abses intraabdominal

46
REFERAT Abses Intraabdominal OLEH : Alfred H. L. Toruan PEMBIMBING : Dr. Agung AW, SpB-KBD

Upload: alfred-l-toruan

Post on 18-Dec-2015

106 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

Abses intraabdominal

TRANSCRIPT

REFERATAbses Intraabdominal

OLEH :Alfred H. L. Toruan

PEMBIMBING :Dr. Agung AW, SpB-KBD

DEPARTEMEN ILMU BEDAHFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARANRSUP Dr. HASAN SADIKIN / RSUD ULINBANJARMASIN - INDONESIA2014

BAB IPENDAHULUAN

Abses intraabdominal merupakan kata-kata yang telah dan masih digunakan sebagai sinonim dari peritonitis sekunder. Kata dari abses ditandai dengan struktur yang terbatas dan ditutupi (walled off) oleh sebuah dinding inflamatori dan memiliki sebuah interior berongga. Sebaliknya, terdapat aliran bebas, cairan peritoneal yang terkontaminasi dan terinfeksi atau koleksi lokulasi, dimana menghilangkan dari sebuah dinding, mewakili sebuah fase dalam spektrum/berkelanjutan dari kontaminasi / infeksi peritoneal dan bukan sebuah abses.1Pembentukan abses merupakan sebuah respon host kompleks yang mempengaruhi pengumpulan dan akumulasi dari netrofil, deposit fibrin, dan proses lainnya yang tidak sempurna. Secara klinis, abses intraabdominal biasanya dibentuk dari kejadian-kejadian yang berkelanjutan yang mengarah pada perforasi pada usus dan kebocoran terus menerus dari isi kolon ke abdomen.2 Selain itu, abses intraabdominal merupakan sebuah sumber dari morbiditas dan mortalitas yang mengikuti pembedahan secara elektif maupun emergensi pada traktus elementari.3Abses intraabominal kemudian berlanjut menjadi sebuah masalah yang penting dan serius dalam tindakan bedah. Terapi yang sesuai sering terlambat dikarenakan ketidakjelasan tanda dari beragam kondisi yang menghasilkan pembentukan dari abses, dimana dapat membuat diagnosis dan lokalisasi menjadi sulit. Efek-efek patofisiologi yang terkait dapat menjadi mengancam jiwa atau mengarah pada pemanjangan periode dari morbidtas dengan pemanjangan masa rawat di rumah sakit. Diagnosis yang tertunda dan pengobatan yang tidak adekuat dapat memicu peningkatan angka mortalitas, dan pada akhirnya, dampak ekononi pada keterlambatan dan inadekuatnya terapi menjadi signifikan.4Pengenalan lebih baik terhadap patofisiologi abses intraabdominal dan indeks klinis yang tinggi dari kecurigaan memudahkan pengenalan lebih baik, dan dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas.4

BAB IIABSES ABDOMINAL

Anatomi Rongga PeritonealPengenalan lebih lanjut dalam anatomi diperlukan dalam memahami kekhasan dari pembentukan abses. Region-region seperti didalam omentum mayor, rongga subhepatik kanan, rongga subfrenikus kanan dan kiri, parakolik gutter, dan pelvis merupakan tempat yang memungkinkan untuk terjadinya akumulasi cairan, dan sebagai hasilnya, terjadi pembentukan dari abses. Rongga subfrenikus berjalan antara hemidiafragma kanan dan lobus kanan dari heoar. Pada posterior terdaoat triangular kanan dan ligamen koronaria dari hepar, dan pada medial terdapat ligamen falciformis. Pada rongga subfrenikus kiri berjalan diantara lobus hepatika sinistra dan hemidiafragma sinistra. Pada lateral, rongga meluas antara lien dan liver dan diikat pada bagian medial oleh ligamentum falciformis. Parakolik gutter berjalan diantara dinding tubuh dan juga pada sisi kiri kolon desenden dan pada sisi kanan dari kolon desenden. Hubungan antara parakolik gutter sinistra dengan pelvis terbatas oleh karena adanya kolon sigmoid dan terbatas dengan rongga subfrenikus kiri karena adanya ligamentum frenikokolika. Pada sisi lain, terdapat hubungan antara parakolik gutter kanan dengan rongga subfrenikus kanan, rongga subhepatika kanan, dan pelvis. Hubungan anatomi ini penting dalam situasi klinik dimana etiologi dari abses tidak jelas.5

Rongga subhepatik kanan berjalan diantara permukaan inferior dari hepar dan fleksura hepatika dan kolon transversum. Pada medial, berjalan pada bagian kedua dari duodenum dan ligamen hepatoduodenal, dan pada lateral berjalan pada dinding tubuh. Rongga ini terbuka ke Mourisons pouch pada bagian posteriornya, bagian yang paling tergantung dalam kavitas abdominal pada saat posisi berbaring. Kavitas pelvis merupakan area yang paling banyak berpengaruh pada kavitas peritoneal pada saat posisi berdiri. Rongga ini dibatasi oleh kandung kemih pada bagian anteriornya, dan rektum, dinding tulang pelvik, dan retroperitoneum pada bagian posteriornya. Hal ini menciptakan area anatomis yang dapat menjadi susah untuk di akses. Pada akhirnya, omentum minor adalah rongga yang berjalan secara posterior dari lambung dan ligamen gastrohepatika. Secara superior, berjalan pada lobus kaudatus dari hepar, dan inferior pada mesokolon transversum. Omentum minor berhubungan dengan omentum mayor melalui foramen Winslow.5

PatofisiologiAbses abdominal terbentuk pada area peritonitis lokal dimana infeksi ditutup oleh penghalang seperti omentum dan peritoneum visceral atau parietal. Organisme infeksius yang memungkikan untuk menyerang respon peritonitis lokal termasuk bakteri enterik gram negatif yang beragam, Enterococcus, Bacteriodes, dan jamur. Sewaktu peritoneum diaktivasi secara sekunder oleh kedua respon lokal dan sistemik, terdapat perubahan pada aliran darah, meningkatkan fagositosis dari bakteri, dan deposit fibrin pada bakteri yang terperangkap. Sequestrasi bakteri oleh fibrin memperlambat penyebaran sistemik dari bakteri dan mengurangi resiko dari penyebaran bakteri secara menyeluruh. Bagaimanapun, deposit dari fibrin juga dapat melindungi bakteri dari mekanisme pertahanan host, sehingga membuat infeksi persisten yang berujung pada pembentukan abses.5Abses abdominal dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu intraperitoneal, retroperitonea, dan visceral. Abses intraperitoneal secara umum berkembang melalui satu atau dua cara. Pertama, merupakan hasil dari peritonitis difus dimana lokulasi dari material purulen membentuk pada area yang paling banyak terkena. Cara kedua dari pembentukan adalah karena proses penyakit yang terjadi berdekatan atau trauma dimana pertahanan host secara adekuat mencegah peritonitis difus dan proses walling off. Abses retroperitoneal terbentuk pada rongga potensial antara peritoneum dan fascia transversalis yang membatasi aspek posterior dari kavitas abdominal.5 Abses ini dapat terjadi sebagai hasil dari perforasi dari organ berongga ke dalam retroperitoneum sebagaimana penyebaran dari hematogen atau limfogen.1 Abses viscera berkembang dibatas dari satu organ abdominal viscera, seperti liver, pankreas, atau kandung empedu. Abses ini secara khusus terbentuk sebagai hasil dari penyebaran hematogen atau limfogen dari berbagai macam tempat, atau pada kasus di kandung empedu, berasal dari kolesistitis infeksius.5Abses intraabdominal lebih baik diterapi secara cepat dan efektif, dimana mortalitas pasien dengan abses intraabdominal berkisar dari 10% - 20%. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil yaitu kegagalan organ, abses pada lesser sac, kultur darah positif, abses yang persisten atau rekuren, abses multipel, usia lebih dari 50 tahun, dan abses subhepatika. Data menunjukkan bahwa kematian dari abses abdominal adalah sebagian besar merupakan konsekuensi dari drainase yang tidak efektif atau tidak tepat waktu.5Secara umum, apabila berbicara mengenai abses abdominal, berhubungan dengan polimikrobial. Abses yang berkembang pada setelah serangan dari peritonitis sekunder (seperti abses divertikular atau apendiks) memiliki flora anaerobik aerobik campuran dari peritonitis sekunder. Hal tersebut menunjukkan sewaktu anaerob fakultatif yang mengaktifkan endotoksin, seperti E. coli, bertanggung jawab pada fase akut peritonitis, anaerob obligat, seperti Bacteriodes fragilis bertanggung jawab pada pembentukan abses lebih lanjut. Bakteri-bakteri ini bekerja secara sinergi, keduanya berperan dalam menghasilkan abses, dan anaerob obligat dapat meningkatkan kematian dari inokulum non-letal yang lain dari mikroorganisme fakultatif. Mayoritas luas dari abses visceral (seperti hepar dan splenik) merupakan aerob polimikrobial, anaerob, gram negatif dan positif. Hal ini juga berlaku pada abses retroperitoneal. Abses primer, seperti salah satunya pada psoas, sering disebabkan monobakteri, dengan jenis Staphylococci yang mendominasi. Abses postoperasi biasanya dikarakterisasi oleh flora khusus dari peritonitis tersier, menunjukkan superinfeksi dengan jamur dan oportunis lainnya. Virulensi rendah dari organisme-organisme ini, dimana memungkinkan kehadiran sebuah marker daripada sebab dari peritonitis tersier, merefleksikan imunodepresi global dari pasien yang terkena.1

Klasifikasi Abses AbdominalSeperti yang telah dijelaskan sebelumnya, klasifikasi dari abses abdominal terdiri dari intraperitoneal, retroperitoneal, visceral, dan non visceral. Abses nonvisceral berkembang mengikuti resolusi dari peritonitis difus dimana area lokulasi infeksi dan supurasi mengalami walling off dan bertahan, atau dapat berasal dari perforasi sebuah organ, dimana secara efektif dilokalisir oleh pertahanan peritoneal.1

Gambaran KlinisSecara umum, gambaran klinis dari abses abdominal merupakan heterogen dan bermacam pandangan sesuai dengan abses itu sendiri. Spektrum yang diciptakan luas, reperkusi sistemik dari infeksi bervariasi dari syok septik yang terlihat sampai tidak terlihat sama sekali sewaktu disupresi oleh imunoparesis dan antibiotik.1Pada pembedahan, pembentukan dari abses ektravisceral mengikuti dari tindakan kegagalan saat anastomosis, infeksi dari kumpulan cairan intraperitoneal yang mengikuti tindakan pembedahan abdomen, kebocoran dari perforasi visceral spontan, atau sisa lokulasi yang mengikuti peritonitis difus. Demam tinggi, menggigil, nyeri abdomen, anoreksia, dan keterlambatan dari pengembalian fungsi usus pada pasien postoperasi secara khas menunjukkan gejala dan tanda dari abses intraperitoneal.5Abses subfrenikus dapat menunjukkan gejala nyeri samar pada kuadran atas abdomen, nyeri menjalar pada bahu, dan cegukan. Secara khas, abses parakolika dan interloop menunjukkan nyeri tekan lokal dan dapat bermanifestasi sebagai massa yang teraba pada saat pemeriksaan abdomen. Abses juga dapat menyebabkan iritasi lokal dari kandung kemih yang dapat menyebabkan frekuensi, atau pada rektum yang dapat menyebabkan diare atau tenesmus.5

DiagnosisFoto abdominal biasa dapat membantu dalam mengidentifikasi air-fluid level pada posisi tegak atau dekubitus. Radriograf dada dapat membantu membedakan koleksi cairan pada subfrenikus dari koleksi cairan di pleura. Radiografi biasa dapat menunjukkan keberadaan dari abses, tetapi modalitas imajing lainnya memiliki kepentingan juga dalam menggantikan foto rontgen biasa pada evaluasi abses intraabdominal.5Penggunaan awal dari ultrasound pada diagnosis dari koleksi cairan intraabdominal ditemukan memiliki beberapa keuntungan dan kerugian. Akurasi dari ultrasonografi dala diagnosis dari abses intraabdominal ditemukan pada 97% dengan sensitivitas 93% dan spesifitas 99%. Ultrasonografi menyediakan pemeriksaan cepat dan lengkap dari abdomen, walaupun pada pasien dengan sakit berat. Apabila ditinjau dari segi harga, ultrasonografi (USG) merupakan alat yang penting. Sebagai tambahan, USG tidak memerlukan transportasi dari pasien yang sakit kritis, dan dapat dilakukan pada tempat tidur pasien langsung.5Kegunaan dari ultrasound, bagaimanapun, tergantung dari kemampuan dan pengalaman operatornya. Hal ini memberikan beberapa batasan dari kegunaan ultrasound. Pertama, pada daerah diluar dari pelvis, kuadran kanan atas, dan kuadran kiri atas dimana terdapat lien, gambaran yang optimal sulit untuk didapatkan. Kedua, pada pasien dengan ileus, sebuah situasi yang tidak jarang terjadi pada abses intraabdominal, gambaran terdistorsi oleh udara usus. Isu lainnya yang sering pada pasien bedah adalah hal-hal yang merintangi ultrasound termasuk kawat, wound dressing, dan stoma. Berikutnya, ditemukan bahwa karakteristik ultrasonik dari abses dan hematoma memiliki kesamaan. Lebih jauh, sifat cairan yang ditentukan oleh ultrasound hanya khusus membantu menentukkan komposisi dari koleksi cairan.5Pemeriksaan Computed tomography (CT) berkembang dengan cepat sebagai modalitas yang akurat dan sering digunakan pada proses penyakit ini. Deteksi pada 97% kasus abses abdominal telah dilaporkan. Kriteria dari identifikasi dari abses telah jelas digambarkan dan termasuk dari identifikasi dari area pada pengurangan densitas CT rendah pada sebuah lokasi ekstraluminal atau didalam parenkim dari organ solid abdomen. Densitas dari abses biasanya turun diantara air dan jaringan solid. Tanda radiologis lain dari abses adalah efek massa yang menggantikan atau memindahkan struktur anatomis normal, pusat lusen yang tidak tidak tampak peningkatan densitas setelah pemberian kontras secara intravena, peningkatan lingkaran disekitar pusat gambaran lusen setelah pemberian kontras, dan udara pada kumpulan cairan. Salah satu keuntungan utama dari CT dibandingkan ultrasound adalah kemampuan untuk mendeteksi abses pada retroperitoneum dan area pankreas.5

Terdapat beberapa kerugian dari CT, biasanya, terdapat kumpulan benda solid ang menunjukkan kemiripan abses dengan leukosit tinggi dan mengandung protein. Termasuk di dalamnya nekrosis tumor dan jaringan dapat mendemonstrasikan udara intrakavitas dan tidak terinfeksi. Terakhir, pengelompokan dan tanda lainnya dari abses yang terlokulasi dapat dengan mudah dilihat dengan ultrasound daripada CT. Pada akhirnya, pemeriksaan CT kadang-kadang tidak dapt membedakan antara cairan subfrenikus dan pulmo, situasi yang relatif biasa terjadi pada pembedahan abdomen.5

PenatalaksanaanPenatalaksanaan awal pada pasien dengan abses intraabdominal termasuk persiapan dari operasi yang potensial atau terapi perkutaneus sebagaimana diikuti dengan terapi antibiotik awal. Pada awalan, pemberian antibiotik menggunakan tipe spektrum luas dengan juga dapat mengatasi bakteri aerob dan anaerob. Lanjutan dari drainase yang berhasil pada abses, bagaimanapun, dilakukan tindakan yang cepat untuk pemberian antibiotik sesuai hasil kultur. Bergantung pada status klinis dari pasien, pemberhentian awal dari terapi antibiotik dipertimbangkan apabila drainase yang adekuat tercapai. Resusitasi cairan yang agresif berguna pada sebagian besar pasien, dan koreksi dari asam basa dan abnormalitas elektrolit dilakukan dengan baik. Bila hitung leukosit meningkat, evaluasi standar dilakukan termasuk kultur darah, urinalisis dan kultur urin, penilaian dari status kateter vena sentral, dan gambaran thorak serial. Selain itu, perlu diantisipasi dari kemungkinan ileus dan keperluan dari sumber alternatif nutrisi sepertin nutrisi parenteral. Pemasangan dari selang nasogastrik diperlukan apabila nausea dan muntah ditemukan.5

AntibiotikKenyataan yang dihadapi adalah bahwa tidak adanya bukti keberadaan yang kuat yang menyatakan bahwa agen antimikrobial, yang melakukan penetrasi buruk pada abses yang telah terbentuk, merupakan terapi sama pentingnya bila dibandingkan dengan evakuasi penuh dari pus. Bila dilihat pada masa lampau, sewaktu abses pelvis diobservasi sampai mencapai maturitas dan dilakukan drainase ke rektum atau vagina, tidak ada antibiotik yang digunakan dan pemulihan terjadi dengan cepat dan menyeluruh. Penatalaksanaan secara umum, bagaimanapun, walaupun dengan bukti yang sedikit, menunjukkan bahwa sewaktu abses diduga kuat atau didiagnosis keberadaannya, maka terapi antibiotik dilakukan secara dini. Pada akhirnya, pemberian antibiotik awal dilakukan berdasarkan empirik pada bakteri yang biasanya ditemukan.1Lama pemberian dari antibiotik tidak diketahui dengan pasti. Pemberian antibiotik yang lebih lama setelah tindakan drainase yang adekuat tidak berguna. Secara teori, antibiotik berperang dengan bakteremia selama drainasi dan mengurangi mikroorganisme lokal, tetapi setelah pus dievakuasi, mengarah kepada respon klinis, antibiotik seharusnya dihentikan. Keberadaan dari drain tidak merupakan indikasi untuk melanjutkan pemberian.1

Terapi konservatif Secara tradisional, abses hepar multipel, sebagai konsekuensi dari piemia portal, dimana tidak memungkinkan untuk dilakukan drainase, diterapi dengan antibiotik dengan tingkat respon yang variabel. Hal ini juga berlaku pada terapi non operatif, dimana dengan pemberian antibiotik berkepanjangan, pada anak dengan abses abdominal yang disebabkan apendektomi untuk akut appendisitis.1

DrainasePada saat sekarang, paradigma yang ada, sewaktu dicurigai adanya abses pada CT atau ultrasound (US), adalah terapi pasien dengan antibiotik dan dilanjutkan pada drainase. Pada tindakan yang terburu-buru ini, pelajaran klinis yang dipelajari berabad-abad terlupakan. Pada satu generasi yang lalu, dimana seorang pasien yang mengalami demam tinggi mendadak setelah appendektomi secara sabar dan hati-hati diobservasi tanpa antibiotik, biasanya temperatur menunjukkan tanda local inflammatory respon syndrome (LIRS) residual, akan turun secara spontan. Pada minoritas pasien yang mengalami demam sepsis menunjukkan supurasi lokal yang mengalami maturasi. Pada akhirnya, drainase dilakukan melalu rektum sewaktu dinilai telah mengalami maturasi. Sekarang, pada sisi lain, teknik imajing diperlukan secara instan untuk mendiagnosis red herring dimana dapat menybabkan prosedur invasif yang tidak perlu. Perlu diingat, pada pasien demam yang stabi merupakan sebuah gejala pertahanan host yang efektif, tidak merupakan sebuah indikasi untuk tindakan yang agresif.1

Drainase perkutaneusDrainase perkutaneus dari abses menjadi teknik yang diterapkan dan alternatif yang aman dibandingkan dengan pembedahan. Keuntungan teknik perkutaneus termasuk penghindaran dari penggunaan anestesi umum, biaya yang lebih rendah, dan potensial dari beberapa komplikasi. Prasyarat dari draiase kateter termasuk secara anatomis memiliki rute yang aman ke abses, kavitas abses yang unilokular dan batas tegas, persetujuan pembedahan dan evaluasi radiologik, dan back-up senior untuk kegagalan pada teknik. Kontraindikasi pada drainase kateeter termasuk ketiadaan dari rute akses yang baik, pengelompokkan / septa dan lokulasi, dan keberadaan adanya koagulopati. Abses multipel, abses dengan hubungan enterik dapa dilihat dengan adanya fistula enterokutaneus, dan kebutuhan untuk melintasi viscera solid tidak merupakan kontraindikasi.5,6Tindakan ini tidak jelas sampai drainase perkutaneus dilakukan dengan bantuan atau arahan US atau CT. CT meyediakan lebih banyak presisi identifikasi untuk organ dan usus dan lebih akurat dalam perencanaan dan rute drainase. Sewaktu abses diidentifikasi, diagnostik awal dengan aspirasi perlu dikirim untuk kultur mikrobiologi dan pewarnaan Gram. Kateter yang dipergunakan untuk drainase sekecil mungkin dan memungkinkan untuk keamanan dan cukup besar untuk penyaluran yang tidak menyebabkan obstruksi dari selang / kateter. Ukuran kateter yang biasa digunakan berkisar antara 8F 12F. Penempatan kateter yang baik, kavitas abses dengan khas mengalami dekompresi dan kolaps. Irigasi dari kateter harus dilakukan sekali sehari untuk memastikan patensi dari kateter tersebut. Saat drainase kateter berkurang, pemeriksaan CT ulang dilakukan untuk mengevaluasi jumlah residu. Bila drainasi meningkat dari waktu ke waktu atau berlanjut pada tingkat yang membahayakan, perkembangan dari fistula enterik dapat dicurigai.5 Perbaikan klinis dapat dilihat dalam 24-72 jam setelah drainase. Demam yang persisten dan leukositosis pada hari keempat setelah drainase berkorelasi dengan kegagalan dalam penatalaksanaan. Non-responder sebaiknya dilakukan imajing ulang dengan CT, kombinasi dengan injeksi kontras yang larut air melalui drain. Rongga abses yang tidak kolaps biasanya akan mengarah kepada pembentukan yang berulang.1 Akhir dari penggunaan kateter adalah perkembangan klinis dari pasien. Komplikasi potensial dari pemasangan kateter termasuk bakterimia, sepsis, cedera vaskular, enteric puncture, fistula kutaneus, atau pemasangan kateter melewati pleura.5

Drainase dengan pembedahanDrainase dengan pembedahan merupakan metode yang lebih dianjurkan pada penatalaksaan abses yang tidak dapat ditentukan batasnya, abses fungal, hematom yang terinfeksi, nekrosis tumor, dan abses interloop. Drainase pembedahan terbuka dapat digunakan pada situasi dimana teknik perkutaneus tidak menunjukkan keberhasilan atau kegagalan pada drainase dengan minimal invasif.5Pendekatan secara transperitoneal memudahkan untuk pemeriksaan dari keseluruhan kavitas abdoman dan memudahkan untuk drainase dari abses multipel. Abses subfrenikus dan abses subhepatika kanan dapat ditempuh dengan insisi abdomen lateral. Setelah pasien dengan adekuat dihidrasi dan antibiotik yang cocok diberikan, insisi dibuat dan perhatian pada metikulus diberikan untuk melindungi luka dengan spons yang dilapisi antibiotik untuk mencegah terjadinya luka infeksi post operasi. Sewaktu abses diidentifikasi, abses tersebut ditembus dan dilakukan draiinase dengan cepat untuk meminimalisasi kontaminasi dari sisi ke kavitas peritoneal. Kavitas abses dibuat terbuka dengan lebar. Spesimen dikirim untuk pewarnaan Gram dan kultur. Pada kasus dengan abses resisten, biopsi dari kavitas abses dikirim untuk patologi untuk evaluasi lebih lanjut. Irigasi antibiotik dilakukan pada akhir dari operasi untuk memastikan kebersihan dari rongga abdomen. Drain suction tertutup diletakan pada posisi yang tergantung untuk mengurangi resiko reakumulasi. Pada kasus kontaminasi ekstrim, insisi dapat dibiarkan terbuka dan dipacking untuk mencegah terjadinya infeksi luka. Drain dipertahankan paling sedikit selama 10 hari, sebagaimana mana supurasi terjadi.5Pada postoperasi, antibiotik diberikan sesuai hasil kultur dan nutrisi parenteral dimulai bila diperlukan. Saat ileus terjadi dan merupakan hal yang tidak jarang terjadi pada pasien ini, kebutuhan kalori susah untuk dicapai. Apabila memungkinkan, feeding tube dapat dilakukan untuk mencegah atrofi vili intestinal. Hal penting lainnya adalah menjaga agar tube tidak mengalami penyumbatan. Irigasi rutin dengan normal saline atau cairan antibiotik diperlukan.5

Varian Abses AbdominalAbses subfrenik Daerah subfrenikus secara umum berada di antara diafragma pada bagian atas dan pada kolon tranversum dan mesokolon pada bagian bawah. Menurut Harley, pada 90% kasus subfrenikus adalah merupakan kasus sekunder akibat infeksi yang terjadi dimana saja pada bagian kavitas abdominal. Perforasi ulkus peptikum, apendisitis, operasi abdominal dan luka perang torakoabdominal. Menurut Windsors, pada 100 pasien penyakit dari lambung dan duodenum menempati puncak daftar (48%), diikuti oleh apendisitis (23%), dimana liver dan penyakit bilier pada posisi ketiga (22%). Perubahan dalam hal etiologi lebih diakibatkan karena pembedahan abdomen bagian atas sekarang lebih sering dilakukan daripada masa lalu. Organisme infeksi yang paling menyebabkan abses subfrenikus adalah escherichia coli, streptokokus anaerob dan stafilokokus piogen. Setengah dari kasus-kasus yang didapatkan merupakan campuran dari organisme-organisme tersebut.7 Saat ini, kebanyakan pasien yang muncul pada abses pada regio ini merupakan pasien dengan riwayat pembedahan sebelumnya. Operasi kolon kiri dan gaster dan lien memungkinkan perkembangan pembentukan dari abses subfrenikus kiri. Pembedahan pada kolon kanan, bilier, dan hepar mengarah kepada pembentukan dari abses infrahepatik dan suprahepatik. Kegagalan anastomosis yang disebabkan komplikasi sekunder dari kesalahan teknik, tegangan yang berlebihan, hipotermia, dan hipotensi postoperasi mengarah pada pembentukan abses subfrenikus, sebagaimana pada akumulasi darah akibat dari hemostasis yang tidak adekuat.5Cara dari rongga subfrenikus menjadi terinfeksi masih belum diketahui secara jelas. Pada kasus-kasus utama (64,9%) disebabkan penyebaran langsung dari fokus infeksi tetangga. Bagian yang susah dijelaskan adalah penyebaran yang berasal dari bagian yang jauh dari abdomen, hal ini dapat diperkirakan terjadi melalui limfatik retroperitoneal sebagaimana yang dijelaskan oleh Truesdale. Beberapa peneliti meyakini bahwa faktor gravitasi mempengaruhi terbentuknya abses yang terjadi pada subfrenikus. Salah satunya posisi upward dimana memungkinkan koleksi berjalan dapat berjalan ke arah kranial.7Sebagian besar abses terjadi pada sebelah kanan, dimana seperempat dari kasus yang dikumpulkan oleh berbagai peneliti diketahui bahwa kompartemen sebelah kiri juga ikut terpengaruh. Abses yang terjadi pada sebelah kanan biasanya disebabkan oleh infeksi yang berasal dari appendix, liver, dan aliran bilier dan pada duodenum, sedangkan perforasi ulkus peptikum lebih sering mengarah pada rongga subfrenikus kiri. Selain itu, infeksi tidak hanya terjadi pada sebelah sisi saja, tetapi dapat pula terjadi secara bilateral. Pada beberapa kasus yang didapatkan, angka mortalitas dapat mencapai 80% apabila abses terjadi pada kedua sisi.7

Komplikasi yang dapat terjadi pada abses subfrenikus dapat terjadi pada abdomen atau dada, atau keduanya, sebagai hasil dari supurasi subfrenikus. Insidensi dapat mencapai 60% dan mortalitas dapat mencapai 50%. Komplikasi yang terjadi pada intratorakal merupakan komplikasi yang kebanyakan terjadi pada infeksi yang terjadi pada rongga suprahepatika. Efusi serosa simpel merupakan hal yang biasa terjadi. Emfiema, terlepas dari akibat infeksi dari efusi atau perforasi yang terjadi pada diafragma, merupakan kasus yang sering terjadi. Infeksi pada paru diikuti dengan terjadinya atelektasis, abses atau peneumonitis suprativa merupakan hal yang tidak sering terjadi. Abses subfrenikus juga dapat menyebabkan batuk yang berkepanjangan. Perkembangan dari fistula bronkial secara paradoksal mengurangi angka kematian abses subfrenikus. Pada komplikasi di abdominal, hal ini terjadi pada sepertiga kasus dari penelitian Harley. Kasus yang paling sering dijumpai adalah kerusakan luka sederhana, peritonitis difus, abses intraperitoneal yang terjadi terlokalisir, fistula faekal, dan abses liver. Kasus yang terakhir, abses liver, dapat terjadi sebagai abses primer, atau kejadian sekunder yang terjadi dari ruptur abses subfrenikus yang berjalan ke liver, atau juga dapat diakibatkan pieplebitis portal atau kolangitis supurativa. Hubungan antara abses liver dengan supurasi subfrenikus secara khusus merupakan hal yang berbahaya dimana angka mortalitas mencapai 76,2%.7Gejala klinis yang dapat terjadi yaitu onset dapat terjadi secara khas, pasien gagal untuk sembuh secara memuaskan pada sebuah operasi dari beberapa kondisi akut abdomen, atau prosedur yang berkelanjutan seperti gastrektomi parsial. Pada beberapa kasus lain, onset sering terjadi secara tenang tanpa adanya gejala yang khas. Gejala-gejala umum lainnya merupakan efek dari toksemia seperti malaise, anoreksia, demam, rigor, keringat malam, dimana gambaran darah menunjukkan anemia dengan diikuti peningkatan sel darah putih. Leukositosis dapat terjadi, walaupun ada atau tidaknya keberadaan leukositosis ini dapat dipengaruhi oleh efek masking dari penggunaan antibiotik. Gejala lokal yang biasa didapatkan adalah nyeri, yang dirasakan pada sisi abses, dibatasi pada abdomen atas atau nyeri berpindah pada dada, yang biasa didapatkan pada jenis pleural. Nyeri juga dapat dirasakan pada bahu dan hal ini disebabkan oleh karena adanya iritasi oleh abses subfreikus. Nyeri tekan dapat ditimbulkan pada satu titik atau pada titik lain seperti : pada punggung, diatas iga keduabelass atau daerah lumbar, dan pada daerah depan, diatas batas costal atau pada abdomen bagian atas. Secara umum, dapat terjadi bengkak yang dapat terlihat, yang biasa didapatkan pada daerah anterior. Tanda lokal lainnya seperti edema yang terjadi di bawah kulit. Pada gejala dan tanda di abdomen, dapat diketemukan distensi abdomen, konstipasi, atau diare, yang terakhir khususnya disebabkan oleh keberadaan abses pelvik. Ruptur abses subfrenikus ke liver atau keberadaan dari kolangitis, ikterik dapat terjadi. Cegukan yang persisten juga dapat terjadi. Pada gejala dan tanda yang terdapat pada torakal, supurasi suprahepatika lebih mengarah ke arah atensi klinik pada dada. Nyeri dada dapat terjadi pada kasus abses suprahepatika. Batuk, biasa dihubungkan dengan sputum purulen, tidak biasa terjadi, tetapi hemoptisis dapat terjadi. Pada pemeriksaan fisik, pengurangan pergerakan respiratori dan perkusi redup dapat terjadi, dan pada auskultasi dapat ditemukan juga pengurangan pemasukan udara dan suara nafas bronkial.7Pada pemeriksaan radiologis, dapat dilakukan rontgen toraks postero-anterior dan lateral. Posisi lateral dekubitus dan rontgen basal penetrasi juga merupakan nilai sendiri dalam pemeriksaan radiologis.7Penemuan secara radiologi pada abses subfrenikus seperti : Penemuan pada paruReaksi pleural dapat menjadi bukti pertama yang ditandai dengan kekaburan pada bagian basal, dimana obliterasi pada sudut kostofrenikus pada foto postero-anterior atau secara posterior pada foto lateral dapat berarti sebuah efusi pleura. Efusi yang lebih besar atau emfiema dapat memberikan penampakan yang khas dari perpindahan cairan pada dinding dada.Perubahan pada paru yang dihubungkan dengan pembentukan dari kongesti basa, atelektasis basal, atau area yang tidak lengkap atau besekat-sekat dari konsolidasi. Mediastinum, bagaimanapun, disamping keberadaan akibat atelektasis, sering mengalami salah letak ke sisi berlawanan karena elevasi dari diafragm. Penemuan pada diafragmaElevasi pada diafragma biasa ditemukan pada abses suprahepatika, tetapi dapat juga ditemukan pada abses hepar. Foto lateral sering memeberikan informasi mengenai lokasi dari abses, dimana menunjukkan elevasi dari diafragma yang berada langsung di atasnya. Pada sisi kiri, peningkatan dari diafragma lebih sedikit terjadi dikarenakan tidakadanya hepar dan mobilitas yang relatif ada pada organ-organ yang ada pada sisi tersebut. Penemuan pada subfrenikusKurang lebih 30% dari kasus-kasus dengan udara atau tanpa gambaran udara, fluid level biasa terjadi di bawah diafragma. Asal dari udara pada abses subfrenikus dapat dihubungkan dengan sebab-sebab yang mengikutinya, seperti perforasi dari organ berongga, kumpulan udara yang terkumpul setelah dilakukan laparotomi, atau ada hubungan dengan bronkus. Pada sisi sebelah kiri, susah dilakukan pengenalan koleksi subfrenikus yang berasal dari udara yang berasal dari distensi pada usus atau yang berasal dari gelembung udara pada lambung. Pada kondisi ini, film lateral dekubitus cukup membantu dikarenakan udara dan cairan dalam kavitas peritoneal akan bergeser ke lateral dan ke bawah.Terapi pada absees subfrenikus meliputi antibiotik dan drainase dari abses. Penggunaan antibiotik pada tahap lebih dianjurkan karena angka mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan terapi pembendahan. Teknik yang digunakan untuk drainase dengan menggunakan pendekatan ekstraserosa secara posterior dan anterior. Drainase yang dilakukan juga dibagi dengan drainase kateter dan tindakan drainase terbuka dengan operasi.7Abses interloop Abses interloop merupakan abses yang terjadi pada loop pada usus halus. Abses interloop, dimana diperkirakan lebih kecil dari bentukan enteroparietal, biasanya tidak terlalu terlihat dalam penampakannya dan biasanya diidentifikasi pada waktu reseksi sewaktu memisahkan loop dari usus.8 Selain itu, menurut Dondelinger, lokasi dari abses dapat didiagnosis dengan menggunakan CT (Computed Tomography) dimana terdapat bayangan opak pada loop usus. Bila sebuah abses interloop terjadi setelah pembedahan dan drain pembedahan telah ada, maka kateterisasi dari drain dapat dilakukan. Sewaktu fistula enterik ditemukan, ujung dari kateter diletakkan pada tempat kebooran untuk mengontrol fistula dan dapat mengurangi volume dari abses tersebut.9

Abses parakolikaPada intraabdominal, terdapat rongga antara kolon dengan dinding abdomen yang disebut dengan paracolic gutters. Terdapat dua parakolik gutters yaitu parakolik gutter lateral kanan dan parakolik gutter lateral kiri. Parakolik gutter kanan dan kiri merupakan rongga peritoneal pada dinding abdominal posterior yang berjalan di sepanjang sisi kolon asenden dan desenden. Parakolik gutter utama berjalan lateral dari kolon pada masing-masing sisinya. Parakolik gutter kanan berjalan pada aspek superolateral dari fleksura hepatika pada kolon, turun ke arah lateral dari kolon asenden, dan disekitar sekum. Parakolik gutter kanan lebih besar daripada kiri, dimana terdapat penghalang ligamen prenikokolika, sehingga dapat menjelaskan kenapa koleksi cairan pada subfrenikus kanan lebih sering daripada sebelah kiri. Fungsi dari parakolik gutter yaitu sebagai aliran dari airan infeksi pada kompartemen berbeda di dalam abdomen. Sebagai contoh, cairan yang berasal dari apendiks yang terinfeksi dapat berjalan ke arah kranial melalui parakolik gutter kanan sampai ke kavum hepatorenal. Abses parakolik gutter jarang terjadi dan biasanya merupakan imbas dari infeksi pada apendiks, divertikulitis, atau Crohns disease. Diagnosis dapat dilakukan dengan mudah dan drainase perkutaneus dapat dilakukan dengan akses langsung ke kavitas. Abses ini memiliki respon pada drainase yang dilaukan dengan atensi yang sama pada drain, dan kriteria yang sama pada akhir penggunaan drainase, seperti yang dilakukan pada abses peritoneal lainnya.9 Selain itu, abses pada regio ini juga khas disebabkan oleh hasil dari perforasi pada kolon. Biasanya, abses meluas secara inferior ke pelvis. Kondisi klinis biasa yang terjadi juga pada tindakan pembedahan yaitu pada perforasi divertikulitis dan appendisitis. Sewaktu abses ini memiliki hubungan enterik, drainase perkutaneus dapat dilakukan tanpa adanya resiko signifikan akan pembentukan fistula. Sewaktu abses memiliki traktus fistula kutaneus, drainase kateter lebih dipilih melalui traktus tersebut. Jalur fistula dapat diidentifikasi melalui fistulogram dan kateter dapat diletakkan melalui jalur tersebut untuk drainase adekuat. Pada kasus drainase perkutaneus akibat abses periapendiks, 90% pasien dapat dengan sukses diterapi dengan antibiotik dan drainase kateter. Pada kasus akibat abses divertikular, salah satu penelitian menunjukkan bahwa preoperatif drainase perkutaneus dapat menyingkirkan kemungkinan kolostomi dan pembedahan bertahap pada 74% pasien.5Abses pelvisAbses pelvis merupakan hasil dari peritonitis difus, perforasi divertikulitis dan apendisitis, dan proses ginekologi yang bermacam-macam. Beberapa struktur dalam dari pelvis tidak dapat diakses karena struktur yang tidak tampat, seperti kandung kemih, loop usus, dan struktur skeletal dan neurovaskular. Abses di dekat dinding abdomen anterior dapat dengan mudah didrainase dengan pendekatan perkutaneus. Abses yang lebih dalam memerlukan inovasi pendekatan seperti pendekatan transsciatic dan translumbar. Pada wanita, drainase transvaginal dengan panduan ultrasonografi dapat merupakan metode yang efektif. Drainase transrektal dengan panduan ultrasonografi pada abses pelvik yang lebih dalam menunjukkan alternatif yang efektif dan aman daripada pendekatan pembedahan transrektal dan transgluteal.5 Gejala yang dapat ditimbulkan dari abses pelvis seperti gejala sistemik dari akibat toksisitas, seperti demam, malaise, anoreksia, nausea, muntah, dan pireksia. Efek lokal yang dapat terjadi seperti nyeri, nyeri tekan dalam pada kedua kuadran bawah, diarea, keluarnya lendir melalui rektum, frekuensi urin, dan nyeri kencing. Pada pemeriksaan rektal atau bagina dapat ditemukan nyeri tekan dari peritoneum pelvis dan kadang ditemukan tonjolan pada dinding anterior rektum.10Abses pankreasAbses pankreas merupakan komplikasi akhir dari acute necrotizing pancreatitis, yang terjadi lebih dari 4 minggu setelah serangan awal. Abses pankreas merupakan kumpulan pus yang berasal dari jaringan nekrosis, infeksi dan liquefaksi. Abses ini diperkirakan terjadi pada 3% pasien yang menderita pankreatitis akut. Gejala yang dapat dialami pasien berupa nyeri abdomen, demam, atau susah untuk makan, dimana beberapa pasien menunjukkan adanya massa pada abdomen.11,12 Mual dan muntah dapat juga terjadi pada pasien yang menderita abses ini. Pasien yang menderita abses pankreas biasanya berkembang juga pseudokista pada pankreas yang mengalami infeksi. Abses ini uga terbentuk dari hasil pembentukan dinding fibrosa disekitar kumpulan cairan atau penetrasi dari ulkus peptikum. Penyebab lainnya termasuk batu empedu atau konsumsi alkohol dan beberapa kasus jarang, obat-obatan, dan trauma. Sebagian besar pasien yang menderita abses pankreas memiliki pankreatitis, sehingga sejarah medis dari pasien diperlukan sebagai tahap pertama dalam diagnosis. Pada pemeriksaan sel darah putih ditemukan peningkatan sel darah putih. Beberapa diagnostik imajing yang dapat diperhunakan seperti CT scan, MRI, dan ultrasonografi, dimana pemeriksaan penunjang tersebut membantu menyediakan gambaran di dalam abdomen. Terapi yang dapat dilakukan yaitu berupa penggunaan antibiotik dan dilakukan drainase.12Abses perinefrikAbses dapat juga terjadi pada daerah perinefrik. Abses ini berkembang pada lemak perirenal dan bermula sebagai infeksi menyeluruh dengan nekrosis pada lemak perirenal. Setelah beberapa hari, kavitas yang mengandung pus mulai terbentuk.13Perirenal, seperti juga abses renal, dapat berkembang sebagai komplikasi dari pielonefritis atau hasil dari penyebaran hematogen dari infeksi. Pada pembentukannya, infeksi pielonefritis/supurasi dapat ruptur menyeberangi kapsula renal ke rongga Gerotta. Selain itu, pengobatan batu ginjal dengan extracorporeal shock-wave dapat menyebabkan timbulnya abses. Infeksi ini sering berkembang pada pasien dengan obstruksi traktus urinarius, seperti batu staghon atau kalkulus lainnya, atau pada pasien dengan abses kortikal.13Sewaktu abses ini terbentuk dari penyebaran hematogen, S.aureus merupakan patogen yang biasa didapatkan. Bagaimanapun, tipe dari infeksi ini jarang terjadi. Kebanyakan abses perinefrik sekarang ini merupakan komplikasi dari pielonefritis dan disebabkan oleh basil Gram negatif aerob. Gas dapat secara khusus dihasilkan oleh beberapa organisme ini.13Pada gambaran klinis, infeksi perinefrik dipisahkan dari infeksi intrarenal dengan beberapa cara. Onset nyeri, demam, dan leukositosis secara khusus lebih progresif pada kasus dengan koleksi perinefrik. Nyeri tekan abdomen dan flank lebih superfisial pada kasus ini, dan inflamasi dari kulit dapat diobservasi pada flank.13Pada imajing, rontgen dada dan plain abdominal dapat membantu mengarahkan diagnosis. Pada foto polos abdomen datar ditemukan gambaran radioopak batu ginjal. Garis dari otot psoas ipsilateral dapat kabur. Udara ekstraintestinal dapa ditemukan disekitar ginjal pada kasus dengan organisme pembentuk gas. Reaksi parenkim paru dan pleura dapat diobservasi pada foto thoraks dan ditemukan pada satu setengah dari semua kasus, dengan efusi pleura, atelektasis dan atau elevasi dari diafragma. Diagnosis supurasi perinefrik penting berdasarkan imajing dengan CT-scan. Bantuan dengan CT scan ini dapat menunjukkan tempat dan perluasan dari abses.13Sewaktu diagnosis dan pengobatan terlambat, abses perinefrik dapat menjadi kondisi yang berat dengan mortalitas sebesar 40%. Sebaliknya, diagnosis awal dan pengobatan dini memiliki prognosis yang baik. Prinsip utama dari terapi untuk abses perinefrik adalah sama dengan terapi pada abses renal. Pengobatan berdasarkan pemilihan antibiotik yang cocok, dibantu dengan identifikasi organisma yang menyerang dan percobaan kecocokan antibiotik. Kultur urin dan darah, atau contoh perkutaneus dari pus dapat menunjukkan secara keseluruhan bakteri patogen. Kriteria untuk sembuh berdasarkan klinis, laboratorium, dana CT scan. Drainase perkutaneus dengan kateter atau drainase pembedahan dapat diindikasikan dalam kasus dengan kavitas yang mengandung pus yang banyak.13Pengobatan urologi awal dari obstruksi, dimana bertanggung jawab untuk infeksi perirenal, merupakan suatu kewajiban. Pada kasus dengan batu staghorn dengan atrofi renal pielonefritis berat, nefrektomi merupakan pilihan terbaik untuk mengeliminasi penyebab dari abses, abses itu sendiri, dan resiko kemungkinan munculnya lagi.13 Abses splenikusAbses spenikus merupakan kasus yang jarang ditemui. Sebanyak 600 kasus telah digambarkan sejauh ini pada literatur internasional. Kebanyakan pada kasus ini merujuk kepada pasien-pasien yang memiliki faktor resiko. Faktor-faktor ini termasuk kehadiran yang sinkron dari kondisi yang menekan sistem imun, seperti endokarditis, diabetes melitus, imunodefisiensi kongenital atau yang didapat, dan pemberian obat-obatan yang menekan sistem imun (seperti setelah transplantasi atan bagian dari pengobatan gangguan jaringan ikat). Trauma merupakan predisposisi tambahan untuk abses lien. Lebih jauh, abses lien juga meningkat penggunaan ketergantungan obat. Di sisi lain, abses lien kebanyakan jarang pada polulasi umum. Epidemiologi menunjukkan bahwa abses lien banyak terdeteksi pada usia pertengahan dan usia tua, dengan tidak memandang jenis kelamin.14Manifestasi klinis dari abses lien biasanya termasuk nyeri perut, secara eksklusif terlokalisir, atau paling sedikit, lebih intens disegambarkan pada kuadran kiri atas. Demam, nausea, muntah dan anoreksia juga dapat muncul dengan berbagai kombinasi. Penemuan pada hasil laboratorium konsisten dengan fase akut dari infeksi, tetapi kepastian tergantung dari patogen yang diisolasi dari abses. Patogen yang banyak diisolasi dari jenis abses ini adalah Staphylococcus dan Streptococcus. Imajing dengan foto abdominal atau US dapat dipergunakan, tetapi lesi biasanya sering terlihat pada penggunaan CT. Oleh karena implikasi potensial yang mungkin terjadi, termasuk dengan untuk menyelamatkan jiwa itu sendiri, penatalaksanaan yang paling sering dilakukan adalah splenektomi, dimana diikuti dengan perbaikan klinis yang cepat. Saat ini, alternatif terapi yang sedang berkembang adalah dengan laparoskopik splenektomi da drainase perkutaneus dengan menggunakan arahan imajing.14

Abses heparSecara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. 15Pada abses hati amebik, didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati. 16Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ). Staphylococcus aureus biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki penyakit granuloma yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan sebagai penyebabnya adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui :1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa menyebabkan fileplebitis porta2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis, dan infeksi post operasi4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau saluran-saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan dengan choledocholithiasis, tumor jinak dan ganas atau pascaoperasi striktur.5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses piogenik.6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan diabetes atau kanker metastatik. 15Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. 15Gambaran klinis yang dapat ditemukan pada abses hati amebik yaitu 20% dari pasien memiliki riwayat dari disentri dan 10% lainnya memiliki riwayat diare atau disenteri. Demam internitten ( 38-40 oC), nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar hingga bahu kanan dan daerah skapula, anoreksia, nausea, vomitus, keringat malam, berat badan menurun, batuk, pembengkakan perut kanan atas, ikterus, buang air besar berdarah, kadang terjadi cegukan (hiccup). Sedangkan gambaran klinis pada abses hati piogenik, didapatkan demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang disertai menggigil, nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya, mual dan muntah, berkeringat malam, malaise dan kelelahan, berat badan menurun, berkurangnya nafsu makan, anoreksia.15Abses hati amebikDiagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler.15a. Kriteria Sherlock (1969)1. Hepatomegali yang nyeri tekan2. Respon baik terhadap obat amebisid3. Leukositosis4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.5. Aspirasi pus6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati7. Tes hemaglutinasi positifb. Kriteria Ramachandran (1973)Bila didapatkan 3 atau lebih dari:1. Hepatomegali yang nyeri2. Riwayat disentri 3. Leukositosis 4. Kelainan radiologis5. Respons terhadap terapi amebisidc. Kriteria Lamont Dan PoolerBila didapatkan 3 atau lebih dari:1. Hepatomegali yang nyeri2. Kelainan hematologis3. Kelainan radiologis4. Pus amebik5. Tes serologi positif6. Kelainan sidikan hati 7. Respons terhadap terapi amebisidAbses hati piogenikMenegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis. 15Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT scan : 85 % berupa massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai massa hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta. 16

Gambaran CT Scan pada abses hati amebic(8)

Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma kanan, efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik abses merupakan daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau tindakan bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak massa agak besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa dengan rim enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh kuman Klebsiella. 15,16

Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses lainnya terdapat pada segmen VII dan VIII.(8)

Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan penyengatan kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak tampak penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda.(2) Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara abses piogenik dan amebik. Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur eko rendah sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik (debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin bertambah tebal. 17Pada pemeriksaan laboratorium, untuk abses hati amebik, dapat ditemukan leukositosis, peningkatan transaminase dan alkali fosfatase dan peningkatan markes r dari akut inflamasi. Pada sampel feses, dapat ditemukan adanya tropozoit yang mengandung eritrosit. Selain itu, pemeriksaan serologi juga dapat dilakukan pada saat melakukan diagnosis dari amebiasis. Pada abses hati piogenik, pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan hitung sel darah putih, anemia, hipoalbuminemia, peningkatan enzim alkali fosfatase dan transaminase. Hiperglikemia dapat menjadi indikasi pasien menderita diabetes atau terjadi kehilangan kontrol karena proses sepsis.18Penatalaksanaan pada abses hati meliputi terapi konservatif dan terapi pembedahan. Prinsip terapi pada abses hati piogenik meliputi drainase pus, pemberian antibiotik yang sesuai, terapi lain bila ditemukan sumber infeksi yang lain. Pemberian antibiotik pada abses hati piogenik, sebelum hasil kultur keluar, dilakukan dengan pemberian broad spektrum antibiotik. Terapi awal dengan amoxicilin, sebuah aminoglikosid, dan metronidazol atau generasi ketiga sefalosporin dan metronidazol secara umum dapat mengatasi organisme penyebab yang sering ditemukan. Selain itu, dapat juga dilakukan tindakan perkutaneus drainase, dengan indikasi pus terlalu tebal untuk dilakukan aspirasi, abses lebih dari 5 cm pada diameter, dinding terlalu tebal dan tidak kolaps, dan abses tampak multi lokulasi. Pada drainase pembedahan, pada kasus abses hati piogenik, diindikasikan pada pasien dengan penampial awal dengan ruptur intraperitoneal atau pada pasien dengan multipel abses diatas sebuah sistem yang tersumbat. Operasi terbuka juga diindakasikan apabila terjadi kegagalan pada terapi nonoperatif atau terjadi komplikasi pada drainase perkutaneus. Pada kasus abses hati amebik, prinsip modalitas terapi didasarkan pada terapi obat-obatan sendiri, aspirasi dengan bantuan USG, drainase kateter perkutaneus ditambah dengan obat, dan terakhir, laparotomi, drainase dan obat. Indikasi pada aspirasi atau drainase yaitu perubahan klinis yang tidak berarti dalam 48-72 jam, abses obus kiri, abses yang besar dan memiliki kemungkinan ruptur, dinding yang tipis dari jaringan hepar disekitar abses (