1797 chapter ii

58
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. BENDUNGAN PENAHAHAN SEDIMEN 2.1.1. Uraian Umum Lahar yang terdapat pada lereng bagian hulu Gunung Merapi dan curah hujan yang sangat deras dalam waktu lama dengan intensitas tinggi, dapat menyebabkan bahaya banjir lahar dingin atau bahaya sekunder. Bahaya sekunder diakibatkan oleh mengalirnya air yang membawa endapan berupa material yang sebelumnya menumpuk pada lereng bagian hulu. Endapan awan panas pada lereng bagian hulu merupakan endapan material yang lepas yang sewaktu terjadi hujan akan hanyut ke hilir dalam bentuk banjir lahar. Hujan dengan kondisi 50 mm/jam sudah perlu diwaspadai akan terjadinya banjir lahar. Kecepatan aliran lahar dapat mencapai 36 km/jam dan konsentrasi endapan material sedimen yang diendapkan dapat mencapai 40 %. Dengan kecepatan yang cukup besar dan kandungan yang besar tersebut, aliran akan bersifat merusak terhadap apapun yang dilalui aliran tersebut. Oleh karena itu untuk mengurangi besarnya sedimen yang dibawa oleh aliran lahar dan mengurangi kecepatan aliran maka perlu adanya pengendalian banjir lahar dingin. Prinsip-prinsip pengendalian banjir lahar dingin antara lain : Menampung endapan sedimen di daerah hulu dan mengurangi produksi sedimen dari alur sungai dan tebing sungai dengan membangun dam penahan sedimen ( sabo dam ). Menahan endapan sedimen di daerah endapan dengan membangun kantong- kantong lahar dan tanggul. Mengarahkan aliran banjir di daerah hilir dengan pembuatan dam konsolidasi, tanggul, dan perbaikan alur sungai. Upaya penanggulangan masalah erosi dan sedimentasi telah lama di lakukan di Indonesia dengan menitik beratkan pada upaya pencegahan dengan menggunakan teknologi sederhana berupa penghutanan dan bendung pengendali sedimen. Teknologi sabo mulai dikenalkan di Indonesia sejak kedatangan tenaga

Upload: baadsah

Post on 19-Jun-2015

2.634 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1797 chapter ii

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. BENDUNGAN PENAHAHAN SEDIMEN

2.1.1. Uraian Umum

Lahar yang terdapat pada lereng bagian hulu Gunung Merapi dan curah

hujan yang sangat deras dalam waktu lama dengan intensitas tinggi, dapat

menyebabkan bahaya banjir lahar dingin atau bahaya sekunder. Bahaya sekunder

diakibatkan oleh mengalirnya air yang membawa endapan berupa material yang

sebelumnya menumpuk pada lereng bagian hulu. Endapan awan panas pada

lereng bagian hulu merupakan endapan material yang lepas yang sewaktu terjadi

hujan akan hanyut ke hilir dalam bentuk banjir lahar. Hujan dengan kondisi 50

mm/jam sudah perlu diwaspadai akan terjadinya banjir lahar. Kecepatan aliran

lahar dapat mencapai 36 km/jam dan konsentrasi endapan material sedimen yang

diendapkan dapat mencapai 40 %. Dengan kecepatan yang cukup besar dan

kandungan yang besar tersebut, aliran akan bersifat merusak terhadap apapun

yang dilalui aliran tersebut. Oleh karena itu untuk mengurangi besarnya sedimen

yang dibawa oleh aliran lahar dan mengurangi kecepatan aliran maka perlu

adanya pengendalian banjir lahar dingin.

Prinsip-prinsip pengendalian banjir lahar dingin antara lain :

Menampung endapan sedimen di daerah hulu dan mengurangi produksi

sedimen dari alur sungai dan tebing sungai dengan membangun dam penahan

sedimen ( sabo dam ).

Menahan endapan sedimen di daerah endapan dengan membangun kantong-

kantong lahar dan tanggul.

Mengarahkan aliran banjir di daerah hilir dengan pembuatan dam konsolidasi,

tanggul, dan perbaikan alur sungai.

Upaya penanggulangan masalah erosi dan sedimentasi telah lama di

lakukan di Indonesia dengan menitik beratkan pada upaya pencegahan dengan

menggunakan teknologi sederhana berupa penghutanan dan bendung pengendali

sedimen. Teknologi sabo mulai dikenalkan di Indonesia sejak kedatangan tenaga

Page 2: 1797 chapter ii

8

ahli sabo dari Jepang, Mr. Tomoaki Yokota, pada tahun 1970. Sabo berasal dari

bahasa Jepang yang terdiri dari dua kata yaitu sa yang berarti pasir dan bo yang

berati pengendalian, dengan demikian secara harfiah sabo mengandung pengertian

pengendali pasir. Akan tetapi dalam kenyataannya sabo merupakan suatu sistem

penanggulangan bencana alam akibat erosi dan sedimentasi. Termasuk di

dalamnya erosi dan sedimentasi yang disebabkan oleh adanya lahar hujan,

sedimen luruh, tanah longsor, dan lain-lain.

Bentuk sabo dam memiliki perbedaan dengan bangunan bendung seperti

di bawah ini :

main dam

lubang drainasesub dam

Gambar 2.1. Sketsa memanjang sabo dam

lantai hulu

mercu

lantai terjun

R2R1

Gambar 2.2. Sketsa memanjang bendung

Ada beberapa macam bangunan sabo antara lain :

Dam konsolidasi : untuk mengurangi produksi sedimen dari alur dan tebing

sungai.

Check dam : untuk menampung dan mengendalikan sedimen.

Sandpocket : untuk menahan endapan sedimen di daerah endapan.

Tanggul : untuk mengarahkan aliran banjir dan mengurangi pengikisan

tebing.

Page 3: 1797 chapter ii

9

Jenis pekerjaan sabo terbagi atas dua bagian, yaitu :

1. Pekerjaan langsung, yaitu pemantapan lereng bukit sebagai upaya pencegahan

terjadinya erosi, antara lain sengkedan, penghutanan, bendung pengendali

sedimen, dan lain-lain.

2. Pekerjaan tidak langsung, sebagai upaya pengendalian aliran sedimen dan

sedimen luruh ( debris flow ), antara lain bendung penahan sedimen, kantong

sedimen, normalisasi / kanalisasi alur, tanggul dan lain-lain.

Aliran debris adalah aliran sedimen ( lahar ) dalam jumlah yang banyak

akibat erupsi lahar yang disertai awan panas dan mengalir ke sungai berdasarkan

kemiringan gunung.

2.1.2. Pola Penanggulangan Banjir Lahar Dingin

Salah satu gunung teraktif di Indonesia adalah Gunung Merapi, letusan

yang terus menerus pada Gunung Merapi akan menimbulkan kubah lava dengan

volume yang cukup besar. Massa lava yang dikeluarkan dari Gunung Merapi

dapat mencapai jutaan meter kubik, untuk itu Gunung Merapi ini bertipe eruption.

Dengan tingkat intensitas hujan yang cukup tinggi akan mengakibatkan kubah

lava yang berada pada bagian hulu akan berpotensi bergerak ke bawah terbawa

oleh air menuju sungai-sungai sampai ke hilir sebagai aliran debris atau aliran

lahar dingin. Pergerakan aliran debris bila tidak diantisipasi dengan baik akan

menimbulkan bahaya banjir lahar dingin yang akan membahayakan kehidupan

manusia di sekitarnya termasuk fasilitas-fasilitas di sekitar gunung.

Daerah produksi sedimen adalah daerah yang terletak pada lereng bagian

hulu dengan kemiringan > 6 %. Penanggulangan banjir lahar dingin pada daerah

produksi sedimen ini dapat diantisipasi dengan cara membuat bangunan penahan

sedimen, dam konsolidasi dan dam pengarah aliran. Dengan dibuat bangunan ini

diharapkan dapat mengurangi besarnya aliran debris dan memperkecil kecepatan

aliran tersebut.

Pada daerah transportasi sedimen, yaitu daerah yang memiliki kemiringan

berkisar antara 3 % s/d 6 % yang merupakan daerah perkampungan dan pertanian,

Page 4: 1797 chapter ii

10

dapat diantisipasi dengan cara membangun dam konsolidasi, normalisasi alur,

dam penahan sedimen / sabo, dan tanggul.

Sedangkan daerah endapan sedimen, yaitu daerah yang terletak pada

bagian hilir dengan kemiringan < 3 % dapat diatasi dengan membangun bangunan

kantong lumpur, dam konsolidasi, dan normalisasi aliran.

Pada penyusunan tugas akhir ini penulis akan merencanakan dam penahan

sedimen / sabo yang terletak pada daerah transportasi sedimen. Sedangkan untuk

bendung direncanakan terletak di bawah sabo dam.

2.1.3. Pemilihan Letak Bangunan

a. Penentuan lokasi sabo dam

Dalam penentuan lokasi sabo dam yang perlu diperhatikan adalah :

Sabo dam dibangun pada sungai daerah transportasi lahar yaitu pada

daerah yang memiliki kemiringan 3 % s/d 6 % dimana sedimen yang

melewati sungai tersebut masih banyak.

Sabo dam dibangun pada sungai yang kemiringannya belum stabil

sehingga akan menyebabkan tingkat erosi yang tinggi karena kecepatan

aliran yang besar.

b. Penentuan lokasi bendung

Bendung diletakkan pada kedalaman sungai yang tidak terlalu dalam

sehingga tanggul sungai tidak terlalu tinggi.

Bendung diletakkan pada sungai yang lurus. Hal ini untuk menghindari

endapan sedimen karena pada tikungan sungai bagian dalam arus yang

terjadi kecil sehingga sedimen akan mengalami pengendapan.

Bendung diletakkan pada alur sungai yang memiliki kecepatan dan arah

air relatif sedang atau kecil.

Agar dapat mengairi seluruh daerah irigasi yang direncanakan maka letak

mercu bendung direncanakan lebih tinggi dari elevasi daerah irigasi

tertinggi.

Bendung direncanakan terletak pada tanah yang memiliki daya dukung

cukup baik sehingga bangunan akan stabil.

Page 5: 1797 chapter ii

11

Bendung diletakkan pada daerah alur sungai yang memiliki kedalaman

muka air pada waktu debit banjir relatif sedang atau kecil.

2.1.4. Alternatif Letak Bendung Terhadap Sabo Dam

Letak bendung terhadap sabo dam mempunyai 3 alternatif antara lain

sebagai berikut :

a. Alternatif 1

Pada alternatif 1 letak bendung berada di atas sabo dam yang memiliki ciri-

ciri antara lain :

Kecepatan air besar.

Debit air yang diambil akan besar.

Material sedimen yang terbawa arus sungai akan dapat tertahan dahulu

pada bendung.

Dibutuhkan pintu penguras dengan dimensi yang besar sebagai tempat

untuk dilewati sedimen dalam volume besar saat pengurasan.

Dibutuhkan biaya yang besar untuk pelaksanaannya.

b. Alternatif 2

Pada alternatif 2 letak bendung berada di bawah sabo dam yang memiliki ciri-

ciri antara lain :

Besar debit yang diambil saluran utama akan kecil karena sebagian debit

air akan terhambat oleh sabo dam, hal ini akan sangat berkurang pada saat

debit sungai waktu kemarau panjang.

Kecepatan air semakin kecil.

Dibutuhkan biaya pelaksanaan atau pembuatan yang besar.

c. Alternatif 3

Pada alternatif 3 letak bendung berada di samping sabo dam yang memiliki

ciri-ciri antara lain :

Letak bendung di samping sabo untuk mencegah sedimen tidak menuju

bendung, maka diberi dinding pengarah di antara bendung dan sabo.

Besar debit air yang menuju bendung tergantung lebar saluran yang

menuju bendung.

Page 6: 1797 chapter ii

12

Kecepatan air lebih besar dari pada kecepatan rata-rata aliran sungai,

sehingga sangat menguntungkan.

Dari 3 alternatif di atas dipilih alternatif 2 yaitu letak bendung di bawah

sabo dam dalam satu alur sungai, pertimbangannya adalah sebagai berikut :

Apabila letak bendung berada di atas sabo dam pada alur sungai, maka

sedimen tidak bisa dilewatkan karena tertahan oleh bangunan bendung.

Bila letak bendung di atas atau di samping sabo dam maka bila terjadi banjir

lahar dikhawatirkan bendung rusak berat seperti pengalaman yang telah

terjadi. Untuk itu letak bendung direncanakan berada di bawah sabo dam. Hal

ini dimaksudkan agar aliran debris atau material sedimen yang terbawa arus

sungai dapat tertahan dulu oleh sabo dam sebagai mana fungsinya sebagai

bangunan penahan sedimen, sehingga bendung tidak akan rusak oleh material

sedimen.

2.2. ANALISA MEKANIKA TANAH

Analisa tanah sangat penting untuk mengetahui jenis tanah dan daya

dukung tanah pada daerah yang akan direncanakan bangunan. Analisa tanah

dilakukan dengan pengambilan sampel yang ada di lokasi yang akan dibangun,

pada proyek ini pengambilan sampel pada sisi kanan dan sisi kiri dasar sungai

Kali Putih. Selain pengambilan sampel dapat juga dengan menggunakan nilai

standar. Tetapi akan lebih baik jika analisa tanah berasal dari pengambilan sampel

di lokasi.

Tabel 2.1. Nilai Standar Rata-rata

Berat spesifik tanah ( Gs )

Kadar air optimum W ( % )

Berat satuan ( t/m3 )

Kohesi C (t/m2)

Berat isi kering dγ (t/m3)

Berat basahtγ (t/m3)

Berat jenuh γ sat (t/m3)

2.70 7.4 1.78 1.91 2.12 - dalam Tim Proyek Pengendalian Banjir Lahar Gunung Merapi Yogyakarta, 1988

Page 7: 1797 chapter ii

13

Adapun data tanah yang diperlukan adalah sebagai berikut :

1. Berat spesifik tanah atau specific gravity ( Gs )

Berat spesifik tanah merupakan perbandingan antara berat isi butiran tanah

dan berat isi air murni dengan volume yang sama, pada temperatur tertentu.

Sebagian besar mineral-mineral tanah memiliki berat spesifik sebesar 2,6

sampai dengan 2,9.

Rumus yang digunakan ( dalam Das, 1995 ) adalah sebagai berikut :

Gs =w

swγ

…….(2.1)

dimana :

Gs = berat spesifik tanah

w s = berat butiran padat (ton)

wγ = berat jenis air (ton/m3)

2. Berat isi kering ( dγ )

Berat isi kering ( dalam Das, 1995 ) merupakan berat volume kering

tanah, dimana volume rongga tanah hanya terisi oleh udara.

dγ = e

G ws

+1.γ …….(2.2)

dimana :

dγ = berat isi kering tanah (ton/m3)

wγ = berat jenis air (ton/m3)

e = angka pori

3. Kadar air optimum ( w )

Kadar air optimum ( dalam Das, 1995 ) merupakan perbandingan antara

berat air pada tanah dengan berat batuan padat tanah tersebut.

w = s

w

ww ……(2.3)

dimana :

w = kadar air optimum (%)

ww = berat air (ton)

Page 8: 1797 chapter ii

14

sw = berat batuan padat (ton)

4. Kuat geser Tanah

Kekuatan geser tanah dibagi dalam dua komponen yaitu :

Kekuatan kohesi yang tergantung dari macam tanah dan kepadatannya,

tetap tidak tergantung dari tegangan vertikal yang bekerja pada bidang

geseran.

Kekuatan gesekan yang besarnya berbanding lurus dengan tegangan

vertikal yang bekerja pada bidang geseran.

Dari kuat geser tanah didapatkan nilai sudut geser tanah (θ ) dan kohesi ( c ).

5. Permeabilitas ( k )

Permeabilitas adalah kemampuan struktur tanah untuk dapat dirembesi oleh

air. Tingkat permeabilitas suatu bahan biasanya ditandai dengan angka

koefisien permeabilitas dengan satuan cm/det. Nilai standar permeabilitas

dapat digunakan angka rata-rata yaitu k = 1.10 x 10-2 cm/det ( dalam Tim

Proyek Pengendalian Banjir Lahar Gunung Merapi Yogyakarta, 1988 )

2.3. ANALISA HIDROLOGI

Analisa hidrologi sangat penting untuk memperkirakan debit banjir rencana.

Debit banjir ini diperlukan untuk merencanakan tipe, bentuk, dan ukuran hidrolis

bangunan pengendali sedimen ( sabo dam ) dan bendung. Data – data yang

diperlukan adalah data-data mengenai curah hujan yang terjadi serta luas daerah

aliran sungai. Rangkaian data yang diperlukan tersebut harus periodik dan

kontinyu.

2.3.1. CURAH HUJAN DAERAH

Data curah hujan didapat dari stasiun-stasiun yang berada di sekitar

Gunung Merapi.

2.3.1.1. Penetuan Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai ditentukan berdasarkan topografi daerah tersebut,

dimana daerah aliran sungai tersebut dibatasi oleh punggung-punggung bukit di

antara dua buah sungai sampai ke sungai yang ditinjau. Kita dapat menentukan

Page 9: 1797 chapter ii

15

daerah aliran sungai pada peta topografi dengan cara membuat garis imajiner yang

menghubungkan titik-titik yang memiliki elevasi kontur tertinggi di sebelah kiri

dan kanan sungai yang ditinjau.

2.3.1.2. Perhitungan Curah Hujan Rerata

Curah hujan rerata dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa

metode antara lain :

a. Metode Rata-rata Aljabar.

Cara ini digunakan apabila :

Daerah tersebut berada pada daerah yang datar.

Penempatan alat pengukur tersebar merata.

Variasi curah hujan sedikit dari harga tengahnya.

Rumus yang digunakan ( dalam Wahyuni, 2002 ) adalah sebagai berikut :

R = 1/n (R1 + R2 + …+ Rn ) …….(2.4)

dimana :

R = curah hujan ( mm )

R1, R2, …, Rn = curah hujan pada stasiun 1, 2, …, n ( mm )

n = jumlah stasiun pengamatan

b. Metode Thiessen

Metode ini digunakan dengan ketentuan :

Daerah dibagi menjadi poligon, dimana stasiun pengamatannya sebagai

pusat.

Penambahan stasiun pengamatan akan mengubah seluruh jaringan.

Tidak memperhitungkan topografi.

Lebih baik dari rata-rata aljabar jika curah hujan di tiap-tiap stasiun tidak

merata.

Rumus yang digunakan ( dalam Wahyuni, 2002 ) adalah sebagai berikut :

R = n

nn

AAARARARA

++++++

.........

21

2211 …….(2.5)

Page 10: 1797 chapter ii

16

dimana :

R = curah hujan ( mm )

R1, R2, …, Rn = curah hujan pada stasiun pengamatan 1, 2, …, n ( mm )

A1, A2, …, An = luas derah pada poligon 1, 2, …, n (km2)

c. Cara Isohiet

Metode ini digunakan dengan ketentuan :

Dapat digunakan pada daerah datar maupun pegunungan.

Jumlah stasiun pengamatan harus banyak.

Bermanfaat untuk hujan yang sangat singkat.

Rumus yang digunakan ( dalam Wahyuni, 2002 ) adalah sebagai berikut :

R = ∑∑

i

ii

ARA .

…….(2.6)

dimana :

Ai = luas daerah isohiet antara Ri dan Ri-1 ( mm )

Ri = besarnya curah hujan pada garis isohiet Ri ( km2 )

Pada penyusunan tugas akhir ini untuk keperluan perencanaan, data hujan

yang digunakan adalah hasil perhitungan dengan metode rata-rata aljabar, karena

cara ini akan memberikan koreksi terhadap besarnya hujan sebagai fungsi rata-

rata tinggi hujan selama jangka waktu tertentu. Dengan cara ini akan akurat jika

stasiun hujan tersebar merata dan variasi hujan tahunan yang tidak terlalu tinggi.

2.3.2. ANALISA FREKUENSI CURAH HUJAN RENCANA

2.3.2.1.Pengukuran Dispersi

Tidak semua variat dari suatu variabel hidrologi terletak atau sama dengan

nilai rata-ratanya, akan tetapi kemungkinan ada nilai variat yang lebih besar atau

lebih kecil dari rata-ratanya. Besarnya derajat dari sebaran variat di sekitar nilai

rata-ratanya disebut dengan variasi atau dispersi. Cara mengukur besarnya

dispersi disebut dengan pengukuran dispersi.

Page 11: 1797 chapter ii

17

Macam cara pengukuran dispersi antara lain adalah sebagai berikut :

a. Deviasi Standar ( S )

Rumus yang digunakan ( dalam Soewarno, 1995 ) adalah sebagai berikut :

S = 1

)(1

2

−∑=

n

XXn

ii

.……(2.7)

dimana :

S = deviasi standar

Xi = nilai variat ke i

X = nilai rata-rata variat

n = jumlah data

b. Koefisien Skewness ( Cs )

Kemencengan ( skewness ) adalah suatu nilai yang menunjukkan derajat

ketidaksimetrisan dari suatu bentuk distribusi.

Rumus yang digunakan ( dalam Soewarno, 1995 ) adalah sebagai berikut:

Cs = 31

3

)2)(1(

)(

Snn

XXn

ii

−−

−∑= ……(2.8)

dimana :

Cs = koefisien skewness

Xi = nilai variat ke i

X = nilai rata-rata variat

n = jumlah data

S = deviasi standar

c. Pengukuran Kurtosis ( Ck )

Koefisien kurtosis digunakan untuk menentukan keruncingan kurva dari

bentuk kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi

normal.

Page 12: 1797 chapter ii

18

Rumus yang digunakan ( dalam Soewarno, 1995 ) adalah sebagai berikut :

Ck = 41

4

)3)(2)(1(

)(1

Snnn

XXn

n

ii

−−−

−∑= …….(2.9)

dimana :

Ck = koefisien kurtosis

Xi = nilai variat ke i

X = nilai rata-rata variat

n = jumlah data

S = deviasi standar

d. Koefisien Variasi

Koefisien variasi adalah nilai perbandingan antara deviasi standar dengan

nilai rata-rata hitung suatu distribusi.

Rumus yang digunakan ( dalam Soewarno, 1995 ) adalah sebagai berikut :

Cv = XS …….(2.10)

dimana :

Cv = koefisien variasi

X = nilai rata-rata variat

e. Pemilihan jenis sebaran

Ada beberapa tipe distribusi :

Distribusi Normal

dimana Cs ≈ 0

Distribusi Log Normal

dimana Cs ≈ 3 Cv + Cv3

Cs = 0,81

Distribusi Gumbel Tipe I

dimana CS 139,1≈

Ck 4002,5≈

Page 13: 1797 chapter ii

19

Distribusi Log Pearson Tipe III

dimana Cs 0≠

Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi, di antaranya yang banyak

digunakan dalam bidang hidrologi adalah distribusi normal, distribusi Gumbel

tipe I, dan distribusi Pearson tipe III. Pemilihan jenis sebaran dilakukan

berdasarkan syarat-syarat dan hasil perhitungan, kemudian dilakukan prosedur

selanjutnya yaitu :

1. Hitung nilai probabilitas untuk setiap harga pengamatan.

Digunakan distribusi Gumbel tipe I karena hasil perhitungan sebaran

mendekati syarat distribusi jenis ini yaitu untuk CS 139,1≈ dan Ck ≈ 5,4002

( dalam Soewarno, 1995 ).

P (X )x≤ = ey

e−

− )( …….(2.11)

Y = a (X – Xo)

a = 1,283/S

Xo = X – 0,455S

dimana :

P (X )x≤ = fungsi densitas peluang Gumbel tipe I

e = 2,71828

Y = faktor reduksi Gumbel

X = besar curah hujan pada periode tertentu

x = nilai curah hujan rata-rata

S = deviasi standar

2. Rangking data

3. Tentukan plotting position

4. Plot sampel data pada kertas probabilitas dimana sumbu x adalah data curah

hujan dan sumbu y adalah nilai probabilitas.

Selain dengan cara diatas pengujian kecocokan sebaran perlu dilakukan juga

dengan cara Chi-kuadrat. Pengujian Chi-kuadrat dimaksudkan untuk

menentukan apakah persamaan distribusi peluang yang telah dipilih dapat

mewakili dari distribusi statistik sampel data yang dianalisis.

Page 14: 1797 chapter ii

20

Rumus yang digunakan ( dalam Soewarno, 1995 ) adalah sebagai berikut :

Xh2 = ∑

=

−G

i i

ii

EEO

1

2)( …….(2.12)

dimana :

Xh2 = parameter Chi-kuadrat

G = jumlah sub-kelompok

Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub-kelompok ke I

Ei = jumlah nilai teoritis pada sub-kelompok ke I

Prosedur uji Chi-kuadrat adalah sebagai berikut :

1. Urutkan data pengamatan dari yang terbesar ke terkecil atau

sebaliknya.

2. Kelompokkan data menjadi G sub-group, tiap-tiap sub-group minimal

empat data pengamatan.

3. Jumlahkan data pengamatan sebesar Oi, tiap-tiap sub-group.

4. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebasar Ei

5. Tiap-tiap group hitung nilai :

( Oi – Ei )2 dan i

ii

EEO 2)( −

6. Jumlah seluruh G sub-group i

ii

EEO 2)( − untuk menentukan nilai Chi-

kuadrat

7. Tentukan derajad kebebasan dk = G – R – 1 ( nilai R = 2 untuk

distribusi normal dan binomial dan R = 1 untuk distribusi poisson dan

Gumbel ).

Interprestasi hasilnya adalah sebagai berikut :

3. Apabila peluang lebih dari 5 % maka persamaan distribusi teoritis yang

digunakan dapat diterima

4. Apabila peluang lebih kecil 1 % maka persamaan distribusi teoritis yang

digunakan dapat diterima

5. Apabila peluang antara 1 % - 5 %, maka tidak mungkin mengambil

keputusan, perlu tambahan data.

Page 15: 1797 chapter ii

21

2.3.3. PERHITUNGAN DEBIT BANJIR RENCANA

Perhitungan debit banjir rencana di Kali Putih dengan mengambil periode

masa ulang 50 tahun, dan digunakan beberapa metode pendekatan antara lain :

a. Metode Rasional

Perhitungan metode rasional ( dalam Sosrodarsono dkk, 1985 ) menggunakan

rumus sebagai berikut :

Q = Arf ..6,3

1 …….(2.13)

dimana :

Q = debit banjir rencana ( m3/det )

f = koefisien pengaliran

r = intensitas hujan selama t jam ( mm/jam )

r = 3/2

24 2424

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

TR

R24 = curah hujan harian ( mm )

T = wl

T = waktu konsentrasi ( jam )

W = 20 l

H 6,0

( m/det )

w = 72 l

H 6,0

( Km/jam )

w = waktu kecepatan perambatan ( m/det atau km/jam )

l = jarak dari ujung daerah hulu sampai titik yang ditinjau ( km )

A = luas DAS ( km2 )

H = beda tinggi ujung hulu dengan tinggi titik yang ditinjau ( m )

Koefisien pengaliran ( f ) tergantung dari beberapa faktor antara lain jenis

tanah, kemiringan, vegetasi, luas dan bentuk pengaliran sungai. Sedang

besarnya nilai koefisien pengaliran dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Page 16: 1797 chapter ii

22

Tabel 2.2. Koefisien Pengaliran Kondisi Daerah Pengaliran Koefisien Pengaliran ( f )

Daerah pegunungan berlereng terjal 0,75-0,90

Daerah perbukitan 0,70-0,80

Tanah bergelombang dan semak-semak 0,50-0,75

Tanah daratan yang ditanami 0,45-0,65

Persawahan irigasi 0,70-0,80

Sungai di daerah pegunungan 0,75-0,85

Sungai kecil di daratan 0,45-0,75

Sungai besar yang setengah dari daerah pengaliranya terdiri dari daratan 0,50-0,75

dalam Sosrodarsono, 1989

b. Metode Wudewen

Rumus debit banjir rencana Metode Wudewen yang digunakan ( dalam

Wahyuni, 2002 ) adalah sebagai berikut :

Qt = Aqn...βα …….(2.14)

dimana :

α = )7(

1,41+

−qβ

β = )120(

))9/()1((120A

Att+

+++

qn = ⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛+ 45,1

65,67240 tRn

t = 25,0125,0 ...25,0 −− IQL

dimana :

Qt = debit banjir rencana ( m3/det )

Rn = curah hujan maksimum ( mm/hari )

α = koefisien limpasan

β = koefisien pengurangan daerah untuk curah hujan DAS

qn = debit per satuan luas ( m3/det km2 )

Page 17: 1797 chapter ii

23

A = luas daerah pengaliran ( km2 ) sampai 100 km2

t = lamanya curah hujun ( jam )

L = panjang sungai ( km )

I = gradien sungai atau medan yaitu kemiringan rata-rata

sungai ( 10 % bagian hulu dari panjang sungai tidak dihitung. Beda

tinggi dan panjang diambil dari suatu titik 0,1 L dari batas hulu DAS ).

Langkah kerja perhitungan debit banjir dengan Metode Wudewen adalah

sebagai berikut :

Hitung A, L, dan I dari peta garis tinggi DAS, substitusikan kedalam

persamaan.

Buat harga perkiraan untuk Q1 dan gunakan persamaan di atas untuk

menghitung besarnya t, qn, α , dan β .

Setelah besarnya t, qn, α , dan β didapat kemudian dilakukan literasi

perhitungan untuk Q2.

Ulangi perhitungan sampai dengan Qn = Qn-1 atau mendekati nilai tersebut.

Metode Wudewen digunakan untuk curah hujan sampai 240 mm.

3. Metode Haspers

Perhitungan debit banjir rencana dengan Metode Haspers menggunakan

persamaan sebagai berikut :

Q = xqxAkxβ (m3/det) …….(2.15)

dimana :

k = 7,0

7,0

075,01012,01

xAxA

++

=β1

12)1(107,31

75,0

2

4,0 Axt

xt t

++

+−

t = 3,08,01,0 −xIxL

q = )6,3( xt

r

r = )1( +t

txRt

Page 18: 1797 chapter ii

24

dimana :

Q = debit banjir periode ulang tertentu

k = koefisien run off

β = koefisien reduksi

q = intensitas hujan yang diperhitungkan (m3/det/km2)

A = luas DAS (km2)

L = panjang sungai

I = kemiringan sungai

r = distribusi hujan

q = intensitas hujan

2.3.4. PERENCANAAN DEBIT BANJIR BANGUNAN SABO

Debir banjir rencana dalam perencanaan ini adalah debit yang timbul

akibat adanya gabungan massa air dan massa sedimen yang tererosi yang

diperkirakan melimpas pada alur Kali Putih. Besarnya debit banjir rencana dapat

ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

Qd = α . Qp …….(2.16)

dimana :

Qd = debit banjir rencana ( m3/det )

Qp = debit banjir puncak ( m3/det )

α = konsentrasi kandungan sedimen

α = dCC

C−**

C* = 0,6 ( untuk aliran debris )

Cd = )tan)(tan1/(

tanθφρρ

θ−−ws

wρ = berat volume air ( gr/cm3 )

sρ = berat volume sedimen (gr/cm3 )

tanθ = kemiringan dasar sungai

tanφ = koefisien gesekan dalam sedimen

Page 19: 1797 chapter ii

25

2.4. PERENCANAAN SABO DAM

2.4.1. PERENCANAAN MAIN DAM

2.4.1.1. Tinggi Efektif Main Dam

Tinggi efektif main dam direncanakan dengan tinggi tertentu agar dam

penahan memiliki daya tampung yang cukup besar. Dalam penentuan tinggi main

dam ditentukan oleh ketinggian tebing pada sisi kiri dan kanan sungai serta

kondisi tanah pada tebing tersebut. Selain itu ketinggian main dam juga

direncanakan berdasarkan dengan kemiringan dasar sungai stabil dan atau berada

di bawah ketinggian tebing sungai agar pada saat terjadi limpasan air, air tidak

meluap ke kiri dan kanan sungai.

hm main dam

Gambar 2.3. Sketsa tinggi efektif main dam

keterangan :

hm = tinggi efektif main dam ( m )

Untuk kemiringan dasar sungai stabil ( dalam Sugiyanto, 2002 ) digunakan

rumus sebagai berikut :

Is =7/67/10

2 .10.9,80

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

dQnB

ggd …….(2.17)

dimana :

Is = kemiringan dasar sungai stabil

d = diameter butiran material dasar sungai ( m )

g = percepatan gravitasi = 9,8 m/det2

B = lebar sungai ( m)

h = kedalaman air banjir ( m )

n = koefisien kekasaran manning

Page 20: 1797 chapter ii

26

Qd = debit banjir rencana ( m3/det )

2.4.1.2. Perencanaan Lebar Peluap Main Dam

Untuk menghitung lebar peluap main dam digunakan rumus sebagai berikut :

B1 = a . dQ ………(2.18)

dimana :

B1 = lebar peluap ( m )

Qd = debit banjir rencana ( m3/det )

a = koefisien limpasan

B1

Gambar 2.4. Sketsa lebar peluap main dam

keterangan :

B1 = lebar peluap ( m )

Besarnya koefisien limpasan tergantung dari luas DAS, dapat dilihat pada

Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Tabel Nilai Koefisien Limpasan ( a )

Luas Daerah Aliran Koefisien Limpasan ( a ) A ≤ 1 km2

1 km2 ≤ A ≤ 10 km2 10 km2 ≤ A ≤ 100 km2

A ≥ 100 km2

2 – 3 3 – 4 3 – 5 3 – 6

dalam Tim Proyek Pengendalian Banjir Lahar Gunung Merapi Yogyakarta, 1988

2.4.1.3. Tinggi Limpasan di Atas Paluap ( hw )

Debit yang mengalir di atas peluap dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Qd = ( 2/15 ).Cd. g2 .( 3B1 + 2B2 ). hw3/2 ………(2.19)

Page 21: 1797 chapter ii

27

dimana :

Qd = debit banjir rencana ( m3/det )

Cd = koefisien debit ( 0,6 – 0,66 )

g = percepatan gravitasi ( 9,8 m3/det )

B1 = lebar peluap bagian bawah ( m )

B2 = lebar muka air di atas peluap ( m )

hw = tinggi air di atas peluap ( m )

w = tinggi jagaan ( m )

hw

Gambar 2.5. Sketsa tinggi limpasan di atas peluap

2.4.1.4. Tinggi Jagaan

Tinggi jagaan diperhitungkan berdasarkan debit banjir rencana. Tinggi

jagaan diperhitungkan untuk menghindari meluapnya aliran air ke samping.

Tinggi jagaan dapat ditentukan berdasarkan debit banjir rencana sesuai dengan

Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Tinggi Jagaan

Debit Rencana ( m3/det ) Tinggi Jagaan ( m ) Q ≤ 200

200≤ Q ≤ 500 Q ≥ 500

0,60 0,80 1,00

dalam Tim Proyek Pengendalian Banjir Lahar Gunung Merapi Yogyakarta, 1988

2.4.1.5. Tebal Mercu Peluap Main Dam

Tebal mercu peluap harus diperhitungkan terhadap segi stabilitas dan

kemungkinan kerusakan akibat hidraulik aliran debris. Mercu berbentuk ambang

lebar. Sebagai pedoman penentuan lebar mercu peluap digunakan Tabel 2.5 di

bawah ini :

Page 22: 1797 chapter ii

28

Tabel 2.5. Tebal Mercu Peluap Main Dam Tebal Mercu b = 1,5 – 2,5 m b = 3,0 – 4,0 m

Material Pasir dan kerikil atau kerikil dan batu

Batu-batu besar

Hidrologis Kandungan sedimen sedikit sampai sedimen yang banyak

Debris flow kecil sampai debris flow yang besar

dalam Sosrodarsono, 1985

b

Gambar 2.6. Sketsa tebal mercu peluap main dam

dimana :

b = tebal mercu peluap

2.4.1.6. Kedalaman Pondasi Main Dam

Untuk menghitung kedalaman pondasi main dam rumus yang digunakan

adalah sebagai berikut :

hp = ( 1/3 s/d 1/4 ) ( hw + hm ) ………(2.20)

dimana :

hw = tinggi air di atas peluap ( m )

hm = tinggi efektif main dam ( m )

hp = kedalaman pondasi main dam ( m )

Page 23: 1797 chapter ii

29

Sketsa kedalaman pondasi main dam dapat dilihat pada gambar sebagai

berikut :

hw

hm

hp

Gambar 2.7. Sketsa kedalaman pondasi main dam

2.4.1.7. Kemiringan Tubuh Main Dam

Kemiringan tubuh main dam, baik kemiringan pada bagian hulu maupun

bagian hilir tubuh main dam sangat berpengaruh terhadap kestabilan bangunan.

Biasanya pada pekerjaan sabo dam, kemiringan bagian hilir lebih kecil dari pada

bagian hulunya. Hal ini berfungsi untuk menghindari batu-batuan yang melimpas

dari peluap main dam yang dapat menyebabkan abrasi pada bagian hilir main

dam.

a. Kemiringan hilir

Kemiringan tubuh main dam bagian hilir didasarkan kecepatan kritis air dan

material yang melewati peluap yang diteruskan jatuh bebas secara gravitasi ke

lantai terjun.

b. Kemiringan hulu

Kemiringan hulu main dam dimana H < 15 m dihitung dengan rumus

sebagai berikut :

( 1 + α ) m2 + [2(n + β ) + ( 4α + γ ) + 2αβ ] m – ( 1 + 3 α ) + αβ ( 4n

+ β ) + γ (3 n β + β 2 + n2 ) = 0 ………(2.21)

dimana :

α = hw/hd

β = b/hp

hd = hp + hm

Page 24: 1797 chapter ii

30

γ = γ c + γ w

n = kemiringan di hilir tubuh main dam

m = kemiringan di hulu tubuh main dam

γ c = berat jenis batu kali ( kg./cm2 )

γ w = berat jenis air ( kg/cm2 )

hp = kedalaman pondasi ( m )

hw = tinggi air di atas peluap ( m )

hm = tinggi efektif main dam ( m )

hd = tinggi total main dam ( m )

b = lebar pelim pah ( m )

Sketsa kemiringan hulu, kemiringan hilir dan bagian-bagian sabo dam

dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

kemiri

ngan

hulu

kemiringan hilir

lubang drainase ( drip hole )

lantai terjun

main dam

sub dam

Gambar 2.8. Sketsa bagian-bagian sabo dam

2.4.1.8. Perencanaan Konstruksi Sayap Main Dam

Sayap main dam direncanakan sebagai sayap yang tidak dilimpasi air dan

mempunyai kemiringan kearah dalam dari kedua sisi main dam.

a. Kemiringan sayap

Kemiringan sayap ditentukan sesuai kemiringan dasar sungai arus deras alur

sungai tersebut.

b. Lebar mercu sayap

Lebar mercu sayap diambil sama dengan lebar mercu peluap atau sedikit lebih

kecil.

Page 25: 1797 chapter ii

31

c. Penetrasi sayap

Sayap harus direncanakan masuk ke dalam tebing karena tanah pada bagian

tebing sungai mudah tergerus oleh aliran air.

2.4.2. PERENCANAAN SUB DAM DAN LANTAI TERJUN ( APRON )

2.4.2.1. Lebar dan Tebal Peluap Sub Dam

Lebar dan tebal peluap sub dam direncanakan sesuai dengan perhitungan

lebar dan tebal main dam.

2.4.2.2. Perhitungan Tebal Lantai Terjun

Tebal lantai terjun diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut :

d = c.( 0,6 hm + 3hw - 1 ) ………(2.22)

dimana :

d = tebal lantai terjun ( m )

c = koefisien untuk pelindung air

koefisien besarnya 0,1 apabila menggunakan pelindung dan 0,2

apabila tanpa pelindung

hm = tinggi main dam ( m )

hw = tinggi air di atas mercu main dam ( m )

Sketsa tebal lantai terjun dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

d

Gambar 2.9. Sketsa main dam dan tebal lantai terjun

2.4.2.3. Tinggi Sub Dam

Tinggi sub dam direncanakan dengan rumus sebagai berikut :

H2 = ( 1/3 s/d 1/4 )( hm + hp ) ………(2.23)

Page 26: 1797 chapter ii

32

dimana :

H2 = tinggi mercu sub dam dari lantai terjun ( m )

hm = tinggi efektif main dam ( m )

hp = kedalaman pondasi main dam ( m )

lubang drainase ( drip hole )

lantai terjun

main dam

sub dam H2

hm

hp

Gambar 2.10. Sketsa main dam, lantai terjun dan sub dam

2.4.2.3. Panjang Lantai Terjun

Panjang lantai terjun adalah jarak antara main dam dan sub dam,

ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

L = ( 1,5 s/d 2,0 ) ( H1 + hw ) ………(2.24)

L = lw + x.b

H1 = hm = hp – d

lw = g

hHV wo2/1

1 )21( +

x = .β hj

hj = (h1 /2) ( )181 21 −+ F

F1 = 1

1

.2 hgV

h1 = q1/V1

q1 = Qd/B

V1 = )(2 1 whHg +

dimana :

L = jarak antara main dam dan sub dam ( m )

Page 27: 1797 chapter ii

33

H1 = beda tinggi antara mercu main dam sampai permukaan lantai terjun

( m )

H2 = tinggi sub dam ( m )

hm = tinggi efektif main dam ( m )

hp = kedalaman pondasi main dam ( m )

d = tebal lantai terjun ( m )

lw = tinggi terjunan ( m )

hw = tinggi muka air diatas mercu main dam ( m )

β = koefisien ( 4,50 – 5,0 )

hj = tinggi muka air diatas mercu sub dam sampai permukaan lantai terjun

(m)

F1 = angka froude dari aliran jet pada titik jatuh

h1 = tinggi air pada titik jatuh terjunnya ( m )

q1 = debit per meter peluap ( m3/det/m’ )

Qd = debit banjir rencana ( m3/det )

B = lebar peluap main dam ( m )

g = percepatan gravitasi ( 9,8 m/det2 )

b’ = tebal mercu sub dam ( m )

Sketsa main dam, panjang lantai terjun dan sub dam dapat dilihat pada

gambar sebagai berikut :

hp

hw

hm

sub dam

L

lantai terjun H2

C

main dam

hjb'

Gambar 2.11. Sketsa main dam, panjang lantai terjun dan sub dam

Page 28: 1797 chapter ii

34

2.4.2.5. Perhitungan Pondasi Sub Dam

Kedalaman pondasi sub dam diperhitungkan berdasarkan dalamnya

scouring yang akan terjadi di hilir sub dam. Dalam perhitungannya digunakan

rumus Zimmerman dan Naniak.

Rumus Zimmerman dan Naniak yang digunakan adalah sebagai berikut :

Zs = dd h

qh

dq

−⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ 93,0

667,023,085

82,0

………(2.25)

dimana :

d85 = diameter partikel 85 % dari grain size distribution ( mm )

Zs = scouring yang terjadi ( m )

q = debit per meter peluap ( m3/det/m )

hd = tinggi air dihulu main dam (m )

Setelah scouring diketahui kita dapat menghitung kedalaman pondasi sub

dam dengan rumus :

C > Zs – H2 …..….(2.26)

dimana :

C = kedalamn pondasi sub dam ( m )

Zs = scouring yang terjadi ( m )

H2 = tinggi sub dam ( m )

2.4.2.6. Kemiringan Tubuh Sub Dam

Kemiringan sub dam bagian hulu dan hilir direncanakan sama dengan

kemiringan tubuh main dam

2.4.2.7. Konstuksi Sayap Sub Dam

Kedalaman pondasi sayap sub dam harus sama dengan kedalaman pondasi

sub dam, hal ini untuk menghindari scouring.

Page 29: 1797 chapter ii

35

2.4.3. BANGUNAN PELENGKAP

2.4.3.1. Konstruksi Dinding Tepi

Konstruksi dinding tepi merupakan bangunan pelengkap untuk menahan

erosi dan longsoran antara main dam dan sub dam yang disebabkan oleh jatuhnya

air yang melewati mercu main dam.

Syarat yang harus diperhatikan dalam perencanaan dinding tepi adalah :

a. Elevasi pondasi dinding tepi direncanakan sama dengan elevasi lantai terjun,

tetapi harus terletak diluar titik jatuh air dari main dam.

b. Kemiringan standar V : H = 1 : ½

c. Ketinggian dinding tepi disamakan dengan sayap sub dam.

2.4.3.2. Lubang Drainase

Lubang drainase pada main dam direncanakan berukuran 1,5 sampai

dengan 2 kali diameter butiran sediment terbesar.

Untuk memenuhi kebutuhan air di main dam maka ditentukan debit aliran dari

main dam dengan rumus di bawah ini :

Q = C.A ohg..2 ………(2.27)

dimana :

Q = debit desain ( m3/det )

C = koefisien debit

A = luas lubang drainase ( m2 )

g = percepatan gravitasi ( 9,8 m/det2 )

ho = tinggi air di hulu main dam sampai titik tengah lubang drainase ( m )

2.4.4. KRITERIA PERENCANAAN SABO DAM

2.4.4.1. Stabilitas Main Dam

Stabilitas main dam harus diperhitungkan dalam dua keadaan yaitu pada

saat kondisi banjir dan kondisi air normal.

a. Stabilitas Main Dam Pada Saat Kondisi Banjir

Pada kondisi banjir gaya-gaya yang bekerja pada tubuh main dam adalah :

a. Gaya akibat berat sendiri konstruksi.

Page 30: 1797 chapter ii

36

b. Gaya akibat tekanan air statik.

c. Gaya akibat tekanan tanah sedimen.

d. Gaya akibat tekanan air ke atas ( uplift pressure ).

Akibat pengaruh gaya-gaya di atas, maka tubuh main dam harus aman

terhadap guling, geser, dan penurunan ( settlement ). Untuk itu angka

keamanan harus melebihi dari yang disyaratkan.

Gaya yang bekerja pada main dam pada saat kondisi banjir dapat dilihat

pada gambar sebagai berikut :

Pev

1 : m

PH1

PH2

Peh

H

1 : n

U2

U1

bB2

W1W3

PH3

o

hj

hw

MAB

W2

Pv1

Pv2

Gambar 2.12. Gaya yang bekerja pada main dam pada saat banjir

Tabel 2.6. Gaya-gaya Yang Bekerja Pada Tubuh Main Dam Saat Banjir

Notasi Gaya Yang Bekerja Panjang Lengan Terhadap Titik O

W1 0.5 x m xH2x mγ (1/3.m.H)+b+ (n .H) W2 b x Hxγ m (½ .b) + (n.H) W3 0,5 x n x H2 x γ m 2/3.n.H

PH1 ½.(He)2.γ w 1/3.He PH2 He.hw.γ w 1/2.He PH3 ½.hj

2.γ w 1/3.hj

Peh ½.m.(He)2.γ sub.ka 1/3.He Pev 0,5 x m x H2 x γ sub (2/3.m.H)+b+(n.H)

Page 31: 1797 chapter ii

37

Pv1 b.hw.γ w ½.hw+H Pv2 ½ .n.H2.γ w 1/3.n.H U1 γ w x b2 x hj x0,5 ½.b2 U2 ½.γ w .b2.(H+hw-hj).0,5 2/3.b2

dimana :

W1,2,3 = berat sendiri konstruksi ( ton )

PV1,2 = tekanan air arah vertikal ( ton )

PH1,2 = tekanan air arah horisontal ( ton )

Pev = tekanan sedimen arah vertikal ( ton )

Peh = tekanan sedimen arah horisontal ( ton )

m = kemiringan hulu main dam

n = kemiringan hilir main dam

γ w = berat jenis air ( ton/m3 )

γ m = berat jenis material konstruksi ( ton/m3 )

γ sub = berat jenis sedimen basah = γ s - γ w ( ton/m3 )

γ s = berat jenis sedimen ( ton/m3 )

Ka = koefisien tekanan sedimen

= tan2 ⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −

245 θ

H = tinggi tubuh bendung utama ( m )

He = tinggi sedimen di hulu main dam ( m )

b = lebar mercu main dam ( m )

b2 = lebar dasar pondasi main dam ( m )

hw = tinggi air di atas peluap ( m )

hj = tinggi air di atas lantai terjun ( m )

b. Stabilitas Main Dam Pada Saat Aliran Normal

Sungai di daerah gunung berapi perlu diperhitungkan aliran debris.

Pada saat aliran normal akan terjadi tumbukan pada dinding bagian hulu main

Page 32: 1797 chapter ii

38

dam oleh aliran debris, oleh karena itu gaya tumbukan tersebut perlu

diperhitungkan dalam perencanaan main dam.

Gaya yang bekerja pada main dam pada saat kondisi air normal dapat

dilihat pada gambar sebagai berikut :

Pev

1 : m

PH1 Peh

hs Fd

MAN

W2 H

1 : n

U2

bb2

W1

W3

o

Gambar 2.13. Gaya yang bekerja pada main dam pada saat air normal

Tabel 2.7. Gaya Yang Bekerja Pada Main Dam Pada Saat Air Normal

Notasi Gaya vertikal (V) (Ton)

Lengan momen (L) (m)

W1 0.5 x m xH2x mγ (1/3.m.H)+b+ (n .H) W2 b x Hxγ m (½ .b) + (n.H) W3 0,5 x n x H2 x γ m 2/3.n.H

PH1 ½.(He)2.γ w 1/3.He Peh ½.m.(He)2.γ sub.ka 1/3.He Pev 0,5 x m x H2 x γ sub (2/3.m.H)+b+(n.H) Fd F’.hd H - (1/2.hd)

U2 ½.γ w .b2.(H+hw-hj).0,5 2/3.b2

dimana :

W1,2,3 = berat sendiri konstruksi ( ton )

PH1 = tekanan air arah horisontal ( ton )

Pev = tekanan sedimen arah vertikal ( ton )

Peh = tekanan sedimen arah horisontal ( ton )

m = kemiringan hulu main dam

Page 33: 1797 chapter ii

39

n = kemiringan hilir main dam

γ w = berat jenis air ( ton/m3 )

γ m = berat jenis material konstruksi ( ton/m3 )

γ sub = berat jenis sedimen basah = γ s - γ w ( ton/m3 )

γ s = berat jenis sedimen ( ton/m3 )

Ka = koefisien tekanan sedimen

= tan2 ⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −

245 θ

H = tinggi tubuh bendung utama ( m )

He = tinggi sedimen di hulu main dam ( m )

B = lebar mercu main dam ( m )

b2 = lebar dasar pondasi main dam ( m )

hw = tinggi air di atas peluap ( m )

Fd = gaya tumbukan akibat aliran debris terhadap main dam ( ton )

hd = kedalaman aliran debris ( m )

c. Akibat Gempa

Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 wilayah gempa dimana wilayah 1 (satu)

dengan kegempaan paling rendah dan wilayah gempa 6 (enam) dengan

kegempaan paling tinggi. Untuk wilayah Jawa Tengah ( SNI Gempa, 2002 )

khususnya daerah Magelang termasuk dalam wilayah gempa 3 (tiga), maka dalam

perencanaan ini gaya akibat gempa harus dikalikan dengan koefisien gempa untuk

wilayah 3 (tiga) yang besarnya diambil 0,15.

Gaya gempa yang bekerja pada main dam dapat dihitung dengan rumus sebagi

berikut :

H = k x W ………(2.28)

dimana :

H = gaya gempa ( ton )

k = koefisien gempa = 0,15

W = berat konstruksi ( ton )

Page 34: 1797 chapter ii

40

Gaya yang bekerja pada main dam akibat gempa dapat dilihat pada

gambar sebagai berikut :

W1

Pev H2

W3

H3

U2

bB2

H1 W2

o

Pev

Gambar 2.14. Sketsa gaya akibat gempa

Berikut ini pembagian wilayah gempa di Indonesia di sajikan pada

Gambar 2.15 sebagai berikut :

Gambar 2.15. Wilayah gempa di Indonesia

Page 35: 1797 chapter ii

41

d. Stabilitas Dinding Tepi

ada perhitungan stabilitas diding tepi gaya-gaya yang timbul

diakibatkan oleh adanya timbunan tanah dan tekanan air.

Tabel 2.8. Harga Faktor Keamanan

Faktor Keamanan Stabilitas Waktu Normal / Banjir

Gempa

Sabo dam Guling 1,5 1,2

Geser 1,5 1,2 dalam Sosrodarsono, 1987

Stabilitas Terhadap Guling

Untuk mengontrol stabilitas sabo dam terhadap guling kita gunakan rumus

sebagai berikut :

Sf = 5,1>g

t

MM ………(2.29)

dimana :

Mt = momen tahan ( tm )

Mg = momen guling ( tm )

Stabilitas Terhadap Geser

Untuk mengontrol stabilitas sabo dam terhadap geser kita gunakan rumus

sebagai berikut :

Sf = 5,1.>

∑∑HVf ………(2.30)

dimana :

H∑ = jumlah gaya-gaya horisontal ( ton )

V∑ = jumlah gaya-gaya vertikal ( ton )

f = koefisien geser

Kontrol Terhadap Daya Dukung / Penurunan

Untuk mengontrol stabilitas sabo dam terhadap daya dukung kita gunakan

rumus Terzagi ( dalam Das, 1995 ) adalah sebagai berikut :

Qult = c.Nc + H. γ sub. Nq + ½.b. γ sub.N.γ ….(2.31)

Page 36: 1797 chapter ii

42

dimana :

Qult = daya dukung ultimate tanah ( ton/m2 )

c = nilai kohesi tanah ( ton/m2 )

H = kedalaman pondasi ( m )

B2 = lebar dasar main dam ( m )

γ Sub= berat jenis tanah dalam keadaan jenuh air (ton/m3 )

Sedangkan eksentrisitas dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

Qmaks/min = ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛±⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛ ∑

22

.61b

ebV ………(2.32)

dimana :

e = eksentrisitas gaya akibat berat main dam ( m )

= x – ½.b2

X = V

MM gt −

Syarat : 1/3 b2 3/2≤≤ x .b2 dan e 6/1≤ .b2

2.4.5. KONTROL TEBAL LANTAI DAN REMBESAN

2.4.5.1. Kontrol Tebal Lantai Terjun Terhadap Gaya Angkat

Tebal lantai terjun harus mampu menahan gaya angkat yang diakibatkan

oleh rembesan air yang berada di bawahnya, hal ini harus dilakukan untuk

menghindari pecahnya lantai terjun.

Rumus yang digunakan untuk mengontrol tebal lantai ( dalam Sosrodarsono dkk,

1985 ) adalah sebagai berikut :

Ux = h1 - HL

Lx ∆∑

…..(2.33)

dimana :

Ux = gaya angkat pada titik x ( ton )

h1 = tinggi air di hilir bangunan ( m )

Lx = panjang garis rembesan sampai titik yang ditinjau ( m )

∑ L = panjang garis rembesan total ( m )

∆H = beda tinggi energi ( m )

Page 37: 1797 chapter ii

43

2.4.5.2. Kontrol Terhadap Rembesan

Untuk mengontrol terhadap rembesan digunakan rumus Lane (dalam

Sosrodarsono dkk, 1985 ) adalah sebagai berikut :

Lw = Lv + 1/3 Lh …...(2.34)

L > c.∆H

dimana :

L = panjang rembesan ( m )

Lv = panjang rembesan arah vertikal ( m )

Lh = panjang rembesan arah horisontal ( m )

c = koefisien Lane

∆H = beda tinggi muka air pada main dam dengan muka air sub dam (m)

2.4.6. PERENCANAAN BANGUNAN TANGGUL DAN SUNGAI

2.4.6.1. Tinggi Muka Air Sebelum Ada Dam

Tinggi muka air yang dihitung adalah tinggi muka air pada saat banjir.

Data-data yang disarankan sebagai berikut :

b1 = lebar sungai ( m )

m = kemiringan dinding sungai

Is = kemiringan dasar sungai

N = koefisien kekasaran Manning

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

A = ( b1 + mh )h ………(2.35)

P = b1 + 2h 21 m+ ………(2.36)

R = A/P ………(2.37)

V = 2/13/2 )()(1sIR

n ………(2.38)

Q = A.V ………(2.39)

2.4.6.2. Back Water

Back water merupakan kembalinya aliran air ke arah hulu yang

disebabkan oleh naiknya muka air yang diakibatkan adanya penghalang.

Page 38: 1797 chapter ii

44

Rumus yang digunakan ( dalam Sugiyanto, 2002 ) adalah sebagai berikut :

)(2

)(2 121

2

122

2

xxlhg

Vxxlhg

Vfo −++=−++ …….(2.40)

Kedalaman air ditambah tinggi kecepatan adalah energi spesifik ( E ) diukur di

atas saluran.

E = g

Vh2

22+ ………(2.41)

dH = of llEExx

−−

=− 1212 )( ………(2.42)

lf = R

nV 222 . ………(2.43)

R = A/P ………(2.44)

dimana :

lo = kemiringan dasar sungai

lf = kemiringan garis energi

R = jari-jari hidrolis penampang ( m )

P = keliling basah penampang (m )

A = luas penampang ( m2 )

2.4.6.3. Bangunan Tanggul

a. Tipe dan Bahan

Tanggul di sebelah kiri dan kanan sungai pada hulu main dam direncanakan

dengan tipe urugan dengan perkuatan lereng pada kedua sisinya. Konstruksi

perkuatan lereng direncanakan dengan pasangan batu kali 1 PC : 4 Ps.

Untuk menahan erosi akibat tekanan lahar pada kaki tanggul sebelah dalam

dipasang bronjong.

b. Dimensi dan Ukuran

Perencanaan tanggul penahan sedimen dapat diuraikan menjadi tinggi tanggul,

lebar puncak, kemiringan lereng, dan pelindung kaki tanggul.

Page 39: 1797 chapter ii

45

2.4.7. PERKUATAN TEBING

Perkuatan tebing dilakukan dengan pemasangan bronjong. Stabilitas pada

lereng dihitung dengan rumus ( dalam Sugiyanto, 2002 ) sebagai berikut :

Sf =TNLC )tan..( Φ+∑ …..(2.45)

dimana :

Sf = angka keamanan

N = W.cos α ( ton )

T = W.sinα ( ton )

W = A.γ ( ton )

A = luas penampang segmen (m2 )

γ = berat jenis tanah 9 ton/m3 )

L = πα .2.360

2.4.8. TAMPUNGAN SEDIMEN

Tampungan sedimen dihitung dengan menggunakan rumus (dalam

Sugiyanto, 2002) sebagai berikut :

V = 1/2so

m

IIhB−

2. ………(2.46)

dimana :

V = volume sedimen ( m3 )

B = lebar sungai ( m )

hm = tinggi efektif main dam ( m )

Io = kemiringan dasar sungai yang ada ( m )

Is = kemiringan dasar sungai stabil ( m )

2.5. BENDUNG

2.5.1. MENCARI KEBUTUHAN AIR

Kebutuhan air irigasi adalah banyaknya air yang diperlukan oleh tanaman,

ditambah air untuk keperluan lain-lain, baik untuk membersihkan kotoran, untuk

Page 40: 1797 chapter ii

46

pencucian tanah maupun untuk keperluan sehari-hari. Dalam menganalisis

kebutuhan air irigasi suatu daerah tidak lepas dari maksud atau untuk keperluan

air tersebut, misalnya : penyediaan kebutuhan air untuk irigasi, air minum, dan

pembangkit tenaga listrik.

Laporan tugas akhir yang akan disusun ini membahas tentang kebutuhan

air untuk irigasi sebab hal ini tidak bisa lepas dari maksud dan tujuan

dibangunnya Bendung itu sendiri, yaitu untuk meninggikan elevasi muka air agar

suplai air bagi daerah irigasi dapat terlayani dengan baik. Pengertian irigasi itu

sendiri adalah menyalurkan air yang perlu untuk pengolahan tanah, pertumbuhan

tanaman serta mendistribusikan air secara sistematis dan efisien.

Cara-cara pemakaian air untuk pengairan irigasi tergantung dari keadaan

tanah, tanaman yang diairi, alat-alat yang digunakan, kebiasaan setempat dan lain-

lain.

Cara pemakaian air yang sering digunakan dibedakan antara lain sebagai

berikut :

1. Merendam Tanah

Air didatangkan ke tanah dengan perantaraan saluran induk, sering pula

dibagi-bagi lagi dengan anak-anak saluran atau selokan-selokan agar perendaman

tanah dilakukan dengan baik dan cepat.

2. Pembasahan dalam tanah

Untuk membasahi tanah maka sering kali dibuat selokan-selokan yang

memotong-motong tanah dan merupakan susunan saluran, dimana air dapat

ditambah sampai setinggi permukaan air yang dibutuhkan, sedikit-dikitnya 0,17

cm di bawah permukaan tanah dan ke kanan-kiri dapat merembes ke dalam tanah.

3. Menyiram atau menyemprot

Cara ini mirip dengan hujan, dan untuk lebih memudahkan biasanya

digunakan pipa cerat atau pompa cerat pemadam kebakaran.

2.5.2. KEBUTUHAN AIR IRIGASI PADA PETAK SAWAH

Kebutuhan air untuk tanaman tergantung pada macam tanaman dan masa

pertumbuhannya sampai dipanen dan pada akhirnya dapat memberikan hasil

Page 41: 1797 chapter ii

47

optimum. Tanaman terpenting dan paling membutuhkan air irigasi di Indonesia

adalah tanaman padi, sebab beras merupakan makanan pokok bangsa Indonesia.

Selain itu padi merupakan jenis tanaman di Indonesia yang paling banyak

membutuhkan air untuk pertumbuhannya. Karena itulah, kebutuhan air untuk padi

yang diambil sebagai dasar untuk menetapkan besarnya pengaliran dan ukuran-

ukuran bangunan atau saluran-saluran irigasi.

Banyaknya kebutuhan air untuk irigasi pada petak sawah dapat

dirumuskan :

Ir = Et + (P+B) + W – Re ………(2.47)

dimana :

Ir = kebutuhan air untuk irigasi (m3/det)

Et = evapotranspirasi (mm)

P = perkolasi (mm/hari)

B = infiltrasi (mm/jam) atau (mm/hari)

W = tinggi genangan air (mm/hari/setengah bulan)

Re = curah hujan efektif (mm)

Untuk mengetahui besaran-besaran seperti yang terdapat di atas, dapat

dijelaskan sebagai berikut :

a. Menentukan Evapotranspirasi

Ada banyak metode perhitungan evapotranspirasi intuk mendapatkan

kebutuhan air bagi pertumbuhan, diantaranya adalah :

1. Metode ini digunakan untuk menghitung kebutuhan air untuk pertumbuhan

dengan menggunakan koefisien berbagai tanaman.

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

PET = k . p (0,457t + 8,128) n ………(2.48)

Eto = PET / n ………(2.49)

dimana :

PET = evapotranspirasi (mm)

Eto = evapotranspirasi potensial (mm)

k = koefisien tanaman bulanan (diambil 0,75)

t = temperatur rata-rata (oC)

Page 42: 1797 chapter ii

48

p = prosentase jam siang hari dalam tahun tersebut yang terjadi

pada periode tertentu (%)

n = jumlah hari

2. Metode Penman

Metode ini digunakan untuk mencari evapotranspirasi dari rumput

berdasar data klimatologi ( temperatur, kelembaban relatif, kecepatan angin

dan lamanya penyinaran matahari ) yang kemudian untuk mendapatkan harga

evapotranspirasinya harus dikalikan dengan faktor tumbuhan (misal : padi,

jagung, dll). Untuk data kecepatan angin yang diukur pada ketinggian 2 m

(atau harus dikonverdikan dulu), lama penyinaran selama 12 jam (atau harus

dikonversikan selama 12 jam dihitung 0, 786 Q1 + 3,46 )

Eto = [ lga * ( 1 – a ) * ( (0,18 + 0,62 (h/H) – r * T4 * (0,560082 U2) *

( ( 0,1 + 0,9 ( h / H ) ) ]-[ ]

[ ] )/'1()/'1(5)(26,0)/'(

tFtFgeetF

TT

wT

++−

…..(2.50)

dimana :

Eto = evapotranspirasi potensial (mm)

lga = radiasi maksimum secara teoritis

a = koefisien pemantulan sinar dari permukaan penguapan

h/H = penjemuran relatif (%)

R = konstanta Steve Boltzman = 1,18 * 10-7 kal/cm/hari

T = temperatur udara (oC)

e = tekanan uap air diukur di tempat teduh (mB)

ew = tekanan uap air maksimum pada temperatur T (mB)

F’T = kemiringan hubungan tekanan uap air jenuh terhadap temperatur

air jenuh terhadap temperatur air yang diselidiki

g = konstanta psikometrik untuk tekanan 1015 mB = 0,65

U2 = kecepatan angin (m/dtk)

b. Perkolasi dan Infiltrasi

Perkolasi adalah kehilangan air dari permukaan tanah karena air meresap

ke dalam tanah pada arah vertikal, dari lapisan tidak jenuh ke lapisan jenuh.

Perkolasi dipengaruhi oleh sifat tanah baik fisik, tekstur, maupun struktur tanah.

Page 43: 1797 chapter ii

49

Apabila tidak tersedia hasil penelitian, terdapat pedoman yang sering digunakan

dalam perencanaan, yaitu :

lahan datar = 1 mm/hari

miring >5% = 2-5 mm/hari

berdasarkan tekstur :

berat (Lempung) = 1-2 mm/hari

sedang (Lempung kepasiran) = 2-3 mm/hari

ringan (pasir) = 3-6 mm/hari

Infiltrasi adalah meresapnya air ke dalam tanah melewati permukaan

tanah. Kapasitas infiltrasi maksimum yang bisa terjadi, tergantung dari

permukaan ( lapisan paling atas ). Satuan yang digunakan mm/jam atau

mm/hari.

c. Hujan Efektif

1. Hujan efektif (Re)

Hujan efektif adalah curah hujan yang dapat dimanfatkan untuk

kebutuhan evapotranspirasi. Besarnya tergantung dari :

- Cara pemberian air irigasi

- Laju pengurangan air di persawahan

- Kedalaman lapisan air yang harus dipertahankan di sawah

- Pemberian air ke petak

- Jenis tanaman dan tingkat ketahanan terhadap kekurangan air

2. Hujan rata-rata setengah bulan

Didasarkan hujan rata-rata setengah bulan pada pencatatan di lapangan dari

stasiun penangkap hujan setempat. Dalam hal ini dihitung hujan bulanan

dengan 20 % kering (1 in 5 dry).

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

R80 = R + k.Sd ………(2.51)

dimana :

R = rata-rata hujan ( mm )

k = faktor frekuensi

Page 44: 1797 chapter ii

50

Sd = standart deviasi

d. Tinggi Genangan Air

Tinggi genangan air diperlukan dalam menentukan kebutuhan air untuk

pengolahan tanah yang dinyatakan dalam mm per satuan waktu, yaitu per hari

per setengah bulan.

e. Efisiensi Irigasi

Efisiensi irigasi tergantung dari besarnya kehilangan air selama

penyaluran dari bendung ke petak. Menurut PSA 010 besarnya efisiensi irigasi

direkomendasi sbb :

- Irigasi yang luas, seluruh jaringan dipakai 50 –60 %

- Irigasi kecil dan pemberian air diatur dengan baik,

atau irigasi dari waduk dan air buangan dapat dimanfaatkan 75 %

- Apabila sudah ada penelitian, angkanya dapat digunakan :

Untuk kehilangan dari sadap tersier ke petak 20 – 25 %

Kehilangan di saluran sekunder 10 – 15 %

Kehilangan di saluran primer 5 – 10 %

f. Pola Tanam dan Perencanaan Tata Tanam

Pola tanam adalah suatu pola penanaman jenis tumbuhan selama 2 tahun

yang merupakan kombinasi urutan penanaman. Suatu daerah irigasi biasanya

mempunyai pola tanam tertentu. Pada perencanaan suatu sistem jaringan irigasi

bilamana tidak ada pola tanam yang biasa pada daerah tersebut, maka

direkomendasikan padi-padi palawija.

Setelah diperoleh kebutuhan air untuk pengolahan tanah dan pertumbuhan

kemudian dicari besarnya kebutuhan air untuk irigasi dengan berdasar pola

tanam dan rencana tata tanam dari masing-masing daerah yang biasanya

digunakan atau yang dipilih.

Sedang rencana tata tanam dengan saat pengolahan yang umum terjadi

berkisar antara bulan Oktober-Desember untuk daerah yang luas dan ada sistem

golongannya.

Page 45: 1797 chapter ii

51

2.5.3. KRITERIA PERENCANAAN BENDUNG

2.5.3.1. Perhitungan Hidrolis Bendung

a. Menentukan Elevasi Mercu Bendung

Tinggi bendung adalah perbedaan tinggi elevasi mercu bendung dengan

elevasi dasar sungai / permukaan lantai depan bendung. Sesuai dengan

maksud pembangunan bendung yaitu meninggikan air pada sumbernya

sehingga dapat membawa air irigasi ke seluruh daerah irigasi secara gravitasi

dan harus dapat memenuhi tinggi air minimum yang diperlukan untuk seluruh

areal persawahan yang diairi.

Dengan demikian, elevasi mercu bendung ditentukan dengan elevasi

tertinggi diantara yang diperlukan oleh sawah tertinggi setelah ditambah

seluruh kehilangan energi pada bangunan pengambilan utama, pintu

pengambilan dan kantong lumpur.

Tinggi bendung ( P ) = elevasi–elevasi dasar sungai

Rumus lebar efektif bendung ( dalam Erman dkk, 2002 ) adalah sebagai

berikut :

Be = B – 2 ( n . Kp + Ka ) H1 …...(2.52)

dimana :

B = jarak antar pangkal bendung dan atau tiang (m)

n = jumlah pilar

Kp = koefisien kontraksi pilar

Ka = koefisien kontraksi pangkal bendung

Bs = leber pintu penguras (m)

H1 = tinggi energi (m)

Tabel 2.9. Harga-harga Koefisien Kontraksi Keterangan Kp

Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang

dibulatkan pada jari-jari yang hampir = 0,1 dari tebal pilar.

Untuk pilar berujung bulat.

Untuk pilar berujung runcing

0,002

0,010

0

Page 46: 1797 chapter ii

52

Keterangan Ka Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu 90 o ke

arah aliran.

Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu 90 oke arah

aliran dengan 0,5 > r > 0,5 HI

Untuk pangkal tembok bulat dimana r > 0,5 HI dan tembok hulu

tidak lebih dari 45 o ke arah aliran

0,20

0,10

0

b. Menentukan Tipe Mercu Bendung

Dipilih tipe OGEE karena pada mercu tipe OGEE tidak akan terjadi

tekanan sub-atmosfir pada permukaan mercu saat bendung mengalirkan air

pada debit rencana. Dan untuk debit yang lebih rendah, air akan memberikan

tekanan ke bawah pada mercu.

Perhitungan mercu bendung OGEE :

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

Q = Cd.2/3. g.3/2 .Be.H11.5 ………(2.53)

dimana :

Q = debit rencana (m3/det)

Be = lebar efektif bendung (m)

H1 = tinggi energi di atas mercu (m)

g = percepatan gravitasi = 9,8 m/det2

Cd = koefisien debit Cd = C0.C1.C2 ………(2.54)

koefisien Cd adalah hasil dari :

- Co yang merupakan konstanta (=1,30)

- C1 yang merupakan fungsi p/hd dan H1

- C2 yang merupakan fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung

V = AQ ………(2.55)

A = Be ( p + H1) ………(2.56)

Hd = H1 – K ………(2.57)

Page 47: 1797 chapter ii

53

K = g

V2

………(2.58)

jadi elevasi diatas mercu = Elevasi +Hd ………(2.59)

untuk dimensi mercu OGEE

R1 = 0,2 Hd ………(2.60)

R2 = 0,5 Hd ………(2.61)

Koordinat permukaan mercu

Xn = K . Hdn-1 . y ………(2.62)

c. Perhitungan Kolam Olak

Untuk mencari kedalaman kritis ( dalam Erman dkk, 2002 ) digunakan rumus

sebagai berikut :

hc = 3

2

gq ………(2.63)

dimana :

q = debit per lebar satuan (m3/det.m) = Q / Be

hc = kedalaman kritis (m)

g = percepatan gravitasi ( 9,8 m/det)

d. Perhitungan Jari-jari Kolam Olakan

Untuk mencari jari-jari minimum digunakan rumus sebagai berikut :

R min = n . Hc ……….(2.64)

Elevasi energi = elevasi dasar hulu + P + H1 .………(2.65)

Elevasi muka air hulu = elevasi mercu + hd ……….(2.66)

Elevasi mercu = elevasi dasar + P ……….(2.67)

Elevasi dasar hilir = elevasi mercu – R.min ……….(2.68)

2.5.3.2. Bangunan Pengambilan

a. Mencari Tinggi Bukaan Bangunan Pengambilan Primer

Untuk mencari tinggi bukaan pada bangunan pengambilan saluran primer

(dalam Erman dkk, 2002) digunakan rumus sebagai berikut :

zgbaQn ..2..µ= …..(2.69)

Page 48: 1797 chapter ii

54

dimana :

Qn = debit rencana (m3/det)

µ = koefisien debit

a = tinggi bukaan (m)

b = lebar bukaan (m)

g = gaya gravitasi = 9,8 m/dtk 2

z = kehilangan energi (m)

b. Perhitungan Kantong Lumpur

Untuk mencari volume kantong lumpur digunakan rumus sebagai berikut :

V = 0,0005 . Qn . T ……(2.70)

dimana :

V = volume kantong lumpur (m/det)

Qn = debit rencana (m3/det)

T = jarak waktu pembilasan (det)

c. Luas Permukaan Rata-rata Kantong Lumpur

Untuk mencari luas permukaan rata-rata kantong lumpur digunakan rumus

sebagai berikut :

An = Qn/Vn .……(2.71)

An = (b + m . hn) . hn .........(2.72)

keliling basah (P) = b + 2 . hn 21 m+ …….(2.73)

jari-jari hidrolis (Rn) = n

n

QA ...…..(2.74)

Penentuan In ( kantong sedimen hampir penuh )

In = 23/2

2

)( KsRVn ..……(2.75)

dimana :

In = kemiringan kantong lumpur

Vn = kecepatan aliran (m/det)

Ks = koefisien kekasaran manning

Page 49: 1797 chapter ii

55

d. Penentuan Is ( Pembilasan Kantong Lumpur Kosong )

Sedimen di atas kantong lumpur berupa pasir kasar, kecepatan aliran untuk

pembilasan diambil (vs) sebesar 1,50 m/det.

Q pembilas (Qs) = 1,20 . Qn ………(2.76)

As = Qs / Vs ………(2.77)

Lebar dasar (b), As = b. hs .……...(2.78)

keliling basah (P) = b + 2 . hs ………(2.79)

Rs = As / P ………(2.80)

Is = 23/2

2

)( ss

s

KRV ………(2.81)

Cek bilangan Froude (Fr)

Fr = s

s

hgV.

< 1 ………(2.82)

Vs = kecepatan pembilasan = 1,5 m/det

g = percepatan gravitasi = 9,8 m/det2

Panjang kantong lumpur (L)

V = 0,5 . b . l + 0,5 ( Is – In ).L.b ………(2.83)

Is = kemiringan saluran

In = kemiringan kantong lumpur

2.5.3.3. Bangunan Pembilas Kantong Lumpur

Bangunan pembilas kantong lumpur tidak boleh menjadi gangguan selama

pembilasan, oleh karena itu tidak boleh tenggelam.

Luas basah harus ditambah dengan menambah kedalaman air.

B . hs = bnf . hf ………(2.84)

dimana :

B = lebar dasar kantong (m)

hs = kedalaman air pembilas (m)

bnf = lebar bersih bukaan pembilas (m)

hf = kedalaman air pada bukaan pembilas (m)

Af = (n + m) h

Page 50: 1797 chapter ii

56

Kemiringan saluran yang diperlukan dapat dihitung dengan rumus Strickler :

If = 23/2

2

).( fs

f

RKV

………(2.85)

Vf = Ks . Rf3/2 . If

2/1 ………(2.86)

Pf = b + 2h 21 m+

Rf = f

f

PA

………(2.87)

dimana :

Vf = kecepatan aliran pada kantong lumpur (m/det)

Ks = koefisien strickler

Pf = keliling basah saluran kantong lumpur (m)

Af = luas basah saluran kantong lumpur (m2)

2.5.3.4. Bangunan Pengambilan Utama (Intake)

Untuk mencari tinggi bukaan pada bangunan pengambilan utama (intake)

digunakan rumus sebagai berikut :

Q = µ . b .a . zg..2 ………(2.88)

dimana :

Q = debit rencana = m3/det

µ = koefisien debit (0,8)

b = lebar bukaan (m)

a = tinggi bukaan (m)

g = gravitasi = 9,8 m/det2

z = kehilangan energi (m)

2.5.3.5. Perhitungan Pintu Penguras

Untuk mencari debit penguras pada bangunan pintu penguras digunakan

rumus sebagai berikut :

Q = µ .b.p. zg..2 ………(2.89)

Page 51: 1797 chapter ii

57

dimana :

Q = debit penguras (m3/det)

µ = koefisien debit

b = lebar pintu (m)

p = tinggi bendung (m)

g = gravitasi = 9,8 m/det2

z = 1/3.P

hp = tinggi penguras = 2/3.P (m)

Besar kecepatan penguras (vp) = zg..2 ………(2.90)

Besar kecepatan kritis (vc) = 1,50.C.d ………(2.91)

Agar berfungsi baik vp > vc ………(2.92)

2.5.3.6. Perhitungan Konstruksi Pintu

Perhitungan beban yang digunakan adalah sebagai berikut :

Lebar pintu ( m )

σ kayu = tegangan ijin kayu (kg/m2)

γ air = berat jenis air = 1 ton/m3

Tekanan hidrostatis pada pintu ( P) = 1/2.γ .H2 ……(2.93)

Momen yang timbul (M) = 1/8. q.l2 ..…..(2.94)

W = 1/6.h.t2 ..…..(2.95)

Menentukan tebal pintu

Ukuran kayu dapat kita tentukan dengan memakai rumus tegangan ijin

sebagai berikut :

σ = M / W ..…..(2.96)

Ukuran Stang Pengangkat Pintu

Ukuran stang pengangkat pintu dapat kita tentukan dengan menggunakan

rumus sebagai berikut :

F stang = ¼.π .d2 ..…..(2.97)

Momen Inersia = 1/64. π . d2 ..…..(2.98)

Page 52: 1797 chapter ii

58

a. Akibat gaya tarik ( pintu bergerak ke atas )

Perhitungan akibat gaya tarik ( pintu bergerak ke atas ) adalah sebagai

berikut :

Berat pintu + stang (G1) = berat sendiri stang + berat penyambung + berat

daun pintu. ....…..(2.99)

Tekanan air = ½(P1 + P2).(b.h).air ..…..(2.100)

Gaya gesek = f gsk.tekanan air .….. (2.101)

Total gaya = berat sendiri pintu + gaya gesek ..…..(2.102)

Kontrol terhadap tegangan adalah dengan rumus sebagai berikut :

sFG < 1400 Kg/cm ………(2.103)

dimana :

G = total gaya (ton)

Fs = luas stang pengangkat (m2)

b. Akibat gaya tekan ( pintu bergerak turun )

Perhitungan akibat gaya tekan ( pintu bergerak turun ) adalah sebagai

berikut :

Gaya angkat pintu = F.Pair ..…..(2.104)

Gaya yang bekerja pada stang (G2) = gaya angkat pintu +

gaya gesek pintu ..…..(2.105)

P ekstra = 1/4.(gaya bekerja pada stang – berat pintu dan stang) ....(2.106)

Total gaya (Pk) = (G2-G1) + pekerja ..…..(2.107)

Rumus Eulier adalah sebagai berikut :

Pk = 2

2 ..

kLIEπ ..…..(2.108)

Lk = ½.L. 2 ..…..(2.109)

dimana :

E = modulus elastis = 2,1.106

I = momen inersia (m4)

Page 53: 1797 chapter ii

59

Lk = panjang tekuk (m)

Alat pengangkat pintu

Untuk menentukan alat pengangkat pintu, terlebih dahulu

menentukan besarnya gaya angkat pintu dengan rumus sebagai berikut :

Gaya angkat pintu (K) = 42

31

...2...ZZLSZZG .

δ1 ..…..(2.110)

dimana :

Z1,2,3,4 = jumlah gigi roda

G = jumlah beban

S = selisih putaran

L = panjang pintu (m)

δ = efisiensi gerak = )( ϕα

α+tg

tg

2.5.3.7. Perhitungan Hidraulik Gradien

Untuk mengecek keamanan terhadap rembesan, digunakan angka

rembesan Teori Lane.

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

LV + 1/3.LH > c.z ..…..(2.111)

dimana :

LV = panjang rembesan vertikal (m)

LH = panjang rembesan horizontal (m)

C = creep zone = 5 (pasir kasar)

Z = beda tinggi tekan air di hulu dan hilir bendung (m)

Kontrol terhadap gerusan

Untuk cek pengaruh gerusan di hilir pintu bendung digunakan rumus

Lacey ( dalam Suripin, 2002 ) adalah sebagai berikut :

R = 0,47 (Q/f) ..….. (2.112)

dimana :

R = kedalaman gerusan terhadap elevasi muka banjir (m)

Q = debit air (m3/dtk)

Page 54: 1797 chapter ii

60

F = faktor lumpur Lacey

2.5.3.8. Stabilitas Bendung

a. Gaya-gaya akibat berat sendiri konstruksi

Gaya-gaya akibat berat sendiri konstruksi dengan asumsi bentuk bendung

di bawah ini adalah sebagai berikut :

G

G2

G4

G6

G7

G8

G3

G5

Gambar 2.16. Gaya akibat berat sendiri

Rumus yang digunakan ( dalam Sosrodarsono dkk, 1985 ) adalah sebagai

berikut :

G = V.γ ..…..(2.113)

dimana :

G = berat konstruksi (ton)

V = volume konstruksi (m3)

γ = berat jenis pasangan = 2,35 ton/m3

b. Gaya akibat tekanan Lumpur

Gaya akibat tekanan lumpur adalah sebagai berikut :

L

Gambar 2.17. Gaya akibat tekanan Lumpur

Page 55: 1797 chapter ii

61

Endapan lumpur diperhitungkan setinggi mercu ( dalam Sosrodarsono,

dkk, 1985 ) dengan rumus sebagai berikut :

P = ½. γ s.h2.Ka ..…..(2.114)

dimana :

γ s = berat jenis sedimen (ton/m3)

h = tinggi endapan lumpur setinggi mercu (m)

Ka = koefisien tekanan Lumpur

c. Akibat tekanan hidrostatis

Gaya yang bekerja akibat tekanan hidrostatis dapat kita lihat pada gambar

di bawah ini :

W1

W2

W3

W5

W6

W7

W4

Gambar 2.18. Gaya akibat tekanan hidrostatis vertikal dan horisontal

Rumus gaya tekanan horisontal dan vertikal air ( dalam Sosrodarsono, dkk,

1985 ) adalah sebagi berikut :

Wn = γ w.A ..….. (2.115)

dimana :

Wn = tekanan air (ton)

γ w = berat jenis air (ton/m3)

h1,h2,…h6 = tinggi air (m)

A = luas bidang (m2)

d. Akibat gaya gempa

Daerah lokasi bendung terletak di wilayah gempa 3 (tiga), maka besarnya

gaya gempa harus dikalikan dengan koefisien gempa (dalam SNI Gempa, 2002)

Page 56: 1797 chapter ii

62

yang besarnya 0,15. Gaya yang bekerja akibat gaya gempa yang lebih perlu

diperhatikan adalah gaya gempa pada arah horizontal. Gaya yang bekerja pada

bendung dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

K1

K2

K6K7

K8

K4

K5

K3

Gambar 2.19. Gaya akibat gempa

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

K = E.G ..…..(2.116)

dimana :

K = gaya gempa yang tergantung dari lokasi bendung (ton)

E = koefisien gempa (0,15)

G = berat konstruksi (ton)

e. Akibat gaya-gaya uplift pressure

Gaya yang bekerja akibat gaya-gaya uplift pressure dapat kita lihat pada

gambar di bawah ini :

Rumus yang digunakan adalah sebagi berikut :

Px = Hx- lLx .H ………(2.117)

dimana :

Px = gaya akibat pada x (ton/m)

Hx = jarak titik yang ditinjau ke muka air (m)

Lx = jarak / panjang bidang kontak bangunan dan bawah tanah (m)

H = beda tinggi energi (m)

L = panjang total bidang kontak bendung dan tanah bawah = Lv + 1/3

Lh (m)

Page 57: 1797 chapter ii

63

2.5.3.9. Kontrol Stabilitas

Kontrol stabilitas dilakukan pada keadaan sebagai berikut :

1. Kondisi air normal.

2. Kondisi air banjir.

3. Perhitungan stabilitas tembok sayap.

a. Kontrol terhadap guling

Dalam mengontrol stabilitas terhadap guling (dalam Sosrodarsono, 1985 )

digunakan rumus sebagai berikut :

Sf = H

V

MM

ΣΣ > 1,50 ….. (2.118)

dimana :

Sf = faktor keamanan

ΣMV = jumlah momen vertikal (tm)

ΣMH = jumlah momen horizontal (tm)

b. Kontrol terhadap geser

Dalam mengontrol stabilitas terhadap geser digunakan rumus sebagai

berikut :

Sf = f.H

V

RR

ΣΣ > 1,50 ..…..(2.119)

dimana :

ΣRV = keseluruhan gaya yang bekerja vertikal (ton)

ΣRh = keseluruhan gaya horisontal tekan yang bekerja pada bangunan

(ton)

f = faktor gesekan

c. Kontrol terhadap eksentrisitas

Dalam mengontrol stabilitas terhadap eksentrisitas ( dalam Sosrodarsono,

1985 ) digunakan rumus sebagai berikut :

e = 0,5B- ⎥⎦⎤

⎢⎣⎡

ΣΣ−Σ

VMM HV <

6B .....(2.120)

Page 58: 1797 chapter ii

64

dimana :

e = eksentrisitas

B = lebar tapak bendung (m)

ΣMV = jumlah momen vertikal (tm)

ΣMH = jumlah momen horizontal (tm)