bab iv aktualisasi humanisme dalam pendidikan...

25
BAB IV AKTUALISASI HUMANISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM A. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Humanisme Antara Paulo Freire dengan Abdurrahman Mas’ud. Secara teoretis, humanisasi dalam kehidupan manusia sangat berkaitan erat dengan gelombang demokratisasi kehidupan manusia pada akhir dekade 80-an. Inti kehidupan demokrasi ialah penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, gerakan humanisasi dalam dunia pendidikan merupakan sebuah usaha yang lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan. Pendidikan dituntut untuk lebih memperhatikan pengembangan kreativitas dalam kepribadian anak. 1 Dengan demikian, persamaan pemikiran humanisme antara Paulo Freire dengan Abdurrahman Mas’ud adalah menghidupkan pengalaman “demokrasi” dalam dunia pendidikan. Dengan kata lain, gerakan humanisasi Paulo Freire dan Abdurrahman Mas’ud dalam dunia pendidikan merupakan sebuah usaha yang lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan. Artinya, pendidikan dituntut untuk lebih memperhatikan pengembangan kreativitas manusia. Disamping itu, berdasar realitas historis bahwa pendidikan adalah sarana terpenting dalam mengakselerasi kebebasan, 2 maka keterkaitan pendidikan Islam dengan istilah pembebasan seperti yang terdapat dalam pemikiran Paulo Freire dengan istilah “Pendidikan Kaum Tertindas” dan Abdurrahman Mas’ud dengan istilah “Pendidikan Nondikotomik” mengandung makna keharusan ; conditio sine quanon. Artinya, pendidikan Islam harus merangsang manusia untuk berfikir mandiri dalam rangka menciptakan gagasan yang otentik, orisinil sehingga tidak mudah terpengaruh dan mendapat tekanan dari siapa pun. 1 Lihat H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional ; Kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. V, hlm. 4-5. 2 Lihat Abdurrahman Wahid, “Pembebasan Melalui Pendidikan : Punyakah Keabsahan”, dalam Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. xv.

Upload: vukhue

Post on 22-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IV

AKTUALISASI HUMANISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Humanisme Antara Paulo Freire

dengan Abdurrahman Mas’ud.

Secara teoretis, humanisasi dalam kehidupan manusia sangat

berkaitan erat dengan gelombang demokratisasi kehidupan manusia pada akhir

dekade 80-an. Inti kehidupan demokrasi ialah penghormatan kepada nilai-nilai

kemanusiaan. Jadi, gerakan humanisasi dalam dunia pendidikan merupakan

sebuah usaha yang lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses

pendidikan. Pendidikan dituntut untuk lebih memperhatikan pengembangan

kreativitas dalam kepribadian anak.1

Dengan demikian, persamaan pemikiran humanisme antara Paulo

Freire dengan Abdurrahman Mas’ud adalah menghidupkan pengalaman

“demokrasi” dalam dunia pendidikan. Dengan kata lain, gerakan humanisasi

Paulo Freire dan Abdurrahman Mas’ud dalam dunia pendidikan merupakan

sebuah usaha yang lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses

pendidikan. Artinya, pendidikan dituntut untuk lebih memperhatikan

pengembangan kreativitas manusia.

Disamping itu, berdasar realitas historis bahwa pendidikan adalah

sarana terpenting dalam mengakselerasi kebebasan,2 maka keterkaitan

pendidikan Islam dengan istilah pembebasan seperti yang terdapat dalam

pemikiran Paulo Freire dengan istilah “Pendidikan Kaum Tertindas” dan

Abdurrahman Mas’ud dengan istilah “Pendidikan Nondikotomik”

mengandung makna keharusan ; conditio sine quanon. Artinya, pendidikan

Islam harus merangsang manusia untuk berfikir mandiri dalam rangka

menciptakan gagasan yang otentik, orisinil sehingga tidak mudah terpengaruh

dan mendapat tekanan dari siapa pun.

1Lihat H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional ; Kajian Pendidikan Masa Depan,

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. V, hlm. 4-5. 2Lihat Abdurrahman Wahid, “Pembebasan Melalui Pendidikan : Punyakah Keabsahan”,

dalam Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. xv.

Meskipun pemikiran humanisme Freire terkait dengan dunia

pendidikan Islam, jika dikaitkan dengan tujuan akhir dari pendidikan Islam

nampaknya pemikiran humanisme yang ditawarkan Freire kurang relevan.

Dalam kontek ini, Freire nampaknya masih terlalu terikat dengan kepentingan

dunia, sehingga belum mempunyai kaitan dengan dimensi spiritual

transendental yang memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan

Tuhannya.

Karena itu, dapat dilihat perbedaan antara pemikiran humanisme

Freire dan Abdurrahman Mas’ud. Perbedaan paling menonjol adalah adanya

hubungan yang bersifat ta’abud ilallah. Artinya, pemikiran Rahman tidak

hanya mewujudkan manusia menuju cita humanisme universal atau

kemaslahatan umum, tetapi bermuara pada pembentukan manusia sesuai

kodratnya yang mencakup dimensi ketuhanan (vertikal) maupun dimensi

kemanusiaan (horizontal) yang berkorelasi dengan pola hubungan

kemanusiaan yang disertai pertanggungjawaban kepada Tuhan.

Secara jelas, persamaan dan perbedaan pemikiran humanisme

antara Paulo Freire dengan Abdurrahman Mas’ud bisa dipetakan dalam daftar

tabularasi sebagai berikut :

Persamaan Pemikiran Humanisme Antara Paulo Freire Dengan

Abdurrahman Mas’ud

Masing-masing pemikiran muncul dalam setting sosio-kultural yang

kurang bahkan tidak manusiawi.

Me-landing-kan konseptualisasi dasar perjuangannya bagi upaya

membebaskan manusia.

Menekankan pada faktor manusia dan struktur sosial sebagai elemen yang

harus dirubah.

Memandang manusia sebagai entitas merdeka yang memiliki kebebasan

untuk menentukan pilihan-pilihan artikulasi kesadarannya dalam

memaknai kehidupannya baik yang bersifat pribadi maupun sosial.

Bersinggung secara erat dalam dimensi historis dan tematis.

Perbedaan Pemikiran Humanisme Antara Paulo Freire Dengan

Abdurrahman Mas’ud

Perbedaan Paulo Freire Abdurrahman Mas’ud

Dasar Realitas empiris semata Wahyu sekaligus realitas

Tujuan Kehidupan duniawiyah

menjadi tujuan final

Integrasi kehidupan

duniawi-ukhrawi menjadi

tujuan final.

Konsep Manusia Bebas atau Merdeka Bebas, namun masih

mempunyai

tanggungjawab terhadap

Tuhan dan manusia.

Nilai Bersifat bebas nilai. Bersifat terikat dengan

dimensi spiritual

transendental.

B. Relevansi dan Implikasi Pemikiran Humanisme Antara Paulo Freire

dengan Abdurrahman Mas’ud Bagi Dunia Pendidikan Islam Masa Kini.

Pada dasarnya, agama merupakan cinta yang mendorong manusia

menuju kesempurnaan dan keselamatan dirinya. Ajaran Lao Tse, Kong Fu

Tse, Hinduisme, Yesus Kristus maupun Islam, semuanya menyeru pada

pembebasan manusia.3

Konsepsi Islam tentang pembebasan manusia adalah ajaran tauhid

yang dibawa oleh Ibrahim, Isa dan Muhammad. Ajaran tauhid menunjukan

bahwa tidak ada penyembahan kecuali kepada Tuhan. Selain itu, ajaran tauhid

juga mengandung makna tentang kebebasan manusia. Seseorang yang telah

3Lihat Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Madzab Barat, (Bandung: Pustaka

Hidayah,1992), hlm. 65-67.

memilih jalan untuk tunduk kepada Tuhan berarti telah menyatakan dirinya

untuk lepas dari belenggu apapun.4

Oleh karena itu, Kuntowijiyo berpendapat bahwa misi terbesar dari

Islam adalah pembebasan manusia.5 Dengan kata lain, Islam adalah agama

yang sarat akan kekuatan pembebas (liberating force) bagi manusia.

Dalam kontek dinamika dunia sekarang, pendidikan Islam justru

masih terkungkung oleh hegemoni Barat. Karena itu, pendidikan Islam pun

dituntut untuk menggunakan prinsip-prinsip “pembebasan” sebagai wujud

nyata dari Islam sebagai agama pembebasan. Jadi, pendidikan Islam dengan

“paradigma pembebasan” merupakan sebuah keniscayaan ; conditio sine

quanon.

Diterimanya prinsip dikotomik antara ilmu agama dan ilmu sekuler

dalam dunia pendidikan Islam, jelas menunjukan bahwa fondasi pandangan

dasar pendidikan Islam telah rapuh. Dikotomi ini terlihat pada dualisme sistem

pendidikan di negara-negara muslim. Selain itu pun, dualisme dikotomi ini

diperkuat oleh penjajahan Barat atas dunia Islam yang berlangsung dalam

kurun waktu yang cukup lama.6

Dengan demikian, pendidikan Islam sebagai proses yang

disandarkan pada nilai-nilai ideal Islam secara benar dan proporsional,

memang seharusnya meletakkan kebebasan manusia sebagai dasar pijakan

operasional sekaligus sebagai tujuan pendidikan itu sendiri.7

4Lihat M. Rusli Karim “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam

Muslih Usa (ed.), Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 31.

5Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam ; Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 164-165. Dalam kontek ini, Kuntowijoyo mengkritik pembebasan versi dunia Barat yang mempunyai logika filsafat bahwa kemajuan hanya dapat dicapai jika pembebasan diri dari alam pikiran agama, dan karena logika filsafatnya mengesampingkan referensi transendentalnya akhirnya manusia pun kehilangan petunjuk. Dapat dilihat misalnya Marxisme yang terpuruk dalam belenggu determinisme, manusia tidak dapat merdeka karena kesadarannya, keberadaan sosialnnya, dan bahkan keberadaan eksistensinya ditentukan oleh posisi ekonomi dan cara produksinya.

6Lihat Ahmad Syafii Maarif, “Pendidikan Islam Sebagai Paradigma Pembebasan”, dalam Muslih Usa (ed.), op.cit., hlm. 18.

7Lihat Achmad Warid Khan, Membebaskan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Kerjasama Institut Tafsir Wacana (ISTAWA) dengan penerbit Wacana, 2002), hlm. 1-2.

Inilah bukti bahwa dunia pendidikan Islam selalu concern terhadap

manusia dan kehidupan. Manusia dengan segala potensinya menempati posisi

penting dalam dunia pendidikan Islam. Pendidikan Islam menempatkan Insan

Kamil (baik sebagai ‘abd mapun khalifah) sebagai muara dari proses yang ada

di dalamnya. Selain itu, potensi tersebut juga diarahkan kepada hakikat

eksistensi manusia.

Apabila pendidikan Islam hanya berorientasi kepada nilai yang

bersifat defensif semata,8 dan tanpa disertai proses penciptaan nilai yang

memiliki muatan liberating force sebagai counter terhadap perubahan, maka

eksistensi pendidikan Islam baik dalam kerangka sistem, intuisi, konsep

maupun tujuan akan semakin sulit untuk melahirkan sosok pelaku sejarah

sejati.9

Melihat realitas tersebut, nampak jelas bahwa urgensitas

pendidikan Islam yang dibutuhkan oleh umat dalam masa sekarang ini adalah

pendidikan yang mampu menempatkan kekuatan pembebas manusia pada

posisi sentral dalam setiap perubahan dan mampu dalam mengendalikan

perubahan yang sedang dan akan dialaminya.10

Dalam kontek ini, Jalaludin Rahmat berpendapat bahwa

pendidikan Islam bukan saja merupakan proses penanaman nilai moral untuk

membentengi diri dari akses dunia Barat, tetapi yang paling urgen adalah

bagaimana nilai tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas dari

segala himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial, budaya

dan ekonomi.11

Jadi, misi pendidikan Islam yang utama berarti harus

membebaskan manusia dari kungkungan berbagai aliran pemikiran dan filsafat

yang memandang bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan hanya

8Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual,

(Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 166. Menurut Fazlur Rahman, meskipun telah dilakukan usaha pembaharuan dalam bidang pendidikan, tujuan pendidikan Islam yang ada bukan diarahkan kepada tujuan positif, melainkan diorientasikan kepada akhirat semata serta bersifat defensif yaitu untuk menyelematkan kaum muslimin dari pencemaran dan pengrusakan dunia Barat.

9Lihat Achmad Warid Khan, op.cit., hlm. 6. 10Ibid. 11Lihat Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 63.

hidup dalam absurditas. Dunia modernlah yang telah menciptakan sistem-

sistem yang membelenggu manusia. Akibatnya, manusia pun tidak dapat

mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan bermartabat

mulia.12

Dengan demikian, rekonstruksi terhadap konsep pendidikan Islam

dengan menyertakan konsep Islam merupakan suatu keharusan, sebab Islam

memandang manusia dalam wujudnya harus melaksanakan nilai-nilai

keagamaan.13 Hasil rekonstruksi ini pun menjadi sangat penting, sebab akan

dijadikan referensi demi meraih kemajuan dalam dunia pendidikan Islam.

Pendidikan Islam sebagai suatu usaha dalam rangka mewujudkan

pribadi yang bernafaskan Islam, tentu memerlukan dasar dan landasan kerja

untuk memberi arah dan pedoman. Selain itu, landasan tersebut juga berfungsi

sebagai sumber inspirasi untuk mengokohkan jalannya proses pendidikan.

Kendatipun dasar pendidikan Islam identik dengan al-Qur’an dan

al-Hadits, namun dalam mengangkat tema-tema dasar pendidikan Islam

seharusnya juga menggunakan formula kontekstual. Dengan kata lain, dasar

pendidikan Islam itu lebih berupa formulasi kebutuhan faktual yang

direkomendasikan oleh al-Qur’an.14

Menurut M. Arifin, dengan meletakkan dasar Islam dalam proses

pendidikan, diharapkan nilai-nilai dasar agama dapat memberikan ruang

lingkup berkembangnya proses pendidikan Islam dalam rangka mencapai

tujuan hidup manusia yang bersifat hakiki.15

Jadi, di saat dunia memasuki kawasan globalisasi yang ditandai

dengan semakin pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi, yang lebih

12Lihat Achmad Warid Khan, op.cit., hlm. 189. 13Lihat Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2001), hlm.

18. Menurut Islam, manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang terikat kepada Tuhannya. 14Lihat Achmad Warid Khan, op.cit., hlm. 67. Lihat pula Muhaimin, Wacana

Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 46-47. Muhaimin memetakan para pemikir pendidikan Islam menjadi tiga. (1) Menggunakan wahyu, kemaslahatan sosial, nilai kebiasaan sosial, serta pandangan pemikir Islam. (2) Hanya menggunakan wahyu. (3) Menggunakan wahyu dan bersedia menerima setiap perubahan dan perkembangan budaya baru yang dihadapinya untuk ditransformasikan menjadi budaya yang islami.

15Lihat M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam ; Suatu Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. V, hlm. 54.

realistis adalah disamping formulasi dasar pendidikan Islam mengacu kepada

wahyu, pendidikan Islam pun dituntut untuk selalu merefleksikan ilmu dan

kebebasan manusia. Jika rumusan itu lebih spesifik dengan kebutuhan, maka

proses pendidikan akan berlangsung dengan dasar pendidikan yang jelas.16

Masalah pendidikan yang dikaitkan dengan paradigma pembebasan

pada masa kontemporer ini, salah satunya terlontar dari Paulo Freire sang

pemikir radikalis asal Brazil. Freire dalam kontek ini telah memberikan

kontribusi pemikirannya tentang humanisme dalam dunia pendidikan.

Berangkat dari realitas masyarakatnya yang dibenamkan dalam

kebudayaan bisu, Freire berusaha membangkitkan kedasaran kaum tertindas.

Baginya, penindasan apapun alasannya adalah menafikan harkat kemanusiaan.

Oleh karena itu, humanisasi adalah pilihan mutlak baginya. Manusia utuh

dalam pandangan Freire harus menjadi pelaku, sehingga manusia bisa otonom

; bebas dan merdeka.17

Dalam hal ini, Freire menempatkan kesejatian fitrah manusia untuk

merdeka dari situasi yang menindas karena eksploitasi kelas, dominasi gender,

dan hegemoni budaya. Jadi, Freire telah berusaha mengembalikan pendidikan

sebagai tempat bagi harkat kemanusiaan yang diarahkan kepada pembebasan

manusia. Sedangkan faktor penting dalam proses ini adalah kesadaran.

Pendidikan yang disebutnya sebagai “pendidikan kaum tertindas”

merupakan perjuangannya dalam kontek interaksi dunia dan manusia serta

proses berkelanjutan prakisis, refleksi dan aksi. Karena itu, pendidikan bagi

Freire haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya

sendiri baik secara subyektif dan obyektif dalam fungsi yang dialektis. Selain

itu, pendidikan baginya adalah untuk pembebasan dan bukan untuk dominasi.

Selain Paulo Freire, Abdurahman Mas’ud pun membawa semangat

pemikiran humanisme dalam dunia pendidikan khususnya dalam dunia

pendidikan Islam. Pemikiran humanisme Abdurrahman Mas’ud berangkat dari

realitas masyarakatnya yang telah “hanyut” dalam dimensi ketuhanan

16Lihat Achmad Warid Khan, op.cit., hlm. 168. 17Mengenai pemikiran humanisme Freire dalam dunia pendidikan, lihat selengkapnya

dalam bab III.

sehingga masalah kemanusiaan nyaris dihilangkan. Pemisahan dimensi ini

justru telah menyebabkan kemunduran umat Islam secara besar-besaran.

Akibatnya, dunia pendidikan Islam pun mengalami berbagai persoalan besar.18

Melihat realitas seperti ini, humanisasi juga merupakan suatu

keharusan bagi Rahman. Humanisasi baginya merupakan konsep keagamaan

yang menempatkan manusia sebagai manusia serta upaya humanisasi ilmu-

ilmu dengan tetap memperhatikan tanggungjawab manusia baik kepada Tuhan

maupun kepada sesama manusia.

Dalam hal ini, Rahman telah menempatkan kesejatian fitrah

manusia untuk selalu berikhtiyar dari keterkungkungan dualisme (dikotomi)

kehidupan dengan tetap memperhatikan tanggungjawab terhadap Tuhan dan

kehidupan. Manusia baginya harus menjadi khalifatullah. Manusia utuh bagi

Rahman adalah manusia yang menempatkan kesadaran akan

tanggungjawabnya terhadap Tuhan dan sesama manusia.

Karena itu, pendidikan Islam bagi Rahman harus mengarah kepada

keseimbangan tanggungjawab terhadap Tuhan dan sesama manusia. Jadi,

“pendidikan nondikotomisnya” merupakan perjuangannya dalam melawan

dominasi dikotomis antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan dalam dunia

pendidikan.

Dengan demikian, kedua tokoh ini telah telah melakukan “ijtihad

intelektual” untuk membebaskan manusia dari budaya verbal yang serba naif

dan membosankan dalam proses pendidikan yang mematikan daya kritis dan

daya kreatif manusia.

Dengan kata lain, kedua tokoh ini telah berusaha menghidupkan

pengalaman “demokrasi” dalam dunia pendidikan. Inti kehidupan demokrasi

ialah penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, tanpa penerapan

asas demokrasi, tidak mungkin kreativitas manusia yang menjadi sumber bagi

peningkatan hidup manusia dapat hidup dan berkembang.19

18Pemikiran Abdurrahman Mas’ud tentang humanisme dalam dunia pendidikan (Islam)

selengkapnya juga ada dalam bab III. 19Lihat H.A.R. Tilaar, Manajemen…., loc.cit.

Jadi, gerakan humanisasi Paulo Freire dan Abdurrahman Mas’ud

dalam dunia pendidikan merupakan sebuah usaha yang lebih mementingkan

nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan. Artinya, pendidikan dituntut

untuk lebih memperhatikan pengembangan kreativitas manusia.

Keterkaitan pendidikan Islam dengan term “pembebasan” seperti

yang dikemukakan oleh Freire dengan istilah “pendidikan kaum tertindas”

maupun “pendidikan nondikotomis” menurut Abdurrahman Mas’ud tidak

muncul begitu saja tanpa adanya makna yang esensial.

Sebuah kesimpulan yang sudah lama diyakini menegaskan bahwa

pendidikan adalah sarana terpenting untuk mencapai kemerdekaan setiap

manusia. Sejarah telah membuktikan, ketika dalam merebut kemerdekaan

bangsa, pada umumnya para pemimpin di berbagai negara jajahan senantiasa

memulai perjuangannya dari bidang pendidikan.20

Berdasar realitas historis ini, bisa dipahami bahwa proses

pendidikan memiliki akses yang kuat dalam mengakselerasi kebebasan.

Dengan demikian, keterkaitan istilah pendidikan Islam dengan istilah

pembebasan mengandung makna keharusan ; conditio sine quanon. Artinya,

pendidikan Islam harus merangsang manusia untuk berfikir mandiri dalam

rangka menciptakan gagasan yang otentik, orisinil sehingga tidak mudah

terpengaruh dan mendapat tekanan dari siapa pun.

Dalam kontek inilah Muhammad ‘Atiyah al-Abrasy menyebut

pendidikan Islam sebagai pendidikan yang ideal, karena di dalamnya

mengandung proses demokratisasi, pembebasan, dialogis, pemberian peluang

yang besar terhadap penggunaan akal, dan besarnya perhatian terhadap arah

dan kecenderungan potensi bawaan manusia.21

Meskipun pemikiran humanisme Freire terkait dan memberikan

kontribusi bagi dunia pendidikan Islam, jika dikaitkan dengan tujuan akhir

dari pendidikan Islam nampaknya pemikiran humanisme yang ditawarkan

20Lihat pengantar Abdurrahman Wahid dalam Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek

Pembebasan, loc.cit. 21Lihat Muhammad ‘Atiyah Al-Abrashy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1970), hlm. 20.

Freire kurang relevan. Pemikiran humanisme Freire hanya berhenti pada

terminal kebebasan penyadaran diri. Artinya, Friere kurang memperhatikan

muatan makna terhadap “fungsi dan tujuan-tujuan hidup” sebagai sasaran

idealisme pendidikan yang seharusnya dijadikan dasar fundamental dari

sebuah proses pendidikan.

Dalam kontek ini, Freire nampaknya masih terlalu terikat dengan

kepentingan dunia, sehingga belum mempunyai kaitan dengan dimensi

spiritual transendental yang memungkinkan manusia untuk berhubungan

dengan Tuhannya. Sedangkan eksistensi manusia di bumi hanyalah bermakna

bila kegiatannya diorientasikan secara sadar ke langit. Tanpa orientasi

semacam ini, apapun bentuk kegiatan, jelas tidak akan mempunyai nilai di

hadapan Tuhan.22

Oleh karena itu, pemikiran humanisme Freire harus disikapi secara

realistis dan kritis. Pemikiran humanisme Freire menempatkan kebebasan atau

kemerdekaan manusia untuk mengembangkan potensinya. Dalam pandangan

Islam, meskipun manusia bersifat bebas, namun kebebasan itu tentunya harus

dibatasi oleh hukum Tuhan yang sejalan dengan filsafat yang mendasari

penciptaan manusia.

Hukum inilah yang disebut sebagai “keharusan universal” (taqdir)

sebagai batas dari kemerdekaan (ikhtiyar) manusia. Kebebasan dalam Islam di

ukur menurut kreteria agama, akhlak, tanggungjawab dan kebenaran. Empat

kreteria inilah yang menjadi pembatas agar kebebasan tidak mengarah kepada

anarkhi.23

Konsekuensinya, meskipun manusia bersifat bebas dalam

mengembangkan potensinya, tetapi potensi tersebut terikat oleh hukum Tuhan.

Karena itu, potensi tersebut harus selalu diorientasikan untuk tujuan

22Lihat Ahmad Syafii Maarif, dalam Muslih Usa (ed.), loc.cit., hal. 25. Lihat pula

Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 158. Menurut Cak Nur, Islam mengajarkan bahwa hidup harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Demikian ini yang menjadi inti dari rangkaian program aksi kemanusiaan dalam membangun kembali dunia. Oleh karena itulah, baik buruknya bumi diserahkan seluruhnya kepada manusia. Karena itu, manusia harus siap ketika memilih tindakannya.

23Lihat M. Rusli Karim dalam Muslih Usa (ed.), loc.cit., hlm. 39.

pengabdian mencari ridha Allah sehingga mengharuskan pemiliknya untuk

mengaktualisasikan potensinya berdasar pola ilahi demi meraih kemaslahatan.

Karena itu, dapat dilihat perbedaan antara pemikiran humanisme

Freire dan Abdurrahman Mas’ud. Perbedaan paling menonjol adalah adanya

hubungan yang bersifat ta’abud ilallah. Artinya, pemikiran Rahman tidak

hanya mewujudkan manusia menuju cita humanisme universal atau

kemaslahatan umum, tetapi bermuara pada pembentukan manusia sesuai

kodratnya yang mencakup dimensi ketuhanan (vertikal) maupun dimensi

kemanusiaan (horizontal) yang berkorelasi dengan pola hubungan

kemanusiaan yang disertai pertanggungjawaban kepada Tuhan.

Jadi, meskipun ada keterkaitan antara pemikiran humanisme Paulo

Freire dengan Abdurrahman Mas’ud dalam dunia pendidikan Islam, pemikiran

humanisme Abdurrahman Mas’ud nampaknya lebih relevan daripada

pemikiran humanisme Paulo Freire terutama jika dikaitkan dengan problema

pendidikan Islam masa kini.

Disamping pemikiran Rahman tidak berorientasi kepada aspek

dunia semata, pemikirannya juga tidak melepaskan aspek fundamental yang

dijadikan “pusat” dari seluruh kegiatan yaitu Tuhan demi pemenuhan tujuan

kemanusiaan. Oleh karena itu, pemikiran Rahman lebih bercorak religius.

Disamping itu, pemikirannya juga mencoba untuk mengintegrasikan dikotomi,

dan menjaga keseimbangan dunia-ukhrawi.

Pemikiran Rahman sebagaimana dijelaskan di atas, jelas searah

dengan pandangan dunia (weltanschauung) Islam yang bersifat humanis-

teosentris. Konsep ini mengandung arti bahwa keseluruhan alam semesta

berpusat kepada Tuhan, dimana alam tunduk kepada-Nya dan manusia tidak

memiliki tujuan hidup selain menyembah kepada-Nya. Dengan kata lain,

manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah demi

kepentingan manusia.24

24Lihat Kuntowijoyo, op.cit., hlm. 299. Senada dengan Kuntowijoyo adalah Mastuhu.

Lihat Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 19. Konsep ini dalam bahasa Mastuhu adalah antropo-teosentris. Corak teosentris adalah corak pemikiran yang bersumber pada wahyu ilahi, atau menurut Mastuhu bercorak teosentris

Dengan demikian, pemikiran Rahman mengandung implikasi yang

sangat dalam bagi dunia pendidikan Islam. Sebab, jika dalam proses

pendidikan Islam ditanamkan tentang “kebebasan” yang syarat akan “nilai

Ilahiyah”, tentu akan membawa implikasi yang positif dalam proses

pendidikan Islam yaitu manusia yang ideal atau Insan Kamil.

Usaha ini tentu harus diinternalisasikan kepada individu sesuai

dengan perkembangannya baik secara formal, non formal maupun informal.

Tidak hanya sebatas pada pemenuhan aspek material saja, tetapi yang paling

penting adalah moral, spirit dan transenden. Tanpa usaha ini, produk

pendidikan Islam pun akan menjadi “manusia yang tidak manusiawi” ;

manusia yang pecah pribadinya (split personality) dan lebih berorientasi

kepada formalitas sertifikat (certificat oriented) maupun sejenisnya.

Jika dikaitkan dengan problema dunia pendidikan Islam di tanah

air, pemikiran Rahman juga tidak kehilangan relevansinya, sebab pendidikan

Islam di Indonesia sampai saat ini nampaknya belum menempatkan

kemandirian dan tanggungjawab kepada para peserta didik. Selain itu pun

dunia pendidikan Islam di Indonesia masih dihinggapi masalah dualisme

(dikotomi) antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan.

Sejauh manakah pemikiran Rahman bisa menjawab problema

dunia pendidikan Islam ?, tentu sejarahlah yang akan mencatat. Suatu

pemikiran disamping berhadapan dengan pandangan dunia ; world view, juga

berhadapan dengan latar kesejarahan yang akan memberikan kesempatan

untuk membuktikan diri.25

C. Aktualisasi Pemikiran Humanisme Antara Paulo Freire dengan

Abdurrahman Mas’ud Bagi Dunia Pendidikan Islam Masa Kini

dimana konsep antroposentris merupakan bagian esensial dari konsep teosentris. Jadi, konsep antropo-teosentris adalah gabungan dari konsep teosentris (ketuhanan) dan antroposentis (kemanusiaan).

25Lihat Ahmad Muthohar, “Pluralisme dan Tantangan Pendidikan Islam”, dalam Ismail SM (eds.), Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 300.

Actual dalam bahasa Inggris berarti sebenarnya atau sesungguhnya.

Aktualisasi diambil dari kata actualize yang kemudian menjadi actualization

atau Ihya dalam bahasa Arab yang berarti menghidupkan, mewujudkan dan

membangun.26 Aktualisasi yang dimaksud disini adalah proses

pengejawantahan diri (self realization) karena merupakan hasil rentangan

antara sumber daya insani (potensi) dengan proses aktualisasi diri (becoming).

Jadi, aktualisasi merupakan upaya perwujudan ataupun manifestasi.27

Jadi, aktualisasi humanisme dalam dunia pendidikan Islam

merupakan sebuah upaya perwujudan ataupun manifestasi dari proses

pengejawantahan diri dalam dunia pendidikan Islam.

Melihat posisi sentral manusia dalam proses pendidikan yang

melibatkan potensi fitrah, cita rasa ketuhanan dan hakekat serta wujud

manusia menurut pandangan Islam, maka tujuan pendidikan Islam

sesungguhnya adalah aktualisasi dari potensi-potensi tersebut, sebab potensi

yang ada merupakan nilai-nilai ideal yang dalam wujud implementasinya akan

membentuk pribadi manusia secara utuh dan mandiri.

Dalam kontek ini, penulis merujuk hasil konggres sedunia pada

tahun 1980 di Islamabad tentang pendidikan Islam yang telah merumuskan

tujuan pendidikan sebagai berikut :

Education should aim at the balanced growth of total personality of man throught the training of mans’ spirit, intellect the rational self, feeling and bodily sense. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large. [Pendidikan harus bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa,

26Lihat A.H Ridwan, Reformasi Intelektual Islam;Pemikiran Hassan Hanafi Tentang

Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 25. 27Lihat Lift Anis Ma’sumah, Aktualisasi Potensi Wanita Dalam Pendidikan Islam

;Analisis Terhadap Pemikiran Ratna Megawati, Ph.D., Tesis Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2001), hlm. 9-10, t.d.

intelek, dari manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Islam terletak dalam perwujudan ketertundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas maupun seluruh umat manusia]28

Secara analitis tujuan adalah cita-cita, yaitu suasana yang ideal

yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan Islam, suasana ideal itu

nampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education), yakni terletak dalam

perwujudan ketertundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi,

komunitas maupun seluruh umat manusia.

Mengingat bahwa manusia dengan segala potensinya adalah citra

bersyarat (conditional statemen), maka dalam aktualisasinya, menuntut upaya

dari manusia itu sendiri.29 Artinya, manusia yang tunduk kepada Allah harus

bisa mengaktualisasikan potensinya dalam bentangan ruang dan waktu.

Karena itu, Tuhan memberi manusia kemerdekaan untuk berikhtiyar tanpa

menunggu Tuhan untuk bertindak.30

Sebagai realisasi ketertundukan kepada Allah, Islam memberikan

ajaran tentang tanggungjawab dan kewajiban (taklif) terhadap Tuhan dan

manusia. Terhadap Tuhan, konsep manusia dikenal sebagai ábd karena hanya

kepada Tuhan manusia tunduk. Sedangkan konsep tanggungjawab kepada

manusia dikenal dengan konsep khalifah sebab seluruh manusia merupakan

28Lihat M. Arifin, op.cit., hlm. 40. 29Lihat Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media,

1992), hlm. 50. 30Lihat Qur’an Surat Ar-Ra’ad ayat 11 : “sungguh Allah tidak mengubah nasib seseorang

kecuali seseorang itu telah mengubah sesuatu yang terdapat dalam dirinya”. Menurut Abdurrahman Mas’ud, ayat ini merupakan ilustrasi hukum Tuhan tentang sebab-akibat (sunnatullah) yang mendominasi kehidupan individu dan masyarakat, serta menjadikan pasang surutnya peradaban tergantung pada kualitas moral masyarakat dan perubahan-perubahan dalam dirinya. Dengan demikian, adalah tidak bermoral menunggu Tuhan bertindak untuk manusia. Manusia harus beraksi demi melawan perang, kriminalitas dan kebrutalan, sebab Tuhan telah memberikan kekuatan yang luar biasa pada manusia, memberikan kebebasan tingkat tinggi dalam memilih apa yang akan dilakukan manusia. Apa pun pandangan manusia tentang alam semesta ini, akhirnya juga menjadi tanggung jawab manusia. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 275-276.

obyek tindakan moral dan seluruh alam semesta adalah bahan yang harus

diolahnya.

Sebagai khalifah, manusia memiliki kedudukan sebagai wakil

Tuhan di muka bumi. Manusia memiliki tugas kosmik yaitu mengadakan

observasi, eksperimen, dan eksplorasi terhadap segala sumber daya alam

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk tujuan ini, manusia oleh Tuhan

dianugrahi berbagai potensi yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan

kebutuhannya.31

Dalam kontek ini, manusia dalam pandangan Freire harus menjadi

pelaku, sehingga bisa “merdeka”. Manusia yang utuh baginya adalah manusia

yang otonom terhadap diri, realitas dan dunianya. Dengan demikian, manusia

ideal adalah manusia yang memperoleh keutuhan. Keutuhan akan diperoleh

dengan kesadaran. Sedangkan kesadaran akan diperoleh dengan kebebasan.

Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu fitrah

manusia adalah menjadi merdeka dan bebas dengan menggunakan sikap kritis,

daya cipta dan sikap orientatif yang mengembangkan bahasa pikiran. Manusia

adalah kombinasi pikiran dan tindakan untuk memanusiakan sejarah dan

kebudayaan. Sedangkan faktor penting dalam proses ini adalah kesadaran.

Kemerdekaan memang merupakan esensi dari kemanusiaan.

Kemerdekaan dalam arti bebas untuk memilih sehingga tidak ada paksaan.

Karena itu, individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir

daripada kemanusiaan serta letak kebenarannya daripada nilai

kemanusiaannya, sebab individu adalah penanggungjawab dari perbuatannya.

Dengan demikian, kemerdekaan pribadi adalah haknya yang pertama dan

asasi.32

Tetapi individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer

daripada kemanusiaan. Kenyataan lain sifatnya adalah sekunder, sebab

manusia pada hakikatnya adalah “memikul amanah”. Karena itu, kemerdekaan

harus diciptakan dalam kontek hidup bermasyarakat berdasar pola ilahi. Jadi,

sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan, tidak berarti

bahwa manusia selalu merdeka dimana saja. Walhasil, persamaan merupakan

31Lihat abstraksi Komarudin, “Tauhid Sebagai Prinsip Etika Dalam Islam ; Sebuah

Kajian Atas Implikasi Kesadaran Tauhid Bagi Moralitas Menurut Ismail Raji Al-Faruqi”, Tesis Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 1999), hlm. iv-vi, t.d.

32Lihat Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 126.

esensi dari kemanusiaan selanjutnya. Konsekuensinya, kemerdekaan manusia

dibatasi oleh kemerdekaan manusia yang lain.33

Karena itu, meskipun implementasi fungsi khalifah tersebut sangat

mungkin terjadi, tetapi sangat mustahil dapat terrealisasi secara sembarangan

dan semaunya. Konsekuensinya, setiap manusia tidak dapat meniadakan

eksistensi kebebasan manusia yang lain ataupun makhluk lain. Manusia tidak

dapat melepaskan diri dari rasa tanggungjawab ketika merealisasikan fungsi

dan tugas kosmiknya. Bersikap acuh terhadap keduanya berarti bersedia

menerima keadaan chaos ; kacau dalam kehidupan.34

Dalam kontek inilah, demi pengaktualisasian fungsi manusia

sebagai khalifah, disamping Tuhan telah memberikan potensi kepada manusia

untuk bisa memahami-Nya, Tuhan pun menurunkan “wahyu” lewat para

rasul-Nya sebagai pedoman demi kemaslahatan serta menjaga kerusakan. Hal

ini jelas telah difirmankan oleh Tuhan dalam surat Al-Anbiyaa’ (21) : 25,

surat An-Nahl (16) : 36, surat Al-Mu’minun (23) : 23, surat Al-An’am (6) :

74, surat Asy-Syu’araa (26) : 177 dan surat Yunus (10) : 75.35

Dengan demikian, ketika mengaktualisasilan fungsi khalifah-nya,

manusia juga tidak bisa melepaskan fungsinya sebagai ‘abd Allah-nya.

Artinya, ketika manusia hendak menjalankan fungsi khalifah-nya, disamping

manusia harus menata niat, manusia juga harus merealisasikan niatnya dalam

bentuk usaha dan tindakan. Selain itu pun, manusia dituntut untuk menata

tujuan yang hendak dicapai. Semuanya mesti sejalan dengan pola ilahi, sebab

menyimpang dari norma dan pola ilahi berarti menyimpang dari prinsip

tauhid.36

Dalam kontek inilah, Rahman menegaskan bahwa Islam telah

memberikan konsepnya yang ideal tentang humanisme yang bersifat religius.

Artinya, manusia ideal dalam pandangan Rahman adalah manusia yang

33Ibid. Lihat pula Nur Cholis Madjid, “Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa

Islam”, dalam Hasil Kongres XXIII PB HMI, (Jakarta: PB HMI, 2002), hlm. 65. 34Lihat Komarudin, loc.cit. 35Ibid. 36Lihat Lihat Komarudin, loc.cit.

memusatkan dirinya kepada Tuhan tetapi tujuannya adalah demi

kemaslahatan. Dengan demikian, manusia yang ideal adalah manusia yang

menempatkan kesadaran akan tanggungjawabnya terhadap Tuhan dan sesama

manusia. Artinya, manusia disamping peka terhadap kemanusiaan, juga tidak

melepaskan nilai-nilai ideal ajaran agamanya.

Disinilah arti penting Islam sebagai agama bagi kemanusiaan.

Islam memberikan arti dan arah yang jelas kepada manusia dalam rangka

pengembangan seluruh potensi berdasar “wahyu Tuhan”. Bukan itu saja,

Islam juga mempunyai suatu corak yang sangat khusus, yakni nilai kedamaian

kepada seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Konsekuensinya, menjadi

seorang Muslim berarti “bernafaskan Islam” atau tidak melepaskan nilai-nilai

ideal Islam.

Dalam Islam, manusia yang ideal itu adalah manusia yang bisa

mengaktualisasikan fungsi ‘abd Allah dan khalifah-nya sekaligus dalam

kehidupan. Tidak hanya aspek ketuhanan yang dikedepankan, tetapi juga

aspek kemanusiaan. Begitu pula sebaliknya. Tidak pula hanya bersifat pribadi,

tetapi juga komunitas dan kepada seluruh umat manusia.

Jadi, manusia yang ideal berdasar Islam adalah Insan Kamil ;

manusia yang bisa mengaktualisasikan fungsinya sebagai ‘abd sekaligus

sebagai khalifah. Karena itu, untuk mengaktualisasikan dirinya dalam dunia

pendidikan Islam, manusia ideal memang seharusnya menjalankan fungsinya

sebagai khalifah sekaligus ‘abd Allah.

Dalam proses pendidikan Islam, fungsi khalifah dijadikan titik

awal, proses maupun produk. Sementara itu, fungsi ‘abd Allah menjadi tujuan

akhir dari pendidikan Islam. 37

Sebagai titik awal, subyek didik haruslah dipandang sebagai

manusia yang mempunyai misi mengelola bumi, sehingga manusia dipandang

sebagai makhluk yang mempunyai hakikat eksistensi. Sebagai proses, subyek

didik dipandang sebagai makhluk yang memikul amanat Tuhan, sehingga nilai

Islam pun perlu ditanamkan kepadanya. Sebagai produk, manusia sebagai

37Lihat Ahmad Muthohar, dalam Ismail SM (eds.), loc.cit.

khalifah diharapkan bisa mengimplementasikan nilai Islam dalam kehidupan.

Sedangkan konsep ‘abd Allah berarti segala perilaku yang merupakan produk

dari pendidikan Islam haruslah bertujuan untuk mengabdi kepada Tuhan.38

Jadi, dengan intergalnya status fungsi ‘abd Allah sekaligus khalifah

dalam proses pendidikan Islam, manusia diharapkan akan membawa

terciptanya tatanan kehidupan yang bermoral dan damai bagi seluruh alam.

Hal ini tentu saja sejalan dengan esensi ajaran Islam sebagai ajaran yang

damai pada semua (rahmatan lil ’alamin). Menurut Abdurrahman Mas’ud,

gambaran ajaran kedamaian tersebut terdapat dalam surat al-Baqarah (2) ayat

97.39 Allah berfirman :

فى الحج اشهر معلومت فمن فرض فيهن الحج فال رفث وال فسوق وال جدال

احلج وما تفعلوا من خير يعلمه اهللا وتزودوا فان خير الزد التقوى واتقون ياولى

⎯ االلباب

Haji itu pada bulan-bulan yang tertentu. Barang siapa mengerjakan perlu haji, maka tak boleh ia bersetubuh (dengan perempuannya), tak boleh memperbuat kejahatan dan tak boleh pula berbantah-bantah waktu haji. Apa-apa kebaikan yang kamu perbuat niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah kamu dengan sesungguhnya sebaik-baik perbekalan, ialah taqwa (memelihara dari meminta-minta). Takutlah kepada-Ku, hai orang-orang yang mempunyai akal.40

Titik tekan dalam ayat ini adalah ajaran ال رفث وال فسوق وال جدال فى

yakni suatu ajaran misbehavior ; ajaran dasar tentang kedamaian pada , الحج

38Ibid. 39Abdurahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik ; Humanisme

Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 141-142. 40Mahmud Yunus, Terjemah Qur’an Karim, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989), cet. V, hlm.

29.

semua makhluk. Jadi, Islam adalah universal religion of peace ; Agama yang

sangat menekankan kedamaian pada seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).41

Ajaran kedamaian ini juga yang menyebabkan mengapa

humanisme harus dikembangkan dalam dunia pendidikan Islam. Sebab, tanpa

nilai kedamaian dalam humanisasi bagi proses pendikan Islam, produk

pendidikan Islam pun akan menjadi tidak manusiawi.

Karena itu, dalam aktualisasinya, manusia ideal adalah manusia

yang mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai ‘abd sekaligus khalifah

sebagai realisasi ketertundukannya kepada Tuhan baik secara pibadi,

komunitas maupun seluruh umat manusia demi kemaslahatan serta menjaga

kerusakan demi meraih kebahagiaan dunia maupun akherat.

Disinilah inti dari ajaran Islam tentang kemanusiaan (humanisme).

Islam mengajarkan bahwa sikap manusia yang tunduk kepada Tuhan, harus

mengaktualisasikannya dalam bentuk “amal shaleh”, yakni menjalin hubungan

yang baik dengan Tuhan dan sesama manusia dalam bentuk kerja dan karya

positif, kreatif, kritis, terbuka, mandiri, bebas dan bertanggungjawab.42

Dengan kata lain, inti ajaran kemanusiaan (humanisme) dalam

Islam adalah “kemerdekaan dalam persamaan”. Artinya, kemerdekaan pribadi

harus diaktualisasikan melalui usaha dan tindakan berdasar pola ilahi yang

telah diwahyukan dalam bentangan ruang dan waktu. Karena itu, Islam

mengajarkan bahwa ilmu hakikatnya adalah untuk amal. Amal tanpa ilmu

tidak akan mencapai tujuan, sedangkan ilmu tanpa amal akan menghancurkan

peradaban bahkan akan membawa kerusakan.

Dalam kontek inilah, pendidikan Islam seharusnya sarat akan aksi

kemanusiaan. Artinya, pendidikan Islam dituntut lebih peka terhadap realitas

41Abdurrahman Mas’ud, Menggagas…., loc.cit. Islam adalah universal religion of peace,

agama kedamaian pada seluruh alam. Salah satu lambang kedamaian tersebut, bisa dilihat dalam ibadah haji sebagai ritual dan juga merupakan universalisme Islam seperti yang ditulis oleh Malcom X dalam a letter for Mecca. Mengenai ayat tersebut, ada dalam Q.S (2) : 197. Lihat Pula Abdurrahman Mas’ud, “Agama dan Perilaku Politisi Dalam Proses Pilkada : Dari Kesalihan Pribadi Ke Kesalihan Sosial” dalam Satoto, et.al., Pilkada di Era Otonomi ; Berlayar Sambil Menambal Lubang di Kapal, (Semarang: Kerjasama KP2G Jateng , DRD Jateng, dan CV Aneka Ilmu, 2003), hlm. 54.

42Lihat Muhaimin, loc.cit., hlm. 157.

aktual yang sesungguhnya. Aksi inilah sebagai jembatan antara idealitas dan

realitas. Dalam kontek ini, Fazlur Rahman berpendapat : “sebuah proses

pendidikan tidak akan memperoleh pengetahuan tentang tujuan akhir

kehidupan, jika tidak mengetahui realitas aktual yang sesungguhnya”.43

Dalam memperoleh pengetahuan tentang hakikat “nilai baik” dan

“nilai buruk” dalam menjalankan aksi kemanusiaannya, manusia pun

memerlukan “etika” sebagai teori dasar dalam kehidupannya. Etika bisa

disebut juga sebagai filsafat moral. Sementara itu, etika dalam Islam dasarnya

adalah kepercayaan yang sesuai dengan wahyu yang telah diturunkan oleh

Tuhan lewat para rasul sebagai dasar pedoman, yakni “transendensi”.

Global Ethics and Human Solidarity are possible once the religious belief-system serves as a theoretical foundation of human behavior, and once the value system is a natural consquence of the belief system. Since Transcendence is the cornerstone of all belief systems, even those based on immanence, since the Good Deed based on the Good Intention is shared between all religions, and since a unifield collective action for human survival and the preservation of human reason, the persistence on knowable truth and the protection of people, dignity and national wealth can rally a human consensus, therefore, Global Ethics and Human Solidarity ideed possible.44

[Etika global dan solidaritas kemanusiaan boleh jadi merupakan sistem kepercayaan agama yang bertindak sebagai landasan teoretis perilaku manusia. Disisi lain, sistem nilai adalah suatu konsekuensi alami dari sistem kepercayaan. Karena transendensi adalah dasar bagi semua kepercayaan, bahkan sistem kepercayaan yang didasarkan atas immanence, karena perbuatan Tuhan yang didasarkan atas kehendak Tuhan juga diyakini oleh semua agama, dan karena suatu tindakan kolektif yang seragam bagi kelestarian manusia dan pemeliharaan nalar manusia, keteguhan mengenai kebenaran yang dapat diketahui dan perlindungan terhadap manusia, kehormatan dan kesejahteraan nasional dapat menggabungkan suatu konsensus manusia. Oleh karena itu, etika sosial dan solidaritas kemanusiaan sangat dimungkinkan]

43Lihat Fazlur Rahman, op.cit., hal. 160. 44Lihat Hassan Hanafi, “Global Ethics and Human Solidarity An Islamic Approach”,

dalam INTERNATIONAL SEMINAR ON ISLAM AND HUMANISM (Universal Crisis of Humanity and the Future of Religiosity, IAIN Walisongo Semarang, 5-8 Nopember 2000, hlm. 13. Dalam hal ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada bapak Ismail SM, bapak Agus Nurhadi, mbah Ahwan Fanani, kangmas Mustaghfirin, dan mbak yu Mufidah.

Menurut Isma’il Raji Al-Faruqi seperti dikutip Komarudin,

transendensi merupakan penegasan akan eksistensi Tuhan yang merupakan

pilihan mutlak ; conditio sine quanon bagi manusia yang tak mungkin

dihindari.45 Jadi, tanpa transendensi, segala jenis bentuk aksi kemanusiaan

jelas tidak akan mempunyai makna bagi Tuhan.

Karena itu, transendensi merupakan “pusat” dari seluruh kegiatan

manusia dalam ajaran tauhid Islam. Walhasil, tanpa orientasi ini, upaya

manifestasi manusia dalam proses pendidikan Islam akan semakin jauh dari

harapan. Artinya, manusia tidak akan menjadi manusia yang sebenarnya

sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.

Dalam hal ini, Islam mengajarkan bahwa disamping manusia harus

menata niat, manusia juga harus merealisasikan niatnya dalam bentuk usaha

dan tindakan. Selain itu pun, manusia dituntut untuk menata tujuan yang

hendak dicapai. Semuanya mesti sejalan dengan pola ilahi, sebab menyimpang

dari norma dan pola ilahi berarti menyimpang dari prinsip tauhid.

Dari sinilah tauhid sebagai intisari dalam ajaran Islam hendak

memberikan penegasan bahwa kebenaran dan kebaikan perbuatan manusia,

baik yang termanifestasi melalui niat maupun tindakan akan benar-benar

memiliki nilai baik apabila didasarkan pada prinsip tauhid.

Sejarah antara putra Adam yakni Habil dan Qobil, serta Ismail

putra Ibrahim yang telah diabadikan oleh al-Qur’an setidaknya bisa dijadikan

dasar pijakan.46 Kedua kisah tersebut nampaknya mengisyaratkan bahwa

Tuhan tidak akan menerima “pengorbanan manusia” tanpa dasar yang tegas

dan jelas yakni hanya mengharapkan ridho-Nya. Jadi, tanpa orientasi kepada

dzat yang Maha Tinggi, manifestasi kemanusiaan dalam dunia pendidikan

Islam sama sekali tidak akan mempunyai arti.

45Lihat Tafsir, dkk, Moralitas Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas (Telaah Atas

Pemikiran Fazlur Rahman, Al-Ghazali, dan Isma’il Raji Al-Faruqi), (Yogyakarta: Gama Media Bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo, 2002), hlm. 7

46Kisah purta Adam terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 27, sedangkan kisah purta Ibrahim terdapat dalam surat Ash-Shaffat ayat 102-107. Lihat juga Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma …, op.cit., hlm. 130-135.

Karena itu, Islam memberikan ajaran kepada manusia tentang

“kemerdekaan dalam persamaan”. Artinya, kemerdekaan individu harus

diaktualisasikan dalam kontek kehidupannya berdasar pola ilahi.

Konsekuensinya, meskipun manusia secara de facto bersifat merdeka dalam

mencari ilmu pengetahuan, tetapi maksud dari mencari pengetahuan itu adalah

menanamkan kebaikan atau kedamaian kepada manusia. Karena itu, secara de

jure ilmu pengetahuan tersebut harus selalu diorientasikan untuk tujuan

pengabdian mencari ridha Allah SWT. Konsekuensinya, manusia harus

mengamalkan ilmunya demi kemaslahatan.

Boleh jadi, konsep formulasi seperti inilah yang disebut sebagai

“humanisme Islam”. Bagi Abdurrahman Mas’ud, humanisme Islam adalah

humanis religius. Bagi Marcel A. Boisard, hanya humanisme tauhid-lah yang

asli. Sedangkan bagi Kuntowijoyo, humanis-teosentris merupakan intisari dari

seluruh ajaran Islam.

Dari beberapa pemikiran tokoh tersebut, nampaknya konsep

tentang “humanisme Islam” bertemu dalam satu titik, yakni berakhir pada

pengabdian dan pemenuhan terhadap kehendak Tuhan demi tujuan

kemanusiaan. Dengan kata lain, moralitas yang dibangun melalui sistem etika

sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga tidak mengabaikan

nilai-nilai keagamaan.

Dengan kata lain, segala bentuk aspek kebebasan, kemerdekaan,

dan kemampuan intelektualitas manusia dihargai dan ditempatkan

sebagaimana mestinya. Nilai-nilai tersebut tidak lagi dicampakkan kepada

otoritas wahyu, tetapi posisinya justru dihargai sebagai “sarana” untuk

memahami wahyu. Disinilah humanisme Islam tidak mengesampingkan

monoteisme mutlak akan tetapi memberikan kepada manusia keagungan untuk

mengembangkan kebajikannya dalam kehidupan. Karena itu, humanisme

Islam memberikan keseimbangan kehidupan bagi manusia antara dunia dan

akhirat.47

47Lihat Marcel A. Boisard, op.cit., hlm. 151-153.

Jadi, humanisme Islam jelas berbeda dengan humanis sekuler yang

dikembangkan berdasarkan pengasahan kepekaan moral dan kemampuan

manusia tanpa didasarkan kepada wahyu. Akibatnya, humanisme melalui

rahim peradaban Barat lebih merasa puas ; at home dengan otoritas rasio yang

bertumpu pada realitas empirik serta bersikap serba antagonis dan reaksioner

terhadap dogma agama.48

Karena itu, teori humanisme dunia Barat yang dibangun sejak

zaman Yunani berusaha mencapai jati diri manusia dengan seluruh

kebenciannya kepada Tuhan. Humanisme Barat menjadikan manusia sebagai

penentu benar dan tidaknya perbuatan, menentukan bahwa segala potensi

keindahan terletak pada tubuh manusia. Akibatnya, humanisme Barat hanya

memperhatikan unsur-unsur yang mengagungkan kenikmatan manusia.49

Akibatnya, manusia modern pun hanya menilai baik-buruk aksi

kemanusiaan hanya bertumpu pada aspek materi, dan telah mengalami tragedi

besar dalam aksi kemanusiaannya. Dengan demikian, humanisme versi dunia

Barat jelas tidak searah dengan humanisme Islam. Humanisme dunia Barat

jelas telah menyeret kemuliaan manusia menjadi debu yang tidak bernilai.

Sebaliknya, humanisme Islam dengan tegas dan jelas telah membawa manusia

mencapai dejaratnya yang paling mulia diantara semua makhluk Tuhan.

Jadi, kiblat umat Islam dalam rangka pengembangan humanisme

dalam dunia pendidikan Islam yang pernah vital beberapa abad lampau

sesungguhnya bukanlah Barat, melainkan keharusan merujuk kembali permata

yang telah hilang ; heritage in the golden age. Kunci kehebatan perkembangan

peradaban dunia Islam di masa lampau sangat berkaitan erat dengan

keberhasilan umat Islam dalam memahami, menyerap, mentransfer serta

melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW secara

konsisten, dinamis dan kreatif.50

48Lihat Zainul Arifin, “Islam dan Humanisme ; Upaya Sintesa Dialektis Antara Perspektif

Sekuler dan Agama Tentang Otoritas Manusia Dalam Tatanan Kosmik Transendental” dalam Jurnal STAIN Malang, Edisi 6, Malang, 1999, hlm. 84-86.

49Lihat Ali Syari’ati, op.cit., hlm. 40-42. 50Lihat Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format…, op.cit.,, hlm. 224-230.

Melihat berbagai problematika umat Islam berkaitan dengan dunia

pendidikan Islam di era modern ini, setidaknya ada tiga hal yang perlu

dikemukakan di sini. Pertama, dibutuhkan perumusan serta internalisasi etika

yang dibangun berdasarkan percikan agama yakni umat Islam yang religius

dan modern. Sikap dan gairah berprestasi, terbuka, disiplin, menghargai akal

sehat, dan bertanggungjawab merupakan prinsip-prinsip yang harus

ditegakkan. Budaya rihlah, semangat mengajar dan menggali ilmu

pengetahuan yang dulu membudaya dalam sejarah Islam harus dibangun

kembali.

Kedua, upaya penciptaan ilmu yang kondusif terhadap aktualisasi

terhadap sistem nilai dalam rangka memusatkan manusia sebagai aktor

perubahan merupakan sebuah keniscayaan ; conditio sine quanon. Upaya ini

harus diiringi dengan adanya keseimbangan antara konsep khalifatullah dan

‘Abd Allah yang diupayakan semaksimal mungkin dalam dunia pendidikan

Islam.

Ketiga, upaya-upaya pengembangan masyarakat dengan misi

pembebasan dan pemberdayaan umat perlu ditegakkan secara kontinu, terpadu

dan bertanggungjawab. Dalam kontek inilah perlu ditegakan sikap kritis,

yakni pendidikan Islam yang mampu melahirkan sikap berani menyuarakan

kebenaran.