3hidrokarbon minyak dan pahs
DESCRIPTION
HidrokarbonTRANSCRIPT
Hidrokarbon Minyak dan PAHs
Pencemaran minyak di laut menarik perhatian publik karena pollutant terlihat
jelas dan umumnya bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat : daerah
rekreasi, budidaya perairan dsbnya. Berbagai jalur minyak memasuki lingkungan laut,
namun hingga saat ini kecelakaan kapal tangker menjadi penyebab utamanya. Estimasi
jumlah petroleum hidrokarbon yang masuk ke lingkungan laut : 1,7 – 8,8 juta ton/tahun.
Deposit minyak yang dekat ke permukaan bumi, secara alamiah mengalami
kebocoran (seep) sejak berabad-abad lalu dan terjadi hampir di seluruh belahan dunia,
namun dampaknya tdk signifikan. Deposit minyak yang diproduksi oleh tumbuhan tetap
menjadi fossil dalam kondisi ‘marine’ dan menjadi batu bara dalam kondisi air tawar.
Hydrokarbon diproduksi oleh tumbuhan, misalnya aroma daun pinus.
A. Minyak Mineral
Minyak mentah (crude oil) adalah senyawa kompleks hidrokarbon dengan jumlah
atom karbon (C) dalam molekul antara 4 – 26 atau bahkan lebih. Susunan rantai dapat
lurus, bercabang atau berbentuk siklik,
termasuk senyawa aromatiknya (dengan
cincin Benzena). Beberapa polycyclic
aromatic hydrocarbons (PAHs) diketahui
bersifat carcinogen. Senyawa Sulfur dan
Vanadium merupakan komponen yang paling
sering ditemukan dalam ‘crude oil’ dan
persentase komponen non-hydrocarbon bisa
hingga 25%.
Crude oil harus dimurnikan/disuling (refine), yang intinya adalah suatu proses
distilasi dengan fraksi yang berbeda pada kisaran titik didih yang berbeda pula.
Hasil distilasi adalah : premium
(gasolene), naphthalene (bhn dasar
industri kimia), kerosene dan tar yang
digunakan sebagai asphalt, solar (utk
diesel), dsbnya.
Seluruh komponen crude oil dapat
didegradasi oleh bakteri, dengan laju
degradasi yang berbeda-beda.
Demikian juga dengan beberapa jenis ragi (yeast) dan jamur (fungi).30
Senyawa sederhana dengan rantai lurus didegradasi secara cepat, senyawa
dengan rantai cyclic yang paling lama didegradasi. Tar yang paling sulit
didegradasi.
Produk distilasi (refinery) crude oil
Jenis produkTitik didih
(oC)Jumlah
atom C
Petroleum Gas (LPG)Gasolene (Benzine)NaphthaleneKerosene (minyak tanah)Diesel (Solar)Residu (Tar)
3030-140
120-175165-200175-365
350
3-44-6
7-1010-1415-20>20
B. Keberadaan Minyak di Laut
Saat cairan minyak tumpah di laut, maka pada permukaan laut terbentuk lapisan
yang disebut ‘oil slick’. Kecepatan menyebar dan ketebalan lapisan ini
bergantung pada jenis minyak dan suhu air.
Fraksi ringan (BM rendah) secara cepat menguap, bagian yang larut dalam air
(water soluble fraction) tercampur dengan air laut, sedang bagian yang tak larut
dalam air (fat component) menjadi teremulsifikasi dan menyebar dalam bentuk
butiran-butiran kecil (droplets).
Laju emulsifikasi minyak dalam air bergantung pada tingkat agitasi/pengadukan
yang ditimbulkan oleh gelombang dan turbulensi air.
Pada beberapa kasus, kandungan emulsi minyak dan air dalam tubuh perairan
dapat mencapai 70 – 80% yang dikenal dengan sebutan ‘chocolate mousse’.
Chocolate mousse akan menumpuk di pantai seperti kue lapis yang tebal dan
lengket (sticky).
Residu minyak yang lebih berat membentuk formasi ‘tar balls’ yang ukurannya
antara 1 mm – 20 cm (diameter). Chocolate mousse dan tar balls sangat sulit
dan butuh waktu sangat lama untuk didegradasi.
Tar balls dapat dijumpai di hampir seluruh wilayah laut, khususnya yang menjadi
rute transportasi minyak dunia, kebanyakan dihasilkan oleh pencucian kapal
tanker dan sisa pengoperasian rutin tanker.
31
Komponen minyak yang larut dalam air mengandung sejumlah senyawa yang sangat
toksik bagi kehidupan di laut.
Pada substrat bercadas (rocky substrate) yang umumnya dicirikan sebagai daerah
berenerji tinggi, tumpahan minyak dapat secara cepat tercuci oleh dinamika pantai,
namun sering kali minyak tersebut pindah ke wilayah pantai di bagian lain. Hal ini bisa
menimbulkan masalah baru. Contoh kasus tumpahan minyak dari Tanker Torrey
Canyon yang terjadi di Pantai Cornwall,Inggris tumpahan oil slick mencemari pantai
Brittany, Perancis tahun 1967. Apa yang anda ketahui tentang pencemaran minyak dari
Australia yang mencemari wilayah pesisir di NTT baru-baru ini ? (Juni 2010).
Pada substrat berlumpur (soft substrate) yang umumnya dicirikan sebagai daerah
berenerji rendah, oil slick umumnya terserap ke dalam substrat dan disertai dengan DO
rendah sehingga proses degradasi minyak menjadi sangat lambat. Hal ini akan
menyebabkan sifat toksik minyak menjadi berkepanjangan. Konsekuensinya, flora dan
fauna bentik menjadi rusak berat. Pada kondisi seperti ini, seluruh kegiatan marikultur
ditutup selama bertahun-tahun (Kasus Tanker
Amoco Cadiz di Pantai Brittany, Perancis,
1978, yang mematikan kegiatan budidaya
perairan hingga ke perairan estuari). Dampak
lain dari oil slick adalah pada produksi primer
(plankton), tumbuhan pantai (khususnya
mangrove yang sangat sensitif), burung laut
dan mamalia laut.
Industri Perikanan, khususnya marikultur dalam skala besar sangat rentan terhadap
kasus tumpahan minyak di laut (negara: UK, Norwegia, Perancis dan Mexico
pernah mengalami pukulan berat akibat kecelakaan tanker. Hutan bakau
(mangrove) juga sangat sensitif terhadap pencemaran minyak mentah.
Tainting : istilah bagi organisme yang memiliki rasa atau terbalur oleh minyak
mentah. Terjadi pada beberapa biota laut seperti ikan, burung, singa laut, dsbnya.
Pariwisata : jelas pantai yang dilumuri minyak mentah akan sangat mengganggu
dan menjadi tidak diminati oleh wisatawan. Secara umum pencemaran minyak
merusak amenities pantai yang menjadi tujuan para wisatawan, sehingga dalam
kasus seperti ini, akan ditangani secara nasional (National Oil Contingency Plan),
yang di Indonesia dikoordinasikan oleh Departemen Perhubungan.
32
Saat minyak terekspos ke lingkungan laut, minyak akan segera berubah sifat-sifat
fisik-kimia dan biologis. Perubahan sifat ini akan mengubah/menentukan strategi
remediasi.
Proses perubahan sifat fisik meliputi: 1) Perluasaan. Perluasan ini mungkin
merupakan proses terpenting selama awal ekspose minyak dalam air, sepanjang titik
ubahminyak adalah lebih rendah dibanding temperature sekitar. Proses ini akan
memperluas sebaran minyak sehingga meningkatkan perpindahan massa melalui
proses evaporasi, pelarutan dan biodegradasi. 2) Evaporasi. Proses ini dapat
diandalkan untuk menghilangkan fraksi minyak dengan kandungan toksik dan berat
molekul rendah. Evaporasi alkana (< C15) dan aromatic berlangsung antara 1 – 10 hari
(Xueqing et al., 2001). Faktor lingkungan yang mempengaruhi evaporasi adalah angin,
gelombang dan suhu air. Evaporasi menyebabkan minyak tertinggal dalam air
mengalami peningkatan densitas dan viskositas. 3) Pelarutan. Proses ini tidak
signifikan dari sudut perpindahan massa tetapi penting dalam proses biodegradasi.
Aromatik dengan berat molekul kecil dan bersifat paling toksik adalah paling larut air
dibanding senyawa minyak lainnya (NAS, 1985). Kecepatan pelarutan dipengaruhi oleh
proses foto-oksidasi dan proses biologis. 4) Fotooksidasi. Dalam kondisi aerobic dan
terpapar sinar matahari, minyak aromatic dapat ditransformasi menjadi senyawa lebih
sederhana. Senyawa lebih sederhana ini (hydroperoxides, aldehydes, ketones,
phenols, dan carboxylic acids) bersifat lebih larut airsehingga meningkatkan laju
biodegradasi tetapi lebih toksik (Nicodem et al. 1997). 5) Dispersi. Penyebaran ini
terjadi karena proses gradient konsentrasi dengan membentuk formasi emulsi minyak-
air (butiran minyak dalam kolom air) sehingga memperluas permukaan butir minyak.
Emulsi minyak-air dapat terjaga dengan agitasi (angin dan gelombang adalah contoh
agitasi alamiah), atau dengan penambahan dispersan. 6) Emulsifikasi. Emulsifikasi
adalah proses perubahan status dari butiran minyak dalam airmenjadi butiran air dalam
minyak (disebut juga chocolate mousse). Bahan asphaltic dapatmeningkatkan
emulsifikasi. Tetapi emulsifikasi akan mempersulit pembersihan minyak. 7) Lain-lain.
Termasuk di sini adalah proses adsorpsi minyak pada zat padat air, sedimentasi dan
formasi butir tar.
PAHs terdapat di lingkungan secara alami pada deposit-deposit minyak dan batu
bara. PAHs juga memasuki lingkungan melalui aktifitas manusia (misalnya dari hasil
pembakaran tidak sempurna bahan-bahan organik), dan beberapa kejadian alam
seperti kebakaran hutan dan meledaknya gunung berapi. Molekul-molekul PAHs
33
bersifat hidrofobik dan lipofilik yang berinteraksi kuat dengan karbon organik yang
terdapat di sedimen, sangat jarang terlarut dalam air dan dengan daya uap rendah
(Burgess et al., 2003). Hidrokarbon aromatik tersusun oleh karbon dan hidrogen dalam
satu atau lebih cincin aromatik, yang memiliki konfigurasi ikatan ganda stabil. Kelompok
PAHs, seperti Naphthalene, Anthracene dan Pyrene ( Gambar 1) memiliki 2 atau lebih
ikatan ganda yang tergabung (Wright and Welbourne, 2002).
Sumber antropogenik penting PAHs termasuk dari pembakaran batu bara,
minyak bumi, gas alam dari berbagai jenis industri, dan dari penggunaan bahan-bahan
tersebut dalam berbagai kegiatan industri pengoperasian mesin pabrik dan pembangkit
listrik, kendaraan bermotor, dsbnya. Input PAHs di lingkungan perairan ditemukan
terkonsentrasi pada wilayah-wilayah estuarin dan pesisir dekat pusat-pusat kota. Jalur
masuk PAHs ke dalam wilayah perairan diketahui berasal dari 2 sumber utama: (1)
aliran air mengandung unsur-unsur PAHs baik yang terlarut maupun partikel dari
sumber-sumber point-sources dan non-point sources, dan (2) deposisi atmosfir baik
dalam bentuk hujan maupun debu-debu kering (Latimer and Zheng, 2003).
Walaupun PAHs adalah merupakan bahan kimia yang bersifat tidak reaktif dari
strukturnya yang tidak memiliki kelompok fungsional., mereka dapat dapat mengalami
oksidasi baik di lingkungan alam atau secara biokimiawi. Adalah hasil atau produk-
produk transformasi PAHs yang bersifat reaktif yang menentukan toksisitasnya,
terutama pada cincin-cincin yang menerima oksigen yang akhirnya bersifat polar
(Walker, 2001). Proses dekomposisi di udara akibat cahaya matahari, diantaranya,
menghasilkan produk-produk oksidatif toksik seperti quinon dan endoperoksida.
34
Gambar 1. Struktur PAHs penting yang merupakan bahan pencemar prioritas WHO (UNEP, 2002).
Tempat penumpukan jenis-jenis PAHs berukuran besar, dengan 4 - 6 cincin
aromatik, dalam lingkungan perairan adalah pada sedimen (Latimer and Zheng, 2003).
Hal ini secara jelas akan memberikan konsekuensi pemaparan PAHs terberat pada
organisme bentik di wilayah-wilayah estuarin dan pesisir (den Besten et al., 2003).
PAHs dapat mengalami biokonsentrasi dan/atau bioakumulasi oleh beberapa
jenis avertebrata perairan yang terletak pada posisi rendah di rantai makanan yang
tidak memiliki kemampuan untuk melakukan proses biotransformasi secara efektif.
Sedangkan ikan dan beberapa jenis vertebrata perairan lainnya umumnya mampu
melakukan transformasi dan eliminasi PAHs dari dalam tubuhnya. Oleh karena itu,
bioakumulasi PAHs pada spesies-spesies yang berada pada posisi tinggi di rantai
makanan memiliki kecenderungan menurun atau dapat dikatakan rendah. Namun
beberapa jenis ikan, burung dan mamalia laut yang memakan avertebrata dapat
mengakumulasi PAHs dengan konsentrasi tinggi, dari kandungan bahan makanan yang
dikonsumsinya. Meskipun mereka mampu untuk melakukan metabolisme secara cepat
dari kandungan PAHs dalam bahan makanannya, metabolisme oksidatif berpotensi
untuk menghasilkan radikal bebas yang sangat merusak karena sifat-sifat mutagenik
dan karsinogenik yang dimilikinya (Payne et al., 2003).
35
PAHs dapat dikategorikan bersifat pyrogenik, petrogenik, diagenetik atau
biogenik tergantung sumbernya (Neff, 1979). PAHs pyrogenik terbentuk dari
pembakaran tidak sempurna dari bahan-bahan organik pada suhu tinggi dalam waktu
singkat, yang membentuk interaksi kuat dengan partikel debu karbon yang penting bagi
ketersediaan biologis dan pemilahan PAHs. Sedangkan PAHs petrogenik terbentuk
pada suhu relatif rendah selama periode waktu geologis tertentu (misal: minyak mentah
dan batu bara). PAHs petrogenik utamanya dalam bentuk molekul ter-alkilasi sebagai
bentuk pencerminan dari jenis-jenis tanaman kuno pembentuknya. Sedangkan PAHs
diagenetik berasal dari senyawa terpen tumbuhan yang pada kahirnya memnetuk
senyawa-senyawa perylene, retene,
phenantrene dan chrysene. Jenis-jenis PAHs
ini banyak ditemukan pada sedimen saat ini
dan sangat dominan pada sedimen sebelum
adanya kegiatan industri. Adapun PAHs
biogenik terbentuk oleh bakteri, jamur,
tumbuhan dan hewan, yang terdapat pada
lapisan sedimen paling bawah.
PAHs pyrogenik dan petrogenik menjadi perhatian utama dalam kajian-kajian
lingkungan. PAHs pyrogenik berasosiasi dengan partikel debu karbon bersifat lebih
persisten dan terlindung dari proses degradasi lingkungan karena hampir tidak
mengalami oksidasi fotokimia dan mampu melawan aktifitas degradasi mikroba.
Sedang PAHs petrogenik nampaknya lebih mudah terdegradasi melalui proses
perubahan biokimiawi. PAHs petrogenik berberat molekul rendah bisa dengan mudah
terdegradasi oleh oleh mikroba, sementara PAHs berberat molekul tinggi dihilangkan
dari kolom air melalui proses sedimentasi. Oleh karena itu PAHs petrogenik umumnya
lebih tersedia dalam air bagi organisme karena sifatnya yang lebih larut dalam air (Neff,
1979; Burgess et al., 2003).
Seluruh jenis bahan pencemar tersebut di atas dapat mempengaruhi sistem
kehidupan pada beberapa tingkatan organisasi biologis yang berbeda. Dampaknya
tergantung pada sifat-sifat kimia yang dimilikinya, lingkungan dimana mereka berada
dan organisme yang mengabsorpsi bahan-bahan pencemar tersebut.
C. Penanganan Pencemaran Minyak di Laut
Membersihkan minyak dari daratan pantai sangat sulit, butuh waktu panjang, butuh
tenaga kerja banyak dan butuh biaya yang besar. Umumnya minyak dibersihkan
36
secara manual atau dengan menggunakan bulldozer. Oleh karena itu, pilihan
membersihkan tumpahan minyak harus dilakukan saat masih berada di perairan
terbuka di laut.
Proses emulsifikasi minyak dalam air secara alamiah dapat dipercepat dengan
menyemprotkan bahan kimia dispersant pada permukaan oil slick. Dispersant
digunakan pada oil slick yang sdh berada di permukaan air laut untuk beberapa
saat (weathered oil). Generasi pertama dispersant sangat toksik, oleh karena
jarang yang mau menggunakannya maka saat ini ada dispersant dengan
toksisitas rendah. Kelemahan dispersant adalah sulitnya menyemprotkan
(menggunakan pesawat atau kapal laut) jumlah dispersant yang memadai ke
permukaan oil slick, khususnya bila angin kencang.
Cara kedua yang lazim digunakan, khususnya pada area dimana banyak
aktivitas marikultur adalah penggunaan ‘floating boom’ yang terdiri atas layar
yang mengapung di atas air dan struktur yang menyerupai gordijn di bawahnya
yang berfungsi untuk mengalihkan minyak yang mengapung mengalir ke area
yang tidak begitu sensitif. Umumnya boom berbentuk ‘V’ untuk memerangkap
minyak yang selanjutnya dipompa dari dalam laut.
Cara ketiga yang lazim adalah penggunaan ‘slick-lickers’ yang menyerupai
sabuk yang disusun oleh ‘absorbent’ (penghisap) yang direndam dalam oil slick
yang selanjutnya dialirkan melalui roller yang
mengekstraksi minyak. Slick-lickers hanya
digunakan pada tumpahan minyak dalam
jumlah kecil, biasanya di pelabuhan, atau
perairan terlindung, bukan di laut terbuka.
37
Gambar 2. Peralatan yang digunakan dalam membersihkan minyak dari kolom air laut.
38
Pustaka
Burgess, R.M., Ahrens, M.J. and Hickey, C.W., 2003. Geochemistry of PAHs in Aquatic environment: sources, persistent and distribution. In : (Douben, P.E.T., Ed.) PAHs: an Ecotoxicological Perspective. John Wiley & Sons, Chichester,England.
Clark, R.B. 1992. Marine Pollution. 3rd Edition. Oxford University Press, London.
den Besten, P.J., Ten Hulscher, D.and van Hattum, B., 2003. Biovailability, uptake and Effects of PAHs in Aquatic Invertebrates in Field Studies. . In : (Douben, P.E.T., Ed.) PAHs: an Ecotoxicological Perspective. John Wiley & Sons, Chichester,England.
Latimer, J.S. and Zheng,J., 2003. The Sources, Transport and fate of PAHs in the Marine Environment. . In : (Douben, P.E.T., Ed.) PAHs: an Ecotoxicological Perspective. John Wiley & Sons, Chichester,England.
National Academy of Sciences (1985) Oil in the Sea: Inputs, Fates and Effects, National Academy Press, Washington DC.
Nicodem, D.E., Fernandes, M.C., Guedes, C.L.B., Correa, R.J. (1997) Photochemical processes and the environmental impact of petroleum spills. Biogeochemistry, 39, 121-138.
Neff, J.M.1979. Polycyclic aromatic hydrocarbons in aquatic environment: sources, fates and biological effects. Applied Science Publisher, London.
Payne, J.F., Mathieu, A and Collier, T.K., 2003. Ecotoxicological Studies Focusing on Marine and Freshwater Fish. . In : (Douben, P.E.T., Ed.) PAHs: an Ecotoxicological Perspective. John Wiley & Sons, Chichester,England.
Xueqing Zhu, Albert D. Venosa, Makram T. Suidan, and Kenneth Lee (2001). Guidelines for the Bioremediation of Marine Shorelines and Freshwater Wetlands. U.S. Environmental Protection Agency. Cincinnati, OH 45268.
Walker, C.H. 2001. Organic Pollutants: an Ecotoxicological Perspective. Taylor & Francis, London.
Wright, D.A. and Welbourne, P., 2002. Environemental Toxicology. Cambridge University Press, UK.
UNITED NATIONS ENVIRONMENT PROGRAMME (UNEP), 2002. Regionally-Based Assessment of Persistent Toxic Substances: Pacific Island Regional Report. Geneva, Switzerland. 66 p.
39