agama sebagai universum simbolik isi - core.ac.uk · ii agama sebagai universum simbolik agama...

216
i Dr. Irfan Noor, M.Hum AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger Pengantar: Editor: Muhaimin M.A. PUSTAKA PRISMA YOGYAKARTA 2011

Upload: dominh

Post on 04-Mar-2019

248 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

i

Dr. Irfan Noor, M.Hum

AGAMASEBAGAI UNIVERSUM

SIMBOLIKKajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger

Pengantar:

Editor:

Muhaimin M.A.

PUSTAKA PRISMA

YOGYAKARTA

2011

Page 2: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

ii

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIKKajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger@ Irfan NoorPustaka Prisma Yogyakarta

viii + 208 Halaman; 14 x 21 cmISBN: ………………..

Editor: MuhaiminRancang Sampul: MuhaiminPenata Isi: Syahrani

PenerbitPUSTAKA PRISMASuryowijayan MJ 1/406Yogyakartae-mail: [email protected]. 085 220 553 550

Dicetak oleh:ASWAJA PRESSINDOJl. Plosokuning V/73, Minomartani,Sleman, Yogyakarta

Cet. I: November 2010

@Hak cipta dilindungi Undang-undang

Page 3: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

iii

Karya sederhana ini ku persembahkan …

kepada ayahnda H. M. Laily Mansur (alm.)

Dari spiritmu yang pernah ada,

Untuk segala cinta, hormat, dan

kebanggaanku, meski engkau tak sempat melihatnya.

Terimakasih untuk segalanya.

Buat mama atas ketegaran, kasih sayang,

dan do’a yang selalu Menyertai setiap langkah …

Page 4: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

iv

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Page 5: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atasterselesaikannya penulisan buku yang berasal dari tesis mag-ister penulis pada program studi ilmu filsafat di PascasarjanaUniversitas Gadjah Mada Jogjakarta.

Intisari kandungan buku ini merupakan penelitianfilsafat terhadap pokok pemikiran Peter L. Berger tentangrealitas dan fungsi sosial agama sebagai universum simbolikdalam realitas eksistensial sosial manusia. Penelitian iniberupaya untuk menemukan hubungan yang esensial antaraagama dengan realitas eksistensial manusia. Upaya inidilakukan untuk memperoleh suatu pemahaman yangmendasar tentang hakikat agama dalam masyarakat.

Dalam konteks penerbitan buku ini, penulismengucapkan ribuan terimakasih kepada pihak-pihak yangsangat berjasa dalam mewujudkan karya intelektual ini, baikdalam bentuk tesis maupun dalam bentuk sebuah buku.Antara lain pihak-pihak yang sangat berjasa tersebut adalahProf. Dr. M. Amin Abdullah dan Prof. Dr. MichealSastrapratedja, SJ., yang selama penelitian tesis bertindaksebagai pembimbing utama dan kedua. Kedua beliau ini telah

Page 6: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

vi

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

memberikan bimbingan dan arahan yang tak ternilai bagipengembangan intelektual penulis walau saat merekamembimbing keduanya berada dalam kesibukan yang amatpadat sebagai Rektor IAIN Sunan Kalijaga dan Rektor Uni-versitas Katolik Sanata Dharma.

Di samping itu, penulis juga ingin menghaturkanpenghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tuayang telah mendidik penulis secara lahir dan batin.Almarhum ayahnda tercinta H. M. Laily Mansur yangmeninggal pada tanggal 4 Agustus 1998, sehingga tidaksempat menyaksikan keberhasilan ananda. Semoga karya inimerupakan “kado” bagi semua spirit dan inspirasinya dalamkarir akademis ananda. Kepada ibunda tercinta, semogaketabahan dan kasih sayangnya selalu menyertai perjalananhidup ini.

Penulis juga tidak lupa menyampaikan penghargaan yangsetinggi-tingginya kepada istriku, Hetty Fajarwati dan ananda,Muhammad Iqbal Fadhilah yang tercinta. Semoga cinta dankasih sayang selalu mengiringi kita semua.

Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan namanya yangbanyak membantu bagi terlaksananya penyelesaian penelitiantesis ini.

Tiada yang dapat penulis sampaikan selain iringan do’a,semoga Allah SWT melimpahkan ganjaran-Nya sesuaidengan amal baik yang diberikan kepada penulis.

Sungai Andai, 07 Desember 2010

Penulis,

Dr. Irfan Noor, M.Hum.

Page 7: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

vii

Daftar Isi

KATA PERSEMBAHAN .............................................. iiiKATA PENGANTAR ................................................... ivDAFTAR ISI ................................................................ vii

Bab I PENDAHULUAN ............................................ 1A. Latar Belakang Masalah .......................................... 1B. Kerangka Pemikiran ............................................... 9

Bab II MEMAHAMI SOSOK INTELEKTUALPETER L. BERGER ................................................. 19A. Kehidupan dan Perkembangan Intelektual ............ 19B. Pemikiran yang Mempengaruhi ............................ 31C. Metode dan Titik-Tolak Pemikiran ......................... 47D. Gagasan Dasar Pemikiran Berger .......................... 49

Bab III MANUSIA DAN DUNIA SOSIAL ................ 57A. Kedirian Manusia dan Dunianya ........................... 58B. Objektivitas dan Status Dunia Sosial ..................... 70C. Manusia: Antara Tatanan Sosial Objektivitas

dan Subjektivitas .................................................. 91

Page 8: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

viii

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Bab IV ARTI PENTING AGAMA DALAMKONSTRUKSI DUNIA SOSIAL .......................... 105A. Kosmos sebagai Titik-Tolak tentang Agama ......... 106B. Tingkat Legitimasi Agama dan Basis Dunia

Sosial ................................................................. 112C. Muatan Legitimasi Universum Simbolik

Agama................................................................ 117D. Universum Simbolik Agama dan Modernitas ...... 130

Bab V AGAMA DAN SIKAP EKSISTENSIALMANUSIA TERHADAP DUNIANYA ................. 147A. Agama dan Problem Keberhinggaan

Eksistensial Manusia.......................................... 147B. Agama dan Struktur Pengalaman Manusia ......... 167C. Agama dalam Drama Manusia Modern............... 175D. Studi Agama Empiris: Sebuah Ikhtiar untuk

Re-Orientasi Masa Depan .................................. 184

Bab IV KESIMPULAN ............................................. 187

DAFTAR PUSTAKA .................................................. 193GLOSSARY ............................................................... 202BIODATA PENULIS ................................................. 207

Page 9: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

1

Bab IPENDAHULUAN

A.Latar Belakang MasalahKontroversi yang sering terjadi dalam setiap usaha

teoritisasi realitas sosial dalam sosiologi modern dankontemporer adalah kuatnya kecenderungan untukmenekankan salah satu kutub dari realitas sosial tersebut,yakni individu atau masyarakat. Kecenderungan ini, misalnya,dapat dilihat dalam perkembangan awal sosiologi modernsebagaimana yang dirumuskan oleh August Comte. Comte,dalam konteks ini, sangat menekankan gambaran masyarakatyang “holistis”, yakni kesatuan, yang dalam bentuk danarahnya tidak tergantung pada inisiatif bebas anggotanya,melainkan pada proses spontan-otomatis perkembangan akalbudi manusia. Artinya, perkembangan masyarakatmerupakan hukum universal yang berlaku bagi semuaindividu yang ada di dalamnya (Veeger, 1993: 20).

Pada rentang waktu yang agak berbeda, Karl Marxmasuk dalam jalur yang sama, yakni memusatkanperhatiannya pada tingkat struktur sosial. Marx, denganmemperhatikan ini, ingin menjelaskan bagaimana cara or-ang menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya (Johnson,1994): 121). Ia, dalam konteks inilah, sangat menekankan

Page 10: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

2

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

aspek struktur sosial yang memberi kondisi riil bagi suatukesadaran individu. Baginya, kesadaran tidak lain daripadakeadaan yang disadari, sehingga bukanlah pada ide-idedominan atau pandangan hidup, raelitas sosial itu ditemukantapi pada apa yang mendasari struktur sosial itu sendiri. Marx,dengan demikian, sangat menekankan aspek struktur sosialdaripada individu (Ritzer, 1996: 154).

Pola kecenderungan ini juga sangat ditekankan olehEmile Durkheim secara yang lebih ekstrem. Durhkeimmenekankan masyarakat sebagai sesuatu yang riil, beradasecara lepas dari individu-individu yang kebetulan termasukdi dalamnya dan bekerja menurut prinsip-prinsipnya sendiriyang khas, yang tidak harus mencerminkan maksud-maksudindividu yang sadar (Johnson, 1994: 214). Artinya,masyarakat bagi Durkheim memiliki posisi yang mengatasikehadiran individu dan mencerminkan realitas sosial itusendiri (Campbell, 1994: 174).

Sementara pada perkembangan lain sosiologi, polakecenderungan yang menekankan kutub individuterumuskan dalam sosiologi Max Weber. Menurutnya,bukanlah struktur-struktur sosial atau peranan-peranansosial yang pertama-tama menghubungkan orang danmenentukan isi corak kelakuan mereka, melainkan “arti-arti”yang dikenakan orang kepada kelakuan mereka (Veeger, 1993:175). Bagi Weber, dengan demikian, hanya individu-individuyang riil secara objektif, dan bahwa masyarakat hanyalah satunama yang menunjuk pada sekumpulan individu-individu.Konsep struktur sosial atau tipe-tipe fakta sosial lainnya yanglebih daripada individu dan perilakunya serta interaksinyadianggap sebagai suatu abstraksi spekulatif tanpa suatu dasarapapun dalam dunia empiris. Struktur sosial dalam perspektifWeber didefinisikan dalam istilah-istilah yang bersifat

Page 11: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

3

probabilitas dan bukan sebagai suatu kenyataan empirik yangterlepas dari individu-individu (Johnson, 1994: 222).

Pola kecenderungan ini kemudian mengalamiperkembangan lain di tangan Talcott Parsons. Melalui teorifungsionalisme-struktural, Parsons yang pada awalnya inginmemperlihatkan bagaimana posisi individu dari perannyadalam fungsi-fungsi struktur sosial akhirnya terjebak untukmenekankan arti penting struktur sosial. Titik tekan inidisebabkan oleh tujuannya untuk menjelaskan “bagaimanaketeraturan masyarakat itu dimungkinkan. Individu, dalampemikiran Parsons, diganti oleh sistem sosial. Individumenjadi dilihat dari segi struktur sosial yang merumuskandia sebagai siapa, dan mengenakan kepadanya hal-hal yangdiharapkan oleh masyarakat. Ketunggalan individu lenyapdibalik peranan-peranan yang telah dilembagakan olehmasyarakat. Pelembagaan itu diadakan demi suatu kesatupa-duan (integrasi) dan orde masyarakat (Veeger, 1993: 201).

Adapun George Herbert Mead melalui teorinya“interaksionisme-simbolik” justru menekankan peran pikiran(mind) yang menjadi dasar individu dalam interaksinyadengan lingkungannya. Pikiran manusia mengartikan danmenafsirkan benda-benda dan kejadian-kejadian yang dialami.Manusia mengenakan arti-arti tertentu kepada dunianyasesuai dengan skema-skema interpretasi yang telahdisampaikan melalui proses-proses sosial (Veeger, 1993: 223).Bagi interaksionisme-simbolik, dengan demikian, struktursosial sifatnya hanya menyediakan kondisi-kondisi tindakanindividu, tetapi tidak menentukan. Struktur sosial dalampemikiran Mead, dengan demikian, kembali diabaikan.

Tampak sekali dalam penjelasan tentang bentuk-bentukkecenderungan dalam teoritisasi realitas dalam sosiologimodern dan kontemporer di atas bahwa persoalan

Page 12: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

4

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

determinisme atau kausalitas sepihak menjadi problem yangmendasar. Persoalan inilah yang sesungguhnya ingin diatasioleh Peter L. Berger dalam bangunan teorinya the socialcontruction of reality. Ia, dalam bangunan teorinya ini, inginmemberi alternatif terhadap problem determinisme tersebutdi atas, yang menganggap individu semata-mata dibentuk olehstruktur sosial, dan tidak mempunyai peran dalampembentukan struktur sosial. Adapun artikulasi pemikiranyang ingin ditampilkannya dalam konteks ini adalahperspektif yang bersifat dialektis. Perspektif ini tampak sekalimendasari titik-tolaknnya dalam memahami posisi manusiadengan dunianya, sebagai berikut:

...tidak ada kodrat (nature) insani dalam arti suatu substratumyang telah di-tetapkan secara biologis dan yang menentukankeanekaragaman bentukan-bentukan sosio-kultural. Yang adahanyalah kodrat insani dalam arti konstanta-konstanta antropologisyang membatasi dan memungkinkan bentukan-bentukan sosio-kultural manusia. Tetapi bentuknya yang khusus dari keinsanianitu ditentukan oleh bentukan-bentukan sosio-kultural itu danberkaitan dengan variasi-variasinya yang sangat banyak itu. Sementarabisa saja dikatakan bahwa manusia mempunyai kodrat, adalah lebihberarti untuk mengatakan bahwa manusia mengkonstruksi kodratnyasendiri; atau lebih sederhana lagi, bahwa manusia menghasilkan dirinyasendiri (Berger & Luckmann, 1967: 49).

Titik tolak ini sendiri, bagi Berger, merupakan semacampralegomena filosofis yang, tentunya, bersifat pra-sosiologis(Berger & Luckmann, 1967: 20). Perspektif yang bersifatdialektis inilah yang kemudian digambarkan dalam teorinyatentang tiga momentum proses dialektis, yakni eksternalisasi,objektivasi, dan internalisasi (Berger, 1969: 4).

Berger, dalam konteks ini, ingin menggambarkan prosesyang melalui tindakan dan interaksinya manusia menciptakan

Page 13: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

5

secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki bersama,yang dialami secara faktual objektif dan penuh arti secarasubjektif. Realitas sosial yang dialami manusia sehari-hari,dengan demikian, dikonstruksikan secara sosial (socially con-structed). Menurut Berger, masyarakat itu sendiri, denganberbagai institusinya, diciptakan dan dipertahankan ataudiubah melalui tindakan dan interaksi manusia. (Berger &Luckmann, 1967: 93).

Pola pemahaman ini sesungguhnya menegaskan bahwapenekanan sepihak atas salah satu aspek — individu ataumasyarakat — yang terjadi dalam diskursus sosiologi mod-ern merupakan reduksi atas kesemestaan realitas sosial.Hubungan antara individu dan masyarakat, demikian juga,tidak dapat dipahami dalam kerangka kausalitas linear,sebagaimana kecenderungan kuat yang muncul pada “ilmu-ilmu positif” terhadap realitas sosial. Setiap momentumproses dalam kerangka pemikiran dialektis ini merupakan“sebab” sekaligus “akibat”, atau “akibat” sekaligus “sebab”.

Tampak sekali dalam penjelasan singkat di atas bahwakerangka berpikir Berger yang khas. Posisi pemikiran sepertiini kemudian semakin kentara pada kerangka pemahamanBerger menyangkut realitas agama. Menurut Berger, agamamemang merupakan bentuk proyeksi manusia. Ia dihasilkanlewat proses eksternalisasi (Berger, 1969: 88). Bentukproyeksi ini, bagi Berger, sesungguhnya merupakan bentukcerminan “bagaimana manusia mengambil sikap-sikapeksistensial yang berbeda dihadapan aspek-aspek anomikpengalamannya dalam dunia sosial. Sikap itu kemudiandirefleksikan secara teoritis dalam sistem-sistem keagamaanuntuk suatu usaha nomisasi” (Berger, 1969: 80). Lebihspesifik lagi, proyeksi tersebut merupakan cara mengatasi“keberhinggaan eksistensial” (to transcend the finitude of in-

Page 14: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

6

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

dividual existence) (Berger & Luckmann, 1967: 103). Agama,dalam konteks proyeksi ini, pada akhirnya berfungsi sebagaiuniversum simbolik, yang tidak lain merupakan “tudungkudus” yang memberikan legitimasi atas tatanan dunia sosialyang sifatnya konstruktif dan biografi individu yang ada didalanya dengan melindunginya dari chaos dan anomi (Berger,1969: 26-28).

Fungsi yang begitu mendasar bagi eksistensi sosialmanusia di-dalam-dunia ini didasarkan karena agamamampu menghubungkan konstruksi-konstruksi realitasrawan dari masyarakat-masyarakat empiris dengan realitaspurna. Realitas-realitas rawan dunia sosial itu didasarkanpada realissimum kudus, yang menurut definisinya beradadi luar kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari makna-makna manusiawi dan aktivitas-aktivitas manusia (Berger,1969: 32

Agama, dengan demikian, melegitimasi lembaga-lembaga sosial dengan memberi-kannya status ontologis yangabsah, yaitu dengan meletakkan lembaga-lembaga tersebutdi dalam suatu kerangka acuan kudus dan kosmik.Konstruksi-konstruksi historis aktivitas manusia itu dilihatdari suatu titik tertinggi yang mengatasi sejarah maupunmanusia (Berger, 1969: 33-34).

Dalam konteks tersebut, Berger menegaskan bahwakonstruksi legitimasi agama itu sendiri sesungguhnyamuncul dari aktivitas manusia, tetapi begitu dikristalisasikanke dalam kompleksitas makna yang menjadi bagian darisuatu tradisi agama, legitimasi-legitimasi itu bisa memperolehsemacam otonomi terhadap aktivitas tersebut (Berger, 1969:41-42). Universum simbolik, dalam hal ini, adalah perangkat-perangkat tradisi teoritis yang mengintegrasikan berbagai

Page 15: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

7

bidang makna dan mencakup tatanan kelembagaan dalamsuatu totalitas simbolis (Berger & Luckmann, 1967: 95).Simbolis, dalam pengertian ini, mempunyai makna sebagaipelembagaan yang mengacu kepada berbagai kenyataan yanglain dari kenyataan pengalaman sehari-hari (Berger &Luckmann, 1967: 97).

Fungsi universum simbolik adalah menempatkan segalasesuatu pada “tempatnya yang benar”. Oleh karenanya, jikasudah diandaikan adanya universum simbolik, maka sektor-sektor yang saling bertentangan dalam kehidupan sehari-hariakan dapat diintegrasikan dengan mengacu secara langsungkepada universum simbolik itu (Berger & Luckmann,1967:98-99). Arti sosial universum simbolik, dengan demikianadalah menentukan batas-batas kenyataan sosial (Berger &Luckmann, 1967: 102). Dari sini inilah, tampak sekalikekhasan pemikiran Berger tentang agama. Ia tidak saja khasdalam melakukan teoritisasi tentang realitas agama, tetapijuga dalam memahami posisi agama dalam historisitasmanusia.

Kajian mengenai persoalan di atas, tentunya, sangatmenarik dan perlu untuk dilaksanakan. Hal ini karena Bergersecara menarik mengaitkan proses-proses legitimasi agamaatas dunia sosial dengan problem eksistensial manusiaterhadap dunianya. Ini artinya, rumusan Berger mengenaiagama telah menyentuh persoalan paling krusial ten-tangrealitas sosial agama yang sering diasosiasikan sebagai yangstreril terhadap historisitas manusia.

Dengan demikian, buku ini berupaya secarakomprehensif menelaah pemikiran Peter L. Berger. Penelitiantentang agama sebagai universum simbolik dalam pemikiranBerger sejauh dapat dilacak belum pernah dikaji secara utuh.

Page 16: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

8

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Buah pemikiran Berger memang banyak dikutip dandiungkapkan oleh pemikir lain, namun baru sepotong-potong. Horrel misalnya, dalam “converging Ideologies:Berger and Luckmann and Pastoral Epistles”, yang termuatdalam Journal for the Study of the New Testament (No. 5/1993),mengkaji bagaimana konsekuensi penerapan teori konstruksiSosial Bergerian atas kajian-kajian Pastoral. Ahern juga dalam“Re-enchanting the World: Berger’s Sacramental Approachto Religion” yang termuat dalam Toronto Journal of Theology(11/1, 1995), yang mengkaji secara kritis tentang pendekataninduktif yang diajukan oleh Berger tentang kemungkinanadanya dinamika agama dalam masyarakat modern. Zondangdalam “Religion in Modern Society” yang termuat dalam Jour-nal of Empirical Theology (No.5, 1992), mencoba melakukanpengujian empiris atas tipologi Bergerian tentang reaksi(reduktif, deduktif, dan induktif) atas agama dalam masyarakatmodern. Adapun Gill dalam “Objectivity and Social Reality”yang termuat dalam Philosophy Today (Fall 1998), berusahamelakukan kajian filosofis atas konstruksi teori Bergertentang hakikat masyarakat dan proses-prosespembentukannya. Mursanto dalam “Realitas Sosial AgamaMenurut Peter L. Berger” yang termuat dalam kumpulankarangan Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan(Gramedia, 1993), lebih pada resume buku The Sacred Canopysecara sistematis dan penilaian secukupnya.

Adapun kajian dalam buku ini sendiri merupakan suatupenelitian yang dijalankan dari suatu perspektif filsafat,khusus dari sudut telaah perspektif fenomenologieksistensial. Melalui sudut pandang ini diharapkan bisamelengkapi berbagai kajian yang telah ada sebelumnya.

Page 17: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

9

B.Kerangka PemikiranMenurut Poloma, pandangan dasar sosiologi

pengetahuan Berger tentang masyarakat dan agamasesungguhnya telah terangkum dalam suatu buku utama TheSocial Construction of Reality (1966). Buku ini memangditulis bersama Thomas Luckmann, tetapi teori yangdikembangkan di dalamnya telah pernah diketengahkandalam karyanya yang lebih awal, yakni Invitation to Sociology(1963). Karyanya The Social Construction of Reality inilah yangkemudian dijadikan dasar pengembangan intelektualnya dikemudian hari (Poloma, 1984: 306).

Pokok-pokok pemikiran dari buku tersebut, sebagaimanayang ditunjukkan Oleh Kleden, terangkum dalam suatu teoritentang realitas yang dikonstruksikan secara sosial. Teori inisesungguhnya pertama kali diperkenal-kan oleh AlfredSchutz, dan kemudian dipopulerkan serta dikembangkanoleh Berger dalam kepustakaan sosiologi berbahasa Inggris.Teori ini menunjukkan bahwa masyarakat dan kebudayaansesungguhnya merupakan buatan manusia sendiri, yangkemudian dibakukan dalam berbagai pranata sosial. Padatahap lebih lanjut, agar pranata ini dapat dipertahankan dandilanjutkan, haruslah ada pembenaran terhadap pranatatersebut. Adapun pranata itu sendiri juga dibuat oleh manusiasendiri melalui proses objektivikasi sekunder (Kleden, 1998:15-19).

Menurut Kleden lebih lanjut, bahwa dengan mengatakanbahwa masyarakat dan kebudayaan itu bersifat buatan, berartibahwa masyarakat dan kebudayaan itu bukanlah sesuatuyang hadir secara alamiah dan tumbuh dari suatu esensinyayang ontologis, melainkan buatan, konstruksi dan produksimanusia sendiri. Akan tetapi di pihak lain, konstruksi sosial

Page 18: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

10

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

itu pada tahapan objektivasinya akan menghasilkan berbagaikonstruksi yang objektif dan independen, yang eksistensitidak bisa dinafikan begitu saja (Kleden, 1998: 20).

Horrel, dalam konteks asumsi di atas itulah,menandaskan bahwa pemikiran Berger bersifat dialektis.Artinya, Berger mampu memberikan alternatif terhadapditerminisme yang menganggap individu semata-matadibentuk oleh struktur sosial dan tidak mempunyai perandalam pembentukan struktur sosial. Menurut Horrel,dengan demikian, pola pemikiran Berger adalah upaya untukmengatasi bentuk-bentuk kausalitas sepihak (Horrel, 1993:87-89).

Tepat sekali, dalam konteks ini pula, penilaian Polomaatas paradigma pemikiran Berger. Dikatakannya bahwa secarametodologis sosiologi Berger memperlihatkan usaha untukmenjembatani yang makro dan mikro, bebas nilai,interaksionis dan strukturalis. Berger, dengan usaha ini,mensintesiskan dunia sosial objektif yang dijelaskan olehkaum fungsionalis dengan dunia subjektif yang ditekankanoleh para ahli psikologi sosial. Berger dengan demikian,mencoba mengembangkan pendekatan baru dalam sosiologidengan mencoba mensintesiskan strukturalisme daninteraksionisme (Poloma, 1984: 314).

Penilaian di atas tersebut sesungguhnya, menurutHardiman, tidak lepas dari keberhasilan Berger mengaitkankonsep “eksternalisasi” dan “objektifikasi” yang sudahdikembangkan oleh Hegel, Marx, dan kemudian Durkheim,dengan konsep “internalisasi” yang dikembangkan oleh G.H.Mead. Hasil perpaduan tersebut adalah sebuah “triaddialektika” yang bisa menjelaskan bahwa struktur objektifadalah produk kesadaran manusiawi dan kesadaran

Page 19: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

11

manusiawi pada gilirannya adalah produk struktur yangdibentuknya sendiri (Hardiman, 1993: 114).

Semua aspek dari pola pemikiran Berger ini, menurutSastrapratedja, merupakan bentuk warisan dari pendekatansosiologi klasik yang bersifat objektif, interpretatif dankomprehensif. Berger, dengan warisan tersebut, berusahamenganalisa kenyataan sosial sebagaimana adanya, tanpamemberikan penilaian etis atau politis. Namun di sisi lainkenyataan objektif itu mengandung makna atau nilai yangtidak kentara begitu saja. Oleh karena itu, untuk menemukanmakna dan nilai tersebut dibutuhkan interpretasi.Menafsirkan kenyataan objektif berarti mencoba memahamimakna dari berbagai pranata sosial, menjelaskan hakikatnyadan hubungan kausalnya. Tak boleh luput pula daripengamatan makna historis dan dampaknya bagi individu(Sastrapratedja, 1992: xiii).

Menurut Poloma lebih lanjut bahwa pokok-pokokpemikiran tersebutlah yang kemudian diterapkan secarateoritis terhadap persoalan agama dalam bukunya The Sa-cred Canopy (1967) (Poloma, 1984: 314). Buku ini menurutpenilaian Niniant Smart menunjukkan suatu perspektif yangpaling baru dalam sosiologi agama, setelah karya-karyamonumental dari Weber tentang agama. Berger denganmemberikan suatu gambaran yang dialektis tentangmasyarakat dan agama, mampu memformulasikanpandangannya tentang agama sebagai yang tidak semata-mata efek atau refleksi dari proses sosial tapi juga menjadifaktor dalam setiap proses sosial. Ini artinya, Berger mampumengatasi kerangka pandang terhadap agama sebagaimanayang telah digariskan secara berbeda-beda oleh Marx,Durkheim, dan Weber (Smart, 1973: 74).

Page 20: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

12

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Titik pandang inilah yang pada akhirnya, menurut Hill,yang membedakan Berger dengan Thomas Luckmann dalammemandang agama. Jika Luckmann cenderung untukmengikuti garis pemikiran Durkheim yang melihat agamasebagai “fakta sosial” belaka, maka Berger mencobamensintesiskan karakter pikiran Marx dan Weber (Hill, 1985:141-142). Menurut Ahern, Berger lebih jauh mampumenunjukkan aspek yang menjadi substansi agama itusendiri (Ahern, 1995: 25).

Hal yang perlu digarisbawahi mengenai asumsi sosiologitentang agama adalah bukan isi agama itu sendiri, melainkanagama sebagai institusi, agama sebagai salah satu bagian daritindakan sosial, serta peranan yang dimainkan agama dalammasyarakat. Asumsi-asumsi sosiologi tentang agama, dengandemikian, lebih bersifat empiris dan deskriptif bukan evaluatifapalagi normatif. Ini artinya, bahwa titik beranjak sosiologiadalah pengalaman konkret sekitar apa yang dimengerti dandialami manusia dalam pengalaman beragamanya.

Oleh karena itulah, Berger secara tegas menekankanbahwa teori sosiologi menurut logikanya sendiri harusmemandang agama sebagai suatu proyeksi manusiawi, dandengan logika yang sama tidak mempunyai pretensi apapununtuk mengatakan kemungkinan bahwa proyeksi inimerujuk kepada sesuatu yang lain dari kedirian manusiayang menjadi proyektornya (Berger, 1969: 180).

Dasar pijakan teoritis kajian sosiologi terhadap agamainilah yang sesungguhnya terrefleksi dalam krusialitas kajiansosiologi agama. Hal ini bisa dilihat bahwa kajian agamadalam sosiologi selama ini sering mengikuti arahkecenderungan-kecenderungan yang ada dalam diskursustentang hubungan individu dengan masyarakat yang menjadi

Page 21: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

13

wacana penting dalam sosiologi modern dan kontemporer.Kecenderungan yang terjadi dalam sosiologi tersebut,sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya adalahpenekankan sepihak atas salah satu kutub, yakni individuatau masyarakat. Kecenderungan ini tentunya sangatmewarnai perspektif sosiologi tentang posisi agama dalamdunia sosial.

Pola kecenderungan yang menekankan kutubmasyarakat dari sosiologi Comte, Marx, sampai Durkheimdan Parsons, telah menghasilkan suatu asumsi bahwa agamamerupakan cerminan dari gejala di tingkat struktur sosial.Sementara, pola kecenderungan yang menekankan kutubindividu terumuskan dalam sosiologi Weber hingga HerbertMead menghasilkan suatu asumsi bahwa agama merupakanmatrik makna yang berperan dalam tindakan sosial individu.

Problematika tentang realitas agama inilah yang juga adapada pemikiran Berger. Pemikiran Berger tentang agamamenyangkut rumusannya mengenai agama sebagaiuniversum-simbolik yang menciptakan ‘tudung suci’ dalammasyarakat, yang lahir dari proses pensikapan eksistensialmanusia atas tatanan dunianya yang cenderung memilikitingkat anomitas yang tinggi.

Dengan menekankan bahwa titik berangkat kajiansosiologi dari pengalaman konkret manusia, maka landasanteori yang digunakan untuk merefleksikan pokok-pokokpemikiran Berger mengenai agama ini adalah kategori-kategori refleksi fenomenologi eksistensial. “Fenomenologi”sendiri, secara etimologis, berarti “ilmu tentang fenomen-fenomen atau tentang yang tampak (Bertens, 1987: 3).Fenomenologi dengan mengacu pada pengertian tersebutdalam batasan yang luas dapat diartikan sebagai “cara” untuk

Page 22: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

14

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

membicarakan apa saja yang dihayati oleh kesadaran,sementara itu dalam batasan sempit, ia menjadi ilmu rigorusyang berbicara tentang status dari “penampakan” itu sendiri.Fenomenologi dalam pengertian terakhir ini berurusandengan hubungan antara “wilayah-wilayah realitas” dengan“proses-proses kesadaran”. Sampai di sini, “status ontologis”penampakan untuk sementara atau definitif “diletakkandalam tanda kurung”.

Fenomenologi dalam arti rigorus tersebut pada dasarnyabersifat transendental karena terkait dengan usahamenghubungkan syarat-syarat penampakan dalam struktursubjektif manusia. Adapun fenomenologi disebut eksistensialjika fenomenologi dijadikan metode untuk dan diarahkanpada problematik eksistensi (Bertens, 1987: 5).

“Fenomenologi eksistensial” ini berangkat dari suatuperkembangan terakhir pemikiran Husserl. Penelitian-penelitian terakhirnya sudah berbicara tentang berbagai aspekyang menyangkut “manusia-dalam-dunia”. Penelitian-penelitian ini menunjukkan eksistensial lantaran masalah“persepsi” semakin diutamakan dimana dalam karya awalnyabersifat marjinal. Husserl menempatkan “persepsi” sebagaidasar pertama dan asal-usul genetis bagi semua kegiatankesadaran. Fenomenologi Husserl menjadi semakinempiristis ketika “transendensi” dimaknakan sebagai suatu“tatap-muka” yang menjadikan kesadaran melampaui dirinyasendiri. Batasan empiristis ini nampak pada pernyataanyabahwa wilayah akal-budi pada dasarnya berasal dari sintesa-sintesa pasif pada tahap persepsi, yang diidentifikasikansebagai suatu tahap asali yang tidak dapat dikonstitusi dantidak dapat diasalkan dari sesuatu yang lain. “Dunia”, dengandemikian, bukan lagi sebagai dasar “kosmologitransendental” pengalaman, namun sebagai “horison yang

Page 23: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

15

dihayati” yang lebih bersifat eksistensial, yang mendahuluisetiap objek. Dunia merupakan apa yang secara universaldan pasif sudah terdapat sebelumnya mendahului setiapaktivitas-aktivitas putusan dan satu-satunya dasarkepercayaan yang mendasari setiap pengalaman mengenaiobjek-objek khusus (Bertens, 1987: 8-10).

Fenomenologi, untuk selanjutnya, merupakanperjumpaan antara fenomenologi Husserl dengan filsafateksistensial, yang menemukan bentuknya sebagai “gerakan”yang memakai metode fenomenologi dengan intensi yangsangat berbeda di antara masing-masing filsuf. Tema besaryang melingkari gerakan ini adalah “tubuh milik sendiri”,“kebebasan”, dan “orang lain” (Bertens, 1987: 14).

Dalam konteks ini, agama yang menjadi fokus kajiandalam buku ini tentunya akan diletakkan dalam kontekskerangka pemikiran di atas. Agama ataupun pengalamankeagamaan, dalam hal ini, merupakan pengalaman yangterjadi dalam “ruang bagian dalam” (inner space) manusia.Manusia pada “ruang bagian dalam” ini mengembangkansuatu pusat kekuatan, sehingga kebebasannya berkembangsecara penuh dan berhubungan secara langsung denganpusat kekuatan alam semesta (yang dalam bahasa teologisdisebut Allah). Otto menjelaskan bahwa dalam “ruang bagiandalam” manusia itu ada suatu struktur a priori terhadapsesuatu yang irasonal. Struktur a priori ini laiknya struktura priori terhadap rasionalitas manusia sebagaimana yangdikemukakan oleh Kant dalam filsafatnya mengenai akal-budimanusia. Struktur tersebut, menurut Otto, terletak dalam“perasaan hati”. Kesadaran akan “yang kudus” (sensusreligiousus) adalah salah satu dari struktur a priori irasionalmanusia itu. Kesadaran beragama, dengan demikian, adalahkepekaan kepada “yang kudus”. Manusia atas dasar

Page 24: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

16

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

kesadaran beragama inilah mengalami hal-hal yang duniawisebagai petunjuk dari “yang Ilahi”. Mengalami “yang kudus”ini pada puncaknya dapat diisi dengan idea tentang Allah.Idea tentang Allah ini dalam strukturnya bersifat formal. Iadirumuskan begitu saja, dan manusia melalui ini secaraintuitif dan afektif mampu melihat misteri “yang Ilahi”melalui penampakan simbol-simbol duniawi (Otto, 1958:143-145).

Struktur pengalaman keagamaan tersebut, secarafenomenologis, bersifat “tergantung”. Agama lalu atas dasarini sering didefinisikan sebagai the feeling of dependence(perasaan ketergantungan). Perasaan ini muncul karenaadanya “perasaan keterciptaan” (creature of feeling), dimanamanusia mengalami bahwa ia hilang dalam ketiadaan. Semuaitu dialami secara subjektif. Pengalaman keagamaan dengandemikian merupakan suatu self-consciousness. Manusiaterhadap “yang kudus” mengalami suatu perasaan misteriumtremendum (menakutkan) dan misterimus fascinosum(mempesona). Kedua perasaan tersebut dapat dialamimanusia sampai puncaknya yang paling tinggi, yakni keadaanekstase dalam pengalaman mistik (Otto, 1958: 9-13). Inidisebabkan kegiatan pengalaman keagamaan adalah kegiatanmengaktualisasikan diri atau transendensi diri dari spektrumdiri ego-individu menuju ego-semesta (Merkur, 1997, 145).Pengalaman inilah yang disebut oleh Maslow sebagai“pengalaman puncak” (peak experiences) (Maslow, 1968: 71-102).

Agama, dalam konteks ini, menjadi suatu konstantadalam pengalaman manusia. Ia bergumul di antara kategori-kategori manusia yang terhingga yang cenderung untukmembatasinya, juga dengan keterbukaannya terhadaptransendensi yang cenderung melampauinya. Itu sebabnya

Page 25: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

17

agama menjadi sangat eksistensial dan sangat pribadi. Agamakarena karakteristiknya yang sangat eksistensial inilahmampu mengikat komitmen pribadi secara total dari manusia.Agama akhirnya tidak hanya menjadi soal “percaya” (to be-lieve) melainkan soal “mempercayakan diri” (to trush).Agama, dalam konteks inilah, menjadi kebutuhan dasarmanusia, karena ia menjadi sarana untuk pertahananeksistensial manusia atas aktivitasnya dalam dunianya (McInner, 1990: 83-85).

Page 26: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

18

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Page 27: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

19

Bab IIMEMAHAMI SOSOK

INTELEKTUALPETER L. BERGER

Suatu kajian mengenai pemikiran tokoh tanpamemperhitungkan kondisi internal dan eksternal yangmelingkari kehidupan dan pemikirannya, boleh jadi akanmenghasilkan kesimpulan yang tidak utuh. Hal inidikarenakan seorang tokoh adalah hasil sejarah atau anakzamannya. Agar tidak terjebak dalam persoalan yangdemikian, dalam bahasan ini lebih dahulu diteliti latarbelakang pemikirannya, baik secara internal maupun secaraeksternal. Penelitian atas latar belakang internal dan eksternalini penting dalam rangka merekonstruksi corak dan metodepemikiran tokoh. Tentunya, dari sudut telaah filosofis,penerapan corak dan metode berpikir ini dalam bangunanteoritis akan memiliki implikasi dan konsekuensi filosofis.

A.Kehidupan dan Perkembangan Intelektual1. Latar Belakang Internal

Peter L. Berger adalah salah seorang sosiolog terkemukaAmerika abad kedua puluh. Ia kelahiran Vienna, Austria.Memperoleh gelar master dan doktor dari New School forSocial Research. Karir akademis sebagai seorang sosiolog

Page 28: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

20

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

dialami oleh Berger dalam dua periodesasi perkembangan(Parera, 1990: xii-xiii). Periode pertama, pemikiran Bergerdimulai dengan titik tolak pada dua buku perdananya ThePrecarious Vision (1961) dan The Noise of Solemn Assemblies(1961), yang mengulas tentang fungsi atau posisi kritissosiologi agama berhadapan dengan perkembangan refleksiteologis di kalangan umat Kristen di negara-negara Barat.Kedua karya ini memberikan pijakan awal bagi Berger(sebelum tahun 1960 Berger mengajar etika sosial di Hart-ford Seminary Foundation) dalam pergumulan denganmasalah sosiologi pengetahuan pada periode berikut dalamperjalanan kariernya sebagai ahli sosiologi. Periode kedua,dimulai Berger ketika ia meninggalkan tugasnya sebagaiprofesor Etika Sosial di Hartford Seminary dan diangkatsebagai guru besar sosiologi pada New School for Social Re-search New York, sebagai pusat gerakan fenomenologi diAmerika Serikat. Salah satu tokoh gerakan fenomenologisdi bidang ilmu-ilmu sosial dan sekaligus guru Berger adalahAlfred Schutz. New School for Social Research merupakansalah satu lembaga di University of Buffalo, yang menerbitkanmajalah Philosophy and Phenomenological Research. Tidakmengherankan kalau fenomenologi mempe-ngaruhi alampikiran Berger karena perguruan tinggi itu merupakanalmamater dan sekaligus lingkungan kerja Berger. Karirterakhir Berger di bidang sosiologi sampai saat ini adalahguru besar pada Universitas Boston.

Berger telah menghasilkan buku-buku yang mencakupbidang kajian teori sosiologi, politik, agama, dan modernisasi.Buku-buku tersebut antara lain, The Prescarious Vision (1961),Invitation to Sociology (1963), The Enclaves (1965), bersamaThomas Luckmann menulis buku The Social Construction ofReality (1966), The Noise of Solemn Assembles (1967), The Sa-

Page 29: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

21

cred Canopy (1967), The Rumor of Angels (1969), bersamadengan Brigitte Berger dan Hansfried Kellner menulis bukuThe Homeless Mind (1973), Pyramids of Sacrifice (1974), Proto-col of a Damnation (1975), Against the World; For the world(1976), Facing Up to Modernity (1977), The Heretical Impera-tive (1979), The other Side of God (1981), bersama HansfriedKellner menulis buku Sociology Reinterpreted (1981), bersamaRichard Neuhaus menulis buku To Empower People, BersamaBrigitte Berger menulis buku The War over the Family (1983),The Capitalist Revolution (1986).

2. Latar Belakang Eksternal

a. Situasi Sosio-Intelektual AmerikaKonstruksi pemikiran Berger sebagai sebuah

kegiatan intelektual tidaklah berdiri sendiri. Iasesungguhnya secara eksternal sangatlah dipengaruhioleh situasi dimana ia berada, yakni situasi sosio-intelektual Amerika Serikat waktu itu. Pendekatanpositivistik, yang sudah menjadi tradisi metodologi ilmu-ilmu alam, merupakan faktor dominan berkembangnyateoriteori sosiologi di sana. Perkembangan ilmu-ilmusosial diresapi oleh pengaruh pemikiran model rasionalitasteknokratis, yang dianut oleh para teknokrat, politisi,birokrat, kelompok professional lainnya serta ilmuwan daridisiplin-disiplin lainnya. Ilmu-ilmu sosial dikembangkansejauh menjadi sarana teoritis untuk mencapai tujuan-tujuan praktis, yang tersirat dalam pelbagai perekayasaansosial (social engineering). Hampir tidak berkembang luasdalam suasana intelektual semacam itu sosiologi alternatifseperti sosiologi interpretatif atau humanistis, yangmenempatkan kegiatan sosial sebagai bagian dari kegiatanmanusia konkret yang multi-dimensional seperti yang

Page 30: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

22

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

dimengerti oleh filsafat manusia. Manusia konkret dengansegala problematikanya, termasuk kebebasannya, menjadititik tolak pencarian hakikat masyarakat sebagai tugasutama pengembangan sosiologi (Berger, 1963).

Berger menandaskan situasi ini sebagai berikut:

Sosiologi Amerika masa kini cenderung mengesampingkan salahsatu pihak. Perspektifnya, dengan demikian, mengenai masyarakatcenderung merupakan apa yang oleh Marx dinamakan suatu reifikasi(verdinglichung: pembendaan); artinya, suatu distorsi yang tidakdialektik dari kenyataan sosial yang mengaburkan sifat kenyataanitu sebagai suatu produk manusia yang berlangsung terus-menerus,dengan memandangnya dari segi kategori-kategori semacam benda yanghanya cocok bagi dunia alam. Bahwasanya dehumanisasi yangterkandung secara implisit di dalamnya diperlunak oleh nilai-nilaiyang berasal dari tradisi yang lebih luas dalam masyarakat, baik darisegi moral tapi tidak relevan secara teoritis (Berger & Luckmann,1967: 197-198).

Berger, karena penguasaannya terhadap bahasa-bahasa Eropa (termasuk bahasa Jerman), mempunyaiakses ke sumber-sumber awal sosiologi di Eropa,termasuk karya-karya Max Weber dan Emile Durkheim.Ia juga mempunyai akses pada sumber-sumber awal karyasosiologi pengetahuan seperti karya-karya Max Scheler,yang juga digunakan oleh Karl Mannheim (1893-1947),yang kemudian menulis karya-karyanya tentang sosiologipengetahuan dalam bahasa Inggris dan digunakan dikalangan ahli sosiologi Amerika. Berger, dengan bantuanliteratur Eropa daratan yang dikuasai oleh pakar-pakar diNew School, akhirnya membangun penilaian atas situasiilmu-ilmu sosial Amerika. Ternyata situasi faktual ilmu-ilmu sosial di Amerika waktu itu memendam pertikaianproblematika metodologis yang mirip-mirip dengan situasi

Page 31: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

23

konflik metodologis pada akhir abad ke-19 dan awal abadke-20 di lingkungan intelektual Eropa (khususnyaJerman), ketika Max Weber tampil sebagai tokoh yangmemper-tahankan posisi humanistik dari sosiologi sebagaisubdisiplin humaniora. Max Weber, dalam situasi konflikitu, berusaha mensintesiskan pendekatan positifistik danpendekatan ide-alistis untuk membangun pendekatanilmu-ilmu sosial yang khas dan otonom (Berger, 1963).

b. Sosiologi pengetahuan dan Posisi Intelektual Berger

Konstruksi pemikiran Berger itu sendiri, jika ditinjaudari sudut konstelasi perkembangan cabang-cabangdisiplin sosiologi, sesungguhnya mencerminkan kaitanyang erat dengan sosiologi pengetahuan. Adapun istilah“sosiologi pengetahuan” (wissenssoziologie) itu sendiriawalnya diciptakan oleh Max Scheler pada tahun 1920-an(Berger & Luckmann, 1967: 4). Sosiologi pengetahuan,sebagaimana oleh Stark ungkapkan, merupakan sebuahcabang dari sosiologi yang mengkaji proses-proses sosialyang melibatkan produksi pengetahuan (Stark, 1971: 475).Sementara itu, dalam konteks ini, Mannheim secara lebihluas menandaskan sebagai berikut:

“Sosiologi pengetahuan adalah salah satu dari cabang-cabangtermuda dari sosiologi; sebagai teori cabang ini berusaha menganalisiskaitan antara pengetahuan dan eksistensi; sebagai riset sosiologis-historis,cabang ini berusaha menelusuri bentuk-bentuk yang diambil olehkaitan itu dalam perkembangan intelektual manusia” (Mannheim,1998:287).

Apabila dilihat dari konteks dasar pemikiran sosiologipengetahuan tersebut, basis konstruksinya sendirisesungguhnya telah ada jauh sebelum Schelermerumuskannya, yakni pada pola pemikiran Karl Marx,

Page 32: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

24

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Friedrich Nietzsche, dan Wilhelm Dilthy (Mannheim,1998: 336-338). Marx, misalnya, pernah merumuskankonsepnya tentang “ideologi” (ide-ide yang merupakansenjata bagi berbagai kepentingan sosial) dan tentang“kesadaran palsu” (alam pikiran yang teralienasi darikeberadaan sosial yang sebenarnya dari si pemikir).Adapun yang teristimewa dari kedua gagasan itu adalahkonsep kembarnya tentang “substruktur/superstruktur”(Unterbau/Ueberbau) yang menandaskan bahwa“pemikiran manusia didasarkan atas kegiatan manusia(“kerja” dalam arti yang seluas-luasnya) dan atashubungan-hubungan sosial yang ditimbulkan olehkegiatan itu”. Sementara Nietzsche melalui anti-idealismenya telah memberikan perspektif mengenaipemikiran manusia sebagai satu alat dalam perjuanganuntuk memperta-hankan kelangsungan hidup dan untukberkuasa. Adapun Dilthy melalui historisismenyamemperkenalkan tentang relativitas semua perspektifmengenai berbagai peristiwa manusia karena terkaitdengan situasi sosial dari pemikiran tersebut (Berger &Luckmann, 1967: 6-8).

Adapun yang menandai periode awal dari kelahiransosiologi pengetahuan yang dikembangkan oleh Scheleradalah ilmu ini lahir dalam sejarah diskursus filsafat diJerman. Suasana filosofis yang menandai periode awalkelahirannya ini tampak sekali pada minat Scheler dalamsosiologi pengetahuan yang hanya merupakan satu epi-sode yang sepintas saja dalam karir filosofisnya. Tujuanakhirnya adalah pembentukan suatu antropologi falsafatiyang akan mengatasi relativitas sudut-sudut pandang yangberlokasi spesifik historis dan sosial. Sosiologipengetahuan lalu akan menjadi alat untuk mencapai

Page 33: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

25

tujuan ini, dan tugas utamanya adalah untuk menembuskesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh relativismesehingga tugas filsafat yang sesungguhnya dapat dimulai.Sosiologi pengetahuan, dalam konteks ini, merupakanancilla philosophiae (pembantu filsafat).

Sejalan dengan orientasi ini, sosiologi pengetahuanScheler merupakan sebuah metode negatif. Hal ini karenasosiologi pengetahuan Scheler mendasarkan pada suatuasumsi bahwa masyarakat menentukan kehadiran(Dasein) tetapi tidak menentukan hakikat (Sosein) ide-ide.Maka, sosiologi pengetahuan itu merupakan proseduruntuk menelaah seleksi sosio-historis dari isi ide-ide itu(Berger & Luckmann, 1967: 8). Inilah yang menjadi ciridari bangunan sosiologi pengetahuan Scheler.

Sosiologi pengetahuan Scheler, dalam kerangkaseperti ini, adalah usaha untuk menganalisa dengansangat terinci cara pengetahuan manusia dibentuk olehmasyarakat. Ia menandaskan bahwa pengetahuanmanusia diberikan dalam masyarakat sebagai suatu apriori bagi pengalaman individu dengan memberikankepadanya tatanan maknanya. Tatanan ini, meskipuntergantung kepada suatu situasi sosio-historis tertentu,menampakkan diri kepada individu sebagai cara yangsudah sewajarnya untuk memandang dunia. Schelermenamakannya “pandangan dunia yang relatif-natural”(relativnaturliche weltanschauung) dari suatu masyara-kat(Berger & Luckmann, 1967: 8).

Adapun periode kedua dari perkembangan sosiologipengetahuan ditandai oleh pengembangan lebih lanjut ditangan Karl Mannheim. Ia menandai suatu peralihan letaksosiologi pengetahuan ke dalam suatu konteks sosiologi

Page 34: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

26

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

yang lebih sempit. Sosiologi pengetahuan denganrumusan inilah sampai di dunia berbahasa Inggris.Sosiologi pengetahuan, dalam konteks periode keduainilah, tidak lagi begitu dibebani oleh wacana filosofisdibandingkan dengan periode awalnya yang telahdirumuskan oleh Scheler. Wacana ini bisa dilihat dalamkarya utamanya Ideology and Utopia.

Pemahaman Mannheim tentang fokus kajian dalamsosiologi pengetahuan, demikian pula, jauh lebih besarjangkauannya dibandingkan dengan pemahaman Scheler.Perhatian utama Mannheim adalah gejala ideologi. AkanTetapi di sini, ia memahami ideologi sebagai karakteristiktidak hanya dari pemikiran lawan melainkan juga daripemikiran sendiri. Ia, dalam kerangka ini, inginmenegaskan bahwa tidak ada pemikiran manusia yangkebal terhadap pengaruh-pengaruh ideologisasi darikonteks sosialnya (Mannheim, 1998: 214) Ini artinya,pengetahuan dan eksistensi merupakan dua hal yang tidakbisa dipisahkan. Semua manusia akan menangkap realitasberdasarkan perspektif dirinya. Latar belakang sosial danpsikologi individu yang mengetahui tidak bisa dilepaskandalam proses terjadinya pengetahuan (Mannheim, 1998:302).

Menurut Mannheim, daripada berdebat tentangobjektivitas pengetahuan yang hasilnya tidak mungkin,lebih baik menjelaskan hubungan antara pengetahuantersebut dengan perspektif eksistensi dari manusia yangmemproduksi pengetahuan tersebut. Pengertianseseorang jauh akan bertambah tentang permasalahannyajika seseorang mengetahui hubungan-hubungan yang adaantara pengetahuan manusia dan eksistensinya.

Page 35: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

27

Mannheim, dalam konteks inilah, menciptakan istilah“relasionisme” untuk menunjukkan perspektifepistemologis dari sosiologi pengetahuannya di hadapanberbagai relativitas sosio-historis. Artinya, suatupengakuan yang bijaksana bahwa pengetahuan selalumerupakan pengetahuan dari segi suatu posisi tertentu(Mannheim, 1998: 326-327).

Sementara periode ketiga dari lingkup perkembangansosiologi pengetahuan di dunia berbahasa Inggris, yakniAmerika, diskusi awalnya cenderung diwarnai olehberbagai kritik dan modifikasi. Hal ini, tentunya, tidak laincerminan dari posisinya yang marjinal dalam diskursussosiologi Amerika. Semua ini terlihat sekali karenarumusan Mannheim tentang sosiologi pengetahuanbegitu memegang kendali atas kerangka acuan umumdalam perkembangan sosiologi pengetahuan di sana.

Fenomena ini bisa dilihat pada Talcott Parsonsmisalnya. Parsons cenderung hanya memberi komentarterhadap kehadiran sosiologi pengetahuan sebagai cabangdari sosiologi umum, itupun sebatas kritik terhadapMannheim. Adapun C. Wright Mills bisa dikatakanmerupakan tokoh yang paling nyaring kritiknya terhadapkeberadaan sosiologi pengetahuan. Sementara yang bisadisebut agak serius adalah Robert Merton. Ia berupayamenyusun sebuah paradigma bagi sosiologi pengetahuan,dengan merumuskan kembali tema-tema utamanya dalambentuk yang padat dan koheren. Konstruksinya ini,tentunya, merupakan upaya untuk mengintegrasikan carapendekatan sosiologi pengetahuan dengan carapendekatan strukturalisme-fungsional. SementaraTheodor Geiger berusaha mengintegrasikan sosiologi

Page 36: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

28

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

pengetahuan dengan suatu pendekatan neo-positivisterhadap sosiologi pada umumnya (Berger & Luckmann,1967: 11-12).

Mungkin bisa disebut bahwa hanya Werner Stark, diantara sekian perkembangan yang ada, yang mampu untukmerumuskan sosiologi pengetahuan yang melampauiMannheim. Pelampauan ini dilihat dari usaha Stark untukmeninggalkan fokus Mannheim terhadap masalahideologi. Bagi Stark, tugas sosiologi pengetahuanbukanlah untuk membersihkan dari prasangka ataumenelanjangi distorsi-distorsi yang ditimbulkan secarasosial, melainkan untuk menelaah secara sistematiskondisi-kondisi sosial bagi pengetahuan sebagaipengetahuan. Namun demikian, pelampauan initampaknya hanya merupakan peralihan figur, yakni bahwaStark lebih condong kepada Scheler. Sampai di sinisesungguhnya tidak ada sumba-ngan berarti yang mampumelampaui rumusan sebelumnya.

Adapun perkembangan yang sungguh-sungguhberarti dari sosiologi pengetahuan di Amerika hanya bisadisebut pada apa yang telah dila-kukan oleh Peter L. Bergerdan Thomas Luckmann dalam buku mereka The SocialConstruction of Reality. Inilah menandai periode keempatdari perkembangan lebih lanjut sosiologi pengetahuan.Perkembangan ini ditandai oleh peralihan fokus kajiansosiologi pengetahuan secara lebih mendasar. Dariperalihan fokus inilah ditunjukkan posisi intelektual yangkhusus dan khas dari keduanya dalam konteks diskursusperkembangan sosiologi pengetahuan.

Menurut Berger dan Luckmann, karena titik-tolaksosiologi pengetahuan berada di tingkat empiris, maka

Page 37: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

29

sudah tentu ia seharusnya memfokuskan pada segalasesuatu yang dianggap sebagai “pengetahuan” dalammasyarakat. Artinya, segala yang menyangkut apa yang“diketahui” oleh masyarakat sebagai “kenyataan” dalamkehidupan mereka sehari-hari yang tidak teoritis atau yangprateoritis melainkan “pengetahuan” akal sehat (commensense). “Pengetahuan” inilah yang sesungguhnyamemegang kendali dan sangat sentral dalam masyarakat,karena ia merupakan jaringan makna yang tanpanya taksatupun masyarakat dapat hidup (Berger & Luckmann,1967: 14). Tiap individu dalam masyarakat berpartisipasidalam “pengetahuan”-nya dengan cara tertentu (Berger& Luckmann, 1990: 15).

Sampai di sini, dua kata kunci di atas tentang“pengetahuan” dan “kenyataan” sangatlah penting untukditekankan, karena menyangkut suatu kualitas yangterdapat dalam fenomena-fenomena yang individu akuisebagai memiliki keberadaan yang tidak tergantungkepada kehendak individu sendiri, dan juga menyangkutkepastian bahwa fenomena-fenomena itu nyata danmemiliki karakteristik-karakteristik yang khusus (Berger& Luckmann, 1967: 1).

Sementara, masalah “ide-ide” termasuk masalah yangkhusus mengenai ideologi, hanya merupakan satu bagiandari masalah sosiologi pengetahuan yang lebih luas, danmalahan tidak merupakan bagian yang sentral darinya.Hal ini karena hanya satu kelompok orang yang sangatterbatas saja — dalam tiap masyarakat — yang melakukankegiatan dalam bidang teori, dalam urusan “gagasan-gagasan”, dan dalam penyusunan weltanschauung (Berger& Luckmann, 1967: 15).

Page 38: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

30

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Sampai pada konteks ini, fokus sosiologi pengetahuanyang sesungguhnya, dengan demikian, adalah selainvariasi empiris dari “pengetahuan” dalam masyarakat-masyarakat manusia, juga proses-proses dengan manasetiap perangkat “pengetahuan” (body of knowledge) padaakhirnya ditetapkan secara sosial sebagai “kenyataan”.Artinya, apa saja yang dianggap sebagai “pengetahuan”dalam suatu masyarakat, terlepas dari persoalankesahihahan atau ketidaksahihan yang paling dasar dari“pengetahuan” itu, dan sejauh semua “pengetahuan”manusia itu dikembangkan, dialihkan, dan dipeliharadalam berbagai situasi sosial (Berger & Luckmann, 1967:3). Ini artinya, ada perluasan ruang-lingkup jangkauandari sosiologi pengetahuan, yakni pada apa yang disebutdengan pembentukan kenyataan oleh masyarakat itusendiri (social construction of reality) (Berger & Luckmann,1990: 16).

Pada level perhatiannya atas pembentukan kenyataanoleh masyarakat inilah, Berger dan Luckmannsesungguhnya telah keluar dari kerangka acuan yang telahdirumuskan dalam bangunan sosiologi pengetahuansebelumnya. Adapun kerangka acuan ini tidak lain diambildari pokok-pokok pikiran Alfred Schutz tentang the socialconstruction of reality. Ini artinya, sosiologi pengetahuandi tangan Berger dan Luckmann mengalami redefinisisecara mendasar atas asumsi-asumsi fenomenologi sosialSchutz tentang dunia sosial sehari-hari. Mereka, denganbertitik-tolak dari problem pembentukan kenyataan olehmasyarakat ini, melakukan sintesis yang cemerlang atasbeberapa posisi pemikiran sosiologis yang cenderungbertentangan sebagai kerangka-bangun sosiologipengetahuan bagi pengembangan lebih lanjut (Collin,

Page 39: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

31

1997: 64-79). Beberapa posisi pemikiran sosiologistersebut adalah Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber,dan George Herbert Mead (Berger & Luckmann, 1990:17).

Sampai pada posisi intelektual yang sama darikeduanya ini, yakni Berger dan Luckmann dalam konteksperkembangan sosiologi pengetahuan di atas, keduanyaternyata berbeda visi dalam memahami realitas sosialagama dalam konteks konstruksi masyarakat. Jika Bergercenderung kepada perspektif Marx-Weber, makaLuckmann cenderung kepada perspektif Durkheim (Hill,1985: 141). Tampak, dalam konteks inilah, bahwawalaupun mereka berangkat dari titik-tolak yang samadalam bangunan sosiologi pengetahuan, mereka akhirnyamemiliki perbedaan di tingkat apli-kasi, yang justrumenunjukkan posisi intelektual mereka masing-masing.

B.Pemikiran yang Mempengaruhi*

1. Karl Marx: Dialektika Materialisme-Historis

Pusat perhatian Marx adalah tingkat struktur sosial.Marx, dengan memperhatikan ini, ingin menjelaskanbagaimana cara orang menyesuaikan dirinya denganlingkungan fisiknya (Johnson, 1994: 121). Menurut Marx,perkembangan semua masyarakat merupakan hasil interaksiyang produktif dan berulang kali antara lingkungan alam danmanusia. Manusia mulai membedakan dirinya dari binatangsegera setelah ia mulai memproduksi kebutuhan-kebutuhannya. Kegiatan produktif, dengan demikian, merupa-kan akar dari masyarakat. Artinya, produksi adalah tindakansejarah pertama dan produksi kebutuhan material adalah syaratdasar dari semua sejarah dalam menopang kehidupan manusia.

Page 40: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

32

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Berangkat dari sinilah Marx menekankan bahwa tiap macamsistem produksi, tentunya, membawa serta suatu pola tertentuhubungan sosial antara individu-individu yang terlibat dalamproses produktif tersebut (Giddens, 1992: 43).

Marx, dengan mengasumsikan demikian, sesungguh-nya ingin menegaskan bahwa hukum dasar perkembanganmasyarakat adalah cara produksi kebutuhan-kebutuhanmaterial manusia. Artinya, cara produksi menentukanmasyarakat dan pengembangannya (Magnis-Suseno, 1999:137). Inilah yang menjadi prinsip dasar pandangan Marxtentang materialisme-historis. Prinsip dasar ini terumuskandalam ungkapan Marx “bukan kesadaran manusia yangmenentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya keadaan sosialmerekalah yang menentukan kesadaran mereka”. Keadaansosial manusia adalah produksinya, pekerjaannya. Manusiaditentukan oleh produksi mereka, baik yang merekaproduksikan, maupun cara mereka berproduksi. Jadiindividu-individu tergantung pada syarat-syarat materialproduksi mereka (Magnis-suseno, 1999: 138-139).

Pandangan ini disebut materialis karena sejarahdianggap ditentukan oleh syarat-syarat produksi material.Materialisme, tentunya, bukanlah dalam arti filosofis, tapibersifat sosial dalam pengertian faktor yang menentukansuatu perubahan sosial.

Cara berproduksi itu juga menentukan kesadaranmanusia. Menurut Marx, “kesadaran tidak mungkin lain darikeadaan yang disadari, dan keadaan manusia adalah prosesmanusia yang sungguh-sungguh” (Magnis-Suseno, 1999:140). Kerangka berpikir inilah yang menjadi dasar bagi Marxuntuk membangun teorinya mengenai “infrastruktur” yangmendasari “superstruktur” sosial (Johnson, 1994: 121).Infrastruktur adalah cara produksi atau ekonomi

Page 41: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

33

menentukan corak bangunan superstruktur sosial (agama,ideologi, filsafat, dan nilai-nilai budaya).

Kunci untuk memahami kenyataan sosial, dengandemikian menurut Marx, tidak ditemukan dalam ide-idedominan atau pandangan-pandangan hidup. Hal inidikarenakan ide-ide tersebut bersifat “epifenomena”. Artinya,ide-ide itu merupakan cerminan dari kondisi-kondisikehidupan material dan struktur ekonomi dimana orangmenyesuaikan dirinya dengan kondisi-kondisi itu.

Tekanan Marx atas kondisi material itu sendiri, dengandemikian, merupakan kebalikan dari interpretasi idealistikHegel mengenai sejarah. Hal ini diungkapkan oleh Marxsebagai berikut:

“Metode dialektika saya sendiri bukan saja berbeda dari metodedialektika Hegel, tetapi lawan langsung darinya. Bagi Hegel... prosesberpikir itu... adalah pencipta dari dunia material, dan dunia materialhanya manifestasi lahir dari “idea”. Bagi saya sebaliknya dari itu,idea tidak lain daripada dunia material yang terefleksikan oleh pikiranmanusia dan dipindahkan menjadi buah pikiran” (Marx,1986: 11).

Sampai pada bahasan ini, tampak sekali Marx sangatmenekankan pentingnya kondisi-kondisi material, sehinggacenderung dinilai sangat mengabaikan kenyataan kesadaransubjektif. Namun demikian, penelusuran yang seksamaterhadap pikiran-pikiran Marx sesungguhnya tidaklahdemikian halnya. Posisi kesadaran subjektif dalam lingkung-an-lingkungan material dalam konstruksi pemikiran Marxharuslah dilihat sebagai posisi yang dikondisikan. Marxjadinya tidak mengabaikan samasekali kedudukan pentingkesadaran subjektif.

Asumsi ini dapat dilihat dalam ungkapan Marx sendiri,sebagai berikut:

Page 42: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

34

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

“Manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidakmembuatnya secara sesukanya; mereka tidak membuat sejarah dalamlingkungan yang mereka pilih sendiri, tetapi dalam lingkungan yangsecara langsung dihadapi dari masa lalu. Tradisi dari semua generasiyang telah tiada menekan seperti suatu mimpi buruk dalam benakorang yang masih hidup” (Diambil dari kutipan Ritzer, 1996: 154).

Posisi kesadaran subjektif yang dikondisikan inimenunjukkan bahwa pola hubungan manusia denganstruktur sosial tidak searah begitu saja, tapi bersifat dialektis.Titik-tolak dialektika ini bagi Marx berada dalam lingkungan-lingkungan material. Tentunya, inilah yang membedakannyadengan Hegel.

2. Emile Durkheim: Faktisitas Struktur Sosial

Asumsi umum yang fundamental yang mendasaripendekatan Durkheim terhadap sosiologi adalah bahwa faktasosial itu nyata dan mempengaruhi kesadaran individu sertaperilakunya. Fakta sosial ini berbeda dari karakteristikpsikologis dan biologis, serta karakteristik individu lain-lainnya (Johnson, 1994: 174). Asumsi ini sesungguhnyamencerminkan suatu posisi yang umumnya berhubungandengan realisme sosial. Artinya, masyarakat dilihat sebagaisesuatu yang nyata, berbeda secara terlepas dari individu-individu yang kebetulan termasuk di dalamnya dan bekerjamenurut prinsip-prinsipnya sendiri yang khas, yang tidakmencerminkan maksud-maksud individu yang sadar(Johnson, 1994: 214)

Ada tiga karakteristik fakta sosial yang dikembangkanoleh Durkheim yang berbeda dengan fakta individu. Pertama,fakta sosial bersifat eksternal terhadap individu. Kedua, faktasosial itu memaksa individu. Ketiga, fakta sosial itu bersifat

Page 43: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

35

umum atau tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat(Durkheim, 1964: 2).

Ketiga karakteristik dari fakta sosial tersebut bisa denganjelas bila dilihat dalam ungkapan Durkheim berikut ini:

“Jadi kita sampai pada satu titik dimana kita dapatmerumuskan dan menentukan dengan tepat batas-batas bidangsosiologi. Ini terdiri dari hanya suatu kelompok gejala terbatas. Suatufakta sosial harus dikenai oleh kekuatan memaksanya yang bersifateksternal yang memaksa atau mampu memaksa individu, danhadirnya kekuatan ini dapat dikenal kalau tidak diikuti, baik denganadanya suatu sanksi tertentu maupun perlawanan yang diberikankepada setiap usaha individu yang cenderung melanggarnya. Namunorang dapat juga mengenalnya dengan terse-barnya fakta sosial itudalam kelompok itu, asalkan... dia memperhatikan... bahwa eksistensifakta sosial itu sendiri terlepas dari bentuk-bentuk individu yangdiasumsikan dalam penyebarannya itu” (Durkheim, 1964: 10).

Fakta sosial di sini meliputi kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat dan cara hidup umumnya manusia sebagaimana yangterkandung pada institusi-institusi, hukum-hukum, moral-moral, dan ideologi-ideologi politis. Semua ini memang bisabekerja di dalam kesadaran individu tetapi mereka itumerupakan fenomena yang dapat dibedakan dari kesadaranindividu itu sendiri. Fakta sosial berada “di luar” diri individudalam arti bahwa fakta itu datang kepadanya dari luar dirinyasendiri dan menguasai tingkah-laku. Karena itu, ilmuwansosial mesti memperlakukan fakta sosial sebagai “benda-benda” (Durkheim, 1964: 3).

Durkheim, dengan menempatkan fakta sosial sebagaibenda-benda, menempatkan setiap gejala sosial sebagai yangteramati dan terukur. Dia, misalnya, menyamakan “kepadatansosial” dengan konsentrasi populasi, memakai statistik untukmembuat pernyataan-pernyataan faktual umum mengenai

Page 44: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

36

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

masyarakat masyarakat sebagai keseluruhan, dan mengang-gap proses-proses teramati dari berbagai jenis sanksi hukumsebagai ciri-ciri permukaan dari kenyataan sosial yangmendasarinya (Campbell, 1994: 168). Itulah kekhususannya,sehingga realitas sosial oleh Durkheim disebut sebagai realitassui generis.

Tujuan dari kerangka berpikir di atas adalah menangkapfenomena-fenomena sosial dalam hukum-hukum yangmengartikulasikan pengulangan-pengulangan yang tetapdari rangkaian-rangkaian yang dapat diamati. Melaluipenetapan keajekan-keajekan tersebut akan ditemukan sebab-akibat segala fenomena sosial yang sepenuhnya ada dalamfenomena sosial itu sendiri bukannya pada unsur-unsur pra-sosial kodrat manusia. Menurut Durkheim, fakta-faktatersebut tidak bisa begitu saja di-reduksi ke taraf-tarafkenyataan yang lebih rendah sebagaimana dalam psikologidan biologi (Durkheim, 1964: 45).

Ciri khas positivisme Durkheim ini adalah usaha untukmendekati masyarakat sebagai sebuah kenyataan organis yangindependen yang memiliki hukum-hukumnya sendiri,perkembangan dan hidupnya sendiri. Ini semua sangatberkaitan dengan pendiriannya yang sangat deterministik,yakni individu tidak berdaya dihadapan pembatasan-pembatasan dari kekuatan-kekuatan sosial yangmenghasilkan penyesuaian diri dengan norma-norma sosial(Campbell, 1994: 170).

Sampai pada tingkat bahasan ini, Durkheim mempunyaipandangan yang khas tentang individu dan masyarakat. BagiDurkheim, ‘Individu’ adalah sebuah kategori residual dariapa yang disebut dengan masyarakat. Sisa ini tidak lebihdaripada sebuah substratum yang seragam. Apa yangbiasanya dianggap sebagai ciri-ciri universal kodrat manusia,

Page 45: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

37

termasuk kemampuan untuk memilih dan bernalar,sebenarnya merupakan produk situasi lingkungan yangsama-sama dimiliki semua manusia. Sementara itu,masyarakat pada dasarnya adalah fenomena moral ataunormatif, yang menyangkut pengaturan tingkah-lakuindividu melalui sebuah sistem yang dipaksakan atau sistemeksternal yang memaksakan nilai-nilai dan aturan-aturan(Campbell, 1994: 174).

3. Max Weber: Tindakan-tindakan Individu

Posisi Weber dalam wacana sosiologi berhubungandengan posisi nominalis, yakni bahwa hanya individu-individu yang riil secara objektif. Adapun masyarakat hanyalahsatu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu-individu (Johnson, 1994: 214). Bagi Weber, bukanlahstruktur-struktur sosial atau peranan-peranan sosial yangpertama-tama menghubungkan orang dan menentukan isicorak kelakukan mereka, melainkan “arti-arti” subjektif yangdikenakan orang kepada kelakukan mereka (Veeger, 1993:175). Hal ini dikarenakan kondisi manusia sebagai kondisiyang menuntut pelaksanaan pilihan-pilihan dalamhubungannya dengan tujuan-tujuan akhir dari tingkah-laku.Manusia, pada taraf tertentu, harus memilih nilai-nilainyadan memutuskan sendiri bagaimana tindakan-tindakannyamenjadi rasional, emosional atau tradisional. Kodrat manusiamempunyai kecenderungan untuk membuat pilihan-pilihannilai (Campbell, 1994: 210). “Tindakan sosial”, dengandemikian, tentunya selalu berpangkal dari tindakan individuyang memiliki makna subjektif, dan diarah pada orang lain(Campbell, 1994: 204).

Namun demikian, posisi struktur sosial, dalamperspektif Weber, bukanlah sebagai suatu kenyataan empirik

Page 46: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

38

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

yang ada terlepas dari individu-individu. Ia lebih didefinisikanoleh Weber sebagai sesuatu yang bersifat probabilitas(Johnson, 1994, 222). Itu artinya, Weber tidak menempatkanpersoalan kausalitas sebagai sesuatu yang bersifat satu arah(one way model). Bagi Weber selalu dimungkinkan adanyabeberapa faktor yang mewarnai suatu kejadian sosial. Suatusebab bisa menjadi akibat jika ia bersifat memadai untukkejadian yang akan mengikutinya. Inilah yang disebut We-ber sebagai adequate causality (Ritzer, 1996: 225).

Walaupun demikian, untuk memahami kenyataan sosialyang ada, Weber secara metodologis lebih menempatkankonsep tindakan individual yang bermakna sebagai pusat teorisosiologinya. Titik-tolak ini diambil atas dasar pertimbanganbahwa ciri dari suatu hubungan-hubungan sosial adalahhubungan-hubungan tersebut bermakna bagi mereka yangmengambil bagian di dalamnya. Itu sebabnya kemudianbahwa pemahaman mengenai corak masyarakat hanya dapatdicapai melalui suatu pemahaman mengenai segi-segisubjektif. Melalui analisis atas berbagai macam tindakanmanusia inilah dapat diperoleh pengetahuan tentangmasyarakat (Campbell, 1994: 199).

Weber kemudian, atas dasar titik-tolaknya pada tindakanindividu, mendefinisikan sosiologi sebagai sebuah ilmu yangmengusahakan pemahaman interpretatif mengenai tindakansosial untuk menghasilkan sebuah penjelasan kausalmengenai gejela-gejala dalam masyarakat (Campbell, 1994:201). Corak sosiologi ini sesungguhnya merupakan bentukkompromistis Weber atas perselisihan positivistisme tentanggeneralisasi-generalisasi kausal dengan pandanganpartikularistik sejarawan atas relevansi analisis kausalterhadap tingkah-laku manusia (Ritzer, 1996: 221).

Page 47: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

39

Pemahaman interpretatif ini dalam kerangkametodologinya tidak lain adalah verstehen. Pemikiran Webertentang Verstehen ini sesungguhnya merupakan bentukperluasan penerapan hermeneutika atas teks kepadakehidupan sosial, khususnya tahapan-tahapan subjektif dariindi-vidu (Ritzer, 1996: 223). Kerangka kerja metode iniadalah memahami sebuah tindakan sebagai tindakan yangkhas, lalu bergerak ke arah generalisasi kausal (Campbell,1994: 205). Tujuan Weber tidak lain adalah masuk ke “arti-arti” subjektif yang berhubungan dengan berbagai “kategoriinteraksi manusia”, sehingga bisa memahami arahperubahan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat(Johnson, 1994: 215).

Berdasarkan pola kerja metode inilah, konsep tipe-tipeideal (ideal types) dibangun oleh Weber. Pengertian dari tipe-tipe ideal di sini adalah suatu alat heuristic, yang berguna untukpenelitian empiris dalam mema-hami aspek spesifik dari duniasosial (Ritzer, 1996: 226). Weber menjelaskan hal ini sebagaiberikut:

“Suatu tipe ideal dibentuk dengan suatu penekanan yang beratsebelah mengenai satu pokok pandangan atau lebih, atau dengan sintesadari gejala-gejala individual konkret, yang sangat tersebar, memilikisifatnya sendiri-sendiri, yang kurang lebih ada dan kadang-kadangtidak ada, yang diatur menurut titik-pandang yang diberi tekanansecara berat sebelah ke dalam suatu konstruk analitis yang terpadu...Dalam kemurnian konseptualnya, konstruk mental ini... tidak dapatditemukan secara empiris dimanapun secara nyata (Weber, 1949:90).

Tipe ideal merupakan contoh model kegiatan-kegiatansosial yang dipakai dalam menafsirkan tingkah-laku manusia.Ia adalah ekstrapolasi-ekstrapolasi atas segi-segi tindakanyang dipilih yang membentuk sebuah kompleks yang dapat

Page 48: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

40

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

dimengerti, yang dengannya seorang peneliti bisa memahamitingkah-laku aktual (Campbell, 1994: 206).

4. Alfred Schutz: Pengalaman Intersubjektif dan Dunia Sehari-hari

Menurut Schutz, problem utama dalam ilmu sosialadalah studi tentang dunia kehidupan sehari-hari (the worldof daily life), tentang realitas akal sehat (commen sense) yangdidiami oleh setiap orang bersama sesamanya yang laindengan begitu saja (taken-for-granted) (Natanson, 1986: 72).Tugas seorang fenomenolog sosial, dalam konteks ini, adalahmenemukan, menggambarkan, dan menganalisa ciri-ciriesensial dari dunia biasa ini (mundane world).

Dunia kehidupan sehari-hari ini adalah dunia yang pal-ing fundamental dan dunia terpenting bagi manusia. Diamenjadi tatanan tingkat satu (the first-order reality), yangsekaligus menjadi sumber dan dasar bagi pembentukantatanan-tatanan lainnya. Bahasa dan makna, misalnya,dibentuk dalam dunia kehidupan sehari-hari, dan terjadi jugainteraksi antara anggota-anggota masyarakat. Dari semua inikemudian dibangun berbagai tipe harapan dan tingkah laku.Berdiri, atas dasar tatanan tingkat pertama ini, berbagaitatanan tingkat kedua (the second order reality) seperti ilmupengetahuan, filsafat, atau teknologi. Dunia kehidupansehari-hari, dengan demikian, merupakan kenyataan yangpaling dasar yang tanpanya kenyataan-kenyataaan sosiallainnya tidak dapat dipahami karena kehilangan landasannya.Dunia kehidupan sehari-hari, dengan demiki-an, bukanlahsekedar suatu realitas, tetapi merupakan realitas terpentingdalam kehidupan manusia dan menjadi realitas utama (theparamount reality) (Schutz, 1962: 234).

Page 49: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

41

Arti penting dari dunia kehidupan sehari-hari ini tampaksekali dalam ungkapan Schutz berikut ini:

“Dunia kehidupan sehari-hari [ini] merupakan dasar(archetype) pengalaman kita terhadap realitas. Semua wilayah-wilayah makna yang lain bisa dianggap sebagai modifikasinya” (Schutz,1962: 233).

Namun demikian, pengalaman sosial yang terjadi didalam dunia sehari-hari tersebut bukanlah suatu bentukpengalaman yang hampa makna, tetapi merupakan bentukpengalaman yang dibentuk dalam jaringan-jaringan dimensi,relasi, dan bentuk pengetahuan yang sangat rumit. Jaringan-jaringan tersebut mendasari pengalaman fundamental setiapmahluk sosial. Artinya, ia terlahir sebagai penduduk suatudunia-hidup, hidup dalam suatu dunia intersubjektif, danberpartisipasi dalam relasi dan interaksi dengan manusia-manusia lainnya dalam suatu arena kehidupan. Realitas sosialitu diterima sebagai a pragiveness of sociality, suatu dunia yangdialami sebagai suatu bentuk yang terorganisir, suatu kancahpergaulan yang mempunyai sejarah tertentu, dan ia terlibatdi dalamnya. Keberadaan dunia pengalaman itu, dalam sikapnaturalnya, tidak pernah dipersoalkan (taken-for-granted) danmenjadi dunia akal sehat (the commen sense world) denganberbagai dinamika kehidu-pan (Schutz, 1962, 234).

Karena sifat dari dunia kehidupan sehari-hari itu bersifattaken for granted, maka kerangka dasar bagi pengertianmanusia tentang realitas dunianya sendiri adalah akal sehat(commen-sense). Akal sehat didefinisikan sebagai pengetahuanyang ada pada setiap orang yang sadar. Pengetahuan inisebagian besar tidak berasal dari penemuan sendiri, tapiditurunkan secara sosial dari orang-orang sebelumnya. Dariakal-sehat inilah lambat-laun terbentuk tumpukan tipefikasi

Page 50: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

42

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

atau konstruksi makna yang rumit (Schutz, 1980: 141). Inilahyang menjadi dasar individu untuk melakukan suatu interaksisosial.

Tipefikasi itu sendiri adalah susunan dan bentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah-laku untuk memudahkanpengertian dan tindakan. Pengertian seperti sopir, dosen,mahasiswa, atau pegawai adalah tipe-tipe pengertian dantingkah laku yang relatif sama dalam kelompoknya, sekalipunanggapan ini tidak selalu benar. Tipefikasi yang tidak lainmerupakan generalisasi ini sesunguhnya tidak bisa dihindaridalam dunia akal sehat karena tanpa generalisasi dalam tipe-tipe tersebut akan terlalu sulit bagi seseorang untukmengembangkan pengertian dalam setiap interaksinya. Halini dikarenakan seseorang harus menyelidiki benar-benartingkah-laku tiap individu dan menyusun pengertianseseorang dari awal (Schutz, 1980: 142).

Tipefikasi ini tidak hanya menyangkut pandangan dantingkah laku, tetapi menyangkut juga pembentukan makna.Hal ini terjadi karena orang-orang yang terlibat dalamkomunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial membangunsemacam sistem relevansi bersama, dengan melepaskan daritiap individu atau tiap peristiwa hal-hal yang bersifat indi-vidual untuk merujuk satu atau beberapa ciri yang sama yangdianggap relevan (Campbell, 1994: 238).

Akar segala hal yang telah dijelaskan di atas adalahmenyangkut “intensionalitas kesadaran manusia yangterarah secara transendental kepada orang lain”. Itulahsebabnya, bisa dibedakan antara “perilaku sosial” dan“tindakan sosial”. Jika perilaku sosial merupakan bentukintensionalitas kesadaran yang terarah secara transendentalkepada orang lain dan muncul dalam aktivitas yang spontan,

Page 51: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

43

maka tindakan sosial selain terarah kepada orang lain jugaharus punya dampak eksternal tertentu (Schutz, 1980: 143).

Menurut Schutz, dalam tindakan sosial, pelakunya harusmengarahkan perhatian kepada makna subjektif orang lain(other-orientation). Keterarahan ini berdasarkan suaturencana dengan motif-tujuan tertentu yang bisamempengaruhi orang lain (effecting-the-other) melaluiekspresi atau signifikasi eksternal atau pengaruh sosial (so-cial effecting) lainnya. Tindakan sosial dapat dirumuskansebagai aksi intensional yang terarah berdasarkan proyeksidan motif-tujuan tertentu. Lalu dimanifestasikan melaluiekspresi atau signifikansi eksternal tertentu dengan maksudmempengaruhi orang lain. Aksi-aksi other-orientation daneffecting-the-others ini mengandung suatu pengertianterjadinya suatu “relasi-orientasi” atau suatu “relasi-mempengaruhi”. Jika bentuk relasi ini terjadi di antara duaatau lebih pelaku sosial, maka terjadi “relasi sosial (Schutz,1980: 151).

Dari dua tipe relasi sosial inilah terbentuk berbagai variasiwilayah dunia sosial, yakni dunia sosial yang langsungdialami (world of consociates, Umwelt), dunia orang-orangsezaman (world of contemporaries, Mitwelt), dunia parapendahulu (world of predecessors, Vorwelt), dan dunia parapengganti (world of successors, Folgewelt) (Ritzer, 1996: 400).

5. George Herbert Mead: Interaksi Manusia dan Pikiran

Posisi perspektif Mead dalam sosiologi sesungguhnyamencerminkan perspektif behaviorisme sosial (Ritzer, 1996:363). Posisi ini merupakan bentuk perluasan daribehaviorisme John B. Watson, yang hanya berupa stimulus-respone, yakni bahwa perilaku dapat dijelaskan menurutgerak-gerak refleks yang dipelajari atau yang sudah menjadi

Page 52: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

44

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

kebiasaan, rangsangan-rangsangan lingkungan, atau proses-proses psikologis, yang pada prinsipnya, dapat diukur secaraempiris. Adapun keadaan kesadaran atau proses mental tidakdiperhitungkan sama sekali karena tidak dapat diukur secaraempiris. Kesadaran atau proses-proses mental hanya ditem-patkan dalam konteks psikologi empiris (Ritzer, 1996: 362).

Menurut Mead, pola hubungan manusia denganlingkungannya atau sesamanya tidaklah tidaklah bersifatreflektif semata, tapi lebih merupakan hubungan yangdialektis. Posisi yang dialektis inilah yang tercermin padadimensi pikiran (mind) yang menjadi kapasitas organismemanusia (Johnson, 1990: 10).

Bagi Mead, peran pikiran (mind) dalam diri manusiaadalah untuk mengartikan dan menafsirkan benda-benda dankejadian-kejadian yang dialami. Namun demikian, caramanusia mengartikan dunia dan diri-sendiri di sini sangatlahberhubungan erat dengan masyarakatnya (Veeger, 1993:222). Artinya, manusia mengenakan arti-arti tertentu kepadadunianya sesuai dengan skema-skema interpretasi yang telahdisampaikan kepada-nya melalui proses-proses sosial (Ritzer,1996: 365-366).

Tampak sekali di sini bahwa pikiran dalam perspektifMead bukanlah suatu entitas yang harus dihubungkandengan tempat. Namun demikian, pikiran merupakan proses,yang dengan proses itu individu menyesuaikan dirinyadengan lingkungannya. Adapun proses ini adalah komunikasidan interaksi dimana individu-individu saling mempengaruhi,saling menyesuaikan diri, atau dimana tindakan-tindakanindividu saling cocok (Turner, 1986: 314). Pikiran, dengandemikian, lebih dilihat dalam konteks fungsionalnya (Ritzer,1996: 363).

Page 53: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

45

Dinamika proses komunikasi ini dapat ditunjukkan padasetiap berlangsungnya “percakapan isyarat”, yang merupakandasar bagi kemungkinan munculnya respon yang sama, yangbisa memberikan arti isyarat. Dari sinilah dimungkinkanmunculnya arti-arti bersama yang akan membentukkomunikasi simbol. Karakteristik khusus dari komunikasisimbol manusia adalah bahwa dia tidak hanya terbatas padaisyarat-isyarat fisik semata, tapi juga kata-kata yangmerupakan simbol-simbol suara yang mengandung arti-artibersama dan bersifat standar. Mead, dengan menekankanini, sesungguhnya ingin menegaskan bahwa orang dapatmerangsang dirinya sendiri dalam cara yang sama sepertimereka dapat merangsang orang lain (Johnson, 1990: 12-14). Ini artinya, komunikasi sebagai bagian dari cara manusiaberinteraksi dengan sesamanya selalu dalam konteks yangsaling mempengaruhi.

Hubungan antara komunikasi dengan kesadaransubjektif, dalam pandangan Mead, sedemikian dekat,sehingga proses berpikir subjektif atau refleksi dapat dilihatsebagai sisi yang tak kelihatan dari komunikasi. Ini artinya,sebagaimana sifat dari komunikasi itu sendiri, proses berpikirsubjektif selalu mendasarkan pada sifatnya yang dialogistimbal-balik antara perspektifnya sendiri dengan perspektiforang lain yang terlibat. Hal ini sangat tampak sekali bahwaproses berpikir sering dimulai atau dirangsang olehmunculnya suatu masalah atau hambatan yang menghalangitindakan-tindakan individu untuk memenuhi kebutuhanatau tujuannya. Kesadaran atau berpikir subjektif daninterpretasi terhadap rangsangan-rangsangan lingkungantidak berhubungan dengan model stimulus-respone atau modelperilaku refleks yang dipelajari (Johnson, 1990: 14-16).

Page 54: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

46

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Sampai pada konteks inilah, meskipun konsep dirimanusia berada dalam kesadaran subjektif, individu tidaklahdilahirkan dengan suatu konsep-diri. Manusia secarabertahap memperoleh suatu konsep-diri dalam interaksinyadengan orang-orang lain sebagai bagian dari proses yang samadengan mana pikiran itu muncul. Hal ini mengingat bahwakonsep-diri terdiri dari kesadaran individu mengenaiketerlibatannya dalam seperangkat hubungan sosial yangsedang berlangsung. Kesadaran-diri ini merupakan hasil darisuatu proses reflektif yang tidak kelihatan dimana individuitu melihat tindakan-tindakan pribadi dari titik pandang or-ang lain (Zeitlin, 1998: 347).

Sehubungan dengan proses-proses inilah, konsep“pengambilan peran” (role taking) amatlah penting dalampembentukan konsep-diri manusia. Artinya, semakinseseorang mengambil-alih atau membatinkan peranan-peranan sosial, semakin terbentuk pula identitas ataukediriannya. Pada akhir proses ini seseorang yangbersangkutan akan memiliki suatu gambaran tentang gener-alized other, yaitu “orang lain pada umumnya”, yangmerupakan simbolisasi abstrak tentang standar tindakan-tindakan sosial yang ditetapkan dalam masyarakat. Individu,dalam konteks ini, dimasyarakatkan melalui proses-prosespsikoilogis, sehingga menjadi representan kelompok ataumasyarakatnya (Veeger, 1993: 223-224). Namun demikian,konsep-diri tidaklah terbatas pada persepsi-persepsi orangsecara pasif mengenai reaksi-reaksi dan definisi-definisi or-ang lain. Individu juga merupa-kan subjek yang bertindak.Dimensi diri, dengan demikian, terdiri dari diri sebagai objekyang ditunjukkan oleh Mead dengan “me”, dan diri sebagaisubjek yang ditunjukkan dengan “I”. Dimensi kedirian yang

Page 55: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

47

demikian ini tidak lepas dari ruang kapasitas yang dimilikimanusia atas spontanitas dan kebebasan (Turner, 1986: 315-316). Artinya, manusia selalu berkoeksistensi di antarakebebasannya sebagai mahluk yang berkesadaran danditerminitas sosial yang melingkupinya.

C.Metode dan Titik-tolak PemikiranFormat pemikiran Berger tentang dunia sosial,

sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya,sesungguhnya merupakan suatu analisa sosiologis mengenaikenyataan di tingkat eksistensi kehidupan sehari-hari yangmembimbing perilaku dalam kehidupan sehari-harinya.Kenyataan itu secara khas tampil bagi akal-sehat anggotamasyarakat biasa (Berger & Luckmann, 1967: 19).

Menurut Berger, agar supaya kenyataan hidup sehari-hari itu bisa dipahami, maka terlebih dahulu harus dijelaskansifat intrinsiknya sebelum memulai analisa sosiologis. Ataskebutuhan inilah, perlu sekali untuk masuk pada penjelasan-penjelasan dalam persoalan-persoalan filsafat (Berger &Luckmann, 1967: 19).

Berger menjelaskan posisi wacana filosofis dalam kajiansosiologi pe-ngetahuannya, sebagai berikut:

Untuk tujuan ini... kami memberikan garis-garis besar ciri-ciri utama dari apa yang kami anggap sebagai suatu pemecahan yangmemadai bagi masalah filosofis ini — memadai, segera kamitambahkan, dalam arti bahwa ia dapat dijadikan titik-tolak bagianalisa sosiologis. Karena itu pertimbangan-pertimbangan berikut inimerupakan semacam prolegomena filosofis dan, pada dirinya sendiribersifat pra-sosiologis (Berger & Luckmann, 1967: 20)

Untuk mencapai titik-tolak tersebut, Berger lebihcenderung memilih fenomenologi sebagai metode

Page 56: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

48

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

pendekatan dalam memberi basis utama bagi kajiansosiologinya.

Berger, dalam konteks inilah sesungguhnya banyakdipengaruhi oleh fenomenologi eksistensial yangmenekankan analisa dunia kehidupan (life world), yaitukeseluruhan pengalaman manusia yang dilingkupi olehlingkungan alamiah, objek buatan manusia dan berbagaiperistiwa — realitas kehidupan sehari-hari yang diistilahkandengan realitas utama (paramount reality). Pengaruhfenomenologi eksistensial itu terlihat juga dalampandangannya tentang manusia. Dunia manusia ditandaioleh keterbukaan. Perilaku manusia hanya sedikit sajaditentukan oleh naluri. Ia harus membentuk sendiriperilakunya. Ia harus memaksakan suatu tertib padapengalamannya. Kegiatan pengaturan atau penertiban inimerupakan kegiatan yang berlangsung terus (Sastrapratedja,1992: xiv).

Asumsi ini didasarkan dalam melihat kesadaranmanusia sebagai kesadaran yang intensional, yakni selaluterarah kepada objek. Sebaliknya kesadaran juga dipengaruhiobjek di luarnya.

Berger menegaskan hal ini sebagai berikut:

Kesadaran selalu intensional; ia selalu terarah kepada objek. Kita,bagaimanapun, tidak akan dapat memahami apa yang diangap sebagaisemacam substratum (dasar) dari kesadaran itu sendiri, melainkanhanya kesadaran tentang sesuatu. Hal itu berlaku baik objek kesadaranitu dialami sebagai sesuatu yang termasuk dalam dunia fisik, lahiriahatau dipahami sebagai unsur suatu kenyataan subjektif batiniah(Berger & Luckmann, 1967: 20).

Dari sini, hubungan manusia dan masyarakat dengansegala pranatanya lebih dilihat secara dialektis. Dari sini pula,

Page 57: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

49

Berger memberikan alternatif terhadap determinisme yangmenganggap individu semata-mata dibentuk oleh struktursosial dan tidak mempunyai peran dalam pembentukanstruktur sosial. Ia menolak kausalitas sepihak, sebagaimanayang terungkap dalam kutipan di bawah ini:

“... Pemahaman dialektis atas manusia dan masyarakat sebagaiproduk-produk timbal-balik memungkinkan suatu sintesis teoritisatas pendekatan-pendekatan gaya Weber dan Durkheim terhadapsosiologi tanpa kehilangan makna fundamental salah satunya.Pemahaman Weber atas realitas sosial secara terus menerus dibentukoleh pemaknaan manusiawi dan pemahaman Durkheim atas hal yangsama sebagai memiliki sifat choseite daripada sifat individu kedua-duanya adalah benar. Masing-masing dari mereka memaksudkanfondasi subjektif dan faktisitas objektif dari fenomenakemasyarakatan, yang dengan begitu menuju ke arah hubungandialektis dari subjektivitas dengan objek-objeknya. Dengan cara yangsama, kedua pemahaman itu hanya benar kalau bersama-sama...”(Berger, 1969: 187).

Keterhindaran dari setiap hipotesis kausal atau genetikinilah yang menjadi karakteristik dari analisa fenomenologi.Analisa ini lebih jauh lagi mempunyai karakteristik yangterhindar dari pernyataan-pernyataan ten-tang statusontologis dari fenomena yang sedang dianalisa. Melaluianalisa fenomenologi ini dimungkinkan untuk menyingkapberbagai lapisan pengalaman, dan berbagai struktur maknayang terlibat (Berger & Luckmann, 1967: 20).

D.Gagasan Dasar Pemikiran Berger1. Kenyataan Hidup Sehari-hari dan Karakteristiknya

Analisa sosiologi pengetahuan yang dibangun olehBerger, sebagaimana yang diungkapkan di atas, adalahmengenai kenyataan hidup sehari-hari yang membimbing

Page 58: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

50

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Berger, diantara anekaragam kenyataan yang dihadapi manusia,terdapat satu kenyataan yang menampilkan diri sebagaikenyataan par excellence. Itulah kenyataan hidup sehari-hari,sehingga disebut sebagai kenyataan utama (paramount). Iadisebut dan diposisikan begitu karena sangat mempengaruhikesadaran dengan cara yang paling masif, mendesak danmendalam (Berger & Luckmann, 1967: 21, 23).

Kenyataan hidup sehari-hari tidak hanya diterima begitusaja sebagai kenyataan oleh anggota masyarakat biasa dalamperilaku yang mempunyai makna subjektif dalam kehidupanmereka. Ia juga merupakan satu dunia yang berasal daripikiran-pikiran dan tindakan-tindakan mereka, dan dipeliharasebagai yang “yang nyata” oleh pikiran dan tindakan itu,sehingga cenderung untuk menganggapnya sebagai suatuhal yang normal dan sudah jelas-dengan-sendirinya. Darikenyataan inilah terbentuk sikap alamiah seseorang padanya.Seseorang juga memahami kenyataan hidup sehari-harisebagai suatu kenyataan yang tertib dan tertata. Kenyataanhidup sehari-hari, tampaknya sudah diobjektifikasi. Artinya,sudah dibentuk oleh suatu tatanan objek-objek yang sudahdibentuk sebagai objek-objek sejak sebelum seseorang hadir(Berger & Luckmann, 1967: 21).

Berger dalam konteks ini menegaskan sebagai berikut:

Kenyataan hidup sehari-hari diorganisasikan di sekitar “sini”badan saya dan “sekarang” kehadiran saya. “Di sini dan sekarang”merupakan fokus perhatian saya kepada kenyataan hidup sehari-hari.Yang merupakan “di sini dan sekarang”, yang dihadirkan kepadasaya dalam kehidupan sehari-hari merupakan realissimum (yangpaling nyata) bagi kesadaran saya (Berger & Luckmann, 1967: 22).

Page 59: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

51

Kenyataan hidup sehari-hari itu, di samping terdiri darikehadiran-kehadiran langsung, juga mencakup fenomen-fenomen yang tidak hadir “di sini dan sekarang”.

Ini berarti bahwa seseorang mengalami kehidupansehari-hari dalam berbagai kadar kedekatan dan kejauhan,baik dari segi ruang maupun waktu. Yang paling dekat adalahwilayah kehidupan sehari-hari yang secara langsung dapatdimanipulasi. Wilayah ini mengandung dunia yang beradadalam jangkauan, dunia dimana seseorang bertindak untukmemodifikasinya atau dunia dimana seseorang bekerja. Duniaini, dengan demi-kian, merupakan dunia par excellence bagiseseorang (Berger & Luckmann, 1967: 22).

Arti penting lainnya dari karakteristik kenyataan hidupsehari-hari tampak dalam wilayah makna-makna.Dibandingkan dengan kenyataan hidup sehari-hari,kenyataan-kenyataan lainnya tampak sebagai wilayah-wilayahmakna yang berhingga (finite), daerah-daerah kantong (en-clave) di dalam kenyataan utama yang ditandai oleh makan-makna dan modus-modus pengalaman yang sudah dibatasi.Kenyataan utama itu seakan-akan menyelimutinya padasemua sisi, dan kesadaran yang selalu kembali kepadakenyataan utama itu bagaikan dari suatu tamasya (Berger &Luckmann, 1967: 25).

Dunia kehidupan sehari-hari, sampai pada bahasankarakteristik di atas, secara struktural memiliki strukturruang dan waktu. Artinya, ruang meliputi segala sesuatuyang berdimensi sosial sebagaimana pada fakta bahwawilayah-wilayah manipulasi seseorang silang-menyilangdengan wilayah-wilayah manipulasi orang-orang lain.Adapun waktu merupakan satu sifat intrinsik dari kesadaran.Arus kesadaran selalu ditata menurut waktu, sehingga

Page 60: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

52

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

menjadi suatu episode yang tak terelakkan sifatnya danmenjadi faktisitas yang harus diperhitungkan.

Struktur waktu juga memaksa. Begitu pula, strukturwaktu itu memberikan historisitas yang menentukan situasiseseorang dalam dunia kehidupan sehari-hari (Berger &Luckmann, 1967: 27). Hanya di dalam struktur waktu inilahkehidupan sehari-hari memberi kekhasan kenyataan (accentof reality) kepada seseorang (Berger & Luckmann, 1967: 28).

2. Interaksi Intersubjektif dan TipifikasinyaKenyataan hidup sehari-hari itu selanjutnya

menghadirkan diri kepada seseorang sebagai suatu duniaintersubjektif, suatu dunia yang dihuni seseorang bersama-sama dengan orang-orang lain. Intersubjektivitas inimembedakan dengan tajam kehidupan sehari-hari darikenyataan-kenyataan lain yang seseorang sadari (Berger &Luckmann, 1967: 22).

Berger menggambarkan karakter intersubjektivitas inisebagai berikut ini:

Saya tidak dapat bereksistensi dalam kehidupan sehari-hari tanpasecara terus-menerus berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang-orang lain. Saya tahu bahwa sikap alamiah saya terhadap dunia inibersesuaian dengan sikap alamiah orang-orang lain, bahwa merekajuga memahami berbagai objektivikasi yang menata dunia ini, bahwamereka juga mengorganisasi dunia ini di sekitar “sini dan sekarang”dari keberadaan mereka di dalam dunia itu, dan mempunyai proyek-proyek untuk dikerjakan di dalamnya (Berger & Luckmann, 1967:23).

Sikap alamiah adalah sikap kesadaran akal sehat justrukarena ia mengacu kepada suatu dunia yang sama-samadialami oleh orang banyak. Pengetahuan akal-sehat (common

Page 61: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

53

sense knowledge) adalah pengetahuan yang seseorang punyaibersama-sama dengan orang-orang lain dalam kegiatan ru-tin yang normal dan sudah jelas-dengan-sendirinya, dalamkehidupan sehari-hari.

Kenyataan hidup sehari-hari dialami bersama denganorang lain, dan adalah berlangsung dalam situasi tatap-muka,yang merupakan pro-totipikal dari interaksi sosial. Orang laindihadirkan kepada seseorang dalam situasi tatap-muka yangsaat-kini (present) jelas sekali bagi mereka berdua.Subjektivitas orang lain dalam situasi tatap-muka terbuka bagiseseorang melalui gejala-gejala yang maksimal (Berger &Luckmann, 1967: 28-29). Situasi ini juga bisa mereproduksikekayaan akan gejala subjektivitas yang menampakkan diri.Hanya di sinilah subjektivitas orang lain benar-benar “dekat”.Kenyataan ini merupakan bagian dari kenyataan hidup sehari-hari secara keseluruhan, dan karena itu masif dan sifatnyamemaksa (Berger & Luckmann, 1967: 29).

Hal lain yang juga penting untuk diperhatikan adalahorang lain itu dihadirkan begitu saja dalam situasi tatap-muka.Karena itu, masalah “apa dia itu” terus-menerus tersedia bagisaya. Ketersediaan ini berlangsung secara bersinambung danpra-reflektif.

Sampai di sini, pola interaksi intersubjektif selaludimediai oleh skema-skema tipifikasi. Adapun skema-skemaini sendiri sudah dipolakan sejak semula (Berger &Luckmann, 1967: 30). Skema-skema tipifikasi itu merupakandasar seseorang untuk dipahami dan “diperlakukan” dalamperjumpaan tatap-muka. Tipifikasi-tipifikasi ini secara terus-menerus mempengaruhi interaksi seseorang dengan yanglain. Oleh karena itulah, kenyataan sosial kehidupan sehari-hari dipahami dalam suatu rangkaian (continuum) berbagai

Page 62: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

54

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

tipefikasi, yang menjadi semakin anonim dengan semakinjauhnya tipifikasi itu dari “di sini dan sekarang” dalam situasitatap-muka (Berger & Luckmann, 1967: 33).

3. Cadangan Pengetahuan dalam Masyarakat

Apa yang telah dijelaskan di atas mengenaiintersubjektivitas dan tipifikasi itu tidak akan memadai tanpamemahami konsep tentang cadangan pengetahuan. Aspekini sangat mendasari keberlangsungan suatu interaksiintersubjektif dan pola tipifikasinya.

Cadangan pengetahuan masyarakat (social stock of knowl-edge) sesungguhnya merupakan bentuk akumulasi yangselektif dari pengalaman biografi maupun historis yang terus-menerus diobjektivasi dan dipelihara dalam masyarakat.Berkat akumulasi ini, terbentuklah suatu cadanganpengetahuan masyarakat (social stock of knowledge) yangdialihkan dari generasi ke generasi dan yang tersedia bagiindividu dalam kehidupan sehari-hari (Berger & Luckmann,1967: 41).

Cadangan pengetahuan masyarakat di sini berfungsisebagai “penentu tempat” individu-individu dalammasyarakat dan dasar bagi “perlakukan” yang sesuai padamereka. Oleh karena kehidupan sehari-hari didominasi olehmotif pragmatis, maka pengetahuan resep, artinyapengetahuan yang terbatas pada kompetensi pragmatis dalamkegiatan-kegiatan rutin, menduduki tempat yang menonjoldalam cadangan pengetahuan masyarakat (Berger &Luckmann, 1967: 42).

Cadangan pengetahuan masyarakat juga berfungsidalam membeda-bedakan kenyataan menurut tingkatkeakrabannya. Ia memberikan informasi yang kompleks dan

Page 63: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

55

terinci tentang sektor-sektor kehidupan sehari-hari yangseringkali harus seseorang hadapi. Cadangan pengetahuanmasyarakat itu selanjutnya memberikan kepada seseorangskema-skema tipifikasi yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan rutin utama dalam kehidupan sehari-hari, tidakhanya tipifikasi orang-orang lain, akan tetapi juga tipifikasidari segala macam peristiwa dan pengalaman, baik yang sosialmaupun yang alami. “Latar belakang alami dari peristiwa-peristiwa itu pun ditipifikasi di dalam kerangka cadanganpengetahuan itu. Dengan jalan menghadirkan diri kepadaseseorang sebagai satu keseluruhan yang terintegrasicadangan pengetahuan masyarakat itu juga memberikankepada seseorang cara-cara untuk mengintegrasikan unsur-unsur yang berlainan dari pengetahuan seseorang sendiri(Berger & Luckmann, 1967: 43).

Kesahihan pengetahuan ini bagi seseorang diterimabegitu saja olehnya sendiri dan oleh orang lain sampai adaperkembangan baru, yakni sampai timbul sebuah masalahyang tidak bisa dipecahkan dalam kerangka pengetahuan itu(Berger & Luckman, 1967: 44). Namun demikian, yang perludigarisbawahi di sini adalah meskipun cadangan pengetahaunmasyarakat menghadirkan dunia sehari-hari dengan cara yangterintegrasi, dengan diferensiasi menurut wilayah-wilayahkeakraban dan kejauhan, ia tetap membiarkan totalitas duniaitu dalam keadaan tidak transparan. Kenyataan hidup sehari-hari selalu tampak sebagai sebuah wilayah yang terang yangdi baliknya terdapat suatu latar belakang yang gelap.Pengetahuan seseorang mengenai kehidupan sehari-hariterstruktur menurut berbagai relevansi. Beberapa di antaranyaditentukan oleh kepentingan-kepentingan pragmatisseseorang yang paling dekat, dan yang lain oleh situasiumum seseorang dalam masyarakat (Berger & Luckmann,

Page 64: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

56

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

1967: 45). Yang menjadi khas dari struktur relevansi inibahwa struktur-struktur relevansi pokok yang mengacukepada kehidupan sehari-hari disajikan kepada seseorangsudah dalam keadaan siap-pakai oleh cadangan pengetahuanmasyarakat itu sendiri (Berger & Luckmann, 1967: 46).

Page 65: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

57

Bab IIIMANUSIA DAN DUNIA SOSIAL

Ada dua arti penting mengapa bab ini dijadikan bagiandari proses penelitian yang sedang dilakukan: (1) untukmenunjukkan corak pemikiran Berger yang bersifat dialektisdalam memahami hubungan manusia dengan duniasosialnya; (2) untuk memperlihatkan apa yang menjadikerangka teoritis pemikiran Berger tentang arti penting posisiagama sebagai universum simbolik dalam dunia sosial yangakan dibahas pada bab berikutnya.

Poros pemikiran Berger yang ingin ditunjukkan dalambab ini, sekaligus menjadi kerangka dasar bagi pemahamanbab selanjutnya, menyangkut usahanya untuk memahamihakikat manusia yang berada dalam proses eksistensi dalamdunia, bukannya dalam suatu pemahaman tentang substra-tum kodratinya, dan menyangkut usahanya untuk memahamidunia sosial yang bukan hadir secara alamiah dan tumbuhdari suatu esensinya yang ontologis, tapi sebagai konstruksimanusia itu sendiri, yang kemudian dibakukan dalamberbagai pranata sosial.

Asumsi tentang proses eksistensi manusia dan duniasosial yang bersifat konstruktif ini, ditunjukkan Berger

Page 66: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

58

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

melalui tiga teorinya tentang eksternalisasi, objektifikasi, daninternalisasi yang juga merupakan bentuk momentumdialektis yang selalu menjadi pengandaian manusia dalampola hubu-ngannya dengan dunia sosial.

Dunia sosial, melalui kerangka inilah, dipahami secaradialektis sebagai kenyataan subjektif dan kenyataan objektif.Ini artinya, manusia dan dunia sosial selalu mengalami prosesdialektika yang terus menerus. Oleh karena itulah, “sebab”dan “akibat” di tingkat sosial, bersifat saling mengandaikan,sebagaimana juga sifat dari tiga momentum tersebut yangsaling mengandaikan. Namun demikian, pola hubungantersebut tidaklah diandaikan secara stabil, tetapi selaludihadapkan dengan tingkat kerawanan yang tinggi terhadapanomi yang ditimbulkan oleh apa yang disebut Berger sebagai“keberhinggaan eksistensial” (the finitude of individual exist-ence) karena titik tolak eksistensi sosial manusia yang utamaadalah interaksi dalam kehidupan sehari-hari.

A.Kedirian Manusia dan DunianyaBerdasarkan asumsi filosofis Husserl tentang kapasitas

kesadaran yang intensional yang mendasari kedirian manusia(Berger & Luckmann, 1967: 20), maka Berger menempatkankapasitas kedirian manusia sebagai titik-tolak argumentasitentang pola relasi manusia dengan dunianya. Berger, denganmengasumsikan tentang intensionalitas kesadaranHusserlian ini, sesungguhnya ingin menandaskan bahwa“orientasi-dunia” merupakan kecenderungan yang khasmanusiawi.

Asumsi ini tampak jelas ketika kedirian manusia itudipahami Berger sebagai yang menempati kedudukan yangkhas dalam dunia binatang. Kekhasan ini tercermin pada

Page 67: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

59

ketidakpunyaannya terhadap lingkungan yang spesifik(Berger & Luckmann, 1967: 47). Tidak seperti binatangmenyusui tingkat tinggi lain yang dilahirkan dengan suatuorganisme yang sudah lengkap, manusia itu “belum selesai”saat dia dilahirkan (Berger, 1969: 4). Inilah yang menjadi cirikhas perkembangan ontogenetis manusia.

Periode foetal (janin) pada manusia berlangsung terussampai dengan sekitar tahun pertama sesudah kelahirannya.Bayi manusia pada masa ini tidak hanya sudah berada di dalamdunia luar; ia juga mempunyai hubungan timbal-balikdengannya, dengan sejumlah cara yang kompleks.Organisme manusia itu secara biologis terus berkembangketika ia berhubungan dengan lingkungannya. Prosesmenjadi manusia, dengan kata lain, berlangsung dalamhubungan timbal-balik dengan suatu lingkungan. Manusiayang sedang berkembang itu tidak hanya berhubungansecara timbal-balik dengan suatu lingkungan alam tertentu,tetapi dengan suatu tatanan budaya dan sosial yang spesifik,yang dihubungkan dengannya melalui perantaraan orang-orang berpengaruh (significant others) yang merawatnya(Berger & Luckmann, 1967: 48).

Semua ini sesungguhnya berkaitan dengan hubungan-hubungan yang khas manusiawi antara organisme dan diri.Hubungan ini merupakan hubungan ekstrinsik. Manusia,di satu pihak, adalah tubuh dan, sementara di pihak lainadalah yang mempunyai tubuh. Artinya, manusia mengalamidirinya sendiri sebagai suatu entitas yang tidak identik dengantubuhnya, tetapi sebaliknya, yang memiliki tubuh itu yangdapat mempergunakannya. Pengalaman manusia, dengandemikian, mengenai dirinya sendiri selalu mengambangdalam keseimbangan antara keberadaan sebagai tubuh dan

Page 68: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

60

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

mempunyai tubuh, suatu keseimbangan yang harus diperbaikiberulang-ulang (Berger & Luckmann, 1967, 50).

Inilah yang disebut oleh kaum fenomenolog sebagaifenomena unik dari “kebertubuhan” manusia (Bertens, 1987).Saya dalam kehidupan biasa cenderung menyamakan “aku”dengan apa yang saya punya. Padalah, mempunyai selalu berartijuga ‘mampu untuk... ‘ Tetapi anehnya, kuasa yangterkandung dalam milik itu gampang bisa berubah statusnya,sampai akhir-nya si pemilik dikuasai oleh miliknya. Inilah yangoleh Marcel bahwa tapal batas antara “Ada” dan “mempunyai”mengalami kekaburan (Bertens, 1996: 66-70). Ini artinya,tubuh itu bukan subjek begitu saja dan bukan objek begitusaja, tapi pada waktu yang bersamaan harus dikatakan jugabahwa tubuh adalah kedua-duanya. Menurut Marcel akuadalah tubuhku, tetapi serentak juga harus ditambah bahwadipandang dari segi lain aku juga mempunyai tubuhku. Semuaini merupakan cerminan cara beradanya tubuh yang khassebagai penengah antara manusia dan dunianya (Bertens,1987: 59). Lewat tubuh aku menghadap orang lain danmenuju benda-benda. Adapun orang lain juga menjumpai akulewat tubuhku dan barang-barang menyajikan diri kepadakulewat tubuhku pula. Tubuh merupakan penghubung antarasubjek dan dunianya. Tubuh memainkan peranan sebagai“penengah”, tetapi penengah dalam arti yang unik, karena disatu pihak tak terpisahkan dengan aku dan di lain pihak berakardalam dunia (Bertens, 1987: 58).

Sampai pada konteks ini, juga terrefleksikan dalammasalah ini keadaan organisme manusia yang “belumselesai” pada saat dilahirkan itu erat kaitannya dengan sifatyang relatif tidak terspesialisasinya struktur instinktualnya.Struktur instinktual manusia pada saat dilahirkan tidakterspesialisasi dan tidak diarahkan pada suatu lingkungan

Page 69: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

61

yang khas spesiesnya. Tidak ada dunia manusia, dengandemikian, sebagaimana dalam pengertian dunia binatang.Dunia manusia adalah suatu dunia yang harus di-bentuk olehaktivitas manusia sendiri (Berger, 1969: 4-5). Hal ini sudahtentu merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwahubungan manusia dengan lingkungannya bercirikan padaketerbukaan dunia (world-openness) (Berger & Luckmann1967: 47).

Fenomena-fenomena kedirian manusia inilah yangmewarnai proses manusia “menjadi manusia”. Ada suatudasar biologis dengan kata lain, bagi proses “menjadimanusia” dalam arti perkembangan kepribadian danperolehan budaya. Meskipun ada batas fisiologis dalam halkemungkinan dan keragaman cara-cara untuk menjadimanusia dalam hubungan timbal-balik dengan lingkungan,organisme manusia menunjukkan suatu kekenyalan yangsangat besar dalam tanggapannya terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan yang bekerja terhadapnya (Berger &Luckman, 1967: 48).

Berger menegaskan masalah ini sebagai berikut:

... tidak ada kodrat (nature) insani dalam arti suatusubstratum yang telah ditetapkan secara biologis dan yangmenentukan keaneka-ragaman bentukan-bentukan sosio-kultural.Yang ada hanyalah kodrat insani dalam arti konstanta-konstantaantropologis yang mem-batasi dan memungkinkan bentukan-bentukansosio-kultural manusia. Tetapi bentuknya yang khusus dari keinsanianitu ditentukan oleh bentukan-bentukan itu dan berkaitan denganvariasi-variasinya yang sangat banyak itu. Sementara mungkin sajabisa dikatakan bahwa manusia mempunyai kodrat, adalah lebih berartiuntuk mengatakan bahwa manusia mengkonstruksi kodratnya sendiri;atau lebih sederhana lagi, bahwa manusia menghasilkan dirinya sendiri(Berger & Luckmann, 1967: 49).

Page 70: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

62

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Organisme manusia berkembang, dalam hubungantimbal-balik ini, ke arah penyelesaiannya. Tahap“penyelesaian” inilah yang disebut dengan periodeterbentuknya diri manusia (human-self).

Pembentukan diri ini, tentunya, harus dimengerti dalamkaitan dengan perkembangan organisme yang berlangsungterus-menerus. Berkaitan juga dengan proses sosial dimanadiri itu berhubungan dengan lingkungan manusia yang alamidan manusiawi. Watak diri ini tidaklah terbatas pada konfigu-rasi khusus yang menjadi identifikasi diri, tapi juga padaperlengkapan psikologis yang menjadi embel-embel konfigu-rasi itu. Bagi Berger, dengan demikian, diri tidak bisa dipahamidengan memadai terlepas dari konteks sosial tempat organ-isme dan diri itu dibentuk (Berger & Luckmann, 1967: 50).

Tampak sekali sampai pada bahasan ini, titik berangkatpemikiran Berger tentang manusia berada dalam suatupemahaman tentang kedirian manusia yang tidak diandaikanatas asumsi suatu substratum yang mendasari kodratnya,tapi diandaikan atas eksistensi yang sadar akan dunia.Eksistensi di sini mengandung arti ontologis, yakni suatu“keterlibatan” di-dalam-dunia. Hal ini karena maknakehadiran manusia di dunia adalah untuk “menjadi manusia”(Luijpen, 1960: 19). Sehingga dengan demikian, kedirianmanusia tidaklah bermakna “Aku” yang terisolasi, tapi Akuyang selalu melibati dunia.

Istilah “dunia” juga, dalam konteks ini, menjadibermakna eksistensial karena merupakan tempat manusiamelakukan proses eksistensi. Ini artinya, dunia adalahsekitarku yang tidak berada di sana begitu saja, tetapidipengaruhi dan mempengaruhi aku (Karlina, 1994: 64).Asumsi ini, dengan demikian, menunjukkan posisi pemikiran

Page 71: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

63

Berger yang cenderung eksistensialis. Dengan lain ungkapansebagaimana dikatakan oleh Sartre “existence comes beforeessense” (Sartre, 1948: 26).

Adapun titik-tolak eksistensi sosial manusia itu sendiri,menurut Berger, adalah kenyataan hidup sehari-hari. Hal inikarena kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagaikenyataan yang ditafsirkan oleh manusia dan mempunyaimakna subjektif bagi mereka sebagai satu dunia yang koheren(Berger & Luckmann, 1967: 19). Artinya, kenyataan itu tidakhanya diterima begitu saja sebagai kenyataan oleh anggotamasyarakat biasa dalam perilakunya yang mempunyai maknasubjektif dalam kehidupan mereka, tetapi juga merupakansatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan mereka, dan dipelihara sebagai “yang nyata” olehpikiran dan tindakan itu (Berger & Luckmann, 1967: 20).

Oleh karena itulah, kenyataan hidup sehari-hari itumenjadi kenyataan par excellence dalam wilayah eksistensisosial manusia. Posisinya yang istimewa inilah yangmenempatkannya sebagai kenyataan utama (paramount real-ity). Semua ini tidak lain karena ia mampu mempengaruhikesadaran dengan cara yang paling masif, mendesak, danmendalam. Atas dasar posisinya yang istemewa inilah,kenyataan ini sering dianggap sebagai suatu hal yang nor-mal dan sudah jelas-dengan-sendrinya. Artinya, pengaruhnyamampu membentuk sikap alamiah seseorang untukmembentuk asumsi tentang suatu kenyataan yang tertib dantertata. Kenyataan hidup sehari-hari, dengan lain ungkapan,disadari sebagai hal yang terobjektivasikan. Ia sudahterbentuk oleh suatu tatanan objek-objek yang sudah diberinama sebagai objek-objek sejak sebelum seseorang hadir(Berger & Luckmann, 1967: 21-23).

Page 72: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

64

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Sementara itu, wilayah spektrum kenyataan hidupsehari-hari itu sendiri berada di sekitar “sini” badan saya dan“sekarang” kehadiran saya. Artinya, “di sini dan sekarang”merupakan fokus perhatian saya yang utama. Hal ini karena“di sini dan sekarang” dihadirkan kepada saya dalamkehidupan sehari-hari merupakan realissimum (yang palingnyata) bagi kesadaran saya. Namun demikian, kenyataanhidup sehari-hari itu tidak hanya terdiri dari kehadiran-kehadiran yang langsung saja, tetapi juga men-cakupfenomena-fenomena yang tidak hadir “di sini dan sekarang”.Ini berarti bahwa saya mengalami kehidupan sehari-haridalam berbagai kadar kedekatan dan kejauhan, baik dari segiruang dan waktu (Berger & Luckmann, 1967: 22).

Hal yang mendasar dari asumsi di atas mengapakenyataan hidup sehari-hari merupakan dunia par excellence,karena merupakan wilayah kehidupan yang secara langsungdapat dimanipulasi oleh badan saya. Wilayah ini mengandungdunia yang berada dalam jangkauan saya, dunia dimana sayabertindak untuk memodifikasi kenyataannya, atau duniadimana saya bekerja. Kesadaran saya di dalam dunia kerja inididominasi oleh motif-motif yang pragmatis (Berger &Luckmann, 1967: 22).

Adapun pola relasi yang menjadi kenyataan hidup sehari-hari itu sendiri adalah suatu dunia intersubjektif, suatu duniayang saya huni bersama-sama dengan orang lain.Intersubjektivitas inilah yang membedakan dengan tajamkehidupan sehari-hari dari kenyataan-kenyataan lain yangsaya sadari. Selain itu pula, kenyataan inilah yang memberidasar bagi keberadaan kenyataan hidup sehari-hari. Ia, dalamkonteks ini, merupakan dasar pembentuk sikap alamiahtentang objektivitas dunia yang sedang didiaminya. Sikap

Page 73: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

65

alamiah ini adalah sikap kesadaran akal sehat yang mengacukepada suatu dunia yang sama-sama dialami oleh banyakorang. Pengetahuan akal sehat (common-sense knowledge)adalah pengetahuan yang saya punyai bersama orang laindalam kegiatan rutin yang normal dan sudah jelas dengansendirinya dalam kehidupan sehari-hari (Berger & Luckmann,1967: 23).

Kenyataan hidup sehari-hari, dalam konteks inilah, bisaditerima begitu saja sebagai kenyataan. Ia tidak memerlukanverifikasi tambahan selain kehadirannya yang sederhana. Iamemang sudah ada di sana sebagai faktisitas yang memaksadan sudah jelas-dengan-sendirinya. Namun demikian, hal inibukan berarti kehidupan sehari-hari tidak pernah menjadiproblematis. Ada suatu saat tertentu kesinambungannyadipotong oleh kemunculan suatu masalah. Jika hal ini terjadi,maka kenyataan hidup sehari-hari berusaha untukmengintegrasikan sektor problematis itu ke dalam apa yangtidak problematis (Berger & Luckmann, 1967: 24).

Sampai pada konteks bahasan di atas, tampak ada suatukenyataan yang selalu “menghantui” wilayah kenyataankehidupan sehari-hari dan kenyataan itu ada di luar ketentuantatanan kenyataan hidup sehari-hari. Jika dibandingkandengan kenyataan hidup sehari-hari, kenyataan-kenyataanlain tampak sebagai wilayah-wilayah makna yang berhingga(finite provinces of meaning), daerah-daerah kantong (enclaves)di dalam kenyataan utama yang ditandai oleh makna-maknadan modus-modus pengalaman yang sudah dibatasi.

“Daerah-daerah makna terbatas” ini merupakan akibatpenggolongan makna dalam proses tipefikasi yang mendasarieksistensi sosial manusia dalam kehidupan sehari-hari.Tipefikasi ini dilakukan karena makna dasar pengertian

Page 74: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

66

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

manusia dalam interaksinya sehari-hari adalah pengetahuanakal-sehat (common sense knowledge) yang terbentuk dalambahasa percakapan sehari-hari. Adapun penggolonganmakna ini menciptakan semacam “keberhinggaaneksistensial” dalam wilayah eksistensi sosial manusia, karenadunia sosial itu tidak hanya terdiri dari fenomena fenomenayang memiliki makna yang ditentukan oleh kenyataan hidupsehari-hari itu, tetapi juga fenomena-fenomena yang beradadi luar ketentuan tersebut. Inilah sebabnya, “wilayah-wilayahmakna terbatas” dipahami sebagai wilayah makna yangdikarakterisasikan oleh pembelokan perhatian dari ketentuanyang menentukan eksistensi kenyataan hidup sehari-hari(Berger & Luckmann, 1967: 25). Adapun pergeseran kesuatu “wilayah makna yang berhingga” ini merupakanpergeseran dari jenis yang jauh lebih radikal dari beberapapergeseran dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, suatuperubahan yang radikal terjadi dalam ketegangan kesadaran(Berger & Luckmann, 1967: 25).

Sampai pada pembahasan tentang kedirian manusia ini,tampaknya suatu pencurahan, atau apa yang disebut Bergerdengan eksternalisasi, kedirian manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, secara fisik maupun mental,merupakan suatu keharusan antropologis. Keberadaanmanusia tidak mungkin berlangsung dalam suatu lingkunganinterioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Keberadaanmanusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan diridalam aktivitas (Berger & Luckmann, 1967: 52). Kedirianmanusia itu, dengan demikian, esensinya melakukaneksternalisasi (Berger, 1969: 4). Hal ini dikarenakan aktivitasmembangun dunia manusia merupakan konsekuensilangsung dari konstruksi biologis manusia itu sendiri (Berger,1969: 6). “Kebelumselesaian”, dengan demikian membuat

Page 75: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

67

manusia menjadi mahluk sosial budaya. Artinya, dunia sosialbeserta kebudayaan yang menyertainya adalah usaha takkunjung usai untuk melengkapi keganjilan antropologismanusia.

Sampai pada titik-tolak kapasitas kedirian manusia yangbereksternalisasi ini, Berger sesunggguhnya mempertegas-kan kembali sikap penolakan fenomenologi tentangketerpisahan subjek-objek. Penegasan ini diartikulasikansecara lebih empiris dalam kenyataan sosial tentangketerpisahan rea-litas sosial subjektif dan objektif dalamdiskursus sosiologi, yang terwakili oleh Weber danDurkheim. Keterpisahan itu cenderung mendistorsi realitassosial yang multidimensi.

Dari titik tolak tentang kapasitas kedirian manusia ini,ada dua implikasi langsung atas pengertian mengenai duniasosial dan corak hubungan manusia dengannya. Pertama,tatanan sosial sebagai tidak merupakan bagian dari “kodratalam”, dan tidak dijabarkan dari “hukum-hukum alam”.Tatanan sosial hanya ada sebagai produk aktivitas manusia(Berger & Luckmann, 19-67: 52).

Kedua, ketidakstabilan bawaan merupakan ciri darikondisi hubungan organisme manusia denganlingkungannya (Berger, 1969: 6). Organisme manusia tidakmemiliki sarana biologis yang diperlukan untuk memberistabilitas bagi perilaku manusiawi. Jika dikembalikan padasumber-sumber daya organismenya sendiri, eksistensimanusia akan merupakan eksistensi dalam keadaan khaos(Berger & Luckmann, 1967: 51).

Asumsi di atas sesungguhnya menegaskan bahwaeksternalisasi bersifat terus-menerus. Manusia dan tatanansosial, dengan demikian, adalah korelatif. Kesimpulan yang

Page 76: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

68

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

ditarik di atas tampak sejalan dengan penjelasan Bergermengenai upaya manusia untuk mendapatkan kestabilantatanan sosial. Menurut Berger, kestabilan tatanan manusia-wi justru diperoleh manusia dari dua hal. Pertama, dari suatutatanan sosial yang sudah ada yang mendahului setiapperkembangan organisme individu (Berger & Luckmann,1967: 51). Artinya, walaupun secara intrinsik terdapatketerbukaan-dunia bagi susunan biologis manusia, selalusudah ditentukan terlebih dulu oleh tatanan sosial. Daritatanan sosial ini diberi arah dan kestabilan kepada bagianterbesar perilaku manusia (Berger & Luckmann, 1967: 51).Kedua, dari karakter ketidakstabilan yang inheren dalamorganisme manusia itu sendiri meng haruskannya untukmengusahakan adanya suatu lingkungan yang stabil bagiperilakunya. Berger menegaskan masalah ini sebagai berikut:

Manusia sendiri harus menspesialisasikan dan mengarahkandorongan-dorongannya. Fakta-fakta biologis ini merupakanpraandaian-praandaian bagi produksi tatanan sosial. Dengan katalain, meski tidak satupun dari tatanan sosial yang ada dapat diasalkandari data biologis, keharusan bagi adanya tatanan sosial itu sendiriberasal dari perlengkapan biologis manusia (Berger & Luckmann,1967: 52).

Tatanan sosial yang dimaksud tidak lain adalah duniamanusia, yang mengandung pengertian sebagai kebudayaan.Tujuan utamanya menurut Berger, tentunya, adalahmemberikan kepada kehidupan manusia struktur-strukturkokoh yang sebelumnya tidak dimiliki oleh manusia secarabiologis (Berger, 1969: 6).

Kebudayaan, dengan demikian berdasarkan padaperspektif di atas, merupakan totalitas produk-produkmanusia yang mencakup material dan non-material.

Page 77: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

69

Sementara itu, yang terpenting dari aspek kebudayaan non-material ini adalah masyarakat karena dari mereka terbentukhubungan-hubungan berkelanjutan antara manusia dengansesamanya. Karena merupakan unsur dari kebudayaan,masyarakat sepenuhnya juga bersifat sebagai produk manusiasama seperti kebudayaan non-material itu (Berger, 1969: 6).

Berger menandaskan karakteristik tertentu darimasyarakat ini sebagai berikut:

Masyarakat terdiri dan diselenggarakan oleh manusia yangmelakukan aktivitas. Pola-polanya selalu berhubungan dengan ruangdan waktu, tidak tersedia di alam, tidak juga bisa disimpulkan secaraapa-pun dari “hakikat manusia” (Berger, 1969: 7).

Berger di pihak lain juga menegaskan arti penting darimasyarakat itu sebagai berikut:

Masyarakat menempati suatu posisi terhormat di antara formasi-formasi kebudayaan manusia. Ini adalah berkat satu fakta antropologisdasar lainnya, yakni sosialitas esensial manusia... Ini berarti bahwamanusia selalu hidup dalam kolektivitas-kolektivitas dan, bahkan,dia akan kehilangan kemanusiaannya jika dia dikucilkan darimanusia-manusia lainnya (Berger, 1969: 7).

Oleh karena itu, bisa dipahami kemudian bahwamasyarakat tentunya tidak hanya merupakan hasil darikebudayaan, tetapi merupakan kondisi yang diharuskan bagikebudayaan itu. Masyarakat membentuk, membagi, danmengkoordinasi aktivitas-aktivitas pembangunan-duniamanusia. Hanya dalam masyarakat produk-produk dariaktivitas-aktivitas itu bisa bertahan untuk waktu yang lama(Berger, 1969: 7).

Sampai pada bahasan di atas tersebut, eksternalisasitidak semata-mata mencerminkan hakikat dan posisi

Page 78: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

70

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

manusia yang bereksistensi dalam kehidupan sehari-hariyang merupakan aktor dalam dunianya, tetapi jugamencerminkan asal-usul dunia sosial. Inilah yangsesungguhnya menjadi dasar pemahaman Berger tentangdualitas tatanan sosial subjektif dan objektif yang bersifatdialektis.

B.Objektivitas dan Status Dunia Sosial1. Pembiasaan dan Pelembagaan

Hal yang melekat dalam semua kegiatan manusia di atastersebut adalah terjadinya proses pembiasaan(habitualization). Tindakan-tindakan yang sudah dijadikankebiasaan itu tentu tetap bersifat bermakna bagi individu,walaupun sudah menjadi bagian dari hal-hal yang rutin(Berger & Luckmann, 1967: 53).

Arti penting dari pembiasaan ini sendiri adalah memberiarah dan spesialisasi bagi kegiatan yang tidak terdapat dalamperlengkapan biologis manusia. Ia membebaskanketegangan-ketegangan yang diakibatkan oleh dorongan-dorongan yang tidak terarah. Artinya, pembiasaan itu mem-berikan suatu latar-belakang yang stabil bagi kelangsungankegiatan ma-nusia. Latar belakang kegiatan yang sudahdibiasakan inilah yang menjadi dasar atau latar depan bagiperencanaan dan inovasi tindakannya di masa depan.Pembiasaan, dari segi makna-makna yang diberikan olehmanusia kepada kegiatannya, dengan demikian menyebabkantidak perlunya lagi tipe situasi didefinisikan kembali (Berger& Luckmann, 1967: 53).

Hal yang terpenting dari pembiasaan kegiatan ini untukselanjutnya menjadi dasar terjadinya setiap prosespelembagaan kegiatan. Titik tolak peralihan pembiasaan

Page 79: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

71

kepada pelembagaan ini terjadi ketika ada suatu tipifikasi yangtimbal-balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagiberbagai tipe pelaku (Berger & Luckmann, 1967: 54).

Tipifikasi-tipifikasi timbal-balik dari tindakan-tindakanini tentu saja tumbuh dalam perjalanan sejarah yang dialamibersama. Fungsinya tentunya mengendalikan perilakumanusia dengan jalan membuat pola-pola perilaku yang telahdidefinisikan lebih dulu. Ia menyalurkan pola-pola perilakuke suatu arah di antara sekian arah lain yang secara teoritismungkin. Sifat pengontrol ini, dengan demikian, jugamelekat pada pelembagaan itu. Ini artinya, mengatakanbahwa suatu segmen kegiatan manusia sudah dilembagakan,dengan demikian, sama artinya dengan mengatakan segmenkegiatan manusia itu sudah di tempatkan di bawah kendalisosial. Mekanisme-mekanisme pengendali tambahan hanyadiperlukan sejauh proses-proses pelembagaan tidak berhasil(Berger & Luckmann, 1967: 54-55).

Sampai pada konteks inilah, bersamaan denganhistorisitasnya, bentukan-bentukan itu memperoleh sifanyayang lain, yakni objektivitas. Ini berarti bahwa lembaga-lembaga yang sudah memperoleh bentuk yang jelas sekarangdialami sebagai berada di atas dan di luar individu-individu.Lembaga-lembaga itu sekarang dialami sebagai mempunyaikenyataan sendiri. Suatu kenyataan yang dihadapi olehindividu sebagai satu fakta yang eksternal dan memaksa(Berger & Luckmann, 1967: 58).

Menurut Berger, pada titik inilah, seseorang bisaberbicara tentang dunia sosial, dalam arti, sebuah kenyataanyang dihadapi oleh individu dengan cara yang analog dengankenyataan dunia alamiah (Berger & Luckmann, 1967: 59).Hal yang paling tampak kemudian bagi individu adalah bahwa

Page 80: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

72

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

biografinya sendiri menjadi episode yang terletak dalamsejarah kenyataan objektif ini (Berger & Luckmann, 1967:60). Proses-proses inilah yang disebut oleh Berger sebagaiproses objektifikasi.

Asumsi-asumsi di atas inilah yang mewarnai statussuatu kebudayaan bagi manusia. Ketika kebudayaan telahmengalami proses objektifikasi, akan terdapat suatu maknaganda dalam penerapannya. Kebudayaan itu objektif dalampengertian bahwa kebudayaan menghadapi manusia se-bagaisuatu kelompok benda-benda dalam dunia nyata. Ia eksis diluar kesadarannya sendiri. Kebudayaan ada di sana.Kebudayaan juga objektif dalam pengertian bahwa ia bisadialami dan diperoleh secara kolektif (Berger, 1969: 10).

Kondisi-kondisi ini juga berlaku bagi aspek kebudayaanyang disebut sebagai masyarakat. Masyarakat berhadapandengan manusia sebagai suatu faktisitas eksternal yangsecara subjektif tidak transparan dan tidak memaksa (Berger,1969, 11). Masyarakat, suatu realitas objektif, memberikansebuah dunia bagi manusia untuk ditempatinya. Dunia inimelingkupi biografi individu, yang tergelar sebagai suaturangkaian peristiwa di-dalam dunia tersebut. Biografi individuitu sendiri, bahkan, adalah nyata secara objektif sejauh halitu bisa dipahami di dalam struktur-struktur pokok duniasosial (Berger, 1969: 13). Objektivitas masyarakat mencakupsemua unsur pembentuknya, meskipun semua itu tidak lainadalah produksi-produksi manusia (Berger, 1969: 13).

2. Pengendapan dan Reifikasi

Sampai pada pembahasan masalah proses objektivasidunia sosial di atas tersebut, pada diri manusia sendiri,keseluruhan pengalaman yang dimilikinya hanya mamputersimpan dalam kesadaran sebagian kecil saja. Pengalaman-

Page 81: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

73

pengalaman yang tersimpan itu untuk selanjutnyamengendap. Artinya, menggumpal dalam ingatan sebagaientitas yang bisa dikenal dan diingat kembali. Pengendapanintersubjektif juga terjadi jika beberapa individu mengalamibiografi bersama lalu menjadi cadangan pengetahuanbersama. Pengendapan intersubjektif itu hanya benar-benardinamakan sosial jika sudah diobjektivasikan dalam suatusistem tanda, yang memungkinkan berulangnya objektivasipengalaman bersama itu (Berger & Luckmann, 1967: 67).

Sistem tanda itu biasanya dan terutama adalah bersifatlinguistik. Hal ini karena fungsi bahasa itu sendiri adalahmengobjektivasi pengalaman-pengalaman bersama danmenjadikannya tersedia bagi semua orang didalam komunitasbahasa itu. Bahasa juga memberikan cara-cara untuk meng-objektifikasi pengalaman-pengalaman baru, dan memung-kinkannya memasukkan ke dalam cadangan pengetahuanyang sudah ada (Berger & Luckmann, 1967: 68).

Arti penting bahasa di sini tidak lepas dari kemampuan-nya dalam mengabstraksi pengalaman dari kejadian-kejadianbiografis yang individual menjadi suatu kemungkinan objektifsetiap orang, atau setidak-tidaknya setiap orang dari tipetertentu. Objektivasi pengalaman dalam bahasa ini memung-kinkannya untuk dimasukkan dalam suatu himpunan tradisiyang lebih luas. Bahasa, dengan demikian, menjadi tempatpenyimpanan kumpulan besar endapan-endapan kolektif,yang bisa diperoleh secara monotetik, yakni sebagai keselu-ruhan yang kohesif dan tanpa merekonstruksi lagi dari prosespembentukannya semula (Berger & Luckmann, 1967: 69).

Proses ini menggarisbawahi semua endapan yang sudahdiobjektivasi bukan hanya tindakan-tindakan yang sudahdilembagakan. Ia dapat juga mengacu pada pengalihan

Page 82: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

74

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

tipifikasi orang-orang lain dan makna-makna yang memenuhispesifikasi lembaga-lembaga yang sudah ada (Berger &Luckmann, 1967: 69).

Proses-proses objektivikasi ini, pada selanjutnya selaluberpotensi untuk cenderung mengalami reifikasi kenyataanmenjadi faktisitas bukan manusiawi. Reifikasi di sinimerupakan proses atas fenomen-fenomen manusiawiseolah-olah semua itu benda-benda (things), dalam arti bukanmanusiawi atau mungkin adi-manusiawi (supra-human).

Berger mengungkapkan hal ini sebagai berikut:

Reifikasi adalah pemahaman produk-produk kegiatan manusiadengan seolah-olah hal-hal itu bukan produk manusia — sepertifakta-fakta alam, akibat-akibat kosmis, atau manifestasi kehendakIlahi. Reifikasi mengimplikasikan bahwa manusia mampu melupakankenyataan bahwa ia sendirilah yang telah menghasilkan dunia manu-siawi dan, selanjutnya, bahwa dialektika antara manusia, yangmemproduksi, dan produknya, sudah hilang dalam kesadaran... iadialami oleh manusia sebagai suatu faktisitas yang asing, suatu opuselienum (karya asing) yang berada di luar kendalinya dan bukansebagai opus proprium (karya sendiri) dari kegiatan produksinyasendiri (Berger & Luckmann, 1967: 89).

Reifikasi sesungguhnya merupakan sesuatu yanginheren dalam setiap proses-proses objektif. Ia bisadilukiskan sebagai suatu langkah ekstrem dalam prosesobjektivasi, dimana dunia yang diobjektivasi kehilangansifatnya untuk bisa dipahami sebagai suatu kegiatan manusiadan dipahami sebagai suatu faktisitas yang beku, bukanmanusiawi dan tidak dapat dimanusiawikan (Berger &Luckmann, 1967: 89).

Hubungan antara manusia dengan dunianya menjaditerbalik dalam kesadaran. Manusia, produsen suatu dunia,

Page 83: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

75

dipahami sebagai epifenomena dari proses-proses yang bukanmanusiawi. Makna-makna manusiawi tidak lagi dimengertisebagai yang menghasilkan dunia melainkan sebagai produk“alam benda-benda” (Berger & Luckmann, 1967: 89).

Reifikasi dalam konteks ini dirumuskan oleh Bergersebagai berikut:

Reifikasi merupakan suatu modalitas dari kesadaran; lebih tepatlagi, suatu modalitas dari objektifikasi dunia manusia oleh manusia.Bahkan sambil memahami dunia secara reifikasi, manusia terusmemproduksi suatu kenyataan yang mengingkari manusia itu sendiri(Berger & Luckmann, 1967: 89).

Reifikasi yang terjadi atas lembaga-lembaga, dengandemikian, mempunyai kecenderungan untuk memberikansuatu status ontologis yang terlepas dari kegiatan danpemberian arti oleh manusia (Berger & Luckmann, 1967:90). Reifikasi di sini tidak lain merupakan suatu kecende-rungan yang ekstrem dari proses objektivasi yang terjadidalam tatanan sosial manusiawi.

Pada level inilah, dunia sosial menjadi apa yang disebutoleh Durkheim sebagai faktisitas kenyataan yang benar-benarotonom dan objektif, serta koersif terhadap manusia. Jikasebelumnya manusia merupakan aktor dalam dunia sosial,sekarang ganti manusia harus menyesuaikan diri dengantuntutan-tuntutan proseduralnya. Bahkan jauh dari itu,manusia ditelan oleh hasil objektifikasinya sendiri. Itulah“kematian manusia” yang diumumkan oleh para ahli warisNietsche dewasa ini (poststrukturalisme).

3. Legitimasi dan Struktur Kemasuk-Akalan Dunia Objektif

Sampai pada pembahasan proses objektifikasi dan reifikasidunia sosial, legitimasi merupakan persoalan yang sangat

Page 84: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

76

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

penting dalam konteks bahasan ini. Hal ini karena menyangkutbagaimana tatanan objektif itu tetap masuk-akal secarasubjektif, sehingga kelangsungannya tetap terjaga dari generasike generasi berikutnya. Upaya ini dilakukan untukmenghindari suatu penyimpangan dari rangkaian tindakanyang sudah diprogramkan secara kelembagaan, yangmerupakan akibat dari adanya jarak yang terbentang antaramanusia dunia sosial selama proses objektivasi. Ini artinya,penyimpangan bisa terjadi ketika muncul keterputusanhubungan kenyataan objektif dengan kenyataan subjektif, ataudengan proses-proses sosial konkret, yakni asal-usulnya.

a. Legitimasi dan Fungsi Sosialnya

Dengan mengasumsikan kemungkinan munculnyaketerputusan antara kenyataan subjektif dengankenyataan objektif di atas, maka legitimasi sebagai prosessesungguhnya merupakan suatu objektivasi makna“tingkat kedua”. Fungsinya tidak lain untuk membuatobjektivasi “tingkat pertama” yang sudah dilembagakanmenjadi tidak semata-mata tersedia secara objektif tapijuga masuk akal secara subjektif (Berger & Luckmann,1967: 92).

Ini artinya, perlunya legitimasi bukan karena duniasosial yang telah diobjektifikasikan tampak kurang nyata,tetapi karena ia merupakan kenyataan historis, yangsampai kepada generasi baru sebagai tradisi dan bukansebagai ingatan biografis. Karena itu menjadi perlu untukmenafsirkan maknanya kepada generasi baru melaluiberbagai rumusan yang memberikan legitimasi. Rumusan-rumusan itu harus konsisten dan komprehensif dari segitatanan kelembagaan, agar dapat meyakinkan generasibaru (Berger, Luckmann, 1967:61). Rumusan-rumusan

Page 85: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

77

ini dipelajari oleh generasi baru selama berlangsungnyaproses sosialisasi mereka ke dalam tatanan kelembagaantersebut (Berger & Luckmann, 1967: 62).

Sampai di sini, legitimasi, dengan demikian, berfungsi“menjelaskan” tatanan kelembagaan dengan memberikankesahihan kognitif kepada makna-maknanya yang sudahdiobjektifikasikan. Ini dilakukan dengan memberikanmartabat normatif kepada perintah-perintah praktis.Unsur penting dalam legitimasi, dengan demikian, adalahunsur kognitif dan normatif. Ini artinya legitimasi tidaksekedar soal “nilai-nilai”, tapi juga mengimplikasikan“pengetahuan” (Berger & Luckmann, 1967: 93).Maksudnya, legitimasi tidak hanya memberitahukankepada individu mengapa ia harus melakukan suatutindakan tertentu dan bukan tindakan lain, tapi jugamemberitahukan mengapa segala sesuatu berlangsungseperti apa adanya. “Pengetahuan”, dengan demikian,mendahului “nilai” dalam legitimasi lembaga-lembaga(Berger & Luckmann, 1967: 94).

Legitimasi juga berfungsi “integratif”. Integrasi disini mengacu pada dua tingkat pengertian. Pertama,mengintegrasikan keseluruhan tatanan kelembagaan yangberasal dari proses-proses yang berbeda. Soalkemasukakalan (plausibility) di sini mengacu kepadapengakuan subjektif akan adanya suatu arti yangmenyeluruh “dibalik” motif-motif individu dansesamanya, yakni motif-motif yang menonjol dalam situasiyang bersangkutan tetapi hanya melembaga sebagian-sebagian saja. Inilah yang meru-pakan tingkat “horisontal”dari integrasi dan kemasuk-akalan. Ia menghubungkantatanan kelembagaan secara keseluruhan dengansejumlah individu yang berpartisipasi di dalamnya dalam

Page 86: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

78

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

sejumlah peran. Ia juga menghubungkan sejumlah proseskelembagaan yang parsial dimana seseorang mungkinberpartisipasi dalam suatu waktu tertentu (Berger &Luckmann, 1967: 92). Kedua, pemberian makna subjektifatas rangkaian biografi individu dalam berbagaitahapannya yang berurutan dan sudah ditentukan secarakelembagaan, sehingga membuat keseluruhannya masukakal. Karena itu, suatu tingkat “vertikal” di dalam rentangkehidupan individu masing-masing, harus ditambahkankepada tingkat “horisontal” dari integrasi dan kemasuk-akalan subjektif tatanan kelembagaan (Berger &Luckmann, 1967: 92-93).

b. Tingkatan Legitimasi dan Arti penting Universumsimbolik

Sampai pada bahasan dari fungsi legitimasi sebagaidasar kemasuk-akalan dari suatu dunia objektif bagiindividu, asal-usul dari legitimasi itu sendiri berangkat dariproses-proses sosial itu sendiri.

Legitimasi dalam bentuk awal muncul begitu terjadipengalihan suatu sistem objektivikasi linguistik mengenaipengalaman manusia. Inilah yang mendasari semualegitimasi tingkat pertama. Legitimasi dalam tingkatpertama ini adalah semua afirmasi tradisional yangsederhana. Tingkat ini, tentu saja, masih pra-teoritis, tetapimerupakan landasan bagi “penge-tahuan” yang jelas-dengan-sendirinya (self-evident). Ia, dengan demikian,menjadi tumpuan bagi semua teori selanjutnya (Berger& Luckmann, 1967: 94).

Proses pembentukan legitimasi ini selanjutnyaberkembang menuju proposisi-proposisi yang teoritisdalam suatu bentuk yang masih belum sempurna. Bisa

Page 87: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

79

ditemukan di sini berbagai skema penjelasan yangmenyangkut perangkat-perangkat makna objektif. Skema-skema itu sangat pragmatis, dan langsung menyangkuttindakan-tindakan konkret. Peribahasa, kaidah-kaidahmoral dan kata-kata mutiara merupakan hal yang lazimpada tingkat legitimasi yang kedua ini (Berger &Luckmann, 1967: 94).

Selanjutnya pembentukan legitimasi ini berkembangpula kepada teori-teori yang eksplisit. Legitimasi atas suatusektor kelembagaan di tingkat ini berdasarkan suatuperangkat pengetahuan yang berbeda-beda. Legitimasisemacam ini memberikan kerangka referensi yang cukupkomprehensif bagi masing-masing sektor perilaku yangsudah melembaga. Inilah legitimasi tingkat ketiga (Berger& Luckmann, 1967: 95).

Adapun legitimasi tingkat keempat adalahuniversum-universum simbolik. Ia adalah perangkat-perangkat tradisi teoritis yang mengintegrasikan berbagaibidang makna dan mencakup tatanan kelembagaan dalamsuatu totalitas simbolis. Proses-proses simbolis adalahproses-proses pelembagaan yang mengacu kepadaberbagai kenyataan yang lain dari kenyataan pengalamansehari-hari. Tingkat legitimasi ini selanjutnya dibedakandari yang disebutkan terdahulu oleh lingkup integrasinyayang bermakna (Berger & Luckmann, 1967: 95).

Asal-usul universum simbolik itu sendiri,sebagaimana pembentukan legitimasi yang lebih rendahsebelumnya, berakar dalam konstitusi manusia, yaknieksistensi manusia yang bereksternalisasi secara terus-menerus. Manusia, dalam proses eksternalisasi ini,memproyeksikan makna-maknanya sendiri ke dalam

Page 88: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

80

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

kenyataan. Pada titik inilah universum-universum simbolikberakar. Fungsinya adalah mengkonstitusikan batas-batasterjauh dari proyeksi ini (Berger & Luckmann, 1967: 104).

Sampai di sini, universum simbolik dipahami sebagaimatrik dari semua makna yang diobjektivasi secara sosialdan yang nyata secara subjektif. Artinya, keseluruhanmasyarakat historis dan keseluruhan biografi individudilihat sebagai peristiwa-peristiwa yang berlangsung didalam universum ini. Yang terutama dari keseluruhan ituadalah situasi-situasi marjinal dalam kehidupan individu.Situasi-situasi seperti itu dialami dalam mimpi danlamunan sebagai bidang-bidang makna yang terlepas darikehidupan sehari-hari, dan yang memiliki kenyataankhasnya sendiri. Dunia wilayah kenyataan yang terlepasitu dalam universum-simbolis diintegrasikan ke dalamsuatu totalitas yang bermakna yang “menjelaskan” danjuga “mem-benarkan”nya. (Berger & Luckmann, 1967:96).

Walaupun universum simbolis itu memang dibangunmelalui berbagai proses sosial, yakni melalui proses-prosesobjektifikasi, pengendapan, dan akumulasi pengetahuan,namun kemampuannya untuk memberi makna jauhmelampaui wilayah kehidupan sosial. Oleh karena itulah,individu dapat “menempatkan” dirinya di dalamnya,bahkan dalam pengalaman-pengalamannya yang palingmenyendiri sekalipun (Berger & Luckmann, 1967: 96).

Universum simbolis, dengan demikian, memungkin-kan penataan pemahaman subjektif atas pengalamanbiografis. Pengalaman-pengalaman yang berbedadiintegrasikan dengan jalan memasukkannya ke dalamuniversum makna yang sama yang menaungi keselu-

Page 89: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

81

ruhannya. Hal ini dilakukan untuk memahami wilayah-wilayah makna yang berbeda yang tidak dapat dipahamidi dalam kenyataan sehari-hari melalui penataanberdasarkan suatu hirarki sejumlah kenyataan, sehinggatidak menakutkan lagi. Pengintegrasian kenyataan situasimarjinal ini sangat penting artinya, karena menyangkutancaman yang paling gawat terhadap eksistensi dalammasyarakat yang sudah menjadi rutin dan dianggapsebagai sudah sewajarnya (Berger & Luckmann, 1967:97-98).

Berkaitan dengan pembahasan di atas, universumsimbolik juga berfungsi menata sejarah. Ia menempatkansemua peristiwa kolektif dalam suatu kesatuan kohesifyang mencakup masa lampau, sekarang, dan masa depan.Mengenai masa lampau ia membentuk satu “ingatan” yangmerupakan milik bersama semua individu yangdisosialisasikan di dalam kolektivitas yang bersangkutan.Mengenai masa depan, ia membentuk suatu kerangkaacuan bersama bagi proyeksi tindakan-tindakan individu.

Universum simbolik, dengan demikian,menghubungkan manusia dengan orang-orang yanghidup sebelum dan sesudah dia dalam suatu totalitasbermakna. Ia dengan cara itu mengatasi keberhinggaaneksistensial individu dan memberikan makna kepadakematian individu. Semua anggota suatu masyarakatsekarang dapat memahami diri mereka sebagai termasukdalam suatu universum bermakna, yang sudah adasebelum mereka lahir dan akan tetap ada setelah merekamati. Komunitas empiris dipindahkan ke tahap kosmisyang dengan penuh keagungan tidak ter-gantung kepadaeksistensi individu yang berubah-ubah (Berger &Luckmann, 1967: 103).

Page 90: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

82

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Sampai pada pembahasan di atas, Fungsi nomis dariuniversum-simbolik bagi pengalaman individu bisadilukiskan dengan sederhana sekali dengan mengatakanbahwa ia “menempatkan segala sesuatu pada tempatnyayang benar” (Berger & Luckmann, 1967: 98). Universumsimbolik, dengan demikian, memungkinkan tingkatintegrasi yang tertinggi bagi makna-makna yang tidakcocok yang telah diaktualisasikan dalam kehidu-pansehari-hari dalam masyarakat. Universum-simbolik jugamemungkinkan tahap-tahap yang berlainan dalam biografi(Berger & Luckmann, 1967: 99).

Fungsi legitimasi yang sama juga berlaku terhadap“kebenaran” identitas subjektif individu. Karena sifatsosialisasi itu sendiri, identitas subjektif merupakan satuentitas yang rapuh. Ia tergantung kepada hubungan-hubungan individu dengan orang-orang yangberpengaruh (significant others), yang bisa saja berubahatau menghilang. Kerapuhan itu bertambah olehpengalaman-pengalam pribadi dalalam situasi-situasimarjinal (Berger & Luckmann, 1967: 99).

Satu fungsi legitimasi yang strategis dari universumsimbolis bagi biografi individu adalah “tempat” kematian.Pengalaman tentang kematian orang lain dan, kemudian,antisipasi tentang kematian dirinya merupakan situasimarjinal par excellence bagi individu. Integrasi kematianke dalam kenyataan utama dari eksistensi sosial, olehkarena itu, sangat penting artinya bagi setiap tatanankelembagaan. Legitimasi tentang kematian, de-ngandemikian, mewujudkan kemungkinan individu untukterus hidup dalam masyarakat setelah kematian orang-orang berpengaruh. Legitimasi ini juga mengantisipasi

Page 91: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

83

kematiannya sendiri dengan memperingan rasa takutsedemikian rupa. Tugas legitimasi dengan cara ini untukterus melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari tidaklumpuh. Legitimasi seperti itu memberikan kepadaindividu suatu resep untuk “mati dengan cara yangbenar”. Resep ini secara optimal, akan tetap memperta-hankan sifatnya yang masuk-akal, jika kematian seseorangsudah mendekat (Berger & Luckmann, 1967: 101).

Berger Mengungkapkan arti penting legitimasitentang kematian ini sebagai berikut:

Potensi transendensi dari universum-simbolik dalam legitimasikematianlah memanifestasikan dirinya dengan cara yang paling jelas,dan terungkaplah sifat meredakan ketakutan mendasar dari legitimasitertinggi bagi kenyataan utama kehidupan sehari-hari. Keunggulanobjektivasi sosial kehidupan sehari-hari hanya akan dapat memperta-hankan kemasuk-akalan subjektifnya jika ia terus-menerus dilindungidari kengerian yang hebat (teror). Tatanan kelembagaan, pada tingkatmakna, merupakan suatu tameng bagi kengerian itu. Suatu keadaananomis karena itu berarti kehilangan tameng ini dan individu beradadalam keadaan terbuka, sendirian, menghadapi gempuran mimpiburuk. Sementara kengerian yang timbul dari kesendirian mungkinsudah terkandung dalam sosialitas konstitusional manusia, iamemanifestasikan diri pada tingkat makna dalam ketidakmampuanmanusia untuk mempertahankan suatu eksistensi bermakna dalamkeadaan terisolasi dari berbagai konstruksi nomis dalam masyarakat(Berger & Luckmann, 1967: 101-102).

Universum simbolis melindungi individu dari terorterdahsyat itu dengan jalan memberikan legitimasi yangpaling mendasar kepada struktur-struktur tatanankelembagaan yang memberikan perlindungan.

Sampai pada masalah inilah bisa dimengerti bahwaarti sosial dari universum simbolis, dengan demikian,

Page 92: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

84

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

merupakan semacam langit-langit yang menaungi tatanankelembagaan maupun biografi individu. Mereka jugamenentukan batas-batas kenyataan sosial. Artinya,mereka menentukan batas-batas dari apa yang relevan darisegi interaksi sosial (Berger & Luckmann, 1967: 102). Dariaspek fungsi legitimasi di tingkat universum simbolikinilah agama menduduki posisi istimewa.

c. Universum Simbolik dan Aspek Pengembangannya

Menurut Berger, universum simbolik itu dipandangsebagai suatu konstruksi kognitif bersifat teoritis. Iaberasal dari proses-proses refleksi subjektif yang setelahmelalui objektivasi sosial melahirkan ikatan-ikatan yangeksplisit antara tema-tema penting (significant themes) yangberakar dalam berbagai lembaga. Pembentukan suatuuniversum simbolis, tentunya, karena sifat-nya yangteoritis tersebut, mengandaikan adanya refleksi teoritis(Berger & Luckmann, 1967: 104).

Refleksi yang sistematis tentang kodrat universumsimbolik akan muncul setelah suatu universum simbolikdiobjektivasi sebagai satu produk “pertama” ini. Berteoritentang universum simbolis itu sendiri dilukiskan sebagailegitimasi tingkat kedua (Berger & Luckmann, 1967: 105).

Hal yang menyangkut refleksi sistematis inisesungguhnya menyangkut perjalanan historis dari suatuuniversum-simbolik dalam menghadapi berbagaitantangan zaman yang berbeda. Tantangan itu meliputimunculnya generasi baru, penyimpangan, dan munculnyaberbagai alternatif universum simbolik lainnya. Situasiinilah mendorong pengembangan konseptualisasi teoritisyang sistematis atas aspek kognitif dan normatif dariuniversum simbolik. Pengembangan teoritis dari

Page 93: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

85

universum simbolik ini, dengan demikian, mengalamiberbagai tingkatan sebagaimana juga dalam berbagaitingkatan legitimasi lembaga-lembaga.

Hal yang perlu dikemukakan atas masalah di atas,dasar-dasar teoritis pengembangan universum simbolikini sendiri sudah terdapat dalam masyarakat pada tingkatyang lebih naif, dan yang diwujudkan dalam universumsimbolik yang bersangkutan. Bahan yang diperlukan,dengan kata lain, untuk pengembangannya merupakanpemekaran yang lebih lanjut dari universum simbolikawal. Terdapat, dengan demikian, kesinambungan antaraskema-skema dalam perbagai pengembangan ataupemekaran (Berger & Luckmann, 1967: 109).

Tahap-tahap pengembangan tersebut bisa diurutkandari mitologi, teologi, dan ilmu pengetahuan.

Mitologi merupakan bentuk paling kuno darilegitimasi pada umumnya. Mitologi merupakan fase yangperlu dalam perkembangan pemikiran manusia sebagaipemikiran. Mitologi sebagai suatu konsepsi tentangkenyataan yang mengandaikan bahwa dunia pengalamansehari-hari ini terus-menerus diresapi oleh kekuatan-kekuatan yang sakral. Konsepsi seperti itu dengansendirinya mengandaikan suatu tingkat kesinambunganyang tinggi antara tatanan sosial dan tatanan kosmis, danantara semua legiti-masi mereka masing-masing; segenapkenyataan tampak seperti terbuat dari bahan yang sama(Berger & Luckmann, 1967: 110).

Mitologi sebagai suatu peralatan konseptual letaknyapaling dekat dengan taraf naif dari universum simbolik.Itulah sebabnya mengapa dalam sejarah berulang-ulangmuncul fenomen berbagai tradisi mitologis yang tidak

Page 94: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

86

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

konsisten tetapi bisa terus berdampingan satu sama laintanpa adanya integrasi teoritis. Ketidakkonsistenan itusecara tipikal hanya terasa setelah tradisi-tradisi itumenjadi problematis dan sudah berlangsung sema-camintegrasi (Berger & Luckmann, 1967: 111).

Sistem-sistem mitologi untuk selanjutnyadikembangkan lebih jauh dengan mengusahakanpeniadaan hal-hal yang tidak konsisten danmempertahankan universum mitologis yang terintegrasisecara teoritis. Mitologi yang sudah merupakan “ajarankeagamaan” kemudian beralih menjadi konseptualisasiteologis yang sebenarnya. Konsep-konsep teologis, dalamkonteks ini kemudian, mulai beranjak dari taraf naif.Kosmos mungkin masih dipahami dari segi kekuatan-kekuatan atau mahluk-mahluk sakral dari mitologi lama,tetapi entitas-entitas sakral ini telah digeser ke jarak yanglebih jauh.

Jika pemikiran mitologis beroperasi di dalamkontinuitas antara dunia manusia dan dunia para dewa,maka pemikiran teologis berfungsi untuk memperantaraikedua dunia itu. Kehidupan sehari-hari, denganberlangsungnya peralihan dari mitologi ke teologi ini,tampak tidak begitu terus-menerus dirembesi olehkekuatan-kekuatan sakral (Berger & Luckmann, 1967:111).

Teologi berfungsi sebagai paradigma bagikonseptualisasi filosofis dan ilmiah mengenai kosmos.Sementara teologi lebih dekat dengan mitologi dalam halisi religius, definisi-definisinya tentang kenyataan, lebihdekat dengan konseptualisasi yang kemudian mudahdisekularisasikan dalam lokasi sosialnya.

Page 95: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

87

Ilmu pengetahuan modern merupakan satu langkahyang ekstrem dalam perkembangan ini. Ilmu pengetahuantidak hanya menuntaskan pergeseran hal-hal yang sakraldari dunia kehidupan sehari-hari, tetapi ia bahkanmenggeser pengetahuan untuk mempertahankanuniversum itu sendiri dari dunia itu (Berger & Luckmann,1967: 112). Kehidupan sehari-hari tidak lagi memilikilegitimasi keramat dan jenis kejelasan teoritis yang dapatmengaitkannya kepada universum-simbolis dalamtotalitasnya yang dikehendaki. Tipe-tipe konseptual inilahyang telah muncul dalam sejarah dalam berbagaimodifikasi dan kombinasi yang tak terbilang banyaknya.

4. Dunia Sosial Objektif dan Pengalaman-Diri

Sampai pada bahasan tentang perangkat legitimasi yangmenjadi bagian penting dalam persoalan tatanan sosialobjektif di atas, konsekunsi penting yang diterima olehmanusia adalah menyangkut pengalaman-diri (self-experi-ence). Hal ini karena selama berlangsungnya suatu tindakan,ada suatu identifikasi diri dengan arti objektif dari tindakanitu. Artinya, tindakan yang sedang berlangsung itumenentukan pemahaman-diri bagi si pelaku, dan itudilakukan dalam arti objektif yang secara sosial diberikankepada tindakan itu. Si pelaku, dengan demikian, memahamidirinya dalam identifikasi dengan tindakan yang sudahdiobjektifikasi secara sosial (Berger & Luckmann, 1967: 72-73).

Ini artinya satu segmen dari diri telah diobjektivasikan.Satu segmen dari diri yang diobjektifikasikan secara sosialini merupakan “diri-sosial” (social-self). Ini dialami secarasubjektif sebagai yang berbeda bahkan berhadapan dengandiri dalam totalitasnya (Berger & Luckmann, 1967: 73).

Page 96: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

88

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Segmen diri inilah yang kemudian menimbulkan duplikasikesadaran. Duplikasi ini mengakibatkan penyingkiran,pembekuan atau pengucilan satu bagian kesadaran terhadapbagian yang lain. Sebagian dari diri, dengan kata lain, menjaditerobjektivasi bukan saja terhadap orang-orang lain tetapi jugaterhadap diri sendiri, sebagai seperangkat representasi duniasosial (Berger, 1969: 83).

Manusia, dalam konteks ini, menghasilkan “ke-lain-an”(otherness), baik di luar maupun di dalam dirinya sebagaiakibat dari kehidupannya dalam masyarakat. Pekerjaan-pekerjaan manusia, sejauh hal itu merupakan bagian darisuatu dunia sosial, menjadi bagian dari realitas yang lain daridirinya. Pekerjaan-pekerjaan itu “melepaskan diri” dari dia.Manusia juga “melepaskan diri” dari dirinya sendiri, sejauhbagian dirinya itu dibentuk oleh sosialisasi (Berger, 1969:85).

Manusia, dalam kondisi seperti ini, secara tidak langsungtelah melakukan proses, yang disebut Berger sebagai, alienasi.Alienasi ini terjadi dalam sosialitas manusia, yang secaraantropologis memang diperlukan. Namun perlu ditegaskandi sini bahwa konsep alienasi dari Berger ini berbeda darikonsep Marx. Berger dalam hal ini mengungkapkan sebagaiberikut:

Konsep alienasi yang dipakai di sini, tentu saja diambil dariMarx, walaupun kami telah melunakkan ketajamannya yang semuladitampilkan oleh Marx dalam konsepnya guna menghadapi Hegel.Kita tidak mengikuti Marx, terutama dalam gagasan teologis-semu-nya bahwa alienasi adalah hasil dari “dosa-dosa” tatanan sosial historistertentu atau dalam harapan-harapan utopianya bagi penghapusanalienasi (yakni Aufhebung-nya) melalui revolusi sosialis. Karenaitu kita sepakat bahwa pemakaian atas konsep tersebut memilikiimplikasi-implikasi “kanan” bukannya “kiri” (Berger, 1969: 197).

Page 97: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

89

Alienasi di sini merupakan suatu kepanjangan dariproses objektivasi, yang dengan itu objektivitas dunia sosialmanusia (“hidup”) ditransformasikan dalam kesadaranmenjadi objektivitas alam bukan manusia. Representasimanusia secara tipikal yang merupakan realitas dunia sosialitu ditransformasikan dalam kesadaran menjadi “benda-benda” non-manusiawi, tanpa makna, dan diam.Representasi-representasi tersebut dibendakan. Hubunganaktual antara manusia dan duniannya itu terbalik dalamkesadaran. Aktor menjadi hanya apa yang dilakukanterhadapnya. Prosedur dipahami sebagai hanya produk saja.Aktivitas itu sendiri dalam keadaan kehilangan dialektikakemasyarakatan ini tampak sebagai sesuatu yang lain, yaknisebagai proses, takdir atau nasib (Berger, 1969: 86).

Sampai di sini, yang mendasari persoalan di atas adalahmenyangkut peranan yang harus dilakoni individu dalamdunia sosial objektif. Individu dengan memainkan perananberarti berpartisipasi dalam suatu dunia sosial (Berger &Luckmann, 1967: 74).

Peranan merepresentasikan tatanan kelembagaan.Repreresentasi ini berlangsung pada dua tingkat. Pertama,pelaksanaan peranan merepresentasikan dirinya sendiri.Kedua, peranan merepresentasikan suatu keseluruhanrangkaian perilaku yang melembaga. Hanya melaluirepresentasi dalam pelaksanaan peran itu maka lembaga dapatmemanifestasikan diri dalam pengalaman yang sebenarnya.Mengatakan bahwa peranan merepresentasikan lembaga-lembaga, dengan demikian, sama dengan me-ngatakan bahwaperanan memungkinkan lembaga-lembaga untuk mengada,secara terus-menerus, sebagai suatu kehadiran yang nyatadalam pengalaman individu-individu yang hidup (Berger &Luckmann, 1967: 74-75). Representasi suatu lembaga dalam

Page 98: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

90

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

dan oleh peranan, dengan demikian, merupakan representasipar exellence. Setiap pelaksanaan peranan yang konkretmengacu pada arti objektif dari lembaga (Berger &Luckmann, 1967: 76).

Sampai di sini, sifat peranan-peranan itu sendirisesungguhnya merupakan perantara (mediator) sektor-sektortertentu dari cadangan pengetahuan bersama. Berdasarkanperanan yang dimainkannya, individu dimasukkan ke dalambidang-bidang tertentu dari pengetahuan yang diobjektifikasisecara sosial, tidak hanya dalam arti kognitif yang lebihsempit, melainkan juga dalam arti “pengetahuan” tentangnorma-norma, nilai-nilai, dan malahan emosi. Setiap peranan,dengan cara ini, membuka pintu masuk ke dalam suatu sektortertentu dari keseluruhan cadangan pengetahuan dalammasyarakat. Ini mengimplikasikan suatu distribusipengetahuan dalam masyarakat (Berger & Luckmann, 1967:76-77).

Hubungan antara Peranan dan pengetahun bisa dilihatdari dua sudut pandang. Peranan-peranan itu dilihat dariperspektif tatanan kelembagaan tampak sebagai representasidan perantara kelembagaan dari kumpulan-kumpulanpengetahuan yang sudah diobjektifikasi secara kelembagaan.Tiap peranan dilihat dari perspektif beberapa peranan mem-bawa serta suatu embel-embel atau tambahan pengetahuanyang didefinisikan secara sosial. Kedua perspektif inimenunjuk pada fenomena global yang sama, yang merupakandialektika esensial masyarakat. Perspektif yang pertama dapatdiringkaskan dalam proposisi bahwa masyarakat hanyamengada sejauh individu-individu menyadarinya, yang keduadalam proposisi bahwa kesadaran individu ditentukan secarasosial. Dapat dikatakan dengan mempersempit persoalannyakepada peranan-peranan bahwa disatu pihak tatanan

Page 99: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

91

kelembagaan hanya nyata sejauh ia diwujudkan dalamperanan-peranan yang dilakukan, dan bahwa dipihak lainperanan-peranan merepresentasikan suatu tatanankelembagaan yang mendefinisikan sifat-sifat merekadarimana mereka memperoleh arti yang objektif (Berger &Luckmann, 1967: 78). Posisi manusia dalam masyarakat yangdemikian inilah yang disebut oleh Berger sebagai man in soci-ety (Berger, 1971: 81-109).

C.Manusia; Antara Tatanan Sosial Objektifdan Subjektif

Jika pada konteks bahasan tentang proses eksternalisasi,Berger menunjukkan kemungkinan posisi manusia sebagaiaktor dalam dunia sosial, maka dalam sisi yang berlainan padakonteks objektivasi, Berger menunjukkan kemungkinanadanya suatu faktisitas dunia sosial yang otonom. Lalu yangmenjadi persoalan adalah di mana titik-balik hubungandialektis manusia terhadap dunianya yang sudah mengalamiproses objektivasi dan berdiri secara otonom di luar kedirianmanusia. Pentingnya melihat titik-balik dialektis ini, karenamenurut Berger, manusia pertama-tama tidak dilahirkanbegitu saja sebagai anggota masyarakat. Ia cenderungdilahirkan dengan suatu pra-disposisi ke arah sosialitas(Berger & Luckmann, 1967: 129).

Apalagi titik-balik dialektis ini digambarkan oleh Bergersebagai usaha “mengambil-alih” dunia oleh individu dimanasudah ada orang lain. Pengambil-alihan ini sendiri, sampaitingkat tertentu merupakan satu proses awal bagi setiaporganisme manusiawi (Berger & Luckmann, 1967: 130).Hanya dengan mengambil-alih ini dunia sosial menjadikenyataan subjektif. Ini artinya, ada suatu proses yang harusdilaluinya yang tidak semata-mata bermakna adaptasi.

Page 100: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

92

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Posisi inilah yang disebut oleh Berger sebagaiinternalisasi. Yang dimaksud adalah pemahaman ataupenafsiran yang berlangsung dari suatu peristiwa objektifsebagai pengungkapan suatu makna menjadi bermaknasecara subjektif bagi seseorang.

Internalisasi dalam arti umum ini merupakan dasar bagipemahaman mengenai sesama, dan pemahaman mengenaidunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial.Sementara itu, Internalisasi dalam bentuk yang kompleksmenunjukkan bahwa seseorang tidak hanya “mema-hami”proses-proses subjektif orang lain yang berlangsung sesaat.Seseorang juga “memahami” dunia dimana orang lain hidupdan dunia itu menjadi dunianya sendiri. Ini mengandaikanbahwa orang lain dan seseorang mengalami kebersamaandalam waktu dengan cara yang lebih dari sekedar sepintaslalu (Berger & Luckmann, 1967: 129).

Berger mengilustrasikan situasi kompleks ini sebagaiberi-kut:

Sekarang kami masing-masing tidak hanya memahami definisipihak lainnya tentang situasi-situasi yang dialami bersama, kamijuga mendefinisikan situasi-situasi itu secara timbal-balik. Suatuhubungan motivasi tercipta antara kami dan menjangkau ke masadepan. Yang paling penting, sekarang terdapat suatu pengidentifikasiantimbal-balik yang berlangsung terus-menerus antara kami. Kami tidakhanya hidup dalam dunia yang sama, tetapi kami masing-masingberpartisipasi dalam keberadaan pihak lain (Berger & Luckmann,1967: 130).

1. Sosialisasi; Titik-Tolak Internalisasi Dunia ObjektifKonteks keterlibatan inilah yang nantinya disebut oleh

Berger sebagai society in man (Berger, 1971: 110 - dst.). Halini karena Individu yang akan menjadi anggota masyarakat

Page 101: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

93

harus mengalami internalisasi. Proses ontogenetik untukmencapai tahap ini adalah sosialisasi. Sosialisasi itu sendiriberarti proses yang dipakai untuk mendidik generasi baruuntuk hidup sesuai dengan program-program kelembagaanmasyarakat (Berger, 1969: 15). Ia merupakan suatu prosesadaptasi yang paling awal yang selalu harus diandaikan padasetiap manusia dalam lingkungannya.

Sosialisasi, sebagaimana disebut di atas, berlangsungpada dua tahap. Tahap pertama sering disebut dengansosialisasi primer. Sosialisasi ini dijalankan untuk menjadianggota masyarakat dalam masa anak-anak. Sosialisasiprimer itu biasanya merupakan sosialisasi yang paling pentingbagi seorang individu manusia. Ia menjadi struktur dasarbagi semua sosialisasi sekunder. Sementara sosialisasi padatahap kedua adalah sosialisasi sekunder. Ia merupakan proseslanjutan yang mengimbaskan individu yang sudahdisosialisasikan itu ke dalam sektor-sektor baru yang spesifikdari dunia objektif yang dihuni suatu masyarakat tertentu.

a. Sosialisasi Primer

Sosialisasi pada tingkat pertama merupakansosialisasi yang tidak bisa dipisahkan dari prosesidentifikasi dari “orang-orang berpengaruh”. Artinya, dirimerupakan suatu entitas yang direfleksikan, yangmemantulkan sikap yang mula-mula diambil oleh orang-orang yang berpengaruh terhadap (entitas) diri tadi.Individu menjadi sebagaimana ia disapa oleh orang-orangyang berpengaruh (Berger & Luckmann, 1967: 132).

Berger mengilustrasikan proses identifikasi orang-orang berpengaruh ini sebagai berikut:

Page 102: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

94

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Tiap individu dilahirkan ke dalam suatu struktur sosial yangobjektif dimana ia menjumpai orang-orang yang berpengaruh dan yangbertugas mensosialisasikannya. Orang-orang yang berpengaruh ituditentukan begitu saja baginya. Definisi mereka tentang situasi dirinyaditetapkan baginya sebagai suatu kenyataan objektif. Ia, dengandemikian, dilahirkan tidak hanya ke dalam suatu struktur sosial yangobjektif tetapi juga ke dalam suatu dunia sosial objektif. Orang-orangyang berpengaruh yang mengantarai dunia dengan dirinya, memodifikasidunia itu selama proses pengantaraan berlangsung. Mereka memilihaspek-aspek dari dunia itu yang sesuai dengan lokasi mereka sendiridalam struktur sosial, dan juga atas dasar watak-watak khas individualmereka yang berakar dalam biografi mereka masing-masing. Duniasosial “disaring” sebelum sampai kepada individu melalui penyeleksianganda ini (Berger & Luckmann, 1967: 131).

Hal yang perlu ditegaskan pada masalah identifikasiini, sebagaimana yang menjadi ciri pendekatan Berger,adalah bukan sesuatu yang mekanistik dan sepihak. Iamelibatkan suatu dialektika antara identifikasi oleh oranglain dan identifikasi oleh diri sendiri, identitas yangdiberikan secara objektif dan identitas yang diperolehsecara subjektif. Dialektika, yang berlangsung setiap saatindividu mengidentifikasikan diri dengan orang-orang yangberpengaruh merupakan semacam partikularisasi dalamkehidupan individu (Berger & Luckmann, 1967: 133).

Adanya dialektika ini, dengan demikian,menunjukkan adanya keunikan, sub specie aeternitatis,dalam “identitasidentitas kolektif” dari eksistensi individu(Berger & Luckmann, 1967: 174). Dialektika sendiri bagiindividu berarti mengungkapkan diri dalam suatu situasisosio-historis yang sudah berstruktur (Berger &Luckmann, 1967: 180). Ia memanifestasikan diri dalampembatasan timbal-balik antara organisme dan masyarakat(Berger & Luckmann, 1967: 181).

Page 103: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

95

Inilah yang disebut oleh Berger sebelumnya sebagaiciri khas organisme manusia, karena ia memilikikekenyalan yang sangat besar dalam tanggapannyaterhadap kekuatan-kekuatan lingkungan yang bekerjaterhadapnya.

Kembali pada masalah utama. Pentingnya sosialisasiprimer ini, karena ia menciptakan suatu abstraksi yangsemakin tinggi dalam kesadaran seorang anak dariperanan-peranan dan sikap-sikap orang-orang lain tertentuke peranan-peranan dan sikap-sikap pada umumnya.

Abstraksi dari berbagai peranan dan sikap orang-or-ang yang secara konkret berpengaruh dinamakan oranglain umumnya (generalized others). Pembentukan dalamkesadaran berarti bahwa individu mengindentifikasikandirinya tidak hanya dengan orang-orang lain yang konkret,melainkan dengan orang-orang lain pada umumnya(masyarakat). Hanya dengan identifikasi yangdigeneralisasikan inilah identifikasi dirinya sendirimemperoleh kestabilan dan kesinambungan (Berger &Luckmann, 1967: 132).

Terbentuknya orang lain pada umumnya dalamkesadaran menandai suatu fase yang menentukan dalamsosialisasi. Apabila orang lain pada umumnya sudahterwujud dalam kesadaran, maka terbentuklah suatuhubungan yang simetris antara kenyataan objektif dankenyataan subjektif (Berger & Luckmann, 1967: 133).Simetri ini mencerminkan tentang adanya yang nyata “diluar” sesuai dengan yang nyata “di dalam”. Kenyataanobjektif dengan mudah dapat “diterjemahkan” ke dalamkenyataan subjektif, dan sebaliknya (Berger & Luckmann,1967: 134).

Page 104: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

96

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Arti penting simetri antara dunia objektif masyarakatdengan dunia subjektif individu adalah sangat menentukankeberhasilan sosialisasi (Berger, 1969: 15). Simetri antarakenyataan objektif dan kenyataan subjektif, namundemikian, tidak pernah merupakan satu keadaan yang statisdan tidak berubah untuk selama-lamanya. Ia selaludiproduksi dan direproduksi secara aktual. Artinya,hubungan antara individu dan dunia sosial yang objektifmerupakan semacam aktual penyeimbang yang berlang-sung terus-menerus (Berger & Luckmann, 1967: 134).Eksistensi manusia, dengan demikian, merupakan suatu“tindak penyeimbang” yang terus-menerus antara manu-sia dan dirinya, manusia dan dunianya (Berger, 1969: 5-6).

Inilah pula, sebagaimana yang telah diungkapkandalam bahasan sebelumnya, yang telah terefleksi dalamfenomena unik “kebertubuhan manusia”. Artinyapengalaman manusia mengenai dirinya sendiri selalumengambang dalam keseimbangan antara keberadaansebagai tubuh dan mempunyai tubuh, suatu keseimbanganyang harus diperbaiki berulang-ulang.

Berger mengungkapkan masalah ini sebagai berikut:

Perlu ditekankan bahwa simetri antara kenyataan objektif dankenyataan subjektif tidak bisa sempurna. Kedua kenyataan bersesuaiansatu sama lain, tetapi tidak ko-ekstensif, selalu “tersedia” lebih banyakkenyataan objektif daripada apa yang yang benar-benar diinternalisasike dalam kesadaran tiap individu, semata-mata karena isi sosialisasiditentukan oleh distribusi pengetahuan dalam masyarakat. Tidak adaindividu yang menginternalisasikan keseluruhan dari apa yangdiobjektivasi sebagai kenyataan dalam masyarakatnya, juga tidakseandainya masyarakat dan dunianya merupakan masyarakat dandunia yang relatif sederhana. Selalu terdapat unsur-unsur darikenyataan subjektif, di pihak lain, yang tidak berasal dari sosialisasi,

Page 105: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

97

seperti kesadaran mengenai badan saya sendiri sebelum dan terlepasdari setiap pemahamannya yang dipelajari secara sosial (Berger &Luckmann, 1967: 133-134).

Perlu untuk ditegaskan di sini bahwa pengiden-tifikasian diri dengan orang-orang berpengaruh dalamsosialisasi primer berlangsung secara kuasi-otomatis danjuga merupakan sesuatu yang kuasi-takterelakkan. Iamenginternalisasinya sebagai dunia satu-satunya, sebagaisatu-satunya dunia yang ada dan yang bisa dipahami,sebagai dunia out court. Dunia yang diinternalisasi dalamsosialisasi primer, dengan demikian, jauh lebih kuattertanam dalam kesadaran dibandingkan dengan duniayang diinter-nalisasi dalam sosialisasi sekunder (Berger& Luckmann, 1967: 135).

Dunia pertama individu terbentuk, dengan demikian,dalam sosialisasi primer. Kekukuhannya yang khas dapatdijelaskan oleh hubungan individualnya yang takterelakkan dengan orang-orang yang pertama sekalimempengaruhinya (Berger & Luckmann, 1967: 135-136).Ini karena adanya dasar rasa percaya yang tidak hanya padapribadi-pribadi orang-orang yang berpengaruh, tapi jugapada definisi tentang situasi. Keharusan adanya suatukenyataan pertama (protorealism) ini dalam pemahamandunia berlaku baik dari segi filogenetik maupunontogenetik (Berger & Luckmann, 1967: 136).

Sosialisasi primer ini dianggap berakhir jika konseptentang orang lain pada umumnya (dan segala sesuatuyang menyertainya) telah terbentuk dan tertanam dalamkesadaran individu. Pada titik inilah seseorang sudahmerupakan anggota efektif dalam masyarakat dan secarasubjektif memiliki suatu diri dan sebuah dunia.

Page 106: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

98

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Internalisasi masyarakat, identitas, dan kenyatan iniperlu ditegaskan sebagai yang tidak terjadi sekali jadi danselesai tuntas. Sosialisasi tidak pernah total dan tidakpernah selesai (Berger & Luckmann, 1967: 137).Karenanya, ancaman selalu dihadapi secara terus-meneruske arah kenyataan subjektif. Prosedur-prosedurpemeliharaan kenyataan, dengan demikian, perludikembangkan untuk menjamin adanya suatu ukuransimetris antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif(Berger & Luckmann, 1967: 147).

b. Sosialisasi Sekunder

Selanjutnya, dari prose sosialisasi primer di atasdilanjutkan dengan sosialisasi sekunder. Sosialisasisekunder adalah proses memperoleh pengetahuan khusussesuai dengan perannya (role-specific knowledge), yangberakar dalam pembagian kerja (Berger & Luckmann,1967: 138).

Sosialisasi sekunder sesungguhnya merupakanproses internalisasi “subdunia-subdunia” yangmerupakan kenyataan-kenyataan parsial. “Subdunia-subdunia” itu, namun demikian, merupakan kenyataanyang kurang-lebih kehesif, bercirikan komponen-komponen yang normatif, efektif, dan kognitif.

Proses-proses formal dalam sosialisasi sekundersangat ditentukan oleh masalah konsistensi antarasosialisasi primer de-ngan sosialisasi sekunder. Untukmenciptakan dan mempertahankan konsistensi ini,sosialisasi sekunder mengandaikan prosedur-prosedurkonseptual untuk mengintegrasikan berbagai perangkatpengetahuan (Berger & Luckmann, 1967: 140). Sementaraitu, tidak seperti sosialisasi primer, sosialisasi ini bisa

Page 107: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

99

berlangsung secara efektif melalui identifikasi timbal-balikyang masuk dalam tiap komunikasi antar manusia,asalkan konteks kelembagaannya dipahami. Orang-orangberpengaruh di sini, dengan demikian, lebih diposisikansebagai fungsionaris-fungsionaris kelembagaan dengantugas formal untuk mengalihkan pengetahuan tertentu(Berger & Luckmann, 1967: 142).

Inilah sesungguhnya yang menyebabkan tingkatanonimitas peranan dalam sosialisasi sekunder tinggi.Pokok pangkalnya adalah sifat efektif hubungan sosialyang terjadi dalam sosialisasi sekunder. Artinya, peranandalam sosialisasi ini sangat bersifat situasional dankontekstual (Berger Luckmann, 1967: 142).

Kondisi ini pada akhirnya memberi implikasi padawarna kenyataan dari pengetahuan yang diinternalisasidalam sosialisasi ini, yang harus diperkuat dengan teknik-teknik khusus pedagogis (Berger & Luckmann, 1967: 143).Sifat sosialisasi sekunder yang “artifisial” ini, dengandemikian, cenderung lebih terbuka lagi bagi definisi-definisi tandingan tentang kenyataan. Hal ini dikarenakankenyataan mereka tidak begitu kukuh berakar dalamkesadaran (Berger & Luckmann, 1967: 148).

Ancaman atas berbagai definisi tandingan ini, namundemikian, tidak akan terjadi di tingkat kenyataan hidupsehari-hari. Karena, pertahanan diri di tingkat kenyataanhidup sehari-hari sudah terkandung dalam kegiatan-kegiatan rutin. Ia secara terus-menerus diperkuat kembalidalam interaksi individu dengan orang-orang lain. Oranglain yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari berfungsiuntuk menegaskan kembali kenyataan sub-jektifnya(Berger & Luckmann, 1967: 149).

Page 108: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

100

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Wahana yang paling penting dalam memeliharakenyataan ini adalah percakapan. Percakapan terutamaberarti bahwa orang berbicara satu sama lain. Tuturan,dengan demikian, menduduki tempat istimewa dalamkeseluruhan alat percakapan. Bagian terbesar dari prosesmemelihara kenyataan dalam percakapan adalah yangbersifat implisit dan dilakukan secara sambil lalu.Ketiadaan sifat sambil lalu menandakan adanyaketerputusan dalam kegiatan rutin. Ketiadaan ini, setidak-tidaknya secara potensial, merupakan ancaman terhadapkenyataan yang diterima sebagai sudah sewajarnya (Berger& Luckmann, 1967: 152). Alat percakapan, di sampingitu pula, harus bersinambung dan konsisten. Terputusnyakesinambungan atau konsistensi ipso facto jugamenimbulkan ancaman bagi kenyataan subjektif yangbersangkutan (Berger & Luckmann, 1967: 154).Frekuensi percakapan, dalam konteks ini, sering dinilaisecara keseluruhan meningkatkan potensinya untukmelahirkan kenyataan. Akan tetapi ke-kurangan frekuensikadang-kadang bisa dikompensasi oleh intensitaspercakapan yang berlangsung. Percakapan-percakapantertentu juga bisa didefinisikan dan dilegitimasi melaluistatus “otoritatif” (Berger & Luckmann, 1967: 154).Sementara itu, pemeliharaan dalam keadaan krisis tetapmelalui berbagai prosedur yang ada dalam kenyataansehari-hari, ditambah tingkat konfirmasinya ataskenyataan harus lebih eksplisit dan intensif (Berger &Luckmann, 1967: 156).

2. Internalisasi dan Kemungkinan Transformasi

Sampai pada tingkat pembahasan ini, sosialisasi yangdibahas di atas mengimplikasikan kemungkinan bahwa

Page 109: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

101

kenyataan subjektif bisa ditransformasikan. Transormasi disini adalah suatu proses di berbagai tingkat modifikasi,dimana individu “berganti dunia”. Artinya, keberadaanseseorang dalam suatu masyarakat pada akhirnya tidak bisalepas dari suatu keterlibatan dalam proses yang terus-menerus untuk memodifikasi kenyataan subjektif (Berger& Luckmann, 1967: 157). Walaupun transformasisesungguhnya merupakan proses sosial yang tidak bersifattotal, tetapi ada kasus-kasus transformasi tertentu yangtampak total. Transformasi seperti itu dinamakan perselang-selingan (alternation).

Perselang-selingan ini terjadi melalui proses resosialisasi.Proses-proses yang mirip dengan sosialisasi primer, karenamenyangkut pemindahan yang radikal warna-warnakenyataan. Ia harus meniru sedapat mungkinpengidentifikasian yang sangat efektif dengan personilsosialisasi yang meru-pakan ciri khas masa kanak-kanak.Proses-proses ini, namun demikian, tetap berbeda karenatidak dimulai secara ex nihilo (Berger & Luckmann, 1967:157).

Perselangselingan ini, tentunya, harus mencakupkondisi-kondisi sosial maupun konseptual, dimana yangsosial berfungsi sebagai matrik bagi yang konseptual (Berger& Luckmann, 1967: 158). Kondisi sosial di sini adalahtersedianya suatu struktur kemasuk-akalan yang efektif. Iamerupakan landasan sosial yang berfungsi sebagai“laboratorium” transformasi. Struktur kemasuk-akalan iniakan diantarkan kepada individu melalui orang-orangberpengaruh (Berger & Luckmann, 1967: 157).

Orang-orang berpengaruh itu merupakan pemandumemasuki kenyataan baru. Mereka mewakili struktur

Page 110: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

102

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

kemasuk-akalan dalam peranan yang mereka mainkanberhadapan dengan individu. Mereka mengantarai duniabaru itu kepada individu. Dunia individu memperoleh fokuskognitif dan afektif dalam struktur kemasuk-akalan tersebut.Hal ini, dari segi sosial, berarti suatu konsentrasi yang intensdari semua interaksi yang bermakna di dalam kelompok yangmengandung struktur kemasuk-akalan itu, dan khususnyaterhadap personal yang mendapat tugas re-sosialisasi.Prototipe historis penyelingan ini bisa ditunjukkan padaperistiwa konversi (berganti agama).

Struktur kemasuk-akalan itu harus menjadi duniaindividu, menggantikan semua dunia-dunia lainnya,khususnya dunia yang “dihuni” oleh individu itu sebelumperselang-selingannya. Perselang-selingan, dengandemikian, melibatkan satu reorganisasi dari alat percakapan.Berger mengungkapkan hal ini sebagai berikut:

Pihak-pihak yang terlibat dalam percakapan yang bermaknaberubah. Kenyataan subjektif mengalami transformasi dalampercakapan dengan orang-orang baru yang berpengaruh. Ia dipeliharadengan percakapan yang berlanjut dengan mereka atau di dalamkomunitas yang mereka wakili (Berger & Luckmann, 1967: 159).

Persyaratan konseptual yang paling penting bagiperselang-selingan adalah tersedianya suatu aparat legitimasiuntuk keseluruhan tahapan transformasi. Yang harusdilegitimasikan itu tidak hanya kenyataan baru, tetapi tahap-tahap yang dilalui untuk memperoleh dan memeliharanya,serta untuk meninggalkan atau menolak semua kenyataanalternatif. Kenyataan lama harus ditafsirkan kembali di dalamrangka aparat legitimasi kenyataan. Di samping penafsirankembali harus ada pula penafsiran kembali peristiwa-peristiwakhusus masa lalu dan orang-orang yang dulu berpengaruh.

Page 111: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

103

Suatu penafsiran kembali yang radikal makna peristiwa-peristiwa dan orang-orang dari masa lampau dalam biografiseseorang di sini diperlukan(Berger & Luckmann, 1967: 160).

Re-sosialisasi adalah semacam pemutusan “simpulGodius” — yakni dengan jalan menghentikan saja usahamencari konsistensi dan membangun kembali kenyataan denovo (baru) (Berger & Luckmann, 1967: 161). Masa laluditafsirkan kembali dalam re-sosialisasi agar sesuai dengankenyataan yang sekarang dan untuk meretrojeksikan ke masalampau berbagai unsur yang secara subjektif tidak tersediaketika itu (Berger & Luckmann, 1967: 162).

Sampai pada konteks inilah, jika pada tahapaneksternalisasi, Berger telah menunjukkan bahwa manusiasebagai aktor dalam dan asal dari dunianya, maka dalamtahapan objektivasi, Berger justru menunjukkan tentangfaktisitas dunia sosial yang otonom terhadap manusia.Dualitas tatanan sosial ini kemudian disintesiskan olehBerger secara cemerlang dalam tahapan internalisasi. Padatahapan internalisasi ini, Berger menunjukkan bagaimanadunia sosial objektif dan otonom terhadap manusia itu,kemudian, “diambil-alih” oleh manusia. Pertama-tama, dalamtahapan internalisasi ini, manusia cenderung bersifat adaptif,dan selanjutnya membuka kemungkinan bagi suatutransformasi tatanan yang tadinya objektif dan otonomterhadap manusia menjadi tatanan yang bersifat subjektif.Di titik inilah, triad dialektika Berger menemukanmomentumnya yang penting dalam problem dualismemanusia dan struktur dunia sosial yang menjadi kontrovesialdalam wacana sosiologi modern dan kontemporer.

Berger, dalam konteks inilah, sesungguhnyamenggarisbawahi posisi pemikirannya yang menegaskan

Page 112: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

104

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

bahwa dunia sosial bukanlah sesuatu yang hadir secaraalamiah dan tumbuh dari suatu esensinya yang ontologis.Namun demikian dunia sosial merupakan buatan,konstruksi, dan produksi manusia sendiri. Begitu juga yangmenyangkut manusia. Kedirian manusia tidak diandaikan darisuatu substratum yang mendasari kodratnya, tetapididasarkan atas suatu proses untuk ‘menjadi manusia’. Duaasumsi inilah yang mendasari tingginya tingkat anomitas polahubungan manusia dan dunianya. Oleh karenanya, selalusaja ada kemungkinan bagi suatu dekonstruksi bagi tatananyang ada bagi manusia (Collin, 1997: 66-72). Hal ini, tentunya,sangat membawa kerawanan bagi eksistensi manusia karenaia tidak memiliki sumber kestabilan dalam susunanorganismenya.

Page 113: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

105

Bab IVARTI PENTING AGAMA

DALAM KONSTRUKSI DUNIASOSIAL

Hal yang paling mendasar dari perspektif konstruktivistikBerger tentang dunia sosial, sebagaimana yang telahdiungkapkan dalam bab sebelumnya, adalah tingginya tingkatanomitas tatanan tersebut bagi manusia. Manusia dalamkondisi ini selalu dihadapkan dengan proses marjinalisasisituasi-situasi kehidupan, yakni keluar dari batas-batastatanan yang menen-tukan eksistensi rutin sehari-hari.Kondisi inilah yang menegaskan arti penting legitimasi dalamdunia sosial. Legitimasi di sini menyangkut strukturkemasuk-akalan dan kelangsungan dunia sosial secarasubjektif bagi individu. Hal ini mengingat dunia sosial itusendiri merupakan kenyataan historis, yang sam-pai padagenerasi baru sebagai tradisi. Di sinilah arti penting legitimasisebagai objektivasi “tingkat kedua”. Ia merupakan proseduruntuk tetap “berorientasi realitas” (tetap berada dalam realitasyang didefinisikan secara resmi) dan “kembali ke realitas”(kembali dari situasi marjinal ke nomos yang ditetapkan).

Yang menarik dan menjadi khas dari pemikiran Bergerdalam posisi demikian adalah menempatkan agama sebagaiinstrumen terpenting da-lam legitimasi. Hal ini karena

Page 114: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

106

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

agama, secara historis, mampu menciptakan naungan berupatata lambang demi keterpaduan masyarakat. Tata lam-bangini memuat berbagai makna, nilai, dan kepercayaan dalamsuatu masyarakat yang “disatupadukan” dalam penafsiranatas realitas. Ia menghubungkan hidup manusia dengankosmos sebagai keseluruhan. Pada level asumsi inilah tampakkekhasan pemikiran Berger di bidang sosiologi pengetahuanyang menjadi acuan penelitian ini.

A.Kosmos sebagai Titik-Tolak tentang AgamaSebelum lebih jauh masuk pada pembahasan tentang

arti penting agama dalam tatanan sosial, tentunya, sangatlahpenting melihat apa yang menjadi dasar pijak teoritis Bergertentang agama itu sendiri. Dasar pijak teoritis pemikiranBerger tentang agama sesungguhnya berada dalam proses-proses sosial itu sendiri. Asumsi ini tampak sekali dalampenegasan Berger sendiri dalam kutipan sebagai berikut:

“... apapun bentuk konstelasi yang suci mungkin pada‘akhirnya’, secara empiris konstelasi tersebut adalah produk aktivitasdan keber-artian manusia — yaitu merupakan proyeksi manusiawi.Manusia, selama proses eksternalisasi, memproyeksikan makna-maknamereka ke dalam semesta sekeliling mereka. Proyeksi-proyeksi inidiobjektivasi-kan dalam dunia bersama masyarakat manusia (Berger,1969: 88).

Sementara itu fungsi agama sebagai universum simbolikyang memi-liki instrumen legitimasi juga berada dalam posisiyang tidak lepas dari proses-proses sosial di atas. Ini bisadilihat dari pendapat Berger sebagai berikut:

Legitimasi-legitimasi keagamaan muncul dari aktivitas manusia,tetapi begitu dikristalisasi ke dalam kompleksitas makna yang menjadibagi-an dari suatu tradisi keagamaan. legitimasi-legitimasi itu bisa

Page 115: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

107

memper-oleh semacam otonomi terhadap aktivitas tersebut. Bahkanlegitimasi-legitimasi itu bertindak-balik terhadap tindakan-tindakandalam kehidupan sehari-hari, mentransformasikan tindakan-tindakantersebut, terkadang secara radikal (Berger, 1969: 41-42).

Atas dasar pijak teoritis tentang agama di atas inilah,Berger mem-berikan dasar teoritis bagi suatu keabsahankajian empiris agama. Dasar teoritis ini mengacu padaketerkaitan agama dengan wilayah matrik mak-napengalaman manusia. Hal ini bisa dilihat dalam kutipanberikut ini:

Jika telah ditetapkan asumsi religius fundamental yangmengatakan bahwa suatu realitas lain, bagaimanapun, menyentuhatau berbata-san dengan dunia empiris, maka segi-segi yang sakralakan dimulia-kan dengan status “pengalaman” asli. Tidak perludikatakan lagi, asumsi ini tidak dapat dilakukan di dalam suatukonteks sosiologis atau konteks ilmiah lainnya. Status epistemologispurna laporan ma-nusia religius ini, dengan kata lain, harus dikekangdengan ketat. “Dunia-dunia yang lain” itu tidak secara empiris adabagi tujuan-tujuan analisis ilmiah. Atau, lebih tepat, dunia-duniayang lain itu hanya bisa diperoleh sebagai kantong-kantongmakna di dalam dunia ini, dunia pengalaman manusia dialam dan sejarah. Dunia-dunia tersebut, dengan kondisidemikian, harus dianalisis sama seperti semua maknamanusiawi lainnya, yaitu sebagai unsur dunia yang dibangunsecara sosial (Berger, 1969: 88).

Dasar pijak teoritis ini, sebagaimana yang telah diuraikansecara luas dalam bab sebelumnya, sesungguhnya berangkatdari asumsi tentang eksistensi manusia yang dipahamisebagai eksistensi aktivitas yang meng-eksternalisasi.Manusia, selama proses eksternalisasinya, mencurahkanmakna ke dalam realitas. Pencurahan ini, dengan demikiantentunya, mengasumsikan bahwa setiap masyarakat manusia

Page 116: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

108

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

adalah sebuah ba-ngunan makna-makna yangtereksternalisasi dan terobjektivikasi yang mengarah kepadatotalitas yang bermakna (Berger, 1969: 27). Inilah yang olehSchutz sebut bahwa dunia sosial merupakan endapan darijaringan-jaringan dimensi dan relasi makna-makna yangsangat rumit (Schutz, 1980). Ini semua dikarenakantindakan-tindakan sosial yang mendasari seluruh fenomenahubungan-hubungan sosial dalam dunia sosial selaludidasarkan atas makna-makna subjektif. Oleh karenanya,tepatlah kiranya jika Berger berasumsi bahwa setiap aktivitassosial manusia tidak lain merupakan suatu usahamembangunan-dunia. Aktivitas membangun-dunia itusendiri meru-pakan aktivitas penataan bermakna ataunomisasi (Berger, 1969: 3).

Sampai pada asumsi di atas, dunia sosial dengandemikian merupakan sebuah nomos, baik secara objektifmaupun subjektif. Nomos objektif muncul dalam prosesobjektifikasi sebagaimana adanya (Berger, 1969: 20). Nomosobjektif itu kemudian diinternalisasi selama proses sosialisasimenjadi tatanan pengalamannya sendiri yang subjektif.

Ada beberapa manfaat dari proses ini untuk manusia.Pertama, individu bisa “memahami” biografinya sendiri.Kedua, Unsur-unsur yang beragama dari masa lalunya ditatadalam kerangka tentang apa yang “diketahui secara objektif”mengenai kondisi dirinya serta kondisi orang lain. Ketiga,pengalaman yang berkelanjutan diintegrasikan ke dalamtatanan yang sama walaupun ada beberapa modifikasi.Keempat, masa depan memperoleh bentuknya yang sangatbermakna berkat diproyeksikannnya tatanan tersebut ke masadepan (Berger, 1969: 21).

Nomos itu sendiri memiliki pengertian bahwa hidupdalam dunia sosial, dengan demikian, berarti menjalani

Page 117: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

109

kehidupan yang tertib dan bermakna. Itu artinya pulaketerasingan secara radikal dari dunia sosial meru-pakansuatu ancaman yang sangat kuat bagi individu. Keterasinganitu akan meruntuhkan tatanan fundamental dimana individubisa memahami kehidupannya dan mengenali identitasnya.Individu tidak saja akan kehilangan pedoman moral, dengankonsekuensi psikologis yang merugikan, tetapi jugamengaburkan pedoman kognitifnya. Namun bahaya yangpaling kuat dari keterasingan adalah ketanpamaknaan (mean-inglessness) (Berger, 1969: 21-22).

Asumsi demikian menandaskan bahwa titik-tolakkenyataan eksistensial manusia itu adalah pengalaman yangdibentuk dalam dunia kehidupan sehari-hari, yakni suatudunia yang memiliki jaringan makna yang telah tertata.Sampai pada konteks bahasan ini, fungsi dunia sosial, dengandemikian, melindungi individu dari proses marjinalisasisituasi-situasi kehidu-pan individu, yakni keluarnya daribatas-batas tatanan yang menentukan eksistensi rutin sehari-hari. Situasi-situasi marjinal seperti itu biasanya terjadi dalamimpian atau khayalan. Situasi-situasi itu bisa muncul padacakrawala kesadaran sebagai kecurigaan atas definisi-definisirealitas yang diterima sebelumnya mungkin rapuh atau palsu.Kecurigaan itu juga meliputi iden-titas diri dan orang lain.Adapun situasi marjinal par exellence adalah kematian.Kematian menghadapkan masyarakat kepada suatu masalahbesar, yakni kontinuitas hubungan-hubungan manusia danasumsi-asumsi dasar tentang tatanan yang melandasimasyarakat (Berger, 1969: 23).

Adanya situasi-situasi marjinal yang berbanding lurusdengan situasi tertib yang bermakna ini menunjukkantingginya tingkat anomitas dari tatanan sosial manusiawitersebut. Untuk itu, agar individu tetap menjalani kehidupan

Page 118: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

110

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

yang tertib dan bermakna haruslah ada prosedur-proseduruntuk tetap “berorientasi realitas” (tetap berada dalam realitasyang didefinisikan secara resmi) dan “kembali ke realitas”(kembali dari situasi marjinal ke nomos yang ditetapkan)(Berger, 1969: 24).

Hal ini, tentunya, agar kehadiran dunia sosial bagiindividu menjadi kewajaran yang semestinya. Makna-maknakunci dari tatanan sosial tidak semata-mata berguna, harusdimiliki, dan benar, tapi juga bagian tak ter-pisahkan dari“hakikat hal-hal” universal (Berger, 1969: 24). Artinya,makna-makna yang ada dalam penataan dunia sosial itumelebur dengan makna-makna fundamental dalam semesta.Pada titik inilah, Nomos selalu mengandaikan kosmos.Bentuk kecenderungan inilah yang mendorong munculnyakonsep mikrokosmos-makrokosmos dalam masyarakattradisional. Ini artinya, adanya suatu kecenderungan untukselalu memproyeksikan tatanan yang dibangun secaramanusiawi ke dalam semesta sebagaimana adanya (Berger,1969: 25).

Arti penting kosmos atas nomos inilah yang dijadikanoleh Berger sebagai titik tolak dalam membangun kerangkapemahaman tentang agama. Hal ini dikarenakan agama, bagiBerger, merupakan suatu usaha manusia untuk membentuksuatu kosmos yang sakral. Agama, dengan kata lain,adalahkosmisasi dalam suatu cara yang sakral (Berger, 1969: 25).

Kata “sakral” sendiri menunjukkan suatu kualitaskekuasaan yang misterius dan menakjubkan yang berkaitanlangsung dengannya, yang diyakini berada dalam objek-objekpengalaman tertentu. Kualitas ini bisa disandangkan padaobjek-objek alami atau artifisial, pada binatang, atau manusia.Kualitas tersebut akhirnya mungkin dibentuk dalam mahluk-

Page 119: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

111

mahluk sakral, dari roh-roh lokal sampai dewa-dewa langittertinggi. Yang terakhir ini, pada gilirannya, mungkin berubahbentuk menjadi kekuatan-kekuatan atau asas-asas purnayang mengatur kosmos, tidak lagi dibayangkan dalamkerangka personal tetapi masih mengandung status sakral(Berger, 1969: 25).

Fenomena inilah yang oleh Mircea Eliade dalam bukunyaPatterns in Comparative Religion, dipandang sebagai fenomenahierofani. Artinya, “yang kudus” menampakkan diri dalamsimbol-simbol duniawi. Manusia, dalam konteks simbol-simbol tersebut, beragama berusaha untuk hidup di tengah-tengahnya. Ia menjadi syarat bagi keberadaannya di duniaini, karena merupakan kekuatan bagi dunia ini untuk menjaditertib.

Kata “sakral” pada tingkat tertentu adalah lawan katadari “profan”, yang mempunyai arti sebagai sesuatu yangtidak memiliki status sakral. Kata ini, namun demikian, padatingkat yang lebih dalam memiliki suatu kategori lawan, yaknikekacauan (chaos) (Berger, 1969: 26). Oleh karena itulah,usaha hidup religius sama saja dengan usaha “berada”,mengambil ba-gian dalam realitas, melengkapi diri dengankekuatan bertahan terhadap kekacauan atau sesuatu yanglebih ekstrem, yakni ketanpamaknaan.

Sampai pada konteks ini, Berger sesungguhnya telahmenegaskan apa yang menjadi aspek substantif dari agama,yakni “yang sakral. Se-hingga demikian tata lambang yangkhas yang dibangun oleh agama dan berbeda dari lainnyaadalah ia bersifat sakral. Perbedaan inilah yang menjadi tolak-ukur dalam menilai setiap bentuk proyeksi manusiawi lainnyadalam dunia sosial. Ini artinya, Berger sesungguh nya telahmemasuki suatu wilayah paradigma kajian agama yang

Page 120: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

112

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

berkembang di awal abad ke-20, yakni pertimbangan seksamaatas fenomena unik dari setiap manifestasi fenomenatertentu.

Kosmos yang ditegakkan oleh agama itu, dengansendirinya “meng-atas-i” (transcend) dan meliputi manusiadalam penataan realitas. Ia mem-berikan tameng terakhirdalam menghadapi kecemasan anomi. Hal ini dikarenakankonstruksi-konstruksi manusiawi dalam kosmos sakralmemper-oleh kulminasi purnanya.

Agama, dengan demikian, sangat memainkan peranstrategis dalam usaha manusia membangun dunia. Hal inidikarenakan agama mereflek-sikan jangkauan terjauh darieksternalisasi-diri manusia, dari peresapan makna-maknanyasendiri ke dalam realitas. Tatanan manusia dengan ke-rangkaacuan agama diproyeksikan ke dalam totalitas kedirian.Agama, dengan begitu, merupakan usaha berani manusiauntuk membayangkan adanya keseluruhan semesta sebagaibernilai manusiawi (Berger, 1969: 27-28). Dengan lainperkataan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Van derLeeuw, bahwa agama merupakan “bentuk perluasankehidupan agar supaya lebih kaya, lebih dalam, dan lebih luas”(Van der Leeuw, 1967: 112).

B.Tingkat Legitimasi Agama dan Basis SosialDunia

Sampai pada bahasan tentang titik-tolak Berger tentangagama pada proses kosmisasi ini, agama tampak sekalidiposisikan sebagai pemberi keabsahan ontologis atas duniamanusiawi. Hal ini, tentunya, sangat menyangkut tingkatlegitimasi agama sebagai universum simbolik. Legitimasi disini berarti berkaitan dengan bagaimana tatanan sosial yang

Page 121: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

113

objektif itu selalu masuk-akal dan tetap berlangsung bagiindividu.

Arti penting legitimasi itu sendiri, dengan demikian,sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya,karena dunia sosial yang telah diobjektivasi merupakankenyataan historis, yang sampai kepada ge-nerasi baru sebagaitradisi. Oleh karena itulah, Berger mengartikan legitimasisebagai suatu objektivasi “tingkat kedua”, yang fungsinyauntuk membuat objektivasi “tingkat pertama” menjadi semakintersedia secara objektif dan masuk-akal secara subjektif.

Adapun arti penting penting tingkat legitimasi agamasebagai universum-simbolik itu sendiri, menurut Berger,karena agama secara historis merupakan instrumen legitimasiyang paling tersebar dan efektif. Hal ini dikarenakankemampuan dari agama yang dapat menghubungkankonstruksi-konstruksi realitas rawan dari masyarakat-masyarakat empiris pada realitas purna. Realitas-realitasrawan dunia sosial itu didasarkan pada realissimum sakral,yang menurut definisinya berada di luar kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari makna-makna manusiawi danaktivitas-aktivitas manusia (Berger, 1969: 32).

Konstruksi-konstruksi historis aktivitas manusia dengansendirinya dilihat dari suatu titik yang tinggi, yang meng-atas-i (trancend) sejarah maupun manusia. Konsepsi tatanankelembagaan, melalui titik-tolak ini, mengalami transformasihubungan. Segala yang “di bawah sini” memiliki analognya“di atas sana”. Berpartisipasi dalam tatanan kelembagaandengan sendirinya memiliki makna yang juga berpartsipasidalam kosmos Ilahiah (Berger, 1969: 33).

Konteks refleksi skema mikrokosmis/makrokosmisyang sangat berpe-ran dalam sejarah pelegitimasian tatanan

Page 122: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

114

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

sosial ini itu sendiri, secara historis, memang banyakmengalami transformasi. Bentuk transformasi ini cende-rungmenjadi kategori-kategori filosofis dan teologis yang sangatabstrak. Namun demikian, segi-segi pokok mikrokosmis/makrokosmis itu tetap tidak berubah (Berger, 1969: 34-35).

Sampai di sini, bagian agama yang sangat penting dalamproses legitimasi yang perlu digarisbawahi adalahkemampuan unik agama untuk “menempatkan fenomena-fenomena manusia di dalam suatu konteks acuan kosmik”.Ia menghubungkan realitas yang didefinisikan secara ma-nusiawi dengan realitas purna yang universal dan sakral.Konstruksi-konstruksi aktivitas manusia yang secara inherenrawan dan bersifat sementara, oleh karenannya, diberisemacam kemantapan dan ketetapan purna. Nomos-nomosyang dibangun secara manusiawi, dengan kata lain, diberisuatu status kosmik (Berger, 1969: 35-36).

Legitimasi-legitimasi keagamaan di tingkat ini,dipandang dari sudut objektivitas kelembagaan, mendasarkanrealitas yang didefinisikan secara sosial pada realitas purnasemesta alam, yakni realitas “apa adanya”. Dunia sosial,dengan dilegitimasi oleh agama, dengan sendirinya memilikistatus ontologis yang absah

Dunia sosial, dengan sendirinya juga, menjadi takterelakkan karena sudah diterima keberadaannya tidak sajaoleh manusia tapi juga oleh Tuhan-tuhan. Kerawananempiris lembaga-lembaga tersebut ditransformasi-kanmenjadi kemantapan sebagai perwujudan struktur-strukturdasar se-mesta alam. lembaga-lembaga itu berada di ataskematian individu-individu dan penguasan seluruhkolektivitas, karena telah didasarkan pada suatu masa sakralyang di dalamnya sejarah manusia hanyalah salah satuepisodenya (Berger, 1969: 36).

Page 123: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

115

Dipandang dari sudut kesadaran subjektif individual,legitimasi ke-agamaan, memungkinkan individu memilikisuatu rasa kebenaran purna, baik secara kognitif maupunnormatif, dalam peran-peran yang diharapkan harusdimainkannya dalam masyarakat. Menurut Berger, dalamkonteks peran-peran ini, identifikasi diri individu denganlembaga-lembaga mem-peroleh satu dimensi, yaknipengakuan. Pengakuan ini tidak hanya dari pihak-pihakmanusia lain yang mengakuinya, tetapi juga pihak-pihak lainyang supra manusiawi yang terefleksi dalam semesta alam(Berger, 1969: 37).

Bila pemahaman mikrokosmis/makrokosmis atashubungan antara masyarakat dengan kosmos itu berlaku,maka paralelisme antara kedua bidang tersebut secara tipikalmelingkupi juga peranan spesifik. Peran-peran itu kemudiandimengerti sebagai pengulangan-pengulangan tiruan darirealitas kosmik yang mereka wakili. Semua peran sosial,dengan demikian, adalah representasi dari kompleksitasmakna yang terobjektivasi lebih besar (Berger, 1969: 38).Representasi-representasi makna manusiawi menjadi tiruanmisteri-misteri Ilahi.

Sampai di sini, tampak jelas bahwa agama dalamkapasitas legi-timatifnya ini, juga berperan dalammenafsirkan tatanan masyarakat dalam kerangka suatutatanan semesta alam yang sakral dan melingkupi sega-lanya.Agama, melalui cara ini, dapat menghubungkan kekacauanyang merupakan antitesis dari semua nomos yang dibangunsecara sosial de-ngan sumber kekacauan yang merupakanantagonis tertua yang sakral. Asumsi Berger ini tampak sekalidalam kutipan berikut ini:

Menentang tatanan masyarakat berarti menghadapi bahayaterjerumus ke dalam anomi. Namun menentang tatanan masyarakat

Page 124: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

116

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

yang dilegitimasikan secara keagamaan berarti mengadakan alienasidengan kekuatan-kekuatan kegelapan purba (Berger, 1969: 39).

Sampai pada bahasan tentang kapasitas legitimasi agamaini, instrumen yang cukup penting dalam memainkan kapasitastersebut adalah ritual. Menurut Berger, ritual religiusmerupakan suatu instrumen penting dalam proses“pengingatan” (Berger, 1969: 40). Pentingnya “pengingatan”ini menyangkut suatu kelangsungan yang terus-menerus daridefinisi-definisi realitas yang telah diobjektifikasi secara sosial.Arti penting ini adalah suatu tatanan sosial, dengan demikian,tidak hanya dilihat dari kualitas penerimaan danpembenarannya saja. Tatanan sosial juga berhubungan denganlamanya bertahan dari generasi ke generasi selanjutnya.

Itu sebabnya semua yang menyangkut bentuk ideasikeagamaan selalu didasarkan pada aktivitas keagamaan.Aktivitas ini berkait dengan analog yang dialektis antaraaktivitas manusia dengan hasil-hasil kerja da-lam konteksyang lebih luas. Hal-hal tersebut mengembalikan berulangkali kontinuitas antara saat sekarang dan tradisi kemasyara-katan, Ia me-nempatkan pengalaman-pengalaman individudan berbagai kelompok masyarakat dalam konteks suatusejarah yang meng-atas-i mereka semua (Berger, 1969: 40).

Agama, dalam konteks demikian, bertindakmempertahankan realitas dunia yang dibangun secara sosialyang di dalamnya manusia eksis dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan pertahanan ini dilakukan dengan jalanmengintegrasikan realitas-realitas marjinal dari kehidupanmanusiawi ke dalam suatu nomos komprehensif(Berger,1969: 42). Agama, dalam konteks tindakan ini,memberikan realitas-realitas itu suatu status kognitif yanglebih tinggi (Berger, 1969: 43).

Page 125: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

117

Inilah “basis” sosial bagi kelanjutan eksistensi suatudunia yang nyata bagi kedirian-kedirian manusia. “Basis” ini,dengan sendirinya disebut sebagai struktur penalarannya.Itu artinya, eksis dalam suatu dunia keagamaan tertentu bagiindividu berarti eksis dalam konteks sosial tertentu tempatdunia itu bisa mempertahankan penalarannya. Itu artinyapula, jika nomos kehidupan individu itu lebih atau kurangkoekstensif dengan nomos dunia keagamaan, makapemisahan dari yang terakhir itu berarti ancaman anomi(Berger, 1969: 49).

C.Muatan Legitimasi Universum SimbolikAgama

1. Teodisi dan Sikap Masokistis

Penjelasan atas kapasitas tingkat legitimasi agamasebagai universum simbolik yang mampu memberi basissosial bagi individu di atas, sesungguhnya sangatmenyangkut apa yang menjadi muatan dari “kekuatan”agama itu sendiri.

Menurut Berger apapun tingkat kecanggihan teoritisdari perangkat legitimasi agama sebagai universum simbolik,sesungguhnya, merupakan suatu teodisi. Teodisi ini, dengansendirinya, merupakan sesuatu yang ber-sifat teoritis yangmenjelaskan fenomena-fenomena manusiawi dalamkerangka suatu pandangan menyeluruh atas semesta (Berger,1969: 53).

Adapun muatan yang mendasari dari semua tingkatteodisi adalah sikap penyerahan diri (masokisme) kepada dayapenataan masyarakat yang terdapat dalam setiap fenomenakonstruksi dunia sosial. Kehidupan individual, dalam setiappenataan masyarakat (nomos), selalu ditempatkan dalam

Page 126: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

118

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

suatu jalinan makna yang melingkupi segalanya dan beradadi atas kehidupan individu tersebut. Individu yangmenginternalisasi makna-makna ini pada saat yang sama jugamentransendir dirinya dari sifat individualitasnya (Berger,1969: 54).

Individu, dalam konteks meng-atas-i individualitasnyadan keunikan pengalaman individualnya itu, dengansendirinya melihat dirinya “secara benar”, yaitu di dalamkoordinat-koordinat realitas yang ditetapkan olehmasyarakatnya. Akibatnya, berbagai ancaman menjadi bisaditolerir selagi langit-langit nomos yang melindungi itumeluas sampai meliputi pengalaman-pengalaman yang bisamerendahkan individu (Berger, 1969: 54-55).

Muatan teodisi yang dasarnya sesungguhnya bertitik-tolak dari fenomena yang mendasari semua struktur tatanansosial, dengan demikian, mengasumsikan bahwa keberadaanteodisi selalu mendahului bangunan legitimasi, baik yangbersifat keagamaan maupun yang lain. Teodisi, dengandemikian, bertindak sebagai lapis bawah. Ia merupakan dasarbagi bangunan-bangunan legitimasi berikutnya.

Sampai di sini, karena teodisi juga menyangkutpersoalan transendensi manusia atas individualitasnya, makateodisi itu juga mengekspresikan suatu konstelasi psikologisyang sangat dasar, yang sangat menopang keberhasilanlegitimasi-legitimasi belakangan (Berger, 1969: 55).

Adapun hal yang lebih mendasar dari semua penjelasantentang teodisi di atas, bahwa masokisme, apakah religiusataukah bukan, adalah bersifat prateoritis dan dengandemikian sudah ada sebelum munculnya suatu teodisispesifik. Sikap masokistik adalah sikap yang merupakan salahsatu faktor irasionalitas yang selalu ada dalam masalah

Page 127: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

119

teodisi. Individu, dengan kandungan masokisnya,memungkinkan terintegrasinya pengalaman-pengalamananomik biografinya ke dalam nomos yang ditegakkan secarasosial serta padanan subjektifnya yang berada dalam ke-sadarannya (Berger, 1969: 57-58).

Adapun fungsi sosial dari setiap perangkat teodisi,dengan demikian, adalah kemampuan menjelaskan tentangketimpangan-ketimpangan yang ada dalam masyarakat.Bentuk penjelasannya sering lebih bersifat kontradiktif.Bentuk kontradiksi ini terefleksi dalam melihat dua fenomenayang saling berhadapan. Pertama, teodisi bisa berfungsisebagai “candu” bagi mereka yang tidak berkuasa danberkekurangan untuk menerima situasi mereka. “Candu”,dalam konteks ini, bisa menghalangi mereka untukmemberontak. Itu sebabnya, dalam semua kasus, runtuhnyapenalaran teodisi model ini memiliki konsekuensi yangpotensial untuk revolusi. Kedua, teodisi bisa bertindak sebagaipembenaran-pembenaran yang bersifat subjektif bagi yangmemiliki kekuasaan dan privilise dari posisi sosial mereka(Berger, 1969: 59). Keduanya ini secara jelas menunjukkanbahwa teodisi punya peran strategis dalam memelihara duniasosial.

Sampai pada konteks ini, terdapat tipe-tipe historis teodisidalam konteks suatu kontinum rasionalitas-irasionalitas.Tipe-tipe ini mewakili sikap khusus dalam berhadapan denganfenomena-fenomena anomik. Tipe awal teodisi, secarahistoris, dalam kaitan dengan tipologi-tipologi ini, me-nunjukkan kutub irasional yang mencakup suatutransendensi diri yang sederhana dan tidak diuraikan secarateoritis yang ditimbulkan oleh identifikasi sepenuhnya dengankolektivitas. Artinya, tidak ada perbedaan tajam antarakonsepsi individu dengan kolektivitasnya. Kedirian paling

Page 128: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

120

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

dalam dari individu itu dianggap sebagai fakta miliknya sendirike dalam kolektivitas — klan, suku, bangsa. Identifikasi in-dividual ini dengan semua pihak yang berinteraksi dengannyamembantu peluluhan kediriannya dengan kedirian pihak-pihak lain (Berger, 1969: 60).

Tipe awal dari jenis teodisi ini bisa didapati dalam agamaprimitif. Terdapat dalam agama ini, secara tipikal, bukan sajasuatu kontinuitas antara individu dan kolektivitas, tetapi jugaantara masyarakat dan alam. Kehidupan individu itu tertanamdalam kehidupan kolektivitas, dan yang terakhir inilahtertanam dalam totalitas kedirian, baik manusiawi maupunnonmanusiawi. Keseluruhan semesta itu diresapi olehkekuatan sakral yang sama. Peresapan ini berlangsung mulaidari asal-usul bentuk pra-pribadinya yang asli sampaipersonifikasi-personifikasi belakangan yang animistik danmitologis. Maka kehidupan manusia itu tidak terpisah secaratajam dari kehidupan yang melingkupi seluruh semesta.Selama mereka tinggal dalam nomos yang ditegakkan secarasosial, mereka berpartsipasi dalam suatu semesta yang jugamemberikan “tempat” pada fenomena-fenomena anomik.Teodisi-teodisi primitif semacam itu secara tipikal meletakkansuatu kontinuitas ontologis di antara generasi (Berger, 1969:61).

Model teodisi macam ini, sesungguhnya dalam sejarah,tidak hanya terdapat pada agama-agama primitif. Hal inikarena, dalam sejarah Teodisi ini mengalami transformasidalam bentuk-bentuk yang lebih halus. Asumsi ini, misalnya,dapat ditunjukkan dalam fenomena mistisisme. Mistisismeadalah sikap keagamaan tempat manusia mencari penyatuandengan kekuatan-kekuatan dan kedirian-kedirian sakral.Mistisisme menimbulkan pengakuan semua individualitasmenghilang dan diserap ke dalam lautan Ilahiah yang

Page 129: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

121

Mahaluas (Berger, 1969: 63). Mistisisme dengan kandungansikap penyerahannya ini, sesungguhnya, menunjukkanteodisinya sendiri. Teodisi ini merefleksikan tentang segalasesuatu itu adalah Tuhan. Suatu unsur masokistik, dalamkonteks ini, tampak sekali secara kuat hampir dalam semuaragam mistisisme (Berger, 1969: 64).

Sementara itu, pada kutub lain dari kontinum rasional-irasioanal teodisi, yakni kutub yang paling rasional, dapatditunjukkan pada kompleks karma-samsara. Teodisi inimenunjukkan setiap anomi yang mungkin terjadi itudiintegrasikan ke dalam suatu penafsiran atas semesta yangsepenuhnya rasional, dan melingkupi segalanya dalamkombinasi antara konsepsi karma (hukum sebab-akibat yangtak terelakkan yang mengatur semua tindakan, manusiawiatau bukan, dalam semesta alam) dan samsara (roda kelahirankembali). Kompleks karma-samsara, dengan demikian,memungkinkan munculnya sebuah teladan simetrisepenuhnya antara teodisi-teodisi pen-deritaan dankebahagiaan. Kompleks itu melegitimasi kondisi-kondisisemua lapisan sosial secara serentak. Proses pelegitimasianini, tentunya, juga dikaitkan dengan konsepsi-konsepsidharma (kewajiban sosial, terutama kewajiban kasta) (Berger,1969: 65).

Sampai pada bahasan ini, ada tiga dasar bagi keberadaanteodisi. Pertama, ia ditegakkan dengan memproyeksikankompensasi bagi fenomena-fenomena anomik ke dalam suatumasa depan yang dipahami dalam konteks dunia kini. Artinya,penderitaan dan ketidakadilan masa sekarang itu dijelaskandengan mengacu kepada nomisasi masa depan. Tentu sajaharuslah dimasukkan ke dalam kategori ini manifestasi-manifestasi mesianisme-millenarianisme dan eskatologireligius. Kompleks mesianik-millenarian ini mengajukan

Page 130: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

122

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

suatu teodisi dengan merelatifir penderitaan atauketidakadilan masa sekarang dalam kerangkapenanggulangannya di masa depan. Fenomena-fenomenaanomik itu, dengan kata lain, dilegitimasi dengan mengacupada suatu nomisasi di masa depan. Ia, dengan demikian,memadukan kembali fenomena-fenomena itu di dalamtatanan bermakna menyeluruh (Berger, 1969: 68). Kedua, tipeteodisi yang mengetengahkan suatu pembalikkanpenderitaan dan kejahatan masa sekarang ke dalamkehidupan sesudah mati. Kehidupan nanti menjadi tempatnomisasi (Berger, 1969: 69). ketiga adalah tipe teodisidualistik. Dualistas, di sini dipahami sebagai dualistas antarajiwa dan benda. Dunia dalam totalitas materialnya adalahciptaan kekuatan-kekuatan jahat. Fenomena-fenomenaanomik di dunia ini, karena itu, tidak dipahami sepertimenerobosnya kesemerawutan yang mengganggu ke dalamkosmos yang tertata. Sebaliknya, dunia ini adalah kawasankesemerawutan, negativitas, dan kekacauan. Manusialahyang menerobos masuk, sebagai si asing dari kawasan lain.Penebusan adalah kembalinya jiwa dari pengucilannya dalamdunia ini ke tempatnya yang sejati. Suatu kawasan cahayayang sepenuhnya lain dari apapun yang ada di dalam realitas-realitas semesta kebendaan. Harapan bagi penebusan, dengandemikian, berhubungan dengan suatu nostalgia mendalamakan rumah sejati manusia (Berger, 1969: 71-72).

Semesta empiris, dalam perspektif ketiga ini, tidak lagimenjadi suatu kosmos tetapi menjadi suatu arena dimanakosmisasi itu sedang terjadi. Karena itu apa yang terlihatsebagai anomi adalah hal-hal yang cocok bagi kawasan yangbelum tuntas, dan harus dicari dalam kawasan yangsepenuhnya berada di luar realitas semesta empiris.Perkembangan tipe dualistik ini secara radikal didevaluasi.

Page 131: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

123

Benda kemudian dipahami sebagai realitas negatif, demikianjuga tubuh manusia dan segala kreasinya.

Sampai konteks ketiga dasar berdirinya suatu teodisi ini,perkemba-ngan yang paling penting dalam masalah teodisiadalah wacana mono-teisme radikal dan etis (Berger, 1969:72). Perkembangan ini juga menun-jukkan bentuktransformasi dalam sikap masokistis.

Tuhan, dalam wacana monoteisme radikal dan etis ini,ditransen-densikan secara radikal, yaitu didudukkan sebagaipihak lain secara total dihadapan manusia. Bergermenjelaskan masalah ini sebagai berikut:

Terdapat secara implisit dalam transendensi ini sejak semula,peme-cahan masokistik par excellence terhadap masalah teodisi –penyerahan diri kepada pihak lain yang total itu, yang tidak bisadigugat atau ditentang, dan yang berdasarkan hakikatnya, merupakankedaulatan di atas setiap standar etis manusiawi yang pada umumnyanomik (Berger, 1969: 74).

Penyerahan diri total kepada kehendak Allah inilah,menurut Berger, yang menjadi sikap fundamental Islam.Perkembangan yang paling radikal, tetapi juga palingkonsisten, dari sikap ini terdapat dalam berbagai konsepsitentang takdir ilahiah (Berger, 1969: 75).

2. Alienasi dan Kesadaran Palsu

Sampai pada bahasan tentang keterkaitan erat antarateodisi de-ngan sikap-sikap masokistik di atas, unsur lainyang juga sangat penting dalam uraian Berger tentangmuatan kapasitas legitimasi agama sebagai universumsimbolik adalah daya alienasi dalam membentuk kesadaranpalsu. Jika Sikap masokistik dijadikan Berger sebagai titik-tolak suatu bangunan teodisi, maka alienasi sesungguhnya

Page 132: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

124

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

bisa dipandang sebagai muara dari teodisi itu sendiri.

Ada baiknya untuk mengetahui bagaimana Bergermemaknai “alie-nasi” ini sebelum masuk kepada persoalanyang lebih jauh. Berger menjelaskan sebagai berikut:

Konsep alienasi yang dipakai di sini, tentu saja diambil dariMarx, walaupun kami telah melunakkan ketajamannya yang semuladi-tampilkan oleh Marx dalam konsepnya guna menghadapi Hegel.Kita tidak mengikuti Marx, terutama dalam gagasan teologis-semunyabahwa alienasi adalah hasil dari “dosa-dosa” tatanan sosial-historistertentu atau dalam harapan-harapan utopianya bagi penghapusanalienasi (yaitu Aufhebung-nya) melalui revolusi sosialis. Karena itukita sepakat bahwa pemakaian atas konsep tersebut memiliki implikasi-implikasi “kanan” bukannya “kiri” (Berger, 1969: 197).

Perspektif Berger tentang alienasi dari agama dalamkonteks ini tampak sekali bersifat positif. Tendensi inisesungguhnya lebih mencerminkan upaya untuk memahamifungsi sosial agama dalam konteks upaya manusia mencaridasar kestabilan dunia sosial yang menjadi perhatianutamanya. Ini tentunya berbeda dengan Marx yangcenderung melihat alienasi dari sisi yang negatif, karenafokus perhatiannya terhadap kecenderungan eksploitasisosial dalam masyarakat.

Menurut Berger, unsur alienasi dalam konteks melihat“kekuatan” agama dalam masyarakat, sesungguhnyamerupakan bentuk artikulasi dari salah satu kualitas pokokdari yang sakral. Hal yang paling pokok dalam konteks yangsakral ini pada pengalaman keagamaan adalah “ke-lain-an”(otherness), manifestasinya totaliter aliter, yang sama sekalilain (the wholly other), jika dibandingkan dengan kehidupanmanusia yang profan, sehari-hari. “Ke-lain-an” inilah yangmerupakan inti dari ketakutan religius, ketakutan nominous

Page 133: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

125

(suci), pemujaan terhadap apa yang secara total meng-atas-i semua dimensi yang hanya manusiawi (Berger, 1969: 87).

Agama, dengan prinsip-prinsip “ke-lain-an” tersebutmenjelaskan dunia yang dibangun manusia itu dalamkonteks yang mengingkari bahwa dunia itu diproduksimanusia. Nomos manusia menjadi suatu nomos Ilahi.Sekurang-kurangnya suatu realitas yang mendapat maknanyadari luar lingkup manusia. Agama, dengan demikian,berfungsi melakukan stabilitas dan kontinuitas kepadaformasi-formasi tatanan sosial yang secara intrinsik adalahrawan. Hal ini mengingat bahwa tujuan fundamental darilegitimasi religius adalah transformasi produk manusiamenjadi faktisitas supramanusiawi dan nonmanusiawi.

Berger, sampai pada masalah ini, memberikan penjelasantentang duduk masalah alienasi dari agama, sebagai berikut:

Tanpa harus bertindak ekstrem yaitu menyamakan agamadengan alienasi (yang berarti mengadakan suatu asumsi epistemologisyang tidak akan berlaku dalam konteks ilmiah), bisa dikatakanbahwa bagian historis dari agama dalam usaha-usaha manusiamembangun dunia dan memelihara dunia itu sebagian besar adalahhasil dari daya alienasi yang inheren dalam agama (Berger, 1969:89).

Agama, dalam kaitan dengan alienasi ini, mengungkap-kan bahwa dalam realitas ada kedirian dan kekuatan yangasing bagi dunia manusia. Meskipun demikian, penegasanini, dalam segala bentuknya, tidak bisa diusut secara empiris.Penegasan ini lebih merupakan kecenderungan kuat dariagama untuk mengalienasi dunia manusia. Artinya, dalammenem-patkan yang asing di atas manusia, agama cenderungmengalienasi manusia dari agama itu sendiri.

Asumsi di atas secara jelas menunjukkan bahwa apapun

Page 134: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

126

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

kebaikan-kebaikan “purna” dari penjelasan keagamaan atassemesta pada umum-nya, kecenderungan empiris merekaadalah untuk memalsukan kesadaran manusia yangmenyangkut bagian semesta yang dibentuk oleh aktivitasnyasendiri, yaitu dunia sosio-kultural. Pemalsuan ini juga bisadisebut sebagai pemistikan, mistifikasi. Dunia sosio-kultural,yang merupakan bangunan makna manusiawi, dilingkupioleh misteri yang sebagian berasal dari dunia bukan manusia.Tabir pemistikan yang menyelimuti produksi tersebut olehagama diberikan pemahaman-pemahaman semacam itu.Ekspresi-ekspresi manusia yang terobjektivasi kemudianmenjadi simbol gelap Ilahiah. Manusia, melalui alienasi ini,menjadi terlindungi dari kecemasan anomik. Penjelasan diatas semakin tampak pada penegasan Berger dalam kutipanberikut ini:

Agama memistikkan lembaga dengan menjelaskan bahwa lembagatersebut sebagai diberikan dari atas dan di luar eksistensi empiris lembagaitu dalam sejarah suatu masyarakat (Berger, 1969: 90).

Mistifikasi keagamaan pada akhirnya sangatlahmembantu suatu proses pemalsuan yang bisa disebut sebagaiketidak-jujuran. Ketidakjujuran adalah bentuk kesadaranpalsu yang di dalamnya terjadi dialektik antara diri yangtersosialisasi dengan diri dalam realitas itu yang tidakdipahami oleh kesadaran. Alienasi dan kesadaran palsu selalumenimbulkan pemutusan di dalam kesadaran hubungandialektik antara manusia dengan produk-produknya.Pemutusan berarti suatu pengingkaran atas dialektik sosio-kultural fundamental (Berger, 1969: 92-93).

Sampai di sini, agama, dalam konteks pemistikkan ini,pada akhirnya juga sangatlah membentu memperkuatpenginternalisasian dunia ke dalam kesadaran individual.

Page 135: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

127

Peran-peran yang diinternalisasi membawa kekuasaanmisterius yang ditempelkan pada mereka oleh legitimasi-legitimasi keagamaan. Identitas yang disosialisasi secarakeseluruhan kemudian bisa dipahami oleh individu sebagaisesuatu yang sakral, yang didasarkan pada “hakikat sesuatu”sebagimana diciptakan atau dikehendaki oleh tuhan-tuhan.Identitas tersebut, dengan kondisi demikian, menjadikehilangan cirinya sebagai sebuah produk manusiawi. Iamenjadi suatu data mutlak. Realitasnya secara langsungdidasarkan dalam realissimum supramanusiawi yangditampilkan oleh agama (Berger, 1969: 95).

Menurut Berger, kemudian, hal yang menjadi essensidari semua alienasi, dengan demikian, adalah aplikasi suatukemutlakan fiktif atas dunia yang dibangun secaramanusiawi. Kon-sekuensi praktis yang paling penting darihal itu adalah bahwa sejarah dan biografi empiris itu secarapalsu dipahami sebagai berdasar dalam keharusan-keharusansupra-empiris. Ke-daruratan-kedaruratan eksistensi manusiayang tak terhingga itu ditransformasi menjadi manifestasihukum universal yang mutlak. Pilihan-pilihan menjadimenjadi takdir. Umat manusia kemudian hidup dalam duniayang telah mereka buat sendiri seolah-olah merekaditakdirkan demikian itu oleh kekuasaan-kekuasaan yangtidak berkaitan dengan aktivitas-aktivitas pem-bangunandunia mereka sendiri. Bila alienasi itu dilegitimasi secarakeaga-maan, maka ketergantungan kekuasaan itu sangatkuat, baik dalam nomos kolektif maupun dalam kesadaranindividu. Makna-makna aktivitas manusia yang diharapkanitu mengkristal menjadi suatu “dunia lain” yang maha besardan misterius, yang berada di atas dunia manusia sebagaisuatu realitas asing. Dengan berbagai sarana “kelainan” dariyang sakral, maka alienasi dunia yang dibangun manusia

Page 136: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

128

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

akhirnya dilegitimasi. Sejauh pembalikan hubungan ini antaramanusia dan dunianya yang berakibat pada suatupengingkaran atas pilihan manusia, maka kontak denganyang sakral itu dipahami dalam konteks “ketergantungantotal” (Berger, 1969: 95).

Umat manusia, dalam “ketergantungan total” inilah,menghasilkan Tuhan-Tuhan mereka, sementara merekamemahami diri sebagai “total bergantung” pada produk-produk mereka ini. Tetapi “dunia lain” Tuhan-Tuhan tersebutmengambil suatu otonomi tertentu di hadapan aktivitasmanusia yang terus memproduksinya. Realitas supraempirisyang diajukan oleh proyeksi agama itu mampu menindakbalikterhadap eksistensi empiris manusia dalam masyarakat.

Berger menjelaskan masalah ini sebagai berikut:

Maka akan sangat keliru kalau menganggap formasi-formasireligius sebagai hanya akibat-akibat mekanis dari aktivitas yangmenghasilkan formasi-formasi itu, yaitu sebagai “refleksi-refleksi” diamdari basis kemasyarakatannya. Sebaliknya, formasi-formasi religiusmemiliki ke-mampuan bertindak atas dan memodifikasi basis itu.Namun kenyataan ini memiliki suatu konsekuensi aneh — yaitu,kemungkinan de-alienasi itu sendiri dilegitimasi secarareligius. Kecuali jika hal ini dipahami, sebuah pandangan sepihakmengenai hubungan antara agama dan masyarakat pasti akan terjadi(Berger, 1969: 96).

Berger tampak sekali dalam kutipan di atas inginmenegaskan posisi agama yang tidak hanya mengalienasi tapijuga mendealienasi. Artinya, sementara agama memiliki suatukecenderungan intrinsik (dan secara teoritis dapat dipahami)untuk melegitimasi alienasi, terdapat juga kemung-kinanbahwa dealienasi secara keagamaan dapat dilegitimasi dalamkasus-kasus historis khusus.

Page 137: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

129

Agama, dalam konteks ini memang bisa memandanglembaga-lembaga menjadi sub specie aeternitatis, tergolong jeniskekal. Meski begitu bisa juga terjadi bahwa formasi-formasiyang sama itu secara radikal direlatifkan, justru karenaformasi-formasi tersebut dilihat sebagai tergolong jenis kekal.Ini bisa mengambil bentuk yang cukup berbeda dalam ber-bagai tradisi keagamaan (Berger, 1969: 96-97).

Menurut Berger, dalam tradisi Injili konfrontasi tatanansosial dengan keagungan Tuhan yang transenden bisa jugamerelatifkan tatanan ini sedemikian rupa. Hal ini bisa terjadilewat refleksi yang menghadapkan Tuhan dan lembaga-lembaga, lembaga-lembaga itu, dengan demikian, tampaktidak lain dari-pada karya-karya manusiawi, tidak memilikikesucian inheren atau abadi (Berger, 1969: 98).

Lembaga-lembaga bisa direlativisasi dan dengandemikian dimanu-siawikan bila dilihat dari sub speciesaeternitatis. Peran-peran yang mewakili lembaga-lembaga inijuga termasuk yang bisa direlativisasi. Kesadaran palsu danketidakjujuran, dengan demikian, bisa ditampakkan sebagaisarana-sarana agama juga. Akhirnya, secara paradoks,keseluruhan jalinan mistifikasi keagamaan yang melingkupitatanan sosial bisa secara drastis di-lepaskan dari tatanansosial tersebut — dengan sarana keagamaan. Tata-nan sosialdengan sendirinya menampakkannya sebagai tidak lain dari-pada buatan manusia (Berger, 1969: 99).

Oleh karenanya bisa dikatakan, bahwa agama munculdalam sejarah sebagai kekuatan yang memelihara duniasekaligus sebagai kekua-tan yang mengguncangkan dunia.Kedua pemunculan ini menempatkan agama sebagai alienasiselain juga mendealienasi. Agama dalam semuamanifestasinya, dengan demikian, merupakan suatu proyeksi

Page 138: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

130

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

besar semesta. Suatu proyeksi yang terpantul kembali sebagaisuatu realitas asing yang akan menghantui produsernya(Berger, 1969: 100). Dalam konteks inilah, sering terjadikontroversi pandangan bahwa agama sebagai sumberkekuatan perubahan sosial ataukah sebagai kekuatanpemapan struktur yang telah ada.

Sampai pada level bahasan ini, usaha keagamaan sesung-guhnya mengungkapkan adanya urgensi dan intensitaspencarian manusia bagi makna. Proyeksi-proyeksi mahabesar kesadaran keagamaan merupakan usaha manusiauntuk membuat realitas itu bermakna secara manusiawi. Halini tampak sekali dalam paradoks alienasi keagamaan. Prosesdehumanisasi dunia sosio-kultural lewat alienasi justrumembangun harapan fundamental bahwa realitas sebagaikeseluruhan mungkin mempunyai tempat yang bermaknabagi manusia.

Lebih mendasar lagi dari semua penjelasan di atas,adalah posisi agama dalam konstelasi pengalaman manusiamencerminkan bagaimana manusia mengambil sikap-sikapeksistensial yang berbeda dihadapan aspek-aspek anomikpengalamannya. Sikap itu kemudian direfleksikan se-carateoritis dalam sistem-sistem keagamaan untuk suatu usahanomisasi (Berger, 1969: 80). Lebih spesifik lagi,mencerminkan cara mengatasi “keberhinggaan eksistensiindividu” (to transcend the finitude of individual existence)(Berger & Luckmann, 1967: 103)

D.Universum-Simbolik Agama dan ModernitasSampai pada konteks bahasan tentang kerangka teoritis

agama sebagai universum-simbolik, sebagaimana yang telahdijelaskan di atas, sesuai dengan sifat dialektisnya sebagaifenomena sosial, agama menga-lami titik baliknya dalam

Page 139: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

131

suatu situasi modern. Titik balik ini menyangkut perubahansosial yang dibawa oleh proses modernisasi yang berangkatdari inovasi-inovasi teknologis dengan dimensi-dimensiekonomi, sosial dan politik (Berger, 1977: 101). Perubahanini pada level kesadaran manusia telah membawa perubahanpemahaman atau definisi tentang kenyataan dari kerangkasakral kepada kerangka rasional (Berger, 1992: 29-43).

Sampai titik inilah agama mendapatkan tantanganterberat sepan-jang sejarah perkembangannya. Hal ini karena,hampir sepanjang sejarah manusia, agama memainkanperanan vital dalam memberikan naungan berupa tata-lambang demi keterpaduan masyarakat. Tata lambang inimemuat berbagai makna, nilai, dan kepercayaan dalam suatumasyarakat yang “disatupadukan” dalam penafsiran realitas.Ia bersifat komprehensif yang menghubungkan hidupmanusia dengan kosmos sebagai keseluruhan (Berger, 1992:75). Tantangan agama dalam konteks modernitas ini me-nyangkut fenomena menguatnya proses sekularisasi danpluralisasi nilai.

Menguatnya proses modernisasi, dengan demikian,sama artinya de-ngan runtuhnya sistem tata lambang yangmemberi basis keterpaduan ma-syarakat. Ini artinya,modernitas bisa disebut sebagai simbol terkoyaknya “langitsuci” yang selama ini melindungi masyarakat beragama. Ituartinya pula, modernitas merefleksikan runtuhnya strukturkemasuk-akalan dunia sosial yang bersifat parokhial.

1. Transendentalisasi Tuhan sebagai Asal SekularisasiSebelum memasuki pembahasan yang lebih jauh tentang

agama sebagai universum simbolik dalam realitas masyarakatmodern, ada baik-nya terlebih dahulu untuk membahastentang aspek-aspek yang terdapat dalam modernitas itu

Page 140: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

132

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

sendiri, yakni sekularisasi dan pluralisasi.

Sekularisasi dalam konteks modernisasi ini merupakan“proses dimana sektor-sektor masyarakat dan kebudayaandipisahkan dari dominasi institusi dan simbol-simbolkeagamaan (Berger, 1969: 107). Proses ini memang lebihmerefleksikan suatu sejarah masyarakat Barat modern,namun sekularisasi sebagai bagian yang tak terpisahkan darimodernitas itu sendiri merupakan fenomena-fenomenamendunia (Berger, 1969: 156). Hal ini mengingat bahwa asal-usul sekularisasi berada dalam proses ekonomi industrialyang dinamik. Kedekatan kepada proses-proses produksi in-dustrial dan gaya-gaya kehidupan yang mengiringinyamerupakan penentu pokok sekularisasi (Berger, 1969: 109).

Sekularisasi itu sendiri dalam cakupan yang lebih luas,bagi Berger, tidak semata-mata bersifat empiris tapi jugaberada dalam proses-proses normatif yang mewarnai apayang menjadi proses empiris.

Menurut Berger, jika dunia modern bisa ditafsirkansebagai suatu realisasi semangat Kristiani yang lebih tinggi,maka Kristenitas bisa dianggap sebagai faktor patogenikutama yang bertanggungjawab atas keadaan yang sangatmenyedihkan dari dari dunia modern ini (Berger, 1969: 110).Kristenitas dalam konteks ini adalah Protestanitas. MenurutBeger, Protestanisme merupakan suatu pengkerutan besardalam lingkup dari “yang sakral” dalam realitas. Hal inidikarenakan ia cenderung melepaskan dirinya sejauhmungkin dari tiga kelengkapan yang paling kuno dan palingkuat dari yang sakral — misteri, mukjizat, dan magis (Berger,1969: 111). Penganut protestan tidak lagi hidup dalam suatudunia yang terus-menerus diresapi oleh kedirian-kedirian dankekuatan-kekuatan sakral. Realitas itu, da-lam konteksKristenitas ini, terpolarisasi antara suatu ketuhanan yang

Page 141: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

133

radikal transenden dan suatu kemanusiaan yang “jatuh”secara radikal, sehingga hampa kualitas sakral. Di antaramereka terletak suatu semesta yang sama sekali “alami”, yangmemang adalah ciptaan Tuhan, tetapi tidak memiliki nilai-nilai kesucian. Artinya, ada kecenderungan transendensiradikal Tuhan berhadapan dengan suatu semesta imanensiradikal. Maka dunia ini secara religius menjadi benar-benarsendirian (Berger, 1969: 112). Protestanisme, dalam konteksini, bertindak sebagai pembuka jalan yang sangatmenentukan bagi sekularisasi, apapun mungkin nilai pentingfaktor-faktor lainnya (Berger, 1969: 113).

Menurut Berger, jika penafsiran atas kaitan historisantara Protesta-nisme dengan sekularisasi ini diterima, makaakar-akar sekularisme itu sendiri sesungguhnya ada dalamsumber-sumber paling dini dari agama Israel (Berger, 1969:113). Pada inti agama Israel kuno terletak penolakan kerasatas versi-versi tatanan kosmik Mesir maupun mesopotamia.Pengingkaran besar dari agama Israiliah ini bisa dilihat dalamkonteks tiga motif besar (Berger, 1969: 115).

Pertama adalah motif transendentalisasi. Perjanjian lamamengajar-kan satu Tuhan yang berdiri di luar kosmos.Kosmos di sini sesungguhnya memang merupakan ciptaan-Nya, tetapi dihadapi-Nya dan tidak dimasuki-Nya (Berger,1969: 115). Tuhan adalah transenden secara radikal karenaitu tidak bisa dikaitkan dengan suatu fenomena alami ataumanusiawi. Lebih jauh, Tuhan ini bertindak secara historisbukannya kosmis dalam sejarah Israel (Berger, 1969: 116).Tampak sekali di sini, ekspresi yang sangat jelas dari polarisasifundamental antara Tuhan transenden dengan manusia, yangsepenuhnya di”demitologis-”kan (Berger, 1969: 117).

Kedua adalah motif historisasi. Motif historisasi tersirat

Page 142: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

134

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

dalam polarisasi ini. Dunia, yang tidak lagi memiliki kekuatan-kekuatan Ilahiah yang mitologis, menjadi suatu arena tindakan-tindakan besar Tuhan (yaitu, arena Heilsgeschichte), dan jugamenjadi arena aktivitas manusia yang sangat diindividualisir(yaitu, arena “sejarah profan). Itulah sebabnya, kepercayaanIsrael adalah suatu kepercayaan yang historik, mulai dari sumber-sumbernya sampai ke kodifikasi hukum-hukumnya (Berger,1969: 117). Transendentalisasi Tuhan dan “pembebasan duniadari sihirnya” ini telah membuka suatu “ruang” bagi sejarahsebagai arena tindakan Ilahiah maupun tindakan manusiawi.Yang pertama, yaitu dilakukan oleh Tuhan yang berdirisepenuhnya di luar dunia. Yang kedua, yaitu mengisyaratkanadanya individualisme dalam konsepsi manusia. Manusiatampak sebagai pelaku historis di hadapan Tuhan. Manusia in-dividual itu dilihat tidak lagi sebagai wakil-wakil kolektivitas-kolektivitas yang digambarkan secara mito-logis, tetapi sebagaiindividu-individu yang berbeda dan unik, yang melaku-kantindakan-tindakan penting sebagai individu (Berger, 1969: 118).Berger menjelaskan posisi “individualisme” ini dalam kontekspembahasan ini, sebagai berikut:

Ini tidak mengisyaratkan, bahwa Per janjian Lamamemaksudkan “individualisme” sama dengan yang dimaksudkanBarat modern, juga bukan konsepsi individu yang ada dalam filsafatYunani, tetapi Perjanjian Lama memberikan suatu kerangka kerjareligius bagi konsepsi mengenai individu, kewibawaan dankebebasannya bertindak (Berger, 1969: 119).

Ketiga adalah motif rasionalisasi. Rasionalisasi inimerupakan bentuk animus Yahwisme yang antimagis. Unsurini mengambil bentuk tindakan pembersihan semua unsurmagis dan orgiastik dari kultus, serta pengem-bangan hukumagama sebagai disiplin fundamental kehidupan sehari-hari.Begitu juga tindakan rasionalisasi dalam penegasannya atas

Page 143: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

135

totalitas kehi-dupan sebagai ibadat kepada Tuhan (Berger,1969: 120).

Transendentalisme, dalam konteks ini dengan demikian,merupakan unsur normatif, yang bagi Berger, ikut memberibasis bagi proses sekularisasi yang memuncak pada era mod-ern.

2. Pluralisasi nilai dan Privatisasi AgamaSampai pada bahasan tentang sekularisasi ini tampak

jelas adanya kecenderungan kuat polarisasi yang sakral danyang profan. Polarisasi ini terefleksi pada kecenderunganpemisahan kelembagaan antara negara dengan agama.Kecenderungan global ini menampakkan adanya ke-munculan suatu negara yang terbebas dari pengaruhlembaga-lembaga keagamaan maupun penafsiran-penafsirankeagamaan atas tindakan politis. Salah satu konsekuensipenting dari hal ini adalah bahwa negara tidak lagi bertindaksebagai pelaku pengukuhan atas nama lembaga keagamaanyang dominan. Negara sekarang mengambil peran berha-dapan dengan kelompok-kelompok keagamaan (Berger, 1969:130). Legi-timasi keagamaan atas negara dihapuskan ataujikapun tetap diperta-hankan, hanya sebagai ornamen-ornamen yang tidak memiliki realitas sosial (Berger, 1969:133).

Itulah sebabnya, bagi Berger, modernisasi ataumodernitas adalah pluralisasi nilai, norma, makna dan simbolyang menjurus kepada seg-mentasi budaya dan kemajemukanpandangan hidup. Akibat dari semua ini adalah bahwa setiaporang harus membuat pilihan, keputusan, perencanaansendiri. Ada peralihan dari nasib kepada pilihan bebas (Berger,1980: 11-19). Konsekuensi yang paling nyata dari hal inisecara institusional adalah kecenderungan privatisasi agama

Page 144: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

136

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

(Berger, 1980: 266).

Agama, dalam konteks ini, menampakkan diri dalambentuknya sebagai kompleks legitimasi yang dengansendirinya bersifat sukarela untuk dimanfaatkan olehnasabah yang tidak di-paksa. Agama, dengan keada-ansemacam ini, ditempatkan dalam konteks pribadi kehidupansosial sehari-hari dan ditandai oleh watak-watak yang sangatkhas dari ling-kungan suatu masyarakat modern. Salah satuwatak dasarnya adalah “individualisasi”. Ini berarti, bahwaagama pribadi adalah suatu persoalan “pilihan” atau“preferensi” individu atau keluarga inti. Pilihan ini tentunyatidak memiliki kualitas kebersamaan yang mengikat.Religiositas seperti itu, bagaimanapun “riil”-nya bagi individuyang menganutnya, tidak lagi dapat memenuhi tugas klasikagama. Tugas klasik itu adalah membangun suatu duniabersama dalam mana semua kehidupan sosial itu menerimamakna purna yang mengikat bagi semua orang. Sebaliknyareligiusitas semacam ini terdapat pada kantong-kantongkhusus kehidupan sosial yang secara efektif dipisahkan darisektor-sektor sekular masyarakat modern. Nilai-nilai yangberkaitan dengan religiusitas pribadi itu, secara tipikal, tidakrelevan dengan konteks kelembagaan selain lingkunganpribadi (Berger, 1969: 133-134).

“Polarisasi” agama yang mengarah pada suatu situasipluralistik ini dikarenakan adanya kecenderungan kuat untukde-monopolisasi tradisi-tradisi keagamaan (Berger, 1969:135). Kepatuhan dengan demikian dalam konteksdemonopolisasi ini menjadi sukarela. Tradisi agama yangsebelum-nya bisa diterapkan dengan paksa, kini harusdipasarkan. Tradisi itu harus “dijual” pada seorang nasabahyang tidak lagi dipaksa untuk “membeli”. Situasi pluralistik,dengan demikian adalah situasi pasar. Di dalamnya, lembaga-

Page 145: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

137

lembaga keagamaan menjadi pelaku-pelaku pemasaran dantradisi-tradisi keagamaan menjadi komoditas-komoditaskonsumen. Aktivitas keagamaan kemudian tidak lebihdaripada logika ekonomi pasar (Berger, 1969: 138).

Akibat dari situasi pluralistik ini tidak terbatas padaaspek-aspek struktural-sosial dari agama, tapi jugamempengaruhi produk pelaku pema-saran keagamaan.Situasi pluralistik memperkenalkan suatu bentuk barupengaruh-pengaruh duniawi, yakni pengaruh dinamikapreferensi konsu-men (Berger, 1969: 145). Tradisi-tradisikeagamaan, dengan demikian dalam situasi ini, menjadi sulitdipertahankan sebagai suatu kebenaran yang tidak berubah.Hal ini dikarenakan dinamika preferensi konsumen itudimasukkan ke dalam lingkungan keagamaan. Kandunganreligius, dengan demikian, menjadi tunduk pada “mode”(Berger, 1969: 146). Begitu juga preferensi konsumen jugamenggambarkan “kebutuhan” lingkungan. Ini berarti bah-wa agama bisa dengan lebih mudah dipasarkan bila agamabisa diper-lihatkan sebagai “relevan” dengan kehidupanpribadi dan tidak diiklankan sebagai mengharuskanpengabdian-pengabdian khusus kepada lembaga-lembagaumum yang besar tersebut (Berger, 1969: 147).

Situasi pluralistik yang dijelaskan di atas dengan begitucenderung menjerumuskan agama ke dalam suatu krisiskredibilitas. Orientasi pluralistik menjadikan agama lebih sulituntuk mempertahankan atau membangun kembali struktur-struktur pe-nalaran yang layak bagi agama. Struktur-strukturpenalaran kehilangan kekokohannya karena struktur-struktur itu tidak lagi bisa meminta masyarakat sebagaikeseluruhan untuk bertindak sebagai pengukuhan sosial(Berger, 1969: 150).

Page 146: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

138

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Berger menjelaskan situasi ini sebagai berikut:

Singkatnya, selalu terdapat “semua yang lain itu” yang menolakmengukuhkan dunia yang bersangkutan. Secara ringkas, makamenjadi makin sulit bagi “penghuni-penghuni” sesuatu dunia agamauntuk tetap entre nous dalam masyarakat kontemporer.Mengingkari pihak lain (tidak hanya individu-individu, tetapi jugakeseluruhan lapisan) tidak lagi bisa dijauhkan dari “pihak sendiri”.Lagi pula, struktur-struktur penalaran tidak tampak tahan lamasebagai akibat dinamika budaya konsumen (Berger, 1969: 151).

Fenomena ini menunjukkan bahwa situasi pluralistikmemperbanyak jumlah struktur penalaran yang salingberkompetisi, dengan begitu, terjadilah relativisasikandungan-kandungan keagamaannya. Pluralitas, dalamkonteks ini dengan demikian, cenderung menimbulkandisorientasi dan rasa ketidakberartian hidup karena hilangnyakepastian. Manusia modern dengan sendirinya pada titik inimulai memasuki situasi tanpa rumah (homelessness).

Lebih spesifik, kandungan-kandungan keagamaan itumenjadi di”subjektif”kan dalam pengertian rangkap. Yakni,“realitas”-nya menjadi suatu masalah “pribadi” dari individu,yaitu kehilangan sifat penalarannya antar-pribadi.“Realitas”nya kemudian dipahami sebagai berakar dalamkesadaran individu bukannya dalam suatu kefaktaan-kefaktaan dunia eksternal. Agama, dengan demikian, tidaklagi mengacu kepada kosmos atau sejarah, tetapi kepadaexistenz atau psikologi individu (Berger,1969: 152). Artinya,realissimum yang diacu agama itu dialih-tempatkan darikosmos atau sejarah ke kesadaran eksistensial individu.Kosmologi menjadi antropologi. Sejarah menjadi biografi. Dititik inilah telah terjadi pergeseran yang sangat mendasartentang titik-tolak tentang agama. Dari sinilah pula asumsi

Page 147: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

139

yang mendasar tentang fungsi substantif agama mengalamiperu-bahan secara mendasar.

3. Modernitas dan Titik-Tolak Antropologis tentang Agama

Perubahan-perubahan yang dihadirkan oleh situasimodernitas di atas inilah, yang oleh Berger, yangmenyebabkan polarisasi respon agama atas situasi tersebut.Menurut Berger dalam situasi kehilangan objektivitasnya iniada tiga pola respon agama dalam kasus agama Kristen dalammenghadapi tan-tangan dunia modern. Pertama, pola deduksi,yakni menegaskan kembali otoritas tradisi agama. Pola inidilakukan oleh Karl Barth. Titik tolak teologi dialektik iniadalah wahyu Allah, Deus Dixit (Allah bersabda). Bergermenyebut pola ini sebagai anti-antropologi. Segala pernyataantentang manusia hanya dapat dibuat atas dasar Wahyu Al-lah. Allah dalam bahasa Paul Tillich adalah jawaban ataspertanyaan manusia dan pertanyaan itu sendiri hanyadimungkinkan oleh jawaban Allah (Berger, 1980: 66-94).Kedua, pola reduksi, yakni tradisi keagamaan ditafsirkandalam kerangka sekular dengan tujuan agar bermakna bagimanusia zaman sekarang. Pola ini dilakukan oleh R.Bultmann melalui konsepnya tentang demitologisasi.Pernyataan keagamaan direduksi sebagai pernyataan tentangeksistensi manusia semata-mata. Pendekatan ini dikritik olehBerger sebagai tidak kritis terhadap kategori-kategorimodernitas. Usaha “penerjemahan” itu berakhir denganpengingkaran diri. Pendekatan reduktif akhirnyamengabaikan makna keagamaan dari segi naturalistiksemata-mata tidak memadai lagi, karena kebenarankeagamaan harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas(Berger, 1980: 95-124). Ketiga, pola induktif, yakni usahauntuk menyingkap pengalaman manusiawi dalam tradisi

Page 148: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

140

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

keagamaan. Pendeka-tan ini berusaha menemukan yangtransenden dalam pengalaman manu-siawi. Pendekatanketiga inilah yang oleh Berger dianggap sebagai pende-katanyang membuka kemungkinan teologi di masa sekarang danme-mungkinkan ditemukannya kembali “yang adi kodrati”.Pendekatan ini berbeda dari pendekatan deduktif karena yangmenjadi titik-tolak adalah pengalaman manusiawi; ia jugaberbeda dari pendekatan reduktif, karena pengalamanmanusiawi itu diperlakukan sebagai pengalaman khas, yangmenunjuk pada yang transenden (Berger,1980 125-156).

Pendekatan ini mencoba menggali apa yang esensialdalam pe-ngalaman. Berger di sini mencoba memadukansosiologi dan teologi. Untuk selanjutnya, Berger secarafenomenologis mengupas berbagai pengala-man manusiauntuk menemukan tanda-tanda transendensi (signals of tran-scendence) atau “yang adikodrati” dalam realitas modernitas.Hal ini bagi Berger, karena jika proyeksi agama manusiadihubungkan dengan suatu realitas yang adi-manusia (su-perhuman) dan adi-kodrati (super-natural), maka logislahmencari jejak-jejak realitas itu dalam diri orang yangmelakukan proyeksi itu (Berger, 1970: 47).

“Tanda-tanda transendensi” secara empiris diberikandalam situasi manusia. Ia dapat ditemukan di dalam ranah(domain) realitas “kodrati” manusia tetapi yang muncul ketaraf tertentu yang melampaui realitas. Artinya, suatutransendensi yang ada dalam keseharian hidup, yaknipengalaman-penga-laman yang menampakkan perwujudaninti kemanu-siaan, inti kejiwaan manusia pada dirinya sendiri(Berger, 1970: 53).

Berger, secara fenomenologis dalam konteks ini,menemukan lima unsur pengalaman manusia yang

Page 149: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

141

menyangkut tanda-tanda transendensi (signals of transcen-dence). Pertama, kecenderungan akan keteraturansebagaimana yang diungkapkan oleh Eric Voegelin. MenurutBerger, se-jumlah sejarah masyarakat adalah keteraturan,suatu struktur makna yang melindungi, yang bertindakdihadapan chaos. Ini artinya, hilangnya keter-aturan tertentubaik individual maupun kelompok akan terancam olehserangkaian teror fundamental, teror kekacauan (Berger,1970: 53).

Ada berbagai, dalam konteks ini, cara manusiamenciptakan keter-aturan, yakni: berhubungan denganketeraturan alam semesta dan suatu keteraturan Ilahi. Namundemikian, hal yang dasariah dari suatu keteraturan adalahkepercayaan manusiawi sepenuhnya, yang berkaitan eratdengan kepercayaan dasar tentang realitas. Hal ini dialamibukan hanya dalam sejarah masyarakat dan peradaban, tetapijuga dalam sejarah hidup setiap individu. Artinya,kecenderungan manusia akan keteraturan bertumpu padasuatu kepercayaan atau keyakinan bahwa realitas itu“teratur”, “seperti seharusnya ada” (Berger, 1970: 54).

Menurut Berger, setiap isyarat keteraturan ini dalam artiyang funda-mental merupakan suatu tanda transendensi. Halini dikarenakan dalam kecenderungan manusia untukmemberikan ruang lingkup jagat raya ini ke arah realitasketeraturan,ada gerakan batin untuk memberikan lingkuppandangan pada keteraturan. Gerak batin atau doronganmengarah bukan hanya pada keteraturan manusiawi, tapiberkaitan dengan suatu keteraturan yang mengatasidorongan itu (Berger, 1970: 56, 57). Ke-cenderunganmanusia akan keteraturan, dengan demikian,mengimplikasikan keteraturan semesta dan setiap isyaratketer-aturan merupakan suatu tanda keteraturan adikodrati.

Page 150: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

142

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Kedua, kecenderungan kepada permainan sebagaimanadiung-kapkan oleh Johan Huizinga. Bagi Huizinga, unsur-unsur ludic atau sifat bermain dapat ditemukan dalam banyaksektor kebudayaan manusia, sampai pada titik mana dapatdiperdebatkan bahwa kebudayaan pada diri sendiri tidakmungkin tanpa dimensi permainan (Berger, 1970: 57-58).

Satu aspek dari permainan yang perlu ditekankan di siniadalah adalah bahwa permainan terdiri dari serangkaian alamdiskursus yang terpisah, dengan peraturannya sendiri yangmendukung, “rentang waktu-nya”, peraturan dan asumsiumum tentang dunia yang “sesungguhnya”. Permainan,dalam konteks ini, cenderung menciptakan rentang waktuyang berbeda dari kehidupan sehari-hari. Ia juga menciptakansuatu “wilayah tersendiri” dengan kronologinya sendiri. Halini dikarena di dalam permainan ada kegembiraan yangmerupakan tujuan (Berger, 1970: 58). Dalam kegembiraaninilah terjadi transendensi pengalaman, yakni meng-atasidirinya sendiri dan mengatasi “kodrat” manusia hinggasampai pada pembenaran “adikodrati (Berger, 1970: 60).

Ketiga, kecenderungan pada harapan sebagaimanadiungkapkan oleh Ernst Bloch. Keberadaan manusia tidakdapat secara memadai di-pahami tanpa hubungannya dengankecenderungan manusia yang tidak tertaklukkan padaharapan masa depan. Hal ini dikarenakan eksistensi manusiaselalu berorientasi ke masa depan. Manusia berada dengansecara tetap memperluas “ada”nya menuju masa depan, baikdalam kesadaran maupun dalam segala aktivitasnya. Dimensipokok “kemasa-depanan” manusia inilah yang merupakanharapan. Melalui harapan manusia dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi di sini dan sekarang. Manusia melaluiharapan menemukan makna dalam meng-hadapi penderitaanyang hebat. Ha-rapan manusia, dalam banyak hal, selalu

Page 151: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

143

menegaskan dirinya dalam pengalaman yangmengungkapkan kekalahan final, yakni kematian (Berger,1970: 61). Inilah yang oleh Jaspers disebut sebagai “situasimarjinal”. Manusia dalam menghadapi “situasi marjinal”inilah menempatkan harapan sebagai bentuk transendensi.

Keempat, pengalaman akan tindakan yang dikutuk secarauniver-sal, yang bukan hanya menuntut penghukuman (con-demnation) tetapi juga kutukan (damnation) dalam arti katakeagamaan secara penuh. Para pelaku tidak hanyaditempatkan di luar komunitas manusia, tetapi ia jugamemisahkan dirinya sendiri dalam jalan final dari tertib moralyang meng-atasi masyarakat manusia. Kutukan di sinimengandaikan suatu harapan “ganti rugi” yang lebih dariyang sekedar manusiawi (Berger, 1970: 67-68). Ini artinya“ganti rugi” di sini merupakan jalan menuju transendensi.

Kelima, kecenderungan terhadap humor. Arti pentinghumor dalam konteks ini karena dalam kelucuan itumemantul keterkungkungan (imprisonment) jiwa manusia didunia. Fungsi humor di sini bukan hanya pengenalanketidaksesuaian yang lucu dalam keadaan hidup manusia, iajuga merelatifkannya. Humor mengakibatkanketerkungkungan itu bukan-lah akhir segala-galanya tetapidapat diatasi. Humur dengan demikian memberikan tandatransendensi (Berger, 1970: 70).

Upaya Berger untuk mencari jejak-jejak transendensidalam ranah pengalaman kodrati manusia di atas, tentunya,mencerminkan bentuk antisipasi terhadap prosesmarjinalisasi agama dalam masyarakat. Namun, yang lebihpenting dari hal tersebut adalah upaya mencari dasar-dasarrelevansi agama dalam kondisi sosial yang telah mengalamiperubahan besar dan mendasar. Jika pada pembahasan

Page 152: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

144

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

sebelumnya agama di-asumsikan sebagai bentuk proyeksimanusiawi atas kondisi eksistensialnya, maka tentunyadasar-dasar relevansi agama haruslah dicari pada apa yangmenjadi muara proyeksi tersebut. Di sinilah arti pentingpendekatan Berger tersebut.

Sampai pada konteks bahasan dari keseluruhan bab ini,dengan mengaitkan realitas agama dengan fungsinya sebagaiuniversum simbolik, Berger sesungguhnya telahmenunjukkan arti penting agama dalam proses konstruksitatanan dunia sosial yang dibangun oleh manusia. Tingkatano-mitas yang mendasari setiap hubungan manusia dandunianya dan konstruksi dunia sosial itu sendiri,menempatkan agama pada posisi penting dalam wilayahkeberadaan eksistensial manusia dalam dunianya. Agamasebagai universum simbolik mampu menjadi prosedur bagimanusia untuk tetap “berorientasi realitas” (tetap beradadalam realitas yang didefinisikan secara resmi) dan “kembalike realitas” (kembali dari situasi marjinal ke nomos yangditetapkan). Hal ini mengingat manusia dalam dunia sosialyang bersifat konstruktif selalu dihadapkan dengan proses-proses mar-jinalisasi situasi-situasi kehidupan, yakni keluardari batas-batas tatanan yang menentukan eksistensi rutinsehari-harinya. Kondisi inilah yang menegaskan arti pentingagama dalam dunia sosial.

Jika dalam bahasannya tentang kerangka teoritis agamasebagai universum simbolik, agama dipandang sebagai dasarkemasuk-akalan dunia sosial, maka dengan mengaitkanuniver-sum simbolik agama itu sen-diri dengan situasimodernitas Berger sesungguhnya menunjukkan bagai-manaproduk-produk sosial itu selalu mengalami dialektika sendiri.Bagi Berger, semua produk sosial tidaklah bersifatditerministik semata tapi juga dialektis. Berger, dalam konteks

Page 153: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

145

seperti inilah, secara tidak langsung telah menunjukkan padatingkat mana proses reproduksi atau perubahan sosialmenuju tatanan sosial baru dan perangkat legitimasinya bisaterjadi. Artinya, reproduksi atau perubahan sosial terjadi ditingkat proses-proses yang mendasari konstruksi sosial itusendiri, yakni ketika struktur kemasuk-akalannya telahkehilangan dasar-dasarnya di tingkat proses-proses sosialyang menyertainya. Inilah yang terjadi pada sistem legitimasiagama yang telah ditunjukkan Berger ketika ia mengaitkanuniversum simbolik agama dengan modernitas.

Jika pada masyarakat pra-modern, agama mampu berdirisecara kokoh sebagai struktur kemasuk-akalan tatananmasyarakat yang sifatnya kohesif, maka pada masyarakatmodern, agama mengalami kehilangan dasar-dasarnya bagikemasuk-akalan tatanan yang sifatnya plural dan sekular. Iniartinya, telah terjadi transformasi dan reproduksi tatananlama menuju tatanan baru yang didasarkan pada proses-proses sosial itu sendiri.

Page 154: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

146

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Page 155: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

147

Bab VAGAMA DAN SIKAP

EKSISTENSIALMANUSIA TERHADAP

DUNIANYA

Arti penting bab ini dalam rangkaian penelitian yangmengkaji salah-satu pokok pemikiran Peter L. Berger tentangAgama Sebagai Universum Simbolik ini adalah sebagai babpembahasan. Oleh karenanya, ada tiga pokok sasaran utamayang ingin dicapai: (1) mengkritisi beberapa asumsi sentraldari pemikiran Berger, baik yang menyangkut pokokpikirannya yang mendasari teorinya tentang agama maupunyang menyangkut teorinya tentang agama itu sendiri, darisuatu perspektif filsafat; (2) menunjukkan beberapa aspekkekurangan dan kelebihan dari pemikiran yang dibangun olehBerger; (3) memperlihatkan diskursus baru yang telah dibukaoleh Berger sebagai dasar pengembangan pemikiran lebihlanjut

A.Agama dan Problem KeberhinggaanEksistensial Manusia

Asumsi yang mendasar dari pemikiran Berger tentangagama, seba-gaimana yang telah ditunjukkan dalam babsebelumnya, adalah agama merupakan bentuk proyeksi

Page 156: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

148

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

manusia dalam mengatasi keberhinggaan ek-sistensialnya (totranscend the finitude of individual existence). Keberhing-gaaneksistensial dalam pemikiran Berger di sini adalah “situasimarjinal” yang merupakan suatu situasi yang berlangsungdi luar tatanan yang me-nentukan eksistensi rutin sehari-hari. Situasi ini merupakan apa yang disebut oleh Schutzsebagai “daerah-daerah makna yang terbatas” (the finite prov-inces of meaning). Apa yang menjadi hal yang mendasar darisituasi ini adalaah kecenderungan untuk mendorongterjadinya semacam diskonti-nuitas hubungan manusiadengan asumsi-asumsi dasar yang disebut realitas sosial yangmelandasari tatanan masyarakat. Oleh karenya, karakteristikkenyataan hidup sehari-hari yang diterima begitu saja sebagai“yang tertib dan tertata” akan “terganggu”. Problem inimuncul dan sangat penting dalam bangunan pemikiranBerger tentang dunia sosial yang sifatnya konstruktif, karenatitik-tolak kenyataan eksistensial manusia itu adalah pe-ngalamana yang dibentuk dalam kehidupan sehari-hari.Artinya, keber-adaan manusia sangat ditentukan oleh batas-batas historis dan makna yang ia terima selama ia menjalanikehidupan sehari-hari. Di sini lah makna tingginya tingkatanomitas dalam dunia sosial, dan di sini pulalah letak artipenting legitimasi universum simbolik agama

Hal ini karena fungsi sosial dari tatanan universumsimbolik agama ini adalah untuk mentransendir danmengintegrasikan manusia atas berbagai “batas-batas”realitas yang melingkupinya wilayah eksistensi hidupnya se-hari-hari. Sampai di sini, asosiasi Berger terhadap agamadengan problem keberhinggaan eksistensial ini, tentunya,menunjukkan suatu aspek yang paling mendasar dari caraberadanya manusia-di-dalam-dunia.

Page 157: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

149

1. Manusia Berada-di-dalam-Dunia

Pokok pemikiran Berger sendiri tentang keberadaanmanusia-di-dalam-dunia, sebagaimana yang telahditunjukkan dalam bab III, be-rangkat dari suatu pemahamantentang kedirian manusia yang tidak di-andaikan atas asumsisuatu substratum yang mendasari kodratnya. Berger, dalamkonteks penolakan atas pengandaian pada suatu substratumini, memberi dua kata kunci pemahaman tentang manusiadan dunia sosial dan pola hubungan antara keduanya. Duakata kunci tersebut adalah kedirian yang “belum selesai” danketerbukaan-dunia (world-openness).

Menurut Berger, manusia secara ontogenetis dilahirkandalam bentuk kedirian yang “belum selesai”. Keberadaannyadi-dunia, dengan demikian, merupakan proses untuk“menjadi manusia”. Manusia, dalam konteks ter-sebut, secaraterus-menerus melakukan proses eksternalisasi diri. Iaselama proses tersebut mencurahkan makna-makna ke dalamrealitas.

Sampai pada konteks tersebut, asumsi Berger inisesungguhnya ingin menunjukkan bahwa ciri hakiki darimanusia yang paling umum adalah “ada-dalam-dunia”.Diasumsikan, dalam konteks ini, bahwa “menjadi manusiasecara fundamental ber-arti mengada (to exist)” (Luijpen,1960: 18-19). Mengada berarti “keluar” (stand out) sebagaiyang unik dan khas yang selalu milik-ku dan yangmengekspresikan diri melalui kata-ganti personal “Aku”(Macquarrie, 1980: 17). Ini artinya, hidup sebagai manusiaberarti ke-luar dari immanensinya dan mengarah kepada yanglain (Ortega, 2000: 54). Ini artinya pula, kedirian manusiasangat ditentukan dalam konteks keter-libatannya dalamdunia. Ia menghadirkan dirinya hanya dalam kaitannya

Page 158: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

150

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

dengan dunia. Tidak ada cara berada manusia yang dapatdigambarkan tanpa keterkaitan dengan dunia (Ortega, 2000:55).

Sampai di sini, kemudian, “Ada-dalam”, sebagaimanadalam per-spektif Heideggerian, tidak diartikan sebagaimanabenda yang secara spasial menempati ruang. Benda-bendaitu ha-nya “vorhandenheit” (presence-at-hand), yakni hanyaterletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannyadengan orang itu. Benda-benda itu hanya berarti, jikalaudihubungkan dengan manusia. Sementara manusia jugaberdiri, akan tetapi ia mengambil tempat di tengah-tengahdunia sekitarnya. Ber-ada, dalam konteks ini, berartimenempati atau mengambil tempat, keluar dari dirinya, danberdiri di tengah-tengah segala “yang berada”. Oleh karenamanusia “berada-di-dalam-dunia”, maka ia dapat memberitempat kepada benda-benda yang di sekitarnya, ia dapatbertemu dengan benda-benda itu dan juga dengan manusia-manusia lain. Inilah yang di-maksud sebagai “keterlibatan”Dasein. “Ada-dalam” harus diartikan secara eksistensial, dandengan demikian dilihat bukan secara ontis tetapi ontologis.“Ada-dalam” adalah struktur Dasein, bukan suatu sifat yangsewaktu-waktu dapat ditanggalkan dari Dasein. Asumsi initampak sekali dalam ungkapan Heidegger sebagaimana yangterdapat dalam kutipan sebagai berikut:

“Being-in... is a state of Dasein’s being; it is an existentiale. Soone cannot think of it as the being-presence-at-hand of some corporealthing (such as human body) “in” a being which is presence-at-hand”(Heidegger, 1962: 365).

Dengan mengasumsikan karakter “keterlibatan” ini,maka eksistensi manusia menunjukkan suatu yang sadarakan dunia. Asumsi atas bentuk keterlibatan ini,

Page 159: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

151

sesungguhnya, tidak lepas dari kapasitas kesadaran yangdimiliki manusia. Kesadaran selalu dan mesti me-rupakankesadaran akan sesuatu, yakni tentang sesuatu yang bukanke-sadaran itu sendiri. Kesadaran, dengan demikian, secaraesensial ber-orientasi kepada sesuatu atau intensional(Luijpen, 1960: 20). Ini artinya, manusia yang berkesadaranadalah selalu dan mesti terlibat dalam suatu dunia, karenakesadaran bukan terkunci dalam dirinya.

Sampai pada konteks kapasitas kesadaran ini, sadarberarti sudah berada di luar diri sendiri. Subjek, dengandemikian, tidaklah dipahami se-bagai yang harus menerobos“wadah” dari kesadaran, karena kesadaran bukanlah suatuwadah. Lingkup kesadaran telah memasukkan yang lain(Gallagher, 1994: 45). Inilah yang merupakan ciri dariinteligibilitas kesadaran (Gallagher, 1994: 46).

Semua yang diungkapkan di atas, sesungguhnya, tidaklepas dari apa yang menjadi segi fungsional kesadaran yangintensional tersebut. Hal ini karena, melalui intensionalitassuatu kesadaran dimungkinkan data-data inderawi yangsemula cerai-berai menyatu sebagai objek yang tampil.Intensionalitas juga menyebabkan terjadinya identifikasi,yakni mengada-kan sintesis atas berbagai aspek, segi, dantahapan dari suatu objek. Inten-sionalitas selanjutnyamengadakan konstitusi, yakni menampilkan objek padakesadaran. Konstitusi inilah yang memungkinkan tampilnyarealitas (Karlina, 1994: 45). Namun demikian, konstitusibukan berarti kesadaran menciptakan dunia, tapi kesadaranada agar penampakan dunia dapat berlangsung. Kesadaranbukan semata-mata cermin atas apa yang ber-langsung diluarnya, tetapi suatu aktivitas. Tidak ada dunia-pada-dirinyayang lepas dari kesadaran (Karlina, 1994: 45).

Page 160: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

152

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Asumsi di atas, dengan demikian, menunjukkan bahwatidak ada selubung yang memisahkan subjek dengan objek.Realitas tampil pada kesadaran. Hal ini dapat terjadi karenakodrat kesadaran adalah terarah pada realitas. Ini artinya, tidakada sesungguhnya apa yang disebut de-ngan dunia ontologisyang terpilah dari subjek. Tidak ada pula suatu subjektivitasmurni yang lepas dari dunia. “Keterlibatan”, dengandemikian, merupakan cara berada manusia-di-dalam-dunia(Karlina, 1994: 42).

Posisi cara mengada manusia-di-dalam-dunia yangdemikian juga terrefleksi pada posisi tubuh manusia.Menurut Merleau-Ponty, tubuh sebagai wahana dari caramanusia-berada-dalam-dunia, yang disebutnya etre-au-monde.Kebertubuhan-ku menunjukkan bahwa aku dan dunia-kusaling terlibat dan terus-menerus aku terlibat denganlingkungan dunia yang ter-batas. Aku sadar akan tubuhkumelalui dunia, dan tubuhku itu menjadi poros dari dunia. Halini karena aku mengenali objek-objek sekitarku seba-gaisesuatu yang bersegi-segi. Aku juga memeriksa dari segi-ke-segi se-hingga dengan cara itu aku menyadari duniakudengan perantaraan tubuhku. Tubuhku adalah subjek, karenamerupakan suatu cara meman-dang dunia dan suatu caradimana sikap-sikap subjektifku aku kenali sendiri. Melaluitubuh itu, aku mengungkapkan eksistensiku, karena akudikenal sebagai subjek melalui tubuhku. Tubuh-kumengekspresikan aku, tetapi juga sebaliknya, tubuhku ituaku ekspresikan. Tubuhku adalah subjek, juga karena melaluitubuh aku memberi makna dan bentuk pada objek-objek.Tubuhku, dengan demikian, adalah subjek karena melaluitubuh itu aku mengada-di-dunia. Suatu subjek murni tanpatubuh bukan hanya mengerikan tetapi juga tidak mungkin

Page 161: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

153

karena aku menyadari diriku melaluinya (Merleau-Ponty,1962: 98-199).

Menurut Merleau-Ponty juga, berada-dalam-dunia (etre-au-monde) sebagai cara mengadaku di dunia mengandungparadoks. Artinya, bila aku bergerak ke arah dunia, akumengubur intensi-intensi praktis dan per-septual ke dalamobjek-objek. Namun demikian, pada saat yang bersa-maan,objek-objek ini pada akhirnya menampakkan diri mendahuluidan bersifat eksternal terhadap intensi-intensi tersebut.Objek-objek itu ada bagiku hanya sejauh menimbulkanpemikiran-pemikiran dan kehendak-kehendak di dalam diri-ku. Manusia dan dunianya, dalam arti ini, ada dalam kesatuanasali yang berketegangan secara dialektis (Bertens, 1996:139).

Tubuh, dalam konteks ini, tidak lagi hanya dipahamisebagai partes extra partes atau objek, melainkan sebagaikemungkinan bagi manusia untuk berkomunikasi dengandunia. Semen-tara di pihak lain, dunia itu sendiri tidak lagidipahami sebagai kumpulan objek-objek tertentu, me-lainkansebagai suatu cakrawala yang tersembunyi di dalam seluruhpe-ngalaman manusia karena senantiasa mendahului setiappemikiran tertentu (Hardiman, 1988: 288).

Pada konteks inilah, Merleau-Ponty bermaksudmenunjukkan bahwa eksistensi manusia bukanlah eksistensipada dirinya sendiri dan juga bukan kesadaran murni.Manusia bukanlah badan berjiwa atau jiwa berbadan,melainkan badan yang menjiwa dan jiwa yang membadan,dan dengan cara ini manusia itu mendunia (Hardiman, 1988:350). Oleh karenanya, jika subjektivitas dianggap sebagaiketerarahan kepada yang lain, maka tentu-nya bentukhubungan antara subjek dan dunia selalu bersifat dialektis.

Page 162: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

154

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Subjektivitas dan dunia adalah korelatif; yang satumengandaikan yang lain. Subjektivitas terarah kepada duniadan dunia tampak bagi subjektivitas.

Sampai di sini, “keterlibatan” dengan demikian jugamenandaskan adanya “keterbukaan-dunia” bagi manusia.Keterbukaan menjadi khas manusiawi karena manusiamemiliki tiga komponen penting, yakni ke-pekaan(befindlichkeit), mengerti (verstehen), dan berbicara (rede).Kepe-kaan di sini menunjukkan aspek emosi dan perasaanyang dimiliki manusia dalam menanggapi lingkungannya,sementara mengerti menunjukkan bahwa manusia hidupdalam suatu kesadaran akan “berada”nya. Ada-pun berbicaramenunjukkan cara manusia mengungkapkan dirinya kepa-da yang lain.

Sampai di sini, mengada dengan demikian tidak berartihanya ada dalam dunia, tetapi juga ada “pada” (at) dunia.Unsur “pada” menunjuk-kan suatu jenis karakter yangdinamis (Luijpen, 1960: 39). Oleh karenanya, denganmengatakan bahwa eksistensi manusia merupakan ada-”pada”-dunia menunjukkan maksud bahwa dia tidak samasekali tidak bergerak dalam dunia (Luijpen, 1960: 40).

Jika kerangka analisis ini dihadapkan pada asumsi Bergertentang posisi manusia dalam dunia sosial, maka posisipemikiran Berger menunjuk-kan kecenderungan untukmenekankan aspek “eksistensi”. Ungkapan ini dengan katalain sebagaimana dikatakan oleh Sartre bahwa “existence comesbefore essense” (Sartre, 1948: 26).

Sartre dalam konteks ini menyatakan sebagai berikut:

Tidak ada kodrat manusia yang bisa dipandang sebagai asasi.Manusia tidak lain dari apa yang dia tuju. Dia ada sejauh diamenyadari dirinya. Manusia dengan demikian itu bukan apa-apa

Page 163: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

155

kecuali jumlah perbuatan-perbuatannya. Bukan apa-apa kecualibagaimana hidupnya (Sartre, 1948: 50).

Apa yang tampak jelas dalam kutipan ini adalah tekanankepada inti kehidupan manusia dan pengalamannya, yakniterhadap kesada-rannya yang langsung dan subjektif(Copleston, 1973: 15).

Kerangka-pikir ini tentunya sangat berkesesuaiandengan perkemba-ngan paradigma pemikiran filsafat Baratdi akhir abad ke-19, atau lebih-lebih pada pertengahan abadke-20 yang telah mengalami pergeseran yang fundamental.Pergeseraan paradigma yang cukup penting dan relevan yangdimaksud adalah pergeseran pendulum “idealis” ke arah“historis” dan pendulum “esensi” ke arah “eksistensi” (M.Amin Abdullah, 1996: 6).

Fenomena ini bisa diilustrasikan dalam suatu titikberangkat ungka-pan Marx “the ideal is nothing else than thematerial world reflected by human mind and translated in formsof thought” (Marx, 1986: 11). Tekanan pada aspek“materialitas” manusia yang pada dasarnya merupakan reaksiterhdap pandangan Hegel, kemudian mendapatkan artikulasiyang lebih human melalui pemahaman eksistensialismetentang “eksistensi manusia”.

Sampai di sini, posisi dunia yang menjadi tempat manusiaberada, kemudian, juga bermakna eksistensial karenamenjadi tempat seseorang menjalani kehidupannya. Artinya,dunia adalah sekitaku yang tidak berada di sana begitu saja,tetapi dipengaruhi dan mempengaruhi aku (Karlina, 1994:63-64).

Dalam konteks inilah bisa dipahami ketika Bergermengapreasiasi model dialektika dalam cara manusia secarasimultan menghasilkan dan dihasilkan oleh masyarakat, dan

Page 164: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

156

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

menekankan dunia yang dikonstruksi se-cara sosial. Namundemikian, sebagaimana yang diungkapkan oleh David Horrelldalam tulisannya Converging Ideologies: Berger and Luckmannand the Pastoral Epistles, tekanan Berger yang begitu kuat ataskualitas dunia sosial yang bersifat objektif, eksternal, danditerima begitu saja, justru me-ngaburkan pada tingkat manatatanan sosial itu secara terus-menerus direproduksi dalamdan melalui aktivitas subjek manusia. Kekaburan ini,tentunya, telah mengabaikan hubungan penting antaratransformasi dan reproduksi, yang justru merupakan jantungdialektika di tingkat sosiologis untuk perubahan so-sial(Horrell, 1993: 90).

Asumsi ini dikemukakan oleh Horrel berdasarkanilustrasi Berger ten-tang objektivitas dunia sosial itu denganmengacu pada bahasa. Persa-maan ini, karena bahasamemiliki aturan yang sudah diberikan secara objektif (Berger,1969: 12). Padahal, sebagaimana yang diungkapkan olehGiddens, bahwa setiap penggunaan bahasa disampingmempergunakan aturan-aturan dari bahasa itu, pada saatyang sama juga mereproduksi aturan-aturannya (Giddens,1976: 103-104, 118-129, 161). Oleh karenanya, dalam setiaptindakan transformasi selalu ada kemungkinan akan repro-duksi (Giddens, 1976: 128). Bahasa, seperti masyarakat, tidaksemata-mata diberikan secara objektif, tetapi dihasilkankembali dan ditransformasikan dalam dan melalui aktivitasyang terus menerus. Giddens mengungkapkan hal ini sebagaiberikut:

“Every act which contributes to the reproduction of a structure isalso an act of production, a novel enterprise, and as such may initiatechange by altering that structure at same time as it re-produces it — asthe meanings of words change in and through their use” (Giddens,1976: 128).

Page 165: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

157

Sampai pada konteks ini, ilustrasi Berger tentangobjektivitas dunia sosial di atas, dianggap oleh Horrel,cenderung menggambarkan posisi sosiologi Berger yang prostatus qou (Bandingkan dengan Gill, 1988: 256-269).

Kritik Horrel di atas, pada batas-batas tertentu, bisaditerima sebagai titik krusial dalam pemikiran Berger. Namundemikian, jika memperhatikan pembahasan Berger mengenaikaitan universum simbolik agama dengan proses sekularisasidalam dunia modern akan tampak di sana perspektif yangcukup menggugurkan asumsi Horrel di atas. Transformasidan reproduksi, dalam bahasan tersebut, terjadi di tingkatproses-proses sosial itu sendiri, yakni ketika strukturkemasuk-akalan dunia mengalami keruntuhan dihadapankondisi-kondisi sosial yang diakibatkan aktivitas-aktivitassosial dalam masyarakat itu sendiri.

Yang perlu ditegaskan di sini mengapa Berger cenderungsangat menekankan arti penting dunia sosial objektif danlegitimasi yang mengi-ringinya karena menyangkut“ketidakstabilan” hubungan manusia denganlingkungannya. Hal ini tidak lepas dari kondisi ontogenetismanusia yang “belum selesai”. Oleh karenanya, organismemanusia tidak memiliki sarana yang diperlukan untukmemberi stabilisasi bagi perilaku manusia. Eksistensimanusia, dengan demikian, merupakan eksistensi dalamkeadaan khaos jika sumber-sumber kestabilan itu dicari padakapasitas organisme manusia itu sendiri. Dalam konteksinilah manusia selalu lebih dulu mengandaikan struktursosial yang bersifat stabil.

Untuk selanjutnya, hal yang dapat diterima dari kritikatas pemikiran Berger adalah asumsi-asumsi Berger tentangkonstruksi dunia sosial, seba-gaimana yang diungkapkan

Page 166: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

158

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Horrel melalui kritik Giddens, yang tidak mempertimbangkanproblem ideologi dan kepentingan (Horrel, 1993: 92). Tidakada, dengan kata lain, pertimbangan yang memadai tentangdimensi ideologis dalam proses konstruksi realitas sosial:kepentingan siapa-kah yang diberikan oleh tatanan sosial danbagaimana ketidakadilan dan eksploitasi bersembunyi secara“alamiah” dalam konstruksi realitas sema-cam itu? (Horrel,1993: 92). Oleh karena itulah benar sekali penilaian yangmenandaskan bahwa Berger, dalam konteks ini hanyaberusaha meng-analisa kenyataan sosial sebagaimana adanya,tanpa memberikan penilai-an etis atau politis (Sastrapratedja,1992: xiii). Itulah point kelemahan pemikiran Berger yangcukup mendasar tentang konstruksi dunia sosial.

2. Batas Eksistensial Manusia

Kembali kepada persoalan cara manusia mengada-dalam-dunia, pengalaman yang dibangun oleh manusia akandunia tadi dipahami juga bersifat eksistensial dan mendalam.“Eksis-tensial” dalam arti bahwa pe-ngalaman itumenyangkut keber-adaan-ku sendiri. “Mendalam”, dalamrangka pengalaman macam ini, berarti bahwa dunia dialamisampai pada batas-batasnya. Sampai pada batas waktu, batasruang, batas alam vital yaitu maut.

Menurut Jaspers, adanya “situasi batas” (grenzsituation)ini menunjuk-kan bahwa manusia tidak pernah lepas darisituasi-situasi tertentu. Hidup dan bertindak sebagai manusiaberarti mengubah dan menciptakan situasi-situasi. Namundemikian, betapapun besarnya perubahan-perubahan yangsaya jalankan dengan aktivitas saya, selalu tinggal bahwa sayaterikat pada situasi-situasi itu (Hoffman, 1957: 106).

Adapun dalam konteks pemikiran Berger, “situasi batas”tersebut dipahami menurut alur pemikiran Schutz, yaitu

Page 167: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

159

“daerah-daerah makna terbatas” (the finite provinces of mean-ing) yang dibangun akibat peng-golongan makna dalamproses tipefikasi yang mendasari eksistensi sosial manusiadalam kehidupan sehari-hari.

Tipefikasi di sini merupakan penyusunan danpembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku untukmemudahkan pengertian dan tingkah laku dalam interaksisehari-hari antar individu. Tipe-tipe pengertian dan tingkahlaku ini mengandung cara pandang dan bentuk tingkah lakuyang relatif sama dalam kelompoknya. Penyusunan danpembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku inidilakukan karena makna dasar pengertian manusia dalaminteraksinya sehari-hari adalah pengetahuan akal sehat (com-mon sense knowledge) yang terbentuk dalam bahasa percakapansehari-hari. Namun demikian, sebagaimana oleh Schutzmaksudkan, bahwa tipefikasi ini tidak hanya menyangkutpandangan dan tingkah laku, tetapi juga menyangkutpembentukan makna (Schutz, 1970: 252-253).

Persoalan tentang “daerah-daerah makna terbatas” (thefinite provinces of meaning), dalam konteks pembentukanmakna inilah, yang dimaksudkan oleh Schutz bertempat, dan“keberhinggaan eksistensial” (the finitude of individual exist-ence) yang dimaksudkan oleh Berger bertempat. Hal ini karenapenggolongan makna dalam berbagai tipe ini pada akhirnyamengakibatkan perbedaan masing-masing daerah makna,karena masing-masing mempunyai gaya kognitif (cognitivestyle) yang berbeda kepada kenyataan (Schutz, 1970: 253-254).

Adapun penggolongan makna ini menciptakan semacam“keber-hinggaan eksistensial” dalam eksistensi sosialkehidupan manusia sehari-hari, sebagaimana yang

Page 168: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

160

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

dimaksudkan oleh Berger, karena kenyataan hidup seharitidak hanya terdiri dari fenomena-fenomena yang memilikimakna yang ditentukan oleh eksistensi kehidupan sehari-hari itu sendiri yang me-miliki tingkat subjektivitas yangtinggi, tapi juga fenomena-fenomena yang berada di luarketentuan tersebut. Inilah sebabnya, “wilayah-wilayah maknaterbatas” dalam pemikiran Berger dipahami sebagai wilayahmakna yang dikarakterisasikan oleh pembelokan perhatiandari ketentuan yang menentukan eksistensi kenyataan hidupsehari-hari (Berger & Luckmann, 1967: 25).

Pentingnya untuk memahami persoalan tentang situasiyang disebut sebagai “daerah-daerah makna terbatas” di sini,karena daerah-daerah ini memungkinkan munculnyadiskonti-nuitas hubungan manusia dengan asumsi-asumsidasar yang melandasi tatanan masyarakat. Akibatnya, akanmenggoyahkan kenyataan masyarakat yang dibangun secarasosial dalam kehidupan sehari-hari.

Pada saat-saat “pengalaman-batas” itulah manusiamembutuhkan suatu transendensi-diri. Seseorang, dengansampai pada batas dunia ini, seolah-olah menyentuh apa yangterletak di seberang batas itu, yang tidak duniawi lagi sifatnya.Itulah sebabnya, menurut Jaspers, “situasi batas” ini menjadijalan menuju pengalaman tentang “transendensi” (Bertens,1981: 135).

Transendensi-diri itu sendiri, dengan demikian,sesungguhnya meru-pakan kebutuhan dasar manusiaberada-dalam-dunia. Namun demikian, manusia sendiri sajatidaklah total untuk melakukan proses transendensi tersebut,ia sangat memerlukan “Yang Lain” sebagai tujuantransendensi tersebut. Oleh karena transendensi ini terdapatdalam dimensi yang sangat dasar dari pengalaman agama,

Page 169: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

161

maka agama sangatlah esensial bagi ma-nusia (Geisler &Corduan, 1988: 39).

Bisa dipahami, dalam konteks ini, ketika Van der Leeuwmendifinisikan agama sebagai:

“Perluasan kehidupan sampai batas-batas yang paling jauh.Manusia religius ingin suatu kehidupan yang lebih kaya, lebih dalamdan lebih luas; ia menginginkan kuasa untuk dirinya. Dengan katalain, manusia mencari di dalam dan pada kehidupan suatu keunggulan(Uberlegenheit) agar ia dapat menggunakan atau agar ia dapatmemujanya” (Van der Leeuw, 1967: 112).

Asumsi ini ditekankan karena menyangkut karakterkedirian manusia, yang oleh Van der Leeuw, dianggap masihselalu dalam proses “menjadi”. Manusia, singkatnya,merupakan mahluk yang “belum selesai”. Manusia, dalamhal ini, menerima kehidupan tidak begitu saja. Ia mencarikuasa untuk meningkatkan kehidupannya, untuk memberimakna yang lebih luas dan dalam pada kehidupannya (Vander Leeuw, 1967: 150). Pencarian ma-nusia akan kuasa initidak hanya membawanya sampai ke batas, tetapi manusiatahu juga bahwa ia sampai ke daerah asing. Manusia sadarbahwa ada sesuatu yang menyambutnya, sesuatu “Yang-Mutlak-Lain” ((Van der Leeuw, 1967: 160).

Di sinilah bisa dipahami tentang asumsi Berger yangmengasumsikan bahwa agama merupakan proyeksi manusiadalam mengatasi keberhing-gaan eksistensialnya. Hal inikarena proyeksi dalam konteks universum simbolik semakinmenyempurnakan segala bentuk proyeksi manusiawi. Inisemua disebabkan oleh titik tolak nya adalah kosmos yangmengatasi manusia. Oleh karena itulah, ketika agama menjadibasis proyeksi tersebut, maka proyeksi itu akan mendapatkantitik-purna yang lebih jauh, karena agama mampu

Page 170: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

162

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

memberikan apa yang disebut oleh Paul Tillich the universalultimate concern. Agama, dengan demikian, sebagaimanaEliade ungkap-kan juga, merupakan solusi paradigmatik bagisetiap krisis eksistensial. Hal ini mengingat, agama dipercayamempu membawa ke asal-usul yang tran-senden, sehinggamemungkinkan manusia mentransedensikan situasi perso-nal dan akhirnya memperoleh akses dengan dunia lain.Simbol-simbol umat beragama memungkinkan untuk“membuka” semes-ta baginya (Eliade, 1957: 210-211).

Agama dalam konteks ini menjadi suatu konstantadalam penga-laman manusia. Ia bergumul di antara kategori-kategori manusia yang terhingga yang cenderung untukmembatasinya, juga dengan keterbuka-annya terhadaptransendensi yang cenderung melampauinya. Itulahsebabnya agama menjadi sangat eksistensial dan sangatpribadi. Agama karena karakteristiknya yang sangateksistensial inilah mampu mengikat komitmen pribadi secaratotal dari manusia. Agama akhirnya tidak hanya menjadi soal“percaya” (to believe) melainkan soal “mempercayakan-diri(to trush). Agama, dalam konteks inilah, menjadi kebutuhandasar manusia, karena ia menjadi sarana untuk pertahananeksistensial manusia atas akti-vitasnya dalam dunia (Mc In-ner, 1990: 83-85).

3. Proyeksi manusia dan AgamaSampai pada alur penjelasan di atas inilah, “proyeksi”

selalu menjadi titik-acuan bagi kajian empiris terhadap agama.Titik-acuan ini sangat di-tekankan karena bagimanapunkajian sosiologi merupakan kajian yang sifatnya empiris yangberada di luar kategori teologis ataupun etis. Kajian empiristerhadap agama, dengan demikian, harus mencerminkan apayang disebut Berger sebagai “ateisme metodologis”. Secara

Page 171: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

163

lebih jauh Berger menegaskan titik-tolak metodologis kajianempiris agama sebagai berikut:

“... teori sosiologis (dan, bahkan, suatu teori lain yang bergerakdi dalam kerangka kerja disiplin-disiplin empiris) akan selalu meman-dang agama sebagai sub species temporis, dengan demikian mem-biarkan secara terbuka pertanyaan apakah, dan bagaimana, aga-mabisa juga dipandang sub specie aeternitatis. Maka teori sosiologiharus, menurut logikanya sendiri, memandang agama sebagai suatuproyeksi manusiawi, dan dengan logika yang sama tidak mempunyaiapapun guna dikatakan mengenai kemungkinan bahwa proyeksi inimungkin merujuk kepada sesuatu yang lain dari kedirian manusiaproyektornya” (Berger, 1969: 180).

Sampai pada level penjelasan ini, problem realitas agamadalam konteks kajian empiris menemui titik krusial. Agama,dengan bertitik tolak pada pemahaman dari suatu proyeksimanusia, cenderung dipandang semata-mata “proyeksimanusiawi”. Artinya, ada suatu kecenderungan yang sangatkuat untuk mengasosiasikan agama sebagai bentuk proyeksisemata.

Hal ini bisa dilihat pada tokoh-tokoh seperti Marx,Feuerbach, Freud yang cenderung untuk menekankan aspekproyeksi sebagai substansi agama. Kenyataan ini bisa dilihatpada ungkapan Marx terhadap realitas agama sebagai berikut:

“Religious distress is at the same time the expression of realdistress and the protest against real distress. Religion is the sign of theoppressed creature, the heart of a hearthless world, just as it is the spiritof a spiritless situation. It is the opium of the people … The abolitionof religion as the illusory happiness of the people is required for theirreal happines. The demand to give up the illusion about its condition isthe demand to give up a condition which needs illusions”(Marx, 1955: 42).

Page 172: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

164

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Agama, dalam bahasa ekstrem Feuerbach, tidak lebihdaripada pro-yeksi hakikat manusia. Namun kemudianmanusia lupa bahwa proyeksi itu adalah dirinya sendiri. Olehkarenanya, “bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapisebaliknya Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia”(Magnis-Suseno, 1999: 68).

Implikasi definisi agama yang demikian cenderung untukmeman-dang agama sebagai suatu mekanisme kompensasidan produk tatanan sosial yang destruktif (Hill, 1985: 105).Konteks asumsi demikian inilah yang menyebabkanpandangan-pandangan Marx dan Feuerbach tentang agamacenderung bersifat pejoratif.

Berger sendiri, walaupun meletakkan aspek proyeksisebagai titik-tolak kajian agamanya, namun ia menolakimplikasi bahwa agama dapat dilihat semata-mata sebagai“efek” atau “refleksi” proses-proses sosial. Bagi Berger,“aktivitas manusia yang memproduksi masyarakat juga yangmemproduksi agama berhubungan secara dialektis”. Olehkarenanya, mungkin saja terjadi bahwa dalam suatuperkembangan historis tertentu, suatu proses sosial adalahakibat dari ideasi keagamaan, sementara dalam perkembanganlain justru terjadi adalah kebalikannya. Artinya, implikasikeakaran agama dalam aktivitas manusia itu tidak dalam halbahwa agama itu selalu merupakan suatu variabelketergantungan dalam sejarah suatu masyarakat, tetapisebaliknya agama memperoleh realitas objektif dansubjektifnya dari manusia, yang memproduksi danmereproduksi agama dalam kehidupan mereka berkelanjutan(Berger, 1969: 47).

Berger, dengan menekankan aspek agama yang tidaksemata-mata “efek” atau “refleksi”, sesungguhnya dengan

Page 173: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

165

sendirinya menandas suatu realitas agama yang mengatasifenomena manusiawi. Berger, dalam kon-teks inilah,memasuki wilayah substansi agama (Baum, 1980: 29-30).Maka dengan mendifinisikan agama melalui kerangkasubstantif “sakral”, agama tidak hanya dirujukkan sebagaisuatu “produk manusia” yang dibuat dari bahan-bahan yangmanusiawi tapi juga non-manusiawi (Ahern, 1995: 25). Olehkarena itulah, bagi Berger agama sesungguhnya tidak semata-mata sebagai “kanopi” yang melindungi, tapi juga “kanopiiyang sakral”. Inilah yang membedakan Berger. Penegasanperbedaan ini tampak sekali dalam kutipan berikut:

“Saya mempertanyakan kemanfaatan suatu definisi yangmenyama-kan agama dengan tout courty manusia. Adalah satuhal untuk me-nunjuk dasar-dasar antropologis keagamaan dalamkapasitas manu-sia terhadap transendensi diri, dan hal lain lagi jikamenyamakan ke-duanya. Bagaimanapun, terdapat cara-caratransendensi-diri dan semesta-semesta simbolik, yang mengiringinyayang sangat berbeda satu sama lain, apapun identitasnya asal-usulantropologis mereka. Itulah pendapat saya, tidak ada keuntungannyakalau mengatakan, bahwa sains modern adalah suatu bentuk agama...Saya kira lebih berguna kalau mencoba mengadakan suatu definisiagama sub-stantif dari permulaan, dan memperlakukan akarantropologis dan fungsionalitas sosialnya sebagai masalah-masalah yangberbeda” (Berger, 1969: 177).

Sampai pada konteks ini, Berger sesungguhnya tidaklahsendirian dalam memberi kualitas tertentu pada agama.Durkheim dalam bukunya Elementary Forms of the ReligiousLife juga memakai kerangka yang sama, tetapi cenderungmenekankan aspek fungsionalitas sebagai kerangka sub-stantif agama. Dalam hal ini, ketika Durkheim berbicaratentang “yang sakral” dan “yang profan” selalu berada dalamkonteks persoalan masyarakat dan kebutuhan-

Page 174: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

166

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

kebutuhannya. Artinya, “yang sakral” bagi dia merupakansesuatu yang bersifat sosial, yakni yang berhubungan denganclan (marga), sementara “yang profan” adalah lawannya,yakni yang berhubungan dengan individu. Bagi Durkheim,simbol-simbol dan ritual-ritual yang sakral sepertinyamenunjukkan yang supranatural, akan tetapi sesungguhnyasemua itu hanya penampakan luarnya saja. Tujuan simboldan ritual adalah semata-mata untuk membuat orang sadartentang tugas-tugas sosial mereka denganmensimbolisasikan clan sebagai Dewa Totem mereka (Pals,1996: 164).

Berger sendiri, dalam konteks ini, lebih condong untukmengikuti jejak Rodulf Otto dan Mircea Eliade untukmenekan aspek “yang sakral” sebagai kategori yang khas padaagama. Hal ini karena “yang sakral” bagi kedua tokoh inimenyangkut persoalan agama. Bagi Eliade misalnya, agamamenempatkan “yang sakral” dalam dan pada dirinya, danbukan semata-mata sebagai suatu cara untukmenggambarkan yang sosial. Dia me-mahaminya sebagaikepercayaan terhadap wilayah supra-natural. Semen-tara Ottomenggunakan kata ini untuk menggambarkan jenispengalaman individu manusia dalam menjumpai sesuatuyang luar biasa (Pals, 1996: 165).

Berger, dengan menunjukkan apresiasi yang empatikterhadap aga-ma tersebut, menunjukkan suatukecenderungan dalam arah Religionswissenschaft di awal abadke-20. Kecenderungan itu ditandai oleh kesadaran tentangkondisi konkret dan unik setiap manifestasi sejarah. Asumsiini bisa dilihat pada pendapat Mircea Eliade sebagai berikut:

“Hampir tanpa mengetahuinya, sejarawan agama-agamamenemu-kan dirinya dalam lingkungan budaya yang sangat berbeda

Page 175: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

167

dari situasi Max Muller dan Tylor atau bahkan Frazer dan Marret.Situasi baru ini adalah situasi yang diwarnai oleh Nietzsche danMarx, Dilthey, Croce, Ortega; suatu situasi dimana semboyannyabukan Alam tetapi Sejarah (Eliade, 1964: 166).

Ini artinya, ada upaya yang tampak jelas sekali dalambangunan sosiologi Berger untuk melihat agama dalamperspektif yang lebih empatik untuk mempertimbangkanaspek-aspek yang konkret dari agama. Ini, tentu-nya,menunujukkan gambaran langkah maju dalam kajianterhadap agama di bidang sosiologi.

B.Agama dan Struktur Pengalaman Manusia1. Pengalaman Agama dan Realitas “Yang Kudus”

Sampai pada pembahasan kualitas agama sebagai “yangsakral” di atas, tentunya, sangat menyangkut persoalan polastruktur pengalaman manusia dalam mengalami danmemaknai kehadiran agama dalam realitas pengalamannyasendiri. Apalagi, sebagaimana pendapat banyak ahli yangmenegaskan bahwa persoalan agama adalah tidak semata-mata intelektual tapi lebih pada pengalaman itu sendiri(Geisler & Corduan, 1988: 13).

Sampai di sini, pada dasarnya setiap pengalaman,termasuk pengalaman agama adalah “pertemuan” yangbersifat konatif, yaitu penga-laman yang ada secara langsungdan murni. Seseorang, dalam penga-laman itu, mengalamipertemuan deng-an “yang lain”. Pengalaman ini, bersifatlangsung dan murni, dan terjadi pada taraf tidak sadar. Artinyaseseorang belum menyadari adanya, karena setiappengalaman konatif berlangsung tanpa kata.

Ketika seseorang mulai menyadari, dan mulai berbicaramengenai pengalaman tersebut, masuklah seseorang dari

Page 176: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

168

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

“aspek konatif” kepada “bahasa yang bersifat reflektif, yaknipengalaman yang sudah diabstraksi ke dalam pola-pola datainderawi. Begitu juga yang terjadi dalam setiap pengalamanagama. Adapun setiap renungan tentang pengalaman aga-ma, sesungguhnya selalu juga berlangsung dari pengalamanyang bersifat konatif ini. Artinya pengalaman konatifdiusahakan untuk dikenali secara intelektual dari suatu si-lent experience (pengalaman diam) kepada suatu spatio-tem-poral pattern experience (bentuk-bentuk pengalaman yangbersifat ruang-waktu) yang bisa terjadi dalam berbagaikonteks yang tak terbatas.

Kata “pengalaman” di sini, tentunya, tidak diartikansecara inderawi seperti pengalaman empiris dalam sains. Halini dikarenakan kata “penga-laman” di sini, lebih mengacukepada suatu pertemuan dan kegiatan antara subjek danobjek: suatu pengalaman yang nantinya akan mem-bawaseseorang kepada kebersamaan. Pengalaman agama, dalamarti ini, sebenarnya merupakan sebuah pengalaman yangtidak terungkapkan. Namun demikian, karena ada yangdisebut “bahasa agama”, yaitu bahasa yang ada dalam kitabsuci, dalam praktek-praktek ibadah, ungkapan-ungkapanyang muncul dalam proses internalisasi, objektivasi, dansosia-lisasi, maka pengalaman agama menjadi sesuatu yangbisa direnungkan. Berger, dalam konteks inilah,merumuskan tiga kategori agama, yakni agama sebagaipengalaman, refleksi, dan tradisi (Berger, 1979: 50). Adapuntitik berangkat bagi pengembangan agama itu sendiri danpengem-bangannya adalah dunia pengalaman intersubjektifsehari-hari yang bersifat pra-reflektif.

Sampai pada konteks ini, jika gambaran tentangpengalaman tadi dikaitkan dengan pengalaman agama, makapengalaman tersebut boleh dikatakan merupakan suatu

Page 177: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

169

“shock” yang disebab oleh “Yang Maha-Lain”. Yang Maha-Lain ini sering kali diistilah dengan “suci”, “kudus”,“keramat”. Semua ini, tentunya, merupakan pengalamanyang terjadi dalam “ruang bagian dalam” (inner space)manusia.

Otto menjelaskan bahwa dalam “ruang bagian dalam”itu ada suatu struktur a priori terhadap sesuatu yang irasional.Struktur ini persis seba-gaimana struktur a priori terhadaprasionalitas manusia sebagaimana yang dikemukakan olehKant dalam filsafatnya mengenai akal-budi manusia. Strukturtersebut, menurut Otto, terletak dalam “perasaaan hati”.Salah satu struktur apriori yang irasional yang merupakanperlengkapan jiwa manusia ini adalah “kesadaran beragama”(sensus religiosus). Jika setiap kesadaran bersifat intensional,maka kesadaran beragama pun bersifat demikian. Manusiadalam kesadaran beragama keluar dari dirinya sendiri menujuTuhan. Kesadaran beragama, dengan demikian, adalahkesadaran akan “Yang Kudus”. Ini artinya, kesadaranberagama adalah bentuk kepekaan kepada “Yang Kudus”.Sensus religius membuat manusia me-ngalami hal-hal yangsifatnya duniawi sebagai petunjuk dari hal-hal “Yang Ilahi”.Pengalaman inilah yang menyediakan bahan untuk“mengisi” gagasan “Allah” yang menurut Kant semata-mataformal. Artinya, Ia dirumuskan begitu saja, dan manusiamelalui ini secara intuitif dan afektif mampu meli-hat misteri“Yang Ilahi” melalui penampakan simbol-simbol duniawi(Otto, 1958: 143-148).

Oleh karenanya ada benarnya pendapat Van der Leeuwyang menyatakan bahwa agama merupakan “keterkaitanmanusia dengan sesuatu yang lain, yang bukan manusiawi”.Begitu juga ada benarnya pula pendapat Eliade yangmenyatakan bahwa agama pada dasarnya adalah pertemuan

Page 178: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

170

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

manusia dengan Yang Suci. Posisi inilah yang mendasarkanEliade untuk menekankan bahwa inti agama sebagaidialektika antara yang sakral dan yang profan. Asumsi iniditekankan karena bagi seorang beragama, dunia penuhdengan hierofani-hierofani. Itu berarti bahwa bagi seorangberagama “yang kudus” menampakkan diri dalam simbok-simbol duniawi (Eliade, 1958: 1-4).

Eliade, dengan asumsi seperti ini, ingin menegaskanbahwa manusia beragama selalu berusaha hidup dalam duniayang sakral atau di tengah-tengah simbol-simbol yang telahdisakralkan. Hal ini bagi dia sama dengan masalah to be ornot to be. “Yang Sakral” itu merupakan kekuatan bagi dia.Yang Sakral itu sebenarnya sama dengan syarat untuk berada.Per-tentangan antara “yang sakral” dan “yang profan” itubagi dia bisa disetarafkan dengan “real” dan “tidak real”. Usahahidup beragama, dengan demikian, sama saja dengan usaha“berada”, mengambil bagian dalam realitas, melengkapi diridengan kekuatan (Bertens, 1992: 48).

Dari semua struktur pengalaman keagamaan tersebut,secara feno-menologis, cenderung untuk menciptakanperasaan “ketergantungan yang total”. Itulah sebabnyaSchleiermacher menggambarkan pengalaman agama sebagai“perasaan ketergantungan mutlak” (feeling of absolute depen-dence) (Otto, 1958: 9). Perasaan ini muncul karena manusiaterhadap “yang kudus” mengalami suatu perasaan misteriumtremendum (mena-kutkan) dan misterium fascinosum(mempesona). Kedua perasaan tersebut dapat dialamimanusia sampai puncaknya yang paling tinggi, yakni keada-an ekstase dalam pengalaman mistik. Itulah yang disebutoleh Otto sebagai struktur dari Numinous (Otto, 1958: 12-13).

Page 179: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

171

Perasaan yang bertentangan itu ditimbulkan oleh sifat-sifat Numi-nosum yang merupakan objek perasaan-perasaanmanusia. Objek perasa-an religius itu sendiri, sebagaimysterium tremendum et fascinans, terdiri atas dua kutub yangdialami serentak. Di satu pihak, objek yang numineus itudialami sebagai bersifat tak terhampiri, dahsyat, murka,cemburu. Ia dialami manusia sebagai mahakuasa dan maha-mulia. Sesuai dengan sifat-sifat ini, manusia merasa dirinyasebagai “mahluk”, merasa dirinya sebagai ciptaan saja. Crea-ture-consciousness ini merupakan pantulan subjektif dari sifatmaiestas atau overpoweringness yang dimiliki oleh objekpengalaman ber-agama itu. Di pihak lain, misteri ilahi itujuga menarik bagi manusia: menawan, memikat sertamenyenangkan hatinya. Yang Ilahi menjadi dialami sebagaisuatu misteri yang menentramkan hati manusia yang gelisah(Otto, 1958: 19-24). Inilah juga dan dalam konteks inilah,apa yang digambarkan oleh Berger tentang alienasi yangmenjadi muatan teodisi agama. Ini karena pengalaman agamamemungkinkan untuk menimbul-kan peralihan “ke dunialain”, karena ia merupakan produsen endemis dari wilayah-wilayah makna yang terbatas (Berger & Luckmann, 1967:26).

Sampai di sini, kembali pada persoalan yang menyangkutobjek pe-ngalaman beragama, Otto menciptakan istilah“numinous” ini dalam rangka menghindari konotasi etis danmoral dalam istilah “suci”. “Yang Nominous”, dengandemikian, berarti yang suci tetapi tanpa konotasi etisnya danyang supranatural serta yang tidak ditentukan. Esensi YangNuminous ini tidak dapat dimengerti rasio manusiawi, tetapihanya dapat diketahui hakikatnya oleh sensus numinous, yaituperasaan mengenal Yang Nominous itu (Otto, 1958: 60-65).

Page 180: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

172

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Otto, dalam konteks ini, sesungguhnya dengan tepatmenganggap bahwa yang kudus merupakan unsur khas yangmencirikan pengalaman religius dalam semua gagasan danperasaannya yang bervariasi. Kekhu-susan pengalamanreligius ini berupa pengalaman “numinus” tadi (Dhavamony,1998: 103). Inilah, tentunya, yang dimaksud Otto denganpengalaman numinus sebagai kategori sui generis dan tidakdapat dianggap sebagai pengalaman biasa lainnya. Hal inikarena perasaan-perasaan religius bukanlah sekedarpenampilan dari psikologi manusia, tetapi sebagai suatu carauntuk memahami Yang Kudus (Dhavamony, 1998: 104).

Bisa dipahami dalam konteks inilah mengapa Bergermenetapkan suatu definisi substantif atas agama, di sampingdefinisi fungsional yang mendominasi kajian sosiologitentang agama. Oleh karenanya, walaupun Berger tetapmemegang prinsip-prinsip dasar kajian sosiologis yangsifatnya empiris dalam melihat agama, Berger tetap berusahauntuk melihat agama tidak semata-mata sebagai “proyeksimanusia” belaka yang bertaraf manusiawi namun jugamengatasi manusia. Ini artinya, Berger berupaya untuk tidakterjebak pada sikap reduksionisme yang berlebihan dalamme-mahami fenomena khas agama.

2. Dimensi dan Fungsi Sosial AgamaSampai pada alur pembahasan di atas, rumusan Berger

yang menyangkut fungsi sosial dari agama sebagai universumsimbolik menunjukkan suatu asumsi Berger tentang realitasagama di tingkat sosial. Tampak sekali, dalam konteks ini,agama merupakan kebutuhan eksistentensial manusia dalammenopang eksistensinya dalam kehidupan sehari-harinya.

Asumsi ini jika ditelusuri ke belakang sejalan denganapa yang telah dirumuskan oleh Mircea Eliade tentang “yang

Page 181: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

173

sakral” sebagai kategori agama. Agama dengan definisitentang “yang sakral” dan “yang profan” berfungsi bagimanusia dalam menentukan batas-batas realitas mana yangharus diterimanya dalam eksistensi hidupnya. Artinya, “yangsakral” bagi manusia beragama sama dengan syarat untukberada. Hal ini karena “yang sakral” dan “yang profan” itutidak lain daripada “real” dan “tidak real”-nya suatu kenyataandunia yang ia diami (Eliade, 1958: 1-4).

Rumusan tentang fungsi sosial agama ini, tentunyasangatlah terkait dengan persoalan dimensi sosial agama.Artinya, kapasitas fungsi sosial agama ada karena menyangkutkonteks historisitasnya dalam memasuki wilayah yang disebut“human construction”, dimana agama terlibat dalam kesadaranberkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal-usul(antro-pologis), kesadaran pemenuhan kebutuhankesejahteraan hidup (ekonomi) dan kesadaran historis lainnya(M. Amin Abdullah, 1996: 30). Dari asumsi ini tentunya banyakhal yang bisa dilihat dari fungsi sosial agama lebih dari apayang telah dirumuskan oleh Berger di atas.

Durkheim misalnya, melihat agama sebagai faktoresensial bagi iden-titas dan integrasi masyarakat. Hal inikarena kepercayaan-kepercayaan agama lebihmemperlihatkan kenyataan masyarakat itu sendiri dalambentuk simbolis (Baum, 1980: 25). Sementara Webermemandang agama sebagai sistem ide, yang merupakankekuatan otonom dan kreatif dalam perubahan sosial. Agamadengan demikian berfungsi sebagai matrik makna yangberperan dalam tindakan individu-individu dalam masyarakat(Hill, 1985: 106).

Adapun Talcott Parsons cenderung melihat fungsi sosialagama se-bagai sistem nilai yang memberikan informasi

Page 182: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

174

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

terhadap sistem sosial lewat sosialisasi terhadap sistemkepribadian. Agama dengan ditempatkan seba-gai sistemnilai, dengan demikian, dapat memperbaharui sistem sosial,di samping juga berperan sebagai kontrol sosial (Kehrer &Hardin, 1985: 155). Sedangkan Clifford Geertz cenderunguntuk melihat agama sebagai fakta budaya, sehinggacenderung untuk merumuskannya sebagai “sistem budaya”.Artinya, simbol-simbol sakral tertentu dari agama memuatmakna dari hakikat dunia dan nilai-nilai yang diperlukanmanusia untuk hidup di dalam masyarakatnya. Simbol-simbolkeagamaan macam begitu mampu untuk menggiringbagaimana seseorang merasa cocok untuk melihat, me-rasa,berpikir dan bertindak. Bila kecocokan itu sudah dijadikankepercaya-an umum tidak mengherankan jika tujuan sebuahmasyarakat adalah mengusahakan bagaimana kecocokan itudiberlakukan, diperteguh dan diulang-ulang dalam berbagaibentuk upacara bagi para warganya. Asumsi ini tampak sekalidalam kutipan sebagai berikut:

Suatu agama adalah: “(1) sebuah sistem simbol-simbol yangberlaku untuk; (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasiyang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusiadengan;(3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umumeksistensi dan;(4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacampancaran faktualitas, sehingga;(5) suasana hati dan motivasi-motivasiitu tampak khas realistis (Geertz, 1992: 5).

Sampai di sini, hal yang tampak dari rumusan kaumsosiolog tentang agama di atas cenderung mencerminkanapa yang disebut oleh Ignas Kleden sebagai “hanya melihatapa yang hendak dilihatnya” (Kleden, 1988: 26). Sebagaicontoh apa yang telah dilakukan oleh Weber misalnya. Dalammenyelidiki munculnya kapitalisme industri di Barat, Weber

Page 183: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

175

hanya melihat pengaruh Calvinisme, dan tidak (mau) melihatpengaruh yang sangat besar dari penemuan-penemuan barudi bidang teknik (Kleden, 1988: 27).

Hal yang sama inilah yang tampak dari rumusan Bergertentang arti penting sosial agama. Teori Berger tentangagama, dengan demikian, belum mampu mencakup wilayahluas dari kesemestaan sosial keber-agamaan manusia. Iniartinya, ia cenderung mereduksi wilayah fungsional agamadi tingkat sosial hanya pada satu sisi, yakni agama berfungsisebagai alat legitimasi di tingkat universum simbolik.

C.Agama dalam Drama Manusia Modern1. Terkoyaknya Langit Suci; dari Agama Privat sampai Agama

Kultus

Hal yang menarik dari pokok-pokok pemikiran Bergertentang fungsi sosial agama sebagai universum simbolikuntuk lebih jauh direfleksikan kem-bali adalah kaitannyadengan fenomena modernitas. Identifikasi Berger tentangmodernitas sebagai simbol terkoyaknya langit suci mungkinbisa dipahami karena gejala-gejala sosial dalam modernisasimemang meng-arah ke sana. Hal ini karena modernisasimerupakan simbol titik tolak peralihan pendulum realitas darikosmos kepada antropos. Peralihan ini, tentunya, sangatlahmempengaruhi keakaran universum simbolik agama ditingkat sosial masyarakat modern.

Ilustrasi Berger dan banyak ahli memang menunjukkanbahwa gejala modernisasi yang melanda masyarakat telahmembawa beberapa peru-bahan mendasar dalam masyarakattersebut. Hal yang sering disebut-sebut sebagai bagian darimodernisasi adalah sekularisasi dan pluralisasi.

Page 184: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

176

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Jika pada sekularisasi, masyarakat modern dihadapkanpada suatu situasi dimana agama mengalami marjinalisasiperan sentralnya dalam masyarakat, maka pada pluralisasi,masyarakat dihadapkan pada suatu situasi dimana terjadiproses sekmentasi sektor dan nilai-nilai kehidupanmasyarakat. Implikasi yang nyata dari kedua proses ini bagikeberagamaan masyarakat modern adalah menguatnyaproses privatisasi agama dari peran-peran publik dan bentuk-bentuk kelembagaan simbolik.

Pada level ini, tentunya, sekularisasi berarti jugadesakralisasi, yakni pembebasan tatanan sosio-kultural dariikatan-katan keagamaan. Ia sema-cam apa yang disebut olehRobert N. Bellah sebagai “devaluasi radikal terhadap struktursosial yang ada, berhadapan dengan cita mengenai hubunganTuhan-manusia yang sentral” (Bellah, 1976: 151). “Devaluasiradikal” di sini, tentunya, bermakna diturunkannya nilai-nilaisakral menjadi objek yang hanya mengandung kegunaanpraktis sehari-hari saja (Madjid, 1992: xxv).

Sekularisasi itu sendiri, dalam kasus masyarakat Indo-nesia, pada level pengertian ini dinilai sangat positif olehcendikiawan muslim Indonesia Nurcholish Madjid. Ia sendirimemaknai sekularisasi sebagai berikut:

“Dalam hal ini, yang dimaksudkan (sekularisasi) ialah setiapbentuk “perkembangan yang membebaskan”. Proses pembebasan inidiperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri,tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islamisitu, mana yang transendental dan mana yang temporal” (Madjid,1992: 218).

“... Tetapi (sekularisasi) dimaksudkan untuk “menduniawikan”nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskanumat Islam dari kecenderungan untuk “meng-ukhrowi-kan”-nya”(Madjid, 1992: 207).

Page 185: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

177

Bentuk artikulasi pandangan di atas terhadap kondisikonkret masya-rakat muslim Indonesia terefleksi secara tegasdan konkrit dalam suatu slogan Nurcholish Madjid Islam Yes,partai Islam No (Madjid, 1992: 205).

Bentuk kecenderungan dari modernisasi terhadapproses sekularisasi yang berimplikasi pada munculnya polakeberagamaan privat, pada tingkatan tertentu, memangmerupakan gejala yang sering diidentikkan dengan setiapproses modernisasi itu sendiri. Gejala ini tampak sekali darihasil pengamatan John Naisbitt dan Patricia Aburdenetentang menguat-nya suatu kecenderungan yangmenekankan aspek spiritualitas dalam ber-agama masyarakatmodern. Kecenderungan ini, tentunya, merupakan bentukpaling konkret dari gejala privatisasi agama. Bagi Naisbitt danAburdene gejala ini diungkapkan secara sloganistik sebagaiSpirituality, Yes; Organized Religion, No (Naisbitt & Aburdene,1991: 295). Gejala ini pada akhirnya, dengan demikian, selainmerupakan respon terhadap situasi masyarakat modern yangcenderung sangat menekankan aspek materia-litas dalamkehidupannya, gejala ini juga menunjukkan suatu ciri darifenomena keberagamaan modern yang cenderung privat.

Jika memang keadaan ini menunjukkan suatu situasikonkret masya-rakat modern, tentunya, apa yangdigambarkan di atas merupakan gejala yang nyata dari prosesprivatisasi agama yang berdampak pada terkoyak-nyanaungan “langit suci” yang merupakan realitas sosial agamaselama ini.

Namun demikian, jauh dari realitas yang digambarkandi atas, kecenderungan yang secara diametral berbeda jugamenunjukkan feno-mena yang sama dalam masyarakat mod-ern, yakni apa yang diamati oleh Alvin Toffler sebagai gejala

Page 186: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

178

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

kultus (cult). Kultus merupakan bentuk gerakan spiritual(dan keagamaan) dengan sistem pengorganisasian yangketat, penuh disiplin, absolutistik, dan kurang toleranterhadap kelompok lainnya. Contoh yang paling seringdisebut gerakan kultus ini ialah Unification Church, DivineLight Mission, Hare Krishna, the Way, People’s Temple, Yahwehben Yahweh, New Age, Aryan Nation, Christian Identity, the Order,Scientology, Jehovah Witnesses, Children of God, dan lain-lain(Madjid, 1995: 128). Azyumardi Azra, dalam hal ini denganmenyitir banyak pendapat dari J. Milton Yinger, secara lebihluas memberikan definisi tentang kultus sebagai berikut:

“Pada segi tertentu “cult” sama dengan “sect” dalam pengertianbahwa keduanya merupakan “sempalan” dari suatu sistem agamayang mapan. Tetapi “cult” merupakan sempalan paling ekstrem daritradisi keagamaan dominan dalam masyarakat... Kultus hampirsepenuhnya hanya menaruh perhatiannya pada persoalan individu;sedikit sekali minat dan perhatian diberikan kepada masalah tatasosial (social order). Karena itu, tendensi anarki terhadap tata sosialsangat kuat dalam kultus (Azra, 1996: 18).

Beberapa kecenderungan dari karakteristik dalam polakeberaga-maan kultus ini, pada level teoritis tertentu, jugamerupakan ciri dari kecenderungan karakteristik polakeberagamaan fundamentalisme. Paling tidak dalam halbahwa keduanya pada awalnya mengasosiasikan diri de-nganagama-agama mapan tertentu (Madjid, 1992: 585). Dalamkasus masyarakat Indonesia sendiri, gerakan yang cenderungfundamentalis ada-lah Islam Jama’ah, Darul Arqom, dankelompok-kelompok lainnya yang cenderung menggunakanatribut-atribut simbolik keagamaan secara ketat dan ekstrem.Gejala yang terakhir, munculnya Laskar Jihad bisa mencermin-kan kasus terbaru dari gaya keberagamaan yangfundamentalistik.

Page 187: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

179

Gejala kultus ataupun fenomena munculnya gerakanfundamen-talisme ini merupakan akibat yang nyata darimasyarakat modern, yakni individualisme, hilangnya strukturkemasyarakatan yang kukuh, dan ambruk-nya makna yangberlaku secara umum (Madjid, 1995: 128). Semua akibat inisesungguhnya, secara lebih mendasar, bersumber darilenyapnya panda-ngan kosmik yang menyatukan manusiadengan lingkungannya yang lebih luas. Kemajuan ilmupengetahuan dan teknologi telah menghancurkan gagasantentang suatu alam raya sakramental; dan agama menjadimasalah hubungan antara individu dengan Tuhan (Azra,1996: 23). Dari semua ini, akibat psikologis yang diterimamasyarakat modern adalah alienasi atau keterasingan diri,yang inti pengertian alienasi itu dijelaskan oleh Eric Frommsebagai berikut:

Alienasi yang ditemukan dalam masyarakat modern adalahhampir total; ia meliputi hubungan manusia dengan pekerjaannya,ke benda-benda yang ia konsumsi, ke negara, ke sesamanya, dan kedirinya sendiri. Manusia telah menciptakan suatu dunia dari barang-barang buatan manusia yang tidak pernah ada sebelumnya. Ia telahmembangun permesinan sosial yang ruwet untuk mengatur per-mesinanteknis yang ia bangun. Namun seluruh kreasinya itu tegak di atasdan mengatasi dirinya sendiri. Memang ia merasa dirinya sebagaipencipta dan pusat, tapi juga sebagai budak sebuah berhala Golemyang ia buat dengan tangannya sendiri. Semakin kuat dan besarkekuatan yang ia lepaskan, semakin ia merasa dirinya tak berdayasebagai manusia. Ia menghadapi dirinya sendiri dengan kekuatandirinya yang dikandung dalam benda-benda yang ia ciptakan, yangterasing dari dirinya sendiri. Ia dikuasai oleh kreasinya sendiri, dantelah kehilangan kekuasaan terhadap dirinya sendiri. Ia telah membuatsebuah patung anak sapi emas, dan berkata, “inilah dewamu yangmembawa kamu keluar dari Mesir” (Dikutip dari Madjid, 1995:129)

Page 188: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

180

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Apa yang sesungguhnya mendasari dari maraknyakecenderungan terhadap kultus ataupun gerakanfundamentalisme dalam masyarakat mo-dern, dengandemikian adalah cermin dari suatu kebutuhan akan “langitsuci” yang mampu menjadi struktur kemasuk-akalandunianya. Adapun kebutuhan itu sendiri dicari lewatdukungan pola komunitas yang eksklusif denganmenekankan metode beragama yang doktriner dan literal.Di-ciptakannya gaya keberagamaan seperti ini sesungguhnyatidak lain bertujuan untuk menciptakan kerangka kemasuk-akalan dunia mereka. Tujuan itu kemudian direfleksikanlewat pola pemikiran tekstualistik. Teks di sini merupakanbentuk artikulasi pemahamanan mereka tentang polahubungan manusia dan Tuhan yang integral yang menjadidasar bagi pen-ciptaan landasan integrasi makna bersamayang mengikat masyarakat.

Pada alur kecenderungan yang berbeda ini, dengandemikian, asumsi yang mengatakan bahwa modernisasidigambarkan sebagai simbol terkoyaknya langit suci, justrumempertegas arti penting agama sebagai universum simbolik.Hal ini karena, dalam konteks universum simbolik, agamamampu berfungsi sebagai pemberi orientasi dan maknahidup, serta legi-timasi bagi tertib sosial secara utuh. Dalamkonteks ini, ilmu pengetahuan dan teknologi yang selamaini menjadi dasar perkembangan masyarakat moderndianggap tidak mampu menjawab kebutu-han antropologisdan psikologis mereka tentang jaminan makna dan pegangannilai bersama yang mampu saling mengikat. Ini artinya, agamasebagai universum simbolik memang punya nilai tersendiridalam masyarakat.

Page 189: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

181

2. Sekularisasi; Antara Transendensi dan Immanensi Tuhan

Sampai pada bahasan di atas, tentunya, asumsi Bergertentang adanya keterkaitan antara proses sekularisasi denganpaham kebertuha-nan yang transenden, sesungguhnya,mencerminkan apa yang menjadi kerangka dasar masyarakatmodern dalam memandang pola hubungan manusia denganTuhan.

Kerangka dasar itu bisa dilihat dari apa yang disebut MaxWeber sebagai disenchantment of the world (hilangnya pesonadunia) yang mulai terbentuk sejak renaissance abad ke-16, danmemuncak dengan Aufklarung abad ke-18. Lingkungan lahiriah,dalam konteks ini, tidak lagi mengepung dengan kekuatan-kekuatan gaibnya yang menakutkan sekali-gus mempesona.Lingkungan itu sekarang dihadapi sebagai suatu dunia mate-rial atau objek belaka. Semua ini sesungguhnya tidak lepas daritampil-nya sosok Rene Descartes, dalam filsafat, sebagai jurubicara yang memper-tanyakan makna objektif dunia tradisional.Ia, dalam konteks penyangsian ini, sampai pada keyakinan yangtak tergoyahkan dan bersifat pasti, yakni de pense donc (akuberpikir maka aku ada). Apa yang ditemukannya pada tarafepistemologis adalah peranan mutlak subjek dalam membentukrealitas. Artinya, Subjeklah yang membangun dan menciptakanrealitas yang diketahui itu sehingga ada. Titik-tolak kenyataandengan subjectum ini, dengan demikian, berubah dari kosmo-sentris kepada antroposentris.

Secara tidak dapat terhindarkan, perubahan tersebutmembawa pengaruh pada cara manusia memahami dirinyadan mendorong mereka untuk meninjau kembali hubunganmereka dengan realitas tertinggi yang secara tradisionalmereka sebut dengan “Tuhan”. Amstrong menjelaskanmasalah ini sebagai berikut:

Page 190: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

182

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

There was new optimism about humanity as control over the naturalworld, which had once held mankind in thrall, appeared to advance inleaps and bounds. People began to believe that better education andimproved laws could bring light to the human spirit. This new confidencein the natural powers of human beings meant that people came tobelieve that they could achieve enlightenment by means of their ownexertions. They no longer felt that they needed to rely on inherited tradition,an institution or an elite—or, even, a revelation from God—to discoverthe truth (Armstrong, 1993: 296).

Pada level inilah, terjadi proses pengambilan jarak yangcukup men-dasar dalam pola hubungan Tuhan-manusia padamasyarakat modern, yang selama ini dipandang secaraintegratif dalam pandangan tradisional. Implikasinya dalamkesadaran beragama adalah kuatnya paham transen-dentalisme dalam sistem kebertuhanan, yang pada akhirnyacenderung menampilkan dimensi personalitas Tuhan yanglepas dari keterkaitan de-ngan setiap gejala-gejala manusiawi.

Sampai pada konteks inilah, asumsi Berger tentangketerkaitan bentuk-bentuk ideasi agama dengan kondisi-kondisi sosial mendapatkan tempat. Asumsi ini, tentunya,semakin kuat bila dihubungkan dengan hasil penelitianAmstrong, bahwa ide manusia tentang Tuhan sesungguhnyasangat bersifat historis. Artinya, tidak ada pandangan yangbersifat objektif tentang Tuhan; setiap generasi atau zamanselalu tercipta gagasan tentang Tuhan sesuai dengan kondisi-kondisi sosial yang mempengaruhinya (Amstrong, 1993: xx).Hal ini karena sudah menyangkut keakaran fungsi sosialagama yang diandaikan atas faktor yang menyangkut pahamkebertuha-nan dan kondisi-kondisi sosial yangmendukungnya dalam suatu masyara-kat. Memang, jikaditelusuri lebih jauh dalam masyarakat modern sendiri,kecenderungan yang kuat dalam sistem kebertuhanan yang

Page 191: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

183

diandaikan dalam keberagamaan masyarakat modern adalahmenguatnya paham deisme, yakni suatu pahamkebertuhanan yang secara ekstrem menekan-kantransendensi Tuhan. Hal ini bisa dilihat pada kasus ThomasJefferson yang mengaku sebagai percaya pada Tuhan(Deisme), tanpa merasa perlu mengikatkan diri kepada salahsatu dari agama-agama formal yang pernah ada. Bahkan lebihjauh paham seperti ini akhirnya masuk ke dalam perumusanDekralasi Kemerdekaan Amerika, yang terkenal denganungka-pan Laws of Nature dan Nature’s God (Madjid, 1995:127).

Dalam kasus masyarakat Indonesia sendiri, cendikiawanmuslim Indonesia Nurcholish Madjid yang menggulirkan ide“sekularisasi” sebagai jargon pembaharuan Islamnya banyakmengaitkan dengan kerangka Tauhid (paham transendensimutlak Tuhan), yakni “Tiada Tuhan Selain Tuhan YangSebenarnya” (Nurcholish Madjid, 1995: 150). Ini tampaksekali, sebagai-mana yang diungkapkan oleh DawamRahardjo, bahwa “seluruh tulisan Nurcholis Madjid yangberkaitan dengan masalah kemodernan dari tahun 1968sampai tahun 1990-an didominasi oleh obsesi untukmenjelaskan kaitan cita Tauhid dengan kemodernan”(Dawam Rahardjo, 1991: 27).

Sampai pada konteks bahasan ini, menguatnya pahamtransenden-talisme dalam kesadaran beragama masyarakatmodern ini sesungguhnya tidak lepas dari kebutuhanmasyarakat modern dalam membangun elan vital semangathumanistiknya. Hal ini karena paham transendentalismemampu memberikan ruang lingkup yang luas dalam memberimakna ke-bebasan dan kreatifitas pada tindakan manusia.Problem ko-eksistensi Tuhan dengan kebebasan manusia,dalam konteks transendenbtalisme ini, secara lebih berarti

Page 192: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

184

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

bisa diatasi. Paham ini, dengan demikian, mampu memberitopangan yang paling dasar bagi semangat modernitas. Se-men-tara paham immanensi Tuhan lebih sering diasosiasikandengan kebutuhan masyarakat tradisional dalam memeliharakohesifitas masyarakatnya. Impersonalisasi Tuhan yangsangat ditekankan dalam paham ini meru-pakan wujud dariupaya manusia atau masyarakat dalam memberi dasar ikatan-ikatan yang kuat.

D.Arti Penting Matrik Makna Bersama danKebutuhan Masyarakat Terbuka

Sampai pada alur penjelasan fungsi sosial agama sebagaiuniversum simboik di atas, hal yang paling mendasar daripokok pemikiran Berger yang perlu dikembangkan lebihlanjut adalah pemaknaan arti penting matrik makna bersamabagi masyarakat. Matrik makna, dalam konteks tersebut, lebihsering dipahami sebagai hal formal institusional. Pemaknaanini tam-pak sekali pada masyarakat tradisional yangmemahami matrik makna ber-sama dalam konteks keutuhankomunitas, sementara pada masyarakat modern cenderungmengartikulasikannya dalam konteks kelompok yangeksklusif. Fenomena ini bisa dilihat ketika sekelompokmasyarakat modern masih cenderung untuk meng-aktualisasikan dirinya dalam pola-pola politik aliran. Padahaljika ditelusuri lebih jauh, kecenderungan masyarakat mo-dern adalah ke arah keterbukaan, mengingat gejala pluralitasmerupakan ciri yang tak terbantahkan dari masyarakat mod-ern. Oleh karena itulah, jika matrik makna bersama yangdilahirkan oleh agama lebih dipahami secara eksklusif, makaagama justru menjadi dasar bagi setiap fenomena konflik.

Sampai pada konteks asumsi ini, adalah hal yang niscayajika matrik makna dipahami sebagai sesuatu yang inklusif.

Page 193: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

185

Hal ini karena kebutuhan akan inklusifitas merupakankebutuhan yang paling dasar bagi suatu realitas plural.Adapun inklusifitas itu sendiri tidaklah datang begitu saja,ia harus dilahirkan dari suatu usaha dialog atau komunikasiyang emansifatif. Agama, oleh karenanya, dalam perspektifparadigma Habermasian, harus-lah diberi ruang refleksi,interaksi, dan sharing nilai-nilai antar manusia dalam skalayang lebih besar dan luas. Hal ini karena komunikasi timbal-balik dan sharing nilai-nilai, menurut Habermas, menjaditahap awal terbentuknya peran-peran sosial, dan merupakantahap awal moralisasi motif-motif tinda-kan (Hardiman, 1990:100). Habermas mengungkapkan lebih lanjut: “sese-orangseharusnya memahami realitas sosial dalam suatu “dialogbudaya” yang membebaskan (suatu rasionalitas komunikatifuntuk mencapai konsen-sus).”

Asumsi tentang arti penting “dialog budaya” inididasarkan pada pengakuan atas peran subjek pelakuperubahan sosial. Ini artinya, dengan mengakui peran pelakuperubahan sosial, berarti mengakui adanya kesa-daran dalamdiri subjek. Adapun arti penting kesadaran di sini karena disitu terletak esensi kemanusiaan yang harus dihormati. Olehkarena itulah, melalui suatu “dialog budaya” dihrapkan suatupengembangan kesadaran (raising consciousness) yang mampumelahirkan nilai-nilai kemanusiaan universal yangterbebaskan dari setiap gejala manipulasi dari berbagaikepentingan yang menindas.

Page 194: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

186

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Page 195: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

187

Bab VIKESIMPULAN

Asumsi Berger mengenai keterkaitan fungsi sosialagama sebagai universum simbolik agama dengan problemeksistensial manusia, khususnya yang menyangkut problemkeberhinggaan eksistensial berangkat dari suatu asumsi yangmenyangkut hakikat manusia dan dunia sosial yang menjaditempat tinggalnya. Bagi Berger, hakikat manusia tidaklah dibentuk dari suatu substratum yang mendasari kodratnya.Hal ini karena manusia secara ontogenetis dilahirkan dalambentuk kedirian yang “belum selesai”. Atas dasar inilah,manusia dalam keberadaannya di-dunia lebih mengarah padakonteks proses untuk “menjadi manusia”. Manusia, dalamkonteks tersebut, secara terus menerus melakukan proseseksternalisasi diri, yang tidak lain merupakan proseseksistensi sosial yang bertitik-tolak dalam ke-nyataan hidupsehari-hari.

Sementara itu, dunia sosial, yang menjadi tempat tinggalmanusia itu sendiri bukanlah sesuatu yang hadir secaraalamiah dari suatu esensinya yang ontologis melainkankonstruksi manusia sendiri. Namun demikian, walaupun iamerupakan konstruksi manusia, dunia sosial itu pada

Page 196: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

188

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

tahapan objektivasinya akan menghasilkan berbagaikonstruksi objektif yang independen, yang eksistensinyatidak bisa dinafikan atau diabaikan, dan bahkan cenderungmempengaruhi balik pola dan corak tindakan individu.Kemudian, jika pranata itu mampu disadari sebagai buatan-buatan saja, terjadilah proses internalisasi. Pada tahapan awalproses internalisasi, manusia cenderung bersifat adaptifterhadap dunia sosial objektif. Namun untuk selanjutnyaterjadi proses transformasi ke dalam kesadaran subjektif.

Sampai di sini, dipahami bahwa pola hubungan manusiadengan dunia sosialnya bersifat dialektis. Manusia dan duniasosialnya secara simultan berhubungan dalam keteganganantara “sebab” dan “akibat”. Namun karena titik-tolakeksistensi sosial manusia itu sendiri adalah ke-nyataankehidupan sehari-hari, tentunya, sangat membatasi ruanglingkup cakrawalan pengetahuannya tentang kehadiran duniasosial objektif yang sifatnya historis untuk dihadapinya.Dalam konteks inilah sesungguhnya posisi keberhinggaaneksistensial bertempat dalam konstata eksistensi sosialmanusia. Ia mampu menjadi penyebab tingginya tingkatanomitas pola hu-bungan manusia dengan dunianya. Dariasumsi tentang hakikat manusia, dan dunia sosial yangbersifat konstruktif, serta pola hubungan keduanya yangdigambarkan memiliki tingkat kondisi anomis yang tinggiinilah, kebutuhan akan bentuk legitimasi di tingkatuniversum simbolik merupakan suatu kenyataan sosial yangtidak terelakkan.

Agama sebagai universum simbolik dalam hal inimerupakan bentuk fungsi sosial agama sebagai “langit-langitsuci” yang menaungi tatanan dunia sosial yang sifatnyakonstruktif maupun biografi individu yang ada di dalamnya.Ia, dalam konteks ini, merupakan dasar proyeksi manusia

Page 197: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

189

dalam mengatasi bentuk anomitas pola hubungan manusiadengan dunia sosial dan dunia sosial itu sendiri yangdihasilkan dari konstanta eksistensi sosial manusia yangdilingkupi oleh keadaan keberhinggaan eksistensialnya, yakni“situasi marjinal” yang merupakan suatu situasi yangberlangsung di luar tatanan yang menentukan eksistensirutin sehari-hari manusia. Situasi ini merupakan “daerah-daerah makna yang terbatas”. Sering, dalam situasi ini,dimungkinkan terjadinya diskontinuitas hubungan manusiadengan asumsi-asumsi dasar yang disebut realitas sosial yangmendasari tatanan masya-rakatnya. Oleh karenannya, akan“mengganggu” karakteristik kenyataan hidup sehari-hariyang diterima begitu saja sebagai “yang tertib dan tertata”.

Rumusan Berger tentang agama sebagai universumsimbolik di atas, memang, mencerminkan apa yangdimaksudkan Berger sebagai upaya manusia untuk mengatasibentuk anomitas yang dihasilkan situasi keber-hinggaaneksistensialnya. Hal ini karena menyangkut titik-tolakproyeksinya adalah kosmos yang mengatasi fenomenamanusiawi. Namun justru, pada level ini, Berger cenderungmereduksi kesemestaan realitas sosial agama yang begitu luasbagi kepentingan manusia dan dunia sosialnya. Karenakapasitas fungsi sosial agama itu menyangkut kontekshistorisitas agama dalam memasuki wilayah yang disebutsebagai “human construction”, di-mana agama terlibat dalamberbagai proses-proses sosial eksistensial manusia. Dariasumsi ini, tentunya, banyak hal yang bisa dilihat dari fungsisosial agama lebih dari apa yang telah dirumuskan olehBerger. Oleh karena itulah, bisa dikatakan bahwa apa yangdilakukan oleh Berger ini hanya mencerminkan apa “yanghanya hendak dilihatnya”. Sementara itu, implikasi darirumusan tersebut atas wilayah keberagamaan manusia ada-

Page 198: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

190

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

lah menyangkut corak dan pola fungsionalnya yang tidaksemata-mata ditentukan oleh ideasi agama itu sendiri tapijuga ditentukan oleh kondisi-kondisi sosial yangmelingkupinya. Keduanya saling mempengaruhi satu samalainnya. Mungkin saja terjadi bahwa dalam suatuperkembangan historis tertentu, suatu proses sosial adalahakibat dari ideasi keagamaan, sementara dalam perkembanganlain justru terjadi adalah kebalikannya. Artinya, implikasikeakaran agama dalam aktivitas manusia itu tidak dalambahwa agama itu selalu merupakan suatu variabelketergantungan dalam sejarah suatu masyarakat, tetapisebaliknya agama memperoleh realitas objektif dansubjektifnya dari manusia, yang memproduksi danmereproduksinya dalam kehidupan mereka yangberkelanjutan. Hal ini tampak sekali ketika Berger mencobamengaitkan corak dan pola agama dengan kenyataanmasyarakat modern. Agama pada masyarakat ini mengalamiproses privatisasi karena akibat proses sekularisasi yangdibawa oleh corak industrial masyarakat modern. Namundemikian, corak dan pola keberagamaan masyarakat ini jugadisebabkan oleh pola pemahaman kebertuhanan yangcenderung transenden, yakni paham yang menempatkanpemisahan yang tegas antara kualitas Tuhan dengan kualitasciptaan-ciptaan-Nya. Hal ini tidak sebagaimana pola dan corakagama dalam masyarakat tradisional yang memilikikohesifitas integrasi yang tinggi, agama mampu berfungsisebagai universum simbolik secara utuh, di sampingdidukung oleh pola paham kebertuhanan yang bersifatimmanen dalam sistem ideasi agama tradisional.

Sampai pada rumusan kesimpulan yang merupakanjawaban bagi masalah yang telah ditetapkan sebelumnya, adatiga kritik yang bisa dibangun atas asumsi-asumsi tersebut.

Page 199: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

191

Pertama, Berger cenderung lebih mementingkan aspekobjektivias dari dunia sosial, sehingga mengaburkan titik-tolaknya sendiri tentang aspek transformatif dan reproktifdari dunia sosial yang diasumsikannya pada tahapaninternalisasi. Kedua, Berger cenderung mengabaikan bentuk-bentuk kepentingan ideologis yang menyertai setiap proseskonstruksi dunia sosial. Ketiga, sebagaimana yang telahdiungkapkan sebelumnya bahwa Berger cenderungmereduksi kesemestaan realitas sosial agama.

Sampai di sini, walaupun terdapat berbagai kelemahansebagai-mana yang ditunjukkan di atas, Bergersesungguhnya mampu membuka beberapa perspektif barudalam kajian ilmu sosial dan agama. Pertama, Berger berhasilmengatasi problem dualisme manusia dan struktur sosialyang menjadi kontroversial dalam wacana sosiologi moderndan kontem-porer karena terjebak pada perspektif yang sangatdeterministik. Keberhasilan ini terefleksi dalam usahanyamengaitkan konsep “eksternalisasi” dan objektifikasi” yangsudah dikembangkan oleh Hegel, Marx, dan Durkheim,dengan konsep internalisasi yang dikembangkan oleh GeorgeHerbert Mead. Hasil perpaduan tersebut adalah sebuah “triaddialektika” yang bisa menjelaskan bahwa struktur objektifadalah produk kesadaran manusiawi dan kesadaranmanusiawi pada gilirannya adalah produk struktur yangdibentuknya sendiri. Kedua, Berger mampu melampauikecenderungan positivistik yang mengasosiasikan agamasebagai semata-mata bentuk proyeksi manusiawi belaka. BagiBerger agama bukanlah suatu variabel ketergantungan dalamsejarah suatu masyarakat, tetapi sebaliknya agamamemperoleh realitas objektif dan subjektifnya dari manusia,yang memproduksi dan mereproduksi agama. Olehkarenanya, ada suatu hubungan yang dialektis antara bentuk-

Page 200: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

192

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

bentuk ideasi agama dengan kondisi-kondisi sosial yangmelingkupinya. Ketiga, Berger mampu memperlihatkan artipenting matrik makna bersama yang mampu melindungiaspek-aspek eksistensi sosial manusia. Tentunya, teori inisangat bermanfaat untuk menelaah gejala-gejalaketanpamaknaan dunia sosial masyarakat modern. Keempat,Berger dengan mengaitkan kecenderungantransendentalisme dalam paham kebertuhanan dengankondisi masyarakat modern mampu menunjukkan tentangide ketuhanan yang bersifat historis, dan bukannya sebagaisesuatu yang objektif.

Sampai di sini, hal yang perlu dikembangkan dari pokokpemikiran Berger tentang agama adalah menyangkut artipenting matrik makna bersama bagi masyarakat. Ada suatukecenderungan umum untuk memaknai matrik maknabersama secara formal institusional. Kecenderungan ini jikadihadapkan pada realitas masyarakat modern yang plural danterbuka, tentunya, akan membawa gejala konflik. Oleh karenaitulah, perlu sekali pengembangan orientasi bersama kepadasuatu ‘dialog budaya’. dalam rangka menggeser perspektifko-eksistensi kepada pro-eksistensi.

Page 201: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

193

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, 1996, Studi Agama; Normativitas atauHistorisitas?, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Ahern, Annette, 1995, “Re-enchanting the World: Berger’sSacramental Approach to Religion”, dalamToronto Journal of Theology, 11/1.

Armstrong, Karen, 1993, A History of God; The 4,000-YearQuest of Judaism, Christianity and Islam,Ballantine Books, New York.

Azra, Azyumardi, 1996, “Kultus”, dalam MuhammadWahyuni Nafis, Rekon-struksi dan RenunganReligius Islam, Paramadina, Jakarta

Baum, Gregory, 1980, “Definitions of Religion in Sociology”,dalam Mircea Eliade & David Tracy, What is Re-ligion? [Concilium Religion in the Eighties], T&TClark, Edinburgh.

Bellah, Robert N., 1976: Beyond Belief, Harper and Row, NewYork.

Berger, Peter L., 1963, Invitation to Sociology: A HumanisticPerspective, Penguin Books, England.

Page 202: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

194

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

—————., 1963, Sociology Reinterpreted: An Essay onMethod and Vocation, Penguin Books, England.

—————, and Thomas Luckmann, 1967, The Social Con-struction of Reality: A Treatise in the Sociologyof Knowledge, Anchor Books, New York.

—————., 1969, The Sacred Canopy: Element of a Socio-logical Theory of Religion, Anchor Books, NewYork.

—————., 1970, A Rumor of Angels: Modern Society andRediscovery of the Supernatural, Anchor Books,New York.

—————., 1976, “For a World with Windows”, dalamAgainst the World for the world, The SeaburyPress, New York.

—————., 1977, Facing Up to Modernity: Excursions inSociety, Politics, and Religion, Penguin Books,England.

—————., 1980, The Heritical Imperative: ContemporaryPossibilities of Reli-gious Affirmation, Collin,London.

—————., 1981, “From Secularity to World Religions”,dalam J. M. Wall, Theo-logians in Transition, NewYork.

—————., 1986, “The Concept of Mediating Action”, dalamRichard John Neuhaus, Confession, Conflict,and Community, Grand Rapids, Machigan.

Bertens, Kees, 1981, Filsafat Barat Abad XX, Jilid I, Gramedia,Jakarta.

Page 203: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

195

——————, 1987, Panorama Filsafat Modern, Gramedia,Jakarta.

——————, 1987, Fenomenologi Eksistensial, Gramedia,Jakarta.

——————, 1992, “Yang Sakral dan yang Profan dalamPenghayatan Tradisio-nal; Homo ReligiusMenurut Mircea Eliade”, dalam Jurnal UlumulQur’an, Vol. III, No.3. Jakarta.

Brouwer, M.A.W., 1988, Alam Manusia dalam Fenomenologi,Gramedia, Jakarta.

Collin, Finn, 1997, Social Reality, Routledge, London & NewYork.

Copleston, F., 1958., Existentialism and Modern Man,Blackfriars, London.

Campbell, Tom., 1994, Tujuh Teori Social, diterjemahkan olehF. Budi Hardi-man, Kanisius, Yogyakarta.

Durkheim, Emile, 1964, The Rules of Sociological Method,Free Press, New York.

Dhavamony, Mariasusai, 1998, Fenomenologi Agama,Kanisius, Jakarta.

Eliade, Mircea, 1957, The Sacred and the Profan, Harper andRow Pub., New York.

———————, 1964, Patterns in Comparative Religion,Sheed and Ward, London

Gallagher, Kenneth T., 1994, Epistemologi: FilsafatPengetahuan disadur oleh P. Hardono Hadi,Kanisius, Yogyakarta.

Page 204: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

196

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Giddens, Anthony, 1992, Kapitalisme dan Teori Sosial Mod-ern: Suatu Analisis terhadap Karya Tulis Marx,Durkheim dan Max Weber, Universitas Indone-sia Press, Jakarta.

————————, 1976, New Rules of Sociological Method:A Positive Critique of Interpretative SociologiesHutchison, London.

Gill, Jerry H., 1988, “Objectivity and Social Reality: Peter L.Berger” dalam Philosophy Today, Fall Edition.

Geertz, Clifford, 1992, Kebudayaan and Agama,diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman, Kanisius,Yogyakarta.

Geisler, Norman & Corduan Winfried, 1988, Philosophy ofReligion, Grand Rafids, Michigan.

Hardiman, Franky Budi, 1988, “Berada-di-Dunia: Merenung-kan Manusia bersama Merleau-Ponty”, dalamMajalah Basis, Agustus-September, Yogyakarta.

——————————, 1990, Kritik Ideologi: PertautanPengetahuan dan Kepenti-ngan, Kanisius,Yogyakarta.

——————————, 1993, “Kesadaran yang takBersarang” dalam Tim Redaksi Driyarkara,Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan,Gramedia, Jakarta.

——————————, 1993, Menuju MasyarakatKomunikatif: Ilmu, Masyarakat, Po-litik, danPostmodernisme Menurut Jurgen Habermas,Kanisius, Yogya-karta.

Page 205: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

197

Hill, Michel, 1985, “Sociological Approaches”, dalam FrankWhaling (ed), Contemporary Approaches to theStudy of Religion in 2 Volumes, Mouton Pub.,New York.

Hoffman, Kurt, 1957, “The Basic Concepts of Jaspers Phi-losophy” dalam Paul Arthur Schilpp, The Phi-losophy of Karl Jaspers, Open Court Pub. Com-pany, Illinois.

Horrel, David, 1993, “Converging Ideologies: Berger andLuckmann and the Pastoral Epistles, dalam Jour-nal for the Study of the New Testament, No. 50.

Johnson, Doyle Paul, 1994, Teori Sosiologi Klasik dan Mod-ern, diterjemahkan oleh Robert M. Z. Lawang,Jilid I, Gramedia, Jakarta.

——————-, 1990, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,diterjemahkan oleh Robert M. Z. Lawang, JilidII, Gramedia, Jakarta.

Kehrer, Gunter & Bert Hardin, 1985, “Sociological Ap-proaches”, dalam Frank Whaling, ContemporaryApproaches to the Study of Religion in 2 Vol-umes, Mouton Pub., New York.

Kleden, Ignas, 1998, “Fakta dan Fiksi tentang Fakta danFiksi”, dalam Jurnal Kebudayaan Kalam, edisi 11,Jakarta.

——————, 1988, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan,LP3ES, Jakarta.

Leksono-Supeli, Karlina, 1994, Aku dalam Semesta: SuatuKajian Filsafat atas Hubungan Subjek-Objek di

Page 206: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

198

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

dalam Kosmologi, (Tesis), Program Pasca-sarjanaUniversitas Indonesia, Jakarta.

Luijpen, William A., 1960, Existential Phenomenology,Duquesne Univ. Press, New York.

Luckmann, Thomas, 1978, Phenomenology and Sociology,Penguin Books, New York.

Macquarrie, John., 1980, Martin Heidegger, LutterworthPress, London.

Madjid, Nurcholish., 1992, Islam Kemodernan danKeindonesiaan, Mizan, Bandung.

—————————, 1992, Islam, Doktrin, dan Peradaban,Paramadina, Jakarta.

—————————, 1995, Islam Agama Kemanusiaan,Para-madina, Jakarta.

Magnis-Suseno, Franz, 1999, Karl Marx Dari SosialismeUtopis ke Perselisihan Revisionisme, Gramedia,Jakarta.

Mahendra, Yusril Ihza, 1996, “Fundamentalisme, Faktor danMasa Depan-nya”, dalam Muhammad WahyuniNafis (ed), Rekonstruksi dan Re-nungan ReligiusIslam, Paramadina, Jakarta.

Marx, Karl, 1986, Capital, Edited by Friedrich Engels, TheUniv. of Chicago, New York.

Marx, Karl and Friedrich Engels, 1955, On Religion, For-eign Languages Pub., Moscow.

Mannheim, Karl, 1998, Ideologi dan Otopia, diterjemahkanOleh F. Budi Hardiman, Kanisius, Yogyakarta.

Page 207: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

199

Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, Routledge &Kegan Paul, London.

Mursanto, Riyo, 1993, “Realitas Sosial Agama Menurut Pe-ter L. Berger”, dalam Tim Driyarkara (ed),Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan,Gramedia, Jakarta.

McInner, William, 1990, “Agama di Abad Duapuluh Satu”,diterjemahkan oleh Dewi Yaminah, dalam JurnalUlumul Qur’ an, No. 5. Vol. II, Jakarta.

Naisbitt, John and Patricia Aburdene, 1991, Megatrends 2000:Ten New Directions for the 1900’s, Avon Books,New York.

Natanson, Maurice, 1968, “Alfred Schutz”, dalam David L.Shills (ed), International Ency. of the Social Sci-ences, Vol. 14, The Macmillan Comp. & The FreePress, New York.

Otto, Rodolf, 1959, The Idea of The Holy, Penguin Books,England.

Ortega, Mariana, “Dasein Comes after the Epistemic Sub-ject But Who is Dasein?”, dalam InternationalPhilosophical Quarterly, Vol. XL., No. 1, IssueNo. 157 (March 2000).

Pals, Daniel L., 1996, Seven Theories of Religion, OxfordUniv. Press, New York.

Parera, Frans Meak, 1990, “Menyingkap Misteri Manusiasebagai Homo Faber”, dalam Peter L. Berger &Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan,LP3ES, Jakarta.

Page 208: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

200

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer, Rajawali Press,Jakarta.

Rahardjo, Dawam, 1991, “Islam dan Modernisasi: Catatanatas Paham Se-kularisasi Nurcholish Madjid”,dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemo-dernandan Keindonesiaan, Mizan, Jakarta.

Ritzer, George, 1996, Classical Sociological Theory,McGrawHill, New York.

Sartre, Jean-Paul, Existentialism and Human Emotion,Castle, New York.

Sastrapratedja, M., 1992, “Pengantar”, dalam Peter L. Berger,Kabar Angin dari Langit, LP3ES, Jakarta.

Smart, Niniant, 1973, The Science of Religion & the Socio-logical of Know-ledge, Princeston Univ. PressNew Jersey.

Stark, Werner, 1971, “Sociology of Knowledge”, dalam PaulEdward (ed), The Encyclopedia of Philosophy,Vol. VII, The Macmillan Comp. & The Free Press,New York.

Schutz, Alfred, 1970, On Phenomenology and Social Rela-tion, Edited and with Introduction by Helmut R.Wagner, The Univ. Of Chicago Press, Chicago& London.

—————., 1980, The Phenomenology of the Social World,traslt. by George Walsh and Frederick Lehnert,ed. IV., (Heinemann Educational Books, London.

—————., 1962, The Problem of Social Reality: CollectedPappers I, Martinus Nijhoff Publishers, TheHugue.

Page 209: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

201

Syukur Dister, Nico, 1996, Pengalaman dan MotivasiBeragama, Kanisius, Yogyakarta.

Turner, Jonathan H., 1986, The Structure of SociologicalTheory, The Dorsey Press, Chicago.

Van der Leeuw, 1967, Religion in Essence and Manifesta-tion, Gloucester, New York.

Veeger, K. J., 1993, Realitas Sosial, Gramedia, Jakarta.

Weber, Max, 1949, The Methodology of the Social Sciences,Trans. & ed. By Edward A. Shils, Free Press, NewYork.

Zeitlin, Irving M., 1998, Memahami Kembali Sosiologi,Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta.

Page 210: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

202

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

GLOSSARY

Alienasi (alienation): dunia sosial dan diri yang tersosialisasimenghadapi individu sebagai faktisitas yang tidakterelakkan yang analog dengan faktisitas-faktisitas alam. Istilah ini berasal Karl Marx.

Anomi (anomie): bentuk penyimpangan secara radikal daridunia sosial. Istilah ini berasal dari EmileDurkheim.

Cadangan Pengetahuan (stock of knowledge): bentukpengalaman biog-rafis dan historis yang telahdiobjektivasi, dipelihara, dan di-akumulasi,sehingga dapat dialihkan dari generasi ke generasiuntuk kepentingan orientasi bersama dalamtindakan sosial. Istilah ini berasal dari AlfredSchutz.

Eksternalisasi (externalization): suatu pencurahan kedirianmanusia, baik dalam aktivitas fisik maupun men-tal, secara terus-menerus ke dalam dunia. Istilahini pertama-kali dikembangkan oleh Hegelmelalui konsepnya tentang Entaeusserung, danditeruskan oleh Karl Marx.

Internalisasi (internalization): suatu usaha peresapankembali realitas sosial objektif oleh manusia, danmentransformasikannya ke dalam strukturkesadaran subjektif. Istilah ini diambil dariGeorge Herbert Mead.

Immanensi: pemahaman tentang kehadiran Tuhan dalamrealitas duniawi.

Page 211: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

203

Keterbukaan-dunia (world-openness): bentuk implikasiantropologis dari hubungan manusia denganlingkungannya yang tidak ditentukan oleh sub-stratum kodratinya dan lingkungan spesifik.Istilah ini diambil dari Helmuth Plessner danArnold Gehlen.

Keberhinggaan eksistensial (finitude of individual existence):suatu istilah yang merujuk pada istilah “situasimarjinal” (grenzsituation) yang diciptakan olehKarl Jaspers. Namun digunakan dalam kontekspengertian Alfred Schutz tentang “finite prov-inces of meaning” (wilayah-wilayah makna yangterbatas) dan hubungannya satu sama lain.

Kosmisasi: bentuk proyeksi terhadap makna-makna daritatanan yang dibangun secara manusiawi kepadatatanan semesta yang mengatasi fenomenamanusiawi itu Istilah ini diambil dari MirceaEliade.

Legitimasi (legitimation): “pengetahuan” yangdiobjektivasikan secara sosial yang bertindaksebagai penjelas dan pembenar atas suatu tatanantertentu. Istilah ini berasal dari Max Weber.

Masokisme: sifat individual yang merendahkan diri menjadiobjek yang diam dan mirip benda dihadapansesama manusia. Istilah ini diambil dari konsepJean Paul Sartre.

Nomos: suatu tatanan pengalaman yang bermakna sebagaikebalikan dari anomie. Istilah ini diambil dariEmile Durkheim.

Page 212: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

204

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Universum-simbolik (symbolic Universe): suatu totalitasmatrik makna yang diobjektivasikan secara sosialdan nyata secara subjektif. Ia merupakanperangkat-perangkat tradisi teoritis yang tidaksemata mengintegrasikan berbagai bidang maknatapi juga mencakup tatanan kelembagaan dalamsuatu totalitas simbolis, yakni “sim-bolis” dalamarti proses-proses pelembagaan yang mengacukepada berbagai kenyataan yang lain darikenyataan pengalaman sehari-hari.

Pengetahuan Akal Sehat (common-sense knowledge):pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasayang sadar yang digunakan dalam kegiatan rutinkehidupan sehari-hari. Konsep ini dikem-bangkan oleh Alfred Schutz.

Proyeksi: bentuk tindakan yang mengorientasikan suatufenomena kepada fenomena yang bersifatmengatasinya. Istilah ini pertama kali digunakanoleh Feuerbach dan kemudian diulangi olehMarx, Nietzsche, dan Freud.

Reifikasi (reification): suatu distorsi yang tidak dialektik darikenyataan sosial yang mengaburkan sifatkenyataan itu sebagai suatu produk manusiayang berlangsung terus-menerus, denganmemandangnya dari segi kategori-kategorisemacam benda yang hanya cocok bagi duniaalam. Istilah ini berasal dari Karl Marx.

Sekularisasi: proses sosial dalam menduniawikan nilai-nilaiyang sudah semestinya bersifat duniawi, danmelepaskannya dari kecenderungan untukmensakralkannya.

Page 213: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

205

Struktur Kemasuk-Akalan (Plausibility Structure): landasansosial dan proses-proses sosial tertentu yangdiperlukan untuk memelihara agar kenyataanobjektif tetap berada dalam pengakuan subjektif.

Teodisi: doktrin tentang kebenaran dan kebaikan Tuhan yangdijadikan dasar dalam menjelaskan berbagaifenomena yang saling ber-tentangan yangdihadapi manusia.

Tipefikasi (typefication): penyusunan dan pembentukan tipe-tipe pengertian, tingkah laku, dan makna untukmempermudah pengertian dan tindakan dalaminteraksi sosial sehari-hari. Istilah ini diambil dariAlfred Schutz.

Transendentalisasi: proses pemahaman tentang realitasTuhan yang terpisah dan berada di luar realitasmanusiawi.

Objektifikasi (objectivication): suatu proses dari suatuproduk-produk aktivitas manusia yang telahdieksternalisasikan memperoleh sifat-nya yangobjektif. Istilah ini berasal dari Hegel dan Marxtentang Versachlichung.

Orang lain pada umumnya (generalized other): bentukabstraksi dari berbagai peranan dan sikap orang-orang yang secara konkret berpengaruh. Istilahini diambil dari George Herbert Mead.

Orang lain yang berpengaruh (significant others): figurseseorang atau be-berapa orang yang pertama-tama sangat menentukan seorang anak dalamproses sosialisasi primernya. Istilah ini berasaldari George Herbert Mead.

Page 214: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

206

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Page 215: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

207

BIODATA PENULIS

Dr. Irfan Noor, M.Hum dilahirkanpada tanggal 14 April 1971 di Alabio,kabupaten Hulu Sungai Utara -Kalimantan Selatan. Pendidikan stratasatu (S1) diperoleh dari jurusan AqidahFilsafat Fakultas Ushuluddin IAINSunan Kalijaga Jogjakarta. Sedangkanpendidikan strata-dua (S2) diperoleh dari

program studi Ilmu Filsafat Pascasarjana Universitas GadjahMada di kota yang sama. Gelar Ph.D diperoleh dari programPengajian Antarabangsa Pasca Siswazah Universiti Utara Ma-laysia (UUM).

Mulai tahun 2003 menjadi Dosen tetap pada FakultasUshuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Selama menjalanikarir sebagai tenaga akademik, penulis juga banyak terlibatdalam berbagai kegiatan sosial, antara lain: peneliti padaLembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3),pengelola Jurnal Kebudayaan KANDIL, PSG IAIN Antasari,dan Koordinator Talkshow “Hikmah Islam” kerjasama LK3Banjarmasin dengan RRI Nusantara III Pro 3 FM

Di antara beberapa kegiatan ilmiah yang pernah diikutidi tingkat nasional adalah Workshop on Civic Education yangdiselenggarakan oleh Indonesian Centre for Civic Education(ICCE) - Universitas Islam Negeri Jakarta bekerja samadengan The Asia Foundation di Hotel Permata BidakaraBandung tanggal 15 – 24 Desember 2003 dan pemakalahAnnual Conference on Islamic Studies 2007 yang diselenggara-kan oleh Ditjen. Pendidikan Islam Depag RI dan UIN SultanSyarif Kasim Riau di Pekanbaru 21-24 November 2007.

Page 216: AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Isi - core.ac.uk · ii Agama Sebagai Universum Simbolik AGAMA SEBAGAI UNIVERSUM SIMBOLIK Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger @ Irfan Noor Pustaka

208

Agama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum SimbolikAgama Sebagai Universum Simbolik

Penulis juga banyak mengahasilkan berbagai tulisan, baikdalam bentuk makalah seminar, artikel koran maupun artikeljurnal.