3. isi skripsi

68
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran dan perumahan. Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemaran udara yang dibuang ke udara bebas. Sumber pencemaran juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam seperti kebakaran hutan, gunung meletus, gas alam beracun dan sebagainya. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan penurunan kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia (Depkes, 2009). Di banyak kota, terutama di negara-negara berkembang yang urbanisasinya tumbuh pesat, pencemaran udara telah merusak sistem pernafasan, khususnya bagi orang yang lebih tua, lebih muda,

Upload: whidy-surya-primasari

Post on 24-Jul-2015

1.464 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: 3. Isi Skripsi

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakan kondisi yang

sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai

kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran dan perumahan.

Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemaran

udara yang dibuang ke udara bebas. Sumber pencemaran juga dapat

disebabkan oleh berbagai kegiatan alam seperti kebakaran hutan, gunung

meletus, gas alam beracun dan sebagainya. Dampak dari pencemaran udara

tersebut adalah menyebabkan penurunan kualitas udara, yang berdampak

negatif terhadap kesehatan manusia (Depkes, 2009).

Di banyak kota, terutama di negara-negara berkembang yang

urbanisasinya tumbuh pesat, pencemaran udara telah merusak sistem

pernafasan, khususnya bagi orang yang lebih tua, lebih muda, para perokok

dan mereka yang menderita penyakit kronis saluran pernafasan (Baum, 2005).

Salah satu dampak dari pencemaran udara adalah rhinitis akibat kerja.

Rhinitis adalah peradangan pada mukosa hidung. Hal ini menyebabkan gejala

seperti bersin, rinorea, dan hidung tersumbat (Dong-Uk Park, 2008). Rhinitis

akibat kerja adalah penyakit yang penting tetapi kurang terdiagnosis dengan

baik secara medis. Definisi rhinitis akibat kerja/RAK menurut EAACI Task

Force on occupational rhinitis 2009 adalah inflamasi hidung baik bersifat

persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin,

Page 2: 3. Isi Skripsi

2

rinore, gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau hipersekresi yang

disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja (Moscato G et al., 2009).

Sebanyak 15% pekerja di dunia diperkirakan menderita rhinitis akibat

kerja. Pekerja industri merupakan pekerja terbanyak yang bisa menderita

rhinitis akibat kerja (48%), disusul oleh pekerja administrasi (29%) dan

pekerja pengolah bahan jadi (13%). Peningkatan konsentrasi substansi dan

lamanya waktu pajanan, dikatakan semakin meningkatkan risiko menderita

rhinitis akibat kerja (Arandelovic M, 2004). Agen-agen di tempat kerja yang

diduga menjadi penyebab terjadinya rhinitis akibat kerja adalah polusi udara,

asap rokok, lateks, psylium, asam anhidrida, platina, toluena diisosianat,

amonia, deterjen dan hewan peliharaan (Rebecca et al., 2009 ; Arandelovic M,

2004).

Pencemaran udara di daerah pedesaan terjadi karena eksploitasi

sumber daya alam, baik secara tradisional maupun modern. Industri batu

kapur merupakan salah satu kegiatan di pedesaan yang kontribusinya terhadap

pencemaran udara cukup besar. Mineral murni batu kapur mengandung

CaCO3 sebagai kalsit (calcite). Kebanyakan batu kapur komersial

mengandung oksida besi, alumina, magnesia, silika dan belerang, dengan CaO

(22 – 56 %) dan MgO (sekitar 21 %) sebagai komponen utamanya. Di masa

dahulu batu kapur dipakai sebagai pengeras tembok, namun dalam industri

modern dipakai sebagai bahan pembuat semen. Kapur dipakai dalam sektor

pertanian dan perkebunan untuk mengurangi keasaman tanah (menaikkan pH).

Agar dapat digunakan sebagai campuran pupuk, batu kapur harus dibakar

Page 3: 3. Isi Skripsi

3

sehingga dihasilkan kapur tohor (CaO). Secara teoritis, pada proses ini

diemisikan gas-gas hasil pembakaran seperti NO2, SO2 dan CO yang

menambah pencemaran udara. Partikel-partikel kapur bersifat iritan namun

tidak tergolong karsinogen. Industri batu kapur telah mencemari udara dengan

debu dan gas-gas hasil pembakaran batu kapur menjadi kapur tohor. Debu dan

gas-gas yang disebabkan oleh proses pengolahan batu kapur akan berada di

lingkungan kerja, hal ini akan berakibat tenaga kerja terpapar debu kapur dan

gas-gas pada konsentrasi maupun ukuran yang berbeda-beda (Yulaekah,

2007).

Salah satu sentra industri batu kapur di Kabupaten Banyumas, adalah

kawasan industri penambangan kapur yang terletak di desa Darmakradenan,

Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Industri batu kapur ini

merupakan usaha kegiatan turun temurun dari orang tua. Jumlah industri yang

aktif 27 buah dengan kapasitas produksi sekitar 5.640 ton/tahun. Industri

kapur menyerap tenaga kerja sekitar 650 orang. Pekerja tambang tersebut

berasal dari daerah setempat dan sebagian kecil dari tetangga desa dan dari

luar daerah. Sebagian besar (90 %) pekerja adalah laki-laki berusia antara 20-

50 tahun. Dari pengamatan pendahuluan, sebagian besar mereka bekerja tanpa

menggunakan alat pelindung diri seperti masker, sarung tangan, sepatu boot

dan kaca mata (Budi, 2005).

Hasil dari studi prevalensi pengukuran kapasitas vital paru pada

tanggal 23 Agustus – 7 September 2004 terhadap 283 pekerja tambang kapur

di Desa Darmakradenan, didapatkan data kapasitas paru pekerja normal 68

Page 4: 3. Isi Skripsi

4

orang (24,03%) dan kapasitas paru tidak normal sebanyak 215 orang

(75,97%), yang terdiri dari restriksi 81 orang (28,62%); obstruksi 46 orang

(15,25%) dan kombinasi (obstruksi dan restriksi) 88 orang (31,10%).

Hasil pengukuran kualitas debu total menggunakan alat dustfall

collector (alat pengukur debu jatuhan) oleh Dinas Kesehatan Kabupaten

Banyumas rata-rata sebesar 430,50 mg/m3 udara. Kadar debu terendap ini

sudah melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan sebesar 350 mg/m3 udara.

Data kesehatan haji banyumas tahun 2003 juga memperlihatkan hasil foto

rontgen paru pada peserta jemaah haji yang berasal dari daerah penambangan

kapur, 70% juga menunjukkan adanya kelainan paru (DKKS kab. Banyumas,

2003). Di Desa Darmakradenan yang merupakan wilayah kerja Puskesmas

Ajibarang I, penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) menduduki

urutan pertama dalam urutan 10 besar penyakit yang terjadi di Desa

Darmakradenan. Urutan kedua dan ketiganya masing-masing adalah

dermatitis dan konjungtivitis.

Di Indonesia, belum ada data resmi mengenai angka kejadian rhinitis

akibat kerja akibat pajanan batu kapur atau gamping. Di Jakarta, pernah

dilakukan penelitian mengenai faktor risiko rhinitis akibat kerja antara lain

pada pekerja yang terpajan debu tepung gandum. Hasil penelitian

menunjukkan adanya gejala yang berhubungan dengan tempat kerja pada 6-

30% pekerja yang memiliki pajanan tinggi terhadap debu tepung gandum

mengalami rhinitis akibat kerja (Pujiwati R, 2006). Selain itu, pernah

dilakukan penelitian terhadap prevalensi rhinitis akibat kerja pada pekerja

Page 5: 3. Isi Skripsi

5

yang terpajan bahan kimia surfaktan. Hasil dari penelitian menunjukkan

sebanyak 20% dari pekerja tersebut mengalami rhinitis akibat kerja

(Anggraini D, 2008).

Di Makassar, pernah dilakukan penelitian mengenai analisis faktor

risiko rhinitis akibat kerja pada pekerja yang terpajan debu terigu dan

didapatkan angka kejadian rhinitis akibat kerja pada pekerja pabrik terigu

adalah sebesar 50,7% (Quadarusman E, 2010). Belum adanya data mengenai

prevalensi rhinitis akibat kerja pada pekerja pabrik gamping di Desa

Darmakradenan, kecamatan Ajibarang, Jawa Tengah, mendorong penulis

untuk melakukan penelitian berjudul: Prevalensi rhinitis akibat kerja pada

pekerja pabrik gamping di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang,

Kabupaten Banyumas.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

” Bagaimana prevalensi rhinitis akibat kerja pada pekerja pabrik gamping di

Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ”.

C. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi rhinitis akibat kerja

pada pekerja pabrik gamping di Desa Darmakradenan, Kecamatan

Ajibarang, Kabupaten Banyumas.

Page 6: 3. Isi Skripsi

6

Tujuan Khusus:

a. Untuk mengetahui angka kejadian rhinitis akibat kerja pada pekerja

pabrik gamping di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang,

Kabupaten Banyumas

b. Untuk mengetahui karakteristik (usia dan jenis kelamin laki-laki)

penderita rhinitis akibat kerja pada pekerja pabrik gamping di Desa

Darmakradenan, kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas

c. Untuk mengetahui lama kerja berkaitan dengan rhinitis akibat kerja

pada pekerja pabrik gamping di Desa Darmakradenan, Kecamatan

Ajibarang, Kabupaten Banyumas

2. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Memberikan informasi mengenai prevalensi

rhintis akibat kerja pada pekerja pabrik gamping di desa

Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas

2. Manfaat praktis

a. Sebagai sumber informasi yang dapat

digunakan untuk penelitian selanjutnya.

b. Menambah pengetahuan masyarakat

khususnya masyarakat setempat tentang rhintis akibat kerja pada

pekerja pabrik gamping di desa Darmakradenan, Kecamatan

Ajibarang, Kabupaten Banyumas

Page 7: 3. Isi Skripsi

7

3. Manfaat bagi institusi

a. Sebagai bahan pustaka di jurusan kedokteran Fakultas

Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan UNSOED khususnya bidang

kesehatan kerja.

Page 8: 3. Isi Skripsi

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Hidung

Hidung merupakan orang penting yang menjadi salah satu organ

pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung

terdiri atas nasus eksternus (hidung luar) dan cavum nasi. Hidung luar

menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung

luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang

tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit

dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang

mudah digerakkan (Levine, 2005).

1. Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas

ke bawah yakni pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung

(apeks), alas nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung

luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung.

Kerangka tulang hidung terdiri dari sepasang os nasalis (tulang

hidung), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontalis.

sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang

rawan terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilago nasalis

Page 9: 3. Isi Skripsi

9

lateralis superior dan sepasang kartilago nasalis lateral inferior

(kartilago alar mayor).

Hidung juga memiliki otot—otot yang berguna untuk melebarkan

dan menyempitkan lubang hidung yang terdiri dari dua kelompok yaitu:

1. Kelompok dilator yang terdiri dari m. dilator nares (anterior dan

posterior), m. prosesus dan kaput angular m. kuadratus labil superior.

2. Kelompok konstriktor terdiri dari m. nasalis dan m. depressor septi.

2. Hidung Dalam

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan

ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum

nasi bagian anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut

nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan

nasofaring.

Gambar 2.1. Pembagian anatomi hidung (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Page 10: 3. Isi Skripsi

10

1. Vestibulum

Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang

mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang

yang disebut vibrissae (Damayanti S, 1997).

2. Septum nasi

Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan dimana bagian

tulang terdiri dari :

a. lamina perpendikularis os etmoid

b. vomer

c. krista nasalis os maksila

d. krista nasalis os palatine

Bagian tulang rawan terdiri dari :

a. kartilago septum ( lamina kuadrangularis )

b. kolumela

3. Kavum nasi

a. Dasar hidung, dibentuk oleh prosesus palatine os maksilaris dan

prosesus horizontal os palatum

b. Atap hidung, terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior,

os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan

korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh

lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang

berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan

Page 11: 3. Isi Skripsi

11

menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka

superior (Damayanti S, 1997 ; Ballenger JJ, 1994).

c. Dinding lateral, dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam

prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior,

konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum

dan lamina pterigoideus medial (Ballenger JJ, 1994).

d. Konka, pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang

terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,

kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan konka

superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.

Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior

merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan

labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema

merupakan bagian dari labirin etmoid (Damayanti S, 1997)

e. Meatus nasi, diantara konka-konka dan dinding lateral hidung

terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior

terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding

lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara

duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka

media dan dinding lateral rongga hidung. Disini terdapat muara

sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada

meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior

Page 12: 3. Isi Skripsi

12

dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan

sinus sfenoid.

f. Dinding medial, dinding medial hidung adalah septum nasi

(Damayanti S, 1997).

3. Pendarahan Hidung

Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber

utama:

a. a. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior

anterior dan dinding lateral hidung.

b. a. etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ), mendarahi

septum bagian superior posterior.

c. a. sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang

menuju ke dinding lateral hidung dan a. septi posterior yang

menyebar pada septum nasi.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari

cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina

mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina

bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang

ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat

pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-

cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a.

palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach ( Little’s area )

Page 13: 3. Isi Skripsi

13

yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga

sering menjadi sumber epistaksis. (Damayanti S, 1997)

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar

hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan

dengan sinus kavernosus (Damayanti S, 1997 ; Ballenger JJ, 1994).

B. Persarafan Hidung

1. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot

hidung bagian luar

2. Saraf sensoris.

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris

dari n. etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris,

yang berasal dari n. oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya,

sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila

melalui ganglion sfenopalatina.

3. Saraf otonom.

Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu :

a. Saraf post ganglion saraf simpatis (Adrenergik). Saraf simpatis

meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3, berjalan ke atas

dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior.

Serabut post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan

kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung dengan

serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor

Page 14: 3. Isi Skripsi

14

membentuk n. vidianus yang berjalan didalam kanalis

pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalam

ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang

palatina mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf

simpatis secara dominan mempunyai peranan penting terhadap

sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi

kelenjar.

b. Serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik). Berasal

dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus

salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus

superfisialis mayor berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan

mengadakan sinapsis didalam ganglion tersebut. Serabut-

serabut post ganglion menyebar menuju mukosa hidung.

Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan

kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer dan

vasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan

menghilangkan impuls sekretomotorik atau parasimpatis pada

mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan

sensasi hidung tidak akan terganggu (Snell, 2006).

4. Olfaktorius (penghidu)

Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan

bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel

Page 15: 3. Isi Skripsi

15

reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas

hidung (Damayanti S, 1997)

C. Rhinitis Akibat Kerja (Occupational Rhinitis)

1. Definisi

Rhinitis akibat kerja didefinisikan sebagai rhinitis yang muncul

sebagai respon dari agen udara yang terdapat pada tempat kerja dan

mungkin terjadi karena reaksi alergi atau bagian dari respon iritasi

(Bousquet J, 2008). Menurut panduan BSACI, rhinitis akibat kerja

adalah rhinitis yang diinduksi oleh paparan tempat kerja ke saluran

pernapasan karena sensitisasi oleh agen (Scadding GK et al., 2008).

Definisi rhinitis akibat kerja menurut EAACI Task Force on

Occupational Rhinitis 2009 adalah inflamasi hidung baik bersifat

persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-

bersin, rinore, gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau

hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja (Moscato

G et al., 2009).

Rhinitis akibat kerja dimungkinkan terjadi dari dua faktor utama

yakni rhinitis yang di sebabkan langsung oleh agen-agen lingkungan

kerja atau rhinitis yang diperburuk akibat dari agen-agen di lingkungan

kerja. Rhinitis akibat kerja juga merupakan penyakit nomor dua setelah

asma akibat dari lingkungan kerja (Moscato G et al., 2009).

Page 16: 3. Isi Skripsi

16

.

Gambar 2.2. Bagan Kategori Rhinitis Akibat Kerja (Moscato G

et al., 2009)

Rhinitis alergi akibat kerja dapat dikategorikan menjadi 2

mekanisme yakni :

a. Termediasi IgE (IgE mediated) : diakibatkan paparan alergen

bermolekul berat / high molecular weigth (HMW) misalkan

glikoprotein dari tanaman atau binatang. selain itu juga dapat

disebabkan oleh alergen bermolekul ringan / low molecular weight

agents (LMW) misalkan garam platinum, pewarna reaktif dan asam

andhidrida.

Rhinitis Akibat Kerja

Rhinitis alergi akibat kerja (occupational rhinitis allergic)

Termediasi IgETanpa mediasi IgE

Rhinitis non-alergi akibat kerja (occopational rhinitis non-alergic)

Paparan tunggal : Reactive upper Airways Dysfunction Syndrome (RUDS)Paparan ganda : Irritant Induced ORCorrosive rhinitis

Rhinitis diperburuk oleh kerja

Rhinitis akibat kerja (RAK)

Page 17: 3. Isi Skripsi

17

b. Tanpa mediasi IgE (non-IgE-mediated) : diakibatkan oleh LMW

agents misalkan isosianat, garam persulfat dan debu kayu yang

menjadi agen pencetus rhinitis yang belum diketahui pasti

mekanismenya (Moscato G et al., 2009; Hoffman CD et al., 2004).

Rhinitis non-alergi akibat kerja merupakan rhinitis yang

disebabkan murni dari lingkungan kerja dengan mekanisme iritasi pada

rongga hidung, tanpa melibatkan sistem imunologi dan dapat

disebabkan oleh agen dengan paparan yang terus menerus (Moscato G

et al., 2009; Bernstein IL, 2006; Castano R, 2007)

2. Epidemiologi

Rhinitis merupakan penyebab yang signifikan morbiditas di

seluruh dunia dimana terkadang gangguan ini dipandang sepele oleh

seorang praktisi. Gejala rhinitis yang signifikan mempengaruhi kualitas

hidup seorang penderita akibat dari gejala sistemik meliputi kelelahan,

sakit kepala dan gangguan kognitif.

Data di Amerika Serikat menunjukan 20-40 juta orang

mengalami rhinitis setiap tahunnya dimana 30% penderita dewasa dan

40% adalah anak-anak. The European Respiratory health Survey

(ECRHS) melaporkan bahwa 25% dari rhinis non-alergi yang diambil

dari 1.412 subyek (Heinrich J et al., 2002).

Di Indonesia angka kejadian rhinitis akibat kerja belum diketahui

secara pasti karena saat ini belum pernah dilakukan penelitian

multisenter. Prevalensi rhinitis di Jakarta besarnya sekitar 20%,

Page 18: 3. Isi Skripsi

18

sedangkan menurut Sumarman dan Haryanto tahun 1999, di daerah

padat penduduk kota Bandung menunjukan 6,98%, dimana prevalensi

pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan survei dari ISAAC (International

Study of Asthma and Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur

13-14 tahun di Semarang tahun 2001-2002 rhinitis sebesar 18%

(ISAAC Steering Committee, 2002).

Penelitian sebelumnya oleh Russel tahun 2001 di Amerika

menyebutkan bahwa 3 faktor penting yang berkaitan dengan rhinitis

akibat kerja adalah usia, jenis kelamin dan musim. hasil dari penelitian

tersebut 70% pasien dengan rhinitis non-alergi adalah dewasa (usia >

20 tahun) sedangkan 70% rhinitis alergi adalah anak-anak (usia < 20

tahun). Jenis kelamin juga memberikan hasil yang berbeda pada

penelitian ini. Pada penelitian ini 74% pasien adalah perempuan. Faktor

berikutnya adalah musim dimana faktor tersebut kemungkinan besar

berbeda dengan kondisi di Indonesia yang memiliki 2 musim saja

(Russel, 2001).

3. Patofisiologi Rhinitis Akibat Kerja

Rhinitis sendiri merupakan suatu penyakit inflamasi yang

diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi

alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau

reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan

alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau

reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan

Page 19: 3. Isi Skripsi

19

puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat

berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,

makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen

Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di

permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk

fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II

membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility

Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).

kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)

yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan

Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5,

dan IL-13.

Page 20: 3. Isi Skripsi

20

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel

limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi

imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan

dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel

mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut

sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila

mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka

kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi

(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya

mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama

histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators

antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4),

Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF),

berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte

Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang

disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf

vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-

bersin. histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet

mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga

terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi

sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga

Page 21: 3. Isi Skripsi

21

menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul

kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di

jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi

gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.

Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel

inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di

mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan

Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan

ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau

hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator

inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),

Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan

Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik

(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala

seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan

kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular

bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat

juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta

ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan

submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat

Page 22: 3. Isi Skripsi

22

serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan

tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun,

sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu

terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga

tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke

dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:

a. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini

bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag

tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi

respon sekunder.

b. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga

kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau

keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap

ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada

defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi

respon tersier.

c. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh.

Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari

daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Page 23: 3. Isi Skripsi

23

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu

tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau

reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau

reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis

kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1,

yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Untuk rhinitis akibat kerja mekanisme terjadinya adalah

mekanisme imunologi IgE mediated yang mendasari terjadinya rhinitis

akibat kerja dapat dijelaskan dengan baik, sedangkan tentang

mekanisme non IgE mediated dan iritasi non imunologi kurang dapat

dijelaskan. Rhinitis akibat kerja ditandai dengan adanya aktivasi sel T

yang disebabkan oleh Specific Inhalation Challenge (SIC) didalam

darah dan sputum dari pasien dengan rhinitis akibat kerja yang

dibandingkan sukarelawan yang sehat. SIC ini diinduksi oleh sebuah

peningkatan dari proporsi IL-13 yang memproduksi sel T, baik didalam

darah dan sputum dari pasien rhinitis akibat kerja. Pada temuan terbaru

juga menunjukkan bahwa hidung yang tiba-tiba bereaksi disebabkan zat

perisulfat pada penata rambut karena akibat aktivasi dari sel Th1. Pada

penelitian yang lain ditemukan bahwa paparan debu di lingkungan kerja

berhubungan dengan peradangan eosinofilik di hidung yang eksudatif

dan menginduksi peningkatan yang signifikan dari a2 macroglobulin

setelah peningkatan histamin pada hidung (Moscato G et al., 2009).

Page 24: 3. Isi Skripsi

24

4. Gejala Klinik Rhinitis Akibat Kerja

Gejala rhinitis akibat kerja yang khas ialah terdapatnya serangan

bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,

terutama bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu atau zat lain

yang terdapat di tempat kerja. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik,

yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin

dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan,

sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin

patologis (Soepardi, Iskandar, 2004).

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,

hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai

dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda yang lain juga

terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung

termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah

punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan

pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung

yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan

sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata,

kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).

Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis

media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda

faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa

jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita

Page 25: 3. Isi Skripsi

25

suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group.

WHO, 2001).

Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala,

masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah,

post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah

marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur. Hampir semua tanda

yang didapatkan diinduksi oleh pajanan debu/ zat yang dapat

mengiritasi di tempat kerja (Harmadji, 1993).

Page 26: 3. Isi Skripsi

26

5. Penegakan diagnosis rhinitis akibat kerja

Gambar 2.3. Bagan Alur Penegakan Diagnosis Rhinitis Akibat Kerja

(Moscato G et al., 2009)

Page 27: 3. Isi Skripsi

27

Penyelidikan dan penilaian tentang riwayat dari rhinitis akibat

kerja merupakan hal yang sangat berkaitan. Penggunaan metode yang

obyektif seperti tes patensi hidung dan penggunaan parameter inflamasi

pada sekret hidung akan meminimalkan kesalahan dalam mendiagnosa

pasien yang mengalami rhinitis akibat kerja. Diagnosis perlu adanya

konfirmasi dengan metode yang obyektif lainnya yaitu riwayat klinis

dari pasien, pemeriksaan hidung, tes imunologi (untuk pasien dengan

rhinitis akibat kerja karena alergi), dan Nasal Provocation Test (NPT)/

tes provokasi hidung. Selain itu, kemungkinan keterlibatan dari organ

saluran udara yang letaknya lebih bawah harus dievaluasi secara cermat

dengan menggunakan kuesioner, spirometri dam pengukuran dari

respon non spesifik saluran nafas (Scadding GK et al., 2008).

Riwayat medis dan pekerjaan dari pasien merupakan kunci

dalam penyelidikan dan diagnosis rhinitis akibat kerja. Menggali

riwayat kerja dari pasien bertujuan untuk mengumpulkan gambaran

secara menyeluruh tentang pekerjaan pasien saat ini, proses saat

ditempat kerja, perubahan dalam proses kerja atau bahan-bahan yang

digunakan, kondisi dan kebersihan dari tempat kerja (Moscato G et al.,

2009).

Salah satu tujuan dari evaluasi riwayat medis pasien adalah

untuk menetapkan waktu dari dimulainya gejala rhinitis akibat kerja

sehubungan dengan paparan pajanan. Pengambilan riwayat medis dari

pasien harus meliputi durasi kerja di pekerjaan yang ada sebelum

Page 28: 3. Isi Skripsi

28

terjadinya gejala (periode laten), agen, tugas atau proses yang terkait

dengan onset, dan hari kerja dari pasien (Moscato G et al., 2009).

Pada pemeriksaan hidung/ nasal, dapat dilakukan pemeriksaan

makroskopis dari mukosa hidung yaitu dengan metode rhinoskopi

anterior dan endoskopi hidung. Dengan menggunakan tehnik ini, dapat

dikesampingkan adanya patologi lain dari hidung yang mempunyai

gejala mirip rhinitis atau adanya penyakit yang berkontribusi dalam

perburukan obsturksi hidung (misalnya deviasi septum, polip hidung).

Pada pemeriksaan nasal patensi digunakan untuk menilai patensi

dari hidung selama masa penyidikan (hal ini termasuk rinomanometri,

akustik rhinometry, dan Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF)).

Rhinomanometri anterior mengukur secara terpisah dari jalan nafas dari

lubang hidungnya masing-masing, tehnik ini membutuhkan sedikit

instruksi kepada pasien, tetapi pengukurannya dapat menjadi sulit

ketika lobang hidung pasien tersumbat. Rhinomanometri posterior

digunakan untuk menilai total resistensi dari saluran hidung melalui

kateter oral di faring, tetapi tehnik ini memerlukan kerjasama dari

pasien. Pengukuran aliran puncak inspirasi hidung/ PNIF dilakukan

untuk menilai apakah adanya obstuksi aliran udara akibat pajanan di

tempat kerja. PNIF merupakan pemeriksaan yang sederhana, murah dan

mudah, tetapi PNIF kurang sensitif dalam mendeteksi bila terdapat

perubahan patensi dari hidung (Scadding GK et al., 2008).

Page 29: 3. Isi Skripsi

29

Rhinometri akustik adalah tehnik yang baru untuk menilai

patensi hidung dengan menentukan penampang dan volume rongga

hidung dengan menggunakan pantulan gelombang suara. Tehnik ini non

invasif dan membutuhkan sedikit kerjasama dari pasien. Rhinometri

akustik berguna untuk menunjukkan perubahan patensi hidung dalam

industri/ tempat kerja.

Pada tes imunologi dapat dilakukan dengan cara uji tusuk kulit

dan/ atau penilaian serum alergen spesifik antibodi IgE. Hasil positif

dari tes imunologi dapat terjadi pada individu tanpa gejala rhinitis

akibat kerja, sehingga spesitivitas tes imunologi lebih rendah dari

sensitivitasnya (Moscato G et al., 2009).

Tes provokasi nasal masih dianggap gold standard untuk

mengkonfirmasi diagnosis dari rhinitis akibat kerja. Alasan utama test

provokasi nasal masih menjadi standar baku emas karena pemeriksaan

ini langsung mengesplorasi melalui pendekatan observasional, dan

dilakukan hubungan sebab-akibat antara paparan spesifik dari agen di

tempat kerja dan ciri karekteristik dari rhinitis akibat kerja (Scadding

GK et al., 2008).

Alur diagnosis dari rhinitis akibat kerja meliputi penggalian

riwayat klinis dan kesehatan secara menyeluruh dan pemeriksaan

hidung. Jika penderita mengalami rhinitis akibat kerja karena pajanan di

tempat kerjanya, harus dikonfirmasi dengan metode yang obyektif.

Langkah kedua meliputi evaluasi tehadap agen-agen yang dicurigai di

Page 30: 3. Isi Skripsi

30

tempat kerja melalui tes tusuk kulit. Riwayat klinis yang positif

ditambah tes imunologi mungkin dapat menegakkan diagnosis rhinitis

akibat kerja. Selanjutnya dapat menggunakan evaluasi obyektif dari

hubungan sebab-akibat antara rhinitis dan lingkungan kerja melalui tes

provokasi nasal di laboratorium. Jika tes provokasi nasal positif, maka

diagnosis rhinitis akibat kerja dapat dipastikan atau ditegakkan. Jika tes

provokasi nasal negatif maka dianjurkan melakukan evaluasi riwayat

kerja terkait dengan perubahan gejala hidung, patensi hidung dan

peradangan hidung di tempat kerja atau setelah pulang kerja. Penilaian

di tempat kerja merupakan hal pertama yang dipertimbangkan ketika tes

provokasi nasal di laboratorium tidak dapat dilakukan (Moscato G et

al., 2009).

D. Pencemaran Udara

1. Pengertian dan terjadinya pencemaran udara

Peraturan Pemerintah no. 14 tahun 1999, menyebutkan

pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukannya zat atau

meningkatnya kandungan zat energi atau komponen lain ke dalam

udara ambient oleh kegiatan manusia atau alam, sehingga mutu udara

ambient tidak sesuai dengan fungsinya. Penurunan kualitas udara dapat

dikategorikan sebagai pencemaran udara apabila memenuhi dua

ketentuan. Rerata penurunan kualitas udara terjadi sebagai akibat

kegiatan manusia, bukan oleh peristiwa alam. Kedua penurunan

Page 31: 3. Isi Skripsi

31

kualitas udara sampai ke tingkat yang membahayakan atau yang

menimbulkan gangguan bagi kehidupan.

2. Sumber pencemaran udara

Sumber pencemaran udara menurut jenisnya dikelompokan

menjadi dua jenis yaitu :

a. Sumber bergerak, termasuk dalam kelompok ini semua jenis

kendaraan bermotor.

b. Sumber tidak bergerak, adalah sumber emisi yang tetap pada suatu

tempat seperti kegiatan industri (PP no 41, tahun 1999)

Sumber pencemaran menurut sifatnya, dibagi menjadi tiga yaitu :

a. Sumber titik (point sources), yaitu sumber pencemaran yang

berasal dari sumber stasioner tunggal dan dapat diidentifikasikan

keberadaanya, misalkan emisi gas dari cerobong asap pabrik.

b. sumber kawasan (area sources), yaitu sumber pencemaran yang

berasal dari beberapa sumber titik yang berdekatan atau berasal

dari sumber yang bergerak (mobile sources) pada daerah tertentu,

misalnya pencemaran udara pada kawasan tambang gamping di

Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas, atau pencemaran oleh

kepadatan lalu lintas.

c. Sumber segaris, yaitu sumber pencemaran yang berasal dari emisi

yang berbentuk garis. misalnya pencemaran udara dan kebisingan

pesawat terbang pada bandar udara pada saat landing dan take off

(Harsanto, 2001).

Page 32: 3. Isi Skripsi

32

3. Baku mutu ambient

Baku mutu ambient adalah ukuran batas atau kadar zat energi

dan atau komponen yang ada atau seharusnya ada, dan atau unsur

pencemar yang ditenggang keberadaanya dalam udara ambient.

Penentuan baku mutu udara ambient, dilakukan dengan

mempertimbangkan semua faktor yang berpengaruh terhadap dampak

yang diakibatkan oleh adanya zat dalam udara. Beberapa faktor

tersebut adalah faktor lingkungan dan manusia. Oleh karena

keberadaan lingkungan dimasing-masing negara tidak sama. namun

demikian belum semua negara mempunyai baku mutu udara ambient

yang digunakan saat ini adalah baku mutu yang ditetapkan PP No. 41

tahun 1999 setelah lima tahun (Harsanto, 2001; World Bank, 1994).

4. Debu

Debu adalah partikel-partikel yang disebabkan oleh kekuatan

alami atau faktor mekanis, seperti pengolahan, penghancuran,

pelembutan, pengepakan yang cepat peledakan dan sebagainya, yang

berasal dari bahan-bahan organik dan anorganik.

a. Macam-macam debu

1) Debu organik, adalah debu dari bahan organik seperti debu

kapas dan debu daun-daunan.

2) Debu mineral, merupakan debu yang berasal dari senyawa

komplek seperti debu arang, debu silica, debu batubara dan

debu kapur.

Page 33: 3. Isi Skripsi

33

3) Debu metal, merupakan debu dengan berat jenis besar seperti

debu timah hitam, debu arsen dan debu cadmium.

b. Sifat-sifat debu

Sifat-sifat debu dapat dikelompokan menjadi beberapa

golongan:

1) Setting rate, yaitu sifat debu yang cenderung selalu mengendap

karena gaya gravitasi bumi, namun karena relatif kecilnya debu

ini maka cenderung selalu berada di lingkungan.

2) Wetting, yaitu debu yang mempunyai sifat permukaan yang

cenderung selalu basah yang selalu dilapisi lapisan air yang

sangat tipis.

3) Floculation, yaitu debu yang cenderung sering basah sehingga

dapat saling menempel dan menggumpal.

4) Electrical, yaitu yang mempunyai sifat listrik yang tetap, yang

dapat saling tarik-menarik antar partikel yang bermuatan listrik

yang berlawanan. Sifat ini dapat mempercepat proses

penggumpalan debu.

5) Optical properties, yaitu sifat debu yang dapat memancarkan

sinar dapat kamar gelap (Damayanti A, 2006).

Page 34: 3. Isi Skripsi

34

5. Batu kapur

a. Komposisi batu kapur

Komponen utama pembentuk batu kapur atau batu gamping

adalah mineral kalsit (CaCO3), mineral dolomite (CaMg(CO3)2)

dan aragonite (CaCO3). Gabungan dari tiga unsur ini membentuk

warna putih dan bertekstur lembut. Bila ditemukan batu kapur

berwarna kelabu menunjukan batu kapur sudah tidak murni.

Ketidakmurnian ini karena tercampur dengan unsur pasir, tanah

liat, besi oksida, hidroksida dan material organik lainnya (Bonyton,

Robert S, 1980).

Proses terbentuknya batu gamping terjadi selama berjuta-juta

tahun yang lalu. Batu gamping terbentuk dari unsur karbonat zat

kapur yang berasal dari organisme laut seperti kerang-kerangan

dan tiram. karbonat ini merupakan penyusun utama kulit kerang

dan tiram. Pada saat organisme ini mati, kulit kerang dan tulang

yang tertinggal akan didegradasikan menjadi unsur yang lebih kecil

lagi oleh mikroorganisme mikroskopik seperti foraminifera. Hasil

degradasi ini akan membentuk pasir karbonat atau lumpur

karbonat. Karena pengendapan ini terjadi terus-menerus dalam

waktu yang lama dan adanya proses alam, maka endapan pasir dan

lumpur karbonat akan mengeras, sehingga jadilah pegunungan batu

kapur. Sehingga hampir sebagian besar pegunungan batu kapur

berada dekat dengan laut (Damayanti A, 2006).

Page 35: 3. Isi Skripsi

35

b. Proses penambangan batu kapur

Proses penambangan batu kapur dimulai dengan proses

stripping, yaitu pengupasan lahan tambang, yang meliputi proses

pembukaan lahan serta pemindahan tanah penutup. Kegiatan ini

dikerjakan dengan cara manual dengan menggunakan cangkul,

linggis dan sekop. Setelah terlihat batuan kapur proses selanjutnya

adalah pengambilan batu kapur, pengumpulan batu kapur disekitar

lokasi penambangan, kegiatan pengangkutan batu kapur dengan

cara dipikul atau dengan alat pengangkut truk ke tempat tungku

atau tobong pembakaran. Proses pembakaran pada tambang

gamping menggunakan bahan bakar kayu selama 48 jam. Proses

produksi tradisional penambangan batu kapur, memaksa pekerja

berada dalam jarak radius yang sangat dekat dengan sumber

pencemaran berupa debu kapur

Page 36: 3. Isi Skripsi

36

E. Kerangka Teori

Gambar 2.3. Bagan Kerangka Teori Penelitian

Keterangan : : variabel yang tidak diteliti

: variabel yang diteliti

F. Kerangka Konsep

Gambar 2.4. Bagan Kerangka Teori Penelitian

Usia

Lama Kerja

Faktor resiko lain:Tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)Merokok

Rhinitis Akibat Kerja

Variabel Bebas

1. Usia

2. Lama kerja

Variabel Tergantung

Rhinitis akibat kerja

Page 37: 3. Isi Skripsi

37

III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan studi cross-

sectional untuk mengetahui prevalensi rhinitis akibat kerja pada pekerja pabrik

gamping di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten

Banyumas. Penelitian deskriptif adalah peneliti hanya akan menggambarkan

atau mendiskripsikan variabel tertentu dalam suatu penelitian tanpa mencari

hubungan antara variabel (Saryono, 2010).

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek yang mempunyai

karakteristik tertentu yang sesuai dengan penelitian. Populasi dalam

penelitian ini yaitu seluruh pekerja pabrik gamping di Desa

Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas.

2. Sampel

Teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan metode

consecutive sampling dimana subyek yang dijadikan sample penelitian

adalah subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sebagai

berikut:

a. Kriteria inklusi :

1) Pekerja yang bekerja di pabrik gamping di desa Darmakradenan

2) Bersedia menjadi responden penelitian

Page 38: 3. Isi Skripsi

38

b. Kriteria eksklusi :

1) Pekerja yang menderita rhinitis alergika sebelumnya.

C. Definisi Operasional

1. Usia

Usia adalah lamanya hidup dalam hitungan waktu yang dihitung dari

sejak lahir hingga saat penelitian ini dilakukan dalam satuan tahun,

terbagi atas :

a. < 20 tahun

b. 20 – 40 tahun

c. > 40 tahun

2. Lama kerja

Lama kerja adalah rentang waktu sejak responden pertama kali bekerja

hingga saat penelitian dilakukan dan dinyatakan dalam satuan tahun,

terbagi atas :

a. < 5 tahun

b. 5 – 10 tahun

c. > 10 tahun

3. Rhinitis akibat kerja

Rhinitis akibat kerja adalah inflamasi hidung baik bersifat persisten atau

sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore,

gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau hipersekresi yang

disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. Penegakan diagnosis rhinitis

Page 39: 3. Isi Skripsi

39

akibat kerja dapat dilihat dari anamnesis dari riwayat klinis pasien,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti tes patensi hidung

dan penggunaan parameter inflamasi pada sekret hidung, pemeriksaan

hidung, tes imunologi (untuk pasien dengan rhinitis akibat kerja karena

alergi), dan Nasal Provocation Test (NPT)/ tes provokasi hidung.

D. Tata Urutan Kerja

1. Tahap Persiapan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan meliputi :

a. Penyusunan proposal

Penyusunan proposal dilakukan setelah usulan judul penelitian disetujui

oleh komisi KTI. Penyusunan proposal Bab I, Bab III, dan Bab III

ditulis berdasarkan referensi yang ada dan dengan bimbingan dari

pembimbing 1 dan pembimbing 2.

b. Seminar proposal

Seminar proposal dilaksanakan setelah isi proposal mendapatkan

perbaikan dan sudah mendapat persetujuan dari pembimbing 1 dan

pembimbing 2 untuk melaksanakan seminar proposal.

2. Tahap pelaksanaan

Tahap pelaksanaan, meliputi pengumpulan data penelitian dengan

mengambil data dari keseluruhan sampel

Dalam pengambilan data dari responden untuk penelitian ini, langkah-

langkah yang dilakukan adalah:

Page 40: 3. Isi Skripsi

40

a. Pendataan responden penelitian

Pendataan disini meliputi nama responden dan jumlah dari

keseluruhan reponden yang akan berpartisipasi dalam penelitian ini.

b. Penjelasan penelitian

Responden akan dijelaskan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

penelitian ini dengan memberikan lembar penjelasan penelitian yang

meliputi judul penelitian dan langkah-langkah dalam penelitian yang

akan dilakukan peneliti.

c. Informed concent

Informed concent atau surat persetujuan tindakan medik diajukan

kepada responden sebagai bukti bahwa responden telah menyetujui

segala tindakan yang akan dilakukan oleh peneliti dalam melakukan

penelitian ini.

d. Kuesioner

Kuesioner berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan rhinitis akibat

kerja, kemudian akan diisi oleh responden

e. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik akan dilakukan oleh dokter spesialis THT untuk

menegakkan diagnosis rhinitis akibat kerja.

f. Obeservasi

Untuk menguji validitas jawaban dari responden setelah pengisian

kuesioner.

Page 41: 3. Isi Skripsi

41

E. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini diambil dengan kuesioner

serta pemeriksaan fisik. Kuesioner yang digunakan, bertujuan untuk

membantu penegakan diagnosis dari rhinitis akibat kerja. Pertanyaan yang

diajukan sebanyak 22 pertanyaan dengan 2 pilihan jawaban. Untuk nomor 2-9

bertujuan untuk membantu penegakan diagnosis rhinitis akibat kerja selain

dari pemeriksaan fisiknya. Penilaian untuk nomor 10-16 yang dinilai adalah

pola gejala (hilang timbul, menetap) dan faktor predisposisi termasuk riwayat

keluarga. Nomor 17 dan 18 untuk melihat ada atau tidaknya faktor pencetus

rhinitis akibat kerja yang didapatkan dari responden. Dan untuk nomor 19-22

digunakan untuk menilai apakah ada sarana perlindungan kesehatan di tempat

kerja responden.

Selain itu, penegakan diagnosis rhinitis akibat kerja juga dilakukan

dengan pemeriksaan fisik meliputi tanda dan gejala rhinitis akibat kerja serta

penegakan diagnosis dengan rhinoskopi anterior dan lain sebagainya.

F. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam proses pengolahan data

diantaranya:

a. Editing

Editing merupakan upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data

yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap

pengumpulan data atau setelah data terkumpul (Hidayat, 2007).

Page 42: 3. Isi Skripsi

42

b. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap

data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat

penting bila pengolahan dan analisis menggunakan komputer.

Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya

dalam satu buku (code book) untuk memudahkan kembali lokasi dan

arti suatu kode dari suatu variabel (Hidayat 2007).

c. Tabulating

Setelah editing dan coding selesai dilakukan langkah selanjutnya yang

ditempuh ialah mengelompokkan data tersebut ke dalam suatu tabel

tertentu menurut sifat-sifat yang dimilikinya, sesuai dengan tujuan

penelitian (Hidayat, 2007).

2. Analisis Data

Sejalan dengan jenis penelitian maka jenis analisis yang digunakan

adalah analisis univariat. Pada analisis univariat, data yang diperoleh dari

hasil pengumpulan dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi

frekuensi. Analis univariat yang digunakan adalah prevalensi rate, mean,

dan standar deviasi.

Proporsi adalah suatu perbandingan antara suatu jumlah kejadian

sebagai pembilang dengan seluruh kejadian dimana pembilang menjadi

sebagian dari penyebut, biasa disebut juga persentase. Analisis proporsi

menunjukkan gambaran umum karakteristik suatu fenomena.

Page 43: 3. Isi Skripsi

43

G. Etika Penelitian

Menurut Hidayat (2007), masalah etika penelitian merupakan masalah

yang sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian kesehatan

berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus

diperhatikan. Masalah etika penelitian yang harus diperhatikan adalah sebagai

berikut:

1. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.

Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan

memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan

informed consent adalah agar subyek mengerti maksud dan tujuan

penelitian, mengetahui dampaknya.

2. Anonimity (tanpa nama)

Masalah etika kebidanan merupakan masalah yang memberikan

jaminan dalam penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang

akan disajikan.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Masalah ini merupakan etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalaah

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya

Page 44: 3. Isi Skripsi

44

oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada

riset.

H. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai April 2012. Penelitian

ini dilakukan di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten

Banyumas.

I. Jadwal Penelitian

Tabel 3.1 Tabel Jadwal Penelitian

No. Rencana Kegiatan

Waktu (Bulan Ke-)

1 2 3 4

1.Persiapan Proposal Penelitian √ √

2.Seminar Proposal Penelitian √

3. Pelaksanaan Penelitian √ √

4.Pengolahan dan Analisis Hasil Penelitian √ √

5.Penyusunan Laporan Akhir Penelitian √ √

6. Seminar Hasil Penelitian √