bangsa moro filipina

34
Rektor UMS Buka Dialog Bangsamoro Sabtu, 06 April 2013 08:23:58 Forum dialog bertajuk Multistake Holders Dialogue on Bangsamoro untuk persatuan dan perdamaian Bangsamoro yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta selama 2 hari pada Jumat dan Sabtu 5-6 April, dibuka oleh Rektor UMS Prof Bambang Setiaji, dengan sambutan kunci oleh Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin. Forum dialog ini antara lain dihadiri oleh delegasi panel negosiasi Pemerintah Filipina, Front Pembebasan Islam Moro (MILF), Kementrian Luar Negeri RI, LIPI, Henry Dunant Centre Swiss, Duta Besar RI untuk Filipina, perwakilan kedutaan besar Jepang, Arab Saudi, Turki, Pemda Nangroe Aceh Darussalam, representatif Uni Eropa, dan dosen, peneliti, serta mahasiswa berbagai universitas se-Jawa. Bambang Setiaji menyampaikan bahwa forum dialog ini merupakan satu titik penting dari serangkaian dialog panjang untuk mencari solusi Bangsamoro, yang karena latar belakang agama, sejarah, dan budayanya berbeda dengan bangsa Filipina, ingin mengatur kedaulatannya sendiri. Bangsamoro yang mayoritas penduduknya Muslim, dianeksasi oleh Amerika Serikat pada 1946 untuk menjadi bagian dari negara Filipina yang dimerdekakan dari penjajahan Spanyol. Setelah mengalami penderitaan panjang bagi rakyat Bangsamoro yang mendapat perlakuan diskriminatif pemerintahan Filipina, pergolakan konflik kekerasan intra-negara yang memakan banyak korban jiwa dan harta benda, dan menjalani proses panjang perundingan damai, Bangsamoro telah memperoleh status otonomi khusus pada 15 Oktober 2012 dari pemerintah Filipina. Indonesia pun memiliki pengalaman memberikan otonomi khusus, antara lain kepada provinsi Aceh. Aceh dapat dijadikan salah satu contoh untukm penerapan khusus soal syariah, dimana Bambang Setiaji mengharapkan penerapan syariah dalam bentuk modern untuk mengentaskan fakir miskin. Bambang Setiaji, yang diperkuat oleh Din Syamsuddin dalam sambutan kuncinya, menegaskan bahwa Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Asia Tenggara, mampu memberikan dukungan advisory dan bantuan kemanusiaan bagi Bangsamoro dalam bidang pendidikan,

Upload: kevin-setyo-albiantoro

Post on 16-Jan-2016

48 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Mendeskripsikan mengenai bangsa moroo yang berada di Filipina

TRANSCRIPT

Page 1: Bangsa Moro Filipina

Rektor UMS Buka Dialog Bangsamoro

Sabtu, 06 April 2013 08:23:58

Forum dialog bertajuk Multistake Holders Dialogue on Bangsamoro untuk persatuan dan perdamaian Bangsamoro yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta selama 2 hari pada Jumat dan Sabtu 5-6 April, dibuka oleh Rektor UMS Prof Bambang Setiaji, dengan sambutan kunci oleh Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin. Forum dialog ini antara lain dihadiri oleh delegasi panel negosiasi Pemerintah Filipina, Front Pembebasan Islam Moro (MILF), Kementrian Luar Negeri RI, LIPI, Henry Dunant Centre Swiss, Duta Besar RI untuk Filipina, perwakilan kedutaan besar Jepang, Arab Saudi, Turki, Pemda Nangroe Aceh Darussalam, representatif Uni Eropa, dan dosen, peneliti, serta mahasiswa berbagai universitas se-Jawa.

Bambang Setiaji menyampaikan bahwa forum dialog ini merupakan satu titik penting dari serangkaian dialog panjang untuk mencari solusi Bangsamoro, yang karena latar belakang agama, sejarah, dan budayanya berbeda dengan bangsa Filipina, ingin mengatur kedaulatannya sendiri. Bangsamoro yang mayoritas penduduknya Muslim, dianeksasi oleh Amerika Serikat pada 1946 untuk menjadi bagian dari negara Filipina yang dimerdekakan dari penjajahan Spanyol. Setelah mengalami penderitaan panjang bagi rakyat Bangsamoro yang mendapat perlakuan diskriminatif pemerintahan Filipina, pergolakan konflik kekerasan intra-negara yang memakan banyak korban jiwa dan harta benda, dan menjalani proses panjang perundingan damai, Bangsamoro telah memperoleh status otonomi khusus pada 15 Oktober 2012 dari pemerintah Filipina. Indonesia pun memiliki pengalaman memberikan otonomi khusus, antara lain kepada provinsi Aceh. Aceh dapat dijadikan salah satu contoh untukm penerapan khusus soal syariah, dimana Bambang Setiaji mengharapkan penerapan syariah dalam bentuk modern untuk mengentaskan fakir miskin. Bambang Setiaji, yang diperkuat oleh Din Syamsuddin dalam sambutan kuncinya, menegaskan bahwa Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Asia Tenggara, mampu memberikan dukungan advisory dan bantuan kemanusiaan bagi Bangsamoro dalam bidang pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan pelayanan kesehatan, mengingat Muhammadiyah memiliki kekuatan dalam kegiga bidang amal-usaha ini.

Din Syamsuddin juga menggarisbawahi peran Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang peduli pada binadamai, didorong oleh nilai-nilai Islam yang mengadvokasi keadilan dan perdamaian. Islam yang damai, modern, toleran, berkedilan, penebar rahmat bagi seluruh alam, adalah Islam yang dibawakan Muhammadiyah. Din memvisikan, jika Timur Tengah dikenal sebagai tempat kelahiran agama Islam, maka Indonesia diharap menjadi tempat kelahiran Islam yang damai dan rahmatan lil alamin. Ditambahkan oleh Din, peran Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN, strategis untuk ikut membantu memelihara stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara khususnya dan di wilayah global pada umumnya. Muhammadiyah merupakan satu-satunya organisasi kemasyarakatan Indonesia yang menjadi anggota (International Contact Group (ICG), bersama dengan The Henry Dunant Center, The Asian Foundation, Conciliation Resources (Inggris) dan Foreign Missions of the government of Jepang, Inggris, Turki dan Arab Saudi, mendapat kepercayaan untuk mendampingi Bangsamoro

Page 2: Bangsa Moro Filipina

bertransisi menuju Pemerintahan Mandiri yang berformat Ministerial, namun masih dalam kerangka negara Filipina, terutama dalam penyusunan perundangan dasar untuk menjamin peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Bangsamoro.

Sesi kedua menampilkan dua narasumber, yaitu Dr. Herry Sudrajat, Pusat Studi Asia Pasifik, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Dr. M. Rifqi Muna, peneliti dari Pusat Studi Politik, LIPI. Kedua narasumber menempatkan persoalan konflik dan perjuangan Bangsamoro tidak hanya dalam konteks konflik internal negara Filipina, tetapi dalam konteks hubungan regional negara-negara Asia Tenggara.

Menurut Dr. Herry Sudrajat, konflik di Filipina Selatan sebenarnya bermula dari perjuangan Bangsamoro untuk membentuk negara sendiri yang terpisah dari negara Filipina. Dalam menanggapi konflik-konflik yang terjadi di wilayah Asia Tenggara, organisasi persatuan bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menggunakan pendekatan damai dalam menanggapi konflik-konflik yang terjadi di kalangan negara-negara anggota. Strategi yang digunakan oleh ASEAN didasarkan atas lima prinsip. Kelima prinsip tersebut adalah (1) menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah, dan identitas nasional dari masing-masing negara anggota; (2) berbagi komitmen dan tanggung jawab kolektif dalam meningkatkan perdamaian, keamanan, dan kemakmuran bersama; (3) menghindari kekerasan dan ancaman atau tindakan lain yang tidak sesuai dengan hukum internasional; (4) mengandalkan penyelesaian perselisihan secara damain; dan (5) tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara anggota.

Dr. Herry Sudrajat merasa optimistik bahwa pada akhir tahun 2015, negara-negara ASEAN akan berhasil membentuk Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) yang meliputi Masyarakat Politik dan Keamanan ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN.

Namun demikian, Dr. M Rifqi Muna tidak terlalu optimistik dengan pembentukan masyarakat ASEAN di akhir tahun 2015 karena negara-negara ASEAN sangat beranekaragam, baik budaya maupun perilaku politiknya. Selain itu, di antara masyarakat ASEAN belum adanya identitas bersama sebagai masyarakat ASEAN dan belum ada strategi yang tepat untuk mengatasi konflik secara damai dan demokratis, baik antarnegara maupun internal masing-masing negara.

http://www.ums.ac.id/news/63/dialog-internasional-bangsamoro

Page 3: Bangsa Moro Filipina

Gerakan Separatisme Moro di Filipina

by fensyputri

1. Latar Belakang Munculnya Gerakan Separatisme Moro

Dalam sejarahnya Bangsa Moro adalah suatu etnik yang berbeda dan terpisah dari Bangsa Filipino yang sekarang merupakan mayoritas penduduk Filipina. Fakta ini diperkuat oleh Dr. Alunan C. Glang, mantan duta besar Filipina untuk Kuwait dalam buku “A Nation Under Endless Tyranny” mengutip sejarawan Perancis D’ Avitay bahwa sekitar awal abad ke-16 Mindanao bukanlah bagian dari Filipina.

Sebelum kedatangan Spanyol di Filipina pada awal abad ke-15, Bangsa Moro sudah mencapai tingkat peradaban yang cukup tinggi. Mereka tergabung dalam kerajaan-kerajaan yang yang dipimpin oleh sultan-sultan Sulu dan Manguindanao dan Buayan yang tergabung dalam suatu konfederasi yang disebut sebagai “Pat-a-pangampong-ku-Ranao” yaitu negara-negara muslim yang merdeka dan berdaulat. Dalam kerajaan-kerajaan Islam tersebut, system hukum diatur dan ditegakkan berdasarkan syariah Islam. Selain itu, kesusastraan, perdagangan, dan tingkat peradaban berkembang sangat pesat sebagaimana kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Pada tahun 1521 Bangsa Spanyol tiba di Filipina dengan semboyan 3G(Gold, Glory, Gospel). Ternyata kedatangan bangsa Spanyol ini berimplikasi terhadap kehidupan politik dan sosial bangsa Filipina khususnya di Pulau Luzon. Tujuan kaum kolonialis adalah mendirikan koloni dan memasukkan penduduk Filipina ke dalam agam Kristen untuk menghalangi penyebaran Islam ke utara dari Kalimantan. Hal itu dibuktikan dengan dipaksanya Rajah Sulaiman of Luzon yang mempertahankan Kota Manila dan pengikut-pengikutnya untuk memeluk agama Katolik. Dengan politik kekerasan dan persuasi bangsa Spanyol berhasil memperluas kedaulatannya di seluruh Filipina kecuali di tiga daerah yaitu kesultanan Sulu, Manguindanao, dan Buayan.

Masyarakat di tiga derah tersebut telah memiliki suatu kesatuan politik yang lebih baik dari daerah-daerah lain. Menurut TJS. George (1980) masyarakat Mindanao berbeda dalam merespon kolonialisme Spanyol. Salah satu alasannya adalah karena Islam yang berkembang di Mindanao telah memberikan masyarakat suatu system sosial dan politik yang lebih maju dari daerah-daerah di Filipina Utara. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Page 4: Bangsa Moro Filipina

Bangsa Moro sebagaimana diwakili oleh MILF menyatakan bahwa Bangsa Spanyol selama 377 tahun tidak pernah berhasil menundukkan Bangsa Moro menjadi daerah kolonial. Bangsa Kolonialis menggunakan segala cara untuk menundukkan Bangsa Moro. TJS. George (1980) mengatakan bahwa salah satu cara yang digunakan untuk menaklukan bangsa Spanyol adalah dengan cara mengirimkan misionaris Katolik ke wilayah-wilayah Bangsa Moro dengan harapan bahwa proses kristenisasi akan membantu penaklukan secara politik. Tapi kemudian, kaum misionaris mendesak tentara Spanyol agar melakukan penaklukan secara militer. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Pada tanggal 10 Desember 1898 melalui perjanjian Treaty of Paris, Spanyol menjual seluruh kepulauan Filipina kepada Amerika dan menyebutkan bahwa Kepulauan Mindanao merupakan termasuk daerah kolonial dan dijual dengan harga 20 juta dolar Mexico. Bangsa Moro menganggap bahwa inkorporasi wilayah Bangsa Moro dari Spanyol ke Filipina merupakan “immoral and illegal annexation” karena Spanyol tidak pernah memiliki hak untuk menyerahkan wilayah ini ke Amerika Serikat. Kepulauan yang dijual oleh Spanyol merupakan daerah dengan mayoritas masyarakat muslim dimana Spanyol tidak pernah berdaulat atas derah ini. Selain itu, masyarakat Bangsa Moro juga tidak pernah diminta pendapatnya atau tidak pernah diajak konsultasi sebelum wilayahnya diserahkan kepada Amerika Serikat. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Hal inilah yang menjadi ujung tombak munculnya gerakan separatis oleh Bangsa Moro. Bangsa Moro tidak terima atas perlakuan Spanyol yang secara tiba-tiba menjual wilayah mereka padahal sebelumnya mreka tidak pernah merasa ditaklukan dan tunduk kepada Spanyol.

2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Berkembangnya Gerakan Separatisme Moro

Faktor-faktor yang menjadi latar belakang gerakan separatis dapat dilihat dari berbagai perspektif atau kerangka analisis yang bervariasi sesuai dengan fakta-fakta sosial yang terjadi. Perspektif itu antara lain perspektif sejarah, budaya, politik dan ekonomi. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Perspektif sejarah akan melihat gambaran awal atau sebab utama timbulnya gerakan separatis karena hampir semua gerakan perlawanan Bangsa Moro mengatakan bahwa inkorporasi Bangsa Moro ke Filipina adalah sesuatu yang “immoral and illegal annexation”. Analisis sejarah juga diperlukan untuk melihat dampak dari kolonialisme terhadap gerakan perlwanan Bangsa Moro. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Page 5: Bangsa Moro Filipina

Perspektif sosial budaya akan melihat bahwa timbulnya perlawanan Bangsa Moro disebabkan karena adanya perbedaan ideologi antara Islam dengan nilai-nilai sekularisme barat serta konflik horizontal antara Moro dengan Filipino yang memang disengaja oleh Pemerintah Filipina. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Perspektif politik diperlukan untuk melihat kebijakan-kebijakan politik terhadap Bangsa Moro baik kebijakan akomodasi politik seperti pemberian otonomi maupun kebijakan represi militer berpengaruh terhadap meningkatnya ekskalasi perlawanan Bangsa Moro terhadap pemerintah pusat dan etnik Filipino. Selain itu juga akan dilihat apakah ada kebijakan “ethnic cleansing” dari pemerintah Filipina dan etnik Filipino terhadap komunitas muslim Bangsa Moro dan bagaimana hal tersebut ikut memacu semakin berkembangnya gerakan separatis. faktor ekonomi menjadi penting mengingat gerakan separatisme pada umumnya diawali dengan adanya ketidakadilan dalam pembagian alokasi sumber daya alam. (buku pak musa)

Berikut ini merupakan faktor-faktor berkembangnya gerakan separatisme Bangsa Moro:

1. Politik Integrasi Kolonial

Salah satu faktor paling kuat dan merupakan latar belakang munculnya gerakan separatis adalah politik integrasi yang dilakukan oleh Spanyol. Sebelum kedatangan Spanyol Bangsa Moro memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri. Ketika Spanyol datang, kaum Bangsa Moro diminta untuk bergabung dengan wilayah Filipina dan diminta untuk masuk agama Kristen. Namun, Bangsa Moro tidak pernah mau ikut terhadap ajakan Spanyol dan tetap kukuh mempertahankan wilayahnya.

Kemarahan Bangsa Moro semakin menjadi ketika seluruh daerah yang dihuni oleh Bangsa Moro dijual oleh Spanyol kepada Amerika. Bangsa Moro menuntut kepada pemerintah kolonial untuk membebaskan tanah mereka. Namun protes tersebut tidak dihiraukan oleh Spanyol karena wilayah tersebut telah dijual ke Amerika Serikat. Untuk meredam protes dari Bangsa Moro pemerintah Amerika lebih menekankan pada politic of attraction untuk memperoleh simpati dari masyarakat. Bagi mereka yang menyerah diberikan amnesti dan bagi mereka yang melawan diberikan hukuman. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Pemerintah kolonial Amerika Serikat pertama kali juga menjalankan program pasifikasi melalui pendekatan militer untuk mengintegrasikan seluruh wilayah Mindanao. Hal ini menjadi salah satu

Page 6: Bangsa Moro Filipina

periode perang yang berdarah-darah sampai dengan tahun 1914. Pemerintah kolonial mulai menempuh langkah-langkah akomodasi terhadap kelompok-kelompok perlawanan yang ada. Hal ini seringkali dilakukan terhadap masyarakat umum dengan menggunakan kebijakan yang disebut candy and chocolate diplomacy. Tentara-tentara Amerika memberikan permen dan coklat kepada anak-anak. Cara tersebut banyak mendapatkan simpati baik dari masyarakat maupun pemimpin Moro. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

2. Represi terhadap Identitas Sosial Budaya

Represi terhadap identitas social dan budaya Bangsa Moro telah dilakukan sejak masa pemerintahan kolonial Spanyol. Pemerintah kolonial berhasil dalam meyakinkan Bangsa Filipino yang umumnya sebagian besar beragama Kristen untuk memiliki pandangan-pandangan chauvinistik tehadap Bangsa Moro maupun suku-suku asli yang lain (G. M. Alim, 1995). Sebagian contohnya “The moro-moro play” yang merupakan bagian dari integral dari banyak festival budaya dan agama diyakinkan kepada masyarakat yang sudah ditaklukan agar mereka menganggap bahwa sesuatu yang “wicked and treacherous” identik dengan muslim dan sebaliknya sesuatu yang baik dan bagus dilakukan oleh orang Kristen. Bangsa Moro dianggap sebagai juramentados, herejas, feroces yang dihukum di neraka. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Berkaitan dengan perbedaan budaya antara bangsa Moro dan Filipino yang diduga sebagai penyebab konflik antara kedua etnik ini, Prof. Thomas Mc. Kenna dalam bukunya “Muslim Rules and Rebels: Everyday Politics and Armed Separatism in the Southern Philipines” mengatakan bahwa perbedaan budaya tidak secara langsung menciptakan konflik. Masyarakat dan Pemerintah Filipina seringkali cenderung melihat muslim sebagai orang yang terbelakang dan tidak dapat dipercaya karena perlawanan mereka terhadap Bangsa Spanyol. Sementara kalangan muslim cenderung khawatir dengan tujuan dari pemerintah dan bangsa Filipino yang mayoritas Kristen. Perbedaan prasangka inilah yang tidak terselesaikan dan pada akhirnya berkobar menjadi peperangan.

Perbedaan prasangka tersebut bertambah semakin pelik ketika elit-elit politik Filipina tidak memahami masalah ini. Ketika pemerintah persemakmuran Filipina didirikan pada tahun 1935, pemimpin-pemimpin baru di Manila menganggap bahwa semua golongan yang hidup dan berkembang di masyarakat akan bersatu padu dan bekerja sama di belakang kepemimpinan nasional. Para pemimpin tersebut mengesampingkan konflik dan perbedaan yang ada di masyarakat terutama konflik antara etnik-etnik yang beragama Islam dan Kristen. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Page 7: Bangsa Moro Filipina

Contohnya adalah ketika Manuel Quezon, presiden pertama persemakmuran mengatakan bahwa tidak ada tempat bagi sultan-sultan/datu-datu dan bahwa undang-undang nasional akan diterapkan bagi semua golongan masyarakat baik Kristen dan Islam, umat Islam memberikan reaksi yang sangat keras. Masyarakat Islam telah memiliki komunitas dengan tata politik, hukum, dan sosial budaya tersendiri berdasarkan syariah. Sikap Manuel Quezon tersebut mendatangkan kebencian dari kalangan pemimpin maupun komunitas-komunitas Islam.

Kalangan Islam sangat membenci sistem pendidikan progresif ala barat yang diajarkan oleh Bangsa Spanyol dan Amerika. Sistem tersebut sebenarnya lebih ditujukan untuk menciptakan suatu kerakyatan nasional yang akan dibentuk kemudian. Buku-buku sejarah dituliskan bahwa orang-orang Islam yang memerangi bangsa Spanyol dan Amerika adalah perampok-perampok dan pedagang-pedagang budak. Selain itu, binatang-binatang yang dibenci oleh umat Islam dijadikan ilustrasi dalam buku-buku teks di sekolah-sekolah dan dijadikan karakter dalam buku-buku cerita anak-anak. Hal ini berakibat orang-orang Islam tidak mau menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah ala Barat. Menurut wawancara dengan Maharlika Alonto, mahasiswi UP (The University of the Philipines) dari Maranao, represi terhadap identitas nasional budaya juga dilakukan secara fisik dengan menyerang umat Islam pada saat menjalankan ibadah agamanya sperti yang terjadi pada serangan terhadap Camp Abu Bakar pada hari raya Idul Adha Februari 2003. Selain itu, terdapat diskriminasi terhadap orang-orang Moro dalam mencari pekerjaan baik negeri maupun swasta sehingga memiliki identitas sebagai orang Moro adalah sesuatu yang tidak menguntungkan. Selain itu, kebutuhan dasar masyarkat Moro tidak diurusi oleh pemerintah sehingga menimbulkan tuntutan pembangunan sosial ekonomi masyarakat minoritas sebagaimana yang telah dilakukan terhadap mayoritas Filipino. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Dewasa ini, hampir tidak terdapat perubahan cara pandang etnik Filipino terhadap Bangsa Moro menjadi cara pandang yang lebih baik. Sebagai contohnya mereka memandang orang-orang Islam yang terdiri dari orang-orang Bangsa Moro sebagai orang yang malas, tinggal di daerah-daerah kumuh, menggunakan kekerasan, dan lekat dengan kriminalitas.

3. Pembagian Sumberdaya di Mindanao

Sesudah Amerika berhasil melakukan control terhadap seluruh wilayah Mindanao, mereka mendeklarasikan bahwa daerah tersebut adalah tanah publik atau milik umum termasuk wilayah-wilayah yang didiami oleh Bangsa Moro sejak zaman nenek moyang. Pemerintah kolonial segera mengeluarkan beberapa kebijakan seperti penguasaan tanah, forced migration, dan membangun pendidikan ala model barat. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Page 8: Bangsa Moro Filipina

Sebelum pemerintahan persemakmuran, tanah yang diperuntukkan bagi setiap orang bangsa Moro adalah 16 Ha tetapi sesudah persemakmuran melalui Undang-Undang No. 141 menjadi 4 Ha. Hal ini berlawanan dengan prinsip-prinsip multikulturalisme karena masyarakat pendatang diberikan kesempatan untuk memiliki tanah yang lebih luas, sementara masyarakat pribumi tidak diberikan kesempatan tersebut. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Sesudah pemerintahan persemakmuran dibentuk, kebijakan migrasi ditingkatkan secara besar-besaran. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi perselisihan mengenai tanah di provinsi-provinsi pusat di Pulau Luzon dan juga ditujukan untuk mengurangi kepadatan penduduk di daerah-daerah padat. Selain itu, kebijakan ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan memutuskan ambisi kolonial Jepang. Pemerintah persemakmuran kemudian mengirimkan ribuan orang Kristen untuk tinggal di daerah-daerah yang minim penduduk dan diwajibkan untuk menghormati hak-hak orang Islam. Selain itu, pemerintah persemakmuran juga mempermudah dalam urusan kepemilikan tanah. Hal inilah yang menjadi bibit pertentangan etnik yang berkembang di kemudian hari.

Kebijakan ini berimplikasi pada perubahan status Bangsa Moro dari etnik mayoritas di Mindanao menjadi etnik minoritas. Pada tahun 1950-an, lebih dari 500.000 orang Kristen telah menetap di Cotabato dan menjadikan komposisi muslim menjadi 30%. Pada tahun 1918 di Lanao terdapat 24 keluarga Kristen, kemudian tahun 1941 berkembang menjadi 8000 orang dan pada tahun 1960-an berkembang menjadi 93.000 orang. (buku pak musa)

Selama 50 tahun kebijakan migrasi telah merubah komposisi penduduk di Kepulauan Mindanao secara radikal. Komposisi masyarakat Kristen pada tahun 1918 sebanyak 22% dari total penduduk menjadi 75% pada tahun 1970 dan 65% pada tahun 1980. Dewasa ini dari 13 provinsi yang dibentuk oleh Pemerintah Filipina di Kepulauan Mindanao, Sulu, dan Palawan, masyarakat muslim atau bangsa Moro hanya menjadi mayoritas di lima provinsi termiskin termasuk Sulu, Tawi-Tawi, Basilan, Cotabato, dan Lanao del Sur. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Perubahan komposisi penduduk berimplikasi pada terciptanya ketidakmerataan distribusi kepemilikan tanah. Ketimpangan dalam kepemilikan tanah berwal dari perbedaan konsep penguasaan tanah antara sistem modern yang diterapkan pemerintah dan tradisional yang dipahami oleh Muslim dan Lumads. Kepemilikan tanah dalam konsep tradisional menekankan kepada kepemilikan kolektif sehingga penggunaan tanah menjadi basis bagi hak-hak individu untuk memanfaatkan sumberdaya dan menjadi matapencaharian. Hukum modern yang lebih menekankan pada kepemillikan individual lebih banyak menguntungkan orang-orang pendatang yang sebagian besar adalah orang-orang Kristen. Orang-orang

Page 9: Bangsa Moro Filipina

muslim banyak yang buta huruf sehingga mereka tidak bisa mengajukan kepemilikan tanah kepada pemerintah seperti orang-orang Kristen. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Seperti pada periode kolonial dan paska kolonial, dewasa ini Pemerintah Filipina melaksanakan program perumahan dan pembukaan daerah pertanian yang didirikan di tanah Bangsa Moro atas nama pembangunan. Usaha-usaha pembangunan ini seringkali melanggar hak-hak ulayat dari masyarakat asli. Penggusuran terhadap masyarakat Bangsa Moro seringkali dilakukan untuk kepentingan pembangunan. Contohnya, dua puluh keluarga miskin Bangsa Moro diusir dari General Santos untuk meratakan jalan bagi pembangunan konstruksi Departemen Perikanan Filipina. Komunitas-komunitas Bangsa Moro digusur untuk membangun hotel-hotel bagi wisatawan. Makam-makam muslim digusur untuk membangun terminal bus dan lapangan udara. Pada kenyataannya Bangsa Moro miskin dan terbelakang di kampung halamannya sendiri. (buku pak musa)

Sebagian masyarakat Bangsa Moro tidak bisa turut berpatrisipasi dan berinvestasi dalam proses pembangunan. Sebagian masyarakat Bangsa Moro hanya menjadi buruh dari proyek-proyek pembangunan tersebut. Industrialisasi dan pembangunan yang dilakukan di tanah Bangsa Moro inilah yang menjadi akar permasalahan bagi tuntutan untuk penentuan nasib sendiri.

Dewasa ini, keadaan masyarakat Bangsa Moro tengah berjuang untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka baik secara ekonomi maupun social budaya. Kehidupan perekonomian Bangsa Moro bertambah sulit. Merekalah yang menjadi kelompok mayoritas termiskin di Mindanao. Sebagian besar mereka bekerja sebagai petani miskin dan nelayan tradisonal. Sebagaimana petani miskin di Asia lainnya, petani Bangsa Moro memiliki produktivitas yang rendah, dan penguasaan teknologi yang minim. Selain itu, mereka berada dibawah tekanan kapitalisasi industry modern. Pemerintah Filipina tidak pernah serius dalam memperhatikan kesejahteraan mereka. Subsidi pertanian tidak pernah diberikan kepada masyrakat Bangsa Moro. Nasib dari nelayan-nelayan tradisional pun sama saja seperti petaninya. Mereka tidak bisa sering-sering pergi berlayar karena kalah saing dengan nelayan-nelayan dari Taiwan dan Jepang yang menggunakan kapal-kapal besar dan berteknologi tinggi. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Kebijakan migrasi seperti telah diterangkan di muka telah membawa dampak pada penguasaan sumberdaya yang tidak seimbang antara kaum pendatang yang didukung pemerintah kolonial dengan penduduk asli. Peningkatan jumlah orang Kristen, pembangunan ekonomi yang maju pada daerah-daerah pemukiman Kristen lama kelamaan menimbulkan kebencian dan dugaan akan adanya pembubaran komunitas Muslim. Hal inilah yang menjadi titik tolak proses marginalisasi Bangsa Moro dan eksploitasi sumber-sumber ekonomi di Mindanao yang diduga masih berlangsung hingga sekarang.

Page 10: Bangsa Moro Filipina

4. Ethnic Cleansing terhadap Bangsa Moro

Ethnic cleansing pada dasarnya adalah praktik-praktik penghilangan (elimination), pegurangan (minimalization), dan peminggiran (marginalization) terhadap individu yang berbeda secara warna kulit, suku bangsa, kebudayaan, bahasa, atau agama dan menolak eksistensi bangsa tersebut. Ethnic cleansing dapat berupa pembersihan individu-individu secara fisik ataupun secara structural melalui sistem politik, social, dan ekonomi. Bentuk yang kedua ini seringkali disebut sebagai kekrasan structural yaitu kekerasan yang dilakukan terhadap seseorang ataupun kelompok masyarakat melalui penciptaan sturktural sosial yang menindas. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Tindakan kekerasan fisik terhadap Bangsa Moro pertama kali terjadi di Upi berkaitan dengan persiapan pemilu yang akan diselenggarakan pada bulan November 1971. Manuel Tronto, mantan perwira polisi ingin menjadi walikota Upi dan meminta temannya untuk mengusir orang-orang Islam dari Upi untuk menjamin kemenangannya. Penyerangan ini dikoordinir oleh organisasi Kristen yang dikenal sebagai ILAGA. Kalangan muslim mulai merespon serangan tersebut dengan membentuk milisi-milisi yang sejenis di Cotabato yang terkenal dengan sebutan “blackskirt” dan “barracuda”.

Pada awal tahun 1970-an kalangan muslim telah menghadapi kebijakan “genocidal” yang diduga diprakarsai oleh Pemerintah Filipina. Permusuhan dan pembantaian terhadap Bangsa Moro dilakukan oleh ILAGA yang didukung oleh militer, kalangan penegak hukum serta dilegalkan di bawah payung Civilian Home Defence Force (CHDF) of the Department of National Deffense. ILAGA seringkali dilaporkan tidak pernah dituntut secara hukum (impunity) atas kejahatan yang dilakukan baik di tingkat local maupun nasional. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Adapun praktik-praktik ethnic cleansing yang terjadi pada awal munculnya gerakan separatis antara lain adalah sebagai berikut. Pada awal tahun 1970-an, peperangan dan konflik antara Islam dan Kristen berkembang hampir di seluruh Mindanao. Cotabato merupakan provinsi yang paling berbahaya di Filipina. Pembantaian terhadap masyarakat muslim terus berlangsung dari kota ke kota. Pada bulan Juni 1971, pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat muslim secara terang-terangan dan terbuka oleh komunitas Kristen pertama kali terjadi di Manili, Carmen, Cotabato utara.

Seluruh penduduk Carmen pada waktu itu adalah muslim. Pembantaian berawal dari undangan beberapa tokoh Kristen pada tanggal 9 Juni 1971 untuk membahas masalah perdamaian. Masyarakat

Page 11: Bangsa Moro Filipina

Muslim disarankan untuk berkumpul di Masjid. Orang-orang Muslim bersedia datang dengan harapan melalui dialog tersebut dapat menghentikan ketegangan diantara kaum Islam dan Kristen. Namun yang terjadi selanjutnya bukanlah dialog yang seperti diharapkan melainkan penembakan yang dilakukan oleh milisi-milisi ILAGA. Cesar Majul (1989) mengatakan bahwa dalam insiden tersebut 70 orang muslim baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak tewas terkena tembakan milisi-milisi ILAGA. (buku pak musa)

Manila Times menyebutkan bahwa pada insiden tersebut mengakibatkan 70 orang terbunuh dan 17 luka-luka. Dari 70 orang yang meninggal, setidaknya 29 perempuan dan 17 anak-anak. Sebuah surat kabar memberitakan bahwa diantara korban yang tewas ada seorang bayi yang berusia 3 bulan dan pada waktu itu masih menyusu pada ibunya. Selain melakukan pembantaian, milisi-milisi tersebut juga membakar sekolah-sekolah, menghancurkan rumah-rumah, dan membakar seluruh daerah tersebut. (buku pak musa)

Pembantaian masyarakat muslim di Manili menimbulkan tanda tanya besar karena daerah tersebut berada di bawah perlindungan kepolisian. Mengapa pada saat pembantaian kepolisian tidak segera bertindak menyelamatkan mereka. Kepolisian datang ketika ILAGA sudah ditarik mundur. Hal ini menimbulkan prasangka yang semakin kuat bahwa kepolisian dan ILAGA saling bekerja sama untuk mengusir dan membubarkan orang-orang Islam terutama Bangsa Moro di seluruh Mindanao. Bukti lain adalah ketika terjadi pertempuran antara lascar Muslim dengan lascar Kristen, seringkali kepolisian menyerang pihak muslim. Kalangan politisi Islam sudah membujuk pemerintah untuk membongkar persekongkolan ini. Namun demikian hal ini sangat sulit dilakukan karena pihak dibalik penyerangan ini adalah politisi-politisi Kristen yang merupakan anggota dari partai politik yang berkuasa. Selanjutnya sebagian dari kelompok-kelompok bersenjata muslim mempersatukan diri dalam Moro Independent Movement (MIM) untuk melindungi teritori mereka dari serangan kaum pendatang.

Sebanyak 70.000 orang pengungsi melarikan diri dari Carmen menuju kota-kota di Cotabato. Pola-pola genocida telah menyebar ke seluruh Cotabato. Sekitar 800 orang terbunuh dan 2000 rumah terbakar di 3 kota sepanjang 6 bulan. Insiden Manili mendorong protes yang sangat keras dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat muslim Filipina. Tiga puluh tokoh muslim Filipina di media massa menyatakan bahwa mereka mengkhawatirkan keberadaan komunitas muslim Filipina. Kota Carmen kemudian ditinggalkan oleh orang-orang Muslim dan digantikan oleh komunitas Kristen. Dewasa ini Carmen telah berkembnag menjadi kota berpenduduk mayoritas Kristen.

(riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Page 12: Bangsa Moro Filipina

3. Bentuk-Bentuk Perlawanan Bangsa Moro terhadap Pemerintah Filipina

Illegal dan immoral annexation, represi terhadap identitas budaya, ketidakadilan dalam pembangunan ekonomi, forced migration, dan ethnic cleansing terhadap Bangsa Moro mendorong gerakan-gerakan perlawanan terhadap pemerintah dan masyarakat pendatang yang pada umumnya Kristen-Filipino. Hal ini sejalan dengan Ted Robert Gurr (1998) yang mengatakan bahwa perlakuan yang tidak adil dari etnik mayoritas, kompetisi dengan kelompok-kelompok lain untuk mendapatkan akses kekuasaan dalam negara baru, pola-pola kebijakan negara mentransformasikan kekuatan komunal menjadi gerakan proses dan pemberontakan etnik minoritas. (riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

Menurut wawancara dengan Zulkifli Wadi, pengajar dari Islamic Institute Studies of University of the Philipines (UP), bahwa gejolak-gejolak atau protes terhadap integrasi Filipina terhadap Bangsa Moro sudah terjadi sejak Filipina diberi kemerdekaan. Namun, demikian protes dan gejolak tersebut bersifat sporadic, local, dan tidak terorganisir. Sehingga sedikit memberikan pengaruh terhadap Bangsa Moro.

Sejak tahun 1956 terdapat 50 kali pemberontakan Bangsa Moro terhadap Pemerintah Filipina yang berusaha mengenakan pajak tanah. Namun, perlawanan ini masih bersifat individual karena tidak adanya ikatan dan identitas kebangsaan yang mengikat seluruh etnik-etnik Bangsa Moro.

(buku pak musa)

Konflik antara Bangsa Moro dengan etnik Filipino yang pertama kali muncul adalah konflik horizontal antara Bangsa Moro dengan etnik Filipino yang dipicu karena keterpinggiran Bangsa Moro dari daerah yang ditempatinya secara turun temurun beserta sumberdaya yang dimilikinya. Peperangan bersenjata antara dua etnik seringkali muncul di Mindanao seperti pada awal tahun 1950-an Datu Haji Kamlan memimpin sebuah revolusi di Sulu selama beberapa tahun.

Berikut ini adalah ini adalah organisasi-organisasi yang dibentuk oleh Bangsa Moro untuk melawan Pemerintah Filipina dan etnik Filipino:

1. MIM (Moro Independent Movement)

Page 13: Bangsa Moro Filipina

Organisasi ini didirikan oleh Utdog Matalam di Cotabato pada tahun 1968. MIM didirikan selang dua hari setelah terjadinya incident Corregidor. Insident Corregidor adalah peristiwa dimana 28 pemuda Moro dari 300 pemuda yang direkrut sedang menjalani pelatihan perang gerilya dieksekusi oleh para petugas pelatih mereka yang merupakan personel Angkatan Bersenjata Filipina. Organisasi ini bertujuan untuk mendirikan republik Islam yang mencakup Mindanao, Sulu, dan Palawan. Disamping itu MIM dimaksudkan untuk merespon pendudukan atau penyerangan orang-orang Kristen terhadap Bangsa Moro. (buku pak musa)

2. The Moro National Liberation Front (MNLF)

Latar belakang munculnya MNLF adalah berawal dari harapan akan kebebasan dari teror, penindasan, dan kediktatoran yag dilakukan Pemerintah Filipina. Integrasi terhadap Bangsa Moro merupakan salah satu bentuk kolonialisasi Filipina yang menimbulkan penderitaan dan kekejaman yang luar biasa, serta merampas tanah dan mengancam Islam. Islam terancam karena berkembangnya proses perusakan terhadap tempat-tempat ibadah dan kitab suci umat Islam serta pembunuhan terhadap laki-laki, perempuan, dan orang tua yang tidak berdosa dari kalangan Bangsa Moro.

MNLF didirikan pada tahun 1969. Organisasi ini menggambarkan perwakilan dari etnik-etnik Moro di Kepulauan Mindanao termasuk juga Tausug, Samal, dan Yakan yang berbeda secara bahasa. Anggota-anggotanya pertama kali adalah pemuda-pemuda yang direkrut oleh pemimpin muslim tradisional untuk dilatih militer di Malaysia. Salah satu kadernya adalah Nur Misuari, yang menjadi ketua MNLF. Sebagian besar dari kelompok pemuda ini pada umumnya menempuh pendidikan sekuler dan sebagian lagi adalah mahasiswa berhaluan politik sayap kiri.

Dari tahun 1970 hingga 1976 MNLF menjadi satu-satunya organisasi yang memayungi seluruh gerakan perlawanan Bangsa Moro dari kelompok nasionalis sampai Islam dan mendasarkan perjuangannya pada kemerdekaan Bangsa Moro. Pada awalnya, sebagian pemimpin-pemimpin tradisional Bangsa Moro merespon dengan membentuk organisasi-organisasi regional dan meninggalkan MNLF. Namun sepanjang periode ini, MNLF melakukan perang terbuka melawan pasukan-pasukan pemerintah. Peperangan baru berhenti pada tahun 1976 dengan ditandatanganinya Tripoli Agreement dengan mediasi Pemimpin Libya, Muamara Qadafi.

Page 14: Bangsa Moro Filipina

Tujuan pendirian MNLF adalah untuk mencapai kemerdekaan Bangsa Moro. MNLF mendasarkan ideologi gerakannya semata-mata kepada perjuangan kemerdekaan dan cenderung sekuler. Dalam perkembangan politik menjelang tahun 1996, organisasi ini telah menyetujui pemberian otonom dalam kerangka konstitusi negara Filipina. Organisasi ini kelihatan tidak memiliki pendukung dan mereka yang mendukungnya terserap dalam dewan-dewan dan pemerintahan daerah ARMM sehingga MNLF identik dengan ARMM.

Pada perkembangannya organisasi ini terpecah-pecah menjadi beberapa organisasi seperti MILF (Moro Islamic Liberation Front), BMLO (Bangsa Moro Liberation Organization), MNLF Reformasi, dan Abu Sayyaf. Penyebab perpecahan MNLF dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu factor ideology dan faktor politik.

Dari segi ideologi, menerangkan bahwa fraksi-fraksi Islam dalam MNLF memandang Nur Misuari telah meniggalkan komitmennya bahwa organisasi ini akan mewujudkan cita-cita Islam dalam perjuangannya. Sedangkan dari segi politik berawal dari ditandatanganinya Tripoli Agreement. Bulan Mei sampai Desember 1977 merupakan bulan-bulan yang cukup sulit bagi MNLF karena pada periode ini mulai muncul perpecahan internal. Hal tersebut berawal pada ICFM (The Islamic Conference of Foreign Minister) ke-8 di Tripoli yang mengijinkan Nur Misuari hadir dalam pertemuan tersebut. Para menteri luar negeri tersebut menyatakan kekecewaannya atas hasil negosiasi antara MNLF dengan Pemerintah Filipina.

Dalam perkembangan selanjutnya MNLF sendiri kemudian pecah menjadi MNLF di bawah Nur Misuari dan MNLF Reformasi. MNLF pada masa lalu adalah organisasi yang paling besar dan diakui secara internasional sekarang hanya tinggal nama. Sebagian orangnya terserap ke dalam birokrasi ARMM dan lainnya menggabungkan diri dengan MILF ataupun membentuk fraksi-fraksi kecil seperti Abu Sayyaf.

(riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

3. Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Page 15: Bangsa Moro Filipina

Dewasa ini MILF adalah organisasi perlawanan Bangsa Moro yang paling populer dan mendapatkan perhatian baik dari pemerintah Filipina maupun Amerika Serikat yang mengelompokannya ke dalam organisasi teroris. MILF adalah kelompok perlawanan Bangsa Moro yang mendasarkan perjuangannya kepada ajaran-ajaran Islam. MILF didirikan oleh Hashim Salamat. Hashim sendiri adalah orang kedua dalam MNLF sampai tahun 1979. Pertama kali organisasi ini dikenal dengan nama new-MNLF dan baru pada tahun 1982 berubah menjadi MILF. Organisasi ini bermarkas di Camp of Abu Bakar Assh Shidique, sekitar Cotabato dan didukung sampai ke pelosok-pelosok pedesaan di Mindanao.

Perjuangan MILF dimaksudkan untuk memperoleh kembali kemerdekaan yang telah dirampas secara immoral dan illegal, dan memperjuangkan penentuan nasib sendiri rakyat Bangsa Moro melalui perjuangan secara damai. Organisasi ini pada dasarnya menghendaki proses penentuan nasib sendiri bagi bangsa Moro dapat dilakukan melalui cara non-kekerasan seperti yang dialami oleh Maldeva, Brunei, dan Singapura.

Organisasi ini memiliki suatu perspektif yang cukup radikal dalam perjuangannya dibandingkan dengan MNLF yaitu melihat bahwa tidak ada solusi yang dapat bertahan lama dalam penyelesaian konflik Bangsa Moro kecuali memberikan aspirasi kepada penduduk asli Bangsa Moro dan Lumad untuk menentukan nasibnya sendiri. Dengan kata lain gerakan MILF tetap konsisten bahwa tujuan untuk memperoleh kemerdekaan Bangsa Moro ditempatkan sebagai kerangka dasar perjuangan baik secara diplomasi maupun militer.

Tujuan dari terbentuknya MILF adalah sebagai berikut:

Membuat supremasi hukum Alloh

Mendapatkan kebahagiaan Alloh

Memperkuat hubungan antara manusia dengan Tuhannya

Memperkuat hubungan antar manusia

Memperoleh kembali kemerdekaan yang telah dirampas secara illegal dan immoral, dan memperjuangkan hak-hak rakyat Bangsa Moro untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri

Mendirikan pemerintahan dan negara yang merdeka dan melaksanakan syariah Islam

Tujuan umum ini diterjemahkan ke dalam kampanye politik MILF menjadi sebuah tujuan praksis yitu membentuk sebuah negara Islam yang terpisah dari Filipina mencakup daerah-daerah sebagai berikut: Mindanao, Semenanjung, Zamboanga, Davao, Basilan, Sulu, Tawi-tawi, dan Palawan. Sebuah laporan

Page 16: Bangsa Moro Filipina

intelijen Filipina mengatakan bahwa nama negara yang akan dibentuk oleh MILF adalah Mindanao Islamic republic (MIR), sementara pemerintahannya berdasarkan atas syariah Islam. Tujuan tersebut akan diwujudkan dalam dua strategi perjuangan yaitu dakwah dan jihad.

Menurut keterangan seorang mahasiswa UP dari Manguindanao (AA), organisasi ini memiliki anggota dan kekuatan militer yang hampir merata di seluruh Kepulauan Mindanao, yaitu 5 divisi di Mindanao dan 1 divisi di Kepulauan Sulu. MILF juga memiliki 46 camp mujahidin dan mengorganisir 120.000 prajurit bersenjata dan tidak bersenjata serta ribuan pengikut lainnya. Tentara MILF dikenal sebagai Bangsa Moro Islamic Armed Forces (BIAF) yang terdiri dari 60% pasukan regular. Pemerintah Filipina sendiri memperkirakan organisasi ini memiliki 8000 tentara, sedangkan intelijen barat memperkirakan sekitar 40.000 tentara.

Hal ini menunjukkan bahwa organisasi ini paling banyak memperoleh dukungan dari masyarakat Bangsa Moro dibandingkan dengan MNLF dan Abu Sayyaf. Sebagian dari mereka adalah mantan anggota MNLF yang tidak puas dengan kebijakan organisasi tersebut menerima otonomi dari Pemerintah Filipina.

Sampai sekarang organisasi ini tetap menggunakan aksi-aksi militer untuk mempertahakan diri dari serangan Angkatan Bersenjata Filipina. Sejak tahun 2001 dimana Pemerintah menerapkan “all out war against MILF”, Masyarakat Bangsa Moro membuktikan bahwa mereka mendukung pasukan-pasukan MILF. Sebagai indikasinya, selama tiga bulan peperangan konvensional dengan pasukan pemerintah di Camp Abu Bakar dengan jumlah korban yang lebih kecil dibandingkan dengan tentara pemerintah. Seratus orang mujahidin MILF diduga tewas dalam peperangan tersebut, sementara korban di pihak pasukan pemerintah sebanyak 1726 orang.

(riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

4. Kelompok Abu Sayyaf

Kelompok perlawanan Abu Sayyaf terkenal dengan nama “Bearer of sound”. Menurut Prof. Mc. Kenna kelompok ini diperkirakan mulai menganut dan berkembang dengan pesat sejak tahun 1995 dan berpusat di Pulau Basilian. Kelompok ini berjumlah kecil, bersifat misterius dan paling radikal. Sementara John Gersham (2001) menduga bahwa kelompok ini telah berdiri pada pertengahan tahun 1980-an dan didirikan oleh Abdurajak Abubakar Janjalani, seorang moslem scholar dan mantan anggota MNLF. Beliau terbunuh dalam kontak senjata dengan polisi Filipina pada bulan Desember 1998.

Page 17: Bangsa Moro Filipina

Prof. Carmencita T. Aguillar dalam wawancaranya memperkuat Prof. Mc. Kenna bahwa Abu Sayyaf beridiri sekitar tahun 1996. Beberapa karakteristik yang nampak dari kelompok ini adalah mengubah strategi perlawanan dari melawan Pememrintah Filipina menjadi memerangi orang-orang sipil terutama para pedagang Kristen. Para pimpinan organisasi ini sebagian adalah mantan Pasukan Taliban yang berperang melawan Rusia di Afghanistan pada tahun 1980-an. Sesudah perang Afghanistan berakhir mereka kembali ke Filipina Selatan.

Setelah itu kelompok ini terpecah menajadi fraksi-fraksi yang berbeda. Dewasa ini, kelompok Abu Sayyaf dipimpin oleh Khadafi Janjalani. Pemerintah Filipina menduga kelompok ini memiliki sekitar 2000-5000 anggota. Sedangkan Departemen Pertahanan Amerika Serikat memperkirakan sekitar 200 orang. Militer Filipina menduga kelompok ini mendapat dukungan dari Oshama bin Laden hingga tahun 1995.

Berdirinya kelompok ini dinilai oleh Pemerintah Filipina sebagai munculnya kelompok Islam fundamentalis bahkan Islam teroris yang memiliki jaringan dengan organisasi teroris internasional. Namun demikian penilaian yang berbeda diberikan oleh kalangan muslim. Kelompok Abu Sayyaf ini seringkali diduga kalangan muslim mendapat dukungandan bantuan dari militer Filipina untuk melakukan aksi terorisme guna mendeskreditkan kelompok-kelompok separatis yang lain.

Menurut wawancara dengan seorang mahasiswa Islamic Studies Institute UP dari Manguindanano (AA dan MM), terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa gerakan ini telah disusupi oleh intelijen militer dan didukung sepenuhnya oleh Angkatan Bersenjata Filipina. Kesaksian pertama diberikan oleh Father Nacolda, seorang Pastor dari Zamboanga City. Pastor ini mengatakan pada saat Abu Sayyaf melancarkan aktivitasnya, Tentara Amerika Serikat dan Filipina tidak mengambil tindakan dan malah menarik mundur pasukan dari kawasan konflik. Proses penyusupan intelijen bermula sejak tahun 1998 ketika Angkatan Bersenjata diduga menyusupkan Edwin Angelos, seorang Katolik yang kemudian menjadi Islam dengan menikahi perempuan muslim dari Tausug yang bernama Juliana. Sejak saat itu, organisasi ini berubah menjadi kelompok radikal dengan memfokuskan gerakannya pada ransom dan kriminalitas.

Tujuan dari kelompok ini sama dengan MILF tetapi terdapat perbedaan yang cukup tajam. Abu Sayyaf mengarahkan gerakannya kepada orang-orang Katolik di Filipina Selatan dan melakukan tindakan kekerasan terhadap mereka tanpa toleransi.

Page 18: Bangsa Moro Filipina

Kelompok ini beroperasi di Pulau Basilan, Zamboanga, Sulu, dan Tawi-Tawi. Pemerintah telah mengkampanyekan perang dengan kelompok ini dan juga menyatakan bahwa mereka merupakan Islam fundamentalis, ekstrimis, teroris. Kelompok-kelompok perlawanan muslim Bangsa Moro melihat bahwa kegiatan-kegiatan kriminal, terorisme di Filipina akan tetap berlangsung sebelum permasalahan Bangsa Moro dapat terselesaikan dengan baik. Meskipun demikian bahwa baik MILF maupun MNLF mengutuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf.

Berdasarkan paparan dimuka dapat disarikan karakteristik-karakteristik gerkan separatis Bangsa Moro yaitu MIM, MNLF, MILF maupun Abu Sayyaf seperti dibawah ini:

No. Organisasi

Berdiri

Ideologi

Tujuan

Hasil Sementara

1. MIM 1960-an

(Dr. Matalam)

Islam

Mendirikan Republik Islam Mindanao Sebagian elit-elitnya menerima tawaran untuk duduk di posisi-posisi local *

2. MNLF 1969

(Nur Misuari

Page 19: Bangsa Moro Filipina

Nasionalisme

Mencapai kemerdekaanMenerima otonomi (ARMM) dalam kerangka peace agreement 1969 **

3. MILF 1982

(Hashim Salamat

Islam

Mendirikan negara merdeka dan menjalankan sistem syariah Masih dalam perjuangan bersenjata sambil membahas peace proses dengan pemerintah ***

4. Abu Sayyaf 1996

(A.A. Janjalani)

Islam

Mendirikan negara Islam Mengubah strategi dari menyerang pasukan pemerintah menjadi menyandera warga sipil****

Keterangan:

* = Gerakan ini terdiri dari milisi-milisi yang bertujuan mempertahankan wilayahnya dari serangan kaum pendatang

Page 20: Bangsa Moro Filipina

** = MNLF melakukan gerakan bersenjata antara tahun 1969-1996, kemudian mengakhiri konfrontasinya dengan menerima peace agreement tahun 1996

*** = Pemerintah melakukan peace negotiation dengan MILF pada tahun 1997 dan 1999 tetapi MILF tetap melancarkan all out war sejak tahun 2001. Tahun 2003 mulai dilakukan peace negotiation.

**** = Pemerintah menganggap gerakan ini sebagai kelompok teroris dan melancarkan all out war sejak tahun 2001

Bila ditelusuri lebih jauh maka gerkan-gerakan separatis ini memiliki basis etnik yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi-organisasi perlawanan Bangsa Moro masih ditandai dengan semangat kesukuan dan primordialisme yang cukup tinggi. Sebagian besar kelompok elit MNLF didominasi oleh orang Tausug. Sementara MILF yang diperkirakan pemerintah tersebar merata di seluruh Pulau Mindanao terdiri dari 1,6 juta orang-orang Manguindanao, 1,9 juta Maranao. Sisanya orang-orang Iranun dari Cotabato Utara dan Basilan. Sedangkan Kelompok Abu Sayyaf diduga berasal dari daerah Zamboanga, Sulu, dan Basilan.

Dewasa ini MILF menjadi satu-satunya organisasi gerakan separatis terbesar dan diakui di Mindanao. MILF memiliki angkatan bersenjata yaitu Bangsa Moro Islamic Armed Forces yang tersebar merata di Mindanaodan Sulu. Pemerintah Filipina dan Amerika Serikat menuduh MILF sebagai kelompok teroris yang memiliki keterkaitan dengan Al-Qaidah dan Jamaah Islamiyah. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa MILF hanya bertujuan mendirikan negara Islam di Mindanao semata dan tidak berkaitan dengan JI maupun Al-Qaidah. Selain itu terdapat fenomena perubahan strategi perjuangan dari kekerasan menjadi gerakan budaya melalui majelis taklim yang berkembang di Mindanao dan Pulau Luzon sebagai antitesa dari perjuangan bersenjata.

(riyadi.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/11/moro.pdf)

https://fensyputri.wordpress.com/2013/07/02/gerakan-separatisme-moro-di-filipina/

Page 21: Bangsa Moro Filipina

SEJARAH AWAL PERJUANGAN ISLAM BANGSAMORO DI SELATAN FILIPINA

Kisah tentang penindasan Bangsamoro, boleh kita mulakan dari satu nama yang dianggap satu dari seratus manusia paling berpengaruh, oleh Michael Hart. Namanya Ferdinand Magellan (1480-1521), seorang yang mendapat sematan nama sebagai penjelajah besar yang mengelilingi dunia. Michael Hart mengarungi dunia dengan membawa lima kapal, 265 awak-awak/anak kapal selama hampir tiga tahun. Dalam kurun waktu itu, yang berhasil kembali dengan selamat hanya satu kapal, dan 18 anak buah kapal yang hidup selamat. Ferdinand Magellan sendiri termasuk yang tewas di tengah perjalanan.

Pada tahun 1509, ekspedisi Ferdinand Magellan sampai di wilayah Nusantara. Ternyata tak hanya ekspedisi, Ferdinand Magellan juga membawa misi lain, iaitu kolonialisasi Sepanyol dan misi Kristinisasi. Terjadi pertempuran di wilayah Malaka, karena rakyat menolak kedatangannya. Pada tahun 1521, ekspedisi ini diteruskan dan mereka berjaya menjejakkan kaki di kepulauan Filipina. Proses Kristianisasi dan kolonialisasi langsung terjadi di negara tersebut.

Raja Humabon, bersama rakyat Cebu berjaya dimurtadkan dari agama Islam dan dikristiankan. Bahkan Ferdinand Magellan menggelarkan bahwa rakyat Cebu adalah warga Tuhan Spanyol. Di wilayah Utara proses Kristianisasi terus berlangsung dengan lancarnya. Tapi ketika sampai di wilayah Selatan Kepulauan Filipina, terutama di Mindanao dan Sulu, rakyat yang sebahagian besar telah menjadi Muslim sejak lama memberikan perlawanan yang sengit meski dengan senjata sederhana.

Program Gold, Glory and Gospel terhenti di wilayah selatan Filipina, seperti Mindanao dan pulau-pulau di sekitarnya. Kaum Muslimin melakukan perlawanan dengan gigih dan berani, meskipun Sepanyol menyerang mereka dengan senjata canggih.

Pejuang-pejuang BangsaMoro

Jauh sebelum Ferdinand dan penjajah Sepanyol membawa agama Kristian ke negeri ini, hampir sebagian besar penduduk kepulauan Filipina telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Jejak keislaman mereka, bahkan hingga kini masih ada dan tak mampu dihapuskan oleh penjajah. Nama ibukota Filipina misalnya, Manila diambil dari kata bahasa Arab, Amanullah yang berarti negeri Allah yang aman. Bahkan di wilayah ini pernah berdiri kerajaan Islam yang bernama Kerajaan Tondo.

Page 22: Bangsa Moro Filipina

BangsaMoro adalah pelaut yang hebat

Seperti halnya Indonesia, Filipina adalah sebuah negara yang terdiri dari kepulauan dengan jumlah yang sangat besar. Tak kurang 7107 pulau berada di dalam teritorial Filipina. Islam telah berkembang di wilayah ini sejak abad ke-14. Ertinya, jauh sebelum masa itu Islam telah menjejakkan kakinya dan memberikan sentuhan dakwah pada penduduk setempat. Sampai pada satu titik, seorang raja yang sangat ternama di Manguindanao bersyadahat dan memeluk Islam. Kekuasaan sang raja membesar sampai ke Davao, Tenggara Mindanao dan Islam pun kian menyebar sampai ke Pulau Lanao, Zamboanga dan hampir ke seluruh daerah garis pantai kepulauan Filipina. Tapi ada juga legenda yang menyebutkan, Islam pertama kali dibawa oleh seorang sufi bernama Karim al-Makdum yang berlayar dengan mangkuk besi, boleh berjalan di atas air dan dikhabarkan boleh terbang oleh disebabkan karomahnya.

Sejarah mencatat, ulama-ulama Indonesia berperan besar dalam penyebaran Islam di Filipina. Bahkan disebutkan, seorang pangeran dari Menangkabaw atau Minangkabau bernama Baguinda adalah salah satu pendakwah Islam di wilayah ini, terutama di Sulu, Zamboanga dan Basilan. Kerana itu, tak hairan jika sampai hari ini kita boleh mendapatkan banyak kemiripan antara Indonesia dan Filipina, terutama di wilayah Selatan. Wajah dan postur tubuh, tak jauh berbeza. Bahasa dan kata, banyak yang sama. Contohnya, untuk hidung, mereka menyebutnya hidung. Telinga bergeser sedikit menjadi inga. Kita bahkan menggunakan kata yang sama untuk pintu, kanan, murah, mahal, gunting, balai, aku, kita dan masih banyak kata sama lainnya.

Islam pernah menjelma sebagai kekuatan besar di wilayah Filipina, dan diwakili oleh Kesultanan Sulu. Wilayah kekuasaan Sulu membentang dari Mindanao hingga Sabah di Malaysia. Kesultanan Sulu dipimpin oleh Sharif al-Hasyim Syed Abu Bakar yang menikahi putri Raja Baguinda dan kemudian mendapat gelar Paduka Maulana Mahasari. Sejarah Kesultanan Sulu menerangkan, Sharif al-Hasyim masih memiliki darah keturunan Rasulullah dari Bani Hasyim.

Dari wilayah inilah perlawanan berlangsung dengan sengit ketika penjajah Sepanyol menunjukkan kuku dan taringnya. Tak jauh berbeza dengan yang terjadi di Indonesia, penjajah Spanyol memecah belah persatuan umat Islam dan memberikan stigmatisasi yang buruk. Mereka menyebut orang-orang Islam di Filipina Selatan dengan sebutan Moro yang diambil dari kata Moor yang merujuk kaum Muslimin dalam sejarah Perang Salib.

Suku-suku diadu domba dengan pengaruh dan kekuasaan. Para Datuk yang menjadi penguasa dirasuah dengan pelbagai keuntungan serta hasutan perang suku. Tapi ada satu kekuatan yang ternyata mampu

Page 23: Bangsa Moro Filipina

menyatukan mereka, dan itu adalah Islam. Agama Islam datang ke Filipina bukan dengan alasan penguasaan dan perampasan kekayaan, tapi dibawa dengan damai oleh pedagang dan pendakwah. Berbeza dengan Katholik yang disebarkan sebagai tulang punggung penjajahan Sepanyol.

Tentera Islam BangsaMoro

Nama Filipina pun muncul dengan semangat penjajahan. Seorang awak kapal Sepanyol yang bernama Bernardo de la Torre memberi nama kepulauan ini dengan sebutan Filipinas, sebagai penghormatan kepada putra mahkota Sepanyol kala itu yang kelak bergelar Philip II. Kebencian orang-orang Sepanyol karena pernah ditaklukkan di Andalusia, rupanya terbawa sampai ke wilayah Nusantara. Bahkan ketika Philip II berkuasa, dalam suratnya yang dikirim untuk Conquisatador Legazpi, Raja Philip II mengizinkan penduduk Muslim diperbudak dan dirampas hartanya. Kebijakan ini hampir merata pada seluruh kepemimpinan Sepanyol di Filipina. Mereka menyebarkan kabar bahwa Islam ini adalah agama bid’ah, Islam adalah ajaran setan, kaum Muslimin adalah pembawa wabah penyakit dan lain sebagainya. Pendeta Jesuit Pio Pi menggambarkan kaum Muslimin sebagai bajak laut. Bahkan Pendeta Francisco Ducos pendakwah kristian di Illagan mengetuai pasukan militer dan selama tujuh tahun memerangi penduduk Muslim. Tapi kekuatan bersenjata Sepanyol yang demikian besar dan motivasi agama yang dikobar-kobarkan serta dicanangkan pemimpin Katholik, tak mampu menaklukkan wilayah Selatan.

Pertembungan kaum Muslimin yang diketuai oleh Sultan Sulu mampu mempertahankan wilayah ini selama peperangan yang berlangsung hampir tiga abad. Dalam peperangan yang panjang ini, terjadi solidaritas tinggi antara kaum Muslimin di seluruh wilayah Nusantara yang meliputi Indonesia, Malaysia, dan juga Brunei. Bahkan pada era 1638, Kesultanan Makassar dan Ternate berperan sangat besar dalam memberikan bantuannya kepada kaum Muslimin di Filipina.

Pada tahun 1638, ketika Gabernor Sepanyol, Corcuera menyerbu Sulu, Sultan Sulu yang bernama Raja Bongsu mendapat bantuan kiriman pasukan perajurit-perajurit Makassar yang gagah berani. Raja Bongsu memerintah sejak tahun 1612 dengan gelar Mawallil Wasit, dan sejak awal dia telah mendapat serangan dari Spaniard. Pada tahun 1628 misalnya, 200 perwira Sepanyol dengan 1.600 penduduk setempat yang berhasil dikristiankan menyerang Sulu dengan hebat. Tahun 1629, wilayah Sulu direbut antara Camarines, Samar, Leyte, dan Bohol. Pada tahun 1630, kembali Manila Spaniard menyerang, kali ini Jolo menjadi sasaran. Tapi Raja Bongsu berhasil memukul mundur bahkan melukai Lorenzo de Olaso, komandan pasukan dan mereka menarik mundur serangan. Di masa pemerintahan Raja Bongsu inilah terjadi paling banyak peperangan besar antara penjajah Kristen Spanyol dan Kesultanan Islam Sulu.

Page 24: Bangsa Moro Filipina

Perang Sabil, begitu rakyat Sulu menyebut zaman perang melawan kaum kafir Sepanyol. Hampir sama dengan penyebutan di Aceh, Prang Sabi. Tak jauh berbeza kerana sesungguhnya kita serumpun, satu ikatan, bahkan lebih besar lagi, satu akidah: Islam.

Tapi nampaknya perjuangan belum usai setelah Sepanyol berundur dari tanah Filipina. Sepanyol berhasil dikalahkan Amerika dan Sekutunya. Dalam Perjanjian Paris yang ditandatangani 10 Desember 1898, Sepanyol menyeranhkan Filipina kepada Amerika dengan $ 20 juta dolar. Sebenarnya, kelompok-kelompok perlawanan di Filipina pernah mengesahkan kemerdekaan pada 12 Juni 1898, tapi Amerika menolak dan tidak mengakuinya. Maka sejak 10 Desember 1898, Filipina berganti penjajah baru, Amerika Serikat. Amerika dikecam banyak negara Barat, kerana melanggar Doktrin Monroe yang menentang kolonialisme dan imperalisme. Tapi Amerika tak ambil pusing dengan semua gugatan dunia. Pada tahun 1919, sebuah delegasi pergi ke Amerika menuntut kemerdekaan untuk Filipina. Namun dengan sombongnya Amerika mengirimkan The Wood Forbes Mission pada tahun 1922 yang mengatakan, “Filipina belum mampu merdeka.”

Pada period berikutnya, Amerika mengalami kekalahan di wilayah Pasifik oleh negara Jepun. Pada tahun 2 Januari 1942, Manila jatuh ke tangan Jepun. Seperti yang diketahui, kekuasaan Jepun hanya setahun jagung. Akhirnya Jepun telah berjya dikalhkan dan Amerika masuk kembali ke Filipina. Pada 4 Julai 1946, Amerika melepaskan Filipina sebagai negeri jajahannya. Meskipun demikian, sampai hari ini Amerika masih meletakkan penjajahan secara halus dengan cara membangun fasiliti ketenteraan di Filipina.

Manuel Quezson menjadi presiden pertama Filipina. Hari itu tercatat sebagai hari kemerdekaan Filipina. Tapi tidak dengan kaum Muslimin di wilayah Selatan, mereka masih terjajah hingga hari ini. Ertinya, kaum Muslimin di Mindanao dan wilayah Selatan Filipina mengalami penjajahan dalam proses yang panjang. Pertama mereka dijajah Sepanyol, lalu Amerika Syarikat, setelah itu Jepun dan kembali lagi pada Amerika. Kini Bangsa Moro dijajah oleh pemerintah Filipina sendiri. Mereka dianiaya, dizalimi, dirampas dan ditindas.

Bendera Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Pejuang Islam Moro di kem tentera

Page 25: Bangsa Moro Filipina

Nasib kaum Muslimin di Mindanao tak pernah berubah, masih sama, terus terjajah. Bezanya hanya satu, kalau dulu, saudara Muslim dari Ternate, Makassar, Brunei, dan Malaysia datang membela, kini pembelaan yang dinanti itu belum tiba. Sekarang saatnya membela Muslim Filipina!

Sumber rujukan:

1.Mindanao News

2.Luwaran.com

3.Wikipedia

4.Buku-buku di MPH

p/s – Semoga perjuangan menegakkan syiar Islam oleh para pejuang Islam Moro akan berjaya suatu hari nanti

https://mejakerusi.wordpress.com/2010/08/21/sejarah-awal-perjuangan-islam-bangsamoro-di-selatan-filipina/