bab i kerangka-kerangka aliran ilmu kalam · ilmi kalam : aliran – aliran dan pemikiran 2 a....
TRANSCRIPT
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
2
A. Aliran-aliran ilmu kalam
Mengkaji aliran-aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya untuk memahami
kerangka berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Perbedaan kesimpulan satu dengan kesimpulan
lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural.1
Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, ada dua pendapat diantaranya,
yaitu:
1. Ad-Dahlawi; Tampaknya lebih menekankan aspek subjek pembuatan keputusan sebagai
pemicu perbedaan pendapat. Penekanan serupapun pernah dikatakan Imam Munawwir. Ia
mengatakan bahwa perbedaan pendapat di dalam Islam lebih dilatarbelakangi adanya
beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figur pembuat
keputusan.
2. Umar Sulaiman Asy-Syaqar; Ia lebih menekankan aspek objek keputusan sebagai pemicu
terjadinya perbedaan pendapat. Menurutnya, ada tiga persoalan yang menjadi objek
perbedaan pendapat, yaitu:
a. Persoalan keyakinan (aqa’id),
b. Persoalan syariah, dan
c. Persoalan politik.2
Perbedaan metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam,
yaitu kerangka berfikir rasional dan metode berfikir tradisional.
Metode berfikir secara rasional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut ini.3
1. Hanya terikat dengan dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebutkan dalam Al-
Quran dan Hadis Nabi, yakni ayat yang qath’i (teks yang tidak diinterpretasi lagi kepada
arti lain, selain arti harfinya).
2. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan
daya yang kuat kepada akal.
3. Fokus dalam prinsip berfikir rasional adalah lebih dominannya peran akal sehingga harus
lebih ekstra keras berupaya untuk menanamkan suatu ajaran atau konsep kepada orang
lain.
1.Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, CV Pustaka Setia, Bandung, hlm. 31. 2.Umar Sulaiman Al-Asyaqar. Mengembalikan Citra dan Wibawa Umat: Perpecahan, akar masalah, dan
solusinya, Terj. Abu Fahmi, Wacana Lazuardi Amanah. Jakarta. Hlm. 39-55 3.Yunan Yusuf. Corak pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar. Pustaka Panjimas, Jakarta. 1990. Hlm. 16-17
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
3
Jadi dominannya aspek rasionalisme dalam ilmu kalam akhirnya menjadikan pemikiran
ini jatuh ke wilayah pemikiran metafisika yan lebih bersifat spekulatif dan melampaui batas-
batas kemampuan dan daya serap pikiran manusia biasa.
Adapun metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang boleh
mengandung arti lain selain dari arti harfinya).
2. Tidak memberikan kebebasan pada manusia dalam berkehendak dan berbuat.
3. Memberikan daya yang kecil kepada akal.
Ada tiga berometer, sekurang-kurangnya untuk melihat dan mengetahui suatu aliran,
yaitu: kedudukan akal dan fungsi wahyu, perbuatan dan kehendak manusia, serta keadilan
atau kehendak mutlak Tuhan.
Ciri teologi rasional adalah:
1. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi, karena dalam memahami wahyu, aliran ini
cenderung menggambar arti majazi,
2. Manusia bebas berbuat dan berkehendak. Karena akal kuat, manusia mapu berdiri sendiri
3. Keadilan Tuhan menurut pendapat ini, terlatak pada adanya hukum alam (sunatullah) yang
mengatur perjalanan alam ini.
4. Mengatakan bahwa Tuhan bersifat immateri, tak dapat dilihat dengan mata kepala.
5. Mengatakan sabda Tuhan atau kalam bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan
diciptakan Tuhan.
Adapun ciri teologi tradisional:
1. Akal mempunyai kedudukan yang rendah. Karena dalam memahami wahyu, aliran ini
cenderung mengambil arti lafzhi atau literal.
2. Manusia tidak bebas bergerak dan berkehendak.
3. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini, bukanlah sunatullah.
Namun benar-benar menurut kehendak mutlak Tuhan.
4. Teologi ini menganggap Tuhan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di
akhirat nanti. Faham ini sejajar dengan pendapat mereka bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat tajassum atau antropomorphisme, sungguhpun sifat-sifat itu tidak sama
dengan sifat jasmani manusia.
5. Mengatakan bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal.
Teologi liberal dengan keadaannya banyak berpegang pada logika lebih sesuai dengan
jiwa dan pemikiran kaum terpelajar. Sebaliknya teologi tradisionil, dengan teguhnya
berpegang pada arti harfi dari teks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis ditambah dengan kurangnya
ia menggunakan logika, kurang sesuai dengan jiwa dan pemikiran golongan terpelajar.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
4
Teologi liberal, selanjutnya dengan pembahasanya yang bersifat filosofis, sukar dapat
ditangkap oleh golongan awam. Tetapi teologi tradisionil, dengan uraiannya yang sederhana,
mudah dapat diterima oleh kaum awam.
Aliran teologi yang sering disebut-sebut memiliki cara berfikir teologi rasional adalah
Mu’tazilah. Oleh karena itu, Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang bersifat rasional dan
liberal. Adapun teologi yang sering disebut-sebut memiliki metode berfikir tradisional adalah
Asy’ariyyah.
Disamping pengatagorian teologi rasional dan tradisional, dikenal pula pengatagorian
akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam.4
1. Aliran Antroposentris
Aliran anroposentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat
intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos. Baik yang
natural mayupun yang supranatural dalam arti unsur-unsurnya.Manusia adalah anak
kosmos.Unsur supranatural dalam diri merupakan sumber kekuatannya.Tugas manusia adalah
melepaskan unsur-unsur natural yang jahat.Dengan demikian manusia harus mampu
menghapus kepribadian kemanusiannya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan
naturalnya.Orang yang tergolong dalam kelompok ini berpandangan negatif terhadap dunia
karena menganggap keselamatan dirinya terletak pada kemampuannya untuk membuang
semua hasrat dan keinginannya.Sementara ketakwaan lebih diorientasaikan kepada praktek-
praktek pertapaan dan konsep-konsep magis.Tujuan hidupnya bermaksud menyusun
kepribadiannya kedalam realita impersonalnya.5
Anshari menganggap manusia yang berpandangan antroposentris sebagai sufi adalah
mereka yang berpandangan mistis dan statis. Padahal manusia antroposentris sangat dinamis
karena menganggap realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan impersonal datang
kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya itu berupa potensi yan
menjadikannyamampu membedakan mana yang baik dan mana yamg jahat. Manusia yang
memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan melimpah (surga), sedangkan manusia yang
memilih kejahatan, ia akan memeroleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya,
manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. aliran
teologi yang termasuk dalam kategori ini adalah Qadariah, Mu’tazilah dan Syi’ah.
2. Teolog Teosentris
4.Muhammad Fazlur Rahman Ansari. Konsepsi Masyarakat Islam Modern, Terj. Juniarso Ridwan, dkk., Risalah,
Bandung. 1984. Hlm. 92 5.Ibid., hlm. 92
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
5
Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat transenden bersifat suprakosmos, personal
dan ketuhanan. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini. Ia dengan
segala kekuasaan-Nya- mampu berbuat apa saja secara mutlak. Sewaktu-waktu ia dapat
muncul pada masyarakat kosmos. Amnusai adalah makhluk ciptaan-Nya sehingga harus
berkarya hanya untuk-Nya.Didalam kondisi yang serba relatif, diri manusia adalah migran
abadi yang aka segera kembali kepada Tuhan.Untuk itu manusia harus mampu meningkatkan
keselarasan denagn realitas tertinggi dan transenden melalui ketakwaan. Dengan
ketakwaannya, manusia akan memperoleh kesempurnaan yang layak, sesuai dengan
naturalnya. Dengan kesempurnaan itu pula, manusia akan menjadi sosok yang ideal, yang
mampu memancarkan atribut-atribut ketuhanan dalam cermin dirinya. Kondisi semacam
inilah yang pada saatnya nanti akan menyelamatkan nasibnya di masa yang akan datang.6
Manusia teosentris adalah manusia yang statis karena sering terjebak dalam kepasrahan
mutlak kepada Tuhan. Sikap kepasrahan menandakan ia tidak mempuyai pilihan. Baginya
segala perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan. ia tidak mempunyai pilihan lain,
kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Denagn cara itu Tuhan menjadi penguasa mutlak
yang tidak dapat diganggu gugat. Tuhan bisa saja memasukkan manusia jahat kedalam
keuntungan yang melimpah (surga). Begitu pula, Dia dapat memasukkan manusia yang taat
dalam situasi yang serba rugi yang terus-menerus (neraka).
Aliran teosentris menganggap daya menjadi potensi perbuatan baik atau jahat manusia
bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan.Oleh sebab itu, ada kalanya manusia mampu
melaksanakan sesuatu perbuatan tatkala ada daya yang datang kepadanya. Sebaliknya ia
mampu melaksanakan suatu perbuatan apapun tatkala ia ada daya yang datang kepadanya.
Dengan perantara daya, Tuhan selalu campur tangan. Bahkan bisa dikatakan manusia tidak
ada daya sama sekali terhadap segala perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam
kategori ini adalah Jabbariyah.
3. Aliran Konvergensi atau Sintesis
Aliran konvergensi menganggap hakikat realitas transenden bersifat supra sekaligus
intrakosmos personal dan impersonal.Lahut dan nashut, makhluk dan Tuhan, sayang dan
jahat, lenyap dan abadi, tampak dan abstrak, dan sifat-sifat lainnya yang dikotomik.Ibnu
Arabi menamakan sifat-sifat yang semacam ini dengan insijam al-azali (prestabilished
harmony).7
6. Ibid. Hal 56 7 .Lihat Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyi Ad-Din bin ‘Arabi, Fushush Al-Hikam, Komentar A.R. Nicholson, Jilid II,
t.t, hlm. 22
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
6
Aliran ini memandang bahwa manusia adalah tajjahatau cermin asma dan sifat-sifat
realitas mutlak itu.Bahkan, seluruh alam (kosmos), termasuk manusia, juga merupakan
cermin asma dan sifat-Nya yang beragam.Oleh sebab itu, eksistensi kosmos yang dikatakan
sebagai pencipta pada dasarnya adalah penyingkapan asma dan sifat-sifat-Nya yang azali.
Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya, sagala sesuatu iyu berada dalam
ambigu (serba ganda), baik secara substansial maupun formal.Sesuatu substansial, sesuatu
mempunyai nilai-nilai batini, huwiyah dan eternal (qadim) karena merupakan gambaran Al-
Haq.Dari sisi ini, sesuatu dapat dimusnahkan kapan saja karena sifat makhluk adalah profan
dan relatif.Eksistensinya sebagai makhluk adalah mengikuti sunatullah atau natural law
(hukum alam) yang berlaku.
Aliran ini berkeyakinana bahwa hakikat daya manusia merupakan proses kerja sama
antar daya yang transendental (Tuhan) dalam bentuk kebijaksanaan dan daya temporal
(manusia) dalam bentuk teknis. Dampaknya, ketika daya manusia tidak berpartisipasi dalam
proses peristiwa yang terjadi pada dirinya, daya yang transendental yang memproses suatu
peristiwa yang terjadi pada dirinya. Oleh karena itu, ia tidak memperoleh pahala atau siksaan
dari Tuhan. Sebaliknya, ketika terjadi suatu peristiwa pada dirinya, sementara ia sendiri telah
berusaha melakukannya, maka pada dasarnya kerja sama harmonis antara daya transendental
dan daya temporal. Konsekuensinya, manusia akan memperoleh pahala atau siksaan dari
Tuhan, sebanyak andil temporalnya dalam mengaktualkan peristiwa tertentu.
Kebahagiaan, bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuannya
membuat pendulum agar selalu tidak jauh ke kanan atau ke kiri, tetapi di tengah-tengah antara
ekstrimitas. Dilihat dari sisi ni, Tuhan adalah sekutu manusia yang tetap, atau lebih luas lagi
bahwa Tuhan adalah sekutu makhluk-Nya, sedangkan makhluk adalah sekutu Tuhannya. Ini
karena, baik manusia atau makhluk merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan
sebagaiman keterpaduan antara dzat Tuhan dan asma serta sifat-sifat-Nya. Kesimpulannya,
kemerdekaan kehendak manusia yang profan selalu berdampingan determinisme
transendental Tuhan yang sakral dan menyatu dalam daya manusia. Aliran teologi yang dapat
dimasukkan ke dalam kategori ini adalah Asy’ariyah.
4. Aliran Nihilis
Aliran nihilis menganggap bahwa hakikat realitas transendental hanyalah ilusi.Aliran ini
pun menolak Tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi Tuhan kosmos.Manusia
hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalam suatu masyarakat yang serba
kebetulan.Kekuatan terletak pada kecerdikan diri manusia sendiri sehingga mampu
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
7
melakukan yang terbaik dari tawaran yang terburuk.Idealnya, manusia mempunyai
kebahagiaan yang bersifat fisik, yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.8
Semua aliran teologi dalam Islam, baik Asy’ariyah, Maturidiyah apalagi Mu’tazilah
sama mempergunakan akal dalam menyelesailkan persoalan-persoalan teologi yang timbul di
kalangan umat Islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam
derajat kekuasaan yang diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah berpendapat bahwa akal
mempunyai daya yang kuat, Asy’ariah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai daya
yang lemah.
Semua aliran juga berpegang kepada wahyu. Dalam hal ini, perbedaan yang terdapat
antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks ayat-ayat al-
Qur’an dan Hadis.Perbedaan interpretasi inilah yang sebenarnya menimbulkan aliran-aliran
yang berlainan itu. Hal ini juga tidak obahnya sebagai hal yang terdapat dalah bidang hukum
Islam atau Fiqih. Disana juga, perbedaan interpretasilah yang melahirkan mazhab-mazhab
seperti yang dikenal sekarang, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan
mazhab Hambali.
8Ibid., hlm. 92
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
9
A. Ilmu kalam
1. Pengertian Ilmu kalam
Secara harfiyah, ilmu kalam berarti pembicaraan atau perkataan. Dalam lapangan
pemikiran islam, istilah kalam memiliki dua pengertian : pertama, sabda Allah ( The Word
of God ), dan kedua, ‘Ilm Al-kalam ( The science of kalam ).9
Dalam Al-Quran istilah kalam ini dapat ditemukan dala ayat-ayat yang berhubungan
dengan salah satu sifat Allah, yakni lafazh kalamullah.dalam surat An-Nisa Ayat 164 :
١٦٤وكلم هللا مو سى تكليما )النسا:
Artinya : “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.”( QS.An-Nisa ;164 ).
Menurut syaikh muhammad abduh(1849-1905) ilmu tauhid atau disebut ilmu
kalam,adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah tentang sifat-sifat yang wajib
tetap bagi-Nya.sifat sifat yang jaiz disifatkan kepadanya dan tentang sifat mustahi dari
pada-Nya.dan membahas tentang rosul Allah untuk memetapkan kebenaran
risalahnya,apa yang diwajibkan atas dirinya,hal yang jaiz yang dihubungkan/dinisbatkan
pada diri mereka dan hal yang terlarang / mustahil menghubungkannya kepada diri
mereka.
Sebutan kalam, juga dipertegas oleh Nurcholish Madjid, yang mengutip Ali Asy-
Syabi bahwa antara istilah mantiq dan kalam secara historis ada hubungan. Keduanya
memiliki kesamaan, lalu antara kaum Mutakallimun ( ahli ilmu kalam ) dan para filosof
mengganti istilah mantiq dengan kalam, karena keduanya memiliki makna harfiyah yang
sama.
Ilmu ini disebut dengan ilmu kalam, disebabkan persoalan yang terpenting yang
menjadi pembicaraan pada abad-abad permulaan hijriyah ialah apakah kalam Allah ( Al-
Quran ) itu qadim atau hadits. Dan dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh
dalil pikiran ini tampak jelas dalam pembicaraan para Mutakallimin.
Mereka jarang mempergunakan dalil naqli ( Al-Quran dan Hadits ), kecuali sesudah
menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalil-dalil pikiran.
Ilmu kalam kadang disebut dengan ilmu tauhid ( mengenai keesaan Allah Swt) , ilmu
usluhuddin ( membahas tentang prinsip-prinsip agama islam ) dan ilmu akidah
atau aqo’id ( membicarakan tentang kepercayaan islam ).
9.Adeng Muchtar G, perkembangan ilmu kalam dari klasik hingga modern (Bandung : pustaka
setia,2005),19.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
10
2. Sumber-sumber ilmu kalam
Sumber utama ilmu kalam ialah Al-Quran dan Al-Hadis yang menerangkan tentang
wujudnya Allah Swt,sifat-sifat-Nya,dan persoalan akidah islam lainnya. tidaklah tepat
kalau ilmu kalam itu merupakan ilmu ke-islaman yang murni, karena diantara
pembahasan-pembahasannya banyak yang berasal dari luar islam, sekurang-kurangnya
dalam metodenya. Tetapi juga tidak benar kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu timbul
dari filsafat yunani, sebab unsur-unsur lain juga ada. Yang benar ialah kalau dikatakan
bahwa ilmu kalam itu bersumber pada Al-Quran dan Al-Hadis yang perumusan-
perumusannya didorong oleh unsur-unsur dari dalam dan dari luar.
Salah satu Faktor timbulnya ilmu kalam karena kebutuhan para mutakallimin
terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan ( mengimbangi,pen ) musuh- musuhnya,
mendebat karena dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama, mereka terpaksa
mempelajari filsafat yunani dalam mengambil manfaat ilmu logika, terutama dari segi ke-
Tuhanannya. Kita mengetahui An-Nazham ( tokoh mu’tazilah ,pen ) mempelajari filsafat
aristoteles dan menolak beberapa pendapatnya.
Barang siapa yang mengatakan bahwa imu kalam itu ilmu ke-Islam-an yang murni,
yang tidak terpengaruh oleh filsafat dan agama-agama yang lain, hal itu tidaklah benar.
Tetapi orang-orang yang mengatakan bahwa ilmu kalam itu timbul dari filsafat yunani
semata mata itu juga tidak benar. Karena islam menjadi dasarnya dan sumber-sumber
pembahasannya. Nash – nash agama banyak dijadikan dalil, disamping filsafat yunani,
tetapi kepribadian islam adalah menonjol. Ilmu kalam merupakan puncak dari filsafat
islam.
B. Tasawuf
1. Awal munculnya tasawuf
Tentang kapan awal munculnya tasawuf, Ibnul Jauzi mengemukakan, yang pasti,
istilah sufi muncul sebelum tahun 200 H.
Ketika pertama kali muncul, banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai
ungkapan. Tasawuf dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan usaha
mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik,
hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akhirat.10
Ada yang mengatakan tasawuf dari kata “shafa”, artinya suci, bersih, atau murni.
Karena dari segi niatnya maupun tujuannya setiap tindakan kaum sufi, dilakukan dengan
10.Jaiz, Hartono Ahmad, Kumpulan Buku Hartono ( Tasawuf Belitan Iblis) Buku digital ( Jakarta, 2005)
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
11
niat suci untuk membersihkan jiwa dalam mengabdi kepada Allah SWT. Ada juga yang
menyatakan bahwa ahl ash-shuffah adalah komunitas yang hidup pada masa Rasulullah,
dan senantiasa menyibukkan diri untuk beribadah kepada Allah.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya U’lum Ad-Din menyebutkan, Tasawuf adalah budi pekerti.
Berarti ia memberikan bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf. Hamba yang jiwanya
menerima (perintah) untuk beramal karena mereka melakukan suluk dengan petunjuk
islam, orang-orang zuhud yang jiwanya menerima perintah untuk melakukan sebagian
akhlak, karena mereka telah melakukan suluk dengan petunjuk (nur) imannya. Mereka
memiliki ciri khusus dalam aktivitas dan ibadah mereka, yaitu atas dasar kesucian hati dan
untuk pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mereka
adalah orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat.
2. Tujuan Tasawuf
Tasawuf banyak diminati oleh para ulama sebagai jalan atau latihan untuk
mengembankan kesucian batin atau hati. Ada dua aliran besar yang berkembang dalam
dunia tasawuf, yaitu Tasawuf falsafi (Ulama yang meminati dunia filsafat, namun
melibatkan diri dalam tasawuf berada dalam aliran ini) dan Tasawuf Sunni (Ulama yang
tidak melibatkan diri pada dunia pemikiran filsafat).
3. Syari'at dianggap ilmu lahir hingga aqidahnya rusak
Ada golongan lain yang mengikuti jalan tasawuf, menyendiri dengan ciri-ciri
tertentu, seperti mengenakan pakaian tambal-tambalan, suka mendengarkan syair-syair,
tepuk tangan dan sangat berlebih-lebihan dalam masalah thaharah dan kebersihan.
Masalah ini semakin lama semakin menjadi-jadi, karena para syaikh menciptakan topik-
topik tertentu, berkata menurut pandangannya dan sepakat untuk menjauhkan diri dari
ulama.
Memang mereka masih tetap menggeluti ilmu, tetapi mereka menamakannya ilmu
batin, dan mereka menyebut ilmu syari'at sebagai ilmu dhahir. Karena rasa lapar yang
mendera perut, mereka pun membuat khayalan-khayalan yang musykil, mereka
menganggap rasa lapar itu sebagai suatu kenikmatan dan kebenaran. Mereka memba-
yangkan sosok yang bagus rupanya, yang menjadi teman tidur mereka. Mereka itu berada
di antara kufur dan bid'ah.
Kemudian muncul beberapa golongan lain yang mempunyai jalan sendiri-sendiri,
dan akhirnya aqidah mereka jadi rusak. Di antara mereka ada yang berpendapat tentang
adanya inkarnasi/hulul (penitisan) yaitu Allah menyusup ke dalam diri makhluk dan
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
12
ada yang menyatakan Allah menyatu dengan makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa menjerat
mereka dengan berbagai macam bid'ah, sehingga mereka membuat sunnah tersendiri bagi
mereka.
4. Perintis tasawuf tak diketahui pasti
Abdur Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab
was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi
sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi'i ketika memasuki kota Mesir mengatakan,
"Kami tinggalkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (menyeleweng; aliran
yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia; orang yang menyelundup ke
dalam Islam, berpura-pura telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan
assama' (nyanyian).
Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi'i adalah orang-orang sufi. Dan assama'
yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana
dimaklumi, Imam Syafi'i masuk Mesir tahun 199H. Perkataan Imam Syafi'i ini
mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum
zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi'i sering berbicara
tentang mereka di antaranya beliau mengatakan:
Dia (Imam Syafi'i) juga pernah berkata: "Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama
40 hari, lalu akalnya (masih bisa) kembali normal selamanya."
Semua ini, menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq, menunjukkan bahwa sebelum
berakhirnya abad kedua Hijriyah terdapat satu kelompok yang di kalangan ulama
Islam dikenal dengan sebutan Zanadiqoh (kaum zindiq), dan terkadang dengan sebutan
mutashawwifah (kaum sufi).
Imam Ahmad (780-855M) hidup sezaman dengan Imam Syafi'i (767-820M), dan
pada mulanya berguru kepada Imam Syafi'i. Perkataan Imam Ahmad tentang keharusan
menjauhi orang-orang tertentu yang berada dalam lingkaran tasawuf, banyak dikutip
orang. Di antaranya ketika seseorang datang kepadanya sambil meminta fatwa tentang
perkataan Al-Harits Al-Muhasibi (tokoh sufi, meninggal 857M). Lalu Imam Ahmad
bin Hanbal berkata:"Aku nasihatkan kepadamu, janganlah duduk bersama mereka
(duduk dalam majlis Al-Harits Al-Muhasibi)".
Imam Ahmad memberi nasihat seperti itu karena beliau telah melihat majlis Al-
Harits Al-Muhasibi. Dalam majlis itu para peserta duduk dan menangis --menurut
mereka untuk mengoreksi diri. Mereka berbicara atas dasar bisikan hati yang jahat. (Perlu
kita cermati, kini ada kalangan-kalangan muda yang mengadakan daurah/penataran atau
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
13
halaqah /pengajian, lalu mengadakan muhasabatun nafsi/ mengoreksi diri, atau
mengadakan apa yang mereka sebut renungan, dan mereka menangis tersedu-sedu,
bahkan ada yang meraung-raung. Apakah perbuatan mereka itu ada dalam sunnah
Rasulullah saw? Ataukah memang mengikuti kaum sufi itu?).
Pada umumnya ajaran tasawuf berdasarkan pada pandangan filsafat bahwa alam
adalah merupakan pancaran Tuhan dan puncak pancaran tersebut adalah manusia (filsafat
emanasi).
Kajian tasawuf dalam islam tidak berbentuk sekaligus,tetapi berkembang menembus
perjalanan waktu melewati fase-fase tertentu secara bertahap.
Periodesasi tasawuf islam :
1. Tampil dalam bentuk ibadah dan zuhud, seseorang meninggal dunia menuju akhirat
serta secara teguh berusaha melakukan hal-hal yang bisa menjadi taat dan dekat
(kepada Allah). Seperti rabi’ah al-Adawiyyah sebagai tokoh kaum zuhud wanita.
2. Melakukan kajian teoritis. Pertama mereka melakukan berorientasi pada jiwa untuk
disingkap rahasia-rahasianya.mereka membicarakan tentang keasyikan,kerinduan,
takut dan harapan. Mereka mencari cinta ilahi dimana saja bisa ditemukan.
C. FILSAFAT
Filsafat berasal dari bahasa yunani philosophia. Yang berarti adalah
cinta philia kebijaksanaan ( sophia ). Menurut analisis, kata ini muncul dari mulut
phytagoras yang hidup diyunani kuno pada abad ke-6 sebelum masehi. Oleh karena itu,
orang yang mencintai kebijaksanaan disebut sebagai philosophos atau filsuf. Orang yang
mencintai kebijaksanaan bukanlah orang yang sudah memiliki kebijaksanaan, melainkan
orang yang terus berupaya mencari kebijaksanaan. Menurut plato filsafat tidaklah lain dari
pada pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles kewajiban filsafat adalah
menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu yang
umum.11
Berbicara dengan berpikir sesungguhnya erat kaitannya dengan penggunaan sebuah
potensi terpenting yang dianugerahkan Allah SWT. Kepada satu-satunya makhluk yang
disebut manusia. Potensi terpenting yang dimaksud di sini adalah akal.
Dalam Al-Quran, kata “akal” (al’aqlu) diungkapkan dalam kata kerja (fi’il) yang
mengandung arti memahami dan mengerti. Seyogianya kita dapat mengoptimalisasi
potensi akal tersebut adalah dengan mempelajari salah satu bidang ilmu yang memang
11.Zuhaini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 2008)
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
14
banyak melibatkan akal sebagai alat untuk berpikir, yaitu filsafat. Kajian filsafat pun
sebetulnya bertujuan menemukan kebenaran yang sebenarnya. Dan hubungan antara
filsafat dengan ilmu pengetahuan menggunakan metode pemikiran reflektif dalam usaha
menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan.
Keduanya menunjukkan sikap kritik, dengan pikiran terbuka dan kemauan yang
tidak memihak, untuk mengetahui hakikat kebenaran. Mereka berkepentingan untuk
mendapatkan pengetahuan yang teratur. Adapun titik temu antara agama dan filsafat
adalah keduanya pada dasarnya mempunyai kesamaan, yaitu memiliki tujuan yang sama,
yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud adalah agama samawi,
yaitu agama yang diwahyukan oleh Tuhan kepada Nabi dan Rasul-Nya. Dibalik
persamaan itu terdapat perbedaan pula. Dalam agama, ada hal-hal yang penting, misalnya
Tuhan, kebijakan, baik dan buruk, surga dan neraka, dan lainnya. yang juga diselidiki oleh
filsafat karena hal-hal tersebut ada atau paling tidak mungkin ada, karena objek
penyelidikan filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada.
Alasan filsafat menerima kebenaran bukanlah kepercayaan, melainkan
penyelidikan, hasil pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu,
tetapi ia tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu, tetapi ia tidak mendasarkan
penyelidikannya atas wahyu. Lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin
sama, tetapi dasarnya amat berlainan.
Filsafat pada dasarnya adalah perenungan yang mendalam mengenai sesuatu yanng
dianggap atau dinilai bermanfaat bagi kehidupan manusia.12
Menurut Titus, Smith dan Novland tentang definisi filsafat berdasarkan watak dan
fungsi adalah :
1. Informal : Sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis.
2. Formal : Suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat kita junjung tinggi.
3. Spekulatif : Usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan, artinya filsafat
berusaha untuk mengkombinasikan bermacam-macam sains dan pengalaman
kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam.
12.Nina W. Syam, Filsafat sebagai akar ilmu komunikasi ( Bandung : Simiosa Rekatama Media, 2010), 79
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
15
Prinsip-prinsip berfilsafat :
1. Meniadakan kecongkakan maha tahu sendiri.
2. Perlu sikap mental berupa kesetiaan pada kebenaran.
3. Memahami secara sungguh sungguh persoalan-persoalan filsafat serta berusaha
memikirkan jawabannya.
4. Latihan intelektual itu dilakukan secara aktif dari waktu ke waktu dan diungkapkan ,
baik secara lisan maupun tulisan.
5. Sikap keterbukaan diri. (Nina W: 2010 )
D. HUBUNGAN ILMU KALAM, FILSAFAT DAN TASAWUF.
1. Persamaan
Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian
ilmu kalam adalah ke-Tuhanan dari segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek
kajian filsafat adalah masalah ke-Tuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala
sesuatu yang ada.
Sedangkan objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-
Nya. Jadi, dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan
dengan ke-Tuhanan.
Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu
kebenaran. Ilmu kalam, dengan metodenya berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan
dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha
menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia ( yang belum atau tidak
dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada diluar atau diatas jangkauannya ),
atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf- juga dengan metodenya yang tipikal –
berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju
Tuhan.
2. Titik perbedaan
Perbedaannya terletak pada aspek metodeloginya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang
menggunakan logika disamping argumentasi-argumentasi naqliyah berfungsi untuk
mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai apologinya.
Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika ( dialog keagamaan ). Berisi
keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen
rasional.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
16
Dan dari segi tempat berpijak, Ilmu kalam berpijak pada wahyu dan kesadaran
adanya Tuhan. Dari segi pembinaan, ilmu kalam timbulnya berangsur-angsur dan dimulai
dari beberapa persoalan yang terpisah-pisah, akhirnya tumbuh aliran-aliran ilmu kalam.
Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh
kebenaran rasional. Dan metode yang digunakan adalah rasional. Filsafat menghampiri
kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar), intelegral (
menyeluruh ) dan universal (mengalam), tidak terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh
ikatan tangan nya sendiri yang bernama logika. Dan berpijak dari akal pikiran dan
kesadaran akan wujud diri sendiri.
Dari segi pembinaannya, filsafat sejak semula sudah tumbuh diyunani dalam
keadaan utuh dan lengkap, sehingga ketika diterima kaum muslim tinggal memberi
penjelasan-penjelasan dan mempertemukannya dengan kepercayaan-kepercayaan Islam.
Berkenaan dengan keragaman kebenaran yang di hasilkan oleh kerja logika maka didalam
filsafat dikenal apa yang disebut:
a. kebenaran korespondensi (persesuaian antara apa yang ada dalam rasio dengan
kenyataan kebenaran yang ada dialam nyata).
b. filsafat koherensi (kesesuaian antara suatu pertimbangan baru dan suatu pertimbangan
yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanen. Jadi, kebenaran dianggap
tidak benar kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang dianggap benar oleh ulama
umum).
c. Kebenaran pragmatik (sesuatu yang bermanfaat (utility) dan mengkin dapat dikerjakan
(workability) dengan dampak yang memuaskan. Jadi, sesuatu dianggap tidak benar jika
tidak tampak manfaatnya secara nyata dan sulit untuk dikerjakan).
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menekankan rasa dari pada rasio. Sebagian pakar
mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau ilham, atau inspirasi yang
datang dari Tuhan. Kebenaran ini disebut sebagai hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang
objeknya datang dari subjek sendiri. Dalam sains dikenal dengan ilmu yang diketahui
bersama atau tacit knowledge, dan bukan ilmu proporsional.
Ilmu kalam (teologi) perkembangannya menjadi teologi rasional dan teologi
tradisional. Dengan prinsip teologi rasional yakni hanya terikat pada dogma-dogma yang
jelas dan tegas dalam Al-Quran dan Hadits Nabi, dan memberikan kebebasan kepada
manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.
Prinsip tradisional adalah terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
17
selain arti harfiyah, tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan
berkehendak dan memberikan daya yang kecil pada akal.
Perbedaan metode ilmu kalam dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya :
1. Filsafat islam
Filsafat yunani telah menarik perhatian kaum muslimin, terutama sesudah ada
terjemahan buku-buku filsafat yunani kedalam bahasa arab sejak zaman khalifah al-
Mansur ( 754-775 M) dalam mencapai puncaknya pada masa Al-Makmun (813-833 M)
dari khalifah bani Abbasiyah. Antara ilmu kalam dan filsafat islam ada perbedaan cara
pembinaannya.
Ilmu kalam timbul secara berangsur-angsur dan mula-mula hanya berupa hal yang
terpisah. Tetapi filsafat ini seakan-akan serentak. Sebab bahan-bahannya diperoleh dari
yunani dan sebagaimana dalam keadaan sudah lengkap atau hampir lengkap. Mereka ahli-
ahli filsafat itu tinggal mempertemukan dengan ajaran-ajaran islam. Filsafat islam
memasuki seluruh ilmu-ilmu keislam dimana ilmu kalam adalah merupakan puncak
kepribadiannya.
2. Tasawuf
Ilmu kalam itu berlandasan nash-nash agama, dipertemukan dalil-dalil pikiran
dalam membahas akidah dan ibadah merupakan amal badaniyah yang diupayakan dapat
menetap kedalam hati nurani, sehingga bisa membentuk jiwa beragama. Tasawuf lebih
banyak menggunakan perasaan (dzauq) dan latihan kejiwaan (riyadlah) dengan
memperbanyak amal ibadah. Kekuasaan bani abbasiyah yang telah mulai mantap pada
abad ke-2 H, dengan kekayaan negara yang berlimpah, menyebabkan sebagai khalifah dan
keluarhanya hidup berfoya-foya, banyak melanggar syara’ dan sebagainya. Keadaan
inilah yang mendorong pesatnya gerakan sufi. (Sahilun : 2012)
3. Hubungan Ilmu Kalam dengan Filafat
Filsafat yunani menarik sekali perhatian kaum muslimim, sejak zaman Khalifah Al-
Mansur (754-755 M) dan mencapai puncaknya pada masa Al-Makmun (813-833 M) dari
khalifah Abbasiyah. Ilmu rektorika, ilmu tentang cara berdebat atau adabul bahtsi wal
munadharoh sebagai bagian dari filsafat yunani mendapat perhatian tersendiri dari kaum
muslim, sebagai suatu yang membicarakan tentang cara berdebat. Karena ilmu kalam
bercorak filsafat yang menunjukkan ada pengaruh pikiran-pikiran dan metode filsafat,
sehingga banyak diantara para penulis menggolongkan ilmu kalam kepada filsafat.
Sebagai contoh Ibnu Khaldun ( Wafat 808 H/ 1406 M) mengatakan bahwa persoalan-
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
18
persoalan ilmu kalam sudah bercampur dengan persoalan-persoalan filsafat, sehingga
sukar dibedakan satu dengan lainnya.
demikian pula penulis barat Tenneman atau H. Ritter memasukkan mutakallimin ke dalam
filosof Islam.
4. Hubungan Filsafat dan Tasawuf
Keduannya sama-sama berupaya untuk mengantarkan manusia memahami
keberadaan Allah, sehingga bersedia melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan.
Upaya untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan itulah yang dapat
mengantarkan manusia pada kesempurnaan jiwa.
Dan dapat disimpulkan bahwa, filsafat lebih bersifat teoritis, sementara tasawuf
lebih bersifat praktis. Artinya, antara filsafat islam dan tasawuf sama-sama berupaya
untuk mengantarkan manusia agar memahami keberadaan Allah. Filsafat sebagai sarana
teoritis yang dapat mengantarkan manusia kepada keyakinan praktis. Keyakinan praktis
inilah yang menjadi wilayah tasawuf. Jadi, tujuan belajar filsafat islam adalah mencapai
wilayah tasawuf.13
5. Hubungan ilmu Tasawuf dengan ilmu Kalam
Kajian ilmu kalam akan lebih terasa maknanya jika diisi dengan ilmu
tasawuf. Sebaliknya, ilmu kalam pun dapat berfungsi sebagai pengendali tasawuf. Jika
ada teori-teori dalam ilmu tasawuf yang tidak sesuai dengan kajian ilmu kalam tentang
Tuhan yang didasarkan pada Al-Quran dan Al-Hadis, hal ini mesti dibetulkan. Demikian
terlihat hubungan timbal balik di antara ilmu tasawuf dan ilmu kalam.
13 Rozak, Filsafat Tasawuf, 57.
.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
20
A. Latar belakang kemunculan khawarij dan murji’ah
Kata khawarij secara etimologis berasal dari bahasa arab kharaja yang berarti keluar,
muncul, timbul, atau memberontak.14 Berkenaan dengan pengertian etimologis ini,
Syahrastani menyebut orang yang memberontak imam yang sah disebut sebagai
khowarij.15 Berdasarkan pengertian etimologi ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang
memiliki sikap laten ingin keluar dari kesatuan umat islam.16
Adapun yang di maksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu
sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena
tidak sepakat terhadap Ali yang menerima arbitrase/tahkim dalam perang siffin pada tahun 37
H/648 M dengan kelompok bughat (pemberontakan) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal
persengketaan khilafah. Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya
berada pada pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah dibai’at
mayoritas umat islam, sementara Mu’awiyah berada pada pihak yang salah karena
memberontak kepada khalifah yang sah. Lagi pula, berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali
hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya
licik ajakan damai Mu’awiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah
sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena desakan pengikutnya seperti
Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid bin Husein ath-Tha’I dengan
sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukanya) untuk menghentikan
peperangan.
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas
sebagai delegasi juru damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka
beranggapan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka
mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan
perkara berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya
sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali
sangat mengecewakan kaum khawarij sehingga mereka membelot dan mengatakan,”mengapa
14 .Abdu Al-Qahir bin Thahir bin Muhammad Al Baghdadi, Al- Farq bain, Al Azhar, Mesir
15 .Abi Al Fath Muhammad Abd Al Karim bin Abi Bakar As Syahrastani Al Milal Wan Nihal, Dar Al Fikr
16. Ali Musthafa Al Ghurabi, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah Wa Nasy’atu IlmiAl kalami ‘Inda Al Muslimin.
maktabah Wa mathbaah Muhammad ali Shabih Wa Auladuhu, Haihan al Azhar, mesir ,1958, hlm 264
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
21
kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum lain selain hukum yang ada disisi
Allah”. Imam Ali menjawab, “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan
keliru”.Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju
Hurura.
Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka smpai di Harura. Di Harura, kelompok
khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat
seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.17
B. Doktorin-doktorin pokok khawarij
Doktrin-doktrin yang dikembangkan oleh kaum khawarij dapat dikategorikan menjadi
tiga kategori yaitu: doktrin politik, teologi, dan sosial.
1. Doktrin politik
Melihat pengertian politik secara praktis-yakni kemahiran bernegara, atau kemahiran
berupaya menyelidiki manusia dalam memperoleh kekuasaan, atau kemahiran mengenai latar
belakang , motivasi, dan hasrat mengapa manusia ingin memperoleh kekuasaan. Khawarij
dapat dikatakan sebagai sebuah partai politik.
Politik juga ternyata merupakan doktrin sentral Khawarij yang timbul sebagai reaksi
terhadap keberadaan Muawiyah yang secara teoritis tidak pantas memimpin negara, karena ia
adalah seorang tulaqa (bekas kaum musyrikin di Mekkah yang dinyatakan bebas pada hari
jatuhnya kota itu kepada kaum muslimin).
Kebencian itu bertambah dengan kenyataan bahwa keislaman Muawiyah belum lama.
Mereka menolak untuk dipimpin orang yang di anggap tidak pantas. Jalan pintas yang
ditempuhnya adalah membunuhnya, termasuk orang yang mengusahakannya menjadi
khalifah. Dikumandangkanlah sikap bergerilya untuk membunuh mereka
Doktrin-doktrin dari segi politik yang dikembangkan oleh khawarij:
1. Khalifah atau imam harus di pilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
2. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang
muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
3. Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan
menjalankan syariat islam. Ia harus dijatuhkan bahkan di bunuh kalau melakukan
kezaliman
17 Ibrahim Madzkur, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, Dar Al-Ma’arif, Mesir 1947,
hlm. 109.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
22
4. Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa
kekhalifahannya, Utsman ra. Di anggap telah menyeleweng.Khalifah Ali adalah sah
tetapi setelah tahkim, ia di anggaptelah menyeleweng.Muawiyah dan Amr bin Ash
serta Abu Musa Al Asy’ari juga di anggap menyeleweng dan teleh menjadi kafir,
5. Pasukan perang Jamal yag melewati Ali juga kafir.18
2. Doktrin teologi
Selain itu juga dibuat pula doktrin teologi tentang dosa besar sebagaimana tertera pada
poin di bawah berikut. Akibat doktrinnya yang menentang pemerintah, khawarij harus
menanggung akibatnya. Mereka selalu dikejar-kejar dan di tumpas oleh pemerintah.
Kemudian perkembangannya, sebagaimana dituturkan Harun Nasution, kelompok ini
sebagian besar sudah musah. Sisa-sisanya terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, dan Arabia
Selatan.19
Doktrin teologi Khawarij yang radikal pada dasarnya merupakan imbas langsung dari
doktrin sentralnya, yakni doktrin politik. Radikalitas itu sangat dipengaruhi oleh sisi budaya
mereka yang juga radikal serta asal-usul mereka yang berasal ari masyarakat badawi dan
pengembara padang pasir tandus. Hal itu menyebabkan watak dan pola pikirnya menjadi
keras, berani, tidak bergantung pada orang lain, dan bebas.
Namun, ,ereka fanatik dalam menjalankan agama. Sifat fanatik itu biasanya mendorong
seseorang berfikir simplistis, berpengetahuan sederhana, melihat pesan berdasarkan motivasi
pribadi, dan bukan berdasarkan pada data dan konsitensi logis, bersandar lebih banyak pada
sumber pesan ( wadah) daripada isi pesan, mencari informasi tentang kepercayaan orang lain
dari seumber kelompoknya dan bukan dari sumber kepercayaan orang lain, mempertahankan
secara kaku sistem kepercayaannya, dan menolak, mengabaikan, dan mendistorsi pesan yang
tidak konsisten dengan sistem kepercayaannya. Orang-orang yang mempunyai prinsip
khawarij ini menggunakan kekerasan dalm menyalukan aspirasinya. Sejarah mencatat bahwa
kekerasan pernah memegang peran penting. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung
dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam
darul harb (negara musuh), sedang golongan mereka sendiri di anggap darul islam ( negara
islam).
18 Ibid, hlm.51 19 Ibid, hlm.53
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
23
Doktrin-doktrin dari segi teologi yang dikembangkan oleh khawarij:
1. Seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus di bunuh, yang
sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat
menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah di anggap kafir
dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapakan pula.
2. Seseorang harus menghindari pimpinan yang menyeleweng.
3. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga sedangkan orang yang
jahat masuk ke dalam neraka). 20
3. Doktrin teologis sosial
Adapun doktrin-doktrin selanjutnya yakni kategori sebagai doktrin teologis sosial.
Doktrin ini memperlihatkan kesalehan asli kelompok khawarij sehingga sebagian pengamat
menganggap doktrin ini lebih mirip dengan doktrin mu’tazilah, meskipun kebenarannya
adalah doktrin ini dalam wacana kelompok khawarij patut dikaji mendalam.
Dapat di asumsikan bahwa orang-orang yang keras dalam pelaksanaan ajaran agama,
sebagaimana dilakukan kelompok Khawarij, cenderung berwatak tekstualis/skripturalis
sehingga menjadi fundamentalis. Kesan skriptualis dan fundamentalis itu tidak nampak pada
doktrin-doktrin khawarij pada poindi bawah berikut.
Namun, bila doktrin teologis-sosial ini benar-benar merupakan doktrin khawarij, dapat
diprediksikan bahwa kelmpok khawarij pada dasarnya merupakan orang-orang baik. Hanya
saja, keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas penganut garis keras, yang aspirasinya
dikucilkan dan di abaikan penguasa, di tambah oleh pola pikirnya yang simplistis, telah
menjadikan mereka bersikap ekstrim.21
Doktrin-doktrin dari segi teologi sosial yang dikembangkan oleh khawarij:
a. Amar ma’ruf nahi mungkar
b. Memalingkan ayat-ayat Al Qur’an yang tampak mutasyabihat (samar).
c. Al Qur’an adalah makhluk
d. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan
4. Perkembangan Aliran Khawarij Pada saat ini
Secara formal, Khawarij sudah tidak ada, tetapi secara substansi paradigma
pemikiran dan ciri-ciri alirannya masih hidup dan berkembang hingga sekarang. Pada masa
sekarang, pemberontakan bersenjata dan praktik mengafirkan orang Islam telah terjadi di
wilayah Arab bagian timur laut pada peralihan abad ke-19 seperti yang ditulis oleh para
20 Ibid.hlm.51-52 21.Ibid.hlm.54
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
24
cendekiawan Islam: Istilah Khawarij berlaku bagi kelompok yang bersimpang jalan dengan
orang-orang Islam dan menganggap mereka sebagai orang-orang kafir, seperti yang terjadi
pada zaman sekarang ini dengan para pengikut Ibn ‘Abd al-Wahhâb yang muncul di Najd dan
menyerang dua tempat suci umat Islam.
Belakangan ini, beberapa ulama mengritik aliran Wahabi atau “salafî” sebagai
kelompok yang secara politik tidak benar. Praktik mengafirkan menjadi ciri utama yang bisa
dikenali dari kelompok neo-Khawarij pada masa modern ini. Mereka kelompok yang senang
menghantam orang-orang Islam dengan tudingan kafir, bidah, syirik, dan haram, tanpa bukti
atau pembenaran selain dari hawa nafsu mereka sendiri, dan tanpa memberikan solusi selain
dari sikap tertutup dan kekerasan terhadap siapa pun yang berbeda pendapat dengan mereka.
Mereka sama sekali tidak ragu-ragu menjatuhkan hukuman mati terhadap orang-orang
yang mereka tuduh kafir, sehingga mereka benar-benar telah meremehkan kesucian jiwa dan
kehormatan saudara-saudara mereka sendiri. Imam al-Nawawî berkata, “Orang-orang ekstrem
merupakan kelompok fanatik yang sudah melampaui batas, dalam ucapan maupun
perbuatan,” dan “keras pendirian.” Melakukan praktik takfîr terhadap sesama muslim
merupakan ciri kelompok Khawarij, entah mereka menyebut diri sebagai kelompok “salafi”,
Syiah, atau sufi.
Mereka mencampuradukkan berbagai hal menurut selera mereka, asalkan sesuai dengan
kepentingan mereka. Bahkan, mereka tidak memiliki latar belakang ilmu-ilmu keislaman
sedikit pun, dan mereka menggunakan ayat-ayat Al-quran mengenai orang-orang kafir keluar
dari konteksnya, dan menerapkannya kepada orang-orang Islam. Seperti yang disebutkan
sebelumnya, orang-orang Khawarij tidak terbatas pada masa tertentu, tetapi merupakan
karakter yang melekat pada kelompok atau orang yang keluar dari batas-batas agama, dengan
menuduh orang Islam sebagai kafir.
Inilah metode yang dikembangkan oleh kelompok Khawarij, dulu dan kini, dan
kemunculan anak-anak muda Khawarij yang menyesatkan itu telah disinggung 1400 tahun
yang lalu oleh Nabi Muhammad SAW. Kelompok Khawarij dewasa ini terdiri dari para
pengikut aliran Wahabi atau “Salafi”. Mereka sangat aktif menyebarluaskan kepalsuan ajaran
mereka dengan propaganda besar-besaran, melalui ceramah di masjid, internet, televisi, atau
penyebarluasan video, koran, buku, majalah, dan brosur. Sementara itu, mereka menekan dan
menyembunyikan kebenaran ajaran-ajaran Islam klasik yang menjadi arus utama umat Islam,
dan berkomplot untuk membungkam siapa pun yang menentang sikap ekstrem mereka.
C. latar belakang Asal-Usul Kemunculan Aliran Murji’ah
Asal-usul kemunculan kelompok Murji’ah dapat dibagi menjadi 2 sebab yaitu:
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
25
1. Permasalahan Politik
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas
usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah.Kelompok Ali terpecah menjadi 2 kubu,
yang pro dan kontra. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an,
dengan pengertian, tidak ber-tahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka
berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi
kafir, sama seperti perbuatan dosa besar yang lain. Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum
khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik
menjadi musuhnya. Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada
Ali bin Abi Thalib bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan
golongan lain dalam islam yang dikenal dengan nama Syi’ah.
Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap
netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang
bertentangan ini.Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-orang
yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak
mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang
berarti penyelesaian persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan.
Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin
persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan
menghindari sekatrianisme.
2. Permasalahan Ke-Tuhanan
Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada permasalahan
ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak
mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij
menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan
hukum mukmin.Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar
oleh kaum Khawarij ditentangsekelompok sahabat yang kemudian disebut Mur’jiah yang
mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya
diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak. Aliran Murji’ah
menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di
hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
26
Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih di anggap mukmindi
hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap mengakui
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain
bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat
syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang tersebut masih tetap
mukmin, bukan kafir.
Pandangan golongan ini dapat dilihat terlihat dari kataMurji’ah itu sendiri yang berasal
dari kata arja’a yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberikan
pengaharapan. Menangguhkan berarti bahwa mereka menunda soal siksaan seseorang di
tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan ia akan langsung masuk surga, sedangkan
jika tidak, maka ia akan disiksa sesuai dengan dosanya, setelah ia akan dimasukkan ke dalam
surga. Dan mengakhirkan dimaksudkan karena mereka memandang bahan perbuatan atau
amal sebagai hal yang nomor dua bukan yang pertama. Selanjutnya kata menangguhkan,
dimaksudkan karena mereka menangguhkan keputusan hukum bagi orang-orang yang
melakukan dosa di hadapan Tuhan.
Disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah yang
diberikan pada golongan ini, bukan karena mereka menundakan penentuan hukum terhadap
orang islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena
mereka memandang perbuatan mengambil tempat kedua dari iman, tetapi karena mereka
memberi pengharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga. Golongan Murji’ah
berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan
kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir,
kendatipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada
Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.
Nama murji’ah di ambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan.Yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk
memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan di
belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman.Oleh karena
itu murji’ah, artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa,
yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
3. Doktrin-Doktrin aliran Murji’ah
Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau
nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok
murji’ah dikenal pula sebagai the queietists (kelompok bungkam). Sehingga membuat
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
27
murji’ah selalu diam dalam persoalan politik. Adapun di bidang teologi, doktrin irja
dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul pada
saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang di tanggapinya menjadi
semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-
Qur’an, eskatologi, pengampunan atas dosa besar, hukuman atas dosa (punishment of sins),
ada yang kafir (infidel) dikalangan generasi awal islam, tobat (redress of wrongs).
Berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, W. Montgomery watt merincinya sebagai
berikut ;
a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di
akhirat kelak.
b. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-khalifah Ar-
Rasyidun.
c. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat dari Allah.
d. Doktrin-doktrin murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptic dan empiris
dari kalangan Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat
ajaran pokoknya, yaitu ;
1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary
yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3. Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal.
4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu, Abu ‘A’ la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah,
yaitu
Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan
tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap di
anggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang di fardhukan dan melakukan dosa
besar. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat
tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan
pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam
keadaan akidah tauhid.22
22 Rozak, Abdul, 2006. Ilmu Kalam ,Bandung : CV.Pustaka Setia.hal: 56-61.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
28
4. Sekte-Sekte aliran Murji’ah
Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan murji’ah menjadi dua sekte, yaitu
golongan moderat dan golongan ekstrim.nMurji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa
besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka di siksa sebesar
dosanya, dan bila di ampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali.
Harun nasution menyebutkan bahwa subsekte murji’ah yang ekstrim adalah yang
berpandangan bahwa keimanan terletak didalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak
selamanya menggambarkan apa yang ada didalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan
perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau
merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Adapun yang bergolongan ekstrim adalah Al-jahmiyah, Ash- Shalihiyah, Al-
Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Hasaniyah. Pandangan kelompok ini dapat di jelaskan seperti
berikut ;
a. AL-Jahmiyah, kelompok jahm bin shafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa
orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan,
tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada
bagian lain dalam tubuh manusia.
b. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah
mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan
ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti
mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa, dan haji bukanlah ibadah, melainkan
sekedar menggambarkan kepatuhan.
c. Yunusiyah dan ubaidiyah melontarkan pertanyaan bahwa melakukan maksiat atau
perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan
perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan.
Dalam hal ini, muqatil bin sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau
sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (polytheist)
d. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan, “ saya tahu Tuhan melarang
makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini, “
maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan
“saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah
di india atau di tempat lain.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
30
A. Jabariyah
1. Latar Belakang kemunculan Jabariah
Kata jabariah berasal dari kata jabara yang bearti “memaksa”. Didalam Al-munjid
dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengadung arti memaksa dan
mengharuskan melakukan sesuatu.23 Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat Al-jabar (dalam
bentuk mubalaghah),artinya Allah maha memaksa. Ungkapan Al-insan majbur (bentuk isim
maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya kata jabarah
(bentuk pertama), Setelah ditarik menjadi Jabariyah (dengan menambah ya nisbah), artinya
adalah suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut asy-syahratsany menegaskan bahwa
paham al-jabr bearti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah SWT.24
Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatanya dalam keadaan terpaksa. Dalam
bahasa inggris, jabriyah disebut fatalism atau free destination, yaitu paham bahwa perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadhar tuhan. Untuk mengetahui lebih
lanjut mengenai asal-usul kemunculan dan perkembangan Jabariah, tampaknya perlu
dijelskan siapa sebenarnya yang melahirkan dan menyebar luaskan al-jabar serta dalam situasi
apa paham ini muncul.
Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 124 H) yang
kemudian disebarkan oleh Jahm Shafwan (125 H) dari Kahurasan. Dlam sejarah teologi
islam, Jahm tercatat sebagai took yang mendirikan aliran Jamiah dalam kalangan Murjiah. Iya
duduk sebagai sekretaris Syuraih bin Alharis dan menemaninya dalam gerakan melawan
kekuasaan bani umayyah.
Dalam perkembanganya, paham ajabar ternyata tidak hanya dibawa oleh dua tokoh
diatas. Masih banyak tokoh-tokoh lain yang berjasa dalam mengembagkan paham ini,
diantaranya adalah Al-husain bin Muhammad An-najjar dan ja’d Dirar.
Mengenai kemunculan paham al-jabar para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui
pendekaatan geokurtural bangsa Arab. Diantara ahli yang dimaksud Ahmad Amin. Dia
menggambarkan kehidupan bangsa arab yang dikungkungboleh gurun pasir sahara yang
23 L. Mal’uf , Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-‘Alam,Dar Al-Masyriq,Beirut, 1998, hlm 78. 24 Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Darul Fikr, Beirut, hlm.85.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
31
memberikan ipengaruh besar kedalam cr hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam
sahara yang ganas telah mencuatkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat
arab tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai denagn
keinginannya. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak kuasa dalam menghadapi kesukaran-
kesukaran hidup. akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini
membawa mereka pada sikap fatalism.25
Sebenarnya, benih-benih paham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas.
Benih-benih itu terlihat dalam sejarah berikut ini.
a. Suatu ketika, nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir
Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar
dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah Umar Bin khatab pernah menangkap seseorangi yang pernah mencuri. Ketika
diinterogasi, pencuri itu berkata “tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar
ucupan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan.
Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman pada pencuri itu. Pertama,
hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena mengunakan dalil
takdir Tuhan.
c. Khalifah Ali Bin Thalib sesuai Perang shiffin ditanya oleh seorang tua tentang kadar
(ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya
“apabila perjalanan (menuju perang shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan,
tidak ada pahala sebagai balasannnya, “kemudian Ali menjelaskan bahwa qadhar dan
qadar bukanlah paksaan Tuhan. Oleh karena itu, ada pahala dan siksa sebagai balasan
amal perbatan manusia. Ali selanjutnya mjelaska, sekiranya qhadar dan qadar merupakan
paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah maksa janji dan ancaman Tuhan, serta
tidak ada celaan Allah atas perlaku dosa dan ujiannya bagi orang-orang yang baik.
d. Pada pemerintah daulah bani Umayyah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat
kepermukaan. Abdullah Bin Abbas melalui suratnya memberikan reaksi keras kepada
pendudukan Syiriah yang diduga berpaham “Jabariah”.
Paparan diatas menjelaskan bahwa bibit paham al-jabar telah muncul sejak awal periode
islam. Akan tetapi, al-jabar sebagai pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan
25 Nasution, loc. Cit.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
32
dikembangkan terjadi pada masa-masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, yaitu oleh
kedua tokoh yang telah disebutkan.26
Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariah dalam islam, ada teori yang mengatakan
kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi
bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit. Akan tetapi tanpa pengaruh-
pengaruh asing itu sesungguhnya paham al-jabar akan muncul di kalangan umat islam.
2. Para pemuka dan doktrin-doktrin pokok jabariah
Menurut Asyi-syahrastani, Jabariah ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
ekstrem dan moderat. Diantara doktrin Jabariah ekstrem adalah pendapatnya bahwa segala
perbuaatan manusia bukan merupakan perbuatan yangbtimbul dari kemauannya melainkan
perbuatan yang dipaksa atas dirinya. Misalnya kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri
itu bukan terjadi atas kehendak sendiri, melainkan karena qadha dan qadar Tuhan yang
menghendaki demikian. Diantaranya pemuka Jabariah ekstrem adalah sebagai berikut.
a. Jahm Bin Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shofwan. Ia berasal dari Kehurasan,
bertempat tinggal di Kufah. Ia seorang dai yang passih dn lincah (orator). Ia duduk sebagai
sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di
Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada hubungannya dengan
Agama. Sebagai seorang penganut dan penyebar paham Jabariah, banyak usaha yang
dilakukan Jahm, antara antara lain menyebarka doktrinnya keberbagai tempat, seperti ke
Tirmiz dan Balk.
Diantara pendapat-pendapat Jahm beraitan dengan persoalan teologi adalah sebagai
berikut.27
1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai keehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tetang
keterpaksaan lebih terkenal dibandigkan pendapatnya tentang surga dan neraka,
konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan (nafyu asifat), dan meliht Tuhan
diakhirat.
2. Surga dan neraka tidak kekal tidak ada yang kekal selain Tuhan.
26 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Cet. VI, UI Press, Jakarta, 1986, hlm.37
27 Nasution, Op. Cit, hlm. 34.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
33
3. Iman adalah makripat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya
sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Maha suci dari segala sifat dan keserupaan
dengan manusia, seperti berbicara, mendengar, dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak
dapat dilihat dengan indra mata diakhirat kelak.
Dengan demikian, dalam beberapa hal, Jahm berpendapat serupa dengan Murji’ah,
Mu’tajilah, dan Asy’ariah sehingga para mengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-
Mu’tajili, Al-murji’I dan Asy’ari.
b. Ja’d bin Dirham
Al-ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damakus. Ia dibesarkan
didalam lingkungan orang Kristen yang senang membicaraka teologi semula ia dipercaya
untuk mengajar dilingkungan Bani Umayyah, tetapi setelah pikiran-pikiran kontrol persial
terlihat, Bani Umayyah menolaknya sehing ia harus lari ke Kufah dan bertemu dengan Jahm
yang akhirnya berhasil mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk mengembangkan dan
disebar luaskan.
Doktrin pokok ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm Al-Ghauraby menjelaskannya
sebagai berikut:
1. Al-quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang tidak dapat
ditafsirkan kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat,
dan mendengar.
3. Manusia terpaksa oleh Allah daan segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariah ekstrem moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan
perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai
bagiaan didalamnya. Tenaga yang diciptaakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk
mewujudkan perbuatanya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (Acquistion). Menurut paham
kasab, manusia tidak majbur (dipaksa oleh Tuhan, tidak seperti wayang yang terkendali
ditangan dalam dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh
perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Tokoh yang termasuk dalam Jabariah moderat sebagai berikut.
a. Al-najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-najjar (wafat 230 H). para
pengikutnya An-najjariah atau Al-husainiyah. Diantara pendapat-pendapatnya adalah:
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
34
1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian
atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab
dalam teori Al-Asy’ari.28 Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-najjar.
Tidak lagi seperti wayang yang gerakannya bergantung pada dalang. Sebab, tenaga
yang diciptakan Tuhan, dalam manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
2. Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat. Akan tetapi, An-najjar menyatakan bahwa Tuhan
dapat memindahkan potensi hati (makripat) pada mata sehingga manusia dapat
melihat Tuhan.
b. Adh-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia
sama dengan Husein An-najjar, yaitu bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang
digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya, dan tidak
semata-mata dipaksa daalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan satu
perbuatan dapat Ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia
tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusianya. Manusia turut berperan
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan diakhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat
dikhirat melalui “indra ke-6” ia juga berpendapat bahwa hudjjah yang dapat diterima setelah
Nabi adalah ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.
B. Qadariah
1. Latar Belakang Kemunculan Qadariah
Qadariah berasal dari bahasa arab qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan.29
Menurut pengertian terminology, Qadariah adalah aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diintervensi tangan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah
pencipta bagi segala perbuatannya ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariah
digunakan untuk nama aliran yang member penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution turut
menegaskan bahwa kaum Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai
28 Asy-Syahrastani, Op. Cit. hlm.89. 29 Luwis Ma’luf Al-Yusuf’i , Al-Munjid, Al-Khathulikiyah, Beirut , 1945, hlm 346
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
35
qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian
bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Seharusnya, sebutan Qadariah diberikan pada aliran yang berpendapat bahwa qadar
telah menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Sebutan
tersebut telah melekat pada aliran yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan
berkehendak. Demikianlah pemahaman kaum sunni pada umumnya. Menurut Ahmad Amin,
sebutan ini diberikan kepada para pengikut paham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk
pada hadist yang membuat negatif nama Qadariah. Yang artinya: Kaum Qadariah adalah
majusinya umat ini.
Kapan Qadariah muncul dan siapa tokoh-tokohnya merupakan dua tema yang masih
diperdebatka. Ahmad Amin, ada para ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariah pertama
dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani (w.80 H) dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah
seorang taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al Bisri. Sementara
Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Ustman bin
Affan.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syart Al-uyun, seperti dikutip Ahmad Amin (1886-1954
M), memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan paham Qadariah adalah
orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan kembali ke agama
Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil paham ini. Orang Irak yang
dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari
Al-Auzal adalah Susan.30
Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Helimut
Ritter dalam bahasa jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der islam pada tahun 1933.
Artikel ini menjelaskan paham Qadariah yang terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk
khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al-Basri (642-728)
adalah seorang anak pada tahun 657 pergi ke Basrah dan tinggal di sana sampai akhir dan
tinggal disana sampai akhir hayatnya.
Apakah Hasan Al-Basri orang Qadariah atau bukan, hal ini memang terjadi perdebatan.
Akan tetapi, yang jelas berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab Risalah ini ia
percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Hasan yakin
bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.
Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi, menurut Watt adalah penganut Qadariah
yang hidup setelah Hasan Al-Basri. Apabila dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi
30 Al-Bagdadi, Al-Fark Bain Al-Firaq, Maktabah Muhammad Ali Subeih, Kairo, hlm .18.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
36
dalam Mizan Al-i’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin tang menyatakan bahwa Ma’bad Al-
Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Basri. Jadi sangat mungkin paham Qadariah ini
mula-mula dikembangkan Hasan Al-Basri. Dengan demikian, keterangan yang ditulis oleh
Ibn Nabatah dalam Syarh Al-Uyun yang mengatakan bahwa paham Qadariah berasal dari
orang Irak Kristen yang masuk Islam kemudian kembali ke Kristen, ada kemungkinan di
rekayasa oleh orang yang tidak sependapat dengan paham ini, agar orang-orang tidak tertarik
dengan pikiran Qadariah. Menurut kremer, seperti dikutip Ignaz Goldziher, dikalangan gereja
timur ketika itu perdebatan tentang butir doktrin “Qadariah” mencekam pikiran para
teolognya.
Berkaitan dengan persoalan pertama kali Qadariah muncul, penting untuk melirik
kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para
peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai ini karena ketika itu penganut Qadariah
sangat banyak. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada
pengajian Hasan Al-Basri. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Ibn Nabatah bahwa yang
mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari Irak yang
telah masuk Islam dan dari orang ini diambil oleh Ma’bad dan Ghailan. Sebagian yang lain,
berpendapat bahwa paham ini mucul di Damaskus disebabkan oleh pengaruh orang-orang
Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana khalifah.
Paham Qadariah mendapat tantangan keras dari umat islam ketika itu. Ada beberapa hal
yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras terhadap paham Qadariah. Pertama, seperti
pendapat Harun Nasution, karena masyarakat arab sebelum Islam dipengaruhi oleh paham
fatalis. Kehidupan bangsa arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka
selalu terpaksa mengalah pada keganasan Alam, panas yang yang menyengat serta tanah dan
gunung nya yang gundu. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak mampu menghadapi
kesukaran hidup yang ditimbulakan oleh alasan sekelilingnya. Paham itu terus dianut
meskipun mereka sudah beragama Islam. Oleh karena itu, ketika paham Qadariah
dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Paham Qadariah dianggap bertentangan
dengan doktrin Islam.
Kedua tantangan dari pemerintah. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para
pejabat pemerintah ketika itu menganut paham Jabariah. Ada kemungkinan juga pejabat
pemerintah menanggap gerakan paham Qadariah merupakan suatu usaha menyebarkan paham
dinamis dan daya kritis rakyat, yang mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang
dianggap tidak sesuai, bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
2. Doktrin-doktrin Pokok Qadariah
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
37
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, masalah Qadariah disatukan pembahasannya
dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah sehingga perbedaan antara kedua
aliran ini kurang jelas.31 Ahmad Amin menjelaskan bahwa doktrin Qadar kiranya leebih luas
dikupas oleh kalangan Mu’tazilah, sehingga orang sering menamakan Qadarian dengan
Mu’tazilah karena mereka sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariah bahwa
manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya manusia yang melakukan baik atas kehendak
maupun kekuasaannya, dan manusia pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan
jahat atau kemauan dan dayanya. Salah seorang pemuka Qadariah yang lain, An-Nazza,
mengemukakan bahwa manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa doktrin Qadariah pada dasarnya
menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia
dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas
kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, Ia berhak
mendapatkan pahala atas kebaikan- kebaikan yang dilakukannya dan berhak pula memperoleh
hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya.
Dalam kaitan ini, apabila seorang diberi ganjaran, baik dengan balasan surga maupun
diberi ganjaran siksa sdengan balasan neraka kelak di akhirat berdasarkan pilihan pribadinya,
bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas manusia menerima siksaan atau tindakan
salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuan.
Paham takdir dalam pandangan Qadariah bukan dalam pengertian takdir yang umum
dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-pebuatannya, manusia hanya bertindak
menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Dalam paham Qadariah,
takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya berlaku untuk alam semesta beserta
seluruh isinya semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatulla.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti hokum alam.
Misalnya, manusia ditakdirkan tidak mempunyai sirip, seperti dimiliki ikan sehingga dapat
berenang dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah
yang mampu membawa barang berates kilogram, tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya
pikir yang kreatif. Demikian juga dengan anggota tubuh lainnya dapat berlatih sehingga dapat
31 Al-Syahras, ani, Op. Cit , hlm. 85.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
38
tampil membuat sesuatu. Dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih
terampil, manusia dapat meniru yang dimiliki ikan sehingga dapat berenang dilaut lepas.
Demikian juga, manusia dapat memuat benda lain yang dapat membantunya membawa
barang seberat yang dibawa gajah bahkan lebih dari itu. Di sini, terlihat semakin besar
wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Bahkan suatu hal yang benar-benar tidak sanggup
diketahu, sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia, siapa dapat membatasi daya
imajinasi manusia, atau dengan pertanyaan lain dimana batas akhir kreativitas manusia?.
Dengan pemahaman seperti ini kaum Qadariah berpendapat bahwa tidak ada alasan
yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia pada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin
ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam. Banyak ayat Al-Qur’an yang dapat
mendukung pendapat ini misalnya dalam surah Al-Kahf ayat 29, yang artinya: “Dan
katakanlah (Muhammad). ‘kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menhendaki
(kafir) biarlah dia kafir…”
Dalam surah Al-Imran ayat 165 “Dan mengapa kamu (heran) ketika ditimpa musibah
(kekalahan pada perang uhud). Padahal kamu telah menimpahkan musibah dua kali lipat
(kepada musuh-musuhmu pada perang badar) kamu berkata. ‘dari mana dataangnya
(kekalahan) ini? ‘katakanlah. ‘itu dari (kekalahan) dirimu sendiri’…”
Dalam surah Ar-Ra’d ayat 11 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan
suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan mereka sendiri….”
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
40
A. Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasala dari i’tazala yang berarti “berpisah” atau
“memisahkan diri” yang berati juga “menjauh” atau “menjauhkan diri.” 32 Secara teknis,
istilah Mu’tazilah dapat menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah l) muncul sebagai respon politik
murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti sikap yang
lunak dalam menengahi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya,
terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan yang
netral masa inilah yang sesungguhnya disebut dengan kaum Mu’tazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok yang menjauhkan diri ini
bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang
tumbuh kemudian hari.
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respons persoalan
teologis yang berkembang di kalangan kaum khawarij dan Murji’ah karena peristiwa tahkim.
Golongan Mu’tazilah ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij
dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
Mu’tazilah II inilah yang akan di kaji dalam bab ini, yang sejarah timbulnya memiliki
banyak versi. Beberapa analisis tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua
ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin ‘Atha ( ...-131 H) serta
temannya,’Amr bin ‘Ubaid, dan Hasan Al-Basri ( 31-131 H ) di Basrah. Pada waktu Washil
mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al- Basri di Masjid Basrah, datang seseorang
yang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al-
Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatak “saya
berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir,
melainkan berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian,
Washil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri pergi ketempat lain dilingkungan masjid. Di
sana, Washil mengulangi pendapatnya dihadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa
ini Hasan Al-Basri berkata, “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazala ‘anna).” Menurut Asy-
Syahrastani (474-548 H), kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa diatas disebut kaum
Mu’tazilah.
Versi lain yang dikemukakan oleh Al-Baghdadi menyatakan bahwa Washil dan
temannya, ‘Amr bin ‘ubaid bin Bab, di usir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnnya karena ada
pertikaian di antara tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya
32 Luis Ma’lif, Al-Mujid fi Al-Lughah, Cet, X, Darul Kitab Al-Arabi, Beirut, t.t., hlm. 207.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
41
menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar
itu mukmin dan tidak kafir. Oleh karena itu, golongan itu dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin
Da’amah pada suatu hari masuk Masjid Basrah dan begabung dengan majelis ‘Amr bin
‘Ubaid yang dikira adlah majelis Hasan Al-Basri. Setelah Qatadah mengetahuinya bahwa
majelis tersebut bukan majelis Hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil
berkata “ ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’Udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemuculan Mu’tazilah dengan
tidak menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al-Basri. Mereka
diberi nama Mu’tazilah, karena berpendapat bahwa orang berdosa bukan mukmin dan bukan
pula kafir, melainkan menduduki tempat di antara kafir dan mukmin( al-manzilah bain al-
manzilatain).33 Dalam arti, memberi status orang yang berbuat dosa besar jauh dari golongan
mukmin dan kafir.
Teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin (1886-1954 M) menerangkan bahwa
nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Washil dan Hasal Al-Basri, dan
sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Nama Mu’tazilah diberikan
kepada golongan orang-orang yang tidak mau inntervensi dalam pertikaian politik yang
terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian disana,
yaitu satu golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain menjauhkan diri ke
Kharbita. Oleh karena itu, dalam surat yang dikirimkannya kepada Ali bin Abi Thalib, Qais
menamakan golongan yang menjauhkan diri tersebut dengan Mu’tazilin, sedangkan Abu Al-
Fida’ menamakan dengan Mu’tazilah. Dengan demikian, kata i’tazala dan mu’tazilah telah
digunakan kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Washil dengan Hasan Al-Basri, yaitu
dalam arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik pada zamannya.
Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain, seperti ahl al-adl yang
berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl at-tawhid wa al-‘adl yang
berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Adapun lawan
Mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan Al-Qadariah dengan alasan mereka menganut
paham free will and free act,yaitu bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat;
menamakan juga Al-Mu’aththilah karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan
tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud diluar dzat Tuhan; menamakan juga
wa’diyyah karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-
orang yang tidak taat hukum-hukum Tuhan.
33 Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘ilm Al-Kalam, t.tp., Kairo, 1969, hlm. 75.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
42
B. Al-Ushul Al-Khamsah : Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam Al-Ushul Al-Khamsah adalah At-
Tauhid (pengesanaan Tuhan), Al-Adl (keadilan Tuhan), Al-Wa’d (janji dan ancaman Tuhan),
Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa
An-Nahy ‘an Al-Munkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
1. At-Tauhid
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan inti sari ajaran Mu’tazilah.
Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Akan tetapi, bagi
Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala
sesuatubyang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhan satu-satunya Esa, yang unik
dan tidak satupun menyamai-Nya. Oleh karena itu. Hanya Dia-lah yang qadim. Apabila ada
yang qadim lebih dari satu, telah terjadi ta’adadud al-qudama’ (berbilangnnya dzat yang tidak
berpermulaan).
Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan
memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Dia
Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui dan Sebagainya. Akan tetapi, mendengar,
kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat, melainkan dzat-Nya. Menurut mereka,
sifat adalah sesuatu yang melekat. Apabila sifat Tuhan yang qadim, ada dua yang qadim, yaitu
dzat dan sifat -Nya. Washil bin Atha’ seperti dikutip oleh Asy-Syahrastani berkata “siapa
yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan,” ini tidak dapat diterima
karena merupakan perbuatan syirik.
Apa yang bisa disebut sebagai sifat menurut Mu’tazilah adalah dzat Tuhan. Abu Al-
Hudzail pernah berkata “ Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah Tuhan, berkuasa
dengan kekuasaan, dan kekuasaan itu adalah Tuhan”.34 Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-
Qur’an itu baru (diciptakan) Al-Qur’an adalah manifestasi kalam Tuhan; Al-Qur’an terdiri
atas rangkaian huruf, kata, dan bahsa yang antara satu mendahului yang lainya.
Harun Nasution mencatat ada sedikit perbedaan antara Al-Jubba’i(w. 321 H 933 M).35
Abu Hasyim atas pernyataan, “ Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya.” Tuhan tidak berhajat
pada sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Menurut Abu Hasyim, Tuhan
memiliki keadaan mengetahui. Meskipun demikian, mereka sepakat bahwa Tuhan tidak
memiliki sifat.
34 Syahrastani, Op. Cit, hlm. 49. 35 Abu Muhammad bin Abd Al-Wahhab Al-Jubbai wafat 195 H.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
43
Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu Al-Hudzail mengambil konsep nafy ash-
shifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles. Agaknya beralasan apabila para
pendiri mazhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adl wa at-tauhid (pengikut paham
keadilan dan keesaan Tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk mengesakan Allah
dan menempatkan-Nya benar-benar adil.
Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat
menyamai Tuhan. Begitu pula sebalik-nya, Tuhan tidak serupa dengan Makhluknya. Tuhan
adalah immateri. Oleh karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang
mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi Mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu
adalah mustahil. Mahasuci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya. Tegasnya,
Mu’tazilah menolak antropomorfisme.
Penolakan terhadap paham antroporfistik bukan atas pertimbangan akal, melainkan
memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an. Mereka berangkat dari pernyataan Al-
Qur’an yang berbunyi“ ... tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia .....” (Q.S. Asy-Syura
42:11)
Tidak dapat dimungkiri bahwa Mu’tazilah –sebagaimana aliran lain- telah terkena
pengaruh filsafat Yunani. Akan tetapi, hal itu tidak menjadikannya sebagai pengikut buta
Hellenisme. Usaha keras mereka telah mengahbiskan banyak waktu dan energi telah
membuahkan hasil. Dengan di dorong oleh semangat keagamaan yang kuat, pemikiran
Hellennistik yang telah mereka pelajari di jadikannya senjata mematikan terhadap serangan
para penentangnya, yaitu para muhadditsin, rafidhah, dan berbagai aliran keagamaan India.
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi
takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan, yaitu dengan
cara memalingkan arti kata-kata tersebut ke arti lain sehingga hilang kejisiman Tuhan. Tentu,
pemindahan arti ini tidak dilakukan dengan semena-mena, tetapi merujuk pada konteks
kebahasaan yang lazim digunakan bahasa Arab. Beberapa contoh dapat dikemukakan disini.
Misalnya, kata tangan (Q.S. Shad 38 : 75 ) di artikan kekuasaan dan pada konteks yang lain
tangan (Q.S. Al-Maidah 5:64 ) dapat diartikan nikmat. Kata wajah (Q.S. Ar-Rahman 55:27) di
artikan esensi dan dzat, sedangkan al-arsy (Q.S. Thaha 20 : 5 ) diartikan kekuasaan.
Penolakan Mu’tazilah terhadap pendapat bahwa tuhan dapat dilihat oleh mata kepala
merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap antropormofisme. Tuhan adalah
Immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk.
Yang dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat, tentu di dunia pun dapat dilihat oleh mata
kepalla. Oleh karena itu, kata melihat (Q.S. Al-Qiyamah 75:22-23) ditakwilkan dengan
mengetahui (know).
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
44
2. Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adlah al-adl yang berarti Tuhan Mahaadil. Adil
adalah suatu atribut yang paling jelas untuk menunjukan kesempurnaan. Karena Tuhan maha
sempurna, sudah pasti Dia adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar
adil menurut sudut pandang manusia.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain sebagai
berikut :
a. Perbuatan manusia
Manusia Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari
kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak.36 Manusia benar-benar
bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Akan tetapi, perlu diketahui
bahwa Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang
disuruh tuhan pastilah baik dan yang dilarang-Nya tentulah buruk.
b. Berbuat baik dan terbaik
Kewajiban tuhan untuk bebruat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak
mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan bahwa Tuhan penjahat dan
penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang
dan berbuat baik kepada orang lain berarti ia tidak adil.
c. Mengutus rasul
Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan
berikut ini.
1. Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali
dengan mengutus Rasul kepada mereka.
2. Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih
kepada manusia (Q.S. Asy-Syu’ara’ 26:29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut
adalah dengan pengutusan Rasul.
3. Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut
berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.37
3. Al-Wa’d wa Al-Wa’id
Ajaran ini erat hubungannya dengan ajaran kedua diatas. Al-Wa’d wa Al-wa’id berarti
janji dan ancaman. Tuhan yang Mahaadil dan Mahabijaksana, demikian kata Mu’tazilah,
36 Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Iskamiyah, Dar Al-Manar, Kairo, 1991, hlm. 122. 37 Mazru’ah, Op. Cit., hlm. 128.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
45
tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya. Janji
Tuhan untuk memberi pahala masuk surga bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan
siksa neraka atas orang yang durhaka pasti terjadi, begitu pula janji Tuhan untuk memberi
pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti benar adanya.
Memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan dosa bagi orang yang durhaka
tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh Tuhan karena sudah dijanjikan. Ini sesuai dengan prinsip
keadilan. Jelasnya, siapa pun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan; siapapun berbuat
jahat akan dibalas dengan siksa yang sangat pedih.
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu
memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang
yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali yang telah tobat.
Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabbkan pelauknya masuk neraka adalah kejahatan
yang termasuk dosa besar. Terhadap dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuninya. Ajaran ini
tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak main-main dengan
perbuatan dosa.
4. Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain
Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman yang melakukan dosa besar. Seperti
tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut kafir, bahkan musyrik. Menurut
Murji’ah, orang itu tetap mukmin dan dosanya diserahkan kepada tuhan. Mungkin dosa
tersebut di ampuni Tuhan. Pendapat Washil bin Atha’ mungkin dosa tersebut di ampuni
Tuhan. Pendapat Wahil bin Atha’ lain lagi. Orang tersebut diantaradua posisi (al-manzilah
bain al-manzilatain). Karena jaran inilah, Washil bin Atha’ dan ‘Amr bin Ubaid harus
memisahkan diri(i’tizal) dari majelis gurunya, Hasan Al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia
membangun mazhabnya.
Pokok ajaran ini adalah mukmin yang melakukan dosa besar dan meninggal sebelum
bertobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasiqulutsu dennga mengutip Ibn Hazm,
mengatakan “orang yang melakukan dosa besar disebut fasiq. Ia bukan mukmin, bukan kafir,
bukan pula munafik (hiporkit). Mengomentari pendapat tersebut, izutsu menjelaskan bahwa
sikap Mu’tazilah adalah membolehkan hubungan pernikahan warisan anatar mukmin pelaku
dosa besar dan mukmin lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai
mukmin secara mutlak karena iman menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup
hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan, melainkan
kedurhakaan. Orang ini tidak dikatakan kafir secara mutlak karena masih percaya kepada
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
46
Tuhan, Rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya, jika meninggal sebelum
bertobat, ia dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya karena akhirat hanya terdapat dua
pilihan, yaitu surga dan neraka. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka.
Orang fasiq dimasukan ke neraka hanya siksaannya lebih ringan daripada orang yang lebih
dari pada orang kafir. Mengapa ia tidak dimasukkan ke surga dengan “kelas” yang lebih
rendah dari mukmin sejati ? Tampaknya Mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak
menyepelakn perbuatan dosa, terutama dosa besar.
5. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an Al-Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran.
Ajaran ini menekankan keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan
konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan
perbuatan baik, di antaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari
kejahatan.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam ber-amar ma’ruf nahi
munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya. Abd Al-Jabbar ( w.1024), yaitu:
a. Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu ma’ruf dan yang dilarang itu munkar.
b. Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah dilakukan orang.
c. Ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa
madharat yang lebih besar;
d. Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan
membahayakann diri dan hartanya.
Al-Amr bi al-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-munkar bukan monopoli konsep Mu’tazilah.
Frase tersebut sering digunakan di dalam Al-Qur’an. Arti asal al-ma’ruf adalah yang telah di
akui dan diterima oleh masyarakat karena mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih
spesifik lagi, al-ma’ruf adalah yang diterima dan di akui Allah. Adapun al-munkar adalah
sebaliknya. Yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Frase tersebut yaitu
berarti seruan untuk berbuat sesuatu yang muncul dan sesuai dengan keyakinan yang sebenar-
benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan
dengan norma Tuhan. Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran
kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang
diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Lalu, sejarah telah
mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
48
A. Pengertian dan latar belakang kemunculan syi’ah
Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau “kelompok”,
sedangkan secara terminologis istilah ini dikaitkan dengan sebagian kaum muslim yang dalam
bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW. Atau
disebut ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin syi’ah adalah pernyataan bahwa segala
petunjuk agama bersumber dari ahl al-bait. Mereka menolak pertunjukan-pertunjukan
keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.i
Menurut Ath-Thabathaba’I (1903-1981 M), istilah “syi’ah untuk pertamakalinya
ditujukan pada para pengikut’ Ali (syi’ah’ Ali), pemimpin pertama ahl al-bait pada masa
Nabi Muhammad SAW. Para pengikut Ali yang disebut syi’ah, diantaranya adalah Abu Dzar
Al-Ghiffari, Miqdad bin Al-aswad, dan Ammar bin yasir’i
Pengertian bahasa dan terminologis diatas boleh dikatakan hanya merupakan dasar
yang membedakan syi’ah dengan kelompok islam yang lain. Mengenai kemunculan syi’ah
dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahra, syi’ah
mulai ke permukaan sejarah pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan. Selanjutnya,
aliran ini tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi thalib.i Watt
menyatakan bahwa syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara “Ali dan Mu’awiyah
yang dikenal dengan perang shiffin.
Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang
ditawarkan mu’awiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok
mendukung sikap Ali di sebut syi’ah dan kelompok lain menolak sikap ali di sebut khawarij.
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir khumm.
Di ceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari mekah ke
madinah, dipadang pasir yang bernama Ghadir Khumm, Nabi memilih sebagai penggantinya
di hadapan massa yang penuh sesah menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya
menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat- I amali), tetapi juga menjadikan Ali
sebagaima Nabi, sebagai pelindung (wali) mereka.
B. Syi’ah itsna’Asyariah (Syi’ah Dua Belas/syi’ah Imamiah)
1. Asal-usul penyebutan imamiah dan syi’ah itsna’Asyariah
Dinamakan syi’ah imamiah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah persoalan
iman dalam arti pemimpin religio-politik.i yaitu bahwa ‘Ali berhak menjadi khalifah bukan
hannya kecakapannya atau kemuliaan akhlaknya, tetapi ia telah ditunjukan dan dipantas
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
49
menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.i Ide tentang hak ‘Ali dan
keturunannya untuk menduduki jabatan imam atau khalifah telah ada semenjak Nabi wafat,
yaitu dalam perbincangan politik di saqifah Bani Sa’idah.i
2. Doktrin-doktrin syi’ah itsna’Asyariah
Di dalam sekte syi’ah itsna’Asyariah dikenal konsep Usul Ad-Din.konsep ini menjadi
akar atau fondasi pragmatisme agama. Konsep Usuluddin mempunyai lima akar, yaitu sebagai
berikut.
a. Tauhid (the devine unity)
Tauhid adalah Esa, baik esensi maupun eksistensi-nya. Keesaan tuhan adalah
mutlak. Ia bereksistensi dengan sendiri-nya. Tuhan adalah qadim. Maksudnya, tuhan
bereksistensi sebelum ada ruang dan waktu. Ruang dan waktu diciptakan oleh tuhan.
Tuhan mahatahu, maha mendengar, selalu hidup, mengerti semua bahasa, selalu benar,
dan bebas berkhendak. Keesaan Tuhan tidak murrakab (tersusun). Tuhan tidak
membuthkan sesuatu. Ia berdiri sendiri, tidak dibatasi oleh ciptaan-nya. Tuhan tidak
dapat dilihat dengan mata biasa.
b. Keadilan (the devine justice)
Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta merupakan keadilan. Ia tidak pernah
menghiasi ciptaan-nya dengan ketidak adilan. Karna ketidak adilan dan kezalliman
terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidak mampuan, sementara
Tuhan adalah mahatau dan mahakuasa. Segala macam keburukan dan
ketidakmampuan adalah jauh dari keabsolutan dan kehendak Tuhan.
Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui benar dan salah melalui
perasaan. Manusia dapat menggunakan penglihatan, pendengaran, dan indralainnya
untuk melakukan perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi,
manusia dapat memanfaatkan potensi berkehendak sebagai anugrah tuhan untuk
mewujudkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Nubuwwah (apostleship)
Setiap makhluk di samping telah diberi insting, secara alami juga masih
membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari tuhan maupun dari manusia. Rasul
merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang secara transenden diutus member
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
50
acuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk di alam semesta. Dalam
keyakinan syi’ah itsna’Asyariah, tuhan telah mengutus 124.000 Rasul untuk
memberikan petunjuk kepada manusia.i
Syi’ah itsna’Asyariah percaya tentang ajaran tauhid dengan kerasulan sejak adam
hingga Muhammad, dan tidak ada nabi atau rasul setelah Muhammad. Mereka percaya
dengan kiamat. Kemurnian dan keaslian Al-Quran jauh dari tahrif, perubahan, atau
tambahan.
d. Ma’ad (the last day)
Ma’ad adalah hari akhir (kiamat) untuk menghadap pengadilan Tuhan di akhirat,
setiap muslim harus yakin keberadaan kiamat dan kehidupan suci setelah dinyatakan
bersih dan luas dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah periode transit dari kehidupan
dunia menuju kehidupan akhirat.
e. Imamah (the devine guidance)
Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk
manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim didegelasikan kepada keturunan
Muhammad sebagai Nabi Rasul terakhir.i
Selanjutnya, dalam sisi yang bersifat mahdhah, syi’ah itsna’Asyariah berpihak
pada delapan cabang agama yang disebut dengan furu’ ad-din. Delapan cabang
tersebut terdiri atas shalat, puasa, haji, zakat, khumus atau pajak sebesar seperlima dari
penghasilan, jihad, al-ma’ruf, dan an-nahuyu’an al-munakir.
C. Syi’ah sab’iah (syi’ah Tujuh)
1. Asal usul penyebutan syi’ah sab’iah
Istilah syi’ah sab’iah “syi’ah tujuh” dianalogikan dengan syi’ah itsna Asyariah. Istilah
itu memberikan pengerian bahwa sekte syi’ah yang ini hanya mengakui tujuh imam.i Tujuh
imam itu ialah Ali ,Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, ja’far Ash-
shadiq, dan Islmail bin ja’far Ash-Shadiq, syi’ah sabiah disebut juga syi’ah ismailiyah.i
Berbeda dengan syi’ah sab’iah, syi’ah itsna Asyariah membatalkan ismail bin ja’far
sebagai iman ketujuh karena di samping Ismail berkebiasaan tidak terpuji juga karena dia
wafat (143 H/760 M) mendahului ayahnya, ja’far (w. 765). Sebagai gantinya adalah Musa Al-
kadzim, adik Ismail.i Syi’ah sab’iah menolak pembatalan di atas berdasarkan sistem
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
51
pengangkatan imam dalam syi’ah dan menganggap Ismail tetap sebagai imam ketujuh dan
sepeninggalnya diganti oleh putranya yang tertua, Muhammad bin Ismail’i
2. Doktrin imamah dalam pandangan syi’ah sabi’ah
Para pengikut syi’ah sab’iah percaya bahwa islam dibangun oleh tujuh pilar, seperti
dijelaskan Al-qadhi An-Nu’man dalam Da’aim Al-Islam. Tujuh pilar tersebut adalah:
a. Iman,
b. Taharah,
c. Shalat,
d. Zakat,
e. Saum,
f. Menunaikan haji,
g. Jihad.
Berkaitan dengan pilar (rukun) pertama, yaitu iman, Qadhi An-Nu’man (974 M)
memerincinya sebagai berikut: iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad utusan Allah; iman kepada surga; iman kepada neraka; iman kepada hari
kebangkitan; iman kepada hari pengadilan; iman kepada para nabi dan rasul; imam kepada
imam, percaya, mengetahui, dan membenarkan imam zaman.i
Tentang imam zaman, syi’ah sab’iah mendasarkan pada sebuah hadis Nabi
Muhammad SAW. Yang terjemahan bahasa inggrisnya, “he who dies without knowing of
time when still alive dies in ignorance” (ia telah wafat dan waktu kewafatannya masih
belum diketahui sampai kini). Hadis yang seperti ini juga terdapat dalam sekte sunni dan
syi’ah itsna Asyariah, tetapi tidak mencantumkan iman zaman.i
Dalam pandangan kelompok syi’ah sab’iah, keimanan hanya bisa diterima apabila
sesuai dengan keyakinan mereka, yaitu melalui walayah (kesetiaan) kepada imam zaman.
Imam adalah seorang yang menuntun pada pengetahuan (ma’rifat) dan dengan
pengetahuan tersebut seorang muslum akan menjadi seorang mukmin yang sebenar-
benarnya. Untuk itu, mereka berargumen bahwa manusia akan memasuki kehidupan
spiritual, kehidupan formal-materiil sebagai individu dan kehidupan sosial yang semuanya
memerlukan aturan. Manusia tidak dapat melalui kehidupan itu, kecuali dengan
bimbingan. Bimbingan tersebut meliputi kepemimpinan dan pembaharuan kehidupan,
pengetahuan, aturan-aturan, dan bimbingan pemerintahan yang semuanya harus
berdasarkan Islam. Pribadi yang dapat melakukan bimbingan seperti itu adalah pribadi
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
52
yang ditunjuk Allah dan Rasul-nya. Rasul pun menunjukkan atas perintah Allah. Imam
adalah penunjukan melalui wasiat.i
Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan syi’ah adalah sebagai berikut.
a. Imam harus dari keturunan ‘Ali melalui perkawinan dengan Fatimah yang kemudian
dikenal dengan Alhul Bait.i
b. Beberapa aliran kaisaniah,pengikut mukhtar Ats-Tsaqafi, mempropagandakan bahwa
keimaman harus dari keturunan ‘Ali melalui pernikahannya dengan seorang wanita dari
Bani Hanifah dan mempunyai anak yang bernama Muhammad bin Al-Hanifiyah.i
c. Imam harus berdasarkan penunjukan atau nash.i Syi’ah sab’iah menyakini bahwa setelah
nabi wafat, ‘Ali menjadi imam berdasarkan penunjukan khusus yang dilakukan Nabi
sebelum wafat. Sukses keimanan menurut doktrin dan tradisi syi’ah harus berdasarkan
nash oleh imam terdahulu.
d. Keimanan jauh dari anak tertua. Syi’ah sab’iah menggaris bawahi seorang imam
memperoleh keimaman dengan jalan wiratsah (heredity) dan seharusnya merupakan anak
paling tua. Jadi, ayahnya yang menjadi imam menunjuk anaknya yang paing tua.i
e. Imam harus maksum (immunity from sin an error).i Sebagaimana sekte syi’ah lainnya,
syi’ah menggariskan bahwa seorang iamam harus terjaga dari salah satu dosa. Bahkan,
lebih dari itu, syi’ah sab’iah berpendapat bahwa jika imam melakukan perbuatan salah,
perbuatan itu tidak salah.i Keharusan maksum bagi imam dapat ditelusuri dengan
pendekatan sejarah. Pada sejarah iran pra-islam terdapat ajaran yang menyatakan bahwa
ajaran merupakan keturunan Tuhan;atau seorang raja adalah penguasa yang dapat tetesan
ilahi (Devine Grace) dan dalam bahasa Persia adalah farr-I izadi.iOleh karna itu, seorang
raja harus maksum.
f. Imam harus dijabat oleh seseorang yang paling baik (best of men). Berbeda dengan
Zaidah, syi’ah sab’iah, dan syi’ah dua belas tidak membolehkan adanya imam mafdhul.
Dalam pandangan syi’ah sab’iah, perbuatan dan ucapan imam tidak boleh bertentangan
dengan syariat. Seorang imam harus sama sifat dan kekuasaannya dengan nabi.
Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa nabi mendapatkan wahyu, sedangkan imam
tidak mendapatkannya.i
3. Ajaran syi’ah sab’iah lainnya
Ajaran-ajaran sab’iah yang lainnya pada dasarnya sama dengan ajaran sekte-sekte
syi’ah lainnya. Perbedaannya terletak pada konsep kemaksuman imam, adanya aspek pada
setiap yang lahir dan penolakannya terhadap Al-mahdi Al-muntazhar. Apabila dibandingkan
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
53
dengan sekte syi’ah lainnya, sab’iah sangat ekstrem ketika menjelaskan kemaksuman imam.
Sebagaimana telah dijelaskan, sab’iah berpendapat bahwa walaupun terlihat melakukan
kesalahan dan meyimpan dari syariat, seorang imam sesungguhnya tidak dimiliki manusia
biasa. Konsep kemaksuman imam seperti itu merupakan konsekuensi logis dari doktrin
sab’iah tentang pengetahuan iamam akan ilmu batin.
Ada satu sakte dalam sab’iah yang yang berpendapat bahwa tuhan mengambil tempat
dari dalam iamm. Oleh karna itu, imam harus disembah. Salah seorang khalifah Dinasti
Fatimah, Al-Hakim bin Amrillah (I. 375 H), berkeyakinan bahwa dalam dirunya terdapat
tuhan bahwa dirinya terdapat tuhan karena ia memaksa rakyat supaya menyembahnya.
D. Syi’ah Zaidah
1. Asal-usul penamaan syi’ah zaidiah
seketika ini mengakui zaid bin ‘ali sebagai imam V, putra imam IV,’Ali zaidah abidin.
Ini berbeda dengan sakte syi’ah lain yang mengakui Muhammad Al-Baqir, anak zainal
abiding yang lain, sebagai imam V. dari nama zaid bin ‘Ali inilah nama zaidah diambil.i
Syi’ah zaidinmerupakan sakte syi’ah yang moderat.i Bahkan, Abu Zahra menyatakan bahwa
syi’ah zaidah merupakan sakte paliang dekat dengan sunni.
2. Doktrin imamah menurut syi’ah zaidiah
Imamiah sebagaimana telah disebutkan doktrin fundamental dalam syi’ah secara umum.
Berbeda dengan doktrin imamah yang tipikal. Kaum zaidah menolak pandangan yang
menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.
Telah ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya ditemukan sifat-sifatnya. Ini
jelas berbeda dengan sakte syi’ah yang percaya bahwa Nabi Muhammad SAW. Telah
menunjuk ‘Alisebagai yang pantas sebagai imam setelah Nabi wafatkarena sifat-sifat itu tidak
dimiliki oleh orang lain, selain ‘Ali. Sifat-sifat itu adalah keturunan Bani Hasyim, wara’
(saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertakwa, baik, dan membaur dengan rakyat untuk
mengajak mereka hingga mengakuinya sebagi imam.
3. Doktrin-doktrin syi’ah zaidiah lainnya
Bertolak dari doktrin tentang al-imamah al-mafdul, syi’ah zaidiah berpendapat bahwa
khalifahan Abu Bakar dan Umar bin khaththab adalah sah dari sudut pandang islam. Dalam
pandanagn zaidiah, mereka tidak merampas kekuasaan dari tangan ‘Ali bin Abi Thalib.
Dalam pandangan mereka pun,jika ahl al-ahll wa al-‘aqd telah memilih seseorang imam dari
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
54
kalangan kaum muslim meskipun orang yang terpilih itu tidak memenuhi sifat-sifat keimanan
yang ditetapkan oleh zaidiah, padahal mereka telah membaitnya, keimanannya menjadi sah
dan rakyat wajib berbait kepadanya.i Selain itu, mereka juga tidak mengafirkan seorang pun
sahabat. Mengenai ini, zaidd sebagaimana dikutip Abu zahrah mengatakan:
“sesunguhnya ‘Ali bin Thalib adalah sahabat yang paling utama. Kekhalifahannya
diserahkan kepada Abu Bakar karena mempertimbanagkan kemaslahatan dan kaidah
agama yang mereka pelihara, yaiyu untuk meredam timbulnya fitnah dan memenangkan
rakyat. Era peperangan yang terjadi pada masa kenabian baru berlalu. Pedang Amir Al-
Mu’minin ‘Ali belum lagi kering dari darah orang-orang kafir. Begitupula kedengkian
suku tertentu ntuk menuntut balas dedam belum surut. Sedikitpun hati kita tidak pantas
untuk cenderung kesana. Jangan sampai ada lagi leher yang terputus karna masalah itu.
melaksanakan pandangan inilah yang dinamakan kemaslahatan bagi orang yang mengenal
dengan kelemahlembutan dan kasih sayang, juga bagi orang yang lebih tua dan lebih
dahulu memeluk islam, serta yang dpat dengan rasulullah.
4. Syi’ah Ghulat
1. Asal-usul penaman syi’ah ghulat
Istilah “ghulat” berasal dari kata ghala-yaghlu-ghulan artinya “bertambah” dan “naik”.
Ghala bi ad-din artinya memperkuat da menjadi ekstrem sehingga melampaui batas.i Syi’ah
Ghulat berartikan kelompok pendukung ‘Ali yang memiliki sikap berlebihan atau skstrem.
Lebih jauh, Abu Zahrah menjelaskan bahwa syi’ah ekstrem (ghulat) adalah kelompok yang
menempatkan ‘Ali pada derajat krtuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat kenabian,
bahkan lebih tinggi dari nabi Muhammad.
2. Doktrin-doktrin syi’ah ghulat
Menurut syahrastani ada empat doktrin yang membuat mereka ekstrem, yaitu tanasukh,
beda’, raj’ah, dan tasbih. Moojan menambahkannya dengan hulul dan ghaybai. Tanasukh
adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Paham ini
diambil dari falsafah Hidup. Penganut agama Hind berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan
cara berpindah ketubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara berpindah
dengan satu kehidupan pada kehidupan yang lebih tinggi.i Syi’ah ghulat merupakan paham ini
dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan –seperti Abdullah bin Mu’awiyah
bin Abdullah bin Ja’far- bahwa roh Allah berpindah kepada Adam dan kepada imam-imam
secara turun-menurun.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
56
A. Sejarah Singkat Salaf
1. Definisi salaf
Banyak beragam definisi yang telah dikemukakan para pakar mengenai definisi salaf
dan khalaf berikut akan dikemukakan beberapa diantaranya.menurut Thablawi Mahmud
Sa’ad,salaf artinya ulama terdahulu.salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi
sahabat,tabii,tabi tabiin,para pemuka abad ke-3 H,dan para pengikutnya pada abad ke -4 yang
terdiri atas para Muhadditsin dan sebagainya.salaf berarti para ulam-ulam saleh yang hidup
pada tiga abad pertama islam.imenurut Asy-Syahratsani (474-548 H), ulama salaf tidak
menggunakan takwil (dalam menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat)dan tidak mempunyai
paham tasybih(antrofomorfisme).iMahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyah
mendefinisikan salaf sebagai sahbat,tabiin dan tabi tabiin yang dapat diketahui dari sikapanya
menolak penafsiran yang dalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu
yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.
W. Montgomery Watt mwnyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di
Baghdad pada abad ke-13.pada masa itu,terjadi gairah yang menggebu-gebu yang diwarnai
fanatisme kalangan kaum Hanbali.sebelum akhir abad itu,terdapat sekolah-sekola Hanbali di
Jerussalem dan Damaskus.di Damaskus kaum Hanbali semakin kuat dengan kedatangan para
pengungsi dari Irak yang disebakan serangan Mongol atas Irak.diantara para pengungsi itu
terdapat satu keluarga dari Harran,yaitu keluarga Ibn Taimiah (1263-1328 M) adalah seorang
ullam besar penganut Imam Hanbali yang ketat.
Berdasarkan uraian Ibrahim Madzkur,karakteristik-karakteristik ulama salaf atau
salafiyah dapat dikemukakan sebagai berikut.i
1. Lebih mendahulukan riwayat(naql)daripada dirayah(aql)
2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin)dan persoalan-persoalan cabang
agama (furu’ ad-din), hanya bertolak dari penjelasan-penjelasan Al-Kitab dan Ash-
Sunnah.
3. Mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentanng Dzat-nya) tidak pula
mempunyai paham antropomorfisme.
4. Memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, tidak berupaya untuk
mewakilinya.
Melihat karakteristik yang di kemukakan ibrahim madzkur di atas,tokoh tokoh berikut
dapat di kategorikan sebagai ulama salaf.tokkoh yang dimaksud adalah ‘Abdullah bin
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
57
Abbas(68 H),Abdullah bin Umar(74 H), Umar bin Abdul Aziz(101 H),Az-Zuhri(124H), Jafar
Ash-Shidiq (148 H), dan para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi,Maliki,Syafi’i, dan
Imam Ahmad bin Hambal).Harun Nasution menganggap bahwa secara kronologis,salafia
bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal.lalu,ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimia,di
suburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab,dan akhirnya berkembang di dunia Islam
secara sporaris.idi Indonesia,gerakan ini berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh gerakan
gerakan Persatuan Islam (Persis),bahkan Muhammadiyah.gerakan gerakan lainnya,pada
dasarnya juga menganggap sebagai gerakan salaf,tetapi teologinya sudah dipengaruhi oleh
pemikiran yang dikenal dengan istilah logika.sementara itu,para ulama menyatakan mereka
sebagai ulama salaf,mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah
teologi(ketuhanan).
Berikut ini akan dijelaskan beberapa ulama salaf dengan pemikirannya, terutama
berkaitan dengan persoalan persoalan kalam.
B. Imam Ahmad bin Hanbal (780-855)
1. Riwayat hidup singkat Ibn Hanbal
Ibn Hanbal dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780 M, dan meninggal 241/855 M.ia
sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bersama Abdillah.ia lebih
dikenal dengan nama Imam Hanbali kerena menjadi pendiri mazhab Hanbali .ibunya bernama
Shahifa binti Maimunah binti Abdul Malik binti Sawadah binti Hindur Asy-
Syaibani,bangsawan Bani Amir.ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas
bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdulllah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin
Syaiban bin Dahal bin Aqabah bin Sya’b bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi’al-Hadis bin
Nizar.di dalam keluarga Nizar ini tampaknya Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek
moyangnya,Nabi Muhammad SAW.
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hambal masih berusia muda.meskipun demikian
ayahnya telah mengawalinya memberikan pendidikan Al-Quran.pada usia 16 tahun,ia belajar
Al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad.lalu mengunjungi
ulama-ulama terkenal di Kufah,Basrah,Yaman,Mekah dan Madinah.diantara guru-gurunya
adalah Hammad bin Khalid,Ismail bin Aliyyah,Muzaffar bin Mudrik,Walid bin
Muslim,Muktamar bin Sulaiman,Abu Yusuf Al-Qadi,Yahya bin Zaidah,Ibrahim bin
Sa’id,Muhammad bin Idris Asy-Syafi’,Abdul Razaq bin Humam dan Musa bin Thariq.dari
guru-gurunya,Ibnu Hanbal mempelajari ilmu fiqh,hadis,tafsir,kalam,ushul,dan bahasa Arab.i
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
58
Ibnu hambal dikenal sebagai seorang zahid hampir setiap hari ia berpuasa dan tidur
hanya sedikit pada malam hari.ia juaga dikenal sebagai seorang dermawan.pada suatu
ketika,Khalifa Makmun Ar-Rashid membagikan beberapa keping emas untuk diberikan
kepada para ulama hadis,yang merupakan kebiasaan para Khalifa masa itu.Ibn Hanbal justru
menolaknya. Diriwayatkan pula, suatu ketika Syaikh Abdul Razak datang untuk
menengoknya yang sedang dalam kesulitan keuangan di Yaman.gurunya itu mengambil
segenggam dinar dari kantongya dan diberikan kepada Ibn Hanbal,tetapi Ibn Hanbal
mengatakan bahwa,”saya tidak membutuhkannya.”
Sebagai seorang yang teguh pendirian,ketika Khalifa Al-Makmun mengembangkan
mazhab Mu’tazilah,Ibn Hanbal menjadi korban”minhah”(inquistition)i karena tidak mengakui
bahwa Al-Quran itu makhluk,sehingga ia harus masuk penjara.nasib serupa dialaminya pada
masa pemerintahan para pengganti Al-Makmun,yaitu Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq.setelah Al-
Mutawakil naik tahta,Ibn hanbal memperoleh kebebasan.pada masa ini,ia memperoleh
penghormatan dan kemuliaan.
Diantara murid murid Ibn Hanbal adalah Ibn Taimiah, Hasan bin Musa,Al-
Bukhari,Muslim,Abu Dawud,Abu Zuhrah Ad-Damsyiqi,Abu Zuhrah Ar-Razi,Ibn Abi Ad-
dunia,Abu Bakar Al-Asram,Hanbal bin Isahak Asy-Syaibani,Shaleh,dan Abdullah.kedua
orang yang di sebutkan terakhir merupakan putranya.
2. Pemikiran Teologi Ibn Hanbal
a. Ayat-ayat mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an,Ibn Hanbal lebih menyukai pendekatan lafdzi
(tekstual) daripada pendekatan takwil,terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan
ayat-ayat mutasyabihat.ihal itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat “(Yaitu)
Yang Maha Pengasih,yang bersemayam diatas ‘Arsy.” (Q.S.Thaha 20:5)
Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab:
اصف.غ ها و يل ي ستوى على العرش كيف شأ وكما شأ بل حد ول صفة إ
Artinya:
“Istiwa’ diatas arasy terserah Dia dan bagaiman Dia kehendaki dengan tiada batas dan
tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya.”
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
59
Kemudian,ketika ditanya tentang makna hadis nuzul(tuhan turun ke langit
dunia),ru’yah (orang-orang melihat tuhan di akhirat),dan hadis tentang telpak kaki tuhan,Ibn
Hanbal menjawab:
ق ها ول كيف ول معنى. من بها ون صد ن وٴ
Artinya:“kita mengimanii dan membenarkannya, tanpa mencari perkelasan cara dan
maknanya.”
Dari pernyataan diatas, Ibn Hanbal tampaknya bersikap menyerahkan(tafwidh) makna-
makna ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya dari keserupaan dengan
makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.
b. Status Al-Qr’an
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal Yng kemudian membuatnya
dipenjara beberapa kali adalah tentang status Al-Qur’an,apakah diciptakan(makhluk)karena
hadis(baru) ataukah tidak diciptakan karena qadim.paham yang diakui oleh pemerintahan
resmi pada saat itu,yaitu Dinasti ‘Abbasiah di bawah kepemimpinan Khalifah Al-
Makmun,Al-Mu’tashim,dan Al-Watsiq adalh paham Mu’tazilah,yaitu Al-Qur’an tidak
bersifat qadim,tetapi baru dan diciptakan.sebab,paham adanya qadim di samping tuhan,bagi
Mu’tazilah berarti menduakan Tuhan.menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang
tidak diampuni Tuhan.
Tampaknya,Ibn Hanbal tidak sependapat denagn paham resmi diatas.oleh karena itu,ia
kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah.pandangannya tentang status Al-
Qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim,Gubernur Irak:
Ishaq : Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan
Ishaq : Apakah ia diciptakan?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan.saya tidak mengatakan lebih dari itu
Ishaq : Apa dari ayat:Maha Mendengar (sami’) dan Maha Melihat (basir)?(ishaq
Ingin menguji Ibn Hanbal tentang paham antropomorpisme).
Ibn Hanba : Tuhan menyipatkan diri-Nya (dengan kata-kata itu).
Ishaq : Apa artinya?
Ibn Hanbal : Tidak tahu.Tuhan adalah sebagaimana ia sifatkan pada diri-Nya.
Berdasarkan dialog diatas, Ibn Hanbal tidak ingin membahas lebih lanjut tentang
status Al-Qur’ann.ia hanya mengatakan bahwa Al-qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
60
Qur’an tidak diciptakan,ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang
berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah danRasul-Nya.
C. Ibn Taimiah (661-729 H)
1. Riwayat Hidup Singkat Ibn Taimiah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiah.
Dilahhirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H dan meninggal
di penjara pada malam Senin tanggal 20 Dzulqaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah
menggetarkan seluruh penduduk Damaskus,Syam,dan Mesir,serta kaum muslim pada
umumnya.Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdissalam Ibn
Abdillah bin Taimiah, seorang syekh, khatib, dan hakim di kotanya.
Dikatakan oleh Ibrahim Madzkur bahwa Ibn Tamiah merupakan seorang tokoh salaf
ekstrem kareana kurang memberikan ruang gerak pada akal.ia murid mutaqqi,wara,dan
zuhud.ia seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani denganmengangkat
senjata.ia dikenal sebagai seorang muhaddits,mufasir,faqih,teolog,bahkan banyak mengetahui
tentang filsafat.ia telah mengkritik Khalifah Umar dan Ali binAbi Thalib.ia juga menyerang
Al-Ghazali dan ibn Arabi.kritikannya ditujukkan kepada kelompokn-kelompok agama
sehingga mebangkitkan kemarahan pada ulama pada zamannya.berulang Ibn Taimiah hanya
karena bersengketa dengan para ulama pada zamannya.i
Ibn Taimiah terkenal dengan kecerdesannya sehingga pada usia 17 tahun telah
dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan pandangan mengenai masalah hukum
secara resmi.para ulama lawan Ibn Taimiah yang sangat risau oleh serangan serangannya,serta
iri hati pada kedudukannyadi istana Gubernur Damaskus,telah menjadikan pemikiran-
pemikiran Ibn Taimiah sebagai landasan untuk menyerangnya.dikatakan oleh lawan lawannya
bahwa pemikiran Ibn Taimiah sebagai klenik,antropomorfisme,sehingga pada awal 1306 Ibn
Taimiah dipanggil ke Kairo.sesuai keputusaan pengadilan kilat,akhirnya di penjarakan.i
Harus dimaklumi bahwa masa hidup Ibn Taimiah bersamaan dengan kondisi dunia
islam yang sedang mengalami disentegrasi,dislokasi sosial,dan dekandasi moral dan
ahklak.kejadianya terjadi setelah lima tahun Baghdad dihancurkan pasukan Mongol,Hulagu
Khan.oleh karena itu, sangat pantas apabila Ibn Taimiah dalam upayanya mempersatukan
umat islam banyak tantangan,bahkan harus wafat di dalam penjara.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
61
2. Pemikiran Teologi Ibn Taimiah
Pikiran-pikiran Ibn Taimiah,seperti dikatakan Ibrahim Madzkur adalah sebagai berikut:
a. Berpegang teguh pada nash (teks Al-Qur’an dan Al-Hadis).
b. Tidak memberikan ruang gerak yang bebas pada akal.
c. Berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama.
d. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi (sahabat, tabiin,dan tabi tabiin)
e. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-
Nya.
f. Ibn Taimiah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa apabila kalamullah
qadim, kalamnya pasti qadim pula.
Ibn Taimiah adalah seorang tektualis. Oleh karena itu, pandangannya dianggap oleh
ulama mazhab Hanbali, Al-Khatib Ibn Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim (antropomorfisme)
Allah, yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya,oleh karena itu,Al-Jauzi berpendapat
bahwa pengakuan Ibn Taimiah sebagai salaf perlu ditinjau lagi.
Berikut pandangan-pandangan Ibn Taimah tentang sifat-sifat Allah.i
a) Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang ia sendiri atau Rasul-Nya
menyipati.sifat-sifat yang dimaksud adalah:
1) Sifat salbiah,yaitu qidam,baqa’,mukhalafatu lil hawaditsi,qiyamuhu bi nafsihi,dan
wahdaniyyah;
2) Sifat ma’ani,yaitu qudrah,iradah,sama’,bashar,hayat,ilmu,dan kalam;
3) Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis meskipun akal
bertanya-tanya tentang maknanya),seperti keterangan yang menyatakan bahwa
Allah di langit;Allah diatas ‘arasyi;Allah turun ke langit dunia;Allah dilihat oleh
orang beriman di surga kelak,wajah,tangan.dan mata Alllah
4) Sifat dhafiah,meng-idhafat-kan atau menyadarkan nama-nama Allah pada alam
makhluk,seperti rabb al-‘alamin,khaliq al-kaun, dan falik al-hubb wa an-nawa
b) Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya,yang Allah atau Rasul-Nya
sebutkan,seperti al-awwal,al-akhir,azh-zhahir,al-bathin,al-‘alim,al-qadir,al-hayy,al-
qayyum,al sami’ dan al- bashir.
c) Menerima sepenuhnya sifat-sifat dan nama-nam Allah dengan:
1) Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafaz(min ghair
tahrif);
2) Tidak menghilangkan pengertian lafaz(min ghir ta’thil);
3) Tidak mengingkarinya(min ghair ilhad);
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
62
4) Tidak menggambarkan bentuk Tuhan,baik dalam pikiran,hati maupun dengan indra
(min ghair takyif at-takyif);
5) Tidak menyerupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat
makhluk-Nya (min ghair tamsir rabb al-‘alamin). Hal ini disebabkan bahwa tiada
sesuatupun yang dapat menyamai-Nya, bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak ada
Berdasarkan alasan-alasan diata, Ibn-Taimiah tidak mennyetujui setiap penafsiran ayat-
ayat mutasyabihat. menurutnya, ayat-ayat atau hadis-hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah
harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak
menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentang itu. Ibn Taimiah
mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu Allah pencipta
segala sesuatu; hamba pelaku perbuatan sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak
secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya;Allah
meridhoi perbuatan baik dan tidak meridhoi perbuatan yang buruk.
Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiah mencapai klimaksnya dalam
sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi.masalah pokoknya terletak pada upayanya
membedakan manusia dengan tuhannya yang mutlak.oleh karena itu,,masalah tuhan tidak
dapat diperoleh dengan metode rasional,baik dengan metode filsafat maupun teologi.demikian
juga,keingina manusia untuk menyatu dengan tuhan sebagai suatu yang mustahi.oleh karena
itu,Ibn Taimiah sangat tidak suka pada aliran filsafat yang mengatakan Al-Qur’an berisi dalil
khitabi dan iqna’i (penenangan dan pemuas hati);Aliran Mu’tazilah yang selalu
mendahulukan dalil rasional daripada dalil Al-Qur’an,sehingga banyak menggunakan
takwil;ulama yang memercayai dalil Al-Qur’an,tetapi hanya dijadikan sebagai pangkal
penyelidikan akal,meskipun untuk memperkuat isi Al-Qur’an dan Al-Maturidi;mereka yang
memercayai dalil-dalil Al-Qur’an,tetapi menggunakan pula dalil-dalil akal disamping Al-
Qur’an (seperti Al-Asy’ari)i
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
63
BAB VIII
KHALAF: AHLUSUNNAH
(AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
64
A. Latar Belakang Khalaf: Ahlusunnah
Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad ke-
III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan yang dimiliki salaf. Karakteristik
yang paling menonjol dari khalaf adalah penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa
dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.i
Adapun ungkapan Ahlusunnah (sering disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi
dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah – sebagaimana
juga Asy’ariah – masuk dalam barisan Sunni. Adapun Sunni dalam pengertian Khusus adalah
mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian
kedua inilah yang digunakan dalam pembahasan ini.
Selanjutnya, termasuk Ahlusunnah banyak digunakan sesudah timbulnya aliran
Asy’ariah dan Maturidiah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.i Dalam
hubungan ini, Harun Nasution –dengan meminjam keterangan. Tasy Kubra Zadah-
menjelaskan bahwa aliran Ahlusunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-
Asy’ari sekitar tahun 300 H.
B. AL-Asy’ari (875-935)
1. Riwayat Hidup Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al—Asy’ari adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim
bin ‘Abdillah bin Musa bin Bilal Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Lahir di bashrah
pada tahun 260 H/875 M. setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan
wafat disana pada tahun 324 H/935 M.
Al-Asy’ari menganut paham Mu’tzilah selama 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia
mengumumkan dihadapan jamaah Masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan
paham Mu’tazilah dan akan menunjukan keburukan’keburukannya. Menurut Ibn ‘Asakir,
yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-
Asy’ari bermimpi betemu dengan Rasulullah SAW. Sebanyak tiga kali, yaitu pada malam
ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadan. Dalam tiga kali mimpinya, Rasulullah SAW.
Memperingatkannya agar segera meninggalkan paham Mu’tazilah dan segera membela
paham yang telah diriwiyatkan dari beliau.
2. Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy’ari
Formulasi pemikiran Al-Asy’Ari, secara essensial menampilkan sebuah upaya sintesis
antara formulasi ortodoks ekstrem pada satu sisi dan mu’tazilah pada sisi lain. Dari segi
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
65
etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat artodoks. Aktualitas formulasinya jelas
menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilh, sebuah reaksi yang tidak bisa 100%
menghindarinya.i Corak pemikiran yang sintetsis ini, menurut Watt dipengaruhi teologi
Kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab) (w.854 m).
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut:
a. Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Perbedaan pendapat dikalangan mutakilimin mengenai sifat-sifat Allah tidak dapat
dihindarkan meskipun merka setuju bahwa mengesakanAllah adalah wajib. Al-Asy’ari
dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrem. Pada suatu pihak, ia berhadapan dengan
kelompok sifatiah (pemberi sifat), kelompok mujassimah (antropomorfis), dan kelompok
musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan
dalam Al-Qur’an dan Sunnah bahwa sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnnya.
Pada pihak lain, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-
sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya., dan tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi
tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi haus dijelaskan secara alegoris.
Menghadaipi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa
Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti
mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh dirtika secara harfih, tetapi secara simbolis
(berbeda dengan pendapat kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa
sifat-sifat Allah unik dan tidak dapt dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang
tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi –sejauh menyangkut
realitasnnya (haqiqah)- tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda
dengan-Nya.
b. Kebebasan dalam berkehndak (free-will)
Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta
mengaktualisasikan perbuatannya. Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah di antara dua
pendapat yang ekstrem, yaitu Jabariah yang fatalistic dan menganut paham pra-
determinisme semata-mata, dan Mu’tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan
berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Untuk mengetahui dua
pendapat di atas, Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah
pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya
(muktasib). Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan
manusia).
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
66
c. Akal dan wahyu dan criteria baik dan buruk
Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnnya akal dan
wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persolan yang memperoleh penjelasan
konntradiktif dari akal dan wahyu. Al Asy-ari mengutamakan wahyu, sementara
Mu’tazilah mengutamakan akal.
d. Qadimna Al-Qur’an
Al-Asy ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam personal qadimnya Al-
Qur’an: Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (Makhluk), dan tidak
qadim; serta pandangan mazhab Hanbali dan Zahiriah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an
adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Bahkan, Zahiriah berpendapat
bahwa semua huruf kata-kata, dan buyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka
mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari bahwa walaupun
Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi
Allah dan tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-Asy’ari tidak
diciptakan sebab apabila diciptakan, sesuai dengan ayat ”sesungguhnya firman terhaadap
sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, Jadilah!
Maka jadilah sesuatu itu.” (Q.S. An-Nahl 16: 40)
e. Melihat Allah
Al-asy’ari tidak sepemdapat dengan kelompok otodoks ekstrem, terutama Zahiriah,
yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah
bersemayam di ‘Arsy. Selain itu, Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang
meningkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. iAl-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat
dilihat di akhiran, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika
Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptkan kemampuan penglihatan
manusia untuk melihat-Nya.
f. Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya
berbeda dalam cara pandangan makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran
Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang
salah dan member pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
67
Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah
mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari
visi bahwa Allah adalah Pemilik Mutlak.
g. Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah. Mengingat
kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus satu di
antaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa
mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab ia tidak mungkin hilang
karena dosa selain kufur.
C. Al-Maturidi (w.944 M )
1. Riwayat Hidup Singkat Al-Maturidi
Abu masnsyur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah
Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan.
Tahun kelahirannya tidak diketahi secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad
ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi
bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Ia hidup pada masa Al-
Mutawakkil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M.
Karier pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi
daripada fiqh, sebagai usaha memperkuat pengetahuannya untuk menghadapi paham-paham
teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai
dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’.
Pemikiran-pemikirannya sudah banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, di
antaranya adalah Kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an, Ma’khaz, Asy-Syara’I, Al-Jadl, Ushul fi
ushul Ad-Din, Maqalatat fi Al-Ahkam, Radd Awa’il Al-Adillah li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul
Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li al-Ba’ad Ar-Rawafidh, dan
Kitab Radd ‘ala Al-Qaramithah. Selain itu, ada pula karangan-karangan yang dikatakan dan
diduga ditulis oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah fi Al-Aqaid dan Syarh Fiqh Al-Akbar.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
68
2. Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a. Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal.
Dalam hal ini, ia sama denggan Al-Asy’ari. Akan tetapi, porsi yang diberikan pada akal
lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal. Kemampuan akal mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan
ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah agar manusia menggunakan akal dalam
usaha memperoleh pengetahuan dan iman terhadap Allah melalui pengamatan dan
pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Apabila akal tidak
mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, Allah tidak akan
memerintahkan manusia untuk melakukannya. Orang yang tidak mau menggunakan
akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarrti meninggalkan
kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Menurut Al-Maturidi, akal tidak
mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya, kecuali dengan bimbingan dari
wahyu. Al-Maturidi membagi sesuatu yang berkitan dengan akal pada tiga macam,
yaitu:
1) Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2) Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;
3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburuksn sesuatu, kecuali dengan petunjuk
ajaran wahyu.
Mengetahu kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat
dengan Mu’Tazilah. Perbedaannya, Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah kewajiban
melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk didasarkan pada pengetahuan akal.
Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran
wahyu. Dalam persoalan ini, Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut
Al-Asy’ari, baik atau buruk tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang
baik atau buruk karena perintah syara’ dan dipandang buruk karena larangan syara’. Jadi,
yang baik itu baik karena perintah Allah dan yang buruk karena larangan Allah. Pada
konteks ini, ternyata Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al-
Asy’ari.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
69
b. Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu
dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia,
kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki
kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya
dappat dilaksanakan. Dalam hal ini,
Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dengan
qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam
diri manusia dan manusia bebas menggunakannya. Daya-daya tersebut diciptakan dengan
perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang
menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian,
karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah
perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya sehingga daya itu daya manusia.iBerbeda
dengan Al-Maturidi, Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan
karena ia memandang perbuatan manuisa adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula dengan
Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum
perbuatan itu sendiri.
Dalam hal pemakain daya, Al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu adnya
masyi’ah (kehendak) dan rida (kerelaan), kebebasab manusia dalam melakukan baik atau
buruk tetap dalam kehendak Tuhan. Tetapi memilih yang diridai-Nya atau yang tidak
diridai-Nya. Manuisa berbuat baik atas kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas
kehendak Tuhan, tetapi tidak ada kerelaan-Nya. Dengan demikian, manusia dalam paham
Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam pahara Mu’tazilah.
c. Kekuasaan dan Kehendak mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud
ini, yang baik atau buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-
Maturidi bukan berate Tuhan berkehendak dan berbuat dengan sewenang-wenang serta
sekehendak-Nya, karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut),tetapi perbuatan
dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah
ditetapkan-Nya.
d. Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara
pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, ia berpendapat
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’bashar, dan sebagainya. Walaupun
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
70
begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-
Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat. Menurut Al-Maturidi,
sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan Tuhan itu mulazamah (ad
bersama, baca inherent) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ‘ain adz-dzat wa la hiya
ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawa pada pengertian
antropomorfisme karena sifat tidak berwujud yang terdiri dari dzat, sehingga berbilang
sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim(taaddud al-qudama).i
Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati
paham Mu’tazilah. Perbedan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang
adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
e. Tuhan
Melihat Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Tentang
melihat Tuhan ini dibeeritakan oleh Al-Qur’an, diantara lain firman Allah dalam surat Al-
Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bajwa Tuhan kelak di akhirat dapat ditangkap
dengan penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud, walaupun ia immaterial. Melihat
Tuhan kelak di akhirat tidak meperkenalkan bentuknya (bila kaifa) karena keadaan
diakhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
f. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara
dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah
sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah
baharu(hadis). Al-Qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata
adalah baharu (hadis). Kalam nafsi dan manusia tidak dapat mendengar atau
membacanya, kecuali dengan perantara.i
Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Quran sebagai yang tersusun dari
huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandang nya dari segi makna
abstrak. Berdasarkan setiap pandangan tersebut, kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan
sifat-Nya dan bukan pula lain dari dzat-Nya.
Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, melainkan perbuatan yang diciptakan
Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat Mu’tazilah ini diterima Al-Maturidi, tetapi Al-
Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai ganti Makhluk untuk sebutan
Al-Quran. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga ada kesamaan dengan pendapat
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
71
Al-Maturidi karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak,
tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu sifat kekal Tuhan.
g. Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali
semua adalah dalam kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan tidak ada yang memaksa atau
membatasinya, kecuali ada hikmah dan keadiln yang ditentukan oleh kehendak-Nya.
Oleh karena itu, Tuhan idak wajib bagi-Nya berbuat ash-ashlah (yang baik dan terbaik
bagi manusia). Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-
kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak terlepas dari hikmah dan keadilan
yang dikehendakinya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain.
(1) Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar
kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia
juga diberi Tuhan kemerdekaan dalam kemampuan dan perbuatannya.
(2) Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian merupakan
tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
h. Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui hal baik dan buruk serta kewajiban
lainnya dari syariat yang dibebankan kepada manusia. Al-Maturidi berpendapat bahwa
akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-
kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul adalah hal niscaya yang berfungsi sebagai
sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul, berarti
manusia membebankan akalnya pada sesuatu yang berada diluar kemampuannya.
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang
berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah Kewajiban
Tuhan, agar manuisa dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya dengan
ajaran para Rasul.
i. Pelaku dosa besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa tidak kafir dan tidak kekal
didalama neraka, walaupun ia meninggal sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah
menjanjikan akan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di
dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Berbuat dosa besar
selain syirik tidak akan kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar
(selain syirik) tidak menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi,
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
72
iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar. Adapun amal adalah penyempurnaan iman.
Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esesnsi iman, kecuali
menambah atau mengurangi pada sifatnya.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
73
BAB IX
PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN
TENTANG PELAKU DOSA BESAR
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
74
A. Perbandingan Antara Aliran Tentang Pelaku Dosa Besar
1.Menurut khawarij tentang pelaku dosa besar
Ciri yang menonjol dari aliran khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan
persoalan-persoalan kalam. Kaun khawarij umunya terdiri dari orang-orang arab badawi.
sebagai orang badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran islam sebagai
terdapat dalam alquran dan hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan
sepenuhnya. Kaum khawarij memasuki persoalan kufr: siapakah yang kafir dan keluar dari
islam.dan siapakah yang disebut mukmin dan dengan demikian tidak keluar dari, tetapi tetap
dalam, islam. Pendapat tentang siapa yang sebenarnya masih Islam dan siapa yang telah
keluar dari islam dan menjadi kafir serta soal-soal yang bersangkut-paut dengan hal ini tidak
selamanya sama, sehingga timbullah berbagai golongan dalam kalangan khawarij.
a).Al-muhakkimah
Golongan ini adalah golongan asli pengikut-pengikut asli yang memisahkan diri dan
yang menganggap bahwa semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi
kafir. Orang yang melakukan hal yang keji seperti membunuh, memperkosa dsb, menurut
faham mereka orang yang melakukan itu dianggap keluar dari Islam dan menjadi kafir.
b).Al-azaqirah
Subsekte tentang pelaku dosa golonagan ini menggunakan istilah yang lebih
mengerikan dari pada kafir yaitu polytheist atau musyrik. Dan di dalam Islam syirik atau
polytheist merupakan dosa yang terbesar, lebih dari-kufr.
c).Al-Najdat
Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar menjadi kafir dan kekal di dalam
neraka hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Adapun
pengikutnya, jika mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan siksaan di neraka, tetapi pada
akhirnya akan masuk surga juga. Dosa kecil baginya akan menjadi dosa besar, kalau
dikerjakan terus-menerus dan yang mengerjakannya sendiri menjadi musyrik.
d).Al-Sufriah
Subsekte Al-Sufriah membagi dosa besar dalam dua bagian, yaitu dosa yang ada
sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tidak ada sanksinya di
dunia, seperti meninggalkan shalat dan puasa. Orang yang berbuat dosa kategori pertama
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
75
tidak dipandang kafir, sedangkan orang yang melaksanakan dosa kategori kedua dipandang
kafir.
e).Al-Ibadah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan
Khawarij. Menurut mereka orang islam yang tidak sefaham dengan mereka bukanlah
mukmin dan bukanlah musyrik, tetai kafir. Sedangkan orang islam yang berbuat dosa besar
adalah muwahhid, yang meng-Esa-kan Tuhan, tetapi bukian mukmin dan kalaupun kafir
hanya merupakan kafir al-ni mah dan bukan kafir al-millah, yaitu kafir agama. Dengan
kata lain, mengerjakan dosa besar tidak membuat orang ke luar dari Islam.
2. Menurut Murji’ah tentang pelaku dosa besar
Pandangan aliran murji’ah tentang status pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari
defimisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte murji’ah berbeda pendapat
dalam merumuskan definisi iman itu sehingga pandangan tiap-tiap subsekte tentang status
pelaku dosa besar pun berbeda-beda-pula.
Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi bahan
perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum khawarij menjatuhkan hukum kafir
bagi orang berbuat dosa besar, kaum murji’ah menjatuhkan hukum mukmin bagi orang yang
serupa itu. Adapun soal dosa besar yang mereka buat, itu ditunda (arja’a) penyelesaiannya
kehari perhitungan kelak. Argumentasi yang mereka majukan dalam hal ini ialah bahwa orang
Islam yang berdosa besar itu tetap mengucapkan kedua syahadat yang menjadi dasar utama
dari iman. Oleh karena itu orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini, tetap-
mukmin,dan-bukan-kafir.
Arja’a selanjutnya, juga mengandung arti memberi pengharapan. Orang yang
berpendapat bahwa orang islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap
mukmin dan tidak akan kekal dalam neraka, memang memberi pengharapan bagi yang
berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat Allah. Pada umumnya kaum murji’ah dapat dibagi
dalam dua golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim Golongan moderat
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka,
tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada
kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk
neraka sama sekali.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
76
Dalam golongan Murji’ah moderat ini termasuk al-Hasan Ibn ’Ali Ibn Abi Talib, Abu
Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli HadisDi antara golongan ekstrim yang dimaksud ialah
al-Jahmiah, pengikut-pengikut Jahm Ibn Safwan. Menurut golongan ini orang Islam yang
percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir ,
karena iman dan kufr tempatnya hanyalah dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh
manusia. Bahkan orang demikian juga tidak menjadi kafir, sungguhpun ia menyembah
berhala, menjalankan ajaran–ajaran agama Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah
salib, menyatakan percaya kepada trinity, dan kemudian mati.
Orang yang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna
imannya. Golongan ini berpendapat bahwa, jika seseorang mati dalam iman, dosa-dosa dan
perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan.
Karena itu perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusakkan iman seseorang, dan
sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan seseorang musyrik atau
politheist.
3. Menurut Mu’tazilah Tentang Pelaku Dosa Besar
Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh masalah
yang hampir sama dengan Khawarij dan Murji’ah, yaitu mengenai status dosa besar; apakah
masih beriman atau telah menjadi kafir. Perbedaanya, bila Khawarij mengafirkan pelaku dosa
besar dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan
status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir,
kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah bain almanzilataini. Setiap
pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada di posisi tengah di antara posisi mukmin dan
kafir.
Posisi menengah bagi berbuat dosa besar, juga erat hubungannya dengan keadilan
tuhan. Pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi
Muhammad; tetapi bukanlah mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan
mukmin, ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir pula, ia sebenarnya tidak mesti
masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan di luar surga dan di luar neraka. Tetapi karena di
akhirat tidak ada tempat selain dari surga dan neraka, maka pembuat dosa harus dimasukan ke
dalam salah satu tempat ini. Penentuan tempat itu banyak hubungannya dengan faham
Mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka, digambarkan, bukan hanya oleh pengakuan dan
ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar
tidak beriman dan oleh karena itu tidak dapat masuk surga.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
77
Tempat satu-satunya ialah neraka. Dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah
segala perbuatan yng ancamannya disebutkan secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil
adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nas.
Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kreteria dasar bagi dosa besar maupun
kecil.
4.Menurut Asyariyah Tentang Pelaku Dosa Besar
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari, sebagai wakil Ahl As-Sunnah, tidak
mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahl-Qiblah) walaupun melakukan dosa
besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang
beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Adapun
balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat
bertobat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha
Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu
mendapaat syafaat Nabi SAW. Sehingga terbebas dari siksaan neraka atau kebalikannya, yaitu
tuhan memberikan siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun
begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir.
5.Menurut Maturidiyah Tentang Pelaku Dosa Besar
Mengenai soal dosa besar al-Maturidi sefaham dengan al-Asy’ari yaitu: bahwa orang
yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak
di akhirat. Ia pun menolak faham posisi menengah kaum Mu’tazilah.
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal di
dalam neraka walaupun ia mati sebelim bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan
akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam
neraka adalah balsan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Karena itu, perbuatan dosa besar
(selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Aliran Maturidyah terdapat
dua golongan, yaitu golongan Samarkand dan golongan Bukhara. Aliran maturidyah adalah
teologi yang banyak dianut oleh umat Islam yang memakai mazhab Hanafi.
6.Menurut Syiah Zaidiyah Tentang Pelaku Dosa Besar
Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal
dalam neraka, jika dia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah
Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan aneh mengingat Wasil bin Atha, salah
seorang pemimpin Mu’tazilah, mempunyai hubungan dekat dengan Zaid. Moojan Momen
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
78
bahkan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin Atha. Selain itu, secara etis
mereka boleh dikatakan anti-Murjiah.
B. Perbandingan Antar Aliran Tentang Iman Dan Kufur
1. Khawarij
Iman dalam pandangan khawarij, tidak semata-mata percaya kepada allah. Mengerjakan
segala kewajiban perintah agama juga merupakan bagian dari keimanan. Semua perbuatan
yang berbau religious, termasuk didalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan.
Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya iman kepada allah dan bahwa
Muhammad adalah rasulnya, tetapi tidak melaksanakan kewaiban agama dan malah
melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir
2. Murji’ah
Untuk murji’ah yang ekstrim, mereka berpandangan bahwa keimanan terletak didalam
kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada didalam
kalbu. Untuk murji’ah moderat, mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidakalah
menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada dosa
yang dilakukannya.
3. Mu’tazilah
Seluruh pemikir mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsure
terpenting dalam konsep iman. Bahkan hamper mengidentikkannya dengan iman. Ini mudah
dimengerti karena konsep mereka tentan amal-sebagai bagian penting keimanan-memiliki
keterkaitan langsung dengan masalah janji dan ancaman yang merupakan salah satu dari
“pancasila” mu’tazilah.
4. Asy’ariyah
Al-asy’ari berkata, iman adalah membenarkan dalam kalbu. Sedangkan mengatakan
dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama hanyalah merupakan cabang-cabang
iman. Oleh sebab itu, siapapun yang memberikan keesaan tuhan dengan kalbunya dan juga
membenarkan utusan-utusannya beserta apa yang mereka bawa darinya, iman yang semacam
itu merupakan iman yang sahih dan keimanan seorang tidak akan hilang kecuali jika ia
mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.i
5. Maturidiyah
Maturidiyah samarkad berpendapat bahwa iman adalah tasdiq bi al-qalb, bukan semata-
mat iqrar bi al-lisan. Sedangkan maturidiyan bukhar berpendapat bahwa iman tidak dapar
berkurang, tetapi bias bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
79
C. Perbandingan Antar Aliran Tentang Perbuatan Tuhan Dan Perbuatan Manusia
Kewajiban-kewajiban tuhan terhadap manusia:
Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajibah-kewajiban terhadap manusia.
Bagi kaum asy’ariyah paham tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat diterima, karena
hal itu bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan yang mereka anut.
Kaum maturidiyan golongan bukhara sepaham dengan kaum asy’ariyah. Sedangkan
maturidiyan bukhara dapat menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi tuhan.
Mu’tazilah berpendapat kewajibah tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia.
Asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi
manusia.
Kaum maturidiyan dengan keduan golongannya, juga tidak sepaham dengan kaum
mu’tazilah dalah hal ini.Mu’tazilah tak dapat menerima paham bahwa tuhan dapat
memberikan kepada manusia beban yang tak dapat dipikul.Asy’ariyah dapat menerima paham
pemberian beban yang diluar kemampuan manusia ini.Maturidiyah golongan bukhara
sependapat dengan kaum asy’ariyah, sedangkan golongan samarkand sependapat dengan
mu’tazilah.Bagi kaum mu’tazilah dengan kepercayaan mereka bahwa akal dapat mengetahui
hal-hal terntang alam ghaib, pengiriman rasul-rasul sebebarnya tidak begitu penting.Kaum
asy’ariyah, sungguhpun pengiriman rasul-rasul dalam teologi mereka mempunyai arti penting
menolak sifat wajibnya pengiriman demikian, karena hal itu bertentangan dengan keyakinan
mereka bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia.Maturidiyah
samarkand sepaham dengan kaum mu’tazilah, sedangkan golongan bukhara yang berpendapat
bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia.
Mu’tazilah berpendapat bahwa janji dan ancaman merupakan salah satu dari salah satu
lima dasar kepercayannya.Asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban
menepati janji dan menjalankan ancaman.maturidiyah golongan bukhara berpendapat tidak
mungkin tuhan melanggar janjinya untuk memberi upah kepada orang yag berbuat baik, tetapi
sebaliknya bukan tidak mungkin tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman
terhadap orang yang jahat.Golongan samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang
sama dengan mu’tazilah.Dalam persoalan tersebut memahami bahwa manusia tidak berkuasa
atas perbuatannya.
Hanya allah sajalah yang memutuskan segala amal perbuatan manusia. Aliran qadariyah
memahami bahwa manusia itu bebas memilih atas perbuatannya.Dalam persoalan ini aliran
mu’tazilah sependapat dengan aliran qadariyah.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
80
Aliran asy’ariyah dalam persoalan ini dengan dengan paham jabariyah daripada paham
mu’tzilah. Untuk menggambarkan pahamnnya, mengenai perbuatan manusia asy’ari
menggunakan teori al-kasb. Ada perbedaan antar maturidiyah samarkand dan maturidiyah
bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekan dengan mu’tazilah,
sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan fahan asy’ariyah.
D. Perbandingan Antar Aliran Tentang Sifat-Sifat Tuhan
Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai sifat. Jika tuhan mempunyai
sifat, sifat itu mestilah kekal seperti halnya dzat tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, yang bersifat
kekal bukan hanya satu sifat, tetapi banyak.
1. Asy’ariyah
Kaum asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat. Menurut al-asy’ari tidak
dapat diingkari bahwa tuhan mempunyai sifat karma perbuatan-perbuatannya.
2. Maturidiyah
Maturidiyah bukhara berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat. Sedangkan
golongan samarkand dalam hal ini tidak sepaham dengan mu’tazilah karena al-maturidi
mengatakan bahwa sifat bukanlah tuhan, tetapi tidak lain dari tuhan.
3. Syi’ah Rafidhah
Sebagian besar syi’ah rafidhah menolak bahwa allah senantiasa bersifat tahu. Mereka
menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim. Mereka berpendapat bahwa allah
tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya.
E. Perbandingan Antar Aliran Tentang Kehendak Mutlak Dan Keadilan Tuhan
Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi.
Seperti terkandung dalam uraian nadzir, kekuasaan mutlak tuhan telah dibatasi oleh
kebebasan yang menurut paham mu’tazilah yang telah diberikan kepada manusia dalam
menentukan kemauan dan perbuatan.
Bagi kaum asy’ariyah tuhan berkuasa dan berkehendak mutlak. Tuhan tidak tunduk
kepada siapapun diatas tuhan tidak ada suatu dzat lain yang dapat membuat hokum dan dapat
menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat tuhan.
Maturidiyah golongan bukhara menganut pendapat bahwa tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak. Sedangkan golongan samarkand tidaklah sekeras golongan bukhara dalam
mempertahankan kemutlakan kekuasaan tuhan.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
81
A 1. Aliran Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah karena percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta
kebebasan manusia, mempunyai tendensi untuk meninjau wujud ini dari rasio dan
kepentingan menusia. Memang dalam paham mu’tazilah semua makhluk lainnya diciptakan
tuhan untuk kepentingan manusia.
2. Aliran sy’ariyah
Kaum asy’ariyah menolak paham mu’tazilah bahwa tuhan mempunyai tujuan-tujuan
dalam perbuatannya. Bagi mereka perbuatan tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam
arti sebab yang mendorong tuhan untuk berbuat sesuatu.
3. Aliran Maturidiyan
Dalam hal ini kaum maturidiyah golongan bukhara mempunyai sikap yang sama dengan
kaum asy’ariyah. Menurut al-badzdawi, tidak ada tujuan yang mendorong tuhan untuk
menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak hatinya.
Kaum matuaridiyah golongan samarkand dalam hal ini lebih dekat dengan kaum mu’tazilah
daripada kaum mu’tazilah daripada kaum asy’ariyah.
1. Menurut aliran Khowarij
Semua pelaku dosa besar murtabb al- kabiroh , menurut semua sub sekte dari
golongan khowarij, kecuali subsekte najah, adalah kafir dan akan disiksa didalam neraka
untuk selamanya, bahkan sub sekte yang dikenal ekstrim, yaitu sub sekte azzariqoh’
menggunakan istilah yang lebih mengrikan dari kata kafir, kelompok tersebut menggunakan
istilah musyrik. Tuduhan mengkafirkan saudara muslim itu pun sangat biasa dikalangan
khowarij bahkan Nafii Bin Azraq, yang digelari Amirul Mu’minin oleh kaum Khawarij
menfatwakan bahwa sekalian orang yang membantahnya adalah kafir dan halal darahnya,
hartanya, dan anak isterinya. Dalam hal ini mereka menggunakan dalil dalam Al-Quran surat
Nuh 26-27).
“Nuh berdoa: wahai Tuhanku janganlah engkau biarkan orang-orang kafir itu
bertempat dimuka bumi. Sesungguhnya jika engkau biarkan tinggal, niscaya mereka
akan menyesatkan hamba-hamba Engkau, dan mereka hanya akan melahirkan anak-
anak yang jahat dan tidak tahu berterima kasih.
Meskipun secara umum subsekte Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar
dianggap kafir, namun masing-masing sub sekte tersebut masih berbeda pendapat tentang
pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir. Mereka menggunakan dalil dalam Al-Quran
surat Al-Maidah 44:
” Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Alllah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( Q.S Al-Maidah 44 )
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
82
Disinilah letak penjelasannya sebagaimana mudahnya golongan Khowarij terpecah
belah menjadi subsekte-sub sekte yang banyak, serta dapat pula dimengerti tentang sikap
mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap para penguasa pada zamannya.
a. Al-Muhakkimah
Golongan ini adalah golongan Khowarij dan terdiri dari para pengikut Ali, menurut
golongan ini Ali, Mu’wiyah, dan kedua utusan dari kedua belah pihak yaitu Amr Ibn Al-
Ash, dan Abu Musa Al Asyari, dan semua yang terlibat dalam arbitrase, dianggap
bersalah dan mereka menghukuminya kafir.
Menurut golongan ini, hukum kafir diluaskan artinya sehingga pelaku dosa besar pun,
seperti berbuat zina, membunuh tanpa adanya alasan yang sah termasuk dalam golongan
orang yang berbuat dosa besar dan dihukumi keluar dari islam dan menjadi kafir.
b. Al-Azariqoh
Sub-sekte Az-zariqah ini, bersikap lebih radikal lagi dibanding subskte Al-
Muhakimmah, golongan ini tidak lagi memakai istilah kafir dalm menghukumi pelaku
dosa besar, tapi mereka menggunakan term musyrik polytheist, yang mana musyrik
merupakan dosa yang paling tinggi tingkatanya. Yang mereka anggap musyrik ialah semua
orang isam yang tidak paham dengan mereka, meskipun orang islam yang sepaham dengan
golongan ini, tapi tidak mau berhijrah kedalam barisan mereka juga dianggap musyrik dan
wajib dibunuh. Karena dalam pandangan golongan ini hanya daerah merekalah yang
merupakan negara isam dan yang lain dianggap dar al-kufr. yang mereka anggap harus
diperangi. Dan yang mereka anggap musyrik bukan hanya orang dewasa dan anak anakpun
ikut mereka anggap musyrik (yang bukan dari golongan mereka).
c. Al-Najdad
Najdah Ibn ‘Amr al-Hanafi dari Yamamah adalah pimpinan sub sekte ini. Kelompok
ini berlainan pendapat dengan kedua kelompok diatas dalam mensikapi pelaku dosa besar,
menurut pendapat subsekte ini pelaku dosa besar yang menjadi kafir dan yang kekal
didalam neraka hanyalah orang islam yang tidak sepaham dengan golongan mereka,
adapun jika pengikutnya melakukan dosa besar , tetap dimasukkan kedalam neraka dan
mendapat siksaan tetapi tidaklah kekal didalamnya dan kemudian akan dimasukkan
kedalam surga.Dosa kecil bagi mereka bisa menjadi besar apabila dikerjakan secara
berulang-ulang,dan pelakunya akan menjadi musyrik.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
83
Dalam kalangan golangan Khawarij subsekte An-Najdad inilah yang pertama kali
memperkenalkan faham taqiah yaitu merahasiakan atau tidak menyatakan keyakinan demi
untuk keselamatan seseorang, taqiah menuru mereka bukan hanya dalam bentuk ucapan
saja tetapi juga dalam bentuk perbuatan. Jadi seseorang boleh mengucapkan kata-kata atau
melakukan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan bahwa dirinya bukanlah seorang
meslim tapi hakikatnya dia adalah seorang yang tetap menganut agam Islam. Tapi dalam
hal ini tidak semua dari pengikut An-Najdad yang bisa menyetujui faham tersebut diatas,
terutama pada doktrin yang menyatakan bahwa dosa besar tidak menjadikan pengikutnya
menjadi kafir dan dosa kecil dapat menjadi besar apabila dilakukan secara berulang-ulang.
d. Al-Ajaridah
Subsekte ini adalah pengikut dari Abd Al-Karim Ibn Ajrad, yang menurut al-
Syahrastani dalamal-Milal adalah salah satu teman dari Atiah Al-Hanafi.Menurut faham
golongan Al-jaridah, anak kecil tidak dapat dikatakan berdosa dan musyrik dikarenakan
orang tuanya dianggap berdosa dan musyrik.
e. Al-Sufriyah
Golongan ini mempunyai pemimpin Zaid Ibn Al-Asfar. Dalam faham mereka lebih
cenderung dekat kepada subsekte Al-Azariqah, dan oleh sebab itu mereka dikatakan
termasuk golongan yang extrim, tapi dalam beberapa hal mereka agak lunak dalam
berpendapat. Dalam sub bahasan berikut penulis akan menyebutkan beberapa pendapat
subsekte ini :
1. Orang-orang Sufriyah yang tidak berhijrah tidak dianggap kafir.
2. Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
3. Mengenai orang yang melakukan dosa besar, tidak semua dari mereka berpendapat
bahwa pelaku dosa besar menjadi musyrik dan dimasukkan kedalam neraka, dalam
hal ini ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan, yaitu
dosa yang ad sangsinya didunia ini, seperti melakukan perkosaan, membunuh
tanpa adnya alasan yang dapat mengesahkan. Dan dosa yang tidak mempuanyai
efek sangsi didunia ini, seperti meninggalkan shalat, meninggalkan puasa dan lain-
lain. Menurut pandangan sebagaian golongan ini orang yang melakukan dosa pada
kategori dosa yang pertama tidaklah dapat dipandang kafir, dan hanyalah orang
yang melakukan dosa pada kategori dosa yang kedua itulah yang dapat dikatakan
kafir.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
84
4. Daerah orang islam yang tidak sepaham dengan mereka bukalah dar harb yaitu
daerah yang wajib diperangi tetapi yang wajib diperangi hanyalah camp
pemerintah, dan anak-anak dan perempuan tidak boleh dijadikan tawanan.
5. Kafir bagi mereka ada dua macam, yaitu kufur ni’mat kurf bi inkar al-
nim’ah dan kurf bi inkar al-rububiyah atau menginkari Tuhan, dengan demikian
mereka beranggapan bahwa istilah kafir tidak selamanya harus dikatakan keluar
dari agama Islam.
Disamping pendapat-pendapat yang telah penulis paparkan diatas, ada beberapa pendapat
yang lebih spesifik sifatnya.
1. Ta qiah, atau merahasiakan keyakinan demi keselamatan seseorang, hanya boleh
dilakukan dalam perkataan dan tidak boleh dilakukan dalam bentuk perbuatan.
2. Meskipun demikian, demi keselamatan dirinya seorang muslimah dibolehkan menikah
dengan laki-laki kafir.
Al-Ibadiah
Diantara beberapa subsekte dari golongan Khawarij, subsekte inilah yang dapat
dikatakan yang paling moderat. Paham kemoderatan mereka dapat dilihat dari doktrin
ajaran mereka, dibawah ini penulis akan menyebutkan beberapa ajaran-ajaran mereka :
1. Orang yang tidak sama fahamnya dengan mereka tidaklah dikatakan mu’min dan tidak
pula dikatakanmusyrik tapi dikatakan kafir. Dengan orang islam yang demikian itu
boleh diadakan ikatan perkawinan dan hubungan waris, Syahadad mereka dianggap
masih dapat diterima. Dan orang yang seperti ini haram untuk dibunuh.
2. Daerah orang islam yang tidak sefaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah
adalah dar tawhidatau daerah orang yang meng Esakan Allah, tidak boleh diperangi.
Dan yang harus diperangi hanyalah ma’askar pemerintah atau camp pemerintah.
3. Yang boleh dirampas dalam peperangan hanyalah kuda dan senjata, sedangkan emas
perak dan harta- harta yang lainnya harus dikembalikan kepada yang mempunyai.
4. Sedangkan dalam persoalan dosa besar, subsekte ini menganggap pelaku dosa besar
adalah muwahhid yang meng-Esakan Tuhan, tetapi tidaklah mu’min. Dan juga
bukan kafir millah atau kafir agama, dengan demikian subsekte ini berpendapat bahwa
pelaku dosa besar tidak berarti keluar dari agama Islam.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
85
Menurut ajaran Murji’ah
Persoalan perbedaan faham terhadap pelaku dosa besar yang ditimbulkan oleh golongan
Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan bahan pembahasan bagi para tokoh-
tokoh Murji’ah. Kalau pada umumnya kaum Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar, lain
lagi yang diajarkan golongan Murji’ah, golongan ini menghukumi Tetap Mu,min bagi orang
islam yang melakukan dosa besar, adapun masalah dosa yang mereka perbuat, itu ditunda
penyelasaiannya/pembalasannya pada hari perhitungan kelak.Argumen yang mereka gunakan
dalam mensikapi hal tersebut ialah.
Bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan bahwa nabi Muhammmad adalah utusan Allah, dengan kata lain mereka masih
mengakui bahwa orang muslim yang melakukan dosa besar tetap mu’min karena masih
mengucapkan dua kalimat syahadad yang menjadi dasar utama dari iman, oleh karena itu
pelaku dosa besar tetap mu’min dan bukan kafir.
Oleh karena itu dalam hal tahkim, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa yang
bersalah dan yang benar, mereka menunda bagaimana hukum persoalan tersebut arja’a atau
diserahkan kepada Allah. Dengan demikian kelompok Murji’ah pada mulanya merupakan
golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika
itu, dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirkah orang-
orang yang bertentangan tersebut kepada Allah.
Arja’a selanjutnya mempunyai arti memberi pengharapan bagi yang telah melakukan
perbuatan dosa besar untuk mendapatkan rahmad Allah, dihari perhitungan kelak. Ada juga
pendapat yang mengatakan bahwa nama murji’ah diberikan kepada golongan ini bukan
karena mereka menunda penentuan hukum terhadap orang islam yang berdosa besar kepada
Allah dihari perhitungan kelak dan bukan karena memandang perbuatan mengambil tempat
kemudian dari pada iman, tetapi karena mereka memberi pengharapan kepada para pelaku
dosa besar untuk dapa masuk kesurga.
Secara umum pandangan kaum Murji’ah dalam mensikapi pelaku dosa besar adalah
menunda atau menanguhkan persoalan dihadapan Allah nanti dihari pembalasan, namun
untuk lebih jelasnya golongan ini memberi hukum pada status pelaku dosa besar penulis akan
menyebutkan rincian bagaimana golongan ekstrim dan golongan moderat memberi satatus
pada pelaku dosa besar.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
86
a. Golongan Murji’ah ekstrim
Golongan murji’ah ekstrim berpandangan bahwa iman adalah didalam kalbu, bukan
secara demonstartif, baik dalam ucapan ataupun dalam tindakan perbuatan, oleh karena itu
menurut golongan ini kalau seseorang telah beriman dalam hatinya, ia dipandang tetap
sebagai seorang mu’min sekalipun menampakkan sikap seperti seorang nasrani atau yahudi.
jadi menurut golongan ekstrim, kalau melihat dari konsep iman mereka , perbuatan dosa
sekalipun dosa itu adalah dosa besar tidak mempunyai pengaruh hukum pada status pelaku
dosa besar.
b. Aliran Murji’ah Moderat
Golongan Murji’ah moderat berpandangan bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir,
dan tidaklah kekal didalam neraka, tetapi akan dihukum didalam neraka hanya sesuai dengan
besarnya dosa yang mereka perbuat dan ada kemungkinan Tuhan akan memberi ampunan atas
dosa yang mereka perbuat, sehingga mereka bisa tidak dimasukkan kedalam neraka sama
sekali dikarenakan kehendak / ampunan Tuhan.
c. Aliran Mu’tazilah
Perbedaan golongan Mu’tazilah dengan golongan lain yaitu bila golongan Khawarij
memberi status kafir kepada pelaku dosa besar, dan jika murji’ah menanguhkan setatus orang
yang melakukan dosa besar dihadapan Allah kelak dihari pembalasan. Sedang aliran
Mu’tazilah tidak menentukan status atau predikat yang pasti bagi para pelaku dosa besar.
Jika kita melihat sedikit sejarah tentang masalah berpisahnya seorang tokoh sentral
Mu’tazilah yaitu Washil Bin Atha’ dengan sang guru yaitu Hasan Basri seorang Tabiin dari
Basrah yang wafat pada tahun 110 H. Pangkal persoalannya yaitu masalah seorang mu’min
yang melakukan dosa besar tapi tidak bertaubat sebelum meninggal.
Dalam pendapat Imam Hasan Basri, apabila seorang muslim telah melakukan dosa
besar seperti melakukan pembunuhan tanpa adanya alasan yang dibenarkan, atau melakukan
perbuatan zina, atau mendurhakai orang tuanya, Dan lain lain, menurutnya seorang itu
tidaklah dikatakan kafir tetapi dikatakan sebagai mu’min yang durhaka. Jika dia meninggal
dalam keadaan belum bertaubat, ia akan dihukum didalam neraka beberapa waktu, dan
kemudian dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan surga setelah selesai menjalani hukuman
atas dosanya.
Sedangkan Washil Bin Atha’ berpendapat lain tentang hal tersebut, menurut tokoh
aliran Mutazilah ini bahwa seorang yang telah melakukan dosa besar dan mati atas dosanya
tidaklah mu’min dan tidak pula dikatakan kafir, tapi diantara mu’min dan kafir. Pelaku dosa
besar tersebut akan dimasukkan kedalam neraka untuk selama-lamanya, seperti hukuman
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
87
untuk orang kafir, tetapi hukumannya diringankan ” nerakannya tidak sepanas untuk orang
kafir ”
Jadi aliran Mu’tazilah menetapkan status bagi pelaku dosa besar ialah diantara kafir
dan mu’min atau dalam istilah merka yang terkenal yaitu manzilah bain al
manzilatain, dikarenakan istilah itulah mereka dikatakan aliran Mu’tazilah (menurut salah
satu versi), dikarenakan mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari ( tidak masuk )
dalam golongan mu’min ataupun kafir.
Mengenai perbuatan apa saja yng di katagorikan sebagai dosa besar, aliran mu’tazilah
memaparkan lebih dan merumuskannya dengan lebih konseptual dari pada aliran Khawarij,
yang dimaksud dosa besar menurut pandangan aliran ini adalah segala perbuatan yang
ancamannya telah ditegaskan dalam nash, sedangkan menurut aliran Mu’tazilah yang di
kategorikan dosa kecil adalah dosa atau ketidak patuhan yang ancamannya tidak ditetapkan
dalam nash.Tampaknya kaum Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kreteria dasar untuk
menentukan dosa besar atau dosa kecil.
Masih menurut aliran Mu’tazilah pelaku dosa besar bukanlah kafir seperti yang
dihukumkan oleh kelompok Khawarij, dan bukanlah dapat dikatakan tetap mu’min seperti
kaum Murji’ah memberikan status untuk pelaku dosa besar. Menurut Mu’tazilah pelaku dosa
besar dikategorikan fasik, yaitu posisi yang menduduki antara mu’min dan kafir, kata mu’min
menurut Washil Ibn Atha’ merupakan sifat baik dan nama pujian yang tidak dapat diberikan
fasik dengan dosa besarnya, tapi predikat kafir tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena
dibalik dosa besar yang dilakukannya ia masih mengucapkan dua kalimat syahadad dan masih
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.
d. Aliran Asy’ariyah
Dalam menghukumi pelaku dosa besar, aliran Asy’ariyah tidak mengkafirkan orang-
orang yang sujud kebaitulloh walupun dia melakukan dosa seperti, membunuh tanpa adanya
alasan yang mengesahkan. Menurut aliran ini pelaku dosa besar itu masih tetap sebagai orang
yang mu’min dengan keimanan yang mereka miliki, sakalipun dia berbuat dosa besar. Tetapi
jika perbuatan dosa itu dilakukan dengan anggapan bahwa perbuatan dosa itu dibolehkan atau
dihalalkan maka dan tidak meyakini keharaman perbuatan tersebut maka yang demikian itu
dihukumi kafir,Adapun balasan bagi pelaku dosa besar nanti diakherat, apabila dia meninggal
dalam keadaan tidak sempat bertaubat, menurut aliran ini tergantung akan kebijakan Tuhan
Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat mengampuni dosa pelaku dosa besar, dan atau
pelaku dosa besar bisa mendapatkan Syafaat Nya Nabi Muhammad, sehingga ia dapat bebas
dari siksaan atau sebaliknya Tuhan Menghukumnya dengan memberi siksaan neraka sesuai
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
88
dengan dosa yang telah dilakukannya. Meskipun demikian ia tidak akan kekal didalam neraka
seperti orang kafir lainnya, dan setelah selesai disiksa ia akan dimasukkan kedalam syurga.
Akan lebih jelasnya penulis akan menyapaikan doktrin-doktrin aliran Asy’ariyah
mengenai pelaku dosa besar. Orang mu’min yang mengerjakan dosa besar dan meninggal
sebelum taubat, maka orang tersebut masih dianggap mu’min, dalam urusan hak saudara
muslim, seperti memandikan, mengkafani, dan mensholatkan jenazah orang mu’min yang
melakukan dosa besar tersebut, dan mengkuburkan secara mu’min adalah kewajiban kita.
Tapi secara hakikat dia adalah orang mu’min yang durhaka.i
Mu’min pelaku dosa besar, diakherat nanti akan mendapat beberapa kemungkinan :
1. Boleh jadi Tuhan mengampuni dosanya dengan sifat pemurahNya Tuhan, karena
Tuhan Maha Pemurah, dan ia lansung dimasukkan kedalam surga tanpa hisab.
2. Boleh jadi dia mendapatkan syafaat dari nabi Muhammad. yakni dibantu oleh nabi
Muhammad, sehingga dia dibebaskan Tuhan dari segala siksaan,dan lansung
dimasukkan kedalam surga.
3. Kalau kemungkinan dua diatas tidak terjadi pada pelaku dosa besar maka dia akan
disiksa didalam neraka sesua kadar dosanya, dan kemudian dia akan dibebaskan dari
siksaan dan dimasukkan surga dan kekal didalamnya karena saat didalam dunia dia
adalah seorang yang beriman.
Itulah tiga kemungkinan yang diyakini oleh aliran ini untuk orang mu’min yang
berdosa besar dan tidak sempat bertaubat.
Adapun dasar dalil yang digunakan aliran ini adalah dalam Al-Quran surat An-Nisa’
ayat: 48.
“Bahwasannya Tuhan tidak mengampuni dosa seseorang kalau Ia dipersekutukan, tapi
diampuninya selain dari pada itubagi siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa yang
mempersekutukan Tuhan sesungguhnya dai memperbuat dosa yang sangat besar (An-
Nisa’ 48)
Menurut ayat diatas barang siapa yang melakukan perbuatan dosa besar ataupun kecil,
kalau dosa itu tidak mempersekutukan Tuhan, maka dia bisa diampuni dan mereka
menggunakan hadist dibawah ini sebagai sandaran dalil atas i’itiqad aliran ini mengenai
mu’min yang berdosa besar.
“Maka Tuhan berfirman: maka demi kegagahan-Ku, demi kebesaran-Ku, demi
Ketinggian-Ku, dan demi keagungan-Ku, aku keluarkan dari neraka sekalian
orang yang mengucapkan “Tiada Tuhan Melainkan Allah ” (H.R. Bukhori)
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
89
Menurut hadits ini, ada sekumpulan orang yang sudah kena hukuman didalam neraka
lantas dikeluarkan lagi dan dimasukkan kedalam surga. Menurut aliran ini, itu adalah mereka
orang-orang mu’min yang durhaka, dengan melakukan perbuatan dosa semasa hidupnya.
Selain dalil diatas, Nabi Muhammad menerangkan pada suatu hari :
“Dari Abu Dzar RA, ia berkata: Berkata Rosullulah SAW: Datang pesuruh Tuhan
mengabarkan kepada say, bahwa barang siapa meninggal, sedang ia tidak
mensekutukan Tuhan sedikitpun, lalu Abu Dzar berkata: walau dai pernah dan
mencuri ? jawab Rosulullah: Ya, wlaupun ia pernah melakukan zina dan
mencuri” (HR Bukhori Muslim)
Aliran ini mengunakan dalil-dalil diatas untuk menguatkan I’itiqad mereka bahwa
mu’min pelaku dosa besar tidaklah berada didalam neraka selamanya. Dan penulis menambah
cuplikan dari kitab kifayatul Awam, bahwa penganut aliran ini berkewajiban i’itikad bahwa
dosa besar tidak menyebabkan kekafiran.
“Dan diantara perkara yang wajib mengi’tiqadkannya adalah bahwa jatuh dalam dosa-
dosa besar tidak mengkafirkan (dalam arti) tidak mewajibkan kekafiran. Dan wajib
taubat seketika itu walaupun itu dosa kecil berdasarkan qaul yang mu’tamad padanya (
dosa yang kecil) Dan tidak menjadi batal taubat itu dengan sebab kembalinya kepada
dosa melainkan wajib bagi dosa itu melainkan dosa yang baru”
Pada intinya terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil ahl-as-
Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun
melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai
orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar.
Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan
(halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun balasan di akhirat
kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut
al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa yang berkehendak
mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi
yang sama dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para
pelaku dosa besar.
3. Menurut Aliran Maturidiyah
Menurut aliran maturidiyah baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan
bahwa pelaku dosa masih tetap mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya, Adapun
balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukan nya di
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
90
dunia.Al-maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak dapat
dikatakan kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat . hal itu
di karenakan Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai
dengan perbuatanya. kekal dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik.
4. Menurut Aliran Syi’ah Zaidiyah
Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal
di dalam neraka, jika ia belum bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya. Dalam hal ini,
Syi’ah zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat
washil bin Atha’, mempunyai hubungan dengan zaid bahkan ada pendapat yang mengatakan
bahwa zaid pernah belajar kepada washil bin Atha’.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
92
Agenda persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi Islamadalah masalah Iman
dan Kufur.Persoalan itu dimunculkan pertama kali oleh kaum khawarij ketika mencap kafir
sejumlah tokoh sahabat NabiMuhammad SAW yang dipandang telah berbuat dosa besar,
antara lain ‘Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, ‘Amr bin
‘Ash, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwam,Dan ‘Aisyah, istri Rasulullah
SAW.Masalah ini lalu dikembangkan oleh khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap
pelaku dosa besar adalah kafir.
Pernyataan teologis Khawarij seperti itu selanjutnya bergulir menjadi bahan
perbincangan dalam setiap diskursus aliran-aliran teologi Islam yang tumbuh, termasuk aliran
Murji’ah, Mu’tazillah, Assa’riyah, dan Mturidiah mengambilbagian dalam polemik tersebut.
Bahkan, di dalam setiapaliran tersebut terdapat nuansa perbedaan pandangan di antara sesama
pengikutnya.
Perbincangan konsep Iman dan kufur menurut tiap-tiap aliran teologi Islam, seperti
yang terlihat dari berbagai literatur ilmu kalam, sering nampak menitik beratkan hanya pada
satu aspek dari dua tema, yaitu iman dan kufur. Ini dapat dipahami sebab kesimpulan
tentangkonsep kufur. MenurutHasan (I. 1935 M)setidaknya ada empat istilah kunci yang
biasanya dipergunakan oleh para teologi muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu :
(1) marifah bi al-aql, mengetahui dengan akal; (2) amal, perbuatan baik atau patuh; (3) iqrar,
pengakuan secara lisan ;dan (4) tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk di dalamnya
marifah bii al-qalb (mengetahui dengan hati.
Keempat istilah kunci di atas, misalnya terdapat dalam hadis Nabi Muhammad SAW.
Yang di riwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri
Artinya :
“Barang siapa di antara kalian yang melihat (marifah) kemungkaran, maka hendaklah kamu
mengambiltindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, maka lakukanlah dengan
ucapanmu.Jika itu pun engkau tidak mampu melakukannya, maka lakukanlah dengan
kalbumu (akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
93
A. Aliran Khawarij
Sebagai kelompok yang terlahir dari peristiwa politik, pendirian teologis khawarij
terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur sebenarnya lebih bertendensi politis
daripada ilmiah teoritis. Kebenaranpernyataan ini tidak bisa di sangkal karena seperti yang
telah di ungkapkan sejarah bahwa khawarij mula-mula memunculkan persoalan teologis
seputar masalah, “apakah ‘Ali dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin? “Apakah
muawiyah dan pendukungnya telah kafir atau tetap mukmin?” jawaban atas pertanyaan ini
kemudian menjadi pijakan dasar dari teologi mereka. Mereka berpendapat bahwa ‘Alidan
Muawiyah telah melakukan tahkim kepada manusia, mereka telah berbuat dosa besar.i
Iman dalampandangan khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Akan tetapi,
melakukan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Oleh
karena itu, segala perbuatan yang religius, termasuk didalamnya masalah kekuasaan adalah
bagian darikeimanan (al-‘amal juz al-iman). Siapa pun yang menyatakan dirinya beriman
kepada Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban
agama, bahkan melakukan perbuatan dosa, oleh khawarij di pandang kafir.
Lain halnya dengan subsekta khawarij yang sangat moderet, yaituIbadiyah.Subsekte ini
memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar tetapsebagai muwahhid (pandangan
mengesan tuhan), tetapi bukan mukmin. Pendeknya, ia tetap disebutkafir, tetapi hanya
merupakan kafir nikmat dan bukan kafir billah (agama).Siksaan yang akan mereka terima di
akhirat nanti adalah kekal di dalam nerakabersama orang-orang kafir lainnya.
B. Aliran Murji’ah
Abu Hasan Al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi murji’ah berdasarkan
pandangannya tentang iman sebanyak 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiah, Ash- Shalihah, Al-
Yunusiah, Asy Syimriah, As- Saubaniyah, An-Najariah, Al-Kailaniahbin Syabibdan
pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniah, Al-Marisiah, dan Al-Karamiah.
Sementara itu, Harun Nasution dan Abu Zahrahmembedakan Murji’ah menjadi dua kelompok
utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah sunnah) dan Murji’ah ekstrem (Murji’ah Bid’ah).
Iman menurut Abu Hanifah adalah iqrar dan tashdiq.
Ditambahkannya pula bahwa iman bertambah dan tidak berkurang.7Hal ini merupakan
sikap umum yang di tunjukkan oleh murji’ah, baik ekstrem maupun moderat, seperti Al-
Jahmiah, Asy Syimriah, dan Al-Ghailaniah.Selanjutnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
94
seluruh umat Islam sama dalam tauhid dan keimanan. Meskipun demikian, mereka berbeda
dari segi intensitas amal perbuatannya.Satu hal yang patut di catat adalah seluruh subsekte
Murji’ah yang di sebut oleh Asy’ari, kecuali As-Saubaniah, At-Tuminiah, dan Al-Karramiah,
memasukkan unsur ma’rifah (pengetahuan) dalam konsep iman mereka.Pertanyaannya, apa
yang mereka maksudkan dengan ma’rifah? Mereka beranggapan bahwa yang di maksud
dengan ma’rifah adalah cinta kepada Tuhan dan tunduk kepada-Nya (al- mahabbah wa al-
khudhu’)
C. Aliran Mu’tazilah
Seluruh pemikir mu’tazilah tampaknya sepakat menyatakan bahwa amal perbuatan
merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep iman, bahkan hampir mengidentikannya.
Ini mudah dimengerti karena konsep mereka tentang amal sebagai bagian penting keimanan
memilikiketerkaitan langsung dengan masalah al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman) yang
merupakan satu dari “pancasila” mu’tazilah.Aspek penting lain dalam mu’tazilah tentang
iman adalah yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dengan
akal).Ma’rifah menjadi unsur penting dari iman karena pandanganmu’tazilah yang bercorak
rasional.
Ma’rifah sebagai unsur pokok yang rasional dari iman dalam pandangan mu’tazilah
berimplikasi pada sikap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain. (al-iman bi at-
taqlid).13Disini mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaan
akalbagi keimanan. Apalagibagi mu’tazilah, seperti dijelaskan Harun Nasution, segala
pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat
diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, bagi mu’tazilah,iman seorang
dikatakan benar apabila berdasarkan akal, bukan taqliq kepada orang lain.i
Pandangan mu’tazilah seperti di atas,menurut Thoshihiko Isuzu, pakar teologi Islam
asal Jepang, sangat sarat dengan konsekuensi dan implikasi yang cukup fatal.Sebab,hanya
para mutakkallim (teologi) yang benar-benar menjadi orang yang beriman. Sama halnya
masyarakat awam yang mayoritas umat biasa dengan pemikiran teologis, menurut konsepsi
mu’tazilah tersebut tidak dipandang memenuhi sebagai orang yang benar-benar beriman.
Masalah fluktuasi iman yang merupakan persoalan teologi yang diwariskan aliran
Murji’ahdisinggung pula oleh Mu’tazillah. Mu’tazilah berpendapat bahwa seorang manusia
meningkatkan dan melaksanakan amal kebaikannya, imannya semakin bertambah.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
95
Sebaliknya, apabila setiap kali berbuat maksiat, imannya semakin berkurang.15 Kenyataan ini
dapat dipahami seperti halnya Khawarij, memasukkan unsur amal sebagai unsur penting
dalam iman (al-‘amal juz’min al-iman).
D. Aliran Asy’ariah
Agak pelik sebenarnya memahamimakna iman yangdi berikan oleh Abu Hasan Al-
Asy’ari. Sebab, di dalam karya-karyanya, seperti maqalat Al-Ibanah dan Al-Luma’,iman di
definisikannya secara berbeda satu sama lain. Dalam maqalat dan Al-Ibanah disebutkan
bahwa iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah serta berkurang. Dalam Al-Luma’
iman di artikan sebagai tasdhiq bi Allah. Argumentasinya bahwa kata”mukmin” seperti di
jumpai dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 17 memiliki hubungan makna dengan kata
shadiqin dalam ayat itu. Dengan demikian, menurut Al-Asy’ari, iman adalah tashdiq bi al-
qalb (membenarkan dengan hati)Diantara definisi definisi Iman yang sesungguhnya di
inginkan Al-Asy’ari dapat diperoleh dari penjelasan yang di kemukakan oleh Asy-
Syahrastani, salah seorang teologi Asy’riah. Asy-Syahrastani menulis :
Al-Asy’ari berkata,”...Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-qalb bi a-janan
(membenarkan dengn qalbu) sedangkan mengatakan (qawl) dengan lisan dan melakukan
berbagai kewajiban utama (amalbi al-arqan) sekedar dengan melakukan furu’(cabang-
cabang) iman.Oleh sebab itu,siapapun yang membenarkan keesaanTuhandengan kalbu nya
dan membenarkan utusan-utusan-Nya beserta yang mereka bawa darinya, imanorang
semacam itu merupakan iman yang shahih...dan seseorang tinggal keimananya, kecuali jika
mengingkari salah satu dari hal tersebut,”
Keterangan Ast-Syahrastani di atas, di samping mengonvergensikan kedua definisi yang
diberikan Al-Asy’ari dalam maqalat, Al-Ibanah dan Al-Luma’ pada satu titik pertemuan, yang
menempatkan ketiga unsur iman itu (tashdiq, qawl, dan amal) pada posisinya masing-masing.
Jadi, bagi Asy’ari dan Asy’ariah, persyaratan minimal untuk adanya iman hanyalah tashdiq,
yang diekspresikan secara verbal akan berbentuk syahadatain.
E. Aliran Maturidiah
Dalam masalah iman, aliran maturidiah samarkand berpendapat bahwa iman adalah
tashdiq bukan semata-mata ikqrar bi al-lisan. Pengertian semacam ini dikemukakan oleh Al-
maturidi sebagai bantahan terhadap Al- Karamiah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
96
berargumentasi dengan Al-Qur’an surah Al-Hujurat. Menurut Al-Maturidi sebagai suatu
penegasan bahwa iman tidak hanya cukup dengan perkataan, semantara kalbu tidakberiman.
Apa yang diucapkan dengan lidah dalambentuk pernyataan iman menjadi bantal apabila hati
tidak mengakuiucapan lidah. Meskipun demikian, Al-Maturidi tidak berhenti sampai di sana.
Tashdiq seperti yang di pahami di atas adalah yang harus di peroleh dari ma’rifah. Tasdhiq
hasil ma’rifah menurut Al-Maturidi adalah yang didapatkan melalui penalaran akal. Bukan
sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasaripandangannya dengan dalil
naqli surah Al-Baqarah ayat 260.
Al-Maturidi menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada tuhan untuk
memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim
tersebut, tidak berarti Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, yang dimaksud dengan Ibrahim
adalah agar iman yang dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, bagi
Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah
bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab hadirnya iman.
Adapun pengertian iman menurut Maturidiah Bukhara, seperti yang di jelaskan oleh Al-
Bazdawi adalah tashdiq bi al-qalb dan tashdiq bi lisan. Lebih lanjut di jelaskannya bahwa
yang di maksud demgan tasdhiq bial-qalbadalah meyakini dan membenarkan dalamhati akan
keesaan Allah dan Rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang di bawa dari-Nya.
Adapun tashdiq bi lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok-pokok ajaran Islam secara
verbal. Jadi, iman adalah tashdiq yang berisikan pembenaran denagan kalbu dan pengakuan
secara verbal.
Pendapat Maturidiah Bukhara tampak nya tidak banyak berbeda dengan Asy’riah yang
sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan, meskipun dengan
pengungkapan yang berbeda pula.
Dari penelaahankarya Al-Maturidi, penulis tidak menemukan pendapatnya berkenaan
dengan masalah fluktuasi iman. Meskipun demikian, komentarnya terhadap Al-fiqh Al-Akbar
karya Abu Hanifah tentang fluktuasi iman bisa di jadikan referensi sebagai pendapatnya. Al-
Maturidi tidak mengakui adanya fluktuasi iman. Al-Maturidi berbeda dengan Abu Hanifah
dalam hal menerima adanya perbedaan individual dalam iman. Halitu dilakukukan dengan
sikap penerimaannya terhadap hadist Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan bahwa skala
iman Abu Bakar lebih berat dan lebih besar daripada skalaiman seluruh manusia.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
97
Maturidiah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda dengan di atas. Al-
Badzawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan
ibadah-ibadah yang di lakukan. Al-Badzawi menegaskan hal tersebut dengan membuat
analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan tidak lebih sebagai bayangan dari iman. Jika
bayangan itu hilang, yang di gambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang esensinya.
Sebaliknya, dengan kehadiran bayang-bayang(ibadah), iman menjadi bertambah.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
98
BAB XI
ANTARA PERBUATAN TUHAN DAN
PERBUATAN PERBANDINGAN MANUSIA
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
99
A. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa tuhan melakukan perbuatan-
perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari Dzat yang memiliki kemampuan
untuk melakukannya.
1. Aliran mu’tazilah
Aliran mu’tazilah sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa
perbuatan tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Ini bukan berarti bahwa
tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Perbuatan buruk tidak dilakukan-Nya karena
ia mengetahui keburukan perbuatan buruk itu. Bahkan, didalam al quran dikatakan bahwa
tuhan tidak berbuat zalim.i Ayat-ayat al quran yang dijadikan dalil oleh mu’tazilah untuk
mendukung pendapat diatas adalah surat al anbiya ayat 23 dan ar-rum ayat 8.
Qadi abd al-jabbar, seorang tokoh mu’tazilah, mengatakan bahwa ayat tersebut memberi
petunjuk bahwa tuhan tidak akan ditanya mengenai perbuatan-Nya, tetapi manusia yang
ditanya tentang yang mereka perbuat. Al jabbai menjelaskan bahwa tuhan hanya berbuat baik
dan maha suci dari perbuatan buruk dengan demikian, tuhan tidak perlu ditanya. Al jabbai
menjelaskan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik,
sebenarnya tidak perlu ditanya kenapa perbuatan itu dilakukan.iAyat terakhir dikatakan al
jabbai mengandung petunjuk bahwa tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-
perbuatn buruk. Apabila tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan
langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentu tidak benar atau merupakan berita
bohong.
Dasar pemikiran di atas serta konsep tentang keadilan tuhan yang berjalan sejajar
dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak tuhan, mendorong
kelompok mu’tazilah untuk berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban
terhadap manusia kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban, yaitu
kewajiban berbuat baik bagi manusia. Paham kewajiban tuhan berbuat baik bahkan yang
terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran mu’tazilah memunculkan paham
kewajiban-kewajiban allah.
a). Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia
Memberi beban Di luar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan
dengan paham berbuat baik dan terbaik. Oleh karena itu, aliran mu’tazilah tidak dapat
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
100
memberikan kepada manusia beban yang tidak dapat dipikul. Hal ini juga bertentangan
dengan paham mereka tentang keadilan tuhan. Tuhan akan bersifat adil jika ia memberi beban
yang terlalu berat kepada manusia.
b). Kewajiban mengirimkan rasul
Bagi aliran mu’tazilah dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib,
pengiriman rasul seharusnya tidak begitu penting. Akan tetapi mereka memasukkan
pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban tuhan. Argument yang
dimajukan mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui yang harus diketahui
manusia tentang tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, tuhan berkewajiban berbuat yang baik
dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, tidak dapat memperoleh
hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c). Kewajiban menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id)
Sebagaimana diketahui bahwa janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar
kepercayaan aliran mu’tazilah. Hal ini erat hubungan nya dengan dasar keduanya, yaitu
keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala
kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat.
Selanjutnya, keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan
dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan
ancaman adalah wajib bagi tuhan.
2 Aliran asy’ariah
Bagi aliran asyariah paham kewajiban tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia
(ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran mu’tazilah tidak dapat diterimanya
karena bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Hal ini ditegaskan
al ghazali (1055-1111) ketika mengatakan bahwa tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan
terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran asy’ariah tidak menerima paham tuhan
mempunyai kewajiban. Paham mereka bahwa tuhan dapat berbuat sekendak hati-Nya
terhadap makhluk, mengandung arti bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa.
Sebagaimana dikatakan al ghazali, perbuatan-perbuatan tuhan bersifat tidak wajib (jaiz) dan
tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
101
Karena percaya pada kekuasaan mutlak tuhan dan berpendapat bahwa tuhan tidak
mempunyai kewajiban, aliran asy’ariah dapat menerima paham pemberian beban yang diluar
kemampuan manusia. Al asy’ari dengan tegas mengatakan dalam al-luma’ bahwa tuhan dapat
meletakkan beban yang tidak dapat dipikul manusia. Al ghazali mengatakan demikian juga
dalam al iqtishad.
Meskipun pengiriman rasul mempunyai arti penting dalam teologi, aliran asy’ariah
menolaknya sebagai kewajiban tuhan. Hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa
tuhan tidak mempunyai kewajiban terhadap manusia. Paham serupa ini dapat membawa
akibat yang tidak baik.
Sekiranya tuhan tidak mengutus rasul kepada umat manusia, hidup mereka akan
mengalami kekacauan karena tanpa wahyu manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik
dan buruk. Manusia berbuat yang dikehendakinya. Sesuai dengan paham asy’ariah tentang
kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, hal ini tidak menjadi permasalahan bagi teologi
mereka. Tuhan berbuat yang dikehendaki-Nya. Apabila ia menghendaki manusia hidup dalam
masyarakat kacau, itu tidak menjadikan apa-apa. Tuhan dalam paham aliran asy’ariah tidak
berbuat untuk kepentingan manusia.i
Karena tidak mengakui kewajiban-kewaiban tuhan, aliran asy’ariah berpendapat bahwa
tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut
dalam al-quran dan hadist. Akan tetapi, disini timbul persoalan bagi aliran asy’ariah karena
dalam al quran dengan tegas dikatakan bahwa siapa yang berbuat baik akan masuk surga dan
siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-kata arab man,
alladzina dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, oleh asy’ari diberi interpretasi
“siapa” dalam ayat “barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, ia
sebenarnya menelan api masuk ke dalam perutnya” mengandung arti bukan seluruh,
malainkan sebagian orang yang berbuat demikian. Dengan kata lain, yang diancam akan
mendapat hukuman bukan semua orang, melainkan sebagian orang yang menelan harta anak
yatim piatu. Adapun yang sebagian interpretasi demikian, al- asy’ari mengatasi persoalan
wajib nya tuhan menepati janji dan menjalankan ancaman.i
3. Aliran maturidiah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara maturidiah
Samarkand dan maturidia Bukhara. Aliran maturidiah Samarkand, yang juga memberikan
batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanya
menyangkut hal-hal yang baik. Dengan demikian, tuhan mempunyai kewajiban melakukan
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
102
yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman rasul dipandang maturidiah Samarkand
sebagai kewajiban tuhan.i
Maturidiah Bukhara sejalan dengan pandangan asy’ariah mengenai paham bahwa tuhan
tidak mempunyai kewajiban. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan oleh badzawi, tuhan harus
menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, meskipun tuhan
membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan maturidiah
Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan paham mereka tentang kekuasaan dan
kehendak mutlak tuhan, tidak bersifat wajib, tetapi bersifat mungkin. Aliran samarkhand
memberi batasan-batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Dengan demikian
dapat menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi tuhan, sekurang-kurangnya
kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan hukuman.
Mengenai memberikan beban kepada manusia di luar batas kemapuannya (taklif ma la
yutaq) aliran maturidiah Bukhara dapat menerimanya. Al-bazdawi berkata tuhan tidak
mustahil meletakkan atas diri manusia kewajiban-kewajiban yang tidak dapat dipikulnya.
Aliran maturidiah Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan mu’tazilah. Menurut
syarh al-fiqh al-akbar al maturidi tidak setuju dengan pendapat aliran asy’ariah karena al
quran mengatakan bahwa tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang
tidak terpikul. Pemberian beban yang tidak terpikul sejalan dengan paham golongan
Samarkand bahwa manusia sebenarnya yang mewujudkan perbuatannya, bukan tuhan.
Tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan dalam aliran maturidiah golongan
Bukhara mempunyai paham yang sama dengan aliran asy’ariah. Pengiriman rasul menurut
mereka tidak bersifat wajib, dan hanya bersifat mungkin. Adapaun pendapat aliran maturidiah
Samarkand tentang persoalan ini dapat diketahui dari keterangan al-bayadi. dalam isyarat al-
maram, al-bayadi menjelaskan bahwa keumuman maturidiah sepaham dengan mu’tazilah
mengenai wajibnya mengirim rasul.
Mengenai kewajiban tuhan memenuhi janji dan ancaman-Nya, aliran maturidiah
Bukhara tidak sepaham dengan aliran asy’ariah. Dalam pendapat mereka sebagaimana
dijelaskan oleh badzawi, tuhan tidak mungkin melanggar janji-Nya untuk memberi upah
kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya tuhan tidak mungkin membatalkan
ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu, nasib
orang yang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak tuhan. Jika tuhan
berkehendak untuk memberi ampunan kepada orang yang berdosa, tuhan tidak
memasukkannya ke dalam neraka untuk sementara atau untuk selama-lamanya. Bukan tidak
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
103
mungkin bahwa tuhan memberi ampunan kepada seseorang, tetapi tidak memberi ampunan
kepada orang lain meskipun dosanya sama.
Uraian bazdawi di atas mngandung arti bahwa tuhan wajib menepati janji untuk
memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian tuhan dalam paham al bazdawi
mempunyai kewajiban terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan dengan pendapatnya yang
dijelaskan sebelumnya bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban terhadap manusia. Menurut
paham al-bazdawi, kekuasaan dan kehendak tuhan mutlak, seperti yang dianut oleh aliran
asy’ariah. Bagi aliran asy’ariah, tuhan boleh melanggar jani-janji Nya. Bagi maturidiah
golongan Bukhara, tuhan tidak mungkin melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada
orang orang yang berbuat baik golongan samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang
sama dengan aliran mu’tazilah. sebagaimana dilihat bahwa upah dan hukuman tuhan tidak
boleh terjadi kelak.
B. Perbuatan manusia
Masalah perbuatan manusia berawal dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh
kelompok jabariah (pengikut ja’d bin dirham dan jahmbin safwan) dan kelompok qadariah
(pengikut ma’bad al-juhani dan ghailan ad-dimasyqi), yang kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan yang lebih mendalam oleh filosofis aliran mu’tazilah, asy’ariah, dan maturidiah.
Akar masalah dari perbuatan manusia. Selanjutnya, tuhan bersifat mahakuasa dan
mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini, timbul pertanyaan, sampai dimanakah
manusia sebagai ciptaan tuhan bergantung pada kehenak dan kekuasaan tuhan dalam
menentukan perjalanan hidupnya oleh tuhan? Apakah manusia terikat seluruhnya pada
kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan?
1. Aliran jabariah
Tampaknya ada perbedaan pandangan antara jabariah ekstrem dan jabariah moderat
dalam masalah perbuatan manusia. Jabariah ekstrem berpendapat bahwa segala perbuatan
manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan
yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, apabila seseorang mencuri, perbuatan itu bukan
terjadi atas kehendak sendiri, melainkan timbul karena qadha dan qadar tuhan yang
menghendaki. demikian.Bahkan, jahm bin shafwan, salah satu tokoh jabariah ekstrem
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
104
mengatakan bahwa manusia tidak mampu untuk bebuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya,
tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Berbeda dengan jabariah ekstrem, jabariah moderat mengatakan bahwa tuhan
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia
mempunyai bagian didalam nya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquition).i Menurut
paham kasab, manusia tidak majbur (dipaksa oleh tuhan), tidak seperti wayang yang
dikendalikan tangan dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia
memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan.i
2. Aliran qadariah
Aliran qadariah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan
atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu ia berhak
mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan berhak mendapatkan
hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Berkaitan dengan ini, apabila seseoang
diberi ganjaran, baik dengan balasan surga di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan
neraka di akhirat. Itu berdasarkan pilihan pribadinya, bukan oleh takdir tuhan. Sungguh tidak
pantas manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan
dan kemampuannya.
Paham takdir dalam pandangan qadariah bukan dalam pengertian takdir yang umum
dipakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah
ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut
nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Dalam paham qadariah, takdir
adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya berlaku untuk alam semesta beserta seluruh
isinya, semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam istilah al quran adalah sunatullah.
Aliran qadariah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala
perbuatan manusia pada perbuatan tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan
dalam doktrin islam. Banyak ayat-ayat al quran yang dapat mendukung pendapat ini,
misalnya dalam surat al-kahf ayat 29.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
105
Artinya :
“Dan katakanlah (Muhammad), kebenaran itu datangnya dari tuhanmu, barangsiapa
menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah
dia kafir.”
Dalam surat al imran ayat 165
Artinya :
“dan wahyu kamu (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada perang uhud),
padahal kamu telah menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmupada perang
badar) kamu berkata dari mana datangnya (kekalahan) ini? Katakanlah, itu dari kesalahan
dirimu sendiri.”
Dalam surat Ar-rad ayat 11
Artinya
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah
keadaan diri mereka sendiri”
Dalam surat an-nisa ayat 111
Artinya :
“Dan barang siapa berbuat dosa, maka sesungguhnya dia mengerjakannya untuk
(kesulitan)dirinya sendiri.
3. Aliran mu’tazilah
Aliran mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh
karena itu, mu’tazilah menganut paham qadariah atau free will. Menurut al-jubba’I dan abd
al-jabbar, manusia lah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia yang berbuat baik
dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada tuhan adalah atas kehendak dan
kemauan sendiri. Daya (al-istithah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri
manusia sebelum adanya perbuatan.i
Perbuatan manusia bukan diciptakan tuhan pada diri manusia, melainkan manusia yang
mewujudkan perbuatan. Lalu, bagaiman dengan daya? Apakah diciptakan tuhan untuk
manusia, atau berasal dari manusia? Mu’tazilah dengan tegas menyatakan pendapatnya bahwa
daya berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
106
perbuatan. Jadi, tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.i Aliran mu’tazilah
mengecam dengan keras paham yang mengatakan bahwa tuhan yang menciptakan perbuatan.
Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?Dengan
paham diatas, aliran mu’tazilah masih mengakui tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan
manusia berperan sebagai pihak yang mempunyai kreasi untuk mengubah bentuknya.
Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak
pula menentukannya, kalangan mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azali Allah yang
mengetahui segala yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Pendapat inilah yang
membedakannya dari penganut qadariah murni.
Untuk membela pahamnya, aliran mu’tazilah mengungkapkan ayat berikut
Artinya;
“yang memperindah segala sesuatu yang dia ciptakan” (QS As-sajdah(32):7)
Kata ahsan pada ayat di atas adalah semua perbuatan tuhan itu baik. Dengan demikian
perbuatan manusia bukan perbuatan tuhan karena di antara perbuatan-perbuatan manusia
terdapat perbuatan-perbuatan jahat. Dalil ini dikemukakan untuk mempertegas bahwa
manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya. Sekiranya perbuatan manusia adalah
perbuatan tuhan, balasan dari tuhan itu tidak ada artinya.
Di samping argumentasi naqilah diatas, aliran mu’tazilah mengemukakan argumentasi
rasional berikut ini:
a. Jika Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia tidak mempunyai
perbuatan, batal lah taklif syar’I karena syariat adalah ungkapan perintah dan larangan
keduanya merupakan thalab. Pemenuhan thalab tidak dapat terlepas dari kemampuan,
kebebasan, dan pilihan.
b. Jika manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannnya, runtuhlah teori pahala dan
hukuman yang muncul dari konsep paham al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman)
karena perbuatan itu menjadi tidak dapat disandarkan kepadanya secara mutlak
sehingga berkonsekuensi pujian atau celaan.
c. Jika manusia tidak mempunyai kebebasandan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada
gunanya. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah, dan dakwah harus disertai
dengan kebebasan dan pilihan.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
107
Konsekuensi lain dari paham di atas, mu’tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat
dalam penentuan ajal karena ajal itu ada dua macam. Pertama, al-ajal ath thabi’i. ajal seperti
inilah yang dipandang mu’tazilah sebagai kekuasaan mutlak tuhan untuk menentukannya.
Kedua, ajal yang dibuat manusia, misalnya membunuh seseorang, bunuh diri di tiang
gantungan, atau minum racun. Ajal yang ini dapat dipercepat dan diperlambat.
4.Aliran asy’ariah
Dalam paham asy’ariah manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan
anak kecil yang tidak mempunyai pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran asy’ariah
lebih dekat dengan paham jabariah daripada dengan paham mu’tazilah.i Untuk menjelaskan
dasar pijakannya, asy’ari menggunakan teori al-kasb (acquisition, perolehan). Teori al kasb
asy’ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang
diciptakan, dan menjadi perolehan bagi orang muktasib (yangmemperoleh kasab) sehingga
perbuatan itu timbul. Sebagai konsekuensi dari teori kasab, manusia kehilangan keaktifan,
sehingga bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya.
Argument yang dimajukan oleh al-asy’ari untuk membela keyakinannnya adalah firman
allah
Artinya
“Padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (qs as-
saffat (37):96)
Wa ma ta’malun pada ayat di atas diartikan al-asy’ari dengan “apayang kamu perbuat”,
bukan “apa yang kamu buat”. Dengan demikian, ayat ini mengandung arti bahwa Allah
menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam paham asy’ariah
yang mewujudkan kasab atau perbuatan manusia sebenarnya adalah tuhan.
Pada prinsipnya aliran asy’ariah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan
Allah. Daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Alah menciptakan
perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan
perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan adalah ciptaan Allah dan kasab (perolehan) bagi manusia.
Dengan begitu, kasab mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia
yang baru. Ini berimplikasi pada penerimaan bahwa perbuatan manusia disertai dengan daya
kehendaknya, dan bukan atas daya kehendak-Nya.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
108
5.Aliran maturidiah
Sebagaimana masalah perbuatan tuhan, terdapat perbedaan antara maturidiah
Samarkand dengan maturidiah Bukhara. Jika yang pertama lebih dekat dengan paham
asy’ariah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut maturidiah Samarkand
adalah kehendak dan daya manusia dalam arti sebenarnya, bukan dalam arti kiasan.
Perbedaannya dengan mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat diciptakan tidak
sebelumnya, tetapi bersama-sam dengan perbuatan bersangkutan. Daya yang demikian
porsinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam paham mu’tazilah. Oleh karena itu,
manusia dalam paham al-maturidi tidak sebebas manusia dalam mu’tazilah.
Maturidiah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan maturidiah Samarkand.
Hanya, golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya, untuk
perwujudan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan
perbuatan, hanya tuhan yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan
yang telah diciptakan tuhan baginya.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
110
A. Ismail Al-Faruqi (1921-1986)
1. Biografi Singkat Ismail Al-Faruqii
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pendidikan
dasarnya dimulai dari madrasah, dan pendidikan menengahnya di Colleges des Freres,
dengan bahasa pengantar Perancis. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American
University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun
1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea.
Pada tahun 1948, Palestina dijarah Israel. Faruqi terusir dari tanah kelahirannya. Ia
tercatat sebagai Gubernur Galilea terakhir yang berdarah Palestina. Satu tahun menganggur,
pada tahun 1949, Faruqi hijrah ke Amerika Serikat untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat
gelar master filsafat dari Universitas Indiana. Dua tahun kemudian, gelar master filsafat
kembali ia raih dari Universitas Harvard.
2. Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi
Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tahwid: Its
Implications for Thought and Life. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa:
3. Tauhid sebagai inti pengalaman agama
Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadatmenempati
posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran
Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benar-
benar merupakan obsesi yang agung.
4. Tauhid sebagai pandangan dunia
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan
waktu, sejarah manusia, dan takdir.
5. Tauhid sebagai intisari Islam
Esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri, dan esensi islam adalah tauhid atau
pengesaan Tuhan. Tidak ada satu perintah pun dalam islam yang dapat dilepaskan dari tauhid.
Tanpa tauhid, islam tidak akan ada. Tanpa tauhid, bukan hanya sunnah Nabi yang patut
diragukan, bahkan pranata kenabian pun menjadi sirna.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
111
6. Tauhid sebagai prinsip sejarah
Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika
ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang
dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu.
7. Tauhid sebagai prinsip pengetahuan
Berbeda dengan iman Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada
pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu saja. Kebenaran, atau
proposisi iman bukanlah misteri, hal yang dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak
masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional.
8. Tauhid sebagai prinsip metafisika
Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis,
sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa
yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar manusia melakukan kebaikan dan mencapai
kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi ciri dan
meringkas pandangan umat Islam tentang alam.
9. Tauhid sebagai prinsip etika
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu
amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi. Amanat atau kepercayaan Ilahi
tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan
bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya
makhluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari
agama dan bahkan dibangun di atasnya.
10. Tauhid sebagai prinsip tata sosial
Dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat
Islam harus mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia
akan kehilangan klaim keislamannya.
11. Tauhid sebagai prinsip ummah
Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya
kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menentang etnisentrisme yakni tata sosial Islam adalah
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
112
universal mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir
suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-
cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia.Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan
setiap bidang kegiatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas
manusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa
dan tempat.
12. Tauhid sebagai prinsip keluarga
Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari
gerogotan kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang
selamat dan tetap menempati kedudukan yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang
lebih besar tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan
erat dengan tauhid.
13. Tauhid sebagai tata politik
Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan
sebagai kesepakatan tiga dimensi, yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak
(ijma’ al-iradah), dan tindakan (ijma’ al-amal).
14. Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi
Al-Faruqi melihat implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu:
pertama, tak ada seorang atau kelompok pun yang dapat memeras yang lain. Kedua, tak satu
kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan
tujuan untuk membatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.
15. Tauhid sebagai prinsip estetika
Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kreativitas manusia, tidak juga
menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan
mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam
firman-firman-Nya.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
113
B. Hassan Hanafi (1935-)
1. Biografi Singkat Hassan Hanafi
Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, di Kairo. Pendidikannya diawali
pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di
Madrasah Tsanawiyah Khalill Agha, Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Hasan
Hanafi adalah pengikut Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di Universitas Kairo.
Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dalam
Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan perubahan sosial.
Dari sekian banyak tulisan dan karyanya yaitu: Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami)
merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri
Islam,meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini telah
memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya
sumbangan agama bagi kesejahteraan umat
2. Pemikiran Kalam Hassan Hanafi
a. Kritik terhadap teologi Tradisional
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisiobal, Hanafi menegaskan
perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan sesuai dengan konteks
politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir
dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara
kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam mengalami
kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka konseptual lama pada masa-
masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang
baru yang berasal dari kebudayaan modern harus dilakukan.
Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam
kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik
teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk
pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefenisian beliau
tentang definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan,
karena Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam Sabda-Nya yang
berupa wahyu.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
114
Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan
yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat
manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya
dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan
keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya di kalangan umat.
b. Rekontruksi Teologi
Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama
tradisional telah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan
saran rekontruksi teologi. Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi
sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu:
1. Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan globalisasi
ideologi.
2. Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya tetapi juga terletak pada
kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah.
3. Kepentingan teologi yang bersifat praktis (‘amaliyah fi’liyah) yang secara nyata
diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki adanya
teologi dunia, yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat Islam di bawah satu
orde.
C. H.M. Rasjidi (1915-2001)
1. Biografi Singkat H. M. Rasjidi
H. Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 – 30 Januari 2001) adalah
mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas
Filsafat, Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru
pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar
Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta Karya Koreksi terhadap Dr.
Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977, Strategi
Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan
Beragama, Media Dakwah, 1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan
Bintang, 1982.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
115
2. Pemikiran Kalam H.M. Rasjidi
Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh seangkatannya. Hal
ini dilihat dari keritikan beliau terhadap Harun Nasution, dan Nurcholis Majid. Secara garis
besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Tentang Perbedaan Ilmu Kalam dan Teologi.
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu
kalam dan teologi. Untuk itu Rasyidi berkata, “…Ada kesan bahwa ilmu kalam adalah
teologi Islam dan teologi adalah ilmu kalam Kristen.”i Selanjutnya Rasyidi menelurusi
sejarah kemunculan teologi. Menurutnya, orang Barat memakai istilah teologi untuk
menunjukkan tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain. Teologi terdiri
dari dua perkataa, yaitu teo (theos) artinya Tuhan, dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi
berarti ilmu ketuhanan. adapun sebab timbulnya teologi dalam Kristen adalah
ketuhananNabi Isa, sebagai salah satu dari tri-tunggal atau trinitas. Namun kata teologi
kemudian mengandung beberapa aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang
benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.
b. Tema-Tema Ilmu Kalam
Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh Rasyidi adalah
deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam
sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya
perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun
Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa. Rasyidi mengakui bahwa soal-soal
yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih ada yang relevan
untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang,
demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakanlah oleh umat Islam pada umumnya
adalah keberadaan Syi’ah.
c. Hakikat Iman
Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi iman yang diberikan
Nurcholis Madjid, yakni “percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Dan sikap
apresiatif kepada Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini
disebut takwa. Takwa diperkuat dengan kontak yang kontinyu dengan Tuhan. Apresiasi
ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh, sehingga
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
116
menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan.”i Menanggapi pernyataan di
atas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan
Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia
dengan manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan Tuhan
tidak merupakan aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya seseorang saja dari sejuta
orang. Jadi, yang terpenting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan, ibadah dan
kemasyarakatan.
D. Harun Nasution (1919-1998)
1. Biografi Singkat Harun Nasution
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tahun 1919. Kemudian
bersekolah di HIS (Hollandsche Indlansche School) dan lulus pada tahun 1934. Pada tahun
1937, lulus dari MIK (Moderne Islamietische Kweekschool). Ia melanjutkan pendidikan di
Ahliyah Universitas Al-Azhar pada tahun 1940. Dan pada menjadi pegawai Deplu RI di
Brussels dan Kairo pada tahun 1953-1960. Dia meraih gelar doktor di Universitas McGill di
Kanada pada tahun 1968. Selanjutnya, pada 1969 menjadi rektor di IAIN Syarif Hidayatullah
dan UNJ. Pada tahun 1973, menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah.Hasan
Nasution wafat pada tanggal 18 September 1998 di Jakarta.Harun Nasution dikenal sebagai
tokoh yang memuji aliran Muktazilah (rasionalis), yang berdasar pada peran akal dalam
kehidupan beragama. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim
Indonesia berpikir secara rasional.
Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang berpikiran terbuka. Ketika ramai
dibicarakan tentang hubungan antar agama pada tahun 1975, Harun Nasution dikenal sebagai
tokoh yang berpikiran luwes lalu mengusulkan pembentukan wadah musyawarah antar
agama, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa saling curiga.
2. Pemikiran Kalam Harun Nasution
a. Peranan akal
Harun Nasution memilih problematika akal dalam sistem teologi Muhammad Abduh
sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas McGill, Montreal, Kanada. Besar
kecilnya peranan akal dalam system teologi dalam suatu aliran sangat menentukan
dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran islam. Berkenaan dengan
akal ini, Harun Nasution menulis, “akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akal,
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
117
manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukan kekuatan makhluk lain
disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi kesanggupannya untuk
mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan manusia, bertambah rendah pula
kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain.
Tema islam agama rasional dan dinamis sangat kuat bergema dalam semua tulisan-
tulisan Harun Nasution, terutama dalam buku akal dan wahyu dalam islam,teologi islam:
aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan, dan Muhammad Abduh dan teologi rasional
Muhammad Abduh.
Dalam ajaran islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak digunakan, bukan
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, melainkan juga dalam
perkembangan ajaran-ajaran keagamaam islam. Penggunaan akal dalam islam diperintahkan
Al-Quran. Bukan tidak ada dasar jika ada penulis-penulis, baik dikalangan islam maupun
dikalangan non islam, yang berpendapat bahwa islam adalah agama yang rasional.
b. Pembaharuan teologi
pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun
diatas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat islam Indonesia disebabkan
“ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum
modernis pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al-Afghani, Sayid Amer
Ali, dan lainnya) yang memandangan perlu untuk kembali pada teologi islam yang sejati.
Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat islam dengan teologi fatalistic,
irasional, predeterminisme, serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju
kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat
islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendak mengubah teologi mereka menuju
teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori
modernisasi ini menemukan teologi dalam khazanah islam klasik, yaitu teologi
mu’tazilah.
c. Hubungan akal dan wahyu
salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu.
Ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal menimbulkan pertanyaan, tetapi
keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
118
Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-
segalanya. Wahyu tidak menjelaskan bahwa semua permasalahan keagamaan.
Dalam pemikiran islam, baik dibidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi dibidang ilmu
fiqh, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu
tetap dianggap mutlak benar. Akal digunakan hanya untuk memahami teks wahyu dan tidak
untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan
kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Pertentangan dalam sejarah pemikiran
islam sebenarnya bukan akal dengan wahyu, melainkan penafsiran tertentu dari teks wahyu
dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam islam
adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
119
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, CV Pustaka Setia, Bandung.
Umar Sulaiman Al-Asyaqar. Mengembalikan Citra dan Wibawa Umat: Perpecahan, akar
masalah, dan solusinya, Terj. Abu Fahmi, Wacana Lazuardi Amanah. Jakarta.
Yunan Yusuf. Corak pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar. Pustaka Panjimas, Jakarta. 1990.
Muhammad Fazlur Rahman Ansari. Konsepsi Masyarakat Islam Modern, Terj. Juniarso
Ridwan, dkk., Risalah, Bandung. 1984.
Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyi Ad-Din bin ‘Arabi, Fushush Al-Hikam, Komentar A.R.
Nicholson, Jilid II, t.t.
Adeng Muchtar G, perkembangan ilmu kalam dari klasik hingga modern (Bandung :
pustaka setia,2005).
Jaiz, Hartono Ahmad, Kumpulan Buku Hartono (Tasawuf Belitan Iblis) Buku digital
(Jakarta, 2005).
Zuhaini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 2008).
Nina W. Syam, Filsafat sebagai akar ilmu komunikasi ( Bandung : Simiosa Rekatama
Media, 2010), 79
Abdu Al-Qahir bin Thahir bin Muhammad Al Baghdadi, Al- Farq bain, Al Azhar, Mesir
Abi Al Fath Muhammad Abd Al Karim bin Abi Bakar As Syahrastani Al Milal Wan Nihal,
Dar Al Fikr.
Ali Musthafa Al Ghurabi, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah Wa Nasy’atu IlmiAl kalami ‘Inda Al
Muslimin. maktabah Wa mathbaah Muhammad ali Shabih Wa Auladuhu, Haihan
al Azhar, mesir ,1958.
Ibrahim Madzkur, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, Dar Al-Ma’arif,
Mesir 1947.
L. Mal’uf , Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-‘Alam,Dar Al-Masyriq,Beirut, 1998.
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Darul Fikr, Beirut.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Cet. VI, UI Press, Jakarta, 1986.
Luwis Ma’luf Al-Yusuf’i , Al-Munjid, Al-Khathulikiyah, Beirut , 1945.
Al-Bagdadi, Al-Fark Bain Al-Firaq, Maktabah Muhammad Ali Subeih, Kairo.
Luis Ma’lif, Al-Mujid fi Al-Lughah, Cet, X, Darul Kitab Al-Arabi, Beirut, t.t.
Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘ilm Al-Kalam, t.tp., Kairo, 1969.
Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Iskamiyah, Dar Al-Manar, Kairo, 1991.