan anak-anak yang lainnya. Sedangkan tangan kiri tetap dalam posisi

36

Page 37: Buku Gai' Bintang

mengembang. Ketika lagu tersebut selesai dan tangan yang mempimpin jatuh ke

telapak tangan anak yang lain, maka anak tersebut yang akan melanjutkan memimpin

permainan. Begitu seterusnya sampai tangis si Balita terhenti.

Pada saat anak-anak melantumkan lagu dan bermain itulah, si Balita didekatkan ke arena permainan. Melihat permainan tersebut biasanya hati si Balita terketuk, mula-mula hanya memperhatikan saja. Tetapi lama kelamaan tangis si Balita aka mereda. Apalagi sambil bermain anak-anak menggoda dan menghibur. Terkadang si Balita ikut tertarik untuk bermain dan turun dari gendongan sang ibu. Maka kacaulah suasana disertai gelak tawa, apalagi si Balita meangkat dan duduk di atas rentangan telapak tangan yang dikembangkan. Apabiila si Balita menangis lagi, maka permainan dan nyanyian itu akan diteruskan lagi sampai tangis si kecil benar-benar reda.

JAM-JAM TO’

Jam-jam to’ dhi’dhi’ gulaPasera se akentho’ majadhi’ kaula

Jam-jam to’ parenang pareyaPasera se akentho’Neng-ngalenleng se moleyaAtena koro’ pate’,buttong

Lagu ini biasanya dinyanyikan oleh anak-anak ketika terjadi sesuatu hal

ketika berkumpul bersama. Pada saat ngumpul tiba-tiba ada yang membuang gas dan

aromanya yang tak sedap tersebut tercium oleh yang lain. Biasanya tidak ada satu pun

yang mengaku kalau membuang gas. Nah, pada saat itulah untuk menebak siapa yang

melontarkam bom busuk tersebut anak-anak melantumkan lagu Jam-jam To.

Biasanya mereka membentuk lingkaran dan melakukan suit untuk

menentukan yang pertama kali mempimpin nyanyian. Setelah suit dan ada yag

menang maka anak itu memimpin bernyanyi sambil menunjukkan tangan pada anak

yang lain. Ketika nyanyian berhenti dan menunjuk dan berhenti pada satu anak maka

dipastikan anak tersebut yang kentut. Tentu saja anak tersebut menolak mentah-

mentah dan di tebak sebagai biangnya. Kalau sudah seperti itu biasanya nyanyian

dilanjutkan lagi, dan kalau sang anak tertebak sebagai oknum yang membuang gas

37

Page 38: Buku Gai' Bintang

tetap menolak maka nyanyian dilanjutkan terus. biasanya nyanyian akan terhenti

dengan sendirinya disertai dengan gelak tawa, karena tak ada satu pun yang mengaku

buang gas.

BEBERAPA CONTOH SYAIR KIDUNG ANAK MADURA

DADDALIYAN

Daddali li’ daddalkung

bi’ Sali li’ juwal mennya’

mennya’ nape le’ mennya’ lantung

lantung nape li’, lantung tunggi

gil nape li’, gil-gilbut

but nape li’ but bujel

jel nape li’, jal gaddhang

dhang nape li’, dhang bigi

gi nape li’ gigibang

bang nape li’, bangbangkong

Daddali li’ daddalkung

nase’ obi li’ gangan lurkung

andhi’ ana’ li’ neng settung

e pokola li’ tako’ potong

38

Page 39: Buku Gai' Bintang

bu’ salwi li’ dagang mennya’

mennya’ nape li’, mennya’ lantung

porop nape li’, porop jagung

jagung nape li’, jagung kupung

daddali kacung, daddali

pandhanna rampa’ romben

abali kacung abali

parabâna nyandhak odheng

liya lites, kembang ates, tocca’ toccer

DIN-DINDI’

Di’ dindi’ liya’ liyo’ pocedda koddhu’, na’ kana’ alakeya ta’ gellem nodhdu’,

noddu’a malem sennen, dika pagar penang, bula pagar bato, dika ana’na

demmang, bula ana’na rato; dika ngampar lantay, bula ngampar teker ; dika

se akamanto, bula se malekker.

Di’ dindi’ durin, gettana nak onagan, calelet sido nyamplung, bu siro

kembang opo, kembang batu, … mantona ratu, ratu tinggal moleya, moleya

ketinggalan ennot, te’ ente’ sere sa candhi’ , menang opo menang cile, nang

nong le’, man cella’ matana pate’

Di’ dindi’ tana pao, reng bara’ pagunongan, rampa’ kaju kaling, badha natta

badhuk celeng, bang balimbing, balimbing buwana emas, emmassa enten

enten, pangokorra mesem mesem, pa’ ombel, se mella’ se meddem

Di’ dindi’ gettana pao, reng dhaja gunong, nong papa an, senga’ jebbing.

Susuna jambu uring, enten embu’, nyambu’ neng sakoni’

39

Page 40: Buku Gai' Bintang

Di’ dindi carumping, papan cangkring, ta’ lut piluddan,ghaludhak mata tikus,

lulungnga pulosari, ta’ tengnget-tengnget, tuwa-tuwana man Durahmat,

kothak kathek undor settong

Di’ dindi kapas, kapassa lema’ lema’, temanto sapa nyamana manto,

mantogi, sapa nyamana togi, togiller, sapa nyamana giller, larbais, sapa

nyamana bais, baisto, sapa nyamana isto, es topa’ balang kette’ ketteng

AENG LEMA’

Aeng lema’, Ali

aeng lema’, juko’ tase’ sembilangan

maen kanna’ Ali,maen kanna’

kanna’ sengko’ sake’ kabirangan

ajjota patang edder

LAR-OLAR KOLARJANG

Lar kolarjang

kolarjang ngekke’a bunto’

ekasambel ekajuko’

kalemmar matana juko’

jantu !

KO’ TONGKO’AN CALELET

40

Page 41: Buku Gai' Bintang

Ko’ tongko’an calelet

janggar baddhung dha’ lao’na

ja’ ngo’ngo’an bu’ ellet

nase jagung dha juko’na

KE’ RANGKE’ KAKONENGAN

Ke’ rangke’ kakkonengan

nemmo sello’ elang pole

sare ajam pote

katopa’ toju’ nengkong abali pole, ngantol

pak rampak kakkonengan

nemmo sello’ elang pole

ka topa’ toju’nengkong

abali pole manjang

KO SOKO BIBIR

ko soko bibir

jurat jurit

komenneran

sakomel saksal

sakomel seksel

41

Page 42: Buku Gai' Bintang

re’ kere’ mekol pangonong

garuggak nyodue tajin

jin sasodhu, nas palotan

palotan campore oto’

oto’ bigina palotan

PO’-KOPO’ AME-AME

Po’ kopo’ ame-ame

tallam menta’ kopo’

sabelluna ana’ patme

samalem dhudhu’ mokka susu

susuna lemma’ manis

jenten ereng plappa mora

cangkele’ cangkelongan

thok pathok kaju kalompang

sang ale’ aro’oman

tot patot daddi komantan

LA ILLA HAILLALLA

La illa hailalla

bantal sadat pajung Alla

sapo’ iman sandhing nabbi

kangan kacer

42

Page 43: Buku Gai' Bintang

MON-TEMMON BUKO

Mon temon buko

bungkona lonta’ lonteng

ambet tatta’, ambet tetteng

mon ta’ soka ja’ nyaletheng

kalellan nyono’ kai’iya

LELLE NAREYO

lelle nareyo

sang soroy me’ papotong

sang gendhi’ me’ pabiru

bang janggal le’ beyek

bang malegel le’ jaggur

mon bangal le’ ngangsek

mon tako’ le’ mongkor

BA BABA BULAN

Ba baba bulan, bulanna sapa

bulanna Watik

ageleppar. Agelebber

noro’ ompossa penang

buru dha’ emma ana’

buru kagerrungnganna

43

Page 44: Buku Gai' Bintang

DIPADHI CEMPLO LO’LING

Diphadi cemplo lo’ling

entara kana’ supang yang sayang

embu’ ambang atutup pindhang

alalap kacang nyang petis

tis kontolir bui’ ayu

dhadha’aran kundhang kalimansur jaran

garegjeggan jaran

garenneggan

no’ lenno’ nyodhu tajin

Dipadhi cemplo lelo

entara kana’ subat hai sayang

embu’ ambang atutup sindhang

alalap kacang yang pettes

lir kontolir bu’ ayu

garegjeggan jaran

garenneggan tamoy

no’ lenno’ nyodhu tajin

Dipadhi cemplo lelo

entara kana’ subat hai sayang

embu’ ambang atutup sindhang

alalap kacang yang pettes

lis-kantulis bu’ ayu

44

Page 45: Buku Gai' Bintang

garegjeggan jaran

garenneggan tamoy

no’ lenno’ nyodhu gahwe

CING KINCING KERE’

Cing kincing kere’

ka bara’ bun bun

ka temor ka Paseyan

kabala’a ka Kalebun

apella ataeyan

ta’ biyar nampes, mata bular kecek

Cing kincing kere’ kere’

kaju lamapang paju maleng

malengnga rek-seregan

ka bara’ punpun

ka temor Pasuruan

se kemma kettheng

gutto’ sapolo ebang

ta’ biyer nampes

mata bular kecek

45

Page 46: Buku Gai' Bintang

BING ANA’

Bing ana’

Ta’ endha’ nyempang lorongnga

Bing ana’

Mon lorong tombuwi kolat

Bing ana’

Ta’ endha’ ngala’ toronna

Bing ana’

Mon toronna reng ta’ pelak

Sapa rowa andhi’ tarnya’

Bing ana’

mano’ poter le’ le’ pote

bing ana’

sapa rowa andhi’ ana’

bing ana’

sela penter becce’ ate

bing ana ‘

sapa rowa andhi’ tarnya’

bing ana’

plappa kencorla-kellana

bing ana’

sapa rowa andhi’ ana’

46

Page 47: Buku Gai' Bintang

bing ana’

andhap asor pon cacana

bing ana’

rampa’ naong bringen korong

bing ana’

bantal lama’ ka poncana

bing ana’

soka’ along saleng tolong

bing ana’

bakal bannya’ cakancana

CA’LONCA’AN

Ca’lonca’an caleletSempal macan dha’ dhajanaJe’ ca’’ ngoca’’an caleletJuko’ acan dha’ bujana

Ca’ lonca’an caleletNgala’ bagung ce’ rajanaJa’ ngo’ngo’an caleletNase’ jagung dha’ juko’na

BARA’ RO

Sapa bara’ ro

47

Page 48: Buku Gai' Bintang

Mano’ poter ca’lonca’anTa’ enga’ lamba’ roSela soker pa’sapa’an

Sapa bara’ roMano’ keddi’ ca’lonca’anTa’enga’ lamba’roMon ta’ andhi’ ta’ pentaan

TI’ TITI’

Ti’ titti’ kalompangManggis tua besarPir sampir agung-agungAndhi’na nyonyaEkekke’ bagongTa’ sake’ nyonyaEngja’ – enja’ Gung

TAK’ GOYANG TUL-TUL

Ta’ goyang tul-tulNgala’ kaca ka GiriganTa’ goyang tul-tulEsassa’a sampe’ pteTa’ goyang tul-tul

Madda kanca paleggiranMaelang sossana ateMaelang sossana ate

MONYENA JAM

Neng-neng monyena jam ejjam – jamkalambi koneng – neng

48

Page 49: Buku Gai' Bintang

ollena ngenjam

neng – neng monyena gentha’ – tha’kalambi koneng – neng ollena menta’

BU, LAE LABU

Bu, lae labuGangan tarnya’

Bu, lae labuJuko’ langgung

Mon bangal kanna’Bu’ lae labu’ mon tako’ ondhur

RE-RE RE KOLEK

Thong – lathong rerere pasingKapal YulianaBa’ amba’na SamonaMowa nape, manMowa pettes

Pettes nape, Man !Pettes Nyowates

Adhu Paman, alajaraAngen tol-tol salaka konengBo’ abu’ a la moleyaTla’ ana’na la molekungBo’a bo’ a la moleyaHa’ a ha’a la malekung

49

Page 50: Buku Gai' Bintang

ADIK NANGES

Bu’, bu’ adik (anda) nangesArapa, ekekke’ lenyengLenyengga buru ka perrengPerrengnga kabagay cetthengBis maong, pancal koceng

Bu’, bu adik (anda) nangis Arapa, ekelle’ jaranJaranna, jaran teggeranEdhimm, e rong assemDuli senta’ , ma’ le lekkas messem

DAFTAR PUSTAKA

1. Artikel Menelusuri Tradisi Tan-Pangantanan, “Unsur Relegius, Ritual dan Kritik Sosial dalam Syairnya”. Syaf Anton WR. Majalah Kalimas 02.1993. Surabaya

2. Makalah, “Sastra Madura yang Hilang Belum Berganti”. D. Zawawi Imron.

3. Revolusi IQ/EQ/SQ, dr. Pasiak Taufik, Mizan Pustaka.

4. 15 Ledakan EQ, J. Stein Steven, PhD dan E, Book Howard, M.D, Mizan Pustaka.

5. ESQ, “Berdasarkan 6 rukun Iman dan 5 Rukun Islam”, Ary Ginanjar Sebastian, Arga Jakarta

6. Basa Madura, “Kaangguy Na’ Kana’ SMTP”. Badrul Rasjid. Pamekasan. 1982

7. Bulletin Konkonan 25. Tim NABARA Kandep Dikbud Sumenep. 1992

50

Page 51: Buku Gai' Bintang

8. Arach Djamali. Apresiasi Sastra, bab Tembang, Konkonan Edisi 53, 54, 55. Sumenep, 1989

9. Tim Nabara, Mekkar Sare, kelas 1, 2, 3, Kaangguy Sekolah Dasar. Sick. Surabaya.

10. Tim Nabara, Sekkar Tanjung, Pangajaran Basa Madura Kaangguy SD-MI. ECM. 2005

11. D. Zawazi Imron. Makalah, Warisan Sastra Lisan Madura, Sebuah Perkenalan.

12. Drs. H. Moh. Imron (wawancara)

13. S. Heriyanto, S. Pd. (wawancara)

14. Edy Susanto (wawancara)

*****

51