bab ii integrasi tauhid dan ilmu pengetahuan alam …digilib.uinsby.ac.id/1164/5/bab 2.pdfintegrasi...
TRANSCRIPT
17
BAB II
INTEGRASI TAUHID DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
A. Tinjauan Tentang Tauhid dan Ilmu Pengetahuan Alam
1. Pengertian dan Klasifikasi Ilmu Tauhid
Tauhid secara bahasa diambil dari kata wahhada, yaitu mengesakan
sesuatu, menjadikannya satu. Lawan katanya ialah dua, tiga, atau lebih,
yang intinya ialah bilangan lebih dari satu. Maka sesuatu yang wahid
berarti sesuatu yang bersendiri, yang tidak memiliki sekutu apa pun.
Sedangkan secara istilah syar’i tauhid ialah : mengesakan Allah dalam hal
ibadah. Yaitu menjadikan ibadah seluruhnya hanya untuk Allah.1
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah jika mereka berhenti (dari kekafiran), Maka Sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan.(al-Anfal:39)
Tauhid dalam Islam berarti proses aktif mengesakan Allah,
meskipun pembahasan Tauhid tidak pernah lepas dari unsur ke-Esa-an
Allah, namun sejarah Islam telah diwarnai oleh berbagai penafsiran tauhid
oleh berbagai madzhab pemikiran dengan kecendrungan berbeda-beda satu
dengan lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh cara penafsiran yang
terkait erat dengan situasi zaman yang sedang dihadapi pada saat
penafsiran itu dilaksanakan. Dengan kata lain, penafsiran tauhid senantiasa 1 Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Durus Min al-Qur'anil Karim, (Bairut: Dar al-Ashimah), 11.
18
mengandung jawaban terhadap tantangan zaman. Penafsiran kembali
tauhid agar selalu relevana dengan situasi sangat dimungkinkan untuk
menghindari konseptualisasi yang kurang atau tidak sesuai dengan
tuntutan zaman.
Dalam bukunya Zainuddin menjelaskan bahwa asal kata tauhid itu
adalah wahid yang berarti "satu".2 Dalam istilah agama Islam, tauhid ialah
keyakina tentang satu atau esanya Allah, maka segala pikiran dan teori
berikut argumentasinya yang mengarah kepada kesimpulan bahwa Tuhan
itu satu disebut dengan ilmu tauhid.3
Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah,
tentang sifat-sifat yang wajib tetap padanya, sifat-sifat yang boleh
disifatinya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan
daripada-Nya. Juga tentang para Rasul Allah, meyakinkan kerasulan
mereka, meyakinkan apa yang wajib ada pada diri mereka dan apa yang
terlarang menghubungkannya pada diri mereka.4
"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan". (QS: Al-Anbiya':22)
Tauhid tidak hanya pengakuan bahwa Allah satu-satunya pencipta
dan Ilah, namun ketauhidan harus sejalan dengan aktivitas seorang,
keyakina tersebut harus diwujudkan dalam amal praktek. Dan yang wajib
2 Yusron Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 2. 3 Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineke Cipta, 1992), 1 4 Ibid, 2.
19
kita yakini itu adalah bahwa dzat itu ada, dan tidak menyerupai apa yang
ada di alam semesta ini.
Dalam pandangan al-Qur'an, dasar interpretasi dari semua bentuk
ilmu adalah tauhid, dalam arti ia dikembangkan dalam bingkai dan spirit
tauhid. Dalam al-Qur'an, khususnya lima ayat pertama yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad, yakni surat al-Alaq ayat 1-5, disinyalir secara
tegas bahwa ilmu mesti tidak dipisahkan dari sang pencipta, tetapi harus
selalu terkait dengan-Nya agar selalu mendapat kebahagiaan serta
keselamatan dunia-akhirat. Oleh karenanya, ilmu harus dapat
mendekatkan manusia kepada Khaliq, mengakui keagungan-Nya dan
mendorongnya untuk beramal shalih, walau merupakan salah satu sumber
ilmu pengetahuan paling signifikan yang dapat mengarahkan ilmu
pengetahuan ke arah yang benar. Secara aksiologis, tujuan akhir dari ilmu
adalah mengantarkan manusia untuk merealisasikan statusnya sebagai
hamba allah dan khalifah-Nya di muka bumi, dan menyiapkan diri untuk
memenuhi peranan serta tanggung jawab atas amal dan perbuatannya
dihadapan Allah5.
Salah satu aspek yang paling penting tentang Tuhan di dalam al-
Qur'an adalah afirmasi tentang keesaan Tuhan (Tauhid), dimana
merupakan aspek yang fundamental dalam ajaran Islam. Dengan
demikian, islam memandang bahwa konsep ilmu tidak dapat dipisahkan
dari pemahaman tentang Tuhan, sebab semua ilmu datangnya dari Tuhan
yang maha mengetahui. Pengetahuan tentang Tuha adalah absolut,
ilmunya mencakup seluruh aspek, yang tampak maupun tersembunyi, dan
5 Oesman Bakar, Tauhid dan Sains Perspektif Islam Tentang Agama dan Sains, terj. Yuliani Liputo dan M.S. Nasrullah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008), 138.
20
tidak ada sesuatu apapun di jagad raya ini yang tidak diketahui oleh-Nya.
Tuhan sebagai asal usul ilmu pengetahuan muncul secara berulang-ulang
dalam al-Qur'an. Lantaran semua ilmu berasal dari Tuhan, maka setiap
cendikiawan muslim harus mencari, mengimplementasikan, dan
menyebarkannya sesuai dengan ketentuan-Nya. Itulah sebabnya mengapa
Islam secara tegas menentang pencarian ilmu hanya untuk ilmu saja. Bagi
Islam, ilmu harusnya ditemukan demi memperoleh ridha Ilahi. Oleh
karena itu pencarian tersebut tidak boleh bertentangan dengan perintah-
Nya.
Konsep tentang tauhid, yang lazim diterjemahkan sebagai paham
keesaan Tuhan, memanifestasikan adanya kesatuan dalam ilmu. Kesatuan
ilmu bermakna tidak adanya kompartementalisasi atau bifurkasi antara
ilmu-ilmu "agama" dengan "ilmu umum". Konsep ilmu dalam Islam
terkait dan terjalin erat dengan pandangan dunia Islam (Islamic
worldview), yang bermuara pada konsep tauhid. Dengan kata lain,
pandangan islam tentang Tuhan, kenabian (nubuwah), alam semesta,
manusia, unsur-unsur, dan konsep-konsep Islam terkait dengan ilmu.
Tauhid merupakan aspek sentral atau poros dimana seluruh konsep-
konsep Islam berputar mengitarinya. Ibarat tata surya, tauhid adalah
matahari dimana semua planet mengitari dan menyerap energinya6.
Dalam tradisi intelektual Islam, terdapat kesatuan hirarki ilmu.
Sebarang bentuk fragmentasi tidak dapat ditolerir, karena bertentangan
dengan spirit tauhid. Ilmu tauhid menempati posisi paling tinggi dalam
6 Kuntowijoyo, Islam Sebagai IlmuEpistemologoi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 55.
21
klasifiasi ilmu dan segenap disiplin ilmu yang lain berkaitan dengannya.
Sementara ilmu modern kehilangan visi hierarkisnya.
Dalam Islam terdapat kesatuan, antara ilmu, iman (ketauhidan), dan
amal. Sebaliknya, konsep ilmu Barat sekuler meniadakan dan
memisahkan iman dari ilmu. Sebagai konsekuensinya, ilmu tersebut
melahirkan saintis tanpa iman. Ilmu pengetahuan tanpa keyakinan
terhadap keesaan Tuhan akan menyesatkan dan melahirkan sikap anti
terhadap agama. Atau, ilmu tanpa hidayah dan hikmah hanya akan
membuat para ilmuwan kian jauh dari keimanan.
Metode, sumber, dan tujuan ilmu dalam Islam berbeda dengan Barat
yang hanya melegitimasi apa yang disebut metode ilmiah (saintifik) dan
menolak wahyu sebagai sumber dan cara untuk mendapatkan ilmu serta
menafikan Tuhan sebagai asal-usul dan sumber ilmu pengetahuan. Atas
dasar ini, kaum akademis Barat mempertahankan ide "ilmu hanya untuk
ilmu" dan tujuan mereka untuk mencari ilmu hanya untuk mencari
kesenangan dan kesejahteraan duniawi. Islam, dilain pihak, menyatakan
bahwa Tuhan adala asal-usul dan sumber ilmu pengetahuan. Al-Qur'an
dan hadith Nabi yang shahih merekomendasikan penggunaan berbagai
sumber atau cara untuk mencapai ilmu pengetahuan, seperti observasi atau
eksperimen, intuisi, rasio, dan juga wahyu. Tujuan akhir untuk mencari
ilmu adalah untuk mengetahui (ma'rifah) dan mengabdi kepada Allah
dalam rangka untuk mencari keridlaan dan kedekatan diri (taqarrub)
kepada-Nya. Dengan jalan ini maka manusia dapat mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat kelak.
22
Epistemologi atau teori tentang ilmu mejadi perhatian utama para
cendikiawan Islam dimasa silam. Mereka sepenuhnya menyadari tentang
pentingnya mendefinisikan ilmu untuk mencari klarifikasi,
mengidentifikasi skop dan limitasinya, menjelaskan sumber-sumber,
menerangkan metode-metodenya, serta mengklasifikasikannya kedalam
berbagai disiplin, menjelaskan hirarki dan interelasinya. Berbagai uapaya
yang terus menerus dalam mengetengahkan eksposisi ilmu itu terinspirasi
oleh keyakinan yang kuat terhadap doktrin ajaran Islam yang paling
fundamental, yaitu tauhid.7
Kesadaran epistemologis seperti itu kurang dimiliki oleh kaum
intelegensia muslim kontemporer. Padahal epistemologi merupakan
prasyarat bagi kemajuan dan fondasi tegaknya peradaban. Mereka kurang
mampu mebuat prioritas, sehingga energi intelektuaitas mereka banyak
terkuras untuk memecahkan hal-hal yang kurang esensial, yang dalam
beberapa hal memang secara sengaja didesain oleh orang-orang yang
tidak menghendaki kemajuan umat Islam. Sehingga umat Islam tidak
mempunyai energi intelektual yang memadai untuk mengembangkan dan
membangun epistemologi yang berwawasan tauhid.
Dampaknya, umat Islam kontemporer tidak mampu memberikan
kontribusi yang signifikan, khas dan orisinil terhadap existing body of
knowledge. Keberadaannya sama dengan ketiadaannya, bahkan cendrung
menjadi cemoohan dan beban bagi umat lain. Kondisi ini semakin parah
dengan derasnya arus sekulerisasi yang melanda dunia Islam. Kondisi ini
pada ujungnya menyebabkan kerancuan, stagnasi pemikiran, dan
7 Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu: Perspektif al-Qur'an (Bandung: Rosda karya, 1989), 98
23
kemunduran dalam segala aspek kehidupan sosial, politik maupun
ekonomi. Umat Islam juga tidak berdaya untuk mentransformasikan diri
serta tidak dapat menawarkan solusi terhadap problem yang dihadapi oleh
umat manusia dan di saat yang sama perdaban islam menjadi pudar.
Dalam perspektif Islam, ontologi, epistemologi dan aksiologi
dipahami secara integral dalam bingkai tauhid. Kongkritnya, konsep ilmu,
manusia, dan alam semesta, senantiasa bertautan secara erat dengan
Tuhan yang merupakan asal-usul dari segala sesuatu. Segenap upaya
untuk mengetahui dan membangun konsep segala sesuatu termasuk ilmu
harus mengacu dan mengaitkan dengan konsep tersebut. Lagi pula, tidak
satu konsep pun yang akan sempurna dan bermakna tanpa mengacu
kepada-Nya. Jika ilmu dipisahkan dari Tuhan dan alam semesta dianggap
realitas independen sebagai kasus yang terjadi dalam ilmu pengetahuan
kontemporer, maka hal itu hanya akan menghasilkan ilmu palsu atau
pseudo knowledge yang mengeliminasi nilai-nilai moral dan spiritual,
sehingga mengakibatkan terjadinya krisis global di era modern serta
mengusik keharmonisan hubungan aantara manusia dengan sesamanya,
serta manusia dan alam semesta8.
Lain halnya ketika ilmu dirajut dan diintegrasikan kembali dalam
bingkai tauhid, maka transformasi sosial ke arah kehidupan yang lebih
bermakna, berharkat dan bermartabat. Jelasnya, pengembangan ilmu
pengetahuan dalam bingkai tauhid merupakan a sain qua non
mentransformasikan umat Islam sebagai umat yang berwibawa dan
disegani. Oleh karena itu, ilmu dalam pandangan Islam harus mampu
8 Harun Nasution, Islam RAsional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1998), 291.
24
memberikan kontribusi yang orisinil dan khas terhadap existing body of
knoledge, serta mampu menawarkan solusi terhadap problem dan krisis
yang dihadapi oleh umat manusia, bagi terciptanya tatanan kehidupan
yang lebih manusiawi. Umat Islam sesungguhnya memiliki potensi untuk
berperan sebagai intellectual leadership sekaligus menjadi fondasi yang
solid bagi kostruksi kultur dan peradaban. Hal ini jelas merupakan tugas
yang berat, namun dengan kesadaran epistemologis, komitmen, dedikasi,
dan keteguhan intelektual yang tinggi, maka segala sesuatunya tidak
mustahil dapat direalisasikan.
2. Pengertian dan Klasifikasi Ilmu Pengetahun Alam
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip
saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA
diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari
diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut
dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajran menekankan pada pemberian pengalaman
langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diharapkan untuk
inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Dalam belajar IPA peserta didik diarahkan untuk membandingkan
hasil prediksi peserta didik dengan teori melalui eksperimen dengan
menggunakan metode ilmiah. Pendidikan IPA di sekolah diharapkan dapat
25
menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan
alam sekitarnya, serta prospek pengembangan lebih lanjut dlam
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, yang didasarkan melalui
metode ilmiah. Pembelajaran IPA menekankan pada pengalaman langsung
untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik mampu memahami
alam sekitar melalui proses mencari tahu dan berbuat, hal ini akan
membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam.
Keterampilah untuk mencari tahu atau berbuat tersebut dinamakan
dengan keterampilan proses penyelidikan atau ”inquiry skills" yang
meliputi mengamati, mengukur, menggolongkan, mengajukan pertanyaan,
menyusun hipotesis, merencanakan eksperimen untuk menjawab
pertanyaan, mengklasifikasikan, mengolah dan menganalisis data,
menerapkan ide pada siswa.
Pembelajaran IPA mencakup semua materi yang terkait dengan
objek alam serta semua persoalannya. Ruang lingkup IPA yaitu makhluk
hidup, energi dan perubahannya, bumi dan alam semesta serta proses
materi benda dan sifatnya. IPA terdiri dari tiga aspek yaitu fisika, biologi,
dan kimia. Pada aspek fisika lebih memfokuskan pada benda-benda tak
hidup. Pada aspek biologi IPA mengkaji pada persoalan yang terkait
dengan makhluk hidup serta lingkunganna. Sedangkan pada aspek kimia
IPA mempelajari gejala-gejala kimia baik yang ada pada makhluk hidup
maupun benda tak hidup yang ada di alam9.
9 Srini Mutiah Iskandar. Kimia Bahan Alam (Malang, FPMIPA IKIP, 1983), 11.
26
Dengan demikian pendidikan IPA bukan hanya sekedar teori akan
tetapi dalam setiap bentuk pengajarannya lebih ditekankan pada bukti dan
kegunaan ilmu tersebut. Dapat di diskripsikan Ilmu Pengetahuan Alam
merupakan program untuk menanamkan dan mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai ilmiah pada siswa serta rasa
mencintai sang penciptanya.
Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains (science) diambil dari kata latin
Scientia harfiahnya adalah pengetahuan, tetapi kemudian berkembang
menjadi khusus Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains, dalam bahasa Arab
disebut al-'ilm10. Sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang
ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka
mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah
merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen,
mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Dari sini
tampak bahwa karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi
artinya gejala alam dapat berbentuk kuantitas.11
Di dalam al-Qur'an, kata al-'ilm disebutkan sebanyak 105 kali, dan
dari akar katanya disebut dalam berbagai bentuk tidak kurang dari 744
kali.12 Hal ini menunjukkan tingginya kedudukan ilmu dalam kehidupan
manusia. Wahyu pertama yang diturunkan kepada nabi Muhammad
pentingnya membaca, pena, dan ilmu bagi manusia:
10 Majma' al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu'jam al-Wasit, (Istanbul: Dar al-Da'wah, 1990), 624. 11 http://id.wikipwdia.org./wiki/Ilmu_alam/ (12 Februari 2014) 12Imam Syafi'ie, Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam al-Qur'an (Yogyakarta: UII Press, 2000), 30.
27
13
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Lebih dari itu, dalam sejarah penciptaan Adam, al-Qur'an
menggambarkan bagaimana Allah mengajarkan kepadanya tentang
lingkungan yang karenanya malaikat dan jin disuruh bersujud di hadapan
Adam, sebagaimana difirmankan:
14
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar. Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Adanya perintah bersujud yang ditujukan kepada makhluk selain
manusia di hadapan Adam dikarenakan pengetahuan yang diajarkan Allah
kepada manusia, sehingga pada kesempatan lain Allah menegaskan
keutamaan mereka yang memiliki pengetahuan dari mereka yang tidak
memiliki pengetahuan.
15
13 Al-Qur'an: 69:1-5. 14 Al-Qur'an: (2:31-32)
28
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Dari penjelasan ayat di atas, ada yang menarik untuk digaris bawahi,
bahwa dalam pemakaian kata ilmu, al-Qur'an membedakan antara 'allama
dan utu al-'ilma. Kata pertama mengisyaratkan adanya ilmu yang diajarkan
langsung oleh Allah kepada manusia tanpa proses pencarian (prosedur
ilmiah), yang dalam istilah para ulama disebut al-'ilm al-ladunni.16
Sedangkan yang kedua mengisyaratkan adanya obyek dan subyek sesuai
dengan prosedur ilmiah, yang oleh karenanya al-Qur'an menggunakan kata
utu yang berarti mencari. Dalam proses pencarian selalu ada yang meneliti
dan ada yang diteliti. Hal ini dikuatkan juga oleh hadth Nabi yang
mengunakan persamaan makna kata dengan utu, yakni talab yang artinya
juga mencari.17 Ilmu yang didapat melalui prosedur ilmiah ini oleh para
ulama disebut al-ulum al-muktasabah.18
B. Landasan Filosofis Integrasi Tauhid dan Ilmu Pengetahuan Alam
Berbicara tentang integrasi nilai-nilai tauhid dan IPA tidak bisa lepas dari
landasan filosofis integrasi ilmu dan agama sebagai hulunya. Sebagaimana
diketahui sekarang ini, masih juga muncul anggapan sebagian besar masyarakat
bahwa "agama" dan "ilmu" merupakan entitas yang berbeda dan tidak bisa
dipertemukan. Keduanya memiliki wilayah sendiri-sendiri baik dari segi objek
formal material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan
15 Al-Qur'an: (39:9) 16 Imam Syafi'ie, Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam……29. 17 Ilmu yang melalui proses pencarian ini juga disebut sebagai 'ilmu kasbi, lihat lebih lanjut, M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudu'i Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 346-347. 18 Ibid.
29
oleh ilmuan maupun status teori masing-masing, bahkan sampai penyelenggaraan
institusinya.
Menurut Amin abdullah bahwa sejarah kependidikan Islam telah terbelah
menjadi dua wajah, yaitu paradigma Integralistik ensiklopedik dan paradigma
spesifik paternalistik. Paradigma pengembangan keilmuan yang integralistik
ensiklopedik ditokohi oleh ilmuan muslim, serta Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu
Khaldun, semsntara yang spesifik paternalistik diwakili oleh ahli hadits dan ahli
fiqh. Keterpisahan secara diametral antara keduanya atau dikotomis dan sebab
lain yang besifat politis ekonomis berakibat pada rendahnhya kualitas pendidikan
dan kemunduran dunia Islam saat itu. Oleh karena itu, Amin Abdullah
menawarkan gerakan rapproachment (gerakan untuk saling menerimakeberadaan
yang lain dengan lapang dada) antara kubu keilmuan yang dianggap sebagai
sebuah keniscayaan. Gerakan ini disebut dengan reintegrasi epistemologi.19
Dalam perspektif keilmuan Islam, posisi filsafat Islam dalah sebagai
landasan adanya integrasi berbagai disiplin dan pendekatan yang makin beragam,
karena dalam konstruk epistemologi Islam, filasafat Islam dengan metode
rasional transendentalnya dapat menjadi dasarnya. Sebagai contoh, fiqh pada
hakikatnya adalah pemahaman yang dasarnya adalah filsafat, yang kemudian juga
dikembangkan dalam ushul fiqh. Tanpa filsafat fiqh akan kehilangan semangat
inovasi, dinamisasi dan perubahan. Oleh karena itu jika terjadi pertentangan
antara fiqh dan filsafat, maka hal ini disebabkan terjadinya kesalah fahaman
dalam memahami risalah kenabian.
Menurut al-Kindi dalam Harun Nasution bahwa agama dan filsafat adalah
dua hal yang berbeda baik dari aspek sumber maupun metodenya. Agama berasal
19 M. Zainuddin, "UIN Menuju Integrasi Ilmu dan agama" dalam M. Zainuddin dkk. Memadu Sains dan Agama Menuju Universitas Islam Masa Depan , (Malang: Bayumedia Publising, 20014), 5.
30
dari wahyu Ilahi, sedangkan filsafat berasal dari pengetahuan deskursif. Meski
demikian, tujuan tertinggi (ultimate goal) yang ingin dicapai keduanya adalah
kebenaran pertama dalam persoalana ketuhanan atau metafisika sehingga tujuan
utama agama dan filsafat adalah sama. Dengan demikian al-Kindi
mempertemukan agama dan filsafat dalam bentuk subtansinya, pada kajian
puncaknya yakni kebenaran tertinggi atau kebenaran tunggal yang sama-sama
dicari oleh filsafat dan agama.20
Para ilmuan terdahulu memang mengklasifikasikan ilmu dalam berbagai
macam, al-Farabi misalnya membagi ilmu menjadi lima kategori yaitu, ilmu
bahasa, logika, hitung-menghitung, tabi'I dan ilmu masyarakat dimana masng-
masing dengan cabangnya. Ibnu Khaldun membuat klasifikasi ilmu menjadi dua
yaitu aqliyah dan naqliyah, ilmu naqliyah adalah ilmu yang berdasarkan wahyu,
yang termasuk dalam ilmu naqliyah yaitu al-Qur'an, hadith, fiqh, kalam, tasawuf
dan bahasa. Sedangkan ilmu aqliyah adalah imu yang berdasarkan rasio, ilmu
yang termasuk aqliyah yaitu filsafat, kedokteran, pertanian, astronomi dan
sebagainya. Sedangkan al-Ghazali membagi ilmu menjadi keilmuan agama
(syr'iyyah) dan keilmuan non agama (ghair asy-Syar'iyyah) kedua ilmu tersebut
oleh al-Ghazali diberi status yang sama yaitu fardhu, harus ditempuh dan dimiliki
oleh umat Islam. Menurut Azumardi Azra klasifikasi ilmu tersebut bukan
dimaksud mendikotomi ilmu antara satu dengan yang lain, tetapi hanya sekedar
klasifikasi. Klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa ilmu tersebut telah
berkembang dalam peradaban Islam. Dalam kontek ini ilmu agama islam
meruakan salah satu saja dari berbagai cabang ilmu secara keseluruhan.21
20 M. Zainuddin, Memadu Sains dan Agama Menuju Universitas Islam Masa Depan, (Malang, Bayumedia Publishing, 2004),5. 21 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi Modernisasi Menuju Milenium Baru, xii-xiv,
31
Ahmad Tafsir dengan merujuk kepada Ibnu Khaldun, bahwa klasifikasi
pengetahuan dibagi kepada pengetahuan yang diwahyukan (naqliyah) atau dalam
istilah konferensi ilmu di Makkah disebut dengan perrenial dan pengetahuan
yang diperoleh (aqliyah) atau acquired dalam istilah konferensi tersebut. Tafsir
juga menekaknkan pengintegrasian kedua pengetahuan itu harus dimuali dengan
membangun kembali filsafat pengetahuan dalam Islam, dan juga menintegrasikan
sistem pendidikan. Orang Islam harus segera menyadari bahwa tradisi aslinya
telah dikacau oleh tradisi Barat yang memang memisahkan wahyu dengan
pengetahuan yang diperoleh.22
Al-Faruqi menjelaskan bahwa akibat dari paradigma yang sekuler dari
Barat, pengetahuan modern menjadi kering, bahkan terpisah sama sekali dari
tauhid. Sebagai prasarat untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan,
pengetahuan harus diislamkan, Islamisasi pengetahuan harus memperhatikan
beberapa prinsip yang merupakan esensi Islam, yang mencakup liam kesatuan,
yaitu keasatuan Tuhan, kesatuan alam, kesatuan kebenaran, kesatuan hidup dan
kesatuan umat Islam.23
Dengan demikain, persoalannya bukan "ilmu agama" dan "non agama",
tetapi lebih kepada "kepentingan", untuk apa ilmu tersebut digunakan, karena
ilmu sebagai instrumen, bukan tujuan. Apalagi jika kita sepakat bahwa pada
dasarnya ilmu itu berasal dari Allah. Seperti dijelaskan oleh Ahmad Tafsir pada
saat ilmuan muslim mengembangkan ilmu pada masa awal, "ilmu agama" atau
"ilmu keagamaan" dan "ilmu umum" tidak terpisah melainkan terintegrasi secara
sempurna. Pada waktu itu, tidak ada dikotomi antara keduanya seperti yang kita
kenal sekarang. 22 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1997), 18. 23 Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, (Bandung, Pustaka 1994), 55-96.
32
Pada waktu ilmuan muslim merasa wajib membaca (iqra'), artinya wajib
belajar dan meneliti. Allah menggunakan ungkapan iqra'. Allah menyediakan dua
sumber belajar, yaitu al-Qur'an dan al-kawn (alam semesta). Kemudian sumber
itu menjadi tempat manusia mencari pengetahuan. Manusia "membaca" kedua
sumber tersebut.
Dari kegiatana tersebut, terhimpunlah pengetahuan. Mereka mempelajarai
al-Qur'an, dari situ muncul tiga jenis pengetahuan. Pembagian ilmu pengetahuan
dengan paradigma objek, metode dan kriteria tersendiri dapat disederhanakan
dalam tabel berikut:24
Tabel: 1.1.
Pengetahuan Manusia
Pengetahuan Paradigma Objek Metode Kriteria
SAINS Sains Empirik Sains Rasional-
empirik
FILSAFAT Rasional Abstrak -
Rasional
Rasional Rasional
MISTIK Suprarasional Abstrak -
Suprarasional
Latihan,
Percaya
Yakin,
kadang-
kadang
Berdasarkan tabel tersebut, pengetahuan sains adalah pengetahuan yang
diperoleh dengan paradigma sains (scintific paradigm). Pengetahuan ini hanya
mengambil objek-objek untuk diteliti. Objek-objek yang tidak empirik tidak
24 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memausiakan Manusia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), 105-107.
33
dijadikan objek penelitian. Dalam meneliti pengetahuan sains menggunakan
metode ilmah (scientific method) yang bekerja atas dasar paradigma logica-
Hypotetico-verifcatif. Temuannya dikatakan benar bila rasional dan empiris.
Inilah yang disebut dengan pengetahuan ilmiah yang juga pengetahuan ilmu
(scientific knowladge) yang dalam bahasa Inggris disebut science.
Adapun pengetahuan filsafat (philosophical knowledge, rational
knowladge) adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan paradigma
rasional (rational paradigm), pengetahuan jenis ini diperlukan untuk objek-objek
yang tidak dapat diteliti secara ilmiahkarena objek itu abstrak tetapi masih dapat
difahami rasio. Metode penelitian yang digunakan dalam pengetahuan filsafat
adalah metode rasional, sedangkan benar tidaknya temuan dibuktikan atas dasar
rasional atau tidak.
Pengetahuan mistis adalah jenis pengetahuan dengan menggunakan
paradigma suprarasional atau boleh disebut metarasuonal. Objek yang diteliti
adalah sisa objek penelitian sains dan pengetahuan filsafat. Jadei objek yang
ditelitinya adalah objek-objek empirik dan tidak rasional. Objek-objek seperti ini
kita sebut dengan objek metarasional atau suprarsional.
Berkaitan dengan hal ini, al-Quran berisi sekumpulan pengetahuan Allah.
Ilmuan Muslim memperoleh pengetahuan dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-
Qur'an tersebut. Al-Kawn juga berisi kumpulan pengetahuan Allah dalam bentuk
alam semesta. Ilmua muslim memperoleh pengetahuan dengan cara mempelajari
dan meneliti gejala-gejala yang timbul di alam.
Dari mempelajari al-Qur'an ilmuan Muslim meperoleh pengetahuan,
bentuknya dapat dikategorikan teori-teoriyang didapat dari mempelajari Al-Kawn
sebab dua kelompok teori tu adalah teori dari Allah. Karena tidak ada perlawanan
34
dalam pengetahuan Allah. Jadi pengetahuan sains, pengetahuan filasafat, dan
pengetahuan mistik yang diambil dari al-Qur'an tidak mungkin berlawanan
dengan pengetahuan yang diambil dari al-Kawn karena ia sama berasal dari
Allah. Uarian di atas dapat dilihat pada gambar sebagai berikuta:25
Gambar, 1.1. Hakekat Kesatuan Pengetahuan Dalam Islam
Teori pada A tidak akan berlawanan dengan teori-teori pada B, inilah
hakikat kesatuan pengetahuan dalam Islam. Al-Qur'an sebagai suatu sumber
pengethauan dan pengetahuan spiritual menurut Oesman Bakar, merupakan
merupakan basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spiritual tetapi bagi
semua jenis pengetahuan. Gagasan keterpaduan ini merupakan konsekwensi
dalam gagasan keterpaduan dari semua jenis pengetahuan. Al-Qur'an bukanlah
kitab sains, tetapi ia memberikan pengetahuan tentang prinsip-prinsip sains yang
selalu dikaitkannya dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Oleh karena itu,
sains islam mempunyai karakter religus dan spiritual. Menurut Ibnu Sina, sebuah
25 Ahmad Tafsir, Filasafat Pendidikan Islam Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia.cet. IV (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), 105-107.
Allah
Al-Kawn Al-Qur'an
Mistik Filsafat Sains Filsafat Sains Mistik
35
sains yang sejati jika ia menghubungkan pengetahuan tentang dunia dengan
pengetahuan tentang prinsip ilahi.26
Adapun alam merupakan sumber berbagai jenis pengetahuan; matematika,
fisika, dan metafisik, ilmiah dan spiritual, kualitatif dan kauantitatif, praktis dan
estetis. Hal ini karena sebagai dunia dan dipandang totalitasnya, realitas alam
semesta mencakup berbagai macam aspek. Setiap jenis pengetahuan bersesuaian
dengan aspek alam tertentu untuk dikaji secara terpisah.
Dalam Islam, kesatuan alam semesta dipandang sebagai citra kesatuan
prinsip Ilahi. Tujuan sains Islam adalah untuk memperlihatkan kesatuan alam
semesta, saling berhubungan seluruh bagian dan aspeknya. Alam dipandang
sebagai wahyu Ilahi, sebanding dengan Al-Qur'an. Ia menyampaikan pada
manusia pesan metafisika dan spiritual dari yang ternsenden. Dalam konsep
religius dan spiritual tentang alam inilah terdapat basis bagi kesatuan sains dan
pengetahuan spiritual.27
Argumen Endang Saifuddin anshari senada dengan penjelasan Oesman
Bakar dan Ahmad Tafsir, ia menjelaskan bahwa mustahil terjadi pertentangan
antara agama Islam dengan Ilmu pengetahuan atas filsafat yang benar. Sebab
ilmu atau filsafat yang benar adalah hasil usaha manusia dalam memahami
kenyataan alam, susunan alam, pembagian alam. Al-Qur'an atau ayat Qur'aniyah
tidak lain adalah pebukaan segenap alam semesta atau ayat kauiyah dalam satu
kitab. Kedua ayat Allah yaitu ayat Qur'aniyah dan ayat kauniyah itu saling
menafsirkan.28 Karena itulah, perbedaan formulasi antara ilmu yang satu dengan
yang lain tentang suatu masalah tertentu adalah lazim dalam dunia ilmu
26 Oesman Bakar, Tauhid dan Sains Perspektif Islam …………….149-156. 27 Ibid. 151. 28 Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), 176.
36
pengetahuan. Dengan demikian terminologi "ilmu agama" dan "ilmu umum",
"non agama" adalah peristilahan sehari-hari dalam pengertian sempit saja.
C. Landasan Fondasional Integrasi Tauhid dan Ilmu Pengetahuan Alam
Dalam rangka memecahkan masalah integrasi ilmu pada perspektif
pendidikan. M. Dawam Raharjo dalam kajiannya tentang tauhid dan pendidikan,
ia berkesimpulan bahwa untuk bisa menghasilkan suatu pribadi yang integral
melalui proses pendidikan, berbagai konsep tauhid yaitu Uluhiyah, Rububiyah,
Mulkiyah, dan Rahmaniyahperlu diintegrasikan menjadi tauhid yang holistik. Ia
menjelaskan bahwa tauhid uluhiyah berimplikasi pada proses pendidikan lebih
banyak memberi kesempatan kepada peserta didik untuk: answering
questions,questioning answers, dan questioning question. Tauhid rububiyah
berimplikasi pada proses pendidikan yang lebih banyak memberi kesempatan
pada peserta didik untuk mengadakan penelitian, eksperimen di laboratorium dan
sebagainya. Tauhid mulkiyah berimplikasi pada proses pendidikan yang
menghasilkan nilai-nilai amanah dan tanggung jawab individu dan sosial serta
tanggung jawab atas segala amal perbuatannya di mula bumi. Tauhid rahmaniyah
akan berimplikasi pada tumbuh dan berkembang sifat dan sikap solidaritas
terhadap sesama serta solidaritas terhadapa makhluk lainnya termasuk alam
semesta.29
Dengan bahasa yang berbeda tetapi tujuan yang sama, mastuhu
menyebutkan bahwa: pendidikan Islam berangkat dari filsafat pendidikan
teosentris. Ciri-ciri filsafat pendidikan teosentris adalah: 1) ia mengandung dua
jenis nilai, yaitu nilai kenenaran absolut dan nilai kebenaran relatif. 2) bahwa
manusia dilahirkan sesuai dengan fitrahnya dan perkembangan selanjutnya
29 Dawam Raharjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa Risalah Cendekiawan Muslimin, (Bandung: Mizan, 1993), 430-442.
37
tergantung pada lingungan dan pendidikan yang diperolehnya. 3) kegiatan
pendidikan didasarkan pada tiga nilai kunci, yaitu ibadah, ikhlas dan Ridha Allah.
4) manusia dipandang secara utuh dan dalam kesatuan diri dengan kosmosnya
sebagai makhluk pencari kebenaran; 5) kegiatan belajar mengajar dianggap
sebagai bagian dari totalitas kehidupan.30
Tawaran tersebut pada dasarnya berada dalam satu arus pemikiran yang
sama, yang intinya bahwa pendidikan Islam bermuara pada prinsip ajaran dan
nilai-nilai katauhidan Islam. Namun demikian, diperlukan rumusan yang jelas
dan terinci mengenai filsafat pendidikan Islam yang bertolak dari prinsip tersebut,
sehingga dapat dijdikan landasan operasional dalam menjalankan sistem
pendidikan nasional.
Paradigma pendidikan islam adalah sebagai upaya pengembangan
pandangan hidup Islami, yang diwujudkan dalam sikap hidup dan
dimanifestasikan dalam keterampilan hidup sehari-hari, maka pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi akan bertolak dari suatu pandangan yang
teosentris dan antroposentris merupakan bagian esensial dari konsep teosentris.
Karena itulah, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bersifat
value-free, tetapi value-bond, sehingga proses dan produk pencarian, penemuan
iptek lewat studi, penelitian, serta pemanfaatannya dalam kehidupan, merupakan
realisasi dari kekhalifahan dan pengabdiannya kepada Allah dalam rangka
mencari ridla-Nya di akhirat.
Kehidupan yang Islami menggarisbawahi perlunya bangunan ontologi,
epistemologi, dan aksiologi ilmu pengetahuan yang tidak hanya meyakini
kebenaran sensual-inderawi, rasional-logik dan etik insani, tetapi juga mengakui
30 Mastuhu, Dinamika istem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren,(Jakarta: INIS, 1994), 16-17.
38
dan meyakini kebenaran transendental. Karena itu pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak bersifat value-free, tetapi value-bond, dalam arti
berada dalam frame work yang merupakan realisasi dari nilai kekhalifahan dan
pengabdian pada-Nya.
Secara ontologi, ilmu pengetahuan agaknya bersifat netral, maksudnya ia
tidak dapat bersifat Islami, kapitalis, sosialis, komunis dan sebagainya. Dalam
IPA misalnya, hukum grafitasi misalnya tidak bisa dibawa kealiran tertentu,
demikian pula ilmu-ilmu liannya. Pernyataan ini benar jika ilmu pengetahuan itu
menerangkan hakikat yang ada. Tetapi ketika menjelaskan perubahan yang ada
atau apa yang terjadi, atau cara memanfaatkan hukum alam dan mengarahkannya
kealiran tertentu, maka ilmu pengetahuan tidak bersifat netral. Darwin (1809-
1882) tidak bisa dikatakan netral ketika mempergunakan peristiwa-peristiwa
ilmiah untuk mencapai kesimpulan bahwa manusia itu berasal dari kera.31
Berpijak pada pernyataan tersebut, maka ilmu pengetahuan tidak
hanyamengajarkan "yang ada" (existence) yang dalam hal ini dapat disebut netral,
tetapi juga mengarahkan "yang akan ada" (will exist), bagaimana
mempergunakan hakikat alam semesta dan hukum-hukumnya atau temuan ilmu
pengetahuan, serta bagaimana mengarahkannya kearah tertentu (aksiologi).
Dalam konteks ini, ada dua pilihan, yaitu, pilihan Ilahi atau pilihan manusiawi.
Integrasi ilmu dan agama tidak dapat dilakukan secara formalitas dengan
cara memberikan justifikasi ayat al-Qur'an pada setiap penemuan dan keilmuan,
memberikan label agama atau Islam pada istilah-istilah keilmuan dan sejenisnya,
tetapi perlu ada perubahan paradigma pada basis keilmuan Barat, agar sesuai
dengan basis dan khazanah keilmuan Islam yang berkaitan dengan realitas
31 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 247.
39
metafisik, religius dan teks suci. Hal ini penting sebab sebuah keilmuan tetap
bernafaskan sekuler, jika tidak didasarkan pada basis ontologism atau pandangan
dunia (world view) atau tauhid menurut istilah Nuqaib al-Attas. Begitu juga
sebuah epistemologi akan tetap bersifat "eksploitatif" dan "merusak" jika tidak
didasarkan pada ontologi yang Islami. Meski demikian, bangunan ilmu yang telah
terintegrasi tidak banyak berarti jika dipegang oleh orang yang tidak bermoral
dan tidak bertanggung jawab, maka perlu dibenahi pada aspek aksiologinya.32
Dengan demikian, pengembangan Pendidikan Islam bertolak dari konstruk
pemikiran atau epistemologi bahwa yang vertikal (ajaran dan nilai-nilai Ilahi)
merupakan sumber konsultasi, sentral dan didudukkan sebagai ayat, furqan,
hudan, dan rahmah. Sedangkan yang horizontal (pendapat, konsep, teori, temuan-
temuan dan sebagainya) berada dalam posisi sejajar yang saling sharing ideas,
selanjutnya dikonsultsikan pada ajaran dan nilai-nilai Ilahi terutama yang
menyangkut dimensi aksiologis.33
Pandangan seperti ini akan berimplikasi pada model kurikulum dan proses
pebelajaran yang dikembangkan pada lembaga pendidikan, yang tidak hanya
menekankan pada penguasaan ilmu agama Islam, tetapi juga menekankan pada
bagaiman ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni menrangkan berbagai
problem yang dihadapi kaum muslimin dalam kesehariannya.
Lingkungan religius di lembaga pendidikan, pada gilirannya akan
berdampak pada pengembangan pandangan hidup dan keterampilan hidup yang
berpresfektif Islami, akan sulit tercipta jika tidak didukung oleh seperangkat
sarana dan prasarana serta tenaga pendidikan yang mampu mengembangkan
32 A. Khudlori Sholeh, "Pokok Pikiran Tentang Integrasi Ilmu dan agama" dalam M. Lutfi musthofa, Helmi Syaifuddin (editor), Intelektualisme Islam Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan agama, (Malang: Lembaga kajian al-Qur'an dan Sains UIN Malang, 2006), 261-262. 33 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, 248.
40
nilai-nilai Islam. Karena itulah SMPIT perlu mengembangkan program
sebagaimana dipesantren pada umumnya yang sekaligus memiliki tujuan ganda,
yaitu pendalaman dan pengayaan wawasan akan ilmu-ilmu keislaman, serta
pembinaan ruh keislaman dan atau integraslisasi nilai-nilai Islam melalui sarana
dan prasarana tersebut.
D. Kerangka Teoritik Integrasi
1. Pengertian Integrasi keilmuan
Integrasi berarti penyatuan supaya menjadi satu kebulatan atau menjadi
utuh.34 Integrasi juga dapat diartikan sebagai proses memadukan nilai-nilai
tertentu terhadap sebuah konsep lain yang berbeda sehingga menjadi satu
kesatuan yang koheren dan tidak bisa dipisahkan atau proses pembauran
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan bulat.
M. Amir memberikan pengertian integrasi keilmuan: Integration of
Science means the recognition that all true knoledge is from Allah and all
sciences should be treated with equal respect whether it is scientific or
revealed.35
Definisi yang diajukan Amir Ali di atas menunjukkan adanya
keyakinannya bahwa, semua pengetahuan itu bersumber dari Allah (all true
knowladge is From Allah). Usman Hasan mempunyai keyakinan yang sama
dengan Amir Ali dengan menyatakan "knowladge Is the light that comes from
Allah"36
34 W.Y.S. Poerdowasminto, Konsosrsium Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), 384. 35 M. Amir Ali, Removing the Dichotomy of Sciences: A Necessity for the Growth of Muslim s. future Islam: A Journal of Future Ideology that Shapes Today the World Tomorrow. http://www.futureislam.com/20050301/insight/amir_ali/removing_dicotomy_of_sciences.asp,. 36 Usman Hasan, The Concept of Ilm and Knowladge in Islam, The Association of Muslim Scientists and Engineers, 2003,3. Pernyataan ini dikutip oleh Husni Toyyar dalam makalahnya "Model-model Integrasi Keilmuan" yang disampaikan pada seminar menggagas integrasi Keilmuan Islam si Nusantara.
41
Adanya konsep integrasi keilmuan di kalangan ilmuan ini berkaitan erat
dengan konteks historis dan sosiologis, perkembangan ilmu dan agama itu
sendiri yang sudah lama mengalami dikotomisasi baik dikalangan ilmua Barat
maupun dikalangan ilmuan Muslim sebagaimana telah dan akan dijelaskan
pada bagian sebelum dan sesudah bab ini.
Dalam wacana integrasi keilmuan ini, integrasi dalam arti generiknya
dimaksudkan sebagai upaya memadukan dua entitas yang berbeda (ilmu
umum dan ilmu agama Islam) dalam satu payung keilmuan. Konsep integrasi
keilmuan ini dikalangan umat Islam menjadi lebih populer dengan istilah
islamisasi ilmu pengetahuan. Adanya usaha de-sekulerisasi ilmu pengetahuan,
dialkukan dengan memasukkan niali-nilai atau konsep-konsep agama dalam
memaknai paradigma ilmu sehingga muncullah konsepsi ilmu baru yang lebih
komunis-religius. Dalam bukunya Kuntowijiyo menjelaskan bahwa integrasi
keilmuan yang dimaksud bukan hanya bersifat menyatukan atau
menggabungkan bagi integrasi keilmuan yang memberi ruang yang cukup
pada aktifitas nalar manusia (sekularisme) dan juga menyediakan keleluasaan
pada Tuhan dengan Wahyunya.37
Jika ditelaah lebih lanjut, berdasarkan definisi dari beberapa ilmuan dan
juga berdasarkan praktek-praktek integrasi yang berlangsung dikalangan
ilmuwan Barat dan ilmuwan Muslim maka integrasi mempunyai beberapa
makna dan pemahaman. Pertama, integrasi akan bermakna re-integrasi atau
"menikahkan" kembali ilmu dan agama yang selama ini mengalami
"perceraian". Makna integrasi yang pertama ini mempunyai relevansi dengan
wacana integrasi ilmu dan agama di Barat yang selama ini mempopulerkan
37 Kuntowijoyo, Isam Sebagai Ilmu Epistemologi, Metodologi dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 55.
42
adanya kontradiksi ilmu dan agama sehingga keduanya senantaisa dipisahkan.
Kedua, integrasi mengandung makna unity, yaitu bahwa Ilmu dan agama
mempunyai kesatuan primordial. Pengertian ini sangat cocok untuk
menggambarkan integrasi keilmuan yang dilakukan oleh umat Islam yang
meyakini bahwa pada dasarnya ilmu dan agama itu berasal dari sumber yang
sama yakni dari Allah SWT. Ada juga yang mengartikan integrasi yang sama
sekali berbeda dengan pengertian di atas, dalam hal ini integrasi bukan
diartikan sebagai peleburan tapi integrasi sebagai keterpaduan atau
keterhubungan.38
Adanya integrasi keilmuan seperti yang dimaksud dalam pembahasan
ini, meripakan paradigma baru dalam perkembangan ilmu. Jika dipetakan
maka ada tiga paradigma keilmuan yang berkembang selama ini. Pertama,
paradigma ilmu sekuler yang lebih dikenal dengan (scientific paradigm).
Kedua, paradigma ilmu Isalam. Meminjam teori yang digagas oleh Thomas
Khun mungkin inilah yang disebut sebagai revolusi ilmiah (the scintific
revolution).39 Dalam bukunya yang berjudul The Structur Of Scientific
Revolution Khan menjelaskan secara gamblang mengenai adanya perubahan
perkembangan ilmu pengetahuan. Model dinamika perubahan ilmu menurut
Khan adalah sebagai berikut:
Paradigma 1- normal science-a-normalies-crisis-revolusi ilmiah-
Paradigma II –crisis-dan begitu seterusnya
Meminjam teori revolusi ilmiah seperti gagasan Thmas Khun di atas,
maka dalam penelitian ini memunculkan ilmu agama dan ilmu umum sebagai
ilmu yang mandiri dan sudah dianggap umum serta mempunyai metodologi 39 Thomas S Khun, The Structure Of Scientific Revolution, (Chichago: The University Of Chichago Press, 1970).
43
dan landasan filosofisnya sendiri. Keadaan semacam ini dalam istilah Khun
disebut sebagai normal science. kemudian kedua paradigma keilmuan ini
dianggap mengalami krisis oleh berbagai ilmuan karena dianggap tidak bisa
lagi berfungsi sebagai mestinya. Hal demikian, dalam proses revolusi ilmiah
Khun disebut sebagai anomali (penyimpangan). Anomali yang dimaksud
adalah kekurangan-kekurangan yang enempel pada kedua paradigma keilmuan
tersebut. Adapun integrasi kuilmuan sebagaimana dimaksud dalam penelitian
ini sebagai paradigma baru keilmuan yang diproyeksikan akan mengurangi
krisis yang dialami kedua jenis ilmu pengetahuan dimaksud pada masa
sebelumnya.
Namun proses integrasi keiluan ini mengandung beberapa problem
ketika dihadapkan pada masalah bagaiana formulasi-formulasi serta
rekonstrusi model keilmuan yang representatif secara filosofis-metodologis
dan prakteknya. Problematika ini bisa diintrodusir dari beberapa model dan
konsepsi integrasi keilmuan yang berbeda-beda dikalangan para ilmuan
Musliam. Tidak adanya konsensus yang disepakati dikalangan Muslim dalam
merekonstruksi paradigma integrasi keilmuan yang dimaksud berakibat pada
adanya truth claim antara konsep integrasi keilmuan yang dibangun oleh
ilmuan Muslim yang satu dengan yang lainnya. Sudarminto, misalnya pernah
mengajukan apa yang disebutkan sebagai ”integrasi yang valid", tetapi pada
kesempatan yang lain ia juga mengkritik adanya integrasi dengan istilah
"integrasi yang rumit" (istilah yang digunakan untuk menyebut kecendrungan
pencocok-cocokan secara dangkal ayat-ayat al-kitab suci dengan temuan-
temuan ilmiah.40
40 Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan 2005), 19.
44
Integrasi ilmu sebagai paradigma atau cara pandang atau juga bisa
dikatakan sbagai sebuah pendekatan (approach) terhadap ilmu pengetahuan
yang bersifat dengan pemaduan dapat diurakan dengan bebearapa kerangka
paradigma integrasi berikut seagaimana diajukan oleh Wahidul Anam yakni
paradigma integrasi ilmu integrative, paradigma integrasi ilmu integralistik
dan paradigma integrasi ilmu terbuka atau atau paradigma dialogis.41 Ketiga
paradigma integrasi keilmuan yang dimaksud, sebenarnya dirumuskan dari
beberapa usaha usaha integrasi yang sudah dilakukan oleh beberapa tokoh
yang mencari formulasi yang tepat untuk memasukkan nilai-nilai Islam dalam
ilmu pengetahuan atau yang menginginkan ilmu pengetahuan itu sendiri selalu
berpijak pada nilai-nilai Islam. Berikut ini usulan tentang ketiga paradigma
integrasi keilmuan sebagaimana dimaksudkan di atas.
Pertama, paradigma integrasi ilmu integrative dalam paradigma yang
pertama ini semua jenis ilmu pengetahuan dilebur dalam satu kesatuan yang
sama dan menjadikan Allah sebagai sumber utama atau satu-satunya sumber
yang paling tinggi. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Mulyadhi
Kartanegara bahwa sumber dan basis ilmu-ilmu agama dan umum berasal dari
sumber yang sama, yaitu Allah yang maha mengetahui, konsep ini dikenal
dengan konsep tauhid,42 sementara sumber-sumber yang lain dalam perspektif
paradigma ini dianggap sebagai sumber penentu atau penunjang sumber
utama. Paradigma ini mencoba melebur antara sekuler dan paradigma agama
kedalam satu kerangka berfikir yang lebih holistik dan universal. Dalam
perspektif paradigma integrative ini sumber ilmu pengetahuan yang terdiri dari
akal, indra, wahyu, dan intuisi mempunyai porsi dan posisi yang sama. Namun 41 Wahidul Anam, Akal dan Wahyu Sebagai Sumber Ilmu: Upaya mengintegrasikan Paradigma Ilmu Sekuler dan Islam, (Blitar: STKIP PGRI, 2009), 66. 42 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Tak Sekedar Menyatukan Ilmu Sekuler dan Agama, 22.
45
secara hirarkis paradigma integrative ini menempatkan wahyu sebagai media
pengetahuna yang berasal dari Allah sebagai sumber utama. Gerakan
islamisasi yang mencoba menggabungkan ilmu pengetahuan dalam satu pohon
ilmu ini menurut Wahidin Anam dapat dikelompokkan dalam paradigma
integral ilmu integrative.43
Kedua, paradigma integrasi ilmu integralistik, tidak jauh berbeda dengan
paradigma integralisme, paradigma integralistik juga menganggap Tuhan
sebagai sumber intinya. Paradigma integralistik tidak melebur sumber ilmu,
sebagaimana sumber integrative tetapi menjadikan sumber yang lain tersebut
sebagai bagian dari sumber ilmu Tuhan. Kuntowijoyo merupakan salah satu
ilmuan yang mempunyai pandangan interasi ilmu integralistik tipologi yang
kedua ini. Istilah yang dipakai oleh Kuntowijoyo adalah pengilmuan Islam
bukan islamisasi ilmu pengetahuan. Pengilmuan Islam berdasarkan prinsip
melihat realitas melalui Islam dan eksistensi humaniora dalam al-Qur'an.44
Untuk memperkuat gagasan ini Kuntowijoyo mengajukan tiga hal yang
bisa dilakukan untuk merealisasikannya. Pertama, Kuntowijoyo menjadikan
al-Qur'an dan hadith sebagai titik berangkat dalam melihat realitas.45 Jadi
menurut Kuntowijoyo analisa ilmiah berawal dari teks menuju konteks.
Metodologi ini disebut sebagai proses demistifikasi. Konsep ini sebagai kritik
terhadap yang selama ini berlangsung dalam jagad keilmuan. Ada ilmu
mistifikasi yang perlu dikritik dan diperbaharui sebagaimana dicatat oleh
Wahidul Anam. Lima mistifikasi tersebut diantaranya:
43 Wahidul Anam, "Akal dan Wahyu Sebagai Sumber……….66. 44 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu………1. 45 Ibid.
46
"mistik metafisik" (hilangnya manusia dari "dalam" Tuhan). "Mistik
sosial" (hilangnya perorangan dalam satuan yang lebih besar, organisasi, sekte
dan masyarakat) "mistik etis" (hilangnya daya seseorang menghadapi
nasibnya, (hilangnya nalar atau akal seseorang karena kejadian-kejadian yang
tidak masuk pada akalnya) "mistik kenyataan" (hilangnya hubungan
keagamaan dengan kenyataan, kenyataan sebagai sebuah konteks).46
Kelima mistik di atas yang melatarbelakangi Kuntowijoyo untuk
melakukan gerakan demistifikasi yaitu suatu gerakan intelektual yang
menghubungkan kembali teks dengan konteks. Kedua, realitas harus dilihat
melalui realitas Islam, hal ini sangat diperlukan karena menurut Kuntowijoyo
meminjam konsep aa yang ada dalam ilmu budaya dan sosiologi pengetahuan,
realitas itu tidak bisa dilihat secara langsung oleh orang tetapi melalui tabir
(kata, konsep, simbol budaya dan kesepakatan masyarakat), selain itu
Kuntowijoyo berpandangan bahwa ilmu sekuler tidak semuanya objektif.47
Selanjutnya, untuk melakukan pengilmuan Islam ini Kuntowijoyo menegaskan
adanya (human factor), adanya keterlibatan pengalaman manusia dalam
konstruksi ilmu pengetahuan.48
Ketiga, paradigma integrasi ilmu terbuka atau dialogis paradigma ini
mempunyai asumsi dasar tidak adanya saling menegaskan antara sains dan
agama. Paradigma ini juga memberi keleluasaan terhadap keduanya
dalampengembangannya sesuai dengan tabi'atnya masing-masing. Kemudian
keduanya bertemu dalam ruang dialog untuk saling melengkapi tanpa adanya
justifikasi mengaku yang paling benar (truth claim) dari masing-masing
46 Wahidul Anam, Akal dan Wahyu Sebagai Sumber…………87-88. 47 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi……………2. 48 Ibid, 3.
47
rumpun keislaman tersebut. Anam menegaskan bahwa paradigma ini
menawarkan kemungkinan adanya interaksi dan dialog antara jenis ilmu
pengetahuan agama dan umum dalam level kontruksi, eksistensi ataupun pada
tahap aksiologi atau pemahaman ilmu.49
2. Konsep Integrasi Ilmu dan Agama
Pada sekitar kurang lebih abad ke-15 ada juga menyebut abad ke-16
filsafat kembal menemukan kebebasannya, setelah sekian lama berada dalam
kungkungan gereja. Hal ini ditandai dengan munculnya gerakan Rennaissance,
yang berarti kelahiran kembali50 yang dimaksud dengan gerakan afklarung
yang terjadi pada abad ke 18. Gerakan afklarung berhasil membuat filsafat
tidak lagi berada dalam kungkungan agama (gerejawan). Peristiwa ini rupanya
merupakan cikal bakal sekularisme di Barat. Agamawan berjalan menurut
kebenaran dan doktrin gereja, sedangkan ilmu berjalan sesuai dengan struktur
dan ukuran rasional dan empirisnya. Akibatnya, antara agama dan ilmu tidak
ada persinggungan, sehingga sains di Barat tidak mengenal agama. Dari
sinilah kemudian muncul semboyan sains untuk sains, atau sains bebas nilai.51
Secara teoritis, ada beberapa konsep tentang integrasi ilmu dan agama
yang dapat digunakan untuk mengembangkan sistem pendidikan dilemabaga
pendidikan Islam, sebagai berikut:
Pertama, integrasi teologis yang dikembangkan Ian Barbour, konsep ini
berusaha mencari implikasi teologis atas berbagai teori ilmiah mutakhir,
kemudian satu teologi baru dibangun dengan memperhatikan juga
teologintradisional sebagai salah satu sumber. Pandangan konseptual teologi 49 Wahidul Anam, Akal dan Wahyu Sebagai Sumber…………87-88 50 Robert Solomon, Short History….163. lihat juga Harun Hadiwijono, Seri Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2007) 2011. 51 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu……….47-48, Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 228-229.
48
dapat berubah atas nama "belajar dari ilmu". Teori-teori ilmiah dapat
memberikan dampak kuat bagi perumusan doktrin-doktrin tertentu terutama
tentang penciptaan dan sifat manusia. Dalam hal ini, istilah yang digunakan
arbour adalah theology of natur, untuk membedakannya dengan istilah natural
theology, bahwa klaim eksistensi Tuhan dapat disimpulkan oleh bukti tentang
desain alam. Selain dua model integrasi tersebut, Barbour juga mendukung
konsep integrasi sintesis sistematis, bahwa ilmu dan agama memberikan
kontribusi pada pengembangan metafisika inklusif.52
Pandangan theology of nature Barbour mendapat kritik dari Hotman
Smith dan Sayyed Hosein Nasr, karena apabila teologi setiap saat berubah
karena berinteraksi atau belajar dari ilmu, akan menimbulkan kesan bahwa
teologi berada di bawah ilmu. Sebagai pendukung filasafat ferennial, dua
tokoh ini berpandangan bahwa teologi dalam konsep esoteriknya memiliki
kebernaran yang perennial (abadi). Teologi hendaknya menjadi tolok ukur
bagi teori-teori ilmiah, dan bukan sebaliknya.53
Kedua, agama sebagai konfirmasi ilmu yang dikemukakan oleh John F.
Haught. Integrasi yang diinginkan Haught tidak hanya meleburkan ilmu dan
agama, serta tidak hanya bertujuan untuk menghindari konflik, tetapi
menempatkan agama sebagai pendukung seluruh kegiatan ilmiah.
Menjawab sluruh pandangan yang menuduh bahwa ilmulah yang
menyebabkan berbagai persoalan dalam kehiduan ini, seperti kerusakan
lingkungan dan lain-lain, Haught juetru menyatakan bahwa agama
memberikan "konfirmasi" terhadap perkembangan ilmu. Meskipun agama
52 Ibid, 95. 53 Zainal Abidin Bagir, "Bagaimana Mengintegrasikan Ilmu dan agama?", dalam Jarot Eahyudi dkk (editor), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, (Yogyakarta: MYIA-CRCS dan Suka Press, 2005), 21.
49
memberikan konfirmasi, agama tidak boleh mencampuri budaya nyata karya
ilmu karena agama tidak dapat menambahkan apapun pada daftar penemuan
ilmu. Agama tidak memberikan informasi kepada ilmuan seperti hanlnya
informasi yang dapat dikumpulkan oleh ilmu itu sendiri.54
Konsep Integrasi yang dikemukakan Haught terkesan masih belum
optimal, karena dalam al-Qur'an banyak ayat yang mendasari dan mensimulasi
penemuan ilmiah, bahkan menjadi paradigma bagi pengembangan ilmu, antara
lain sebagai berikut:
1. Beberapa ayat yang memberikan informasi terkait dengan ilmu kesehatan
antara lain:
a. Surat an-Nahl (16) ayat 68 dan 69 mengenai kehidupan lebah yang
menghasilkan madu dari sari buah-buahan yang dapat dijadikan obat
bagi manusia.
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.55
54 John F. Haught, terj. Farnsiskus Borgias, Perjumpaan Sains dan Agama Dari Konflik ke Dialog (Bandung: Mizan, 2004), 28. 55 Al-Qur'an Terjemah Depag RI, 16: 68-69.
50
b. Surah al-baqarah (2) ayat 233 mengenai gizi yang terbaik untuk bayi,
yaitu anjuran menyembpurnakan penyusuan bayi hingga dua tahun.
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.56
2. Ayat yang memberikan informasi tentang penciptaan alam semesta
yaitu alam semesta yang diciptakan Allah dengan sistem evolusi atau
bertahap, yaitu surat as-Sajdah (32) ayat 4:
Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, Kemudian dia bersemayam di atas 'Arsy. tidak ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?57
Ayat ini sebenarnya menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan
antara faham kreasionisme dan evolusionisme.
Ketiga, islamisasi ilmu yang dikembangkan oleh Naquib al-Attas dan
Ismail Raji al-Faruqi. Islamisasi ilmu menurut al-Attas dimaksudkan sebagai
uapaya dewesternisasi ilmu yang telah menyusup dalam seluruh aspek
56 Ibid, 2:233 57 Ibid, 32:4
51
keilmuan. Ilmu harus dibersihkan dari aspek sekularisme dengan meletakkan
kembali otoritas wahyu dan intuisi.58
Islamisasi ilmu al-Attas dalam konteks integrasi dapat dikatakan sebagai
"integrasi monistik". Ia menolak dualisme ilmu antara ilmu fardhu 'ain dan
fardhu kifayah, ilmu aqliyah dan ilmu naqliyah sebagaimana diungkapkan al-
Ghazali. Setiap ilmu mempunyai status ontologis yang sama, yang
membedakan adalah hierarkhi ilmu, yaitu tingkat kebenarannya, misalnya
naqliyah memiliki tingkat kebenarannya lebih tinggi dari ilmu 'aqliyah.
Sedangkan menurut Ismail al-faruqi, islamisasi ilmu dimaknai sebagai
upaya pengintegrasian disiplin ilmu-ilmu modern dengan hazanah warisan
Islam. Langkah utama dari upaya ini adalah dengan menguasai seluruh disiplin
ilmu modern, memahaminya secara menyeluruh. Setalah prasarat ini terpenuhi
tahap berikutnya adalah melakukan eliminasi, mengubah, menginterpretasikan
ulang dan mengadaptasikan komponen-komponen dengan pandangan dunia
Islam dan nilai-nilai yang tercakup didalamnya.59
Pemikiran al-Attas dan al-Faruqi tentang islamisasi ilmu ada sedikit
perbedaan. Al-Faruqi tampaknya lebih bisa menerima konstruk ilmu
pengetahuan modern, yang penting adalah penguasaan terhadap prinsip-
prinsip Islam sehingga sarjan muslim dapat membaca dan menafsirkan
konstruk ilmu pengethauan modern tersebut dengan cara yang berbeda.
Sementara al-Attas lebih menekankan pada keaslian (origianility) yang digali
dari tradisi lokal. Dalam pandangan al-Attas, pradaban Islam klasik sudah
58 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Pustaka, 1981), 148. 59 Arqom Kuswanjono, Integrasi Ilmu dan agama Perspektif Filasafat Mulla Sadra (Yogyakarta: Pustaka, 2010), 74.
52
cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah
memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan
sendiri.
Sardar menolak pandangan al-Attas dan al-Faruqi bahwa salah satu
tujuan program Islamisasi ilmu pengetahuan adalah untuk menetapkan
relevansi antara Islam dengan setiap bidang ilmu pengetahuan modern.
Menurutnya bukan Islam yang perlu direlevankan dengan pengetahuan
modern, melainkan ilmu pengetahuan modern yang harus relevan dengan
Islam.60
Keempat, pengilmuan Islam yang diungkapkan Kuntowijoyo, model ini
membalik konsep islamisasi ilmu yang merupakan gerakan dari konteks ke
teks menjadi gerakan dari teks ke konteks, maksudnya teks al-Qur'an dan al-
Hadits dijadikan sebagai paradigma dalam pengembangan ilmu.
Menurut Kuntowijoyo, ada dua metodologi yang dapat dipakai dalam
proses pengilmuan Islam, yaitu integralisasi dan objektivikasi. Pertama,
integralisasi yaitu pengintegrasian kakayaan kelmuan manusia dengan wahyu
(petunjuk Allah dalam al-Qur'an serta pelaksanaannya dalam sunnah Nabi).
Kedua, objektivikasi, adalah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahma
untuk semua orang.61
Selanjutnya, Kuntowijoyo menggambarkan alur pertumbuhan ilmu-ilmu
integralistik sebagai berikut:
Agama teoantroposentrisme Dediferensiasi ilmu integralistik 60 Zainuddin Sardar, Islamic Future, (Malaysia: selangor darul Ehsan, 1988), 101. 61 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), 49.
53
1. Agama, al-Qur'an merupakan wahyu allah, yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah, diri sendiri, lingkungan (fisik, sosial,
budaya). Al-Qur'an merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan dan
dapat menjadi grend theory, wahyu tidak pernah mengklaim sebagai
ilmu qua ilmu.
2. Teoantroposentrisme agama memang mengklaim sebagai sumber
kebenaran, etika, hukum, kebijksanaan. Agama tidak pernah
menjadikan wahyu Allah sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
dan melupakan kecerdasan manusia, atau sebaliknya menganggap
pikiran manusia sebgagai satu-satunya sumber pengetahuan dan
melupakan Allah. Jadi sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu
yang berasal dari Allah dan berasal dari manusia, atau disebut
teoantroposentrisme.
3. Dediferensiasi peradaban yang disebut pascamodern/post-modern
perlu ada perubahan. Perubahan itu adalah dediferensiasi. Kalau
diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-sektor
kehidupan lain, maka dediferensiasi adalah penyatuan kembali
agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan
ilmu.
4. Ilmu integralistik. Ilmu yang menyatukan wahyu Allah dan temuan
pikiran manusia. Ilmu-ilmu integralistik tidak akan mengucilkan
Allah (sekularisme) atau mengucilkan manusiadiharapkan
integralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik antara
54
sekularisme ekstrim dan agama-agama radikal dalam banyak
sektor.62
Amin abdullah menawarkan konsep jaring-jaring laba-laba keilmuan
teoantroposentris-integralistik. Amin Abdullah ingin menunjukkan dua hal.
Pertama, idealitas yang ingin dicapai dari teoantroposentris-integralistik yaitu
penyatuan seluruh ilmu yang ada di dunia ini. Kedua, kondisi riil dari aktifitas
keilmuan dari pendidikan agama dilembaga pendidikan Islam.
Kenyatannya pendidikan agama hanya terfokuskan pada lingkaran ke-1
(al-Qur'an dan sunnah) dan lingkaran ke-2 (kalam, filsafat, tasawuf, hadith,
tarikh, fiqh, tafsir, lughah), selain itu pendekatannya masih humaniora klasik.
Secara umum lembaga pendidikan Islam belum sepenuhnya mampu masuk
kedalam ilmu-ilmu sosial humaniora kontemporer seperti tergambar dalam
lingkaran ke-3 (antropologi, sosiologi, psikologi, filsafat dan lain-lain).
Akibatnya terjadi jurang yang tidak terjembatani antara ilmu-ilmu keislaman
klasik dan ilmu-ilmu keislaman baru yang telah memanfaatkan analisis ilmu-
ilmu sosial dan humaniora kontemporer.63
Berdasarkan pemaparan di atas, lebih jelasnya konsep integrasi ilmu dan
agama dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel. 2.2.
Konsep Integrasi Ilmu dan Agama
No. Tokoh Integrasi Konsep Integrasi
1 Ian Barbour Kembangkan integrasi teologis dengan
istilah theologi of nature, bahwa klaim
62 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu…51-54. 63 Amin Abdullah, "Etika Tauhid Sebagai Dasar Kesatuan EpistemologiKeilmuan Umum dan Agama" dalam Jarot Wahyudi, dkk. (editor), Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum, Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), 12-13.
55
eksistensi Tuhan dapat disimpulkan oleh
bukti tentang desain alam.
2 Johan F Haught Agama sebagai konfirmasi ilmu (agama
sebagai pendukung seluruh upaya kegiatan
ilmiah)
3 Nuqaib al-Attas dan
Ismail Raji al-Faruqi
Islamisasi ilmu (dari konteks ke teks) dalam
konteks integrasi dapat dikatakan "integrasi
monistik". Ia menolak dualisme ilmu antara
ilmu fardhu 'ain dan fardhu kifayah, ilmu
aqliyah dan ilmu naqliyah sebagaimana
diungkapkan al-Ghazali.
4 Kuntowijoyo Pengilmuan Islam (dari teks ke konteks),
yaitu teks al-Qur'an dan hadith dijadikan
sebagai paradigma bagi pengembangan ilmu.
Ada dua metodologi yang dapat dipakai
dalam proses pengilmuan Islam yaitu
integralisasi dan obyektivikasi.
5 Amin Abdullah Jaring-jaring laba-laba keilmuan
teoantroposentris-integralistik.
Beberapa gagasan tentang itegrasi ilmu dari agama di atas, pemikiran al-
Faruqi sedikit banyak terlihat keterpengaruhannya dengan konsep integrasi
ilmu yang dikembangkan di lembaga pendidikan Islam.
56
3. Konsep Integrasi Agama dan Sains Dalam Pandangan Islam
Untuk membahas tentang konsepsi integrasi agama dan sains dalam
pandangan Islam, maka akan ditinjau dari berbagai perspektif yakni integrasi
keilmuan ditinjau dari normatif, ontologis, historis dan juga filosofisnya.64
Walaupun secara normatif ilmuan muslim meyakini bahwa semua
pengetahuan berasal dari Allah dan tidak membeda-bedakan antara keduanya,
namun dalam prakteknya secara historis-sosiologis, ilmu agama lebih
mendapatkan legitimasi secara de jure ataupun ssecara de facto dianggap lebih
utama dikalangan ilmuwan Muslim. Hal ini terjadi karena ilmu agama
dipandang sebagai sebuah medium menuju Allah.65
Tinjauan normatif-sosiologis pada prinsipnya dapat diartikan sebagai
suatu paradigma untuk memahami sesuatu dengan dengan menjadikan ajaran
yang berasal dari Allahsebagai titik pijaknya.66 Dengan memakai pijakan
teologis ini, maka setiap masalah akan dilihat dengan memakai persepektif
Allah tentunya, berdasarkan wahyu yang diturunkan-Nya. Dalam
permasalahan ilmu pengetahuan sebenarnya Islam ssecara normatif-teologis
tidak membedakan ilmu non-agama yang bersifat keduniawian dan ilmu
agama yang bersfat keakhiratan. Kedua dimensi kehidupan ini harus
seimbang. Asumsi ini berdasarkan ayat berikut:
64 Penjelasan yang komprehensif untuk masalah ini dapat dilihat dalam Abuddin Nata, Integrasi ilmu agama dan ilmu Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 65 Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, dalam Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Sejarah Dan Peranannya Dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan, terj. Afandi dan Hasan As'ari (Jakarta: Logos Publishing, 1994), Vii 66Abuddin Nata, et.al, Integrasi Ilmu……..49.
57
Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Ayat di atas cukup jelas, memrintahkan kepada manusia untuk mencari
hal-hal yang dapat menunjang kehidupan dunia termasuk ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dalam masa modrn ini sangat penting dalam menunjang
kehidupan manusia, baik yang nersifat keduniawian maupun keakhiratan.
Ayat lain yang membicarakan eksistensi kehdupan dunia dan akhirat
adalah QS. Al-Baqarah (2) ayat 201 berikut ini,
Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"
Dalam ayat ini secara jelas manusia dianjurkan untuk berdo'a kepada
Allah, supaya diberikan kebahagiaan di dunia dan juga kebahagiaan di akhirat.
Kedua ayat di atas menunjukkan pentingnya kehidupan dunia untuk menopang
kehidupan akhirat. Dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat
maka harus digapai dengan ilmu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad
berikut:
Man arada dunya fa 'alaihi bil ilmi waman aradal akhirata fa n'alaihi
bil ilmi waman aradahuma fa 'alaihi bil ilmi (shahih Bukhari, vol 3 (istambul:
al-Maktabah al-Islamiyah,t.t.),
58
"Barang siapa menghendaki kehidupan dunia maka dengan ilmu, maka
barangsiapa menghendaki kehidupan akhrat maka dengan ilmu, dan
barangsiapa menghendaki keduanya maka juga dengan ilmu"
Berdasarkan firman Allah dan sabda Nabi di atas, cukup jelas bahwa
secara aksiologis ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan agama maupun
ilmu umum mempunyai kedudukan yang sama dalam pandangan Islam,
meskipun pada perkembangan selanjutnya, dengan adanya penelaahan yang
sangat serius terhadap konsep-konsep ilmu dalam al-Qur'an dan hadith
dikemudian hari ada segmentasi tersendiri dikalangan umat islam antara ilmu
agama dan ilmu umum, baik secara epistemologis maupun ontologis,
sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu dalam bab ini , namun
perbedaan tersebut bukan bermaksud untuk membedakan kegunaan ilmu
umum dan agama secara hirarkis. Hanya saja pengkategorisasian tersebut
bermaksud pembidangan ilmu saja dari segi objek kajiannya. Dengan
demikian, maka dalam pandangan konsep integrasi dalam islam adalah konsep
integrasi "unity" sebagaimana telah dijelaskan dalam kajian terdahulu. Konsep
ini didasari oleh adanya keyakinan teologis bahwa semua ilmu berasal dari
satu, yakni Allah. Pandangan ini berlandaskan ayat al-qur'an surah al-Alaq
berikut ini,
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Para mufassir menafsirkan ayat ke 4 surat al-'Alaq di atas bahwa Allah
mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca. Ayat di atas sering kali
59
menjadi rujukan dikalangan ilmuwan dalam melakukan upaya integrasi
keilmuan. Ada keyakinan yang sangat kuat bahwa pengetahuan manusia itu
semuanya bersumber dari Allah.
Secara historis, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam mencapai
puncaknya pada masa klasik Islam tepatnya pada masa kekuasaan Bani
Abbasiyah.67 Pada masa-masa formatif Islam, yakni pada masa Nabi
Muhammad dan sahabatnya ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu keagamaan
juga mulai berkembang.68 Namun perbedaannya mungkin terletak pada
orientasinya, yakni, pada masa awal Islam tersebut perkembangan ilmu
pengetahuan masih bersifat discovery (menemukan). Sedangkan pada masa
selanjutnya yakni pada masa Umayyah dan Abbasiyah sudah sampai pada
masa pengembangan (development). Dari sini dapat diidentifikasi bahwa
perkembangan ilmu dalam Islam secara gradual dan dinamis.
Pada masa Umayyah terjadi ekspansi (penyebaran) Islam besar-besaran
ke daerah-daerah luar kawasan Islam seperti afrika, Eropa dan kawasan-
kawasan lainnya. Terjadinya ekspansi tersebut menyebabkan adanya kontak
atau interaksi antara budaya Islam yang dibawa oleh penyebar Islam dengan
daerah tujuan ekspansi tersebut. Nampaknya interaksi tersebut mempunyai
pengaruh posistif terhadap perkembangan slam satu diantaranya adalah
interaksi dalam bidang ilmu pengetahuan. Adanya interaksi antara peradaban
umat Islam dengan kawasan peradaban lainnya di bawah komando dinasti
Bani Umayyah dapat dilihat dari adanya salah satu komunitas ilmuwan Syiria
di kota tetangga, Nasibis, yang dijadikan dokter oleh istana. Peristiwa ini
berlangsung selama abad ketujuh. Disamping menjadi dokter mereka juga
67 Abuddin Nata, et.al. Integrasi Al-Qur'an….91 68Ibid,
60
diangkat oleh Khalifah untuk menjadi penasehat istana dan juga sebagai
penerjemah beberapa buku-buku ilmu pengertahuan.69 Dari sinilah merupakan
cikal bakal transformasi penerjemahan dalam peradaban Islam, penerjemahan-
penerjemahan itu dimulai dari buku-buku tentang kedokteran.70 Kegiatan
penerjemahan selanjutnya dilakukan oleh Stephen, seorang ilmuwan
Neoplatonis Aleksandria, yang diminta oleh Yazid ibn Yazid (680-683) untuk
menerjemahkan karya-karya astronomi/astrologi dari bahasa Yunani dan
Syiria ke dalam Bahasa Arab71
Pada masa abbasiyah perkembangan ilmu pengetahuan lebih progresif-
revolutif. Hal ini ditandai dengan adanya perkembangan lembaga pendidikan
yang menjamur, mulai dari kuttab, Maktab, Madrasah, akademi dan
perpustakaan. Tradisi penerjemahan buku yang dirintis oleh umat Islam pada
masa Umayyah berlanjut secara masif pada masa Abbasiyah awal, yakni pada
masa al-Masnshur, Harun al-rashid, serta pada masa al-Ma'mun.72 Kegiatan
penerjemahan ini berlangsung antara tahun 750 dan 850 dan mencapai
puncaknya pada masa al-Ma'mun ketika Mu'tazilah73 menjadi madhab
negara.74
Tradisi penerjemahan yang sangat kuat tersebut, kemudian menjadi titik
balik munculnya perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah.
69 Michael Stansion, Pendidikan Tinggi….79-80 70 Ibid, 79 71 Ibid, 79-80 72 Ibid, 81. Lihat juga Fathur Rozy, Sejarah Pendidikan Islam (Medan, Rimbow: 1996), 14. 73 Mu'tazilah merupakan salah sastu aliran yang lebih mengedepankan akal dalam memahami ajaran agama 74 Pada masa ini buku dan manuskrip yang berlainan dengan filsafat mendapatkan prioritas utama. Pada umumnya penerjemahan dilakukan dari berbagai bahasa seperti Ynani, Persia, Suryani dan Sanksakerta ke dalam bahasa Syiria, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Salah satu penerjemah yang paling terkenal pada masa al-Ma'mun adalah seorang Nestoris bernama Hunayn yang menjadi penerjemah sekaligus editor kedalam Bahasa Arab. Dia adalah seorang penerjemah yang bersemangat tinggi dikalangan Istana dan kehidupannya dijamin oleh negara pada saat itu, Michael Stanman, Pendidikan Tinggi……81.
61
Ilmu-ilmu yang berkembang saat itu diantaranya ilmu kedokteran, filsafat,
matematika, sejarah, astronomi, dan kimia. Berbanding lurus dengan pesatnya
perkembangan ilmu pada waktu itu adalah lahirnya ilmuwan-ilmuwa hebat
pada masanya, seperti, Ibnu haitsam (956-1039), al-biruni (973-1050), Umar
Khayyam (1045-1132), Nasir al-Din at-Thusi (w. 1247), al-Khawarizmi (839-
849) dan banyak lagi ilmuwan lainnya.
Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik yang salah satunya disebutkan di atas
menurut Stanton sering dilakukan kajian ilmu secara multi-disipliner.75 Serta
memiliki sikap dan semangat perfikir ilmiah yang diwarisi dari ajaran
agama.76 Misalnya semangat menghormati penalaran, mencari kebenaran dan
objektivitas serta penghormatan terhadap bukti-bukti empiris seperti diwarisi
dari tradisi Nabi Ibrahim dan Muhammad SAW.77 Selain mempelajari al-
Qur'an yang menjadi dasar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan para
ilmuwan tersebut, juga melakukan kajian terhadap disiplin ilmu yang ain.
Bahkan dikalangan mereka banyak yang mentradisikan kajian-kajian bebas
yang menurut Stanton kajian bebasw ini kemudian mengilhami kajian-kajian
bebas di Barat yang dimulai dari Jerman.78
Dari uraian di atas, diketahui bahwa kemajuan peradaban dan ilmu
pengetahuan pada masa klasik Islam diawali dengan adanya semangat umat
Islam pada masa klasik dalam menghadapi ilmu pengetahuan yang
berkembang diperadaban lain seperti peradaban Mesir, Irak, Syiria, Persi,
75 Michael Stanton, Pendidikan Tinggi……..120 76 Osman Bakar, Tauhid dan Sains…….12 77 Dalam berbagai ayat al-Qur'an dan hadith banyak dijumpai perintah agar umat Islam berfikir kritis dan apresiatif terhadap ilmu dari manapun datangnya. Diantaranya riwayat untuk menganjurkan uamt Islam untuk mencari ilmu sekalipun ke Negeri Cina. Sikap inklusif inilah yang mendorong tumbuhnya intelektualisme Islam yang sangat subur diabad tengah, tepatnya ketika bersama dengan rasionalitas Yunani 78
62
India dan sebagainya. Hal ini dilanjutkan dengan banyaknya penerjemahan-
penerjemahan yang dilakukan. Kemudian para ilmuwan klasik
mengembangkannya dalam berbagai eksperimen sesuai dengan kapasitas yang
dimiliki. Dari sinilah kemudian, lahir ilmuwan-ilmuwan dunia seperti yang
disebutkan. Relevansi uraian di atas dengan kajian ini adalah bahwa, secara
historis ilmuwan-ilmuwan klasik yang menjadi simbol majunya ilmu
pengetahuan dalam masa islam klasik tidak melakukan dikotomisasi dalam
ilmu pengetahuan. Dalam arti bahwa ilmu pengetahuan yang berbasis agama
dan ilmu pengetahuan yang berkarakter keduniawian sama-sama dipelajari dan
dikembangkan.
Sedangkan secara filosofis, integrasi keilmuan dalam Islam dapat
dilacak dari segi normatif-formalistik dua historis di atas. Dalam tataran
normatif Islam meberikan petunjuk kepada manusia untuk mempelajari dan
menyelidiki gejala alam dan kehidupan dengan potensi yang dimilikinya
termasuk dengan akal dan indera.
Dari segi aksiologinya, Islam juga selalu mengarahkan ilmu agar
mempunyai orientasi teosentris-transendental dan juga kemaslahatan bagi
umat manusia. Menuntut ilmu dan mengamalkannya sangat dianjurkan oleh
Islam karena dengan mempunyai ilmu pengetahuan kehidupan yang lebih baik
dan bermartabat. Dalam bukunya Philosophy and Science in The Islamic
World, Qadir menjelaskan bahwa ilmu mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan
Ilahi dan tujuan duniawi.79 Ilmu mempunyai tujuan Ilahi karena ilmu bisa
dijadikan landasan untuk memahami ayat-ayat dan tanda-tanda kebesaran
Allah yang ada di alam semesta, melalui pengamatan reflektif-rasional Allah
79 Qadir, Philosophy and Science In The world, (London, Routledge, 1990), 16.
63
bisa lebih dikenal dan diimani. Sedangkan ilmu mengandung tujuan duniawi
mempunyai pengertian bahwa, ilmu dapat membantu seseorang untuk
menjalani kehidupannya lebih efektif-efisien sehingga mudah berhasil dengan
memahami alam baik yang fisik maupun psikis, da juga memanfaatkan ilmu
itu untuk kepentingan dan kemaslahatan individu dan masyarakat.
4. Model-model Integrasi Agama dan Ilmu
Terdapat beberapa model integrasi ilmu dan agama. Menurut Armahedi
Mahzar, model-model itu dapat diklasifikasikan dengan menghitung jumlah
konsep dasar yang menjadi komponen utama konsep itu, yaitu model
monadik, diadik, triadik, dan pentadik integrasi Islam.80
Pertama, model monadik populer dikalangan fundamentalis, religius,
ataupun sekuler. Kalangan religius menyatakan agama adalah keseluruhan
yang mengandung semua cabang kebudayaan. Sedangkan yang sekuler
menyatakan agama adalah salah satu cabang kebudayaan. Dalam
fundamentalisme religius, agama dianggap sebagai satu-satunya kebenaran
dan sains hanya salah satu cabang kebudayaan. Sedangkan dalam
fundamentalisme sekuler kebudayaanlah yang merupakan ekspresi manusia
dalam mewujudkan kehidupan yang berdasrkan sains sebagai satu-satunya
sains.81
Dengan model monadik totalistik seperti ini tak mungkin menjadi
koeksistensi antara agama dan sains, karena keduanya menegaskan eksistensi
atau kebenaran yang lainnya, maka hubungan antara kedua sudut pandang ini,
tidak bisa tidak adalah konflik seperti yang dipetakan Ian Barbour atau John F
Haught mengenai hubungan antara sains dan agama. Tampaknya pendekatan 80 Armahedi Mahzar, "Integrasi Sain dan Agama: Model dan Metodologi". Dalam Jarot Wahyudi, Integrasi Ilmu dan Agama, Integrasi dan Aksi…..94-106. 81 Dalam bentuknya yang posmodernis, sains pun menjadi relatif seperti halnya agama.
64
totlaistik seperti ini sulit untuk digunakan sebagai landasan integrasi sains dan
agama dilembaga-lembaga pendidikan, dari TK hingga perguruan tinggi.
Cara untuk menghubungkan agama dengan sains ini sangat penting
menurut Haught, tidak rela membiarkan dunia ini terpilah-pilah menjadi dua
ranah (dikotomi).82 Tetpai ia juga tidak setuju pada harmoni yang dangkal
dalam peleburan. Maka menurutnya, pendekatan ini sepakat bahwa sains dan
agama mempunyai instrumen yang berbeda, tetapi dalam dunia nyata, sains
dan agama tidak bisa dipertentangkan secara mutlak. Bagaimanapun di dunia
Barat sains dan agama saling mempengaruhi.83
Kedua, model diadik. Model ini memiliki beberapa varian. Pertama
mengatakan bahwa sains dan agama adalah dua kebenaran yang setara. Sains
membicarakan fakat alamiah, sedangkan sains membicarakan nilai Ilahiah.84
Barangkali ujaran-ujaran Einstein "Science without religion is limb, religion
without science is blind" yang sangat terkenal dikalangan da'i Islam pada
tahun 60-an. Merumuskan wawasan ini secara jelas. Dalam tipologi Barbour
model ini idnetik dengan relasi independensi. Sedangkan tipologi Haught, hal
ini bisa dibilang hubungan kontras. Pandangan inilah yang dianut negara
Indonesia yang mengajarkan agama sebagai mata pelajarana atau mata kulia
terpisah disekolah atau perguruna tingggi.
Varian kedua dari model diadik ini, sins dan agama adalah sebuah
kesatuan yang tak terpisahkan. Barangkali, ini dapat ini dapat dipahami
dengan menyimak pandangan Fritjof Capra: "sains tak membutuhkan mistisme
dan mistisme membutuhkan sains, akan tetapi manusia membutuhkan
82 Ibid, 17 83 Ibid, 18 84 Pandangan ini berakar pada pemisahan antara fakta dan nilai seperti yang diajukan petama kalinya oleh Kant pada abad XIX.
65
keduanya. Sedangkan varian ketiga berpendapat bahwa untuk ilmu dan agama
memiliki kesamaan. Kesamaan itulah yang bisa dijadikan bahan integrasi
keduanya.
Varian ketiga mungkin dapat dilukiskan secara diagram dengan dua
dengan dua buah lingkaran sama besar yang saling berpotongan. Jika kedua
lingkaran itu jika kedau potongan itu mencerminkan sains dan agama, akan
terdapat sebuah kesamaan. Kesamaan inilah yang merupakan bahan bagi
dialog antara sains dan agama. Misalnya, Maurice Baccaile85 menemukan
sejumlah fakta ilmiah di dalam kitab suci al-Qur'an. Atau para ilmuan yang
menemukan sebuah bagian pada otak yang disebut "the god spot" yang
dipandang sebagai pusat kesadaran religius manusia. Model ini dapat disebut
model diadik dialogis.86
Gambar, 2.2
Model Diadik Dialogis
Ketiga, model triadik sebagai sebuah koreksi terhadap model diadik
independen. Dalam model triadik ada unsur ketiga yang menjembatani sains
dan agama. Jembatan itu adalah filsafat. Model ini diajukan oleh laum teosofis
85 Maurice Baccaile, The Bible, The Qur'an and Science, 1983. 86 Armahedi Mahzar, Integrasi Sains dan Agama… dalam Jarot Wahyudi, Integrasi Ilmu….,97.
SAINS
AGAMA
66
yang bersemboyankan "there in no religion higher than truth". Kebenaran atau
"truth" adalam kesamaan antara sains, filsafat dan agama.
Tampaknya model ini merupakan perluasan saja dari model diadik
komplementer dengan memasukkanfilsafat sebagai komponen ketiga yang
katanya diantara sains dan agama. Model triadik komlementer ini mungkin
dapat dimodifikasi dengan menggantikan filsafat dengan humaniora atau ilmu-
ilmu kebudayaan. Dengan demikian kebudayaanlah yang menjembatani sains
dan agama. Sehingga model ini, ilmu-ilmu kelaman dan ilmu-ilmu keagamaan
dijembatani oleh humaniora dan ilmu-ilmu kebudayaan.
Keempat, model pentadik integralisme monistik Islam adalah sebuah
paradigma unifikasi bagi ilmu-ilmu kelaman dan ilmu-ilmu keagamaan. Akan
tetapi, ilmu-ilmu unifikasi itu bukan hanya menyatukan ilmi-ilmu kealaman
dan ilmu-ilmu keagamaan, melainkan juga merupakan paradigma ilmi-ilmu
kemasyarakatan dan kemanusiaan. Hal ini digambarkan oleh Armahedi
Mahzar sebagai berikut.87
Tabel 2.3
Paradigma Integralisme Islam
Kategori
Integritas
Epistemologi
Sufi
Aksiologi
Fiqh
Ontologi
Tauhid
sumber Subyek
Ruhi
Transendental
Qur'ani
Transendensi
Dzatullah
Nilai Prinsip
Qalbi
Universal
Sunni
Hierarki
Sifatullah
87 Ibid, 100-191.
67
Informasi Teori dan fakta
'Aqli
Kultural
Ijtihadi
Kreativitas
Amrullah
Energi Eksperimen
Nafsi
Sosial
Ijma'i
Sirkulasi
Sunnatullah
Materi Instrumen/objek
Jismi
Instrumental
'Urfi
Sistem-sistem
Kahlqullah
Memahami arti penting dari konsep integralisme monistik Islam,
menurut Barizi, Islam sebagai "paradigma" dalam berbagai kajian ilmu
pengetahuan. Sebagai sebuah paradigma, al-Qur'an dan hadith sumber rujukan
bagi setiap kerja ilmu. Tentu, melalui pemahaman seperti ini al-Qur'an dan
hadith yang berkaitan dengan ilmu yang meniscayakan untuk dielaborasi
sevara scientific sesuai kebutuhan ilmiah yang dibangunnya. Disini berarti
Islam tidak sekadar menjadi perspektif, atau sebagai pelengkap dari kajian
Ilmiah yang ada, dan apalagi kaian yang terpisah dari kajian sains. Tetapi,
Islam harus menjadi "pengawal" dari setiap kerja sains oleh setiap para
ilmuan.88
Berbeda dengan sains modern yang menganggap alam materiil sebagai
basis realitas, maka sains islami melihat wahyu Allah sebagai basis reliatas,
bahwa paradigma ilmu dinyatakan secara eksplisit dan dibangun atas
kebenaran wahyu berupa firman-firman-Nya yang tertulis dalam kitab suci al-
Qur'an. Disamping itu, ilmu dalam Islam tidak bersifat rasional empiris dan
objektif belaka, tetapi juga bersifat intuitif religius. Dalam islam kita mengenal
88 Barizi, "Penguatan dan Pengembangan Integrasi Sains dan Islam". Makalah disampaikan pada workshop pada fakultas sain dan dan teknologi UIN Maliki Malang, pada tanggal 3-4 februari 2010 di hotel Wisata Tidar, Malang.
68
integralitas individu mausia dari tubuh atau jism keruh melalui nafs, 'aql dan
qalb yang bersesuain dengan empiritas, rasionalitas, dan ituitivitas ilmu Islam.
Tiga karakteristik itu adalah pelengkap dari objektivitas dan religiusutas sains.
Oleh sebab itu, Islam tidak hanya mengenal ilmu-ilmu kealaman, dan
ilmu-ilmu kemanusiaan, tetapi juga ilmu-ilmu keagamaan. Misalnya,
paradigma epistemologi keilmuan Islam adalah hirarki organ pengetahuan dari
jism hingga ruh, seperti yang diajarkan oleh tasawuf, dan paradigma aksiologi
keilmuan islam adalah hirarki nilai dari 'urfi hingga Qur'ani. Sedangkan
paradigma ontologis keilmuan islam adalah hirarki dari kaum materiil yang
merupakan ciptaan-Nya hingga kausa prima, yaitu zat-Nya yang merupakan
kenyataan akhir yang mutlak. Semuanya mencerminkan struktur pentadik
keilmuan Islam.89
Dari sudut lain, dapat dilihat bahwa struktur pentadik ini dapat
meletakkan klasifikasi keilmuan Islam menjadi empat, yaitu ilmu-ilmu agama,
ilmu-ilmu kebudayaan, ilmu-ilmu terapan, dan ilmu-ilmu kealaman
bersesuaian dengan kategori-kategori integral nilai, informasi, energi dan
materi. Dalam pandangan keilmuan islam, keempat ilmu tersebut mendapat
ruhnya dari ilmu al-Qur'an, yang bersesuaian dengan kategori sumber, dan
merupakan sumber ilham ilmiah yang tak henti-hentinya.
Jika kemudian terdapat ketidaksesuaian dengan perkembangan mutakhir,
sikap yang harus dinyatakan justru memperkukuh keimanan dengan
menyadari keterbatasan tafsir yang ada, pada dasarnya merupakan
keterbatasan akal manusia. Seperti dalam skema integralisme, al-Qur'an
diimani oleh ruh manusia, qalb meyakini prinsip-prinsip yang terkandung
89 Armahedi Mahzar, Integrasi Sains dan Agama… dalam Jarot Wahyudi, Integrasi Ilmu….,103-104.
69
dalam sunnah, sedangkan akal menrima ijtihad manusia. Tafsir ilmi hanyalah
merupakan bagian dari ijtihad manusia dibidang keilmuanyang bersifat
terbatas. Akhirnya tafsir ilmi perlu di diterangkan kepada peserta didik bukan
hanya untuk menambah keimanan mereka, melainkan juga untuk memacu
kreativitas mereka untuk mencari ilham dari ayat-ayat al-Qur'an yang merujuk
pada fenomena alam dalam rangka mencari teori atau hipotesis baru yang
berguna bagi pengembangan keilmuan Islam yang utuh dan menyeluruh.