bab ii kajian pustaka 2.1 kajian teori 2.1.1 pengertian...

15
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil dengan tingkat kemampuan yang berbeda, dalam menyelesaikan tugas kelompok setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran (Isjoni, 2009:14-15). Slavin (2009:4) mengemukakan pendapatnya bahwa pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Hal ini bertujuan agar proses pembelajaran tidak didominasi oleh satu orang, melainkan setiap anggota kelompok memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam menyelesaikan masalah kelompoknya. Sehingga proses pembelajaran yang terjadi dapat berperan dalam mengaktifkan semua siswa dan lebih berpusat kepada siswa. Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama Eggen dan Kauchak (dalam Trianto, (2007:42). Pada pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan kepada temannya. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan. Tujuan pembelajaran kooperatif sebagai berikut: 1) untuk meningkatkan partisipasi siswa, 2) untuk memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, 3) memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berdeda latar belakangnya Trianto (2007:42).

Upload: trinhkhanh

Post on 08-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa

sebagai anggota kelompok kecil dengan tingkat kemampuan yang berbeda, dalam

menyelesaikan tugas kelompok setiap siswa anggota kelompok harus saling

bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran (Isjoni,

2009:14-15). Slavin (2009:4) mengemukakan pendapatnya bahwa pembelajaran

kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa

bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama

lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Hal ini bertujuan agar proses

pembelajaran tidak didominasi oleh satu orang, melainkan setiap anggota

kelompok memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam

menyelesaikan masalah kelompoknya. Sehingga proses pembelajaran yang terjadi

dapat berperan dalam mengaktifkan semua siswa dan lebih berpusat kepada siswa.

Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran

yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan

bersama Eggen dan Kauchak (dalam Trianto, (2007:42). Pada pembelajaran

kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama

dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa

diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk

diajarkan kepada temannya. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok

adalah mencapai ketuntasan. Tujuan pembelajaran kooperatif sebagai berikut: 1)

untuk meningkatkan partisipasi siswa, 2) untuk memfasilitasi siswa dengan

pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, 3)

memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama

siswa yang berdeda latar belakangnya Trianto (2007:42).

8

Langkah-langkah pembelajaran kooperatif oleh Trianto (2009:66-67)

adalah sebagaimana terlihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1

Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif

Sintaks

Pembelajaran

Kooperatif

Perilaku

Fase 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut

Fase 2 Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan

demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

Fase 3

Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-

kelompok belajar menjelaskan bagaimana

caranya membentuk kelompok belajar dan

membantu setiap kelompok agar melakukan transisi

secara efisien.

Fase 4

Membimbing kelompok bekerja dan belajar pada

saat mereka mengerjakan tugas mereka.

Fase 5

Mengevaluasi hasil belajar tentang

materi yang telah dipelajari atau masing-masing

kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Fase 6 Memberikan penghargaan baik upaya maupun hasil

belajar individu dan kelompok.

Berdasarkan enam fase sintaks pembelajaran kooperatif di atas, maka

pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan tujuan-

tujuan dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti

dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian

dilanjutkan langkah-langkah di mana siswa di bawah bimbingan guru bekerja

bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung. Fase

terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok

atau mengetes apa yang telah dipelajari oleh siswa dan pengenalan kelompok dan

usaha-usaha individu.

2.1.2 Model Kooperatif Tipe Jigsaw

Model pembelajaran jigsaw ini siswa memiliki banyak kesempatan untuk

mengemukakan pendapat, dan mengelolah informasi yang didapat dan dapat

meningkatkan keterampilan berkomunikasi, anggota kelompok bertanggung

9

jawab atas keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang

dipelajari, dan dapat menyampaikan kepada kelompoknya (Suprijono, 2009:89-

91). Pembelajaran kooperatif Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran

kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai

materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal (Isjoni, 2009:77).

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah salah satu model

pembelajaran yang terdiri dari tim-tim belajar heterogen, beranggotakan 4-6

siswa, setiap siswa bertanggung jawab atas penguasaan bagian dari materi belajar

dan harus mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota tim lainnya

Trianto (2007:56). Menurut Suyatno (2008:104) jigsaw merupakan salah satu

pembelajaran kelompok yang terdiri dari kelompok asal dan kelompok ahli.

Anggota kelompok terdiri atas beberapa siswa dengan tingkat heterogenitas yang

tinggi. Siswa yang memiliki topik sama bertemu pada kelompok ahli, kelompok

ahli mempelajari satu topik. Dan setelah topik tersebut tuntas dibahas, maka siswa

dari kelompok ahli kembali pada kelompok asal dan berbagi pengetahuan dengan

teman-teman pada kelompok asal.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif

tipe jigsaw adalah teknik pembelajaran kooperatif di mana siswa, bukan guru,

yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam melaksanakan pembelajaran.

2.1.3 Langkah – langkah Model Pembelajarn Jigsaw ( Tim Ahli )

Menurut Trianto (2007:56) langkah - langkah pembelajaran jigsaw (Tim

Ahli) adalah sebagai berikut :

1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran

2. Guru mengatur tempat duduk

3. Siswa dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok anggotanya 5-6

orang).

4. Materi pelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah

dibagi-bagi menjadi beberapa sub bab.

5. Setiap anggota kelompok membaca sub bab yang ditugaskan dan

bertanggung jawab untuk mempelajarinya.

6. Anggota dari kelompok yang lain yang telah mempelajari sub bab yang

sama bertemu dalam kelompok-kelompok ahli untuk mendiskusikannya.

10

7. Setiap anggota kelompok ahli setelah kembali ke kelompoknya bertugas

mengajar teman-temannya.

8. Pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa-siswa dikenai tagihan

berupa kuis individu ( tes formatif ).

9. Guru memberi pengarahan kepada setiap kelompok untuk menyampikan

hasil pengamatannya.

10. Guru membimbing siswa dalam membuat kesimpulan.

Dapat disimpulkan oleh peneliti, proses kegiatan belajar mengajar mata

pelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe

Jigsaw dengan batasan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut :

1) Kegiatan Awal :

a) Membuka pelajaran dengan salam

b) Mengecek kehadiran siswa

c) Guru mengatur tempat duduk siswa

d) Melakukan apersepsi

e) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran

2) Kegiatan Inti :

a) Guru menjelaskan/mengemukakan lagkah-langkah pembelajaran

dengan menggunakan model Jigsaw.

b) Guru mengajak siswa untuk menggali pengetahuan siswa materi

matematika tentang pecahan.

c) Guru memberikan materi dalam bentuk teks yang telah dibagi-

bagikan menjadi beberapa sub bab.

d) Membantu siswa memberi informasi.

e) Siswa dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok anggotanya

5-6 orang)

f) Guru menyuruh setiap anggota kelompok membaca sub bab yang

ditugaskan dan bertanggung jawab mempelajarinya.

g) Guru menyuruh tiap anggota kelompok yang lain yang telah

mempelajari sub bab yang berbeda agar bertemu dalam kelompok

ahli untuk mendiskusikannya.

h) Guru mengarahkan agar setiap kelompok setelah kembali ke

kelompoknya bertugas mengajari temannya.

11

i) Guru memberi pengarahan kepada tiap kelompok untuk

menyampaikan hasil diskusi.

3) Kegiatan Penutup :

a) Guru membimbing siswa dalam membuat kesimpulan

b) Guru melaksanakan evaluasi dengan membagi lembar tes formatif

untuk dikerjakan secara individu

c) Guru menutup pembelajaran.

d) Salam penutup.

Kebaikan metode Jigsaw : (a) Dapat membimbing peserta didik ke arah

berpikir satu tujuan; (b) Untuk mengurangi kesalahan karena didiskusikan

bersama tim ahli; (c) Perhatian peserta didik terpusat pada hal-hal yang dianggap

penting; (d) Permasalahan yang terpendam dapat mendapat penjelasan guru pada

waktu itu pula; (e) Semua siswa terlibat secara aktif.

2.1.4 Kelebihan Dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Menurut Sugiyanto (2010:46) keunggulan model jigsaw dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Dapat digunakan secara efektif di tiap level, siswa telah mendapatkan

keterampilan akademis mulai dari pemahaman, membaca maupun

keterampilan kelompok untuk belajar bersama.

2. Pada kegiatan ini guru berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan dan

memotivasi siswa untuk belajar mandiri

3. Menumbuhkan rasa tanggung jawab siswa, serta akan merasa senang

berdiskusi dalam kelompoknya.

Namun setiap kelebihan pasti diikuti juga dengan sisi

kelemahannya, antara lain:

1) Untuk mengoptimalkan manfaat kerja kelompok, keanggotaan kelompok

harus heterogen, baik dari segi kemampuan maupun karakteristik lainnya.

2) Jumlah siswa yang bekerja sama dalam kelompok harus dibatasi agar

kelompok tersebut dapat bekerja sama secara efektif, sebab suatu ukuran

kelompok dapat mempengaruhi kemampuan produktivitasnya

12

3) Guru cenderung menggunakan kompetensi untuk memotivasi siswa

mereka, dan sering mengabaikan strategi yang didalamnya terdapat

kerjasama dan motivasi teman sebaya yang dapat digunakan untuk

membantu siswa fokus terhadap prestasi akademik.

2.2 Hakikat Belajar

2.2.1 Pengertian Belajar

Belajar dalam idealisme berarti kegiatan psiko-fisik-sosial menuju ke

perkembangan pribadi seutuhnya. Namun, realitas yang dipahami oleh sebagian

besar masyarakat tidaklah demikian. Belajar dianggapnya properti sekolah.

Kegiatan belajar selalu dikaitkan dengan tugas-tugas sekolah. Sebagian besar

masyarakat menganggap belajar di sekolah adalah usaha penguasaan materi ilmu

pengetahuan. Anggapan tersebut tidak seluruhnya salah, sebab seperti dikatakan

Reber, belajar adalah the proces of acquiring knowledge. Belajar adalah proses

mendapatkan pengetahuan. Menurut Gagne ( dalam Suprijono, 2009:2) belajar

adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui

aktivitas.

Belajar sebagai konsep mendapatkan pengetahuan dalam praktiknya yang

dianut. Guru bertindak sebagai pengajar yang berusaha memberikan ilmu

pengetahuan sebanyak-banyaknya dan peserta didik giat mengumpulkan atau

menerimanya. Proses belajar mengajar ini banyak didominasi aktivitas menghafal.

Peserta didik sudah belajar jika mereka sudah hafal dengan hal-hal yang telah

dipelajarinya (Suprijono, 2009:3).

Menurut Slameto (2010:2) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang

dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru

secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan

lingkungannya. Belajar sebagai suatu proses artinya kegiatan belajar terjadi secara

dinamis dan terus-menerus yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam diri

anak. Perubahan yang dimaksud dapat berupa pengetahuan (knowledge) atau

perilaku (behavior).

Dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belajar

sesungguhnya mengandung tiga unsur, yaitu:

13

1) Belajar merupakan perubahan tingkah laku.

2) Perubahan tingkah laku itu terjadi karena didahului oleh proses latihan dan

pengalaman secara berulang-ulang.

3) Perubahan tingkah laku karena belajar bersifat relatif permanen dan secara

terus menerus.

2.2.2 Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh individu setelah

proses belajar berlangsung, yang dapat memberikan perubahan tingkah laku baik

pengetahuan, pemahaman, sikap dan keterampilan sehingga lebih baik dari pada

sebelumnya. Menurut Nana Sudjana (2010:22) hasil belajar adalah segala

kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman

belajarnya. Menurut Winkel (dalam Purwanto, 2008:45) hasil belajar adalah

perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah

lakunya.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2013:4) dampak pembelajaran adalah

hasil yang dapat diukur seperti tertuang dalam rapor, angka dalam ijazah atau

kemampuan meloncat setelah latihan dan hasil belajar adalah kemampuan yang

diperoleh siswa dari suatu interaksi dalam proses pembelajaran. Hasil belajar juga

diartikan sebagai tingkat penguasaan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti

proses pembelajaran sesuai dengan program pendidikan yang diterapkan. Hasil

belajar digunakan untuk bahan pertimbangan dalam menentukan kenaikan kelas,

umpan balik dalam perbaikan proses belajar mengajar, meningkatkan hasil belajar

siswa, evaluasi diri terhadap kinerja siswa. Belajar merupakan proses yang

menimbulkan terjadinya perubahan atau pembaharuan dalam perilaku atau

kecakapan.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah

suatu hasil atau nilai yang dicapai atau dimiliki siswa dari suatu kegiatan atau

usaha yang dilakukan selama mengalami aktivitas belajar yang merupakan bukti

keberhasilan seseorang setelah mengalami proses/pengalaman dalam belajar.

Untuk mengukur bukti keberhasilan seseorang setelah mengalami proses belajar

digunakan alat penilaian yaitu tes evaluasi dengan hasil yang dinyatakan dalam

14

bentuk nilai. Jadi, berhasil tidaknya seseorang dalam proses belajar tergantung

dari faktor – faktor yang mempengaruhinya.

2.2.3 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu dari dalam diri

siswa dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Menurut

Slameto (2010:56-72) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa yaitu faktor

intern dan faktor ekstern. Faktor intern terdiri atas faktor-faktor jasmaniah,

psikologi, minat, motivasi dan cara belajar. Sedangkan faktor ekstern terdiri dari

lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Kedua faktor yang ada sangat

berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.

Selanjutnya menurut Sardiman (2014:39-47) faktor-faktor yang

mempengaruhi belajar adalah faktor intern (dari dalam) diri siswa dan faktor

ekstern (dari luar) siswa. Berkaitan dengan faktor dari dalam diri siswa, selain

faktor kemampuan, ada juga faktor lain yaitu motivasi, minat, perhatian, sikap,

kebiasaan belajar, ketekunan, kondisi sosial ekonomi, kondisi fisik dan psikis.

Kehadiran faktor psikologis dalam belajar akan memberikan andil yang cukup

penting. Faktor-faktor psikologis akan senantiasa memberikan landasan dan

kemudahan dalam upaya mencapai tujuan belajar secara optimal.

Berdasarkan pendapat para ahli terebut, maka dapat disimpulkan bahawa

faktor – faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal adalah fisiologis dan psikologis yang terdiri dari

motivasi, minat, kebiasaan dan cara belajar. Sedangkan faktor eksternal adalah

lingkungan dan instrumental yang terdiri dari lingkungan keluarga (suasana

rumah dan keadaan ekonomi), sekolah (model mengajar dan alat peraga yang

digunakan) dan masyarakat (teman bergaul). Keduanya dapat diminimalisir

apabila guru dalam hal ini selaku pendidik mampu dan mau berusaha

mengorganisir atau mengelola proses belajar mengajar yang tidak hanya

dilakukan di dalam kelas saja.

Hasil belajar merupakan tingkat kemampuan yang bisa dicapai oleh murid

dalam mengikuti proses belajar mengajar, sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:3) hasil belajar merupakan hasil dari suatu

15

interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Hasil belajar bersifat kuantitatif,

melalui pengukuran. Pengukuran menurut Wardani NS, dkk (2012:47) adalah

kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu

gejala atau peristiwa. Pengukuran juga dapat diartikan penetapan angka dengan

cara yang sistematik untuk menyatakan keadaan individu. Wardani NS, dkk

(2012:48) Dalam melakukan pengukuran diperlukan alat ukur yang disebut

dengan instrumen. Penggunaan instrumen ini tergantung dari teknik pengumpulan

datanya. Teknik penilaian dan bentuk instrumen secara rinci disajikan dalam tabel

2.1 berikut:

Tabel 2.1

Teknik Penilaian dan Bentuk Instrumen

Teknik Penilaian Bentuk Instrumen

1. Tes tertulis a) Tes pilihan: pilihan ganda,

benar salah, menjodohkan, dan

lain-lain.

b) Tes isian: isian singkat, dan

uraian.

2. Tes lisan a) Daftar pertanyaan

3. Tes praktik (tes kinerja) a) Tes identifikasi

b) Tes simulasi

4. Penugasan individual

atau kelompok

a) Pekerjaan rumah

b) Projek

5. Penilaian portofolio a) Lembar penilaian portofolio

6. Jurnal a) Buku catatan jurnal

7. Penilaian diri a) Kuisioner/lembar catatan diri

8. Penilaian antar teman a) Lembar penilaian antar teman

Teknik pengukuran menurut Wardani dkk (2012:141) dibedakan

menjadi tiga yakni tes tertulis, tes lisan dan tes perbuatan. Menurut Endang

Poerwanti (2008:4-9) jenis-jenis tes adalah sebagai berikut:

1. Jenis tes berdasarkan cara mengerjakan

a. Tes Tertulis

Tes tertulis adalah tes yang dilakukan secara tertulis baik dalam hal soal

maupun jawabannya.

16

b. Tes Lisan

Pada tes lisan, baik pertanyaan maupun jawaban (response), semuanya

dalam bentuk lisan. Karenanya, tes lisan relatif tidak memiliki rambu-

rambu penyelenggaraan tes yang baku, karena itu, hasil dari tes lisan

biasanya tidak menjadi informasi pokok tetapi pelengkap dari instrumen

asesmen yang lain.

c. Tes Unjuk Kerja

Pada tes ini peserta didik diminta untuk melakukan sesuatu sebagai

indikator pencapaian kompetensi yang berupa kemampuan psikomotor.

2. Jenis tes berdasarkan bentuk jawabannya

a. Tes esei (essay-type test)

Tes bentuk uraian adalah tes yang menuntut siswa mengorganisasikan

gagasan-gagasan tentang apa yang telah dipelajarinya dengan cara

mengemukakannya dalam bentuk tulisan.

b. Tes jawaban pendek

Tes dapat digolongkan menjadi tes jawaban pendek jika peserta tes

diminta menuangkan jawabannya bukan dalam bentuk esei, tetapi

memberikan jawaban-jawaban pendek, dalam bentuk rangkaian kata-kata

pendek, kata-kata lepas maupun angka-angka.

c. Tes objektif

Tes objektif adalah tes yang keseluruhan informasi diperlukan untuk

menjawab tes yang telah tersedia. Oleh karenanya sering pula disebut

dengan istilah tes pilihan jawaban (selected response test).

2.3 Hakikat Matematika

Matematika menurut Ruseffendi (dalam Prihandoko, 2006) adalah bahasa

simbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif; ilmu

tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang

tidak didefinisikan, ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan

akhirnya ke dalil. Sedangkan hakikat matematika menurut Soedjadi (dalam

Prihandoko, 2006) yaitu memiliki objek tujuan abstrak, bertumpu pada

kesepakatan, dan pola pikir yang dedukatif. Dalam matematika, setiap konsep

17

yang abstrak yang baru dipahami siswa perlu segera diberi penguatan, agar

mengendap dan bertahan lama dalam memori siswa, sehingga akan melekat dalam

pola pikir dan pola tindakannya. Maka diperlukan adanya pembelajaran melalui

perbuatan dan pengertian, tidak hanya sekedar hafalan atau mengingat fakta saja,

karena hal ini akan mudah dilupakan siswa.

Matematika merupakan ilmu tentang bilangan – bilangan, tetapi pada

kenyataannya cakupan matematika lebih luas. Matematika tidak hanya

mempelajari tentang bilangan saja, tetapi juga mempelajari tentang ruang, bidang,

dan metodologi untuk memperoleh kesimpulan. Menurut Johson dan Myklebust

(dalam Mulyono, 2003:252) matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi

praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan

sedang fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berfikir. Selnjutnya menurut

Kline (dalam Mulyono, 2003:252) matematika adalah bahasa simbolis dan ciri

utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan

cara bernalar induktif.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian

matematika adalah suatu pembelajaran yang tidak hanya suatu simbol, namun di

setiap simbol terdapat sebuah arti yang digunakan untuk berfikir.

2.3.1 Pembelajaran Matematika di SD

Sepintas konsep matematika yang diberikan pada siswa sekolah dasar (SD)

sangatlah sederhana dan mudah, tetapi sebenarnya materi matematika SD memuat

konsep-konsep yang mendasar dan penting serta tidak boleh dipandang gampang.

Diperlukan kecermatan dalam menyajikan konsep-konsep tersebut, agar siswa

mampu memahaminya secara benar, sebab kesan dan pandangan yang diterima

siswa terhadap suatu konsep di sekolah dasar dapat terus terbawa pada masa-masa

selanjutnya. Misalnya, jika sejak semula dalam suatu gambar segitiga guru selalu

menunjuk bahwa alas suatu segitiga adalah sisi yang berada di bagian bawah dan

tinggi selalu ditunjukkan oleh segmen garis vertikal yang tegak lurus terhadap sisi

alas dan berujung di titik sudut diatas sisi tersebut, maka untuk selanjutnya siswa

akan terus melakukan hal serupa. Contoh tersebut menunjukkan bahwa konsep-

konsep matematika harus diberikan secara benar sejak awal siswa mengenal suatu

18

konsep, sebab kesan yang pertama kali ditangkap oleh siswa akan terus terekam

dan menjadi pandangannya di masa-masa selanjutnya (Prihandoko, 2006:1).

Siswa sekolah dasar (SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12

atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase operasional konkret.

Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir

untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan

objek yang bersifat konkret. Dari usia perkembangan kognitif, siswa SD masih

terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dalam

pembelajaran matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu berupa

media, dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan oleh

guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti siswa. Proses pembelajaran

pada fase konkret dapat melalui tahapan konkret, semi konkret, dan selanjutnya

abstrak. Konsep-konsep pada kurikulum matematika SD dapat dibagi menjadi tiga

kelompok besar, yaitu penanaman konsep dasar (penanaman konsep), pemahaman

konsep, dan pembinaan ketrampilan. Memang, tujuan akhir pembelajaran

matematika di SD ini yaitu agar siswa terampil dalam menggunakan berbagai

konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi untuk menuju tahap

keterampilan tersebut harus memulai langkah-langkah benar yang sesuai dengan

kemampuan dan lingkungan siswa. Berikut ini adalah pemaparan pembelajaran

yang ditekankan pada konsep-konsep matematika (Prihandoko, 2006:1).

1. Penanaman Konsep Dasar (Penanaman Konsep), yaitu pembelajaran suatu

konsep baru matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep

tersebut. Kita dapat mengetahui konsep ini dari isi kurikulum, yang

dicirikan dengan kata “mengenal”. Pembelajaran penanaman konsep dasar

merupakan jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan

kognitif siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak.

Dalam kegiatan pembelajaran konsep dasar ini, media atau alat peraga

diharapkan dapat digunakan untuk membantu pola pikir siswa.

2. Pemahaman konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep,

yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika.

Pemahaman konsep terdiri atas dua pengertian. Pertama, merupakan

19

kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan.

Sedangkan kedua, pembelajaran pemahaman konsep dilakukan pada

pertemuan berbeda, tetapi masih merupakan lanjutan dari pemahaman

konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman konsep dianggap sudah

disampaikan pada pertemuan sebelumnya, di semester atau kelas

sebelumnya.

3. Pembinaan Keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman

konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran pembinaan keterampilan

bertujuan agar siswa lebih terampil dalm menggunakan berbagai konsep

matematika. Seperti halnya pada pemahaman konsep, pembinaan

keterampilan juga terdiri atas dua pengertian. Pertama, merupakan

kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan.

Sedangkan kedua, pembelajaran pembinaan keterampilan dilakukan pada

pertemuan yang berbeda, tapi masih merupakan lanjutan dari penanaman

dan pemahaman konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman dan

pemahaman konsep dianggap sudah disampaikan pada pertemuan

sebelumnya, di semester atau kelas sebelumnya.

2.3.2 Tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Tujuan mata pelajaran matematika menurut Permendiknas nomor 22 tahun

2006 adalah sebagai berikut:

1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan

tepat, dalam pemecahan masalah

2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau

menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika

3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan

solusi yang diperoleh

4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media

lain untuk memperjelas keadaan atau masalah

20

5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu

memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari

matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Menurut Kurikulim Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 ruang

lingkup Mata pelajaran Matematika untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut:

1. Bilangan

2. Geometri dan pengukuran

3. Pengolahan data.

2.4 Hasil Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Siti Ulfah, (2011) yang berjudul

Peningkatan Hasil Belajar Matematika Materi Perbandingan Dan Skala Melalui

Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Pada Siswa Kelas V Sd Negeri

Randuagung Rembang Tahun Pelajaran 2010/2011. Hasil penelitian yang

dilaksanakan 2 siklus menunjukkan peningkatan hasil belajar siswa. Siklus I rata-

rata kelas mencapai 75,60 dan ketuntasan mencapai 76%. Siklus II rata-rata kelas

85,20 dan ketuntasan 88%.

Penelitian yang dilakukan oleh Amalia, Rizqi. (2014) yang berjudul

Peningkatan Hasil Belajar Matematika Materi Penjumlahan Pecahan melalui

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Siswa Kelas IV SD 2 Jurang.

Skripsi. Hasil penelitian ini mencapai semua indikator keberhasilan. Kondisi awal

siswa sebelum melakukan tindakan mendapat ketuntasan klasikal sebesar 32%

dengan rata-rata 63 meningkat pada siklus I menjadi 53% dengan rata-rata 75 dan

pada siklus II meningkat menjadi 75% dengan rata-rata 84. Aktivitas belajar siswa

secara individu pada siklus I mendapat skor rata-rata 2,32 dengan kualifikasi

“baik” meningkat pada siklus II menjadi 3,32 dengan kualifikasi “ sangat baik”.

Kinerja guru pada siklus I mendapatkan skor rata-rata 3,13 dengan kualifikasi

“baik” meningkat pada siklus II menjadi 3,56 dengan kualifikasi “sangat baik”.

2.5 Kerangka Pikir

Ada berbagai macam cara guru untuk meningkatkan hasil belajar siswanya,

misalnya dengan menggunakan media yang beragam agar pembelajaran tidak

membosankan bagi siswa. Untuk itu salah satu model yang digunakan dalam

21

penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, dengan

menggunakan model pembelajaran ini dapat mengubah paradigma pembelajaran

agar media yang digunakan dapat membangkitkan semangat belajar siswa serta

hasil belajar siswa meningkat. Karena dengan menggunakan model ini siswa

dilatih untuk menjadi tutor (tim ahli) dan melatih tanggung jawab siswa atas apa

yang dipelajarinya.

Tabel 2.2

Kerangka Pikir

2.6 Hipotesis Tindakan

Berdasarkan uraian pada landasan teori dan kerangka pikir sebagaimana

yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis tindakan penelitian ini adalah

Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan hasil

belajar matematika pada siswa kelas 4 SD Negeri Dukuh 01 Salatiga Semester 2

Tahun Ajaran 2015/2016.

Kondisi awal Guru belum

menggunakan model

Jigsaw

Menggunakan model

pembelajaran Jigsaw dalam

pembelajaran dengan alat

peraga

Hasil belajar siswa belum

mencapai KKM

Menggunakan

model Jigsaw,

dalam

pembelajaran

matematika

melalui 2 siklus

Tindakan

Menggunakan model

pembelajaran Jigsaw

Melalui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, hasil belajar

siswa dalam pembelajaran matematika meningkat

mencapai KKM.

Kondisi akhir