bab i pendahuluan - sinta.unud.ac.id i.pdf · substansi tersebut tercermin dengan tegas dalam pasal...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
disebutkan Ruang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia baik sebagai kesatuan
wilayah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi, maupun sebagai sumber daya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada
Bangsa Indonesia. Hal ini perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola secara berkelanjutan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat yang terkandung
dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
serta makna yang terkandung dalam Falsafah dan Dasar Negara Republik Indonesia
tersebut.
Undang-Undang tentang Penataan Ruang ini menyatakan bahwa Negara
menyelenggarakan penataan ruang, yang melaksanakan wewenangnya.Indonesia
merupakan Negara Kesatuan, yang memiliki pulau-pulau yang tersebar diseluruh
wilayah Indonesia, sehingga dalam pengelolaannya akan sangat sulit bagi pemerintah,
untuk itu para pembuat Undang-Undang Dasar 1945 demi efisiensi dan efektifitas serta
demi mencapai hasil yang maksimal di dalam pengelolaan Negara, maka wilayah
Negara Indonesia dibagi dalam daerah besardan daerah yang kecil.
1
2
Substansi tersebut tercermin dengan tegas dalam Pasal 18 UUD 1945 yang
berbunyi sebagai berikut :
Pembagian Daerah Indonesia atas dasar Daerah besar dan kecil dengan bentuk
dan susunan Pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan
Negara dan hak-hak, asal-usul Negara Daerah-daerah yang bersifat istiwewa.
Dari bunyi pasal di atas berarti bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Pemberian otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran
serta masyarakat. Konsep otonomi daerah sudah dicanangkan sebelum lahirnya Negara
Republik Indonesia 17 Agustus 1945, dimana Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) telah mencanangkan pemberian otonomi kepada
Daerah yang disesuaikan dengan Kebinekaan Rakyat Indonesia yang dilambangkan
dalam Garuda Pancasila.
Untuk mendukung dan mendorong konsep dalam rangka pelaksanaan otonomi
daerah dalam bidang penataan ruang maka kemandirian Daerah penting dalam hal
perencanaan yang meliputi konsep kawasan, pembangunan berkelanjutan dan Amdal,
maka daerah dapat diberikan kewenangan untuk menggali potensi yang ada di
daerahnya salah satunya adalah diberikan kewenangan pada daerah melakukan
perencanaan tata ruang sesuai dengan keadaan ruang wilayahnya. Sebagaimana yang
diatur pada UU No 23 Tahun 2014 dalam Pasal 12 ayat (1), dan (2). Dalam era
pembangunan berwawasan lingkungan, hukum lingkungan harus diperankan dalam dua
dimensi, yakni dimensi sebagai sarana sebagai sarana social control dan dimensi
3
sebagai sarana social engineering, guna mendukung lajunya pelaksanaan pembangunan.
Inilah pada hakikatnya fungsi hukum dalam Negara hukum moderen yang sedang
melakukan pembangunan.
Dalam proses pembangunan terdapat banyak permasalahan yang menyangkut
mengenai lingkungan hidup, akan tetapi tidak semua permasalahan tentang lingkungan
dapat terselesaikan secara individu, oleh karena itu agar tidak terjadi kerusakan
lingkungan maka Pemerintah atau khususnya Pemerintah Daerah membuatkan Perda
mengenai Tata Ruang. Terutama dalam pembangunan-pembangunan kepariwisataan
pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek
dan daya tarik wisata, yang terwujud antara lain dalam bentuk kekayaan alamnya yang
indah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang (selanjutnya ditulis UU RI No. 26 Th. 2007 Tentang Penataan Ruang) yang
terdapat di pasal 22 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi disusun
bersadarkan perkiraan kecenderungan dan arahan perkembangan untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan di masa depan sesuai dengan jangka waktu perencanaannya.
Sedangkan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dalam pasal 23 ayat
(2) dilakukan dengan berazaskan kaidah-kaidah perencanaan seperti keselarasan,
keserasian, keterpaduan, kelestarian, keberlanjutan serta keterkaitan antar wilayah baik
di dalam provinsi maupun dengan provinsi sekitarnya. Tujuan dari Perencanaan Tata
Ruang Wilayah Provinsi adalah mewujudkan Ruang Wilayah Provinsi yang
mengakomodasikan keterkaitan antar Kawasan/ Kabupaten/Kota untuk mewujudkan
4
perekonomian dan lingkungan yang berkesinambungan. Sedangkan sasaran dari
perencanaan tata ruang Wilayah Kabupaten yang terdapat pada Pasal 23 adalah
terkendalinya pembangunan di Wilayah Provinsi baik yang dilakukan oleh Pemerintah
maupun oleh masyarakat, terciptanya keserasian antara kawasan lindung dan kawasan
budidaya.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang,
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten berisi tentang :
1. Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten yang meliputi kawasan lindung
Kabupaten dan kawasan budi daya Kabupaten yang terdapat dalam Pasal 20
ayat (1) huruf c.
2. Ketentuan pengendalian pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten yang berisi
ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif
dan disinsentif, serta arahan sanksi yang terdapat pada Pasal 35 bagian
ketiga.
Pasal 28 UU RI No. 26 Th. 2007 Tentang Penataan Ruang perencanaan Tata
Ruang Wilayah Kota yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya termasuk
dengan ketentuan selain rincian dalam Pasal 26 ayat (1) ditambahkan :
1. Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau
2. Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka non hijau, dan
3. Rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan
kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi
5
bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai
pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
4. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi
ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif
dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Pada tahap awal kegiatan, pengendalian adalah untuk mengetahui sekaligus
mengendalikan apakah dan bagaimanakah dalam pelaksanaannya suatu tindakan
pembangunan telah tercapai kesesuaian ataukah terjadi penyimpangan terhadap rencana
awal yang telah ditetapkan. Aspek yang dimasukkan dalam pertimbangan ini antara lain
ialah bentuk fisik, fungsi waktu atau tahapan pelaksanaan, fungsi pembiayaan dan
sebagainya. Tinjauan kedua yang berkaitan dengan pengendalian pemanfaatan ruang
ialah analisis terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pelaksanaan pembangunan.
Analisis terhadap dampak yang ditimbulkan mencangkup dampak positif maupun
dampak negatif yang muncul ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, lingkungan
hidup dan sebagainya.
Kewenangan dalam bidang penataan ruang mencangkup perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian perkembangan ruang. Termasuk didalam
pengertian ruang ini adalah tanah milik Negara maupun perorangan, hutan, perairan,
dan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya, kecuali yang menurut peraturan
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat untuk mengaturnya. Secara lebih rinci fungsi
penataan ruang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memiliki tujuan dan kebijakan tata
ruang, berwenang dalam menetapkan kebijakan penetapan ruang Daerah Provinsi yang
6
meliputi pengelolaan dan perencanaan pembangunan yang bersifat lintas Daerah
Kabupaten/Kota, seperti wilayah aliran sungai, hutan lindung, sempadan pantai,
sempadan jurang, kawasan terbuka hijau, kawasan terbuka publik dan privat. Ruang
terbuka hijau tersebut terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang ruang terbuka
hijau privat.
Mengenai proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah perkotaan minimal 30%
dari luas wilayah kota, dengan pengertian proporsi ruang terbuka hijau publik minimal
20% dari luas wilayah kota (Pasal 29 ayat (1), (2), dan (3) UUPR). Mengingat
pentingnya makna perizinan tersebut, pengenaan sanksi tidak hanya dikenakan kepada
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan, tetapi juga bagi
pejabat pemerintah yang berwenang yang memberikan izin pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang.1
Untuk menyikapi hal ini penanganan
masalah penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban oleh daerah memberi peran yang
sangat berarti terhadap perkembangan daerah tersebut.
Dengan demikian segala upaya-upaya tentu harus dilakukan khususnya oleh
Pemerintah Daerah dalam memajukan sekaligus menanggulangi masalah-masalah yang
timbul terhadap ketentraman dan ketertiban masyarakat. Masalah ketentraman dan
ketertiban adalah merupakan keadaan dimana Pemerintah dan Rakyat dapat melakukan
kegiatan secara aman, tertib, dan teratur.
Ketentraman dan ketertiban ini dapat terganggu oleh pelbagai sebab dan keadaan
diantaranya ialah :
1Yunus Wahid A. M, 2014, Pengantar Hukum Tata Ruang, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h.13.
7
1. Pelanggaran hukum yang menyebabkan terganggunya keamanan dan
ketertiban masyarakat.
2. Bencana-bencana, bak bencana alam maupun bencana yang ditimbulkan
oleh manusia.
3. Faktor-faktor yang terletak dibidang ekonomi dan keuangan.2
Pengembangan obyek dan daya tarik wisata tersebut saat ini sedang giat
dilaksanakan yakni seperti pengembangan usaha jasa dan sarana pariwisata, hotel,
restoran, cafe dan usaha-usaha lainnyayang berfungsi meningkatkan daya tarik bagi
wisatawan lokal, maupun wisatawan asing. Masalah tersebut terlihat di sempadan
jurang yaitu di sepanjang jalan raya penelokan kintamani (sepanjang jalur hijau) dengan
berdirinya bangunan-bangunan restouran, rumah makan, pemukiman, perdagangan dan
jasa yang ada saat ini sejumlah 57 bangunan yang melanggar sempadan jurang. Mereka
menjalankan usahanya tanpa memperhatikan peraturan-peraturan yang berlaku.
Peraturan-peraturan tersebut terkait mengenai larangan pendirian bangunan-bangunan
usaha di setiap jalan atau jalur hijau yang tidak diperbolehkan, karena kawasan tersebut
merupakan kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
Perda Kabupaten Bangli No. 9 Tahun 2013 Tentang Tata Ruang mengenai Sempadan
jurang pada dinding kaldera Gunung Batur.
Pada Pasal 38 ayat (1) juga menyatakan bahwa kawasan rawan bencana alam,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf e adalah kawasan yang sering atau
berpotensi tinggi mengalami bencana alam, sedangkanpada Pasal 38 ayat (2) kawasan
2 Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1996, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di
Daerah, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 147.
8
rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. Kawasan Rawan
Bencana Alam pada Pasal 38 ayat (3) kawasan rawan bencana kebakaran hutan, sebagai
dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup kawasan hutan yang menjadi RPH Kintamani
barat, RPH Kintamani Timur dan RPH Penelokan. Hal ini terkait mengenai ketetapan
pemerintah dalam menjaga sekaligus memelihara lingkungan dari pendirian bangunan-
bangunan di daerah jalur hijau Kabupaten Bangli. Ketetapan itu berupa peraturan-
peraturan yang berisi tentang larangan serta tindakan hukum bagi yang melanggar.
Pada Pasal 77 kreteria dari ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan
jurang sebagaimana diaksud dalam Pasal 71 ayat (3) huruf d, pada ayat (1) Penetapan
jarak sempadan jurang, ayat (2) Kegiatan dan bangunan yang diperbolehkan, bersyarat
atau dilarang di kawasan sempadan jurang, ayat (3) persyaratan dan kreteria sempadan
jurang. Kawasan Sempadan Jurang (Jalur Hijau) yang ada di sebelah timur di sepanjang
Jalan Raya Penelokan-Kintamani itu merupakan daerah tempat-tempat yang tidak
diperbolehkan untuk dibuat/mendirikan bangunan. Namun sampai sejauh ini belum
sepenuhnya terealisasi, hal ini bisa dilihat dari maraknya usaha-usaha, pemukiman,
perdagangan dan jasa tersebut terlihat disepanjang Sempadan Jurang di sebelah timur
jalan raya penelokan kintamani yaitu di Daerah Kabupaten Bangli yang makin hari
semakin bertambah banyak. Masalah diatas lebih jelas diterangkan dalam Peraturan
Derah Kabupaten Bangli Nomor 9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten
Bangli yang sekaligus berisi tentang Arahan Pengenaan Sanksi bagi yang melanggar
yaitu terdapat pada Pasal 101.
9
Melihat Arahan dan Pengenaan sanksi pidana yang cukup jelas, yang dibuat oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli ini sudah cukup memberikan pengertian kepada
masyarakat tentang larangan pendirian bangunan di daerah Sempadan Jurang (Jalur
Hijau) ini, akan tetapi ancaman kemudian muncul tentang pembatasan hak milik yang
dimiliki oleh masyarakat yang ada di daerah sempadan jurang tersebut yang
dikarenakan masyarakat/warga tidak memiliki pilihan untuk mereka tinggali/ ditempati
karena lahan tersebut juga merupakan tanah ayahan desa dan satu-satunya juga
peninggalan/ warisan dari turun temurun nenek moyang mereka itu sediri yang menjadi
bagian dan hak milik untuk dipergunakan, akan tetapi masyarakat menyalah gunakan
fungsi lahan tersebut sebagaimana mestinya. Maka dari itu untuk pembatasan hak ini
maksudnya bahwa hak milik yang dimiliki oleh masyarakat hanya boleh untuk
dinikmati hasilnya saja tapi tidak boleh untuk membangun untuk usaha dan lain
sebagainya.
Pemerintah Kabupaten Bangli dalam menegakkan Peraturan Daerah tidaklah
dapat menerapkan aturan-aturan atau paksaan secara sewenang-wenang atau
bertentangan dengan hukum. Pemerintah Kabupaten Bangli dalam setiap tindakannya
wajib menjaga keseimbangan perlindungan antara kepentingan umum dan kepentingan
perorangan atau hak-hak masyarakat. Pelanggaran atas kewajiban ini dapat melahirkan
adanya sikap tindakan aparat Pemerintah Kabupaten Bangli yang melanggar hukum.
10
Sehubungan dengan hal itu, penelitian terhadap penerapan Perda Kabupaten
Bangli Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangli
Tahun 2013-2033 (selanjutnya ditulis Perda Kab. Bangli No. 9 Th 2013) terkait
bangunan-bangunan di sepanjang Jalan Raya Penelokan yang merupakan permasalahan
yang menarik dan aktual untuk dikaji.
1.2. Rumusan Masalah
Oleh karena itu dengan judul penulisan ini berdasarkan latar belakang di atas,
maka fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah : “PENERAPAN PERDA
TATA RUANG KABUPATEN BANGLI TERKAIT KETENTUAN SEMPADAN
JURANG DI JALAN RAYA PENELOKAN KINTAMANI”
Bertitik tolak dari latar belakang yang diuraikan di atas, maka ada beberapa
masalah yang akan dikaji. Adapun rumusan masalah tersebut yaitu :
1. Apakah daerah di sepanjang jalan raya penelokan kintamani merupakan dinding
kaldera Gunung Batur sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 Huruf d Perda
Kabupaten Bangli Tentang Tata Ruang?
2. Apakah bangunan-bangunan di sepanjang Jalan Raya Penelokan Kintamani
memenuhi kriteria bangunan yang diperbolehkan pada sempadan jurang menurut
Pasal 77 Perda Kabupaten Bangli Tentang Tata Ruang?
3. Sanksi hukum apa yang diterapkan terhadap bangunan yang melanggar
ketentuan sempadan jurang yang diatur pada Perda Kabupaten Bangli Tentang
Tata Ruang?
11
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, untuk menghindari
pembahasan yang menyimpang dari pokok bahasan serta tidak mengaburkan obyek
yang akan dibahas,maka terdapat permasalahan-permasalahan tersebut akan dibatasi
ruang lingkupnya. Adapun permasalahan yang nantinya akan dibahas adalah berkisaran
tentang atau bertitik tolak pada hal-hal sebagai berikut :
Mengingat materi dan ruang lingkup masalah Peraturan Daerah ini sangat luas,
maka penulis membatasi ruang lingkup masalah mengenai Peraturan Daerah tentang
sempadan jurang dalam penetapan jalur hijau dan kawasan rawan bencana alam
khususnya tentang perlindungan setempat di sepanjang Jalan Raya Penelokan oleh
Pemerintah Kabupaten Bangli serta upaya-upaya Pemerintah Daerah dalam memberikan
izin pemanfaatan ruang pada kawasan strategis Provinsi yang mempunyai dampak luas
terhadap Wilayah Provinsi mendapatkan rekomendasi dari Pemerintah Provinsi sesuai
dengan jenis dan lingkupnya, yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten.
1.4. Orisinalitas Penelitian
Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan
maka penulis melakukan penelusuran terhadap Judul penelitian sehingga mampu
menunjukan orisinalitas dari penelitian yang sedang ditulis dengan menampilkan
beberapa judul penelitian skripsi terdahulu sebagai pembanding, adapun dalam
penelitian kali ini penulis menampilkan tiga skripsi yang diwajibkan :
12
Tabel
No Judul Skripsi Penulis Rumusan
Masalah
Perbedaan
1 Efektifitas
Penegakan
Peraturan
Daerah No 6
Tahun 2001
tentang Ijin
Bangunan-
Bangunan di
Kota Denpasar.
I Made Arnawa
Nim :
0703005190
(Mahasiswa
Fakultas Hukum
Universitas
Udayana
Denpasar),
Tahun 2011.
1. Apakah
pengaturan
persetujuan
prinsip
membangun dan
ijin mendirikan
bangunan di
Kota Denpasar
telah dapat di
katakana efektif
2. Bagaimana
upaya
pemerintah Kota
Denpasar dalam
penegakan ijin
bangunan?
1. Perbedaanya
terhadap usulan
penelitian yang
saya buat
dengan skripsi
lain yaitu pada
rumusan
masalanya
skripsi lain tidak
merumuskan
masalah tentang
kawasan jalur
hijau dan
penegakan
hukum
bangunan di
daerah
komersial
terbuka publik
yang merupakan
kawasan rawan
bencana.
2 Kajian Yuridis
Tentang
pembangunan
Jalan Tol bali
Mandara terkait
dengan
Peraturan
Daerah Provinsi
Bali Nomor 16
tahun 2009
tentang Rencana
Tata Ruang
wilayah provinsi
Bali Tahun
2009-2029.
Agus Hariyono
Nim :
0916051068
(Mahasiswa
Fakultas Hukum
Universitas
Udayana
Denpasar),
Tahun 2014.
1. Fungsi kawasan
hutan bakau
yang
diperuntunkkan
untuk
membangun
jalan tol Bali
Mandara dikaji
dari Peraturan
Daerah Provinsi
Bali Nomor 16
Tahun 2009
tentang Rencana
tata Ruang
Wilayah?
1. Perbedaanya
pada terhadap
usulan
penelitian yang
saya buat
dengan skripsi
lain yaitu pada
rumusan
masalanya
skripsi lain
tidak membahas
dan
merumuskan
masalah tentang
penegakan
hukum akan
13
Dasar Hukum
Dalam
Pembangunam
jalan Tol Bali
Mandara?
bangunan di
daerah
komersial
disepanjang
sempadan jalan
raya penelokan
yang merupakan
kawasan
komersial jalur
hijau terbuka
publik.
3 Kewenangan
Pemerintah Kota
Denpasar Dalam
Perencanaan
Tata Ruang Kota
Berwawasan
Lingkungan
I Made Hadi
Kusuma
Nim :
0703005175
(Mahasiswa
Fakultas Hukum
Universitas
Udayana
Denpasar),
Tahun 2011.
1. Bagaimana
pengaruh tata
ruang kota yang
berwawasan
lingkungan?
2. Bagaimanakah
kewenangan
Pemerintah Kota
Denpasar dalam
perencanaan tata
ruang kota yang
sesuai dengan
strategi
pembangunan
berwawasan tata
ruang kota yang
sesuai dengan
strategi
pembangunan
berwawasan
lingkungan?
1. Perbedaanya
terhadap usulan
penelitian yang
saya buat yaitu
pada rumusan
masala dengan
skripsi lain
yaitu skripsi
lain tidak
merumuskan
dan membahas
tentang kawasan
komersial rawan
bencana dan
jaluh hijau.
14
1.5. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian biasanya mempunyai tujuan yang di inginkan dan dicapai
sesuai dengan permasalahan hukum yang dikajinya. Dengan demikian, keberhasilan
dari penelitian ini dapat dievaluasi berdasarkan tujuannya. Dalam kaitannya dengan
penelitian “Penerapan Perda Tata Ruang Kabupaten Bangli Terkait Ketentuan
Sempadan Jurang di Sepanjang Jalan Raya Penelokan Kintamani”.
Adapun yang menjadi tujuan dilaksanakan penelitian ini yang digolongkan
menjadi dua bagian yaitu :
a. Tujuan Umum
Agar Penelitian dan Penulisan karya ilmiah memiliki suatu maksud yang jelas,
maka harus memiliki tujuan agar dapat mencapai target yang dikehendaki. Adapun
tujuan dari penulisan karya ilmiah adalah sebagai berikut :
Secara umum tujuan dilakukannya penulisan ini adalah untuk dapat mengetahui
tentang daerah Sempadan Jurang yang berada di Jalan Raya Penelokan Kintamani yang
merupakan Dinding Kaldera Gunung Batur sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 30
huruf d Perda Kab. Bangli, dan pada dasarnya penulis juga dapat menuangkan pikiran
secara ilmiah dalam bentuk skripsi mengenai penerapan perda tata ruang terkait pada
kawasan sempadan jurang di Jalan Raya Penelokan oleh Pemerintah Kabupaten Bangli
dalam pembangunan, terutama penulis ingin mengetahui bangunan-bangunan yang ada
disepanjang jalan raya penelokan kintamani sudah memenuhi kreteria bangunan yang
diperbolehkan pada sempadan jurang menurut Pasal 77 Perda Kab. Bangli. Untuk
memenuhi kepentingan umum sebagai sarana dan prasarana dengan mendirikan
15
bangunan di kawasan komersial rawan bencana alam di sempadan jurang khususnya di
Jalan Raya Penelokan yang merupakan jalur hijau terbuka publik yang dikaji dari
Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Bangli Tahun 2013-2033, pada Pasal 30 Huruf d jo. Huruf f terhadap
kawasan perlindungan setempat di sepanjang Jalan Raya Penelokan Kintamani.
Selanjutnya tujuan pada Penulisan ini juga ingin mengetahui sanksi hukum apa yang
dapat diterapkan terhadap bangunan yang melanggar ketentuan sempadan jurang
tersebut yang ada di sempadan jurang di Jalan Raya Penelokan Kintamani.
b. Tujuan Khusus
Sesuai dengan permasalahan yang dibahas adapun tujuan khusus dari penelitian
ini adalah :
1. Untuk mengetahui, mengananlisis, dan mengurai secara lebih mendalam
tentang sempadan jurang pada daerah di sepanjang Jalan Raya Penelokan
Kintamani yang merupakan kawasan perlindungan setempat yang di atur
pada Pasal 30 huruf d Perda. Kab. Bangli sebagaimana di maksud pada pasal
tersebut kawasan sempadan jurang yang merupakan dinding kaldera gunung
Batur.
2. Untuk mengetahui, mengananlisis, dan mengurai dampak yang akan
ditimbulkan dari penetapan jalur hijau dalam pendirian bangunan-bangunan
di kawasan rawan bencana alam yang berkaitan dengan hak kepemilikan
tanah oleh Pemerintah Daerah atas kawasan perlindungan setempat apakah
16
sudah memenuhi kreteria bangunan yang diperbolehkan pada sempadan
jurang menurut Pasal 77 Perda Kab. Bangli No.9 Th 2013.
3. Untuk mengetahui, mengananlisis, dan mengurai dasar hukum dan sanksi
hukum apa yang dapat diterapkan terhadap bangunan-bangunan yang
melanggar ketentuan sempadan jurang di Jalan Raya Penelokan Kintamani.
1.6. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian idealnya memiliki manfaat yang ingin dicapai, oleh karena itu
manfaat yang hendak diperoleh dari skripsi ini adalah :
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari pada penelitian ini adalah dimana agar setiap masyarakat
dan khususnya bagi penulis agar dapat mengembangkan atau melatih diri dalam usaha
menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis. Khususnya bagi perkembangan suatu ilmu
hukum. Adapun manfaat teoritis yang dapat kita pelajari dan kita tanamkan adalah
sebagai berikut :
1. Meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan hukum baik secara
umum maupun terkhusus pada penerapan Perda Tata Ruang pada Pasal 30
terhadap perlindungan kawasan setempat. Dan fungsi dari kawasan
komersial rawan bencana alam dan ruang terbuka hijau publik yang dikaji
dari Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangli Tahun 2013-2033.
2. Memperdalam pengetahuan tentang kebijakan yang diambil oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Bangli dalam pengaturan izin prinsip pemanfaatan ruang
17
strategis provinsi dalam pembangunan di kawasan komersial rawan bencana,
dan jalur hijau terbuka publik di sempadan jurang di Jalan Raya Penelokan
guna memberikan solusi dari obyek wisata di Kintamani agar dapat
mengetahui dampak yang ditimbulkan.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari pada penelitian ini adalah dimana agar setiap masyarakat
dan khususnya bagi penulis agar dapat mengetahui tentang bagaimana menjalankan
Peraturan Daerah yang sudah di tetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bangli.
Khususnya pada Kawasan Perlindungan setempat di sepanjang Jalan Raya Penelokan
Kintamani yang merupakan kawasan rawan bencana alam dan jalur hijau terbuka
publik.
Maka terdapat manfaat praktis yang telah dikaji dari pada pembahasan
permasalahan penelitian yang dibahas adalah :
1. Dimana agar setiap masyarakat dan khususnya bagi penulis agar dapat mengetahui
tentang bagaimana larangan dan pengaturan persetujuan prinsip membangun dan
ijin mendirikan bangunan di kawasan ruang terbuka hijau publik dan di kawasan
komersial rawan bencana alam, khususnya di sempadan jurang di Jalan Raya
Penelokan Kintamani. Dan upaya Pemerintah Kabupaten Bangli dalam penegakan
hukum, pemberian sanksi terkait dalampengaturan izin pemanfaatan ruang strategis
provinsi terhadap penetapan jalur hijau dan kawasan rawan bencana alam yang telah
di tetapkan pada Perda Kabupaten Bangli pada Pasal 30 Huruf d jo huruf f terhadap
kawasan perlindungan setempat yang akan berkaitan dengan hak atas kepemilikan
18
tanah. Sehingga akan muncul dampak yang ditimbulkan oleh Pemeritah Daerah
maka dari itu inilah kesempatan bagi penulis untuk mengetengahkan argument dan
pandangan terhadap permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
1.7. Landasan Teoritis
Untuk membahas permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, maka berikut
dipaparkan beberapa teori yang terkait dengan permasalahan tersebut karena Penelitian
selalu harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan
timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data,
analisa serta konstruksi data. Dengan mengedepankan teori-teori dalam suatu penelitian
dapat dijelaskan fenomena yang dihadapi. Dalam landasan teoritis akan dipaparkan
beberapa kajian teori, dan konsep yang berkaitan dengan kewenangan yang menjadi
urusan pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota, sehubungan dengan pembagian urusan pemerintah dibidang penataan
ruang.
Sejumlah konsep yang perlu dijelaskan sebagai landasan teori dalam
pembahasan permasalahan diatas adalah landasan teoritis yang dipakai dalam penelitian
ini juga menggunakan teori-teori dasar yang relevan dengan masalah hukum dan asas-
asas yang behubungan dengan penelitian ini. Teori, konsep dan asas yang dimaksudkan
antara lain berupa Teori Negara Hukum, Teori Kewenangan, Teori Penegak Hukum dan
Asas Penyelenggaraan Pemerintahan. Adapun penjelasan teori-teori dan asas-asas
tersebut sebagai berikut :
19
a. Teori Negara Hukum
Konsep dari Negara hukum yang digunakan adalah konsep Negara hukum yang
dikemukakan oleh F.J. Stahl dalam unsur ketiganya adalah pemerintahan berdasarkan
peraturan-peraturan hukum. F.J. Stahl mengembangkan ide Immanuel Kant dengan
memantapkan prinsip-prinsip liberalisme yang dikemukakan oleh Rousseau, sehingga
lahirlah Negara Hukum Formal. Menurut Dicey di Negara dengan sistem Anglo Saxon,
dikenal konsep the rule of lawuntuk menyebut Negara hukum dengan unsur-unsur
terdiri dari : supremacy of law, equality before the law, the constitution based on
individual rights.3
Negara Indonesia adalah Negara hukum, demikian ditegaskan dalam Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi
“Negara Indonesia adalah Negara hukum”, ini menunjukkan bahwa segala tindakan
yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat harus berdasarkan pada hukum bukan
berdasarkan pada kekuasaan.
Friedrich Julius Stahl mengemukakan ciri-ciri Negara hukum yaitu :
1. Perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian Kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan Perundang-Undangan;dan
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.4
3H.D. Van Wijk & Willem Konijnenbelt, 1988, Hofdstukken van Administratief Recht,Uitgeverij
LEMMA B.V, Moerbeiboom, Culemborg, h. 56. 4 Ridwan HR, 200, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.3.
20
Pada saat yang bersamaan muncul pula konsep Negara hukum (rule of law) dari
A.V.Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum anglo-saxon. Dicey
mengemukakan unsur-unsur rule of law sebagai berikut :
1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitray power) dalam arti bahwa
seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality infore the law.
Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh Undang-undang (dinegara lain oleh
Undang –Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan).5
Perkembangan berikutnya muncul pemikiran yang berkaitan dengan ciri-
ciri/unsur-unsur Negara hukum Indonesia. Dalam kaitan itu, Negara hukum yang dianut
Negara Indonesia tidaklah dalam arti formal, namun Negara hukum dalam artian
material, yang juga diistilahkan dengan Negara hukum kesejahteraan (welfare state).
Membahas permasalahan secara mendalam, maka diuraikan beberapa teori-teori dan
landasan dalam menunjang pembahasan permasalahan yang ada.
Dengan adanya teori yang menunjang diharapkan dapat memperkuat,
memperjelas, dan mendukung untuk menyelesaikan permasalahan. Berdasarkan
Undang-undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Pasal 1 angka 5 menyatakan, penataan
ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Menurut Undang-Undang Nomor. 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang membentuk perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk
menentukan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui
penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya, sedangkan pengendalian
5 Ibid, h. 4.
21
pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Menurut
Jayadinata, “Yang dimaksud ruang menurut istilah geografis umum adalah seluruh
permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuh-tumbuhan,
hewan dan manusia”.6
b. Teori Kewenangan
Untuk mempertajam pembahasan terhadap permasalahan kewenangan yang
menjadi urusan pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota dalam bidang penataan ruang, maka dalam sub bahasan ini akan
diketengahkan uraian tentang konsep kewenangan. Menurut Teori Kewenangan , cara
memperoleh kewenangan dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu : atribusi, delegasi,
dan mandat.7
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dan bagian awal dari hukum
administrasi, karena pemerintahan (administrasi) baru dapat menjalankan fungsinya atas
dasar wewenang yang diperolehnya, artinya keabsahan tindak pemerintahan atas dasar
wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (legalitiet beginselen).8
Menurut S.F.Marbun, wewenang mengandung arti kemampuan melakukan suatu
tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang
diberikan oleh Undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan
6 Jayadinata, Johar. T, 1999, Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan
Wilayah, ITB, Bandung, h. 15. 7 Philipus M. Hadjon, dkk, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet III, UGM
Press, h. 130. 8 Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Pemerintah
Ressindo, Yogyakarta, h. 29.
22
hukum. 9 Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang
langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil.
Kewenangan yang di dapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah
kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-
undangan (utamanya UUD 1945). Sehubungan dengan ini H.D. Van Wijk & Willem
Koninenbelt mengemukakan bahwa atribusi merupakan “toekening van een bestuurs
bevoegdheid door een wetgever aan een bestuurs organ”.10
c. Teori Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalulintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh
subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek
dalam artiyang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu
melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dengan mendasarkan diripada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia
menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
9 S.F. Marbun, 1997, “Peradilan Hukum Administrasi Negara dan Upaya Administratif di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 154-155. 10
H.D. Van Wijk & Willem Konijnenbelt, 1988, Hofdstukken van Administratief Recht,
Uitgeverij LEMMA B.V, Moerbeiboom, Culemborg, h. 56.
23
Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. penegakan hukum itu dapat pula
ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya
juga mencakup makna yang luas dan sempit.
Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan
perkataan„law enforcement‟ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan
„penegakanhukum‟ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah „penegakan
peraturan‟ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis
dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa
Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah „the rule of law‟ versus „the rule of just
law‟ atau dalam istilah „the rule of law and not of man‟ versus istilah „the rule by law‟
yang berarti „the rule of man by law‟.
Dalam istilah „the rule of law‟ terkandung makna pemerintahan oleh hukum,
tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah „the rule of just law‟.
Dalam istilah „the rule of law and not of man‟ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
24
pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum,
bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah „the rule by law‟ yang dimaksudkan sebagai
pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan
belaka.
Penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk
menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiil yang
luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek
hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi
tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma
hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian
yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri
batas-batasnya. Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan
hukum itu, baik dari segisubjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas
hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja.
Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang
hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-
norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya,
persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya
ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum
terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan bersilang.
25
Karena itu, secara akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban
asasi manusia.
Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri
terkait erat dengan persoalan ketidak adilan yang timbul dalam kaitannya dengan
persoalan kekuasaan. Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi
penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur
penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi,
polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat
dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau
perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta
upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen
penting yang mempengaruhi, yaitu:
(i) institusi penegak hukum beserta berbagaiperangkat sarana dan prasarana
pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
(ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai
kesejahteraan aparatnya, dan
(iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya
maupunyang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik
hukum materielnya maupun hukum acaranya.
26
Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek
itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara
internal dapat diwujudkan secara nyata. Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan
berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga
memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu
elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-
citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum
mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya.
Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan
warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman.
Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya
penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena
itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu :
(i) pembuatan hukum („the legislation of law‟ atau „law and rule making‟),
(ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization
and promulgation of law, dan
(iii) penegakan hukum (the enforcement of law). Ketiganya membutuhkan
dukungan.
(iv) adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien
yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab
(accountable).
27
Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai
agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas.
Dalam arti luas, „the administration of law‟ itu mencakup pengertian
pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam
pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi
dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam
rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan
administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di
seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika
sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap
aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana
mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya?
Meskipun ada teori „fiktie‟ yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal,
hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat
(social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak boleh
dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara sistematis dan
bersengaja.11
11
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Guru Besar Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara
Indonesia.
28
d. Asas Penyelenggaran Pemerintah
Urusan pemerintah yang berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Daerah baik
Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Desa
yang ada diwilayahnya, sehingga pengkajiannya didasarkan pada asas-asas
penyelenggaraan Pemerintahan karena asas-asas ini merupakan dasar bagi pengalihan
kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Adapun asas-asas
Pemerintahan ini meliputi:
1. Asas sentralisasi adalah sistem pemerintahan dimana sistem pemerintahan
di mana segala kekuasaan dipusatkan di pemerintah pusat.
2. Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
3. Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah kepada instansi
vertikal wilayah tertentu.
4. Asas tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan/atau desa; dari Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
dan/atau Desa; serta dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada desa untuk
tugas tertentu.12
12
H. Siswanto. Sunarsono, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.
7.
29
Dalam memberikan otonomi kepada Daerah lebih menekankan ada asas
desentralisasi yaitu tata cara Pemerintah yang lebih banyak memberikan kekuasaan
kepada Pemerintah Daerah, karena asas ini lebih memberi keuntungan kepada Daerah.
Konsep Negara Hukum Pemerintah memiliki fungsi untuk menyelenggarakan
Pemerintahan. Kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan bukan berarti Pemerintahan
dapat bertindak sewenang-wenang sebab Negara hukum (rechtstaat) sebagaimana yang
disebutkan oleh Hamid S. Attamimi dengan mengutip Burken : “Adalah Negara yang
menetapkan hukum sebagai dasar kekuasaan Negara dan penyelenggaraan kekuasaan
tersebut dalam segala bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum”. 13 Hal lain
dijelaskan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan bahwa tujuan dari pada
hukum ialah “untuk mencapai ketertiban, keadilan dan kepastian hukum dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. 14 Dengan melihat pandangan
tersebut diatas terdapat prinsip yang kuat dimana, Negara hukum menentukan bahwa
Pemerintah harus tunduk dan bukannya hukum yang harus tunduk pada Pemerintah
sehingga setiap tindakan Pemerintah harus mencerminkan kepentingan umum, adil dan
tidak merugikan terlebih mengenai perlindungan hukum bagi masyarakat.
Lepas dari itu program pembangunan di daerah dalam otonomi yang nyata,
memberi pengertian adanya perubahan orientasi pelaksanaan pembangunan yang harus
dikelola dengan prinsip dan mekanisme yang professional. Menurut Drs. Dewa Made
Beratha (Gubernur Bali), bahwa ada dua tantangan utama pembangunan dalam era
13
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.18-19. 14
Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, Bina Cipta, Bandung, h. 2-3.
30
otonomi yang nyata, yaitu : 15
“Tantangan sebelum dan sesudah otonomi yang nyata
dilaksanakan sehingga pembangunan setelah otonomi nyata dilaksanakannya otonomi
nyata”. Hal yang perlu dipahami adalah bahwa pembangunan merupakan proses
perubahan struktur dalam tatanan masyarakat.
Kemutakhiran sebuah jaman adalah ketika masa itu dapat membuat
perubahan sejarah yang membedakan saat sebelumnya dengan sesudahnya, Hal itu
sebagaimana yang terjadi pula pada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan daerah di
negara kita. Perubahan sistem ini merupakan perkembangan sebuah regulasi pemerintah
yang bernama UU 23 Tahun 2014 yang melakukan perubahan dan pembaharuan
terhadap marwah dan semangat UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pada UU No. 32 Tahun 2004 sebagaimana dirubah dengan UU No. 12 Tahun
2011 terakhir dicabut dengan UU No. 23 Tahun 2014 diundangkannya UU 23 tahun
2014 ini tertanggal 2 Oktober 2014 oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia
dan masuk dalam lembaran negara tahun 2014 nomor 244. Beberapa peristilahan baru
seperti urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, dan tidak
berkaitan pelayanan dasar sebagaimana Pasal 12 ayat (1) dan (2) sebutkan yang ada
pada UU 23 Tahun 2014. Semangat inovasi dibangun untuk dilaksanakan di daerah
sesuai pasal 386 dengan mendasar pada pasal 387 peningkatan efisiensi, perbaikan
efektifitas, perbaikan kualitas pelayanan, tidak ada konflik kepentingan, dilakukan
terbuka, memenuhi nilai kepatutan, dan dapat dipertanggungjawabkan tidak untuk
kepentingan diri sendiri.
15
Jiwa Atmaja, Ed, 2002, Otonomi Daerah Bali, Kendala dan Harapan, Ikayana & Tabloid
Taksu, Bali, h. 173.
31
Dikenal juga adanya paradigma kecamatan dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan umum diberikan anggaran dari APBN dari pusat seperti dikenal dalam
pasal 25 yaitu pembinaan kesatuan bangsa, pembinaan antar suku, penanganan konflik,
koordinasi lintas instansi, pengembangan demokrasi, dan semua urusan pemerintahan
terutama yang berorientasi pada pelayanan publik. Pun juga terjadi pada kelurahan, jika
pada UU 32 tahun 2004 posisi kelurahan merupakan sub ordinat langsung di bawah
Bupati, tetapi pada UU 23 Tahun 2014 Kelurahan di bawah struktur kecamatan.
Sehingga berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang mengacu pada disentralisasi Daerah Provinsi. Dimana desentralisasi dimaksud
sebagai pelimpahan kekuasaan dari pusat kepada daerah-daerah untuk mengurus rumah
tangganya sendiri.
Selanjutnya Menurut Webster di dalam kamusnya merumuskan sebagai berikut :
Desentralisasi berarti membagi dan mendistribusikan, misalnya administrasi
pemerintahan, mengeluarkan dari pusat atau konsentrasi.” (To decentralize means
to devide and distribute, as governmental administration, to withdraw from the
center or of concentration).16
Hal tersebut tidak terlepas dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18
sebagai dasar, bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantu. Dengan
demikian Pemerintah Daerah mempunyai fungsi khusus baik fungsi Otonom maupun
fungsi Medebewind/ tugas pembantu, yaitu :
16
Victor M. Situmorang dan Cormentya Sitanggang, 1994, Hukum Administrasi Negara
Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, h. 40.
32
1. Fungsi Otonom :
a. Wewenang Pemerintah Daerah untuk membina urusan rumah tangga daerah dan
Pemerintah Daerah otonom yang lebih rendah.
b. Wewenang untuk bersama Dewan Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD)
Menetapkan Peraturan Daerah, menyusun Anggaran Belanja Daerah (APBD)
dan lain sebagainya.
2. Kegiatan atau Fungsi Madebewind/Tugas pembantu :
a. Kegiatan atau Fungsi Pemerintah Umum dalam hal, menjaga serta melakukan
inisiatif agar dilaksanakan serta ditaatinya seluruh peraturan daerah oleh seluruh
Badan dan Aparatur Pemerintahan di masing-masing instansi, maupun oleh
setiap warga masyarakat.
b. Fungsi Keamanan dan Ketertiban.
c. Fungsi Pembinaan Hansip dan Wanra/Polisi Pamong Praja.
d. Pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang Gangguan/Hider Ordonansi.
sebagai penjagaan terhadap pencemaran lingkungan.17
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi yang seluas-luasnya
dalam arti Daerah diberikan wewenang mengurus dan mengatur semua urusan
Pemerintah di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-
undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Kebijakan dimaksud salah satunya
17
Ibid.
33
adalah dengan dibuatnya peraturan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli
mengenai Pasal 30 Huruf d, terhadap Perlindungan kawasan setempat dalam halnya
mengenai larangan pendirian bangunan di sempadan jurang, karena kawasan tersebut
merupakan Dinding Kaldera Gunung Batur sebagaimana dimaksud dalam Perda
Kabupaten Bangli Nomor 9 Tahun 2013, Pasal 77 Ketentuan umum peraturan zonasi
kawasan sempadan jurang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) huruf d.
Ketentuan umum peraturan zonasi ruang terbuka hijau dan ruang terbuka hijau
kota (RTHK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) huruf f, Pasal 79 ayat (1)
penetapan kawasan ruang terbuka hijau. Dan pada Pasal 79 ayat (2) pengaturan ruang
terbuka hijau huruf e meliputi pemanfaatan taman pekarangan perumahan, halaman
perkantoran, halaman pertokoan dan halaman tempat usaha lainnya sebagai ruang
terbuka hijau dengan proporsi tertentu sesuai luas lahan dan persyaratan Koefisien
Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Dasar Hijau (KDH) yang ditetapkan.
Selanjutnya pada Pasal 79 ayat (2) huruf f meliputi pendirian bangunan pada RTH pada
ruang terbuka dibatasi hanya untuk bangunan penunjang kegiatan sosial, rekreasi, olah
raga, pertanian, dan keagamaan.
Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam, kawasan
tanah longsor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) huruf a, dilaksanakan
dalam rangka mitigasi dan adaptasi. Dari beberapa zonasi ruang yang dimaksud adalah
merupakan tempat-tempat yang tidak boleh untuk dibuat/mendirikan bangunan.
Pemerintah Kabupaten Bangli dalam menegakkan Peraturan Daerah tidaklah dapat
menerapkan aturan-aturan atau atau paksaan secara sewenang-wenang atau
34
bertentangan dengan hukum. Pemerintah Kabupaten Bangli dalam setiap tindakannya
wajib menjaga keseimbangan perlindungan antara kepentingan umum dan kepentingan
perorangan atau hak-hak masyarakat. Pelanggaran atas kewajiban ini dapat melahirkan
adanya sikap tindakan aparat Pemerintah Kabupaten Bangli yang melanggar hukum.
Kedua bentuk sikap tindakan Pemerintah itu bila merugikan masyarakat akan dapat
menjadi sebab timbulnya sengketa Tata Usaha Negara. Untuk itu kerugian yang dialami
oleh masyarakat dapat menempuh berbagai sarana perlindungan berupa upaya
administratif dan melalui peradilan administrasi murni.
Upaya administratif ialah suatu prosedur yang ditempuh oleh seseorang atau
badan hukum Perda yang tidak puas terhadap sikap tindak Pemerintah Daerah dalam
penerapan aturan atau paksaan Pemerintah. Prosedurnya dilaksanakan dilingkungan
Pemerintahan itu sendiri serta atas dua bentuk, yaitu prosedur keberatan dan banding
administratif. Keberatan diajukan kepada Pemerintah Daerah atau instansi lain. Bila
melalui upaya administratif belum dapat terselesaikan, Pasal 48 ayat (2) jo Pasal 51 ayat
(3) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
memberikan wewenang kepada orang atau badan hukum perdata untuk menyelesaikan
melalui Badan Peradilan Tata Usaha Negara, dengan catatan persyaratan yang
ditentukan untuk dapat berpekara melalui badan peradilan ini harus dipenuhi.
Di satu pihak untuk berperkara melalui jalur Peradilan Tata Usaha Negara tidak
selalu melalui jalur upaya administratif, bilamana persyaratan itu tidak ditentukan
secara tegas untuk menyelesaikan sengketa atau perkara tersebut terlebih dahulu
sebelum diajukan ke badan Peradilan Administrasi Murni.
35
1.8. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akurat dalam mencari jawaban yang tepat atas
permasalahan yang diajukan oleh penulis, serta untuk mempertanggungjawabkan
keilmiahannya, maka untuk mendapatkan data guna menguraikan masalah. Dalam
rangka menyatakan pikiran secara tertulis dan agar memiliki bobot ilmiah maka
diperlukan adanya pendekatan tertentu yang dalam penulisannya menggunakan metode
yaitu sebagai berikut :
a. Jenis Penelitian
Pada penulisan ini, dalam upaya mengkaji dan mencari pemecahan terhadap
masalah yang dikemukakan, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
Hukum Empiris. Penelitian hukum empiris artinya suatu penelitian dengan mengkaji
permasalahan berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan dan penelitian ini didasarkan
dari data primer. penelitian hukum sosiologis atau empiris terutama meneliti data
primer.18
Istilah lain yang digunakan pada penelitian hukum empiris adalah “penelitian
hukum sosiologis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan, karena bertitik
tolak dari data primer, yaitu data yang di dapat langsung melalui penelitian lapangan.
Penelitian lapangan dilakukan melalui pengamatan (observasi), wawancara ataupun
kuisioner.19
Orientasi pengkajiannya menitik beratkan mengenai pengaturan persetujuan
prinsip membangun dan izin pemanfaatan ruang mendirikan bangunan di daerah
komersial rawan bencana alam yang merupakan kawasan perlindungan setempat yaitu
sempadan jurang dan jalur hijau di Jalan Raya Penelokan Kintamani, upaya Pemerintah
18
Ronny HanitijoSoemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 9. 19
Bambang Wahyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 16.
36
Kota Bangli dalam penegakan hukum akan ijin bangunan di sempadan jurang tersebut,
karena sebagai kawasan jalur hijau terbuka publik, yakni dalam suatu penelitian yang
beranjak dari adanya kesengajaan das solen dengan das sein yaitu adanya kesenjangan
antar praktek dan teorinya, kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum,
dan atau adanya situasi ketidak tahuan yang dikaji untuk pemenuhan kepuasan
akademik. 20 Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian ini
akan diawali dari teknik pengumpulan data sampai data dengan teknik analisis data,
dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut :
b. Jenis Pendekatan
Sebuah karya tulis ilmiah agar dapat mengungkapkan kebenaran jawaban atas
permasalahan secara sistematis, metodologis, dan konsisten serta
dipertanggungjawabkan keilmiahannya, hendaknya disusun dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan yang tepat. Dalam penelitian ini hukum terdapat beberapa
pendekatan, antara lain pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan
kasus (case approach), pendekatan historis, pendekatan komparatif, dan pendekatan
koseptual.21
Dalam hal ini permasalahannya dari Penerapan Perda Pasal 30 Huruf d jo
Huruf f terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangli yang termasuk dalam
pendekatan hukum empiris, sehingga data yang diperlukan dapat diperoleh dari
informan-informan, wawancara dengan bagian tata ruang Bappeda Bangli sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangli yang diambil oleh peneliti. Pendekatan
perundang - undangan (statute approach) adalah metode penelitian dengan menelaah
20
Fajar Mukti dan Yuliono Ahmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 112. 21
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum,Prenada Media Group, Jakarta,h. 93.
37
semua undang-undang, memahami hirarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-
undangan. Dikatakan bahwa pendekatan perundang-undangan berupa legislasi dan
regulasi yang dibentuk oleh Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara
umum.22
c. Sifat Penelitian
Adapun sifat penelitian dalam skripsi ini yaitu penelitian yang sifatnya
deskriptif. Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan secara tepat sifat-
sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan
penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu
gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penelitian ini teori, ketentuan
peraturan, norma-norma hukum, skripsi yang dimuat baik dalam literatur maupun
jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada dan bahkan
jumlahnya cukup memadai.23
24d. Data dan Sumber Data
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data yang berasal
dari penelitian langsung untuk mendapatkan data yang nyata. Adapun data yang
dipergunakan dalam penelitian ini antara lain :
a. Bahan Hukum Primer
b. Bahan Hukum Sekunder
c. Bahan hukum Tersier
22
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h..
97. 23
Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Udayana University Press, Denpasar, h. 81.
38
a. Bahan Hukum Primer yaitu pangkal tolak dari pendekatan masalah yang ada maka
dalam penulisan skripsi ini terdapat bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan
hukum Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian
lapangan (field research) yang di dalam pokok hal ini adalah hasil wawancara
dengan informan, maupun hasil wawancara kepada bagian tata ruang Bappeda
Bangli. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.25
Dalam hal ini data primer yang diperoleh adalah penelitian yang dilakukan di :
a. Bappeda Kab. Bangli yaitu wawancara dengan staff ahli yang dalam hal ini
berperan untuk pelayanan dan informasi.
b. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kab. Bangli yaitu wawancara
dengan Pegawai dan staff ahli yang dalam hal ini berperan memberikan
pelayanan dan informasi dalam penegakan Perda Kab. Bangli Tentang
Rencana Tata Ruang.
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari membaca buku-buku hukum
kepustakaan, literatur, dokumen-dokumen hasil penelitian, pendapat para pakar
(doktrin), jurnal-jurnal hukum serta peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan permasalahan yang diangkat serta dapat memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer untuk menunjang penulisan dan hasil karya ilmiah. Bahan
Hukum Sekunder ini juga merupakan bahan-bahan yang isinya membahas bahan
primer, seperti buku, artikel, laporan penelitian, berbagai karya tulis ilmiah lainnya.26
25
Peter Mahmud Marzuki,op.cit. h. 30 26
Peter Mahmud Marzuki, loc. cit
39
Adapun dalam penelitian ini juga menggunakan berupa peraturan perundang-undangan
yang berlaku terkait dengan permasalahan yang diangkat yaitu :
a. Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang - Undang Nomor. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
c. Undang- Undang Nomor. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 1 Tahun 2007, Tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.
e. Peraturan Mentri Dalam negeri Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2010
tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan.
f. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor. 16 Tahun 2009, Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029.
g. Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor. 9 Tahun 2013, Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangli Tahun 2013-2033.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk yang
bersifat menunjang maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, seperti kamus, buku pegangan, encyclopedia dan karya tulis
lainnya baik diterbitkan maupun yang tidak ditertibkan.
e. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
dilakukan melalui beberapa cara yaitu :
1. Teknik dokumentasi berupa suatu metode pengumpulan data dengan membaca
literatur-literatur, dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah-masalah
yang terkait dalam perencanaan tata ruang. Dan pengumpulan studi dokumen yaitu
dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.
2. Teknik wawancara yaitu sebuah teknik pengumpulan data dengan mengadakan
wawancara dengan para pihak yang terkait yaitu kepada informan maupun hasil
wawancara kepada bagian Tata Ruang Bappeda Bangli, guna untuk mendapatkan
40
informasi dengan melakukan tanya jawab secara lisan terkait dengan pokok-pokok
permasalahannya yang ada pada Pemerintah Kabupaten Bangli. Terkait dalam
kawasan perlindungan setempat penulis mencari informan untuk nantinya
memperoleh informasi yang dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan
yang akan dibahas dalam skripsi ini. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan-
pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan
dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan.
f. Teknik Analisis
Berkaitan dengan penelitian ini untuk menganalisis data yang telah diperoleh di
lapangan, dengan hasil peneliti yang sudah terkumpul, mengadakan teknik-teknik
analisis deskriptif kualitatif yaitu dengan menganalisis data-data yang diperoleh dari
wawancara dalam arti keseluruhan data yang terkumpul diklasifikasikan sedemikian
rupa kemudian diambil yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan
dibahas. Akhirnya akan diperoleh kesimpulan yang menjawab semua permasalahan
yang diajukan. Setelah data tersebut semua diolah, selanjutnya pembahasannya
disajikan secara analisis deskritif yaitu dengan memaparkan secara lengkap dan
mendetail aspek-aspek tertentu yang bersangkut paut dengan masalah, diberikan uraian-
uraian dan disajikan secara berurutan sesuai dengan data yang diperoleh yang pada
akhirnya menjadi suatu skripsi.27
27
Universitas Udayana,op.cit, h. 87.