bab ii landasan teori 2.1 altruis 2.1.1...
TRANSCRIPT
12
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Altruis
2.1.1 Pengertian
Altruis adalah suatu bentuk perilaku menolong berupa kepedulian untuk
menolong orang lain dengan sukarela tanpa mengharapkan adanya imbalan
atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional
seseorang dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain.
Altruis adalah tindakan sukarela untuk membantu orang lain tanpa pamrih, atau
ingin sekedar beramal baik (Schroeder, Penner, Dovidio, & Piliavin, 1995
dalam Taylor, 2009). Sarwono (2009) pada altruistik, tindakan seseorang untuk
memberikan bantuan pada orang lain adalah bersifat tidak mementingkan diri
sendiri (selfless) bukan untuk kepentingan diri sendiri (selfish).
Perilaku altruis didorong oleh keinginan pribadi untuk menolong sesama
tanpa mengharap imbalan. Hal ini dilakukan karena rasa empati yang besar
yang dimiliki seseorang sehingga rela berkorban untuk kepentingan orang lain.
Batson (Sarwono, 2009) menjelaskan bahwa empati adalah sumber dari
motivasi altruistik. Seseorang yang altruis memiliki motivasi yang tinggi dalam
membantu membahagiakan orang lain.
Staub (Dayakisni, 2012) menyatakan ada tiga indikator tindakan yang
dapat dikatakan altruis, yaitu:
1. Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan
pada pihak pelaku.
13
2. Tindakan itu dilahirkan secara sukarela.
3. Tindakan itu menghasilkan kebaikan
2.1.2 Aspek-Aspek Altruis
Aspek-aspek perilaku altruis mengacu pada Cohen (Staub 1978) yang
menyatakan bahwa dalam altruis terdiri dari tiga hal yaitu :
1. Perilaku memberi
Perilaku ini bersifat menguntungkan bagi orang lain yang mendapat atau
yang dikenai perlakuan dengan tujuan memenuhi kebutuhan atau keinginan
orang lain, perilaku ini dapat berupa barang atau yang lainya. Pada mahasiswa
misalnya memberikan bantuan pada mahasiswa yang lain saat mengerjakan
tugas salah satu matakuliah.
2. Empati
Batson (Sarwono, 2009) menjelaskan bahwa empati adalah sumber dari
motivasi altruistik. Mahasiswa yang memiliki empati tinggi maka mahasiswa
tersebut akan lebih mudah untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain. Goleman (2005) menjelaskan kemampuan berempati sebagai
kemampuan untuk mengetahui perasaan orang lain dan ikut berperan dalam
pergulatan di arena kehidupan, kesadaran terhadap perasaan kebutuhan dan
kepentingan orang lain, ciri empati yang tinggi adalah memahami orang lain
dengan minat aktif terhadap kepentingan mereka, orientasi pelayanan,
mengembangkan orang lain, dan menumbuh kembangkankan hubungan saling
percaya. Empati membutuhkan cukup banyak ketenangan dan kesediaan untuk
14
menerima, sehingga sinyal-sinyal perasaan halus dari orang lain dapat
diterima dan ditirukan oleh otak emosional orang itu sendiri.
3. Sukarela
Tidak adanya keinginan untuk mendapatkan imbalan apapun kecuali
semata-semata dilakukan untuk kepentingan orang lain. Misalnya mahasiswa
yang menjadi panitia pada sebuah acara yang dilaksanakan oleh Fakultas.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Altruis
Sarwono (2009) mamaparkan beberapa faktor yang mempengaruhi
perilaku altruis. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku altruis terbagi
menjadi dua yaitu faktor situasional dan faktor dari dalam diri.
a. Pengaruh Faktor Situasional
1. Bystander
Bystander atau orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian
mempunyai peran sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat
memutuskan antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada
keadaan darurat. Efek bystander terjadi karena pertama, pengaruh
sosial, yaitu pengaruh dari orang lain yang dijadikan sebagai patokan
dalam mengintepretasi situasi dan mengambil keputusan untuk
menolong, seseorang akan menolong jika orang lain juga menolong.
Kedua, hambatan penonton, yaitu merasa dirinya dinilai oleh orang
lain dan risiko membuat malu diri sendiri karena tindakannya
menolong yang kurang tepat akan menghambat orang untuk
15
menolong. Ketiga, penyebaran tanggung jawab membuat tanggung
jawab untuk menolong menjadi terbagi karena hadirnya orang lain.
2. Daya Tarik
Sejauh mana seseorang mengevaluasi korban secara positif
(memiliki daya tarik) akan memengaruhi kesediaan orang untuk
memberikan bantuan. Seseorang cenderung akan menolong orang
yang mirip dirinya. Pada umumnya orang akan menolong anggota
kelompoknya terlebih dahulu baru kemudian menolong orang lain.
3. Atribusi terhadap korban
Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang
lain bila ia mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah
di luar kendali korban (Weiner,1980). Seseorang akan lebih bersedia
memberikan sumbangan kepada pengemis yang cacat dan tua
dibandingkan dengan pengemis yang sehat dan muda.
4. Ada model
Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat
mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain.
5. Desakan waktu
Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong,
sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar
kemungkinannya untuk memberikan pertolongan kepada yang
memerlukannya (Sarwono, 2002).
16
6. Sifat kebutuhan korban
Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa
korban benar-benar membutuhkan pertolongan, layak mendapatkan
bantuan yang dibutuhkan, dan bukanlah tanggung jawab korban
sehingga ia memerlukan bantuan dari orang lain. Orang yang meminta
pertolongan akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk
ditolong daripada orang yang tidak meminta pertolongan.
b. Pengaruh Faktor dari Dalam Diri
1. Suasana Hati (Mood)
Emosi seseorang dapat memengaruhi kecenderungannya untuk
menolong. Emosi positif secara umum meningkatkan tingkah laku
menolong. Namun jika situasinya tidak jelas, maka orang yang
sedang bahagia cenderung untuk mengasumsikan bahwa tidak ada
keadaan darurat sehingga tidak menolong. Pada emosi negatif,
seseorang yang sedang sedih mempunyai kemungkinan menolong
yang lebih kecil. Namun jika dengan menolong dapat membuat
suasana hati lebih baik, maka dia akan memberikan pertolongan.
2. Sifat
Beberapa penelitian membuktiakan ada hubungan antara
karakteristik seseorang dengan kecenderungan untuk menolong.
Orang yang mempunyai sifat pemaaf akan mempunyai
kecenderungan mudah menolong. Orang yang mempunyai
pemantauan diri yang tinggi juga cenderung lebih penolong karena
17
dengan menjadi penolong, ia akan memperoleh penghargaan sosial
yang lebih tinggi. Kebutuhan akan persetujuan juga mendukung
tingkah laku menolong. Individu yang kebutuhannya akan pujian atau
penghargaan lainnya sangat tinggi, jika situasi menolong memberikan
peluang untuk mendapatkan penghargaan bagi dirinya, maka ia akan
meningkatkan tingkah laku menolongnya. Bierhoff, Klein, dan Kramp
(1991) dalam Baron, Byrne, Branscombe (2006) telah
mengemukakan faktor-faktor dalam diri yang menyusun kepribadian
altruistik, yaitu adanya empati, kepercayaan terhadap dunia yang adil,
rasa tanggung jawab sosial, memiliki internal locus of control dan
egosentrisme yang rendah.
3. Jenis kelamin
Peranan gender terhadap kecenderungan seseorang untuk
menolong sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan
yang dibutuhkan. Laki-laki cenderung lebih mau terlibat dalam
aktivitas menolong pada situasi darurat yang membahayakan,
misalnya menolong seseorang dalam kebakaran. Sementara
perempuan lebih tampil menolong pada situasi yang bersifat memberi
dukungan emosi, merawat, dan mengasuh.
4. Tempat tinggal
Orang yang tinggal di daerah pedesaan cenderung lebih penolong
daripada orang yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini dapat
dijelaskan melalui urban-overload hypothesis, yaitu orang-orang kota
18
terlalu banyak mendapat stimulasi dari lingkungannya sehingga ia
harus selektif dalam menerima paparan informasi yang sangat banyak
agar bisa tetap menjalankan peran-perannya dengan baik. Itulah
sebabnya, di perkotaan, orang-orang yang sibuk sering tidak peduli
dengan kesulitan orang lain karena ia sudah overload dengan beban
tugasnya sehari-hari.
5. Pola Asuh
Tingkah laku sosial sebagai bentuk tingkah laku yang
menguntungkan orang lain tidak terlepas dari peranan pola asuh di
dalam keluarga. Pola asuh yang bersifat demokratis secara signifikan
memfasilitasi adanya kecenderungan anak untuk tumbuh menjadi
seseorang yang mau menolong, yaitu melalui peran orang tua dalam
menetapkan standar-standar atau contoh-contoh tingkah laku
menolong. Pola asuh orang tua yang demokratis juga turut
mendukung terbentuknya internal locus of control, yang merupakan
salah satu sifat dari kepribadian altruistik, yaitu orang yang suka
menolong memiliki locus of control internal yang lebih tinggi
dibandingkan dengan orang yang tidak suka menolong.
2.2 Kecerdasan Emosional
2.2.1 Pengertian
Sebuah teori yang komprehensif mengenai kecerdasan emosional pertama
kali diajukan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Yale
University dan John Mayer dari University of New Hampshire. Salovey dan
19
Mayer (Goleman, 2001) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain,
serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan
tindakan.
Kecerdasan emosional atau emotional intelligence adalah kemampuan
mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada
diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain agar terekspresikan secara
tepat dan efektif (Goleman, 2001).
Di dalam Penelitian ini, kecerdasan emosional yang dimaksud adalah
kemampuan mahasiswa untuk dapat mengerti dan memahami perasaan-
perasaan diri sendiri, mengelola emosi diri sendiri, mampu memotivasi diri
sendiri dan orang lain, serta mempunyai rasa empati terhadap orang lain.
2.1.2 Aspek Kecerdasan Emosional
Salovey (Goleman, 2001; 2005) menempatkan kecerdasan pribadi Gardner
dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya, seraya
memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama, yaitu :
a. Kesadaran Diri
Kesadaran diri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan
sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan
emosional. Para ahli psikologi menggunakan istilah metamood untuk menyebut
kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut John Mayer (Goleman,
2005) kesadaran diri adalah waspada baik terhadap suasana hati maupun
20
pikiran tentang suasana hati. Bila kurang waspada maka individu menjadi
mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri belum
menjamin penguasaan emosi, namun menjadi salah satu prasyarat penting
untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosinya.
Orang yang mempunyai kesadaran emosi menyadari apa yang sedang kita
pikirkan dan apa yang kita rasakan saat ini. Kesadaran akan emosi merupakan
kecakapan emosional dasar yang melandasi terbentuknya kecakapan-
kecakapan lain, misalnya kendali diri akan emosi. (Goleman, 2001) Kesadaran
diri berarti mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan
menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri,
memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri
yang kuat.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap
terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan,
yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan
kita. Mampu mengelola emosi berarti mampu melakukan pengaturan diri, yaitu
menangani emosi sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan
tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum
tercapainya suatu sasaran, serta mampu pulih kembali dari tekanan emosi
(Goleman, 2001). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur
21
diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan
akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari
perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Motivasi merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu sehingga
menuntun seseorang untuk menuju sasaran, dan membantu dalam mengambil
inisiatif dan bertindak secara efektif untuk bertahan menghadapi kegagalan dan
frustasi. Orang yang mempunyai motivasi diri serta dapat memanfaatkan emosi
secara produktif memliki ketekunan dalam usaha mencapai tujuan, kemampuan
untuk menguasai diri, bertanggung jawab, dapat membuat rencana-rencana
inovatif-kreatif ke depan dan mampu menyesuaikan diri dan optimis.
d. Mengenali Emosi Orang Lain (Empati)
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati.
Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain yaitu merasakan yang
dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka,
menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan
bermacam-macam orang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih
mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan
apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut
pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk
mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukan bahwa orang-orang yang
mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan
22
diri secara emosional, lebih popular, lebih mudah bergaul, dan lebih peka
(Goleman, 2005). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga
memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya
sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut
mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan
Keterampilan untuk berhubungan dengan orang lain merupakan kecakapan
emosional yang mendukung keberhasilan dalam bergaul dengan orang lain dan
sesuatu kemampuan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan
keberhasilan antar pribadi. Membina hubungan dengan orang lain yaitu
menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan
dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar,
menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan
memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja
sama dan bekerja dalam tim.
Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam
keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Seseorang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan
lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan
menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi.
Salah satu kemampuan yang berpengaruh dalam kecerdasan emosional
adalah mengenali emosi orang lain yang ditunjukkan dengan sikap empati.
23
Dimana individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap
perasaan orang lain, lebih peka dan mampu mendengarkan orang lain.
Hoffman (dalam Goleman, 2001) melihat adanya proses alamiah empati sejak
bayi dan masa-masa selanjutnya. Hal ini berhubungan dengan perilaku
altruistik dimana salah satu aspek dalam altruis adalah empati, yaitu
kemampuan seseorang untuk mengetahui perasaan orang lain dan ikut berperan
dalam membantu kebutuhan dan kepentingan orang lain.
2.1.3 Faktor Kecerdasan Emosional
Goleman (2005) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor internal yaitu faktor
otak. Mengungkapkan bagaimana arsitektur otak memberi tempat istimewa
bagi amigdala sebagai penjaga emosi, penjaga yang mampu membajak otak.
Amigdala berfungsi sebagai semacam gudang ingatan emosional dan demikian
makna emosional itu sendiri hidup tanpa amigdala merupakan kehidupan tanpa
makna pribadi sama sekali. Faktor lain yang mempengaruhi kecerdasan
emosional adalah faktor eksternal yaitu yang datang dari luar individu.
Sepanjang perkembangan sejarah manusia menunjukkan seseorang sejak kecil
mempelajari keterampilan sosial dasar maupun emosional dari orang tua dan
kaum kerabat, tetangga, teman bermain, lingkungan pembelajaran di sekolah
dan dari dukungan sosial lainnya. Demikian pula pada kecerdasan emosional
seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan tidak bersifat menetap.
Faktor eksternal yang mempengaruhi kecerdasan emosional yaitu a) pengaruh
keluarga, b) lingkungan sekolah, dan c) lingkungan sosial.
24
Demikianlah beberapa hal yang mempengaruhi kecerdasan emosi yang
secara garis besar dipengaruhi oleh faktor dari dalam individu dan faktor dari
luar individu selanjutnya kedua faktor ini saling berinteraksi dalam proses
belajar dan latihan selama rentang kehidupannya.
2.3 Kajian Hasil Penelitian
Penelitian Arif (2010) yang meneliti mengenai Hubungan Antara
Kecerdasan Emosi Dengan Intensi Altruisme Pada Siswa kelas X4, X8, dan X9
SMA Negeri 1 Tahunan, Jepara yang berjumlah 102, ditemukan hasil r = 0,502
dengan p < 0,01 artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara
kecerdasan emosi dengan intensi altruisme pada siswa. Penelitian yang
dilakukan Hunaini (2012) mengenai Hubungan Antara Kecerdasan Emosional
Dengan Perilaku Altruistik Pada Siswa SMA N 1 Bangil ditemukan hasil
bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan
perilaku altruistik pada siswa SMA N 1 Bangil dengan r = 0,530 dengan p =
0,000. Pujiyanti (2009) meneliti tentang Kontribusi Empati Terhadap Perilaku
Altruisme Pada Siswa Siswi SMA Negeri 1 Setu Bekasi kelas 1 dan kelas 2
yang berusia antara 14 sampai dengan 17 tahun, ditemukan hasil p = 0,000
dimana p < 0,05. Nilai r = 0,710 dan r square sebesar 0,504, sehingga dapat
disimpulkan bahwa kontribusi empati signifikan terhadap altruisme.
2.4 Hipotesis
Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan hipotesis bahwa ada hubungan
yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan perilaku altruis pada
25
mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya
Wacana.