bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/44645/2/bab i.pdf · 2...

28
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsekuensi logis dari sebuah interaksi yang terjadi di antara kelompok- kelompok masyarakat adalah konflik. Ada beberapa faktor yang bisa memicu terjadinya konflik, salah satunya adalah masalah ketimpangan ekonomi yang berdampak pada munculnya kecemburuan sosial terhadap pihak tertentu yang meliputi ketimpangan ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama. Munculnya ketimpangan-ketimpangan tersebut menyebabkan adanya keinginan masyarakat di dalam suatu negara untuk membentuk satu otoritas sendiri dalam mengatur wilayahnya serta keinginan tersebut ditunjukkan dengan adanya gerakan-gerakan perlawanan dan pemberontakan oleh masyarakat yang merasa dirinya dirugikan. 1 Berkaitan dengan penjelasan diatas, akar konflik di Thailand yang melibatkan muslim Thailand Selatan dengan Pemerintah dapat dirunut sejak dimulainya proses penggabungan Wilayah Patani 2 ke dalam wilayah Thailand. Sejak ditanda tanganinya perjanjian pembagian wilayah antara pihak kerajaan Inggris dan kerajaan Siam tahun 1902 (Anglo-Siam Treaty) yang isinya 1 Wisnu Suhardono, Resolusi dan Konflik, Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, Vol.II No.1, Juni 2015, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hal. 2 diakses dari https://studylibid.com/doc/12312/konflik-dan-resolusi-konflik-dan-resolusi----wisnu- suhardono (26/09/2018.15.30 WIB) 2 Wilayah Patani pada awalnya mencakup suatu wilayah kesultanan yang cukup luas, Patani yang dimaksud merujuk pada sebuah Negeri Patani Besar (Patani Raya) meliputi wilayah-wilayah Narathiwat (Teluban), Yala (Jalor) dan sebagian Senggora (Songkhla, daerah-daerah Sebayor dan Tibor) bahkan Kelantan, Kuala Trengganu dan Pethalung (Petaling).

Upload: truongdien

Post on 15-May-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsekuensi logis dari sebuah interaksi yang terjadi di antara kelompok-

kelompok masyarakat adalah konflik. Ada beberapa faktor yang bisa memicu

terjadinya konflik, salah satunya adalah masalah ketimpangan ekonomi yang

berdampak pada munculnya kecemburuan sosial terhadap pihak tertentu yang

meliputi ketimpangan ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama. Munculnya

ketimpangan-ketimpangan tersebut menyebabkan adanya keinginan masyarakat di

dalam suatu negara untuk membentuk satu otoritas sendiri dalam mengatur

wilayahnya serta keinginan tersebut ditunjukkan dengan adanya gerakan-gerakan

perlawanan dan pemberontakan oleh masyarakat yang merasa dirinya dirugikan.1

Berkaitan dengan penjelasan diatas, akar konflik di Thailand yang

melibatkan muslim Thailand Selatan dengan Pemerintah dapat dirunut sejak

dimulainya proses penggabungan Wilayah Patani2 ke dalam wilayah Thailand.

Sejak ditanda tanganinya perjanjian pembagian wilayah antara pihak kerajaan

Inggris dan kerajaan Siam tahun 1902 (Anglo-Siam Treaty) yang isinya

1 Wisnu Suhardono, Resolusi dan Konflik, Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, Vol.II No.1,

Juni 2015, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hal. 2 diakses dari

https://studylibid.com/doc/12312/konflik-dan-resolusi-konflik-dan-resolusi----wisnu-

suhardono (26/09/2018.15.30 WIB) 2 Wilayah Patani pada awalnya mencakup suatu wilayah kesultanan yang cukup luas, Patani yang

dimaksud merujuk pada sebuah Negeri Patani Besar (Patani Raya) meliputi wilayah-wilayah

Narathiwat (Teluban), Yala (Jalor) dan sebagian Senggora (Songkhla, daerah-daerah Sebayor dan

Tibor) bahkan Kelantan, Kuala Trengganu dan Pethalung (Petaling).

2

menempatkan wilayah Patani bukan sebagai sebuah kerajaan Melayu lagi akan

tetapi merupakan wilayah kerajaan Siam, masyarakat Patani telah terintegrasi

menjadi bagian dari masyarakat Thailand.3

Beberapa kebijakan yang terjadi pada awal proses integrasi adalah transisi

praktek asimilasi dari segi bahasa dan kebudayaan,4 seperti larangan penggunaan

bahasa Melayu, larangan mengajar agama Islam di sekolah serta ada tindakan

represif dari aparat negara terhadap protes masyarakat Thailand Selatan seperti

pelanggaran hak asasi manusia, pembunuhan diluar prosedur hukum dan

penghilangan paksa. Dari kebijakan dan tindakan yang diksriminatif terhadap

muslim Thailand Selatan berefek pada munculnya gerakan perlawanan dan

separatisme dengan menentang dan melakukan aksi pemberontakan.5

Beberapa gerakan perlawanan yang muncul dan berkembang kemudian

adalah Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP), Barisan Revolusi Nasional

(BRN), Patani United Liberation Organisation (PULO). Gerakan perlawanan dan

kelompok separatisme ini terbagi kedalam berbagai macam tujuan dan motif

perjuangan.6

Pemerintah pusat Thailand. yang sedang berkuasa menggunakan metode

yang berbeda-beda dalam melakukan penanganan terhadap konflik, ada yang

3 Paulus Rudolf Yuniarto, MINORITAS MUSLIM THAILAND Asimilasi, Perlawanan Budaya dan

Akar Gerakan Separatisme, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 7 No. 1, (2005), hal 91,

diakses dari http://jmb.lipi.go.id/index.php/jmb/article/view/213/193 (26/09/2018.16.10

WIB) 4 Kebijakan asimilasi dilatarbelakangi oleh semangat nasionalisme Thailand, yang berusaha

mengonstruksikan nilai-nilai kebangsaan Thailand pada tiga asas utama; 1) satu agama 2) satu

kerajaan 3) tunduk pada kekuasaan raja. Nasionalisme ini didasarkan pada kebesaran kerajaan

Siam dan dominasi mayoritas etnis Thai yang beragama Buddha. 5 Sejarah Kelam Thailand dan Perjuangan Masyarakat Patani diakses dari

http://www.bantuanhukum.or.id/web/sejarah-kelam-thailand-dan-perjuangan-masyarakat-patani/.

(26/09/2018.16.50 WIB) 6 Ibid

3

menggunakan pendekatan akomodatif untuk menampung aspirasi masyarakat

Thailand Selatan dan ada pula yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk

meredam gejolak di Thailand Selatan. Pada era Thaksin Shinawatra menjabat

(2000-2006) sebagai perdana menteri, pada tanggal 1 mei 2002 Thaksin

mengeluarkan kebijakan untuk mencabut institusi SBPAC (Southern Border

Province Administration Center) dan CPM (Civil Police Military) 437 dengan

alasan penghematan anggaran negara. Keputusan untuk menghapus kedua

institusi tersebut membuat masyarakat Thailand Selatan kecewa sehingga

tindakan kekerasan kembali memuncak dan situasi semakin bertambah kacau

karena Thaksin melalukan metode kekerasan dalam merespon tindakan para

separatis dan pemberontak.8

Eskalasi kekerasan memuncak pada tahun 2004, ditandai dengan berbagai

aksi protes yang dilancarkan sehingga menimbulkan ketegangan yang terjadi

hampir diseluruh wilayah Thailand Selatan. Mobilisasi massa serta serangan-

serangan yang dilakukan gerakan separatis dan para pemberontak semakin

terarah, terkoordinasi, berkembang dan meluas kepada pemerintah Thailand. Para

pemberontak tidak hanya menyerang aparatur negara dan infrastruktur pemerintah

saja, mereka juga melakukan serangan dan pengeboman di ruang-ruang publik

seperti di sekolah-sekolah, pasar, terminal dan stasiun sehingga mengakibatkan

7 SBPAC dan CPM 43 adalah lembaga yang dibentuk oleh mantan perdana menteri Prem

Tinsulanonda, kedua lembaga ini dibentuk sebagai upaya untuk mereda dan menyelesaikan konflik

karena kedua lembaga ini bersifat persuasif dan populis guna menjamin keamanan dan lancarnya

proses komunikasi masyarakat Thailand Selatan dengan pemerintah pusat thailand. meskipun tidak

bisa mengatasi konflik secara keseluruhan, lembaga ini setidaknya mampu mengurangi peristiwa

kekerasan yang acap kali terjadi. Beberapa efek manfaat dari dua lembaga ini yaitu banyak

anggota separatis yang menyerahkan diri ke pemerintah serta pendudukan Thailand Selatan merasa

terakomodir karena ada wadah yang mau mendengar dan menampung aspirasi mereka. 8 Yulia Kusumawardani. 2012. Pengaruh Hubungan Raja-Militer Di Thailand Terhadap

Konstitusi 2007. Skripsi. Depok: Departemen Ilmu Politik. Universitas Indonesia. Hal. 47-48.

4

jatuhnya korban dari masyarakat sipil. Akibat dari aksi pemberontakan dengan

jalan kekerasan ini telah menimbulkan kecemasan dan teror bagi masyarakat

Thailand Selatan yang lain sehingga pemerintah Thailand perlu melakukan

tindakan guna merespon gerakan pemberontakan yang terjadi di wilayahnya

tersebut.9

Reaksi yang dilakukan pemerintah Thailand menimbulkan dua peristiwa

kekerasan, yang pertama adalah serangan terhadap Masjid Krue Se dan yang

kedua adalah insiden kekerasan di Tak Bai di Thailand Selatan. Dua peristiwa

kekerasan ini menewaskan ratusan Muslim Thailand Selatan sehingga pemerintah

Thailand mendapat sorotan dan kecaman dari dunia Internasional.10

Pada September 2006, PM Thaksin Shinawatra dikudeta oleh militer

Thailand, Jenderal Surayud Chulanont yang menggantikannya menjanjikan

adanya sebuah perbaikan dan memohon maaf kepada masyarakat Thailand

Selatan atas kesalahan penanganan konflik pemerintah sebelumnya. PM Surayud

Chulanont berjanji akan menggunakan pendekatan baru yang damai untuk

menandai bergesernya kebijakan pemerintah dalam menangani konflik di

Thailand Selatan.11

Situasi konflik yang terus bergejolak ini menjadi beban tersendiri bagi

pemerintah Thailand sebab konflik ini dapat menggangu stabilitas nasional dan

9 Gede Richard Praudita, Idin Fasisika, Putu Titah Kawatri Resen, 2015, Tindakan Pemerintah

Thailand dalam merespons Gerakan Etnonasionalise di Thailand Selatan Tahun 2004-2006,

Jurnal Hubungan Internasional Universitas Udayana Vol.1, No. 03, hal. 2-3, diakses dari

http://garuda.ristekdikti.go.id/journal/article/338236 (26/09/2018.17.00 WIB) 10

Dunia Kecam Thailand atas Kasus Kematian Muslim di Tak Bai diakses dari

https://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2004/10/28/2683/dunia-kecam-

thailand.html (27/09/2018.03.33 WIB) 11

Analisis Kunjungan PM Thailand ke Selatan diakses dari

http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2006/11/061102_pattaniconflict.shtml

(27/09/2018.23.35 WIB)

5

regional Asia Tenggara. Dengan kondisi demikian, pemerintah Thailand

mencoba untuk mencari solusi menggunakan peranan pihak ketiga sebagai

penengah. Indonesia sebagai negara yang berdekatan dengan Thailand serta

berdasarkan amanat dari Pembukaan UUD 1945 untuk menjaga perdamaian abadi

maka perlu melibatkan diri dalam mencari solusi damai agar konflik di Thailand

Selatan tidak menyebabkan kerugian, kerusakan dan segala dampak negatif secara

lebih banyak.

Awal mula keterlibatan Indonesia adalah pada saat Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono (SBY) menerima kunjungan dari PM Thailand Surayud

Chulanont di Jakarta pada 21 Oktober 2006, selain sebagai kunjungan

perkenalan PM Surayud sebagai pemimpin baru di Thailand, kedua belah pihak

juga membicarakan tentang dinamika konflik yang terjadi di Thailand Selatan,

pada kesempatan itu juga Surayud meminta dilakukan pertukaran kunjungan

tokoh-tokoh Islam antar kedua negara. Presiden SBY menyambut baik rencana

Thailand untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai, presiden

SBYmenyatakan solusi militer tidak akan menyelesaikan konflik dan Indonesia

siap membantu Thailand untuk menyelesaikan konflik di Thailand Selatan.12

Menindaklanjuti atas pertemuan itu, PM Thailand mengundang tokoh

Islam dari Indonesia dan juga sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah yaitu

Prof. H. Din Syamsuddin. Dalam lawatan tiga hari ke Thailand pada Juli 2007,

Din Syamsuddin bertemu dengan PM Thailand Surayud Chulanont di kantor

Perdana Menteri di Bangkok. Pada pertemuan itu PM Surayud mengungkapkan

12

SBY Temui Perdana Menteri Thailand diakses dari https://news.detik.com/berita/d-699564/sby-

temui-pm-thailand (28/09/2018.16.50 WIB)

6

kebanggaannya kepada Muhammadiyah karena berperan besar dalam

mencerdaskan kehidupan bangsa melalui kegiatan pendidikan dan sosial, oleh

sebab itu PM Surayud meminta Muhammadiyah agar membantu pendidikan

kalangan umat Islam di bagian Thailand Selatan..13

Pemerintah Thailand meminta bantuan terhadap berbagai pihak, termasuk

organisasi non pemerintah (NGO) dalam melakukan kerjasama guna

menyelesaikan konflik di Thailand Selatan termasuk juga Muhammadiyah.

Berdasarkan pada pengalamannya dalam mengelola pendidikan, pelayanan

kesehatan, dan pemberdayaan sosial, Muhammadiyah bisa mengirim guru,

mubaligh, mahasiswa untuk melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat di

Thailand Selatan. Selain itu, Muhammadiyah ambil bagian dari aktor

Internasional non negara yang berperan aktif menjadi mediator, fasilitator bagi

penyelesaian konflik di berbagai negara, terkhusus pada negara-negara yang

bersentuhan identitas atau nilai Islam.14

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk meneliti terkait peran

Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang berbasis

di Indonesia dalam mengatasi permasalahan konflik di Thaiand Selatan, terutama

dalam hal pemberdayaan dan pembangunan sumberdaya masyarakat melalui

perannya sebagai organisasi non pemerintah atau Non Govermental Organization

(NGO).

13

Din Syamsudin Bakal Bertandang Ke Thailand Selatan diakses dari

http://news.detik.com/berita/809478/din-syamsuddin-bakal-bertandang-ke-thailand-selatan

(28/09/2018.18.01 WIB) 14

Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin, MA: Muhammadiyah Ikut Mendamaikan Konflik

Internasional diakses dari http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/01/14/prof-dr-hm-din-

syamsuddin-ma-muhammadiyah-ikut-mendamaikan-konflik-internasional/3/. (28/09/2018.22.05

WIB)

7

1.2 Rumusan Masalah

Dengan mengacu pada latar belakang masalah, peneliti menjadikan

rumusan masalah yaitu “Bagaimana peran Muhammadiyah dalam mengatasi

konflik di Thailand Selatan?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a. Motivasi Muhammadiyah ikut serta dalam membantu persoalan

konflik di Thailand Selatan.

b. Strategi yang diterapkan Muhammadiyah bersama Pemerintah

Thailand agar bisa diterima oleh masyarakat di Thailand Selatan.

c. Peran Muhammadiyah dalam mengatasi konflik dan membangun

perdamaian di Thailand Selatan

1.3.2 Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua manfaat, yaitu manfaat secara akademis

dan manfaat secara praktis. Berikut penjelasan dari dua manfaat tersebut:

a. Manfaat Akademis

Dengan adanya penelitian ini maka akan memperluas wacana dan kajian

dalam ilmu Hubungan Internasional yang terfokus pada pendekatan mikro yaitu

proses pembentukan persepsi dan rasionalitas peran dari organisasi Non-

Govermental Organization (NGO) melalui Muhammadiyah dalam menangani

permasalahan konflik yang terjadi di Thailand Selatan

8

b. Manfaat Praktis

Penulis berharap dengan adanya penelitian ini akan menambah wawasan

para pembaca, baik mahasiswa maupun umum dengan temuan-temuan yang ada

dalam penelitian ini sehingga dapat menjadi interpretasi tersendiri serta dapat

dilanjutkan dalam bentuk penelitian-penelitian lain yang sejenis untuk menambah

khazanah tentang solusi dalam menangani konflik antar agama dan etnis yang

terjadi di regional Asia Tenggara.

1.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang menjadi bahan pertimbangan untuk menunjukan

antara penelitian yang sedang penulis teliti dengan penelitian-penelitian yang

pernah dilakukan sebelumnya. Adapun penelitian yang menjadi literatur review

dalam penelitian ini adalah pertama, skripsi yang ditulis oleh Shofa Al Farisi

Latief dengan judul Peran Muhammadiyah di Dunia Internasional (Studi Kasus:

Kontribusi Muhammadiyah Dalam Resolusi Konflik Mindanao.15

Dalam skripsi

ini dijelaskan tentang Peran Muhammadiyah dalam proses perdamaian konflik di

Mindanao. Dilihat dari sejarahnya, konflik Mindanao berawal ketika Republik

Filipina merdeka pada tahun 1946 atas bantuan negera kolonial, mayoritas warga

Islam Moro yang tinngal di pulau Mindanao menolak untuk menjadi bagian dari

negara baru itu, tapi permintaan mereka diabaikan oleh pihak pemerintah.

Konsekuensinya banyak hal yang terjadi sehingga membuat rakyat Mindanao

menderita dan menimbulkan ketimpangan ekonomi yang dialami Bangsa Moro

15

Shofa Al Farisi Latief. 2010, Peran Muhammadiyah di Dunia Internasional (Studi Kasus:

Kontribusi Muhammadiyah Dalam Resolusi Konflik Mindanao), Skripsi, Yogyakarta: Jurusan

Hubungan Internasional, FISIP-Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

9

yang mengakibatkan mereka terusir dari tanah kelahirannya, sehingga

memunculkan perlawanan dan gerakan separatisme.

Dengan kondisi seperti ini menjadi sebuah tantangan bagi Muhamamdiyah

untuk memberikan solusi yang tepat dalam mengatasi konflik Mindanao karena

Muhammadiyah merupakan satu-satunya organisasi Islam yang ditunjuk menjadi

anggota International Contact Group (ICG).

Ada kesamaan penelitian yang di atas dengan penelitian ini yaitu sama-

sama menganalisa terkait peran dari Persyarikatan Muhammadiyah dalam

mengatasi konflik yang terjadi di Asia Tenggara serta sumber konflik yang terjadi

juga relatif sama yaitu adanya ketimpangan sosial, ekonomi, budaya dan agama

yang dialami kelompok minoritas (Pattani dan Mindanao) sehingga berakibat

munculnya konflik.

Penelitian terdahulu selanjutnya adalah skripsi tulisan Yurisa Irawan

dengan judul Strategi Resolusi Konflik Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam

Konflik Thailand Selatan..16

Dalam skripsi ini dijelaskan tentang OKI sebagai

organisasi internasional yang mewadahi negara-negara Islam yang juga berfokus

kepada permasalahan minoritas Muslim di wilayah non-anggota menaruh

perhatian lebih kepada konflik yang terjadi di Thailand Selatan, keterlibatan OKI

dimulai pada tahun 2005, disini OKI berperan sebagai pihak yang melaksanakan

resolusi konflik.

Kesamaan penelitiannya ada di level analisa perilaku kelompok terkait

peran organisasi yang terlibat dalam hubungan internasional dan perbedaanya

16

Yurisa Irawan. 2016, Strategi Resolusi Konflik Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam

Konflik Thailand Selatan, Skripsi, Padang, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP

Universitas Andalas.

10

diaspek unit analisanya, yang menjadi unit analisa dalam penelitian ini adalah

strategi resolusi konflik Organisasi Kerjasama Islam (OKI) tentang sejauh mana

strategi-strategi yang digunakan OKI untuk menanggulangi konflik di Patani

Thailand Selatan, sedangkan dalam penelitian yang sedang penulis kerjakan ini

unit analisanya adalah terkait Peran Organisasi Muhammadiyah yang mana

menjadi titik tekannya adalah sejauh apa kontribusi yang Muhammadiyah berikan

dalam penanggulangan konflik di Patani.

Penelitian terdahulu selanjutnya adalah buku tulisan dari Ahmad Suaedy

dengan judul Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai;Peran Civil

Society Muslim di Thailand Selatan dan Filipina Selatan.17

Dalam buku ini

dijelaskan tentang peran civil society Muslim di Thailand Selatan dalam mencari

jalan damai dari konflik yang berkepanjangan di negara Thailand. Dengan

menguatnya gerakan civil society yang berorientasi membangun perdamaian

menambah motivasi masyarakat Muslim Thailand Selatan untuk melakukan

negoisasi secara damai dikarenakan gerakan ini berdiri relatif objektif dan

diharapkan bisa dipercaya oleh berbagai pihak. Kelompok-kelompok civil society

Muslim ini biasa melakukan gerakanya dengan advokasi informasi melalui jalur

public sphere, yaitu hak-hak berekspresi dan berkumpul, pemberdayaan ekonomi

masyarakat, peran perempuan serta penguatan aspirasi politik dan pendidikan.

Kesimpulan yang dapat diambil dari buku ini adalah kelompok-kelompok

civil society mengambil cara strategis non-partisan atas kelompok-kelompok

separatis yang sudah ada, mereka lebih menekankan metode penyadaran

17

Ahmad Suaedy, 2012, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai;Peran Civil Society

Muslim di Thailand Selatan dan Filipina Selatan, Jakarta, Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dan CISEAS-The Wahid Institute

11

masyarakat melalui penguatan ekonomi dan partisipasi politik ketimbang

mobilisasi masyarakat masyarakat untuk membentuk pasukan yang bersenjata.

Mereka memanfaatkan keterbukaan untuk mengungkapkan agenda dan misinya

kepada publik maupun melalui pengembangan masyarakat secara langsung.

Tumbuhnya gerakan sosial ini mencoba mengambil posisi netral secara politik

namun tetap mengangkat aspirasi substantif masyarakat Thailand Selatan dalam

menuntut keadilan dan kesetaraan.

Persamaan buku ini dengan tulisan yang sedang peneliti kerjakan ini ada

di aspek bagaimana peran dari organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan (civil

society) dalam menyelesaikan konflik serta menanggulangi korban konflik di

Thailand Selatan. Perbedaanya adalah dalam buku ini yang menjadi titik fokusnya

berada pada peran civil society yang dibentuk oleh internal masyarakat Thailand

Selatan, sedangkan titik fokus dalam riset yang sedang peneliti kerjakan adalah

pada peran organisasi Muhammadiyah yang notabene bukan berdiri dan

berkembang di Thailand akan tetapi di Indonesia, akan tetapi Muhammadiyah

memiliki komitmen yang kuat untuk membangun perdamaian di Asia Tenggara

termasuk di Thailand Selatan.

Penelitian terdahulu selanjutnya adalah jurnal karya tulisan dari Eka

Wijaya dan Yantos,18

dalam jurnal ini dijelaskan mengenai TAF sebagai salah

satu aktor international non goverment organization (INGO) yang bergerak di

sektor pembangunan di Thailand dalam membantu proses penyelesaian konflik di

18

Eka Wijayanti dan Yantos, Peran TAF (The Asia Foundation) dalam Proses Penyelesaian

Konflik Thailand Selatan, International Society, Vol. 1, No.1, Agustus 2014,

Pekanbaru:Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru, diakses dari

http://jurnal.univrab.ac.id/index.php/is/article/view/19/14 (26/09/2018.18.00 WIB)

12

Thailand Selatan. TAF mulai aktif di Thailand pada 1954, organisasi ini

mempunyai misi pembangunan perdamaian, keadilan dan kesejahteraan di

wilayah Asia salah satunya di Thailand.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah peran TAF

sebagai peacebuilder di Thailand Selatan mampu berkontribusi dalam

memulihkan hubungan masyarakat Muslim dan pemerintah, proses transformasi

konflik yang dilakukan oleh TAF tercermin dalam berbagai kegiatan

pemeliharaan identitas budaya dengan melakukan promosi terhadap budaya lokal,

meningktkan akses keadilan, dan memfasilitasi rencana perdamaian. Kegiatan ini

berangsur-angsur dapat mengubah persepsi antar pemerintah dengan masyarakat

Muslim menjadi positif. Upaya transformasi yang dilakukan menyasar pada 3

level yaitu level pemerintah, level LSM lokal dan tokoh-tokoh masyarakat, level

lapisan masyarakat.

Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang sedang penulis teliti

berada pada usaha untuk menganalisa dan menjelaskan peran organisasi atau

kelompok dalam menanggulangi permasalahan konflik di Thailand Selatan,

sedangkan aspek yang membedakan adalah TAF sebagai organisasi berbasis

berskala luas atau lintas negara sejak awal berdiri, sedangkan Muhammadiyah

adalah organisasi yang pada awal berdirinya hanya di ruang lingkup nasional

kemudian seiiring perkembanganya berupaya untuk merambah ke dunia

Internasional.

Penelitian terdahulu selanjutnya adalah skripsi tulisan dari Muh. Ardhi

Resky Pratama dengan judul Peran African Union Mission in Somalia (AMISOM)

13

dalam Upaya Resolusi Konflik di Somalia.19

Dalam skripsi ini menjelaskan

tentang peran dari African Union sebagai organisasi regional di benua Afrika

dalam mencari solusi berkaitan tentang permasalahan konflik di Somalia sebagai

bentuk peran dan tanggung jawabnya terhadap negara-negara anggota. Cara yang

dilakukan Uni Afrika dalam menanggulangi konflik itu dengan membentuk

sebuah program khusus untuk misi kemanusiaan dan perdamaian dengan

melibatkan negara-negara yang tergabung di Uni Afrika, program ini bernama

African Union Mission in Somalia.

Kesimpulan dari skripsi ini adalah AMISOM memperlihatkan kinerja yang

signifikan dalam bidang keamanan, terlepas dari hambatan-hambatan yang terjadi

baik dari eksternal atau internal. AMISOM dapat membebaskan beberapa wilayah

penting dari Al-Shabab seperti Kisayo dan Mogadishu dan wilayah itu menjadi

titik kunci pelaksanaan tugas pemerintahan transisi Somalia. AMISOM juga

berhasil menyediakan jalur yang diperlukan untuk penyaluran bantuan dari

negara-negara donatur maupun bantuan dari dunia internasional yang lainnya.

Persamaan skripsi ini dengan penelitian yang sedang penulis kerjakan

yaitu dalam aspek analisa mengenai peran dari organisasi dalam mengatasi

permasalahan konflik di suatu negara. Hal yang membedakannya adalah Uni

Afrika sebagai organisasi regional yang beranggotakan negara-negara yang ada di

benua Afrika, sedangkan Muhammadiyah adalah organisasi masyarakat sipil yang

bercirikan sosial keagamaan yang berusaha untuk menjunjung nilai-nilai

kemanusiaan universal

19

Muh. Ardhi Resky Pratama, 2015, Peran African Union Mission in Somalia (AMISOM) dalam

Upaya Resolusi Konflik di Somalia, Skripsi, Makasar, Jurusan Hubungan Internasional,

Universitas Hasanuddin.

14

Tabel. 1.1: Ringkasan Penelitian Terdahulu

No Nama Judul Penelitian Metode Hasil Penelitian

1 Shofa

Al

Farisi

Latief

Peran

Muhammadiyah di

Dunia Internasional

(Studi Kasus:

Kontribusi

Muhammadiyah

Dalam Resolusi

Konflik Mindanao

Kualitatif,

Pendekatan

Teori

Resolusi

Konflik

Peran yang dilakukan

Muhammadiyah dalam

menyelesaikan konflik di

Mindanao adalah

Muhammadiyah masuk

dalam Internasional Contact

Group (ICG) beranggotakan

empat negara (Inggris, Turki,

Arab Saudi dan Jepang) dan

empat NGOs

(Muhammadiyah,

Conciliation Resources, The

Hendry Dunant Center dan

Asia Foundation) yang

bertujuan sebagai mediator

untuk membantu

penyelesaian konflik antara

pemerintah Filipina dan

MILF. Peran-peran yang

dilakukan Muhammadiyah

antara lain adalah,

menghadiri dan mengawasi

negoisasi, melakukan

kunjungan dan bertukar

pandangan serta

mengirimkan tenaga-tenaga

ahli untuk membantu disana.

2 Yurisa

Irawan

Strategi Resolusi

Konflik Organisasi

Kerjasama Islam

(OKI) dalam

Konflik Thailand

Selatan

Kualitatif,

Pendekatan

Resolusi

Konflik;

Model

Respon

Resolusi

Konflik

Hourglass

Ditinjau dari model

Hourglass penelitian ini

menyimpulkan bahwa

strategi resolusi konflik yang

dilakukan OKI di Thailand

Selatan adalah: 1) Conflict

transformation, 2) Conflict

settlement dan 3) conflict

containment. Tujuannya

adalah mencegah agar

konflik kekerasan tidak

terulang kembali baik itu

mencegah secara mendalam

maupun secara ringan. Secara

umum keberhasilan OKI

melakukan starategi ini

15

berdampak efektif untuk

meredam konflik kedua belah

pihak, tinggal bagaimana

kedua belah pihak untuk

mengintensifkan dialog agar

saling memahami.

3 Ahmad

Suaedy

Dinamika

Minoritas Muslim

Mencari Jalan

Damai; Peran Civil

Society Muslim di

Thailand Selatan

dan Filipina

Selatan

Fenomenolo

gis, Peran

Civil

Society dan

Politik

Identitas

Kelompok-kelompok civil

society mengambil strategi

non-partisan atas kelompok-

kelompok separatis yang

sudah ada, mereka lebih

menekankan pada

penyadaran masyarakat

melalui penguatan ekonomi

dan artikulasi politik

ketimbang mobilisasi

masyarakat masyarakat untuk

membentuk pasukan dan

bersenjata. Dalam riset ini

juga menemukan bahwa

hubungan minoritas Muslim

Thailand Selatan telah

mengalami perkembangan

yang signifikan dalam

keterbukaan pada pemerintah

pusat Thailand, tetapi

keterbukaan itu belum cukup

untuk mengakomodasi

aspirasi substansial

masyarakat di Thailand

Selatan oleh sebab itu

diperlukan suatu perubahan

kebijakan yang bersifat

substansif pula bagi negara

nasional dan bahkan jika hal

itu menuntut adanya

perubahan Konstitusi untuk

memberikan tempat bagi

aspirasi yang bersifat

substantif minoritas di

Thailand Selatan.

4 Eka

Wijaya

dan

Yantos

Peran TAF (The

Asia Foundation)

dalam Proses

Penyelesaian

Konflik Thailand

Deskriptif-

analitis.

konsep

Internationa

l Non

Peran TAF sebagai

peacebuilder di Thailand

Selatan mampu berkontribusi

dalam memulihkan hubungan

masyarakat Muslim dan

16

Selatan Goverment

Organizatio

n, dan teori

Konflik,

Proses

Rekonsiliasi

,

Peacebuildi

ng

pemerintah. proses

transformasi konflik yang

dilakukan oleh TAF tertuang

dalam berbagai kegiatan

pemeliharaan identitas

budaya, mempromosikan

budaya lokal, meningktkan

akses keadilan, dan

memfasilitasi rencana

perdamaian. Kegiatan ini

sedikit demi sedikit

mengubah persepsi antara

pemerintah dengan

masyarakat muslim menjadi

positif. Upaya transformasi

yang dilakukan menyasar

pada 3 level yaitu level

pemerintah, level LSM lokal

dan tokoh-tokoh masyarakat,

serta level lapisan

masyarakat.

5 Muh.

Ardhi

Resky

Pratam

a

Peran African

Union Mission in

Somalia

(AMISOM) dalam

Upaya Resolusi

Konflik di Somalia

Deskriptif

analitik.

Teori

regionalism

e dan

organisasi

internasiona

l serta

resolusi

konflik.

AMISOM memperlihatkan

kinerja yang signifikan dalam

bidang keamanan, terlepas

dari hambatan-hambatan

yang terjadi baik dari

eksternal atau internal.

AMISOM dapat

membebaskan beberapa

wilayah penting dari Al-

Shabab seperti Kisayo dan

mogadishu, yang mana

wilayah itu menjadi titik

kunci pelaksanaan tugas

pemerintahan transisi.

AMISOM juga berhasil

menyediakan jalur yang

diperlukan untuk penyaluran

bantuan dari negara-negara

donatur maupun bantuan

internasional yang lainnya

6 M Zaki

Mubara

k

Bagaimana peran

Muhammadiyah

dalam mengatasi

Deskriptif.

Teori

Resolusi

Konflik berkepanjangan yang

terjadi di Thailand Selatan

membuat pemerintah

17

permasalahan

konflik yang terjadi

di Thailand Selatan

Konflik dan

Konsep Non

Govermenta

l

Organizatio

n

Thailand meminta bantuan

kepada Muhammadiyah. Hal

ini disebabkan karena

Muhammadiyah adalah

organisasi Islam yang maju

dan dianggap mampu

menjadi penjembatan

pemerintah untuk lebih

mudah masuk menyelesaikan

konflik tersebut.

Muhammadiyah memainkan

peran yang strategis dalam

berperan guna menyelesaikan

konflik yang terjadi dengan

cara melakukan agenda

dialog baik dengan Raja

Thailand, PM Thailand,

maupun dengan perwakilan

dari masyarakat Thailand

Selatan itu sendiri. Selain itu,

Muhammadiyah juga

memberikan bantuan

terhadap masyarakat

Thailand Selatan dengan

memberikan beasiswa kepada

para pelajar disana untuk

studi di Perguruan Tinggi

Muhammadiyah yang ada di

Indonesia sehingga hal ini

dapat mengurangi intensitas

konflik antara masyarakat

dengan pemerintah.

1.5 Kerangka Konseptual

1.5.1 Teori Resolusi Konflik

Konflik dapat dikatakan sebagai bentuk pertentangan yang dihasilkan oleh

individu atau kelompok yang berbeda etnik (suku, bangsa, ras, agama, golongan)

karena diantara mereka memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai atau

18

kebutuhan.20

Konflik dapat dilatarbelakangi oleh banyak hal, seringkali konflik itu

dimulai dengan hubungan pertentangan antara dua atau lebih (individu atau

kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu namun

diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan.21

Konflik yang

terjadi di internal suatu negara bisa dilatarbelakangi oleh konflik ekonomi, politik,

rasial, teritorial perbatasan dan sebagainya. Konflik terkadang dapat saja

diselesaikan oleh internal negara yang mengalami konflik, namun tak jarang pula

harus melibatkan peranan dari pihak ketiga untuk memfasilitasi dan mencari jalan

keluar yang solutif. Aktor yang berperan menjadi pihak ketiga atau netral itu bisa

dari negara, organisasi regional, organisasi internasional atau organisasi non

pemerintah.

Di dalam setiap konflik terdapat kontradiksi, sesuatu menghalangi sesuatu

yang lain atau dengan kata lain pertentangan yang terjadi antar individu atau

kelompok yang sedang bertikai dapat dengan mudah mengarah pada upaya-upaya

untuk merugikan atau menciderai aktor yang menghalangi jalannya aktor lain

untuk mencapai tujuan. Teori resolusi konflik sangat perlu bagi studi

pembangunan sebagaimana juga bagi studi perdamaian karena membangun berarti

menciptakan, sama halnya berlaku untuk perdamaian, karena resolusi konflik

berusaha untuk membangun perdamaian salah satunya dengan cara menekan pada

pengurangan kekerasan dan melakukan transformasi konflik non-kekerasan.22

20

Alo Liliweri. 2005. Prasangka dan Konflik. Yogyakarta: LKiS. hal. 146 21

Ibid 22

Johan Galtung, 2003, Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan

Peradaban. Surabaya: Pustaka Eureka. Hal.157

19

Menurut Johan Galtung ada tiga tahap dalam menyelesaikan sebuah

konflik. Yaitu pertama peacekeeping, memiliki pengertian yaitu proses

menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer atau

dilakukan oleh pihak ketiga yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian

yang netral. Kedua adalah peacemaking, yaitu proses yang tujuannya

mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan strategi dari pihak yang

bertikai melalui mediasi, negoisasi, arbitrasi terutama pada level elit atau

pimpinan. Pihak-pihak yang bersengketa dipertemukan dengan tujuan agar

penyelasaian bisa dilakukan dengan cara damai. Cara ini dilaksanakan dengan

menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah, dengan catatan pihak ketiga tidak

mempunyai hak untuk menentukan keputusan yang diambil karena pihak ketiga

hanya dijadikan sebagai fasilitator atau mediator. Ketiga adalah peacebuilding,

yaitu proses dan upaya implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik

dan ekonomi di wilayah konflik demi terciptanya perdamaian yang berkelanjutan.

Melalui upaya peacebuilding diharapkan negative peace23

berubah menjadi

positive peace24

yaitu masyarakat merasakan adanya keadilan sosial,

kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif. 25

Melalui pemaparan diatas, berdasarkan atas teori resolusi konflik dari

Johan Galtung, Muhammadiyah memainkan perannya dalam mengatasi

23

Suatu upaya penciptaan perdamaian disebut negatif ketika proses perdamaian tersebut hanya

fokus kepada pemberhentian atau peniadaan kekerasan secara langsung; contoh adalah proses

perdamaian untuk menghentikan konflik. Dalam perspektif ini perdamaian tercipta ketika adanya

perjanjian-perjanjian perdamian dan juga adanya dominasi militer. 24

Perdamaian dikatakan secara positif ketika kekerasan secara struktural dan kultural sudah bisa

dihilangkan. Menurut Galtung (1969) perdamaian secara positif bisa dicapai ketika adanya

penghapusan terhadap segala bentuk ketidaksetaraan dalam struktur sosial. 25

Yulius Hermawan (Ed), 2007, Transformasi dalam studi Hubungan Internasional:Aktor, Isu,

dan Metodologi, Yogyakarta: Graha Ilmu, hal.93.

20

permasalahan konflik yang terjadi di Thailand Selatan dengan cara peacekeeping

yaitu menjadi pihak netral yang diminta oleh pemerintah Thailand dalam

menengahi konflik antara pemerintah Thailand dan Masyarakat Thailand Selatan.

Kedua adalah cara Peacemaking yaitu Muhammadiyah mendorong pemerintah

Thailand untuk mengedepankan pendekatan kooperatif dan dialogis dalam

menghadapi konflik di Thailand Selatan serta Muhammadiyah melaksanakan

dialog antara pemerintah Thailand bersama tokoh agama yang ada di Thailand

Selatan. Ketiga adalah dengan cara peacebuilding yaitu Muhammadiyah

membantu dalam pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, pendidikan

dan sosial dengan cara mengirimkan para mahasiswa PTM, guru atau mubaligh

untuk bertukar pengalaman dalam mengelola lembaga pendidikan kemudian

Muhammadiyah juga memberikan bantuan beasiswa kepada mahasiswa yang

terkena dampak konflik di Thailand Selatan. Upaya-upaya yang dilakukan

Muhammadiyah ini adalah salah satu kontribusi dan peran dalam melakukan

proses rekonstruksi agar terciptanya perdamaian positif yang berkelanjutan.

1.5.2 Konsep Non Govermental Organization

Salah satu bagian penting dari representasi keberadaan masyarakat sipil

adalah Organisasi Non Pemerintah (ornop) atau Non Govermental Organization

(NGO). Sebagai sebuah kelompok, NGO dituntut untuk memiliki karateristik

penguatan dan pemberdayaan masyarakat dalam setiap programnya, hal ini

berkesesuaian dengan praksis gerakan masyarakat sipil yaitu memiliki

kemampuan dalam membangun dan mengembangkan kemandirian, keswadayaan

dan keswasembadaan. Munculnya organisasi non pemerintah bukan hal baru

21

dalam realitas sosial politik di Indonesia, keberadaannya dapat ditelusuri sejak

zaman kolonial atau pra kemerdekaan dengan merujuk pada organisasi pergerakan

yang sebagian besar bersifat otonom, swadaya dan dibentuk oleh beberapa

pemimpin pribumi.

Konsep organisasi non pemerintah sebagai bagian dari masyarakat sipil

dapat ditelusuri dari pemikiran Alexis de Tocqueville seorang pemikir politik dari

Prancis. Dia menyebutkan ada empat macam kelompok yaitu, pertama; organisasi

keagamaan yang berpusat di gereja, kedua; organisasi masyarakat lokal, ketiga;

organisasi ketetanggaan, perkumpulan, atau kelompok persaudaraan dan keempat;

organisasi terkait dengan kewarganegaraan. Organisasi sukarela yang dibentuk

oleh anggota masyarakat berdasarkan “suka sama suka”, melalui asosiasi-asosiasi

seperti itu sumber atau jalan masyarakat dalam menyalurkan partisipasi politik.

Organisasi-organisasi ini mengontrol pemerintah, memobilisasi sumber daya,

menjalankan kegiatan-kegiatan dari dan untuk masyarakat serta organisasi bekerja

melayani masyarakat secara swadaya. Organisasi sukarela ini juga berfungsi

sebagai lembaga perantara yang menghubungkan warga negara dengan

pemerintah. Organisasi sukarela, swadaya dan perantara tersebut dalam

perkembangannya kemudian disebut sebagai organisasi non pemerintah.26

Seiring dengan adanya proses globalisasi, terjadi interaksi yang intens

dalam dunia Internasional secara signifikan, hal ini ditandai tumbuh dan

berkembangnya organisasi non pemerintah atau organisasi nirlaba yang

26

Adi Suryadi Culla, 2006, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di

Indonesia,Jakarta: Pustaka LP3ES, hal.70-71

22

melakukan kegiatan transnasional serta organisasi nasional yang berorientasi

internasional. Organisasi-organisasi ini secara aktif mengambil peran-peran

strategis yang dulunya menjadi monopoli atau tersentral pada negara di abad ke-

19. Organisasi-organisasi ini biasaya melakukan kegiatan di bidang pemasokan

bantuan darurat bagi kemanusiaan, pendidikan, layanan kesehatan, pertanian,

pembangunan dan penciptaan serta pemeliharaan bagi stabilitas struktural dan

ketertiban. Selan itu, organisasi-organisasi non pemerintah ini memiliki

kepeduliaan dalam menyoroti isu-isu tentang lingkungan hidup, pemerintahan

yang baik, hak asasi manusia, keadilan dan perdamaian.27

Melihat perkembangan yang signifikan terhadap geliat organisasi-

organisasi non pemerintah (NGO) dalam membangun basis di masyarakat secara

sungguh-sungguh untuk dapat melayani kepentingan dan kebutuhan masyarakat,

sehingga dibutuhkan pedoman prinsip-prinsip etika dan pertanggungjawaban.

Untuk itu maka dibuatlah semacam pedoman tata krama Internasional bagi NGO

yang dipelopori oleh Environment Liaison Center International. Salah satu

pedoman bagi NGO internasional atau organisasi nasional yang melakukan

aktivitas di luar negerinya sendiri, sebagai berikut;

a. Bekerjasama dengan NGO lain, baik utara maupun selatan dengan

dasar kemitraan dan kesetaraan yang adil.

b. Mendorong arus informasi, gagasan, dan pengalaman dua arah.

c. Beroperasi dengan dasar keuangan yang transparan.

27

Dewi Fortuna Anwar, dkk. (Ed). 2004. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah,

Ekonomi, Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; MOST LIPI;

LASEMA-CNRS; KITLV Jakarta, hal. 354.

23

d. Sepakat bahwa NGO domestik, bukan NGO asing yang memiliki

tanggung jawab lebih untuk kegiatan-kegiatan di dalam negeri.

e. Memiliki sistem pertimbangan yang jelas dalam negeri tempat

beroperasi dan kriteria yang transparan dalam memilih rekan kerja.

f. Memantau kegiatan pemerintah dan perusahaan di negaranya.

g. Dalam berhubungan dengan pejabat pemerintah harus memperkuat

peran NGO lokal sebagai juru bicara yang sah bagi masyarakat.

h. Perwakilan NGO yang hidup disuatu negara selayaknya mengikuti

tingkat yang wajar, tidak dengan gaya hidup seorang ekspatriat.28

Berdasarkan konsep NGO yang sudah dijelaskan sebelumnya dan

bercermin pada tata krama organisasi internasional, Muhammadiyah adalah

organiasi non pemerintah yang berdiri pada tahun 1912 dengan asas Islam yang

berkarateristik moderat dan modern. Muhammadiyah sebagai organisasi

keagamaan dan kemasyarakatan yang berfokus pada kegiatan dakwah,

pendidikan, kesejahteraan sosial, kesehatan. Pada awal berdirinya

Muhammadiyah bersandarkan pada kemandirian dalam mengembangkan

organisasi, bukan bergantung pada pihak lain seperti para pemodal atau pendonor

asing, kemandirian ini yang membuat Muhammadiyah tidak bisa dikendalikan

atau diintervensi oleh penguasa politik dan para pemodal. Sampai saat ini

Muhammdiyah konsisten menjadi organisasi masyarakat sipil yang memiliki

karakter kemandirian, bergerak atas swadaya dan kesukarelaan para anggotanya

dan terus membangun keswasembadaan organisasi dengan amal usahanya,

28

Zaim Saidi, 1995, Secangkir Kopi Max Havelaar-LSM dan Kebangkitan Masyarakat, Jakarta;

Gramedia Pustaka Utama. hal. 162-163 pada Lampiran Tata Krama Internasional LSM.

24

sehingga Muhammadiyah diharapkan terus menjadi pilar kekuatan dari

masyarakat sipil dalam mengontrol dan membantu negara serta menjadi mitra

kritis dan solutif bagi pemerintah.29

Dalam konteks penanganan konflik yang terjadi di Thailand Selatan,

Muhammadiyah sebagai aktor non negara dalam dunia Internasional ambil bagian

secara aktif dalam membantu resolusi konflik yang terjadi di berbagai belahan

dunia, salah satunya di Thailand Selatan sebagai bentuk komitmen

Muhammadiyah dalam menjunjung nilai kemanusiaan, menciptakan perdamaian

serta sebagai bentuk kepeduliaan terhadap sesama Muslim. Selain itu juga,

Muhammadiyah sebagai bagian dari masyarakat sipil bisa menjadi representasi

bangsa Indonesia untuk membantu misi kemanusiaan dan perdamaian di Asia

Tenggara maupun dunia sebagaimana amanah pembukaan UUD 1945 yaitu ikut

melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial dengan mengedepankan tata krama organisasi non pemerintah di

dunia Internasional.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif atau deskriptif merupakan suatu jenis

penelitian yang menelaah fenomena sosial yang berlangsung secara empiris

dengan menggunakan model atau pendekatan studi kasus. Desain studi kasusnya

29

Zuly Qodir, 2010, Muhammadiyah Studies: Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Memasuki

Abad Kedua, Yogyakarta, Kanisius, hal. 73

25

menggunakan desain studi kasus tunggal dimana kasus tersebut menyatakan kasus

penting dalam menguji suatu teori yang telah disusun dengan baik.30

1.6.2 Teknik Analisis Data

Teknik analisa data yang dilakukan secara induksi yaitu tahap awal dalam

penelitian ini dengan melakukan studi kepustakaan yang bertujuan untuk

memperoleh latar belakang konflik yang terjadi antara masyarakat Thailand

Selatan dengan pemerintah Thailand, kemudian untuk melihat gambaran

mengenai keterlibatan serta kontribusi yang Muhammadiyah lakukan dalam

penyelesaian konflik di Thailand Selatan. Setelah itu data dianalisis untuk

menemukan kontribusi dan upaya Muhammadiyah dalam membantu penyelesaian

konflik serta faktor-faktor pendukung dan penghambat pada prosesnya itu. Hasil

dari analisis ini diharapkan dapat menghasilkan suatu penjelasan, saran dan

kesimpulan akhir.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber,

umumnya data bersifat dokumen tertulis, teknik ini juga dikenal studi dokumen

atau literature study. Dalam penelitian ini data diperoleh dari sumber primer yaitu

data dan dokumen dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan sumber sekunder

yaitu dari buku, majalah, surat kabar, informasi dari situs internet.

30

Masri Singarimbun, 1989, Metode Penelitian Sosial. Jakarta:LP3ES, hal. 192.

26

1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian

a. Batasan Materi

Batasan materi dalam penelitian ini berfokus pada peran yang dilakukan

Muhammadiyah dalam membantu mengatasi konflik untuk pembangunan

perdamaian di Thailand Selatan.

b. Batasan Waktu

Batasan waktu dalam penelitian ini dimulai pada tahun 2007 sampai tahun

2017. Berawal saat pemerintah Thailand mengundang Persyarikatan

Muhammadiyah untuk membicarakan upaya mencari resolusi atas konflik

di Thailand Selatan.

1.7 Argumen Dasar

Konflik berkepanjangan yang terjadi di Thailand Selatan membuat

pemerintah Thailand mengundang organisasi Muhammadiyah. Hal ini disebabkan

karena Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang mapan, maju dan dianggap

mampu menjadi penjembatan pemerintah untuk lebih mudah masuk

menyelesaikan konflik tersebut. Muhammadiyah memainkan peran yang strategis

dalam berperan guna menyelesaikan konflik yang terjadi dengan cara melakukan

agenda dialog baik bersama PM Thailand, Raja Thailand, serta dengan perwakilan

dari masyarakat Thailand Selatan. Selain itu, Muhammadiyah juga memberikan

bantuan terhadap masyarakat Thailand Selatan dengan memberikan beasiswa

kepada para pelajar disana untuk studi di Perguruan Tinggi Muhammadiyah

(PTM) yang ada di Indonesia, beasiswa ini bertujuan untuk pembelajaran kepada

para penerima beasiswa mengenai Islam yang moderat dan diharapkan mereka

27

dapat mengajarkan ilmu dan pengalaman yang didapat ke negara asalnya, selain

itu bantuan ini sebagai wujud kepedulian Muhammadiyah kepada sesama umat

Islam dan peradaban dunia. Muhammadiyah berharap dengan adanya bantuan

pendidikan dan pertukaran pengalaman dapat meningkatkan kualitas sumber daya

manusia masyarakat Thailand Selatan sehingga dapat mengurangi intensitas

kekerasan dan konflik antara masyarakat dengan pemerintah.

1.8 Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu,

teori dan konsep, metodologi penelitian, argumen dasar dan

sistematika penulisan.

BAB II : Latar Belakang Konflik di Thailand Selatan

Pada bab ini penulis menjelaskan sejarah dan faktor penyebab

terjadinya konflik di Thailand Selatan serta upaya dan kebijakan

pemerintah Thailand untuk meredam konflik. Pada bab ini juga

dijelaskan mengenai landasan Muhammadiyah dalam melakukan

internasionalisasi gerakan dan dakwah di dunia internasional serta

kiprah Muhammadiyah dalam mengatasi permasalahan konflik di

dunia Internasional.

28

BAB III : Peran Muhammadiyah dalam Konflik Thailand Selatan

Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai proses awal kerjasama

Muhammadiyah dengan Pemerintah Thailand dalam menyelesaikan

konflik Thailand Selatan. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai

strategi dan respon masyarakat Thailand terhadap keterlibatan

Muhammadiyah dan upaya-upaya yang dijalankan Muhammadiyah

dalam mengatasi konflik di Thailand Selatan.

BAB IV : Penutup

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dan saran dari

penelitian yang dilakukan oleh penulis.