bab iii studi hermeneutik terhadap teks hakim...
TRANSCRIPT
44
BAB III
STUDI HERMENEUTIK
TERHADAP TEKS HAKIM-HAKIM 4 DAN 5
Kisah mengenai Debora, Yael dan ibu Sisera tidak berdiri sendiri dalam teks
Perjanjian Lama. Seperti yang telah diungkapkan, cerita ini berada dalam konstelasi
yang besar dari sumber deuteronomi (biasa disingkat DH atau Dtr). Sumber DH
merupakan salah satu sumber yang mewarnai penulisan sebagian kitab-kitab Perjanjian
Lama, selain sumber Y, E dan P. Oleh karena teks yang dipakai penulis dalam kitab
Hakim-hakim merupakan bagian dari sumber DH, maka bab ini akan diawali dengan
pembahasan mengenai sosio-historis kitab Hakim-hakim, kemudian dilanjutkan dengan
tafsiran terhadap teks Hakim-hakim 4 dan 5 dengan menggunakan metode diakronik
dan sinkronik.
A. SOSIO-HISTORIS KITAB HAKIM-HAKIM
Kitab-kitab Perjanjian Lama dibagi atas tiga kelompok, yaitu kitab taurat
(Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan), kitab para nabi (Yosua, Hakim-
hakim, Samuel, Raja-raja, nabi-nabi terdahulu: Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, serta 12
nabi kemudian), dan tulisan-tulisan (tiga gulungan puitis: Mazmur, Ayub, Amsal; lima
gulungan perayaan: Kidung Agung, Ruth, Ratapan, Pengkhotbah, Ester; dan juga
Daniel, Ezra, Nehemia, serta Tawarikh). Menurut Robert B. Coote dan Mary P. Coote,
tiga kelompok ini mempunyai tulisan yang panjangnya hampir sama, tetapi tidak sama
pentingnya. Tauratlah yang paling penting karena berisi instruksi hukum dasar dan
45
sebagai sejarah pembentuk bangsa Israel.1 Kelompok kitab para nabi ditempatkan
sebagai bagian terpenting berikutnya, karena menceritakan kisah bangsa dan para
penguasanya mulai dari penaklukan tanah di bawah pimpinan Yosia sampai kehilangan
tanah itu di bawah wangsa Daud. Sementara, kelompok tulisan-tulisan ditempatkan di
bawah dua kelompok di atas, meskipun kelompok ini penting sesuai dengan kedudukan
mereka sendiri. Kelompok ini berisi keberagaman liturgi refleksi, sejarah dan dokumen
kenabian yang dikomposisikan sesudah kejatuhan wangsa Daud.2
Kitab Hakim-hakim termasuk dalam kelompok kitab para nabi yang
menceritakan kehidupan Israel pada masa pra-monarki di bawah kepemimpinan para
hakim. Para ahli Perjanjian Lama memandang kitab ini sebagai bagian dari sumber
besar sejarah deutoronomi bersama dengan kitab Ulangan, Yosua, Samuel dan Raja-
raja. Kitab-kitab ini merupakan sebuah upaya pemilahan baik dari tradisi oral maupun
dalam bentuk tulisan yang kemudian disusun menjadi satu sejarah deutoronomi. Oleh
karena itu, kitab Hakim-hakim perlu dijabarkan dalam kerangkanya sebagai bagian dari
sumber DH. Guna memahami kisah dalam Hakim-hakim 4 dan 5 secara utuh, penulis
akan membahas sumber DH secara spesifik.
1. Sejarah Deuteronomi atau Deuteronomistic History (DH)
Sejarah deuteronomi atau Deuteronomistic History (DH) merupakan sebuah
hipotesa yang pertama kali dirumuskan oleh Martin Noth pada tahun 1943 dalam
Überlieferungsgeschichtliche Studien.3 Noth dalam Antony F. Campbell dan Mark A.
O’Brien memberikan hipotesa bahwa tradisi-tradisi Israel yang terkumpul dalam
tulisan DH merupakan sebuah karya sastra yang berasal dari beragam tradisi dan
1 Robert B. Coote dan Mary P. Coote, Kuasa, Politik, dan Proses Pembuatan Alkitab: Suatu
Pengantar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 5. 2 Coote dan Coote, Kuasa, Politik, 6. 3 Richard Elliott Friedman, The Exile and Biblical Narrative: The Formation of the
Deuteronomistic and Priestly Works (Chico, California: Scholars Press, 1981), 1.
46
disusun dengan tujuan tertentu, serta individu yang bertanggung jawab untuk
menciptakan karya sastra ini berada di bawah pengaruh teologi dan ekspresi linguistik
dari hukum-hukum dalam kitab Ulangan.4 Menurutnya, secara keseluruhan kitab Yosua
sampai Raja-raja (kecuali Rut) merupakan pekerjaan historis yang dilakukan oleh
seorang penulis selama di pembuangan sekitar tahun 550 SZB.5
Tema yang membingkai sumber DH menurut Noth adalah pernyataan mengenai
malapetaka yang akan dialami bangsa Israel. Cerita tentang Israel merupakan cerita
tentang pemurtadan dan penyembahan berhala, sehingga Israel harus mendapatkan
hukuman dari Tuhan, seperti kematian, sakit-penyakit, penawanan bahkan kehancuran.
Lebih lanjut, komposisi sejarah penulisan sumber DH yang berada pada masa
pembuangan juga mengalamatkan tulisannya kepada orang-orang di pembuangan untuk
menjelaskan alasan terjadinya pembuangan sebagai malapetaka yang tak terhindarkan.6
Pasca Noth, terdapat beberapa ahli yang mencurahkan perhatiannya untuk
meneliti DH dan memodifikasi pandangan Noth, seperti Gerhard von Rad dan Hans
Walter Wolff. von Rad dalam Frank M. Cross menyatakan bahwa tema sumber DH
tidak hanya tentang malapetaka terhadap Israel yang melanggar hukum Tuhan, namun
juga berhubungan dengan anugerah Tuhan. Tema tentang anugerah tersirat dalam
firman Tuhan melalui nabi Nathan kepada Daud yang merupakan sebuah perjanjian
dengan Tuhan tentang perlindungan terhadap dinasti dan kota Daud (2 Samuel 7:13-
16). Menurutnya, tema ini berhubungan dengan “konsep mesianis,” yaitu pengharapan
bahwa kerajaan Daud akan tetap berdiri bahkan setelah pembuangan.7 Hal ini ditandai
dengan pembebasan Yoyakhin, raja Yehuda oleh raja Babilonia (2 Raja-raja 25:27-30).
4 Antony F. Campbell dan Mark A. O’Brien, Unfolding the Deuteronomistic History: Origins,
Upgrades, Present Text (Minneapolis: Fortress Press, 2000), 11. 5 Frank M. Cross, The Cannanite Myth and the Hebrew Epic: Essays in the History of the
Religion of Israel (Cambridge: Harvard University Press, 1973), 274. 6 Cross, The Cannanite, 275. 7 Cross, The Cannanite, 276-277.
47
Wolff dalam Cross juga tidak menerima begitu saja pandangan Noth. Ia bahkan
menolak pandangan von Rad dengan mengatakan bahwa tidak ada yang namanya
pemulihan dinasti Daud. Satu-satunya tema yang paling jelas menurut Wolff adalah
pengharapan bahwa Tuhan akan memulihkan umat-Nya yang mau bertobat.8 Wolff
lebih menekankan pengharapan bagi masing-masing pribadi, bukan bagi sebuah
kerajaan atau dinasti. Menurutnya, perkataan terakhir Musa (Ulangan 4:25-31; 30:1-20)
dan doa Salomo (1 Raja-raja 8:46-53) memberikan harapan pemulihan kepada orang
Israel yang dibuang untuk bertobat dan kembali kepada Yahweh.9
Di pihak lain, pendapat Noth mengenai penulis tunggal yang mengerjakan
sumber DH dinilai terlalu sederhana. Hal ini disebabkan karena sumber DH memiliki
cakupan yang begitu luas yang meliputi relasi antara Tuhan dengan Israel (Ulangan),
pendudukan tanah perjanjian (Yosua), kehidupan sebelum memiliki raja (Hakim-
hakim), masa-masa kerajaan (Samuel) dan kisah kemunduran serta kejatuhan kerajaan
(Raja-raja).10 Cross kemudian mengusulkan untuk memahami sejarah DH ke dalam dua
edisi, yaitu deuteronomi 1 (Dtr 1) yang ditulis sebelum pembuangan dan deuteronomi 2
(Dtr 2) yang ditulis setelah pembuangan.
a. Dtr 1
Dtr 1 ditulis sekitar 100 tahun sesudah kehancuran Israel Utara tahun 722 SZB
atau sekitar tahun 622 SZB di Yerusalem ketika Yosia memerintah sebagai raja
Yehuda. Cross mengemukakan dua tema yang mendominasi tulisan Dtr 1 ini,
yaitu dosa Yerobeam, serta kesetiaan Daud dan Yerusalem. Dosa Yerobeam
tampak dalam pembangunan kultus di Betel dan Dan sebagai tandingan dari
kultus Daud sehingga orang Israel Utara tidak perlu lagi beribadah di Yerusalem.
Kultus tandingan ini dianggap oleh penulis Dtr 1 sebagai dosa paling besar,
8 Cross, The Cannanite, 277. 9 Friedman, The Exile, 2. 10 Campbell dan O’Brien, Unfolding the, 3.
48
karena bait suci yang dibangun dan pemujaan terhadap anak lembu emas
merupakan suatu bentuk pelanggaran dan penghinaan terhadap kultus Yahweh.11
Sebanding dengan dosa Yerobeam di Utara, peristiwa penting lainnya di
Selatan adalah kesetiaan Daud. Daud membangun kultus Yahweh di Yerusalem,
sedangkan Yerobeam membangun kultus tandingan di Betel dan Dan; kultus yang
menjijikan bagi Yahweh. Hal ini menjadikan Daud sebagai lambang kesetiaan,
sedangkan Yerobeam adalah lambang ketidaksetiaan.12 Lebih lanjut, Cross
mengemukakan bahwa puncak dari tema kedua ini terletak pada reformasi Yosia
(2 Raja-raja 22:1 – 23:25).13
Pada tahun 622 SZB, selama dalam masa perbaikan bait Allah, ditemukan
dokumen yang berisikan satu set panjang hukum-hukum Musa yang dikabarkan
hilang (Ulangan 12-26). Yosia kemudian memperbaharui kultus berdasarkan
hukum-hukum yang ditemukan itu sebagai hukum yang sah untuk Israel. Hukum
pertama dan terpenting yang ditemukan mensyaratkan bahwa kultus Yahweh
adalah “esa” (Ulangan 6:4), dilakukan hanya di satu kuil (Ulangan 12:1-14) yaitu
bait suci di mana Yahweh menempatkan nama-Nya.14 Berdasarkan hukum inilah
Yosia melakukan pemusatan kultus hanya di Yerusalem dengan memusnahkan
kultus-kultus asing. Hal ini juga memungkinkan Yosia untuk memulihkan
kembali dinasti Daud dalam satu wilayah, yaitu kerajaan Israel Bersatu.
b. Dtr 2
Sejarah deuteronomi edisi kedua atau Dtr 2 merupakan tulisan yang dihasilkan
pada masa pembuangan, yaitu sekitar tahun 550 SZB. Tema yang muncul dalam
Dtr 2 memiliki kaitan dengan tema Dtr 1, yaitu tentang reformasi Yosia. Tema ini
11 Cross, Canaanite Myth, 279. 12 Cross, Canaanite Myth, 282. 13 Cross, Canaanite Myth, 283. 14 Coote dan Coote, Kuasa, Politik, 77-78.
49
ditulis dengan maksud menulis ulang sejarah DH sehingga relevan dengan masa
pembuangan bagi mereka yang kehilangan harapan dari masa Yosia.15 Dtr 2
bukan hanya untuk menata kembali sejarah Israel sebelum Yosia menjadi raja,
melainkan juga menyusun sejarah sedemikian rupa sehingga menjadi semacam
petunjuk bagi orang-orang di pembuangan tentang kejatuhan Israel. Cerita tentang
dosa Manasye yang murtad dan menyembah berhala dijadikan alasan kejatuhan
Yehuda (2 Raja-raja 21:2-15). Hal ini sebanding dengan kejatuhan Samaria pada
tahun 722 SZB akibat kesalahan Yerobeam.16
Beberapa bagian dalam pekerjaan DH berisi cerita tentang ancaman
penaklukan, penjajahan dan pembuangan, namun menurut Cross karya tersebut
tidak selalu berasal dari editor pada masa pembuangan. Yang lebih penting adalah
ada bagian yang muncul dan ditujukan kepada orang-orang buangan, yaitu untuk
memanggil mereka menuju pertobatan atau memulihkan perjanjian Allah dengan
Israel (Ulangan 4:27-31, Ulangan 30:1-10). Bagian inilah yang menurut Cross
paling dianggap berasal dari tangan editor pada masa pembuangan.17
Berdasarkan dua edisi DH di atas, tampak bahwa DH sangat optimis dalam
mempertahankan nasionalis dari dinasti Daud dan kebijaksanaan Yosia. Kedaulatan
Daud yang tampak dalam reformasi Yosia menjadi tujuan utama dari sejarah
deuteronomi. Intinya adalah bahwa Israel di Utara sebenarnya bagian dari Yehuda di
Selatan, sehingga tidak salah kalau Yosia berdaulat atas Israel Utara dengan melakukan
pembaruan yang bertolak pada hukum dalam Ulangan 12-26. Coote mencatat bahwa
reformasi Yosia mempunyai dua penekaan utama, yaitu sentralisasi, baik secara kultus
maupun istana, dan pengurangan hutang dari masyarakat kelas bawah, kelompok yang
15 Cross, Canaanite Myth, 285. 16 Cross, Canaanite Myth, 285. 17 Cross, Canaanite Myth, 287.
50
lemah dan kurang beruntung akibat kekuasaan Asyur.18 Dengan demikian, tulisan DH
menjadi upaya ideologis untuk mengembalikan Israel Utara ke dalam pangkuan
Yehuda dan memperbaiki tatanan sosial yang telah rusak.
Pertanyaan yang muncul adalah jika tujuan sejarah deuteronomistik adalah
untuk melegitimasi kedaulatan Daud yang direfleksikan dalam pemerintahan Yosia,
maka apa kegunaan cerita panjang pada masa pra-Daud yang hidup dalam konfederasi
suku-suku, termasuk kitab Ulangan, Yosua dan Hakim-hakim? Kitab-kitab ini begitu
berbeda dengan kitab Samuel dan Raja-raja yang sangat jelas menunjukkan tema
kedaulatan keluarga Daud.
Upaya untuk memahami hal ini telah dilakukan oleh para ahli Perjanjian Lama.
Robert B. Coote menyatakan bahwa kitab Ulangan mudah untuk dimasukkan ke dalam
skema kedaulatan Daud karena kitab tersebut terdiri dari hukum reformasi yang
ditemukan pada masa pemerintahan Yosia dan merupakan bagian yang membentuk Dtr
1.19 Sementara, kitab Yosua dan Hakim-hakim menceritakan kisah pra-monarki. Cerita
ini sering dianggap sebagai tradisi yang memperkuat persepsi bahwa sejarawan
deuteronomi adalah seorang kolektor tradisi dan juga editor teks. Jika terdapat cerita-
cerita yang merupakan bagian dari sejarah yang berhubungan dengan tulisan dalam
Samuel dan Raja-raja, maka cerita-cerita itu harus dilihat dalam pemahaman yang sama
pada kedaulatan yang terpusat pada Daud.20
Menurut Coote, juru tulis Yosia mengambil alih keseluruhan wangsa Daud,
dimulai dengan sejarah legitimasi kerajaan yang sudah ada dalam arsip, dokumen-
dokumen asli yang membenarkan perampasan Daud atas tanah-tanah Israel, termasuk
cerita-cerita kemenangan Salomo dan banyaknya perbuatan skandal raja Utara. Karya-
18 Robert B. Coote, Sejarah Deuteronomistik: Kedaulatan Dinasti Daud atas Wilayah Kesukuan
Israel (Salatiga-Jakarta: Universitas Kristen Satya Wacana-BPK Gunung Mulia, 2014), 65, 70. 19 Coote, Sejarah Deuteronomistik, 18. 20 Coote, Sejarah Deuteronomistik, 19.
51
karya yang sudah ada direvisi menjadi tema pokok sejarah yang menjadi hukum di
belakang kebangkitan Yosia.21 Teks dalam kitab Hakim-hakim kemudian dikaitkan
dengan kemerosotan orang Israel karena tidak memelihara hukum Yosia di bawah
kepemimpinan Yosua.22 Ketika Yosua mati, orang Israel mengabaikan hukum-hukum
dan mulai kehilangan daerah mereka sebagai akibat yang diterima. Para hakim berhasil
mencapai kemenangan bersama orang Israel, tetapi mereka tidak mengindahkan hukum
Yosia, terutama menyembah satu Allah, sehingga rakyat mengalami kesialan yang
datang silih berganti di tangan para musuh.23
Marvin L. Chaney dalam Coote memiliki argumen yang berbeda. Menurutnya,
tulisan sumber DH dilakukan Yosia setelah menyadari bahwa Asyur sedang memasuki
masa kehancurannya setelah hampir satu abad menguasai Palestina dan daerah lainnya.
Tindakan Yosia yang membaharui bait Allah dengan cara mengeluarkan atribut dewa-
dewa Asyur dari bait Allah menunjukkan bahwa dirinya adalah raja yang berdaulat dan
tidak tunduk kepada Asyur. Yosia tidak hanya ingin berdaulat atas Yehuda secara
penuh, tetapi juga atas Israel Utara sebagai bagian dari kerajaan Daud. Namun, Yosia
tidak dapat melakukannya dengan mudah karena setelah dikuasai oleh Asyur, Israel
Utara telah terpecah menjadi beberapa provinsi yang diperintah oleh pemuka-pemuka
dari luar Israel yang diangkat Asyur dari berbagai wilayah jajahan.24 Berdasarkan latar
belakang ini, John A. Titaley dalam Coote memberikan pemahaman atas cerita kitab
Ulangan, Yosua dan Hakim-hakim yang dapat dikaji dalam kerangka pembaruan Yosia
sebagai berikut. Kitab Ulangan merupakan kitab utama yang menjadi titik tolak semua
pembaruan Yosia; kitab Yosua yang menceritakan proses pergantian Musa kepada
Yosua sangat mencerminkan legitimasi yang Yosia inginkan di Israel Utara, sehingga
21 Coote dan Coote, Kuasa, Politik, 80. 22 Coote mengidentifikasikan Yosua sebagai Yosia yang sedang menyamar. Yosua adalah Yosia
dengan nama lain. Coote dan Coote, Kuasa, Politik, 81. 23 Coote dan Coote, Kuasa, Politik, 81. 24 Coote, Sejarah Deuteronomistik, 8-9.
52
kitab Yosua menjadi kitab yang mencerminkan diri Yosia sendiri; sedangkan kitab
Hakim-hakim dapat dilihat sebagai gambaran dari kegagalan para pemimpin di Utara
pada zaman Yosia, yaitu para pemimpin provinsi yang ditetapkan Asyur.25
Keberadaan masing-masing kitab dalam konteks ini jelas memberikan
pandangan yang berbeda ketika membaca kisah di dalamnya sebagai bagian dari usaha
Yosia secara menyeluruh untuk mencapai tujuan utamanya yaitu sentralisasi kekuasaan.
Masing-masing kitab memiliki tujuan yang akan dicapai dalam kerangka besar
pembaharuan Yosia, sehingga menjadi penting untuk membaca teks dengan
menggunakan kerangka tersebut.
2. Kitab Hakim-hakim
Kitab Hakim-hakim merupakan kitab yang berisi tentang kehidupan orang
Israel setelah Yosua mati dan dimaksudkan untuk melanjutkan cerita dari kitab Yosua.
Kitab ini berisi keterangan tentang peristiwa-peristiwa selanjutnya setelah suku-suku
Israel masuk ke tanah Kanaan, yaitu upaya oleh berbagai kelompok Israel untuk
mencapai pembebasan dari para penindas, sehingga mereka memiliki kekuasaan
geografis dan politik dari tanah yang didiami. Dengan kata lain, kitab ini
menggambarkan periode formatif dan transisi sejarah politik Israel.26
Pengaruh sumber DH dalam kitab Hakim-hakim tampak dalam skema kitab
yang ditulis. Kitab Hakim-hakim ditulis dengan kerangka: dosa, hukuman, pertobatan
dan keselamatan.27 Orang Israel berdosa, mereka tidak bersikap seperti bangsa yang
dipilih, tidak ada persatuan dan sukuisme merajalela. Mereka tidak hidup di sekeliling
25 John A. Titaley, “Pengantar untuk Membaca Sejarah Deuteronomistik,” dalam Robert B.
Coote, Sejarah Deuteronomistik: Kedaulatan Dinasti Daud atas Wilayah Kesukuan Israel (Salatiga-Jakarta: Universitas Kristen Satya Wacana-BPK Gunung Mulia, 2014), 10-11.
26 Susan Niditch, Judges: A Commentary (Louisville, London: Westminster John Knox Press, 2008), 1.
27 J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 71.
53
satu pusat agama, tetapi tiap-tiap suku memiliki tempat kudus tersendiri. Hal inilah
yang menyebabkan orang Israel selalu jatuh ke dalam dosa sinkretisme dan Allah
menghukum mereka dengan memakai bangsa lain sebagai penindas. Allah kemudian
mengutus seorang hakim atau penyelamat untuk membebaskan mereka dari penindasan
secara bergiliran, yang satu menggantikan yang lain. Para hakim dan penyelamat dalam
kitab Hakim-hakim dibagi atas dua kelompok, yaitu hakim besar (Otniel, Ehud,
Samgar, Debora, Gideon, Yefta, Simson) dan hakim kecil (Tola, Yair, Ebzan, Elon,
Abdon). Kategori ini ditentukan berdasarkan pada cerita masing-masing hakim. Hakim
besar memiliki kesatuan cerita yang menyeluruh dan panjang; berbeda dengan hakim
kecil yang berisi sedikit informasi.28
Jika diperhatikan secara seksama, maka tampak bahwa pada mulanya cerita
tentang para hakim merupakan cerita tentang masing-masing hakim yang berdiri
sendiri. Para hakim ini adalah seorang tokoh yang terkenal hanya dalam satu suku atau
kelompok dan satu wilayah saja. Mereka muncul untuk menyelamatkan suku atau
kelompoknya dari serangan musuh. Mereka adalah pahlawan suku atau kelompok
mereka masing-masing dan mungkin hidup sezaman, ataupun tidak.29 Hal ini sekali lagi
menunjukkan gambaran tentang hasil penyuntingan deuteronomis terhadap cerita yang
mula-mula berdiri sendiri dan berasal dari waktu dan tempat yang berbeda. Oleh
pekerjaan penyunting, para pembaca sekarang memperoleh kesan bahwa semua cerita
ini telah menjadi satu cerita saja. Proses penyuntingan mungkin berlangsung terus
selama abad 8-7 SZB, dan mencapai bentuk akhir pada abad 6 SZB.30
Kitab Hakim-hakim terbagi atas tiga bagian berdasarkan isi teks, yakni
pendahuluan (pasal 1–3:6), pokok kitab (pasal 3:7–16), serta tambahan (pasal 17–21).
28 Marc Zvi Brettler, The Book of Judges (London dan New York: Routledge, 2002), 22. 29 S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 122. 30 W. S. LaSor et. al., Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat dan Sejarah (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012), 309.
54
Bagian pendahuluan dan penutup dianggap tidak cocok dengan isi pokok kitab,
sehingga harus dilihat secara terpisah.31 Di dalam bagian pertama dikatakan bahwa
tidak semua bangsa Kanaan dikalahkan oleh Israel yang telah memasuki negeri itu;
beberapa kota masih berada di tangan orang Kanaan. Rupanya hal ini merupakan
persoalan bagi penyunting teks sehingga penyunting mencoba memberi keterangan
mengenai keadaan ini. Penyunting kemudian mengatakan bahwa memang masih ada
orang kafir yang belum ditaklukkan, sebab Allah hendak memakai mereka sebagai alat
untuk mencobai kesetiaan bangsa Israel.32 Pada bagian kedua terdapat sejarah Israel
yang dimulai dari kematian Yosua sampai kepada masa Eli di Silo dengan
memperkenalkan dua belas tokoh utama dalam masing-masing cerita. Jelas bahwa
cerita-cerita ini sendiri lebih tua daripada kerangka di mana mereka berada. Mereka
berada pada masa yang sama dengan peristiwa yang diceritakan, dan kemungkinan
mereka telah diwariskan turun temurun dalam bentuk lisan selama beberapa waktu
sebelum akhirnya ditulis.33 Sementara pada bagian akhir kitab ini, penyunting teks
memasukkan dua tambahan cerita untuk membuktikan bahwa pada masa hakim-hakim
tidak ada aturan dan disiplin. Tiap-tiap orang berbuat apa yang disukainya. Hal ini
disebabkan karena tidak ada raja yang memerintah di Israel. Jika saja ada seorang raja,
maka hal-hal yang demikian tidak mungkin terjadi. Di sini terasa sekali bahwa
penyunting teks adalah seorang yang pro-monarki, pro-raja.34
Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat disimpulkan bahwa kitab Hakim-hakim
disunting pada masa pemerintahan Yosia untuk menyatukan kembali kerajaan Israel
Utara dan Selatan. Kitab Hakim-hakim menjadi salah satu tulisan untuk melegitimasi
bentuk pemerintahan monarki yang tunggal atas wilayah Israel Utara dan Selatan
31 Arthur E. Cundall dan Leon Morris, Judges and Ruth: An Introduction and Commentary
(Downers Grove, Illinois: Inter-varsityPress, 1968), 18. 32 Blommendaal, Pengantar kepada, 74-75. 33 Cundall dan Morris, Judges and, 22. 34 Blommendaal, Pengantar kepada, 78.
55
sebagai kerajaan Israel bersatu. Dengan kesadaran ini, penulis akan melakukan
penafsiran terhadap teks dalam Hakim-hakim 4 dan 5. Teks tidak berada dalam
ketiadaan sejarah, sehingga penafsiran terhadap teks juga tidak bisa terlepas dari
konteks sosio-historis yang turut membentuk teks.
B. TAFSIRAN TEKS
Kisah Debora dalam kitab Hakim-hakim terdapat dalam dua bentuk tulisan,
yaitu prosa (pasal 4) dan puisi (pasal 5). Dalam Alkitab, kedua tulisan ini disajikan
secara berkelanjutan. Setelah Debora memimpin orang Israel mengalahkan bangsa
Kanaan, mereka merayakan kemenangan dengan menyanyikan nyanyian Debora. Akan
tetapi, jika diperhatikan secara seksama, maka akan ditemukan beberapa perbedaan isi
cerita dalam dua tulisan ini. Isu ini telah menjadi perhatian para teolog, sehingga
berbagai argumen tentang dua bentuk tulisan ini muncul dalam dunia Perjanjian Lama.
Berikut penulis akan mengkaji hubungan antara dua bentuk tulisan ini.
1. Prosa dan Puisi dalam Hakim-hakim 4 dan 5
Kebanyakan para ahli setuju bahwa Alkitab sangat berkaitan dengan
kesusasteraan dan budaya oral. Argumen yang dikemukakan oleh Hermann Gunkel dan
Claus Westermann dalam Susan Nidicth menyangkut isu ini adalah bahwa versi lisan
narasi Alkitab berada pada periode awal sejarah Israel yang masih sangat tradisional.
Produk-produk budaya tersebut baru ditulis di kemudian hari yang ditandai dengan
kemajuan yang besar, seperti melek huruf dan budaya menulis yang semakin ramai.35
Nidicth menyatakan bahwa teks-teks dalam Perjanjian Lama memiliki pola
pengulangan baik dalam bahasa dan konten yang merupakan ciri khas dari tradisi oral.
35 Susan Nidicth, Judges: A Commentary (Louisville, London: Westminster John Knox Press,
2008), 18.
56
Hal ini sangat jelas dalam kitab Hakim-hakim. Terdapat berbagai gaya lisan dalam
budaya tradisional, seperti ada teks yang tampak ganjil atau elegan. Menurutnya, cerita
dalam kitab Hakim-hakim memperlihatkan kesusasteraan yang kaya, yang berada di
dalam dunia yang didominasi oleh asumsi-asumsi oral mengenai cerita tradisional.
Dalam dunia oral ini, tulisan hanya tersedia sebagai sarana yang berkaitan dengan
komposisi dan preservasi.36
Nyanyian Debora disetujui oleh para teolog sebagai karya sastra tertua dalam
sejarah Israel. Menurut George F. Moore dalam Brettler, nyanyian ini merupakan
kesusasteraan tertua Ibrani yang masih ada, satu-satunya karya besar yang berada pada
masa pra-monarki dan termasuk kelompok syair atau puisi kemenangan.37 Sependapat
dengan Moore, Daniel Skidmore-Hess dan Cathy Skidmore-Hess berargumen bahwa
material biblikal yang paling kuno terdapat pada nyanyian perempuan, termasuk
nyanyian kemenangan yang dinyanyikan Miryam di laut Teberau bersama perempuan
lainnya.38 Para ahli Perjanjian Lama kemudian sependapat bahwa nyanyian ini ditulis
pada abad 12 atau akhir abad 11 SZB.39
Para ahli memberikan asumsi dasar bahwa kemungkinan nyanyian Debora
merupakan produk dari tangan seorang perempuan. Menurut Bruce Herzberg, nyanyian
Debora pada pasal 5 sudah jelas berasal dari tradisi perempuan, dan ada kemungkinan
juga ditulis oleh perempuan. Gagasannya ini berdasarkan pada asumsi bahwa dalam
budaya patriarki yang kuat, laki-laki tidak mungkin pernah menulis cerita
kepahlawanan perempuan.40 Seperti Hezberg, Van Dijk-Hemmes dalam Skidmore-
36 Nidicth, Judges, 18. 37 Brettler, The Book, 62. 38 Daniel Skidmore-Hess dan Cathy Skidmore-Hess, “Dousing the Fiery Woman: The
Diminishing of the Prophetess Deborah,” Shofar: An Interdisciplinary Journal of Jewish Studies Vol. 31, No. 1 (2012), 5.
39 Brettler, The Book, 63. 40 Bruce Herzberg, “Deborah and Moses,” Journal for the Study of the Old Testament Vol. 38,
No. 1 (2013), 30.
57
Hess dan Skidmore-Hess juga berpandangan bahwa pasal 5 ditulis oleh perempuan.
Menurutnya, pasal 4 memberikan tekanan pada kode prajurit tentang kehormatan dan
rasa malu. Tidak hanya Barak yang menunjukkan rasa malunya dengan bergantung
kepada Debora, tetapi Sisera, panglima perang bangsa Kanaan juga “turun dari
keretanya dan melarikan diri dengan berjalan kaki.” Sebaliknya, pasal 5 merupakan
lagu kemenangan, sebuah genre yang sangat terkait dengan perempuan Alkitab.
Tindakan Yael tidak digambarkan sebagai sikap yang mempermalukan Barak; bahkan
pasal 5 menggambarkan Debora dan Barak yang memberikan pujian terhadap Yael
tanpa ambivalensi sebagai model bagi kaum perempuan.41
Hubungan antara dua tulisan pada pasal 4 dan 5 telah menjadi acuan penelitian
para teolog dengan menggunakan bukti-bukti linguistik. Brettler menyebut kedua pasal
ini membentuk sebuah unit yang unik dalam kitab Hakim-hakim. Keduanya jelas
merupakan unit yang berbeda yang disusun oleh setidaknya dua orang yang berbeda
pula, namun disajikan secara berdampingan. Menurutnya kejadian-kejadian yang
diceritakan dalam kedua pasal ini lebih bersifat simultan, daripada berkelanjutan.42
Sementara Baruch Halpern dalam Brettler mengemukakan bahwa penulis pasal 4
adalah sejarawan yang menggunakan pasal 5 sebagai sumber kunci, namun prosa pada
pasal 4 ditulis berdasarkan mis-interpretasi terhadap puisi pada pasal 5.43 Pendapatnya
ini berdasarkan pada catatan peristiwa yang berbeda pada kedua pasal.
Jack M. Sasson dalam observasinya mengemukakan informasi-informasi dalam
pasal 4 dan 5 secara spesifik dengan membandingkannya dalam tabel berikut.44
41 Skidmore-Hess dan Skidmore-Hess, “Dousing the, 15. 42 Brettler, The Book, 61. 43 Brettler, The Book, 75. 44 Jack M. Sasson, “A Breeder or Two for each Leader: On Mother in Judges 4 and 5” dalam
David J. A. Clines dan Ellen van Wolde, ed., A Critical Engagement: Essays on the Hebrew Bible in Honour of J. Cheryl Exum (Sheffield: Sheffield Phoenix Press, 2012), 340. Beberapa informasi ditambahkan penulis.
58
Prosa (pasal 4) Puisi (pasal 5)
Debora - Nabiah, istri Lapidot, hakim
(4:4)
- Duduk di bawah pohon korma
Debora antara Rama dan Betel
di pegunungan Efraim (4:5)
- Ibu di Israel (5:7)
Barak - Dari Naftali (4:6)
- Ragu-ragu dan argumentatif
- Kegiatannya hampir tidak
disebutkan
Yabin - Mengatur Kanaan dari Hazor
(4:2)
- Ditundukkan oleh Allah (4:23)
-
Yael - Istri Heber orang Keni (4:17) - Istri Heber orang Keni (5:24)
Sisera - Panglima tentara Yabin (4:2)
- Dibunuh dalam keadaan tidur,
patok kema dilantak masuk ke
dalam kepala (4:21)
- Tidak ada keterangan (5:26)
- Dibunuh dalam keadaan berdiri
(5:25-27)
Ibu Sisera - - Menunggu dengan cemas
(5:28-30)
Keadaan - Teror melalui kereta besi
Sisera (4:2-3)
- Keamanan yang buruk (5:6-7)
Musuh/lawan - Yabin, raja Kanaan (4:2)
- Sisera, panglima perang (4:2)
- Raja-raja Kanaan (5:19)
- Menyebut Sisera (5:20)
Suku - 2 Suku: Naftali dan Zebulon
(4:6)
- 10.000 orang (4:10)
- 10 Suku: 6 suku berpartisipasi,
4 suku tinggal diam (5:14-17)
- Jumlah orang yang lebih
banyak
Peperangan - Lokal
- Pasukan dikerahkan ke
Kedesh, menyerang dari
gunung Tabor (4:9, 14)
- Nasional
- Berperang dekat Taanakh, pada
mata air di Megido (5:19)
- Menyebut sungai Kison (5:21)
Kemenangan - Tuhan mengacaukan musuh
(4:15)
- Bintang-bintang memerangi
Sisera (5:20)
- Sungai Kison menghanyutkan
musuh (5:21)
Observasi Sasson ini jelas menunjukkan beberapa perbedaan dalam pasal 4 dan 5.
Herzberg memberikan argumen terhadap beberapa perbedaan teks dalam pasal
4 dan 5. Musuh dalam pasal 4 adalah Yabin, raja Kanaan dan Sisera, panglima perang;
berbeda dengan pasal 5 yang menyebutkan raja-raja Kanaan, dan Sisera muncul di
akhir puisi tanpa penjelasan siapa dia dan mengapa ia mendatangi tenda Yael. Menurut
59
Herzberg, hal ini bukanlah perbedaan yang signifikan karena raja Kanaan-lah yang
dipandang sebagai musuh utama Israel dari awal cerita, bukan Sisera.45 Perbedaan
lainnya adalah lokasi pertempuran. Megido berada pada jarak beberapa kilometer ke
arah selatan dari sungai Kison, dan Taanakh berada pada jarak beberapa kilometer ke
arah selatan dari Megido (pasal 4). Sedangkan, gunung Tabor berada pada jarak sekitar
lima belas kilometer ke arah timur laut dari sungai Kison (pasal 5). Menurut Herzberg,
kita dapat berspekulasi bahwa sungai lain mungkin juga disebut Kison sebagai nama
yang umum pada zaman Perjanjian Lama; akan tetapi lebih mungkin bahwa prosa dan
puisi tidak memberikan perhatian yang sangat khusus tentang lokasi.46 Perbedaan lain
yang mencolok adalah jumlah suku yang berpartisipasi dalam perang. Menurutnya,
perbedaan ini menunjukkan bahwa perjalanan prosa secara independen dari puisi yang
ditulis berubah, sama halnya dengan tradisi oral, untuk memberikan petunjuk tentang
aliansi suku pada masa itu.47
Melampaui berbagai perbedaan yang ada, kedua bagian ini memiliki karakter
yang sama. Hal ini menjadi dasar pemikiran Rachel C. Rasmussen untuk melihat kedua
teks ini sebagai bagian yang berhubungan. Menurutnya, pasal 4 memang ditulis
berdasarkan nyanyian dalam pasal 5, akan tetapi untuk membaca cerita pasal 4 dan 5
tidak perlu dilihat sebagai dua teks yang berbeda, kemudian memilih yang lebih asli
atau mendamaikan kedua teks. Kedua teks ini harus dilihat sebagai dua bagian yang
berhubungan, yaitu memiliki karakter yang sama, meskipun peristiwa yang terjadi tidak
selalu sama.48 Sependapat dengan Rasmussen, penulis juga akan menafsir teks dalam
Hakim-hakim 4 dan 5 dengan melihat kedua bentuk teks yang dimaksud sebagai bagian
yang saling berhubungan satu sama lain.
45 Herzberg, “Deborah and, 27. 46 Herzberg, “Deborah and, 27-28. 47 Herzberg, “Deborah and, 28. 48 Rachel C. Rasmussen, “Deborah The Woman Warrior,” dalam Mieke Bal, ed., Anti-
Covenant: Counter-reading Women’s Lives in the Hebrew Bible (Sheffield: The Almon Press, 1989), 83.
60
2. Tafsir Teks Hakim-hakim 4 dan 5
Keberadaan kaum perempuan dalam teks Alkitab sering ditempatkan pada
posisi yang berada di belakang laki-laki, sehingga perempuan dikenal melalui laki-laki
yang melindunginya, baik ayah, saudara laki-laki maupun suami. Akan tetapi, kisah
klasik ini jauh berbeda dengan cerita tentang Debora dan Yael dalam Hakim-hakim 4
dan 5. Kedua perempuan ini ditampilkan sebagai pahlawan yang membawa
kemenangan melawan bangsa penindas. Guna memahami kisah ini secara mendalam,
penulis akan menafsirkan teks Hakim-hakim 4 dan 5 dengan menggunakan metode
diakronik yang memfokuskan pada sejarah yang melingkupi teks; dan metode sinkronik
yang memfokuskan pada karakter para tokoh, khususnya karakter perempuan, sehingga
dapat memberikan gambaran yang jelas tentang perempuan dan peranannya dalam
menentukan makna teks.
a. Pembacaan Diakronik
Pendekatan diakronik ini akan membawa penulis untuk menyelidiki teks dengan
melihat pada redaksional teks, serta konteks ekonomi, sosial dan politik yang
melatarbelakangi dan mempengaruhi pembentukan teks. Nidicth telah menyebutkan
bahwa teks-teks dalam Perjanjian Lama sangat berkaitan dengan budaya oral, sehingga
tidak menutup kemungkinan bahwa nyanyian Debora sebagai salah satu karangan
tertua berasal dari tradisi oral. Nyanyian ini cukup memperlihatkan kesusasteraan oral,
karena memiliki ciri pengulangan baik dalam bahasa maupun konten tulisan.
Sependapat dengan Nidicth, Geoffrey P. Miller berargumen bahwa dalam
bentuk aslinya, nyanyian Debora yang paling mungkin merupakan rekaman dari tradisi
lisan. Menurutnya, nyanyian Debora memberikan tiga fungsi terpisah dalam kehidupan
Israel selama versi ini dicatat dalam Perjanjian Lama. Semula, nyanyian Debora
61
disajikan sebagai karya besar budaya oral yang merekam kewajiban militer antar suku.
Kemudian, nyanyian ini melambangkan keseluruhan struktur mengenai kewajiban dan
kerjasama suku yang membentuk konfederasi suku-suku. Nyanyian ini memiliki fungsi
yang penting untuk mengkatalog dan menjaga kewajiban dari aliansi suku jika
hubungan mulai renggang. Dan akhirnya, nyanyian ini ditulis sebagai syair
kepahlawanan orang Israel karena peristiwa yang digambarkan merupakan bagian yang
penting dari latar belakang terbentuknya Israel menjadi sebuah kerajaan. Fungsi politik
nyanyian ini tidak lagi untuk menegakkan sebuah konfederasi suku, melainkan untuk
menggambarkan cacat dari bentuk konfederasi, jika dibandingkan dengan penggantinya
yang lebih kuat dan stabil, yaitu monarki.49
Analisis Miller ini menunjukkan adanya perubahan makna terhadap nyanyian
Debora dari tradisi lisan menjadi tulisan. Kemunculan cerita Debora dalam kitab
Perjanjian Lama kemungkinan merupakan usaha penyunting untuk menghadirkan
sosok penyelamat Israel yang mengembalikan Israel kepada citra mereka yang semula,
yaitu menaati hukum taurat. Debora adalah sosok pemimpin karismatik perempuan
yang dipakai untuk menjalankan tujuan DH di tengah kekosongan moral dan
kepemimpinan Israel. Hal ini tampak dalam kerangka cerita Debora yang sangat
dipengaruhi oleh tema besar DH, yaitu dosa, hukuman, pertobatan dan keselamatan.
Orang Israel melakukan apa yang jahat di mata Tuhan (4:1); Tuhan menghukum
mereka dengan menyerahkan ke dalam tangan Yabin (4:2); orang Israel berseru kepada
Tuhan (4:3); dan Tuhan menyelamatkan orang Israel dengan menundukkan Yabin, raja
Kanaan melalui kepemimpinan Debora (4:23-24).
Para ahli menyatakan bahwa cerita Debora dan Yael dimasukkan ke dalam
kerangka besar sejarah deuteronomi bukan untuk menunjukkan sosok kepahlawanan
49 Geoffrey P. Miller, “Song of Deborah: A Legal-Economic Analysis,” University of
Pennsylvania Law Review Vol. 144 (1996), 2294-2295.
62
mereka, melainkan untuk menunjukkan pekerjaan Yahweh. Yahweh adalah satu-
satunya Allah yang berkuasa atas Israel, dan Yahweh memilih untuk bekerja melalui
perempuan. Barnabas Lindars dalam Rasmussen mengemukakan bahwa “tema feminis”
telah mendasari narasi dalam pasal 4. Debora telah menembus hambatan konvensional,
yaitu sistem patriarkal dengan menjadi hakim. Oleh karena itu, bagian yang dimainkan
perempuan dalam pasal 4 dan 5 ini tidak boleh ditekan secara berlebihan. Tampak jelas
bahwa penyunting telah membawa Debora di dalam jajaran para hakim hanya untuk
membentuk dasar dari skema kronologi penyunting DH.50 Beberapa interpretasi
teologis juga memunculkan kecenderungan yang sama ketika mereka menginterpretasi
pekerjaan Debora dan Yael sebagai pekerjaan Yahweh. Stephen Demster dalam
Rasmussen menyatakan bahwa Debora tidak memiliki makna subjektif dalam cerita,
melainkan Yahweh-lah yang menjadi karakter utama.51
Secara sosiologi, latar belakang kehidupan sosial Israel pada masa konfederasi
suku-suku dipenuhi dengan tekanan dari bangsa besar di sekitarnya. Israel merupakan
kelompok masyarakat yang berada di dataran tinggi, sementara bangsa-bangsa besar,
seperti Kanaan berada di dataran rendah. Kebanyakan diskusi tentang sejarah Israel
berasumsi bahwa wilayah berbukit-bukit tempat bermukimnya orang Israel merupakan
daerah marginal yang membawa kerugian dalam hubungannya dengan dataran rendah
atau perkotaan. Sebaliknya, dataran rendah memiliki keuntungan yang lebih dalam,
lebih kaya, lebih mudah membajak tanah dan lebih mudah untuk dikontrol oleh para
elit.52 Berdasarkan hal ini, penulis melihat bahwa penggambaran mengenai kehidupan
sosial, politik dan ekonomi bangsa Kanaan menjadi penting untuk dibahas dalam
pembacaan diakronik ini.
50 Rasmussen, “Deborah the, 81. 51 Rasmussen, “Deborah the, 81. 52 Robert B. Coote dan Keith W. Whitelam, The Emergence of Early Israel in Historical
Perspective (Sheffield, England: The Almond Press, 1987), 83.
63
Pola sosial, politik dan ekonomi orang Kanaan yang terungkap dalam sebuah
studi dari surat-surat Amarna akan memberikan wawasan yang memperkaya
pemahaman kita tentang kehidupan masyarakat Kanaan pada akhir periode
perunggu/awal periode besi. Murray L. Newman menyebutkan bahwa meskipun surat-
surat ini berasal dari abad keempat belas SZB, mereka dapat menyediakan informasi
mengenai masyarakat Kanaan di abad ketiga belas SZB.53 Newman menyinggung
aktor-aktor sosial dan peranannya dalam konteks kehidupan di Kanaan pada masa itu.
Ia menegaskan bahwa kata hazzanu yang biasanya diterjemahkan sebagai pangeran,
juga merujuk ke bawahan raja dari satu kota-negara yang didukung oleh pasukan
militernya.54 Aktor lain yang disebut adalah maryannu. Istilah ini sendiri tidak muncul
dalam surat Amarna, tapi mengacu kepada prajurit (sabu) dan kereta perang (narkabtu)
atau kuda (sisu) dan kereta perang (narkabtu). Istilah-istilah ini menunjuk kepada elit
militer dalam masyarakat Kanaan yang dikenal sebagai maryannu yang mampu
menggunakan kereta perang. Kelompok elit ini memiliki peranan yang penting bagi
raja untuk mempertahankan kekuasaannya dan untuk menjalankan kehendaknya dalam
wilayah kekuasaan. Menurut Newman, hazzanu dan maryannu memberikan kesan
tentang kehadiran kerajaan di Kanaan.55
Cerita Debora memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi orang Israel
ketika berperang melawan Kanaan. Mereka maju berperang seadanya, tidak secanggih
bangsa Kanaan yang memiliki sembilan ratus kereta besi. Secara sosiologi, hal ini
menunjukkan kemajuan bangsa Kanaan. Hanya kelompok dari kalangan elit di dataran
rendah yang dapat memiliki peralatan tersebut. Dalam kaitannya dengan aktor sosial
53 Murray L. Newman, “Rahab and the Conquest,” dalam James T. Butler et. al., Understanding
the Word: Essays in Honor of Bernhard W. Anderson (Sheffield, UK: JSOT Press, 1985), 170. 54 Newman, “Rahab and, 170. 55 Newman, “Rahab and, 170.
64
dalam populasi Kanaan, Sisera dapat disebut sebagai maryannu yang bekerja bagi
hazzanu, raja Yabin untuk mencapai tujuan politisnya.
Istilah lain yang menunjukkan bagian yang signifikan dalam masyarakat
Kanaan adalah hupšu yang mengacu kepada para petani. Hupšu membudidayakan
tanah milik raja atau para bangsawan. Newman menekankan bahwa mereka bukan
budak (meskipun budak juga merupakan bagian dari masyarakat), dan mereka bisa
memiliki hewan ternak, peralatan dan bahkan rumah sendiri di sebuah desa yang dihuni
oleh kaumnya sendiri. Meskipun demikian, mereka tetap tidak memiliki lahan yang
dikerjakan. Hupšu bahkan akan membayar pajak untuk mengolah tanah milik raja atau
para bangsawan tersebut.56 Chaney menyatakan bahwa selama masa kekacauan dan
peperangan pada periode Amarna, kelompok ini melakukan kerja rodi dan bertugas
sebagai prajurit. Menurutnya, baik petani maupun prajurit petani telah mengorganisir
diri mereka sebagai prajurit perang untuk melawan penguasa yang jahat.57
Komponen penting lain dalam masyarakat Kanaan adalah habiru. Nama habiru
yang banyak muncul dalam surat-surat Amarna tidak mengacu kepada kelompok ras
atau etnis, tetapi status sosial. Ini adalah kelompok orang yang keluar dari konteks
sosial mereka tanpa status hukum. Newman menekankan bahwa habiru belum tentu
merupakan kelompok penyusup asing. Mereka adalah orang-orang yang menarik diri
dari tatanan sosial yang didirikan (atau tidak pernah menjadi bagian dari kelompok itu)
dan melawannya.58 Habiru biasanya terlibat dalam kegiatan militer. Pada saat tertentu
mereka bertindak sendiri melawan raja, namun di lain kesempatan mereka akan
bergabung dengan satu atau beberapa kerajaan untuk melawan saingan mereka.59
56 Newman, “Rahab and, 171. 57 Marvin L. Chaney, “Ancient Palestinian Peasant Movements and the Formation of
Premonarchic Israel,” dalam David Noel Freedman dan David Frank Graf, Palestine in Transition: The Eemergence of Ancient Israel (Sheffield: The Almond Press, 1983), 62.
58 Newman, “Rahab and, 171. 59 Newman, “Rahab and, 171.
65
Chaney menekankan bahwa dalam surat-surat Amarna terdapat hubungan antara
hupšu dan habiru yang membawa ketakutan bagi raja-raja Kanaan.60 Hupšu yang
berhutang dapat membuat aliansi dengan habiru untuk memberontak. Menurut Chaney,
hal tersebut merupakan permusuhan yang konstan antara petani dengan raja-raja
Kanaan dan para elit akibat dari sistem ekonomi dan politik yang menindas hupšu.
Pemberontakan ini hanya dimungkinkan jika mereka beraliansi dengan kekuatan
eksternal, yaitu habiru.61 Namun terdapat hubungan yang kompleks antara hupšu dan
habiru. Hupšu sering melindungi habiru dari pemerintah pusat. Namun habiru bisa
menjadi lawan hupšu ketika habiru mengambil alih peran ekspliotatif elit perkotaan
dengan cara mengambil hasil pertanian hupšu bagi diri mereka sendiri.62 Hal ini jelas
menunjukkan bahwa habiru selalu berada dalam kontrak sosial. Mereka dapat bekerja
dengan pihak mana pun yang menguntungkan mereka.
Analisa kondisi sosial masyarakat Kanaan di akhir zaman perunggu/awal zaman
besi ini telah memberikan gambaran yang jelas tentang struktur masyarakat di Kanaan.
Berdasarkan pembahasan ini, maka posisi Debora beserta orang Israel dan Yael beserta
orang Keni dapat ditempatkan ke dalam komponen sosial yang ada. Orang Israel
termasuk ke dalam kelompok hupšu. Tindakan mereka melawan bangsa Kanaan
merupakan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat kecil dari kalangan petani yang
menempatkan diri mereka sebagai prajurit untuk sewaktu-waktu melawan kelompok
elit dari dataran rendah yang menindas mereka. Sedangkan, Yael dan orang Keni yang
telah memisahkan diri dari suku Keni tanpa alasan yang jelas dapat disebut sebagai
kelompok yang berstatus non-legal atau habiru. Mereka bukan penyelundup asing,
melainkan kelompok yang telah menarik diri dari sistem sosial yang ada dan bisa saja
mereka terikat dalam kontrak sosial dengan pihak lain yang menguntungkan mereka.
60 Chaney, “Ancient Palestinian, 73-76. 61 Chaney, “Ancient Palestinian, 61. 62 Coote dan Whitelam, The Emergence, 93.
66
Terdapat indikasi yang mengarah pada aliansi yang terbentuk antara orang
Israel (hupšu) dengan orang Keni (habiru). Hakim-hakim 4:11 mengatakan bahwa
Heber memisahkan diri dari suku Keni dan berkemah di bawah pohon tarbantin di
Zaanaim yang dekat Kedesh. Lokasi ini dekat dengan pasukan Barak yang juga tinggal
di Kedesh (Hakim-hakim 4:6, 9). Selain itu, status orang Keni sebagai tukang besi yang
dapat menyediakan layanan persenjataan, juga mendukung argumen ini. Tidak menutup
kemungkinan bagi orang Keni untuk membantu orang Israel, ketika mereka
menghadapi musuh yang memiliki perlengkapan yang lebih canggih.
b. Pembacaan Sinkronik
Cerita dalam Hakim-hakim 4 dan 5 memfokuskan pada peperangan antara
orang Israel yang dipimpin oleh Debora dan Barak melawan tentara Yabin, raja Kanaan
di bawah pimpinan Sisera, panglima tentara Yabin. Orang Israel memperoleh
kemenangan atas bangsa Kanaan setelah Sisera mati dibunuh oleh Yael. Sementara ibu
Sisera menanti kepulangan anaknya dengan membawa jarahan. Kisah ini dapat
digambarkan dalam beberapa episode berdasarkan kemunculan para tokoh.
Pasal 4:1-11, 5:1-18 Debora memanggil dan memberi perintah kepada Barak
Pasal 4:12-16, 5:19-23 Terjadi peperangan dan Sisera melarikan diri
Pasal 4:17-24, 5:24-27 Yael bertemu Sisera dan membunuhnya
Pasal 5:28-30 Penantian ibu Sisera
Kemunculan para tokoh ini memiliki karakter masing-masing yang membentuk
teks hingga mencapai klimaks dan anti klimaks. Untuk lebih memahami karakterisasi
dari para tokoh, maka penulis akan membagi ke dalam tiga bagian berdasarkan tiga
tokoh perempuan, yaitu Debora, Yael dan Ibu Sisera.
67
1) Debora
Teks Hakim-hakim 4 dan 5 menyebut Debora dengan beberapa peran, yaitu
hakim, nabi, pemimpin perang, ibu di Israel, istri Lapidot dan penyanyi yang
merayakan kemenangan Israel. Debora merupakan satu-satunya tokoh perempuan
dalam Alkitab yang memiliki beberapa peranan penting dalam kehidupan orang Israel.
Untuk lebih memahami karakterisasi tokoh Debora, berikut penulis akan memfokuskan
pada masing-masing peranan Debora.
a) Debora sebagai hakim
Sejarah Israel dari penaklukan Kanaan pada abad ketiga belas SZB sampai pada
pembentukan monarki di akhir abad kesebelas ditandai dengan sistem politik yang
unik. Sistem ini ditandai dengan rezim para hakim yang merupakan tanggapan terhadap
keadaan kronis perang yang menekan Israel oleh bangsa-bangsa di sekitar mereka,
sehingga tidaklah mengherankan bahwa manifestasi utamanya adalah di bidang militer.
Ketika orang Israel berada pada masa yang krisis, para pemimpin karismatik bangkit
sebagai hakim dan penyelamat, serta membebaskan mereka dari penindasan.63
Abraham Malamat menyebutkan bahwa sifat dan komponen prinsip yang
melekat dalam kepribadian hakim dan penyelamat orang Israel sejak awal memberi
perhatian kepada aspek politik-militer yang terintegrasi dengan aspek agama, dan
biasanya melibatkan keberanian pribadi. Menurutnya, sifat karismatik melibatkan
kontak langsung dengan kekuatan transendental (Hakim-hakim 3:10, 6:34), dan kontak
ini memerlukan tanda untuk menegaskan otoritas sebagai hakim dan penyelamat baik
di matanya sendiri maupun bagi orang Israel (Hakim-hakim 6:17). Otoritas
kepemimpinan karismatik ini tidak tergantung pada kelas atau status sosial, maupun
63 Abraham Malamat, “Charismatic Leadership in the Book of Judges,” dalam Charles E. Carter dan Carol L. Meyers, ed., Community, Identity, and Ideology: Social Science Approaches to the Hebrew Bible (Winona Lake, Indiana: Eisenbrauns, 1996), 293.
68
pada kelompok usia dan jenis kelamin. Aktivitas para pemimpin karismatik juga tidak
selalu terkait dengan pusat-pusat keagamaan.64 Debora memang tidak digambarkan
memiliki kontak langsung dengan Tuhan sebagai penegasan otoritas, namun ia
menyampaikan pesan Tuhan dan menjadi penyelamat orang Israel.
Herzberg mengemukakan bahwa peran Debora sebagai hakim tampaknya
menjadi satu-satunya hakim yang sebenarnya dalam kitab Hakim-hakim. Menurutnya,
istilah “hakim” harus dipahami dalam keseluruhan kitab Hakim-hakim sebagai
“kepala” atau “pemimpin,” dan terdapat beberapa versi terjemahan Alkitab yang
menerjemahkan kata ibrani שפט (šōpēţ) sebagai kepala atau pemimpin. Terjemahan JPS
(Jewish Publication Society), misalnya, menyebutkan Debora “memimpin Israel”
(bukan “memerintah Israel”) dan bahwa orang Israel datang padanya untuk
“mengambil keputusan” (bukan “berhakim”). Mungkin yang dimaksudkan oleh
terjemahan JPS adalah untuk menunjukan bahwa Debora membuat keputusan tentang
masalah politik; dan sebagai pemimpin, Debora adalah penengah utama terhadap
berbagai sengketa berdasarkan statusnya sebagai kepala.65
Selama orang Israel berada di bawah tekanan Yabin, raja Kanaan, Debora biasa
duduk di bawah pohon korma dan orang Israel menghadap dia untuk berhakim (Hakim-
hakim 4:5). Ada indikasi bahwa keadaan orang Israel biasa-biasa saja sehingga mereka
dapat mendatangi dan berhakim pada Debora. Ketika keadaan Israel berada pada satu
keadaan tertentu, barulah Debora mengambil sikap politik dengan memanggil Barak
untuk melakukan pertempuran. Menurut Emanuel Gerrit Singgih, tindakan Debora
memanggil Barak untuk melawan Sisera, panglima tentara Yabin disebabkan karena
kedudukan mereka yang sedang terancam, bukan karena kedudukan mereka sudah
dikuasai oleh Sisera. Dengan kata lain, Debora tidak memimpin revolusi terhadap
64 Malamat, “Charismatic Leadership, 306-308. 65 Herzberg, “Deborah and, 18.
69
penjajahan Yabin, melainkan ia memimpin perlawanan terhadap agresi Yabin.66
Namun, jika dikaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya, Debora sebenarnya memimpin
revolusi melawan Yabin. Israel melakukan kejahatan, mereka dihukum ke dalam
penindasan Yabin, kemudian Israel berseru meminta pertolongan pada Tuhan dan
Tuhan menolong mereka di bawah pimpinan Debora dan Barak. Hal ini didukung oleh
ayat 12, di mana Barak terlebih dahulu maju ke gunung Tabor, kemudian ditanggapi
Sisera dengan mengerahkan pasukannya.67 Berbagai tindakan yang dilakukan oleh
Debora ini menunjukkan fungsi kepemimpinan integratif secara lokal, yang meliputi
kepemimpinan yuridis, militer dan politik.
b) Debora sebagai nabi
Sejarah Israel Kuno banyak berisi cerita mengenai para nabi yang bekerja aktif
di Israel. Para nabi berarti seorang yang dipanggil oleh Allah untuk berbicara dengan
dan atas nama Allah, serta menyatakan pesan Allah. Penggunaan istilah nabi dalam
Alkitab digambarkan paling nyata dalam pesan Allah kepada Musa, yaitu pada waktu
Musa diumpamakan seperti “Allah” dan Harun digambarkan sebagai “penyambung
lidah” (Keluaran 4:15-16), dan pada waktu Musa digambarkan sebagai “Allah bagi
Firaun” dan Harun adalah “nabinya” (Keluaran 7:1-2). Di sini, nabi dilukiskan sebagai
penyambung lidah Allah.68
Para nabi memiliki kecenderungan terhadap masalah politik yang tampak dalam
tindakan-tindakan mereka. Samuel, misalnya, adalah seorang nabi yang telah melihat
dan bernubuat akan munculnya raja-raja di Israel, bahkan ia terlibat dalam munculnya
66 Emanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks: Tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai Respons atas
Perjalanan Reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 21. 67 Asnath N. Natar, “Apa Kata Laki-laki tentang Perempuan dan Gerakan Mereka,” dalam
Victorius A. Hamel et. al., ed., Gerrit Singgih: Sang Guru dari Labuang Baji (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 201.
68 W. S. LaSor et. al., Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 183-184.
70
raja Saul dan raja Daud (1 Samuel 9:15; 16:1-3). Hal ini menunjukkan bahwa kata-kata
dan nubuatan nabi bukan hanya untuk meramalkan hal-hal yang akan terjadi, tetapi
juga berisi pemahaman tentang segala sesuatu yang sedang terjadi. Nabi dapat
menegaskan hal-hal yang benar-benar sesuai dengan maksud Allah dan yang tidak.69
Perjanjian Lama secara jelas menyebutkan nama empat perempuan sebagai
nabiah atas kaum Israel di antara nabi laki-laki, yaitu Miryam, Debora, Hulda dan
Noaja. Miryam disebut sebagai nabiah yang memimpin tarian disertai nyanyian untuk
merayakan pembebasan Israel dari Mesir (Keluaran 15:20); Hulda hidup pada zaman
raja Yosia dan memberitahukan kehendak ilahi kepada Yosia setelah kitab taurat
ditemukan (2 Raja-raja 22:14-20); sedangkan Noaja bergabung dengan nabi lainnya
dalam usaha untuk menakut-nakuti Nehemia dalam pembangunan kembali tembok-
tembok Yerusalem (Nehemia 6:14). Berbeda dengan ketiga nabiah ini, Debora tampil
sebagai nabiah yang bersanding dengan kedudukannya sebagai hakim. Menurut Mieke
Bal, kedudukan Debora ini harus dilihat sebagai bagian yang saling melengkapi. Dalam
kombinasi ini, Debora memiliki fungsi dan peranan yang sangat mencolok kuat.70
Tugas Debora sebagai nabi tampak ketika ia memanggil dan memberi perintah
kepada Barak untuk berperang melawan bangsa Kanaan. Ia berbicara atas nama Tuhan
dan menindaklanjuti panggilan sebelumnya untuk Barak: “Bukankah TUHAN, Allah
Israel memerintahkan demikian?” (Hakim-hakim 4:6). Tuhan telah berbicara dengan
Barak, dan panggilan Debora adalah perintah yang kedua. Hal ini mengindikasikan
tindakan Debora sebagai wahyu dari Tuhan untuk diteruskan kepada Barak. Debora
menggunakan bahasa para nabi ketika dia menggunakan kata ganti orang pertama
untuk menyampaikan perintah Tuhan kepada Barak: “Aku [TUHAN] akan
69 Wahono, Di Sini Kutemukan, 153-154. 70 Mieke Bal, Death & Dissymmetry: The Politics of Coherence in the Book of Judges (Chicago
dan London: The University of Chicago Press, 1988), 209.
71
menggerakkan Sisera … ke dalam tanganmu” (Hakim-hakim 4:7).71 Ia juga bernubuat
bahwa “TUHAN akan menyerahkan Sisera ke dalam tangan seorang perempuan”
(Hakim-hakim 4:9) setelah Barak memintanya turut berperang.
William E. Phipps menyatakan bahwa peran kenabian Debora mirip dengan
cara di mana nabi Samuel memberi kuasa kepada Saul untuk melawan para penindas.
Debora dipimpin oleh Yahweh untuk memilih pembela yang dapat membebaskan
konfederasi suku Israel. Debora juga mengartikan pemeliharaan Tuhan melalui
fenomena cuaca yang telah membawa kemenangan atas orang Kanaan (Hakim-hakim
5:21). Hal ini bahkan tampak seperti tindakan Yahweh ketika menenggelamkan kereta
Mesir ketika mengejar orang Israel.72 Singgih menambahkan bahwa nyanyian
kemenangan Debora memiliki bentuk yang mirip dengan nyanyian kemenangan pada
Keluaran 15. Peristiwa kekalahan kereta perang Firaun bukan hanya sekedar peristiwa
sejarah biasa, melainkan sebuah peristiwa kosmik. Perang melawan bangsa Kanaan
juga merupakan sebuah peristiwa kosmik (Hakim-hakim 5:4-5).73
c) Debora sebagai pemimpin perang
Palestina pada awal abad perunggu atau di awal pembentukan kerajaan Israel
dilanda oleh peperangan yang terjadi terus-menerus. Surat-surat Amarna mencatat
tentang periode yang diwarnai oleh permusuhan, sementara bukti arkeologi
menunjukkan adanya penghancuran benteng pertahanan dan kota-kota. Kitab Hakim-
hakim mencatat dinamika peperangan yang terus berlangsung pada masa pendudukan
71 Herzberg, “Deborah and, 19. 72 William E. Phipps, Assertive Biblical Women (London: Greenwood Press, 1992), 42 73 Singgih, Dua Konteks, 23-24.
72
Israel di wilayah pegunungan dan yang akan bertahan terus pada generasi-generasi
selanjutnya ketika bangsa Filistin menjadi ancaman.74
Sebagai pendatang di tanah Kanaan, orang Israel merupakan kelompok kecil di
antara suku dan bangsa sekitar yang berkuasa. Chaney menyatakan bahwa kehidupan
orang Israel pada masa pra-monarki sangat miskin. Wilayah yang didiami orang Israel
memiliki medan pegunungan yang berat karena curam, lereng bukit yang penuh semak
belukar, memiliki tanah yang tipis dan kekurangan air.75 Hal ini menyebabkan orang
Israel harus melakukan usaha yang sangat besar dalam bidang ekonomi dan militer
sebagai upaya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan menjaga keamanan
wilayah mereka dari berbagai ancaman dan tekanan dari bangsa-bangsa besar di sekitar
mereka yang lebih berkuasa.
Debora merupakan contoh dari karakter penting perempuan dalam Hakim-
hakim karena ia merupakan pemimpin militer dan dipilih Tuhan untuk berperang
melawan bangsa Kanaan. Pasal 5 jelas menyebutkan Debora sebagai pemimpin perang,
sedangkan Barak sebagai pihak yang membantu Debora. Barak tidak diidentifikasi
sebagai prajurit atau panglima tentara, dan pengalaman pertempurannya tidak
diketahui. Sukunya, Naftali, juga tidak memiliki reputasi dalam keberhasilan militer,
karena mereka tidak mampu menghalau penduduk Bet-Semes dan Bet-Anat (Hakim-
hakim 1:33). Dengan demikian, kejelasan status dan keberanian Barak dalam medan
perang juga sama sekali kabur.76 Menurut Halpern dalam Susan Ackerman, Debora
dalam Hakim-hakim 5:12 diperintahkan oleh Yahweh untuk bangkit dan
mengumpulkan pasukan Israel di medan perang; sementara Barak tampaknya hanya
74 Carol L. Meyers, ”Procreation, Production, and Protection: Male-Female Balance in Early
Israel,” dalam Charles E. Carter dan Carol L. Meyers, ed., Community, Identity, and Ideology: Social Science Approaches to the Hebrew Bible (Winona Lake, Indiana: Eisenbrauns, 1996), 497-498.
75 Chaney, “Ancient Palestinian, 41. 76 Roger Ryan, Judges: Readings – A New Biblical Commentary (Sheffield: Sheffield Phoenix
Press, 2007), 27.
73
sebagai penerima panggilan ini. Status ini tampak lebih jelas dalam pasal 5:7, “sampai
Debora bangkit sebagai ibu di Israel.” Barak bahkan tidak disebut sama sekali.77
Kisah Debora sebagai pemimpin perang juga dikaitkan dengan dewi-dewi
perang Kanaan, yaitu dewi Asyera dan Anat. Peter C. Craigie dan Glen Taylor dalam
Rasmussen mengusulkan bahwa citra tentang para dewi ini berada di balik
penggambaran Debora dan Yael. Akan tetapi, menurut mereka interpretasi tentang
gambaran para dewi hanya merupakan kesepakatan yang dipakai penyunting untuk
mengkarakterisasi Debora dan Yael seperti dewi dengan tujuan untuk mengejek agama
Kanaan. Menurut Craigie, kekuatan yang dihubungkan oleh orang Kanaan terhadap
dewi mereka bukan apa-apa; nyanyian Debora jelas menyebutkan bahwa kekuatan yang
sama juga terlihat dalam perempuan Ibrani, meskipun kekuatannya bukan berasal dari
dirinya tapi berakar dari komitmennya dengan Yahweh.78
Susan Ackerman juga sependapat bahwa mitos Kanaan tentang Anat, dewi
prajurit mungkin telah mempengaruhi para penulis Alkitab dalam merepresentasikan
Debora.79 Akan tetapi, analisa Meyers menyebutkan bahwa dalam banyak konteks
sosial terdapat hubungan yang tampak jelas antara peran perempuan dengan para dewi.
Artinya, ada korelasi yang tinggi antara dewi dalam suatu masyarakat tertentu dan
kontribusi perempuan terhadap tugas-tugas penting dalam masyarakat. Penjelasan
teoritis tentang korelasi ini menunjukkan bahwa sistem kepercayaan merupakan
refleksi dan legitimasi dari kontribusi penting perempuan untuk melaksanakan berbagai
aktivitas.80 Hal ini dapat dianggap sebagai motif mengapa terdapat kisah tentang
perempuan Israel yang mirip dengan dewi Asyera dan Anat.
77 Susan Ackerman, “Digging up Deborah: Recent Hebrew Bible Scholarship on Gender and the
Contribution of Archaeology,” Near Eastern Archaeology Vol. 66, No. 4 (Dec. 2003), 177. 78 Rasmussen, “Deborah the, 86. 79 Ackerman, “Digging up, 117. 80 Meyers, ”Procreation, Production, 508.
74
Lebih lanjut, Ackerman menyatakan bahwa mungkin untuk menggambarkan
seorang perempuan sebagai pemimpin militer pada masa itu, karena para perempuan
yang hidup pada periode besi I digambarkan melakukan berbagai macam peran dalam
aspek ekonomi, sosial, politik dan agama dalam komunitas mereka. Hal ini juga tampak
jelas dalam kitab Hakim-hakim, seperti dalam kisah Akhsa, perempuan Tebes, anak
perempuan Yefta, ibu Simson, Delila, ibu Mikha, gundik orang Lewi dan gadis-gadis di
Silo. Menurut Ackerman, kisah tentang para perempuan ini sesuai dengan peranan
perempuan yang “vital dan aktif” dalam masyarakat pra-monarki.81
d) Debora sebagai penyanyi
Musik, nyanyian dan tarian adalah bagian integral dari kehidupan sehari-hari di
zaman Israel Kuno. Semua itu sangat erat kaitannya dengan agama, masyarakat, dan
budaya Israel, khususnya dengan pemujaan di bait suci, peperangan, perayaan dan
kehidupan di istana.82 Kitab mazmur berisi banyak rujukan pada pertunjukkan musik
daripada kitab lain. Untuk nyanyian, kebanyakan rujukan Alkitab adalah pada nyanyian
religius, khususnya sebagai bagian dari peribadatan di bait suci. Akan tetapi, nyanyian
juga merupakan bagian yang penting di dalam perayaan lainnya.83
King dan Stager mengemukakan bahwa musik, nyanyian dan tarian yang
merupakan bagian dalam peperangan, khususnya di dalam perayaan kemenangan
setelah pertempuran tampak pada perayaan kaum perempuan, khususnya Miryam, anak
perempuan Yefta, dan Debora.84 Setelah orang Israel dengan aman menyeberangi laut
Teberau, Miryam memukul rebana, menari-nari serta menyanyikan lagu kemenangan
bersama dengan perempuan lain (Keluaran 15:20-21); anak perempuan Yefta
81 Ackerman, “Digging up, 176. 82 King dan Stager, Kehidupan Orang, 325. 83 King dan Stager, Kehidupan Orang, 327. 84 King dan Stager, Kehidupan Orang, 331.
75
menyambut ayahnya dengan memukul rebana dan menari-nari (Hakim-hakim 11:34);
serta Debora menyanyikan lagu kemenangan bersama Barak setelah mengalahkan
Kanaan (Hakim-hakim 5:1).
Di dalam Perjanjian Lama, keterangan mengenai perempuan sebagai penyanyi
hanya tampak dalam kisah Miryam dan Debora. Kedua perempuan ini berada dalam
konteks kehidupan Israel pada masa pra-monarki, sehingga kemungkinan peranan
perempuan dalam perayaan-perayaan ini masih belum dibatasi oleh berbagai aturan di
bawah kendali kerajaan. Hal ini disebutkan dalam tesis Bird yang menunjukkan adanya
penurunan jumlah kaum perempuan dalam kegiatan keagamaan, karena adanya
sentralisasi kultus Yahweh di Yerusalem.85
e) Debora sebagai ibu di Israel
Kaum perempuan memainkan peranan penting dan memiliki pengaruh besar
dalam konteks kehidupan keluarga: pertama, sebagai seorang ibu dan kedua, sebagai
seorang istri. Pentingnya perempuan di dalam rumah tangga Israel dapat dilihat pada
ungkapan yang muncul dalam Perjanjian Lama yaitu bêt ‘em yang berarti “rumah ibu”
(Kejadian 24:28, Rut 1:8, Kidung Agung 3:4; 8:2). Istilah ini mengacu kepada
partisipasi dan manajemen perempuan di dalam menjalankan tugas-tugas dan tanggung
jawab rumah tangga.86
Teks tidak menunjukkan ciri Debora seperti seorang ibu yang tinggal di rumah,
melakukan pekerjaan rumah tangga, memelihara dan mengasuh anak, atau menanti
kepulangan suami. Jikapun Debora memiliki anak, mereka tidak memiliki peran dalam
cerita. Suami Debora, Lapidot, juga tidak memiliki peranan. Kata ’ēšet lapîdôt yang
diterjemahkan sebagai “istri Lapidot” juga berarti “perempuan obor” (“woman of
85 Bird, Missing Persons, 92. 86 Jennie R. Ebeling, Women’s Lives in Biblical Times (New York: T&T Clark International,
2010), 28.
76
torches”) atau “pemegang obor” (“wielder of torches”). Nama Lapidot muncul ketika
para pembaca mengharapkan nama bagi suami Debora. Akan tetapi, menurut Frymer-
Kensky nama Lapidot merupakan nama yang tidak lazim bagi laki-laki. Selain itu,
nama Lapidot juga tidak memiliki patronimik “bin.”87 Sebutan “perempuan obor” atau
“fiery woman” (perempuan yang berapi-api) tampaknya lebih cocok dengan citra
Debora yang berperan ganda sebagai hakim, nabi dan pemimpin perang. Dengan
demikian, sebutan Debora sebagai “ibu di Israel” tidak dapat dipahami secara biologis.
Bal mengemukakan bahwa karakteristik dari peran Debora adalah menjalankan
tugasnya sebagai hakim. Ketika terjadi kekacauan, hakim diangkat untuk menciptakan
ketertiban. Ketika kekacauan disebabkan oleh ancaman eksternal, seperti perang atau
penjajahan, tugas utama seorang hakim adalah untuk membebaskan umat dari musuh-
musuhnya. Jika terjadi kekacauan internal, maka hakim harus menciptakan keteraturan
di dalam kekacauan yang terjadi. Untuk membebaskan orang-orang dari kekacauan,
dari musuh dan dari ketidakadilan, semua kemampuan berasal dari kepemimpinan yang
karismatik. Dalam kisah ini, Debora merupakan hakim sekaligus nabi yang
menggabungkan semua bentuk kepemimpinan baik dalam bidang keagamaan, militer,
yuridis maupun puitis.88 Peranan Debora sebagai “ibu di Israel” tampak dalam hal ini.
Sebagai ibu, ia memberikan kehidupan dan menjaga orang Israel, layaknya anak, yaitu
membebaskan orang Israel dari penindasan bangsa Kanaan. Ia memiliki naluri keibuan
sebagai sosok yang dekat dengan anak-anaknya dan peka terhadap nasib anak-anaknya.
Tindakan Debora yang mengirim anak-anaknya ke medan perang disebut
penafsir, seperti Natar sebagai gambaran dari ibu yang jahat. Ia tidak hanya
memberikan kehidupan kepada Israel, melainkan mengirim anak-anaknya ke medan
87 Tivka Frymer-Kensky, Reading the Women of the Bible (New York: Schocken Books, 2002),
46. 88 Bal, Death & Dissymmetry, 209.
77
perang yang menyebabkan banyak kematian.89 Argumen ini tidak dapat diterima.
Perempuan dan anak-anak sering menjadi korban dari permainan politik, termasuk
peperangan. Tindakan Debora tidak hanya mengirim Israel untuk berperang, tetapi ia
juga turut berperang bersama mereka. Tindakan Debora ini menunjukkan upaya
seorang ibu untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan anaknya dari situasi sosial
yang terjadi. Ia melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk melindungi Israel,
bahkan dengan resiko kematian yang juga dapat dialaminya sendiri.
2) Yael
Tokoh Yael (dalam bahasa Ibrani Yael berarti “kambing hutan,” dan juga
“YHWH adalah Allah”90) dalam Hakim-hakim 4-5 tidak digambarkan peranannya
secara spesifik seperti Debora, selain statusnya sebagai istri Heber, orang Keni (Hakim-
hakim 4:17; 5:24). Peranan ini tampak dangkal, oleh karena itu untuk lebih memahami
karakterisasi tokoh Yael maka penulis juga akan memfokuskan pada tindakan Yael
sebagai akibat dari pergolakan sosial yang terjadi pada masa itu.
a) Yael sebagai istri Heber, orang Keni
Dunia patriarki menyebabkan setiap manusia, khususnya perempuan harus
menempati status sosial yang dikekalkan dalam masyarakat. Termasuk dalam dunia
Israel Kuno, kaum perempuan dikenal masyarakat dalam relasinya dengan laki-laki
yang mempunyai otoritas atas diri mereka. Sebelum menikah, seorang perempuan
tunduk kepada ayah atau saudara laki-laki; dan setelah menikah, ia tunduk kepada
suaminya. Meskipun demikian, dalam beberapa cerita Perjanjian Lama tidak terlalu
89 Natar, “Apa Kata, 206. 90 John Barton dan John Muddiman, ed., The Oxford Bible Commentary (Oxford, New York:
Oxford University Press, 2001), 180.
78
menonjolkan otoritas laki-laki terhadap perempuan, bahkan perempuan bertindak
menurut keinginan mereka sendiri, seperti Debora dan Yael.
Yael dikenal sebagai istri Heber, orang Keni. Akan tetapi, sama seperti Lapidot,
Heber tidak pernah muncul dalam cerita. Menurut Frymer-Kensky, sisi keperempuanan
Yael merupakan hal yang penting. Yael adalah ’iššah yang berarti perempuan atau
istri.91 Gambaran Yael sebagai perempuan tergambar jelas dalam teks Hakim-hakim
ini. Berbeda dengan Debora, Yael berada di dalam rumah, bukan di medan perang, dan
melakukan aktivitas rumah tangga.
Kata “heber” lebih merujuk pada istilah “klan,”92 sehingga keberadaan Yael
sebagai istri Heber dapat mengindikasikan statusnya sebagai perempuan Keni atau
anggota dari klan Keni. Orang Keni diidentifikasi sebagai keturunan dari mertua Musa,
salah satu suku bangsa Midian. Nama Keni sendiri berarti “tukang besi” dan penemuan
tembaga di sebelah tenggara teluk Akaba (wilayah Keni-Midian) menguatkan argumen
ini. Orang Keni muncul pertama sebagai penduduk pada zaman para leluhur di Israel
(Kejadian 15:19). Sesudah Musa menjadi mantu Rehuel (Keluaran 2:18), ia
mengundang Hobab, putra Rehuel bergabung dengan Israel (Bilangan 10:29). Orang
Keni kemudian menyertai suku Yehuda mendiami tanah Negeb (Hakim-hakim 1:16).93
Teks menyebutkan bahwa Heber telah memisahkan diri dari suku Keni, dari
Hobab ipar Musa, dan telah berpindah-pindah memasang tendanya sampai di dekat
Kedesh (Hakim-hakim 4:11). Heber sebagai pengembara dan pandai besi mungkin
memasang kemahnya tidak terlalu jauh dari pertempuran dalam rangka layanan
persenjataan.94 Secara keseluruhan, orang Keni memang berhubungan baik dengan
orang Israel, tetapi hal itu tampaknya tidak menghalangi Heber untuk memelihara
91 Frymer-Kensky, Reading the, 51. 92 Bal, Death & Dissymmetry, 211. 93 J. D. Douglas, ed., Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I: A-L (Jakarta: Yayasan Komunikasi
Bina Kasih, 2008), 544. 94 Frymer-Kensky, Reading the, 53.
79
hubungan baik dengan Yabin (Hakim-hakim 4:17). Hubungan yang baik di antara
keluarga Heber dengan Yabin, raja Kanaan inilah yang menjadi alasan bagi Sisera
untuk mencari tempat pelarian di perkemahan orang Keni.
b) Yael sebagai ibu kematian
Otoritas seorang ibu berada di dalam rumah tangga. Dalam Alkitab terdapat
cerita yang merujuk terhadap hal ini, seperti Sara yang mengusir Hagar dan Ismael
(Kejadian 21:10); perempuan Sunem yang melimpahkan keramahan kepada Elisa (2
Raja-raja 4:8-10); serta Ribka yang melaksanakan tipuan Yakub terhadap ayahnya
sehingga berkat atas Esau dilimpahkan kepada Yakub (Kejadian 27:11-17). Contoh
yang terakhir ini dan contoh lain yang menyerupainya menyiratkan bahwa akal-akalan
dan tipuan boleh jadi merupakan kualitas yang diperlukan, bahkan dikagumi dalam diri
perempuan yang hidup di dalam masyarakat yang didominasi laki-laki.95
Kedudukan dan otoritas Yael sebagai seorang ibu dalam rumah tangga tampak
dalam tindakannya terhadap Sisera, yaitu Yael menunjukkan sisi keibuannya melalui
tindakan hospitalias. Hospitalitas berakar di dalam kekerabatan. Gēr (bentuk jamaknya
gērîm) biasanya diterjemahkan sebagai “pesinggah” atau “orang asing” atau “klien,”
yaitu setiap orang yang berada di luar kelompok kerabat atau unit solidaritas yang tidak
terlindungi. Gērîm harus berada di bawah perlindungan seorang tuan rumah atau
pelindung yang menjadi seorang anggota komunitas.96 Sisera merupakan pesinggah dan
penyelundup yang mencari keselamatan di tengah peperangan. Ketika mendapati
kemah Yael, Sisera masuk ke dalam tenda setelah diundang. Mengapa Sisera dengan
mudah menerima undangan Yael, tidak diceritakan dalam teks. Namun, ada
kemungkinan Sisera berpikir bahwa ia akan mudah memerintah dan memperdaya
95 King dan Stager, Kehidupan Orang, 56-57. 96 King dan Stager, Kehidupan Orang, 69.
80
perempuan.97 Hal ini kemudian tampak dalam berbagai hal yang diminta Sisera dari
Yael (Hakim-hakim 4:19-20).
Yael memperlakukan Sisera dengan baik. Sisera ditutupi dengan selimut, ia
diberikan susu ketika meminta air dan dibiarkan tertidur. Tindakan Yael maupun Sisera
ini menimbulkan berbagai dugaan oleh para teolog. Menurut Singgih, hubungan yang
terjadi antara Yael dan Sisera adalah hubungan perselingkuhan. Yael dan Sisera diduga
sudah saling mengenal ketika Heber membina hubungan baik dengan Yabin. Dari
pengenalan ini, mereka menjalin hubungan yang lebih dalam.98 Hal yang dikemukakan
Singgih ini menarik, akan tetapi penulis menolak tafsiran ini karena tidak ada bukti teks
yang mendukung dan data yang kuat tentang hal ini. Menurut penulis, tindakan yang
dilakukan oleh Sisera lebih kepada mencari tempat persembunyian di tengah
peperangan, dan Yael melayaninya dalam kapasitas sebagai seorang tuan rumah.
Di sisi lain, tindakan Yael bahkan melebihi tindakan dari seorang tuan rumah.
Yael lebih bertindak seperti seorang ibu yang mengasuh dan membuat anaknya merasa
aman. Akan tetapi, sikap ini lebih menunjukkan peranan Yael sebagai ibu pengganti:
bukan ibu yang memberikan kehidupan, melainkan ibu yang membawa kematian. Pada
saat melahirkan, para perempuan Israel berada pada posisi menungging di atas sebuah
dipan untuk melahirkan,99 dan dari antara kedua pahanya akan keluar anak. Hakim-
hakim 5:27 menekankan bahwa Sisera jatuh dan tewas tergeletak di dekat kaki Yael.100
Bagian ini menyebabkan beberapa penafsir menyebut peristiwa kematian Sisera
sebagai kiasan seksual. Yael memperdaya Sisera melalui daya tarik seksual, atau
bahkan Yael melelahkan Sisera secara seksual. Tafsiran ini ditolak oleh Frymer-
Kensky. Menurutnya, peristiwa ini lebih kepada cara melahirkan. Sisera bukan
97 Natar, “Apa Kata, 202. 98 Singgih, Dua Konteks, 27. 99 King dan Stager, Kehidupan Orang, 59. 100 Frasa “dekat kakinya” dalam beberapa versi bahasa Inggris disebut “between her legs.”
81
dilahirkan kepada kehidupan, melainkan kematian sehingga Yael disebut sebagai ibu
terakhir Sisera.101 Nidicth mengemukakan bahwa terjemahan “di dekat kakinya”
mengaburkan gambaran tentang kualitas seksualitas yang mendalam. Kata kaki
(reglayim) digunakan dalam Perjanjian Lama sebagai eufemisme untuk organ
perempuan dan laki-laki.102 Hal ini memperkuat asumsi tentang Yael sebagai ibu yang
melahirkan, bukan kepada kehidupan tetapi kematian. Berbeda dengan para perempuan
yang melahirkan anak dan membawa kehidupan; di antara kedua pahanya, Yael
menghabisi Sisera dan membawanya pada kematian.
c) Yael sang ‘tangan besi dalam sarung tangan beludru’
Dalam keseluruhan kitab Hakim-hakim, terdapat tiga perempuan yang menjadi
pelaku maupun penyebab kematian laki-laki. Mereka adalah Yael yang membunuh
Sisera (Hakim-hakim 4:21; 5:27); Delila, melalui pengkhianatannya terhadap Simson
(Hakim-hakim 16:4-31); dan perempuan tak bernama yang membunuh Abimelek
dengan menimpakan batu kilangan (Hakim-hakim 9:50-57). Cerita tiga perempuan ini
disejajarkan dengan kisah tiga perempuan lain yang mati oleh karena laki-laki, yaitu
anak perempuan Yefta (Hakim-hakim 11:29-40), istri Simson (Hakim-hakim 15:1-8),
dan gundik orang Lewi (Hakim-hakim 19:1-30). Bal dalam Celia Wallhead
menyatakan bahwa perempuan yang membunuh laki-laki bukan hanya untuk tujuan
politis dan agama, mereka juga membunuh untuk mendapatkan keadilan dan simetri
estetika dalam kaitannya dengan cerita lain. Cerita Yael dan dua perempuan lainnya
101 Frymer-Kensky, Reading the, 52. 102 Susan Nidicth, “Éroticism and Death in the Tale of Jael,” dalam Peggy Lynne Day, ed.,
Gender and Difference in Ancient Israel (Minneapolis: Fortress Press, 1989), 47.
82
dihadirkan sebagai bentuk kemarahan terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
laki-laki kepada tiga perempuan tak bernama di dalam kitab yang sama.103
Sisera dibunuh dengan cara yang menggenaskan. Ketika Sisera sedang tertidur
pulas, Yael menggunakan patok kemah dan palu, mendekatinya, lalu melantakkannya
ke dalam pelipis sampai menembus tanah (Hakim-hakim 4:21). Peralatan ini akrab
dengan Yael karena statusnya sebagai anggota kelompok pandai besi, dan juga alat-alat
ini merupakan perkakas domestik yang berkaitan dengan pemeliharaan tenda sebagai
tugas seorang perempuan.104 Perempuan tak bernama yang membunuh Abimelek
(Hakim-hakim 9:50-57) juga menggunakan alat rumah tangga, yaitu batu kilangan yang
biasa digunakan kaum perempuan untuk menggiling gandum. Dengan demikian,
senjata-senjata yang digunakan ini merupakan simbol dari domestisitas perempuan.
Motivasi Yael membunuh Sisera tidak begitu jelas dalam teks. Ada
kemungkinan tindakan Yael merupakan pilihan yang harus dilakukan sebagai tindakan
politis untuk melindungi klannya. Kedatangan Sisera di perkemahan membawa dilema:
sebagai kenalan, Sisera harus diterima dan dilindungi. Itulah hukum hospitalitas yang
berlaku. Di sisi lain, jika Sisera diterima, maka mereka dapat dianggap bersekutu
dengan musuh Israel dan karena itu harus dihancurkan.105 Kedatangan Sisera lebih
dianggap sebagai ancaman bagi keamanan kelompok Heber, orang Keni yang baru
mulai mandiri. Apabila situasi berubah karena kemenangan Israel terhadap raja Yabin,
maka hubungan baik di antara Heber dan Yabin merupakan sesuatu yang merugikan
bagi Heber. Yael kemudian menemukan jalan untuk menyelamatkan Heber, yaitu
dengan cara membunuh Sisera. Jika dugaan di atas menyebut bahwa Yael berada dalam
103 Celia Wallhead, “The Story of Jael and Sisera in Five Nineteenth - and Twentieth - Century
Fictional Texts,” Atlantis Vol. XXIII, No. 2 (Dic. 2001), 150. 104 Ryan, Judges: Readings, 29. 105 Singgih, Dua Konteks, 26.
83
hubungan selingkuh dengan Sisera, maka hubungan selingkuh ini pun tadinya
dilakukan oleh Yael dalam rangka perhitungan politis.106
Terdapat motivasi lain dari tindakan Yael ini. Menurut Natar, Yael memikirkan
nasib Israel, kelompok yang masih memiliki hubungan keluarga dari pernikahan Musa
dengan perempuan Keni yang telah menderita di bawah penindasan Sisera selama dua
puluh tahun, dan memikirkan pembebasan mereka. Hal lain yang memperkuat motivasi
Yael ini adalah ideologi laki-laki tentang perang yang di dalamnya tercakup penjarahan
dan perkosaan (Hakim-hakim 5:30). Pemenang mendapat barang jarahan, laki-laki
pemenang boleh memperkosa perempuan dari pihak yang kalah dan perempuan dari
para pemenang boleh memperoleh perhiasan dari orang yang kalah. Untuk mengutuk
hal ini, bangsa Kanaan harus dikalahkan.107 Sama seperti Singgih, dugaan Natar
mengenai ideologi perang ini tidak dapat diterima karena tidak ada bukti dan data
sosiologis yang kuat untuk mendukung argumen ini.
Frymer-Kensky mengemukakan bahwa kisah Rahab dan Yael memiliki
kesamaan. Hal ini tidak mudah terlihat, karena tampak sangat berbeda: Rahab adalah
seorang pelacur, dan Yael adalah perempuan yang sudah menikah; Rahab memiliki
tempat tinggal sendiri, dan Yael tinggal di tenda suaminya. Akan tetapi, jika dilihat
lebih mendalam, mereka memiliki kesamaan yang signifikan. Keduanya adalah
perempuan terpinggirkan dalam masyarakat: Rahab sebagai pelacur dan Yael sebagai
orang Keni di Kanaan. Akibatnya, mereka tidak memiliki andil dan bagian dalam
struktur kekuasaan Kanaan. Mereka hidup dalam kehidupan normal sampai ketika
peristiwa politik mengganggu mereka: orang-orang Israel datang ke rumah Rahab dan
Sisera ke tenda Yael itu. Masing-masing memiliki “momen kebenaran” ketika mereka
harus menunjukkan kesetiaannya: Rahab terhadap mata-mata Israel atau raja Yerikho,
106 Singgih, Dua Konteks, 28. 107 Natar, “Apa Kata, 204-205.
84
Yael terhadap Sisera atau Israel. Pada saat itu, kedua perempuan meninggalkan apapun
yang mengklaim mereka sebagai orang Kanaan, mereka menipu orang Kanaan dan
bertindak bagi Allah dan Israel.108 Status Yael dan orang Keni sebagai kelompok
marginal dalam masyarakat Kanaan dapat dijadikan alasan Yael membunuh Sisera.
Tindakannya tidak hanya dapat memberikan kebebasan bagi orang Israel, tapi juga bagi
kelompoknya sendiri.
d) Yael sebagai perempuan yang diberkati
Alkitab orang Kristen secara jelas menggambarkan dua perempuan yang disebut
sebagai perempuan yang diberkati yaitu Yael dan Maria; sementara dalam
deuteronakonika, Yudit juga disebut sebagai perempuan yang diberkati. Yael diberkati
di antara perempuan-perempuan yang di dalam tenda (Hakim-hakim 5:24), Maria
diberkati di antara semua perempuan (Lukas 1:42) dan Yudit diberkati lebih daripada
semua perempuan di atas bumi (Yudit 13:18).109 Yael dan Yudith diberkati karena
membunuh panglima perang musuh, sementara Maria diberkati karena percaya kepada
firman Tuhan dan mengandung Anak Allah. Di dalam keseluruhan tulisan Israel, baik
kanonik maupun non-kanonik, Yael dan Yudit merupakan satu-satunya perempuan
yang disebut membunuh dengan tangan mereka sendiri dan kemudian ditinggikan
karena membantu orang Israel.110
Pembaca modern seperti Elizabeth Cady Stanton merasa tidak senang dengan
tindakan pembunuhan yang dilakukan Yael. Menurutnya, tindakan Yael lebih kepada
perbuatan iblis daripada perempuan.111 Terlepas dari pandangan ini, tindakan Yael
dipuji oleh Debora dan Barak sehingga menyebutnya sebagai perempuan yang paling
108 Frymer-Kensky, Reading the, 57. 109 Brittany E. Wilson, “Pugnacious Precursors and the Bearer of Peace: Jael, Judith, and Mary
in Luke 1:42,” Catholic Biblical Quarterly Vol. 68, No. 3 (2006), 440. 110 Wilson, “Pugnacious Precursors 442. 111 Frymer-Kensky, Reading the, 56.
85
diberkati. Pujian ini diberikan kepada Yael sebagai pahlawan yang telah memberikan
kemenangan bagi Israel. Inilah jawaban dari nubuatan yang diucapkan oleh Debora
kepada Barak, bahwa Tuhan akan menyerahkan Sisera ke tangan seorang perempuan.
Yael menjadi prajurit yang diberkati karena kekalahan telak terhadap Sisera.112
Menurut Singgih, Debora dan Barak memuji tindakan Yael sebagai suatu
tindakan yang positif, yaitu sebagai tindakan “penggagahan.” Artinya, Sisera menjadi
korban yang dicabut kegagahannya sebagai laki-laki. Debora tidak berkeberatan jika
Yael melakukan pembunuhan seperti itu terhadap Sisera. Musuh adalah musuh
sehingga dapat diperlakukan secara tidak berperikemanusiaan. Fakta bahwa perempuan
yang melakukannya merupakan alasan untuk memuji Yael sebagai yang terberkati
melebihi perempuan lain. Juga fakta bahwa Yael bukan orang Israel, melainkan orang
Keni tidak menjadi masalah. Yang terpenting adalah Yael telah melakukan tindakan
yang membinasakan musuh Israel.113
3) Ibu Sisera, ibu seorang pahlawan bangsa Kanaan
Tokoh perempuan terakhir yang disebut di antara peristiwa-peristiwa yang
terjadi adalah ibu Sisera, ibu seorang panglima tentara bangsa Kanaan (Hakim-hakim
5:28), bangsa yang besar. Berbeda dengan Debora dan Yael yang diidentifikasi dengan
nama yang tepat, ibu Sisera dikenal dengan nama ibu dari seorang panglima perang
Kanaan, musuh orang Israel. Meskipun demikian, statusnya sebagai ibu menunjukkan
peranannya sebagai perempuan yang memiliki anak. Sebagai tokoh tak bernama, ibu
Sisera disebut sebagai “sosok yang kesepian” (“lonely figure”) mirip dengan anak
perempuan Yefta dalam Hakim-hakim 11.114
112 Wilson, “Pugnacious Precursors, 445. 113 Singgih, Dua Konteks, 30. 114 William J. Urbrock, “Sisera’s Mother in Judges 5 and Haim Gouri’s ‘immô,” Hebrew Annual
Review Vol. 11 (1987), 425-426.
86
Seperti yang telah dikemukakan, kehidupan dan pekerjaan perempuan pada
masa Israel Kuno terpusat pada rumah tangga dan tanggung jawabnya terhadap
keluarga. Gambaran ideal mengenai perempuan dewasa adalah statusnya sebagai ibu
dari anak-anak dan pengatur rumah tangga yang memberi kesejahteraan bagi
keluarganya. Ibu sangat berperan dalam proses pertumbuhan anak-anak, mulai dari
proses perawatan sampai waktu penyapihan, proses edukasi dan sosialisasi, sehingga
terdapat hubungan yang erat antara ibu dengan anaknya. Ibu Sisera digambarkan
sebagai sosok perempuan dan ibu yang ideal: ia berada di rumah dan menunggu
kepulangan anaknya dari medan perang. Sebagai ibu seorang pemimpin perang, ia
menanti anaknya dengan kecemasan. Pada awalnya tampak bahwa Debora
menunjukkan simpati terhadap ibu Sisera. Tetapi kemudian berubah menjadi perasaan
benci karena ibu Sisera digambarkan sebagai sosok yang tidak sabar menunggu
kekalahan Israel. Ibu Sisera bahkan tidak menunjukkan simpati terhadap para
perempuan Israel yang akan dibawa pulang sebagai jarahan.115
Para ahli banyak menaruh perhatian kepada ironi yang dramatis dalam
gambaran ibu Sisera, seperti Abraham Birman. Birman dalam Urbrock menyatakan
bahwa nyanyian Debora merupakan “sindiran yang kejam.” Nyanyian ini disebut
sebagai contoh dari syair ejekan, yaitu Debora mencela ibu Sisera yang sedang
menunggu anaknya, tanpa menyadari bahwa anaknya telah dikalahkan dan dibunuh
oleh lawan. Dengan kata lain, dalam kasus ini tampak bahwa kemenangan besar yang
diharapkan oleh ibu Sisera tanpa disadari telah direndahkan.116
Kesimpulan: Berdasarkan metode diakronik dan sinkronik yang digunakan dalam
menafsirkan teks Hakim-hakim 4 dan 5, maka penulis akan merangkum kisah Debora,
115 Frymer-Kensky, Reading the, 50. 116 Urbrock, “Sisera’s Mother, 423-424.
87
Yael dan ibu Sisera ini sebagai berikut. Cerita Debora merupakan cerita oral yang
mengungkapkan bagaimana cara orang Israel menghadapi ancaman-ancaman yang
datang dari luar. Cerita ini menjadi pengikat aliansi suku-suku Israel karena berisikan
bagaimana perjuangan mereka dan peranan Yahweh di dalamnya. Cerita ini kemudian
dijadikan oleh DH sebagai syair kepahlawanan Israel karena peristiwa yang
digambarkan merupakan bagian penting dari latar belakang terbentuknya kerajaan
Israel. Pola DH terangkum dalam cerita ini: dosa membawa hukuman, namun ketaatan
membawa berkat. DH kemudian menggunakan cerita ini dengan memberikan gambaran
mengenai kegagalan konfederasi suku-suku jika dibandingkan dengan monarki yang
lebih kuat dan stabil.
Cerita ini juga perlu dikaji dalam kerangka besar reformasi Yosia. Seperti yang
telah disebutkan, Yosia memiliki agenda besar untuk menyatukan kembali kerajaan
Utara dan Selatan sebagai kerajaan Israel bersatu seperti pada masa pemerintahan raja
Daud. Dua penekaan utamanya adalah sentralisasi kultus maupun pemerintahan, serta
perlindungan terhadap kaum yang lemah dan kurang beruntung. Yosia tidak hanya
merangkul kelompok-kelompok di Utara dan Selatan, tetapi juga mereka yang
termarginalisasi oleh kekuasaan-kekuasaan yang menindas. Yosia memberikan ruang
kepada pihak yang tertindas untuk memperoleh kebebasan di bawah kekuasaannya, dan
itulah sebabnya cerita Debora yang heroik ini menunjukkan bagaimana orang Israel
bersatu padu untuk memperjuangkan kemerdekaan, termasuk sosok Yael dan orang
Keni yang diangkat sedemikian rupa dalam cerita sebagai simbol penerimaan orang-
orang yang termarginalisasi untuk mengakui Yosia.
Kepahlawanan perempuan seharusnya dianggap sebagai subjek cerita ini.
Kedudukan nyanyian Debora sebagai salah satu nyanyian tertua memberikan
kemungkinan yang besar bahwa pada suatu waktu di masa lalu ada tokoh perempuan
88
seperti itu. Metode sinkronik yang telah menyajikan peranan perempuan memperkuat
kemungkinan ini. Sosok Debora yang meskipun hilang dalam beberapa bagian kitab
yang lain, memiliki peranan yang sentral bagi orang Israel. Ia menjadi pemimpin
karismatik dengan kepemimpinan yuridis, militer dan politik, serta memiliki otoritas
yang tidak bergantung kepada laki-laki. Konteks kehidupan Debora yang berada pada
masa pra-monarki memberikan gambaran yang kuat mengenai peranan kaum
perempuan sebelum terbentuknya kerajaan Israel. Ia bangkit sebagai penyelamat yang
membebaskan orang Israel dari penindasan bangsa Kanaan.
Berbeda dengan Debora, Yael dan ibu Sisera merupakan tokoh perempuan yang
menggambarkan tipikal ibu-ibu pada zaman Israel Kuno. Secara karakter, ada
perubahan sikap pada kedua tokoh ini. Yael dan orang Keni merupakan kelompok
marginal. Keadaan ini sangat mempengaruhi tindakannya untuk membunuh Sisera,
panglima perang Kanaan. Yael tidak hanya memberikan kemenangan kepada orang
Israel, tetapi ia juga memberikan kebebasan bagi orang Keni di tanah Kanaan.
Sementara, ibu Sisera dalam kerisauan menanti kepulangan anaknya dari medan
perang, tetap mengharapkan jarahan untuk kepuasan diri dan bangsanya.
Tiga perempuan ini memiliki peranan sesuai dengan konteks masing-masing.
Tindakan ketiga perempuan ini dilakukan berdasarkan tujuan sosial dan politis yang
membawa keuntungan bagi mereka. Penafsiran ini telah memberikan gambaran tentang
dinamika sosial yang terjadi, serta bagaimana karakter dan hubungan antara perempuan
yang dapat digambarkan dalam hubungan solidaritas. Oleh karena itu, dalam bab
selanjutnya penulis akan melakukan analisa dengan menggunakan teori-teori pada bab
dua untuk menjawab pokok permasalahan penulisan ini.