bab ii tinjauan pustaka - imissu single sign on of ... ii.pdfdan bersifat sementara. gangguan...

15
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiologi Pendengaran Manusia Telinga merupakan alat indera yang memiliki fungsi untuk mendengar suara yang berada di sekitar manusia dan sebagai alat keseimbangan (Soetirtio, 1990). Telinga tersusun atas telinga bagian luar, telinga bagian tengah dan telinga bagian dalam (Adams, dkk., 1997). Proses mendengar diawali dengan getaran suara yang ditangkap oleh daun telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar. Getaran tersebut diteruskan ke telinga tengah melalui tulang-tulang pendengaran dan akan melalui membrane reissner yang mendorong endolimfa sehingga menimbulkan gerak antara membran basilaris dan membran tektoria. Gerakan yang dihasilkan oleh membran basilaris dan membran tektoria mengakibatkan rangsangan pada organ korti yang bersambungan dengan ujung saraf pendengaran. Impuls kemudian dibawa ke pusat sensorik pendengaran melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis dan dipersepsikan sebagai bunyi tertentu (Nusyirawan, 2008). 2.2 Gangguan Pendengaran 2.2.1 Definisi gangguan pendengaran Gangguan pendengaran terjadi karena peningkatan ambang dengar dari batas nilai normal (025 dBA) pada salah satu telinga ataupun keduanya (Soepardi, dkk., 2012).

Upload: ngoduong

Post on 14-May-2018

218 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Pendengaran Manusia

Telinga merupakan alat indera yang memiliki fungsi untuk mendengar suara yang

berada di sekitar manusia dan sebagai alat keseimbangan (Soetirtio, 1990). Telinga

tersusun atas telinga bagian luar, telinga bagian tengah dan telinga bagian dalam (Adams,

dkk., 1997). Proses mendengar diawali dengan getaran suara yang ditangkap oleh daun

telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar. Getaran

tersebut diteruskan ke telinga tengah melalui tulang-tulang pendengaran dan akan melalui

membrane reissner yang mendorong endolimfa sehingga menimbulkan gerak antara

membran basilaris dan membran tektoria. Gerakan yang dihasilkan oleh membran

basilaris dan membran tektoria mengakibatkan rangsangan pada organ korti yang

bersambungan dengan ujung saraf pendengaran. Impuls kemudian dibawa ke pusat

sensorik pendengaran melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis dan dipersepsikan

sebagai bunyi tertentu (Nusyirawan, 2008).

2.2 Gangguan Pendengaran

2.2.1 Definisi gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran terjadi karena peningkatan ambang dengar dari batas nilai

normal (0–25 dBA) pada salah satu telinga ataupun keduanya (Soepardi, dkk., 2012).

Telinga manusia hanya mampu menangkap suara yang ukuran intensitasnya 85 dBA (batas aman)

dan dengan frekuensi suara berkisar antara 20 sampai dengan 20.000 Hz (Chandra, 2007). Batas

intensitas suara tertinggi adalah 140 dBA dimana jika seseorang mendengarkan suara dengan

intensitas tersebut maka akan timbul perasaan sakit pada alat pendengaran dan memicu seseorang

terkena gangguan pendengaran atau peningkatan ambang dengar (Utamiati, 2012). Menurut

Soepardi, dkk., (2012), seseorang dikatakan memiliki pendengaran yang normal apabila mampu

mendengar suara dengan intensitas ≤25 dBA sedangkan seseorang yang mengalami peningkatan

ambang pendengaran atau derajat ketulian akan dibagi menjadi tuli ringan, tuli sedang, tuli sedang

berat, tuli berat dan tuli sangat berat (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Peningkatan Ambang Pendengaran

Klasifikasi Ambang Pendengaran

Normal 0 – 25 dBA

Tuli ringan 26 – 40 dBA

Tuli sedang 41 – 55 dBA

Tuli sedang berat 56 – 70 dBA

Tuli berat 71 – 90 dBA

Tuli sangat berat lebih dari 90 dBA

Sumber: Soepardi, Iskandar, Bashiruddin dan Ratna (2012)

2.2.2 Jenis-jenis gangguan pendengaran

Terdapat tiga jenis gangguan pendengaran (Soepardi, dkk., 2012) yakni:

1. Tuli konduktif

Pada gangguan jenis tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara yang

disebabkan oleh kelainan/penyakit di telinga luar atau di telinga tengah.

Gangguan pendengaran konduktif biasanya pada tingkat ringan atau menengah

dan bersifat sementara. Gangguan pendengaran konduktif dapat diatasi dengan

alat bantu dengar atau implan telinga tengah.

2. Tuli sensorineural

Gangguan jenis tuli sensorineural disebabkan oleh kerusakan sel rambut pada

organ korti yang terjadi akibat suara yang keras, infeksi virus, meningitis, dan

proses menua. Gangguan pendengaran sensorineural biasanya pada tingkat

ringan hingga berat dan bersifat permanen. Pada tingkat ringan dapat diatasi

dengan alat bantu dengar atau implan telinga tengah. Sedangkan implan rumah

siput seringkali merupakan solusi atas gangguan pendengaran berat atau parah.

3. Tuli campuran

Tuli campuran merupakan kombinasi dari tuli konduktif serta tuli sensorineural

dan kedua gangguan tersebut bisa terjadi bersama-sama seperti contoh radang

telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua

penyakit yang berlainan, misalnya tumor nervus VIII (sensorineural) dengan

radang telinga tengah (konduktif).

2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Daya Dengar

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi daya dengar menurut Kusumawati (2012) adalah

sebagai berikut:

1. Kebisingan

Menurut Kementrian Lingkungan Hidup (1996), kebisingan adalah bunyi yang tidak

diinginkan dari suatu kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat

menimbulkan gangguan kesehatan manusia khususnya gangguan pendengaran dan

kenyamanan lingkungan. Gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh kebisingan

berkaitan erat dengan masa kerja dan intensitas kerja. Jika dilihat berdasarkan masa

kerja, pekerja yang pernah/sedang bekerja di lingkungan bising selama lima tahun atau

lebih maka berisiko terkena penyakit gangguan pendengaran dan jika dilihat

berdasarkan intensitas kerja, pekerja akan berisiko terkena penyakit gangguan

pendengaran bila bekerja lebih dari 8 jam/hari dengan intensitas bising yang melebihi

85 dBA (Kusumawati, 2012). Pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor

KEP.51/MEN/1999 tentang nilai ambang batas faktor fisika di tempat kerja dijelaskan

bahwa seseorang tidak boleh terpajan bising lebih dari 140 dBA walaupun sesaat atau

dengan tingkat kebisingan ≥ 85 dBA selama lebih dari 8 jam kerja (Tabel 2.2)

Penelitian yang dilakukan pada pabrik baja di Desa Janti Sidoarjo menunjukan adanya

hubungan yang signifikan antara tingkat kebisingan dengan kejadian kehilangan

pendengaran (Harmadji dan Heri, 2004). Hal yang sama juga ditemukan pada

penelitian di pabrik semi konduktor Taiwan dimana pekerja yang terpapar bising ≥85

dBA selama 8 jam dan 12 jam mengalami gangguan pendengaran (Chou, 2009).

Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Kebisingan

Waktu Pemajanan Intensitas Kebisingan dalam dBA

24 Jam 80

16 82

8 85

4 88

2 91

1 94

30 Menit 97

15 100

7.5 103

3.75 106

1.88 109

0.94 112

28.12 Detik 115

14.06 118

7.03 121

3.52 124

1.76 127

0.88 130

0.44 133

0.22 136

0.11 139

Catatan : Tidak boleh lebih dari 140 dBA walaupun Seaat.

Sumber: Kepmenaker No. 51 Tahun 1999

Jenis-jenis kebisingan menurut Suma’mur (2009) adalah sebagai berikut:

a. Kebisingan kontinyu

Kebisingan kontinyu adalah kebisingan yang datangnya secara terus menerus

dalam jangka waktu yang cukup lama. Kebisingan kontinyu dikelompokkan

menjadi dua yakni kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas

seperti kipas angin dan air conditioner serta kebisingan kontinyu dengan

spektrum frekuensi sempit seperti gergaji sirkuler.

b. Kebisingan impulsif

Kebisingan impulsif adalah kebisingan yang karena adanya bunyi yang

menyentak seperti tembakan meriam dan ledakan.

c. Kebisingan impulsif berulang

Kebisingan ini hampir sama dengan kebisingan impulsif, hanya saja bising

ini terjadi berulang-ulang. Contoh kebisingan impulsif berulang adalah

kebisingan yang bersumber dari mesin tempa di perusahaan.

d. Kebisingan terputus-putus

Kebisingan terputus-putus adalah kebisingan yang berlangsung secara

berkala seperti suara lalu lintas kendaraan dan pesawat terbang.

Pesawat merupakan sumber kebisingan terbesar yang berada di area bandara.

Kebisingan yang ditimbulkan oleh pesawat berasal dari mesin pesawat terutama pada

pergerakan fan dan compressor dimana kebisingan yang tinggi terjadi pada saat

pesawat akan terbang lepas landas atau takeoff (Kandou dan Mulyono, 2014). Pada

penelitian kajian kebisingan di Bandara Ahmad Yani Semarang yang dilakukan oleh

Chaeran (2008) menyatakan bahwa tingkat kebisingan di saat pesawat terbang akan

take off lebih tinggi dari pada pesawat pesawat terbang menuju apron (landing).

Instrumen yang dapat digunakan dalam pengukuran kebisingan antara lain:

a. Sound level meter

Sound level meter digunakan untuk mengetahui intensitas kebisingan di tempat

kerja yang terdiri dari mikrofon, amplifier, dan sirkuit attenuator, alat inidapat

mengukur kebisingan antara 30-130 dBA dan dari frekuensi 20−20.000Hz (Utami,

2010). Terdapat dua metode pengukuran tingkat kebisingan dengan menggunakan

instrumen sound level meter yaitu dengan cara sederhana dan cara langsung

(MENLH, 1996). Metode pengukuran dengan cara sederhana adalah mengukur

tingkat tekanan bunyi selama 10 menit untuk tiap titik pengukuran dan pembacaan

dilakukan setiap lima detik. Metode pengukuran dengan cara langsung adalah

dengan melakukan pengukuran selama 24 jam dengan cara pada siang hari selama

16 jam dan malam hari selama 8 jam pada tiap titik pengukuran.Setiap pengukuran

harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan menetapkan paling sedikit 4

waktu pengukuran pada siang hari dan pada malam hari paling sedikit 3 waktu

pengukuran.

Terdapat tiga cara dalam menentukan titik pengukuran yakni dengan titik sampling,

pembuatan peta kontur dan pengukuran dengan grid. Pengukuran dengan titik

sampling dilakukan bila kebisingan diduga melebih ambang batas hanya pada satu

atau beberapa lokasi saja. Pengukuran dengan peta kontur dilakukan dengan

membuat gambar isoplet pada kertas berkala dan kode pewarnaan untuk

menggambarkan keadaan kebisingan. Warna hijau untuk kebisingan dibawah 85

dBA, warna orange untuk kebisingan diatas 90 dBA dan warna kuning untuk

kebisingan dengan intensitas antara 85 sampai 90 dBA. Pengukuran dengan grid

adalah dengan membuat contoh data kebisingan pada lokasi yang diinginkan

dimana titik-titik pengukuran tersebut harus dibuat dengan jarak interval yang sama

di seluruh lokasi misalnya lokasi pengukuran dibagi menjadi beberapa kotak

dengan ukuran dan jarak yang sama yakni 10 x 10 meter.

b. Noise dosimeter

Noise dosimeter adalah alat untuk mengukur dan menyimpan level kebisingan

selama waktu pajanan dan digunakan untuk personal monitoring. Dosimeter

mengukur jumlah bunyi yang didengar pekerja selama shiftnya yakni 8 jam, 10 jam,

12 jam atau berapapun lamanya. Dosimeter dipasang pada sabuk pinggang dan

sebuah microphone kecil dipasang di dekat telinga.

Pekerja yang bekerja di lingkungan bising dapat menggunakan alat pelindung telinga

untuk mencegah terkena gangguan pendengaran. Pemilihan alat pelindung telinga

disesuaikan dengan tingkat kebisingan yang ada di lingkungan kerja. Terdapat

berbagai jenis alat pelindung telinga yakni sumbat telinga (ear plugs) yang dapat

mengurangi bising hingga 30 dBA, tutup telinga (ear muffs) yang dipergunakan untuk

mengurangi bising 40 dBA sampai 50 dBA dan enclosure dipergunakan untuk

mengurangi bising maksimum 35 dBA. Alasan ketika pekerja tidak menggunakan alat

pelindung telinga padahal mereka mengetahui bahaya kebisingan yang ada di sekitar

mereka dikarenakan adanya rasa ketidaknyamanan, kurang kepedulian terhadap

keselamatan, desain alat pelindung telinga yang mengganggu proses kerja dan

kurangnya pengetahuan terhadap NIHL (Bogoch, 2005). Selain menggunakan alat

pelindung telinga, pengendalian kebisingan di tempat kerja juga dapat berupa

pengendalian secara teknis dan administratif (Babba, 2007). Pengendalian secara

teknis dapat dilakukan pada sumber bising, media yang dilalui bising serta jarak

sumber bising terhadap pekerja. Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan pada

pengendalian teknis yakni dengan mengganti peralatan yang lama dengan peralatan

baru, melumasi semua bagian yang bergerak, mengisolasi peralatan yang menjadi

sumber kebisingan, memberikan bantalan karet pada peralatan untuk mengurangi

getaran yang ditimbulkan dan menambah sekat dengan menggunakan bahan yang

dapat menyerap bising. Pengendalian administratif meliputi rotasi jam kerja pada

pekerja yang terpapar kebisingan dengan intensitas tinggi ke tempat yang memiliki

intensitas kebisingan yang lebih rendah.

2. Umur

Gangguan pendengaran akibat bertambahnya umur disebabkan oleh perubahan

patologi pada organ auditori (Kusumawati, 2012). Perubahan patologi yang terjadi

antara lain pada telinga luar dengan perubahan yang paling jelas berupa berkurangnya

elastisitas jaringan daun telinga dan liang telinga. Perubahan lainnya adalah adanya

penyusutan jaringan lemak yang memiliki fungsi sebagai bantalan pada telinga.

Penyusutan jaringan lemak tersebut menyebabkan kulit daun telinga dan liang telinga

menjadi kering dan mudah mengalami trauma. Pada bagian membran timpani, tulang

pendengaran serta otot-otot di bagian telinga tengah juga mengalami perubahan yakni

adanya penipisan dan kekakuan pada membran timpani. Persendian yang berada di

antara tulang-tulang pendengaran juga mengalami artritis sendi, hal tersebut terjadi

karena adanya degenerasi serabut otot pendengaran.

Selain telinga bagian luar dan telinga bagian tengah, telinga bagian dalam juga

mengalami perubahan patologi. Bagian yang paling rentan mengalami perubahan

adalah koklea. Proses degenerasi terjadi pada bagian sel rambut luar di bagian basal

koklea. Koklea atau yang sering disebut dengan rumah siput berfungsi untuk

mengubah bunyi dari getaran menjadi sinyal. Sinyal tersebut akan dikirimkan ke otak

melalui saraf auditori. Proses tersebut dilakukan oleh sel rambut yang berada di dalam

koklea. Jika rambut-rambut tersebut tidak berfungsi dengan baik maka seseorang akan

mengalami ketulian (Adams, dkk., 1997).

3. Penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik

Mengkonsumsi obat-obatan yang memiliki sifat ototoksik seperti antibiotik

aminoglikosid selama 14 hari baik diminum ataupun melalui suntikan akan dapat

menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran (Kusumawati, 2012). Ototoksik

adalah gangguan pendengaran yang terjadi akibat efek samping dari konsumsi obat-

obatan.

Beratnya gangguan pendengaran yang terjadi sebanding dengan lama pemakaian, jenis

obat dan jumlah obat yang diberikan serta kondisi ginjal. Gangguan pendengaran yang

disebabkan oleh penggunaan obat yang bersifat ototoksik tidak dapat diobati maka

sangat penting dilakukan proses pencegahan ataupun penanggulangan seperti

menghentikan konsumsi obat yang bersifat ototoksik dan melakukan rehabilitasi

dengan menggunakan alat bantu dengar.

4. Riwayat infeksi telinga

Otitis media (OA) merupakan peradangan telinga tengah yang disebabkan oleh virus

ataupun bakteri. Otitis media merupakan suatu infeksi yang memicu terjadinya

peradangan dan penumpukan cairan pada telingag tengah. Bakteri yang dapat

menyebabkan otitis media adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae

dan Moraxella cattarhalis. Sedangkan virus yang dapat menyebabkan otitis media

adalah Respiratory syncytial virus, Influenza virus, Rhinovirus dan Adenovirus.

Telinga yang terinfeksi bakteri atau virus dapat memicu timbulnya tinnitus. Tinnitus

adalah suara yang berdengung di satu atau pada kedua telinga. Tinnitus dapat timbul

pada telinga bagian luar, telinga bagian tengah, atau telinga bagian dalam.

5. Kebiasaan merokok

Kebiasaan merokok adalah kebiasaan membakar tembakau kemudian menghisap

asapnya baik menggunakan rokok ataupun melalui pipa (Fawzani, dkk., 2005).

Kebiasaan merokok merupakan salah satu penyebab terkena penyakit gangguan

pendengaran (Kusumawati, 2012). Kandungan pada rokok yang menjadi penyebab

terjadinya gangguan pendengaran adalah zat nikotin. Zat nikotin merupakan zat yang

bersifat ototoksik. Karbonmonoksida yang terkandung dalam rokok juga mempunyai

dampak menimbulkan penyakit gangguan pendengaran. Kandungan karbonmonoksida

pada rokok menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin (ikatan

antara CO dan hemogoblin), dengan terbentuknya ikatan tersebut maka menyebabkan

hemoglobin tidak efisien dalam mengikat oksigen. Suplai oksigen ke organ korti di

koklea menjadi terganggu dan menimbulkan efek iskemia.

Seorang perokok yang mengkonsumsi rokok kurang dari 10 batang rokok/hari disebut

sebagai perokok ringan. Perokok sedang adalah seseorang yang mengkonsumsi rokok

antara 10 sampai dengan 20 batang per hari sedangkan perokok berat adalah seseorang

yang mengkonsumsi rokok lebih dari 20 batang per hari (Bustan, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Baktiansyah (2004) tentang hubungan merokok dengan

gangguan pendengaran di kalangan pekerja pria PT-X menyatakan bahwa perokok

dengan klasifikasi perokok sedang dan perokok berat memiliki risiko 5,4 kali lebih

besar terkena gangguan pendengaran dibandingkan dengan perokok ringan.

2.4 Tes Pendengaran

Untuk mengetahui seseorang mengalami gangguan pendengaran maka perlu dilakukan tes

pendengaran dengan menggunakan tes berbisik, tes garputala atau audiometri.

1. Tes Berbisik

Pemeriksaan ini bersifat semi kuantitatif yakni menentukan derajat ketulian secara

kasar dengan hasil tes berupa jarak pendengaran (jarak antara pemeriksa dengan

pasien). Hal yang perlu diperhatikan dalam tes berbisik ini adalah ruangan yang cukup

tenang dengan panjang minimal 6 meter (Soepardi, dkk., 2012). Seseorang yang

mampu mendengar dengan jarak 6 sampai dengan 8 meter dikatagorikan normal,

kurang dari 6 sampai dengan empat meter dikatagorikan tuli ringan, kurang dari empat

sampai dengan satu meter dikatagorikan tuli sedang, kurang dari satu meter sampai

dengan 25 cm dikatagorikan tuli berat dan kurang dari 25 cm dikatagorikan sebagai

tuli total.

2. Tes Audiometri

Pemeriksaan audiometri bertujuan untuk mengetahui derajat ketulian secara kuantitatif

dan mengetahui keadaan fungsi pendengaran secara kualitatif (pendengaran normal,

tuli konduktif, tuli sensoneural dan tuli campuran). Pemeriksaan audiometri diawali

dengan menempatkan pasien pada ruangan kedap suara, selanjutnya pasien akan

mendengarkan bunyi yang dihasilkan oleh audiogram melalui earphone. Pasien harus

memberi tanda saat mulai mendengar bunyi dan saat bunyi tersebut menghilang. Cara

membaca hasil audiometri adalah dengan melihat grafik yang dihasilkan. Grafik Air

Conductor (AC) untuk menunjukan hantaran udara, sedangkan grafik Bone Conductor

(BC) untuk melihat hantaran tulang. Telinga kiri ditandai dengan warna biru,

sedangkan telinga kanan ditandai dengan warna merah.

Derajat ketulian dapat dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher, adapun rumus

dari indeks Fletcher yaitu: Ambang Dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1.000 Hz + AD

2.000 Hz + AD 4.000 Hz (Soepardi, dkk., 2012). Derajat pendengaran seseorang yang

masih berada diantara 0 sampai dengan 25 dBA dikatagorikan normal, 26 sampai 40

dBA dikatagorikan sebagai penurunan gangguan pendengaran ringan, 41 sampai 55

dBA dikatagorikan sebagai penurunan gangguan pendengaran sedang, 56 sampai 70

dBA dikatagorikan sebagai tuli sedang berat, 71 sampai 90 dBA dikatagorikan sebagai

tuli berat dan jika lebih dari 90 dBA maka dikatagorikan sebagai tuli sangat berat.

Jika dilihat berdasarkan hasil grafik audiogram, seseorang dikatagorikan normal

apabila konduksi udara lebih bagus dari konduksi tulang. Hal ini dapat teridentifikasi

apabila grafik BC berimpit dengan grafik AC dan AC serta BC sama atau kurang dari

25 dBA. Gangguan pendengaran konduktif dapat teridentifikasi jika grafik AC turun

lebih dari 25 dBA dan BC normal atau kurang dari 25 dBA. Kondisi gangguan

pendengaran konduktif terjadi jika konduksi tulang lebih baik dari konduksi udara.

Kemudian, seseorang dikatakan gangguan pendengaran sensorineural jika konduksi

udara lebih baik dari konduksi tulang. Letak grafik pada penderita gangguan

sensorineural adalah grafik BC berimpit dengan grafik AC, namun kedua grafik turun

lebih dari 25 dBA. Sedangkan gangguan pendengaran campuran terjadi jika grafik BC

turun lebih dari 25 dBA dan AC turun lebih besar dari BC (Soepardi, dkk., 2012).

3. Tes Garputala

Pemeriksaan menggunakan garputala atau tes penala merupakan pemeriksaan secara

kualitatif. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui jenis gangguan pendengaran.

Terdapat berbagai macam tes garputala seperti tes Rinne, tes Weber dan tes

Schwabach.

a. Tes Rinne

Pada saat dilakukannya tes, pasien harus fokus terlebih dahulu setelah pasien

fokus maka tindakan selanjutnya adalah menggetarkan garputala. Garputala

yang sedang bergetar diletakkan di prosesus mastoid setelah tidak terdengar

maka garputala diletakkan di depan telinga kira-kira 2,5 cm. Apabila bunyi

garputala masih terdengar maka disebut tes Rinne positif (+) namun apabila

bunyi garputala tidak terdengar maka disebut tes Rinne negatif (-).

b. Tes Weber

Garputala yang bergetar diletakkan pada garis tengah kepala (di vertex, dahi,

pangkal hidung, ditengah-tengah gigi seri atau dagu). Apabila bunyi garputala

tedengar lebih keras pada salah satu telinga maka disebut lateralisasi kepada

telinga yang mendengar bunyi tersebut. Bila pasien tidak dapat membedakan

telinga yang mendengar bunyi lebih keras maka disebut Weber tidak ada

lateralisasi.

c. Tes Schwabach

Garputala yang bergetar didekatkan pada prosesus mastoideus sampai tidak

terdengar bunyi. Kemudian garputala dipindahkan pada prosesus mastoideus

telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat

mendengar bunyi garputala maka disebut Schwabach memendek. Namun jika

pemerika tidak mendengar, pemeriksaan akan diulang dengan cara sebaliknya

yakni garputala yang sudah digetarkan diletakkan pada prosesus mostoideus

pemeriksa lebih dahulu. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi garputala

maka disebut Schwabach memanjang namun bila pemeriksa dan pasien sama-

sama mendengar maka disebut Schwabach sama dengan pemeriksa.

Adapun hasil pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan garputala dapat

dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Hasil Pemeriksaan Menggunakan Garputala

Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach Diagnosis

Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan pemeriksa Normal

Negatif Lateralisasi ke telinga

yang sakit

Memanjang Tuli konduktif

Positif Lateralisasi ke telinga

yang sehat

Memendek Tuli sensorineural

Sumber: Soepardi, Iskandar, Bashiruddin dan Ratna (2012)