adult advanced cardiovascular life support

Upload: aldyredberret

Post on 19-Oct-2015

110 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

acls

TRANSCRIPT

Tugas Anestesi

BANTUAN HIDUP KARDIOVASKULER LANJUTANUNTUK ORANG DEWASA

Oleh

Peserta KKM Reguler:Glory N. Potalangi, S.Ked (060111111)Yunifer Sutanto, S.Ked (060111003)Isera Lengkey, S.Ked (060111128)Retno Patongloan, S.Ked (060111209)Yukiwo Sumual, S.Ked (060111084)Abigael A. Datu, S.Ked (060111138)Viola Patty, S.Ked (060111074)Lily Irianty, S.Ked (060111165)Nency Batlayeri, S.Ked (050111030)Venny M. Kareth, S.Ked (030111136)Peserta KKM KBK:Ramona Monijung, S.Ked (070111067)Norce M. Tallaud, S.Ked (070111082)Indri C. Oktaviani, S.Ked (070111079)Shandy Sitorus, S.Ked (070111253)Mercurysna Winata, S.Ked (070111256)Aldian Pratama, S.Ked (070111263)Angie S. R. Kaligis, S.Ked (070111212)I Wayan Putra, S.Ked (080111066)Steve Taroreh, S.Ked (080111161)Lily Gala, S.Ked (080111161)Michelle Tomanduk, S.Ked (080111236)Ayu Indira Medika, S.Ked (080111067)Raymond Oliver Mantu, S.Ked (080111150)Leady Manarisip, S.Ked (00111132)

Pembimbing:dr.

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGIFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SAM RATULANGIMANADO2012DAFTAR ISI

8.1. Fasilitas-Fasilitas Kontrol Jalan Napas dan Ventilasi2Gambaran Umum tentang Manajemen Jalan Napas2Ventilasi dan Oksigenasi selama CPR2Oksigen pada CPR3Oksigenasi selama CPR3Oksigenasi Pasif selama CPR3Ventilasi dengan Masker Berkantong Udara4Fasilitas Jalan Napas Sederhana5Penekanan Krikoid5Jalur Orofaring5Tuba Nasofaring6Fasilitas Jalan Napas Lanjutan6Jalur Supraglotik9Tuba Esofageotrakeal10Tuba Laringeal10Jalur Masker Laringeal11Intubasi Endotrakeal12Ventilasi setelah Pemasangan Jalur Napas Lanjutan18Ventilator Otomatis untuk Transportasi (ATV)19Alat Pengisap Lendir (Suction)19Kesimpulan198.2. Penanganan Henti Jantung20Tinjauan Umum20Manajemen Henti Jantung Berbasis Irama Jantung25VF atau VT tanpa Denyutan25Strategi Defibrilasi26Terapi Obat pada VF/VT28Mengatasi Penyebab-Penyebab Reversibel dari VF/VT29ORSC setelah VF/VT29PEA / Asistol29Terapi Obat untuk PEA/Asistol30Mengatasi Penyebab-Penyebab Reversibel pada PEA/Asistol30ROSC setelah PEA/Asistol31Pengawasan selama CPR31Parameter Mekanik31Parameter Fisiologis31Denyutan32CO2 di Akhir Tidal32Tekanan Perfusi Koroner dan Tekanan Relaksasi Arterial34Saturasi Oksigen Vena Sentralis35Oksimetri Denyut35Gas-gas Darah Arterial36EKG36Akses untuk Obat Parenteral selama Henti Jantung36Waktu Memperoleh Akses IV/IO36Pemberian Obat IV Perifer37Pemberian Obat IO37Pemberian Obat via Vena Sentralis38Pemberian Obat secara Endotrakeal38Jalur Napas Lanjutan39Kapan Resusitasi harus Dihentikan?40Medikasi untuk Henti Irama Jantung40Vasopresor41Epinefrin41Vasopresin42Vasopresor Lain43Antiaritmia43Amiodaron43Lidokain44Magnesium Sulfat44Intervensi yang tidak Rutin Direkomendasikan untuk Henti Jantung45Atropin45Natrium Bikarbonat45Kalsium47Fibrinolisis47Cairan Intravena47Pacu Jantung48Pukulan Prekordial48Kesimpulan498.3. Penanganan Bradikardia dan Takikardia Simtomatik49Tinjauan Umum49Bradikardia51Evaluasi51Terapi54Takikardia56Klasifikasi Takiaritmia56Evaluasi Awal dan Terapi Takiaritmia57Kardioversi59Takikardia Kompleks Sempit Reguler60Takikardia Kompleks Lebar65Takikardia Ireguler68Fibrilasi dan Flutter Atrial68VT Polimorfik (Ireguler)69Kesimpulan71

BAB 8Bantuan Hidup Kardiovaskuler Lanjutanuntuk Orang DewasaACLS (advanced cardiovascular life support, bantuan hidup kardiovaskuler lanjutan) mempengaruhi berbagai aspek kunci dalam rantai daya-tahan-hidup. Hal ini meliputi intervensi dalam mencegah henti jantung, mengatasi henti jantung dan meningkatkan luaran (prognosis) pada pasien yang berhasil mencapai ROSC (return of spontaneous circulation, pemulihan sirkulasi spontan) setelah henti jantung. Intervensi pada pencegahan henti jantung dalam ACLS meliputi manajemen jalan napas, penggunaan ventilator, serta penanganan bradi- dan takiaritmia. Intervensi penanggulangan henti jantung didasarkan pada BLS (basic life support, bantuan hidup dasar), yakni mengevaluasi kondisi dengan cepat, mengaktifkan sistem layanan kedaruratan, CPR (cardiopulmonary resucitation, resusitasi jantung-paru) secara dini dan defibrilasi intensif untuk meningkatkan peluang tercapainya ROSC dengan bantuan farmakoterapi, manajemen jalan napas tahap lanjut dan observasi fisiologis. Setelah penderita lolos dari henti jantung, daya-tahan-hidup dan luaran neurologisnya dapat ditingkatkan dengan merawat penderita dalam instalasi perawatan paska henti jantung. Bab 8 ini memaparkan Panduan ACLS 2010 untuk orang dewasa yang meliputi: (1) Fasilitas tambahan dalam kontrol jalan napas dan ventilasi, (2) Manajemen henti jantung dan (3) Manajemen bradikardia dan takikardia yang simtomatik. Intervensi paska henti jantung akan dibicarakan pada Bab 9.Beberapa perubahan kunci pada Panduan ACLS 2005 antara lain: Rekomendasi kapnografi gelombang kuantitatif secara terus menerus untuk mengkonfirmasi dan mengawasi keberhasilan penempatan tuba endotrakeal. Penyederhanaan dan disain ulang algoritma penanganan henti jantung dengan menekankan pada pemberian CPR yang berkualitas (meliputi penekanan dada dalam frekuensi dan kedalaman yang adekuat sehingga menimbulkan pengembangan dada yang sempurna setiap selesai ditekan, membatasi interupsi selama penekanan dada dan menghindari ventilasi yang berlebihan). Atropin tidak lagi direkomendasikan sebagai obat rutin dalam penanganan kasus asistol atau PEA (pulseless electrical activity). Observasi fisiologis lebih ditekankan untuk mengoptimalkan kualitas CPR dan mendeteksi ROSC. Infus obat-obat kronotropik direkomendasikan sebagai metode alternatif dalam mengangani bradikardia simtomatik atau yang tidak stabil. Adenosis dinyatakan aman dan dijadikan sebagai terapi efektif yang potensial dalam manajemen awal takikardia dengan kompleks QRS lebar yang monomorfik, reguler, tak berdiferensiasi dan stabil.8.1. Fasilitas-Fasilitas Kontrol Jalan Napas dan VentilasiGambaran Umum tentang Manajemen Jalan NapasBagian ini menekankan beberapa rekomendasi dalam ventilasi dan oksigenasi selama CPR serta periode sebelum dan sesudah henti jantung. Tujuan ventilasi selama CPR adalah untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat dan sebisanya mengeliminasi karbondioksida. Meskipun demikian, berbagai penelitian belum dapat mengidentifikasi besarnya volume tidal, laju respirasi dan konsentrasi oksigen yang optimal selama resusitasi henti jantung.Ventilasi dan kompresi dada diduga penting pada kasus henti jantung akibat fibrilasi ventrikuler (VF) dan jenis aritmia lainnya. Perfusi sistemik maupun pulmonal sangat menurun selama CPR. Oleh karena itu, hubungan antara ventilasi dan perfusi yang normal dapat dicapai dengan ventilasi semenit yang jauh lebih rendah dari normal. Bantuan napas perlu diberikan dalam frekuensi yang lebih rendah bagi pasien yang dipasangi alat bantu pernapasan untuk mencegah hiperventilasi.Ventilasi dan Oksigenasi selama CPRCPR adalah tindakan yang menimbulkan penurunan aliran darah. Dalam hal ini, menurunnya pasokan oksigen ke jantung dan otak terjadi akibat penurunan aliran darah tersebut, bukannya terjadi akibat penurunan kadar oksigen arterial. Jadi, pada menit-menit pertama resusitasi penderita henti jantung akibat VP, pemberian oksigen tidak terlalu penting bila dibandingkan kompresi dada. Oksigenasi justru dapat menurunkan efikasi CR akibat tertundanya kompresi dada dan meningkatnya tekanan intratorakal selama ventilasi bertekanan positif. Jadi, selama menit-menit pertama resusitasi kasus henti jantung, penolong hendaknya tidak menunda kompresi dada dengan alasan memberi ventilasi. Penempatan alat bantu napas hendaknya tidak menunda pemberian CPR dan defibrilasi pada kasus henti jantung akibat VF (LOE C kelas I).Oksigen pada CPROksigenasi selama CPRBerbagai penelitian pada manusia dan hewan belum dapat menyimpulkan berapa besar konsentrasi oksigen optimal yang seharusnya diinspirasi selama CPR. Selain itu belum diputuskan pula mana yang lebih penting: inspirasi oksigen 100% (FIO2 = 1,0) ataukah oksigen titrasi. Pemberian oksigen 100% dalam jangka panjang memang terbukti berefek toksik, namun toksisitas pemberiannya dalam jangka pendek selama CPR belum dapat dibuktikan. Secara klinis, inspirasi oksigen 100% selama CPR dapat mengoptimalkan kadar oksihemoglobin arterial yang pada gilirannya dapat meningkatkan pasokan oksigen. Oleh karena itu, pemberian oksigen 100% (FIO2 = 1,0) pada kesempatan pertama cukup beralasan selama resusitasi henti jantung (LOE C kelas IIa). Manajemen oksigen setelah ROSC didiskusikan lebih lanjut pada Bab 9.Oksigenasi Pasif selama CPRVentilasi bertekanan positif yang selama ini menjadi metode utama dalam CPR kini ditinjau kembali karena dapat meningkatkan tekanan intratorakal yang mengganggu sirkulasi akibat terhambatnya aliran darah balik vena ke jantung. Ventilasi bertekanan positif dianggap penting pada kasus-kasus darurat di luar rumah sakit. Pemberian oksigen pasif melalui masker dengan jalan napas yang terbuka selama 6 menit pertama CPR oleh personil EMS (emergency medical service, layanan medis darurat) merupakan salah satu protokol intervensi (seperti halnya kompresi dada) yang terbukti dapat meningkatkan daya-tahan-hidup. Meskipun demikian, penelitian membuktikan bahwa oksigenasi pasif dengan fenestrasi tuba trakeal (tuba Boussignac) selama CPR berkelanjutan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan bila dibandingkan dengan CPR standar dalam hal oksigenasi, ROSC atau daya-tahan-hidup korban hingga mencapai rumah sakit. Hal ini karena kompresi menyebabkan udara keluar dari dada, tapi oksigen dapat masuk kembali ke dada secara pasif akibat tekanan negatif yang disebabkan oleh pengembangan dada setelah kompresi. Secara teoritis, kebutuhan ventilasi jauh lebih rendah dari normal selama henti jantung sehingga oksigenasi pasif seperti ini lebih efektif jika diberikan setelah beberapa menit paska henti jantung pada kasus dengan jalan napas yang paten. Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada bukti yang cukup untuk menghilangkan tindakan ventilasi dari prosedur CPR pada ACLS.Ventilasi dengan Masker Berkantong UdaraPenggunaan masker berkantong udara (bag-mask) merupakan metode yang dapat diterima dalam upaya ventilasi dan oksigenasi selama CPR, namun metode ini memerlukan keahlian khusus yang kompetensinya dicapai dengan latihan. Semua pemberi layanan kesehatan harus familiar dengan perangkat ini. Penggunaan masker berkantong udara tidak dianjurkan bagi penolong tunggal. Ventilasi mulut-ke-mulut atau mulut-ke-masker lebih efisien untuk penolong tunggal. Apabila ada lebih dari satu penolong, ventilasi dengan masker berkantong udara dapat dilakukan oleh penolong yang terlatih dan berpengalaman. Metode ini akan lebih efektif lagi bila keduanya sama-sama terlatih dan berpengalaman. Salah satunya mempertahankan jalan napas dan menahan masker pada wajah, sedangkan penolong lain memompa kantong udaranya. Ventilasi dengan masker berkantong udara sangat berguna ketika pemasangan alat bantu napas tertunda atau tidak berhasil. Komponen-komponen masker berkantong yang ideal didaftarkan pada Bab 5: Bantuan Hidup Dasar untuk Orang Dewasa.Penolong hendaknya menggunakan kantong udara untuk orang dewasa (1-2 L) dan memompakan 600 mL volume tidal yang dapat menimbulkan pengembangan dada selama lebih dari 1 detik. Volume ventilasi ini dianggap adekuat untuk oksigenasi dan menekan risiko inflasi lambung. Para penolong hendaknya selalu menjamin patensi jalan napas dengan mengekstensi kepala dan mengangkat dagu, menekan rahang ke arah masker dan menekan masker ke arah kepala sehingga tercipta sistem penyaluran udara yang rapat. CPR dilakukan dengan memberi 2 (dua) kali pemberian napas (masing-masing durasinya 1 detik) selama masa 3-4 detik di antara 30 (tiga puluh) kompresi dada.Ventilasi masker berkantong udara dapat menimbulkan inflasi lambung dengan berbagai komplikasinya seperti regurgitasi, aspirasi dan pneumonia. Lambung yang kembung dapat mengangkat diafragma, membatasi pergerakan paru dan menurunkan kapasitas sistem pernapasan.Fasilitas Jalan Napas SederhanaPenekanan KrikoidPenekanan krikoid pada pasien yang belum mengalami henti jantung dapat melindungi jalan napas dari kemungkinan aspirasi dan inflasi lambung selama ventilasi masker berkantong udara. Meskipun demikian, penekanan ini pun dapat menghambat ventilasi dan mengganggu posisi tuba supraglotik. Peran penekanan krikoid pada kasus-kasus henti jantung di luar maupun di dalam rumah sakit belum diteliti. Jika teknik ini dilakukan, kekuatannya harus disesuaikan, diturunkan atau dihentikan apabila menghambat ventilasi atau mengganggu penempatan alat bantu pernapasan. Penggunaannya secara rutin dalam manajemen henti jantung tidak dianjurkan (LOE C kelas III).Jalur OrofaringMeskipun belum ada penelitian yang bertujuan khusus untuk mempertimbangkan penggunaan jalur orofaring pada pasien henti jantung, metode ini secara praktis dapat menjamin ventilasi yang adekuat selama pemakaian masker berkantong karena ia mencegah lidah menyumbat jalan napas. Penempatan harus tepat karena dapat menggeser lidah ke hipofaring sehingga justru bisa menimbulkan obstruksi jalan napas. Jalur orofaring dapat digunakan untuk memudahkan ventilasi masker berkantong udara pada pasien tidak sadar tanpa refleks batuk atau refleks menelan, namun harus ditempatkan oleh personil yang sudah terlatih (LOE C kelas IIa).Tuba NasofaringJalur nasofaring berguna pada pasien yang mengalami atau berisiko mengalami obstruksi jalan napas, terutama bila rahang tidak bisa dibuka untuk menempatkan jalur orofaring. Penempatan jalur nasofaring lebih mudah dilakukan daripada jalur orofaring pada pasien yang tidak sepenuhnya kehilangan kesadaran. Perdarahan jalan napas terjadi pada 30% kasus. Ada pula 2 laporan mengenai kesalahan menempatkan jalur nasofaring pada pasien dengan fraktur basis kranial sehingga metode ini perlu dilakukan dengan hati-hati pada pasien trauma kraniofasial yang berat.Seperti halnya penggunaan alat bantu jalan napas lain, penempatan jalur nasofaring membutuhkan pelatihan, praktek dan pelatihan kembali secara adekuat. Belum ada penelitian yang khusus meninjau penggunaan jalur nasofaring pada pasien henti jantung. Jalur nasofaring dapat dilakukan untuk memudahkan ventilasi dengan masker berkantong udara pada pasien dengan obstruksi jalan napas. Pada pasien yang diketahui atau diduga menderita fraktur basis kranial atau koagulopati yang berat, penggunaan jalur orofaring lebih dianjurkan (LOE C kelas IIa).Fasilitas Jalan Napas LanjutanVentilasi yang menggunakan masker dengan atau tanpa kantong pemompa udara (misalnya pada tuba endotrakeal atau jalur supraglotik) bisa dilakukan selama CPR. Semua tenaga medis hendaknya dilatih untuk memberi oksigenasi dan ventilasi yang efektif dengan menggunakan kantong udara dan masker. Ada kasus-kasus dimana ventilasi dengan masker berkantong udara tidak cukup untuk memberi oksigenasi dan ventilasi yang adekuat. Oleh karena itu, penolong pada ACLS hendaknya terlatih dan berpengalaman dalam menempatkan fasilitas jalan napas lanjutan.Penolong harus mencermati risiko dan manfaat penggunaan fasilitas-fasilitas ini selama upaya resusitasi. Risiko-risiko tersebut tergantung pada kondisi pasien dan keahlian penolong dalam kontrol jalan napas. Belum ada penelitian yang secara langsung menilai saat yang tepat untuk menempatkan fasilitas jalan napas lanjutan dan luaran resusitasi pada kasus henti jantung. Intubasi memang dapat dilakukan pada saat kompresi dada, namun ia seringkali menimbulkan tertundanya kompresi dada selama beberapa detik. Penempatan jalur supraglotik merupakan metode alternatif untuk intubasi endotrakeal dan dapat dilakukan tanpa mengganggu tindakan kompresi dada.Penolong hendaknya selalu ingat bahwa kompresi dada lebih penting daripada insersi tuba endotrakeal atau jalur supraglotik sehingga penempatan keduanya jangan sampai menimbulkan tertundanya kompresi dada. Belum ada bukti adekuat tentang kapan waktu yang tepat untuk penempatan jalur napas ini selama resusitasi henti jantung. Dalam sebuah studi retrospektif 25.006 kasus rawat inap henti jantung, pemasangan jalur napas invasif lebih dini (< 5 menit) tidak menimbulkan peningkatan RSOC, tapi dapat meningkatkan daya-tahan-hidup-24 jam. Dalam kasus-kasus rumah sakit perkotaan, intubasi yang dilakukan dalam waktu < 12 menit pertama menghasilkan angka daya-tahan-hidup yang lebih baik dibandingkan intubasi yang dilakukan 13 menit setelah awitan henti jantung.Di kasus luar rumah sakit, baik di perkotaan maupun perifer, pasien yang diintubasi selama resusitasi memiliki daya-tahan-hidup yang lebih baik dibanding pasien yang tidak diintubasi. Sebaliknya, pada kasus rawat inap, pasien yang memerlukan intubasi selama CPR mengalami perburukan daya-tahan-hidup. Sebuah penelitian terakhir menemukan bahwa tertundanya intubasi endotrakeal, oksigenasi pasif dan sedikit tertundanya kompresi dada berhubungan dengan perbaikan neurologis pada pasien-pasien VF atau VT dengan nadi tak teraba yang ditemukan mengalami henti jantung di luar rumah sakit. Jika penempatan jalur napas lanjutan berpotensi menunda kompresi dada, penolong harus mempertimbangkan penundaan insersi jalur napas sampai pasien benar-benar gagal menunjukkan respon terhadap CPR pertama dan defibrilasi, atau bila pasien mencapai ROSC (LOE C kelas IIb).Bagi pasien dengan nadi masih teraba yang memerlukan intubasi, oksimetri dan EKG harus dimonitor selama pemasangan jalur napas. Usaha untuk intubasi hendaknya tidak mengganggu oksigenasi dan ventilasi.Untuk menggunakan jalur napas lanjutan secara efektif, tenaga medis harus mempertahankan pengetahuan dan keahlian mereka melalui latihan berkelanjutan. Setiap penolong hendaknya menguasai minimal satu metode pemasangan jalur napas buatan dan memiliki strategi cadangan dalam manajemen jalan napas dan ventilasi untuk mengantisipasi bila mereka tidak dapat melakukan pemasangan teknik pertama yang mereka kuasai. Ventilasi dengan masker berkantong udara lebih tepat dijadikan sebagai stategi cadangan tersebut.Jika jalur napas lanjutan dapat ditempatkan, penolong selanjutnya melakukan evaluasi lengkap untuk menilai apakah posisi jalur pernapasan tersebut sudah tepat. Evaluasi ini pun hendaknya tidak mengganggu kompresi dada. Evaluasi dilakukan melalui pemeriksaan fisik seperti mengamati pengembangan dada secara bilateral dan menempatkan stetoskop di epigastrium (dimana suara napas haruslah tidak terdengar) dan auskultasi paru secara bilateral (dimana suara pernapasan haruslah simetris dan adekuat). Kapnografi gelombang kontinu direkomendasikan sebagai metode yang paling reliabel dalam mengkonfirmasi dan mengawasi tepatnya penempatan tuba endotrakeal (LOE A kelas I). Penolong hendaknya mengawasi gelombang kapnografi untuk mengkonfirmasi dan mengawasi penempatan tuba endotrakeal di tempat di mana resusitasi dilakukan, di kendaraan ambulans, setibanya di rumah sakit dan setiap kali pasien dipindahkan dari satu instalasi rumah sakit ke instalasi lain. Hal ini untuk menekan risiko kesalahan penempatan tuba atau pergeserannya.Penggunaan kapnografi untuk mengkonfirmasi dan mengawasi penempatan jalur supraglotik belum diteliti sehingga penggunaannya didasarkan pada disain jalan napas. Meskipun demikian, ventilasi yang efektif melalui jalur supraglotik hendaknya tetap dikonfirmasi dan diawasi dengan gelombang kapnografi selama CPR dan setelah ROSC.Bila jalur napas lanjutan berhasil ditempatkan, kedua penolong hendaknya mengentikan siklus CPR (kompresi dada yang diselingi ventilasi) kecuali bila ada tanda-tanda bahwa ventilasi tidak adekuat bila kompresi dihentikan. Jika demikian, penolong harus tetap melakukan kompresi dada dengan frekuensi paling kurang 100 kali/menit tanpa jeda untuk melakukan ventilasi. Penolong lainnya melakukan ventilasi berupa 1 kali pompa napas setiap 6-8 detik (atau 8-10 napas/menit). Para penolong hendaknya menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan karena dapat menurunkan volume aliran darah balik vena dan COP selama CPR dilakukan. Kedua penolong hendaknya pula berganti peran (antara penekan dada dan pemberi ventilasi) setiap 2 menit untuk mencegah capeknya penekan dada yang dapat mengganggu kualitas dan frekuensi kompresi dada. Bila ada lebih dari dua penolong, mereka sebaiknya bergantian untuk menekan dada setiap 2 menit.Jalur SupraglotikJalur supraglotik adalah alat yang didisain untuk mempertahankan terbukanya jalan napas dan mempermudah ventilasi. Tidak seperti intubasi endotrakeal, intubasi dengan jalur supraglotik tidak membutuhkan visualisasi glotis sehingga latihan awal dan pemantapannya akan lebih mudah dilakukan. Insersi jalur supraglotik pun tidak akan menunda kompresi dada karena sifatnya yang tidak memerlukan visualisasi. Jalur supraglotik yang telah diteliti penggunaannya dalam kasus henti jantung adalah LMA (laryngeal mask airway, masker laringeal), tuba esofageotrakeal (Combitube) dan tuba laringeal (LT atau King LT). Penolong yang terlatih dalam menggunakan perangkat-perangkat jalur supraglotik tersebut akan bisa menempatkannya dengan aman dan menghasilkan ventilasi secara efektif seperti yang bisa dihasilkan oleh masker berkantong udara maupun tuba endotrakeal.Intervensi dengan jalur napas lanjutan cukup rumit tekniknya. Kegagalan bisa terjadi sehingga penting untuk mempertahankan keterampilan melalui pengalaman dan latihan sesering mungkin. Penting pula diingat bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa perangkat-perangkat jalur napas lanjutan ini dapat meningkatkan daya-tahan-hidup untuk kasus-kasus henti jantung di luar rumah sakit. Selama CPR yang dilakukan oleh penolong yang terlatih, jalur supraglotik merupakan alternatif yang beralasan untuk ventilasi masker berkantong udara (LOE B kelas IIa) dan intubasi endotrakeal (LOE A kelas IIa).Tuba EsofageotrakealManfaat dari tuba esofageotrakeal (Combitube) sama seperti manfaat yang dihasilkan oleh tuba endotrakeal. Keduanya lebih superior dari ventilasi masker berkantong udara karena bersifat mengisolasi jalan napas, risiko aspirasi lebih rendah dan menghasilkan ventilasi yang lebih baik. Keunggulan tuba esofageotrakeal dibanding tuba endotrakeal adalah lebih mudah dilatih penggunaannya, sedangkan ventilasi dan oksigenasi yang dihasilkannya sama saja dengan tuba endotrakeal.Melalui beberapa penelitian klinis dengan subyek kontrol yang melibatkan kasus-kasus resusitasi orang dewasa di dalam maupun luar rumah sakit, penolong dengan level pengalaman apapun dapat menempatkan tuba esofageotrakeal dan melakukan ventilasi dengan lebih mudah jika dibandingkan saat mereka menggunakan tuba endotrakeal. Dalam sebuah studi retrospektif, tidak ditemukan perbedaan luaran antara pasien yang ditangani dengan tuba esofageotrakel dan pasien dengan tuba endotrakeal. Tuba esofageotrakeal dilaporkan berhasil menghasilkan ventilasi yang baik selama CPR pada 62-100% pasien. Bagi para tenaga medis profesional yang terlatih menggunakan tuba esofageotrakeal, perangkat ini merupakan alternatif yang beralasan bagi ventilasi masker berkantong udara (LOE C kelas IIa) maupun tuba endotrakeal (LOE A kelas IIa) dalam manajemen jalan napas di kasus-kasus henti jantung.Beberapa komplikasi fatal dapat terjadi dalam penggunaan tuba esofageotrakeal bila posisi lumen distal pada esofagus dan trakea diidentifikasi dengan salah. Untuk alasan ini, konfirmasi penempatan tuba penting dilakukan. Kemungkinan komplikasi lainnya adalah trauma esofagus seperti laserasi, lecet dan emfisema subkutan.Tuba LaringealKeunggulan tuba laringeal (LT atau King LT) sama dengan tuba esofageotrakeal, namun perangkat yang satu ini memiliki disain yang lebih padat dan tidak sulit untuk ditempatkan. Tidak seperti tuba esofageotrakeal, tuba laringeal hanya bisa mencapai esofagus. Saat ini publikasi mengenai penggunaan tuba laringeal pada henti jantung masih terbatas. Pada sebuah serial kasus yang menilai 40 pasien henti jantung luar rumah sakit, insersi tuba laringeal oleh paramedis yang terlatih dapat dilakukan dengan baik dan menghasilkan ventilasi yang efektif pada 85% pasien. Ventilasi pada 6 pasien dianggap tidak efektif karena pecahnya cuff pada 3 pasien dan regurgitasi serta aspirasi berat pada 3 pasien lain sebelum tuba laringeal berhasil ditempatkan.Penelitian luar rumah sakit lain pada 157 usaha penempatan tuba laringeal menunjukkan bahwa perangkat ini memiliki angka keberhasilan 97% pada populasi subyek yang beragam, baik yang mengalami henti jantung maupun tidak. Bagi tenaga medis profesional yang terlatih menggunakan tuba laringeal, alat ini dapat dipertimbangkan sebagai alternatif yang baik untuk ventilasi masker berkantong udara (LOE C kelas IIb) maupun intubasi endotrakeal (LOE C kelas IIb) dalam manajemen jalan napas pada kasus-kasus henti jantung.Jalur Masker LaringealMasker laringeal menghasilkan ventilasi yang lebih aman dan reliabel dibanding masker wajah biasa. Meskipun masker laringeal tidak menjamin proteksi mutlak terhadap risiko aspirasi, berbagai penelitian membuktikan bahwa masker laringeal menimbulkan lebih sedikit regurgitasi dibandingkan masker berkantong udara sehingga jarang terjadi aspirasi. Jika dibandingkan dengan tuba endotrakeal, masker laringeal menghasilkan ventilasi yang sama baiknya. Keberhasilan ventilasi dalam CPR dilaporkan mencapai 72-97%.Insersi masker laringeal tidak membutuhkan laringoskopi dan visualisasi pita suara sehingga latihan penempatannya akan lebih mudah dibanding intubasi endotrakeal. Masker laringeal juga lebih unggul dibanding tuba endotrakeal saat akses ke pasien terbatas, ada kemungkinan cidera leher yang tidak stabil, atau pada kasus dimana tidak mungkin mengubah posisi pasien untuk penempatan tuba endotrakeal.Hasil-hasil dari berbagai penelitian pada pasien anestesi umum yang menilai keberhasilan penggunaan masker laringeal dibandingkan intubasi endotrakeal dan perangkat ventilasi lain menunjukkan bahwa masker laringeal lebih mudah digunakan oleh para perawat, ahli terapi respirasi, personil EMS, dan tenaga-tenaga medis lain yang belum pernah menggunakan perangkat ini.Kegagalan ventilasi setelah insersi masker laringeal dapat terjadi. Oleh karena itu, penolong hendaknya memiliki strategi alternatif untuk menempatkan jalur napas lainnya. Penolong yang menempatkan masker laringeal sebaiknya memperoleh pelatihan yang adekuat dan melatih keterampilannya secara reguler. Angka keberhasilan dan timbulnya komplikasi harus diawasi ketat. Bagi para tenaga medis profesional yang terlatih menggunakan masker laringeal, alat ini dapat menjadi alternatif untuk ventilasi masker berkantong udara (LOE B kelas IIa) maupun intubasi endotrakeal (LOE C kelas IIa) dalam manajemen jalan napas pada kasus henti jantung.Intubasi EndotrakealTuba endotrakeal pernah menjadi metode terbaik dalam penanganan jalan napas kasus-kasus henti jantung. Meskipun demikian, intubasi endotrakeal yang dilakukan oleh tenaga kurang terlatih dapat menimbulkan komplikasi seperti trauma orofaring, tertundanya kompresi dan ventilasi dalam jangka waktu yang cukup lama, serta hipoksemia akibat intubasi yang terlalu lama atau ketidakmampuan mendeteksi kesalahan dalam penempatan tuba. Jelas bahwa insidens komplikasi sangat tinggi bila metode ini dilakukan oleh tenaga yang kurang terlatih atau pengawasan penempatan tuba tidak adekuat. Metode optimal dalam penanganan jalan napas selama kasus henti jantung dipengaruhi oleh pengalaman penolong, karakteristik sistem pelayanan kesehatan dan kondisi pasien itu sendiri. Pengalaman dan latihan sesering mungkin direkomendasikan bagi tenaga medis yang akan melakukan intubasi endotrakeal (LOE B kelas I). Sistem penanganan darurat yang melakukan intubasi endotrakeal di luar rumah sakit hendaknya melakukan program untuk senantiasa meningkatkan keterampilan personilnya agar komplikasi dapat ditekan.Belum ada uji klinis prospektif acak bersubyek kontrol pernah dibuat untuk membandingkan penggunaan ventilasi masker berkantong udara dan intubasi endotrakeal secara langsung pada pasien henti jantung dewasa. Sebuah uji prospektif acak bersubyek kontrol untuk anak-anak pada sistem pelayanan darurat luar rumah sakit dengan jangka waktu transportasi ke rumah sakit yang cukup pendek menunjukkan bahwa tidak ada keunggulan intubasi endotrakeal terhadap masker berkantong udara dinilai dari segi daya-tahan-hidup pasien. Tenaga medis pada penelitian ini memiliki latar belakang latihan dan pengalaman yang terbatas.Tuba endotrakeal dapat mempertahankan patensi jalan napas, memudahkan pengisapan sekret jalan napas, memungkinkan dialirkannya oksigen berkonsentrasi tinggi, menyediakan rute alternatif bagi obat-obat tertentu, memudahkan dialirkannya volume tidal secara terukur dan dengan penggunaan cuff, metode ini dapat melindungi jalan napas dari risiko aspirasi.Indikasi intubasi endotrakeal darurat adalah (1) ketidakmampuan melakukan ventilasi secara adekuat dengan masker berkantong udara pada pasien tidak sadar dan (2) tidak adanya refleks protektif bagi jalan napas seperti pada pasien koma atau henti jantung. Penolong harus memiliki latihan dan pengalaman yang cukup dalam intubasi endotrakeal.Selama CPR, penolong hendaknya mengurangi jumlah dan durasi penundaan kompresi dada. Tujuan kongkritnya adalah membatasi penundaan kompresi agar tidak melebihi 10 detik. Penundaan kompresi untuk pemasangan jalur supraglotik tidak dibolehkan sama sekali. Penundaan kompresi untuk intubasi endotrakeal dapat dibatasi dengan pemasangan laringoskop ketika tuba telah dipegang dan siap diinsersi. Ini dilakukan sesegera mungkin setelah jeda kompresi dada. Kompresi hanya bisa ditunda untuk visualisasi pita suara dan untuk insersi tuba itu sendiri. Idealnya proses ini membutuhkan waktu kurang dari 10 detik. Penolong yang melakukan kompresi hendaknya telah siap melanjutkan kompresinya sesegera mungkin setelah tuba telah berhasil melewati pita suara. Bila intubasi pertama tidak berhasil, usaha kedua dibolehkan, tapi harus mulai mempertimbangkan penggunaan jalur supraglotik.Dalam sebuah studi retrospektif, kesalahan menempatkan tuba dan ketidakmampuan mendeteksi kesalahan ini terjadi pada 6-25% kasus. Hal ini mencerminkan kurangnya latihan dan pengalaman tenaga medis yang melakukan intubasi. Bisa juga karena bergesernya tuba karena pergerakan tubuh pasien meskipun tuba berhasil ditempatkan sebelumnya. Risiko salah penempatan tuba, pergeseran posisi tuba dan obstruksi jalan napas cukup tinggi, terutama pada pasien yang tubuhnya sering digerakkan. Jadi meskipun nampaknya tuba telah melewati pita suara dan posisi tuba telah dikonfirmasi melalui pengembangan dada dan auskultasi selama ventilasi bertekanan positif, para penolong hendaknya melakukan konfirmasi tambahan mengenai tetapnya posisi tuba pada tempatnya melalui gelombang kapnografi atau detektor CO2 pada udara ekspirasi maupun detektor esofageal (EDD, esophageal detector device).Penolong hendaknya menggunakan pemeriksaan fisik dan perangkat konfirmatif untuk meyakinkan penempatan tuba segera setelah insersi. Hal ini dilakukan lagi setiap kali tubuh pasien digerakkan. Meskipun demikian, belum ada teknik konfirmatif tunggal yang sepenuhnya reliabel. Kapnografi bersamaan dengan pemeriksaan fisik direkomendasikan sebagai metode paling reliabel dalam mengkonfirmasi dan mengawasi tepatnya penempatan tuba endotrakeal (LOE A kelas I).Jika kapnografi tidak dapat dilakukan, EDD atau monitor CO2 udara ekspirasi dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan fisik (LOE B kelas IIa). Teknik-teknik untuk mengkonfirmasi penempatan tuba endotrakeal didiskusikan sebagai berikut.Pemeriksaan Fisik untuk Mengkonfirmasi Penempatan TubaPenolong hendaknya melakukan pemeriksaan fisik sesegera mungkin setelah insersi tuba tanpa mengganggu kompresi dada. Penliaiannya meliputi inspeksi pengembangan dada secara bilateral, auskultasi epigastrium (suara pernapasan harus tidak terdengar) dan auskultasi lapangan paru (suara pernapasan harus terdengar simetris dan adekuat). Pemeriksaan fisik hendaknya dikombinasikan dengan penggunaan alat tertentu (lihat penjelasan berikutnya). Jika ada keraguan tentang posisi tuba, gunakan laringoskop untuk visualisasi saat tuba melewati pita suara. Jika masih tetap ada keraguan, cabut tuba dan lakukan ventilasi masker berkantong udara hingga tuba dapat ditempatkan dengan benar.Penggunaan Instrumen untuk Mengkonfirmasi Penempatan TubaPenolong hendaknya melakukan pemeriksaan fisik dikombinasikan dengan instrumen tertentu untuk mengkonfirmasi lokasi tuba sesegera mungkin setelah insersi dan selama proses resusitasi. Dua penelitian pasien henti jantung menunjukkan senstivitas 100% dan spesivisitas 100% penggunaan gelombang kapnografi dalam mengidentifikasi penempatan tuba endotrakeal pada pasien henti jantung. Meskipun demikian, 3 penelitian lain hanya membuktikan sensitivitas 64% dan spesivisitas 100% penggunaan kapnografi pada kasus-kasus resusitasi atau transportasi ke rumah sakit yang lama.Detektor CO2 Udara EkspirasiDeteksi karbondioksida pada udara ekspirasi merupakan salah satu dari beberapa metode independen untuk mengkonfirmasi penempatan tuba endotrakeal. Penelitian dengan gelombang kapnografi untuk konfirmasi posisi tuba endotrakeal pada pasien henti jantung menunjukkan sensitivitas 100% dan spesivisitas 100% dalam identifikasi tepatnya penempatan tuba. Gelombang kapnografi yang kontinu direkomendasikan sebagai metode pendamping bagi pemeriksaan fisik dalam mengkonfirmasi dan mengawasi penempatan tuba endotrakeal (LOE A kelas I).Sederhanya detektor CO2 udara ekspirasi kolorimetrik tanpa gelombang membuat perangkat ini dapat digunakan untuk mendampingi pemeriksaan fisik dalam mengkonfirmasi penempatan tuba pada pasien henti jantung bila kapnografi bergelombang tidak tersedia (LOE B kelas IIa). Meskipun demikian, beberapa studi tentang penggunaan detektor CO2 kolorimetrik dan kapnometer PETCO2 tanpa gelombang menunjukkan bahwa akurasi kedua alat ini tidak mengungguli akurasi auskultasi dan inspeksi dalam mengkonfirmasi posisi trakeal pada intubasi endotrakeal pasien henti jantung.Terdeteksinya CO2 pada udara ekspirasi pasien henti jantung merupakan indikator yang reliabel dalam menunjukkan tepatnya posisi tuba di trakea. Hasil positif palsu (CO2 terdeteksi tapi tuba memasuki esofagus) dapat diperoleh pada percobaan hewan setelah memakan cairan berkarbonasi dalam jumlah besar sebelum dilakukan insersi. Dalam hal ini, gelombang kapnografi tidak berlanjut meskipun CO2 terdeteksi pada udara ekspirasi.Hasil negatif palsu (kegagalan mendeteksi CO2 meskipun posisi tuba sudah tepat) bisa diperoleh akibat beberapa alasan. Penyebab yang paling sering ditemukan adalah rendahnya aliran darah dan konsentrasi CO2 dalam paru. Hasil negatif palsu juga dikaitkan dengan adanya emboli paru karena penurunan aliran darah dan kadar CO2 paru yang ditimbulkannya. Jika detektor terkontaminasi dengan cairan lambung atau obat yang asam (misalnya epinefrin yang dimasukkan secara endotrakeal), alat kolorimetrik dapat menampilkan warna yang konstan, bukannya perubahan warna dari napas yang satu ke napas yang lain. Selain itu, ekspirasi dan deteksi CO2 dapat menurun secara drastis pada obstruksi jalan napas yang berat (misalnya status asmatikus) dan edema paru. Karena alasan-alasan tersebut, jika CO2 tidak berhasil dideteksi pada udara ekspirasi, kami merekomendasikan metode kedua untuk mengkonfirmasi penempatan tuba, misalnya visualisasi langsung dengan EDD.Penggunaan detektor CO2 untuk menentukan tepatnya penempatan jalur napas lanjutan (seperti Combitube dan masker laringeal) belum diteliti sehingga penggunaannya lebih didasarkan pada disain jalan napas. Meskipun demikian, ventilasi yang efektif melalui jalur supraglotik biasanya akan memperlihatkan gelombang kapnografik selama CPR dan setelah ROSC.EDDAlat detektor esofagus (EDD) merupakan sebuah bulatan yang ditempatkan di ujung tuba endotrakeal. Jika tuba sudah ada dalam esofagus (hasil positif pada EDD), hisapan oleh EDD akan membuat lumen esofagus menjadi kolaps dan mukosa esofagus tertarik dan menekan ujung tuba sehingga bulatan EDD tidak akan bisa mengembang lagi. EDD pun bisa berupa tabung hisap (seperti tabung injeksi tanpa jarum) yang ditempatkan di ujung tuba endotrakeal dimana penolong harus menarik tangkai penghisapnya. Jika ujung tuba endotrakeal telah mencapai esofagus, penolong tidak akan mungkin menarik tangkai penghisap (aspirasi udara) karena tidak adanya udara di esofagus.Meskipun demikian, penelitan-penelitian tentang kedua jenis EDD tersebut menunjukkan bahwa akurasi keduanya tidak mengungguli auskultasi dan visualisasi langsung pita suara untuk mengkonfirmasi posisi trakeal dari tuba endotrakeal pada pasien henti jantung. Tapi karena mudahnya penggunaan EDD, alat ini dapat digunakan sebagai metode pertama untuk mengkonfirmasi penempatan tuba sebagai pendamping bagi pemeriksaan fisik pasien henti jantung apabila kapnografi gelombang tidak tersedia (LOE B kelas IIa).EDD dapat menunjukkan hasil yang salah pada pasien obesitas berat, kehamilan trimester lanjut, pasien status asmatikus atau bila ada sekret esofagus dalam jumlah yang besar karena kecenderungan esofagus untuk kolaps secara spontan pada keadaan-keadaan tersebut. Belum ada bukti bahwa EDD cukup akurat dalam pengawasan kontinu posisi tuba.Tahanan Listrik Dada Tahanan listrik transtorakal sedikit lebih tinggi (namun cukup signifikan) pada saat inspirasi dibandingkan saat ekspirasi. Udara merupakan konduktor listrik yang buruk. Penelitian-penelitan dasar menunjukkan bahwa perubahan pada tahanan listrik dada dapat ditunjukkan oleh lempeng defibrilasi dan dapat membedakan apakah tuba endotrakeal berhasil memasuki trakea atau hanya masuk ke esofagus.Ada dua publikasi laporan yang melibatkan 6 pasien menunjukkan perubahan pada tahanan listrik dada ketika tuba endotrakeal hanya masuk ke esofagus. Ada pula bukti-bukti yang lemah mengenai penggunaan tahanan listrik dada dalam menilai akurasi ventilasi selama CR. Keputusan tindakan hendaknya tidak didasarkan semata pada tahanan listrik dada, kecuali bila ada studi-studi lanjut yang bisa membuktikan akurasi metode ini pada populasi pasien henti jantung.Manajemen Jalan Napas Paska-IntubasiSetelah insersi dan konfirmasi posisi tuba endotrakeal, penolong hendaknya mencatat kedalaman masuknya tuba berdasarkan perpotongan tuba dengan gigi. Tuba selanjutnya difiksasi. Akan ada kemungkinan pergeseran tuba endotrakeal selama fleksi dan ekstensi kepala, atau ketika pasien dipindahkan lokasinya. Pengawasan posisi tuba secara terus menerus dengan menggunakan gelombang kapnografi direkomendasikan. Tuba endotrakeal hendaknya difiksasi dengan plester atau alat komersial lainnya (LOE C kelas I). Fiksasi alat atau plester tersebut hendaknya tidak menimbulkan penekanan pada sisi depan dan samping leher sehingga mengganggu aliran darah balik vena dari otak.Sebuah penelitian luar rumah sakit dan 2 penelitian di unit perawatan intensif menunjukkan bahwa sejumlah alat komersial untuk fiksasi tuba merupakan metode yang sama efektifnya dengan penggunaan plester tradisional. Alat-alat komersial ini bisa dipertimbangkan selama pemindahan pasien (LOE C kelas IIb). Setelah posisi tuba dikonfirmasi dan difiksasi, lakukan foto rontgen dada (jika memungkinkan) untuk mengkonfirmasi bahwa ujung tuba endotrakeal berposisi di atas karina. Ventilasi setelah Pemasangan Jalur Napas LanjutanKecuali laju respirasi, belum diketahui apakah evaluasi parameter-parameter pernapasan lainnya (seperti ventilasi permenit, tekanan puncak) selama CPR dapat mempengaruhi luaran pasien. Meskipun demikian, ventilasi bertekanan positif dapat meningkatkan tekanan intratorakal sehingga menurunkan aliran darah balik vena dan COP, terutama pada pasien hipovolemik atau dengan penyakit obsruksi jalan napas. Ventilasi pada laju respirasi yang tinggi (> 25 kali/menit) sering terjadi selama resusitasi henti jantung. Pada model hewan percobaan, laju respirasi yang lebih rendan (6-12 kali/menit) dikaitkan dengan perbaikan parameter hemodinamik dan daya-tahan-hidup jangka pendek.Karena COP yang lebih rendah selama henti jantung, kebutuhan akan ventilasi ikut menurun. Setelah pemasangan jalur napas lanjutan, penolong yang memberi ventilasi hendaknya memompakan 1 napas setiap 6-8 detik (atau 8-10 napas/menit) tanpa menimbulkan jeda pada kompresi dada (kecuali ventilasi dinilai tidak adekuat bila kompresi dihentikan) (LOE C kelas IIb). Pengawasan laju respirasi selama CPR akan memberi umpan balik yang memungkinkan penolong menilai kualitas tindakannya sehingga dapat dihasilkan pengembangan paru yang optimal.Ventilator Otomatis untuk Transportasi (ATV)Pada kasus di dalam maupun luar rumah sakit, ATV (automatic transport ventilator, ventilator otomatis untuk transportasi) dapat digunakan untuk ventilasi pasien dewasa yang tidak mengalami henti jantung dan sudah dipasangi jalur napas lanutan (LOE C kelas IIb). Hanya ada sedikit penelitian yang mengevaluasi penggunaan ATV yang disambungkan ke jalur napas lanjutan selama upaya resusitasi berlangsung. Dalam resusitasi yang berlangsung lama, penggunaan ATV (yang digerakkan secara pneumatik dan siklusnya ditentukan dengan waktu atau tekanan udara) membolehkan personil EMS untuk melakukan tindakan lain sepanjang ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dapat dicapai dengan AVT (LOE C kelas IIb). Para penolong harus mempersiapkan masker berkantong udara untuk cadangan bila AVT gagal.Alat Pengisap Lendir (Suction)Alat pengisap lendir yang portabel maupun yang paten di dinding ruangan harus selalu tersedia selama resusitasi darurat. Unit portabel hendaknya dapat menimbulkan daya hisap dan aliran udara yang adekuat melalui pengisapan fariengeal. Perangkat ini hendaknya berkaliber cukup besar dan tidak mudah terlipat serta dilengkapi ujung faringeal yang agak kaku. Sejumlah kateter pengisap steril dalam berbagai ukuran hendaknya selalu tersedia untuk mengisap melalui lumen jalur napas lanjutan, dilengkapi pula dengan botol penampung lendir yang tidak mudah pecah dan air steril untuk membersihkan selang dan kateter. Unit pengisap ini hendaknya cukup kuat untuk menimbulkan aliran udara >40 Liter/menit dan tenaga vakum >300 mmHg ketika tuba dimampatkan. Daya hisap ini hendaknya disesuaikan bila digunakan pada anak-anak dan pasien yang diintubasi.KesimpulanSemua tenaga medis hendaknya dapat melakukan ventilasi dengan masker berkantong udara selama CPR atau ketika pasien menunjukkan gangguan kardiorespiratorik. Kontrol jalan napas dengan jalur napas lanjutan seperti tuba endotrakeal atau jalur supraglotik merupakan keahlian ACLS dasar. Penundaan kompresi dada dalam waktu lama hendaknya dijauhi selama pemasangan jalur napas lanjutan. Semua penolong hendaknya bisa mengkonfirmasi dan mengawasi posisi jalur napas lanjutan. Keahlian kunci ini dibutuhkan untuk menjamin keamanan dan penggunaan efektif instrumen-instrumen tersebut. Latihan, pengalaman dan evaluasi keberhasilan serta komplikasinya lebih diutamakan daripada jenis jalur napas lanjutan yang dipilih selama CPR.8.2. Penanganan Henti JantungTinjauan UmumBagian ini memaparkan perawatan umum untuk pasien henti jantung dan memberikan tinjauan mengenai algoritma henti jantung bagi orang dewasa berdasarkan ACLS 2010 (Gambar 1 dan 2). Henti jantung dapat disebabkan oleh 4 jenis irama: fibrilasi ventrikel (VF), takikardia ventrikuler (VT) tanpa denyutan, aktivitas elektrik tanpa denyutan (PEA, pulseless electric activity) dan asistol. VF merupakan aktivitas elektrik yang tidak teratur, sedangkan VT menunjukkan aktivitas elektrik miokardium ventrikel yang masih teratur. Kedua irama ini menghasilkan aliran darah yang signifikan. PEA merupakan sekelompok gangguan heterogen yang bermanifestasi sebagai irama elektrik yang teratur namun aktivitas mekanik pada ventrikelnya tidak ada atau mengalami penurunan sehingga nyaris tidak menghasilkan denyutan yang bisa dideteksi. Asistol (mungkin lebih tepatnya disebut asistol ventrikel) menunjukkan hilangnya aktivitas elektrik ventrikel dengan atau tanpa aktivitas elektrik atrium.Daya-tahan-hidup setelah terjadinya irama-irama tersebut dicapai dengan keterampilan BLS dan sistem ACLS disertai adanya unit perawatan paska henti jantung. Dasar dari keberhasilan ACLS adalah CPR yang berkualitas dan defibrilasi pada menit pertama kolaps jantung (pada kasus VF atau VT). Untuk pasien VF, CPR dini dan defibrilasi intensif dapat meningkatkan daya-tahan-hidup secara signifikan sehingga pasien dapat dipulangkan dari rumah sakit. Hal ini berbeda dengan sejumlah teknik ACLS lain (seperti obat-obatan dan jalur napas lanjutan) yang meskipun meningkatkan peluang ROSC, teknik-teknik tersebut belum terbukti dapat menigkatkan daya-tahan-hidup secara signifikan sehingga pasien berhasil dipulangkan.

Gambar 1. Algoritma ACLS untuk Henti Jantung

Gambar 2. Algoritma Sirkuler ACLS untuk Henti Jantung

Banyak penelitian klinis telah menguji intervensi-intervensi ACLS ini dan menghasilkan kesimpulan baru tentang lebih pentingnya CPR berkualitas dan pengembangan-pengembangan pada unit perawatan paska henti jantung (lihat Bab 9). Selanjutnya masih harus dibuktikan apakah perbaikan pada angka ROSC yang dicapai dengan intervensi-intervensi ACLS ini dapat menghasilkan luaran jangka panjang yang lebih baik jika dikombinasikan dengan CPR berkualitas dan intervensi paska henti jantung seperti hipotermia terapeutik dan PCI (percutaneous coronary intervention, intervensi arteri koroner perkutan) secara dini.Algoritma henti jantung bagi orang dewasa dalam ACLS 2010 (Gambar 1 dan 2) ditampilkan secara tradisional dalam bentuk alur kotak dan garis serta format baru yang sirkuler. Kedua format ini disediakan untuk memudahkan pembelajaran dan agar lebih mudah diingat. Algoritma tersebut telah disederhanakan dan didisain kembali untuk menekankan pentingnya CPR berkualitas tinggi yang merupakan dasar bagi semua tipe irama pada henti jantung. Jeda periodik pada CPR hendaknya dibuat sesingkat mungkin dan hanya dilakukan untuk menilai irama jantung, membuat kejutan untuk VF/VT, menilai karakteristik denyutan bila iramanya sudah teratur, atau untuk menempatkan jalur pernapasan lanjutan seperti yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Dianjurkan untuk melakukan pengawasan dan peningkatan kualitas CPR dalam hal mekanik (seperti frekuensi dan kedalaman kompresi dada, adekuatnya relaksasi setelah kompresi dan minimalnya jeda) serta dalam hal fisiologis (jika memungkinkan untuk mengukur PETCO2 [partial pressure of end-tidal CO2 atau tekanan parsial CO2 pada akhir volume tidal], tekanan arterial selama fase relaksasi kompresi dada dan SCVO2 [central venous oxygen saturation atau saturasi oksigen vena sentralis]). Jika jalur napas lanjutan tidak ada, rasio kompresi-ventilasi yang dianjurkan adalah 30:2 dengan laju kompresi minimal 100 kali/menit. Setelah pemasangan jalur supraglotik atau tuba endotrakeal, kompresi dada dapat dilakukan minimal 100 kali/menit tanpa jeda untuk melakukan ventilasi, dimana ventilasi dilakukan bersamaan dengan kompresi dengan dosis 1 napas setiap 6-8 detik (atau 8-10 napas/menit). Harus dihindari pemberian ventilasi yang berlebihan.Selain CPR berkualitas tinggi, satu-satunya terapi spesifik untuk gangguan irama jantung yang terbukti dapat meningkatkan daya-tahan-hidup adalah defibrilasi untuk kasus VF atau VT. Oleh karena itu intervensi ini dijadikan sebagai bagian integral dalam siklus CPR, yakni apabila pengecekan irama jantung menunnjukkan adanya VF atau VT tanpa denyutan. Intervensi ACLS lain selama henti jantung dikaitkan dengan peningkatan angka ROSC, namun belum terbukti dapat meningkatkan daya-tahan-hidup hingga pasien dapat dipulangkan ke rumah. Oleh karena itu mereka hanya direkomendasikan untuk dipertimbang-kan dan hendaknya dilakukan tanpa mempengaruhi kualitas CPR atau defibrilasi. Dengan kata lain, pemasangan infus, pemberian obat dan pemasangan jalur napas lanjutan hendaknya tidak menyebabkan jeda yang signifikan pada kompresi dada atau menunda defibrilasi. Belum ada bukti yang cukup untuk menentukan rekomendasi watu pemberian obat dan pemasangan jalur napas lanjutan pada kasus henti jantung. Pada sebagaian besar kasus, waktu dan pengulangan intervensi-intervensi sekunder ini tergantung pada jumlah tenaga medis yang berpartisipasi dalam resusitasi dan level keterampilan mereka. Waktu dan pengulangan tindakan juga dipengaruhi oleh apakah akses vaskuler sudah ada dan apakah jalur napas lanjutan sudah terpasang pada saat henti jantung terjadi.Penting untuk memahami diagnosis dan terapi penyebab terjadinya gangguan irama pada kasus henti jantung. Selama penanganan henti jantung, tenaga medis hendaknya mempertimbangkan 5H dan 5T untuk mengidentifikasi dan menanggulangi faktor-faktor yang mungkin menyebabkan henti jantung atau yang dapat mempersulit resusitasi (Tabel 1).Irama jantung sering berubah-ubah selama resusitasi dilakukan. Oleh karena itu penanganan hendaknya disesuaikan secara bertahap berdasarkan irama jantungnya. Tenaga medis hendaknya selalu siap untuk melakukan kejutan listrik bila pasien asistol atau PEA ditemukan mengalami VF atau VT saat pengecekan irama jantung. Belum ada bukti yang menyimpulkan bahwa strategi resusitasi untuk irama henti jantung yang baru didasarkan pada karakteristik irama sebelumnya. Obat-obatan yang diberikan selama resusitasi hendaknya diawasi. Dosis totalnya perlu dihitung untuk menghindari potensi toksik.Tabel 1. Penyebab-penyebab henti jantung yang masih dapat diatasi (5H dan 5T)5H5T

HipoksiaHipovolemiaHydrogen ion (asidosis)Hipo- dan hiperkalemiaHiponatremiaToksinTamponade jantungTension pneumothoraxTrombosis paruTrombosis jantung

Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai 5H dan 5T, baca Bab 12 tentang Situasi Khusus selama Resusitasi.

Jika pasien sudah mencapai ROSC, perawatan di unit paska henti jantung harus dimulai sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya henti jantung kembali dan mengoptimalkan kesempatan pasien mencapai daya-tahan-hidup jangka panjang dengan fungsi neurologis yang masih baik (lihat Bab 9). Akhirnya, kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar upaya resusitasi tidak berakhir dengan ROSC. Kriteria untuk menghentikan resusitasi akan dijelaskan secara singkat pada bagian Kapan Resusitasi Harus Dihentikan?Manajemen Henti Jantung Berbasis Irama JantungPada sebagian besar kasus henti jantung, penolong pertama hendaknya langsung memulai CPR dengan kompresi dada dan penolong kedua harus menyiapkan serta menghidupkan defibrilator, menempatkan lempeng adhesif, lalu memeriksa irama jantung. Lempeng elektroda hendaknya ditempelkan langsung pada kulit dada di posisi anterlateral. Posisi alternatif yang bisa diterima adalah anteroposterior, anterosinistral daerah infraskapuler dan anterodekstal daerah infraskapuler. Pengecekan irama jantung harus dilakukan dengan cepat. Jika iramanya teratur, pengecekan denyut jantung harus dilakukan. Jika ada keraguan tentang ada tidaknya denyutan, kompresi dada harus dilanjutkan pada kesempatan pertama. Jika monitor jantung sudah terpasang sebelumnya, irama jantung dapat diawasi sebelum CPR dimulai.VF atau VT tanpa DenyutanKetika pengecekan irama jantung melalui AED (automated external defibrillator, defibrilator otomatis eksternal) menunjukkan adanya VF/VT, AED biasanya secara otomatis menginstruksikan untuk melakukan charge, lalu clear (menyiapkan) pasien untuk kejutan listrik, lalu deliver (melakukan kejutan listrik). Semua instruksi otomatis tersebut hendaknya dilakukan secepat mungkin. CPR harus dilanjutkan segera setelah kejutan (tanpa pengecekan irama maupun denyut jantung; dimulai dengan melakukan kompresi dada), dilakukan selama 2 menit sebelum pengecekan irama jantung selanjutnya.Bila pengecekan irama jantung melalui defibrilator manual menunjukkan adanya VF/VT, penolong pertama harus melanjutkan CPR, sedangkan penolong kedua mempersiapkan defibrilator. Setelah defibrilator siap, CPR dihentikan untuk menyiapkan pasien. Setelah pasien siap, penolong kedua memberi 1 kejutan secepat mungkin untuk membatasi penundaan kompresi dada (fase lepas-tangan / hands-off interval). Penolong pertama kemudian melanjutkan CPR segera setelah kejutan (tanpa mengecek irama atau denyut jantung; dimulai dengan kompresi dada) dan dilakukan selama 2 menit. Pengecekan irama jantung dilakukan setelah 2 menit siklus CPR.Penolong yang melakukan kompresi dada hendaknya diganti setiap 2 menit untuk menghindari capek. Kualitas CPR harus senantiasa dinilai melalui parameter-parameter mekanik maupun fisiologis.Strategi DefibrilasiBentuk Gelombang dan EnergiApabila tersedia defibrilator bifasik, para penolong sebaiknya menggunakan dosis energi yang direkomendasikan oleh pabrik pembuat defibrilator tersebut (120-200 J) untuk mengatasi VF (LOE B kelas I). Jika penolong tidak mengetahui rentang dosis efektif ini, ia hendaknya dapat menggunakan dosis maksimal (LOE C kelas IIb). Level energi kedua dan berikutnya hendaknya sama dengan besar energi pertama. Energi yang lebih tinggi dapat dipertimbangkan bila defibrilatornya mampu (LOE B kelas IIb). Jika hanya tersedia defibrilator monofasik, para penolong hendaknya memberikan kejutan pertama dengan dosis 360 J dan menggunakan dosis tersebut pada semua kejutan berikutnya. Jika VF teratasi dengan kejutan namun timbul lagi selama henti jantung, lakukan lagi kejutan dengan dosis yang sama dengan dosis pertama.Mode Otomatis vs Manual untuk Defibrilator MultimodalPemilihan mode manual pada sebuah defibrilator multimodal dapat mengurangi durasi jeda CPR yang dibutuhkan untuk analisis irama jantung dibandingkan bila menggunakan mode otomatis, namun mode manual dapat meningkatkan frekuensi dilakukannya kejutan dalam dosis yang tidak sesuai. Bukti-bukti terakhir menunjukkan bahwa keunggulan mode manual dibanding mode otomatis dalam penanganan henti jantung masih belum jelas (LOE C kelas IIb).CPR sebelum DefibrilasiSelama tindakan untuk mengatasi VF/VT, para penolong harus menjamin bahwa pergantian antara CPR dan defibrilasi cukup efisien. Jika VF terjadi selama beberapa menit, miokardium mengalami kekurangan oksigen dan substrat-substrat metabolik. Periode singkat kompresi dada dapat memasok oksigen dan substrat energi dan mengosongkan ventrikel kanan yang penuh terisi darah, meningkatkan kemungkinan kembalinya irama perfusif setelah kejutan listrik.Sangat direkomendasikan untuk melakukan CPR pada pasien henti jantung saat defibrilator telah siap digunakan (LOE B kelas I). Analisis prediktif kejutan listrik berdasarkan karakteristik bentuk gelombang VF menunjukkan bahwa semakin singkat interval antara kompesi dada terakhir dengan pemberian kejutan, semakin besar peluang berhasilnya kejutan listrik. Sedikitnya interval meskipun hanya beberapa detik antara akhir kompresi hingga pemberian kejutan dapat meningkatkan keberhasilan kejutan.Manfaat menunda defibrilasi untuk melakukan CPR masih belum jelas. Sebuah uji acak dengan subyek kontrol (RCT, randomized controlled tiral) dan sebuah uji klinis yang melibatkan pasien henti jantung luar rumah sakit berusia dewasa menunjukkan bahwa daya-tahan-hidup ditingkatkan dengan periode CPR yang dilakukan sebelum kejutan defibrilasi pertama jika respon EMS diperoleh >4-5 menit. Namun 2 RCT menunjukkan tidak ada perbaikan dalam hal ROSC maupun daya-tahan-hidup ke rumah sakit pada pasien VF atau VT luar rumah sakit yang menerima CPR 1,5 3 menit sebelum defibrilasi tanpa memandang respon EMSnya. Hingga saat ini manfaat menunda defibrilasi untuk melakukan CPR masih belum jelas (LOE B kelas IIb).Analisis Gelombang VF untuk Memprediksi Keberhasilan DefibrilasiAnalisis retrospektif bentuk gelombang VF dalam berbagai uji klinis membuktikan bahwa keberhasilan defibrilasi dapat diprediksi melalui variasi bentuk gelombang fibrilasi. Belum ada uji klinis prospektif pada manusia yang mengevaluasi apakah pemilihan tindakan yang dipengaruhi oleh prediksi ini dapat meningkatkan keberhasilan defibrilasi, peluang ROSC, maupun daya-tahan-hidup paska henti jantung. Manfaat dari analisis gelombang VF untuk memandu penanganan defibrilasi pada kasus henti jantung orang dewasa di dalam maupun luar rumah sakit masih belum jelas (LOE C kelas IIb).Terapi Obat pada VF/VTJika VF atau VT tanpa denyutan belum dapat ditangani setelah paling kurang 1 kejutan defibrilasi dan 2 menit periode CPR, vasopresor dapat diberikan dengan tujuan utama untuk meningkatkan aliran darah miokardial selama CPR dan mencapai ROSC (LOE A kelas IIb). Efek puncak dari vasopresor intravena (iv) maupun intraoseus (io) yang diberi sebagai bolus selama CPR baru akan tercapai setelah 1-2 menit pemberian. Waktu pemberian vasopresor yang optimal selama periode 2 menit CPR belum ditetapkan. Jika kejutan listrik gagal menciptakan irama perfusif, pemberian vasopresor segera setelah kejutan akan mengoptimalkan pengaruh selanjutnya pada aliran darah miokardial sebelum kejutan listrik berikutnya. Meskipun demikian, jika kejutan listrik menghasilkan irama perfusif, bolus vasopresor yang diberikan kapan saja selama 2 menit periode CPR (sebelum pengecekan iarama jantung) secara teoritis memiliki efek yang merugikan pada stabilitas kardiovaskuler. Ini dapat dihindari dengan menggunakan pengawasan fisiologis seperti kapnografi gelombang kuantitatif, pengawasan tekanan intra-arterial dan pengawasan saturasi vena sentralis untuk mendeteksi adanya ROSC selama kompresi dada. Namun, menambah jeda yang berlebihan untuk mengecek irama dan denyut jantung setelah kejutan listrik sebelum pemberian vasopresor dapat menurunkan perfusi miokardium selama periode kritis paska defibrilasi dan dapat menurunkan peluang mencapai ROSC.Amiodaron merupakan agen antiaritmia lini pertama yang diberikan selama henti jantung karena terbukti secara klinis meningkatkan peluang ROSC pada orang dewasa dengan VF/VT yang refrakter. Amiodaron dapat dipertimbangkan saat VF/VT tidak berespon terhadap CPR, defibrilasi atau terapi vasopresor (LOE A kelas IIb). Jika amiodaron tidak tersedia, lidokain dapat dipertimbangkan meskipun uji klinis mengenai lidokain belum membuktikan peningkatan peluang mencapai ROSC bila dibandingkan dengan penggunaan amiodaron (LOE B kelas IIb). Magnesium sulfat hendaknya dipertimbangkan hanya pada torsades de pointes yang berhubungan dengan pemanjangan interval QT (LOE B kelas IIb).Mengatasi Penyebab-Penyebab Reversibel dari VF/VT Diagnosis dan penanganan penyebab VF/VT penting untuk menangani semua gangguan irama pada henti jantung. Seperti biasanya, para penolong hendaknya mengingat 5H dan 5T untuk mengidentifikasi faktor yang mungkin menjadi penyebab henti jantung atau dapat mempersulit resusitasi (lihat Tabel 1 dan Bab 12). Pada kasus VF/VT yang refrakter, iskemia koroner akut atau infark miokard akut hendaknya dipertimbangkan sebagai kemungkinan etiologi. Strategi reperfusi seperti angiografi koroner dan PCI selama CPR atau bypass kardiopulmonal darurat terbukti dapat dilakukan pada sejumlah studi kasus dan serial kasus namun belum dievaluasi efektivitasnya melalui RCT. Terapi fibrinolitik yang diberikan selama CPR untuk oklusi koroner akut belum terbukti meningkatkan luaran pada henti jantung.ORSC setelah VF/VTJika pasien dapat mencapai ROSC, perawatan paska henti jantung harus dimulai (Bab 9). Penting ditekankan di sini adalah penanganan hipoksemia dan hipotensi, diagnosis dan terapi dini STEMI (ST-elevation myocardial infarction, infark miokard dengan elevasi ST) (LOE B kelas I) dan hipotermia terapeutik pada pasien koma (LOE B kelas I).PEA / AsistolJika pengecekan irama jantung melalui AED menunjukkan irama yang tidak dapat ditangani dengan defibrilasi, CPR hendaknya langsung dilanjutkan, dimulai dengan kompresi dada dan dilakukan selama 2 menit sebelum pengecekan irama dilakukan lagi. Jika irama yang dicek melalui defibrilator manual atau monitor jantung menunjukkan irama yang teratur, pengecekan denyut jantung langsung dilakukan. Jika ada denyutan, perawatan paska henti jantung harus segera dimulai. Jika iramanya asistol atau denyutan tidak terdeteksi (seperti pada PEA), CPR harus dimulai sesegera mungkin, dimulai dengan kompresi dada, dilakukan selama 2 menit sebelum pengecekan irama berikutnya. Penolong yang melakukan kompresi dada harus bergantian setiap 2 menit. Kualitas CPR harus diawasi dengan menggunakan parameter-parameter mekanik maupun fisiologis.Terapi Obat untuk PEA/AsistolVasopresor harus diberikan begitu ia tersedia dengan tujuan utama meningkatkan perfusi miokardium dan aliran darah ke otak selama CPR dan untuk mencapai ROSC (LOE A kelas IIb). Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa penggunaan rutin atropin selama PEA atau asistol nampaknya tidak memiliki manfaat terapeutik (LOE B kelas IIb). Untuk alasan ini, atropin dihilangkan dari algoritma henti jantung.Mengatasi Penyebab-Penyebab Reversibel pada PEA/AsistolPEA sering sering disebabkan oleh kondisi-kondisi reversibel yang dapat berhasil ditangani bila kondisi tersebut diidentifikasi dan segera dikoreksi. Selama tiap 2 menit periode CPR, para penolong hendaknya mengingat 5H dan 5T untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab henti jantung atau dapat mempersulit resusitasi. PEA berkaitan erat dengan hipoksemia sehingga pemasangan jalan napas lanjutan lebih penting dilakukan pada PEA dibandingkan pada kasus VF/VT. Pemasangan jalur napas lanjutan pada PEA dapat memberi oksigenasi dan ventilasi yang adekuat. PEA yang disebabkan oleh kehilangan darah dalam jumlah besar dan sepsis akan bisa ditangani dengan pemberian kristaloid iv/io secara empirik. Pasien dengan PEA yang disebabkan oleh hipovolemia berat juga bisa ditangani dengan transfusi darah. Jika PEA disebabkan oleh emboli paru, terapi fibrinolitik empirik dapat dipertimbangkan (LOE B kelas IIa). Akhirnya, jika penumotoraks tension diduga menjadi penyebab PEA, dekompresi perlu dilakukan lebih dulu. Jika memungkinkan EKG dapat digunakan untuk memandu penanganan PEA karena ia dapat memberi informasi yang berguna tentang status volume kardiovaskuler (volume ventrikuler), tamponade jantung, lesi berbentuk massa (tumor, bekuan), kontraktilitas ventrikel kiri dan pergerakan dinding jantung regional. Lihat Bab 12 untuk menanganan penyebab toksikologi pada henti jantung.Asistol umumnya menjadi irama akhir pada VF atau PEA yang terjadi dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu prognosisnya jauh lebih buruk.ROSC setelah PEA/AsistolJika pasien bisa mencapai ROSC, perawatan paska henti jantung hendaknya dimulai. Terapi hipoksemia dan hipotensi perlu diperhatikan. Demikian pula dengan diagnosis dan terapi dini penyebab-penyebab henti jantung. Hipotermia terapeutik dapat dipertimbangkan pada pasien koma (LOE C kelas IIb).Pengawasan selama CPRParameter MekanikKualitas CPR dapat ditingkatkan dengan menggunakan sejumlah teknik non-fisiologis seperti kecepatan dan kedalaman kompresi serta kecepatan ventilasi. Teknik paling mudah adalah metronom auditorik maupun visual yang dapat membantu penolong melakukan kompresi dada dan ventilasi dengan kecepatan tertentu. Perangkat yang lebih canggi dapat mengawasi kecepatan, kedalaman, relaksasi dan jeda kompresi dada serta dapat menampilkan umpan balik auditorik maupun visual. Bila direkam, informasi ini dapat berguna sebagai bahan evaluasi bagi seluruh tim penolong setelah resusitasi berakhir. Tipe pengawasan kualitas CPR didiskusikan lebih lanjut pada Bab 5 dan Bab 16.Parameter FisiologisHenti jantung pada manusia merupakan kondisi yang dianggap paling kritis, namun kondisi ini hanya dapat diawasi dengan sedikit parameter seperti penilaian irama jantung melalui lead EKG tertentu dan penilaian denyut jantung. Penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa pengawasan PETCO2, CPP (coronary perfusion pressure, tekanan perfusi koroner) dan SCVO2 (central venous oxygen saturation, saturasi oksigen vena sentralis) dapat memberi informasi yang berharga mengenai kondisi pasien dan respon terhadap tindakan. PETCO2, CPP dan SCVO2 berhubungan dengan COP dan aliran darah miokardium selama CPR dan telah dilaporkan nilai batas parameter-parameter tersebut ketika ROSC gagal dicapai. Lebih jauh lagi, peningkatan pada salah satu parameter tersebut merupakan indikator tercapainya ROSC dan dapat diawasi tanpa perlu mengganggu kompresi dada. Meskipun belum ada penelitian klinis yang dilakukan untuk mengamati bagaimana hubungan antara resusitasi titratif dengan parameter-parameter fisiologis ini dapat meningkatkan luaran, kiranya cukup beralasan untuk mempertimbangkan mereka dalam mengoptimalkan kompresi dada dan memandu terapi vasopresor selama henti jantung (LOE C kelas IIb).DenyutanKlinisi sering melakukan palpasi denyut arteri selama kompresi dada untuk menilai efektivitas kompresi. Belum ada penelitian yang menunjukkan validitas atau indikasi klinis untuk mengecek denyut nadi selama CPR. Tidak ada katup pada vena cava inferior sehingga aliran darah balik ke sistem vena dapat menghasilkan pulsasi vena femoralis. Oleh karena itu, palpasi denyut nadi pada daerah segitiga femoral lebih mengindikasikan status vena dibandingkan aliran darah arterial. Pulsasi karotis selama CPR tidak menunjukkan efikasi untuk mengecek perfusi miokardial maupun serebral selama CPR. Terabanya denyut nadi dapat menunjukkan teracapainya ROSC, namun kurang sensitif dibanding pengukuran fisiologis lain yang akan didiskusikan berikutnya. Tenaga medis juga akan membutuhkan waktu untuk mengecek nadi dan mungkin mengalami kesulitan dalam menentukan apakah denyutannya masih ada atau tidak teraba lagi. Demikian juga belum ada bukti yang menunjukkan bahwa pengecekan pernapasan, batuk atau pergerakan tubuh pasien merupakan parameter yang lebih baik daripada deteksi status sirkulasi. Karena penundaan kompresi dada harus dibatasi, tenaga medis hendaknya tidak menggunakan waktu > 10 detik untuk mengecek denyut nadi. Jika denyut nadi membutuhkan waktu > 10 detik, kompresi dada harus dimulai lagi meskipun denyutan nadinya masih diragukan.CO2 di Akhir TidalKadar CO2 di akhir tidal (end-tidal CO2) merupakan konsentrasi gas karbondioksida pada udara di akhir ekspirasi. Kadar ini biasanya diukur sebagai tekanan gas parsial dalam satuan mmHg (PETCO2). CO2 merupakan gas lacak di atmosfir udara. Terdeteksinya CO2 pada kapnografi udara ekspirasi merupakan CO2 yang diproduksi oleh tubuh dan dibawa ke paru-paru oleh aliran darah. PETCO2 normal adalah 35-40 mmHg. Selama henti jantung belum diatasi, CO2 akan tetap diproduksi oleh tubuh, namun tidak ada yang dibawa ke paru-paru. Pada kondisi seperti ini, PETCO2 akan mendekati 0 mmHg meskipun ventilasi tetap diberikan. Dengan inisialisasi CRP, COP merupakan determinan utama bagi penghantaran CO2 ke paru. Jika ventilasi relatif konstan, PETCO2 akan berhubungan erat dengan COP selama CPR. Korelasi antara PETCO2 dan COP selama CPR dapat dipengaruhi secara temporer oleh pemberian natrium bikarbonat iv. Ini terjadi karena bikarbonat dapat dikonversi ke air dan CO2, menyebabkan kenaikan sementara kadar CO2 yang dibawa ke paru. Oleh karena itu, peningkatan sementara setelah terapi natrium bikarbonat hendaknya tidak disalahinterpretasikan sebagai peningkatan dalam kualitas CPR atau untuk menetapkan tercapainya RSOC. Penelitian-penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa PETCO2 berkaitan dengan CPP dan tekanan perfusi serebral selama CPR. Korelasi antara PETCO2 dan CPP selama CPR ini dapat dipengaruhi oleh terapi vasopresor dosis tinggi (seperti epinefrin > 1 mg). Vasopresor menyebabkan peningkatan afterload yang pada gilirannya meningkatkan tekanan darah dan aliran darah miokardial selama CPR, tapi juga menurunkan COP. Oleh karena itu, penurunan yang kecil pada nilai PETCO2 setelah pemberian vasopresor dapat terjadi dan jangan sampai disalahinterpretasikan sebagai penurunan kualitas CPR.Nilai PETCO2 yang tetap rendah (< 10 mmHg) selama CPR pada pasien yang diintubasi menunjukkan bahwa ROSC sulit dicapai. Data mengenai pengawasan kuantitatif PETCO2 pada pasien dengan jalur supraglotik belum ada. Sebuah penelitian yang menggunakan detektor CO2 akhir ekspirasi secara kolorimetrik pada pasien yang tidak diintubasi selama CPR menunjukkan bahwa nilai PETCO2 yang rendah bukan merupakan prediktor yang bisa dipercaya akan kegagalan mencapai ROSC. Kebocoran udara selama ventilasi dengan masker berkantong udara atau jalur supraglotik dapat menyebabkan penurunan nilai PETCO2. Meskipun nilai PETCO2 < 10 mmHg pada pasien yang diintubasi menunjukkan bahwa COPnya kurang adekuat untuk mencapai ROSC, target spesifik untuk nilai PETCO2 yang diperlukan untuk mengoptimalkan peluang ROSC belum dapat direkomendasikan. Pengawasan kecenderungan PETCO2 selama CPR dapat digunakan untuk memandu perbaikan kedalaman dan kecepatan kompresi dada dan untuk mendeteksi kecapekan penolong yang melakukan kompresi. Selain itu peningkatan PETCO2 saat CPR merupakan indikator tercapainya ROSC. Meskipun demikian, kapnografi kualitatif perlu pula dipertimbangkan pada pasien yang diintubasi untuk memonitor kualitas CPR, mengoptimalkan kompresi dada dan mendeteksi ROSC selama CPR atau ketika pengecekan irama telah mendeteksi adanya irama yang teratur (LOE C kelas IIb). Jika PETCO2 < 10 mmHg, pula untuk mempertimbangkan perbaikan kualitas CPR dengan mengoptimalkan parameter-parameter kompresi dada (LOE C kelas IIb). Jika PETCO2 tiba-tiba naik ke nilai normal (35-40 mmHg), ini merupakan indikator ROSC (LOE B kelas IIa). Penggunaan kapnografi gelombang kuantitatif pada pasien yang tidak diintubasi untuk memonitor dan mengoptimalkan kualitas CPR dan mendeteksi ROSC masih belum jelas (LOE C kelas IIb).Tekanan Perfusi Koroner dan Tekanan Relaksasi ArterialCPP (coronary perfusion pressure) yang dihitung dari tekanan relaksasi aorta (aortic relaxation [diastolic] pressure) dikurangi tekanan relaksasi atrium kanan (right atrial relaxation [diastolic] pressure) selama CPR berkorelasi dengan aliran darah miokardial dan ROSC. Tekanan relaksasi selama CPR merupakan tekanan gelombang kapnografi saat relaksasi kompresi dada. Ini analog dengan tekanan diastolik ketika jantung berdetak. Peningkatan CPP berhubungan dengan daya-tahan-hidup 24 jam pada uji hewan dan dikaitkan dengan perbaikan aliran darah miokardial serta ROSC pada uji hewan dengan epinefrin, vasopresin dan angiotensin II. Pada sebuah uji manusia, ROSC tidak terjadi sebelum CPP meningkat hingga 15 mmHg selama CPR. Meskipun begitu, monitor CPP selama CPR jarang bisa dilakukan secara klinis karena pengukuran dan perhitungannya membutuhkan perekaman tekanan aorta dan vena sentralis secara bersamaan.Alternatif lain untuk CPP selama CR adalah tekanan relaksasi arterial yang dapat diukur dengan kateter arteri radial, brakhial atau femoral. Tekanan ini mendekati nilai tekanan relaksasi aorta selama CPR pada manusia. studi yang sama yang mengidentifikasi ambang CPP 15 mmHg untuk ROSC juga melaporkan bahwa ROSC tidak dapat dicapai jika tekanan relaksasi aorta tidak mencapai 17 mmHg selama CPR. Target spesifik untuk tekanan relaksasi arterial yang mengoptimalkan peluang RSOC belum dapat ditentukan (LOE C kelas IIb). Jika tekanan relaksasi arterial < 20 mmHg, pertimbangkan untuk meningkatkan kualitas CPR dengan mengoptimalkan kompresi dada atau memberi vasopresor atau keduanya (LOE C kelas IIb). Monitor tekanan arterial juga dapat digunakan untuk mendeteksi ROSC selama kompresi dadda atau ketika pengecekan irama sudah menunjukkan adanya irama jantung yang teratur (LOE C kelas IIb).Saturasi Oksigen Vena SentralisSaat oksigen dikonsumsi, saturasi oksigen arterial (SaO2) dan hemoglobin umumnya konstan, perubahan pada SCVO2 merefleksikan perubahan pada pasokan oksigen yang dipengaruhi oleh COP. SCVO2 dapat diukur secara kontinu menggunakan oksimeter yang dipasang pada kateter vena sentralis yang ditempatkan pada vena cava superior. Nilai SCVO2 normalnya berkisar dari 60-80%. Selama henti jantung dan CPR, nilai ini berkisar dari 25-35%, mengindikasikan tidak adekuatnya aliran darah yang terjadi saat CPR. Pada sebuah studi klinis, kegagalan mencapai SCVO2 hingga 30% selama CPR dikaitkan dengan kegagalan mencapai ROSC. SCVO2 juga membantu deteksi ROSC tanpa mengganggu kompresi dada untuk mengecek irama dan denyut. Jika tersedia, monitor SCVO2 secara kontinu akan berguna sebagai indikator COP dan pasokan oksigen selama CRP. Oleh karena itu, saat henti jantung, perlu dipertimbangkan penggunaan SCVO2 secara kontinu untuk memonitor kualitas CPR, mengoptimalkan kompresi dada dan mendeteksi ROSC selama kompresi dada atau ketika pengecekan irama menunjukkan keteraturan (LOE C kelas IIb). Jika SCVO2 < 30 %, pertimbangkan untuk meningkatkan kualitas CPR dengan memperbaiki parameter-parameter kompresi dada (LOE C kelas IIb).Oksimetri DenyutSelama henti jantung, oksimetri denyut umumnya tidak memberi sinyal yang dapat dipercaya karena denyut aliran darah yang tidak adekuat di jaringan perifer. Namun adanya gelombang pletismograf pada oksimetri denyut dapat membantu mendeteksi ROSC sehingga oksimetri denyut dapat dipakai untuk meyakinkan oksigenasi yang tepat setelah ROSC.Gas-gas Darah ArterialGas darah arterial yang dimonitor selama CPR bukan merupakan indikator yang dapat dipercaya untuk menilai beratnya hipoksemia, hiperkarbia (serta adekuatnya ventilasi selama CPR), atau untuk menilai asidosis jaringan. Pengukuran gas darah arterial secara rutin selama CPR belum jelas manfaatnya (LOE C kelas IIb).EKGBelum ada penelitian yang secara spesifik menilai pengaruh EKG pada luaran pasien henti jantung. Meskipun demikian, sejumlah studi menunjukkan bahwa EKG transtorakik dan transesofageal dapat berguna untuk mendiagnosis penyebab henti jantung yang dapat ditangani seperti tamponade, emboli paru, iskemia dan diseksi aorta. Selain itu, 3 studi prospektif menemukan bahwa absennya gerakan jantung pada sonografi selama resusitasi pasien henti jantung memiliki nilai prediktif yang tinggi dalam menduga tidak tercapainya RSOC. Dari 341 pasien pada 3 studi tersebut, 218 tidak menunjukkan aktivitas jantung yang bisa dideteksi dan hanya 2 dari mereka yang mencapai ROSC. Tidak ada data tentang daya-tahan-hidup ke rumah sakit. EKG transtorakik dan transesofageal dapat dipertimbangkan untuk mendiagnosis penyebab henti jantung yang masih dapat ditangani dan untuk memandu keputusan tindakan (LOE C kelas IIb).Akses untuk Obat Parenteral selama Henti JantungWaktu Memperoleh Akses IV/IOSelama henti jantung, CPR berkualitas tinggi dan defibrilasi yang cepat merupakan dua hal penting, sedangkan pemberian obat merupakan kompenen yang sifatnya sekunder. Setelah CPR dimulai dan defibrilasi dilakukan untuk mengidentifikasi VF/VT, penolong dapat melakukan akses iv/io. Ini hendaknya dilakukan tanpa mengganggu kompresi dada. Tujuan primer dari akses iv/io selama henti jantung adalah memberi farmakoterapi. Dua penelitian klinis melaporkan data yang menunjukkan perburukan daya-tahan-hidup untuk setiap menit penundaan pemberian antiaritmia. Meskipun demikian, temuan ini mungkin mengalami bias karena penundaan intervensi ACLS. Dalam sebuah studi, interval sejak kejutan listrik pertama hingga pemberian obat antiaritmia merupakan prediktor yang signifikan untuk daya-tahan-hidup. Sebuah studi hewan melaporkan bahwa CPP yang rendah terjadi saat pemberian vasopresor ditunda. Waktu pemberian obat merupakan prediktor juga untuk ROSC pada sebuah analisis retrospektif henti jantung hewan. Jadi, meskipun waktu terapi obat nampaknya penting, belum ada bukti-bukti yang cukup kuat untuk menentukan secara tepat kapan obat harus diberikan dan diberikan ulang selama henti jantung.Pemberian Obat IV PeriferJika obat resusitasi diberikan melalu rute vena perifer, obat ini hendaknya diberikan dalam bentuk injeksi bolus yang diikuti bolus 20 mL cairan iv untuk memudahkan obat mengalir dari ekstremitas ke sirkulasi sentral. Mengangkat ekstremitas beberapa detik selama dan setelah pemberian obat juga dapat menimbulkan manfaat gravitasi yang mempermudah obat dibawa ke sirkulasi sentral, namun hal ini belum diteliti secara sistematis.Pemberian Obat IOKanul intraoseus menyediakan akses ke pleksus vena yang belum kolaps, memungkinkan pemberian obat seperti yang bisa dicapai dengan akses vena perifer dalam dosis yang sama. Dua uji prospektif pada anak-anak dan orang dewasa serta 6 studi lain menunjukkan bahwa akses io dapat dicapai dengan efisien, aman dan efektif untuk resusitasi cairan, pemberian obat dan pengambilan sampel darah untuk evaluasi laboratorium, serta dapat dilakukan pada semua kelompok usia. Meskipun demikian, sebagian besar penelitian ini dilakukan pada kasus dengan perfusi yang normal atau syok hipovolemik atau pada kasus henti jantung hewan saja. Meskipun semua obat ACLS dapat diberikan secara intraoseus, belum ada informasi mengenai efikasi dan efektivitas cara pemberian seperti ini pada kasus henti jantung yang di-CPR. Cukup beralasan bila para penolong melakukan akses io apabila akses iv tidak dapat dilakukan (LOE C kelas IIa). Beberapa kit komersial dapat memudahkan akses io pada orang dewasa.Pemberian Obat via Vena SentralisPenolong yang sudah terlatih dapat mempertimbangkan pemasangan jalur sentral (pada vena jugularis atau vena subklavia) selama henti jantung, kecuali bila ada kontraindikasi (LOE C kelas IIb). Keunggulan utama jalur sentral adalah konsentrasi puncak yang lebih tinggi dan waktu sirkulasi obat yang lebih pendek jika dibandingkan dengan obat-obat yang diberi via vena perifer. Selain itu, jalur sentral yang mecapai vena cava superior dapat digunakan untuk memonitor SCVO2 dan memperkirakan CPP selamaa CPR, keduanya memiliki nilai prediktif untuk ROSC. Meskipun demikian, pemasangan jalur sentral dapat mengganggu CPR. Kateterisasi vena sentralis merupakan kontraindikasi relatif (tapi tidak absolut) untuk terapi fibrinolisis pada pasien dengan sindrom koroner akut.Pemberian Obat secara EndotrakealSebuah penelitian pada anak-anak, 5 penelitian pada orang dewasa dan beberapa penelitian hewan menunjukkan bahwa lidokain, epinefrin, atropin, nalokson dan vasopresin dapat diabsorpsi via trakea. Belum ada data mengenai pemberian amiodaron secara endotrakeal. Pemberian obat-obat resusitasi melalui trakea berakibat pada penurunan konsentrasi darah bila dibandingkan dengan pemberian via jalur intravaskuler dalam dosis yang sama. Lebih jauh lagi, beberapa penelitian hewan terakhir menunjukkan bahwa konsentrasi epinefrin yang lebih rendah yang terjadi bila obat tersebut diberikan secara endotrakeal dapat menimbulkan efek -adrenergik yang sifatnya sementara sehingga menyebabkan vasodilatasi. Efek ini bisa parah dan menyebabkan hipotensi, CPP dan aliran darah yang rendah, serta menurunnya peluang RSOC. Jadi, meskipun pemberian secara endotrakeal untuk obat-obat resusitasi dapat dilakukan, pemberian iv atau io lebih dianjutkan karena lebih bisa diprediksi dosis dan efek farmakologisnya.Sebuah studi kohor yang tidak acak untuk kasus-kasus henti jantung luar rumah sakit pada orang dewasa dengan menggunakan kontrol acak membuktikan bahwa pemberian atropin dan epinefrin secara iv dikaitkan dengan meningkatnya peluang ROSC dan daya-tahan-hidup ke rumah sakit dibanding bila diberi secara endotrakeal. Lima persen mereka yang menerima obat secara iv dapat bertahan hingga dipulangkan, namun tidak ada pasien yang bisa bertahan bila obat diberi secara endotrakeal.Jika akses iv dan io tidak dapat dilakukan, maka epinefrin, vasopresin dan lidokain dapat diberi secara endotrakeal selama henti jantung (LOE B kelas IIb). Dosis endotrakeal yang optimal untuk sebagian besar obat belum diketahui, namun biasanya diperlukan dosis 2 2,5 kali lebih besar dibandingkan dosis iv. Pada 2 studi CPR untuk hewan, dosis epinefrin yang ekuipoten dilaporkan mencapai 3-10 kali lebih tinggi dibandingkan dosis iv. Para penolong hendaknya melarutkan dosis yang direkomendasikan ini dalam 5-10 mL air steril atau NaCl lalu menginjeksikan obat langsung ke tuba endotrakeal. Penelitian dengan epinefrin dan lidokain menunjukkan bahwa dilusi ke akuades steril lebih menghasilkan absorpsi obat yang baik dibandingkan dilusi ke dalam NaCl.Jalur Napas LanjutanBelum ada bukti yang kuat untuk menentukan waktu yang tepat dalam pemasangan jalur napas lanjutan selama resusitasi henti jantung. Belum ada studi prospektif yang langsung meneliti hubungan antara waktu pemberian atau tipe jalur napas lanjutan selama CPR dan luarannya. Pada kasus luar rumah sakit perkotaan, intubasi dalam waktu < 12 menit dikaitkan dengan daya-tahan-hidup yang lebih baik bila dibandingkan dengan intubasi yang dilakukan setelah 13 menit onset henti jantung. Sebuah studi retrospektif 25.006 kasus henti jantung pasien rawat inap, pemasangan jalur napas lebih dini (< 5 menit) dikaitkan dengan meningkatnya peluang ROSC namun tidak berhubungan dengan peningkatan daya-tahan-hidup 24 jam. Pada kasus luar rumah sakit perkotaan maupun perifer, pasien-pasien yang diintubasi selama resusitasi memliki daya-tahan-hidup yang lebih baik dibanding pasien yang tidak diintubasi. Pada pasien rawat inap yang butuh intubasi selama CPR, daya-tahan-hidupnya lebih buruk. Sebuah penelitian terakhir menemukan bahwa penundaan intubasi endotrakeal, oksigenasi pasif dan penundaan kompresi dada yang minimal dikaitkan dengan peningkatan daya-tahan-hidup dengan fungsi neurologis yang intak setelah henti jantung pasien yang menderita VF/VT.Keunggulan pemasangan jalur napas lanjutan antara lain mengurangi kebutuhan untuk menunda kompresi dada karena alasan memberi ventilasi, berpotensi meningkatkan ventilasi dan oksigenasi, menurunkan risiko aspirasi dan memungkinkan penggunaan kapnografi gelombang kuantitatif untuk memonitor kualitas CPR, mengoptimalkan kompresi dada dan mendeteksi ROSC selama kompresi dada atau ketika pengecekan irama jantung menunjukkan adanya keteraturan. Kerugian utamanya adalah penundaan kompresi dada akibat pemasangan jalur napas serta risiko masuknya tuba ke esofagus.Jika jalur napas lanjutan seperti tuba endotrakeal atau jalur supraglotik telah terapasang, 2 penolong tidak lagi membutuhkan siklus kompresi yang dijeda untuk memberi ventilasi. Penolong bisa tetap melakukan kompresi dada sebanyak 100 kali/menit secara terus menerus tanpa jeda untuk ventilasi. Penolong yang mengurus ventilasi dapat memberi 1 napas tiap 6-8 detik (atau 8-10 napas/menit) dan harus hati-hati jangan sampai memberi ventilasi yang berlebihan.Kapan Resusitasi harus Dihentikan?Keputusan akhir untuk menghentikan resusitasi tidak didasarkan pada sebuah parameter tunggal. Begitu pula dengan durasi usaha resusitasi. Penilaian klinis dengan menghargai kehidupan manusia harus diperhitungkan dalam pengambilan keputusan. Pada kasus luar rumah sakit, penghentian resusitasi pada orang dewasa harus mengikuti kriteria spesifik yang ditetapkan oleh sistem layanan kesehatan lokal. Data-data panduan mengenai hal ini masih terbatas untuk kasus henti jantung neonatal baik di dalam maupun luar rumah sakit. Diskusi lebih detail tersedia pada Bab 3 mengenai Etika.Medikasi untuk Henti Irama JantungTujuan utama farmakoterapi henti jantung adalah memudahkan pemilihan dan mempertahankan irama perfusif yang spontan. Dalam mencapai tujuan ini, terapi obat-obat ACLS selama CPR sering dikaitkan dengan peningkatan peluang ROSC dan daya-tahan-hidup ke rumah sakit, namun tidak berhubungan secara bermakna dengan daya-tahan-hidup jangka panjang dengan fungsi neurologis yang baik. Sebuah studi membagi pasien secara acak; sebagian menerima obat secara iv dan sebagaian lagi secara non-iv selama penanganan henti jantung pasien dewasa di luar rumah sakit. Penelitian ini menunjukkan angka ROSC yang lebih tinggi pada kelompok iv (40% iv versus 25% non-iv; OR [odds ratio] = 1,99; CI [confidence interval] 95% = 1,48 2,67), namun tidak ada perbedaan statistik dalam hal daya-tahan-hidup hingga dipulangkan dari rumah sakit (10,5% iv versus 9,2% non-iv; OR = 1,16; CI 95% = 0,74 1,82) maupun daya-tahan-hidup dengan fungsi neurologis yang intak (9,8% iv versus 8,1% non-iv; OR = 1,24; CI 95% = 0,77 1,98). Penelitian ini tidak begitu kuat untuk mendeteksi perbedaan penting dalam hal luaran jangka panjang. Bukti-bukti dari sebuah uji non-acak menemukan bahwa penambahan intervensi ACLS seperti obat iv pada sistem BLS dengan defibrilasi berakibat pada peeningkatan peluang ROSC (18,0% dengan ACLS versus 12,9% sebelum ACLS; P < 0,001) dan daya-tahan-hidup ke rumah sakit (14,6% dengan ACLS versus 10,9% sebelum ACLS; P < 0,001), namun tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal daya-tahan-hidup hingga dipulangkan dari rumah sakit (5,1% dengan ACLS versus 5,0% sebelum ACLS). Masih dipertanyakan apakah optimalisasi CPR berkualitas dan kemajuan dalam perawatan di unit paska henti jantung akan meningkatkan peluang ROSC dengan obat ACLS sehingga menghasilkan daya-tahan-hidup jangka panjang yang lebih baik. VasopresorHingga saat ini, belum ada uji kontrol tanpa plasebo yang berhasil membuktikan bahwa pemberian agen vasopresor selama penanganan VF, VT, PEA maupun asistol dapat meningkatkan daya-tahan-hidup dengan fungsi neurologis yang masih intak sehingga pasien dapat dipulangkan. Meskipun demikian, ada bukti-bukti bahwa penggunaan vasopresor berhubungan dengan meningkatnya peluang ROSC.EpinefrinEpinefrin hidroklorida memberi efek yang menguntungkan untuk pasien henti jantung, terutama karena sifatnya yang menstimulasi reseptor -adrenegik. Efek -adrenergik epinefrin ini dapat meningkatkan CPP dan tekanan perfusi serebral selama CPR. Manfaat dan keamanan dari efek -adrenergik epinefrin masih kontroversial karena dapat meningkatkan kerja miokardium dan menurunkan perfusi subendokardial.Belum ada RCT yang secara adekuat membandingkan epinefrin dengan plasebo dalam penanganan dan luaran pasien henti jantung luar rumah sakit. Sebuah studi retrospektif membandingkan pasien VF dan PEA/asistol yang diberi dan tidak diberi epinefrin. Penelitian ini membuktikan bahwa ada peningkatan peluang ROSC dengan epinefrin, namun tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal daya-tahan-hidup di antara kedua kelompok pasien. Sebuah studi meta-analisis dan beberapa studi lainnya menemukan peningkatakan peluang ROSC, namun tidak ada yang bisa membuktikan keuntungan epinefrin dosis tinggi dalam meningkatkan daya-tahan-hidup bila dibandingkan dosis standar pada kasus henti jantung.Cukup beralasan untuk mempertimbangkan pemberian 1 mg epinefrin iv/io setiap 3-5 menit selama henti jantung pasien dewasa (LOE A kelas IIb). Dosis yang lebih tinggi diindikasikan untuk masalah-masalah spesifik seperti overdosis -bloker atau overdosis penyekat saluran kalsium. Dosis yang lebih tinggi bisa pula dipertimbangkan jika monitor hemodinamik seperti tekanan relaksasi diastolik arterial dan CPP tersedia. Jika akses iv/io tertunda atau tidak bisa dilakukan, epinefrin dapat diberikan secara endotrakeal dengan dosis 2-2,5 mg.VasopresinVasopresin merupakan vasokonstriktor perifer non-adrenergik yang juga menyebabkan vasokonstriksi koroner dan renal. Tiga RCT dan sebuah studi meta-analisis menunjukkan tidak adanya perbedaan dalam luaran (ROSC, daya-tahan-hidup hingga dipulangkan, daya-tahan-hidup dengan fungsi neurologis yang intak) dalam pemberian vasopresis (40 unit IV) versus epinefrin (1 mg) sebagai vasopresor lini pertama pada henti jantung. Dua RCT menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam luaran (ROSC, daya-tahan-hidup hingga dipulangkan, daya-tahan-hidup dengan fungsi neurologis yang intak) saat membandingkan kombinasi epinefrin-vasopresin versus epinefrin saja dalam kasus henti jantung. Sebuah RCT menemukan bahwa dosis berulang vasopresin selama henti jantung tidak meningkatkan daya-tahan-hidup jika dibandingkan dosis berulang epinefrin.Karena efek vasopresin tidak berbeda jauh dengan epinefrin pada henti jantung, 1 dosis vasopresin 40 unit iv/io dapat menggantikan dosis pertama atau dosis kedua epinefrin dalam penanganan henti jantung (LOE A kelas IIb).Vasopresor LainTidak ada vasopresor alternatif (norepinefrin, fenilepinefrin) yang terbukti bermanfaat pada daya-tahan-hidup dibandingkan epinefrin.AntiaritmiaBelum ada bukti yang mendukung bahwa penggunaan rutin obat antiaritmia pada henti jantung dapat meningkatkan daya-tahan-hidup hingga pasien dipulangkan. Meskipun demikian, amiodaron terbukti bisa meningkatkan daya-tahan-hidup jangka panjang ke rumah sakit jika dibandingkan dengan plasebo atau lidokain.AmiodaronAmiodaron iv mempengaruhi kadar natrium dan kalium, berefek pada saluran kalsium dan memiliki sifat menyekat - maupun -adrenergrik. Penggunaannya dapat dipertimbangkan untuk terapi VF/VT yang tidak berespon terhadap kejutan listrik, CR dan vasopresor. Dalam sebuah RCT terjadap orang dewasa penderita VF/VT refrakter di luar rumah sakit, pemberian amiodaron (300 mg atau 5 mg/kgBB) oleh paramedis meningkatkan peluang dibawanya pasien ke rumah sakit jika dibandingkan dengan plasebo atau lidokain 1,5 mg/kgBB. Studi-studi lain mendokumentasikan hasil yang sama dalam menghentikan aritmia bila amiodaron diberikan ke manusia maupun hewan dengan VF atau VT yang hemodinamikanya tidak stabil. Insidens bradikaria dan hipotensi yang lebih tinggi dilaporkan pada penggunaan amiodaron di kasus luar rumah sakit. Sebuah studi terhadap hewan mencatat bahwa pemberian vasokonstriktor sebelum amiodaron dapat mencegah hipotensi. Efek samping hemodinamik dari amiodaron iv disebabkan oleh pelarut vasoaktifnya (polisorbat 80 dan benzil-alkohol). Jika diberikan tanpa pelarut ini, sebuah analisis yang mengkombinasikan data dari 4 uji klinis prospektif terhadap pasien VT (beberapa memiliki status hemodinamis yang tidak stabil) menunjukkan bahwa amiodaron tidak menyebabkan hipotensi sebanyak yang bisa ditimbulkan oleh lidokain. Formulasi iv dari amiodaron tanpa pelarut vasoaktif ini mulai diadopsi pembuatannya di Amerika Serikat.Amiodaron dapat dipertimbangkan untuk VF/VT yang tidak berespon terhadap CPR, defibrilasi dan terapi vasopresor (LOE B kelas IIb). Dosis awal 300 mg iv/io dapat diikuti dengan 1 dosis 150 mg iv/io. Meskipun pemberian secara io belum diketahui efek sampingnya, pengalaman dalam pemberian amiodaron secara io masih terbatas.LidokainSebuah tinjauan retrospek