a a a a a a a a a

Upload: mubarak-ismail

Post on 11-Jul-2015

72 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

(FREE REGISTER WITH EMAIL ACTIVATION) Mata Pelajaran Kewargaan Negara telah mengalami revitalisasi dari masa ke masa. Sebelum mata pelajaran pendidikan Kewargaan Negara, kita pernah mengenal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada kurikulum 1994, Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada kurikulum 1984, PKN pada kurikulum 1973. Civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4. Krisis operasional tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. (Prodi Pend. Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana UPI)

Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang Maret 5, 2009 oleh dikdik baehaqi arif Dikdik Baehaqi Arif Abstract: Tulisan ini mengkaji konteks kelahiran, landasan pengembangan, kerangka sistemik, dan kurikulum dan bahan ajar pendidikan kewarganegaraan di Jepang yang lebih dikenal dalam terminologi social studies, living experiences and moral education. Pendidikan kewarganegaraan di Jepang semakin mendapatkan perhatian penting terutama sejak berakhirnya perang dunia kedua. Perkembangan mata pelajaran ini dapat digambarkan dalam tiga periode yang masingmasing memiliki orientasi yang berbeda, yaitu berorientasi pada pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan. Keywords: social studies, living experience and moral education Pendahuluan Berakhirnya Perang Dunia Kedua berpengaruh besar terhadap perjalanan bangsa dan negara Jepang, terlebih pada aspek pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas yang diperlukan bagi pembangunan kembali Jepang yang porak poranda akibat perang. Perhatian besar Jepang terutama difokuskan pada aspek pendidikan. Periode setelah kekalahan jepang dalam perang, menjadi titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang.

Pendidikan kewarganegaraan di Jepang yang dikenal dalam terminologi social studies, living experience and moral education (Kerr, 1999), berorientasi pada pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan warga negara berkaitan dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang. Dalam tulisan ini, kajian pendidikan kewarganegaraan di Jepang akan memfokuskan diri kepada kajian tentang konteks kelahiran, landasan pengembangan, kerangka sistemik, dan kurikulum dan bahan ajar pendidikan kewarganegaraan di Jepang. Konteks Kelahiran Konteks kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang dapat ditelusuri, terutama setelah Perang Dunia kedua (1945). Pada masa itu, perhatian pemerintah Jepang terhadap pendidikan mulai menunjukkan peningkatan. Pendidikan menjadi pusat perhatian pemerintah sebagaimana direncanakan sejak periode Meiji (abad ke-19) (Otsu, 1998:51; Ikeno, 2005:93). Periode setelah kekalahan Jepang ini, merupakan titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang. Pendidikan Jepang mengubah orientasinya dari yang bersifat militer ke arah pendekatan yang lebih demokratis. Demikian pula perubahan dirasakan dalam Pendidikan Kewarganegaraan, mata pelajaran ini telah bergeser penekanannya dari pendidikan untuk para warganegara dan pengajaran disiplin ilmu-ilmu sosial yang terkait dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang, ke arah Pendidikan Kewarganegaraan untuk semua warganegara (Ikeno, 2005:93). Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah Perang Dunia II dapat digambarkan dalam tiga periode (Ikeno, 2005:93) sebagai berikut: Pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada pengalaman. Kedua, periode tahun 1955-1985, berorientasi pada pengetahuan, dan ketiga, periode tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan. Periode pertama, Pendidikan Kewarganegaraan sebagian besar diterapkan secara integratif ke dalam studi sosial. Studi sosial mengadopsi metoda-metoda pemecahan masalah, seperti penelitian dan diskusi, dan mengajarkan kehidupan sosial dan masyarakat secara umum. Di dalam kelas, para guru dan anak-anak mempertimbangkan permasalahan kehidupan sosial dan masyarakat melalui pengalaman sosial yang diperoleh dengan pemecahan masalah. Mereka belajar tentang masyarakat mereka sendiri dan mengembangkan sikap dan keterampilanketerampilan untuk berpartisipasi secara positif untuk membangun masyarakat yang demokratis.

Pelaksanaan pembelajaran studi sosial pada periode ini adalah melalui yubin-gokko (playing the post) dan yamabiko-gakko (echo school). Dalam praktek ini, guru mengorganisir suatu struktur yang berhubungan dengan kegiatan pos sebagai satu aktivitas untuk anak-anak. Di yamabiko-gakko, guru mengorganisir aktivitas penyelidikan sehingga anak-anak bisa membuat pertanyaan-pertanyaan melalui komposisi dan jawaban bebas mereka. Dalam situasi demikian, anak-anak itu melaksanakan aktivitas, sementara para guru tidak mengambil peran yang besar untuk memimpin dalam proses pembelajaran tersebut. Banyak orang mengkritik praktek pembelajaran ini, mereka berpendapat bahwa dalam praktek pembelajaran tersebut, anak-anak hanya memperoleh pengetahuan biasa yang dipelajari tanpa sengaja, dan mereka menuntut para guru studi sosial untuk mengajar ilmu sosial secara sistematis. Pada periode yang kedua, Pendidikan Kewarganegaraan didasarkan atas prinsip intelektualisme yang berkembang dalam disiplin akademis. Kementerian Pendidikan Jepang memisahkan Pendidikan Moral (dotoku) dari studi sosial. Studi sosial dipecah menjadi Geografi, Sejarah, dan politik/ekonomy/kemasyarakatan. Masing-masing disipilin di atas terdiri atas seperangkat pengetahuan dan keterampilan. Hal tersebut dipersiapkan agar para siswa memiliki pengetahuan inti tentang budaya Jepang secara umum. Pendidikan Kewarganegaraan periode kedua ini diarahkan agar para siswa memperoleh pengetahuan yang dianggap penting bagi bangsa Jepang. Sasaran pengajaran Pendidikan Kewarganegara pada periode kedua ini terdiri atas empat unsur (Ikeno, 2005:94), yaitu untuk mengembangkan: 1. pengetahuan dan pemahaman 2. keterampilan berpikir dan ketetapan 3. keterampilan dan kemampuan, dan 4. kemauan, minat, dan sikap warganegara Pada periode ketiga, Pendidikan Jepang ditekankan pada pengembangan prinsip hubungan timbal balik. Dalam hal ini, pendidikan sekolah difokuskan untuk mengembangkan kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan siswa, dalam arti siswa mampu menemukan suatu masalah sendiri, belajar tentang permasalahan itu, memikirkannya, menilai dengan bebas, menggunakan metode yang tepat, memecahkan masalah secara tepat, kreatif, dan memperdalam

pemahamannya tentang hidup. Sasaran ini dicapai melalui integrasi dari setiap disiplin ilmu. Karena itu, periode ini disebut sebagai periode studi yang terintegrasi. Pendidikan Kewarganegaraan dalam periode ketiga bertujuan mempersiapkan setiap individu untuk dapat terlibat dalam secara aktif dalam masyarakat, dan menggunakan budaya umum dalam setiap hal. Penekanan Pendidikan Kewarganegaraan telah diubah dari mengutamakan pengetahuan umum tentang bangsa Jepang kepada kemampuan itu untuk membangun masyarakat. Pada periode ketiga ini, pendidikan Kewarganegaraan Jepang sebagian besar diterapkan sebagai kewarganegaraan (civics) dalam sekolah tingkat atas, dan sebagai studi sosial dalam sekolah tingkat menengah (Otsu, 1998:51). Landasan Pengembangan Landasan Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Jepangtidak dapat dilepaskan dari konsep warganegara (komin, citizen) dan kewarganegaraan (citizenship). Oleh karena itu, penting diketahui bagaimana konsep-konsep tersebut dikonstruksi. Untuk menjelaskan hubungan antara citizen dan citizenship di Jepang, Otsu (1998:53) mengemukakan sebagai berikut: Related to the definition of citizen, citizenship has a much wider meaning and can be used differently in different contexts. Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa definisi antara citizen dan citizenship dapat memiliki arti yang luas dan dapat digunakan dalam cara dan dalam konteks yang berbeda. Lebih lanjut Otsu (1998:53) mengemukakan bahwa pada saat studi sosial (social studies) dimulai sebagai mata pelajaran inti pada tahun 1948, Kementerian Pendididikan menjelaskan bahwa studi sosial tidak hanya membantu penduduk mengikuti kebijakan pemerintah, tetapi setiap penduduk secara intens belajar tentang masyarakat mereka dan untuk mengembangkan sikap dan keterampilan mereka untuk berpartisipasi secara positif dalam masyarakat mereka untuk membangun masyarakat yang demokratis. Pada saat kewarganegaraan (civics) disiapkan sebagai suatu mata pelajaran pada sekolah menengah pada tahun 1970, Kementerian Pendidikan menggambarkan tujuan inti Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut: 1. to develop an awareness and understanding of Japan as a nation and the principle of sovereignty (Untuk mengembangkan kesadaran dan pemahaman tentang Jepang sebagai sebuah negara dan prinsip kedaulatan)

2. to develop a concept of local community and the state and ways in which the individual can contribute to the work of the community and the state (Untuk mengembangkan suatu konsep tentang masyarakat lokal dan negara serta cara bagaimana setiap individu dapat berkontribusi dalam satu pekerjaan di masyarakat dan negara) 3. to appreciate rights and responsibilities and duties of the individual in the community and wider society (Untuk menghargai hak dan tanggungjawab serta tugas dari individu dalam suatu komunitas dan masyarakat yang lebih luas) 4. to develop an ability to act positively in relation to rights and duties (untuk mengembangkan kemampuan untuk bertindak secara positif dalam hubungan antara hak dan kewajiban) Kerangka Sistemik Kerangka sistemik yang dimaksud adalah istilah teknis yang digunakan, pendekatan yang dikembangkan, dan jumlah jam perminggu, baik untuk pendidikan dasar maupun pendidikan menengah (Kerr, 1999; Winataputra, 2007). Pada tabel berikut ini disajikan pengorganisasian Civic Education di Jepang pada pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan pertama dan tingkat atas. Tabel 1. Organisation of Citizenship Education in Primary Phase Country Japan Terminology Approach Hours per week Social studies, livingStatutory core separate175 x 45 minutes per experiences moral education Kerr, (1999:18) Tabel di atas dapat menggambarkan kerangka sistemik pendidikan kewarganegaraan pada tingkat pendidikan dasar. Terminologi yang digunakan untuk mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah Social studies, living experiences and moral education. Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai materi inti yang terintegrasi atau secara berdiri sendiri. Beban belajar perminggu adalah 175 x 45 menit per tahun. Sementara itu, Pendidikan Kewarganegaraan untuk tingkat pendidikan lanjutan pertama dan tingkat atas dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 2. Organisation of Citizenship Education in the Lower and Upper Secondary Phase andand integrated year

Country Japan

Terminology Approach Social studies, livingStatutory core experiences moral education andIntegrated specific

Hours per week 175 x 45 minutes per 140 x 50 minutes per year (grade 9) 140 x 50 minutes per year (upper secondary)

andyear (grade 7 dan 8)

Kerr, (1999:19) Untuk sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas, bahan kajian atau mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan digunakan istilah Social studies, living experiences and moral education. Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai materi inti yang terintegrasi atau secara berdiri sendiri. Beban belajar perminggu adalah: tingkat lanjutan pertama: 175 x 45 menit per tahun untuk tingkat 7 dan 8, dan 140 x 50 menit per tahun untuk tingkat 9. Sedangkan untuk tingkat atas adalah 140 x 50 menit per tahun. Kurikulum dan Bahan Belajar Dalam uraian Otsu (1998:) Pendidikan Kewarganegaraan dalam sekolah dasar diimplementasikan sebagai life and environmental studies pada tingkat 1-2, dan social studies pada tingkat 3-6 untuk tiga jam pelajaran (1 jam pelajaran = 45 menit) per minggu. Di sekolah menengah, studi sosial terdiri atas tiga mata pelajaran, Geografi (4 jam per minggu pada tingkat 1 dan 2, 1 jam = 50 menit), Sejarah (dengan proporsi yang sama dengan geografi), dan Kewarganegaraan (2-3 jam per minggu pada tingkat 3). Isi (kurikulum) Kewarganegaraan pada sekolah menengah terdiri atas: 1. contemporary social life (Kehidupan sosial kontemporer) 2. Improvement of national life and economy (Perbaikan kehidupan nasional dan ekonomi) 3. democratic government and international community (Pemerintahan demokratis dan masyarakat internasional) (Otsu, 1998:54) Pada sekolah menengah, para siswa belajar Kewarganegaraan pada tahun terakhir, pelajaran Kewarganegaraan tingkat tiga cenderung diarahkan sebagai pusat pengetahuan dan ditekankan

terhadap hapalan (memorization), karena banyak siswa dan guru berkonsentrasi untuk ujian masuk ke tingkat sekolah menengah atas. Kurikulum sekolah menengah atas terdiri atas bidang mata pelajaran dan sub mata pelajaran yang spesifik. Para siswa diharuskan mengambil empat kredit dari mata pelajaran Kewarganegaraan yang terdiri atas: masyarakat kontemporer (4 jam, 1 jam = 50 menit), etika (2 jam), dan politik/ekonomi (2 jam). Isi dari kajian tentang masyarakat kontemporer adalah sebagai berikut: 1. the individual and culture in contemporary society (individu dan budaya dalam masyarakat kontemporer) 2. environment and human life (lingkungan dan kehidupan manusia) 3. contemporary politics and economy and the individual (politik dan ekonomi kontemporer dan individual) 4. international community and global issues (organisasi internasional dan isu-isu global) (Otsu, 1998:54) Dalam kajian tentang masyarakat kontemporer, berbagai inovasi pembelajaran telah dihasilkan. Untuk mengembangkan keterampilan dan sikap pembelajar seperti pengetahuan, beberapa guru menciptakan inovasi pembelajaran dengan mengambil isu-isu kontemporer dengan menggunakan pendekatan yang komprehensif dan aktifitas yang bervariasi, seperti diskusi, games dan simulasi. Meskipun studi sosial dalam sekolah menengah atas dicitrakan sebagai pelajaran hapalan dalam waktu yang lama, namun studi tentang masyarakat kontemporer telah mengubah citra (image) studi sosial sampai taraf tertentu. Pembelajaran kreatif pada masyarakat kontemporer dipublikasikan dan memiliki pengaruh yang mendukung guru-guru lintas bangsa. Kajian tentang etika dan politik/ekonomi merupakan kajian penting untuk Pendidikan Kewarganegaraan. Tetapi mata pelajaran ini cenderung berfokus pada pengajaran tentang struktur dan metode setiap disiplin ilmu-ilmu sosial. Sejak kajian masyarakat kontemporer diubah dari pelajaran wajib menjadi satu pilihan, Pendidikan Kewarganegaraan secara umum telah mengakhiri kehilangan statusnya. Hal ini berarti, pada saat yang sama Pendidikan Kewaranegaraan di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas menjadi hal penting bagi setiap siswa yang akan menjadi pemilih dan bekerja dalam masyarakat segera setelah kelulusan mereka.

* Dikdik Baehaqi Arif, S.Pd. adalah mahasiswa program magister pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana UPI Daftar Pustaka Ikeno, N. (2005). Citizenship Education in Japan After World War II. In Citized. International Journal of Citizenship and Teacher Education. Vol 1, No. 2 December 2005. Cogan, J.J. and Ray Derricott (ed). (1998). Citizenship Education for the 21st Century: An International Perspective on Education. London: Kogan Page. Otsu, K. (1998). Japan. In Cogan J.J. and Ray Derricott (ed). Citizenship Education for the 21st Century: An International Perspective on Education. London: Kogan Page. Kerr, D. (1999). Citizenship Education: An International Comparrison. England: nfer, QCA. . (1999). Citizenship Education in The Curriculum: An International Review. England:nfer, QCA.

F. Penutup Dari paparan di muka, dapat disimpulkan bahwa pendidikan kewarganegaraan di masing-masing negara memiliki berbagai penamaan yang berbeda-beda dan aspek penekanan yang berbeda pula, sebagai ciri dan karakteristik yang dipengaruhi oleh sistem nilai dan budaya politik (sistem politik) yang dianut suatu negara. Dalam kasus Cina, pendidikan moral menjadi mata pelajaran penting untuk implementasi civic education di sekolah. Aspek politik sangat dominan mempengaruhi model civic education di Cina. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan dari sistem politik otoriter Cina di bawah pemerintahan Partai Komunis Cina yang mengedepankan kepatuhan warga negaranya untuk mengusung cita-cita partai tersebut, semenjak berkuasa 1949 hingga sekarang. Hal menarik ialah bahwa meskipun civic education sebagai bagian dari pendidikan moral diajarkan secara formal di sekolah, partai dan organisasi kepemudaannya telah berhasil membangun situs-situs

kewarganegaraan yang masif. Sekilas, keberadaan civic education di Cina hampir memiliki persamaanpersamaan dengan kondisi yang ada di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru (lihat disertasi Freddy Kirana Kalidjernih, 2005). Jika di masa Orde Baru, civic education identik dengan pendidikan moral yang dijabarkan dari tafsir rejim atas Pancasila sebagai ideologi negara, maka di Cina selain menanamkan status13

quo pemerintah juga menanamkan ideologi Marxisme-Leninisme, Ajaran Mao Zedong dan Teori Deng Xiaping. *****

DAFTAR PUSTAKA

An Yunfeng, 2004, Curriculum Materials Reviews, Journal of Moral Education, Vol. 33, No. 4, December 2004: 625-629. Freddy Kiran Kalidjernih, 2005, Post-Colonial Citizenship Education: A Critical Study of the Production and Reproduction of the Indonesian Civic Ideal, Disertasi Ph.D, University of Tasmania, Australia Li Ping, Zhong Minghua, Lin Bin dan Zhang Hongjuan, 2004, Deyu as moral education in modern China: ideological functions and transformations, Journal of Moral Education, Vol. 33, No. 4, December, pp. 449-460 Qi Wanxue and Tang Hanwei, 2004, The social and cultural background of contemporary moral education in China, Journal of Moral Education, Vol. 33, No. 4, December, pp. 465-480 W. O. Lee, 2006, Tension and Contentions in the Development of Citizenship Curriculum in Asian Countries, Keynote Address at the CITZED International Conference, Oriel College, Oxford, 25-27 July, 16 pages. Wing On Lee dan Chi Hang Ho, 2005, Ideopolitical Shifts and Changes in Moral Education Policy in China, Journal of Moral Education, Vol. 34, No.4, December, pp. 413-431. Zhan Wansheng and Ning Wujie, 2004, The moral education curriculum for junior high schools in 21st century China, Journal of Moral Education, Vol. 33, No. 4, December, pp. 511-532 Zhu Xiaoman dan Liu Cilin, Teacher training for moral education in China Jo Gambaran sistem umum dan tujuan negara program dan proyek di

pendidikan

TAJIKISTAN

Sebuah jajak pendapat dilakukan antara wakil-wakil pemerintah badan-badan yang bekerja di pendidikan kewarganegaraan dan khususnya mereka yang bertanggungjawab atas mendidik anak sekolah tentang kewarganegaraan (Departemen Pendidikan, Akademi Ilmu Pengetahuan Republik Tajikistan, pendidikan tinggi perusahaan di, guru dan siswa negara sekunder sekolah, sekolah kejuruan, dan universitas) untuk menjelaskan bagaimana pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan. Fokus-kelompok dan individu wawancara dilakukan. Perwakilan dari berbagai organisasi melaksanakan proyek pendidikan Data juga kewarganegaraan dikumpulkan dari di Tajikistan resmi yang informasi disurvei. termasuk sumber-sumber

website, selebaran informasi, dan publikasi. Selama jajak pendapat, buku pelajaran pendidikan kewarganegaraan dan sumber daya lainnya digunakan untuk mengajarkan pendidikan kewarganegaraan dalam sistem pendidikan negara telah diidentifikasi.urnal of Moral Education, Vol. 33, No. 4, December 2004, pp. 481-494 Karakteristik civik eduktion di indo

Hal ini tidak terlepas dari adanya karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan (PKn ) dengan paradigma baru, yaitu bahwa PKn merupakan suatu bidang kajian ilmiah dan program pendidikan di sekolah dan diterima sebagai wahana utama serta esensi pendidikan demokrasi di Indonesia yang dilaksanakan melalui:

Civic Intellegence, yaitu kecerdasan dan daya nalar warga negara baik dalam dimensi spiritual, rasional, emosional maupun sosial Civic Responsibility, yaitu kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang bertanggung jawab Civic Participation, yaitu kemampuan berpartisipasi warga negara atas dasar tanggung jawabnya, baik secara individual, sosial maupun sebagai pemimpin hari depan.

A.

Beberapa

Istilah

dan

Definisi

Civic

Education

Henry Randall Waite dalam penerbitan majalah The Citizen dan Civics, pada tahun 1886,

merumuskan pengertian Civics dengan The sciens of citizenship, the relation of man, the individual, to man in organized collections, the individual in his relation to the state. Dari definisi tersebut, Civics dirumuskan dengan Ilmu Kewarganegaraan yang membicarakan hubungan manusia dengan (a) manusia dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganisasi (organisasi sosial, ekonomi, politik); (b) individu-individu dengan negara. (Sumantri, 2001: 281). Edmonson (1958) merumuskan arti Civics ini dengan Civics is usually defined as the study of government and of citizenship, that is, of the duties, right and priviliges of citizens. Batasan ini menunjukkan bahwa Civics merupakan cabang dari ilmui politik.

Hampir semua definisi mengenai Civics pada intinya menyebut government, hak dan kewajiban sebagai warga negara dari sebuah negara.

Secara istilah Civics Education oleh sebagian pakar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah Pendidikan Kewargaan diwakili oleh Azyumardi Azra dan Tim ICCE (Indonesian Center for Civic Education) UIN Jakarta sebagai Pengembang Civics Education di Perguruan Tinggi yang pertama. Sedangkan istilah Pendidikan Kewarganegaraan diwakili oleh Zemroni, Muhammad Numan Soemantri, Udin S. Winataputra dan Tim CICED (Center Indonesian for Civics Education), Merphin Panjaitan, Soedijarto dan pakar lainnya.

Pendidikan Kewargaan semakin menemukan momentumnya pada dekade 1990-an dengan pemahaman yang berbeda-beda. Bagi sebagian ahli, Pendidikan Kewargaan diidentikkan dengan Pendidikan Demokrasi (democracy Education), Pendidikan HAM (human rights education) dan Pendidikan Kewargaan (citizenship education). Menurut Azra, Pendidikan Demokrasi (democracy Education) secara subtantif menyangkut sosialisai, diseminasi dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya dan praktik demokrasi melalui pendidikan.

Masih menurut Azra, Pendidikan Kewargaan adalah pendidikan yang cakupannya lebih luas dari pendidikan demokrasi dan pendidikan HAM. Karena, Pendidikan Kewargaan mencakup kajian dan pembahasan tentang pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak

dan kewajiban warga negara, proses demokrasi, partisipasi aktif dan keterlibatan warga negara dalam masyarakat madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga dan sistem yang terdapat dalam pemerintahan, warisan politik, administrasi publik dan sistem hukum, pengetahuan tentang proses seperti kewarganegaraan aktif, refleksi kritis, penyelidikan dan kerjasama, keadilan sosial, pengertian antarbudaya dan kelestarian lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Zamroni berpendapat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat.

Mahoney, sebagaimana dikutip oleh Numan Soemantri, merumuskan pengertian Civic Education sebagai berikut: Civic Education includes and involves those teaching; that type of teaching method; rhose student activities; those administrative and supervisory procedures which the school may utility purposively to make for better living together in the democratic way or (synonymously) to develop to better civics behaviors.

Menurut Muhammad Numan Soemantri, ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut (a) Civic Education adalah kegiatan yang meliputi seluruh program sekolah; (b) Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan mengajar yang dapat menumbuhkan hidup dan prilaku yang lebih baik dalam masyarakat demokrasi; (c) dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat objektif untuk hidup bernegara.

Rumusan lain, seperti yang dikemukakan oleh Civitas Internasional, bahwa Civic Education adalah pendidikan yang mencakup pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembagalembaganya, pemahaman tentang rule of law, hak asasi manusia, penguatan keterampilan partisifatif yang demokrasi, pengembangan budaya demokrasi dan perdamaian.

Menurut Merphin Panjaitan, Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda menjadi warga negara yang demokrasi dan partisipatif

melalui suatu pendidikan yang dialogial. Sementara Soedijarto mengartikan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa dan ikut serta membangun sistem politik yang demokratis.

Dari definisi tersebut, semakin mempertegas pengertian Civic Education karena bahannya meliputi pengaruh positif dari pendidikan di sekolah, pendidikan di rumah, dan pendidikan di luar sekolah. Jadi, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) adalah program pendidikan yang memuat bahasan tentang masalah kebangsaan, kewarganegaraan dalam hubungannya dengan negara, demokrasi, HAM dan masyarakat madani (civil society) yang dalam implementasinya menerapkan prinsip-prinsip pendidikan demokrasi dan humanis.

B.

Kompetensi

Dasar

dan

Tujuan

Civic

Education

Dalam pembelajaran Pendidikan Kewargaan, kompetensi dasar atau yang sering disebut kompetensi minimal terdiri dari tiga jenis, yaitu pertama, kecakapan dan kemampuan penguasaan pengetahuan kewargaan (Civic Knowledge) yang terkait dengan materi inti Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) antara lain demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani (Civil Society); kedua, kecakapan dan kemampuan sikap kewargaan (Civic Dispositions) antara lain pengakuan kesetaraan, toleransi, kebersamaan, pengakuan keragaman, kepekaan terhadap masalah warga negara antara lain masalah demokrasi dan hak asasi manusia; dan ketiga, kecakapan dan kemampuan mengartikulasikan keterampilan kewargaan (Civil Skills) seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan Tujuan 1. 2. 3. 4. kontrol Perkuliahan kecakapan mahasiswa Menjadikan Menghasilkan terhadap penyelenggara negara dan (Civic dan dan analisis pemerintah. Education) jawab. kritis. demokratis. dan demokrasi.

Pendidikan partisipatif warga yang yang yang berpikir

Kewargaan bermutu baik komprehensif, kultur

Membentuk

bertanggung

Mengembangkan

5. C.

Membentuk

mahasiswa

menjadi Lingkup

good

and Civic

responsible

citizen. Education

Ruang

Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) memiliki atas tiga materi pokok (core materials) yaitu demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani (Civil Society). Ketiga materi inti tersebut kemudian dijabarkan menjadi beberapa materi yang menjadikan bahan kajian dalam pembelajaran Pendidikan Kewargaan (Civic Education), yaitu (1) Pendahuluan; (2) Identitas nasional; (3) Negara; (4) Kewarganegaraan; (5) Konstitusi; (6) Demokrasi; (7) Otonomi Daerah; (8) Good Governance; (9) Hak Asasi Manusia; (10) Masyarakat Madani. Dengan demikian isi pembelajaran Pendidikan Kewargaan (Civic Education) diarahkan untuk national and character building D. bangsa Indonesia yang relevan dalam memasuki era demokratisasi. Education

Orientasi

Civic

Paradigma pendidikan dalam konteks suatu bangsa (nation) akan menunjukkan bagaimana proses pendidikan berlangsung dan pada tahap berikutnya akan dapat meramalkan kualitas dan profil lulusan sebagai hasil dari proses pendidikan. Paradigma pendidikan terkait dengan 4 (empat) hal yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan, yaitu peserta didik (mahasiswa), dosen, materi dan manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan (praktis), paling tidak terdapat dua kutub paradigma pendidikan yang paradoksal yaitu paradigma feodalistik dan paradigma humanistik sosial. Model materi pembelajaran tersebut mendorong terciptanya kelas pembelajaran yang hidup (life classroom) yang dalam istilah Ace Suryadi disebut sebagai global classroom. Untuk itu kelas pembelajaran Pendidikan Kewargaan, dalam istilah Udin S. Winataputra, diperlakukan sebagai laboratorium demokrasi di mana semangat kewarganegaraan yang memancar dari cita-cita dan nilai demokrasi diterapkan secara interaktif.

Dalam lingkup Asia-Pasifik yang ditandai dengan keragaman budaya, bahasa, tatanan geografis, sosio-politik, agama, dan tingkat ekonomi, kaum muda perlu diajarkan kepada keindahan dari keragaman kultural ini. Pembelajaran Pendidikan Kewargaan baik sebagai pendidikan demokrasi maupun sebagai pendidikan HAM mensyaratkan situasi pembelajaran yang interaktif, empiris, kontekstual, kasuistis, demokratis dan humanis.

E.

Urgensi

Civic

Education

dalam

Pembangunan

Demokrasi

Peradaban

Keruntuhan rezim Orde Baru pada pertengahan tahun 1998 merupakan babak baru dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia yaitu berakhirnya era otoriter dan lahirnya era demokratisasi. Transisi tata pemerintahan dan kenegaraan menuju era demokratisasi ditandai paling tidak oleh beberapa hal, yaitu (a) lahirnya kepemimpinan politik nasional yang dipilih melalui mekanisme demokrasi yaitu proses pemilu yang dalam sejarah Indonesia dipandang sangat bebas, jujur dan adil serta demokratis; (b) proses pemilihan kepemimpinan politik nasional dalam sidang umum MPR tahun 1999 yang juga berlangsung sangat demokratis; (c) terjadinya peralihan kekuasaan politik dari Abdurrahman Wahid kepada Megawati dalam forum Sidang Istimewa MPR tahun 2001 juga berlangsung damai.

Demokrasi menurut Prof. Dr. A. Syafii Maarif bukan sebuah wacana, pola pikir atau prilaku politik yang dapat dibangun sekali jadi, bukan pula barang instan. Demokrasi menurutnya adalah proses yang masyarakat dan negara berperan di dalamnya untuk membangun kultur dan sistem kehidupan yang dapat menciptakan kesejahteraan, menegakkan keadilan baik secara sosial, ekonomi maupun politik.

Proses demokrasi yang baru seumur hidup dialami bangsa Indonesia dalam era transisi ini berada dalam situasi carut marut, karena sebagian komponen bangsa masih menunjukkan dan mempertontonkan prilaku anarkis, akrobat politik yang tidak berkeadaban dan prilaku destruktif lainnya baik oleh kalangan elit politik dan pemerintahan maupun oleh massa.

Keberhasilan transisi Indonesia ke arah tatanan demokrasi keadaban yang lebih genuine dan otentik merupakan suatu proses yang komplek dan panjang. Sebagai proses yang komlek dan panjang transisi Indonesia menuju demokrasi keadaban tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Azyumardi Azra, mencakup tiga agenda besar yang berjalan secara stimultan dan sinergis. Pertama, reformasi konstitusional; kedua, reformasi kelembagaan (institutional reforms) yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik dan lembaga kenegaraan, seperti MPR, DPR, MA, DPA dan sebagainya. Ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik (political culture) yang lebih demokratis melalui pendidikan. Salah satu cara untuk mengembangkan kultur demokratis berkeadaban adalah melalui Pendidikan Kewargaan

(Civic Education). Dengan demikian pendidikan (Pendidikan Kewargaan) bisa menjadi pilar kelima (the fifth estate) bagi tegaknya demokrasi berkeadaban.

Pendidikan Kewargaan (Civic Education) dengan demikian harus mampu menjadikan dirinya sebagai salah satu instrumen pendidikan politik yang mampu melakukan empowerment bagi masyarakat, terutama masyarakat kampus melalui berbagai program pembelajaran yang mencerminkan adanya rekonstruksi sosial (social reconstruction) Dengan cara demikian, berbagai patologi sosial (penyakit masyarakat) dapat dianalisis untuk kemudian dicarikan solusinya atau terapinya. Selain itu, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) harus dapat pula dijadikan sebagai wahana dan instumen untuk melakukan social engineering dalam rangka membangun social capital yang efektif bagi tumbuhnya kultur demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta tumbuhnya masyarakat madani (civil society). http://fadliyanur.blogspot.com/2008/01/civic-education.htm