bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/44645/2/bab i.pdf · 2...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konsekuensi logis dari sebuah interaksi yang terjadi di antara kelompok-
kelompok masyarakat adalah konflik. Ada beberapa faktor yang bisa memicu
terjadinya konflik, salah satunya adalah masalah ketimpangan ekonomi yang
berdampak pada munculnya kecemburuan sosial terhadap pihak tertentu yang
meliputi ketimpangan ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama. Munculnya
ketimpangan-ketimpangan tersebut menyebabkan adanya keinginan masyarakat di
dalam suatu negara untuk membentuk satu otoritas sendiri dalam mengatur
wilayahnya serta keinginan tersebut ditunjukkan dengan adanya gerakan-gerakan
perlawanan dan pemberontakan oleh masyarakat yang merasa dirinya dirugikan.1
Berkaitan dengan penjelasan diatas, akar konflik di Thailand yang
melibatkan muslim Thailand Selatan dengan Pemerintah dapat dirunut sejak
dimulainya proses penggabungan Wilayah Patani2 ke dalam wilayah Thailand.
Sejak ditanda tanganinya perjanjian pembagian wilayah antara pihak kerajaan
Inggris dan kerajaan Siam tahun 1902 (Anglo-Siam Treaty) yang isinya
1 Wisnu Suhardono, Resolusi dan Konflik, Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, Vol.II No.1,
Juni 2015, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hal. 2 diakses dari
https://studylibid.com/doc/12312/konflik-dan-resolusi-konflik-dan-resolusi----wisnu-
suhardono (26/09/2018.15.30 WIB) 2 Wilayah Patani pada awalnya mencakup suatu wilayah kesultanan yang cukup luas, Patani yang
dimaksud merujuk pada sebuah Negeri Patani Besar (Patani Raya) meliputi wilayah-wilayah
Narathiwat (Teluban), Yala (Jalor) dan sebagian Senggora (Songkhla, daerah-daerah Sebayor dan
Tibor) bahkan Kelantan, Kuala Trengganu dan Pethalung (Petaling).
2
menempatkan wilayah Patani bukan sebagai sebuah kerajaan Melayu lagi akan
tetapi merupakan wilayah kerajaan Siam, masyarakat Patani telah terintegrasi
menjadi bagian dari masyarakat Thailand.3
Beberapa kebijakan yang terjadi pada awal proses integrasi adalah transisi
praktek asimilasi dari segi bahasa dan kebudayaan,4 seperti larangan penggunaan
bahasa Melayu, larangan mengajar agama Islam di sekolah serta ada tindakan
represif dari aparat negara terhadap protes masyarakat Thailand Selatan seperti
pelanggaran hak asasi manusia, pembunuhan diluar prosedur hukum dan
penghilangan paksa. Dari kebijakan dan tindakan yang diksriminatif terhadap
muslim Thailand Selatan berefek pada munculnya gerakan perlawanan dan
separatisme dengan menentang dan melakukan aksi pemberontakan.5
Beberapa gerakan perlawanan yang muncul dan berkembang kemudian
adalah Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP), Barisan Revolusi Nasional
(BRN), Patani United Liberation Organisation (PULO). Gerakan perlawanan dan
kelompok separatisme ini terbagi kedalam berbagai macam tujuan dan motif
perjuangan.6
Pemerintah pusat Thailand. yang sedang berkuasa menggunakan metode
yang berbeda-beda dalam melakukan penanganan terhadap konflik, ada yang
3 Paulus Rudolf Yuniarto, MINORITAS MUSLIM THAILAND Asimilasi, Perlawanan Budaya dan
Akar Gerakan Separatisme, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 7 No. 1, (2005), hal 91,
diakses dari http://jmb.lipi.go.id/index.php/jmb/article/view/213/193 (26/09/2018.16.10
WIB) 4 Kebijakan asimilasi dilatarbelakangi oleh semangat nasionalisme Thailand, yang berusaha
mengonstruksikan nilai-nilai kebangsaan Thailand pada tiga asas utama; 1) satu agama 2) satu
kerajaan 3) tunduk pada kekuasaan raja. Nasionalisme ini didasarkan pada kebesaran kerajaan
Siam dan dominasi mayoritas etnis Thai yang beragama Buddha. 5 Sejarah Kelam Thailand dan Perjuangan Masyarakat Patani diakses dari
http://www.bantuanhukum.or.id/web/sejarah-kelam-thailand-dan-perjuangan-masyarakat-patani/.
(26/09/2018.16.50 WIB) 6 Ibid
3
menggunakan pendekatan akomodatif untuk menampung aspirasi masyarakat
Thailand Selatan dan ada pula yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk
meredam gejolak di Thailand Selatan. Pada era Thaksin Shinawatra menjabat
(2000-2006) sebagai perdana menteri, pada tanggal 1 mei 2002 Thaksin
mengeluarkan kebijakan untuk mencabut institusi SBPAC (Southern Border
Province Administration Center) dan CPM (Civil Police Military) 437 dengan
alasan penghematan anggaran negara. Keputusan untuk menghapus kedua
institusi tersebut membuat masyarakat Thailand Selatan kecewa sehingga
tindakan kekerasan kembali memuncak dan situasi semakin bertambah kacau
karena Thaksin melalukan metode kekerasan dalam merespon tindakan para
separatis dan pemberontak.8
Eskalasi kekerasan memuncak pada tahun 2004, ditandai dengan berbagai
aksi protes yang dilancarkan sehingga menimbulkan ketegangan yang terjadi
hampir diseluruh wilayah Thailand Selatan. Mobilisasi massa serta serangan-
serangan yang dilakukan gerakan separatis dan para pemberontak semakin
terarah, terkoordinasi, berkembang dan meluas kepada pemerintah Thailand. Para
pemberontak tidak hanya menyerang aparatur negara dan infrastruktur pemerintah
saja, mereka juga melakukan serangan dan pengeboman di ruang-ruang publik
seperti di sekolah-sekolah, pasar, terminal dan stasiun sehingga mengakibatkan
7 SBPAC dan CPM 43 adalah lembaga yang dibentuk oleh mantan perdana menteri Prem
Tinsulanonda, kedua lembaga ini dibentuk sebagai upaya untuk mereda dan menyelesaikan konflik
karena kedua lembaga ini bersifat persuasif dan populis guna menjamin keamanan dan lancarnya
proses komunikasi masyarakat Thailand Selatan dengan pemerintah pusat thailand. meskipun tidak
bisa mengatasi konflik secara keseluruhan, lembaga ini setidaknya mampu mengurangi peristiwa
kekerasan yang acap kali terjadi. Beberapa efek manfaat dari dua lembaga ini yaitu banyak
anggota separatis yang menyerahkan diri ke pemerintah serta pendudukan Thailand Selatan merasa
terakomodir karena ada wadah yang mau mendengar dan menampung aspirasi mereka. 8 Yulia Kusumawardani. 2012. Pengaruh Hubungan Raja-Militer Di Thailand Terhadap
Konstitusi 2007. Skripsi. Depok: Departemen Ilmu Politik. Universitas Indonesia. Hal. 47-48.
4
jatuhnya korban dari masyarakat sipil. Akibat dari aksi pemberontakan dengan
jalan kekerasan ini telah menimbulkan kecemasan dan teror bagi masyarakat
Thailand Selatan yang lain sehingga pemerintah Thailand perlu melakukan
tindakan guna merespon gerakan pemberontakan yang terjadi di wilayahnya
tersebut.9
Reaksi yang dilakukan pemerintah Thailand menimbulkan dua peristiwa
kekerasan, yang pertama adalah serangan terhadap Masjid Krue Se dan yang
kedua adalah insiden kekerasan di Tak Bai di Thailand Selatan. Dua peristiwa
kekerasan ini menewaskan ratusan Muslim Thailand Selatan sehingga pemerintah
Thailand mendapat sorotan dan kecaman dari dunia Internasional.10
Pada September 2006, PM Thaksin Shinawatra dikudeta oleh militer
Thailand, Jenderal Surayud Chulanont yang menggantikannya menjanjikan
adanya sebuah perbaikan dan memohon maaf kepada masyarakat Thailand
Selatan atas kesalahan penanganan konflik pemerintah sebelumnya. PM Surayud
Chulanont berjanji akan menggunakan pendekatan baru yang damai untuk
menandai bergesernya kebijakan pemerintah dalam menangani konflik di
Thailand Selatan.11
Situasi konflik yang terus bergejolak ini menjadi beban tersendiri bagi
pemerintah Thailand sebab konflik ini dapat menggangu stabilitas nasional dan
9 Gede Richard Praudita, Idin Fasisika, Putu Titah Kawatri Resen, 2015, Tindakan Pemerintah
Thailand dalam merespons Gerakan Etnonasionalise di Thailand Selatan Tahun 2004-2006,
Jurnal Hubungan Internasional Universitas Udayana Vol.1, No. 03, hal. 2-3, diakses dari
http://garuda.ristekdikti.go.id/journal/article/338236 (26/09/2018.17.00 WIB) 10
Dunia Kecam Thailand atas Kasus Kematian Muslim di Tak Bai diakses dari
https://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2004/10/28/2683/dunia-kecam-
thailand.html (27/09/2018.03.33 WIB) 11
Analisis Kunjungan PM Thailand ke Selatan diakses dari
http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2006/11/061102_pattaniconflict.shtml
(27/09/2018.23.35 WIB)
5
regional Asia Tenggara. Dengan kondisi demikian, pemerintah Thailand
mencoba untuk mencari solusi menggunakan peranan pihak ketiga sebagai
penengah. Indonesia sebagai negara yang berdekatan dengan Thailand serta
berdasarkan amanat dari Pembukaan UUD 1945 untuk menjaga perdamaian abadi
maka perlu melibatkan diri dalam mencari solusi damai agar konflik di Thailand
Selatan tidak menyebabkan kerugian, kerusakan dan segala dampak negatif secara
lebih banyak.
Awal mula keterlibatan Indonesia adalah pada saat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menerima kunjungan dari PM Thailand Surayud
Chulanont di Jakarta pada 21 Oktober 2006, selain sebagai kunjungan
perkenalan PM Surayud sebagai pemimpin baru di Thailand, kedua belah pihak
juga membicarakan tentang dinamika konflik yang terjadi di Thailand Selatan,
pada kesempatan itu juga Surayud meminta dilakukan pertukaran kunjungan
tokoh-tokoh Islam antar kedua negara. Presiden SBY menyambut baik rencana
Thailand untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai, presiden
SBYmenyatakan solusi militer tidak akan menyelesaikan konflik dan Indonesia
siap membantu Thailand untuk menyelesaikan konflik di Thailand Selatan.12
Menindaklanjuti atas pertemuan itu, PM Thailand mengundang tokoh
Islam dari Indonesia dan juga sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah yaitu
Prof. H. Din Syamsuddin. Dalam lawatan tiga hari ke Thailand pada Juli 2007,
Din Syamsuddin bertemu dengan PM Thailand Surayud Chulanont di kantor
Perdana Menteri di Bangkok. Pada pertemuan itu PM Surayud mengungkapkan
12
SBY Temui Perdana Menteri Thailand diakses dari https://news.detik.com/berita/d-699564/sby-
temui-pm-thailand (28/09/2018.16.50 WIB)
6
kebanggaannya kepada Muhammadiyah karena berperan besar dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa melalui kegiatan pendidikan dan sosial, oleh
sebab itu PM Surayud meminta Muhammadiyah agar membantu pendidikan
kalangan umat Islam di bagian Thailand Selatan..13
Pemerintah Thailand meminta bantuan terhadap berbagai pihak, termasuk
organisasi non pemerintah (NGO) dalam melakukan kerjasama guna
menyelesaikan konflik di Thailand Selatan termasuk juga Muhammadiyah.
Berdasarkan pada pengalamannya dalam mengelola pendidikan, pelayanan
kesehatan, dan pemberdayaan sosial, Muhammadiyah bisa mengirim guru,
mubaligh, mahasiswa untuk melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat di
Thailand Selatan. Selain itu, Muhammadiyah ambil bagian dari aktor
Internasional non negara yang berperan aktif menjadi mediator, fasilitator bagi
penyelesaian konflik di berbagai negara, terkhusus pada negara-negara yang
bersentuhan identitas atau nilai Islam.14
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk meneliti terkait peran
Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang berbasis
di Indonesia dalam mengatasi permasalahan konflik di Thaiand Selatan, terutama
dalam hal pemberdayaan dan pembangunan sumberdaya masyarakat melalui
perannya sebagai organisasi non pemerintah atau Non Govermental Organization
(NGO).
13
Din Syamsudin Bakal Bertandang Ke Thailand Selatan diakses dari
http://news.detik.com/berita/809478/din-syamsuddin-bakal-bertandang-ke-thailand-selatan
(28/09/2018.18.01 WIB) 14
Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin, MA: Muhammadiyah Ikut Mendamaikan Konflik
Internasional diakses dari http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/01/14/prof-dr-hm-din-
syamsuddin-ma-muhammadiyah-ikut-mendamaikan-konflik-internasional/3/. (28/09/2018.22.05
WIB)
7
1.2 Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang masalah, peneliti menjadikan
rumusan masalah yaitu “Bagaimana peran Muhammadiyah dalam mengatasi
konflik di Thailand Selatan?”
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a. Motivasi Muhammadiyah ikut serta dalam membantu persoalan
konflik di Thailand Selatan.
b. Strategi yang diterapkan Muhammadiyah bersama Pemerintah
Thailand agar bisa diterima oleh masyarakat di Thailand Selatan.
c. Peran Muhammadiyah dalam mengatasi konflik dan membangun
perdamaian di Thailand Selatan
1.3.2 Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua manfaat, yaitu manfaat secara akademis
dan manfaat secara praktis. Berikut penjelasan dari dua manfaat tersebut:
a. Manfaat Akademis
Dengan adanya penelitian ini maka akan memperluas wacana dan kajian
dalam ilmu Hubungan Internasional yang terfokus pada pendekatan mikro yaitu
proses pembentukan persepsi dan rasionalitas peran dari organisasi Non-
Govermental Organization (NGO) melalui Muhammadiyah dalam menangani
permasalahan konflik yang terjadi di Thailand Selatan
8
b. Manfaat Praktis
Penulis berharap dengan adanya penelitian ini akan menambah wawasan
para pembaca, baik mahasiswa maupun umum dengan temuan-temuan yang ada
dalam penelitian ini sehingga dapat menjadi interpretasi tersendiri serta dapat
dilanjutkan dalam bentuk penelitian-penelitian lain yang sejenis untuk menambah
khazanah tentang solusi dalam menangani konflik antar agama dan etnis yang
terjadi di regional Asia Tenggara.
1.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang menjadi bahan pertimbangan untuk menunjukan
antara penelitian yang sedang penulis teliti dengan penelitian-penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya. Adapun penelitian yang menjadi literatur review
dalam penelitian ini adalah pertama, skripsi yang ditulis oleh Shofa Al Farisi
Latief dengan judul Peran Muhammadiyah di Dunia Internasional (Studi Kasus:
Kontribusi Muhammadiyah Dalam Resolusi Konflik Mindanao.15
Dalam skripsi
ini dijelaskan tentang Peran Muhammadiyah dalam proses perdamaian konflik di
Mindanao. Dilihat dari sejarahnya, konflik Mindanao berawal ketika Republik
Filipina merdeka pada tahun 1946 atas bantuan negera kolonial, mayoritas warga
Islam Moro yang tinngal di pulau Mindanao menolak untuk menjadi bagian dari
negara baru itu, tapi permintaan mereka diabaikan oleh pihak pemerintah.
Konsekuensinya banyak hal yang terjadi sehingga membuat rakyat Mindanao
menderita dan menimbulkan ketimpangan ekonomi yang dialami Bangsa Moro
15
Shofa Al Farisi Latief. 2010, Peran Muhammadiyah di Dunia Internasional (Studi Kasus:
Kontribusi Muhammadiyah Dalam Resolusi Konflik Mindanao), Skripsi, Yogyakarta: Jurusan
Hubungan Internasional, FISIP-Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
9
yang mengakibatkan mereka terusir dari tanah kelahirannya, sehingga
memunculkan perlawanan dan gerakan separatisme.
Dengan kondisi seperti ini menjadi sebuah tantangan bagi Muhamamdiyah
untuk memberikan solusi yang tepat dalam mengatasi konflik Mindanao karena
Muhammadiyah merupakan satu-satunya organisasi Islam yang ditunjuk menjadi
anggota International Contact Group (ICG).
Ada kesamaan penelitian yang di atas dengan penelitian ini yaitu sama-
sama menganalisa terkait peran dari Persyarikatan Muhammadiyah dalam
mengatasi konflik yang terjadi di Asia Tenggara serta sumber konflik yang terjadi
juga relatif sama yaitu adanya ketimpangan sosial, ekonomi, budaya dan agama
yang dialami kelompok minoritas (Pattani dan Mindanao) sehingga berakibat
munculnya konflik.
Penelitian terdahulu selanjutnya adalah skripsi tulisan Yurisa Irawan
dengan judul Strategi Resolusi Konflik Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam
Konflik Thailand Selatan..16
Dalam skripsi ini dijelaskan tentang OKI sebagai
organisasi internasional yang mewadahi negara-negara Islam yang juga berfokus
kepada permasalahan minoritas Muslim di wilayah non-anggota menaruh
perhatian lebih kepada konflik yang terjadi di Thailand Selatan, keterlibatan OKI
dimulai pada tahun 2005, disini OKI berperan sebagai pihak yang melaksanakan
resolusi konflik.
Kesamaan penelitiannya ada di level analisa perilaku kelompok terkait
peran organisasi yang terlibat dalam hubungan internasional dan perbedaanya
16
Yurisa Irawan. 2016, Strategi Resolusi Konflik Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam
Konflik Thailand Selatan, Skripsi, Padang, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP
Universitas Andalas.
10
diaspek unit analisanya, yang menjadi unit analisa dalam penelitian ini adalah
strategi resolusi konflik Organisasi Kerjasama Islam (OKI) tentang sejauh mana
strategi-strategi yang digunakan OKI untuk menanggulangi konflik di Patani
Thailand Selatan, sedangkan dalam penelitian yang sedang penulis kerjakan ini
unit analisanya adalah terkait Peran Organisasi Muhammadiyah yang mana
menjadi titik tekannya adalah sejauh apa kontribusi yang Muhammadiyah berikan
dalam penanggulangan konflik di Patani.
Penelitian terdahulu selanjutnya adalah buku tulisan dari Ahmad Suaedy
dengan judul Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai;Peran Civil
Society Muslim di Thailand Selatan dan Filipina Selatan.17
Dalam buku ini
dijelaskan tentang peran civil society Muslim di Thailand Selatan dalam mencari
jalan damai dari konflik yang berkepanjangan di negara Thailand. Dengan
menguatnya gerakan civil society yang berorientasi membangun perdamaian
menambah motivasi masyarakat Muslim Thailand Selatan untuk melakukan
negoisasi secara damai dikarenakan gerakan ini berdiri relatif objektif dan
diharapkan bisa dipercaya oleh berbagai pihak. Kelompok-kelompok civil society
Muslim ini biasa melakukan gerakanya dengan advokasi informasi melalui jalur
public sphere, yaitu hak-hak berekspresi dan berkumpul, pemberdayaan ekonomi
masyarakat, peran perempuan serta penguatan aspirasi politik dan pendidikan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari buku ini adalah kelompok-kelompok
civil society mengambil cara strategis non-partisan atas kelompok-kelompok
separatis yang sudah ada, mereka lebih menekankan metode penyadaran
17
Ahmad Suaedy, 2012, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai;Peran Civil Society
Muslim di Thailand Selatan dan Filipina Selatan, Jakarta, Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dan CISEAS-The Wahid Institute
11
masyarakat melalui penguatan ekonomi dan partisipasi politik ketimbang
mobilisasi masyarakat masyarakat untuk membentuk pasukan yang bersenjata.
Mereka memanfaatkan keterbukaan untuk mengungkapkan agenda dan misinya
kepada publik maupun melalui pengembangan masyarakat secara langsung.
Tumbuhnya gerakan sosial ini mencoba mengambil posisi netral secara politik
namun tetap mengangkat aspirasi substantif masyarakat Thailand Selatan dalam
menuntut keadilan dan kesetaraan.
Persamaan buku ini dengan tulisan yang sedang peneliti kerjakan ini ada
di aspek bagaimana peran dari organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan (civil
society) dalam menyelesaikan konflik serta menanggulangi korban konflik di
Thailand Selatan. Perbedaanya adalah dalam buku ini yang menjadi titik fokusnya
berada pada peran civil society yang dibentuk oleh internal masyarakat Thailand
Selatan, sedangkan titik fokus dalam riset yang sedang peneliti kerjakan adalah
pada peran organisasi Muhammadiyah yang notabene bukan berdiri dan
berkembang di Thailand akan tetapi di Indonesia, akan tetapi Muhammadiyah
memiliki komitmen yang kuat untuk membangun perdamaian di Asia Tenggara
termasuk di Thailand Selatan.
Penelitian terdahulu selanjutnya adalah jurnal karya tulisan dari Eka
Wijaya dan Yantos,18
dalam jurnal ini dijelaskan mengenai TAF sebagai salah
satu aktor international non goverment organization (INGO) yang bergerak di
sektor pembangunan di Thailand dalam membantu proses penyelesaian konflik di
18
Eka Wijayanti dan Yantos, Peran TAF (The Asia Foundation) dalam Proses Penyelesaian
Konflik Thailand Selatan, International Society, Vol. 1, No.1, Agustus 2014,
Pekanbaru:Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru, diakses dari
http://jurnal.univrab.ac.id/index.php/is/article/view/19/14 (26/09/2018.18.00 WIB)
12
Thailand Selatan. TAF mulai aktif di Thailand pada 1954, organisasi ini
mempunyai misi pembangunan perdamaian, keadilan dan kesejahteraan di
wilayah Asia salah satunya di Thailand.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah peran TAF
sebagai peacebuilder di Thailand Selatan mampu berkontribusi dalam
memulihkan hubungan masyarakat Muslim dan pemerintah, proses transformasi
konflik yang dilakukan oleh TAF tercermin dalam berbagai kegiatan
pemeliharaan identitas budaya dengan melakukan promosi terhadap budaya lokal,
meningktkan akses keadilan, dan memfasilitasi rencana perdamaian. Kegiatan ini
berangsur-angsur dapat mengubah persepsi antar pemerintah dengan masyarakat
Muslim menjadi positif. Upaya transformasi yang dilakukan menyasar pada 3
level yaitu level pemerintah, level LSM lokal dan tokoh-tokoh masyarakat, level
lapisan masyarakat.
Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang sedang penulis teliti
berada pada usaha untuk menganalisa dan menjelaskan peran organisasi atau
kelompok dalam menanggulangi permasalahan konflik di Thailand Selatan,
sedangkan aspek yang membedakan adalah TAF sebagai organisasi berbasis
berskala luas atau lintas negara sejak awal berdiri, sedangkan Muhammadiyah
adalah organisasi yang pada awal berdirinya hanya di ruang lingkup nasional
kemudian seiiring perkembanganya berupaya untuk merambah ke dunia
Internasional.
Penelitian terdahulu selanjutnya adalah skripsi tulisan dari Muh. Ardhi
Resky Pratama dengan judul Peran African Union Mission in Somalia (AMISOM)
13
dalam Upaya Resolusi Konflik di Somalia.19
Dalam skripsi ini menjelaskan
tentang peran dari African Union sebagai organisasi regional di benua Afrika
dalam mencari solusi berkaitan tentang permasalahan konflik di Somalia sebagai
bentuk peran dan tanggung jawabnya terhadap negara-negara anggota. Cara yang
dilakukan Uni Afrika dalam menanggulangi konflik itu dengan membentuk
sebuah program khusus untuk misi kemanusiaan dan perdamaian dengan
melibatkan negara-negara yang tergabung di Uni Afrika, program ini bernama
African Union Mission in Somalia.
Kesimpulan dari skripsi ini adalah AMISOM memperlihatkan kinerja yang
signifikan dalam bidang keamanan, terlepas dari hambatan-hambatan yang terjadi
baik dari eksternal atau internal. AMISOM dapat membebaskan beberapa wilayah
penting dari Al-Shabab seperti Kisayo dan Mogadishu dan wilayah itu menjadi
titik kunci pelaksanaan tugas pemerintahan transisi Somalia. AMISOM juga
berhasil menyediakan jalur yang diperlukan untuk penyaluran bantuan dari
negara-negara donatur maupun bantuan dari dunia internasional yang lainnya.
Persamaan skripsi ini dengan penelitian yang sedang penulis kerjakan
yaitu dalam aspek analisa mengenai peran dari organisasi dalam mengatasi
permasalahan konflik di suatu negara. Hal yang membedakannya adalah Uni
Afrika sebagai organisasi regional yang beranggotakan negara-negara yang ada di
benua Afrika, sedangkan Muhammadiyah adalah organisasi masyarakat sipil yang
bercirikan sosial keagamaan yang berusaha untuk menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan universal
19
Muh. Ardhi Resky Pratama, 2015, Peran African Union Mission in Somalia (AMISOM) dalam
Upaya Resolusi Konflik di Somalia, Skripsi, Makasar, Jurusan Hubungan Internasional,
Universitas Hasanuddin.
14
Tabel. 1.1: Ringkasan Penelitian Terdahulu
No Nama Judul Penelitian Metode Hasil Penelitian
1 Shofa
Al
Farisi
Latief
Peran
Muhammadiyah di
Dunia Internasional
(Studi Kasus:
Kontribusi
Muhammadiyah
Dalam Resolusi
Konflik Mindanao
Kualitatif,
Pendekatan
Teori
Resolusi
Konflik
Peran yang dilakukan
Muhammadiyah dalam
menyelesaikan konflik di
Mindanao adalah
Muhammadiyah masuk
dalam Internasional Contact
Group (ICG) beranggotakan
empat negara (Inggris, Turki,
Arab Saudi dan Jepang) dan
empat NGOs
(Muhammadiyah,
Conciliation Resources, The
Hendry Dunant Center dan
Asia Foundation) yang
bertujuan sebagai mediator
untuk membantu
penyelesaian konflik antara
pemerintah Filipina dan
MILF. Peran-peran yang
dilakukan Muhammadiyah
antara lain adalah,
menghadiri dan mengawasi
negoisasi, melakukan
kunjungan dan bertukar
pandangan serta
mengirimkan tenaga-tenaga
ahli untuk membantu disana.
2 Yurisa
Irawan
Strategi Resolusi
Konflik Organisasi
Kerjasama Islam
(OKI) dalam
Konflik Thailand
Selatan
Kualitatif,
Pendekatan
Resolusi
Konflik;
Model
Respon
Resolusi
Konflik
Hourglass
Ditinjau dari model
Hourglass penelitian ini
menyimpulkan bahwa
strategi resolusi konflik yang
dilakukan OKI di Thailand
Selatan adalah: 1) Conflict
transformation, 2) Conflict
settlement dan 3) conflict
containment. Tujuannya
adalah mencegah agar
konflik kekerasan tidak
terulang kembali baik itu
mencegah secara mendalam
maupun secara ringan. Secara
umum keberhasilan OKI
melakukan starategi ini
15
berdampak efektif untuk
meredam konflik kedua belah
pihak, tinggal bagaimana
kedua belah pihak untuk
mengintensifkan dialog agar
saling memahami.
3 Ahmad
Suaedy
Dinamika
Minoritas Muslim
Mencari Jalan
Damai; Peran Civil
Society Muslim di
Thailand Selatan
dan Filipina
Selatan
Fenomenolo
gis, Peran
Civil
Society dan
Politik
Identitas
Kelompok-kelompok civil
society mengambil strategi
non-partisan atas kelompok-
kelompok separatis yang
sudah ada, mereka lebih
menekankan pada
penyadaran masyarakat
melalui penguatan ekonomi
dan artikulasi politik
ketimbang mobilisasi
masyarakat masyarakat untuk
membentuk pasukan dan
bersenjata. Dalam riset ini
juga menemukan bahwa
hubungan minoritas Muslim
Thailand Selatan telah
mengalami perkembangan
yang signifikan dalam
keterbukaan pada pemerintah
pusat Thailand, tetapi
keterbukaan itu belum cukup
untuk mengakomodasi
aspirasi substansial
masyarakat di Thailand
Selatan oleh sebab itu
diperlukan suatu perubahan
kebijakan yang bersifat
substansif pula bagi negara
nasional dan bahkan jika hal
itu menuntut adanya
perubahan Konstitusi untuk
memberikan tempat bagi
aspirasi yang bersifat
substantif minoritas di
Thailand Selatan.
4 Eka
Wijaya
dan
Yantos
Peran TAF (The
Asia Foundation)
dalam Proses
Penyelesaian
Konflik Thailand
Deskriptif-
analitis.
konsep
Internationa
l Non
Peran TAF sebagai
peacebuilder di Thailand
Selatan mampu berkontribusi
dalam memulihkan hubungan
masyarakat Muslim dan
16
Selatan Goverment
Organizatio
n, dan teori
Konflik,
Proses
Rekonsiliasi
,
Peacebuildi
ng
pemerintah. proses
transformasi konflik yang
dilakukan oleh TAF tertuang
dalam berbagai kegiatan
pemeliharaan identitas
budaya, mempromosikan
budaya lokal, meningktkan
akses keadilan, dan
memfasilitasi rencana
perdamaian. Kegiatan ini
sedikit demi sedikit
mengubah persepsi antara
pemerintah dengan
masyarakat muslim menjadi
positif. Upaya transformasi
yang dilakukan menyasar
pada 3 level yaitu level
pemerintah, level LSM lokal
dan tokoh-tokoh masyarakat,
serta level lapisan
masyarakat.
5 Muh.
Ardhi
Resky
Pratam
a
Peran African
Union Mission in
Somalia
(AMISOM) dalam
Upaya Resolusi
Konflik di Somalia
Deskriptif
analitik.
Teori
regionalism
e dan
organisasi
internasiona
l serta
resolusi
konflik.
AMISOM memperlihatkan
kinerja yang signifikan dalam
bidang keamanan, terlepas
dari hambatan-hambatan
yang terjadi baik dari
eksternal atau internal.
AMISOM dapat
membebaskan beberapa
wilayah penting dari Al-
Shabab seperti Kisayo dan
mogadishu, yang mana
wilayah itu menjadi titik
kunci pelaksanaan tugas
pemerintahan transisi.
AMISOM juga berhasil
menyediakan jalur yang
diperlukan untuk penyaluran
bantuan dari negara-negara
donatur maupun bantuan
internasional yang lainnya
6 M Zaki
Mubara
k
Bagaimana peran
Muhammadiyah
dalam mengatasi
Deskriptif.
Teori
Resolusi
Konflik berkepanjangan yang
terjadi di Thailand Selatan
membuat pemerintah
17
permasalahan
konflik yang terjadi
di Thailand Selatan
Konflik dan
Konsep Non
Govermenta
l
Organizatio
n
Thailand meminta bantuan
kepada Muhammadiyah. Hal
ini disebabkan karena
Muhammadiyah adalah
organisasi Islam yang maju
dan dianggap mampu
menjadi penjembatan
pemerintah untuk lebih
mudah masuk menyelesaikan
konflik tersebut.
Muhammadiyah memainkan
peran yang strategis dalam
berperan guna menyelesaikan
konflik yang terjadi dengan
cara melakukan agenda
dialog baik dengan Raja
Thailand, PM Thailand,
maupun dengan perwakilan
dari masyarakat Thailand
Selatan itu sendiri. Selain itu,
Muhammadiyah juga
memberikan bantuan
terhadap masyarakat
Thailand Selatan dengan
memberikan beasiswa kepada
para pelajar disana untuk
studi di Perguruan Tinggi
Muhammadiyah yang ada di
Indonesia sehingga hal ini
dapat mengurangi intensitas
konflik antara masyarakat
dengan pemerintah.
1.5 Kerangka Konseptual
1.5.1 Teori Resolusi Konflik
Konflik dapat dikatakan sebagai bentuk pertentangan yang dihasilkan oleh
individu atau kelompok yang berbeda etnik (suku, bangsa, ras, agama, golongan)
karena diantara mereka memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai atau
18
kebutuhan.20
Konflik dapat dilatarbelakangi oleh banyak hal, seringkali konflik itu
dimulai dengan hubungan pertentangan antara dua atau lebih (individu atau
kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu namun
diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan.21
Konflik yang
terjadi di internal suatu negara bisa dilatarbelakangi oleh konflik ekonomi, politik,
rasial, teritorial perbatasan dan sebagainya. Konflik terkadang dapat saja
diselesaikan oleh internal negara yang mengalami konflik, namun tak jarang pula
harus melibatkan peranan dari pihak ketiga untuk memfasilitasi dan mencari jalan
keluar yang solutif. Aktor yang berperan menjadi pihak ketiga atau netral itu bisa
dari negara, organisasi regional, organisasi internasional atau organisasi non
pemerintah.
Di dalam setiap konflik terdapat kontradiksi, sesuatu menghalangi sesuatu
yang lain atau dengan kata lain pertentangan yang terjadi antar individu atau
kelompok yang sedang bertikai dapat dengan mudah mengarah pada upaya-upaya
untuk merugikan atau menciderai aktor yang menghalangi jalannya aktor lain
untuk mencapai tujuan. Teori resolusi konflik sangat perlu bagi studi
pembangunan sebagaimana juga bagi studi perdamaian karena membangun berarti
menciptakan, sama halnya berlaku untuk perdamaian, karena resolusi konflik
berusaha untuk membangun perdamaian salah satunya dengan cara menekan pada
pengurangan kekerasan dan melakukan transformasi konflik non-kekerasan.22
20
Alo Liliweri. 2005. Prasangka dan Konflik. Yogyakarta: LKiS. hal. 146 21
Ibid 22
Johan Galtung, 2003, Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan
Peradaban. Surabaya: Pustaka Eureka. Hal.157
19
Menurut Johan Galtung ada tiga tahap dalam menyelesaikan sebuah
konflik. Yaitu pertama peacekeeping, memiliki pengertian yaitu proses
menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer atau
dilakukan oleh pihak ketiga yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian
yang netral. Kedua adalah peacemaking, yaitu proses yang tujuannya
mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan strategi dari pihak yang
bertikai melalui mediasi, negoisasi, arbitrasi terutama pada level elit atau
pimpinan. Pihak-pihak yang bersengketa dipertemukan dengan tujuan agar
penyelasaian bisa dilakukan dengan cara damai. Cara ini dilaksanakan dengan
menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah, dengan catatan pihak ketiga tidak
mempunyai hak untuk menentukan keputusan yang diambil karena pihak ketiga
hanya dijadikan sebagai fasilitator atau mediator. Ketiga adalah peacebuilding,
yaitu proses dan upaya implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik
dan ekonomi di wilayah konflik demi terciptanya perdamaian yang berkelanjutan.
Melalui upaya peacebuilding diharapkan negative peace23
berubah menjadi
positive peace24
yaitu masyarakat merasakan adanya keadilan sosial,
kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif. 25
Melalui pemaparan diatas, berdasarkan atas teori resolusi konflik dari
Johan Galtung, Muhammadiyah memainkan perannya dalam mengatasi
23
Suatu upaya penciptaan perdamaian disebut negatif ketika proses perdamaian tersebut hanya
fokus kepada pemberhentian atau peniadaan kekerasan secara langsung; contoh adalah proses
perdamaian untuk menghentikan konflik. Dalam perspektif ini perdamaian tercipta ketika adanya
perjanjian-perjanjian perdamian dan juga adanya dominasi militer. 24
Perdamaian dikatakan secara positif ketika kekerasan secara struktural dan kultural sudah bisa
dihilangkan. Menurut Galtung (1969) perdamaian secara positif bisa dicapai ketika adanya
penghapusan terhadap segala bentuk ketidaksetaraan dalam struktur sosial. 25
Yulius Hermawan (Ed), 2007, Transformasi dalam studi Hubungan Internasional:Aktor, Isu,
dan Metodologi, Yogyakarta: Graha Ilmu, hal.93.
20
permasalahan konflik yang terjadi di Thailand Selatan dengan cara peacekeeping
yaitu menjadi pihak netral yang diminta oleh pemerintah Thailand dalam
menengahi konflik antara pemerintah Thailand dan Masyarakat Thailand Selatan.
Kedua adalah cara Peacemaking yaitu Muhammadiyah mendorong pemerintah
Thailand untuk mengedepankan pendekatan kooperatif dan dialogis dalam
menghadapi konflik di Thailand Selatan serta Muhammadiyah melaksanakan
dialog antara pemerintah Thailand bersama tokoh agama yang ada di Thailand
Selatan. Ketiga adalah dengan cara peacebuilding yaitu Muhammadiyah
membantu dalam pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, pendidikan
dan sosial dengan cara mengirimkan para mahasiswa PTM, guru atau mubaligh
untuk bertukar pengalaman dalam mengelola lembaga pendidikan kemudian
Muhammadiyah juga memberikan bantuan beasiswa kepada mahasiswa yang
terkena dampak konflik di Thailand Selatan. Upaya-upaya yang dilakukan
Muhammadiyah ini adalah salah satu kontribusi dan peran dalam melakukan
proses rekonstruksi agar terciptanya perdamaian positif yang berkelanjutan.
1.5.2 Konsep Non Govermental Organization
Salah satu bagian penting dari representasi keberadaan masyarakat sipil
adalah Organisasi Non Pemerintah (ornop) atau Non Govermental Organization
(NGO). Sebagai sebuah kelompok, NGO dituntut untuk memiliki karateristik
penguatan dan pemberdayaan masyarakat dalam setiap programnya, hal ini
berkesesuaian dengan praksis gerakan masyarakat sipil yaitu memiliki
kemampuan dalam membangun dan mengembangkan kemandirian, keswadayaan
dan keswasembadaan. Munculnya organisasi non pemerintah bukan hal baru
21
dalam realitas sosial politik di Indonesia, keberadaannya dapat ditelusuri sejak
zaman kolonial atau pra kemerdekaan dengan merujuk pada organisasi pergerakan
yang sebagian besar bersifat otonom, swadaya dan dibentuk oleh beberapa
pemimpin pribumi.
Konsep organisasi non pemerintah sebagai bagian dari masyarakat sipil
dapat ditelusuri dari pemikiran Alexis de Tocqueville seorang pemikir politik dari
Prancis. Dia menyebutkan ada empat macam kelompok yaitu, pertama; organisasi
keagamaan yang berpusat di gereja, kedua; organisasi masyarakat lokal, ketiga;
organisasi ketetanggaan, perkumpulan, atau kelompok persaudaraan dan keempat;
organisasi terkait dengan kewarganegaraan. Organisasi sukarela yang dibentuk
oleh anggota masyarakat berdasarkan “suka sama suka”, melalui asosiasi-asosiasi
seperti itu sumber atau jalan masyarakat dalam menyalurkan partisipasi politik.
Organisasi-organisasi ini mengontrol pemerintah, memobilisasi sumber daya,
menjalankan kegiatan-kegiatan dari dan untuk masyarakat serta organisasi bekerja
melayani masyarakat secara swadaya. Organisasi sukarela ini juga berfungsi
sebagai lembaga perantara yang menghubungkan warga negara dengan
pemerintah. Organisasi sukarela, swadaya dan perantara tersebut dalam
perkembangannya kemudian disebut sebagai organisasi non pemerintah.26
Seiring dengan adanya proses globalisasi, terjadi interaksi yang intens
dalam dunia Internasional secara signifikan, hal ini ditandai tumbuh dan
berkembangnya organisasi non pemerintah atau organisasi nirlaba yang
26
Adi Suryadi Culla, 2006, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di
Indonesia,Jakarta: Pustaka LP3ES, hal.70-71
22
melakukan kegiatan transnasional serta organisasi nasional yang berorientasi
internasional. Organisasi-organisasi ini secara aktif mengambil peran-peran
strategis yang dulunya menjadi monopoli atau tersentral pada negara di abad ke-
19. Organisasi-organisasi ini biasaya melakukan kegiatan di bidang pemasokan
bantuan darurat bagi kemanusiaan, pendidikan, layanan kesehatan, pertanian,
pembangunan dan penciptaan serta pemeliharaan bagi stabilitas struktural dan
ketertiban. Selan itu, organisasi-organisasi non pemerintah ini memiliki
kepeduliaan dalam menyoroti isu-isu tentang lingkungan hidup, pemerintahan
yang baik, hak asasi manusia, keadilan dan perdamaian.27
Melihat perkembangan yang signifikan terhadap geliat organisasi-
organisasi non pemerintah (NGO) dalam membangun basis di masyarakat secara
sungguh-sungguh untuk dapat melayani kepentingan dan kebutuhan masyarakat,
sehingga dibutuhkan pedoman prinsip-prinsip etika dan pertanggungjawaban.
Untuk itu maka dibuatlah semacam pedoman tata krama Internasional bagi NGO
yang dipelopori oleh Environment Liaison Center International. Salah satu
pedoman bagi NGO internasional atau organisasi nasional yang melakukan
aktivitas di luar negerinya sendiri, sebagai berikut;
a. Bekerjasama dengan NGO lain, baik utara maupun selatan dengan
dasar kemitraan dan kesetaraan yang adil.
b. Mendorong arus informasi, gagasan, dan pengalaman dua arah.
c. Beroperasi dengan dasar keuangan yang transparan.
27
Dewi Fortuna Anwar, dkk. (Ed). 2004. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah,
Ekonomi, Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; MOST LIPI;
LASEMA-CNRS; KITLV Jakarta, hal. 354.
23
d. Sepakat bahwa NGO domestik, bukan NGO asing yang memiliki
tanggung jawab lebih untuk kegiatan-kegiatan di dalam negeri.
e. Memiliki sistem pertimbangan yang jelas dalam negeri tempat
beroperasi dan kriteria yang transparan dalam memilih rekan kerja.
f. Memantau kegiatan pemerintah dan perusahaan di negaranya.
g. Dalam berhubungan dengan pejabat pemerintah harus memperkuat
peran NGO lokal sebagai juru bicara yang sah bagi masyarakat.
h. Perwakilan NGO yang hidup disuatu negara selayaknya mengikuti
tingkat yang wajar, tidak dengan gaya hidup seorang ekspatriat.28
Berdasarkan konsep NGO yang sudah dijelaskan sebelumnya dan
bercermin pada tata krama organisasi internasional, Muhammadiyah adalah
organiasi non pemerintah yang berdiri pada tahun 1912 dengan asas Islam yang
berkarateristik moderat dan modern. Muhammadiyah sebagai organisasi
keagamaan dan kemasyarakatan yang berfokus pada kegiatan dakwah,
pendidikan, kesejahteraan sosial, kesehatan. Pada awal berdirinya
Muhammadiyah bersandarkan pada kemandirian dalam mengembangkan
organisasi, bukan bergantung pada pihak lain seperti para pemodal atau pendonor
asing, kemandirian ini yang membuat Muhammadiyah tidak bisa dikendalikan
atau diintervensi oleh penguasa politik dan para pemodal. Sampai saat ini
Muhammdiyah konsisten menjadi organisasi masyarakat sipil yang memiliki
karakter kemandirian, bergerak atas swadaya dan kesukarelaan para anggotanya
dan terus membangun keswasembadaan organisasi dengan amal usahanya,
28
Zaim Saidi, 1995, Secangkir Kopi Max Havelaar-LSM dan Kebangkitan Masyarakat, Jakarta;
Gramedia Pustaka Utama. hal. 162-163 pada Lampiran Tata Krama Internasional LSM.
24
sehingga Muhammadiyah diharapkan terus menjadi pilar kekuatan dari
masyarakat sipil dalam mengontrol dan membantu negara serta menjadi mitra
kritis dan solutif bagi pemerintah.29
Dalam konteks penanganan konflik yang terjadi di Thailand Selatan,
Muhammadiyah sebagai aktor non negara dalam dunia Internasional ambil bagian
secara aktif dalam membantu resolusi konflik yang terjadi di berbagai belahan
dunia, salah satunya di Thailand Selatan sebagai bentuk komitmen
Muhammadiyah dalam menjunjung nilai kemanusiaan, menciptakan perdamaian
serta sebagai bentuk kepeduliaan terhadap sesama Muslim. Selain itu juga,
Muhammadiyah sebagai bagian dari masyarakat sipil bisa menjadi representasi
bangsa Indonesia untuk membantu misi kemanusiaan dan perdamaian di Asia
Tenggara maupun dunia sebagaimana amanah pembukaan UUD 1945 yaitu ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial dengan mengedepankan tata krama organisasi non pemerintah di
dunia Internasional.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif atau deskriptif merupakan suatu jenis
penelitian yang menelaah fenomena sosial yang berlangsung secara empiris
dengan menggunakan model atau pendekatan studi kasus. Desain studi kasusnya
29
Zuly Qodir, 2010, Muhammadiyah Studies: Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Memasuki
Abad Kedua, Yogyakarta, Kanisius, hal. 73
25
menggunakan desain studi kasus tunggal dimana kasus tersebut menyatakan kasus
penting dalam menguji suatu teori yang telah disusun dengan baik.30
1.6.2 Teknik Analisis Data
Teknik analisa data yang dilakukan secara induksi yaitu tahap awal dalam
penelitian ini dengan melakukan studi kepustakaan yang bertujuan untuk
memperoleh latar belakang konflik yang terjadi antara masyarakat Thailand
Selatan dengan pemerintah Thailand, kemudian untuk melihat gambaran
mengenai keterlibatan serta kontribusi yang Muhammadiyah lakukan dalam
penyelesaian konflik di Thailand Selatan. Setelah itu data dianalisis untuk
menemukan kontribusi dan upaya Muhammadiyah dalam membantu penyelesaian
konflik serta faktor-faktor pendukung dan penghambat pada prosesnya itu. Hasil
dari analisis ini diharapkan dapat menghasilkan suatu penjelasan, saran dan
kesimpulan akhir.
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber,
umumnya data bersifat dokumen tertulis, teknik ini juga dikenal studi dokumen
atau literature study. Dalam penelitian ini data diperoleh dari sumber primer yaitu
data dan dokumen dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan sumber sekunder
yaitu dari buku, majalah, surat kabar, informasi dari situs internet.
30
Masri Singarimbun, 1989, Metode Penelitian Sosial. Jakarta:LP3ES, hal. 192.
26
1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian
a. Batasan Materi
Batasan materi dalam penelitian ini berfokus pada peran yang dilakukan
Muhammadiyah dalam membantu mengatasi konflik untuk pembangunan
perdamaian di Thailand Selatan.
b. Batasan Waktu
Batasan waktu dalam penelitian ini dimulai pada tahun 2007 sampai tahun
2017. Berawal saat pemerintah Thailand mengundang Persyarikatan
Muhammadiyah untuk membicarakan upaya mencari resolusi atas konflik
di Thailand Selatan.
1.7 Argumen Dasar
Konflik berkepanjangan yang terjadi di Thailand Selatan membuat
pemerintah Thailand mengundang organisasi Muhammadiyah. Hal ini disebabkan
karena Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang mapan, maju dan dianggap
mampu menjadi penjembatan pemerintah untuk lebih mudah masuk
menyelesaikan konflik tersebut. Muhammadiyah memainkan peran yang strategis
dalam berperan guna menyelesaikan konflik yang terjadi dengan cara melakukan
agenda dialog baik bersama PM Thailand, Raja Thailand, serta dengan perwakilan
dari masyarakat Thailand Selatan. Selain itu, Muhammadiyah juga memberikan
bantuan terhadap masyarakat Thailand Selatan dengan memberikan beasiswa
kepada para pelajar disana untuk studi di Perguruan Tinggi Muhammadiyah
(PTM) yang ada di Indonesia, beasiswa ini bertujuan untuk pembelajaran kepada
para penerima beasiswa mengenai Islam yang moderat dan diharapkan mereka
27
dapat mengajarkan ilmu dan pengalaman yang didapat ke negara asalnya, selain
itu bantuan ini sebagai wujud kepedulian Muhammadiyah kepada sesama umat
Islam dan peradaban dunia. Muhammadiyah berharap dengan adanya bantuan
pendidikan dan pertukaran pengalaman dapat meningkatkan kualitas sumber daya
manusia masyarakat Thailand Selatan sehingga dapat mengurangi intensitas
kekerasan dan konflik antara masyarakat dengan pemerintah.
1.8 Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu,
teori dan konsep, metodologi penelitian, argumen dasar dan
sistematika penulisan.
BAB II : Latar Belakang Konflik di Thailand Selatan
Pada bab ini penulis menjelaskan sejarah dan faktor penyebab
terjadinya konflik di Thailand Selatan serta upaya dan kebijakan
pemerintah Thailand untuk meredam konflik. Pada bab ini juga
dijelaskan mengenai landasan Muhammadiyah dalam melakukan
internasionalisasi gerakan dan dakwah di dunia internasional serta
kiprah Muhammadiyah dalam mengatasi permasalahan konflik di
dunia Internasional.
28
BAB III : Peran Muhammadiyah dalam Konflik Thailand Selatan
Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai proses awal kerjasama
Muhammadiyah dengan Pemerintah Thailand dalam menyelesaikan
konflik Thailand Selatan. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai
strategi dan respon masyarakat Thailand terhadap keterlibatan
Muhammadiyah dan upaya-upaya yang dijalankan Muhammadiyah
dalam mengatasi konflik di Thailand Selatan.
BAB IV : Penutup
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dan saran dari
penelitian yang dilakukan oleh penulis.