1797 chapter ii
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. BENDUNGAN PENAHAHAN SEDIMEN
2.1.1. Uraian Umum
Lahar yang terdapat pada lereng bagian hulu Gunung Merapi dan curah
hujan yang sangat deras dalam waktu lama dengan intensitas tinggi, dapat
menyebabkan bahaya banjir lahar dingin atau bahaya sekunder. Bahaya sekunder
diakibatkan oleh mengalirnya air yang membawa endapan berupa material yang
sebelumnya menumpuk pada lereng bagian hulu. Endapan awan panas pada
lereng bagian hulu merupakan endapan material yang lepas yang sewaktu terjadi
hujan akan hanyut ke hilir dalam bentuk banjir lahar. Hujan dengan kondisi 50
mm/jam sudah perlu diwaspadai akan terjadinya banjir lahar. Kecepatan aliran
lahar dapat mencapai 36 km/jam dan konsentrasi endapan material sedimen yang
diendapkan dapat mencapai 40 %. Dengan kecepatan yang cukup besar dan
kandungan yang besar tersebut, aliran akan bersifat merusak terhadap apapun
yang dilalui aliran tersebut. Oleh karena itu untuk mengurangi besarnya sedimen
yang dibawa oleh aliran lahar dan mengurangi kecepatan aliran maka perlu
adanya pengendalian banjir lahar dingin.
Prinsip-prinsip pengendalian banjir lahar dingin antara lain :
Menampung endapan sedimen di daerah hulu dan mengurangi produksi
sedimen dari alur sungai dan tebing sungai dengan membangun dam penahan
sedimen ( sabo dam ).
Menahan endapan sedimen di daerah endapan dengan membangun kantong-
kantong lahar dan tanggul.
Mengarahkan aliran banjir di daerah hilir dengan pembuatan dam konsolidasi,
tanggul, dan perbaikan alur sungai.
Upaya penanggulangan masalah erosi dan sedimentasi telah lama di
lakukan di Indonesia dengan menitik beratkan pada upaya pencegahan dengan
menggunakan teknologi sederhana berupa penghutanan dan bendung pengendali
sedimen. Teknologi sabo mulai dikenalkan di Indonesia sejak kedatangan tenaga
8
ahli sabo dari Jepang, Mr. Tomoaki Yokota, pada tahun 1970. Sabo berasal dari
bahasa Jepang yang terdiri dari dua kata yaitu sa yang berarti pasir dan bo yang
berati pengendalian, dengan demikian secara harfiah sabo mengandung pengertian
pengendali pasir. Akan tetapi dalam kenyataannya sabo merupakan suatu sistem
penanggulangan bencana alam akibat erosi dan sedimentasi. Termasuk di
dalamnya erosi dan sedimentasi yang disebabkan oleh adanya lahar hujan,
sedimen luruh, tanah longsor, dan lain-lain.
Bentuk sabo dam memiliki perbedaan dengan bangunan bendung seperti
di bawah ini :
main dam
lubang drainasesub dam
Gambar 2.1. Sketsa memanjang sabo dam
lantai hulu
mercu
lantai terjun
R2R1
Gambar 2.2. Sketsa memanjang bendung
Ada beberapa macam bangunan sabo antara lain :
Dam konsolidasi : untuk mengurangi produksi sedimen dari alur dan tebing
sungai.
Check dam : untuk menampung dan mengendalikan sedimen.
Sandpocket : untuk menahan endapan sedimen di daerah endapan.
Tanggul : untuk mengarahkan aliran banjir dan mengurangi pengikisan
tebing.
9
Jenis pekerjaan sabo terbagi atas dua bagian, yaitu :
1. Pekerjaan langsung, yaitu pemantapan lereng bukit sebagai upaya pencegahan
terjadinya erosi, antara lain sengkedan, penghutanan, bendung pengendali
sedimen, dan lain-lain.
2. Pekerjaan tidak langsung, sebagai upaya pengendalian aliran sedimen dan
sedimen luruh ( debris flow ), antara lain bendung penahan sedimen, kantong
sedimen, normalisasi / kanalisasi alur, tanggul dan lain-lain.
Aliran debris adalah aliran sedimen ( lahar ) dalam jumlah yang banyak
akibat erupsi lahar yang disertai awan panas dan mengalir ke sungai berdasarkan
kemiringan gunung.
2.1.2. Pola Penanggulangan Banjir Lahar Dingin
Salah satu gunung teraktif di Indonesia adalah Gunung Merapi, letusan
yang terus menerus pada Gunung Merapi akan menimbulkan kubah lava dengan
volume yang cukup besar. Massa lava yang dikeluarkan dari Gunung Merapi
dapat mencapai jutaan meter kubik, untuk itu Gunung Merapi ini bertipe eruption.
Dengan tingkat intensitas hujan yang cukup tinggi akan mengakibatkan kubah
lava yang berada pada bagian hulu akan berpotensi bergerak ke bawah terbawa
oleh air menuju sungai-sungai sampai ke hilir sebagai aliran debris atau aliran
lahar dingin. Pergerakan aliran debris bila tidak diantisipasi dengan baik akan
menimbulkan bahaya banjir lahar dingin yang akan membahayakan kehidupan
manusia di sekitarnya termasuk fasilitas-fasilitas di sekitar gunung.
Daerah produksi sedimen adalah daerah yang terletak pada lereng bagian
hulu dengan kemiringan > 6 %. Penanggulangan banjir lahar dingin pada daerah
produksi sedimen ini dapat diantisipasi dengan cara membuat bangunan penahan
sedimen, dam konsolidasi dan dam pengarah aliran. Dengan dibuat bangunan ini
diharapkan dapat mengurangi besarnya aliran debris dan memperkecil kecepatan
aliran tersebut.
Pada daerah transportasi sedimen, yaitu daerah yang memiliki kemiringan
berkisar antara 3 % s/d 6 % yang merupakan daerah perkampungan dan pertanian,
10
dapat diantisipasi dengan cara membangun dam konsolidasi, normalisasi alur,
dam penahan sedimen / sabo, dan tanggul.
Sedangkan daerah endapan sedimen, yaitu daerah yang terletak pada
bagian hilir dengan kemiringan < 3 % dapat diatasi dengan membangun bangunan
kantong lumpur, dam konsolidasi, dan normalisasi aliran.
Pada penyusunan tugas akhir ini penulis akan merencanakan dam penahan
sedimen / sabo yang terletak pada daerah transportasi sedimen. Sedangkan untuk
bendung direncanakan terletak di bawah sabo dam.
2.1.3. Pemilihan Letak Bangunan
a. Penentuan lokasi sabo dam
Dalam penentuan lokasi sabo dam yang perlu diperhatikan adalah :
Sabo dam dibangun pada sungai daerah transportasi lahar yaitu pada
daerah yang memiliki kemiringan 3 % s/d 6 % dimana sedimen yang
melewati sungai tersebut masih banyak.
Sabo dam dibangun pada sungai yang kemiringannya belum stabil
sehingga akan menyebabkan tingkat erosi yang tinggi karena kecepatan
aliran yang besar.
b. Penentuan lokasi bendung
Bendung diletakkan pada kedalaman sungai yang tidak terlalu dalam
sehingga tanggul sungai tidak terlalu tinggi.
Bendung diletakkan pada sungai yang lurus. Hal ini untuk menghindari
endapan sedimen karena pada tikungan sungai bagian dalam arus yang
terjadi kecil sehingga sedimen akan mengalami pengendapan.
Bendung diletakkan pada alur sungai yang memiliki kecepatan dan arah
air relatif sedang atau kecil.
Agar dapat mengairi seluruh daerah irigasi yang direncanakan maka letak
mercu bendung direncanakan lebih tinggi dari elevasi daerah irigasi
tertinggi.
Bendung direncanakan terletak pada tanah yang memiliki daya dukung
cukup baik sehingga bangunan akan stabil.
11
Bendung diletakkan pada daerah alur sungai yang memiliki kedalaman
muka air pada waktu debit banjir relatif sedang atau kecil.
2.1.4. Alternatif Letak Bendung Terhadap Sabo Dam
Letak bendung terhadap sabo dam mempunyai 3 alternatif antara lain
sebagai berikut :
a. Alternatif 1
Pada alternatif 1 letak bendung berada di atas sabo dam yang memiliki ciri-
ciri antara lain :
Kecepatan air besar.
Debit air yang diambil akan besar.
Material sedimen yang terbawa arus sungai akan dapat tertahan dahulu
pada bendung.
Dibutuhkan pintu penguras dengan dimensi yang besar sebagai tempat
untuk dilewati sedimen dalam volume besar saat pengurasan.
Dibutuhkan biaya yang besar untuk pelaksanaannya.
b. Alternatif 2
Pada alternatif 2 letak bendung berada di bawah sabo dam yang memiliki ciri-
ciri antara lain :
Besar debit yang diambil saluran utama akan kecil karena sebagian debit
air akan terhambat oleh sabo dam, hal ini akan sangat berkurang pada saat
debit sungai waktu kemarau panjang.
Kecepatan air semakin kecil.
Dibutuhkan biaya pelaksanaan atau pembuatan yang besar.
c. Alternatif 3
Pada alternatif 3 letak bendung berada di samping sabo dam yang memiliki
ciri-ciri antara lain :
Letak bendung di samping sabo untuk mencegah sedimen tidak menuju
bendung, maka diberi dinding pengarah di antara bendung dan sabo.
Besar debit air yang menuju bendung tergantung lebar saluran yang
menuju bendung.
12
Kecepatan air lebih besar dari pada kecepatan rata-rata aliran sungai,
sehingga sangat menguntungkan.
Dari 3 alternatif di atas dipilih alternatif 2 yaitu letak bendung di bawah
sabo dam dalam satu alur sungai, pertimbangannya adalah sebagai berikut :
Apabila letak bendung berada di atas sabo dam pada alur sungai, maka
sedimen tidak bisa dilewatkan karena tertahan oleh bangunan bendung.
Bila letak bendung di atas atau di samping sabo dam maka bila terjadi banjir
lahar dikhawatirkan bendung rusak berat seperti pengalaman yang telah
terjadi. Untuk itu letak bendung direncanakan berada di bawah sabo dam. Hal
ini dimaksudkan agar aliran debris atau material sedimen yang terbawa arus
sungai dapat tertahan dulu oleh sabo dam sebagai mana fungsinya sebagai
bangunan penahan sedimen, sehingga bendung tidak akan rusak oleh material
sedimen.
2.2. ANALISA MEKANIKA TANAH
Analisa tanah sangat penting untuk mengetahui jenis tanah dan daya
dukung tanah pada daerah yang akan direncanakan bangunan. Analisa tanah
dilakukan dengan pengambilan sampel yang ada di lokasi yang akan dibangun,
pada proyek ini pengambilan sampel pada sisi kanan dan sisi kiri dasar sungai
Kali Putih. Selain pengambilan sampel dapat juga dengan menggunakan nilai
standar. Tetapi akan lebih baik jika analisa tanah berasal dari pengambilan sampel
di lokasi.
Tabel 2.1. Nilai Standar Rata-rata
Berat spesifik tanah ( Gs )
Kadar air optimum W ( % )
Berat satuan ( t/m3 )
Kohesi C (t/m2)
Berat isi kering dγ (t/m3)
Berat basahtγ (t/m3)
Berat jenuh γ sat (t/m3)
2.70 7.4 1.78 1.91 2.12 - dalam Tim Proyek Pengendalian Banjir Lahar Gunung Merapi Yogyakarta, 1988
13
Adapun data tanah yang diperlukan adalah sebagai berikut :
1. Berat spesifik tanah atau specific gravity ( Gs )
Berat spesifik tanah merupakan perbandingan antara berat isi butiran tanah
dan berat isi air murni dengan volume yang sama, pada temperatur tertentu.
Sebagian besar mineral-mineral tanah memiliki berat spesifik sebesar 2,6
sampai dengan 2,9.
Rumus yang digunakan ( dalam Das, 1995 ) adalah sebagai berikut :
Gs =w
swγ
…….(2.1)
dimana :
Gs = berat spesifik tanah
w s = berat butiran padat (ton)
wγ = berat jenis air (ton/m3)
2. Berat isi kering ( dγ )
Berat isi kering ( dalam Das, 1995 ) merupakan berat volume kering
tanah, dimana volume rongga tanah hanya terisi oleh udara.
dγ = e
G ws
+1.γ …….(2.2)
dimana :
dγ = berat isi kering tanah (ton/m3)
wγ = berat jenis air (ton/m3)
e = angka pori
3. Kadar air optimum ( w )
Kadar air optimum ( dalam Das, 1995 ) merupakan perbandingan antara
berat air pada tanah dengan berat batuan padat tanah tersebut.
w = s
w
ww ……(2.3)
dimana :
w = kadar air optimum (%)
ww = berat air (ton)
14
sw = berat batuan padat (ton)
4. Kuat geser Tanah
Kekuatan geser tanah dibagi dalam dua komponen yaitu :
Kekuatan kohesi yang tergantung dari macam tanah dan kepadatannya,
tetap tidak tergantung dari tegangan vertikal yang bekerja pada bidang
geseran.
Kekuatan gesekan yang besarnya berbanding lurus dengan tegangan
vertikal yang bekerja pada bidang geseran.
Dari kuat geser tanah didapatkan nilai sudut geser tanah (θ ) dan kohesi ( c ).
5. Permeabilitas ( k )
Permeabilitas adalah kemampuan struktur tanah untuk dapat dirembesi oleh
air. Tingkat permeabilitas suatu bahan biasanya ditandai dengan angka
koefisien permeabilitas dengan satuan cm/det. Nilai standar permeabilitas
dapat digunakan angka rata-rata yaitu k = 1.10 x 10-2 cm/det ( dalam Tim
Proyek Pengendalian Banjir Lahar Gunung Merapi Yogyakarta, 1988 )
2.3. ANALISA HIDROLOGI
Analisa hidrologi sangat penting untuk memperkirakan debit banjir rencana.
Debit banjir ini diperlukan untuk merencanakan tipe, bentuk, dan ukuran hidrolis
bangunan pengendali sedimen ( sabo dam ) dan bendung. Data – data yang
diperlukan adalah data-data mengenai curah hujan yang terjadi serta luas daerah
aliran sungai. Rangkaian data yang diperlukan tersebut harus periodik dan
kontinyu.
2.3.1. CURAH HUJAN DAERAH
Data curah hujan didapat dari stasiun-stasiun yang berada di sekitar
Gunung Merapi.
2.3.1.1. Penetuan Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai ditentukan berdasarkan topografi daerah tersebut,
dimana daerah aliran sungai tersebut dibatasi oleh punggung-punggung bukit di
antara dua buah sungai sampai ke sungai yang ditinjau. Kita dapat menentukan
15
daerah aliran sungai pada peta topografi dengan cara membuat garis imajiner yang
menghubungkan titik-titik yang memiliki elevasi kontur tertinggi di sebelah kiri
dan kanan sungai yang ditinjau.
2.3.1.2. Perhitungan Curah Hujan Rerata
Curah hujan rerata dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa
metode antara lain :
a. Metode Rata-rata Aljabar.
Cara ini digunakan apabila :
Daerah tersebut berada pada daerah yang datar.
Penempatan alat pengukur tersebar merata.
Variasi curah hujan sedikit dari harga tengahnya.
Rumus yang digunakan ( dalam Wahyuni, 2002 ) adalah sebagai berikut :
R = 1/n (R1 + R2 + …+ Rn ) …….(2.4)
dimana :
R = curah hujan ( mm )
R1, R2, …, Rn = curah hujan pada stasiun 1, 2, …, n ( mm )
n = jumlah stasiun pengamatan
b. Metode Thiessen
Metode ini digunakan dengan ketentuan :
Daerah dibagi menjadi poligon, dimana stasiun pengamatannya sebagai
pusat.
Penambahan stasiun pengamatan akan mengubah seluruh jaringan.
Tidak memperhitungkan topografi.
Lebih baik dari rata-rata aljabar jika curah hujan di tiap-tiap stasiun tidak
merata.
Rumus yang digunakan ( dalam Wahyuni, 2002 ) adalah sebagai berikut :
R = n
nn
AAARARARA
++++++
.........
21
2211 …….(2.5)
16
dimana :
R = curah hujan ( mm )
R1, R2, …, Rn = curah hujan pada stasiun pengamatan 1, 2, …, n ( mm )
A1, A2, …, An = luas derah pada poligon 1, 2, …, n (km2)
c. Cara Isohiet
Metode ini digunakan dengan ketentuan :
Dapat digunakan pada daerah datar maupun pegunungan.
Jumlah stasiun pengamatan harus banyak.
Bermanfaat untuk hujan yang sangat singkat.
Rumus yang digunakan ( dalam Wahyuni, 2002 ) adalah sebagai berikut :
R = ∑∑
i
ii
ARA .
…….(2.6)
dimana :
Ai = luas daerah isohiet antara Ri dan Ri-1 ( mm )
Ri = besarnya curah hujan pada garis isohiet Ri ( km2 )
Pada penyusunan tugas akhir ini untuk keperluan perencanaan, data hujan
yang digunakan adalah hasil perhitungan dengan metode rata-rata aljabar, karena
cara ini akan memberikan koreksi terhadap besarnya hujan sebagai fungsi rata-
rata tinggi hujan selama jangka waktu tertentu. Dengan cara ini akan akurat jika
stasiun hujan tersebar merata dan variasi hujan tahunan yang tidak terlalu tinggi.
2.3.2. ANALISA FREKUENSI CURAH HUJAN RENCANA
2.3.2.1.Pengukuran Dispersi
Tidak semua variat dari suatu variabel hidrologi terletak atau sama dengan
nilai rata-ratanya, akan tetapi kemungkinan ada nilai variat yang lebih besar atau
lebih kecil dari rata-ratanya. Besarnya derajat dari sebaran variat di sekitar nilai
rata-ratanya disebut dengan variasi atau dispersi. Cara mengukur besarnya
dispersi disebut dengan pengukuran dispersi.
17
Macam cara pengukuran dispersi antara lain adalah sebagai berikut :
a. Deviasi Standar ( S )
Rumus yang digunakan ( dalam Soewarno, 1995 ) adalah sebagai berikut :
S = 1
)(1
2
−
−∑=
n
XXn
ii
.……(2.7)
dimana :
S = deviasi standar
Xi = nilai variat ke i
X = nilai rata-rata variat
n = jumlah data
b. Koefisien Skewness ( Cs )
Kemencengan ( skewness ) adalah suatu nilai yang menunjukkan derajat
ketidaksimetrisan dari suatu bentuk distribusi.
Rumus yang digunakan ( dalam Soewarno, 1995 ) adalah sebagai berikut:
Cs = 31
3
)2)(1(
)(
Snn
XXn
ii
−−
−∑= ……(2.8)
dimana :
Cs = koefisien skewness
Xi = nilai variat ke i
X = nilai rata-rata variat
n = jumlah data
S = deviasi standar
c. Pengukuran Kurtosis ( Ck )
Koefisien kurtosis digunakan untuk menentukan keruncingan kurva dari
bentuk kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi
normal.
18
Rumus yang digunakan ( dalam Soewarno, 1995 ) adalah sebagai berikut :
Ck = 41
4
)3)(2)(1(
)(1
Snnn
XXn
n
ii
−−−
−∑= …….(2.9)
dimana :
Ck = koefisien kurtosis
Xi = nilai variat ke i
X = nilai rata-rata variat
n = jumlah data
S = deviasi standar
d. Koefisien Variasi
Koefisien variasi adalah nilai perbandingan antara deviasi standar dengan
nilai rata-rata hitung suatu distribusi.
Rumus yang digunakan ( dalam Soewarno, 1995 ) adalah sebagai berikut :
Cv = XS …….(2.10)
dimana :
Cv = koefisien variasi
X = nilai rata-rata variat
e. Pemilihan jenis sebaran
Ada beberapa tipe distribusi :
Distribusi Normal
dimana Cs ≈ 0
Distribusi Log Normal
dimana Cs ≈ 3 Cv + Cv3
Cs = 0,81
Distribusi Gumbel Tipe I
dimana CS 139,1≈
Ck 4002,5≈
19
Distribusi Log Pearson Tipe III
dimana Cs 0≠
Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi, di antaranya yang banyak
digunakan dalam bidang hidrologi adalah distribusi normal, distribusi Gumbel
tipe I, dan distribusi Pearson tipe III. Pemilihan jenis sebaran dilakukan
berdasarkan syarat-syarat dan hasil perhitungan, kemudian dilakukan prosedur
selanjutnya yaitu :
1. Hitung nilai probabilitas untuk setiap harga pengamatan.
Digunakan distribusi Gumbel tipe I karena hasil perhitungan sebaran
mendekati syarat distribusi jenis ini yaitu untuk CS 139,1≈ dan Ck ≈ 5,4002
( dalam Soewarno, 1995 ).
P (X )x≤ = ey
e−
− )( …….(2.11)
Y = a (X – Xo)
a = 1,283/S
Xo = X – 0,455S
dimana :
P (X )x≤ = fungsi densitas peluang Gumbel tipe I
e = 2,71828
Y = faktor reduksi Gumbel
X = besar curah hujan pada periode tertentu
x = nilai curah hujan rata-rata
S = deviasi standar
2. Rangking data
3. Tentukan plotting position
4. Plot sampel data pada kertas probabilitas dimana sumbu x adalah data curah
hujan dan sumbu y adalah nilai probabilitas.
Selain dengan cara diatas pengujian kecocokan sebaran perlu dilakukan juga
dengan cara Chi-kuadrat. Pengujian Chi-kuadrat dimaksudkan untuk
menentukan apakah persamaan distribusi peluang yang telah dipilih dapat
mewakili dari distribusi statistik sampel data yang dianalisis.
20
Rumus yang digunakan ( dalam Soewarno, 1995 ) adalah sebagai berikut :
Xh2 = ∑
=
−G
i i
ii
EEO
1
2)( …….(2.12)
dimana :
Xh2 = parameter Chi-kuadrat
G = jumlah sub-kelompok
Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub-kelompok ke I
Ei = jumlah nilai teoritis pada sub-kelompok ke I
Prosedur uji Chi-kuadrat adalah sebagai berikut :
1. Urutkan data pengamatan dari yang terbesar ke terkecil atau
sebaliknya.
2. Kelompokkan data menjadi G sub-group, tiap-tiap sub-group minimal
empat data pengamatan.
3. Jumlahkan data pengamatan sebesar Oi, tiap-tiap sub-group.
4. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebasar Ei
5. Tiap-tiap group hitung nilai :
( Oi – Ei )2 dan i
ii
EEO 2)( −
6. Jumlah seluruh G sub-group i
ii
EEO 2)( − untuk menentukan nilai Chi-
kuadrat
7. Tentukan derajad kebebasan dk = G – R – 1 ( nilai R = 2 untuk
distribusi normal dan binomial dan R = 1 untuk distribusi poisson dan
Gumbel ).
Interprestasi hasilnya adalah sebagai berikut :
3. Apabila peluang lebih dari 5 % maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan dapat diterima
4. Apabila peluang lebih kecil 1 % maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan dapat diterima
5. Apabila peluang antara 1 % - 5 %, maka tidak mungkin mengambil
keputusan, perlu tambahan data.
21
2.3.3. PERHITUNGAN DEBIT BANJIR RENCANA
Perhitungan debit banjir rencana di Kali Putih dengan mengambil periode
masa ulang 50 tahun, dan digunakan beberapa metode pendekatan antara lain :
a. Metode Rasional
Perhitungan metode rasional ( dalam Sosrodarsono dkk, 1985 ) menggunakan
rumus sebagai berikut :
Q = Arf ..6,3
1 …….(2.13)
dimana :
Q = debit banjir rencana ( m3/det )
f = koefisien pengaliran
r = intensitas hujan selama t jam ( mm/jam )
r = 3/2
24 2424
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
TR
R24 = curah hujan harian ( mm )
T = wl
T = waktu konsentrasi ( jam )
W = 20 l
H 6,0
( m/det )
w = 72 l
H 6,0
( Km/jam )
w = waktu kecepatan perambatan ( m/det atau km/jam )
l = jarak dari ujung daerah hulu sampai titik yang ditinjau ( km )
A = luas DAS ( km2 )
H = beda tinggi ujung hulu dengan tinggi titik yang ditinjau ( m )
Koefisien pengaliran ( f ) tergantung dari beberapa faktor antara lain jenis
tanah, kemiringan, vegetasi, luas dan bentuk pengaliran sungai. Sedang
besarnya nilai koefisien pengaliran dapat dilihat pada Tabel 2.2.
22
Tabel 2.2. Koefisien Pengaliran Kondisi Daerah Pengaliran Koefisien Pengaliran ( f )
Daerah pegunungan berlereng terjal 0,75-0,90
Daerah perbukitan 0,70-0,80
Tanah bergelombang dan semak-semak 0,50-0,75
Tanah daratan yang ditanami 0,45-0,65
Persawahan irigasi 0,70-0,80
Sungai di daerah pegunungan 0,75-0,85
Sungai kecil di daratan 0,45-0,75
Sungai besar yang setengah dari daerah pengaliranya terdiri dari daratan 0,50-0,75
dalam Sosrodarsono, 1989
b. Metode Wudewen
Rumus debit banjir rencana Metode Wudewen yang digunakan ( dalam
Wahyuni, 2002 ) adalah sebagai berikut :
Qt = Aqn...βα …….(2.14)
dimana :
α = )7(
1,41+
−qβ
β = )120(
))9/()1((120A
Att+
+++
qn = ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛+ 45,1
65,67240 tRn
t = 25,0125,0 ...25,0 −− IQL
dimana :
Qt = debit banjir rencana ( m3/det )
Rn = curah hujan maksimum ( mm/hari )
α = koefisien limpasan
β = koefisien pengurangan daerah untuk curah hujan DAS
qn = debit per satuan luas ( m3/det km2 )
23
A = luas daerah pengaliran ( km2 ) sampai 100 km2
t = lamanya curah hujun ( jam )
L = panjang sungai ( km )
I = gradien sungai atau medan yaitu kemiringan rata-rata
sungai ( 10 % bagian hulu dari panjang sungai tidak dihitung. Beda
tinggi dan panjang diambil dari suatu titik 0,1 L dari batas hulu DAS ).
Langkah kerja perhitungan debit banjir dengan Metode Wudewen adalah
sebagai berikut :
Hitung A, L, dan I dari peta garis tinggi DAS, substitusikan kedalam
persamaan.
Buat harga perkiraan untuk Q1 dan gunakan persamaan di atas untuk
menghitung besarnya t, qn, α , dan β .
Setelah besarnya t, qn, α , dan β didapat kemudian dilakukan literasi
perhitungan untuk Q2.
Ulangi perhitungan sampai dengan Qn = Qn-1 atau mendekati nilai tersebut.
Metode Wudewen digunakan untuk curah hujan sampai 240 mm.
3. Metode Haspers
Perhitungan debit banjir rencana dengan Metode Haspers menggunakan
persamaan sebagai berikut :
Q = xqxAkxβ (m3/det) …….(2.15)
dimana :
k = 7,0
7,0
075,01012,01
xAxA
++
=β1
12)1(107,31
75,0
2
4,0 Axt
xt t
++
+−
t = 3,08,01,0 −xIxL
q = )6,3( xt
r
r = )1( +t
txRt
24
dimana :
Q = debit banjir periode ulang tertentu
k = koefisien run off
β = koefisien reduksi
q = intensitas hujan yang diperhitungkan (m3/det/km2)
A = luas DAS (km2)
L = panjang sungai
I = kemiringan sungai
r = distribusi hujan
q = intensitas hujan
2.3.4. PERENCANAAN DEBIT BANJIR BANGUNAN SABO
Debir banjir rencana dalam perencanaan ini adalah debit yang timbul
akibat adanya gabungan massa air dan massa sedimen yang tererosi yang
diperkirakan melimpas pada alur Kali Putih. Besarnya debit banjir rencana dapat
ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
Qd = α . Qp …….(2.16)
dimana :
Qd = debit banjir rencana ( m3/det )
Qp = debit banjir puncak ( m3/det )
α = konsentrasi kandungan sedimen
α = dCC
C−**
C* = 0,6 ( untuk aliran debris )
Cd = )tan)(tan1/(
tanθφρρ
θ−−ws
wρ = berat volume air ( gr/cm3 )
sρ = berat volume sedimen (gr/cm3 )
tanθ = kemiringan dasar sungai
tanφ = koefisien gesekan dalam sedimen
25
2.4. PERENCANAAN SABO DAM
2.4.1. PERENCANAAN MAIN DAM
2.4.1.1. Tinggi Efektif Main Dam
Tinggi efektif main dam direncanakan dengan tinggi tertentu agar dam
penahan memiliki daya tampung yang cukup besar. Dalam penentuan tinggi main
dam ditentukan oleh ketinggian tebing pada sisi kiri dan kanan sungai serta
kondisi tanah pada tebing tersebut. Selain itu ketinggian main dam juga
direncanakan berdasarkan dengan kemiringan dasar sungai stabil dan atau berada
di bawah ketinggian tebing sungai agar pada saat terjadi limpasan air, air tidak
meluap ke kiri dan kanan sungai.
hm main dam
Gambar 2.3. Sketsa tinggi efektif main dam
keterangan :
hm = tinggi efektif main dam ( m )
Untuk kemiringan dasar sungai stabil ( dalam Sugiyanto, 2002 ) digunakan
rumus sebagai berikut :
Is =7/67/10
2 .10.9,80
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
dQnB
ggd …….(2.17)
dimana :
Is = kemiringan dasar sungai stabil
d = diameter butiran material dasar sungai ( m )
g = percepatan gravitasi = 9,8 m/det2
B = lebar sungai ( m)
h = kedalaman air banjir ( m )
n = koefisien kekasaran manning
26
Qd = debit banjir rencana ( m3/det )
2.4.1.2. Perencanaan Lebar Peluap Main Dam
Untuk menghitung lebar peluap main dam digunakan rumus sebagai berikut :
B1 = a . dQ ………(2.18)
dimana :
B1 = lebar peluap ( m )
Qd = debit banjir rencana ( m3/det )
a = koefisien limpasan
B1
Gambar 2.4. Sketsa lebar peluap main dam
keterangan :
B1 = lebar peluap ( m )
Besarnya koefisien limpasan tergantung dari luas DAS, dapat dilihat pada
Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Tabel Nilai Koefisien Limpasan ( a )
Luas Daerah Aliran Koefisien Limpasan ( a ) A ≤ 1 km2
1 km2 ≤ A ≤ 10 km2 10 km2 ≤ A ≤ 100 km2
A ≥ 100 km2
2 – 3 3 – 4 3 – 5 3 – 6
dalam Tim Proyek Pengendalian Banjir Lahar Gunung Merapi Yogyakarta, 1988
2.4.1.3. Tinggi Limpasan di Atas Paluap ( hw )
Debit yang mengalir di atas peluap dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Qd = ( 2/15 ).Cd. g2 .( 3B1 + 2B2 ). hw3/2 ………(2.19)
27
dimana :
Qd = debit banjir rencana ( m3/det )
Cd = koefisien debit ( 0,6 – 0,66 )
g = percepatan gravitasi ( 9,8 m3/det )
B1 = lebar peluap bagian bawah ( m )
B2 = lebar muka air di atas peluap ( m )
hw = tinggi air di atas peluap ( m )
w = tinggi jagaan ( m )
hw
Gambar 2.5. Sketsa tinggi limpasan di atas peluap
2.4.1.4. Tinggi Jagaan
Tinggi jagaan diperhitungkan berdasarkan debit banjir rencana. Tinggi
jagaan diperhitungkan untuk menghindari meluapnya aliran air ke samping.
Tinggi jagaan dapat ditentukan berdasarkan debit banjir rencana sesuai dengan
Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Tinggi Jagaan
Debit Rencana ( m3/det ) Tinggi Jagaan ( m ) Q ≤ 200
200≤ Q ≤ 500 Q ≥ 500
0,60 0,80 1,00
dalam Tim Proyek Pengendalian Banjir Lahar Gunung Merapi Yogyakarta, 1988
2.4.1.5. Tebal Mercu Peluap Main Dam
Tebal mercu peluap harus diperhitungkan terhadap segi stabilitas dan
kemungkinan kerusakan akibat hidraulik aliran debris. Mercu berbentuk ambang
lebar. Sebagai pedoman penentuan lebar mercu peluap digunakan Tabel 2.5 di
bawah ini :
28
Tabel 2.5. Tebal Mercu Peluap Main Dam Tebal Mercu b = 1,5 – 2,5 m b = 3,0 – 4,0 m
Material Pasir dan kerikil atau kerikil dan batu
Batu-batu besar
Hidrologis Kandungan sedimen sedikit sampai sedimen yang banyak
Debris flow kecil sampai debris flow yang besar
dalam Sosrodarsono, 1985
b
Gambar 2.6. Sketsa tebal mercu peluap main dam
dimana :
b = tebal mercu peluap
2.4.1.6. Kedalaman Pondasi Main Dam
Untuk menghitung kedalaman pondasi main dam rumus yang digunakan
adalah sebagai berikut :
hp = ( 1/3 s/d 1/4 ) ( hw + hm ) ………(2.20)
dimana :
hw = tinggi air di atas peluap ( m )
hm = tinggi efektif main dam ( m )
hp = kedalaman pondasi main dam ( m )
29
Sketsa kedalaman pondasi main dam dapat dilihat pada gambar sebagai
berikut :
hw
hm
hp
Gambar 2.7. Sketsa kedalaman pondasi main dam
2.4.1.7. Kemiringan Tubuh Main Dam
Kemiringan tubuh main dam, baik kemiringan pada bagian hulu maupun
bagian hilir tubuh main dam sangat berpengaruh terhadap kestabilan bangunan.
Biasanya pada pekerjaan sabo dam, kemiringan bagian hilir lebih kecil dari pada
bagian hulunya. Hal ini berfungsi untuk menghindari batu-batuan yang melimpas
dari peluap main dam yang dapat menyebabkan abrasi pada bagian hilir main
dam.
a. Kemiringan hilir
Kemiringan tubuh main dam bagian hilir didasarkan kecepatan kritis air dan
material yang melewati peluap yang diteruskan jatuh bebas secara gravitasi ke
lantai terjun.
b. Kemiringan hulu
Kemiringan hulu main dam dimana H < 15 m dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
( 1 + α ) m2 + [2(n + β ) + ( 4α + γ ) + 2αβ ] m – ( 1 + 3 α ) + αβ ( 4n
+ β ) + γ (3 n β + β 2 + n2 ) = 0 ………(2.21)
dimana :
α = hw/hd
β = b/hp
hd = hp + hm
30
γ = γ c + γ w
n = kemiringan di hilir tubuh main dam
m = kemiringan di hulu tubuh main dam
γ c = berat jenis batu kali ( kg./cm2 )
γ w = berat jenis air ( kg/cm2 )
hp = kedalaman pondasi ( m )
hw = tinggi air di atas peluap ( m )
hm = tinggi efektif main dam ( m )
hd = tinggi total main dam ( m )
b = lebar pelim pah ( m )
Sketsa kemiringan hulu, kemiringan hilir dan bagian-bagian sabo dam
dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :
kemiri
ngan
hulu
kemiringan hilir
lubang drainase ( drip hole )
lantai terjun
main dam
sub dam
Gambar 2.8. Sketsa bagian-bagian sabo dam
2.4.1.8. Perencanaan Konstruksi Sayap Main Dam
Sayap main dam direncanakan sebagai sayap yang tidak dilimpasi air dan
mempunyai kemiringan kearah dalam dari kedua sisi main dam.
a. Kemiringan sayap
Kemiringan sayap ditentukan sesuai kemiringan dasar sungai arus deras alur
sungai tersebut.
b. Lebar mercu sayap
Lebar mercu sayap diambil sama dengan lebar mercu peluap atau sedikit lebih
kecil.
31
c. Penetrasi sayap
Sayap harus direncanakan masuk ke dalam tebing karena tanah pada bagian
tebing sungai mudah tergerus oleh aliran air.
2.4.2. PERENCANAAN SUB DAM DAN LANTAI TERJUN ( APRON )
2.4.2.1. Lebar dan Tebal Peluap Sub Dam
Lebar dan tebal peluap sub dam direncanakan sesuai dengan perhitungan
lebar dan tebal main dam.
2.4.2.2. Perhitungan Tebal Lantai Terjun
Tebal lantai terjun diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut :
d = c.( 0,6 hm + 3hw - 1 ) ………(2.22)
dimana :
d = tebal lantai terjun ( m )
c = koefisien untuk pelindung air
koefisien besarnya 0,1 apabila menggunakan pelindung dan 0,2
apabila tanpa pelindung
hm = tinggi main dam ( m )
hw = tinggi air di atas mercu main dam ( m )
Sketsa tebal lantai terjun dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :
d
Gambar 2.9. Sketsa main dam dan tebal lantai terjun
2.4.2.3. Tinggi Sub Dam
Tinggi sub dam direncanakan dengan rumus sebagai berikut :
H2 = ( 1/3 s/d 1/4 )( hm + hp ) ………(2.23)
32
dimana :
H2 = tinggi mercu sub dam dari lantai terjun ( m )
hm = tinggi efektif main dam ( m )
hp = kedalaman pondasi main dam ( m )
lubang drainase ( drip hole )
lantai terjun
main dam
sub dam H2
hm
hp
Gambar 2.10. Sketsa main dam, lantai terjun dan sub dam
2.4.2.3. Panjang Lantai Terjun
Panjang lantai terjun adalah jarak antara main dam dan sub dam,
ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
L = ( 1,5 s/d 2,0 ) ( H1 + hw ) ………(2.24)
L = lw + x.b
H1 = hm = hp – d
lw = g
hHV wo2/1
1 )21( +
x = .β hj
hj = (h1 /2) ( )181 21 −+ F
F1 = 1
1
.2 hgV
h1 = q1/V1
q1 = Qd/B
V1 = )(2 1 whHg +
dimana :
L = jarak antara main dam dan sub dam ( m )
33
H1 = beda tinggi antara mercu main dam sampai permukaan lantai terjun
( m )
H2 = tinggi sub dam ( m )
hm = tinggi efektif main dam ( m )
hp = kedalaman pondasi main dam ( m )
d = tebal lantai terjun ( m )
lw = tinggi terjunan ( m )
hw = tinggi muka air diatas mercu main dam ( m )
β = koefisien ( 4,50 – 5,0 )
hj = tinggi muka air diatas mercu sub dam sampai permukaan lantai terjun
(m)
F1 = angka froude dari aliran jet pada titik jatuh
h1 = tinggi air pada titik jatuh terjunnya ( m )
q1 = debit per meter peluap ( m3/det/m’ )
Qd = debit banjir rencana ( m3/det )
B = lebar peluap main dam ( m )
g = percepatan gravitasi ( 9,8 m/det2 )
b’ = tebal mercu sub dam ( m )
Sketsa main dam, panjang lantai terjun dan sub dam dapat dilihat pada
gambar sebagai berikut :
hp
hw
hm
sub dam
L
lantai terjun H2
C
main dam
hjb'
Gambar 2.11. Sketsa main dam, panjang lantai terjun dan sub dam
34
2.4.2.5. Perhitungan Pondasi Sub Dam
Kedalaman pondasi sub dam diperhitungkan berdasarkan dalamnya
scouring yang akan terjadi di hilir sub dam. Dalam perhitungannya digunakan
rumus Zimmerman dan Naniak.
Rumus Zimmerman dan Naniak yang digunakan adalah sebagai berikut :
Zs = dd h
qh
dq
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ 93,0
667,023,085
82,0
………(2.25)
dimana :
d85 = diameter partikel 85 % dari grain size distribution ( mm )
Zs = scouring yang terjadi ( m )
q = debit per meter peluap ( m3/det/m )
hd = tinggi air dihulu main dam (m )
Setelah scouring diketahui kita dapat menghitung kedalaman pondasi sub
dam dengan rumus :
C > Zs – H2 …..….(2.26)
dimana :
C = kedalamn pondasi sub dam ( m )
Zs = scouring yang terjadi ( m )
H2 = tinggi sub dam ( m )
2.4.2.6. Kemiringan Tubuh Sub Dam
Kemiringan sub dam bagian hulu dan hilir direncanakan sama dengan
kemiringan tubuh main dam
2.4.2.7. Konstuksi Sayap Sub Dam
Kedalaman pondasi sayap sub dam harus sama dengan kedalaman pondasi
sub dam, hal ini untuk menghindari scouring.
35
2.4.3. BANGUNAN PELENGKAP
2.4.3.1. Konstruksi Dinding Tepi
Konstruksi dinding tepi merupakan bangunan pelengkap untuk menahan
erosi dan longsoran antara main dam dan sub dam yang disebabkan oleh jatuhnya
air yang melewati mercu main dam.
Syarat yang harus diperhatikan dalam perencanaan dinding tepi adalah :
a. Elevasi pondasi dinding tepi direncanakan sama dengan elevasi lantai terjun,
tetapi harus terletak diluar titik jatuh air dari main dam.
b. Kemiringan standar V : H = 1 : ½
c. Ketinggian dinding tepi disamakan dengan sayap sub dam.
2.4.3.2. Lubang Drainase
Lubang drainase pada main dam direncanakan berukuran 1,5 sampai
dengan 2 kali diameter butiran sediment terbesar.
Untuk memenuhi kebutuhan air di main dam maka ditentukan debit aliran dari
main dam dengan rumus di bawah ini :
Q = C.A ohg..2 ………(2.27)
dimana :
Q = debit desain ( m3/det )
C = koefisien debit
A = luas lubang drainase ( m2 )
g = percepatan gravitasi ( 9,8 m/det2 )
ho = tinggi air di hulu main dam sampai titik tengah lubang drainase ( m )
2.4.4. KRITERIA PERENCANAAN SABO DAM
2.4.4.1. Stabilitas Main Dam
Stabilitas main dam harus diperhitungkan dalam dua keadaan yaitu pada
saat kondisi banjir dan kondisi air normal.
a. Stabilitas Main Dam Pada Saat Kondisi Banjir
Pada kondisi banjir gaya-gaya yang bekerja pada tubuh main dam adalah :
a. Gaya akibat berat sendiri konstruksi.
36
b. Gaya akibat tekanan air statik.
c. Gaya akibat tekanan tanah sedimen.
d. Gaya akibat tekanan air ke atas ( uplift pressure ).
Akibat pengaruh gaya-gaya di atas, maka tubuh main dam harus aman
terhadap guling, geser, dan penurunan ( settlement ). Untuk itu angka
keamanan harus melebihi dari yang disyaratkan.
Gaya yang bekerja pada main dam pada saat kondisi banjir dapat dilihat
pada gambar sebagai berikut :
Pev
1 : m
PH1
PH2
Peh
H
1 : n
U2
U1
bB2
W1W3
PH3
o
hj
hw
MAB
W2
Pv1
Pv2
Gambar 2.12. Gaya yang bekerja pada main dam pada saat banjir
Tabel 2.6. Gaya-gaya Yang Bekerja Pada Tubuh Main Dam Saat Banjir
Notasi Gaya Yang Bekerja Panjang Lengan Terhadap Titik O
W1 0.5 x m xH2x mγ (1/3.m.H)+b+ (n .H) W2 b x Hxγ m (½ .b) + (n.H) W3 0,5 x n x H2 x γ m 2/3.n.H
PH1 ½.(He)2.γ w 1/3.He PH2 He.hw.γ w 1/2.He PH3 ½.hj
2.γ w 1/3.hj
Peh ½.m.(He)2.γ sub.ka 1/3.He Pev 0,5 x m x H2 x γ sub (2/3.m.H)+b+(n.H)
37
Pv1 b.hw.γ w ½.hw+H Pv2 ½ .n.H2.γ w 1/3.n.H U1 γ w x b2 x hj x0,5 ½.b2 U2 ½.γ w .b2.(H+hw-hj).0,5 2/3.b2
dimana :
W1,2,3 = berat sendiri konstruksi ( ton )
PV1,2 = tekanan air arah vertikal ( ton )
PH1,2 = tekanan air arah horisontal ( ton )
Pev = tekanan sedimen arah vertikal ( ton )
Peh = tekanan sedimen arah horisontal ( ton )
m = kemiringan hulu main dam
n = kemiringan hilir main dam
γ w = berat jenis air ( ton/m3 )
γ m = berat jenis material konstruksi ( ton/m3 )
γ sub = berat jenis sedimen basah = γ s - γ w ( ton/m3 )
γ s = berat jenis sedimen ( ton/m3 )
Ka = koefisien tekanan sedimen
= tan2 ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
245 θ
H = tinggi tubuh bendung utama ( m )
He = tinggi sedimen di hulu main dam ( m )
b = lebar mercu main dam ( m )
b2 = lebar dasar pondasi main dam ( m )
hw = tinggi air di atas peluap ( m )
hj = tinggi air di atas lantai terjun ( m )
b. Stabilitas Main Dam Pada Saat Aliran Normal
Sungai di daerah gunung berapi perlu diperhitungkan aliran debris.
Pada saat aliran normal akan terjadi tumbukan pada dinding bagian hulu main
38
dam oleh aliran debris, oleh karena itu gaya tumbukan tersebut perlu
diperhitungkan dalam perencanaan main dam.
Gaya yang bekerja pada main dam pada saat kondisi air normal dapat
dilihat pada gambar sebagai berikut :
Pev
1 : m
PH1 Peh
hs Fd
MAN
W2 H
1 : n
U2
bb2
W1
W3
o
Gambar 2.13. Gaya yang bekerja pada main dam pada saat air normal
Tabel 2.7. Gaya Yang Bekerja Pada Main Dam Pada Saat Air Normal
Notasi Gaya vertikal (V) (Ton)
Lengan momen (L) (m)
W1 0.5 x m xH2x mγ (1/3.m.H)+b+ (n .H) W2 b x Hxγ m (½ .b) + (n.H) W3 0,5 x n x H2 x γ m 2/3.n.H
PH1 ½.(He)2.γ w 1/3.He Peh ½.m.(He)2.γ sub.ka 1/3.He Pev 0,5 x m x H2 x γ sub (2/3.m.H)+b+(n.H) Fd F’.hd H - (1/2.hd)
U2 ½.γ w .b2.(H+hw-hj).0,5 2/3.b2
dimana :
W1,2,3 = berat sendiri konstruksi ( ton )
PH1 = tekanan air arah horisontal ( ton )
Pev = tekanan sedimen arah vertikal ( ton )
Peh = tekanan sedimen arah horisontal ( ton )
m = kemiringan hulu main dam
39
n = kemiringan hilir main dam
γ w = berat jenis air ( ton/m3 )
γ m = berat jenis material konstruksi ( ton/m3 )
γ sub = berat jenis sedimen basah = γ s - γ w ( ton/m3 )
γ s = berat jenis sedimen ( ton/m3 )
Ka = koefisien tekanan sedimen
= tan2 ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
245 θ
H = tinggi tubuh bendung utama ( m )
He = tinggi sedimen di hulu main dam ( m )
B = lebar mercu main dam ( m )
b2 = lebar dasar pondasi main dam ( m )
hw = tinggi air di atas peluap ( m )
Fd = gaya tumbukan akibat aliran debris terhadap main dam ( ton )
hd = kedalaman aliran debris ( m )
c. Akibat Gempa
Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 wilayah gempa dimana wilayah 1 (satu)
dengan kegempaan paling rendah dan wilayah gempa 6 (enam) dengan
kegempaan paling tinggi. Untuk wilayah Jawa Tengah ( SNI Gempa, 2002 )
khususnya daerah Magelang termasuk dalam wilayah gempa 3 (tiga), maka dalam
perencanaan ini gaya akibat gempa harus dikalikan dengan koefisien gempa untuk
wilayah 3 (tiga) yang besarnya diambil 0,15.
Gaya gempa yang bekerja pada main dam dapat dihitung dengan rumus sebagi
berikut :
H = k x W ………(2.28)
dimana :
H = gaya gempa ( ton )
k = koefisien gempa = 0,15
W = berat konstruksi ( ton )
40
Gaya yang bekerja pada main dam akibat gempa dapat dilihat pada
gambar sebagai berikut :
W1
Pev H2
W3
H3
U2
bB2
H1 W2
o
Pev
Gambar 2.14. Sketsa gaya akibat gempa
Berikut ini pembagian wilayah gempa di Indonesia di sajikan pada
Gambar 2.15 sebagai berikut :
Gambar 2.15. Wilayah gempa di Indonesia
41
d. Stabilitas Dinding Tepi
ada perhitungan stabilitas diding tepi gaya-gaya yang timbul
diakibatkan oleh adanya timbunan tanah dan tekanan air.
Tabel 2.8. Harga Faktor Keamanan
Faktor Keamanan Stabilitas Waktu Normal / Banjir
Gempa
Sabo dam Guling 1,5 1,2
Geser 1,5 1,2 dalam Sosrodarsono, 1987
Stabilitas Terhadap Guling
Untuk mengontrol stabilitas sabo dam terhadap guling kita gunakan rumus
sebagai berikut :
Sf = 5,1>g
t
MM ………(2.29)
dimana :
Mt = momen tahan ( tm )
Mg = momen guling ( tm )
Stabilitas Terhadap Geser
Untuk mengontrol stabilitas sabo dam terhadap geser kita gunakan rumus
sebagai berikut :
Sf = 5,1.>
∑∑HVf ………(2.30)
dimana :
H∑ = jumlah gaya-gaya horisontal ( ton )
V∑ = jumlah gaya-gaya vertikal ( ton )
f = koefisien geser
Kontrol Terhadap Daya Dukung / Penurunan
Untuk mengontrol stabilitas sabo dam terhadap daya dukung kita gunakan
rumus Terzagi ( dalam Das, 1995 ) adalah sebagai berikut :
Qult = c.Nc + H. γ sub. Nq + ½.b. γ sub.N.γ ….(2.31)
42
dimana :
Qult = daya dukung ultimate tanah ( ton/m2 )
c = nilai kohesi tanah ( ton/m2 )
H = kedalaman pondasi ( m )
B2 = lebar dasar main dam ( m )
γ Sub= berat jenis tanah dalam keadaan jenuh air (ton/m3 )
Sedangkan eksentrisitas dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Qmaks/min = ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛±⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ ∑
22
.61b
ebV ………(2.32)
dimana :
e = eksentrisitas gaya akibat berat main dam ( m )
= x – ½.b2
X = V
MM gt −
Syarat : 1/3 b2 3/2≤≤ x .b2 dan e 6/1≤ .b2
2.4.5. KONTROL TEBAL LANTAI DAN REMBESAN
2.4.5.1. Kontrol Tebal Lantai Terjun Terhadap Gaya Angkat
Tebal lantai terjun harus mampu menahan gaya angkat yang diakibatkan
oleh rembesan air yang berada di bawahnya, hal ini harus dilakukan untuk
menghindari pecahnya lantai terjun.
Rumus yang digunakan untuk mengontrol tebal lantai ( dalam Sosrodarsono dkk,
1985 ) adalah sebagai berikut :
Ux = h1 - HL
Lx ∆∑
…..(2.33)
dimana :
Ux = gaya angkat pada titik x ( ton )
h1 = tinggi air di hilir bangunan ( m )
Lx = panjang garis rembesan sampai titik yang ditinjau ( m )
∑ L = panjang garis rembesan total ( m )
∆H = beda tinggi energi ( m )
43
2.4.5.2. Kontrol Terhadap Rembesan
Untuk mengontrol terhadap rembesan digunakan rumus Lane (dalam
Sosrodarsono dkk, 1985 ) adalah sebagai berikut :
Lw = Lv + 1/3 Lh …...(2.34)
L > c.∆H
dimana :
L = panjang rembesan ( m )
Lv = panjang rembesan arah vertikal ( m )
Lh = panjang rembesan arah horisontal ( m )
c = koefisien Lane
∆H = beda tinggi muka air pada main dam dengan muka air sub dam (m)
2.4.6. PERENCANAAN BANGUNAN TANGGUL DAN SUNGAI
2.4.6.1. Tinggi Muka Air Sebelum Ada Dam
Tinggi muka air yang dihitung adalah tinggi muka air pada saat banjir.
Data-data yang disarankan sebagai berikut :
b1 = lebar sungai ( m )
m = kemiringan dinding sungai
Is = kemiringan dasar sungai
N = koefisien kekasaran Manning
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
A = ( b1 + mh )h ………(2.35)
P = b1 + 2h 21 m+ ………(2.36)
R = A/P ………(2.37)
V = 2/13/2 )()(1sIR
n ………(2.38)
Q = A.V ………(2.39)
2.4.6.2. Back Water
Back water merupakan kembalinya aliran air ke arah hulu yang
disebabkan oleh naiknya muka air yang diakibatkan adanya penghalang.
44
Rumus yang digunakan ( dalam Sugiyanto, 2002 ) adalah sebagai berikut :
)(2
)(2 121
2
122
2
xxlhg
Vxxlhg
Vfo −++=−++ …….(2.40)
Kedalaman air ditambah tinggi kecepatan adalah energi spesifik ( E ) diukur di
atas saluran.
E = g
Vh2
22+ ………(2.41)
dH = of llEExx
−−
=− 1212 )( ………(2.42)
lf = R
nV 222 . ………(2.43)
R = A/P ………(2.44)
dimana :
lo = kemiringan dasar sungai
lf = kemiringan garis energi
R = jari-jari hidrolis penampang ( m )
P = keliling basah penampang (m )
A = luas penampang ( m2 )
2.4.6.3. Bangunan Tanggul
a. Tipe dan Bahan
Tanggul di sebelah kiri dan kanan sungai pada hulu main dam direncanakan
dengan tipe urugan dengan perkuatan lereng pada kedua sisinya. Konstruksi
perkuatan lereng direncanakan dengan pasangan batu kali 1 PC : 4 Ps.
Untuk menahan erosi akibat tekanan lahar pada kaki tanggul sebelah dalam
dipasang bronjong.
b. Dimensi dan Ukuran
Perencanaan tanggul penahan sedimen dapat diuraikan menjadi tinggi tanggul,
lebar puncak, kemiringan lereng, dan pelindung kaki tanggul.
45
2.4.7. PERKUATAN TEBING
Perkuatan tebing dilakukan dengan pemasangan bronjong. Stabilitas pada
lereng dihitung dengan rumus ( dalam Sugiyanto, 2002 ) sebagai berikut :
Sf =TNLC )tan..( Φ+∑ …..(2.45)
dimana :
Sf = angka keamanan
N = W.cos α ( ton )
T = W.sinα ( ton )
W = A.γ ( ton )
A = luas penampang segmen (m2 )
γ = berat jenis tanah 9 ton/m3 )
L = πα .2.360
2.4.8. TAMPUNGAN SEDIMEN
Tampungan sedimen dihitung dengan menggunakan rumus (dalam
Sugiyanto, 2002) sebagai berikut :
V = 1/2so
m
IIhB−
2. ………(2.46)
dimana :
V = volume sedimen ( m3 )
B = lebar sungai ( m )
hm = tinggi efektif main dam ( m )
Io = kemiringan dasar sungai yang ada ( m )
Is = kemiringan dasar sungai stabil ( m )
2.5. BENDUNG
2.5.1. MENCARI KEBUTUHAN AIR
Kebutuhan air irigasi adalah banyaknya air yang diperlukan oleh tanaman,
ditambah air untuk keperluan lain-lain, baik untuk membersihkan kotoran, untuk
46
pencucian tanah maupun untuk keperluan sehari-hari. Dalam menganalisis
kebutuhan air irigasi suatu daerah tidak lepas dari maksud atau untuk keperluan
air tersebut, misalnya : penyediaan kebutuhan air untuk irigasi, air minum, dan
pembangkit tenaga listrik.
Laporan tugas akhir yang akan disusun ini membahas tentang kebutuhan
air untuk irigasi sebab hal ini tidak bisa lepas dari maksud dan tujuan
dibangunnya Bendung itu sendiri, yaitu untuk meninggikan elevasi muka air agar
suplai air bagi daerah irigasi dapat terlayani dengan baik. Pengertian irigasi itu
sendiri adalah menyalurkan air yang perlu untuk pengolahan tanah, pertumbuhan
tanaman serta mendistribusikan air secara sistematis dan efisien.
Cara-cara pemakaian air untuk pengairan irigasi tergantung dari keadaan
tanah, tanaman yang diairi, alat-alat yang digunakan, kebiasaan setempat dan lain-
lain.
Cara pemakaian air yang sering digunakan dibedakan antara lain sebagai
berikut :
1. Merendam Tanah
Air didatangkan ke tanah dengan perantaraan saluran induk, sering pula
dibagi-bagi lagi dengan anak-anak saluran atau selokan-selokan agar perendaman
tanah dilakukan dengan baik dan cepat.
2. Pembasahan dalam tanah
Untuk membasahi tanah maka sering kali dibuat selokan-selokan yang
memotong-motong tanah dan merupakan susunan saluran, dimana air dapat
ditambah sampai setinggi permukaan air yang dibutuhkan, sedikit-dikitnya 0,17
cm di bawah permukaan tanah dan ke kanan-kiri dapat merembes ke dalam tanah.
3. Menyiram atau menyemprot
Cara ini mirip dengan hujan, dan untuk lebih memudahkan biasanya
digunakan pipa cerat atau pompa cerat pemadam kebakaran.
2.5.2. KEBUTUHAN AIR IRIGASI PADA PETAK SAWAH
Kebutuhan air untuk tanaman tergantung pada macam tanaman dan masa
pertumbuhannya sampai dipanen dan pada akhirnya dapat memberikan hasil
47
optimum. Tanaman terpenting dan paling membutuhkan air irigasi di Indonesia
adalah tanaman padi, sebab beras merupakan makanan pokok bangsa Indonesia.
Selain itu padi merupakan jenis tanaman di Indonesia yang paling banyak
membutuhkan air untuk pertumbuhannya. Karena itulah, kebutuhan air untuk padi
yang diambil sebagai dasar untuk menetapkan besarnya pengaliran dan ukuran-
ukuran bangunan atau saluran-saluran irigasi.
Banyaknya kebutuhan air untuk irigasi pada petak sawah dapat
dirumuskan :
Ir = Et + (P+B) + W – Re ………(2.47)
dimana :
Ir = kebutuhan air untuk irigasi (m3/det)
Et = evapotranspirasi (mm)
P = perkolasi (mm/hari)
B = infiltrasi (mm/jam) atau (mm/hari)
W = tinggi genangan air (mm/hari/setengah bulan)
Re = curah hujan efektif (mm)
Untuk mengetahui besaran-besaran seperti yang terdapat di atas, dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Menentukan Evapotranspirasi
Ada banyak metode perhitungan evapotranspirasi intuk mendapatkan
kebutuhan air bagi pertumbuhan, diantaranya adalah :
1. Metode ini digunakan untuk menghitung kebutuhan air untuk pertumbuhan
dengan menggunakan koefisien berbagai tanaman.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
PET = k . p (0,457t + 8,128) n ………(2.48)
Eto = PET / n ………(2.49)
dimana :
PET = evapotranspirasi (mm)
Eto = evapotranspirasi potensial (mm)
k = koefisien tanaman bulanan (diambil 0,75)
t = temperatur rata-rata (oC)
48
p = prosentase jam siang hari dalam tahun tersebut yang terjadi
pada periode tertentu (%)
n = jumlah hari
2. Metode Penman
Metode ini digunakan untuk mencari evapotranspirasi dari rumput
berdasar data klimatologi ( temperatur, kelembaban relatif, kecepatan angin
dan lamanya penyinaran matahari ) yang kemudian untuk mendapatkan harga
evapotranspirasinya harus dikalikan dengan faktor tumbuhan (misal : padi,
jagung, dll). Untuk data kecepatan angin yang diukur pada ketinggian 2 m
(atau harus dikonverdikan dulu), lama penyinaran selama 12 jam (atau harus
dikonversikan selama 12 jam dihitung 0, 786 Q1 + 3,46 )
Eto = [ lga * ( 1 – a ) * ( (0,18 + 0,62 (h/H) – r * T4 * (0,560082 U2) *
( ( 0,1 + 0,9 ( h / H ) ) ]-[ ]
[ ] )/'1()/'1(5)(26,0)/'(
tFtFgeetF
TT
wT
++−
…..(2.50)
dimana :
Eto = evapotranspirasi potensial (mm)
lga = radiasi maksimum secara teoritis
a = koefisien pemantulan sinar dari permukaan penguapan
h/H = penjemuran relatif (%)
R = konstanta Steve Boltzman = 1,18 * 10-7 kal/cm/hari
T = temperatur udara (oC)
e = tekanan uap air diukur di tempat teduh (mB)
ew = tekanan uap air maksimum pada temperatur T (mB)
F’T = kemiringan hubungan tekanan uap air jenuh terhadap temperatur
air jenuh terhadap temperatur air yang diselidiki
g = konstanta psikometrik untuk tekanan 1015 mB = 0,65
U2 = kecepatan angin (m/dtk)
b. Perkolasi dan Infiltrasi
Perkolasi adalah kehilangan air dari permukaan tanah karena air meresap
ke dalam tanah pada arah vertikal, dari lapisan tidak jenuh ke lapisan jenuh.
Perkolasi dipengaruhi oleh sifat tanah baik fisik, tekstur, maupun struktur tanah.
49
Apabila tidak tersedia hasil penelitian, terdapat pedoman yang sering digunakan
dalam perencanaan, yaitu :
lahan datar = 1 mm/hari
miring >5% = 2-5 mm/hari
berdasarkan tekstur :
berat (Lempung) = 1-2 mm/hari
sedang (Lempung kepasiran) = 2-3 mm/hari
ringan (pasir) = 3-6 mm/hari
Infiltrasi adalah meresapnya air ke dalam tanah melewati permukaan
tanah. Kapasitas infiltrasi maksimum yang bisa terjadi, tergantung dari
permukaan ( lapisan paling atas ). Satuan yang digunakan mm/jam atau
mm/hari.
c. Hujan Efektif
1. Hujan efektif (Re)
Hujan efektif adalah curah hujan yang dapat dimanfatkan untuk
kebutuhan evapotranspirasi. Besarnya tergantung dari :
- Cara pemberian air irigasi
- Laju pengurangan air di persawahan
- Kedalaman lapisan air yang harus dipertahankan di sawah
- Pemberian air ke petak
- Jenis tanaman dan tingkat ketahanan terhadap kekurangan air
2. Hujan rata-rata setengah bulan
Didasarkan hujan rata-rata setengah bulan pada pencatatan di lapangan dari
stasiun penangkap hujan setempat. Dalam hal ini dihitung hujan bulanan
dengan 20 % kering (1 in 5 dry).
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
R80 = R + k.Sd ………(2.51)
dimana :
R = rata-rata hujan ( mm )
k = faktor frekuensi
50
Sd = standart deviasi
d. Tinggi Genangan Air
Tinggi genangan air diperlukan dalam menentukan kebutuhan air untuk
pengolahan tanah yang dinyatakan dalam mm per satuan waktu, yaitu per hari
per setengah bulan.
e. Efisiensi Irigasi
Efisiensi irigasi tergantung dari besarnya kehilangan air selama
penyaluran dari bendung ke petak. Menurut PSA 010 besarnya efisiensi irigasi
direkomendasi sbb :
- Irigasi yang luas, seluruh jaringan dipakai 50 –60 %
- Irigasi kecil dan pemberian air diatur dengan baik,
atau irigasi dari waduk dan air buangan dapat dimanfaatkan 75 %
- Apabila sudah ada penelitian, angkanya dapat digunakan :
Untuk kehilangan dari sadap tersier ke petak 20 – 25 %
Kehilangan di saluran sekunder 10 – 15 %
Kehilangan di saluran primer 5 – 10 %
f. Pola Tanam dan Perencanaan Tata Tanam
Pola tanam adalah suatu pola penanaman jenis tumbuhan selama 2 tahun
yang merupakan kombinasi urutan penanaman. Suatu daerah irigasi biasanya
mempunyai pola tanam tertentu. Pada perencanaan suatu sistem jaringan irigasi
bilamana tidak ada pola tanam yang biasa pada daerah tersebut, maka
direkomendasikan padi-padi palawija.
Setelah diperoleh kebutuhan air untuk pengolahan tanah dan pertumbuhan
kemudian dicari besarnya kebutuhan air untuk irigasi dengan berdasar pola
tanam dan rencana tata tanam dari masing-masing daerah yang biasanya
digunakan atau yang dipilih.
Sedang rencana tata tanam dengan saat pengolahan yang umum terjadi
berkisar antara bulan Oktober-Desember untuk daerah yang luas dan ada sistem
golongannya.
51
2.5.3. KRITERIA PERENCANAAN BENDUNG
2.5.3.1. Perhitungan Hidrolis Bendung
a. Menentukan Elevasi Mercu Bendung
Tinggi bendung adalah perbedaan tinggi elevasi mercu bendung dengan
elevasi dasar sungai / permukaan lantai depan bendung. Sesuai dengan
maksud pembangunan bendung yaitu meninggikan air pada sumbernya
sehingga dapat membawa air irigasi ke seluruh daerah irigasi secara gravitasi
dan harus dapat memenuhi tinggi air minimum yang diperlukan untuk seluruh
areal persawahan yang diairi.
Dengan demikian, elevasi mercu bendung ditentukan dengan elevasi
tertinggi diantara yang diperlukan oleh sawah tertinggi setelah ditambah
seluruh kehilangan energi pada bangunan pengambilan utama, pintu
pengambilan dan kantong lumpur.
Tinggi bendung ( P ) = elevasi–elevasi dasar sungai
Rumus lebar efektif bendung ( dalam Erman dkk, 2002 ) adalah sebagai
berikut :
Be = B – 2 ( n . Kp + Ka ) H1 …...(2.52)
dimana :
B = jarak antar pangkal bendung dan atau tiang (m)
n = jumlah pilar
Kp = koefisien kontraksi pilar
Ka = koefisien kontraksi pangkal bendung
Bs = leber pintu penguras (m)
H1 = tinggi energi (m)
Tabel 2.9. Harga-harga Koefisien Kontraksi Keterangan Kp
Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang
dibulatkan pada jari-jari yang hampir = 0,1 dari tebal pilar.
Untuk pilar berujung bulat.
Untuk pilar berujung runcing
0,002
0,010
0
52
Keterangan Ka Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu 90 o ke
arah aliran.
Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu 90 oke arah
aliran dengan 0,5 > r > 0,5 HI
Untuk pangkal tembok bulat dimana r > 0,5 HI dan tembok hulu
tidak lebih dari 45 o ke arah aliran
0,20
0,10
0
b. Menentukan Tipe Mercu Bendung
Dipilih tipe OGEE karena pada mercu tipe OGEE tidak akan terjadi
tekanan sub-atmosfir pada permukaan mercu saat bendung mengalirkan air
pada debit rencana. Dan untuk debit yang lebih rendah, air akan memberikan
tekanan ke bawah pada mercu.
Perhitungan mercu bendung OGEE :
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
Q = Cd.2/3. g.3/2 .Be.H11.5 ………(2.53)
dimana :
Q = debit rencana (m3/det)
Be = lebar efektif bendung (m)
H1 = tinggi energi di atas mercu (m)
g = percepatan gravitasi = 9,8 m/det2
Cd = koefisien debit Cd = C0.C1.C2 ………(2.54)
koefisien Cd adalah hasil dari :
- Co yang merupakan konstanta (=1,30)
- C1 yang merupakan fungsi p/hd dan H1
- C2 yang merupakan fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung
V = AQ ………(2.55)
A = Be ( p + H1) ………(2.56)
Hd = H1 – K ………(2.57)
53
K = g
V2
………(2.58)
jadi elevasi diatas mercu = Elevasi +Hd ………(2.59)
untuk dimensi mercu OGEE
R1 = 0,2 Hd ………(2.60)
R2 = 0,5 Hd ………(2.61)
Koordinat permukaan mercu
Xn = K . Hdn-1 . y ………(2.62)
c. Perhitungan Kolam Olak
Untuk mencari kedalaman kritis ( dalam Erman dkk, 2002 ) digunakan rumus
sebagai berikut :
hc = 3
2
gq ………(2.63)
dimana :
q = debit per lebar satuan (m3/det.m) = Q / Be
hc = kedalaman kritis (m)
g = percepatan gravitasi ( 9,8 m/det)
d. Perhitungan Jari-jari Kolam Olakan
Untuk mencari jari-jari minimum digunakan rumus sebagai berikut :
R min = n . Hc ……….(2.64)
Elevasi energi = elevasi dasar hulu + P + H1 .………(2.65)
Elevasi muka air hulu = elevasi mercu + hd ……….(2.66)
Elevasi mercu = elevasi dasar + P ……….(2.67)
Elevasi dasar hilir = elevasi mercu – R.min ……….(2.68)
2.5.3.2. Bangunan Pengambilan
a. Mencari Tinggi Bukaan Bangunan Pengambilan Primer
Untuk mencari tinggi bukaan pada bangunan pengambilan saluran primer
(dalam Erman dkk, 2002) digunakan rumus sebagai berikut :
zgbaQn ..2..µ= …..(2.69)
54
dimana :
Qn = debit rencana (m3/det)
µ = koefisien debit
a = tinggi bukaan (m)
b = lebar bukaan (m)
g = gaya gravitasi = 9,8 m/dtk 2
z = kehilangan energi (m)
b. Perhitungan Kantong Lumpur
Untuk mencari volume kantong lumpur digunakan rumus sebagai berikut :
V = 0,0005 . Qn . T ……(2.70)
dimana :
V = volume kantong lumpur (m/det)
Qn = debit rencana (m3/det)
T = jarak waktu pembilasan (det)
c. Luas Permukaan Rata-rata Kantong Lumpur
Untuk mencari luas permukaan rata-rata kantong lumpur digunakan rumus
sebagai berikut :
An = Qn/Vn .……(2.71)
An = (b + m . hn) . hn .........(2.72)
keliling basah (P) = b + 2 . hn 21 m+ …….(2.73)
jari-jari hidrolis (Rn) = n
n
QA ...…..(2.74)
Penentuan In ( kantong sedimen hampir penuh )
In = 23/2
2
)( KsRVn ..……(2.75)
dimana :
In = kemiringan kantong lumpur
Vn = kecepatan aliran (m/det)
Ks = koefisien kekasaran manning
55
d. Penentuan Is ( Pembilasan Kantong Lumpur Kosong )
Sedimen di atas kantong lumpur berupa pasir kasar, kecepatan aliran untuk
pembilasan diambil (vs) sebesar 1,50 m/det.
Q pembilas (Qs) = 1,20 . Qn ………(2.76)
As = Qs / Vs ………(2.77)
Lebar dasar (b), As = b. hs .……...(2.78)
keliling basah (P) = b + 2 . hs ………(2.79)
Rs = As / P ………(2.80)
Is = 23/2
2
)( ss
s
KRV ………(2.81)
Cek bilangan Froude (Fr)
Fr = s
s
hgV.
< 1 ………(2.82)
Vs = kecepatan pembilasan = 1,5 m/det
g = percepatan gravitasi = 9,8 m/det2
Panjang kantong lumpur (L)
V = 0,5 . b . l + 0,5 ( Is – In ).L.b ………(2.83)
Is = kemiringan saluran
In = kemiringan kantong lumpur
2.5.3.3. Bangunan Pembilas Kantong Lumpur
Bangunan pembilas kantong lumpur tidak boleh menjadi gangguan selama
pembilasan, oleh karena itu tidak boleh tenggelam.
Luas basah harus ditambah dengan menambah kedalaman air.
B . hs = bnf . hf ………(2.84)
dimana :
B = lebar dasar kantong (m)
hs = kedalaman air pembilas (m)
bnf = lebar bersih bukaan pembilas (m)
hf = kedalaman air pada bukaan pembilas (m)
Af = (n + m) h
56
Kemiringan saluran yang diperlukan dapat dihitung dengan rumus Strickler :
If = 23/2
2
).( fs
f
RKV
………(2.85)
Vf = Ks . Rf3/2 . If
2/1 ………(2.86)
Pf = b + 2h 21 m+
Rf = f
f
PA
………(2.87)
dimana :
Vf = kecepatan aliran pada kantong lumpur (m/det)
Ks = koefisien strickler
Pf = keliling basah saluran kantong lumpur (m)
Af = luas basah saluran kantong lumpur (m2)
2.5.3.4. Bangunan Pengambilan Utama (Intake)
Untuk mencari tinggi bukaan pada bangunan pengambilan utama (intake)
digunakan rumus sebagai berikut :
Q = µ . b .a . zg..2 ………(2.88)
dimana :
Q = debit rencana = m3/det
µ = koefisien debit (0,8)
b = lebar bukaan (m)
a = tinggi bukaan (m)
g = gravitasi = 9,8 m/det2
z = kehilangan energi (m)
2.5.3.5. Perhitungan Pintu Penguras
Untuk mencari debit penguras pada bangunan pintu penguras digunakan
rumus sebagai berikut :
Q = µ .b.p. zg..2 ………(2.89)
57
dimana :
Q = debit penguras (m3/det)
µ = koefisien debit
b = lebar pintu (m)
p = tinggi bendung (m)
g = gravitasi = 9,8 m/det2
z = 1/3.P
hp = tinggi penguras = 2/3.P (m)
Besar kecepatan penguras (vp) = zg..2 ………(2.90)
Besar kecepatan kritis (vc) = 1,50.C.d ………(2.91)
Agar berfungsi baik vp > vc ………(2.92)
2.5.3.6. Perhitungan Konstruksi Pintu
Perhitungan beban yang digunakan adalah sebagai berikut :
Lebar pintu ( m )
σ kayu = tegangan ijin kayu (kg/m2)
γ air = berat jenis air = 1 ton/m3
Tekanan hidrostatis pada pintu ( P) = 1/2.γ .H2 ……(2.93)
Momen yang timbul (M) = 1/8. q.l2 ..…..(2.94)
W = 1/6.h.t2 ..…..(2.95)
Menentukan tebal pintu
Ukuran kayu dapat kita tentukan dengan memakai rumus tegangan ijin
sebagai berikut :
σ = M / W ..…..(2.96)
Ukuran Stang Pengangkat Pintu
Ukuran stang pengangkat pintu dapat kita tentukan dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
F stang = ¼.π .d2 ..…..(2.97)
Momen Inersia = 1/64. π . d2 ..…..(2.98)
58
a. Akibat gaya tarik ( pintu bergerak ke atas )
Perhitungan akibat gaya tarik ( pintu bergerak ke atas ) adalah sebagai
berikut :
Berat pintu + stang (G1) = berat sendiri stang + berat penyambung + berat
daun pintu. ....…..(2.99)
Tekanan air = ½(P1 + P2).(b.h).air ..…..(2.100)
Gaya gesek = f gsk.tekanan air .….. (2.101)
Total gaya = berat sendiri pintu + gaya gesek ..…..(2.102)
Kontrol terhadap tegangan adalah dengan rumus sebagai berikut :
sFG < 1400 Kg/cm ………(2.103)
dimana :
G = total gaya (ton)
Fs = luas stang pengangkat (m2)
b. Akibat gaya tekan ( pintu bergerak turun )
Perhitungan akibat gaya tekan ( pintu bergerak turun ) adalah sebagai
berikut :
Gaya angkat pintu = F.Pair ..…..(2.104)
Gaya yang bekerja pada stang (G2) = gaya angkat pintu +
gaya gesek pintu ..…..(2.105)
P ekstra = 1/4.(gaya bekerja pada stang – berat pintu dan stang) ....(2.106)
Total gaya (Pk) = (G2-G1) + pekerja ..…..(2.107)
Rumus Eulier adalah sebagai berikut :
Pk = 2
2 ..
kLIEπ ..…..(2.108)
Lk = ½.L. 2 ..…..(2.109)
dimana :
E = modulus elastis = 2,1.106
I = momen inersia (m4)
59
Lk = panjang tekuk (m)
Alat pengangkat pintu
Untuk menentukan alat pengangkat pintu, terlebih dahulu
menentukan besarnya gaya angkat pintu dengan rumus sebagai berikut :
Gaya angkat pintu (K) = 42
31
...2...ZZLSZZG .
δ1 ..…..(2.110)
dimana :
Z1,2,3,4 = jumlah gigi roda
G = jumlah beban
S = selisih putaran
L = panjang pintu (m)
δ = efisiensi gerak = )( ϕα
α+tg
tg
2.5.3.7. Perhitungan Hidraulik Gradien
Untuk mengecek keamanan terhadap rembesan, digunakan angka
rembesan Teori Lane.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
LV + 1/3.LH > c.z ..…..(2.111)
dimana :
LV = panjang rembesan vertikal (m)
LH = panjang rembesan horizontal (m)
C = creep zone = 5 (pasir kasar)
Z = beda tinggi tekan air di hulu dan hilir bendung (m)
Kontrol terhadap gerusan
Untuk cek pengaruh gerusan di hilir pintu bendung digunakan rumus
Lacey ( dalam Suripin, 2002 ) adalah sebagai berikut :
R = 0,47 (Q/f) ..….. (2.112)
dimana :
R = kedalaman gerusan terhadap elevasi muka banjir (m)
Q = debit air (m3/dtk)
60
F = faktor lumpur Lacey
2.5.3.8. Stabilitas Bendung
a. Gaya-gaya akibat berat sendiri konstruksi
Gaya-gaya akibat berat sendiri konstruksi dengan asumsi bentuk bendung
di bawah ini adalah sebagai berikut :
G
G2
G4
G6
G7
G8
G3
G5
Gambar 2.16. Gaya akibat berat sendiri
Rumus yang digunakan ( dalam Sosrodarsono dkk, 1985 ) adalah sebagai
berikut :
G = V.γ ..…..(2.113)
dimana :
G = berat konstruksi (ton)
V = volume konstruksi (m3)
γ = berat jenis pasangan = 2,35 ton/m3
b. Gaya akibat tekanan Lumpur
Gaya akibat tekanan lumpur adalah sebagai berikut :
L
Gambar 2.17. Gaya akibat tekanan Lumpur
61
Endapan lumpur diperhitungkan setinggi mercu ( dalam Sosrodarsono,
dkk, 1985 ) dengan rumus sebagai berikut :
P = ½. γ s.h2.Ka ..…..(2.114)
dimana :
γ s = berat jenis sedimen (ton/m3)
h = tinggi endapan lumpur setinggi mercu (m)
Ka = koefisien tekanan Lumpur
c. Akibat tekanan hidrostatis
Gaya yang bekerja akibat tekanan hidrostatis dapat kita lihat pada gambar
di bawah ini :
W1
W2
W3
W5
W6
W7
W4
Gambar 2.18. Gaya akibat tekanan hidrostatis vertikal dan horisontal
Rumus gaya tekanan horisontal dan vertikal air ( dalam Sosrodarsono, dkk,
1985 ) adalah sebagi berikut :
Wn = γ w.A ..….. (2.115)
dimana :
Wn = tekanan air (ton)
γ w = berat jenis air (ton/m3)
h1,h2,…h6 = tinggi air (m)
A = luas bidang (m2)
d. Akibat gaya gempa
Daerah lokasi bendung terletak di wilayah gempa 3 (tiga), maka besarnya
gaya gempa harus dikalikan dengan koefisien gempa (dalam SNI Gempa, 2002)
62
yang besarnya 0,15. Gaya yang bekerja akibat gaya gempa yang lebih perlu
diperhatikan adalah gaya gempa pada arah horizontal. Gaya yang bekerja pada
bendung dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :
K1
K2
K6K7
K8
K4
K5
K3
Gambar 2.19. Gaya akibat gempa
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
K = E.G ..…..(2.116)
dimana :
K = gaya gempa yang tergantung dari lokasi bendung (ton)
E = koefisien gempa (0,15)
G = berat konstruksi (ton)
e. Akibat gaya-gaya uplift pressure
Gaya yang bekerja akibat gaya-gaya uplift pressure dapat kita lihat pada
gambar di bawah ini :
Rumus yang digunakan adalah sebagi berikut :
Px = Hx- lLx .H ………(2.117)
dimana :
Px = gaya akibat pada x (ton/m)
Hx = jarak titik yang ditinjau ke muka air (m)
Lx = jarak / panjang bidang kontak bangunan dan bawah tanah (m)
H = beda tinggi energi (m)
L = panjang total bidang kontak bendung dan tanah bawah = Lv + 1/3
Lh (m)
63
2.5.3.9. Kontrol Stabilitas
Kontrol stabilitas dilakukan pada keadaan sebagai berikut :
1. Kondisi air normal.
2. Kondisi air banjir.
3. Perhitungan stabilitas tembok sayap.
a. Kontrol terhadap guling
Dalam mengontrol stabilitas terhadap guling (dalam Sosrodarsono, 1985 )
digunakan rumus sebagai berikut :
Sf = H
V
MM
ΣΣ > 1,50 ….. (2.118)
dimana :
Sf = faktor keamanan
ΣMV = jumlah momen vertikal (tm)
ΣMH = jumlah momen horizontal (tm)
b. Kontrol terhadap geser
Dalam mengontrol stabilitas terhadap geser digunakan rumus sebagai
berikut :
Sf = f.H
V
RR
ΣΣ > 1,50 ..…..(2.119)
dimana :
ΣRV = keseluruhan gaya yang bekerja vertikal (ton)
ΣRh = keseluruhan gaya horisontal tekan yang bekerja pada bangunan
(ton)
f = faktor gesekan
c. Kontrol terhadap eksentrisitas
Dalam mengontrol stabilitas terhadap eksentrisitas ( dalam Sosrodarsono,
1985 ) digunakan rumus sebagai berikut :
e = 0,5B- ⎥⎦⎤
⎢⎣⎡
ΣΣ−Σ
VMM HV <
6B .....(2.120)
64
dimana :
e = eksentrisitas
B = lebar tapak bendung (m)
ΣMV = jumlah momen vertikal (tm)
ΣMH = jumlah momen horizontal (tm)