andrew firdaus sunarso putra e1a010140.pdf

116
i INTERVENSI TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Disusun oleh: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015

Upload: duonganh

Post on 08-Dec-2016

279 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

i

INTERVENSI TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT

HUKUM INTERNASIONAL

(Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Disusun oleh:

ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA

E1A010140

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2015

Page 2: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

ii

LEMBAR PENGESAHAN

INTERVENSI TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT

HUKUM INTERNASIONAL

(Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953)

Oleh:

ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA

E1A010140

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan Disahkan

Pada tanggal……………………………

Penguji I/ Pembimbing I,

Penguji II/Pembimbing II,

Penguji

Dr. Noer Indriati, S.H.,M.Hum. Dr. H. Isplancius Ismail, S.H.,M.Hum. Aryuni Yuliantiningsih S.H.,M.H.

NIP. 19600426 198702 2 001 NIP. 19550404 199203 1 001 NIP. 19710702 199802 2 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.

NIP. 19640923 198901 1 001

Page 3: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

iii

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya,

Nama : Andrew Firdaus S.P

NIM : E1A010140

Judul Skripsi : INTERVENSI TERHADAP KEDAULATAN SUATU

NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi

Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya

sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.

Apabila dikemudian hari terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana

tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang ada

dari fakultas.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sungguh-sungguh.

Purwokerto, Februari 2015

Andrew Firdaus S.P

NIM. E1A010140

Page 4: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT sehingga

dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul: INTERVENSI

TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953).

Skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari

semua pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan dan terima

kasih kepada :

1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman;

2. Dr. Noer Indriati, S.H., M.Hum. selaku dosen Pembimbing I yang

telah banyak membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan

skripsi ini;

3. Dr. H. Isplancius Ismail, S.H., M.Hum. selaku dosen Pembimbing II

yang telah banyak memberikan bantuan serta dorongan untuk

menyelesaikan skripsi ini;

4. Aryuni Yuliantiningsih, S.H., M.H. selaku dosen Penguji yang telah

memberikan saran yang sangat membangun dalam rangka

penyempurnaan penulisan skripsi ini;

5. Sutoyo, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah

memberikan dukungan selama penulis menempuh studi;

6. Keluarga tercinta, yaitu Papah (Sunarso, S.E., M.M), Mamah (Sri

Endah Indriawati, S.H., M.H.), dan adik-adikku (Philein Sophiana S.P

dan Alysabel Apriliana S.P) serta mbahti (Hj. Maslicha) dan mbah

kakung (H.Munajad) yang telah mendukung dan mendoakan dalam

setiap langkah penulis;

Page 5: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

v

7. Seluruh dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman yang telah mentransferkan ilmunya selama penulis

menempuh studi;

8. Sahabat penulis, Wira Satya Widyatmoko yang telah banyak

membantu penulis selama penulis menyelesaikan studi;

9. Keluarga besar ALSA LC UNSOED

10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang

telah membantu penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih belum sempurna serta

terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan kemampuan yang penulis miliki.

Penulis menerima saran dan kritik dengan segala kerendahan hati untuk

kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan

manfaat bagi yang membacanya.

Purwokerto, Februari 2015

Penulis

Andrew Firdaus S.P

Page 6: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

vi

ABSTRAK

Intervensi dapat diartikan sebagai campur tangan secara diktator oleh

suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk

memelihara atau mengubah kondisi nyata di negara tersebut. Intervensi

menimbulkan kontroversi karena bertentangan dengan Prinsip Kedaulatan Negara

dan Prinsip non-intervensi dalam hukum internasional.

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pelaksanaan intervensi

dalam perang korea tahun 1950-1953 menurut hukum internasional. Metode

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif dengan

pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Semua data dalam

penelitian ini berasal dari data sekunder yang disajikan secara sistematis dan

dianalisis dengan metode normatif kualitatif.

Hasil dari penelitian menunjukan bahwa intervensi dalam Perang Korea

tahun 1950-1953 dilakukan oleh Uni Soviet, Amerika Serikat, dan China melalui

operasi militer dan kebijakan politik terhadap Korea. Intervensi dalam Perang

Korea tahun 1950-1953 termasuk dalam intervensi yang dilarang menurut

ketentuan hukum internasional karena melanggar prinsip kedaulatan negara dan

prinsip non-intervensi yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1), pasal 2 ayat (4), dan

pasal 2 ayat (7) Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. Intervensi dalam Perang

Korea tahun 1950-1953 dilakukan dengan campur tangan secara dictator yang

menyerang kedaulatan negara lain dengan cara-cara kekerasan. Implikasi dari

intervensi dalam Perang Korea 1950-1953 menyebabkan penyelesaian konflik

antara Korea Utara dan Korea Selatan menjadi sebuah kebuntuan perang serta

korban jiwa yang besar di masing-masing pihak.

Kata kunci: Intervensi, Kedaulatan Negara, Hukum Internasional, Perang Korea

1950-1953.

Page 7: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

vii

ABSTRACT

Intervention can be interpreted as dictatorial interference by a State in the

affairs of another State for the purpose of either maintaining or altering the

actual condition of things. The intervention created a controversy among the

society because it has contradicted with State sovereignty and non-intervention

principles on international law.

The aim of the research is to know the implementation of the intervention

towards sovereignty in Korean War 1950-1953 according by international law.

The approach method of this research is normative with statute approach and

case approach. All data of this research is taken from secondary data that served

systematically and had been analyzed by qualitative normative method.

The result of the research showed that the intervention in Korean War

1950-1953 had done by Uni Soviet, United States of America, and China with

military operation and political policy toward Korea. The intervention in Korean

War 1950-1953 can be included as the intervention that prohibited by

international law because it had offended the sovereignty and non-intervention

principles on article 2 paragraph (1), article 2 paragraph (4), and article 2

paragraph (7) United Nations Charter. The intervention in Korean War 1950-

1953 had done by dictatorial interference that offence the sovereignty of another

country with violence ways. The implication of the intervention in Korean War

1950-1953 had caused a settlement of the conflict between North Korea and

South Korea became stalemate along with a great number of victims on both side.

Keywords: Intervention, Sovereignty, International Law, Korean War 1950-1953

Page 8: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

viii

Halaman

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………… i

HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………………. ii

SURAT PERNYATAAN ………………………………………………………… iii

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. iv

ABSTRAK ……………………………………………………………………….. v

ABSTRACT ……………………………………………………………………….. vi

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………... vii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………….……. 1

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1

B. Rumusan Masalah …………………………………………….. 8

C. Tujuan Penelitian ………………………………………........... 8

D. Manfaat Penelitian ……………………………………………. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….. 9

A. Tinjauan Tentang Negara Menurut HI ……………………….. 9

I. Pengertian Negara ………………………………………… 9

II. Kualifikasi Negara ………………………………............... 13

III. Kedaulatan Negara ……………………………………….. 17

B. Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional ……... 26

I. Pengertian Sengketa Internasional ………………………. 26

C. Cara-cara Penyelesaian Sengketa Internasional ....................... 30

D. Tinjauan Umum Tentang Intervensi ………………………… 46

Page 9: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

ix

BAB III METODE PENELITIAN …………………………………………. 61

A. Metode Pendekatan …………………………………………… 61

B. Spesifikasi Penelitian …………………………………………. 62

C. Lokasi Penelitian ……………………………………………... 62

D. Sumber Data ………………………………………………….. 62

E. Metode Pengumpulan Data …………………………………... 63

F. Metode Penyajian Data ………………………………………. 64

G. Metode Analisis Data ………………………………………… 64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………………….. 65

BAB V PENUTUP ………………………………………………………... 97

A. Kesimpulan ……………………………………………........... 101

B. Saran ………………………………………………………….. 102

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 103

LAMPIRAN

Page 10: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakikatnya manusia hidup dalam wilayah dan kesatuan berbeda

beda yang diciptakan dalam sebuah wadah yaitu Negara. Negara merupakan

subjek hukum yang terpenting dan memiliki kewenangan terbesar sebagai

subjek hukum internasional sehingga mampu menyatakan perang dan damai

serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat

internasional lainnya. Negara sebagai wadah dari suatu masyarakat memiliki

dasar, keyakinan, cita-cita ataupun tujuan untuk mendirikan sebuah Negara

yang maju dan terpandang. Tujuan Negara merupakan kepentingan utama dari

tatanan suatu Negara.1

Tujuan tersebut diartikan sebagai sebuah ideologi bagi Negara.

Ideologi adalah suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan

mendalam tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh suatu masyarakat, dan

mengerti cara-cara yang paling dianggap baik untuk mencapai tujuan. Tujuan

dan cara itu secara moral dianggap paling baik dan adil untuk mengatur

perilaku sosial warga masyarakat dalam berbagai segi kehidupan.2

1 Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm.146.

2 Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,

Jakarta, 1992, hlm. 48.

Page 11: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

2

Seiring dengan berkembangnya pola pemikiran tokoh-tokoh besar

dalam suatu Negara ataupun dengan kemajuan suatu Negara itu sendiri,

ideologi menjadi terbagi atas beberapa macam, diantaranya ialah ideologi

kapitalisme, sosialisme komunisme, fasisme, atau bahkan pragmatisme (tidak

memiliki ideologi/anti ideologi). Setiap ideologi memiliki cara dan tujuan

tersendiri dalam penerapannya. Negara akan mempunyai pengaruh terhadap

masyarakatnya dengan adanya ideologi. Hal ini sering menimbulkan adanya

pertentangan antar Negara sampai pada konflik dan perang yang

berkepanjangan demi menyatukan pemahaman dan pandangan mereka satu

sama lain. Pertentangan ideologi suatu negara pernah terjadi dengan adanya

Perang dingin (Cold War) antara Amerika Serikat beserta sekutunya yang

disebut Blok Barat dengan ideologi Kapitalisme-Liberal dan Uni Soviet

beserta sekutunya yang disebut Blok Timur dengan ideologi sosialis-

komunisme. Setelah berakhirnya Perang Dunia II yang ditandai dengan

kekalahan Jepang di Pasifik, negara-negara jajahan Jepang sebagian langsung

memerdekakan diri dan sebagian masih berada dalam administrasi pasukan

sekutu sebelum memproklamasikan kemerdekaannya.3

Salah satu Negara bekas jajahan Jepang yang masih berada dalam

pengaruh sekutu adalah Negara Korea. Negara ini dikuasai oleh Jepang pada

tahun 1910 sampai tahun 1945, pada akhir pendudukan Jepang terdapat dua

3Syasya, Korea Terbagi Dua: Siapa Biang Keroknya?, dalam

http://sejarah.kompasiana.com/2013/04 /07/korea-terbagi-dua-siapa-biang-keroknya-549025.html,

diakses 12 Mei 2014.

Page 12: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

3

kekuatan besar pasukan sekutu yang berpengaruh yaitu Amerika Serikat (AS)

dan Uni Soviet (USSR). Alasan dari kedua Negara tersebut berada di Korea

adalah untuk mengawasi transisi pengalihan kekuasaan kepada bangsa Korea

sampai terciptanya Korea yang mandiri dan mengawasi Jepang yang terletak

dekat dengan Korea. Amerika Serikat dalam praktiknya memiliki alasan lain

bahwa mereka khawatir Uni Soviet akan menduduki Korea pasca perang. Hal

ini menandai awal dari intervensi dua Negara adidaya pemenang perang

terhadap Korea karena kepentingan politik masing-masing Negara adidaya

tersebut.4

Melalui Konferensi Postdam pada Juli sampai dengan Agustus 1945,

sekutu secara sepihak memutuskan membagi wilayah Korea menjadi dua

tanpa persetujuan pihak Korea sendiri. Korea dibagi menjadi dua di garis

lintang 38 derajat yang dikenal sebagai 38th parallel, kemudian secara resmi

membentuk Rakyat Demokratik Republik Korea Utara dan Republik Korea

dengan wilayah utara di bawah penguasaan Uni Soviet dengan RRC dan

wilayah selatan di bawah penguasaan Amerika Serikat dengan sekutunya.5

Kelompok sayap-kanan Representative Democratic Council, yang

dipimpin oleh nasionalis Syngman Rhee menentang perwalian Soviet-

Amerika di Korea. Syngman Rhee terpilih sebagai presiden Republik Korea

4 Mochtar Lubis, Catatan Perang Korea, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010,

hlm. 89. 5 Radio Australia, Sejarah Dibalik Ketegangan Korea Utara Dan Korea Selatan: Kilas

Balik, dalam http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-04-05/sejarah-di-balik-ketegangan-

korea-utara-dan-korea-selatan-kilas-balik/1112046, diakses pada tanggal 14 Mei 2014.

Page 13: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

4

Selatan pada 15 Agustus 1948. Uni Soviet mendirikan pemerintahan komunis

Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Il-Sung. Para nasionalis, baik Syngman

Rhee dan Kim Il-Sung bermaksud menyatukan Korea di bawah sistem politik

yang dianut masing-masing pihak. Korea Utara berhasil meningkatkan

ketegangan di perbatasan dengan persenjataan yang lebih baik dan kemudian

menyerang setelah sebelumnya melakukan provokasi.6

Perang terjadi pada tanggal 25 Juni 1950, dimulai oleh penyerbuan

Korea Utara dengan melakukan invasi darat dan udara melintasi perbatasan

yang disebut 38th parallel sehingga Seoul berhasil dikuasai oleh Korea Utara

pada akhir juni 1950. Melihat sekutunya diserang Amerika Serikat tidak

tinggal diam, Presiden Truman kemudian memerintahkan Mc Arthur yang

mengepalai angkatan perang Amerika di Jepang untuk membantu Korea.

Perang pertama antara tentara Amerika Serikat dan Korea Utara dimulai pada

tanggal 5 juli 1950, dilanjutkan dengan operasi pendaratan di Incheon untuk

menyerbu pasukan Korea Utara. RRC ikut memasuki medan pertempuran

dengan 270.000 tentara dan didukung oleh Uni Soviet dengan alat

persenjataannya pada tanggal 25 Oktober 1950.7

Perang berakhir pada tanggal 27 Juli 1953 saat Amerika Serikat,

Republik Rakyat Cina, dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan

6 Wikipedia, Perang Korea, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Korea, diakses

pada tanggal 10 Mei 2014. 7Wikipedia, Aksi Polisional : Intervensi Amerika Serikat, dalam

http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_ Korea#Aksi_ Polisional:_Intervensi_Amerika_Serikat,

diakses 12 Mei 2014.

Page 14: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

5

senjata. Persetujuan gencatan senjata tersebut secara resmi belum mengakhiri

perang antara Korea Utara dan Korea Selatan sampai saat ini. Perang tersebut

menyebabkan lebih dari 2 juta orang tewas termasuk tentara AS dan RRC,

85% dari sekitar satu juta orang Korea Selatan yang tewas adalah warga sipil,

hampir setengah juta tentara AS tewas, lebih dari 700.000 tentara RRC dan

beberapa ratus pilot Soviet jadi korban serta lebih dari 7 juta orang terpaksa

harus kehilangan/terpisah dari sanak familinya.8

Intervensi yang dilakukan oleh Sekutu menyerang kedaulatan Korea

dengan cara memutuskan secara sepihak, membagi wilayah Korea menjadi

dua tanpa persetujuan pihak Korea. Hal tersebut dilakukan agar masing-

masing Negara dapat menanamkan kehendaknya terhadap Negara lain

sehingga melakukan campur tangan terhadap urusan internal suatu Negara.

Campur tangan terhadap urusan internal suatu Negara dalam Perang Korea

dilakukan dengan cara intervensi. Intervensi tidak diartikan secara baku,

namun definisi dari intervensi menurut Oppenheim Lauterpacht adalah

campur tangan secara diktator oleh suatu Negara terhadap urusan dalam

negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara dan mengubah

keadaan, situasi, atau barang di negeri tersebut.9

8Andy Chand, Sejarah Perang Korea, dalam http://sejarah-

andychand.blogspot.com/2012/10/sejarah-perang-korea.html, diakses pada tanggal 12 Mei 2014. 9 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30.

Page 15: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

6

Piagam PBB telah mengatur prinsip kedaulatan negara dan prinsip

non-intervensi, khususnya pada Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (4), dan Pasal 2

ayat (7) Piagam PBB, sebagai berikut:10

Pasal 2 ayat (1)

Organisasi bersendikan pada prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dari semua

anggota.

Pasal 2 ayat (4)

Segenap anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri dari

tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas

wilayah atau kemerdekaan politik sesuatu negara lain atau dengan cara apapun

yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 2 ayat (7)

Tidak ada satu ketentuan-pun dalam piagam ini yang memberi kuasa kepada

Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencampuri urusan-urusan yang pada

hakekatnya termasuk urusan dalam negeri sesuatu negara atau mewajibkan

anggota-anggotanya untuk menyelesaikan urusan-urusan demikian menurut

ketentuan-ketentuan dalam piagam ini, akan tetapi prinsip ini tidak

mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakan-tindakan pemaksaan

seperti tercantum dalam bab VII.

Pasal-pasal tersebut mensyaratkan bahwa anggota organisasi (PBB)

diharuskan menghormati kedaulatan negara lain dan dilarang untuk ikut

campur dalam urusan domestik suatu Negara (to intervere in matters which

are essentially within the domestic jurisdiction of any State) kecuali dalam

rangka memelihara perdamaian menurut Bab VII piagam PBB.11

Pengaturan

tersebut semakin dikuatkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1970

10

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Piagam PBB Dan Statuta Mahkamah Internasional,dalam

https://unic.un.org/aroundworld/unics/common/documents/publications/uncharter/jakarta_charter_

bahasa.pdf, diakses pada tanggal 9 Maret 2014. 11

Huala Adolf, Loc.Cit.

Page 16: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

7

[G.A. Res 2625 (XXV)] pada tanggal 24 Oktober 1970, yang berbunyi semua

Negara menikmati persamaan kedaulatan. Mereka mempunyai hak dan

kewajiban yang sama dan sederajat sebagai anggota masyarakat internasional,

meskipun terdapat perbedaan ekonomi, sosial, politik, atau bidang lainnya.12

Suatu tindakan intervensi yang tidak diperbolehkan dengan alasan

apapun dan sesungguhnya tidak ada alasan apapun yang dapat dibuat sebagai

pembenaran yaitu suatu intervensi yang nyata-nyata akan menimbulkan atau

akan lebih membuat suatu keadaan menjadi lebih memburuk. J.G. Starke

mengatakan intervensi ini dengan istilah subversive intervention. Tindakan

intervensi ini bukanlah untuk memberi jalan keluar menuju suatu perdamaian.

Intervensi tersebut mengacu kepada propaganda atau kegiatan lainnya yang

dilakukan oleh suatu Negara dengan tujuan untuk mendorong terjadinya

revolusi atau perang saudara di Negara lain.13

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk

mengangkatnya dalam sebuah penelitian guna penyusunan skripsi dengan

judul: Intervensi Terhadap Kedaulatan Suatu Negara Menurut Hukum

Internasional (Studi Tentang Kasus Perang Korea Tahun 1950-1953).

12

Deni Biantong, Kedaulatan Negara, dalam

http://dennybiantong.blogspot.com/2012/07/kedaulatan-negara.html, diakses pada tanggal

9 Maret 2014. 13

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988,

hlm.136-137.

Page 17: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

8

B. Perumusan Masalah

Bagaimanakah intervensi terhadap kedaulatan suatu Negara dalam kasus

perang Korea tahun 1950-1953 menurut hukum internasional ?

C. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini

memiliki tujuan sebagai berikut:

Untuk mengetahui pelaksanaan intervensi terhadap kedaulatan suatu Negara

dalam kasus Perang Korea tahun 1950-1953.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

a) Memperluas wawasan peneliti dan pembaca pada umumnya.

b) Memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi pada umumnya dan ilmu Hukum Internasional pada

khususnya.

2. Secara Praktis

a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi kepustakaan

hukum yang berkaitan dengan hukum internasional.

b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademisi

dan masyarakat pada umumnya serta dapat dipergunakan sebagai

acuan oleh peneliti lain dengan kajian yang berbeda.

Page 18: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Negara Menurut Hukum Internasional

I. Pengertian Negara

Fenwick mendefinisikan Negara sebagai suatu masyarakat politik

yang diorganisasi secara tetap, menduduki suatu daerah tertentu, dan hidup

dalam batas-batas daerah tersebut, bebas dari pengawasan Negara lain,

sehingga dapat bertidak sebagai badan yang merdeka di muka bumi.

Menurut J.L Bierly, Negara adalah suatu lembaga (institution), sebagai

suatu wadah dimana manusia mencapai tujuan-tujuannya dan dapat

melaksanakan kegiatan-kegiatannya, sedangkan Malcver mendefinisikan

Negara sebagai suatu kesatuan yang memiliki kekuasaan berdasarkan

hukum di suatu wilayah yang dibatasi oleh adanya kondisi-kondisi tertib

sosial eksternal yang sifatnya universal. Beliau mendefinisikan Negara

sebagai berikut :14

“…as association which acting through law as promulgated by

government endowed to this end with coercive power, maintains within

a community territorially demarcated the universal external conditions

of social order.”

14

Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Keni Media,

Bandung, 2011, hlm. 1-2.

Page 19: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

10

Definisi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Henry C. Black,

sebagai berikut: 15

Negara diartikan sebagai sekumpulan orang yang secara permanen

menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan

hukum yang, melalui pemerintahnya, mampu menjalankan

kedaulatannya yang merdeka, dan mengawasi masyarakat dan harta

bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang

dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan

masyarakat internasional lainnya.

Menurut L.J Van Apeldorn pengertian Negara menunjuk kepada

berbagai gejala yang sebagian termasuk pada kenyataan dan sebagian lagi

menunjukkan pada gejala-gejala hukum. Salah satu pengertian Negara

menurutnya adalah suatu wilayah atau daerah tertentu yang didiami oleh

suatu bangsa. Lebih lanjut dijelaskan bahwa negara mempunyai arti

sebagai berikut:16

a. Perkataan Negara dipakai dalam arti penguasa, jadi untuk menyatakan

orang atau orang-orang yang memiliki kekuasaan tertinggi atas

persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah.

b. Perkataan Negara juga dapat diartikan sebagai suatu persekutuan

rakyat, yaitu untuk menyatakan suatu bangsa yang hidup dalam suatu

daerah, di bawah kekuasaan tertinggi, menurut kaidah-kaidah hukum

yang sama.

15

Idem, hlm.2. 16

L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradaya Paramita, Jakarta, 1981, hlm. 304.

Page 20: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

11

c. Negara ialah suatu wilayah tertentu. Perkataan Negara digunakan

untuk menyatakan suatu daerah, dimana tempat suatu bangsa berdiri di

bawah kekuasaan yang tertinggi.

d. Negara diartikan sebagai kas negara atau fiskus, yang maksudnya

adalah harta yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum.

Pendapat L.J. Van Apeldorn disempurnakan oleh Biere de Hans

yang menunjukkan bahwa dalam suatu Negara tidak hanya terdiri dari satu

bangsa saja, melainkan juga dijumpai adanya Negara yang di dalamnya

terdiri dari berbagai bangsa sepanjang pengertian bangsa yang dimaksud

masuk dalam lingkup Nasionaliteit (kewarganegaraan). Selengkapnya

Biere de Hans mengemukakan sebagai berikut :17

Negara adalah lembaga manusia; manusialah yang membentuk

Negara. Manusia yang membentuk negara itu merupakan makhluk

perorangan (endelwezen) dan juga merupakan makhluk sosial

(gemeenschapswezen). Masyarakat dalam dirinya secara alami

mengandung keinginan untuk berorganisasi yang timbul karena

dorongan dari dalam. Negara adalah bentuk dari berorganisasinya

suatu masyarakat, yaitu masyarakat bangsa meskipun masyarakat

bangsa terbagi dalam kelompok-kelompok, negara membentuk

kesatuan yang bulat dan mewakili sebuah cita (een idee

vertegenwoordigt).

Masih berkaitan dengan pengertian Negara, Max Weber

mengemukakan bahwa negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki

keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya. Hal ini

17

B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi

Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Universitas Atma Jaya,

Yogyakarta, 2003, hlm. 8.

Page 21: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

12

menunjukkan bahwa jika berbicara mengenai negara salah satu aspek yang

paling menonjol adalah kekuasaannya yang besar. Peranan Negara juga

semakin dominan karena hubungan-hubungan internasional yang

melahirkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional

dilakukan oleh negara-negara.18

Pada hakikatnya Negara merupakan pribadi terpenting (principle

person) dalam hukum internasional. Hukum internasional pada dasarnya

merupakan produk dari hubungan antar Negara baik melalui praktik yang

membentuk hukum internasional atau melalui kesepakatan (perjanjian)

internasional Negara itu sendiri. Negara merupakan suatu satuan yang

memiliki wilayah tetap, penduduk permanen, di bawah pengawasan suatu

pemerintahan dan terlibat, atau mempunyai kapasitas untuk terlibat dalam

hubungan formal dengan lembaga-lembaga yang resmi lainnya dalam

hukum internasional. Negara juga merupakan subjek hukum internasional

yang paling tua usianya karena negara yang pertama muncul sebagai subjek

hukum internasional dan baru belakangan diikuti oleh kemunculan subjek-

subjek hukum internasional lainnya. Dominannya peran Negara dalam

hubungan-hubungan hukum internasional juga tidak terlepas dari

18

I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan I, Mandar Maju,

Bandung, 1990, hlm.60.

Page 22: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

13

keunggulan Negara jika dibandingkan dengan subjek-subjek hukum

internasional yang lain, yakni Negara memiliki Kedaulatan.19

II. Kualifikasi Negara

Negara adalah subjek hukum yang paling utama, terpenting, dan

memiliki kewenangan terbesar sebagai subjek hukum internasional.

Sarjana filsafat hukum terkemuka, HLA Hart, mengkualifikasikan negara

sebagai gambaran dari dua fakta yang di dalamnya memuat unsur-unsur

dari negara. Beliau menyatakan sebagai berikut:20

The expression of a state is not the name of some person or thing

inherently or by nature outside the law; it is a way of reffering to two

facts: first, that a population inhabiting a territory lives under that form

of ordered government provided by a legal system within its

characteristic structure of legislature, Courts, and primary rules; and

secondly, that the government enjoys a vaguely defined degree of

independence.

Menurut pendapat HLA Hart ciri-ciri negara adalah memiliki:

1. Penduduk;

2. Wilayah;

3. Pemerintahan;

4. Sistem hukum; dan

5. Independensi

Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang hak dan kewajiban

negara adalah sumber hukum yang memuat unsur-unsur negara dan kapan

19

Rebbecca Wallace, Hukum Internasional (Pengantar untuk mahasiswa), Sweet &

Maxwell, London, 1986, hlm. 63-64. 20

HLA Hart, The Concept of Law, Oxford: Oxford U.P., 2nd

.ed., 1994, hlm. 22, (lihat

juga: Huala Adolf, Op.cit., hlm. 1-2).

Page 23: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

14

suatu entitas politik dapat dikatakan sebagai suatu Negara. Pasal tersebut

berbunyi sebagai berikut:21

The State as a person of international law should possess the

following qualifications:

a. a permanent population

b. a defined territory

c. a government; and

d. a capacity to enter into relations with other States.

Unsur-unsur di atas juga dikemukakan oleh penulis-penulis hukum

internasional. Berikut adalah uraian dari masing-masing unsur tersebut

sebagai berikut:

a. Penduduk yang tetap

Penduduk atau rakyat suatu negara adalah kelompok orang

yang secara tetap atau permanen mendiami suatu wilayah yang juga

pasti luasnya. Penduduk merupakan unsur pokok bagi pembentukan

suatu negara karena suatu pulau atau wilayah yang tidak ada

penduduknya tidak akan dapat dikatakan sebagai negara.22

Unsur ini

bermakna sebagai kelompok orang yang hidup bersama di suatu

tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang

diatur oleh suatu tertib hukum nasional. Kelompok orang ini mungkin

saja berasal dari keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan

21

Lihat Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933. 22

Jawahir Thontowi, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung,

2006, hlm. 106.

Page 24: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

15

yang berbeda, dan memiliki kepentingan yang saling bertentangan.23

Syarat penting untuk unsur ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat

harus terorganisir dengan baik (organized population). Masyarakat

tidak dibatasi jumlahnya dalam mendirikan suatu negara menurut

hukum internasional.24

b. Wilayah tertentu

Wilayah adalah unsur yang sangat penting untuk tempat rakyat

menetap dan mewujudkan kedaulatan serta menerapkan jurisdiksinya

di dalam wilayahnya itu. Wilayah dikatakan sebagai wilayah tetap

apabila memiliki batas wilayah. Hal tersebut penting untuk

memperjelas batas-batas mana saja kedaulatan negara tersebut akan

berlaku. Luas wilayah juga tidak diberikan pembatasan oleh hukum

internasional seperti halnya penduduk, bahkan suatu negara dapat

diakui sebagai negara apabila mempunyai wilayah betapapun besar

atau kecilnya sepanjang wilayah tersebut cukup konsisten. (sufficient

consistency).25

23

Ibid 24

R.C. Hingorani, Modern International Law, Oceana Publications Inc., India, 1984,

hlm. 35. 25

Ibid

Page 25: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

16

c. Pemerintah

Pemerintah adalah seorang atau beberapa orang yang mewakili

rakyat dan memerintah menurut hukum negaranya. Bengt Broms

menyebut kriteria ini sebagai organized government (Pemerintahan

yang terorganisir) yang berlaku atau diterapkan sepenuhnya kepada

rakyatnya berupa republik, kerajaan, atau bentuk lainnya yang

dikehendaki rakyatnya.26

Rakyat yang menduduki suatu wilayah hidup

dengan mengorganisasikan diri sehingga tentu ada pimpinan dan ada

yang dipimpin. Negara memerlukan sejumlah organ yang terdiri dari

individu-individu untuk mewakili dan menyalurkan kehendaknya.

Individu-individu sebagai pemimpin organisasi inilah yang kemudian

dinamakan pemerintah. Bentuk dari pemerintah dapat berbeda antara

yang satu dengan lainnya sebab penentuan atau pemilihan bentuk

pemerintahan sepenuhnya urusan dari rakyat negara yang

bersangkutan.27

d. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain

Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain

merupakan manifestasi dari kedaulatan. Suatu negara yang merdeka,

dan tidak di bawah kedaulatan negara lain akan mampu melakukan

hubungan dengan negara lain. Suatu negara dikatakan merdeka (legal

26

Bengt Broms, State, dalam Mohammed Bedjaoui, International Law: Achievements

and Prospects, UNESCO, Martinus Nijhoff publ., Paris, 1991, hlm. 44. 27

Malcolm N. Shaw, dalam Jawahir Thontowi, Op.cit., hlm. 107.

Page 26: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

17

independence) jika wilayahnya tidak berada di bawah otoritas

berdaulat yang sah dari negara lain.28

Kemampuan untuk melakukan

hubungan dengan negara lain adalah kemampuan dalam pengertian

yuridis berdasarkan hukum nasional maupun internasional, bukan

kemampuan secara fisik. Oppenheim Lautherpacht menggunakan

kalimat pemerintah harus berdaulat, yaitu kekuasaan tertinggi yang

merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi.29

III. Kedaulatan Negara

Kedaulatan adalah hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah

pemerintahan, masyarakat, atau diri sendiri. Konsep kedaulatan berkaitan

dengan pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam

negerinya di dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya,

dan dalam konteks tertentu, terkait dengan berbagai organisasi atau

lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum.30

Pernyataan ini mengandung

suatu pengertian bahwa bangsa dalam suatu negara yang merdeka

memiliki kewenangan atau kekuasaan secara eksklusif dan bebas

melakukan berbagai kegiatan kenegaraan sesuai kepentingannya, asalkan

28

Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2014, hlm. 106. 29

Ibid 30

Kedaulatan berasal dari kata daulat yang artinya kekuasaan atau pemerintahan, lihat

http://providert.blogspot.com/2010/02/makna-kedaulatan-rakyat.html; lihat pula Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Jakarta, 1988.

Page 27: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

18

kegiatan atau kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan

negara lain dan hukum internasional.31

Kedaulatan merupakan terjemahan dari kata sovereignty (Bahasa

Inggris) atau souverinete (Bahasa Perancis) atau sovranus (Bahasa Italia).

Jean Bodin menganggap kedaulatan sebagai atribut Negara, sebagai ciri

khusus dari Negara. Menurutnya, kedaulatan merupakan hal pokok dari

setiap kesatuan politik yang disebut Negara. Kedaulatan mengandung

satu-satunya kekuasaan yang:32

a. Asli, yaitu tidak diturunkan dari suatu kekuasaan lain;

b. Tertinggi, yaitu tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang

dapat membatasi kekuasaannya;

c. Bersifat abadi atau kekal;

d. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi;

e. Tidak dapat dipindahkan atau diserahkan kepada badan lain.

Negara berdaulat adalah Negara yang mampu dan berhak

mengurus kepentingan dalam negeri ataupun luar negeri tanpa

bergantung pada suatu Negara lain.33

Kelebihan Negara sebagai subjek

hukum internasional dibandingkan dengan subjek hukum internasional

lainnya adalah Negara memiliki apa yang disebut kedaulatan

(sovereignty). Kedaulatan yang berarti kekuasaan tertinggi pada awal

mulanya diartikan sebagai suatu kebulatan dan keutuhan yang tidak dapat

31

Jawahir Thontowi, Op.cit., hlm. 169. 32

Dedi Supriyadi, Hukum Internasional (dari konsepsi sampai aplikasi), Pustaka Setia,

Bandung, 2013, hlm. 124. 33

Ibid

Page 28: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

19

dipecah-pecah dan dibagi-bagi serta tidak dapat ditempatkan di bawah

kekuasaan lain.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, kedaulatan merupakan kata

yang sulit diartikan karena orang memberi arti yang berlainan. Menurut

sejarah, asal kata kedaulatan, kata ini dalam bahasa Inggris dikenal

dengan istilah sovereignty yang berasal dari kata latin superanus berarti

yang teratas. Negara dikatakan berdaulat atau sovereign karena

kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki Negara. Negara

berdaulat yang dimaksud adalah bahwa Negara itu mempunyai kekuasaan

tertinggi.34

Menurut asal katanya, kedaulatan memang berarti kekuasaan

tertinggi. Negara berdaulat memang berarti Negara tersebut tidak

mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya,

walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batas.

Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah Negara

itu, artinya suatu Negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam

batas wilayahnya. Di luar wilayahnya, suatu Negara tidak lagi memiliki

kekuasaan demikian. Misalnya, Negara A berbatasan dengan Negara B,

maka di luar batas wilayah Negara A itu, tegasnya di wilayah Negara B,

bukan Negara A melainkan B-lah yang memiliki kekuasaan tertinggi.

34

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional Buku I, Putra abardin,

Jakarta, 1999, hlm. 13.

Page 29: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

20

Jadi pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua

pembatasan penting dalam dirinya, yaitu:35

a. Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah Negara yang memiliki

kekuasaan itu; dan

b. Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu Negara lain mulai.

Suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas ini selain

kemerdekaan (independence) juga paham persamaan derajat (equality),

artinya bahwa Negara-negara yang berdaulat itu masing-masing merdeka,

artinya yang satu bebas dari yang lainnya, juga sama derajatnya satu

dengan yang lainnya. Dilihat secara demikian maka tiga konsep atau

pengertian ini yaitu kedaulatan, kemerdekaan, dan kesamaan derajat tidak

bertentangan satu sama lain bahkan kemerdekaan dan persamaan derajat

Negara merupakan bentuk perwujudan dan pelaksanaan pengertian

kedaulatan dalam arti yang wajar.36

Pengertian kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat,

merupakan suatu pengertian yang mempunyai fungsi yang sangat penting

dalam mewujudkan suatu masyarakat internasional yang diatur oleh

hukum internasional sebagai suatu kenyataan. Hubungan antara Negara-

negara atau hubungan internasional yang teratur tidak mungkin tanpa

35

Idem, hlm. 14. 36

Idem, hlm. 15.

Page 30: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

21

menerima pembatasan terhadap kedaulatan Negara yang menjadi anggota

masyarakat itu.

Kedaulatan suatu negara sering dikaitkan dengan permasalahan

sejauh mana negara tersebut memiliki kewenangan dalam menjalankan

kebijakan atau kegiatan-kegiatan kenegaraannya. Negara berwenang

untuk melaksanakan hukum nasionalnya. Kedaulatan terbagi atas dua

konsep yaitu kedaulatan berdasarkan jangkauan (scope) dan kedaulatan

berdasarkan atas konsep wilayah (territorial) suatu negara, sebagai

berikut :

1. Kedaulatan berdasarkan jangkauan (scope)

Kedaulatan mencakup suatu bentuk hubungan tertentu di

dalam suatu negara yang merdeka, yaitu independensi dan supremasi.

Dua aspek tersebut sering disebut sebagai kedaulatan eksternal

(external sovereignty) dan kedaulatan internal (internal sovereignty).

Kedaulatan eksternal dan kedaulatan internal tidak diperoleh dengan

cara yang mudah melainkan dengan perjuangan melalui berbagai

instrumen seperti persuasi, negosiasi, sampai dengan kekerasan.

a. Kedaulatan eksternal ( independensi )

Kedaulatan eksternal adalah hak atau kewenangan eksklusif

bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungan

internasional dengan berbagai negara atau kelompok lain tanpa

Page 31: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

22

ada halangan, rintangan, dan tekanan dari pihak manapun juga (a

freedom in international relationship). Kedaulatan eksternal juga

sering disebut dengan independensi negara, yang dicirikan oleh

adanya kedudukan yang sama (equal) bagi sebuah negara dalam

interaksi internasional dengan negara-negara lainnya.37

Suatu Negara dalam menjamin keberadaan kedaulatan

eksternalnya harus memiliki:38

1) Sebuah jurisdiksi (kewenangan) atas wilayah dan warga

negara yang mendiaminya.

2) Sebuah prinsip non-intervensi, yaitu kewajiban bagi negara-

negara lain untuk tidak campur tangan atas persoalan yang

terjadi di wilayah tersebut, yang ditegaskan dengan rumusan

International Commission on Intervention and State

Sovereignty (ICISS), sebagai berikut: The concept is normally

used to encompass all matters in which state is permitted by

international law to decide an act without intrusions from

other state.

3) Pengakuan dari negara-negara lain yang sederajat, karena

dengan pengakuan berarti negara tersebut berhasil

37

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional : Edisi Kedua, Cetakan I,

PT Alumni, Bandung, 2003, hlm. 34. 38

Idem, hlm. 35.

Page 32: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

23

meyakinkan negara lain bahwa kedaulatan yang dimilikinya

merupakan sesuatu yang sah.

b. Kedaulatan internal (supremacy)

Kedaulatan internal adalah hak atau kewenangan eksklusif

suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaga

negaranya, cara kerja lembaga negara, hak untuk membentuk

undang-undang dasar (konstitusi) tanpa ada campur tangan atau

intervensi negara lain, mendapatkan kepatuhan atau ketundukan

dari rakyatnya (obedience in social society), dan memiliki

kewenangan sendiri untuk memutus persoalan-persoalan yang

timbul di dalam jurisdiksinya. Secara singkat kedaulatan internal

suatu Negara dapat dijamin apabila Negara tersebut memiliki

sumber-sumber hukum seperti: Constitution, Statutes, Regulation,

dan Customs. Constitution adalah dasar suatu negara, yang

merupakan sesuatu yang lebih luas yakni keseluruhan dari

peraturan-peraturan baik yang tertulis (written law) maupun yang

tidak tertulis (unwritten law) yang mengatur secara mengikat

cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam

suatu masyarakat.39

Statutes adalah undang-undang sedangkan

Regulations peraturan-peraturan yang pembuatannya telah

39

Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001,

dalam Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Nusamedia, 2007, hlm. 36.

Page 33: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

24

melalui power delegation dari badan legislatif kepada badan

eksekutif. Customs merupakan kebiasaan-kebiasaan yang

dipraktikkan dalam masyarakat dan tidak dituangkan dalam

bentuk tertulis. Kedaulatan internal juga sering disebut dengan

istilah supremasi negara atau kedaulatan ke dalam. Supremasi

negara itu berada pada struktur hierarkis (instrumen pemerintah,

hukum, dan perundang-undangan) yang digunakan untuk

menyelenggarakan otoritas negara.

2. Kedaulatan berdasarkan konsep wilayah (territorial)

Kedaulatan teritorial adalah kekuasaan penuh yang dimiliki

oleh suatu negara dalam hal melaksanakan jurisdiksi (kewenangan)

secara eksklusif di wilayah negaranya, yang mana di dalam wilayah

tersebut negara memiliki kewenangan penuh untuk melaksanakan dan

menegakkan hukum nasionalnya (exercise and enforce law). Hal ini

menandakan bahwa setiap individu yang mendiami suatu wilayah

tertentu haruslah tunduk dan patuh kepada kekuasaan hukum dari

negara yang memiliki wilayah tersebut.40

40

Huala Adolf, Op.cit., hlm. 115.

Page 34: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

25

Secara geografis, kedaulatan teritorial mencakup 3 (tiga)

wilayah dasar, yaitu wilayah tanah atau daratan, wilayah laut, dan

wilayah udara. Beberapa macam rezim status wilayah dikenal dalam

kedaulatan wilayah (territorial), sebagai berikut:41

a. Status wilayah mandat

Wilayah mandat adalah wilayah yang tidak mandiri atau belum

mampu mengadakan hubungan dengan pihak-pihak asing tanpa

ada dukungan dari negara yang mendukungnya. Kedaulatan suatu

negara tidak dikenal dalam wilayah mandat karena wilayah

tersebut belum merdeka dan mandiri. Istilah wilayah mandat sering

digunakan pada waktu Perang Dunia I dan Perang Dunia II sebagai

refleksi dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi sekarang tidak

lagi ditemukan wilayah mandat.

b. Status wilayah Terra Nullius

Terra Nullius adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan suatu wilayah atau aset yang belum dimiliki oleh

siapapun dan dapat dimiliki oleh siapapun juga (wilayah tak

bertuan). Penguasaan atas wilayah Terra Nullius biasanya bisa

dilakukan dengan penemuan wilayah baru (discovery). Benua

Amerika sebelum ditemukan oleh Christoper Columbus tergolong

ke dalam wilayah Terra Nullius.

41

Mirza Satria Buana, Op.Cit., hlm. 38-40.

Page 35: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

26

c. Status wilayah Terra Communis

Terra Communis adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan keadaan suatu wilayah yang wilayahnya atau aset

yang dikandungnya tidak bisa dimiliki oleh siapapun juga dan

merupakan milik bersama umat manusia karena menyangkut hajat

hidup orang banyak (a heritage for humankind). Contohnya:

wilayah Antariksa yang diatur dalam Space Treaty 1967 tentang

prinsip-prinsip yang mengatur aktivitas-aktivitas negara-negara

dalam kaitannya dengan eksploitasi ruang angkasa. Ketentuan

Traktat tersebut tercantum dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai

berikut: Outer space including moon and other celestial bodies is

not subject to national appropriation by claim of sovereignty, by

mean of use or occupation by any other mean.

B. Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional

I. Pengertian Sengketa Internasional

Menurut J.G. Merills, sengketa dapat didefinisikan sebagai

perselisihan mengenai masalah fakta, hukum atau politik dimana suatu

tuntutan atau pernyataan pihak dapat ditolak, dituntut balik atau diingkari

oleh pihak lain. Sengketa internasional dalam arti yang lebih luas

dikatakan ada apabila perselisihan itu melibatkan pemerintah, lembaga,

juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia yang

Page 36: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

27

berlainan.42

Adapun John Collier dan Vaughan Lowe membedakan antara

sengketa (dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah:43

A specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in

which a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim

or denial by another.

Konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility)

antara para pihak-pihak yang seringkali tidak fokus. setiap sengketa

adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai

sengketa (dispute). Sengketa Internasional dapat diartikan sebagai

sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri

suatu Negara. Sengketa internasional juga tidak hanya eksklusif

menyangkut hubungan antar Negara saja mengingat subjek-subjek hukum

internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa

melibatkan banyak aktor non Negara.44

Menurut Starke, sengketa internasional adalah sengketa yang

terjadi antara Negara dengan Negara, Negara dengan Individu, badan

korporasi serta badan-badan bukan Negara di pihak lain. Menurut

Mahkamah Internasional, sengketa internasional adalah suatu situasi

ketika dua Negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai

42

Achmad Fauzan, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung, 1986, hlm. 1. 43

Sefriani, Op.cit., hlm. 322. 44

Ibid

Page 37: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

28

dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam

perjanjian. Selengkapnya Mahkamah Internasional ini menyatakan:

…whether there exist an international dispute is a matter for objective

determination. The mere denial of existence of a dispute does not

prove it’s nonexistence .. there has thus arisen a situation in which the

two sides hold clearly opposite views concerning the question of the

performance or nonperformance of treaty obligations. Confronted

with such a situation, the court must conclude that international

dispute has arisen.

Hukum internasional mempunyai peranan besar dalam

menyelesaikan sengketa internasional. Pada prinsipnya hukum

internasional berupaya agar hubungan antar negara terjalin lewat ikatan

persahabatan dan tidak mengharapkan adanya persengketaan. Hukum

Internasional memberikan aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang

bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya dan memberikan pilihan

yang bebas kepada para pihak tentang cara, prosedur atau upaya yang

sebaiknya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya. Dikenal adanya

dua macam sengketa internasional dalam studi hukum internasional yaitu

sengketa hukum dan sengketa politik yang sebenarnya tidak ada kriteria

yang jelas dan diterima umum mengenai pengertian kedua istilah tersebut.

Sengketa hukum adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk ukuran

suatu sengketa internasional manakala sengketa tersebut dapat

diselesaikan oleh pengadilan internasional.

Page 38: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

29

Menyangkut substansi sengketa tersebut beberapa pakar mencoba

untuk memisahkan antara sengketa hukum (Legal dispute) dan sengketa

politik (Political dispute). Friedmann misalnya mengemukakan bahwa

karakteristik sengketa hukum, sebagai berikut:45

1. Capable of being settled by the application of certain principles and

rules of international law

2. Influenced vital interest of State such as territorial integrity

3. Implementation of the existing international law enough to raise a

justice decision and support to progressive international relation

4. The dispute related with legal rights by claims to change the existing

rule.

Selanjutnya Oppenheim-Kelsen mengemukakan :

All dispute have their political aspects by the very fact that they concern

relation between sovereign States. Dispute which according to the

distinction, are said to be a legal nature might involve highly important

political interests of the states concerned, conversely, dispute reputed

according to that distinction be a political character more often than not

concern the application of a principle or a norm of international law.46

Menurut Waldock, penentuan suatu sengketa menjadi sengketa

politik atau hukum tergantung dari para pihak. Jika para pihak

menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum maka sengketa tersebut

adalah sengketa hukum. Sebaliknya jika sengketa tersebut membutuhkan

patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional, misalnya

pelucutan senjata, maka sengketa tersebut adalah sengketa politik.47

45

Idem, hlm. 192 46

Idem, hlm. 323 47

Aryuni Yuliantiningsih, Bahan Kuliah Hukum Internasional, Fakultas Hukum,

Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2011, hlm. 72-73.

Page 39: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

30

Melihat pada pendapat ketika pakar tersebut adalah tidak mudah

untuk memisahkan secara tegas antara sengketa hukum dengan sengketa

politik. Hal ini berarti semua sengketa yang dapat diselesaikan

menggunakan prinsip-prinsip juga aturan-aturan hukum internasional,

menyangkut hak-hak yang dijamin oleh hukum internasional merupakan

sengketa hukum. Hal ini juga senada dengan apa yang tertera dalam

Statuta Mahkamah Internasional bahwa Mahkamah Internasional memiliki

kewenangan menyelesaikan segala sengketa hukum yaitu: the sense of a

dispute capable of being settled by the application of principles and rules

of international law.48

Selanjutnya Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah Internasional

menegaskan bahwa sengketa hukum yang dapat diajukan ke Mahkamah

menyangkut hal-hal sebagai berikut:

1. Interpretation of treaty

2. Any question of international law

3. The existence of any fact which, if established, would constitute a

breach of an international obligation

4. The nature or extent of the reparation to be made for the breach of

an international obligation.

II. Cara-cara Penyelesaian Sengketa Internasional

Pada umumnya, metode-metode penyelesaian sengketa

digolongkan dalam dua kategori: 49

48

Dedi Supriyadi, Op.cit., hlm. 193. 49

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional edisi kesepuluh- Buku kedua, Sinar

Grafika, Jakarta, 1988, hlm. 646.

Page 40: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

31

a. Cara-cara penyelesaian secara damai, yaitu apabila para pihak telah

dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat.

b. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu

apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan.

Penyelesaian sengketa di dalam hukum internasional terbagi

menjadi dua, penyelesaian sengketa yang dilakukan secara damai dan

penyelesaian sengketa secara kekerasan.

1) Penyelesaian sengketa internasional secara damai

Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa internasional

secara damai, diatur dalam:

a. Konvensi Den Haag 1899 mengenai Penyelesaian Sengketa-

Sengketa Secara Damai.

b. Konvensi Den Haag mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa

Secara Damai Tahun 1907

c. Piagam PBB

Penyelesaian sengketa internasional secara damai dapat

dilakukan melalui penyelesaian sengketa secara diplomatik dan

penyelesaian sengketa secara hukum. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB

menyebutkan macam-macam cara penyelesaian sengketa internasional

Page 41: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

32

secara damai yang dapat dipilih oleh negara-negara yang bersengketa,

yaitu:50

a. Perundingan (negotiation)

Negosiasi adalah cara penyelesaian yang paling dasar dan

paling tua digunakan oleh umat manusia. Penyelesaian melalui

negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa

diselesaikan melalui cara ini tanpa adanya publisitas atau perhatian

publik. Alasan utama cara ini dipergunakan adalah para pihak dapat

mengawasi prosedur penyelesaian sengketa dan setiap

penyelesaiannya didasarkan kesepakatan atau konsensus para pihak.

Negosiasi dalam pelaksanaannya memiliki dua bentuk utama, yaitu

bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui

saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu

lembaga atau organisasi. Cara ini dapat digunakan untuk

menyelesaikan setiap bentuk sengketa, baik sengketa ekonomi,

politik, hukum, sengketa wilayah, keluarga, suku, dan lain-lain.

Proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini masih

dimungkinkan untuk dilaksanakan apabila para pihak telah

menyerahkan sengketanya kepada suatu badan peradilan tertentu.

50

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta,

2004, hlm. 19-22.

Page 42: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

33

b. Pencarian fakta (fact-finding)

Suatu sengketa kadangkala mempersoalkan konflik para

pihak mengenai suatu fakta. Suatu sengketa berkaitan dengan hak

dan kewajiban, namun seringkali permasalahan bermula pada

perbedaan pandangan para pihak terhadap fakta yang menentukan

hak dan kewajiban tersebut. Penyelesaian sengketa demikian

bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak

disepakati. Oleh sebab itu, pemastian kedudukan fakta yang

sebenarnya dianggap sebagai bagian penting dari prosedur

penyelesaian sengketa. Para pihak dapat memperkecil masalah

sengketanya dengan menyelesaikan melalui metode pecarian fakta

yang menimbulkan persengketaan. Pada intinya para pihak

mempersengketakan perbedaan mengenai fakta, maka untuk

meluruskan perbedaan tersebut, campur tangan pihak lain dirasakan

perlu untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya. Biasanya

para pihak tidak meminta pengadilan tapi meminta pihak ketiga

yang sifatnya kurang formal. Inquiry dapat dilaksanakan oleh suatu

komisi yang tugasnya terbatas hanya untuk memberikan pernyataan

menyangkut kebenaran fakta dan tidak berwenang memberikat suatu

putusan.51

51

Sefriani, Op.cit., hlm. 332.

Page 43: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

34

Cara ini ditempuh manakala cara konsultasi atau negosiasi

telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Melalui

cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari

semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan

masing-masing pihak. Negara-negara juga telah membentuk badan-

badan penyelidik baik yang sifatnya ad hoc ataupun terlembaga.

c. Jasa-Jasa Baik (Good Offices)

Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui

bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya mempertemukan para

pihak sedemikian rupa sehingga mereka mau bertemu, duduk

bersama dan bernegosiasi. Keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu

penyelesaian sengketa ada dua macam, yaitu atas permintaan para

pihak dan inisiatif pihak ketiga itu sendiri yang menawarkan jasa-

jasa baiknya guna menyelesaikan sengketa. Syarat mutlak yang

harus ada yaitu kesepakatan para pihak dalam kedua cara tersebut.

Jasa-jasa baik sudah dikenal dalam praktik kenegaraan. jasa-jasa

baik juga telah dikenal dalam praktik penyelesaian antara pihak-

pihak swasta.52

52

Peter Behrens, Alternative Methods of Dispute Settlement in International Economic

Relations, Fribourg U.P, 1992, hlm. 14, (lihat juga: Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa

Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 19-22).

Page 44: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

35

d. Mediasi (Mediation)

Mediasi adalah cara penyelesaian melalui pihak ketiga

(disebut mediator), yang ikut aktif dalam proses mediasi. Mediator

bisa negara, organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu

(politikus, ahli hukum atau ilmuwan). Biasanya mediator dengan

kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupaya mendamaikan para

pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. Jika usulan

tersebut tidak diterima, mediator masih dapat melanjutkan fungsi

mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah

satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi

(penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para

pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.

Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada prosedur khusus yang

harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan

prosedurnya, yang penting adalah kesepakatan para pihak. Mulai

dari proses pemilihan mediator, cara mediasi, diterima atau tidaknya

usulan-usulan yang diberikan oleh mediator, sampai pada

berakhirnya tugas mediator.53

e. Konsiliasi (Consiliation)

Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya

lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara

53

Idem, hlm. 21.

Page 45: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

36

penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau komisi yang dibentuk

para pihak. Komisi ini disebut dengan komisi konsiliasi. Komisi

konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang

berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima

oleh para pihak, namun putusannya tidak mengikat para pihak.

Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri atas dua tahap,

yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (yang

diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi.

Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para

pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut,

tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta

yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan

menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan

kesimpulan, dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Sekali

lagi usulan ini sifatnya tidaklah mengikat, karena diterima tidaknya

usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.54

Penyelesaian sengketa secara damai juga bisa dilakukan

melalui pengadilan. Pengadilan dapat dibagi dalam dua kategori,

yaitu pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan

khusus. Contoh: pengadilan permanen internasional adalah

Mahkamah Internasional (the International Court of Justice).

54

Idem, hlm. 22.

Page 46: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

37

Pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus lebih populer

dibandingkan dengan pengadilan permanen, terutama dalam

kerangka suatu organisasi ekonomi internasional. Badan pengadilan

ini berfungsi cukup penting dalam menyelesaikan sengketa yang

timbul dari perjanjian ekonomi internasional.

f. Arbitrase (Arbitration)

Arbritase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada

pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final

dan mengikat (binding). Lembaga arbritase dewasa ini sudah

semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam

menyelesaikan sengketa-sengketa internasional. Penyerahan suatu

sengketa kepada lembaga arbitrase dapat dilakukan dengan

pembuatan compromis, yaitu penyerahan kepada lembaga arbitrase

suatu sengketa yang telah lahir atau melalui pembuatan suatu klausul

arbitrase dalam suatu perjanjian, sebelum sengketanya muncul

(clause compromissoire).55

Orang yang dipilih melakukan arbitrase

disebut arbitrator atau arbiter. Pemilihan arbitrator sepenuhnya

berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbitrator yang

dipilih adalah mereka yang telah ahli mengenai pokok sengketa serta

disyaratkan netral. Arbitrator tidak selalu harus ahli hukum, seorang

arbitrator bisa saja yang menguasai bidang-bidang lainnya seperti

55

Idem, hlm. 23.

Page 47: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

38

seorang insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli

perbankan dan lain-lain. Setelah arbitrator ditunjuk, selanjutnya

arbitrator menetapkan term of reference atau aturan permainan

(hukum acara) yang menjadi patokan kerja mereka. Biasanya

dokumen ini memuat pokok masalah yang akan diselesaikan,

kewenangan yuridiksi arbitrator dan aturan-aturan (acara) sidang

arbitrase. Muatan term of reference harus disepakati oleh para

pihak.56

g. Peradilan Internasional

Peradilan internasional yang dimaksud ialah penyelesaian

masalah dengan menerapkan ketentuan hukum oleh badan peradilan

internasional yang dibentuk secara teratur. Peradilan internasional

dewasa ini dapat dilakukan oleh Mahkamah Internasional atau oleh

badan peradilan lain, Mahkamah Internasional kini merupakan satu-

satunya badan peradilan internasional tetap yang dapat digunakan

dalam masyarakat internasional. Lembaga peradilan lain dapat

melakukan peradilan internasional berdasarkan persetujuan pihak-

pihak yang bersengketa. Mahkamah Internasional dibentuk

berdasarkan Piagam PBB. Piagam itu menetapkan kedudukan dan

wewenang Mahkamah Internasional. Pelaksanaan fungsi Mahkamah

Internasional itu selanjutnya diatur dalam Statuta Mahkamah

56

Ibid

Page 48: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

39

Internasional yang merupakan bagian integral dari Piagam

tersebut.57

Penyelesaian sengketa oleh Mahkamah Internasional hanya

dapat diminta oleh negara dalam persengketaannya dengan negara

lain. Organisasi internasional dan individu tidak dapat berperkara

dihadapan Mahkamah Internasional. Yuridiksi Mahkamah

Internasional dalam penyelesaian sengketa hanya terbatas pada

sengketa antar negara, namun yuridiksi Mahkamah Internasional

dalam hal itu meliputi semua perkara.58

h. Badan-Badan Regional

Melibatkan lembaga atau organisasi regional baik sebelum

maupun sesudah PBB berdiri. Ruang lingkup mengenai objek

sengketa yang dapat diselesaikan oleh badan atau organisasi

internasional regional ini sedikit banyak bergantung kepada

instrumen hukum yang mendasarinya. Instrumen hukum itu sendiri

sesungguhnya sangat bergantung kepada sifat atau karakteristik dari

organisasi yang bersangkutan. Misal: letak geografis atau letak

organisasi tersebut berada, badan-badan kelengkapannya, tugas, dan

wewenang organisasi tersebut, termasuk wewenang dalam

penyelesaian sengketa internasional. Misal: organisasi internasional

57

F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2010,

hlm. 128. 58

Idem., hlm. 131.

Page 49: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

40

regional yang dibentuk untuk masalah-masalah perdagangan atau

ekonomi akan mengatur dan membatasi dirinya antara lain untuk

memberi saran penyelesaian sengketa khusus di bidang perdagangan

atau ekonomi.

Hadirnya lembaga atau mekanisme penyelesaian sengketa yang

diciptakan oleh masyarakat internasional, pada umumnya ditujukan untuk

suatu maksud utama, yaitu memberi cara bagaimana seyogyanya sengketa

internasional diselesaikan secara damai. Cara-cara tersebut yang diberi

landasan hukum, berupa piagam, perjanjian atau konvensi, mengikat

negara-negara yang mengikatkan diri terhadapnya. Pengaturan cara-cara

damai yang dituangkan dalam instrumen atau perjanjian internasional

adalah untuk mencegah atau menghindari negara-negara menggunakan

cara-cara kekerasan, militer atau perang sebagai cara penyelesaian

sengketa mereka.

2) Penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan

Penyelesaian sengketa internasional secara kekerasan (perang),

telah diatur oleh hukum internasional terutama dalam hukum humaniter

internasional. Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa

internasional dengan kekerasan diatur dalam:59

59

Arlina Permanasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, International

Committe of the Red Cross, Jakarta, 1999, hlm. 21.

Page 50: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

41

a. Konvensi Den Haag 1899 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang

di Darat;

b. Konvensi Den Haag 1899 mengenai adaptasi Asas-Asas Konvensi

Jenewa tentang Hukum Perang di Laut;

c. Konvensi Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang

di Darat;

d. Konvensi Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Perang;

e. Konvensi Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang

di Darat;

f. Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlakuan Terhadap Tawanan

Perang;

g. Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlindungan Terhadap Penduduk

Sipil di Waktu Perang.

Penggunaan cara-cara kekerasan atau paksaan dalam

menyelesaikan suatu sengketa dilarang oleh ketentuan hukum

internasional walaupun dimungkinkan bagi para pihak untuk

menyelesaikan sengketa mereka melalui jalan kekerasan atau paksaan

apabila penyelesaian sengketa secara damai tidak tercapai kesepakatan.

Penyelesaian sengketa secara paksa atau kekerasan dapat dilakukan

melalui:60

60

J.G. Starke, Op.cit, hlm. 679-685.

Page 51: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

42

a. Perang

Perang bertujuan untuk menaklukkan negara lawan sehingga

negara yang kalah tidak memiliki alternatif lain kecuali menerima

syarat-syarat penyelesaian yang ditentukan oleh negara pemenang

perang. Jadi, dengan berakhirnya perang berarti sengketa telah

diselesaikan. Perang dalam kasus Driefontein Consolidated Gold

mines v Janson memberikan pernyataan bahwa apabila perselisihan

antara negara-negara mencapai suatu titik dimana kedua belah pihak

berusaha untuk memaksa atau salah satu dari mereka melakukan

tindakan kekerasan, yang dipandang oleh pihak lain sebagai suatu

pelanggaran perdamaian, maka terjadi hubungan perang, di mana

pihak-pihak yang bertempur satu sama lain dapat menggunakan

kekerasan sesuai dengan peraturan sampai salah satu dari mereka

menerima syarat-syarat sebagaimana yang dikehendaki oleh

musuhnya.61

Pada awal perkembangan hukum internasional, penggunaan

kekerasan (use of force) oleh negara diatur dalam Just War Doctrine

yang dikembangkan antara lain oleh ST Augustine dan Grotius.

Doktrin ini menyatakan bahwa perang adalah ilegal kecuali jika

dilakukan untuk suatu just cause. Kekerasan atau perang diizinkan

sebagai suatu cara untuk menjamin hak suatu negara manakala tidak

61

Sefriani, Op.cit., hlm. 353.

Page 52: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

43

ada cara lain yang efektif. Perang adil pada masa itu adalah suatu

peperangan dengan menggunakan peralatan perang yang sederhana

yang disertai dengan pernyataan perang oleh suatu pihak dan pihak

lain yang akan diserang bersiap-siap untuk membela diri.62

Perkembangan setelah dibentuknya PBB tahun 1945

menunjukkan bahwa pengaturan hak negara menggunakan

kekerasan (use of force) merupakan penggabungan dari hukum

kebiasaan internasional dan perjanjian internasional karena dalam

hukum kebiasaan internasional tidak ada larangan penggunaan

kekerasan, sedangkan dalam perjanjian internasional seperti Kellog

Briand Pact melarang penggunaan perang. Piagam PBB tidak

menggunakan istilah perang (war) tetapi menggunakan istilah

penggunaan kekerasan (use of force). Perang adalah teknis dalam

pandangan hukum internasional yang seringkali digunakan sebagai

istilah dalam praktik negara-negara seperti insiden di perbatasan

baik insiden kecil, short war, sampai operasi militer besar-besaran

yang dilakukan oleh para pihak bertikai.63

b. Retorsi (Retortion)

Retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh

suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut

62

Idem, hlm. 354. 63

Ibid

Page 53: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

44

dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk

tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi

negara yang kehormatannya dihina. Misalnya, merenggangnya

hubungan diplomatik, pencabutan privilege diplomatik atau

penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal dan bea. Demikian

banyaknya praktik-praktik mengenai retorsi sehingga tidak mungkin

untuk menentukan secara tepat syarat-syarat bahwa tindakan-

tindakan itu dibenarkan.

c. Tindakan-Tindakan Pembalasan (Repraisals)

Pembalasan merupakan metode-metode yang dipakai negara-

negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-

negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya

pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dengan retorsi

adalah pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh

dikatakan sebagai perbuatan ilegal, sedangkan retorsi meliputi

tindakan yang sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan oleh

hukum. Bentuk-bentuk dari pembalasan diantaranya: pemboikotan

barang-barang terhadap suatu negara tertentu, embargo, demonstrasi

angkatan laut atau pemboman.64

64

J.G. Starke, Op.cit, hlm. 680.

Page 54: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

45

d. Blokade secara Damai (Pacific Blockade)

Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara

yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut.

Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada

waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai pembalasan,

tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang

pelabuhannya diblokade menaati permintaan ganti rugi atas kerugian

yang diderita oleh negara yang memblokade. Manfaat nyata

penggunaan blokade secara damai adalah tindakan ini merupakan

cara tindakan yang jauh dari kekerasan dibandingkan perang dan

blokade juga sifatnya fleksibel.65

e. Intervensi (Intervention)

Intervensi adalah campur tangan secara diktator oleh suatu

negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik

untuk memelihara atau mengubah kondisi nyata di negara tersebut.

Lauterpacht selengkapnya menyatakan sebagai berikut:66

...dictatorial interference by a State in the affairs of another State for

the purpose of either maintaining or altering the actual condition of

things.

65

Ibid 66

Huala Adolf, Op.cit., hlm. 36.

Page 55: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

46

Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan

yang berkaitan dengan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan

khusus ini berarti suatu tindakan yang dari sekedar campur tangan saja dan

lebih kuat daripada mediasi atau usulan diplomatik. Menurut Hyde, yang

termasuk dalam larangan itu umumnya yang bertentangan dengan

kepentingan negara lain, campur tangan itu hampir selalu disertai dengan

bentuk atau implikasi tindakan untuk menggangu kemerdekaan politik

negara yang bersangkutan.

C. Tinjauan Umum Tentang Intervensi

Menurut Oppenheim Lauterpacht intervensi adalah campur tangan

secara diktator oleh suatu Negara terhadap urusan dalam negeri lainnya

dengan maksud baik untuk memelihara dan mengubah keadaan, situasi, atau

barang di negeri tersebut.67

Intervensi dalam Black’s Law Dictionary diartikan

sebagai turut campurnya sebuah Negara dalam urusan dalam negeri Negara

lain atau urusan dengan Negara lain dengan menggunakan kekuatan atau

ancaman kekuatan, sedangkan intervensi kemanusiaan (Humanitarian

Intervention) diartikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh komunitas

67

Oppenheim-Lauterpacht, International Law: A Treaties vol 1: Peace, edisi ke-8,

Longmans, 1967, hlm. 305 dalam Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum

Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30.

Page 56: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

47

internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah

Negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan Negara tersebut.68

Sir William Harcout mengemukakan bahwa intervensi merupakan

suatu masalah yang lebih dekat kaitannya dengan kebijakan dibandingkan

dengan hukum. Intervensi berada jauh di atas dan di luar jangkauan hukum

(bila dilaksanakan oleh pihak yang memiliki kekuasaan dimaksudkan untuk

mendapat pengaruh daripadanya) dan merupakan kebijakan tingkat tinggi

yang berkaitan dengan keadilan dan kemanusiaan.69

Historicus mengemukakan bahwa intervensi merupakan prosedur yang

tinggi dan ringkas yang kadang-kadang bisa menjadi pemicu adanya

perbaikan tanpa tersentuh oleh hukum. Namun begitu, harus diakui bahwa

dalam kasus intervensi, sebagaimana juga revolusi, intinya adalah

ketidaksahan, dan justifikasinya adalah keberhasilan yang dicapainya.

Intervensi tidak dibenarkan dan dianggap tidak politis jika mengalami

kegagalan.70

Wirjono Prodjodikoro memberi pengertian intervensi yaitu dalam

hukum internasional intervensi tidak berarti luas sebagai segala bentuk

campur tangan Negara asing dalam urusan satu negara, melainkan berarti

68

Bryan A Garner ed., Black Law Dictionary, Seventh Edition, Book 1, West Group,

ST.Paul, Minn, 1999, hlm. 826. 69

William Vernon Harcourt, Letters by Historicus on Some Questions of International

Law: Reprinted from “tha times” with considerable addition, dalam Simon Chesterman, Just war

or Peace?: Humanitarian Intervention and International Law (New York: Oxford University

Press, 2001) hlm. 39, dalam www.uop.com, diakses tanggal 5 Desember 2013. 70

Simon Chesterman,Idem, hlm.42 , dalam www.uop.com, diakses tanggal 5 Desember

2013.

Page 57: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

48

sempit, yaitu suatu campur tangan negara asing yang bersifat menekan dengan

alat kekerasan (force) atau dengan ancaman melakukan kekerasan, apabila

keinginannya tidak terpenuhi.71

Intervensi dan prinsip non-intervensi terdapat dalam berbagai

dokumen atau instrumen hukum internasional sebagai berikut:72

1. Piagam PBB

Pasal 2 ayat (7) dan 2 ayat (4) Piagam PBB mensyaratkan bahwa

organisasi PBB dilarang untuk ikut campur dalam urusan domestik

suatu negara kecuali dalam rangka memelihara perdamaian menurut

Bab VII Piagam.

2. Rancangan ILC (International Law Commission) mengenai Hak-hak

dan Kewajiban Negara 1949

Ketentuan mengenai larangan intervensi ini dapat pula ditemukan

dalam Pasal 3 Rancangan Deklarasi mengenai Hak-hak dan Kewajiban

Negara yang dibuat oleh komisi hukum internasional pada tahun 1949.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk

menahan diri mengintervensi ke dalam urusan dalam atau luar negeri

negara lain.73

71

Wirjono Prodjodikoro, Azaz-azaz Hukum Publik Internasional, PT. Pembimbing Masa,

Jakarta, 1967, hlm.149-150. 72

Huala Adolf, Op.cit., hlm. 37. 73

Idem, hlm. 38.

Page 58: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

49

3. Hasil konferensi Asia Afrika 1955

Larangan intervensi dimuat dalam keputusan akhir konferensi Asia

Afrika April 1955 di Bandung yang terkenal dengan Dasa Sila

Bandung.

4. Deklarasi Majelis Umum PBB 1965

Majelis Umum PBB pada tahun 1965 mengeluarkan suatu Deklarasi

penting yang melarang intervensi suatu negara terhadap negara lain

yang berjudul ‘Declaration on the inadmissibility of Intervention in the

Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence

and Sovereignty.’ Paragraf 1 Deklarasi menyebutkan dengan tegas

larangan intervensi baik secara langsung ataupun tidak langsung atau

untuk alasan apapun juga, baik pula intervensi terhadap urusan dalam

negeri atau pun urusan luar negeri suatu negara.74

5. Deklarasi Majelis Umum PBB 1970

Ketentuan mengenai larangan intervensi juga dapat pula ditemukan

dalam Deklarasi Majelis Umum PBB yaitu friendly relations

declaration [G.A Res. 2625 (XXV)], yang menyebutkan prinsip bahwa

Negara-negara berkewajiban untuk tidak mengintervensi ke dalam

masalah-masalah domestik Negara lain.

74

Idem, hlm. 39.

Page 59: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

50

6. Piagam ASEAN 2007

Prinsip non-intervensi ditegaskan dan dijunjung tinggi di antara negara-

negara anggota ASEAN. Prinsip ini termuat dalam Preambule,

menyebutkan bahwa non-interference ini dipandang sebagai prinsip

ASEAN di mana Negara-negara anggota harus menghormatinya.

Prinsip larangan campur tangan terhadap urusan-urusan dalam negeri

sesama negara anggota ASEAN dituangkan pula ke dalam muatan

Pasal 2 Piagam ASEAN yang memuat prinsip-prinsip ASEAN.75

Intervensi menimbulkan perdebatan karena berhadapan langsung

dengan prinsip-prinsip umum dalam hukum internasional, yaitu Prinsip

Kedaulatan Negara dan Prinsip non-intervensi.76

Hukum internasional pada

umumnya melarang campur tangan berupa suatu tindakan yang lebih dari

sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari mediasi atau usulan

diplomatik. Larangan tersebut umumnya adalah campur tangan yang

berkaitan dengan kepentingan negara terkait seperti yang dikatakan Hyde

serta dijelaskan oleh International Court of Justice pada tahun 1986 dalam

kasus Nicaragua v United States of America, campur tangan itu hampir selalu

disertai bentuk atau implikasi tindakan untuk mengganggu kemerdekaan

politik negara yang bersangkutan. Menurut Mahkamah Internasional, suatu

intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila: (a) merupakan campur

75

Idem, hlm. 40. 76

Lihat Pasal 2 (1) dan Pasal 2 (4) Piagam PBB

Page 60: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

51

tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara

dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas (misalnya mengenai

sistem politik atau ekonomi atau penganutan politik luar negerinya sendiri);

dan (b) campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara

lain dengan cara-cara paksa, khususnya kekerasan (misal: memberikan

dukungan secara tidak langsung terhadap aktivitas-aktivitas subversif

terhadap negara yang menjadi tujuan intervensi tersebut). Segala sesuatu yang

tidak termasuk dalam pengertian yang dikemukakan secara tegas ini bukanlah

intervensi dalam arti yang dilarang oleh hukum internasional.77

Hukum internasional mengklasifikasikan intervensi dalam 3 (tiga)

macam, yang didasarkan atas jangkauan (Scope) dari intervensi tersebut,

yaitu:78

a. Intervensi Internal

Intervensi atau campur tangan yang melibatkan negara luar sebagai

penyokong atau pendukung suatu pemberontakan, peperangan, atau

konflik politik di Negara lain dengan cara yang diktator.

b. Intervensi Eksternal

Intervensi atau campur tangan Negara lain terhadap peperangan atau

konflik yang sudah terjadi antara dua Negara atau lebih.

77

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional-Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta,

2012, hlm. 135-136. 78

Mirza Satria Buana, Op.cit., hlm. 31.

Page 61: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

52

c. Intervensi Repraisal

Intervensi atau campur tangan suatu Negara yang dilakukan atas dasar

pembalasan (a repraisal) terhadap kerugian yang telah ditimbulkan

oleh Negara lain, dengan melakukan perang kecil atau blokade damai.

J.G Starke dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum

Internasional juga menjabarkan 3 (tiga) macam intervensi, yaitu :79

a. Intervensi Intern (Internal Intervention). Contoh Negara A yang

mencampuri persengketaan antara pihak-pihak bertikai di Negara B,

dengan cara mendukung salah satu pihak, baik pihak pemerintah yang

sah ataupun pihak pemberontak.

b. Intervensi Ekstern (External Intervention). Contoh Negara A yang ikut

campur tangan dalam hubungan, umumnya hubungan permusuhan,

seperti ketika Italia melibatkan diri dalam perang dunia kedua dengan

memihak Jerman dan melawan Inggris.

c. Intervensi Penghukuman (Punitive Intervention). Bentuk intervensi ini

merupakan suatu tindakan pembalasan (repraisal), yang bukan perang,

atas kerugian yang diderita oleh Negara lain. Misal: suatu blokade

damai yang dilakukan terhadap Negara yang menimbulkan kerugian

sebagai pembalasan atas tindakannya yang merupakan pelanggaran

berat traktat.

79

J.G Starke, Op.cit., hlm.136.

Page 62: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

53

Istilah intervensi juga digunakan oleh beberapa penulis untuk

menyatakan intervensi subversif, untuk menunjukkan aktivitas propaganda

atau aktivitas lainnya yang dilakukan oleh suatu Negara dengan maksud untuk

menyulut revolusi atau perang saudara di Negara lain, untuk tujuan Negara itu

sendiri. Hukum internasional melarang intervensi subversif demikian.80

Salah satu doktrin yang terkenal sehubungan dengan prinsip non

intervensi adalah Doktrin Monroe. Doktrin ini bermula dari pesan (message)

Presiden Amerika Serikat Monroe kepada Kongres pada 2 Desember 1823.

Presiden Monroe dalam pesannya itu menyinggung soal ancaman pendudukan

Soviet terhadap Alaska dan ancaman intervensi terhadap Aliansi Suci (Holy

Alliance) Amerika yang berbunyi sebagai berikut :81

We owe it, therefore, to candor, and to the amicable relations existing

between the United States and those Europeans, former colonial

powers, to declare that we should consider any attempt on their part

to extend their system to any portion of this hemisphere as dangerous

to our peace and safety.

Doktrin ini mengandung dua arti penting sebagai berikut:82

a. Prinsip non-kolonisasi, yaitu Amerika Serikat berkepentingan

untuk menjamin bahwa tidak ada satu bagian pun dari benua

Amerika yang bersifat terra nullius (tidak ada yang memiliki) dan

menjadi wilayah kolonisasi Negara Eropa.

80

Idem, hlm. 137 81

Parry and grant, dkk., Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana

Publications inc., New York, 1986, hlm. 241. 82

D.P. O’Connel, Op.cit., hlm. 306-307.

Page 63: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

54

b. Prinsip Non Intervensi yang pada pokoknya menetapkan bahwa

setiap upaya Negara asing untuk memperluas sistem politiknya ke

Benua Amerika akan merupakan ancaman bahaya terhadap

perdamaian dan keamanan Amerika.

Intervensi dalam keadaan tertentu tidaklah selalu merupakan

pelanggaran kemerdekaan atau integritas wilayah Negara lain sebab hukum

internasional pun memberikan pengecualian terhadap prinsip tersebut.

Pengecualian prinsip intervensi yang dimaksud adalah sebagai berikut:83

a. Suatu Negara pelindung (protector) telah diberikan hak-hak intervensi

(intervention rights) yang dituangkan dalam suatu perjanjian oleh

Negara yang meminta perlindungan. Contoh: Perjanjian persahabatan,

hubungan bertetangga baik dan kerjasama (the Treaty of friendship,

good neighbourliness and cooperation) yang ditandatangani oleh Uni

Soviet dan Afghanistan pada tanggal 5 Desember 1978. Pasal 4 the

treaty of friendship, good neighbourliness and cooperation

menetapkan bahwa kedua belah pihak akan mengambil langkah yang

diperlukan untuk melindung keamanan, kemerdekaan, dan keutuhan

wilayah kedua Negara. Isi ketentuan perjanjian demikian dapat

dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap tindakan Uni Soviet ketika

menginvasi Afghanistan pada Desember 1979.

83

Gerhard von Glahn, Law Among Nation, Macmillan Publishing Co.,Inc., edisi ke-4,

1981, hlm. 161-162, (lihat dalam Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional,

PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30-32).

Page 64: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

55

b. Jika suatu Negara berdasarkan suatu perjanjian dilarang untuk

mengintervensi namun ternyata melanggar larangan ini, maka Negara

lainnya yang juga adalah pihak/peserta dalam perjanjian tersebut

berhak untuk melakukan intervensi.

c. Jika suatu Negara melanggar dengan serius ketentuan-ketentuan dalam

hukum kebiasaan yang telah diterima umum, Negara lainnya

mempunyai hak untuk mengintervensi Negara tersebut. Jadi, jika

pemberontak terus-menerus melanggar hak-hak suatu Negara netral

selama terjadinya konflik, maka Negara netral tersebut memiliki hak

untuk mengintervensi terhadap Negara pemberontak tersebut.

d. jika warga negaranya diperlakukan semena-mena di luar negeri maka

Negara tersebut memiliki hak untuk mengintervensi atas nama warga-

warga tersebut, setelah semua cara damai diambil untuk menangani

masalah tersebut.

e. Suatu intervensi dapat pula dianggap sah dalam hal tindakan bersama

oleh suatu organisasi internasional yang dilakukan atas kesepakatan

bersama Negara-negara anggotanya.

f. Suatu intervensi dapat juga sah manakala tindakan tersebut dilakukan

atas permintaan yang sungguh-sungguh dan tegas-tegas (genuine and

explicit) dari pemerintah yang sah dari suatu Negara (invitational

intervention). Intervensi ini cukup banyak dilakukan oleh Negara-

Page 65: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

56

negara besar dewasa ini. Pengiriman tentara Inggris ke Yordania pada

tahun yang sama setelah Republik Persatuan Arab melakukan

intervensi terhadap masalah-masalah dalam negeri Yordania. Tahun

1964, kembali tentara inggris didaratkan di Tanganyika Uganda, dan

Kenya atas permintaan masing-masing Negara tersebut untuk

meredakan pemberontakan di negeri-negeri tersebut, dan lain-lain.

Berikut ini juga yang umumnya dinyatakan sebagai kasus-kasus

terdapat kekecualian pokok dimana menurut hukum internasional suatu

Negara berhak melakukan intervensi sah sebagai berikut:84

a. Intervensi kolektif sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-

Bangsa;

b. Intervensi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan

serta keselamatan jiwa warga-warga Negara di luar yang menjadi

dasar bagi pemerintah Amerika Serikat membenarkan tindakan

pengiriman tentara multinasional di pulau Grenada bulan oktober

1983;

c. Pertahanan diri, apabila intervensi diperlukan untuk

menghilangkan bahaya serangan bersenjata yang nyata;

d. Dalam urusan-urusan protektorat yang berada di bawah

kekuasaannya;

84

Ibid

Page 66: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

57

e. Apabila Negara yang menjadi subjek intervensi dipersalahkan

melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional

menyangkut Negara yang melakukan intervensi, sebagai contoh,

apabila Negara pelaku intervensi sendiri telah diintervensi secara

melawan hukum.

Hak-hak kekecualian intervensi dilaksanakan dengan syarat Negara-

negara harus tunduk kepada kewajiban-kewajiban pokok menurut Piagam

Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga kecuali charter sendiri

memperbolehkan pelaksanaan hak itu, intervensi tidak boleh berkembang

menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas territorial

atau kemerdekaan politik Negara-negara manapun (lihat Pasal 2 ayat 4).85

Intervensi dapat dikatakan akan selalu bersinggungan dengan

kedaulatan suatu Negara. Bila campur tangan itu hanya sebatas sugesti

diplomatik, hal ini bukanlah suatu masalah atau belum dianggap suatu

pelanggaran terhadap kedaulatan suatu Negara. Intervensi harus sampai pada

tingkat kedaulatan suatu Negara dalam pelaksanaannya diambil alih oleh

Negara lain. Intervensi demikian merupakan suatu pelanggaran terhadap

hukum internasional. Hukum internasional juga membolehkan tindakan

tersebut dengan syarat bahwa timbulnya suatu keadaan atau hal tertentu yang

merupakan ancaman bahaya bagi perdamaian dan keamanan dunia dan juga

merupakan pelanggaran bagi hukum internasional dan memungkinkan untuk

85

J.G Starke, Op.cit., hlm. 137.

Page 67: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

58

timbulnya perang. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh

Ali Sastroamijojo bahwa intervensi itu dapat dijalankan sewaktu-waktu dalam

taraf perkembangan persengketaan antar Negara yang lazimnya dijalankan

pada saat akan meletus peperangan. Jadi intervensi dalam hal ini bermaksud

untuk mencegah meletusnya peperangan, artinya tidak untuk memihak salah

satu dari pihak yang bersengketa.86

Suatu tindakan intervensi yang diperbolehkan dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu intervensi yang berdasarkan suatu hak dan tindakan lain

yang walaupun tidak berdasarkan suatu hak namun diizinkan oleh hukum

internasional. Seperti yang dikatakan oleh L. Oppenheim, sebagai berikut :87

That intervention, as a rule, forbidden by international law, which

protect the international personality of the state, there is no doubt, on

the other hand, there is just a little doubt, that this rule has exception,

for there are intervention which take place by right, and there are

other which, although they do not take place by right, are nevertheless

permited by international law.

Pelaksanaan dari intervensi yang disebutkan di atas, di samping tidak

menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau

kemerdekaan politik, juga harus mendapat ijin atau tidak melanggar

ketentuan-ketentuan dalam Piagam PBB. Suatu intervensi harus mendapat ijin

dari PBB melalui Dewan Keamanan. Ijin ini berbentuk rekomendasi yang

berisikan pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan yang menjadi alasan

86

Ali Sastroamidjoyo, Op.cit., hlm. 191. 87

Oppenheim Lauterpacht, International Law and Treaties, Longmans, London, 1952,

hlm. 137.

Page 68: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

59

tindakan intervensi dan intervensi itu diperlukan terhadap keadaan-keadaan

tersebut. Pasal 51 Piagam PBB juga mengatur salah satu bentuk intervensi

yang mana intervensi ini dilakukan atas nama PBB atau secara kolektif

dengan tujuan self defence terhadap suatu keadaan yang timbul yang

membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian atau merupakan suatu

agresi sehingga dapat disimpulkan bahwa di bawah naungan PBB, suatu

intervensi dikategorikan sebagai tujuan pembelaan diri terhadap suatu

serangan yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian dan

merupakan suatu agresi.88

Bentuk lain dari suatu intervensi yang diperbolehkan adalah blokade

dalam waktu damai. Intervensi ini dijalankan oleh suatu Negara untuk

memaksa Negara lain menepati kewajibannya menurut perjanjian yang dibuat

dengan Negara yang menjalankan intervensi. Blokade dalam waktu damai

sekiranya hanya dapat dijalankan menurut hukum internasional, apabila

penyelesaian sengketa dengan jalan perundingan telah dilakukan tetapi

menemui jalan buntu. Suatu intervensi haruslah bersifat memaksa atau

kekerasan. Sifat inilah yang membedakan intervensi dengan tindakan campur

tangan lainnya. Intervensi dijalankan secara lebih aktif terhadap urusan dalam

dan luar negeri suatu Negara, dan intervensi dapat begitu luas sehingga

mencakup tindakan-tindakan militer. Larangan seperti ini juga ditemukan

88 Bab VII Piagam PBB, Pasal 39, 41, dan 51.

Page 69: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

60

dalam kompromi antara berbagai kepentingan yang dimulai oleh bangsa-

bangsa di dunia ini dengan sejauh mungkin menghindari friksi atau

pergesekan antar kekuatan yang mereka miliki.89

Penggunaan paksaan ekonomi atau tekanan psikologi tidak dapat

dijadikan rujukan, namun penggunaan paksaan tersebut tetap dilarang dalam

Pasal 39. Jessup menyatakan bahwa pelarangan kekerasan bersenjata (use of

force) yang dinyatakan dalam Pasal 2 (4) tidak absolut, jika penggunaan

kekerasan tersebut tidak mengancam kesatuan wilayah atau kebebasan politik

dari suatu Negara. Syarat tersebut dapat menghindari dari batasan yang

digunakan dalam kalimat pertama pasal tersebut. 90

89

Eka Putra, Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai, dalam

www.hukumit.blogspot.com, diakses tanggal 10 November 2013. 90

Goodrich dan Hambro, Charter of The United Nations Commentary and Documents,

World Peace Foundation Boston, 1949, hlm. 110-121.

Page 70: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

61

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan

kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum normatif.91

Pendekatan

masalah yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif ini adalah

pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus

(case approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan

isu hukum yang sedang ditangani.92

Pendekatan kasus bertujuan untuk

mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik

hukum. Kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap

dampak dimensi penormaan dari suatu aturan hukum dalam praktik hukum,

serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam

eksplanasi hukum.93

91

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media,

Malang, 2008, hlm.306. 92

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 93. 93

Johnny Ibrahim, Op.cit., hlm. 321.

Page 71: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

62

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif, merupakan

suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau gejala

dari objek yang diteliti tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku

umum. Penelitian deskriptif adalah penelitian untuk memberikan data yang

seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya dengan

membatasi permasalahan dan pendekatannya. Penelitian yang dilakukan

hanya menggambarkan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan

dengan teori-teori hukum dan kesesuaian dengan praktik pelaksanaannya.94

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal

Soedirman dan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman serta media elektronik dengan menggunakan internet.

4. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini hanya menggunakan data

sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan

dokumentasi. Data sekunder adalah data pustaka yang mencakup dokumen-

dokumen resmi, buku-buku kepustakaan, peraturan perundang-undangan,

karya ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan

materi penelitian.

94

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta, 1981, hlm. 10.

Page 72: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

63

Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier. Data sekunder meliputi:95

1) Bahan hukum primer yaitu bahan yang mempunyai kekuatan hukum

mengikat seperti: peraturan perundang-undangan, yurisprudensi,

traktat, dan perjanjian.

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang bersumber langsung dari

kepustakaan, doktrin, dan referensi ilmiah yang relevan dengan

penelitian.

3) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

dan penjelasan mengenai bahan yang sifatnya melengkapi kedua bahan

hukum di atas yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti kamus.

5. Metode Pengumpulan Data

Bahan hukum diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi

peraturan perundang-undangan, konvensi-konvensi internasional, dokumen

resmi, dan literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian ini hanya

menggunakan data sekunder dan proses pengumpulan data dengan studi

kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, dan telaah karya ilmiah

sarjana.

95

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjuan Singkat, Rajawali,

Jakarta, 1985, hlm.15.

Page 73: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

64

6. Metode Penyajian Data

Data yang diperoleh berupa bahan-bahan hukum disajikan secara

deskriptif dalam bentuk teks naratif, yaitu uraian-uraian yang disusun secara

sistematis, logis dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh dihubungkan

satu dengan lainnya dan disesuaikan dengan pokok permasalahan yang

diteliti sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.

7. Metode Analisis Data

Metode analisis ini mempergunakan metode secara normatif kualitatif,

yaitu analisis yang dilakukan dengan cara memahami dan merangkai bahan

hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis dan diuraikan

dengan secara bermutu dalam kalimat yang teratur, runtut, dan logis,

kemudian ditarik kesimpulan.

Page 74: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

65

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Perang Korea adalah perang yang terjadi di Semenanjung Korea antara

Korea Utara dengan dukungan Uni Soviet beserta Republik Rakyat China

melawan Korea Selatan dengan dukungan Amerika Serikat beserta pasukan

koalisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlangsung selama tiga

tahun yaitu pada tahun 1950 – 1953. Awal dari perseteruan di Korea dimulai

dari masuknya kekuatan asing ke dalam negeri tersebut setelah kolonialisasi

Jepang melalui sebuah pertemuan oleh para pemimpin Blok Sekutu pada

bulan November hingga Desember 1943. Rapat yang diselenggarakan di

Kairo dan diberi sandi Sextant ini dihadiri oleh Franklin Delano Roosevelt,

Winston Churchill, dan Chiang Kai Sek guna membahas hal-hal yang perlu

dilakukan seandainya Jepang kalah dalam perang.

Hasil dari pertemuan rahasia tersebut kemudian dikenal dengan

Deklarasi Kairo menyebutkan bahwa Jepang nantinya tidak diperbolehkan

lagi memiliki atau menguasai semua wilayah yang diperoleh dengan kekuatan

Page 75: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

66

militer setelah tahun 1895 yang di dalamnya termasuk Semenanjung Korea.

Deklarasi Kairo memuat ketentuan sebagai berikut:96

The several military missions have agreed upon future military operations

against Japan. The Three Great Allies expressed their resolve to bring

unrelenting pressure against their brutal enemies by sea, land, and air.

This pressure is already mounting.The Three Great Allies are fighting this

war to restrain and punish the aggression of Japan. They covet no gain for

themselves and have no thought of territorial expansion. It is their purpose

that Japan shall be stripped of all the islands in the Pacific which she has

seized or occupied since the beginning of the first World War in 1914, and

that all the territories Japan has stolen form the Chinese, such as

Manchuria, Formosa, and the Pescadores, shall be restored to the

Republic of China. Japan will also be expelled from all other territories

which she has taken by violence and greed. The aforesaid three great

powers, mindful of the enslavement of the people of Korea, are determined

that in due course Korea shall become free and independent. With these

objects in view the three Allies, in harmony with those of the United

Nations at war with Japan, will continue to persevere in the serious and

prolonged operations necessary to procure the unconditional surrender of

Japan.

Oleh karena itu, Korea kelak akan menjadi negara yang bebas dan

merdeka (in due course). Deklarasi Kairo memuat ketentuan bahwa Amerika

Serikat, Inggris, dan China tidak memiliki rencana apapun terhadap

Semenanjung Korea walaupun dalam praktiknya pihak Amerika tidak

memberikan pernyataan ketika pemerintahan pengasingan Korea bertanya

mengenai pengertian rumusan in due course yang masih belum jelas.97

96

Lilian Goldman Law Library, Cairo Conference 1943, dalam

http://www.ndl.go.jp/constitution/e/shiryo/01/002_46/002_46tx.html, diakses 20 Agustus 2014. 97

Djati Prihantono, Perang Korea: Konflik Dua Saudara, Mata Padi Pressindo,

Yogyakarta, 2013, hlm. 9.

Page 76: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

67

Selanjutnya dalam Konferensi Yalta di Krimea bulan Februari 1945

dibahas tentang pembentukan perwalian (trusteeship) oleh empat negara di

Korea setelah Jepang menyerah yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris,

dan China. Namun, nasib Korea tidak dibahas lebih lanjut dalam konferensi

tersebut sehingga Konferensi Yalta tidak merumuskan kesepakatan mengenai

masa depan Korea. Pada Juli 1945 diadakan Pertemuan kembali di Potsdam

yang dikenal dengan Konferensi Potsdam untuk membahas tuntutan terhadap

Jepang untuk menyerah tanpa syarat, termasuk pelaksanaan Deklarasi Kairo.

Keputusan tersebut didukung penuh oleh Uni Soviet dan memberikan janji

kemerdekaan pada Korea.98

Pada Konferensi Potsdam, Sekutu secara sepihak membelah wilayah

Korea tanpa mengikutsertakan pihak Korea. Keputusan tersebut dinilai

menyalahi Deklarasi Kairo yang menyebutkan bahwa Korea harus menjadi

negara yang bebas dan merdeka. Oleh karena itu, sejak berakhirnya kekuasaan

Jepang wilayah Korea terpisah menjadi dua bagian melalui garis 38th

Parallel

yang dilakukan tanpa pernyataan resmi, dimana pada bagian utara dikuasai

oleh Uni Soviet dan bagian selatan dikuasai oleh Amerika Serikat. Konferensi

Potsdam memuat ketentuan sebagai berikut:99

98

Idem, hlm.10. 99

Wikipedia, Potsdam Declaration, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Potsdam_Declara

tion, diakses 10 September 2014.

Page 77: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

68

For Japan, the terms of the declaration specified:

a. the elimination "for all time of the authority and influence of those

who have deceived and misled the people of Japan into embarking

on world conquest"

b. the occupation of "points in Japanese territory to be designated by

the Allies"

c. that the "Japanese sovereignty shall be limited to the islands

of Honshu, Hokkaido, Kyushu, Shikoku, and such minor islands as

we determine," as had been announced in the Cairo Declaration in

1943.

d. that "[t]he Japanese military forces, after being completely

disarmed, shall be permitted to return to their homes with the

opportunity to lead peaceful and productive lives."

e. that we do not intend that the Japanese shall be enslaved as a race

or destroyed as a nation, but stern justice shall be meted out to

all war criminals, including those who have visited cruelties upon

our prisoners.

Amerika Serikat segera merealisasikan isi dari Konferensi Postdam

melalui Perintah Umum No. 1 tanggal 11 Agustus 1945 segera setelah Jepang

menyerah kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Perintah tersebut

menyatakan agar seluruh pasukan Jepang yang masih berada di utara garis

paralel ke 38 (38th Parallel) untuk menyerahkan diri kepada Uni Soviet

sedangkan yang berada di selatan takluk pada Amerika Serikat. Kutipan

Perintah Umum No. 1 tanggal 11 Agustus 1945 tentang pemisahan Korea

memuat ketentuan sebagai berikut:100

Excerpt of the General Order No. 1 for the Surrender of Japan:

a. The senior Japanese commanders and all ground, sea, air and auxiliary

forces within China (excluding Manchuria), Formosa and French

Indo-China north of 16° north latitude shall surrender to

Generalissimo Chiang Kai-shek.

100

Wikipedia, General Order No. 1, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/General_Order_

No._1, diakses 10 September 2014.

Page 78: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

69

b. The senior Japanese commanders and all ground, sea, air and auxiliary

forces within Manchuria, Korea north of 38° north latitude and

Karafuto shall surrender to the Commander in Chief of Soviet Forces

in the Far East.

c. The senior Japanese commanders and all ground, sea, air and auxiliary

forces within the Andamans, Nicobars, Burma, Thailand, French Indo-

China south of 16 degrees north latitude, Malaya, Borneo,

Netherlands Indies, New Guinea, Bismarcks and the Solomons, shall

surrender to the Supreme Allied Commander, Southeast Asia

Command.

d. The senior Japanese commanders and all ground, sea, air and auxiliary

forces in the Japanese Mandated Islands, Ryukyus, Bonins, and other

Pacific Islands shall surrender to the Commander in Chief, U.S.

Pacific Fleet.

e. The Imperial General Headquarters, its senior commanders, and all

ground, sea, air and auxiliary forces in the main islands of Japan,

minor islands adjacent thereto, Korea south of 38° north latitude, and

the Philippines shall surrender to the Commander in Chief, U. S. Army

Forces in the Pacific.

Alasan pemisahan wilayah tersebut disebutkan bahwa Uni Soviet

sudah terlebih dahulu memasuki wilayah Korea Utara, sebagai upaya

pencegahan agar Korea tidak dikuasai seluruhnya oleh Uni Soviet maka

dilakukan pemisahan dengan tanda garis 38th

Parallel yang tepat membagi

Semenanjung Korea menjadi dua bagian.101

Semenjak pemisahan tersebut

kekuasaan Korea berada di bawah pemerintahan militer yang secara langsung

mengontrol Korea Selatan dengan membentuk USAMGIK (United States

Army Military Government in Korea) pada tahun 1945-1948. Ada dua

kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan USAMGIK, yaitu

mengembalikan kekuasaan administrator-administrator kunci kolonial Jepang

101

Efzhuaska, Op.cit., dalam http://efzhuaska.blogspot.com/2012/04/sejarah-perang-

korea.html, diakses 12 Maret 2014.

Page 79: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

70

dan menolak pengakuan terhadap pemerintahan sementara yang berkuasa di

Semenanjung Korea karena dianggap sebagai Komunis. Kebijakan tersebut

memunculkan gejolak dalam masyarakat Korea yang berujung pada revolusi

di selatan.102

Pada Bulan September 1947, Amerika Serikat membawa persoalan

unifikasi Korea ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kebanyakan anggota

PBB berpihak pada Blok Barat pada saat itu sehingga Majelis Umum PBB

kemudian memberikan suara mendukung Amerika Serikat dengan

mengeluarkan resolusi yang menetapkan diadakannya Pemilu (Pemilihan

umum) di seluruh Korea untuk membentuk sebuah pemerintahan nasional di

negeri itu dengan pengawasan Komisi Sementara PBB untuk Korea yaitu

UNTCOK (United Nations Temporary Commision on Korea) yang bertugas

untuk mengawasai jalannya Pemilu. Ada tiga hal yang ingin dicapai dalam

pemilu tersebut yaitu memilih anggota Majelis Nasional, membentuk sebuah

pemerintahan, dan mengatur penarikan semua tentara pendudukan dari Korea.

Uni Soviet menolak diadakannya pemilihan umum yang diawasi PBB di Utara

karena apabila Korea diizinkan menyelenggarakan pemilihan yang betul-betul

bebas maka bangsa itu akan memilih pemerintahan yang pro pada Blok Barat.

102

Djati Prihantono, Op.cit., hlm. 11-13.

Page 80: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

71

Oleh karena itu, pemilihan umum hanya dilaksanakan di wilayah selatan 38th

Parallel.103

Pada tanggal 20 Juli 1948, Syngman Rhee ditetapkan menjadi Presiden

Korea Selatan dari hasil pemilihan umum dan Republik Korea Selatan resmi

dibentuk pada tanggal 15 Agustus 1948. Korea Selatan merupakan satu-

satunya pemerintahan yang sah resmi diakui oleh PBB di Semenanjung

Korea. Melihat kenyataan bahwa Korea bagian selatan telah memiliki

pemerintahan yang resmi, Uni Soviet tidak tinggal diam, pada 18 November

1947 dibentuk Majelis Rakyat Tertinggi Korea dengan mengangkat Kim Il

Sung sebagai Perdana Menteri. Pada 9 September 1948 kawasan di sebelah

utara 38th Parallel resmi menjadi sebuah Negara yaitu Korea Utara (Republik

Demokrasi Rakyat Korea).104

Setelah Korea Utara dan Korea Selatan resmi terbentuk, pihak

Amerika Serikat secara bertahap mulai meninggalkan Korea Selatan dan

hanya menyisakan sedikit tentara untuk melatih tentara Korea Selatan yang

baru terbentuk. Korea Selatan sangat kekurangan tentara, senjata, dan

pertahanan militer dalam menjaga kedaulatan negaranya. Di lain pihak, Korea

Utara telah meningkatkan kekuatan militernya melalui bantuan Uni Soviet

dengan mengorganisasikan sekitar 20.000 personel militer. Tentara Korea

Utara telah diperkuat dan dilatih oleh Uni Soviet sebelum meninggalkan

103

Nino Oktorino, Konflik Bersejarah Perang Yang Tidak Boleh Dimenangkan: Kisah

Perang Korea 1950-1953, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2013, hlm. 11. 104

Djati Prihantono Op.cit., hlm. 13-16.

Page 81: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

72

Korea Utara pada Desember 1948. Korea Selatan dan Korea Utara sebenarnya

memiliki keinginan untuk mempersatukan Korea, namun Kim Il Sung

menyatakan bahwa persatuan Korea hanya mungkin dilakukan dengan jalan

kekerasan agar kaum komunis dapat menguasai seluruh Korea. Kondisi Korea

Selatan yang tidak stabil dan pertikaian politik di dalam negerinya oleh rezim

pemerintahan Syngman Rhee yang sewenang-wenang membuat keadaan

semakin kacau dan memanas sehingga mendorong Korea Utara untuk

melakukan invasi ke Korea Selatan.105

Pada tanggal 25 Juni 1950, 110.000 pasukan Korea Utara yang

didukung oleh persenjataan lengkap menyebrangi garis 38th

Parallel dan

memulai invasinya ke Korea Selatan. Penyerbuan Korea Utara tersebut

langsung mendapatkan reaksi Amerika Serikat dengan meminta Dewan

Keamanan PBB segera bersidang agar kekuatan militer Amerika Serikat

dipertahankan. Alasan tersebut dengan dalih untuk mencegah Korea Utara

melakukan intervensi terhadap evakuasi warga Amerika dari Seoul dan

Incheon. Penugasan militer tersebut pada akhirnya diputuskan secara sepihak

oleh Presiden Truman tanpa mengacu pada ketentuan-ketentuan PBB.

Latar belakang penyerbuan Korea Utara terhadap Korea Selatan belum

diketahui secara jelas karena terdapat banyak spekulasi dan pendapat. Ada

pendapat yang menyebutkan bahwa Korea Selatan yang memulai serangan

atas dasar reunifikasi seperti yang diinginkan oleh Presiden Syngman Rhee.

105

Ibid.

Page 82: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

73

Pihak Korea Utara berasalan bahwa Tentara Republik Korea di bawah

kepemimpinan Syngman Rhee telah menyebrangi perbatasan terlebih dahulu.

Invasi tersebut dilakukan untuk menangkap pasukan Korea Selatan yang

sebelumnya menyerang di perbatasan dan melarikan diri. Serangan Korea

Utara juga merupakan balasan atas berbagai provokasi yang sering dilakukan

oleh Korea Selatan di perbatasan. Namun, pendapat tersebut dibantah karena

pada kenyataannya kekuatan Korea Utara lebih besar dan terkoordinasi untuk

suatu serangan balasan.106

Selain itu, terdapat alasan kuat invasi Korea Utara

disebabkan oleh pernyataan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Dean

Acheson melalui pidatonya mengenai kebijakan pertahanan Amerika Serikat

di Asia pada tanggal 12 Januari 1950 yang mengecualikan Korea dan Formosa

dari garis pertahanan Amerika sehingga memicu pihak Komunis untuk

merebut Korea Selatan yang berdiri sendiri dalam rangka penyatuan Korea.107

Serangan Korea Utara yang mendadak dari arah utara dan barat garis

38th

Parallel serta kondisi Korea Selatan yang lemah dalam pertahanan dan

keamanan mengakibatkan Seoul harus jatuh ke tangan Korea Utara. Pemimpin

Korea Utara Kim Il Sung menyiarkan berita penyerbuan pasukannya ke Korea

Selatan melalui Radio Pyongyang dengan pesan sebagai berikut:108

Boneka Korea Selatan telah menolak semua cara damai untuk penyatuan

damai kembali yang diusulkan oleh Republik Demokratik Rakyat Korea,

dan malah berani-beraninya melakukan agresi bersenjata ke utara garis

106

Idem, hlm. 28-29. 107

Nino Oktorino, Op.cit., hlm. 15-16. 108

Djati Prihantono, Op.cit., hlm. 35.

Page 83: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

74

38th

Parallel. Republik Demokrasi Rakyat Korea memerintahkan serangan

balasan untuk memukul mundur pasukan penyerbu. Korea Selatan akan

dituntut pertanggungjawabannya, apapun hasil dari perkembangannya saat

ini.

Melihat keadaan demikian, Amerika Serikat tidak tinggal diam,

Jenderal Douglas MacArthur yang berada di Tokyo ditugaskan untuk

memimpin pasukannya ke Semenanjung Korea. Keterlibatan Amerika Serikat

dalam Perang Korea awalnya tidak diketahui oleh rakyat Amerika secara

umum, namun berita jatuhnya ibu kota Korea Selatan ini akhirnya diketahui

oleh Negara-negara di seluruh dunia. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-

Bangsa (DK PBB) mengutuk serangan Korea Utara ke Korea Selatan dan

meminta Negara-negara anggotanya menyiapkan pasukan untuk membantu

pihak Korea Selatan. Niat PBB untuk mengintervensi Perang Korea lewat

jalur militer merupakan pengaruh politik Amerika Serikat di PBB yang

sebenarnya dapat digagalkan oleh Uni Soviet sebagai salah satu anggota DK

PBB yang memegang hak veto. Namun, Uni Soviet memilih untuk

memboikot sidang PBB pada periode itu karena PBB lebih memilih untuk

menempatkan Taiwan daripada China sebagai anggota Dewan Keamanan

tetap PBB. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi DK PBB nomor

83 tertanggal 27 Juni 1950 yang memuat ketentuan sebagai berikut:109

109

UN Security Council, Resolution 83 (1950) of 27 June 1950, dalam

http://www.refworld.org/cgi-bin/texis/vtx/rwmain?docid=3b00f20a2c, diakses 9 September 2014.

Page 84: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

75

The Security Council,

Having determined that the armed attack upon the Republic of Korea by

forces from North Korea constitutes a breach of the peace, Having called

for an immediate cessation of hostilities, Having called upon the authorities

in North Korea to withdraw forthwith their armed forces to the 38th

parallel, Having noted from the report of the United Nations Commission on

Korea that the authorities in North Korea have neither ceased hostilities nor

withdrawn their armed forces to the 38th parallel, and that urgent military

measures are required to restore international peace and security, Having

noted the appeal from the Republic of Korea to the United Nations for

immediate and effective steps to secure peace and security,

Recommends that the Members of the United Nations furnish such

assistance to the Republic of Korea as may be necessary to repel the armed

attack and to restore international peace and security in the area.

Setelah muncul resolusi dari PBB, ada 21 negara yang bersedia

mengirimkan personil militernya ke dalam pasukan PBB. Ke-21 negara

tersebut adalah Amerika Serikat (AS), Inggris Raya, Afrika Selatan, Australia,

Belgia, Denmark, Ethiopia, India, Italia, Kanada, Norwegia, Perancis,

Filipina, Kolombia, Yunani, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Swedia,

Thailand, dan Turki. Negara yang paling banyak menyumbangkan personil

militernya adalah Amerika Serikat dari sekian banyak Negara yang terlibat

dalam Perang Korea. Pemimpin dari pasukan koalisi PBB juga merupakan

orang berkebangsaan Amerika Serikat, yaitu Jenderal Douglas MacArthur.110

Pada 1 Juli 1950, pasukan Amerika bersama koalisi PBB dari Jepang

tiba di Korea dan langsung didaratkan di Taejon. Sementara itu, pihak Korea

Utara terus bergerak dan langsung berhadapan dengan pasukan Amerika

110

Rep. Eusialis, Perang Korea: Konflik Ideologi yang Membelah Semenanjung,

http://republik-tawon.blogspot.com/2012/10/perang-korea-konflik-ideologi-yang.html, diakses 18

Maret 2014.

Page 85: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

76

Serikat yang baru saja didaratkan. Keadaan Korea Selatan yang telah semakin

terjepit membuat Amerika Serikat harus secara cepat menyusun strategi

menghadapi serangan Korea Utara. Formasi pasukan Amerika Serikat

berjumlah 75.000 personel yang terdiri dari pasukan Korea Selatan dan tentara

Amerika Serikat bersiap melakukan serangan balasan. Posisi Korea Utara

yang sudah terlanjur kuat membuat pasukan Amerika mundur dari wilayah

Taejon ke Pusan. Pusan adalah Ibu kota darurat Korea Selatan setelah

sebelumnya Seoul berhasil dikuasai Korea Utara. Keadaan semakin

mencekam manakala pasukan Korea Utara telah mencapai perbatasan Pusan

sehingga pasukan Amerika Serikat membuat garis pertahanan akhir (Perimeter

Pusan) yang akan menentukan nasib Korea Selatan ke depan.

Pusan merupakan kota pelabuhan paling ujung selatan di Semenanjung

Korea dengan kondisi geografis pegunungan serta terdapat sungai yang

memisahkan antara dataran tinggi dan dataran rendahnya yaitu Naktong River

(Sungai Naktong). Pusan merupakan pusat pertahanan pasukan PBB yang

didukung oleh Amerika Serikat. Letaknya yang dekat dengan Jepang dan Laut

membuat suplai logistik serta pasukan mudah untuk didatangkan. Kekuatan

pasukan Amerika Serikat semakin besar dengan dukungan kondisi alam dan

logistik yang mumpuni, namun Korea Utara berhasil menguasai kawasan vital

yaitu Cloverleaf Hill dan Naktong River yang merupakan tempat terakhir

pertahanan Korea Selatan. Kondisi demikian membuat pasukan Amerika yang

Page 86: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

77

terjepit melakukan serangan balik secara cepat dengan mendatangkan pasukan

tambahan sehingga pasukan Korea Utara berhasil dipukul mundur dari

Naktong River. Pertempuran Pusan merupakan titik balik dari peperangan

yang menandai awal bangkitnya kekuatan Korea Selatan dalam Perang Korea.

Korea Utara berhasil memukul mundur pasukan koalisi Amerika

Serikat-PBB dan Korea Selatan ke ujung daerah paling selatan Semenanjung

Korea. Pasukan koalisi Amerika Serikat-PBB dan Korea Selatan hanya

menguasai 10 persen dari keseluruhan wilayah Semenanjung Korea yang

kemudian menjadi garis pertahanan terakhir Korea Selatan (Perimeter Pusan).

Perimeter Pusan ini digunakan untuk memulai rencana serangan balik yang

disebut dengan Operasi Chromite oleh Jenderal MacArthur, yaitu operasi

bersenjata dengan melakukan pendaratan di Incheon yang merupakan

serangan tiba-tiba dari belakang garis pertahanan musuh. Operasi Chromite

ditentang oleh sebagian Pemerintah Amerika Serikat karena merupakan

operasi yang dianggap akan menyebabkan banyak korban di pihak Amerika

Serikat. Jenderal MacArthur dengan keyakinan kuat menegaskan bahwa

rencana perangnya akan menyerupai operasi pendaratan sekutu di Normandia

pada saat Perang Dunia II, operasi tersebut merupakan titik awal kemenangan

Sekutu terhadap Jerman dalam Perang Dunia II.

Page 87: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

78

Pada 13 September 1950, Amerika memulai Operasi Chromite dengan

pendaratan pasukan di pantai Incheon. Operasi Chromite melibatkan seluruh

kekuatan Amerika Serikat dengan mengerahkan kekuatan militer darat, laut,

dan udara. Ada tiga tahapan misi yang ingin dicapai dalam Operasi Chromite,

yaitu:111

a. Mensterilkan Pulau Wolmi yang merupakan pulau paling strategis

karena letaknya dekat dengan Seoul serta mengamankan pelabuhan

Incheon.

b. Menguasai landasan pesawat Gimpo yang letaknya di sebelah selatan

Seoul. Pangkalan ini menjadi basis pertahanan pesawat tempur

Amerika Serikat-PBB sehingga lebih leluasa melancarkan serangan

udara ke wilayah Korea.

c. Menyerbu sekaligus menguasai Seoul yang merupakan Ibu kota Korea

Selatan.

Pulau Wolmi berhasil dikuasai oleh Amerika Serikat dalam hitungan

hari walaupun mendapat perlawanan dari Korea Utara. Perebutan Pulau

Wolmi dilakukan tanpa menimbulkan banyak korban jiwa dari pihak Amerika

Serikat. Operasi berlanjut dengan penyerbuan lapangan terbang Gimpo yang

dapat dikuasai pada tanggal 18 September 1950 sehingga dapat difungsikan

sebagai pusat pangkalan strategis bagi pesawat tempur Amerika Serikat-PBB.

Operasi Chromite telah berhasil merebut Pulau Wolmi, Pelabuhan Incheon,

111

Djati Prihantono, Op.cit., hlm. 54-55.

Page 88: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

79

dan Lapangan Terbang Gimpo. Sasaran selanjutnya dari Operasi Chromite

adalah merebut Seoul, pada pertempuran Seoul strategi perang yang dilakukan

oleh Amerika Serikat berbeda dengan yang sebelumnya yaitu peperangan

jarak dekat. Seoul adalah wilayah penting baik secara politik maupun militer

bagi kedua belah pihak yang bertikai. Korea Utara secara membabi buta

mempertahankan kota Seoul dari serbuan pasukan Amerika Serikat-PBB,

meski demikian secara perlahan Seoul dapat dikuasai. Terdapat serangkaian

peristiwa menyedihkan yang berujung pada tragedi kemanusiaan selama

perang di Seoul yaitu terjadi pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh

Korea Utara terhadap warga sipil Seoul sehingga kota Seoul menjadi ladang

pembantaian bagi warga sipil maupun tawanan perang Korea Utara. Kota

Seoul berhasil dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Amerika Serikat-PBB pada

tanggal 22 September 1950.112

Setelah Seoul berhasil dikuasai, timbul kekhawatiran di pihak Korea

Utara, mental dan kekuatan pasukan Korea Utara melemah hingga Korea

Selatan berhasil dikuasai sepenuhnya di bawah garis 38th

Parallel seperti pada

keadaan sebelum perang. Seluruh pasukan Korea Utara perlahan-lahan

mundur ke utara garis 38th

Parallel hingga terdesak sampai Manchuria yang

dekat dengan perbatasan China. Tentara Korea Utara sampai melewati sungai

Yalu di perbatasan China untuk menyelamatkan diri dari serangan pasukan

Amerika Serikat-PBB. Keadaan tersebut membuat China merasa negaranya

112

Idem, hlm 57-60.

Page 89: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

80

dalam ancaman, hingga dirasa perlu mengangkat senjata untuk membantu

Korea Utara dengan menerjunkan kekuatan militernya menghadapi pasukan

Amerika Serikat-PBB. Pihak China dan Soviet juga telah mengkoordinasikan

usaha-usaha untuk membantu Korea Utara menyatukan Korea dengan

kekerasan pada saat kunjungan Mao Zhe Dong ke Moskow pada tahun 1949-

1950 sehingga ketika terjadi Perang Korea, sejumlah besar Tentara

Pembebasan Rakyat China telah disiagakan di dekat perbatasan China-Korea

Utara.113

China mulai memasuki wilayah Korea pada tanggal 13 Oktober 1950,

keadaan tersebut membuat kaget Amerika Serikat karena sebelumnya beredar

kabar bahwa China tidak akan mungkin melakukan intervensi besar-besaran

terhadap Korea. People’s Liberation Army (PLA) adalah tentara pembebasan

rakyat China yang diterjunkan sebanyak 400.000 pasukan ke medan perang

Korea. Serangan pertama dimulai pada tanggal 25 Oktober 1950 yang

membuat seluruh pertahanan pasukan gabungan Amerika Serikat-PBB di

Korea Utara hancur dan mundur sampai ke belakang garis 38th

Parallel.

Serangan militer China mencapai puncaknya ketika korban jiwa di pihak

Amerika Serikat-PBB mulai berjatuhan dan wilayah yang menjadi sengketa

tidak bergeser hingga menjadi sebuah kebuntuan perang (stalemate). Fase

pertempuran berikutnya tetap menjadi sebuah pertempuran darah antara para

pihak yang bertikai karena hanya menimbulkan korban tanpa ada kemajuan

113

Nino Oktorino, Op.cit., hlm. 23.

Page 90: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

81

operasi perang. Perang antara PLA melawan pasukan koalisi Amerika Serikat-

PBB berlangsung selama hampir tiga tahun sampai pada tanggal 10 Juli 1953

sebelum diadakannya perundingan gencatan senjata.

Selama Perang Korea berlangsung Uni Soviet memegang peranan

yang penting bagi kesuksesan Korea Utara dan China sebagai penyandang

dana, pemasok perlengkapan militer, dan pemegang kebijakan politik China

maupun Korea Utara. Gagasan perundingan gencatan senjata dimulai pada

Mei 1951, yaitu diadakannya pertemuan rahasia antara perwakilan Amerika

Serikat dengan Uni Soviet. Perundingan tersebut menghasilkan sebuah

kesepakatan dari Uni Soviet bahwa pihaknya akan menyetujui serta membuka

diskusi perdamaian antara Korea Utara, China, dan Amerika Serikat-PBB.

Pada 10 Juli 1951 perundingan lanjutan direncanakan akan diadakan di

Kaesong, namun karena keselamatan para delegasi perang tempat

perundingan dialihkan ke Kota Panmunjom. Kota Panmunjom terletak di

sebelah barat Kaesong atau 52 kilometer barat-laut Seoul. Tim perundingan

PBB dipimpin oleh Komandan Angkatan Laut Amerika Laksamana Charles

Turner Joy dengan Jenderal China Hsieh Fang dan Teng Hua serta para

petinggi militer Korea yaitu Jenderal Nam Il, Jenderal Lee Sang Cho, dan

Jenderal Chang Pyong San.114

114

Djati Prihantono, Op.cit., hlm. 90.

Page 91: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

82

Perundingan Panmunjom merupakan perundingan damai terlama

sepanjang sejarah karena memakan waktu 25 bulan dan dilakukan dalam

keadaan para pihak yang masih tengah bertempur. Perundingan Panmunjom

mencapai kesepakatan pertama pada April 1953 yaitu mengenai pertukaran

tawanan perang yang dikenal sebagai Operation Little Switch. Kesepakatan

kedua dicapai pada bulan Juni 1953 adalah para pihak setuju membentuk

Neutral Nations Repatriation Commission (Komisi Repatriasi Negara Netral)

untuk mengawasi pengembalian tawanan perang. Perjanjian perdamaian

berupa gencatan senjata tercapai sepenuhnya pada 27 Juli 1953. Perjanjian

tersebut memuat bahwa kedua Korea akan tetap dipisahkan oleh garis 38th

Parallel dan batas wilayah Korea Utara menjadi lebih kecil yaitu 21.000 mil

daripada sebelum Perang Korea terjadi. Panmunjom yang menjadi tempat

ditandatanganinya perjanjian perdamaian gencatan senjata secara de facto

menjadi batas antara Korea Utara dan Korea Selatan dengan ditandai

Demilitarized Zone (DMZ).115

Perang Korea disebut sebagai perang yang dimandatkan (Proxy war).

Di Amerika Serikat, perang ini secara resmi dideskripsikan sebagai aksi

polisional karena tidak adanya deklarasi perang resmi dari Kongres AS.

Perang ini juga sering disebut perang yang terlupakan dan perang yang tidak

diketahui karena dianggap sebagai urusan PBB yang berakhir dengan

kebuntuan (stalemate). Perang tersebut hingga saat ini sebenarnya masih

115

Idem, hlm. 91-92.

Page 92: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

83

berlangsung karena masih belum adanya kesepakatan damai yang jelas antara

pihak-pihak yang berperang. Perang Korea merupakan tragedi kemanusiaan

yang terjadi hanya beberapa tahun setelah Perang Dunia II, perang tersebut

merupakan kelanjutan aksi pertama Perang Dingin karena Kubu yang

membantu atas nama PBB sesungguhnya adalah pasukan sekutu yang

dimotori oleh Amerika Serikat mempunyai kepentingan untuk menghadang

pengaruh ideologi komunis di Korea. Pihak yang lain muncul untuk

memberikan dukungan atas kesamaan ideologi komunisnya yaitu Uni Soviet

dan China dalam menghadang pengaruh Ideologi Kapitalisme-Liberal.

Seluruh komponen di Semenanjung Korea sebenarnya menginginkan

untuk membentuk unifikasi Korea, namun perbedaan ideologi yang dianut

oleh berbagai komponen di Korea membuat proses unifikasi menjadi sulit

karena masing-masing kubu memiliki strategi, cara, dan gagasan tersendiri

dalam mempersatukan Korea. Perbedaan tersebut menciptakan dua kubu yang

saling berkonflik dengan pendukungnya masing-masing. Perang Korea

merupakan peristiwa besar dalam sejarah militer dunia, konflik yang awalnya

merupakan perang saudara (civil war) berkembang menjadi sebuah perang

konvensional ketika banyak pihak turut mengintervensi dua negara yang

bersengketa tersebut.

Page 93: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

84

B. Pembahasan

Korea adalah sebuah Negara yang dijajah oleh Jepang dari tahun 1910

sampai 1945, Korea menjadi terpisah karena intervensi kekuatan Negara lain

yang mempunyai kepentingan terhadap negara tersebut. Korea dipisahkan

menjadi dua bagian melalui garis 38th

Parallel, yaitu garis 38 derajat lintang

utara yang sengaja dibuat oleh Sekutu dalam Konferensi Postdam pada Juli -

Agustus 1945. Pemisahan kedua Korea dilakukan tanpa melibatkan pihak

Korea. Keputusan tersebut dinilai menyalahi ketentuan dalam Deklarasi Kairo

yang sebelumnya telah disepakati Sekutu bahwa Korea akan menjadi Negara

yang bebas dan merdeka. Setelah terpisah, kedua Korea resmi merdeka dan

membuat pemerintahannya masing-masing, di mana Korea bagian utara 38th

Parallel menjadi Negara Korea Utara dan di bagian selatan garis 38th Parallel

menjadi Negara Korea Selatan.

Hal tersebut menandakan bahwa Korea Utara maupun Korea Selatan

menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat karena pada hakikatnya

Negara merupakan pribadi terpenting (principle person) dalam hukum

internasional dan memiliki kedaulatan sehingga memiliki hak eksklusif dan

bebas untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau diri

sendiri karena konsep kedaulatan berkaitan dengan pemerintahan yang

memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya di dalam suatu wilayah atau

batas teritorial atau geografisnya, dan dalam konteks tertentu, terkait dengan

Page 94: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

85

berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum sendiri.

Pernyataan ini mengandung suatu pengertian bahwa bangsa dalam suatu

negara yang merdeka memiliki kewenangan atau kekuasaan secara eksklusif

dan bebas melakukan berbagai kegiatan kenegaraan sesuai kepentingannya,

asalkan kegiatan atau kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan

kepentingan negara lain dan hukum internasional.116

Merdeka dan memiliki pemerintahan yang berdaulat tidak serta merta

membuat situasi dan keadaan kedua Korea membaik, muncul berbagai

provokasi di perbatasan karena didasari niat menyatukan Korea. Niat

menyatukan kedua Korea dilakukan dengan cara penyelesaian sengketa secara

paksa atau dengan kekerasan. Korea Utara melakukan invasi pertama kali ke

wilayah Korea Selatan dengan jalan perang. Korea Utara menggunakan cara

penyelesaian sengketa secara paksa atau kekerasan karena beralasan bahwa

unifikasi Korea hanya akan mungkin terjadi dengan jalan kekerasan sehingga

Korea Utara jelas memiliki kepentingan dalam melancarkan invasinya ke

Korea Selatan.

Perang bertujuan untuk menaklukkan negara lawan sehingga negara

yang kalah tidak memiliki alternatif lain kecuali menerima syarat-syarat

penyelesaian yang ditentukan oleh negara pemenang perang. Penggunaan

cara-cara kekerasan atau paksaan dalam menyelesaikan suatu sengketa

dilarang oleh ketentuan dalam hukum internasional walaupun dimungkinkan

116

Jawahir Thontowi, Op.cit., hlm. 169.

Page 95: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

86

bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui jalan

kekerasan atau paksaan apabila penyelesaian sengketa secara damai tidak

tercapai kesepakatan. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa secara

kekerasan dibatasi dan dilarang oleh PBB dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB

yaitu semua anggota harus menyelesaikan persengketaan internasional dengan

jalan damai sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan

internasional, dan keadilan, tidak terancam.

Menurut Komisi Hukum Internasional, prinsip larangan atau

penggunaan kekerasan sebagaimana tersurat dalam Pasal 2 ayat (3) sudah

merupakan hukum internasional umum yang penerapannya sudah universal,

selengkapnya Komisi Hukum Internasional menyatakan: The principles

regarding the threat or use of force laid down in the charter are … rules of

general international law which are of today universal application.

Kewajiban menyelesaikan sengketa secara damai dijelaskan lebih

lanjut dalam Pasal 33 Piagam PBB, sebagai berikut:117

Pasal 33

Para pihak dalam suatu persengketaan yang tampaknya sengketa tersebut

akan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, harus

pertama-tama mencari penyelesaian dengan cara negosiasi (perundingan),

penyelidikan, mediasi, konsolidasi, arbitrase, pengadilan, menyerahkannya

kepada organisasi-organisasi atau badan-badan regional, atau dengan cara-

cara penyelesaian damai lainnya.

117

Pasal 33 Piagam PBB

Page 96: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

87

Korea Utara secara sepihak menyatakan bahwa latar belakang invasi

ke Korea Selatan adalah tindakan pembalasan terhadap provokasi Korea

Selatan sangat tidak beralasan dan tidak dapat dibenarkan menurut ketentuan

hukum internasional karena penyelesaian sengketa secara paksa hanya boleh

dilakukan apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian sengketa secara

damai. Mendasarkan pada fakta Perang Korea tahun 1950-1953, Korea Utara

menggunakan cara kekerasan tanpa memulai suatu penyelesaian sengketa

secara damai sebagaimana dinyatakan oleh Kim Il Sung sebagai pemimpin

tertinggi Korea Utara bahwa unifikasi Korea harus dan hanya dapat dilakukan

dengan cara kekerasan. Keputusan Korea Utara melakukan invasi ke Korea

Selatan dapat dinyatakan telah melanggar beberapa ketentuan hukum

internasional dalam penyelesaian sengketa hukum internasional sebagaimana

yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 33 Piagam PBB.

Invasi Korea Utara tersebut melanggar kedaulatan Korea Selatan dan

mengundang intervensi dari negara lain yang mempunyai kepentingan atas

ideologinya di Korea Selatan sehingga menyebabkan proses penyatuan Korea

menjadi terhambat. Hal tersebut dibuktikan dengan reaksi dari Amerika

Serikat sebagai sekutu Korea Selatan yang meminta Dewan Keamanan PBB

segera bersidang agar kekuatan militer Amerika Serikat dipertahankan di

wilayah Korea Selatan. Tujuan resmi penugasan ini adalah untuk mencegah

Korea Utara melakukan intervensi terhadap evakuasi warga Amerika dari

Page 97: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

88

wilayah Korea Selatan. Amerika Serikat secara sepihak memutuskan

penugasan militer tanpa memperhatikan ketentuan PBB. Amerika Serikat juga

telah mendatangkan berbagai perlengkapan militer beserta pasukan marinir

untuk menghadapi secara langsung serangan Korea Utara melalui

pengaruhnya di PBB.

Amerika Serikat pada kenyataannya tidak hanya berniat membantu

dalam penyelesaian konflik di Korea, namun Amerika Serikat juga

mempunyai kepentingan mempertahankan ideologinya di Korea Selatan

melalui serangkaian operasi dan bantuan militer. Latar belakang bantuan

Amerika Serikat terhadap Korea Selatan ini didasari oleh kekuatan komunis

yang sudah terlanjur kuat di seluruh wilayah Korea sehingga akan mengancam

stabilitas keamanan Amerika di Asia Timur. Syngman Rhee merupakan

Presiden Korea Selatan melawan pengaruh Amerika Serikat, namun karena

kekuatan politik Amerika Serikat yang terlanjur kuat dalam pemerintahan,

Korea Selatan seperti tunduk pada kebijakan Amerika Serikat.118

Uni Soviet dan China juga merupakan pihak yang secara langsung

terlibat melakukan intervensi dalam Perang Korea, Uni Soviet melalui

kekuatan politik dan militernya memberikan bantuan sebagai penyandang

dana, pemasok perlengkapan militer, dan pemegang kebijakan politik kepada

China dan Korea Utara dalam upaya penyatuan Korea. China sendiri

bertanggung jawab terhadap intervensi militer di Korea atas perintah Uni

118

Mochtar Lubis, Op.cit., hlm. 123.

Page 98: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

89

Soviet. Tindakan Uni Soviet didasari oleh kepentingan Negara tersebut

menguasai wilayah Korea dengan ideologi komunis. Melalui perundingan

secara tertutup pada bulan April 1950, Stalin sebagai pemimpin tertinggi Uni

Soviet mendesak Kim Il Sung sebagai pemimpin tertinggi Korea Utara untuk

menyerang Korea Selatan pada waktu yang telah ditentukan. Stalin memiliki

tiga alasan dalam dukungannya tersebut yaitu direbutnya Korea Selatan akan

memperkuat keamanan Uni Soviet di Asia Timur, kekhawatiran Stalin akan

ancaman Syngman Rhee yang akan segera menyerang Korea Utara sehingga

dapat menimbulkan suatu keadaan yang tidak terkontrol, dan suatu keyakinan

Stalin bahwa perang akan membuat China komunis semakin terikat dengan

Uni Soviet dan menjegal hubungan baik China dengan Amerika Serikat. 119

Tindakan Amerika Serikat beserta Pasukan Koalisi PBB

, Uni Soviet, dan China merupakan sebuah intervensi terhadap kedaulatan

Negara Korea melalui serangkaian operasi militer dan kebijakan politik secara

sepihak. Menurut Huala Adolf, intervensi adalah campur tangan secara

diktator oleh suatu Negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan

maksud baik untuk memelihara dan mengubah keadaan, situasi, atau barang di

negeri tersebut.120

Intervensi juga diartikan oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa

intervensi tidak berarti luas sebagai segala bentuk campur tangan Negara

asing dalam urusan satu negara, melainkan berarti sempit, yaitu suatu campur

119

Nino Oktorino, Op.cit., hlm. 22-23. 120

Huala Adolf, Op.cit., hlm. 36.

Page 99: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

90

tangan negara asing yang bersifat menekan dengan alat kekerasan (force) atau

dengan ancaman melakukan kekerasan, apabila keinginannya tidak terpenuhi.

Berdasarkan fakta dalam Perang Korea tahun 1950-1953, intervensi

Amerika Serikat beserta Pasukan Koalisi PBB, Uni Soviet, dan China

termasuk dalam intervensi yang dilarang menurut ketentuan hukum

internasional karena menurut Mahkamah Internasional suatu intervensi

dilarang oleh hukum internasional apabila merupakan campur tangan yang

berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara dibolehkan untuk

mengambil keputusan secara bebas (misalnya mengenai sistem politik atau

ekonomi atau penganutan politik luar negerinya sendiri), dan campur tangan

itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara

paksa, khususnya kekerasan (misalnya memberikan dukungan secara tidak

langsung terhadap aktivitas-aktivitas subversif terhadap negara yang menjadi

tujuan intervensi tersebut).121

Suatu tindakan oleh Negara yang juga dikatakan

sebagai intervensi atau tindakan campur tangan yang dilarang dalam hukum

internasional adalah bila tindakan tersebut bertentangan dengan kehendak

negara dan mengurangi kedaulatan suatu negara.122

121

J.G Starke, Op.cit., hlm. 135-136. 122

Anwar, M., Intervensi Suatu Negara Terhadap Kelompok Separatis, dalam

http://alaric-one.blogspot.com/2012/06/intervensi-suatu-negara-terhadap.html, diakses 14 Mei

2014.

Page 100: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

91

Intervensi Amerika Serikat beserta Pasukan Koalisi PBB dapat

dikategorikan sebagai intervensi yang bersifat subversif karena tujuannya

adalah sebagai aktivitas propaganda untuk menghalau pengaruh ideologi

komunis di Korea. Intervensi Amerika Serikat dalam Perang Korea tahun

1950-1953 dikategorikan oleh J.G Starke sebagai Internal Intervention karena

dilakukan dengan cara melibatkan diri sebagai penyokong atau pendukung

suatu pemberontakan, peperangan, atau konflik politik di Negara lain dengan

cara yang diktator.

Amerika Serikat berperan sebagai komandan tertinggi angkatan

bersenjata Pasukan Koalisi PBB melalui perintah Douglas MacArthur untuk

menjalankan kehendaknya di dalam Perang Korea yang menandakan bahwa

Amerika Serikat mempunyai peran penting dalam strategi dan kebijakan

selama Perang Korea sebagai tindakan dari intervensinya tersebut.

Pembenaran intervensi Amerika Serikat dilakukan melalui strategi kebijakan

luar negeri terhadap PBB untuk menjatuhkan sanksi kepada Korea Utara guna

mencari pengesahan terhadap tindakannya tersebut. Amerika Serikat

berpendapat bahwa serangan Korea Utara merupakan suatu serangan terhadap

PBB karena PBB (UNTCOK) adalah badan resmi yang telah mengawasi

jalannya pemilu di Korea. Amerika Serikat mendapat dukungan PBB dengan

Resolusi PBB No. 83 tertanggal 27 Juni 1950 yang berisi kutukan terhadap

Page 101: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

92

invasi Korea Utara serta ijin rekomendasi sebuah komando terpadu di bawah

pimpinan Amerika Serikat atas nama PBB di Korea.123

Pembenaran intervensi Amerika Serikat dan Pasukan Koalisi PBB

memang dapat dikatakan diperbolehkan menurut ketentuan dalam hukum

internasional karena dilakukan melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB.

Hukum internasional memuat beberapa ketentuan mengenai syarat

diijinkannya intervensi sebagai berikut:124

a. suatu Negara pelindung

(protector) telah diberikan hak-hak intervensi (intervention rights) yang

dituangkan dalam suatu perjanjian oleh Negara yang meminta perlindungan.

Contoh: Perjanjian persahabatan, hubungan bertetangga baik dan kerjasama

(the Treaty of friendship, good neighbourliness and cooperation) yang

ditandatangani oleh Uni Soviet dan Afghanistan pada tanggal 5 Desember

1978. Pasal 4 the treaty of friendship, good neighbourliness and cooperation

menetapkan bahwa kedua belah pihak akan mengambil langkah yang

diperlukan untuk melindungi keamanan, kemerdekaan, dan keutuhan wilayah

kedua Negara. Isi ketentuan perjanjian demikian dapat dimaksudkan sebagai

pembenaran terhadap tindakan Uni Soviet ketika menginvasi Afghanistan

pada Desember 1979; b. jika suatu Negara berdasarkan suatu perjanjian

dilarang untuk mengintervensi namun ternyata melanggar larangan ini, maka

123

Nino Oktorino, Op.cit., hlm. 30. 124

Gerhard von Glahn, Law Among Nation, Macmillan Publishing Co.,Inc., edisi ke-4,

1981, hlm. 161-162, (lihat dalam Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional,

PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30-32).

Page 102: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

93

Negara lainnya yang merupakan pihak/peserta dalam perjanjian tersebut

berhak untuk melakukan intervensi; c. jika suatu Negara melanggar dengan

serius ketentuan-ketentuan dalam hukum kebiasaan yang telah diterima

umum, Negara lainnya mempunyai hak untuk mengintervensi Negara

tersebut. Jadi, jika pemberontak terus-menerus melanggar hak-hak suatu

Negara netral selama terjadinya konflik, maka Negara netral tersebut memiliki

hak untuk mengintervensi terhadap Negara pemberontak tersebut; d. jika

warga negaranya diperlakukan semena-mena di luar negeri maka Negara

tersebut memiliki hak untuk mengintervensi atas nama warga negara tersebut,

setelah semua cara damai diambil untuk menangani masalah tersebut; e. suatu

intervensi dapat pula dianggap sah dalam hal tindakan bersama oleh suatu

organisasi internasional yang dilakukan atas kesepakatan bersama Negara-

negara anggotanya; f. suatu intervensi dapat juga sah manakala tindakan

tersebut dilakukan atas permintaan yang sungguh-sungguh dan tegas-tegas

(genuine and explicit) dari pemerintah yang sah dari suatu Negara

(invitational intervention). Intervensi ini cukup banyak dilakukan oleh

Negara-negara besar dewasa ini. Pengiriman tentara Inggris ke Yordania pada

tahun yang sama setelah Republik Persatuan Arab melakukan intervensi

terhadap masalah-masalah dalam negeri Yordania. Tahun 1964, kembali

tentara Inggris didaratkan di Tanganyika Uganda, dan Kenya atas permintaan

Page 103: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

94

masing-masing Negara untuk meredakan pemberontakan di negeri-negeri

tersebut.

Lebih lanjut disebutkan bahwa yang umumnya dinyatakan sebagai

kasus-kasus kekecualian pokok dimana menurut hukum internasional suatu

Negara berhak melakukan intervensi sah adalah:125

a. intervensi kolektif

sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; b. intervensi untuk

melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan serta keselamatan jiwa

warga Negara di luar yang menjadi dasar bagi pemerintah Amerika Serikat

membenarkan tindakan pengiriman tentara multinasional di pulau Grenada

bulan oktober 1983; c. pertahanan diri, apabila intervensi diperlukan untuk

menghilangkan bahaya serangan bersenjata yang nyata; d. dalam urusan-

urusan protektorat yang berada di bawah kekuasaannya; e. apabila Negara

yang menjadi subjek intervensi dipersalahkan melakukan pelanggaran berat

atas hukum internasional menyangkut Negara yang melakukan intervensi,

sebagai contoh, apabila Negara pelaku intervensi sendiri telah diintervensi

secara melawan hukum.

Intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat melalui Resolusi DK

PBB No. 83 tetap tidak dapat dibenarkan dan melanggar ketentuan hukum

internasional karena dapat dikategorikan sebagai intervensi yang dilarang

menurut ketentuan hukum internasional seperti fakta yang menerangkan

bahwa Resolusi Dewan Keamanan PBB dikeluarkan atas dasar tekanan politik

125

Ibid

Page 104: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

95

Amerika Serikat dan niat dalam menghalau pengaruh ideologi komunis di

Korea.

Dewan keamanan PBB dalam menetapkan suatu sanksi melalui sebuah

resolusi dapat mengambil langkah-langkah awal berupa sanksi ekonomi tanpa

menggunakan kekuatan senjata agar keputusannya dapat ditaati jika memang

ada ancaman dan pelanggaran terhadap perdamaian.126

Namun, jika langkah-

langkah yang diambil itu tidak cukup maka Dewan Keamanan PBB dapat

menjatuhkan sanksi militer dengan syarat adanya persetujuan khusus (special

agreement) terlebih dahulu dari negara-negara anggota mengenai penyediaan

pasukan dalam operasi-operasi militer dan pembentukan Komite Staf Militer

yang anggotanya terdiri dari Kepala Staf Angkatan Perang dari kelima

anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Aksi-aksi militer tidak mungkin

dilakukan tanpa terpenuhinya syarat-syarat tersebut.127

Kekuasaan Dewan Keamanan PBB sebagai badan pelaksana sanksi

terhadap agresor (Korea Utara) bukan tidak tak terbatas karena tindakan-

tindakannya dibatasi oleh ketentuan Pasal 24 (2) Piagam PBB. Dewan dalam

melakukan tindakannya harus didasarkan atas prinsip-prinsip dan tujuan PBB.

Atas dasar tersebut Dewan Keamanan PBB mempunyai kewajiban untuk tetap

menghormati keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara.

Pelaksanaan sanksi militer bagaimanapun juga tidak boleh mengakibatkan

126 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional, PT. Tatanusa, Jakarta, 2007, hlm. 33. 127 Idem, hlm. 34.

Page 105: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

96

pemisahan-pemisahan negara yang hakekatnya dapat berpengaruh terhadap

keutuhan wilayah suatu negara.128

Hal tersebut telah dijelaskan dalam prinsip pertama Deklarasi

Mengenai Prinsip-prinsip Hukum Internasional Yang Mengatur Tentang

Hubungan Bersahabat Dan Kerja Sama Antar Negara Menurut Piagam PBB

maupun dalam Pasal 5 ayat (2) resolusi 3314 yang menyatakan: ... untuk

melakukan perang agresi semata-mata, tetapi bukan setiap tindakan yang

didukung untuk dinyatakan tidak sah oleh naskah resolusi tersebut,

menciptakan suatu kejahatan yang memerlukan tanggung jawab menurut

hukum internasional.129

Intervensi Amerika Serikat dan Pasukan Koalisi PBB dalam Perang

Korea juga dilakukan dengan pengambil-alihan kedaulatan Korea Selatan

yang artinya intervensi tersebut menyerang kedaulatan negara lain dalam

menentukan nasib negaranya. Intervensi tersebut bertentangan dengan prinsip

kedaulatan negara dalam Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB yaitu organisasi

bersendikan pada prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dari semua anggota.

Intervensi Amerika Serikat dan Pasukan Koalisi PBB bukan hanya

melanggar ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB namun juga Pasal 2

ayat (4) dan Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB sebagai berikut:

128

Idem, hlm. 35-36. 129

Idem, hlm. 37.

Page 106: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

97

Pasal 2 ayat (4)

Segenap anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri

dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap

integritas wilayah atau kemerdekaan politik sesuatu negara lain atau

dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan

Bangsa-Bangsa.

Pasal 2 ayat (7)

Tidak ada satu ketentuan-pun dalam piagam ini yang memberi kuasa

kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencampuri urusan-urusan

yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri sesuatu negara atau

mewajibkan anggota-anggotanya untuk menyelesaikan urusan-urusan

demikian menurut ketentuan-ketentuan dalam piagam ini, akan tetapi

prinsip ini tidak mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakan-

tindakan pemaksaan seperti tercantum dalam bab VII.

Setiap hak-hak kekecualian intervensi dapat dilaksanakan dengan

syarat Negara-negara harus tunduk kepada kewajiban-kewajiban pokok

menurut Piagam PBB, kecuali piagam sendiri memperbolehkan pelaksanaan

hak itu, intervensi tidak boleh berkembang menjadi ancaman atau penggunaan

kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik Negara

manapun (lihat Pasal 2 ayat 4).130

Intervensi bukanlah suatu masalah atau belum dianggap suatu

pelanggaran terhadap kedaulatan suatu negara jika hanya sebatas sugesti

diplomatik. Hukum internasional membolehkan intervensi dengan syarat

bahwa timbulnya suatu keadaan atau hal tertentu yang merupakan ancaman

bahaya bagi perdamaian dan keamanan dunia, merupakan pelanggaran bagi

hukum internasional dan memungkinkan untuk timbulnya perang.

130

J.G Starke, Op.cit., hlm. 137.

Page 107: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

98

Intervensi Uni Soviet di Korea juga termasuk sebagai intervensi yang

bersifat subversif dengan tujuan untuk menunjukkan aktivitas propaganda atau

aktivitas lainnya yang dilakukan oleh suatu Negara dengan maksud untuk

menyulut revolusi atau perang saudara di negara lain untuk tujuan Negara itu

sendiri. Intervensi tersebut dapat dikategorikan sebagai intervensi internal

(internal Intervention) seperti intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat

karena melibatkan negara luar sebagai penyokong atau pendukung suatu

pemberontakan, peperangan, atau konflik politik di Negara lain dengan cara

yang diktator.

Intervensi yang dilakukan oleh Uni Soviet sedikit berbeda dengan

Amerika Serikat karena dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui alat-

alat perang dan kebijakan politik terhadap Korea Utara. Hal tersebut

dibuktikan dengan banyaknya tank T-34 dan pesawat Mikoyan-Gurevich

(MiG-15) buatan Uni Soviet yang digunakan oleh tentara Korea Utara serta

ahli strategi perang dan politik kepada Kim Il Sung dalam usaha penyatuan

Korea di bawah pengaruh komunis. Tujuan Uni Soviet melakukan intervensi

adalah untuk membantu Korea Utara agar dapat menguasai Korea dalam

pengaruh ideologi komunis dan menjadikan alasan keamanan sebagai

pembenaran dalam intervensi tersebut. Tindakan Uni Soviet jelas melanggar

ketentuan hukum internasional karena menyulut perang saudara Korea dan

memiliki tujuan sebagai propaganda politik.

Page 108: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

99

Intervensi yang dilakukan oleh China dalam Perang Korea tahun 1950-

1953 merupakan kelanjutan dari perintah Uni Soviet melalui Mao Zhe Dong

untuk mempertahankan wilayah Korea Utara dari serangan Amerika Serikat

dan pasukan koalisi PBB. Intervensi China dapat dikategorikan sebagai

intervensi eksternal (external intervention) karena intervensi atau campur

tangan dilakukan terhadap peperangan atau konflik yang sudah terjadi antara

dua Negara atau lebih. Campur tangan China dilakukan dengan menurunkan

pasukan serta persenjataan perang. Intervensi China menyebabkan sebuah

kebuntuan perang (stalemate) yang membuat keadaan semakin buruk. Dasar

pembenaran yang digunakan oleh China karena kedaulatan negaranya

terancam oleh agresi militer Amerika-PBB dan Korea Selatan.

Pembenaran oleh China terhadap tindakannya tersebut bukan

merupakan sebuah alasan sebagai ancaman terhadap kedaulatan negaranya

tetapi lebih diketahui sebagai kepentingan propaganda politik komunis.

Pembenaran China dalam intervensinya juga dapat dikatakan melanggar

ketentuan hukum internasional sebagaimana tertuang pada pasal-pasal dalam

BAB VII Piagam PBB. Suatu kedaulatan negara dalam ancaman ketika

kekuasaan negara dipecah-pecah dan dibagi-bagi serta tidak dapat

ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Mao Zhe Dong sebagai pemimpin

tertinggi China telah merencanakan suatu siasat perang dengan penggunaan

Page 109: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

100

kekuatan militer yang berjaga di perbatasan China dan Korea Utara sebagai

tindakan penjagaan jika sewaktu-waktu Korea Utara kalah dalam perang.

Berdasarkan fakta yang terjadi, setelah Korea Utara hampir kalah oleh

serangan Amerika Serikat dan pasukan koalisi PBB, China segera melakukan

intervensi militer ke dalam wilayah Korea. Intervensi militer China dilakukan

tanpa Resolusi Dewan Keamanan PBB dan secara sengaja melanggar

ketentuan hukum internasional.

Page 110: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

101

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Intervensi Amerika Serikat beserta Pasukan Koalisi PBB, Uni

Soviet, dan China dalam Perang Korea tahun 1950-1953 termasuk dalam

intervensi yang dilarang menurut ketentuan hukum internasional karena

merupakan campur tangan yang menyerang kedaulatan negara lain dengan

cara-cara kekerasan sehingga menyebabkan penyelesaian konflik Korea

Utara dan Korea Selatan menjadi sebuah kebuntuan perang (stalemate) serta

korban jiwa yang besar di masing-masing pihak. Intervensi tersebut

dilakukan melalui serangkaian operasi militer dan kebijakan politik secara

sepihak terhadap Korea serta termasuk sebagai intervensi yang bersifat

subversif (subversive intervention) dengan tujuan untuk menunjukkan

aktivitas propaganda atau aktivitas lainnya yang dilakukan dengan maksud

untuk menyulut revolusi atau perang saudara di Korea untuk tujuan Negara

itu sendiri.

Intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat beserta Pasukan

Koalisi PBB melanggar prinsip-prinsip dan tujuan Piagam PBB yang

menimbulkan pemisahan suatu Negara. Intervensi Amerika Serikat beserta

pasukan koalisi PBB dan Uni Soviet dikategorikan sebagai internal

Page 111: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

102

intervention karena dilakukan dengan cara melibatkan diri sebagai

penyokong atau pendukung suatu pemberontakan, peperangan, atau konflik

politik di Korea dengan cara yang diktator. Intervensi China dikategorikan

sebagai external intervention karena campur tangan dilakukan terhadap

peperangan atau konflik yang sudah terjadi antara dua Negara atau lebih.

Intervensi tersebut merupakan pelanggaran terhadap ketentuan hukum

internasional yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1), (4), dan (7) Piagam PBB.

B. Saran

Setiap Negara hendaknya dapat menghargai perbedaan ideologi dan

pandangan negara lain agar tidak terjadi konflik yang menyebabkan

pertumpahan darah dan Intervensi seharusnya dilakukan dengan

memperhatikan syarat dan ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Page 112: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

103

DAFTAR PUSTAKA

Buku

A Garner ed, Bryan, Black Law Dictionary-Seventh Edition, Book 1, West Group,

ST.Paul Minn, 1999.

Adolf, Huala, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 1996.

________, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional. Keni Media, Bandung,

2011.

Adolf, Huala, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta,

2004.

Arlina Permanasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, International

Committe of the Red Cross, Jakarta, 1999.

Bedjaoui, Mohammed, International Law: Achievements and Prospects, UNESCO,

Martinus Nijhoff publ., Paris, 1991.

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary- edisi ke-5, West Publishing Comp,

St. Paul Minn, 1979.

Fauzan, Achmad, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung, 1986.

Goodrich dan Hambro, Charter of The United Nations Commentary and Documents,

World Peace Foundation Boston, 1949.

Hestu Cipto Handoyo, B., Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi

Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia),

Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2003.

Hingorani, R.C., Modern International Law, Oceana Publications Inc., India, 1984.

Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media,

Malang, 2008.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung,

1981.

Page 113: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

104

________, Pengantar Hukum Internasional Buku I, Putra Abardin, Jakarta, 1999.

Lauterpacht, Oppenheim, International Law and Treaties, Longmans, London, 1952.

Lubis, Mochtar, Catatan Perang Korea, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta,

2010.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Normatif, Kencana, Jakarta, 2005.

Martono, K., Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International

and National Air Law), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.

O’Connel, D.P. , International Law-edisi ke-2, Vol.1, Stevens and Sons, London,

1970.

Oktorino, Nino, Konflik Bersejarah Perang Yang Tidak Boleh Dimenangkan: Kisah

Perang Korea 1950-1953, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2013.

Parry and grant, dkk, Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana

Publications inc, New York, 1986.

Parthiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003.

Prihantono, Djati, Perang Korea: Konflik Dua Saudara, Mata Padi Pressindo,

Yogyakarta, 2013.

Prodjodikoro, Wirjono, Azaz-azaz Hukum Publik Internasional, PT. Pembimbing

Masa, Jakarta, 1967.

Satria Buana, Mirza, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Nusamedia, Bandung

2007.

Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2014.

Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1998.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta, 1981.

Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjuan Singkat, Rajawali,

Jakarta, 1985.

Page 114: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

105

Soemitro, Rony Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Alumni, Jakarta,

1988.

Sastroamidjoyo, Ali, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Batara, Jakarta 1971.

Sugeng Istanto, F., Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2010.

Supriyadi, Dedi, Hukum Internasional (dari konsepsi sampai aplikasi), Pustaka

Setia, Bandung, 2013.

Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional. Sinar Grafika, Jakarta, 1988.

________, Pengantar Hukum Internasional-Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta,

2001.

Subakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,

Jakarta, 1992.

Suryokusumo, Sumaryo, Studi Kasus Hukum Internasional, PT. Tatanusa, Jakarta, 2007,

Tasrif, S., Hukum Internasional Tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek-Cet.2.,

Abardin, Bandung, 1987.

Thontowi, Jawahir, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung,

2006.

Van Apeldorn, L.J., Pengantar Ilmu Hukum, Pradaya Paramita, Jakarta, 1981.

Wallace, Rebbecca, Hukum Internasional (Pengantar untuk mahasiswa), Sweet &

Maxwell, London, 1986.

Peraturan perundang-undangan

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945

Konvensi Montevideo 1933

Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 83 tahun 1950

Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1970 [G.A. Res 2625 (XXV)]

Page 115: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

106

Bahan lainnya

Yuliantiningsih, Aryuni, Bahan Kuliah Hukum Internasional, Fakultas Hukum

Unsoed, Purwokerto, 2011.

Andy Chand, Sejarah Perang Korea, 2010, http://sejarah-

andychand.blogspot.com/2012/10/sejarah-perang-korea.html, diakses 12 Mei

2014.

_________, Kedaulatan, 2010, http://providert.blogspot.com/2010/02/makna-

kedaulatan-rakyat.html, diakses 10 Desember 2013.

Anwar, M., Intervensi Suatu Negara Terhadap Kelompok Separatis, 2012, dalam

http://alaric-one.blogspot.com/2012/06/intervensi-suatu-negara-terhadap.html,

diakses 14 Mei 2014.

Deny Biantong, Kedaulatan Negara, 2012,

http;//dennybiantong.blogspot.com/2012/07/kedaulatan-negara.html , diakses 9

Maret 2014.

Eka Putra, Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai, 2013, dalam

www.hukumit.blogspot.com, diakses 10 November 2013.

Lilian Goldman Law Library, Cairo Conference 1943, dalam

http://www.ndl.go.jp/constitution/e/shiryo/01/002_46/002_46tx.html, diakses

20 Agustus 2014.

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Piagam PBB dan Statuta Mahkamah

Internasional,1990,https://unic.un.org/aroundworld/unics/common/documents/

publications/uncharter/jakarta_charter_bahasa.pdf , diakses 9 Maret 2014.

Radio Australia, Sejarah dibalik ketegangan korea Utara dan Korea Selatan: kilas

balik, 2010,http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-04-05/sejarah-di-

balik-ketegangan-korea-utara-dan-korea-selatan-kilasbalik/1112046, diakses 14

mei 2014.

Rep. Eusialis, Perang Korea: Konflik Ideologi yang Membelah Semenanjung, 2012,

http://republik-tawon.blogspot.com/2012/10/perang-korea-konflik-ideologi-

yang.html, diakses 18 Maret 2014.

Page 116: ANDREW FIRDAUS SUNARSO PUTRA E1A010140.pdf

107

Syasya, Korea terbagi dua; siapa biang keroknya?, 2011,

http;//sejarah.kompasiana.com/2013/04/07/korea-terbagi-dua-siapa-biang kero

knya549025.html, diakses 12 Mei 2014.

UN Security Council, Resolution 83 (1950) of 27 June 1950, dalam

http://www.refworld.org/cgi-bin/texis/vtx/rwmain?docid=3b00f20a2c, diakses

9 September 2014.

Wikipedia, Perang Korea, 2014, http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Korea, diakses

10 Mei 2014.

Wikipedia, Aksi Polisional : Intervensi Amerika Serikat, 2014,

http://id.wikipedia.org/wiki/PerangKorea#AksiPolisional:Intervensi_Amerika_

Serikat, diakses 12 Mei 2014.

Wikipedia, Potsdam Declaration, dalam

http://en.wikipedia.org/wiki/Potsdam_Declaration, diakses 10 September 2014.

Wikipedia, General Order No. 1, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/General_Order_

No._1, diakses 10 September 2014.

William Vernon Harcourt, Letters by Historicus on Some Questions of International

Law: Reprinted from tha times with considerable addition, 2011,

www.uop.com, diakses 5 Desember 2013.