bahan koefisien partisi
DESCRIPTION
kimfisTRANSCRIPT
Ahli Farmasi mengetahui bahwa air adalah pelarut yang baik untuk garam, gula
dan senyawa sejenis, sedang minyak mineral dan benzene biasanya merupakan pelarut untuk
zat yang biasanya hanya sedikit larut dalam air. Penemuan empiris ini disimpulkan dalam
pernyataan like dissolve like. Kelarutan bergantung pada pengaruh kimia, listrik, struktur
yang menyebabkan interaksi timbal balik zat pelarut dan zat terlarut
Satu hal penting dari fenomena distribusi adalah sifat senyawa obat itu agar dapat
melalui membran sel yang terdiri dari lipoprotein atau suatu lapisan hidrofil dan hidrofob.
Koefisien partisi merupakan bagian yang sangat penting dalam pembuatan obat. Khusunya
untuk membuat obat dalam. Obat yang kita ciptakan harus tepat sasaran dan dengan
mengetahui koefisien partisi dapat ditetapkan cara obat masuk ke dalam liposom. Obat
supaya mudah larut dalam lipid harus bersifat non polar atau lipofilik. Koefisien partisi tidak
hanya perlu diperhatikan dalam pembuatan obat dalam. Dalam pembuatan obat luar atau
topikal, koefisien partisi juga merupakan hal yang sangat penting dan perlu diperhatikan.
Pada percobaan ini dilakukan penentuan koefisien partisi dengan cara mencampurkan
dua zat yang tidak larut apabila di campurkan yaitu minyak dan air serta penambahan zat
yang akan di uji koefisien partisinya yaitu asam borat dan asam benzoat
Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu senyawa antara dua
fase cair yang tidak saling bercampur, tergantung pada interaksi fisik dan kimia antara pelarut
dan senyawa terlarut dalam dua fase yaitu struktur molekul. (Anonim, 2013)
Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah pengaruh sifat
kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara lain bahwa senyawa yang larut
baik dalam bentuk lamak terkonsentrasi dalam jaringan yang mengandung banyak lemak
sedangkan sebaliknya zat hidrofil hampir tidak diambil oleh jaringan lemak karena itu
ditentukan terutama dalam ekstrasel (Ernest, 1999 ).
Pengaruh distribusi telah disebut pengaruh obat artinya membawa bahan obat
terarah kepada tempat kerja yang diinginkan dari segi terapeutik kita mengharapkan distribusi
dapat diatur artinya konsentrasi obat pada tempat kerja lebih besar dari pada konsentrasi di
tempat lain pada organisme, walaupun demikian kemungkinan untuk mempengaruhi pada
distribusi dalam bentuk hal kecil, pada kemoterapi tumor ganas sebagian dicoba melalui
penyuntikan atau infus sitostatika ke dalam arteri memasok tumor untuk memperoleh kerja
yang terarah (Ernest, 1999).
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobik
dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi dengan makro
molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol/air
dari obat (Martin, 1999)
Koefisien partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam pelarut
sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut lemak, maka
koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi lebih mudah. Tidak boleh
dilupakan bahwa organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila koefisien partisi
sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut merupakan hambatan pada proses
difusi zat aktif (Ansel, 1989)
Suatu pengukuran lipofilisitas obat dari suatu indikasi dari kemampuannya untuk
melewati membran sel adalah koefisien partisi minyak/air dalam sistem-sistem seperti
oktanol/air dan kloroform/air. Koefisien partisi didefinisikan sebagai perbandingan obat yang
tidak terion antar fase organik dan fase air pada kesetimbangan. (Lachman,L.,1986)
Koefisien partisi tergantung pada suhu, bukan merupakan fungsi konsentrasi
absolute zat atau volume kedua fase tersebut (Martin, 1990)
Koefisien partisi dari obat juga tergantung pada polaritas dan ukuran dari
molekul. Obat dengan momen dipol yang tinggi, walaupun tidak terionisasi, mempunyai
kelarutan dalam lemak rendah, dan oleh karena itu sedikit terpenetrasi. Ionisasi bukan saja
mengurangi kelarutan dalam lemak sangat besar tetapi juga menghalangi perlintasan
melewati membran yang bermuatan Umumnya koefisien partisi lemak / air dari suatu
molekul merupakan indeks yang berguna dalam kecenderungan untuk absorpsi oleh difusi
pasif (Gandjar, 2007).
Pelarut secara umum dibedakan atas dua pelarut, yaitu pelarut air dan bukan air.
Salah satu ciri penting dari pelarut tetapan dielektriknya (E), yaitu gaya yang bekerja antara
dua muatan itu dalam ruang hampa dengan gaya yang bekerja pada muatan itu dalam dua
pelarut. Tetapan ini menunjukkan sampai sejauh mana tingkat kemampuan melarutkan
pelarut tersebut. Misalnya air dengan tetapan dielektriknya yang tinggi (E = 78,5) pada suhu
25oC, merupakan pelarut yang baik untuk zat-zat yang bersifat polar, tetapi juga merupakan
pelarut yang kurang baik untuk zat-zat non polar. Sebaliknya, pelarut yang mempunyai
tetapan dielektrik yang rendah merupakan pelarut yang baik untuk zat non polar dan
merupakan pelarut yang kurang baik untuk zat berpolar (Rifai, 1995).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi distribusi zat dalam larutan, yaitu :
1. Temperatur, kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 tiap
kenaikan suhu 10oC.
2. Kekuatan Ion, semakin kecil konsentrasi suatu larutan maka laju distribusi
makin kecil.
3. Konstanta Dielektrik, efek konstanta dielektrik terhadap konstanta laju reaksi
ionik diekstrapolarkan sampai pengenceran tak terbatas, yang pengaruh kekuatan
ionnya 0. Untuk reaktan ion yang kekuatannya bermuatan berlawanan maka laju
distribusi reaktan tersebut adalah positif dan untuk reaktan yang muatannya sama maka
laju distribusinya negatif.
4. Katalisis, katalisis dapat menurunkan laju – laju distribusi (Katalis negatif).
Katalis dapat juga menurunkan energi aktivitas denganss mengubah mekanisme reaksi
sehingga kecepatan bertambah.
5. Katalis Asam Basa Spesifik, laju distribusi dapat dipercepat dengan
penambahan asam atau basa. Jika laju peruraian ini terdapat bagian yang mengandung
konsentrasi ion hidrogen atau hidroksi.
6. Cahaya Energi, cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang
diperlukan untuk terjadi reaksi. Radisi dengan frekuensi yang sesuai dengan energi
yang cukup akan diabsorbsi untuk mengaktifkan molekul – molekul (Cammarata,
1995).
Beberapa pengukuran koefisien partisi dilakukan dengan menggunakan partisi air
dan n-oktanol, karena n-oktanol dalam banyak hal menyerupai membrane biologis dna juga
merupakan model yang baik pada kromatografi fase terbalik. Beberapa obat mengandung
gugus-gugus yang mudah mengalami ionisasi. Oleh Karen itu koefisien partisi obat-obat ini
pada pH tertentu sulit diprediksi terlebih jika melibatkan lebih dari 1 gugus yang mengalami
ionisasi. Meskipun demikian, sering kali, salah satu gugus dalam satu molekul obat lebih
mudah mengalami ionisasi daripada gugus yang lain pada pH tertentu (Gholib, ibnu, 2007)
Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basa lemah. Jika obat tersebut
dilarutkan dalam air sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang terionkan
tergantung pada pH larutannya. Obat-obat yang tidak terionkan lebih mudah larut dalam
lipida, sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya kecil atau bahkan praktis tidak larut.
Dengan demikian pengaruh pH sangat besar terhadap kecepatan absorpsi obat yang bersifat
asam lemah atau basa lemah (Sardjoko, 1987).
2 Pembahasan
Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu senyawa
antara dua fase cair yang tidak saling bercampur, tergantung pada interaksi fisik dan kimia
antara pelarut dan senyawa terlarut dalam dua fase yaitu struktur
molekul. Sedangkan, Koefisien partisi adalah perbandingan konsentrasi kesetimbangan zat
dalam dua pelarut yang berbeda yang tidak bercampur. Faktor yang mempengaruhi koefisien
partisi adalah konsentrasi zat terlarut dalam pelarut 1 dan pelarut 2, dirumuskan :
K =
Dimana K adalah koefisien partisi, C1 adalah kadar zat dalam pelarut 1 dan C2 adalah kadar
zat dalm pelarut 2.
Pada percobaan menentukan koefisien partisi. Pertama-tama timbang asam borat
sebanyak 100 mg, kemudian masukkan kedalam erlenmeyer 250 ml, larutakan dengan
aquadest sebanyak 100 ml, kemudian ambil 25 ml dari larutan tersebut, masukkan larutan
tersebut ke dalam corong pisah, dan tambahkan 25 ml minyak kelapa. Setelah itu, dikocok
selama 5 menit campuran di dalam corong pisah, diamkan selama 10-15 menit hingga kedua
cairan memisah satu sama lain. Selanjutnya buka tutup corong pisah, pisahkan air dari
minyak dengan menampung air dalam erlenmeyer, tambahkan indikator fenolftalein
sebanyak 3 tetes ke dalam erlenmeyer, titrasi larutan dengan larutan baku NaOH 0,1 N
sampai terjadi perubahan warna dari bening menjadi merah muda, kemudian diambil 25 ml
larutan asam borat yang telah dicukupkan dengan aquadest, kemudian ulangi prosedur kerja
menggunakan asam benzoate, lalu dihitung koefisien partisinya, dengan menggunakan rumus
:
=
Alasan penggunaan air dan minyak kelapa dalam percobaan dengan menggunakan
partisi, karena, kedua pelarut ini tak dapat larut satu sama lain tetapi sampel asam borat dapat
larut dalam minyak dan air . Hal ini disebabkan karena air merupakan pelarut polar
sedangkan minyak kelapa merupakan pelarut non polar dan karena pada minyak terdapat
karbon sehingga menyebabkan bentuk streokimianya simetris sehingga tidak memiliki
momen dipol.
Alasan dimana asam borat dan asam benzoat ditambahkanke dalam minyak kelapa
dan air kemudian dimasukkan ke dalam corong pisah kemudian seterlah itu di
lakukan pengocokan, kareana agar zat dapat mengadakan keseimbangan antara yang larut
dalam air dan yang larut dalam minyak kelapa. Pada percobaan ini dilakukan pengocokan
selama 5 menit agar gugus polar dan non polar dari asam borat maupun dari asam benzoat
dapat bereaksi dengan air dan minyak sehingga dapat dilihat pada pelarut mana kelarutannya
paling besar.
Tujuan dari campuran dalam corong pisah didiamkan selama 10-15 menit, karena
agar pemisahan antara minyak dan air bisa sempurna. Alasan mengapa yang dilakukan titrasi
hanya pada fase air saja. dikarenakan bila lapisan minyak yang dititrasi maka akan terjadi
reaksi saponifikasi (penyabunan).
Metode titrasi yang digunakan dalam percobaan ini adalah alkalimetri yang
dilakukan berdasarkan reaksi netralisasi yaitu sampel asam yang dititrasi dengan titran basa
akan bereaksi sempurna dengan semua asam sehingga dapat diperoleh titik akhir titrasi
dengan melihat perubahan warna larutan dari bening menjadi merah muda.
Dalam percobaan menentukan koefisien tanpa partisi tidak menggunakan minyak
kelapa dan corong pisah, tetapi hanya menggunakan air yang diberikan
indikator fenoftalein dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N. Hal yang di lakukan Pertama-
tama adalah timbang asam borat sebanyak 100 mg, masukkan kedalam erlenmeyer, larutkan
dengan aquadest hingga 100 ml, ambil 25 ml dari larutan tersebut , masukkan kedalam
erlenmeyer, tambahkan indikator fenolftalein 3 tetes dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N
sampai warnalarutan berubah dari bening menjadi merah muda.ambil larutan yang telah
dicukupkan dengan aquadest sebanyak 25 ml, lakukan pengerjaan dengan menggunakan
asam benzoate, kemudian hitung koefisien tanpa partisinya, dengan menggunakan rumus:
=
Dari percobaan yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut, volume titran
asam borat sebelum partisi 0,75 dan sesudah partisi 6,5 sedangkan volume titran asam
benzoate yakni, sebelum partisi 2,1 dan sesudah partisi 0,8, konsentrasi(%) asam borat yakni
CA 183,84 dan CB 1593,24 dan konsentrasi(%) dari asam benzoate yakni CA 10,18 dan CB
3,88, koofisien partisi asam borat yakni 7,67 dan asam benzoate 0,62
Pada percobaan ini terdapat kesalahan dalam penentuan koefisien partisi dari asam borat
dimana hasilnya yakni 7,67 yang diperoleh tidak sesuai dengan literatur yang menyatakan K
dar asam borat harus kurang dari 1. Hal ini mungkin disebabkan karena
Sampel tidak terdispersi dengan baik dalam kedua pelarut.
Larutan dalan corong pisah belum berpisah dengan baik saat pengambilan air untuk titrasi.
Kesalahan dalam menitrasi.
Sampel yang tidak larut sempurna.
BAB V
PENUTUP
1 Kesimpulan
Dari percobaan dapat disimpulkan
Koefisien partisi dari asam borat yakni 7,67 hal ini tidak sesuai dengan literature yang
menyatakan koefisien partisi harusnya K<1, hal ini dikarenakan beberapa faktor kesalahan
yakni, Sampel tidak terdispersi dengan baik dalam kedua pelarut, Larutan dalan corong pisah
belum berpisah dengan baik saat pengambilan air untuk titrasi, Kesalahan dalam menitrasi,
Sampel yang tidak larut sempurna.
Koefisien partisi dari asam benzoate yakni 0,62
2 Saran
Sebaiknya dalam melakukan percobaan harus lebih teliti agar hasil yang
diperoleh sesuai yang diharapkan.
Laporan Resmi Kimia Fisika (Koefisien Partisi)
KOEFISIEN PARTISI
(Partition Coefficient)
A. Tujuan percobaan
Mengetahui pengaruh pH terhadap koefisien partisi obat yang bersifat asam lemah
dalam campuran pelarut kloroform air.
B. Dasar Teori
Koefisien partisi lipida air suatu obat adalah perbandingan kadar obat dalam fase
lipoid dan fase air setelah mencapai kesetimbangan. Peranan koefisien partisi obat-obat
dalam bidang farmasi sangat penting. Teori-teori tentang absorbsi, ekstraksi, dan
kromatografi banyak terkait dengan teori koefisien partisi. Kecepatan absorbsi obat sangat
dipengaruhi oleh koefisien partisinya. Hal ini disebabkan oleh komponen dinding usus yang
sebagian besar terdiri dari lipida akan sangat sukar dilakukan absorbsi. Obat-obat yang
mudah larut dalam lipida tersebut dengan sendirinya memiliki koefisien partisi lipida-air
yang besar, sebaliknya obat-obat yang sukar larut dalam lipida akan memiliki koefisien
partisi yang kecil.
Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basa lemah. Jika obat-obat
tersebut dilarutkan dalam air, sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang terionkan
tergantung pH larutannya. Obat-obat yang tidak terionkan (unionized) lebih mudah larut
dalam lipida, sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya kecil atau bahkan praktis tidak
larut, dengan demikian pengaruh pH terhadap kecepatan absorbsi obat-obat yang bersifat
asam lemah atau basa lemah sangat besar. Untuk menghitung fraksi obat-obat yang tidak
terionkan dapat digunakan persamaan Henderson – Hasselbach, yaitu :
a. Untuk asam lemah :
b. Untuk basa lemah :
Ada dua macam koefisien partisi.
1. Koefisien partisi sejati atau TPC (True Partition Coefficient)
2. Koefisien partisi semu atau APC (Apparent Partition Coefficient)
Koefisien partisi atau TPC (True Partition Coefficient)
Untuk koefisien partisi ini pada percobaan harus memenuhi syarat kondisi sebagai berikut :
a. Antara kedua pelarut benar-benar tidak dapat campur satu sama lain.
b. Bahan obatnya (solute) tidak mengalami asosiasi atau disosiasi.
c. Kadar obatnya relatif kecil (<0,01 M).
d. Kelarutan solute pada masing-masing pelarut kecil.
Jika semua persyaratan tersebut dipenuhi, maka berlaku persamaan :
Dengan : C1 = kadar obat dalam fase lipoid.
C2 = kadar obat dalam ase air.
Koefisien partisi semu atau APC (Apparent Partition Coefficient)
Apabila persyaratan TPC tidak dapat dipenuhi, maka hasilnya adalah koefisien partisi semu.
Dalam biofarmasetika dan pada berbagai tujuan yang lain, umumnya memiliki kondisi non
ideal dan tidak disertai koreksinya, sehingga hasilnya adalah koefisien partisi semu. Biasanya
sebagai fase lipoid adalah oktanol, kloroform, sikloheksan, isopropil miristat, dan lain-lain.
Fase air yang biasanya digunakan adalah larutan dapar. Pada keadaan ini berlaku persamaan :
Dengan :
C20 = Kadar obat salam fase air mula-mula.
C2’ = Kadar obat dalam fase air setelah mencapai kesetimbangan.
a = Volume fase air.
b = Volume fase lipoid.
(Anonim, 2012)
Adanya pemahaman tentang koefisien partisi dan pengaruh pH pada koefisien partisi
akan bermanfaat dalam hubungannya dengan ekstraksi dan kromatografi obat. Secara
sederhana koefisien partisi suatu senyawa (P) dapat ditentukan dengan :
Dengan : Co = Konsentrasi senyawa pada fase organik.
Cw = Konsentrasi senyawa dalam air.
Semakin besar nilai P maka semakin banyak senyawa dalam pelarut organik. Nilai P suatu
senyawa tergantung pada pelarut organik tertentu yang digunakan untuk melakukan
pengukuran. Beberapa pengukuran koefisien partisi dilakukan dengan menggunakan partisi
air dan n-oktanol.
(Ghalib, 2007)
Hukum distribusi atau partisi. Cukup diketahui bahwa zat-zat tertentu lebih mudah
larut dalam pelarut-pelarut tertentu dibanding dengan pelarut-pelarut yang lain. Jadi iod jauh
lebih dapat larut dalam karbon disulfida, kloroform, atau karbon tetraklorida daripada dalam
air. Lagi pula, bila cairan-cairan tertentu seperti karbon disulfida dan air, dan juga eter dan
air, dikocok bersama-sama dalam suatu bejana dan campuran kemudian dibiarkan, maka
kedua cairan akan memisah menjadi dua lapisan. Cairan semacam itu dikatakan sebagai tak
dapat campur (karbon disulfida dan air) atau setengah campur (eter dan air), bergantung pada
apakah satu kedalam yang lain hampir tak dapat larut atau setengah dapat larut.
Jika iod dikocok bersama suatu campuran karbon disulfida dan air serta kemudian
didiamkan, iod akan dijumpai terbagi dalam kedua pelarut itu. Suatu keadaan kesetimbangan
terjadi antara larutan iod dalam karbon disulfida dan larutan iod dalam air. Ternyata bila
banyaknya iod diubah-ubah.
(Vogel, 1985)
C. Alat dan Bahan.
Alat :
1. Tabung reaksi
2. Neraca analitik.
3. Tabung.
4. Shaking thermostatic waterbath.
5. Spektrofotometer UV/Vis.
6. Pipet volume
7. Kuvet
8. Labu ukur 10 mL
9. Rak tabung reaksi
10. Pipet
Bahan :
1. Aquadest
2. Dapar Salisilat pH 3, 4 dan 5 (fase air)
3. Kloroform (fase lipoid)
4. FeNO3 1%
D. Metode kerja.
o Cara kerja skematis
Percobaan koefisien partisi
Diambil masing-masing larutan dapar Salisilat pH 3, 4, dan 5 sebanyak 5 mL dan
dimasukkan dalam tabung percobaan.
Ditambahkan pada larutan tersebut 2 mL kloroform p.a lalu diinkubasi pada suhu 370C dan
diaduk.
Setelah kira-kira dua jam, tentukan kadar salisilat dalam fase cair dan diulangi tiap 30 menit.
Kesetimbangan dicapai apabila beberapa kali penentuan kadar tersebut hasilnya sudah
konstan.
Dihitung masing-masing koefisien partisinya pada ketiga macam pH tersebut.
Dibuat kurva hubungan antara APC sebagai fungsi pH.
Penetapan kadar salisilat
1 mL fase air pada percobaan koefisien partisi ditambahkan 2 mL larutan FeCl3 1%
diencerkan dengan Aquadest hingga 10 mL.
Didiamkan larutan selama 6-10 menit
Serapannya dibaca pada panjang gelombang 530 nm.
Ditentukan kadar salisilat dengan menggunakan kurva baku yang tersedia.
Analisa Cara Kerja
Pada percobaan kali ini kami mempraktikan pengujian koefisien partisi pada larutan
dapar salisilat 0,01 M dengan pH 3, 4, dan 5 yang di tambahkan NaOH. Hal yang pertama
dilakukan adalah memasukkan 5 mL larutan dapar dengan pH 3, 4, dan 5 masing-masing
kedalam 2 tabung, kemudian ditambahkan kloroform sebanyak 2 mL, kloroform dengan
larutan dapar akan terlihat memisah, dengan lapisan bawah adalah kloroform, dan lapisan
atas adalah larutan dapar. Tutup dengan alumunium foil dan diberi label agar tidak tertukar.
Kemudian di shake pada shaking thermostatic waterbath selama 1 jam.
Setelah 1 jam berikutnya adalah mengambil larutan dapar pada bagian atas tabung
sebanyak 1 mL menggunakan pipet volume yang kemudian dimasukkan kedalam labu takar
10 mL, lalu ditambahkan FeNO3 1% sebanyak 2 mL, ditambahkan aquadest sampai 10 mL,
tutup dengan alumunium foil, diamkan selama 6-10 menit, fungsi dari pendiaman selama 6-
10 menit ini adalah agar obat membentuk kompleks warna dengan larutan FeNO3. Setelah 6-
10 menit, kemudian dibaca absorbansinya di Spektrofotometer UV/vis, hal berikut dilakukan
berulang kali sampai semua tabung yang di isi larutan dapar dan kloroform telah dibaca
absorbansinya.
Tidak ada kendala dalam percobaan yang kami lakukan karena kami mendapatkan
hasil yang memasuki range (0,2-0,8) dan hasilnya sesuaidengan pH yang digunakan,
semakintinggi pH maka semakin tinggi pula absorbansinya. Dapat disimpulkan bahwa
pengerjaan menggunakan spektrofotometer UV/vis harus menggunakan blanko awal yang
sama dan tidak boleh berbeda-beda. Karena dapat mempengaruhi hasil yang didapat. Blanko
yang digunakan adalah campuran dari Aquadest dan FeNO3. Penggunaan gelombang pada
percobaan ini adalah 530 nm. Saat menggunakan kuvet hendaklah memegang pada bagian
kaca yang buram, jangan memegang bagian kaca yang bening karena bila kaca yang bening
kotor atau tidak bersih bias mempengaruhi hasil. Penempatan kuvet pada alat
spektrofotometer UV/vis harus kaca bening di hadapkan pada lubang tempat yang tersedia,
apabila kaca buram yang di hadapkan maka spektrofotometer UV/vis tidak bisa membaca
Absorbansi pada larutan.
E. HASIL PERCOBAAN
Obat : Asam Salisilat
Kadar awal (C20) : 0,01 M
Volume fase air (a) : 5 mL (larutan dapar)
Volume fase lipoid (b) : 2 mL (kloroform)
λ max : 530 nm
Operating Time : 6 – 10 menit
Blanko : 2 mL FeNO3 1% + Aquadest ad 10 mL
Kurva Baku : Y = 1,02 + 0,014
Sampling pada t = 60
pH Abs fp Kadar (mg%) Kadar Rata-rata
(mg%)
Kadar (M)
3 0,382 10x 3,613,45 2,50 x 10-4
0,350 10x 3,29
4 0,470 10x 3,853,80 2,75 x 10-4
0,395 10x 3,74
5 0,526 10x 5,024,96 3,59 x 10-4
0,514 10x 4,96
Perhitungan
Pada pH = 3
1. y = 1,02x + 0,014
0,382 = 1,02x + 0,014
0,382 – 0,014 = 1,02x
x = 0,361
Kadar (mg%) = X x fp
= 0,361 x 10
= 3,61 mg%
2. y = 1,02x + 0,014
0,350 = 1,02x + 0,014
0,350 – 0,014 = 1,02x
X = 0,319
Kadar (mg%) = X x fp
= 0,319 x 10
= 3,19 mg%
Mg% rata-rata =
= 3,45 mg%
Kadar (M) =
=
= 2,50 x 10-4 M
Pada pH = 4
1
.
y = 1,02 x + 0,014
0,407 = 1,02x + 0,014
0,407 – 0,014 = 1,02x
X = 0,385
Kadar (mg%0 = X x fp
= 0,385 x 10
= 3,85 mg%
2
.
y = 1,02x + 0,014
0,395 = 1,02x + 0,014
0,395 – 0,014 = 1,02x
X = 0,374
Kadar (mg%) = X x fp
= 0,374 x 10
= 3,74 mg%
Mg% rata-rata =
= 3,80 mg%
Kadar (M) =
=
= 2,75 x 10-4 M
Pada pH = 5
1
.
y = 1,02x + 0,014
0,526 = 1,02x + 0,014
0,526 – 0,014 = 1,02x
x = 0,502
Kadar (mg%) = X x fp
= 0,502 x 10
= 5,02 mg%
2
.
y = 1,02x + 0,014
0,514 = 1,02x + 0,014
0,514 – 0,014 = 1,02x
x = 0,490
Kadar (mg%) = X x fp
= 0,490 x 10
= 4,90 mg%
Mg% rata-rata =
= 4,96 mg%
Kadar (M) =
=
= 3,59 x 10-4 M
Perhitungan APC (apparent partition coefficient)
Pada pH = 3
APC =
=
= 19,75
Pada pH = 4
APC =
=
= 15,68
Pada pH = 5
APC =
=
= 11,43
Grafik hubungan antara APC dengan pH
F. PEMBAHASAN
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pH terhadap koefisien partisi
obat yang bersifat asam lemah dalam campuran pelarut kloroform-air. Pengertian koefisien
partisi lipida air suatu obat adalah perbandingan kadar obat dalam fase lipoid dan fase air
setelah tercapai kesetimbangan. Dalam bidang farmasi, peranan koefisien partisi obat-obat
juga sangat penting. Toeri-teori tenteng absorbsi, ekstraksi, dan kromatografi juga banyak
terkait dengan teori koefisien partisi.
(Anonim, 2012)
Pada percobaan ini digunakan fase air berupa larutan dapar asam salisilat, dan yang
berfungsi sebagai fase lipoidnya adalah kloroform. Koefisien partisi sangat mempengaruhi
kecepatan absorbsi obat. Hal ini disebabkan karena kemampuan dinding usus yang sebagian
besar terdiri dari lipid akan sangat sukar dilakukan absorbsi. Semakin besar koefisien suatu
obat, maka semakin cepat pula obat tersebut terabsorbsi, atau dapat pula dikatakan jika obat
mudah larut dalam lipid berarti koefisien partisi lipid-airnya besar.
Untuk obat-obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah, jika dilarutkan dalam air
maka sebagian akan terionisasi. Banyaknya fraksi obat yang terion tergantung pada pH
larutannya. Untuk obat asam lemah apabila pH makin besar, maka fase yang terionisasi juga
makin banyak. Pada pH yang tinggi, obat akan mengalami peristiwa penggaraman dimana
garam tersebut oleh air akan terurai menjadi bentuk-bentuk ionnya. Hal tersebut dapat terjadi
pada asam salisilat, karena asam salisilat termasuk asam lemah. Maka jika pH semakin tinggi,
asam salisilat akan terionkan, dan dalam fase lipoid akan tidak larut, tetapi pada fase air akan
larut (menunjukkan bahwa pada pH yang tinggi, kadar asam salisilat dalam air tinggi dan
dalam fase lipoid rendah).
Rumus asam salisilat
BM asam salisilat = 138,12
Dalam praktikum ini digunakan larutan dapar asam salisilat dengan pH yang berbeda-
beda yaitu 3,4 dan 5, masing-masing tabung sebanyak 5,0 ml dan dimasukkan ke dalan 6
tabung, tiap pH dimasukkan dalam 2 tabung. Digunakan larutan dapar bertujuan agar dapat
mempertahankan harga pH larutan. Sedangkan pH yang digunakan dalam percobaan
berbeda-beda bertujuan untuk mengetahui absorbsi obat dalam usus dan lambung, dimana
umumnya pH pada lambung adalah asam, dan pH dalam usus adalah basa, yang menjadi
ukuran pertama gerakan peristaltik usus sehingga terjadi absorbsi yang besar dengan
bertambah luasnya permukaan usus.
Selanjutnya, pada tiap tabung yang sudah terisi larutan dapar, ditambahkan 2,0 ml
kloroform. Lalu akan terjadi dua lapisan atau dua fase zat cair yang tidak bercampur. Lapisan
kloroform berada dibagian bawah, karena berat jenisnya lebih besar dibandingkan dengan
berat jenis air pada larutan dapar.
Selain itu karena adanya perbedaan sifat dari kedua fase tersebut dimana kloroform
bersifat non polar sedangkan dapar salisilat bersifat polar sesuai teori “like dissolve like”
yaitu larutan yang bersifat sama akan saling bercampur atau saling melarutkan.
Selanjutnya keenam tabung tersebut dishaking selama 60 menit pada suhu 37 C⁰
menggunakan alat shaking waterbath. Tujuan dilakukannya shaking adalah agar larutan
menjadi setimbang, dimana dalam suatu reaksi kimia kecepatan reaksi ke kanan sama dengan
kecepatan reaksi ke kiri. Dapat dikatakan pula jika pada temperatur, tekanan dan konsentrasi
tertentu maka reaksi tersebut energinya sama antara produk dan reaktan, sehingga hubungan
konsentrasi dan hasil reaksi tetap. Sedangkan suhu yang digunakan 37 C adalah untuk⁰
menyesuaikan keadaan agar sesuai dengan suhu tubuh, karena setelah obat diminum akan
mengalami fase farmasetik, farmakokinetik (ADME) dan fase farmakodinamik. Penggunaan
kloroform sebagai fase lipoid karena kloroform memiliki sifat yang mirip dengan lipid yang
ada dalam tubuh.
Setelah 60 menit, semua tabung reaksi diambil. Selanjutnya dilakukan pembacaan
absorbansi menggunakan spektrofotometer. Absorbansi dilakukan terhadap fase air, dengan
cara mengambil 2,0 ml fase air dan ditambahkan dengan 1,0 ml FeNO3 1%, kemudian
ditambah aquadest ad 10,0 ml lalu dibaca absorbansinya dengan spektrofotometer visibel
pada λ 530 nm dengan OT 6-10 menit. Setelah dibaca absorbansinya kemudian dihitung
kadar asam salisilat dengan kurva baku y=1,02x+0,014, x dalam mg%.
Untuk pembacaan absorbansinya hanya menggunakan fase airnya saja, karena fase air
dalam tabung merupakan campuran dari obat salisilat dengan ionnya dan untuk
mempermudah pengambilan cairan. Tujuan penambahan FNOl3 1% adalah untuk membentuk
kompleks warna agar dapat dilakukan pembacaan absorbansi pada spektrofotometer visibel.
Sebelum dibaca absorbansinya terlebih dahulu didiamkan selama 6-10 menit sebagai
operating time, tujuannya agar asam salisilat dapat membentuk kompleks seluruhnya dengan
FeNO3 1%. Terbentuk reaksi kompleks warna antara asam salisilat dengan FeNO3 1%
sehingga muncul warna ungu.
Dari hasil percobaan diperoleh kadar untuk masing-masing pH dan waktu, serta APC
yang dihitung pada saat setimbang, yaitu pada suhu setelah 60 menit, kemudian dibuat grafik
hubungan kadar vs waktu pada masing-masing pH. Asam salisilat merupakan asam lemah,
biasanya dalam bentuk tak terion, sehingga mudah larut dalam lipid.
Kadar rata-rata pada masing-masing pH adalah pH 3 sebanyak 2,50x10-4 mg%, pH 4
sebanyak 2,75x10-4 mg%, dan pH 5 sebanyak 3,59x10-4 mg%. sedangkan untuk menghitung
APC = . maka diperoleh APC pada pH 3 = 19,75, pH 4 = 15,68, pH 5 = 11,43.
G. KESIMPULAN
Larutan dapar salisilat berperan sebagai fase air.
Kloroform berperan sebagai fase lipoid.
Yang digunakan sebagai blangkonya yaitu FeNO3 1% 2 ml dan aquadest ad 10 ml.
Kadar rata-rata pH 3 = 2,50x10-4 M, pH 4 = 2,75x10-4 M, pH 5 = 3,59x10-4 M.
APC masing-masing pH 3 = 19,75, pH 4 = 15,68, pH 5 = 11,43
Untuk kadar rata-rata, semakin besar pH maka semakin besar kadar rata-rata.
Untuk APC, semakin besar pH juga semakin kecil jumlah APCnya.
Absorpsi obat di dalam tubuh terjadi setelah obat dibebaskan dari bentuk
sediaannya. Selain itu, faktor utama yang mempengaruhi absorpsi obat adalah sifat fisika
kimia, yaitu koefisien partisi. Koefisien partisi suatu obat merupakan perbandingan kadar
obat dalam dua fase setelah mencapai kesetimbangan.
Koefisien partisi terbagi menjadi dua seperti koefisien partisi sejati dan koefisien
partisi semu. Syarat koefisien partisi sejati, antara lain: (1) Antara kedua pelarut benar-benar
tidak bercampur satu sama lain; (2) Bahan obatnya tidak mengalami asosiasi atau disosiasi;
(3) Kadar obatnya relatif kecil; dan (4) kelarutan solut dalam masing-masing pelarut kecil.
Koefisien partisi semu merupakan suatu hasil apabila persyaratan koefisien partisi sejati tidak
terpenuhi. Oleh karena itu, Percobaan ini merupakan keadaan koefisien partisi semu.
Pada percobaan kali ini kita menggunakan dapar salisilat karena dapar salisilat ini
memiliki sifat yang mampu mempertahankan pH, meskipun ditambahkan asam ataupun basa.
pH yang digunakan pada percobaan kali ini adalah pH 3, pH 4, dan pH 5. Hal tersebut
dilakukan agar dapat mengetahui pengaruh pH terhadap koefisien partisi.
Absorbansi merupakan banyaknya cahaya yang diserap oleh larutan tetapi larutan
yang diserap tersebut hanyalah larutan yang khusus mempunyai warna. Absorbansi
berbanding lurus dengan konsentrasi karena semakin besar absorbansi semakin banyak
cahaya yang bisa diserap tetapi absorbansi berbanding terbalik dengan koefisien partisi. Dari
percobaan kali ini didapatkan nilai absorbansi dari pH 3 sebanyak 0,018, pH 4 sebanyak
0,026 sedangkan pada pH 5 sebanyak 0,044. Hal ini menunjukkan, semakin tinggi pH suatu
zat maka semakin rendah absorbansinya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah pH suatu
zat maka semakin tinggi absorbansinya. pH larutan juga berpengaruh dengan koefisien partisi
zat tersebut.
Koefisien partisi juga berpengaruh pada pH karena beberapa obat yang mengandung
gugus-gugus yang mudah mengalami ionisasi. Jika melibatkan lebih dari satu gugus yang
mengalami ionisasi maka koefisien partisi obat-obat ini pada pH tertentu sulit diprediksi.
Meskipun demikian, seringkali salah satu gugus dalam suatu molekul obat lebih mudah
mengalami ionisasi daripada gugus yang lain pada pH tertentu. Sehingga dapat kita lihat dari
percobaan kali ini semakin tinggi pH maka akan semakin tinggi pula nilai absorbansinya,
sehingga dikatakan pH dan absorbansi berbanding lurus.
Koefisien partisi sangat penting dalam bidang farmasi. banyak obat-obat yang
mudah larut dalam fase air dalam air tetapi larut dalam fase lipoid. Sebagian besar obat
bersifat asam lemah atau basa lemah. Jika obat tersebut dilarutkan dalam air, sebagian akan
terionisasi. Besarnya fraksi obat yang terionkan tergantung pH larutannya.
G. KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan ini dapat disimpulkan bahwa pH berpengaruh terhadap
nilai koefisien partisi suatu obat karena semakin besar pH suatu larutan semakin kecil
koefisien partisinya sebaliknya semakin besar pH suatu larutan semakin besar absorbansinya
(berbanding lurus).
Spektrofotometri derivatif adalah suatu teknik analisis dengan kemampuan
memisahkan campuran obat yang memiliki spektra tumpang tindih. Selain itu, telah
digunakan pula untuk penetapan kadar obat yang tercampur dengan hasil peruraiannya.
Spektrofotometri derivatif telah digunakan secara luas pada analisis bahan anorganik,
penentuan konstanta ionisasi senyawa kimia, koefisien partisi obat antara lapisan lipid dan
air, analisis klinis, analisis makanan, dan penetapan kadar di bidang farmasi (Nurhidayati,
2007).
Koefisien partisi menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam pelarut sistem
dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut lemak, maka koefisien
partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi lebih mudah. Selain itu, organisme
terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat
rendah maka hal tersebut akan menjadi hambatan pada proses difusi zat aktif (Ansel, 1989).
Penentuan koefisien partisi secara eksperimen dilakukan dengan cara pendistribusian
senyawa dalam jumlah tertentu ke dalam sistem keseimbangan termodinamik antara dua
pelarut yang berbeda kepolaran yaitu pelarut n-oktanol dan air (Tahir, 2001).
Dalam pembuatan obat luar atau topikal, terdapat dua tahapan kerja obat topikal agar
dapat memberikan efeknya yaitu obat harus dapat lepas dari basis dan menuju ke permukaan
kulit, selanjutnya berpenetrasi melalui membran kulit untuk mencapai tempat aksinya.
Faktor yang mempengaruhi salah satunya adalah koefisien partisi. Oleh karena itu,koefisien
partisi juga merupakan hal yang sangat penting dan perlu diperhatikan (Aprhyanthy, 2012).
Untuk meningkatkan fluks obat yang melewati membran kulit, dapat digunakan
senyawa-senyawa peningkat penetrasi. Fluks obat yang melewati membran dipengaruhi oleh
koefisien difusi obat melewati stratum corneum, konsentrasi efektif obat yang terlarut dalam
pembawa, koefisien partisi antara obat dan stratum corneum dan tebal lapisan membrane
(Sukmawati, 2010).
1. LANDASAN TEORI
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobik dari molekul
obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi dengan makro molekul pada
reseptor kadang-kadang berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat.
Jika kelebihan cairan atau zat pelarut ditambahkan ke dalam campuran dari dua cairan tidak
bercampur, zat itu akan mendistribusi diri diantara kedua fase sehingga masing-masing
menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan ke dalam pelarut tidak tercampur dalam jumlah yang
tidak cukup untuk menjenuhkan larutan, maka zat tersebut tetap berdistribusi di antara kedua
lapisan dengan perbandingan konsentrasi tertentu. Jika C1 dan C2 adalah konsentrasi
kesetimbangan zat dalam pelarut1 dan pelarut2, persamaan kesetimbangan menjadi :
Tetapan kesetimbangan K dikenal sebgai perbandingan distribusi, koefisien distribusi atau
koefisien partisi. Persamaan yang dikenal dengan hukum distribusi, jelas hanya dapat dapakai
dalam larutan encer dimana koefisien keaktifan dapat diabaikan (Martin, 1993).
Pelarut secara umum dibedakan atas dua pelarut, yaitu pelarut air dan bukan air. Salah satu
ciri penting dari pelarut tetapan dielektriknya (E), yaitu gaya yang bekerja antara dua muatan
itu dalam ruang hampa dengan gaya yang bekerja pada muatan itu dalam dua pelarut.
Tetapan ini menunjukkan sampai sejauh mana tingkat kemampuan melarutkan pelarut
tersebut. Misalnya air dengan tetapan dielektriknya yang tinggi (E = 78,5) pada suhu 25oC,
merupakan pelaruit yang baik untuk zat-zat yang bersifat polar, tetapi juga merupakan pelarut
yang kurang baik untuk zat-zat non polar. Sebaliknya, pelarut yang mempunyai tetapan
dielektrik yang rendah merupakan pelarut yang baik untuk zat non polar dan merupakan
pelarut yang kurang baik untuk zat berpolar (Rifai, 1995).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi distribusi zat dalam larutan, yaitu :
1. Temperatur, kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 tiap kenaikan suhu
10oC.
2. Kekuatan Ion, semakin kecil konsentrasi suatu larutan maka laju distribusi makin kecil.
3. Konstanta Dielektrik, efek konstanta dielektrik terhadap konstanta laju reaksi ionik
diekstrapolarkan sampai pengenceran tak terbatas, yang pengaruh kekuatan ionnya 0.
Untuk reaktan ion yang kekuatannya bermuatan berlawanan maka laju distribusi reaktan
tersebut adalah positif dan untuk reaktan yang muatannya sama maka laju distribusinya
negatif.
4. Katalisis, katalisis dapat menurunkan laju – laju distribusi (Katalis negatif). Katalis dapat
juga menurunkan energi aktivitas denganss mengubah mekanisme reaksi sehingga
kecepatan bertambah.
5. Katalis Asam Basa Spesifik, laju distribusi dapat dipercepat dengan penambahan asam
atau basa. Jika laju peruraian ini terdapat bagian yang mengandung konsentrasi ion
hidrogen atau hidroksi.
6. Cahaya Energi, cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang diperlukan untuk
terjadi reaksi. Radisi dengan frekuensi yang sesuai dengan energi yang cukup akan
diabsorbsi untuk mengaktifkan molekul – molekul (Cammarata, 1995).
Koefisien partisi terlarut dari organik-ke-air, K≡Corg / Caq, ditentukan secara eksperimen
dengan menggunakan perunut radioaktif. Sevolume yang sama fasa organik dan air
disetimbangkan dalam tabung terbuat dari teflon. Kedua cairan tersebut dipaksa-kontakkan
dengan cara mengocoknya menggunakan pengaduk magnetik selama sekitar 24 jam.
Kuantitas AA dalam kedua fasa ditentukan setelah sebelumnya disentrifugasi. Koefisien
aktivitas AA kemudian dihitung dengan ungkapan :
bila K dan Kref masing-masing adalah koefisien partisi AA pada konsentrasi tertentu garam,
Cs, dan untuk Cs = 0 (rujukan) (Hendrawan, 2002).
Koefisien distribusi atau koefisien partisi (partition coefficient), K didefinisikan sebagai
perbandingan antara fraksi berat solute dalam fase ekstrak, dibagi dengan fraksi berat
solute dalam fase rafinat, pada keadaan kesetimbangan.
Koefisien distribusi dapat juga dinyatakan dalam fraksi mol :
Dimana x°,y° masing-masing adalah fraksi mol solut dalam fase rafinat dan fase ekstrak
(Kasmiyatun, 2008).
Sebagai molekul terdisosiasi dalam ion-ion salah satu dari fase tersebut. Hukum distribusi
digunakan hanya untuk yang umum konsentrasinya pada kedua fase, yaitu monomer atau
molekul sederhana dari zat tersebut (Martin, 1993).
1. PEMBAHASAN
Koefisien partisi merupakan suatu perbandingan kelarutan suatu zat (sampel) di dalam dua
pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, serta merupakan suatu harga tetap pada
suhu tertentu. Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu senyawa
antara dua fase cair yang tidak saling bercampur, tergantung pada interaksi fisik dan kimia
antara pelarut dan senyawa terlarut dalam dua fase yaitu struktur molekul. Berdasarkan
hukum Nernst, jika suatu larutan (dalam air) mengandung zat organik A dibiarkan
bersentuhan dengan pelarut organik yang tidak bercampur dengan air, maka zat A akan
terdistribusi baik ke dalam lapisan air (fasa air) dan lapisan organik (fasa organik). Dimana
pada saat kesetimbangan terjadi, perbandingan konsentrasi zat terlarut A di dalam kedua fasa
itu dinyatakan sebagai nilai Kd atau koefisien distribusi (partisi) dengan perbandingan
konsentrasi zat terlarut A di dalam kedua fasa organik-air tersebut adalah pada temperatur
tetap.
Pada percobaan kali ini, kita menggunakan senyawa organik yaitu asam salisilat. Hal ini
dikarenakan asam salisilat merupakan senyawa yang mudah larut dalam pelarut organik
daripada larut dalam air, sehingga senyawa tersebut mudah dipisahkan dari campurannya
yang mengandung air atau larutannya. Metode penentuan koefisien distribusi asam salisilat
dilakukan dengan penentuan konsentrasi asam salisilat baik yang ada dalam fasa air maupun
fasa organik. Pada penentuan partisi harus dilakukan dengan air dan pelarut organik dalam
jumlah yang sama. Pelarut yang kita gunakan yaitu kloroform dan air. Pelarut kloroform dan
air tidak dapat saling campur, tetapi kedua pelarut ni dapat melarutkan sampel. Hal ini
disebabkan air merupakan pelarut yang bersifat polar, artinya H2O memiliki
keelektronegatifan yang besar dan kemampuannya yang besar untuk membentuk awan
elektron sehingga mengimbas menjadi polar. Sedangkan kloroform merupakan pelarut
organik dan termasuk dalam pelarut non polar, dikarenakan didalamnya terdapat atom C yang
akan menyebabkan ikatan menjadi simetris. Ikatan yang simetris tersebut akan menyebabkan
momen dipol yang kecil. Sementara kepolaran suatu senyawa sangat tergantung pada besar
kecilnya momen dipol.
Larutan yang akan dipisahkan fase air dan fase organiknya dipanaskan didalam inkubator
yang berupa water bash. Pada proses pemisahan antara dua fase tersebut disertai dengan
pengadukan. Hal ini dilakukan agar larutan mengalami pemanasan yang merata dan agar
larutan tidak mengalami jumping di dalam water baths. Pada proses pengukuran absorbansi
menggunakan alat spektrofotometer. Spektrofotometer hanya dapat membaca zat yang
memiliki warna. Sehingga diperlukan zat FeCl3. Hal ini dikarenakan pemberian
FeCl3 menghasilkan warna saat mencapai kesetimbangan atau titik ekivalen. Pemberian
FeCl3 dihentikan pada saat larutan berwarna ungu. Serapan atau absorbansi pada masing –
masing pH tersebut terbaca pada spektrofotometer pada panjang gelombang 525 nm. Nilai
absorbansi yang kita peroleh pada pH 3 yaitu 0,255 A, pada pH 4 yaitu 0,196 A, dan pada pH
5 yaitu 0,256 A. Absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi. Makin tinggi konsentrasi
nya maka makin tinggi pula absorbansinya.
Berdasarkan hasil percobaan yang kita lakukan, kita memperoleh nilai konsentrasi asam
salisilat dan natrium salisilat disetiap pH. Konsentrasi (kadar) asam salislat pada pH = 3, pH
= 4 dan pH = 5 ialah berturut – turut yaitu 6,3 × 10-3 M, 8,62 × 10-4 M, 9,34 × 10-5 M. Dari
hasil yang diperoleh dari nilai konsentrasi asam salisilat, maka dapat dihitung pula kadar
garam natrium salisilat. Dari kurva perbandingan pH dan natrium salisilat terlihat bahwa
semakin rendah pH suatu sampel maka semakin rendah konsentrasi natrium salisilatnya.
Koefisien distribusi suatu senyawa dalam dua larutan yang tidak bercampur harus sama
dengan 1. Hal ini bahwa senyawa tersebut terdistribusi secara merata pada dua fase yaitu fase
minyak dan fase air. Jika nilai koefisien distribusi kecil dari 1 maka senyawa tersebut
cenderung untuk terdistribusi dalam fase air dari pada fase minyaknya. Semakin kecil
koefisien distribusi (Kd) yang dihasilkan semakin kecil akan diperoleh massa zat sisa terlarut
pada pelarut air yang lebih besar.
Dalam percobaan ini terjadi suatu keadaan sampel yang digunakan yaitu asam salisilat
mempunyai kecenderungan untuk menuju ke salah satu fase yaitu fasa air. Dimana kita
ketahui bersama bahwa air merupakan pelarut yang polar dan pelarut yang ideal untuk
senyawa-senyawa tertentu (kecuali yang tidak dapat larut dalam pelarut air tapi larut dalam
pelarut organik lainnya).