al-ahkam 1.pdf

46
ﺷﺮﺡ ﺑﻠﻮﻍ ﺍﻟﻤﺮﺍﻡ ﻛﺘﺒﻪ:

Upload: fauzi-saja

Post on 26-Dec-2015

141 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: al-Ahkam 1.pdf

������ المرام بلوغ شرح

:كتبه

��� ���� ���

Page 2: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 1

Mengenal Kitab Bulughul-Maram

Nama aslinya adalah Bulughul-Maram min Adillatil-Ahkam. Tulisan arabnya:

األحكام أدلة من المرام بلوغ

Artinya: Sampai pada tujuan: Dari dalil-dalil hukum.

Sebagaimana tercermin dari namanya, kitab ini adalah kitab yang berisi dalil-dalil hukum. Maksudnya hukum-hukum syara’ atau al-ahkamus-syar’iyyah (wajib, sunat, haram, makruh dan mubah). Demikian Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani selaku penyusun kitab ini menyatakannya dalam pengantar (muqaddimah) kitab ini. Dalam bahasa masyarakat muslim hari ini, tema-tema hukum seperti ini populer dikenal dengan istilah fiqih. Dengan kata lain, kitab Bulughul-Maram ini adalah kitab fiqih yang bersisi dalil-dalil saja, tidak menyertakan pendapat atau fatwa dari para ulama fiqih.

Al-Hafizh menyatakan bahwa kitab ini adalah kitab mukhtashar; kitab yang menyajikan dalil-dalil secara ringkas, mencakup ushul al-adillah al-haditsiyyah; dalil-dalil pokok dari hadits. Berarti tidak akan ditemukan dalil-dalil hukum dari al-Qur`an. Dalil-dalil hadits yang disajikan juga hanya yang sifatnya ushul/pokok saja, tidak mencakup dalil-dalil yang rinci dan detail seperti yang ditemukan dalam kitab-kitab hadits, lengkap dengan sanad dan variasi matannya. Tujuannya, menurut al-Hafizh, agar mudah dihafal dan diingat oleh para penghafal hadits, mudah digunakan oleh pelajar pemula, dan bisa dijadikan dasar untuk kajian yang lebih mendalam lagi oleh para pengkaji Islam. Inilah tiga tujuan pokok dari penyusunan kitab Bulughul-Maram dalam bentuk mukhtashar, sebagaimana disebutkan langsung oleh al-Hafizh dalam pengantar kitabnya.

Hadits-hadits yang disajikan dalam Bulughul-Maram, karena polanya mukhtashar, tidak menyertakan sanad (rangkaian para periwayat hadits). Hanya menyebutkan shahabat yang menjadi sumber riwayat dan imam-imam hadits yang “mengeluarkannya”—maksudnya imam hadits yang menyeleksi riwayat-riwayat hadits lalu menuliskannya dalam kitab hadits tulisannya seperti Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, dan Imam Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud. Pekerjaan imam-imam hadits seperti ini dalam ilmu hadits diistilahkan dengan “mengeluarkan hadits”.

Dalam menuliskan nama-nama imam hadits yang mengeluarkanya tersebut, al-Hafizh menggunakan metode penyingkatan yang dibakukan olehnya, yaitu:

As-Sab’ah (Tujuh Imam): Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa`i, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah.

As-Sittah (Enam Imam): al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa`i, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah. Imam Ahmad tidak termasuk.

Al-Khamsah (Lima Imam): Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah. Imam al-Bukhari dan Muslim tidak termasuk. Untuk kategori yang ini, terkadang al-Hafizh juga menulisnya “al-Arba’ah (Empat Imam) dan Ahmad”.

Page 3: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 2

Al-Arba’ah (Empat Imam): Abu Dawud, an-Nasa`i, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah

Ats-Tsalatsah (Tiga Imam): Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi

Muttafaq ‘Alaihi (Hadits Yang Disepakati): al-Bukhari dan Muslim. Meskipun ada satu hadits yang muttafaq ‘alaihi ini diriwayatkan juga oleh Imam hadits selain al-Bukhari-Muslim, al-Hafizh sering tidak menyebutkannya dan mencukupkannya pada penyebutan muttafaq ‘alaihi saja.

Selain dari tujuh imam hadits di atas maka imam yang mengeluarkan haditsnya akan disebutkan langsung namanya, seperti Malik, as-Syafi’i, Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, Ibn Abi Syaibah, al-Hakim, ad-Daraquthni, al-Bazzar, Abu Ya’la, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan yang lainnya. Akan tetapi secara umum, sebagian besar hadits-hadits dalam Bulughul-Maram ini merujuk kepada tujuh imam di atas.

Ketika menyebutkan imam-imam hadits yang mengeluarkannya, al-Hafizh terkadang menyebutkan juga kualitas hadits tersebut apakah shahih, hasan atau dla’if. Untuk hadits yang dinilainya shahih, maka al-Hafizh tidak menyebutkan kualitasnya karena sudah dikenal dan bisa dirujukkan langsung ke kitab-kitab hadits imam yang bersangkutan. Jika suatu hadits diragukan kualitas keshahihannya, maka al-Hafizh menyebutkannya sebagai berkualitas shahih atau hasan dan menyebutkan pula imam hadits yang memberi penilaian tersebut.

نس عن أنب كالكان: قال � م ابحول أصسلى� اهللا رع هدهون عرظتناء يشى العتح قفخت مهوسؤر ،لون ثمصلا يئون وضوتي .هجرو أخأب داود هححصو قطنيارالد لهأصي وف مسلم

Dari Anas ibn Malik ra, ia berkata: “Para shahabat Rasulullah saw di zaman beliau, menunggu shalat ‘Isya sampai terkulai kepala mereka (dagu mengenai dada karena tertidur). Mereka kemudian shalat tanpa berwudlu.” Abu Dawud mengeluarkannya. Ad-Daraquthni menshahihkannya. Asalnya ada pada riwayat Muslim.

Riwayat Muslim yang dimaksud al-Hafizh:

نة عادقال قت تعما سسقول أنكان ي ابحول أصسون � اهللا رامني لون ثمصال يو يتوضئون

Dari Qatadah ia berkata: Aku mendengar Anas berkata: “Para shahabat Rasulullah saw tidur, kemudian shalat tanpa berwudlu lagi.” (Shahih Muslim kitab al-haidl bab ad-dalil annan-naum al-jalis la yanqudlul-wudlu no. 861)

Jika suatu hadits ada sedikit kelemahan tetapi masih bisa digunakan hujjah sebagai pelengkap dari riwayat yang shahih, maka al-Hafizh menyebutkan untuk hadits itu “pada sanadnya ada kelemahan” (wa fihi dla’fun; wa fi sanadihi/isnadihi dla’fun; bi isnadin dla’ifin; wa sanaduhu dla’ifun; dan semisalnya).

نعن وبا رمع يضا اهللا رمهنول قال: قال عساهللا ر � لتا أحلن انتتيم انمدا، وفأم انتتيالم ادرفالج وتالحا، وأمو انمال الدفالطح الكبدو .هجرأخ دمأح نابو هاجم ويهف فعض

Page 4: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 3

Dari Ibn ‘Umar ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda:“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu belalang dan ikan. Sementara dua darah yaitu hati dan jantung.” Ahmad dan Ibn Majah mengeluarkannya, tetapi dalam sanadnya ada kelemahan.

Al-Hafizh Ibn Hajar di atas menyebutkan bahwa dalam sanad hadits ini ada kelemahan/dla’if. Dalam kitabnya, at-Talkhishul-Habir 1 : 34-35, ia menjelaskan bahwa penyebabnya adalah seorang rawi yang bernama ‘Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam yang dinilainya matruk dan dinyatakan munkar haditsnya oleh Imam Ahmad. Meski demikian, terdapat sanad lain yang shahih dari ad-Daraquthni yang melalui Sulaiman ibn Bilal dari Zaid ibn Aslam tetapi mauquf (bersumber dari shahabat, bukan Nabi saw). Namun ini tidak menjadi masalah, sebab Ibn Hajar menegaskan, riwayat mauquf yang shahih dan merupakan pernyataan shahabat: “Dihalalkan bagi kami,” atau “Diharamkan bagi kami,” berstatus sama dengan hadits marfu’ (bersumber dari Nabi saw). Maksudnya, mustahil shahabat menyatakan demikian jika tidak ada dasarnya dari Nabi saw. Maka dari itu hadits ini bisa dijadikan dalil meski terdapat kelemahan.

Ada juga hadits yang kualitasnya benar-benar dla’if dan sengaja dimasukkan ke dalam Bulughul-Maram untuk memberitahu bahwa hadits yang populer tersebut sebenarnya berkualitas dla’if.

نعة واويعول قال: قال � مساهللا ر � :نيوكاء الع هفإذا الس تامن اننيالع اسطلقت عند الحديث هذا في الزيادة وهذه. فليتوضأ نام ومن: وزاد والطبراني أحمد رواه. الوكاء

.ضعف الإسنادين كلا وفي. الوكاء استطلق: قوله دون علي حديث من داود أبي

Dari Mu’awiyah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Mata itu pengikat dubur. Apabila dua mata tertidur maka terlepaslah ikatan itu.” Ahmad dan at-Thabrani meriwayatkannya. Dalam riwayat at-Thabrani ada tambahan: “Dan siapa yang tidur maka hendaklah ia wudlu.” Tambahan ini dalam hadits ini pada riwayat Abu Dawud dari ‘Ali tanpa ada pernyataan: “Terlepaslah ikatan itu.” Dalam kedua sanad ini ada kelemahan.

إسناده وفي. ضطجعام نام من على الوضوء إنما: مرفوعا عباس ابن عن أيضا داود ولأبيفعا ضضأي.

Dalam riwayat Abu Dawud juga dari Ibn ‘Abbas secara marfu’: “Sesungguhnya wudlu itu bagi orang yang tidur miring (berbaring pada lambungnya). Dalam sanadnya ada kelemahan juga.

Al-Hafizh menempuh metode seperti ini sebagai pertanggungjawaban ilmiah kepada umat dan sebagai bentuk ketulusannya untuk benar-benar menuntun umat (li iradah nushhil-ummah). Sebab cukup banyak juga kitab-kitab tentang agama Islam yang penyusunnya sama sekali tidak menjelaskan kualitas haditsnya, seperti safinatun-naja, fadla`ilul-a’mal, dzurratun-nashihin, ihya ulumid-din, dan lainnya.

Page 5: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 4

Keistimewaan Bulughul-Maram

Menurut ‘Abdullah ibn ‘Abdirrahman al-Bassam, kitab Bulughul-Maram adalah kitab yang paling istimewa di kelasnya. Sebuah kitab tentang dalil-dalil hukum yang ringkas tetapi padat dan berbobot sebab mencakupi semua tema fiqih. Para ulama dari generasi terdahulu sampai hari ini menggunakannya untuk bahan kajian dan pengajaran. Tidak ada satu lembaga kajian dan pengajaran pun, menurutnya, di dunia ini dari berbagai madzhab yang melewatkan kitab Bulughul-Maram sebagai kitab yang paling awal untuk dikaji dalam tema fiqih, meski al-Hafizh sebenarnya bermadzhab Syafi’i. Termasuk di Saudi Arabia, negara tempat bermukim al-Bassam yang mayoritas bermadzhab Hanbali. Menurutnya, di setiap lembaga pendidikan negara tersebut, baik formal ataupun informal, kitab Bulughul-Maram selalu menjadi kitab yang paling awal dikaji dan dipelajari. Hal yang sama juga dikemukakan oleh A. Hassan di masa Republik ini belum berdiri. Hampir selalu ditemukan pesantren dan madrasah yang menjadikan Bulughul-Maram sebagai bahan materi kajiannya.

Dalam pengamatan al-Bassam, keistimewaan kitab Bulughul-Maram ini jika hendak diuraikan lebih rinci adalah:

Pertama, penyusun kitab menjelaskan martabat hadits dalam hal shahih, hasan dan dla’if sehingga pembaca tidak direpotkan untuk meneliti sendiri kualitas haditsnya. Contohnya sudah disajikan di atas.

Kedua, hadits yang disajikan adalah hadits dengan matan yang sesuai untuk setiap babnya. Sehingga banyak hadits bermatan panjang yang dipotong dan dipilih matan yang sesuainya saja dengan bab terkait. Contoh hadits tentang larangan makan daging keledai jinak. Matan yang lengkapnya di kitab Shahih al-Bukhari menjelaskan latar kronologisnya pada waktu perang Khaibar dan perintah Nabi saw sesudahnya. Akan tetapi di kitab Bulughul-Maram yang dicantumkan hanya pernyataan larangan Nabi saw-nya saja untuk makan daging keledai jinak. Contohnya berikut ini. Paragraf pertama dari Bulughul-Maram, paragraf kedua dari Shahih al-Bukhari yang lebih lengkapnya:

هنعا: قال وكان لم موي ربيخ رول أمسا � اهللا رة أبى، طلحاداهللا إن: فن ولهسرو يهنيانكم نوم علح ةيلرالأهما الحهفإن سرج فقته مليع

Dan darinya (Anas ibn Malik), ia berkata: Pada hari (perang) Khaibar, Rasulullah saw memerintah Abu Thalhah (untuk menyeru), lalu ia pun menyeru: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian dari daging keledai jinak, karena itu kotor.” Disepakati keshahihannya (oleh al-Bukhari Muslim).

[Lafazh “wa ‘anhu” dalam hadits Bulughul-Maram di atas dirujukkan pada hadits sebelumnya yang “‘an Anas ibn Malik”. Artinya maksud “wa ‘anhu” pada hadits di atas adalah “dari Anas ibn Malik”].

نس عن أنب كالول أن � مساهللا ر � اءهاء جفقال ج لتأك رمالح ثم جاء اءهفقال ج لتأك رمالح ثم اءهاء جفقال ج تأفني رمالح را فأميادنى مادي فناس فإن الن الله ولهسرو

انكميهني نوم عر لحمالح ةيلا الأههفإن سرج ئتفأكف ورإ القداوهن فورم لتباللح

Dan Anas ibn Malik, sesungguhnya Rasulullah saw didatangi oleh seseorang yang berkata: “Keledai sudah dimakan.” Kemudian datang lagi yang lain dan berkata: “Keledai sudah dimakan.” Kemudian datang lagi yang lain dan berkata: “Keledai

Page 6: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 5

sudah habis.” Lalu beliau memerintahkan seseorang untuk menyeru kepada orang-orang: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian dari daging keledai jinak, karena itu kotor.” Maka dibuanglah apa yang ada di panci-panci, padahal sudah penuh dengan daging.

Ketiga, jika suatu hadits terdapat riwayat-riwayat lain yang berbeda lafazhnya, maka al-Hafizh menyebutkan perbedaan lafazh tersebut, dan hanya lafazh yang berbedanya saja yang ditulis tidak keseluruhan matannya secara lengkap. Contoh:

نعة أبي وريرول قال: قال � هسسل لا � اهللا رتغي كمدي أحاء فم المائالد وهو بنج .هجرأخ ملسم .اريخلبللا: و ولنبي كمدأح اء يفم المائي الدري لا الذجي ،سل ثمتغي يهف.

الجنابة من فيه يغتسل وال: داود ولأبي .منه: ولمسلم

Dari Abu Hurairah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Rasulullah—semoga shalawat dan salam tercurah untuknya—bersabda: “Salah seorang di antara kalian jangan mandi pada air yang tergenang ketika junub.” Muslim mengeluarkannya. Dalam riwayat al-Bukhari: “Janganlah salah seorang di antara kalian kencing pada air yang tergenang yang tidak mengalir, kemudian mandi padanya.” Dalam riwayat Muslim: “Mandi darinya.” Dalam riwayat Abu Dawud: “(Jangan kencing) dan jangan mandi junub padanya.”

Dari hadits yang disajikan al-Hafizh Ibn Hajar di atas dalam kitabnya, Bulughul-Maram, dapat diketahui adanya empat variasi matan, yaitu:

Pertama, larangan mandi junub pada air yang tergenang (riwayat Muslim).

Kedua, larangan kencing pada air yang tergenang lalu mandi padanya (riwayat al-Bukhari).

Ketiga, larangan kencing pada air yang tergenang lalu mandi darinya, yakni mengambil air untuk mandi dari air yang sudah dikencingi tersebut (riwayat Muslim).

Keempat, larangan kencing dan larangan mandi. Kedua-duanya dilarang, baik itu pada waktu bersamaan atau pada waktu yang berlainan (riwayat Abu Dawud).

Keempat, al-Hafizh menukil hadits dari kitab-kitab hadits yang pokok, yaitu Musnad Ahmad, Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dan Sunan Yang Empat (Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa`i, Sunan Ibn Majah).

Kelima, al-Hafizh memulai bab—pada keumumannya—dengan hadits riwayat Shahihain atau salah satunya, kemudian Sunan Yang Empat dan hadits-hadits lainnya. Tujuannya menunjukkan kepada pembaca bahwa hadits yang shahih adalah dasar pijakan utamanya.

Keenam, al-Hafizh menelusuri ‘illat-‘illat (cacat kecil dan tersembunyi dalam periwayatan) yang terdapat dalam hadits dan menyebutkannya. Contoh:

هنعو هأى أنر بيذ النأخي هيأذناء لم خاء الفي المذ الذأخ هأسرل .هجرأخ يقهيالب .وهو دنم علسم نذا مه هجالو بلفظ :حسمو هأساء برر بمل غيفض هيدي

وهظ وفوحالم

Page 7: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 6

Dan darinya (‘Abdullah ibn Zaid) bahwasanya ia melihat Nabi saw mengambil air untuk kedua telinganya yang berbeda dengan air yang diambilnya untuk kepalanya. Al-Baihaqi mengeluarkannya. Tetapi dalam riwayat Muslim dari sanad dan tema yang ini lafazhnya: Dan ia mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa tangannya. Inilah yang mahfuzh.

Hadits pertama, riwayat al-Baihaqi, dituliskan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan al-Kubra (lil-Baihaqi) kitab at-thaharah bab mashil-udzunain bi ma`in jadid no. 308. Sementara hadits kedua, riwayat Muslim, dituliskan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim kitab at-thaharah bab fi wudlu`in-Nabi saw no. 582.

Dua hadits di atas statusnya shahih. Tetapi matannya berbeda atau bertentangan. Padahal kedua-duanya disampaikan melalui sanad/jalur periwayatan yang sama, yakni ‘Abdullah ibn Zaid, disampaikan kepada Wasi’, lalu kepada putranya, Hibban/Habban, lalu kepada ‘Amr ibn al-Harits, lalu kepada ‘Abdullah ibn Wahb. Temanya sama pula, yakni apa yang dilihatnya dari wudlu Nabi saw. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram, sebagaimana terbaca dari pernyataannya di atas, menilai bahwa riwayat Imam Muslim yang mahfuzh (arti asalnya terjaga/teruji), maksudnya yang lebih shahih dan lebih bisa dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya, riwayat al-Baihaqi menjadi syadz (lemah karena bertentangan dengan sanad yang lebih kuat). Sebab tidak ada pilihan lain kecuali memilih salah satunya, dan itu yang lebih kuat. Tidak mungkin hadits yang satu sanad dan tema tersebut jadinya ada dua pemahaman. Terlebih faktanya, tidak ada hadits lain yang mendukung riwayat al-Baihaqi, dimana Nabi saw mengambil air lagi untuk mengusap telinga.

Ketujuh, jika suatu hadits memiliki mutabi’at atau syawahid (riwayat-riwayat lain yang berbeda lafazh tapi ada kesamaan topik pembahasan), al-Hafizh menyebutkannya dengan isyarat. Contoh:

نة أبي عريرول قال: قال � هسي � اهللا رر فحالب :وه ورالطه هاؤل، مالح هتتيم هجرأخ الشافعيو مالك ورواه الترمذيو خزيمة ابن وصححه، له واللفظ شيبة أبي وابن، الأربعة

أمحدو

Dari Abu Hurairah ra (radliyal-‘Llahu ‘anhu; semoga Allah meridlainya) ia berkata: Rasulullah saw (shallal-‘Llahu ‘alaihi wa sallam; semoga kebaikan dan keselamatan senantiasa tercurah kepadanya) bersabda tentang laut: “Dia itu suci airnya halal bangkainya.” Empat Imam dan Ibn Abi Syaibah mengeluarkannya, dan lafazh hadits ini riwayatnya (Ibn Abi Syaibah). Ibn Khuzaimah dan at-Tirmidzi menshahihkannya. Meriwayatkannya juga Malik, as-Syafi’i, dan Ahmad.

Kedelapan, al-Hafizh menyusun bab pembahasan sebagaimana halnya kitab-kitab fiqih, sehingga hadits-haditsnya mudah ditelusuri berdasarkan tema bab.

Kesembilan, al-Hafizh melengkapi kitabnya ini dengan sebuah bab pelengkap (kitab al-jami’) yang berisi hadits-hadits tentang adab dan akhlaq, agar seorang pengkaji hukum tidak melupakan suluk (kode etik perilaku muslim).

Keistimewaan lainnya bisa dilihat dari jumlah kitab-kitab yang men-syarah (mengulas dan mengkaji)-nya. Al-Bassam sendiri menemukan tidak kurang dari 11 kitab syarah hadits Bulughul-Maram. Satu yang paling fenomenal darinya adalah Subulus-Salam yang ditulis oleh Imam Muhammad ibn Isma’il as-Shan’ani. Itu belum

Page 8: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 7

termasuk Taudlihul-Ahkam tulisan al-Bassam sendiri, at-Tibyan karya Khalid ibn Dlaifil-‘Llah as-Syalahi, Syarah Bulughul-Maram Syaikh al-‘Utsaimin, Syarah Bulughul-Maram Syaikh ‘Abdul-Karim al-Khadlir, dan Syarah Bulughul-Maram Syaikh ‘Athiyyah ibn Muhammad Salim. Lima kitab yang disebutkan terakhir ini adalah kitab syarah Bulughul-Maram yang ditulis di abad 15 H/20-21 M.

Profil al-Hafizh

Penyebutan “al-Hafizh” untuk Ibn Hajar al-‘Asqalani mengikuti tradisi yang berlaku dalam keilmuan Islam, khususnya ilmu hadits. Maksudnya, ketika disebut nama al-Hafizh maka yang dituju tiada lain adalah Ibn Hajar al-‘Asqalani yang bernama lengkap Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Hajar al-‘Asqalani (Lahir: Mesir, 12 Sya’ban 773 H/18 Februari 1372 M. Wafat: Mesir, 28 Dzulhijjah 852 H/22 Februari 1449 M). Penyebutan tersebut menggambarkan penghormatan yang tinggi dari para ulama hadits akan kepakaran Ibn Hajar dalam bidang hadits yang juga pernah menjabat hakim di Mesir selama hampir 20 tahun.

Terobosannya dalam pematangan metodologi ilmu hadits diikuti oleh mayoritas ulama hadits sesudahnya. Dari kitab-kitabnya: an-Nukat ‘ala Ibnis-Shalah, Nukhbatul-Fikr fi Mushthalah Ahlil-Atsar beserta penjelasannya Nuzhatun-Nazhar, dan Tahdzibut-Tahdzib, ilmu hadits riwayah dan dirayah memasuki periode kematangan.

Karya paling fenomenalnya dari sekitar 150-an karya ilmiahnya, Fathul-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, juga menjadi rujukan utama para ulama syarah hadits sesudahnya. Sebut misalnya ‘Aunul-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud karya al-‘Azhim Abadi; Tuhfatul-Ahwadzi Syarah Sunan at-Tirmidzi karya al-Mubarakfuri; Nailul-Authar karya as-Syaukani, dan Subulus-Salam karya as-Shan’ani. Ini menunjukkan kedalaman dan keluasan kajian Fathul-Bari yang tentunya menggambarkan pula kedalaman dan keluasan ilmu penulisnya dalam hal periwayatan hadits, bahasa Arab, fiqih dan kajian-kajian Islam lainnya dalam berbagai tema (tafsir, aqidah, akhlaq, sejarah, dan sebagainya).

Metode Syarah Hadits

Dalam syarah hadits ini, kajian akan difokuskan pada fiqh dari Ibn Hajar sendiri atas hadits yang ditulisnya dalam Bulughul-Maram dengan menggunakan rujukan pembantu karya Ibn Hajar lainnya seperti Fathul-Bari dan Talkhishul-Habir (kitab takhrij hadits). Di samping itu akan disajikan pula secara ringkas perbedaan pendapat dari para ulama atas tema fiqih yang sedang dibahas. Tidak luput pula pandangan dari para ulama Persatuan Islam, dari mulai A. Hassan sampai Dewan Hisbah.

Dalam melakukan kajian syarah Bulughul-Maram ini, selain Fathul-Bari, kitab-kitab yang akan dijadikan rujukan utama adalah Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Subulus-Salam, Taudlihul-Ahkam, dan Tarjamah Bulughul Maraam A. Hassan juga karya ulama-ulama Persatuan Islam lainnya. Maka dari itu, setiap kali disebut pendapat an-Nawawi maka itu dinukil dari Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim; setiap disebut pendapat al-Hafizh maka yang dimaksud Ibn Hajar dalam Fathul-Bari atau Talkhishul-Habir; setiap disebut pendapat as-Shan’ani maka yang dimaksud dari kitab Subulus-Salam; setiap disebut al-Bassam maka yang dimaksud dari kitab Taudlihul-Ahkam; dan setiap disebut A. Hassan maka yang dimaksud dari

Page 9: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 8

Tarjamah Bulughul Maraam. Selebihnya setiap pendapat ulama akan disebutkan langsung rujukannya. Metode seperti ini ditempuh mengikuti metode para ulama hadits sebelumnya yang bertujuan li iradah nushhil-ummah (menuntun umat dengan berbasis kajian ilmiah). Selain itu, bagi para pengkaji (ulama atau santri) yang menemukan kejanggalan dalam syarah hadits yang ditulis bisa menelusurinya lebih lanjut untuk kemudian mengkonfrontasikannya dengan yang ditulis ini. Sehingga koreksi atas kekeliruan—yang selalu tidak bisa dilepaskan dari setiap manusia—bisa segera dilakukan.

Sebagai sebuah kitab yang membahas “fiqh”, maka konsekuensinya akan ditemukan beragam pendapat dan analisa atas suatu tema yang sedang dibahas. Sebab fiqh adalah ilmu yang berdasar pada ijtihad. Ijtihad itu sendiri merupakan kegiatan analisa dan penela’ahan atas dalil-dalil yang sifatnya zhanni (samar atau tidak jelas). Karena sifatnya zhanni, maka pasti akan memunculkan beragam hasil ijtihad dan pendapat fiqh. Berbeda jika dalil-dalil yang dikaji sifatnya qath’i seperti wajibnya shalat lima waktu, zakat fitrah, shaum Ramadlan, keharaman riba, dan semacamnya, tentu tidak akan melahirkan perbedaan pendapat. Akan tetapi dalam hal fiqh yang akan banyak ditemukan dalil-dalil yang zhanni, jelas akan melahirkan beragam ijtihad dan kesimpulan. Dalam hal ini umat Islam tidak perlu merasa tabu, sebab itu merupakan khazanah pemikiran Islam yang sudah diwariskan oleh para ulama. Klaim “sunnah-bid’ah” pun tidak bisa diberlakukan dalam kajian fiqh ini. Sebab selama sebuah ijtihad ada dasar dalilnya, meski berbeda-beda kesimpulannya, maka itu bagian dari sunnah. Bid’ah hanya berlaku bagi aqidah dan syari’ah yang tidak ada dasar dalilnya sama sekali.

Termasuk dalam hal ini akan ditemukan pendapat-pendapat al-Hafizh Ibn Hajar, sebagai penyusun kitab Bulughul-Maram, yang berbeda dengan fiqh umat Islam Indonesia. Meski tentunya ada lebih banyak persamaannya dibanding perbedaannya. Dalam menyikapinya, wajib diberlakukan sikap anti-taqlid juga anti-takabbur. Tidak boleh taqlid, karena sebagai manusia, al-Hafizh ada kemungkinan kelirunya, sehingga umat Islam hari ini diharuskan menela’ah ulang kembali secara ilmiah tanpa harus fanatik buta. Dan tidak boleh takabbur dengan merendahkan keilmuan al-Hafizh yang sudah teruji di dunia Islam. Yang tepat adalah pilih salah satu pendapat fiqh yang lebih tepat menurut hasil ijtihad, baik yang sesuai atau tidak sesuai dengan fiqh al-Hafizh, seraya tetap menghargai hasil ijtihad yang berbeda.

Semoga Allah swt memberikan ilmu yang luas dan usia yang cukup sehingga kita semua bisa mengkaji syarah hadits Bulughul-Maram sampai tuntas. Amin.

Wal-‘Llahu a’lam bis-shawab

Page 10: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 9

ابتك ةارالطه

Kitab Thaharah (Bersuci)

ابب اهيالم

Bab Air

l-Qur`an menerangkan bahwa air yang ada di alam ini merupakan sebuah kesatuan, mulai dari air hujan, air laut, air es/salju, air sungai, air danau, dan air tanah. Asal muasal air itu sendiri yakni air hujan, statusnya suci. Maka

selama zat air itu tidak berubah dari yang aslinya, status kesuciannya pun tidak hilang. Ayat-ayat yang dimaksud dalam al-Qur`an adalah sebagai berikut:

uθ èδ uρ ü“Ï% ©!$# Ÿ≅ y™ö‘r& yx≈ tƒÌh�9 $# # M�ô³ç0 š÷ t/ ô“ y‰tƒ ϵÏGyϑôm u‘ 4 $ uΖø9 t“Ρr&uρ zÏΒ Ï!$ yϑ¡¡9 $# [ !$ tΒ

# Y‘θ ßγ sÛ ∩⊆∇∪ }‘Å↵ ós ãΖÏj9 ϵÎ/ Zοt$ù#t/ $ \GøŠΒ … çµu‹ É)ó¡ èΣuρ $ £ϑÏΒ !$ oΨø)n=yz $ Vϑ≈ yè ÷Ρr& ¢ Å›$ tΡr&uρ # Z�� ÏVŸ2 ∩⊆∪

Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih, agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak (QS. al-Furqan [25] : 48-49).

Ayat ini menyatakan bahwa air hujan suci. Air hujan itu ada yang masuk ke dalam tanah dan ada yang dijadikan sumber air minum oleh makhluk hidup, seperti sungai dan danau.

tΑt“Ρr& š∅ÏΒ Ï !$ yϑ¡¡9 $# [ !$ tΒ ôM s9$|¡sù 8πtƒ ÏŠ ÷ρr& $ yδ Í‘y‰s)Î/

Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya (QS. ar-Ra’d [13] : 17)

Ayat ini menegaskan bahwa air hujan merupakan asal dari air sungai dan air yang ada di lembah-lembah seperti oase.

$ uΖù=y™ö‘r& uρ yx≈tƒ Ìh�9 $# yxÏ%≡ uθ s9 $ uΖø9 t“Ρr' sù zÏΒ Ï !$yϑ¡¡9 $# [ !$ tΒ çνθ ßϑä3≈ oΨøŠs)ó™r' sù !$ tΒ uρ óΟ çFΡr& …çµ s9

tÏΡÌ“≈ sƒ¿2 ∩⊄⊄∪

Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (partikel-partikel pembuat hujan/tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya (QS. al-Hijr [15] : 22).

A

Page 11: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 10

Ayat ini menginformasikan bahwa air hujan itu terbuat dari unsur-unsur tertentu yang dikawinkan oleh angin. Salah satu unsur yang utamanya adalah air laut. Dari air laut, menjadi air hujan, lalu turun menjadi air yang bisa diminum, dan sebagiannya tersimpan menjadi air tanah.

óΟ s9 r& t� s? ¨βr& ©!$# Åe÷“ ム$\/$ ptxā §ΝèO ß# Ïj9 xσム…çµ uΖ÷�t/ §ΝèO …ã& é#yè øg s† $ YΒ% x.â‘ “u�tIsù šX ôŠ tθ ø9 $#

ßl ã�øƒs† ô ÏΒ Ï&Î#≈ n=Åz ãΑÍi”t∴ムuρ z ÏΒ Ï !$uΚ ¡¡9 $# ÏΒ 5Α$t7 Å_ $ pκ� Ïù . ÏΒ 7Š t�t/ Ü=ŠÅÁ ãŠsù ϵÎ/ tΒ â !$t±o„

…çµ èùÎ�óÇ tƒuρ tã ¨Β â !$t±o„ ( ߊ% s3tƒ $uΖy™ ϵÏ%ö� t/ Ü=yδ õ‹tƒ Ì�≈|Á ö/F{$$ Î/ ∩⊆⊂∪

Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian) nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan (QS. an-Nur : 43).

Ayat ini menginformasikan bahwa air hujan berasal dari angin yang membawa partikel-partikel pembuat hujan; air laut, zat-zat air yang ada pada dedaunan, dan sebagainya, lalu setelah turun menjadi hujan ada yang berupa es/salju.

ª!$# “Ï%©!$# ã≅ Å™ö� ムyx≈tƒ Ìh�9$# ç�� ÏWçGsù $ \/$ys y™ … çµäÜ Ý¡ ö6 u‹sù ’Îû Ï !$ yϑ¡¡9 $# y# ø‹x. â!$ t±o„ … ã&é#yè øg s†uρ

$ Z5|¡ Ï. “u�tIsù s− øŠ sθ ø9 $# ßlã� øƒs† ôÏΒ Ïµ Î=≈n=Åz ( !#sŒ Î* sù z>$ |¹r& ϵÎ/ tΒ â !$ t±o„ ô ÏΒ ÿÍνÏŠ$ t7Ïã #sŒ Î) ö/ ãφ

tβρç�ųö;tGó¡o„ ∩⊆∇∪

Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan ke luar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira (QS. ar-Rum [30] : 48).

Ï !$ uΚ¡¡9 $#uρ ÏN#sŒ Æìô_ §�9$# ∩⊇⊇∪ ÇÚ ö‘F{ $#uρ ÏN#sŒ Æí ô‰¢Á9 $# ∩⊇⊄∪

Demi langit yang mengandung hujan, dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan (QS. at-Thariq [86] : 11-12)

Ayat-ayat di atas menginformasikan keterkaitan antara angin, langit, awan, bumi, laut, dan tumbuh-tumbuhan, yang mengindikasikan adanya kesatuan air dalam sebuah siklus kehidupan.

Akan tetapi tidak serta merta ketika zat air berubah dari wujud aslinya pun kemudian air itu otomatis tidak suci. Dalam hal inilah maka hadits-hadits seputar air menyoroti air-air yang sudah berbeda zatnya dari air hujan yang suci. Di dalam Bulughul-Maram ini sendiri akan dibahas seputar kedudukan air laut, air sungai, air

Page 12: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 11

danau, air oase atau rawa, air-air yang tergenang di genangan-genangan air, termasuk membahas status perubahan air yang sampai menajiskan air, dan hal-hal yang bisa membuat air menjadi najis, bangkai salah satunya. Maka dari itu tidak heran jika kemudian dalam bab air ini, dibahas juga oleh al-Hafizh Ibn Hajar hadits-hadits seputar bangkai.

١. نة أبي عريرول قال: قال ���� هسي ���� اهللا رر فحالب :وه ورالطه هاؤل مالح هتتيم .رأخهة جعبالأر نابة أبي وبياللفظ شو له هححصو نبة اميزخ يذمرالتو

Dari Abu Hurairah ra ( radliyal-‘Llahu ‘anhu; semoga Allah meridlainya) ia berkata: Rasulullah saw (shallal-‘Llahu ‘alaihi wa sallam; semoga kebaikan dan

keselamatan senantiasa tercurah kepadanya) bersabda tentang laut: “Dia itu suci airnya halal bangkainya.” Empat Imam dan Ibn Abi Syaibah

mengeluarkannya, dan lafazh hadits ini riwayatnya (Ibn Abi Syaibah). Ibn Khuzaimah dan at-Tirmidzi menshahihkannya.

Takhrij Hadits

Hadits ini, sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas, diriwayatkan oleh Empat Imam (yakni Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibn Majah), Ibn Abi Syaibah dan Ibn Khuzaimah. Adapun rincian datanya: Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab al-wudlu bi ma`il-bahr no. 83; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab ma`ul-bahri annahu thahur no. 69; Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab ma`il-bahr no. 59; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab al-wudlu bi ma`il-bahr no. 386-388; Mushannaf Ibn Abi Syaibah bab man rakhkhasha fil-wudlu` bi ma`il-bahr no. 158; Shahih Ibn Khuzaimah kitab al-wudlu bab ar-rukhshah fil-ghusli wal-wudlu min ma`il-bahr no. 111-112

Al-Hafizh sendiri dalam kitabnya, at-Talkhishul-Habir (1 : 3), menjelaskan bahwa selain imam-imam di atas, hadits ini diriwayatkan juga oleh Malik, as-Syafi’i, Ibn Hibban, Ibnul-Jarud, al-Hakim, ad-Daraquthni, dan al-Baihaqi. Menurut at-Tirmidzi, Imam al-Bukhari menilai hadits ini shahih. Ibn ‘Abdil-Barr yang menilai hadits ini tidak shahih, menurut al-Hafizh, disebabkan kurang cermat dalam meneliti hadits.

Matan Hadits

Sabda Nabi saw: “Dia itu suci airnya halal bangkainya,” sebagaimana dinyatakan al-Hafizh di atas ditujukan pada air laut. Ini akan lebih bisa dimengerti dengan merujuk pada matan yang lebih lengkapnya yang diriwayatkan oleh para imam hadits di atas:

Page 13: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 12

نة أبي عريرأل: الق � هل سجر بىا فقال � النول يسر ا اللهإن كبرن رحالب هالل رسول فقال البحر بماء أفنتوضأ عطشنا به توضأنا فإن الماء من القليل معنا ونحمل

� وه ورالطه هاؤل مالح هتتيم

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw, ia berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh kami pernah berlayar di laut dan membawa sedikit air. Jika kami berwudlu dengan air itu kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudlu dengan air laut?” Rasulullah saw menjawab: “Dia itu suci airnya halal bangkainya.”

Dalam riwayat ad-Daraquthni disebutkan bahwa orang yang bertanya tentang air laut ini namanya ‘Abdullah al-Mudliji. Sementara dalam riwayat at-Thabrani namanya ‘Abd Abu Zum’ah al-Balawi. Meski tidak ada kesepakatan yang pasti tentang nama sang penanya, yang jelas ada orang yang bertanya kepada Nabi saw tentang air laut. Wal-‘Llahu a’lam (at-Talkhishul-Habir 1 : 7).

Syarah Mufradat

Thahur asal katanya thaharah yang berarti suci, bersih. Bentuk kata thahur maknanya adalah ‘alat untuk menyucikan’. Secara zatnya berarti ia suci dan bisa menyucikan.

Maitatuhu artinya bangkai laut. Maksudnya bangkai binatang laut yang memang hidupnya di laut, bukan bangkai binatang darat yang mati di laut (Subulus-Salam).

Syarah Ijmali

Berdasarkan hadits ini, air laut statusnya thahur; suci dan bisa dipakai untuk thaharah seperti wudlu, mandi junub, dan membersihkan kotoran atau najis. Pertanyaan yang dikemukakan sang penanya kepada Nabi saw tentang air laut ini diduga kuat karena ia mengira status air laut yang asin berbeda dengan air tawar biasa. Dengan jawaban Nabi saw di atas jelaslah bahwa air laut statusnya thahur.

Di samping itu, Nabi saw melebihkan jawaban dari yang ditanya. Menurut para ulama, ini menjadi ajaran bahwa jika yang bertanya hanya menanyakan satu persoalan, sebaiknya dikemukakan jawaban yang luas bukan hanya pada persoalan tersebut saja, tetapi meliputi hal-hal lain yang terkait dengannya. Seperti dicontohkan Nabi saw di atas, krisis air yang menjadi tema pertanyaan sang penanya tidak mustahil akan terjadi juga krisis makanan sehingga harus memakan binatang laut termasuk bangkainya. Maka Nabi saw pun menambah jawaban dengan: “halal bangkainya.”

Hadits pertama dalam bab air ini dijadikan dasar oleh al-Hafizh untuk menyajikan hadits-hadits berikutnya dalam dua tema, yakni air dan bangkai.

Page 14: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 13

٢. نعأبي و يدعس ريدول قال: قال ���� الخساء إن ���� اهللا رالم ورلا طه هسجنء ييش .هجرالثلاثة أخ هححصو دمأح.

Dari Abu Sa’id al-Khudri ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuatu apapun yang bisa menjadikannya

najis.” Tiga Imam mengeluarkannya dan Ahmad menshahihkannya.

Takhrij Hadits

Tiga Imam yang meriwayatkan hadits di atas adalah Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa`i. Imam Ahmad juga turut meriwayatkannya dan menshahihkannya. Adapun rincian datanya: Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab ma ja`a fi bi`ri budla’ah no. 66-67; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab al-ma` la yunajjisuhu syai`un no. 66; Sunan an-Nasa`i kitab al-miyah bab dzikri bi`r budla’ah no. 325-327; Musnad Ahmad no. 11134, 11275, 11833.

Menurut al-Hafizh, hadits ini diriwayatkan juga oleh as-Syafi’i, ad-Daraquthni, al-Hakim, al-Baihaqi. Menurut al-Baihaqi hadits ini hasan, tapi menurut Abu Usamah jayyid (bagus). Sementara Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in dan Abu Muhammad ibn Hazm menilainya shahih (at-Talkhishul-Habir 1 : 8).

Matan Hadits

Hadits di atas disampaikan Nabi saw ketika beliau ditanya kenapa beliau mengambil air untuk minum dari sumur Budla’ah:

نأبى ع يدعس رىدقال الخ تعمول سسر الله � وهقال وي له هقى إنتسي لك نة بئر ماعضب ىهو لقى بئرا ييهف ومالب لحالك ايضحالمو رذعاس وول قال. النسر الله شىء ينجسه ال طهور الماء إن �

Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw ketika ia ditanya kenapa mengambil air minum dari sumur Budla’ah padahal masuk ke dalam sumur itu daging (bangkai) anjing, kain-kain bekas haidl, dan sampah dari penduduk Madinah, Rasulullah saw menjawab: “Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuatu apapun yang bisa menjadikannya najis.” (Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab ma ja`a fi bi`ri budla’ah no. 67. Dalam riwayat Abu Dawud no. 66 asbabul-wurud [latar belakang kronologis]-nya adalah pertanyaan bolehkah berwudlu dari sumur Budla’ah. Dalam riwayat an-Nasa`i no. 327 asbabul-wurud-nya adalah pertanyaan shahabat kepada Nabi saw kenapa beliau berwudlu dari sumur Budla’ah)

Syarah Ijmali

Budla’ah, dijelaskan dalam Shahih al-Bukhari, adalah sebuah kebun di Madinah yang biasa ditanami silq [sejenis ubi] (kitab al-isti`dzan bab taslimir-rijal

Page 15: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 14

‘alan-nisa` no. 6248). Kebun tersebut terletak di perkampungan Bani Sa’idah. Pada kebun tersebut terdapat sumur yang airnya sering dikonsumsi untuk minum dan bersuci. Menurut Isma’ili, keterangan di atas bahwa sumur itu sering dijadikan tempat pembuangan kain bekas haidl dan kotoran manusia, mengisyaratkan bahwa kotoran-kotoran dimaksud dibuang di kebun tetapi terbawa curahan air hujan ke sumur. Sebab sumur Budla’ah itu mengalir (Fathul-Bari kitab al-isti`dzan bab taslimir-rijal ‘alan-nisa ). at-Thibi juga menyatakan bahwa sumur Budla’ah terletak di saluran air kebun. Jika hujan turun, maka semua kotoran akan terbawa ke saluran air dan kemudian terbawa ke sumur (Tuhfatul-Ahwadzi abwab at-thaharah bab al-ma` la yunajjisuhu syai`un).

Qutaibah ibn Sa’id pernah bertanya kepada orang yang merawat sumur Budla’ah tentang kedalamannya. Jawabnya, kalau airnya sedang banyak sampai pada pinggul, tapi kalau sedang sedikit sampai pada paha. Imam Abu Dawud pernah mengukur langsung luas sumur tersebut dan menurutnya luasnya sekitar 6 hasta. Abu Dawud bertanya kepada penjaga pintu sumur Budla’ah apakah bentuk sumur tersebut sudah diubah, jawabnya tidak. Saat itu, di masa Abu Dawud (202-275 H/817-888 M), air di sumur Budla’ah sudah berubah warnanya (Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab ma ja`a fi bi`ri budla’ah no. 67).

Imam as-Syafi’i berani memastikan bahwa air di sumur Budla’ah banyak, sehingga kotoran dan najis yang dibuang padanya tidak mengubah zatnya. Al-Waqidi juga menyatakan bahwa saking banyaknya air di sumur Budla’ah, sumur tersebut tidak pernah kering dan habis airnya (at-Talkhishul-Habir 1 : 10).

Jelasnya, air sumur Budla’ah yang digunakan Nabi saw untuk berwudlu dan minum saat itu adalah air bersih yang tidak tercampuri najis, sebagaimana dikemukakan oleh beliau dalam jawaban atas pertanyaan tentang kebersihan air sumur Budla’ah. Sama seperti halnya hadits sebelumnya, Nabi saw dalam hadits ini pun memberi jawaban yang lebih luas daripada yang ditanyakan. Meski Nabi saw hanya ditanya tentang air di sumur Budla’ah saja, Nabi saw menjawabnya dengan jawaban yang umum, bahwa air itu sifat dasarnya suci dan tidak bisa berubah menjadi najis. Oleh para ilmuwan muslim di masa berikutnya kemudian dilakukan penelitian sehingga berhasil melakukan penyulingan air. Sehingga benar sekali sabda Nabi saw di atas bahwa air secara zatnya pasti suci tidak bisa menjadi najis.

٣. نعة أبي وامأم يلاهول قال: قال ���� البساء إن ���� اهللا رلا الم هسجنء ييا إال شم لى غلبع هرحي همطعو ،نهلوو .هجرأخ نبا هاجم فهعضو وم أباتح.

Dari Abu Umamah al-Bahili ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu apapun yang bisa menjadikannya najis,

kecuali sesuatu yang mengubah bau, rasa dan warnanya.” Ibn Majah mengeluarkannya dan Abu Hatim mendla’ifkannya.

٤. يقهيلبلاء: والم رإن إلا طاه ريغت رحيه أو همطع أو هنلو ةاسجث بندحت يهف

Dalam riwayat al-Baihaqi: “ Air itu suci, kecuali jika berubah bau, rasa, atau warnanya dengan sebab najis yang kena padanya.”

Page 16: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 15

Takhrij Hadits

Ibn Majah menuliskan hadits di atas dalam Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab al-hiyadl no. 521. Sementara al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra bab najasatil-ma`il-katsir idza ghayyarathun-najasah.

Hadits di atas statusnya dla’if. Menurut al-Hafizh, dalam keterangan di atas, hadits ini dinyatakan dla’if oleh Abu Hatim. Sementara dalam at-Talkhishul-Habir (1 : 12) al-Hafizh mengemukakan bahwa hadits riwayat Ibn Majah dari Abu Umamah di atas diriwayatkan juga oleh at-Thabrani. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang matruk (tertuduh dusta, banyak melakukan kesalahan fatal) bernama Risydin ibn Sa’ad. Sementara riwayat al-Baihaqi melalui seorang rawi mudallis bernama Baqiyyah ibn al-Walid (Tahdzibut-Tahdzib 1 : 416), sehingga statusnya pun sama; dla’if. Sementara Abu Hatim menilainya dla’if karena mursal (sanadnya tidak melalui shahabat) pada Rasyid ibn Sa’ad.

Syarah Mufradat

Dalam bahasa Arab, makna “dan” bisa berarti pilihan. Jadi makna “berubah bau, rasa dan warnanya,” pada riwayat Ibn Majah tidak berarti harus berubah ketiga-tiganya, tetapi bisa salah satunya. Dan ini dikuatkan oleh riwayat al-Baihaqi yang menyatakan “berubah bau, rasa, atau warnanya” (Subulus-Salam).

Syarah Ijmali

Al-Hafizh sependapat dengan ad-Daraquthni yang menyatakan bahwa hadits tentang batasan air suci tidak ada yang tsabit. Imam as-Syafi’i dalam hal ini juga menyatakan:

من � النبي عن يروى نجسا، كان ولونه ورحيه الماء طعم تغير إذا أنه من قلت ماهجلا و ثبتل يأه يثدالح ،ثلهم وهل وقو ةاملا الع لمأع مهنيلافا بخ

“Apa yang saya nyatakan bahwa air jika berubah rasa, bau dan warnanya maka menjadi najis, ada diriwayatkan dari Nabi saw tetapi dengan status yang tidak dipandang kuat oleh para ahli hadits. Akan tetapi pendapat ini (air menjadi najis karena berubah –pen) adalah pendapat mayoritas ulama, saya tidak tahu ada di antara mereka yang menolaknya.” (at-Talkhishul-Habir 1 : 12)

Imam an-Nawawi menyatakan pendapat yang senada perihal kesepakatan ahli hadits atas kedla’ifan hadits-hadits ini. Ibnul-Mundzir menyatakan bahwa para ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa air, baik yang sedikit atau banyak, jika terkena najis lalu berubah rasa, warna dan baunya, maka air itu jadi najis (at-Talkhishul-Habir 1 : 12).

Menurut A. Hassan, hadits no. 2 sebelumnya yang menyatakan bahwa air suci secara muthlaq/tidak berbatas, tidak mungkin terjadi, mesti ada pembatasnya. Sebab nanti dianggap tidak najis juga air di dalam satu wadah yang dicampur dengan sebanyak-banyaknya kencing atau kotoran. Maka hadits no. 3 di atas menjadi pembatasnya. Meskipun statusnya dla’if, jika hanya digunakan untuk membatasi sesuatu arti yang sangat perlu pembatasan, maka hadits dla’if bisa digunakan. Lebih lengkap pernyataan A. Hassan tersebut adalah sebagai berikut:

Page 17: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 16

Hadits ke 2 muthlaq atau tidak berbatas, ya’ni, air pembersih yang di dalam satu bijana, umpamanya, tidak bisa jadi najis walaupun dicampur dengan sebanyak-banyaknya kencing atau tahi, umpamanya. Yang demikian ini tidak bisa jadi, bahkan perlu ada pembatasnya.

Hadits ke 3 dan 4 dapat dijadikan pembatasnya, walaupun lemah, karena Hadits yang lemah bisa dipakai buat membatasi sesuatu arti yang sangat perlu kepada pembatasan (A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: Diponegoro, cet. XXVIII, 2011, hlm. 30).

Dalam konteks inilah, al-Hafizh mencantumkan hadits Abu Umamah al-Bahili di atas. Meski statusnya dla’if, sudah menjadi ijma’ bahwa jika ada najis masuk ke dalam air, lalu air itu berubah warna, atau bau, atau rasanya, maka air itu statusnya najis, tidak boleh dipakai bersuci atau membersihkan najis. Kuncinya ada pada najis yang masuk ke dalam air, lalu air itu berubah zatnya.

Jika air itu banyak dan zatnya tidak berubah ketika terkena najis seperti darah haidl, maka air itu tetap suci sebagaimana dijelaskan Nabi saw dalam hadits “sumur Budla’ah” di atas.

Dikecualikan juga jika zat air berubah tetapi bukan oleh najis, maka air tersebut tetap suci. Menurut al-Hafizh ada dua riwayat yang bisa dijadikan dalil untuk menguatkan kesimpulan ini, yakni:

نع أم انئه يضا اهللا رهنول أن: عسل � اهللا رساغت وة هونميمو ناءإ من داحو العجني أثر فيها قصعة في

Dari Ummu Hani—semoga Allah meridlainya: “Sesungguhnya Rasulullah saw mandi bersama Maimunah dari satu wadah yang sama dalam satu wadah ceper yang besar, yang padanya ada sisa-sisa adonan gandum.” (Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab dzikrul-ightisal fil-qash’atil-llati yu’janu fiha no. 240. Al-Albani: Hadits shahih)

نة عوري عف ةصق دا أحمو ابأص بيي � النف ههجى: قال وعسو يلع نأبي ب رحيا له فوجد منه يشرب أن � اهللا رسول فأراد مجنة في بماء فأتى المهراس إلى طالب الدم أبيها عن فاطمة وغسلت منه مضمضف آجن ماء هذا: � اهللا رسول فقال

Dari ‘Urwah—tentang kisah perang Uhud dan luka yang mengenai Nabi saw pada wajahnya—ia berkata: “ ‘Ali ibn Abi Thalib bergegas menuju lesung, lalu ia mengambil air menggunakan perisai. Ketika Rasul saw hendak meminumnya, beliau menicum bau tak sedap. Beliau bersabda: “Ini air keruh.” Maka beliau menggunakannya untuk berkumur-kumur, dan Fathimah mencuci luka ayahnya dengan air itu.” (as-Sunan al-Kubra al-Baihaqi kitab at-thaharah bab tharatil-ma`i bi natnin bi la haramin khalithuhu no. 1272)

Page 18: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 17

٥. نعو دبع ن اللهب رمع يضر ا اللهمهنول قال: قال عساء نكا إذا ���� اهللا رالم خزيمة ابن وصححه الأربعة أخرجه. ينجس لم: لفظ وفي. الخبث يحمل لم قلتين

ماكالحو نابان وبح

Dan dari ‘Abdullah ibn ‘Umar—semoga Allah meridlai keduanya [‘Abdullah dan ‘Umar]—ia berkata: Rasulullah—semoga shalawat dan salam tercurah

untuknya—bersabda: “Apabila air banyaknya dua qullah, maka tidak mengandung kotoran.” Dalam lafazh riwayat lain: “Tidak najis.” Empat Imam

mengeluarkannya. Ibn Khuzaimah, al-Hakim dan Ibn Hibban menshahihkannya.

Takhrij Hadits

Hadits ini, sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas, diriwayatkan oleh Empat Imam (yakni Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibn Majah), dan dishahihkan oleh Ibn Khuzaimah, al-Hakim dan Ibn Hibban. Adapun rincian datanya: Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab ma yunajjisul-ma`a no. 63-65; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab al-ma`u la yunajjisuhu syai`un no. 67; Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab at-tauqit fil-ma`i no. 52; kitab al-miyah bab at-tauqit fil-ma`i no. 328; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab miqdaril-ma`il-lladzi la yanjusu no. 517-518; Shahih Ibn Khuzaimah kitab al-wudlu bab dzikril-ma`il-ladzi la yanjusu wal-ladzi yanjusu no. 92; Shahih Ibn Hibban kitab at-thaharah bab al-miyah no. 1249, 1253; Al-Mustadrak al-Hakim kitab at-thaharah bab idza kanal-ma`u qullatain lam yunajjishu syai`un no. 421-426.

A. Hassan sependapat dengan Imam as-Shan’ani menilai hadits ini dla’if karena mudltharib (banyak kerancuan), baik dalam sanad ataupun matan. Selain itu hadits ini pun mauquf pada ‘Abdullah ibn ‘Umar (bersumber dari ‘Abdullah ibn ‘Umar bukan sabda Nabi saw langsung). Menurut A. Hassan penilaian dla’if ini berasal dari imam-imam terkemuka yang jumlahnya lebih banyak daripada imam-imam yang menilainya shahih. Pernyataan A. Hassan tersebut lebih lengkapnya:

I. Air dua qullah itu menurut madzhab Syafi’i, ialah air yang memenuhi satu tempat yang lebarnya, panjangnya dan dalamnya, masing-masing, satu seperempat hasta.

II. Tidak ada satu puh Hadits yang menetapkan ukuran dua qullah dengan satu seperempat hasta seperti yang tersebut itu atau lainnya.

III. Maqshud Hadits ini, bahwa air dua qullah itu tidak akan jadi kotor atau jadi najis lantaran termasuk atau dimasukkan padanya barang yang najis.

IV. Hadits dua qullah ini, walaupun ada yang mengeshahkannya seperti tersebut, tetapi lebih banyak imam-imam terkemuka melemahkannya, lantaran sanadnya mudl-tharib, dan lantaran matannya pun mudl-tharib, dan lantaran mauqufnya, ya’ni dari Ibnu ‘Umar sendiri, bukan dari Nabi saw. (A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: Diponegoro, cet. XXVIII, 2011, hlm. 31)

Page 19: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 18

Menurut as-Shan’ani idlthirab (kerancuan) tersebut terletak pada ragam riwayat yang menyebut “dua qullah” dan ada juga yang menyebut “tiga qullah”, sehingga tidak bisa dipastikan mana yang benar. Di samping itu pengertian qullah juga tidak jelas berapa ukurannya. Dari segi makna, hadits di atas juga ihtimal (meragukan/multipenafsiran) apakah maksudnya air dua qullah itu lam yahmilil-khabats; tidak mengandung kotoran, berarti tidak mungkin menghilangkan/melarutkan kotoran yang masuk sehingga statusnya tidak suci ataukah tidak mungkin terkontaminasi kotoran sehingga statusnya suci (Subulus-Salam ta’liq al-Albani 1 : 41).

Ulama lain yang menilai hadits ini dla’if adalah Ibn ‘Abdil-Barr pensyarah kitab al-Muwaththa` Imam Malik dalam dua kitabnya, at-Tamhid dan al-Istidzkar. Menurutnya, pendapat madzhab Syafi’i tentang hadits dua qullah ini adalah madzhab yang dla’if dari segi nalar dan tidak tsabit (tetap/kuat) dari segi periwayatan. Sebab hadits yang dijadikan dasarnya dipermasalahkan oleh para ulama ahli riwayat, dan makna qullah itu sendiri tidak ada penjelasan yang pasti baik dari atsar ataupun ijma’ berapa ukurannya (at-Tamhid lima fil-Muwaththa` minal-Ma’ani wal-Asanid 1 : 335). Isma’il al-Qadli juga terang-terangan mempermasalahkan dan menolak hadits ini dalam kitabnya Ahkamul-Qur`an (al-Istidzkar 1 : 142).

Imam at-Thahawi juga menyatakan tidak menjadikan hadits ini sebagai dalil, sebab ukuran dua qullah itu sendiri tidak jelas. Sementara Imam Ibn Daqiqil-‘Id, meskipun ia mengakui adanya sebagian ulama yang menshahihkannya dan mereka juga menilai idlthirab sanad dan matannya bisa diselamatkan, tetapi tetap saja ia tidak menjadikan hadits ini sebagai dalil, sebab menurut metode penelitian yang digunakannya hadits ini tidak pantas dijadikan sandaran hukum syara’ disebabkan kerancuan-kerancuan yang dikandungnya (at-Talkhishul-Habir 1 : 16).

Meski demikian, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani selaku penyusun kitab Bulughul-Maram, sebagaimana terbaca dalam hadits di atas, mengakui keshahihan hadits dua qullah ini yang juga dinilai shahih oleh tujuh ulama hadits di atas (Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibn Majah, Ibn Khuzaimah, al-Hakim dan Ibn Hibban). Di samping itu, Imam as-Syafi’i, Ahmad, ad-Daraquthni dan al-Baihaqi turut menguatkannya (at-Talkhishul-Habir 1 : 15).

Dalam kitabnya yang lain, at-Talkhishul-Habir, al-Hafizh menjelaskan bahwa meskipun hadits ini mudltharib tetapi idlthirab-nya bukan idlthirab tercela yang menyebabkannya jatuh pada status dla’if. Idlthirab hadits ini masih di antara sesama rawi yang tsiqat (kuat dan terpercaya) sehingga statusnya mahfuzh (kuat [lawan dari syadz/lemah]). Sumber idlthirab itu sendiri adalah rawi yang bernama al-Walid ibn Katsir. Di satu sanad disebutkan dari al-Walid ibn Katsir dari Muhammad ibn Ja’far ibn az-Zubair. Di sanad lain disebutkan dari al-Walid ibn Katsir dari Muhammad ibn ‘Abbad ibn Ja’far. Selain itu, untuk rawi di atasnya ada disebutkan dari ‘Ubaidullah ibn ‘Abdullah ibn ‘Umar, ada juga disebutkan dari ‘Abdullah ibn ‘Abdullah ibn ‘Umar. Rawi-rawi yang disebutkan berlainan ini statusnya tsiqat, sehingga meskipun zhahirnya terlihat idlthirab, tetap saja idlthirab-nya tidak sampai dla’if. Akan tetapi setelah diteliti lebih lanjut, sebenarnya tidak ada idlthirab dalam sanad hadits di atas. Al-Walid ibn Katsir menerima dari Muhammad ibn ‘Abbad ibn Ja’far dari ‘Abdullah ibn ‘Abdullah ibn ‘Umar. Dalam sanad lain, Al-Walid ibn Katsir menerima dari Muhammad ibn Ja’far ibn az-Zubair dari ‘Ubaidullah ibn ‘Abdullah ibn ‘Umar. Selain

Page 20: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 19

dua sanad ini maka itu wahm (meragukan). Imam Ibn Ma’in juga menegaskan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus (at-Talkhishul-Habir 1 : 15-16)

Tentang ukuran “dua qullah” yang dinilai membingungkan, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, tidak membingungkan. Sebab dalam berbagai riwayat yang lain, para tabi’in dan tabi’ tabi’in yang meriwayatkan hadits ini sudah menjelaskan bahwa ukurannya didasarkan pada “qullah Hajar” (maksudnya qullah yang biasa digunakan oleh penduduk Hajar, Madinah). Memang hadits yang menyebutkan secara langsung maksud qullah adalah “qullah Hajar” statusnya dla’if (riwayat Ibn ‘Addi dari Ibn ‘Umar. Pada sanadnya ada rawi bernama al-Mughirah ibn Siqlab yang tidak bisa dipercaya). Meski demikian “qullah Hajar” ini adalah qullah yang sudah dikenal di kalangan bangsa Arab saat itu, terlepas dari adanya hadits dla’if tersebut atau tidak. Buktinya, banyak sya’ir Arab yang menyebutkannya. Demikian juga dalam hadits Nabi saw tentang mi’raj ada disebutkan oleh Nabi saw tentang “qullah Hajar” ini (Nabi saw bersabda tentang pohon bidara di penghujung langit/sidratul-muntaha:

الفيول آذان كأنه وورقها رهج قلال كأنه نبقها فإذا

Ternyata buah-buahannya sebesar qullah Hajar dan dedaunannya seperti telinga gajah [Shahih al-Bukhari bab al-mi’raj no. 3887]).

Ini menunjukkan bahwa ukuran qullah itu sudah sama-sama diketahui oleh bangsa Arab. Tepatnya seukuran qirbah (geriba/tempat air/susu dari kulit) atau jarrah (guci besar tempat air minum) (at-Talkhishul-Habir 1 : 17-18). Menurut Ibn Taimiyyah dalam kitabnya Syarah al-‘Umdah, dua qullah itu jika diukurkan pada sha’ adalah 93,75 sha’ (Taudlihul-Ahkam 1 : 122). Jika satu sha’ 3 ¼ liter, maka dua qullah berarti 304,7 liter, atau sekitar 30 ember ukuran 10 liter.

Syaikh al-Albani sependapat dengan al-Hafizh Ibn Hajar, menyatakan bahwa hadits ini shahih. Penilaian sebagian ulama bahwa hadits ini mudltharib tertolak karena faktanya tidak mudltharib. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibn Majah, ad-Darami, at-Thahawi, ad-Daraquthni, al-Hakim, al-Baihaqi, at-Thayalisi, Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban. Imam adz-Dzahabi dan an-Nawawi juga menilai shahih atas hadits ini (Irwa`ul-Ghalil 1 : 20 no. 23). Tentang maksud dari lam yamilil-khabats menurut al-Albani juga jelas, yakni tidak mengandung najis, bukan tidak bisa melarutkan najis sehingga tidak suci (ta’liq Subulus-Salam).

Dari uraian di atas, penulis menilai bahwa argumentasi para ulama hadits yang menshahihkan hadits ini lebih kuat dibanding para ulama hadits yang mendla’ifkannya.

Bagan Sanad Hadits Air Dua Qullah

)٢٣/ ١( داود أىب سنن حدثنا قالوا وغيرهم على بن والحسن شيبة أبى بن وعثمان العالء بن محمد حدثنا - ٦٣ بن الله عبد بن الله عبد عن الزبير بن جعفر بن محمد عن كثري بن الوليد نع أسامة أبو

رمع نع ل قال أبيهئول سسر ن � اللهاء عا الممو هوبني نم ابوا الداعوبفقال لس �

Page 21: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 20

عثمان وقال العالء ابن لفظ وهذا داود أبو قال. الخبث يحمل لم قلتين الماء كان إذانسالحو نب ىلع نع دمحن مب ادبن عفر بعو الق. جأب داود وهو ابوالص.

)٩٧/ ١( الترمذي سنن

بن جعفر بن محمد عن ،إسحاق بن محمد عن ،عبدة حدثنا: قال ،هناد حدثنا - ٦٧ وهو � الله رسول سمعت: قال ،عمر ابن عن ،عمر بن الله عبد بن الله عبيد عن ،الزبير فقال: قال والدواب؟ السباع من ينوبه وما األرض، من الفلاة في يكون املاء عن يسأل

»اخلبث يحمل لم قلتين املاء كان إذا: «� الله رسول

)٤٦/ ١( النسائي سنن

،كثري بن الوليد عن ،أسامة أبي عن ،حريث بن والحسين السري، بن هناد أخبرنا - ٥٢نع دمحن مفر بعج، نع دبالل عن هب دبع ن اللهب رمع، نع ل: قال أبيهئول سسر الله � »الخبث يحمل لم قلتين الماء كان إذا: «فقال. والسباع الدواب من ينوبه وما الماء عن

)٣٢٤/ ١( ٢٧٣ ماجة ناب سنن

إسحاق بن محمد أخبرنا هارون بن يزيد حدثنا الباهلي خالد بن بكر أبو حدثنا -٥١٧نع دمحن مفر بعن جر بيبالز نع ديبن اهللا عب دبن اهللا عب رمع نع قال أبيه :تعمس

والسباع الدواب من ينوبه وما األرض من بالفالة يكون الماء عن سئل � اهللا رسول .شيء ينجسه لم قلتين الماء بلغ إذا: � اهللا رسول فقال

عن إسحاق بن محمد عن المبارك بن اهللا عبد حدثنا رافع بن عمرو حدثنا - م٥١٧دمحن مفر بعج نع ديبن اهللا عب دبن اهللا عب رمع نع ن أبيهع بيالن � هوحن.

Page 22: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 21

Keterangan:

Dari bagan sanad hadits di atas bisa diketahui bahwa al-Walid ibn Katsir menerima dari Muhammad ibn ‘Abbad ibn Ja’far juga dari Muhammad ibn Ja’far ibn az-Zubair. Muhammad ibn Ja’far ibn az-Zubair sendiri menerima dari ‘Abdullah dan ‘Ubaidullah, yang kedua-duanya putra shahabat Ibn ‘Umar, cucu ‘Umar ibn al-Khaththab. Mereka semua rawi-rawi yang tsiqat (terpercaya). Jadi sanad hadits ini shahih.

Matan Hadits

Hadits dua qullah di atas merupakan jawaban Nabi saw atas pertanyaan shahabat tentang mata air yang ditemukan di padang pasir dimana hewan-hewan buas atau jinak juga turut minum dari air itu.

نع دبن اهللا عب رمل قال عئول سسن � اهللا راء عكون: لفظ يف-المى يف الفالة- : لفظ يف - الخبث يحمل لم قلتين الماء كان إذا � فقال والسباع الدواب من ينوبه وماهال فإن سجني

Dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, ia berkata: Rasulullah saw ditanya tentang air—di riwayat lain: yang ada di gurun pasir—yang dipakai juga oleh hewan-hewan jinak dan buas. Maka Rasul saw menjawab: “Jika air dua qullah maka tidak mengandung kotoran—dalam riwayat lain: maka sungguh air itu tidak najis.” (Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab ma yunajjisul-ma`a no. 63-65).

���� النيب

عمر بن اهللا عبد

عمر بن اهللا عبد بن اهللا عبيد عمر بن اهللا عبد بن اهللا عبد

جعفر بن بادع بن حممد الزبري بن جعفر بن حممد

إسحاق بن حممد كثري بن الوليد

ماجه ابن النسائي الترمذي داود أبو

Page 23: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 22

Syarah Ijmali

Bagi madzhab Syafi’i hadits di atas kedudukannya sama dengan hadits sumur Budla’ah pada kajian syarah hadits sebelumnya. Ketika Nabi saw ditanya tentang air sumur Budla’ah yang terkadang bercampur dengan sampah dan kotoran bekas haidl, Nabi saw menjawab bahwa air tidak bisa dijadikan najis oleh apapun. Dari hadits ini Imam as-Syafi’i berkesimpulan bahwa air yang banyak seperti di sumur tidak menjadi najis ketika terkena barang-barang yang najis, sebab tidak akan merubah zat air tersebut. Dan melalui hadits dua qullah di atas, maka madzhab Syafi’i berpendapat bahwa ukuran air banyak yang tidak bisa terkontaminasi najis itu adalah yang ukurannya dua qullah dan yang selebih dari itu (Subulus-Salam). Sampai di sini maka berarti tidak terlalu sulit memahami hadits dua qullah ini, sebab sama pemahamannya dengan hadits sumur Budla’ah sebelumnya. Yakni bahwa penyebab Nabi saw menyatakan tidak akan menjadi najis itu karena memang kotoran/najis yang sedikit tidak akan mengubah zat air yang banyak.

Akan tetapi ketika ditarik pemahaman sebaliknya (mafhum mukhalafah), maka di sini terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat). Yakni apakah jika air kurang dari dua qullah terkena najis, secara otomatis menjadikan air tersebut najis meski tidak berubah zatnya (warna, bau dan rasa)?

Imam Abu Hanifah, as-Syafi’i, Ahmad dan murid-murid mereka berpendapat bahwa jika air sedikit, yakni kurang dari dua qullah, lalu terkena najis, maka otomatis air itu najis dan tidak boleh dipakai bersuci, sebab yang dijamin tidak bernajis itu hanya yang seukuran dua qullah. Pendapat ijma’ (yang disepakati oleh semua madzhab) tentang air menjadi tidak suci jika terkena najis dan berubah zatnya itu berlaku untuk yang di atas dua qullah. Sementara yang kurang dari dua qullah, berdasarkan hadits ini, meski tidak berubah zatnya statusnya menjadi najis jika terkena najis. Dalil lain yang bisa dijadikan sandaran dari kesimpulan ini adalah perintah Nabi saw untuk membuang air yang ada pada wadah yang dijilat oleh anjing, dan Nabi saw tidak mempedulikan apakah zatnya berubah atau tidak. Demikian juga, bagi madzhab Syafi’i, dalil untuk menopang kesimpulan ini adalah larangan untuk memasukkan tangan ke dalam wadah berisi air yang ditakutkan tangannya bernajis. Juga hadits larangan mandi pada air yang tergenang tidak mengalir yang sebelumnya dikencingi. Bagi madzhab Syafi’i dalil-dalil yang dirinci terakhir ini menjadi isyarat bahwa jika air yang kurang dari dua qullah terkena najis, menjadi najislah semua air itu.

Sementara itu, Imam Malik, Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah, Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah, Muhammad ibn ‘Abdil-Wahhab dan ulama-ulama da’wah salafiyyah dari Najd, menyatakan berbeda. Menurut mereka air yang banyak jika terkena najis, maka selama tidak berubah zatnya, statusnya tetap suci. Sementara air yang sedikit atau yang kurang dari dua qullah, jika terkena najis, maka harus dilihat dulu apakah zatnya berubah ataukah tidak. Kalau zatnya berubah disebabkan najis tersebut, maka air yang kurang dari dua qullah statusnya tidak suci. Sementara jika zatnya tidak berubah sesudah terkena najis tersebut, maka status air tersebut tetap suci. Ini berarti sesuai dengan ijma’ yang sudah disinggung sebelumnya bahwa patokan kesucian air itu dua saja, yakni apakah terkena najis dan apakah kemudian berubah zatnya (warna, bau dan rasa). Jika kedua-duanya ada maka air menjadi najis, jika tidak ada salah satunya maka status air tetap suci (Disadur dari Subulus-Salam dan Taudlihul-Ahkam).

Kesimpulan dari uraian yang berbelit-belit di atas adalah: Pertama, status hadits “dua qullah” shahih. Kedudukannya dengan demikian sama dengan hadits

Page 24: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 23

sumur Budla’ah sebelumnya. Maksud dari kedua hadits tersebut adalah air yang banyak tidak mungkin menjadi najis/tidak suci ketika terkena najis karena memang najis yang masuk tidak akan mengubah zat air yang bersih/thahur.

Kedua, jika air terkena najis lalu zatnya pun berubah, terlepas dari berapa banyaknya, apakah sebanyak air sumur atau lebih sedikit, demikian juga apakah sebanyak dua qullah atau lebih sedikit, maka air itu tidak suci.

Berdasarkan hadits ini juga hadits-hadits sebelumnya maka berarti air yang sudah terkena najis pun jika bisa diubah kembali zat airnya menjadi bersih (thahur) seperti semula, maka statusnya suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Contohnya air minum (PDAM) yang diambil dari sungai-sungai yang kotor dan sudah terkontaminasi najis.

٦. نعة أبي وريرول قال: قال ���� هسلا ���� اهللا ر تغسلي كمدي أحاء فم المائالد وهو بنج هجرأخ ملسم .

Dari Abu Hurairah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Rasulullah—semoga shalawat dan salam tercurah untuknya—bersabda: “Salah seorang di

antara kalian jangan mandi pada air yang tergenang ketika junub.” Muslim mengeluarkannya.

٧. اريخلبلال: و لنوبي كمدي أحاء فم المائي الدري ال الذجي سل ثمتغي يهف .

Dalam riwayat al-Bukhari: “Janganlah salah seorang di antara kalian kencing pada air yang tergenang yang tidak mengalir, kemudian mandi padanya.”

الجنابة من فيه يغتسل وال: داود ولأبي .منه: ولمسلم .٨

Dalam riwayat Muslim: “Mandi darinya.” Dalam riwayat Abu Dawud: “(Jangan kencing) dan jangan mandi junub padanya.”

Takhrij Hadits

Hadits ini, sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas, diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud. Adapun rincian datanya: Shahih al-Bukhari kitab al-wudlu bab al-ma`id-da`im no. 239; Shahih Muslim kitab at-thaharah bab an-nahy ‘anil-ightisal fil-ma`ir-rakid no. 682-684; Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab al-baul fil-ma`ir-rakid no. 69-70.

Selain tiga imam tersebut, hadits di atas juga diriwayatkan oleh imam hadits lainnya dalam kitab-kitabnya, yaitu: Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab karahiyatil-baul fil-ma`ir-rakid no. 68; Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab al-ma`id-da`im no. 57-58; bab an-nahy ‘an isghtisalil-junub fil-ma`id-da`im no. 220; kitab al-miyah bab an-nahy ‘an isghtisalil-junub fil-ma`id-da`im no. 331; kitab al-ghusl wat-tayammum bab dzikri nahyil-junub ‘anil-isghtisal fil-ma`id-da`im no. 396-

Page 25: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 24

400; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah wa sunaniha bab al-junub yanghamisu fil-ma`id-da`im no. 605; as-Sunan al-Kubra al-Baihaqi kitab at-thaharah bab ad-dalil annahu ya`khudzu li kulli ‘udlwin ma`an jadidan no. 1137; Musnad Ahmad ibn Hanbal bab hadits Abi Hurairah no. 7517, 7592, 8171, 8539, 8725, 9594, 9989, 10390, 10853.

Matan Hadits

Dari hadits yang disajikan al-Hafizh Ibn Hajar di atas dalam kitabnya, Bulughul-Maram, dapat diketahui adanya tiga variasi matan, yaitu:

Pertama, larangan mandi junub pada air yang tergenang (riwayat Muslim no. 684).

Kedua, larangan kencing pada air yang tergenang lalu mandi padanya (riwayat al-Bukhari), atau darinya, yakni mengambil air untuk mandi dari air yang sudah dikencingi tersebut (riwayat Muslim no. 682-683).

Ketiga, larangan kencing dan larangan mandi. Kedua-duanya dilarang, baik itu pada waktu bersamaan atau pada waktu yang berlainan (riwayat Abu Dawud).

Dalam riwayat Ahmad dan al-Baihaqi ditemukan bahwa larangan terkait hadits di atas masih ada dua lagi, yakni:

Keempat, larangan wudlu dari air yang tergenang.

منه يتوضأ ثم الدائم، الماء في أحدكم يبولن لا

Janganlah seseorang di antara kalian kencing pada air yang diam kemudian berwudlu darinya (Musnad Ahmad no. 7517, 7592, 10390, 10853).

Kelima, larangan minum dari air yang tergenang.

يشرب أو منه يتوضأ ثم الدائم الماء في أحدكم يبولن لا

Janganlah seseorang di antara kalian kencing pada air yang diam kemudian berwudlu atau minum darinya (as-Sunan al-Kubra al-Baihaqi kitab at-thaharah bab ad-dalil annahu ya`khudzu li kulli ‘udlwin ma`an jadidan no. 1137).

Dalam riwayat Muslim no. 684, Abu Hurairah ditanya oleh Abus-Sa`ib bagaimana seharusnya yang dilakukan jika memang mandi di dalam air yang tergenang tidak diperbolehkan:

تناوال يتناوله قال هريرة أبا يا يفعل كيف فقال

Ia (Abus-Sa`ib) bertanya: “Bagaimana yang harus dilakukan wahai Abu Hurairah?” Ia menjawab: “Ia mengambil airnya.”

Syarah Ijmali

Dalam kajian syarah hadits sebelumnya sudah dikemukakan bahwa para ulama sudah ijma’, air yang suci itu adalah air yang tidak terkena najis sehingga berubah zatnya (rasa, bau dan warna). Jika air terkena najis, asalkan zatnya tidak berubah,

Page 26: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 25

maka air tetap suci. Demikian juga air yang berubah zatnya, asalkan bukan karena najis yang kena padanya, maka air itu suci (bisa dipakai bersuci) meski tidak bersih.

Dalam kajian syarah hadits sebelumnya juga sudah disinggung bahwa bagi madzhab Syafi’i, ketentuan air suci di atas berlaku pada air yang banyak, yakni yang banyaknya dua qullah lebih. Sementara untuk air yang kurang dari dua qullah, ketika ia terkena najis, maka menjadi najis pula air tersebut meski tidak berubah zatnya (rasa, bau dan warna). Di antara dalil yang digunakannya adalah hadits di atas, hadits air sisa (musta’mal), dan hadits membuang air yang dijilat anjing yang akan dibahas berikutnya. Dalam hadits di atas, menurut madzhab Syafi’i, Nabi saw tidak mempedulikan apakah air itu berubah zatnya atau tidak. Karena sudah terkena najis, maka air itu tidak boleh dipakai. Madzhab Syafi’i memahami air tergenang dalam hadits ini pasti yang kurang dari dua qullah. Sebab yang lebih dari dua qullah sudah pasti tidak akan najis, sebagaimana disabdakan Nabi saw dalam hadits sebelumnya (Subulus-Salam).

Akan tetapi pendapat ini tidak kuat, sebab bertentangan dengan ijma’ bahwa air yang terkena najis, asalkan zatnya (rasa, bau dan warna) tidak berubah, tidak peduli berapa banyaknya, berarti ia masih suci dan bisa dipakai bersuci. Pendapat ini lebih masuk akal—meski akal bukan standar utama kebenaran—dan lebih praktis diamalkan. Jika merujuk pada pendapat madzhab Syafi’i di atas, akan banyak kejanggalan. Air yang lebih dari dua qullah (+ 300 liter) meski sudah kotor, bau dan bercampur dengan kotoran tetap diyakini sebagai air suci, sementara air yang kurang dari dua qullah meski masih bersih hanya karena terkena sedikit najis, dinyatakan najis dan tidak boleh dipakai bersuci. Sungguh janggal.

Meski demikian, bukan berarti hadits di atas gugur. Hadits di atas tetap berlaku dan bisa diamalkan, tentunya dengan pemahaman yang berbeda dengan madzhab Syafi’i di atas. Larangan dalam hadits di atas adalah larangan yang bersifat ta’abbudi (ibadah murni) yang kita akan diganjar pahala jika patuh melaksanakannya. Secara zhahirnya, terlepas dari apakah air yang tergenang itu masih suci atau tidak, larangan dalam hadits di atas menunjukkan pada haram. Tetapi Imam Malik menyatakan bahwa larangan seperti ini masuk kategori makruh lit-tanzih (makruh demi kebersihan), sebab jika memang faktanya air itu suci masih bisa dipakai untuk bersuci. Akan tetapi menurut Imam al-Qurthubi, larangan dalam hadits ini haram sebagai tindakan preventif (pencegahan/saddu dzari’ah) agar tidak ada penajisan/pengotoran air (Subulus-Salam dan Fathul-Bari bab al-ma`id-da`im).

Sebagaimana terlihat dalam matan hadits di atas, larangan ini mencakup lima hal: larangan mandi saja, larangan kencing saja, larangan kencing lalu mandi, larangan wudlu, dan larangan minum. Semuanya tertuju pada ‘air yang tergenang’ yang dijelaskan oleh Nabi saw: “Air yang tidak mengalir”. Dengan demikian hadits ini tidak bertentangan dengan hadits sumur Budla’ah di awal. Nabi saw membolehkan menggunakan air sumur Budla’ah karena memang berada pada aliran air, seperti halnya air danau atau bendungan. Demikian juga tidak bertentangan dengan hadits air dua qullah sebelumnya, dimana Nabi saw membolehkannya karena statusnya sebagai mata air. Kalau yang dilarang dalam hadits ini adalah genangan-genangan air yang sama sekali tidak mengalir dan bukan mata air. Genangan-genangan air seperti ini memang berpontesi besar menjadi sarang penyakit seperti nyamuk demam berdarah.

Bagi yang berpendapat air musta’mal (bekas dipakai orang) najis, hadits di atas juga dijadikan salah satu dalil utamanya. Argumentasinya, Abu Hurairah sebagai shahabat yang paling tahu makna hadits, ketika ditanya bagaimana yang harus

Page 27: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 26

dilakukan jika memang mandi di dalam air yang tergenang tidak diperbolehkan, ia menjawab: “Ambil airnya.” Maksudnya, jangan mandi di sana, tapi airnya diambil saja untuk keperluan mandi. Sebab jika mandi pada air itu, airnya jadi musta’mal dan najis. Air musta’mal najis, karena memang sudah terkontaminasi najis dari badan yang dimandikan/dibersihkan. Dan ini sesuai dengan logika fiqh salah satu madzhab di atas, air yang kurang dari dua qullah (seperti air yang tergenang ini) jika terkena najis maka najislah airnya. Akan tetapi, fiqh air musta’mal ini tidak tepat, mengingat Nabi saw pernah menggunakan air musta’mal dan menyatakan bahwa air tidak bisa mentransfer najis, sebagaimana akan diuraikan berikutnya (Fathul-Bari bab al-ma`id-da`im. Dalam Fathul-Bari disebutkannya ‘sebagaimana sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya’).

٩. نعل وجر بحص بيى: قال ���� النهول نسسل أن ���� اهللا رتغأة ترل المبفض وإسناده والنسائي داود أبو هأخرج. جميعا وليغترفا المرأة بفضل الرجل أو الرجل

يححص

Dari seorang shahabat Nabi ia berkata: “Rasulullah—semoga shalawat dan salam tercurah untuknya—melarang seorang wanita mandi menggunakan air

bekas lelaki atau lelaki menggunakan air bekas wanita. Tetapi ceduklah bersamaan.” Abu Dawud dan an-Nasa`i mengeluarkannya, dan sanadnya

shahih.

١٠. نعن وباس ابع يضر ا اللهمهنأن ع بيسل كان ���� النتغل ية بفضونميم يضر . مسلم خرجهأ عنها اهللا

Dari Ibn ‘Abbas—semoga Allah meridlai keduanya (‘Abdullah dan ayahnya, al-‘Abbas)—ia berkata: “Sungguh Nabi—semoga shalawat dan salam tercurah

untuknya—mandi menggunakan air bekas Maimunah—semoga Allah meridlainya.” Muslim mengeluarkannya.

منها ليغتسل فجاء جفنة في ���� النبي أزواج بعض اغتسل: السنن ولأصحاب .١١فقالت ي: لهإن تا كنبناء إن: فقال جلا الم نبجي حصوهح يذمرالت نابة وميزخ

Dalam riwayat para imam penyusun kitab Sunan: Sebagian istri Nabi mandi pada satu tempat air. Lalu beliau datang untuk mandi dari tempat air itu.

Istrinya berkata kepada beliau: “Saya sedang junub.” Jawab Nabi: “Sungguh air tidak menjunubkan.” At-Tirmidzi dan Ibn Khuzaimah menshahihkannya.

Page 28: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 27

Takhrij Hadits

Hadits no. 9 terdapat dalam kitab-kitab berikut: Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab an-nahy ‘anil-wudlu bi fadlli wadlu`il-mar`ah no. 81; Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab dzikrin-Nahy ‘anil-ightisal bi fadllil-junub no. 238; Hadits no. 7 tentang air bekas Maimunah ditulis dalam Shahih Muslim kitab al-haidl bab al-qadril-mustahab minal-ma`i fi ghuslil-janabah no. 760.

Sementara hadits no. 10-11 tentang dialog Nabi saw dengan istrinya terdapat dalam kitab-kitab berikut: Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab al-ma` la yujnibu no. 68; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab ar-rukhshah fi dzalika no. 65; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab ar-rukhshah bi fadlli wadlu`il-mar`ah no. 370.

Al-Hafizh Ibn Hajar, sebagaimana terbaca dalam hadits no. 9 di atas, menyatakan bahwa hadits tersebut sanadnya shahih. Ini merupakan penegasan darinya bahwa hadits tersebut shahih dan tidak dla’if sebagaimana penilaian sebagian ulama. Di antara yang mendla’ifkan hadits tersebut adalah al-Baihaqi dan Ibn Hazm. Menurut al-Baihaqi hadits di atas mursal sebab tidak jelas siapa shahabat yang menerima hadits tersebut. Sementara menurut Ibn Hazm, seorang rawinya yang bernama Dawud, yang menerima dari Humaid ibn ‘Abdirrahman, adalah Dawud ibn Yazid al-Audi, ia seorang rawi yang dla’if. Al-Hafizh dalam hal ini membantahnya. Menurutnya, perrnyataan al-Baihaqi bahwa hadits ini mursal tertolak, sebab jelas dalam sanadnya disebutkan oleh Humaid ibn ‘Abdirrahman bahwa ia menerimanya dari seorang shahabat yang pernah hidup bersama Nabi saw selama empat tahun, dan ia menemuinya langsung. Meski tidak disebutkan nama shahabat tersebut (mubham) hal itu tidak menjadi masalah karena semua shahabat teruji kredibilitasnya (‘adil ). Selanjutnya pernyataan Ibn Hazm bahwa salah seorang rawinya yang bernama Dawud dla’if juga tertolak. Sebab Ibn Hazm keliru menilai Dawud di sana Dawud ibn Yazid al-Audi, yang benar adalah Dawud ibn Abdillah al-Audi seorang rawi yang terpercaya/tsiqat (Fathul-Bari bab wudlu`ir-rajul ma’a imra`atihi).

Syarah Ijmali

Menurut A. Hassan, meskipun hadits no. 9 di atas shahih, tetap saja bertentangan dengan hadits no. 10-11 berikutnya yang menegaskan bahwa Rasulullah saw pernah mandi dengan air bekas istrinya mandi. Maka dari itu A. Hassan menyatakan bahwa hadits no. 9 tersebut tidak boleh dijadikan dalil.

Hadits ke 9 itu sungguhpun dishahkan, tetapi tentang shahnya ada perselisihan antara ‘ulama Hadits. Dari itu tidak boleh dijadikan-dia alasan, terutama ia berlawanan dengan Hadits-hadits ke 10 dan ke 11 yang menegaskan bahwa Rasulullah saw ada pernah mandi dengan air bekas istrinya mandi (A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: Diponegoro, cet. XXVIII, 2011, hlm. 33).

Akan tetapi menurut Abdul Qadir Hassan, hadits no. 9 di atas tidak perlu dianggap bertentangan, sebab larangan dalam hadits tersebut hanya larangan makruh dalam hal kebersihan (Tarjamah Bulughul Maram, hlm. 33).

Dikatakan bahwa tentang shahnya ada perselisihan. Sebenarnya riwayat itu sudah shah dan dapat dianggap tidak bertentangan apabila “larangan” dalam

Page 29: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 28

riwayat itu dipakai dengan ma’na “makruh” dalam hal kebersihan (Abdul Qadir Hassan dalam A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, hlm. 33)

Al-Hafizh Ibn Hajar sendiri dengan mencantumkan dua hadits di atas dalam Bulughul-Maram pada hakikatnya hendak menunjukkan bahwa kedua hadits tersebut bisa diamalkan dengan pendekatan kompromi (thariqatul-jam’i), yakni bahwa larangan Nabi saw menggunakan air bekas orang lain itu ditujukan pada air yang berjatuhan dari badan, bukan air yang tersisa di wadah dan belum digunakan. Atau bisa juga yang terlarang digunakan itu adalah air bekas secara umum dengan pertimbangan kebersihan. Artinya jika masih bersih dan suci bisa digunakan, jika sudah kotor sebaiknya jangan digunakan (Fathul-Bari bab wudlu`ir-rajul ma’a imra`atihi).

Kesimpulan seperti ini diambil mengingat hadits-hadits yang membolehkan menggunakan air bekas—tentunya selama berstatus suci—kedudukannya shahih dan bisa dijadikan sandaran dalil, di antaranya hadits no. 10-11 di atas. Pernyataan Nabi saw dalam hadits tersebut: “Sungguh air tidak menjunubkan” maksudnya adalah bahwa air bekas mandi junub tidak kemudian mengandung junub sehingga tidak suci. Artinya air tidak mentransfer junub dari seseorang kepada orang lain yang turut menggunakannya.

Selain hadits di atas, ada hadits lainnya yang membolehkan menggunakan air bekas:

نع دبن اهللا عب رمع أنال كان قال هجاء الرسالنئون وضوتي يف انمول زساهللا ر جميعا �

Dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, ia berkata: “Lelaki dan wanita di zaman Rasulullah saw biasa berwudlu bersama.” (Shahih al-Bukhari kitab al-wudlu bab wudlu`ir-rajul ma’a imra`atihi no. 193.

Hadits di atas, menurut al-Bassam, tentu jangan dipahami lelaki dan wanita yang non-muhrim wudlu bersama-sama, sebab itu jelas haramnya. Sebagaimana terbaca dalam tarjamah al-Bukhari di atas, yang dimaksud hadits di atas pastinya suami-istri wudlu bersama (Taudlihul-Ahkam). Bisa bersama waktunya atau bersama tempatnya meski waktunya berlainan.

Sebagian ulama menganggap najis air musta’mal yang kurang dari dua qullah sebab air tersebut pasti sudah terkena najis dari orang yang memakainya. Berdasarkan teori fiqh yang mereka anut, jika air kurang dari dua qullah lalu terkena najis, maka air tersebut najis, tidak peduli apakah zatnya berubah atau tidak. Sebagaimana sudah disinggung di atas, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa air musta’mal, meski sudah terkontaminasi najis, jika statusnya masih suci, yakni belum berubah zatnya (rasa, bau dan warna) disebabkan najis, maka statusnya masih suci dan bisa dipakai bersuci.

Page 30: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 29

١٢. نعة أبي وريرول قال: قال ���� هساهللا ر ���� :وراء طهإن كمدلغ إذا أحو يهف أن الكلب سلهغي عبس اترم ناب أوالهربالت هجرأخ ملسي. مفو لفظ له :رقهفلي .

يذمرلتلو :ناهرأخ أو ناب أوالهربالت

Dari Abu Hurairah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Rasulullah—semoga shalawat dan salam tercurah untuknya—bersabda: “Sucinya wadah salah seorang di antaramu apabila airnya diminum oleh anjing adalah dengan

mencucinya sebanyak tujuh kali, yang pertamanya dengan tanah.” Muslim mengeluarkannya. Dalam lafazh lainnya masih riwayatnya (Muslim):

“Buanglah airnya.” Dalam riwayat at-Tirmidzi: “Yang pertama atau terakhirnya dengan tanah.”

Takhrij Hadits

Hadits ini, sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas, diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi. Adapun rincian datanya: Shahih Muslim kitab at-thaharah bab hukmi wulughil-kalbi no. 674-679; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab su`ril-kalb no. 91.

Selain dua imam tersebut, hadits di atas juga diriwayatkan oleh imam hadits lainnya dalam kitab-kitabnya, yaitu: Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab al-wudlu bi su`ril-kalb no. 71-74; Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab su`ril-kalb no. 64, bab al-amr bi iraqah ma fil-ina` idza walagha fihil-kalb no. 66, bab ta’firil-ina`il-ladzi walagha fihil-kalb no. 67; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah wa sunaniha bab ghaslil-ina`i min wulughil-kalb no. 363-366.

Matan Hadits

Riwayat Muslim yang disebutkan al-Hafizh di atas memerintahkan membuang airnya, bunyi lengkapnya sebagai berikut:

ارمر سبع ليغسله ثم فليرقه أحدكم إناء فى الكلب ولغ إذا

Apabila anjing meminum air yang ada pada wadah salah seorang di antaramu maka buanglah air itu, kemudian cucilah tujuh kali (Shahih Muslim no. 674)

Sementara keterangan tentang menyertakan tanah dalam pencucian yang bisa di awal atau di akhir dalam riwayat Tirmidzi, disebutkan dalam riwayat lain sebagai berikut:

التراب فى الثامنة وعفروه مرات سبع فاغسلوه اإلناء فى الكلب ولغ إذا

Apabila anjing meminum air yang ada pada wadah maka cucilah tujuh kali dan campurkanlah pada yang kedelapannya dengan tanah (Shahih Muslim no. 679.

Page 31: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 30

Lafazh yang semakna terdapat juga dalam riwayat Abu Dawud, an-Nasa`i dan Ibn Majah).

Imam an-Nawawi menjelaskan, dari semua riwayat yang ada sudah jelas disebutkan mencuci itu hanya tujuh kali, di antaranya riwayat di atas. Penyebutan Nabi saw “pada yang kedelapan” bukan berarti mencuci delapan kali, tetapi maksudnya pada bilangan yang ketujuh dicampur dengan tanah, sehingga tanah itu seolah-olah menjadi yang kedelapan (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bab hukmi wulughil-kalbi).

Syarah Mufradat

Walagha

Imam as-Shan’ani dengan mengutip dari kitab al-Qamus menjelaskan makna walagha sebagai berikut:

لكال غلوب إلا يفاءن ويف الشابر :رشب ام فيطأب هراف لانسأ هأ ودلخ لسانه فيف هحكره

Walagha (pasti dilakukan oleh) anjing dalam wadah air atau minuman, maknanya minum air dengan ujung-ujung lidahnya atau memasukkan lidahnya pada air lalu menggerak-gerakkannya (Subulus-Salam).

Dalam tulisan ini walagha akan diterjemahkan dengan ‘minum air’ sebab itu makna pokoknya. Makna ini dengan sendirinya membatasi makna hadits di atas pada anjing yang minum air pada wadah, maka wadahnya harus dicuci tujuh kali. Jika anjing tidak minum air, hanya menjilat atau menggigit benda-benda kering selain air/cairan, maka tidak perlu dicuci sebanyak tujuh kali seperti diajarkan hadits di atas, cukup dicuci biasa saja.

Syarah Ijmali

Hadits ini merupakan pengecualian dari ijma’ tentang air suci. Dalam kajian syarah hadits sebelumnya sudah dikemukakan bahwa para ulama sudah ijma’, air yang suci itu adalah air yang tidak terkena najis sehingga berubah zatnya (rasa, bau dan warna). Jika air terkena najis, tetapi zatnya tidak berubah, maka air tetap suci. Demikian juga air yang berubah zatnya, tetapi bukan karena najis yang kena padanya, maka air itu suci (bisa dipakai bersuci) meski tidak bersih. Tetapi untuk kasus air yang diminum oleh anjing, meski zat airnya tidak berubah/masih terlihat bersih, maka hukumnya dikecualikan dari ijma’ di atas, yakni menjadi tidak suci. Airnya harus dibuang, dan wadahnya harus dicuci sebanyak tujuh kali. Yang pertama atau yang terakhirnya dengan menyertakan tanah.

Najis semacam ini disebut oleh para ulama fiqh dengan sebutan najis mughallazhah; najis yang berlipat-lipat besarnya. Sudah airnya tidak bisa dipakai bersuci, harus dibuang lagi, dan wadahnya juga harus dicuci tujuh kali dengan menyertakan tanah pada pencucian yang pertama atau terakhir. Umumnya, air yang tidak bisa dipakai bersuci (wudlu/mandi junub) masih bisa dipakai untuk keperluan lainnya seperti mencuci barang atau kendaraan, tetapi dalam hadits ini Nabi saw memerintahkan untuk membuangnya, jangan digunakan untuk apapun. Demikian

Page 32: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 31

juga, umumnya meski air tidak suci, wadahnya tidak harus dicuci sampai tujuh kali, tetapi untuk kasus air yang diminum oleh anjing, maka harus dicuci tujuh kali dengan menyertakan tanah pada pencucian yang pertama atau terakhir.

Para ulama sepakat bahwa urusan mencuci wadah yang diminum air ini bagian dari ta’abbudi; ibadah. Tanah yang harus disertakan dalam pencucian tidak boleh diganti dengan deterjen, sabun, atau semacamnya. Dan mencucinya tidak boleh satu kali dengan alasan sudah cukup bersih, melainkan tetap harus tujuh kali. Imam as-Shan’ani dalam Subulus-Salam dan al-Bassam dalam Taudlihul-Ahkam sama berpendapat bahwa mencuci dengan tanah itu yang paling kuat adalah pada pencucian yang pertama. Selain riwayatnya lebih kuat, menurut dua ulama tersebut, juga karena lebih menjamin kebersihan. Sebab jika sudah dicuci enam kali dengan air, lalu yang ketujuhnya dengan tanah, pasti akan tetap kotor. Akan tetapi memperhatikan kesederajatan status riwayat-riwayat di atas (baik tanah itu digunakan pada yang pertama atau terakhir sama-sama diriwayatkan dalam semua kitab Shahih dan Sunan di atas) dan isyarat dari Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram tentang kebolehan yang pertama dan terakhir, maka kedua-duanya boleh. Asalkan tanah yang disertakan pada bilangan ketujuh tetap disertai dengan air, sebagaimana dinyatakan dalam hadits pada sub Matan Hadits di atas. Jika hanya tanah saja, tentu bukan malah bersih, melainkan menjadi kotor kembali.

Dalam kaitan hadits ini para ulama sepakat bahwa anjing statusnya najis. Perbedaan pendapat (ikhtilaf) kemudian terletak dalam hal bagian mana dari tubuh anjing itu yang najisnya. Imam Malik, Dawud dan az-Zuhri menyatakan hanya mulut anjing saja yang najis, sebab perintah membuang air itu disebabkan diminum saja. Sementara jumhur (mayoritas) ulama lainnya menyatakan, yang najis adalah keseluruhan tubuh anjing itu sendiri. Mereka berpendapat, ketika disebutkan lidahnya yang meminum air menyebabkannya najis maka itu adalah isyarat dari najisnya keseluruhan tubuh anjing. Dengan berdasar pada sikap ihtiyath (kehati-hatian), maka pendapat mayoritas lebih selamat untuk dipegang. Terlebih penemuan ilmiah hari ini menyatakan bahwa dalam tubuh anjing, bukan hanya mulutnya saja, berkembang biak mikroba-mikroba yang berbahaya bagi manusia. Hanya tentu dalam hal mencuci tujuh kalinya, itu dikhususkan pada wadah yang berisi air lalu diminum anjing, sebab hadits membatasi pada anjing yang walagha pada wadah berisi air, dan ini bagian dari ta’abbudi yang tidak bisa diperluas atau dipersempit menurut selera kita. Adapun benda-benda selainnya yang kering, maka cukup dicuci biasa saja (Subulus-Salam dan Taudlihul-Ahkam).

١٣. نعة بيأ وادول أن ���� قتسي قال ���� اهللا رف ةا: الهرهإن تسس ليجا، بنمإن يه نم نيافالطو كمليع .هجرة أخعبالأر هححصو مرالتيذ نابة وميزخ

Dari Abu Qatadah—semoga Allah meridlainya—bahwasanya Rasulullah—semoga shalawat dan salam tercurah untuknya—bersabda tentang kucing:

“Sungguh kucing itu tidak najis. Kucing itu termasuk di antara pembantu-pembantu kalian.” Empat Imam mengeluarkannya, dan at-Tirmidzi dan Ibn

Khuzaimah menilainya shahih.

Page 33: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 32

Takhrij Hadits

Hadits ini, sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas, diriwayatkan oleh Empat Imam dan Ibn Khuzaimah. Adapun rincian datanya: Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab su`ril-hirrati no. 75-76; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab su`ril-hirrati no. 92; Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab su`ril-hirrati no. 68; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah wa sunaniha bab al-wudlu bi su`ril-hirrati no. 376; Shahih Ibn Khuzaiman kitab al-wudlu bab ar-rukhshah fil-wudlu bi su`ril-hirrah no. 104.

Matan Hadits

Selain bersumber dari Abu Qatadah, hadits di atas juga disampaikan oleh ‘Aisyah, istri Nabi saw. Latar belakang kejadian (asbabul-wurud) dari kedua sumber riwayat tersebut pun berbeda, yaitu:

نة عشكب تب بنن كعب كالا أن مة أبادل قتخد تكبفس وءا لهضو اءتة فجره تربفش هنى مغا فأصاء لهى اإلنتح تربش ة قالتشآنى كبفر ظرأن هقالف إلي بنيجعا أتي

الطوافني من إنها بنجس ليست إنها :قال � اهللا رسول إن فقال. نعم فقلت أخى ابنةكمليع افاتالطوو

Dari Kabsyah binti Ka’ab ibn Malik, bahwasanya Abu Qatadah masuk, lalu ia menyiapkan air wudlu untuknya. Tiba-tiba datang kucing dan minum dari air itu. Abu Qatadah lalu memiringkan wadah air untuk kucing itu sehingga ia bisa minum dengan mudah. Kabsyah berkata: Abu Qatadah melihatku memperhatikannya. Ia berkata: “Apakah kamu heran wahai anak saudaraku?” Aku (Kabsyah) menjawab: “Ya.” Ia berkata: “Sungguh Rasulullah saw pernah bersabda:’Sungguh kucing itu tidak najis. Kucing itu termasuk di antara pembantu-pembantu kalian.” (Sunan Abi Dawud no. 75)

نع أم داوا أن دهالتوا مهلتسأر ةريسة إلى بهشائا عنها اهللا رضى عهتدجلى فوصت تارفأش ا أن إلىيهعض اءتة فجره ا فأكلتهنا مفلم فترصان أكلت نث ميأكل حت

وقد. عليكم الطوافني من هى إنما بنجس ليست إنها قال � اهللا رسول إن فقالت الهرةتأيول رسأ � اهللا رضوتا يهلبفض.

Dari Ummu Dawud, bahwasanya maulah (hamba sahaya yang dimerdekakan oleh Ummu Dawud)-nya memintanya untuk mengirimkan harisah (makanan yang dibuat dari gandum dan daging) kepada ‘Aisyah. Sesampainya di sana aku menemukannya sedang shalat. Ia (‘Aisyah) berisyarat kepadaku untuk meletakkannya. Tiba-tiba datang kucing dan makan makanan itu. Ketika ‘Aisyah selesai shalat, ia makan makanan yang sebagiannya sudah dimakan kucing itu, sambil berkata bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda: “Sungguh kucing itu tidak najis. Kucing itu termasuk di antara pembantu-pembantu kalian.” Dan sungguh aku (‘Aisyah) pernah melihat Rasulullah saw berwudlu dengan air yang sudah digunakan kucing (Sunan Abi Dawud no. 75).

Page 34: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 33

Syarah Mufradat

Thawwafin/Thawwafat

Asal katanya thawaf yang maknanya ‘berkeliling/berputar/beredar’. Kata thawwaf itu sendiri adalah satu bentuk kata yang menunjukkan ‘berlebih’ (shighah mubalaghah) dari kata tha`if yang arti asalnya orang yang berkeliling/berputar/beredar. Akan tetapi kata ini kemudian mempunyai makna tersendiri, yaitu:

افطو وهو نم كثري افالن الطووالجو وهو مادقال. الخ نر ابيالأث :فالطائ ولهح ويدور مخدومه على يطوف الذي بالخادم شبهها. وعناية برفق يخدمك الذي

Thawwaf: Orang yang sering berputar dan beredar, yakni pembantu. Ibnul-Atsir (penulis kitab an-Nihayah) menjelaskan: Tha`if itu adalah orang yang membantumu dengan lembut dan penuh perhatian. Maknanya sama dengan ‘khadim’ (pembantu) karena sama selalu ada di seputar yang dibantunya dan beredar di sekelilingnya (Subulus-Salam 1 : 53 dan Taudlihul-Ahkam 1 : 139)

Dalam al-Qur`an, ayat yang mencantumkan kata di atas dalam makna pembantu adalah:

9s‹ø[š æt=n‹ø3ä/ö ρuωŸ æt=nŠøγÎΝö _ãΖu$y7 /tè÷‰yδè£ 4 Ûsθ§≡ùèθχš æt=n‹ø3ä/ /tè÷Òà6àΝö ãt?n’4

<Ù÷èt/ 4

...Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka (budak-budak lelaki dan wanita) selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain)... (QS. an-Nur [24] : 58).

Sesuai dengan penjelasan pakar bahasa Arab di atas, maka dalam tulisan ini thawwafin/thawwafat akan diterjemahkan dengan ‘pembantu’. Bedanya secara makna, thawwafin pembantu lelaki, sedangkan thawwafat pembantu wanita.

Syarah Ijmali

Hadits ini dicantumkan oleh al-Hafizh dalam Bulughul-Maram sebagai pelengkap dari hadits sebelumnya tentang anjing. Maksudnya, jika anjing najis mughallazhah, maka kucing sama sekali tidak najis. Maksudnya tentu secara zat kucing itu sendiri. Sementara jika kucing membawa najis, seperti kotoran atau air kencing, maka kucing itu tetap harus dinilai najis, yakni najis bawaan dari kotoran atau air kencing tersebut.

Melihat kesamaan asbabul-wurud dari dua hadits di atas, yakni sama-sama tentang anjing dan kuncing yang minum pada air yang suci, terlihat bahwa para shahabat menyampaikan sabda Nabi saw secara umum tentang zat kucing itu sendiri. Maksudnya, meskipun kasusnya kucing yang minum pada air, tetapi yang dinyatakan tidak najisnya bukan hanya mulutnya saja, melainkan keseluruhan tubuh kucing itu sendiri. Hal yang sama bisa diberlakukan pada hadits tentang anjing sebelumnya. Ketika Nabi saw menyatakan bahwa anjing yang minum pada air itu maka air dan wadah airnya menjadi najis, tentu itu bukan berarti hanya terbatas pada mulutnya saja, tetapi keseluruhan tubuh anjing itu sendiri.

Page 35: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 34

‘Illat (sebab) dari kucing tidak najis disebutkan oleh Nabi saw dalam hadits di atas minat-thawwafin/thawwafat; termasuk yang selalu diperbantukan oleh manusia. Maka dalam hal ini semua binatang yang masuk kategori thawwafin tersebut bisa di-qiyas (disamakan)-kan pada kucing dalam hal sama-sama tidak najisnya, tentunya selama tidak ada dalil lain yang menyatakan najisnya. Contohnya kuda dan keledai, termasuk thawwafin dan tidak najis. Sementara anjing, meskipun termasuk juga thawwafin, tetapi karena ada dalil tegas yang menyatakan kenajisannya, tetap berstatus najis.

١٤. نعس ون أنب كالاء: قال ���� مج ابيرال أعي فبف فةطائ جدسالم هرجفز اسالن هفنماه بيا ���� النى فلمقض لهوب رأم بيوب ���� النبذن ناء مم ريقفأه هليع .فقتم

هليع

Dari Anas ibn Malik—semoga Allah meridlainya—ia berkata: “Ada seorang Arab dari pegunungan kencing di penjuru masjid. Orang-orang pun memarahinya,

tetapi Nabi saw melarang mereka bersikap seperti itu. Setelah orang Arab itu selesai kencingnya, Nabi saw menyuruh dibawakan air satu ember lalu disiramkan

atasnya.” Disepakati keshahihannya

Takhrij Hadits

Hadits ini, sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas, disepakati keshahihannya (muttafaq ‘alaihi). Maksudnya, sebagaimana sudah dijelaskan dalam kajian pengantar Bulughul-Maram, adalah Imam al-Bukhari dan Muslim menyepakati keshahihannya. Kedua imam tersebut meriwayatkan hadits di atas dalam kitabnya: Shahih al-Bukhari kitab al-wudlu` bab shubbil-ma`i ‘alal-baul fil-masjid no. 220-221; Shahih Muslim kitab at-thaharah bab wujubi ghaslil-baul wa ghairihi minan-najasat idza hashalat fil-masjid no. 686.

Matan Hadits

Dalam riwayat al-Bukhari no. 220 dan riwayat Muslim, Nabi saw melarang para shahabat marah dengan bersabda: da’uhu; Biarkanlah dahulu ia sampai selesai. Selanjutnya, dalam riwayat al-Bukhari no. 220, Nabi saw mengingatkan para shahabat:

معسرين تبعثوا ولم ميسرين بعثتم فإنما

Hanyasanya kalian diutus untuk memberi kemudahan, bukan untuk membuat kesulitan.

Page 36: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 35

Syarah Mufradat

1. A’rabi

Kata ini merupakan nisbah (dihubungkan) kepada a’rab. Dalam al-Qur`an Allah swt membedakan a’rab dari orang-orang yang tinggal di Madinah. Artinya, a’rab ini adalah mereka yang tinggal di pedusunan atau pegunungan dan tidak menetap di Madinah. Dan itu menunjukkan bahwa secara kebudayaan dan adab mereka tidak beradab sebagaimana halnya orang-orang kota yang tinggal di Madinah.

ô£ϑÏΒ uρ / ä3s9 öθ ym š∅ÏiΒ É>#t� ôãF{$# tβθà)Ï5≈ oΨãΒ ( ôÏΒ uρ È≅÷δ r& ÏπuΖƒ ωyϑø9 $# (

Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah... (QS. at-Taubah [9] : 101. Ayat semakna terdapat juga dalam ayat 120).

Menurut al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, dalam Fathul-Bari, nama orang Arab pegunungan tersebut adalah Dzul-Khuwaishirah, seseorang yang dikenal jafiyan (keras, ceroboh, dan kurang beradab). Berdasarkan riwayat yang ditulis dalam kitab-kitab sunan, sebelumnya orang ini berdo’a dengan do’a yang sangat aneh sampai ditegur oleh Nabi saw:

نة أبى عريرا أن هابيرل أعخد جدسول المسرهللا و � ساللى جن فصيتكعر ثم . واسعا تحجرت لقد :� النبى فقال. أحدا معنا ترحم وال ومحمدا ارحمنى اللهم قالثم ل لمثيال أن بى بف يةاحن جدسالم عرفأس اسالن هإلي ماههفن بىقال � النا :ومإن

مثتعب رينسيم لمثوا وعبت رينسعوا مبص هليال عجس ناء مم Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ada orang Arab pegunungan masuk masjid,

ketika Rasulullah saw duduk. Ia lalu shalat dua raka’at, kemudian setelahnya berdo’a: “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah Engkau merahmati yang lain seorang pun bersama kami.” Maka Nabi saw menegurnya: “Sungguh kamu telah membatasi sesuatu yang luas!” (maksudnya jangan seperti itu). Kemudian tidak lama dari itu ia kencing di penjuru masjid. Orang-orang pun segera memarahinya, tetapi Nabi saw melarang mereka bersikap seperti itu. Sabda Nabi saw: “Hanyasanya kalian diutus untuk memberi kemudahan, bukan untuk membuat kesulitan. Siramkanlah atas kencingnya itu seember air.” (Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab al-ardlu yushibuhal-baul no. 380; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab ma ja`a fil-baul yushibul-ardl no. 147; Sunan an-Nasa`i kitab shifatis-shalat bab al-kalam fis-shalat no. 1216-1217; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab al-ardlu yushibuhal-baul kaifa tughsalu no. 530)

2. Dzanub

بوقال: الذن يلا: لالخلولأى لداء مقال مو نفارس اب :لوة الديمظالع

Dzanub: al-Khalil berkata: Ember yang penuh dengan air. Ibn Faris berkata: Ember besar (‘Aunul-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud).

Page 37: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 36

Artinya, yang diperintahkan Nabi saw adalah membawa air yang banyak, satu ember besar dan penuh airnya, bukan satu atau dua gayung.

Syarah Ijmali

Keterkaitannya dengan bab air, hadits ini menunjukkan bahwa air dapat membersihkan najis dengan cara menyiramkannya. Dalam kaitan dengan tema sebelumnya, hadits ini menunjukkan dalam hal air yang disiramkan pada najis, tidak berlaku lagi kategorisasi “berubah zatnya (warna, rasa, bau)”. Maksudnya tidak perlu diselidiki lagi apakah air yang disiramkan tersebut kemudian berubah zatnya, mengingat air yang berubah zatnya karena bercampur najis, maka airnya yang najis. Sebab kategorisasi “berubah zatnya (warna, rasa, bau)”, itu berlaku jika air yang terkena najis. Sementara dalam hadits ini, air disiramkan untuk membersihkan najis. Berdasarkan hadits ini, air yang disiramkan untuk membersihkan najis tidak najis, malah justru membersihkan najis. Meski demikian, titah Nabi saw untuk membawa air satu dzanub; ember besar dan penuh air, juga layak diperhatikan. Artinya, menyiram najis tersebut tidak boleh dengan satu atau dua gayung, tetapi dengan air yang banyak satu ember besar. Hal ini harus dilakukan untuk memastikan bahwa najis benar-benar sudah bersih dengan air.

Sebagian ulama Hanafiyyah ada yang membedakan status tanah yang terkena najis tersebut. Yakni, jika tanahnya mampu menyerap air, maka dengan menyiramkan air saja sudah cukup. Tetapi jika tanahnya tidak mampu menyerap air, maka tanah tersebut harus digali dan dibuang. Menurut mereka, kesimpulan seperti ini didasarkan pada hadits-hadits yang memerintahkan demikian. Akan tetapi menurut al-Hafizh dalam Fathul-Bari, hadits-hadits yang dimaksud setelah diteliti lebih lanjut ternyata kedudukannya dla’if. Keseluruhan sanadnya ada tiga, yang pertama maushul (tersambung pada Nabi saw) riwayat at-Thahawi dari Ibn Mas’ud, tetapi sanadnya dla’if. Sedang dua sanad sisanya mursal (terputus). Yang pertama riwayat Abu Dawud dari ‘Abdullah ibn Ma’qil dan yang kedua riwayat Sa’id ibn Manshur dari Thawus. Sehingga yang benar, tidak perlu dibedakan antara tanah yang mampu menyerap air dan yang tidak, pokoknya cukup dibersihkan dengan air (Fathul-Bari kitab al-wudlu` bab shubbil-ma`i ‘alal-baul fil-masjid).

Dari hadits ini, bisa diambil juga kesimpulan bahwa najis harus dibersihkan dengan air dan dengan segera. Jangan menunggu kering tertiup angin atau tersinari matahari. Itu artinya pendapat yang menyatakan najis hilang dengan sendirinya ketika kering tertiup angin atau tersinari matahari, tidak bisa dibenarkan. Sebab jika memang begitu, tentu Nabi saw tidak perlu menyuruh menyiramnya dengan air, biarkan saja sampai kering. Itu juga berarti kalau kemudian ketahuan ada najisnya sesudah kering, maka tetap harus dibersihkan dengan air. Sebab hanya air yang thahur (bisa membersihkan/menyucikan), di samping tanah untuk membersihkan wadah yang dijilat anjing atau alas kaki yang terkena kotoran (tetapi tanah yang digunakan membersihkan kotoran itu statusnya menjadi najis karena terkena kotoran, hanya alas kakinya menjadi suci).

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa air kencing statusnya najis dan wajib dibersihkan dengan air. Dan ini berarti tidak hanya berlaku pada masjid saja, tetapi pada semua yang terkena air kencing dan akan digunakan shalat seperti anggota tubuh dan pakaian; atau juga yang kena pada diri kita sebelum shalat dan akan terbawa pada shalat, seperti alas kaki, wadah air, keset, dan sebagainya yang terkena air kencing.

Page 38: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 37

Berdasarkan hadits ini, maka masjid harus senantiasa dijaga kebersihannya dari najis. Terlebih dalam riwayat Ibn Majah, Nabi saw tegas menyatakan kepada orang Arab tersebut:

وللصالة اهللا لذكر بني إنما فيه يبال ال المسجد هذا إن

Sesungguhnya masjid ini tidak boleh dikencingi. Karena masjid dibangun hanya untuk dzikir kepada Allah dan shalat (Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab al-ardlu yushibuhal-baul kaifa tughsalu no. 529).

Di samping itu, hadits ini juga memberikan beberapa pelajaran terkait adab, yaitu:

Pertama, amar ma’ruf nahyi munkar harus menjadi akhlaq setiap muslim. Ketika ada orang yang mengotori masjid, para shahabat tidak bersikap acuh begitu saja, melainkan memarahi orang tersebut. Nabi saw memang melarang para shahabat memarahi orang yang tidak tahu, akan tetapi Nabi saw tidak melarang para shahabat beramar ma’ruf nahyi munkar. Sebab yang kemudian Nabi saw ajarkan adalah bagaimana caranya beramar ma’ruf nahyi munkar yang baik kepada orang yang memang belum tahu.

Kedua, memberi pengajaran kepada orang yang tidak tahu, orang yang kurang beradab karena tidak sering hadir ke majelis ilmu, adalah dengan cara memberitahunya dengan baik dan memberinya contoh langsung. Seperti yang Nabi saw lakukan, yakni memberitahunya jangan kencing di masjid dan menunjukkannya bagaimana cara membersihkan bekas kencing dengan air. Bukan dengan menghina, mencela dan menghujatnya. Sebagaimana dikemukakan oleh orang Arab yang kencing tersebut, akhlaq Nabi saw dalam hal ini sungguh mulia:

يسب ولم يؤنب فلم وأمي بأبي إلي فقام: فقه أن بعد األعرابي فقال

(Kata Abu Hurairah) Orang Arab itu berkata sesudah ia paham: “Beliau berdiri menghampiriku. Dengan ibu dan bapakku (bermakna penekanan), beliau tidak menghina dan tidak mencaci.” (Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab al-ardlu yushibuhal-baul kaifa tughsalu no. 529)

Ini harus menjadi bahan muhasabah untuk kita semua, sebab tidak mustahil kepada istri dan anak sendiri, yang notabene belum tahu dan paham kesalahannya, kita selalu mendahulukan menghina, mencela dan menghujat mereka. Kepada para pelaku syirik, bid’ah, dan kemaksiatan lainnya, yang sebenarnya mereka belum paham kemestian meninggalkan syirik, bid’ah dan kemaksiatan, kita mendahulukan menghina dan mencela mereka, bukannya memberitahu dengan baik dan menunjukkan bagaimana jalan keluar yang harus ditempuh agar bisa terlepas dari kemaksiatan.

Ketiga, jauh dari majelis ta’lim akan menjadikan seseorang kurang beradab, khususnya dalam hal thaharah (kebersihan). Contohnya, orang Arab pegunungan tersebut yang memang tidak sering hadir ke majelis ta’lim Rasulullah saw di Madinah sebagaimana halnya para shahabat. Maka dari itu untuk mengatasi rendahnya adab masyarakat, dalam hal thaharah khususnya, harus digalakkan majelis-majelis ilmu sampai ke daerah-daerah terpencil. Dalam majelis ilmu tersebut diberikan pengajaran yang baik juga penyuluhan bagaimana seharusnya adab digunakan, khususnya dalam hal thaharah.

Page 39: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 38

Keempat, memilih madlarat (bahaya) yang lebih kecil dibanding harus menimbulkan madlarat yang lebih besar, tepatnya ketika ada dua madlarat bentrok. Dalam kasus orang Arab di atas, kencing di masjid jelas merupakan madlarat sehingga harus dilarang dan dienyahkan, tetapi dengan melarang saat itu juga, itu termasuk madlarat juga dan malah lebih besar madlaratnya sebab orang yang kencing itu tidak mungkin menghentikan dulu kencingnya, dan kalaupun dihentikan lalu pindah, pasti air kencingnya akan tercecer di banyak tempat. Nabi saw ternyata memilih madlarat yang lebih kecil dengan membiarkannya terlebih dahulu, lalu kemudian menyuruh membersihkannya. Dalam kasus lain yang berbenturan dua madlarat, maka harus dipilih madlarat yang lebih kecil.

١٥. نعن وبا رمع يضا اهللا رمهنول قال: قال عساهللا ر ���� لتا أحلن انتتيم انمدو ، أحمد أخرجه. والكبد فالطحال الدمان وأما، والحوت فالجراد الميتتان فأما

نابو هاجم فويه فعض

Dari Ibn ‘Umar ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda:“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu belalang dan ikan.

Sementara dua darah yaitu hati dan jantung.” Ahmad dan Ibn Majah mengeluarkannya, tetapi dalam sanadnya ada kelemahan.

Takhrij Hadits

Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dalam kitab Musnad-nya bab hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar no. 5723. Sementara Ibn Majah meriwayatkan hadits ini dalam kitab Sunan-nya kitab al-ath’imah bab al-kabid wat-thihal no. 3314.

Al-Hafizh Ibn Hajar di atas menyebutkan bahwa dalam sanad hadits ini ada kelemahan/dla’if. Dalam kitabnya, at-Talkhishul-Habir 1 : 34-35, ia menjelaskan bahwa penyebabnya adalah seorang rawi yang bernama ‘Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam yang dinilainya matruk dan dinyatakan munkar haditsnya oleh Imam Ahmad. Meski demikian, terdapat sanad lain yang shahih dari ad-Daraquthni dan al-Baihaqi yang melalui Sulaiman ibn Bilal dari Zaid ibn Aslam tetapi mauquf (bersumber dari shahabat Ibn ‘Umar, bukan dari Nabi saw). Namun ini tidak menjadi masalah, sebab Ibn Hajar menegaskan, riwayat mauquf yang shahih dan merupakan pernyataan shahabat: “Dihalalkan bagi kami,” atau “Diharamkan bagi kami,” berstatus sama dengan hadits marfu’ (bersumber dari Nabi saw). Maksudnya, mustahil shahabat menyatakan demikian jika tidak ada dasarnya dari Nabi saw. Maka dari itu hadits ini bisa dijadikan dalil meski terdapat kelemahan.

Page 40: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 39

Bagan Sanad Hadits

)١٥٣/ ٢مسند امحد بن حنبل (

زيد عن د بن أسلمعبد الرمحن بن زيثنا شريحثنا أيبحدثنا عبد اهللا حدثين - ٥٧٢٣ الميتتان فأما ودمان ميتتان لنا أحلت: � رسول اهللاقال قال ابن عمرعن بن أسلموتفالح ادرالجا وأمو انمالد ال فالكبدالطحو

إسناد ضعيف لضعف عبدالرمحن بن زيد تعليق شعيب األرنؤوط : حسن وهذا

)٤٣١/ ٤( ٢٧٣سنن ابن ماجة

باب الكبد والطحال -٣١

عبد اهللا بن عن أبيهعن عبد الرحمن بن زيد بن أسلمحدثنا أبو مصعبحدثنا -٣٣١٤رمول اهللا عسأن ر� ادرالجو وتفالح ، انتتيا المفأم ، انمدو انتتيم لكم لتقال: أح

، وأما الدمان ، فالكبد والطحال.

)٢٥٤/ ١السنن الكربى للبيهقي (

أبو يف آخرين قالوا انا مد السبيعيأبو عبد اهللا احلافظ وأبو احلسن علي بن حم(أخربنا) زيد عن سليمان بن باللثنا ابن وهبثنا الربيع بن سليمانانا العباس حممد بن يعقوب

انه قال احلت لنا ميتتان ودمان اجلراد واحليتان والكبد عبد اهللا بن عمرعن بن أسلم والطحال.

Page 41: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 40

Keterangan:

• Sanad hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah dla’if karena ke-dla’if-an ‘Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam.

• Sanad hadits riwayat al-Baihaqi shahih, dimana Zaid ibn Aslam menyampaikannya kepada Sulaiman ibn Bilal. Akan tetapi mauquf pada Ibn ‘Umar, tidak merupakan sabda Nabi saw (marfu’).

• Hadits mauquf yang shahih bisa dijadikan hujjah, sebab shahabat bisa dijadikan rujukan dalam hal agama.

• Maka hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah status ke-dla’if-annya terselamatkan oleh riwayat al-Baihaqi yang mauquf shahih. Di sinilah maksud al-Hafizh Ibn Hajar menyatakan: wa fihi dla’fun; dalam sanadnya ada kelemahan. Maksudnya, meski bisa dijadikan hujjah tetapi ada sedikit masalah yang tidak sampai menjatuhkan kehujjahannya.

• Penulis sampai saat ini belum menemukan sanad hadits riwayat ad-Daraquthni yang menyebutkan Sulaiman ibn Bilal menerima dari Zaid ibn Aslam, sebagaimana disebutkan al-Hafizh Ibn Hajar di atas. Yang penulis temukan baru riwayat al-Baihaqi berdasarkan petunjuk dari al-Hafizh Ibnul-Mulqan dalam kitabnya al-Badrul-Munir 1 : 448. Kitab al-Badrul-Munir ini merupakan kitab

���� النيب

عمر بن اهللا عبد

أسلم بن زيد

عمر بن اهللا عبد

أسلم بن زيد

بالل بن سليمان زيد بن الرمحن عبد

بمصع أبو شريح

ماجه ابن أمحد

وهب ابن

سليمان بن الربيع

أبو العباس حممد بن يعقوب

أبو عبد اهللا احلافظ وأبو احلسن علي بن حممد

البيهقي

Page 42: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 41

rujukan utama at-Talkhishul-Habir. Kitab at-Talkhishul-Habir itu sendiri merupakan ringkasan dari berbagai kitab takhrij hadits, di antaranya dari kitab al-Badrul-Munir.

Syarah Ijmali

Hadits ini merupakan pengecualian dari hukum haram bagi bangkai dan darah yang sudah ditegaskan Allah swt dalam QS. al-Baqarah [2] : 173, al-Ma`idah [5] : 3, al-An’am [6] : 145, dan an-Nahl [16] : 115. Maksudnya, bangkai dan darah hukumnya haram, tetapi dikecualikan bangkai belalang dan ikan, juga hati dan jantung. Empat yang dikecualikan ini hukumnya halal. Jadi meskipun belalang atau ikan mati dengan sendirinya, atau menjadi bangkai, secara zatnya tetap halal untuk dimakan. Demikian halnya dengan hati dan jantung yang bercampur dengan darah, dihalalkan memakannya.

Dikecualikan dalam hal ini tentunya bangkai ikan atau belalang, juga hati dan jantung yang tercemar limbah atau racun, maka tentu hukumnya haram. Bukan karena zat bangkainya atau hati dan jantungnya, melainkan karena limbah dan racunnya yang pasti berbahaya untuk tubuh.

Dalam kaitannya dengan bab air—yang mana hadits di atas dimasukkan oleh Ibn Hajar dalam bab air—maka ini berarti air yang terdapat padanya bangkai ikan statusnya tetap suci. Meski zat air berubah disebabkan bangkainya, airnya tetap suci karena zat air berubah bukan sebab najis, sebab bangkai ikan tidak najis, sebab bangkai ikan halal dimakan. Sama statusnya dengan air laut yang dijelaskan dalam hadits pertama, dimana Nabi saw menyatakan air laut suci meski ada banyak bangkai ikan di laut, sebab bangkainya halal dimakan.

Status bangkai yang najis (kecuali bangkai hewan laut, ikan, belalang, lalat dan hewan sejenisnya yang tidak berdarah) dapat diketahui dengan jelas dari hadits tentang air laut di awal:

نة أبي عريرأل: قال � هل سجر بىا فقال � النول يسا اهللا رإن كبرن رحالب اهللا رسول فقال البحر بماء أفنتوضأ عطشنا به توضأنا فإن الماء من القليل معنا ونحمل

� وه ورالطه هاؤل مالح هتتيم

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw, ia berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh kami pernah berlayar di laut dan membawa sedikit air. Jika kami berwudlu dengan air itu kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudlu dengan air laut?” Rasulullah saw menjawab: “Dia itu suci airnya halal bangkainya.”

Juga hadits berikut:

طهر فقد الإهاب دبغ إذا � اهللا رسول قال: قال عنهما اهللا رضي عباس ابن وعنجرأخه ملسم .دنعو ةعبا: الأرماب أيبغ إهد.

Dari Ibn ‘Abbas ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Apabila kulit disamak (dibersihkan dan diolah sampai bisa digunakan), maka statusnya suci.”

Page 43: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 42

Muslim mengeluarkannya. Riwayat Empat Imam: “Kulit apa saja yang disamak.” (Bulughul-Maram no. 20-21)

نعة ولمن سق ببحول قال: قال � المساغ � اهللا ربد لودج ةتيها المورطه هححص ناب بانح

Dari Salamah ibn al-Muhabbiq ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Menyamak kulit bangkai berarti menyucikannya.” Ibn Hibban menilainya shahih (Bulughul-Maram no. 22).

Sabda Nabi saw bahwa bangkai hewan laut halal dan airnya suci, mafhumnya bangkai hewan darat haram dan menajiskan air. Sementara pernyataan Nabi saw bahwa penyamakan kulit dapat mensucikan bangkai, menunjukkan bahwa bangkai statusnya najis.

١٦. نعة أبي وريرول قال: قال ���� هسإذا ���� اهللا ر قعو ابي الذباب فرش كمدأح هسمغفلي ثم هزعنيي فإن لف دأح هياحناء جي دفر وفاء الآخش .هجرأخ اريخالب

الداء فيه الذي جناحهب يتقي وإنه: وزاد داود وأبو

Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Apabila lalat jatuh pada minuman salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah, lalu angkatlah. Sebab sungguh dalam salah satu sayapnya ada penyakit dan pada satunya lagi ada obat.” Al-Bukhari dan Abu Dawud mengeluarkannya, dan (dalam riwayat Abu Dawud) ada tambahan: “Sungguh ia melindungi dirinya dengan sayap yang ada

padanya penyakit.”

Takhrij Hadits

Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits di atas dalam Shahih al-Bukhari kitab bad`il-khalq bab idza waqa’adz-dzubab fi syarabi ahadikum no. 3320 dan kitab at-thib bab idza waqa’adz-dzubab fil-ina`i no. 5782. Sementara Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits di atas dalam Sunan Abi Dawud kitab al-ath’imah bab fidz-dzubab yaqa’u fit-tha’am no. 3846.

Seorang pemikir muslim, Muhammad Abu Rayyah, dalam kitabnya Adlwa` ‘alas-Sunnah al-Muhammadiyyah mengkritik hadits di atas disebabkan tidak sesuai dengan fakta bahwa pada lalat ternyata tidak ada sayap yang mengandung obat. Para ulama hadits balik membantah penilaian Abu Rayyah di atas. Penemuan ilmiah manusia walau bagaimanapun status kebenarannya relatif, masih bisa dibantah, diralat atau dikembangkan. Sementara hadits ini berstatus shahih, diriwayatkan al-Bukhari dan bersumber dari shahabat ahli hadits pula, Abu Hurairah. Hadits shahih berarti benar sebagai wahyu dari Allah swt yang tentunya kebenarannya bersifat absolut. Maka dari itu meski ada penemuan ilmiah yang membantah hadits di atas, tetap tidak bisa menggugurkan hadits shahih. Terlebih faktanya ada juga penemuan ilmiah

Page 44: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 43

lainnya yang justru menguatkan kebenaran hadits ini. Sebagaimana ditegaskan A. Hassan, ada atau tidak ada penemuan ilmiah, hadits di atas tetap sebagai wahyu Allah swt yang harus diyakini kebenarannya tanpa prasyarat.

Syarah Ijmali

Hadits ini menunjukkan bahwa lalat tidak najis, dan air yang termasuki lalat statusnya pun tidak najis, tetap masih bisa diminum atau digunakan. Para ulama meng-qiyas-kan (mempersamakan) hewan-hewan lainnya yang kecil dan tidak berdarah seperti lebah dan nyamuk pada lalat dalam hal kesuciannya, dan jika masuk ke dalam air maka airnya tidak najis. Meskipun hewan-hewan ini bangkai, status bangkainya tidak najis.

Mencelupkan lalat ke dalam air atau minuman, sebagaimana diperintahkan Nabi saw di atas, masuk kategori ta’abbudi/ibadah dalam hal mengikuti perintah Nabinya saw. Maka dari itu sudah selayaknya dilakukan oleh kaum muslimin yang mencintai dan menghormati Nabinya saw, dengan cara mencelupkan lalat ke dalam air, lalu membuangnya, dan airnya kemudian diminum atau digunakan dan tidak dibuang.

١٧. نعأبي و داقو يثقال: قال ���� اللي بيا ���� النم عقط نم ةهيمالب هوة ييح وفه تيم .هجرو أخأب داود يذمرالتو هنسحاللفظ وله و

Dari Abu Waqid al-Laitsi ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “Suatu organ yang dipotong dari hewan ketika hewan itu hidup, maka organ tersebut bangkai.” Abu Dawud dan at-Tirmidzi mengeluarkannya, at-Tirmidzi menilainya hasan, dan

lafazh hadits ini adalah riwayat at-Tirmidzi.

Takhrij Hadits

Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dalam Sunan Abi Dawud kitab as-shaid bab fi shaidin quthi’a minhu qith’atun no. 2860. Sementara Imam at-Tirmidzi meriwayatkannya dalam Sunan at-Tirmidzi abwab al-ath’imah bab ma quthi’a minal-hayyi fa huwa mayyit no. 1480 dan

Dalam riwayat at-Tirmidzi dijelaskan oleh shahabat Abu Waqid latar belakang kronologis (asbabul-wurud) keluarnya sabda Nabi saw di atas:

نأبي ع داقو يثقال اللي :مقد بية � النيناملد مهون وبجة ينمون اإلبل أسقطعيو اتم، ألينا: فقال الغم عقط نم ةهيمالب يهو ةحي ة فهيتيم

Dari Abu Waqid al-Laitsi, ia berkata: Nabi saw datang ke Madinah. Saat itu penduduk Madinah suka memotong punuk unta juga pantat kambing, maka Nabi saw bersabda: Suatu organ yang dipotong dari hewan ketika hewan itu hidup, maka organ tersebut bangkai.

Page 45: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 44

Syarah Ijmali

Hadits ini menunjukkan bahwa yang termasuk bangkai bukan hewan yang mati dengan sendirinya saja tanpa disembelih atau diburu, tetapi juga termasuk hewan hidup yang salah satu organnya diambil ketika hewan itu hidup. Maka yang berstatus bangkai adalah organ yang diambilnya tersebut, sementara hewannya itu sendiri, selama masih hidup, belum berstatus bangkai. Sementara jika kemudian hewannya mati setelah dipotong salah satu organnya, maka hewan tersebut pun menjadi bangkai dan haram dimakan.

Dalam kaitannya dengan bab air, ini berarti bahwa air yang termasuki bangkai jenis ini statusnya najis.

Untuk lebih memperjelas, yang masuk kategori bangkai itu sendiri adalah hewan yang mati tanpa disembelih atau diburu dengan cara perburuan yang dibenarkan Islam. Ketika Allah swt menjelaskan keharaman hewan-hewan yang mati karena tercekik, dipukul, yang jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, Allah swt menyebutkan pengecualian, yaitu yang sempat kamu sembelih. Artinya, penyembelihan itulah yang menyebabkan hewan mati tidak sebagai bangkai:

ôM tΒÌh� ãm ãΝä3ø‹ n=tæ èπtGøŠyϑø9 $# ãΠ ¤$!$#uρ ãΝøtm: uρ Í�ƒÌ“Ψσø: $# !$ tΒ uρ ¨≅ Ïδ é& Î�ö� tó Ï9 «! $# ϵÎ/ èπ s)ÏΖy‚ ÷Ζßϑø9 $#uρ

äοsŒθ è%öθ yϑø9 $#uρ èπtƒ ÏjŠ u�tIßϑø9 $#uρ èπys‹ÏÜ ¨Ζ9 $#uρ !$tΒ uρ Ÿ≅x.r& ßìç7 ¡¡9$# āω Î) $ tΒ ÷ΛäøŠ©.sŒ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya (QS. al-Ma`idah [5] : 3)

Dalam ayat selanjutnya, Allah swt juga menghalalkan hewan yang mati dengan cara diburu. Itu berarti bahwa hewan yang mati diburu tidak termasuk kategori bangkai dan halal dimakan:

y7 tΡθ è=t↔ó¡o„ !#sŒ$ tΒ ¨≅Ïm é& öΝçλ m; ( ö≅è% ¨≅Ïm é& ãΝä3s9 àM≈ t6 ÍhŠ©Ü9 $# � $ tΒuρ ΟçF ôϑ‾=tæ z ÏiΒ ÇyÍ‘#uθ pgø: $#

tÎ7 Ïk=s3ãΒ £ åκtΞθ çΗÍj>yè è? $ ®ÿÊΕ ãΝä3yϑ‾=tæ ª!$# ( (#θè=ä3sù !$ ®ÿÊΕ z õ3|¡ øΒ r& öΝä3ø‹n=tæ (#ρã� ä.øŒ $#uρ tΛôœ$# «! $# ϵ ø‹ n=tã (

Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).” (QS. al-Ma`idah [5] : 4)

Syaratnya hewan yang digunakan untuk berburu tersebut benar-benar terlatih. Kriterianya, ia memburu bukan untuk dimakan olehnya, tetapi sebatas menerkamnya.

نع يدن عم باتقال ح ألتس بيإذا فقال � الن لتسأر ككلب لمعل المفكل فقت فلا قال آخر كلبا معه فأجد كلبي أرسل قلت نفسه على أمسكه فإنما تأكل فلا أكل وإذا

آخر كلب على تسم ولم كلبك على سميت فإنما تأكل

Page 46: al-Ahkam 1.pdf

AL-AHKAM: Syarah Bulughul-Maram, Nashruddin Syarief 45

Dari ‘Adi ibn Hatim, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi saw. Beliau menjawab: “Apabila kamu melepaskan anjingmu yang terlatih, lalu anjing itu membunuh buruan, maka makanlah. Tapi jika anjing itu memakan buruannya, janganlah kamu memakannya karena anjing itu menerkamnya untuk dirinya sendiri.” Aku bertanya: “Aku melepaskan anjingku, lalu aku dapatkan pada buruannya anjing lain.” Nabi saw menjawab: “Jangan kamu makan, sebab kamu membaca basmalah pada anjingmu, dan kamu tidak membaca basmalah untuk anjing lain.” (Shahih al-Bukhari kitab al-wudlu bab al-ma`il-lladzi yughsalu bihi sya’rul-insan no. 175)

Terkait mulut anjing yang najis, madzhab Syafi’i dan Hanbali mayoritas menilai bahwa hewan yang diterkam oleh anjing tersebut harus dicuci terlebih dahulu. Sementara madzhab Hanbali minoritas dan Maliki menilai tidak perlu dicuci lagi, sebab ini merupakan pengecualian/takhshish (al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu 3 : 697).

Dalam hadits, Nabi saw juga membenarkan perburuan dengan panah atau tombak:

ينتن لم ما فكله فأدركته عنك فغاب بسهمك رميت إذا

Apabila kamu berburu dengan anak panah, lalu buruan itu hilang, lalu kamu menemukannya, maka makanlah selama belum busuk (Shahih Muslim kitab as-shaid wadz-dzaba`ih bab idza ghaba ‘anhus-shaid no. 5094)

تأكله فال بعرضه أصابه وإن فكله قفخز بالمعراض رميت إذا

Apabila kamu berburu dengan tombak, lalu menusuk hewan buruan, maka makanlah. Dan jika kena dengan bagian tumpulnya jangan kamu memakannya (karena mati terpukul dan menjadi bangkai) (Shahih Muslim kitab as-shaid wadz-dzaba`ih bab as-shaid bil-kilabil-mu’allamah no. 5081)

Dari hadits ini diketahui bahwa alat apa saja yang tajam dan bisa menusuk hewan buruan sampai mati, maka itu halal, dan tidak termasuk bangkai. Misalnya pistol atau senapan. Syaratnya, seperti disinggung QS. al-Ma`idah [3] : 4 di atas tentu dengan mengucapkan bismil-‘Llah ketika menembaknya atau melepaskannya.

Hal lain yang perlu diperhatikan, hewan yang disembelih atau diburu tersebut harus benar-benar terjamin mati dengan cara yang syar’i; disembelih dan diburu dengan basmalah, sebab jika ada kemungkinan mati dengan cara lain yang tidak syar’i maka Nabi saw melarang kita untuk memakannya:

تجده قد وقع إذا رميت سهمك فاذكر اسم الله فإن وجدته قد قتل فكل إال أنكمهس أو لهاء قترى المدال ت كاء فإنى مف

Jika kamu menembakkan anak panahmu sebutlah nama Allah. Jika kamu menemukan buruan mati, makanlah. Kecuali jika kamu menemukannya mati dalam air, sebab kamu tidak tahu apakah air yang membunuhnya ataukah anak panahmu (Shahih Muslim kitab as-shaid wadz-dzba`ih bab as-shaid bil-kilabil-mu’allamah no. 5091)