1296448664 komisi yudisial dan reformasi peradilan

186
A. AHSIN THOHARI dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta, 2004

Upload: nusa6872

Post on 19-Oct-2015

133 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • A. AHSIN THOHARI

    dan

    Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta, 2004

  • Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan oleh A. Ahsin Thohari Editor: Erasmus Cahyadi T. Desain Sampul: Layout: Cetakan Pertama, Oktober 2004 Hak penerbitan ada pada ELSAM Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Penerbit ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Tlp.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519 E-mail: [email protected], [email protected]; Web-site: www.elsam.or.id

  • DAFTAR ISI Pengantar Penerbit Pengantar Penulis Kata Pengantar oleh Prof. Jimly Asshiddiqie Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Bagan BAB I PENDAHULUAN A. Gagasan Reformasi Peradilan di Indonesia B. Beberapa Permasalahan C. Urgensi Penelitian D. Perspektif Teori dan Beberapa Terminologi E. Asumsi Dasar F. Metode Penelitian dan Bingkai Buku BAB II PEREKRUTAN HAKIM DAN PENEGAKAN ETIKA PROFESI HAKIM A. Kekuasaan Kehakiman: Sebuah Tinjauan Umum

    1. Pemisahan Kekuasaan (Separation of Powers) 2. Demokrasi 3. Negara Hukum (Rechtsstaat/Rule of Law) 4. Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power) 5. Ketentuan-ketentuan Internasional dan Regional tentang Kekuasaan Kehakiman

    yang Merdeka B. Mekanisme Perekrutan Hakim dan Intervensi Kekuasaan Politik

    1. Ketentuan-ketentuan Internasional tentang Perekrutan Hakim 2. Intervensi Kekuasaan Politik dalam Perekrutan Hakim Agung

    C. Etika Profesi Hukum dan Penegakan Kode Etik Profesi Hukum BAB III SUSUNAN DAN KEDUDUKAN KOMISI YUDISIAL DI BERBAGAI NEGARA A. Komisi Yudisial di Berbagai Negara

    1. Hukum Tata Negara Perbandingan 2. Studi Perbandingan Komisi Yudisial 3. Tujuan Perbandingan Hukum Tata Negara 4. Tujuan Perbandingan Komisi Yudisial

  • B. Susunan dan Kedudukan Komisi Yudisial di Berbagai Negara: Afrika Selatan, Argentina, Filipina, Prancis, dst. Zimbabwe C. Beberapa Kecenderungan Umum dalam Komisi Yudisial

    1. Latar Belakang Pembentukan Komisi Yudisial 2. Tujuan Pembentukan Komisi Yudisial 3. Komisi Yudisial sebagai Solusi

    BAB IV PELEMBAGAAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA A. Gagasan-gagasan Sebelum Pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia

    1. Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) 2. Dewan Kehormatan Hakim (DKH)

    B. Gagasan Komisi Yudisial di Indonesia

    1. Undang-Undang PROPENAS dan Perubahan Ketiga UUD 1945 2. Kegagalan Sistem yang Ada Sebelumnya 3. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial di Indonesia

    C. Keorganisasian Komisi Yudisial di Indonesia

    1. Status Kelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia 2. Keanggotaam Komisi Yudisial di Indonesia 3. Tempat Kedudukan Komisi Yudisial di Indonesia

    BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran BIBLIOGRAFI A. Buku B. Artikel C. Majalah Ilmiah D. Disertasi dan Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan E. Surat Kabar/Majalah F. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-undangan G. Internet INDEX

  • xvi

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 1.1. Empat Perubahan dalam Cabang Kekuasaan Kehakiman setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 4 Tabel 1.2. Perbandingan Pasal-pasal Mengenai Cabang Kekuasaan Kehakiman Sebelum dan Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 6 Tabel 2.1. Persesuian Antara Ketentuan Kekuasaan Kehakiman dalam The Cairo Declaration on Human Rights in Islam dan Universal Declaration of Human Rights 103 Tabel 2.2. Asas-asas Moralitas Umum Profesi Hukum 135 Tabel 3.1. Komisi Yudisial di Berbagai Negara 190 Tabel 3.2. Keanggotaan Komisi Yudisial di Berbagai Negara 202 Tabel 3.3. Latar Belakang Pembentukan Komisi Yudisial 210 Tabel 3.4. Tujuan Pembentukan Komisi Yudisial 216 Tabel 3.5. Komisi Yudisial sebagai Solusi 218 Tabel 4.1. Tiga Perubahan Penting setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 230 Tabel 4.2. Komisi-komisi yang Terbentuk Pasca-Orba Sampai Tahun 2003 307

  • xvii

    DAFTAR BAGAN

    Halaman

    Bagan 4.1. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung 247 Bagan 4.2. Menjaga Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim 249 Bagan 4.3. Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim 249 Bagan 4.4. Menjaga Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim Agung 253 Bagan 4.5. Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim Agung 253 Bagan 4.6. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Sebelum Perubahan UUD 1945 312 Bagan 4.7. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 313

  • Pengantar Penerbit

    Mana lebih dulu: telor atau ayam? Mana lebih penting: pelaku atau struktur (dan sistem)? Para begawan ilmu sosial sebelum Anthony Giddens biasanya terjebak pada pilihan pada salah satu di antara keduanya. Dilengkapi dengan basis argumen yang tentu saja ilmiah. Menurut Giddens, mengkritik fungsionalisme Talcott Parsons dan strukturalisme, pilihan bukan pada salah satu di antara keduanya, juga bukan keduanya. Melainkan pada hubungan antara keduanya. Hubungan antara keduanya ditahtakan dalam watak dualitas, bukan dualistik (bukan dualisme). Singkat cerita, teori inilah yang kemudian kita kenal dengan nama Teori Strukturasi.

    Apa hubungannya dengan buku yang tengah Anda baca ini? Para ilmuwan hukum kita dan di kebanyakan negara lain, ternyata tidak juga bisa membebaskan diri dari dilema dikotomik pra-Giddens itu. Baik fungsionalisme maupun strukturalisme punya kecenderungan menafikan peran Subjek di dalamnya. Pelaku bertindak sebagai otomaton semata. Seolah tak ada sedikit pun ruang kreativitas bagi Subjek untuk minimal menyadari keterpenjaraannya. Sebentuk determinisme ala Spinoza. Namun, Spinoza sendiri pun bahkan mengakui bahwa kesadaran akan determinisme itu sendirilah kebebasan itu. Spinoza sang determinis toh tetap menyadari adanya peluang Subjek untuk tahu bahwa ia tahu. Dan itulah peretasan diri dari kesadaran palsu.

    Buku ini tidak masuk dalam perdebatan epistemologis seperti itu. Ia hadir dengan asumsi bahwa peran subjek memang penting dan tidak bisa tidak dalam sistem dan struktur. Bahkan sistem dan struktur itu sendiri kehilangan maknanya tanpa ada pelaku atau Subjek. Seperti kata Giddens, tidak ada struktur tanpa pelaku, demikian juga tidak ada tindakan tanpa struktur. Buku ini mengkaji salah satu lembaga penting (subjek institusional) yang berisikan para pelaku (subjek personal) yaitu Komisi Yudisial. Komisi ini merupakan sebuah institusi yang sangat penting keberadaannya dalam reformasi hukum dan penegakan keadilan di sebuah Negara. Mengapa? Karena, dengan keyakinan akan kebenaran asumsi di atas, orang-orang yang duduk di dalamnya-lah yang akan menentukan aturan main bagi terpilihnya para pendekar hukum di meja hijau di mana keadilan dipertaruhkan pada tahap akhirnya (dari segi proses legal).

    Berbicara tentang institusi penegak hukum lainnya yaitu Mahkamah Agung tanpa Komisi Yudisial tidak bisa lari jauh dari retorika reformasi hukum yang ompong. Karena para penentu subjek yang duduk di dalam lembaga itu tetap saja berada di bawah pengaruh besar Negara dan kekuasaannya. Sementara, Komisi Yudisial, kendati tidak bisa menafikan sama sekali peran kekuasaan politik Negara, ia bisa meminimalisir kemungkinan itu. Untuk lebih jelasnya bagaimana lembaga ini bekerja, apa sumbangan khasnya dalam reformasi hukum dan penegakan keadilan, dan bagaimana kemungkinan penerapannya di Indonesia, kami persilahkan para pembaca terhormat untuk menyimaknya. Selamat membaca. Lectori salutem! (ERT Elsam)

  • PENGANTAR PENULIS

    Saya merasa bersyukur yang sedalam-dalamnya ke hadirat Allah SWT atas selesainya karya ini. Hanya dengan pertolongan dan petunjuk-Nya sajalah, karya ini dapat saya selesaikan. Oleh karena itu, segala puji saya panjatkan tiada henti kepada-Nya, Yang Maha Segala-galanya.

    Berkaitan dengan topik buku ini, saya memang mempunyai ketertarikan tersendiri dengan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan, karena lembaga ini, khususnya di negara-negara yang belum mempunyai kultur demokrasi yang mapan, selalu menjadi target intervensi kekuasaan lain di luarnya, baik kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, maupun masyarakat sendiri. Akibatnya, kekuasaan kehakiman tidak dapat mengimplementasikan gagasan independent and impartial judiciary dengan sebaik-baiknya. Di Indonesia, gagasan tersebut untuk sementara masih dapat dikatakan sebagai wishful thinking belaka, bahkan setelah enam tahun terjadinya reformasi di segala bidang termasuk reformasi peradilan sekalipun.

    Salah satu lembaga yang dianggap sebagai penopang gagasan independent and impartial judiciary adalah Komisi Yudisial yang merupakan trend baru menjelang pertengahan abad ke-20 di bidang kekuasaan kehakiman. Di Indonesia, Komisi Yudisial ditetapkan secara konstitusional pada tanggal 9 November 2001 setelah Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 mengaturnya secara eksplisit. Ditetapkannya Komisi Yudisial bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi secara umum dimaksudkan untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai salah satu perwujudan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dengan segala keterbatasannya, buku yang ada di tangan pembaca ini berusaha untuk memetakan kompleksitas permasalahan seputar Komisi Yudisial, sebuah lembaga yang masih terdengar asing di Indonesia. Materi buku ini berasal dari naskah Tesis Magister (S-2) Program Pascasarjana Universitas Indonesia di bawah bimbingan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

    Atas terselesaikannya karya ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang selama ini telah ikut membantu dalam proses penyelesaian penelitian tesis yang kemudian menjadi buku ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya haturkan kepada: (1) Prof. Dr. Moh. Mahfud M.D., S.H., S.U., (2) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., (3) Prof. Dr. Dahlan Thaib, S.H., M.Si., (4) Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., (5) Safri Nugraha, S.H., LL.M., Ph.D., (6) Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. (7) Indradi Kusuma, S.H., (8) Drs. Munthoha, S.H., M.Ag., (9) Saifuddin, S.H., M.Hum., (10) Muh. Kadar, S.H., M.H., (11) Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H., (12) Mujahid A. Latief, S.H., M.H., (13) Imam Syaukani, S.Ag., M.H., dan (14) Abdul Razak Asri, S.H.

    Kepada teman-teman seperti Bang Rizal, Mama Kesti, Ilham, Mbak Ani, Pak Made, Oting, Fitra, Mustafa, Mbak Nadiyah, Bang Sony, Henny, Bang Sam Jack, Ade, Pak Akhiar, Lina, Mbak Kiki, Mas Arief, Teh Atti, Teh Dewi, Pak Heintje, Jodi, Maryam, Anggi, Siddiq, Pak Rambe, Mujahid, dan Babe Dailami, saya menyampaikan terima kasih atas suasana kekeluargaan yang dihadirkan selama ini.

    Selain itu, terima kasih juga saya sampaikan kepada Lola Fatmasari Dewi, S.H., M.H. sebuah nama terindah yang selalu mendukung saya, memberikan pertimbangan-pertimbangan, dan diskusi yang intensif, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

  • Last but not least, saya juga wajib menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya

    kepada Ayahanda Umar Ali Mahsun dan Ibunda Nimah yang selalu memberikan bantuan baik materiil maupun moril yang tidak terhingga, memberikan dorongan kuat agar saya segera menyelesaikan studi, yang selalu ihlas, dan selalu mendoakan keberhasilan saya. Juga kepada Kakanda A.M. Fikri, Adinda Rifa Muflihah, dan Adinda Ulfa Fauziyyah yang telah memberikan dukungan baik materiil maupun moril, sehingga saya dapat menyelesaikan perkuliahan dan penelitian dengan baik, saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.

    Saya juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang bersedia menerbitkan naskah penelitian tesis ini. Buku ini tidak akan hadir dalam bentuknya seperti ini tanpa ada bantuan dari nama-nama tersebut. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang setimpal. Harapan saya adalah semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum. Karya ini tentu banyak mengalami kekurangan-kekurangan baik secara metodologis maupun substantif. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat saya tunggu demi perbaikan buku ini di masa yang akan datang. Jakarta, Agustus 2004 A. Ahsin Thohari

  • i

    KATA PENGANTAR

    Buku yang ditulis oleh Saudara A. Ahsin Thohari ini berasal dari tesis S2-nya yang saya bimbing di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Topik penelitian yang dipilihnya tergolong sebagai topik aktual dalam diskursus hukum tata negara Indonesia, yaitu Komisi Yudisial. Lembaga ini baru dikenal dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia setelah ditetapkannya Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 9 November 2001. Dengan demikian, penelitian terhadapnya memang sangat diperlukan, khususnya dari aspek hukum tata negara.

    Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan dengan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika. Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri. Karena itu, institusi pengawasan itu dibentuk di luar struktur Mahkamah Agung, melalui mana aspirasi warga masyarakat di luar struktur resmi dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan para hakim agung serta dilibatkan pula dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika itu. Pengertian independensi di sini haruslah dipahami dalam arti bebas dari intervensi kepentingan para hakim yang kewibawaannya sendiri perlu dijaga oleh Komisi Yudisial ini.

    Dalam konteks inilah keberadaan Komisi Yudisial juga dikaitkan dengan fungsi pengawasan yang bersifat eksternal terhadap kekuasaan kehakiman. Keberadaan lembaga pengawas eksternal ini penting agar proses pengawasan dapat benar-benar bertindak objektif untuk kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif dan efisien. Agar Komisi Yudisial ini dapat benar-benar bersifat independen, maka administrasi komisi ini sebaiknya tidak dikaitkan dengan organisasi Mahkamah Agung. Harus diingat, orang sering salah kaprah seolah-olah independensi selalu harus diartikan berjarak terhadap pemerintah. Padahal, dalam kaitannya dengan fungsi Komisi Yudisial, lembaga ini harus berjarak terutama terhadap Mahkamah Agung yang harus diawasinya, bukan terhadap lembaga lain. Demikian pula mengenai anggaran Komisi Yudisial sebaiknya tidak

  • ii

    dimasukkan dalam satu pos anggaran Mahkamah Agung, tetapi dalam pos anggaran Komisi Yudisial sendiri.

    Sebagai lembaga baru yang belum ada presedennya, formulasi terhadap Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia sampai saat ini masih berada pada tahap trial and error. Oleh karena itu, saya menyambut baik usaha Saudara A. Ahsin Thohari menerbitkan naskah tesis S-2-nya yang diharapkan dapat memetakan beberapa persolan yang berkaitan dengan susunan dan kedudukan Komisi Yudisial serta pelembagaannya dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

    Demikianlah, mudah-mudahan usaha penerbitan buku ini dapat memenuhi tujuannya. Amin.

    Jakarta, Agustus 2004

    Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Guru Besar Hukum Tata Negara

    Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Gagasan Reformasi Peradilan di Indonesia Struktur ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Pertama,1 Kedua,2 Ketiga,3 dan Keempat4 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 berubah secara signifikan, bahkan dalam batas tertentu sangat radikal. Perubahan ini meliputi semua cabang kekuasaan baik kekuasaan legislatif (legislative power/pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (executive power/pelaksana undang-undang) maupun kekuasaan yudikatif (judicial power/kekuasaan kehakiman).5 Tujuan Perubahan UUD 1945 tersebut adalah menyempurnakan atau melengkapi aturan dasar sebelumnya (UUD 1945 pra-amendemen) yang dirasakan masih jauh dari sempurna.6

    1Perubahan Pertama ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2002, hlm. 25-27. Dasar pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan UUD 1945 adalah (1) UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sepenuhnya melakukan kedaulatan rakyat; (2) UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden); (3) UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu luwes, sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir); (4) UUD 1945 terlalu banyak memberikan kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang; dan (5) rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia (HAM), dan otonomi daerah. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003, hlm. 11-14. 2Perubahan Kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar..., op. cit., hlm. 31-37. 3Perubahan Ketiga ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Ibid., hlm. 41-48. 4Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Ibid., hlm. 51-56. 5Dalam bahasa Jimly Asshiddiqie, dengan empat kali perubahan tersebut, pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam UUD 1945 mengalami pergeseran dan perubahan mendasar, sehingga mengubah pula corak dan format kelembagaan serta mekanisme hubungan antara lembaga-lembaga negara yang ada. Ada organ negara yang dihapuskan dari ketentuan UUD 1945, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA), tetapi ada juga organ negara yang sebelumnya tidak ada, justru diadakan menurut ketentuan UUD 1945 yang baru, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Lihat Kata Pengantar Jimly Asshiddiqie dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jendral MK RI, hlm. ii. 6Tujuan yang ingin dicapai dengan dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 adalah menyempurnakan atau melengkapi aturan dasar (UUD 1945) yang berkenaan dengan 7 (tujuh) hal penting, yaitu (1) tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional; (2) jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi; (3) jaminan dan perlindungan HAM agar sesuai dengan perkembangan paham HAM dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat suatu negara hukum; (4) penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern; (5) jaminan konstitusional; (6) penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum; dan (7) kehidupan bernegara

  • 2

    Pada cabang kekuasaan kehakiman, terdapat empat perubahan penting. Pertama,

    apabila sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka hanya terdapat dalam Penjelasannya, maka setelah perubahan jaminan tersebut secara eksplisit disebutkan dalam batang tubuh. Kedua, Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power), karena di sampingnya ada Mahkamah Konstitusi yang juga berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keempat, adanya wewenang kekuasaan kehakiman dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemiliham umum (pemilu).7 Tabel 1.1 di bawah ini akan lebih memperjelas empat perubahan yang terjadi dalam cabang kekuasaan kehakiman setelah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945.

    Tabel 1.1. Empat Perubahan dalam Cabang Kekuasaan Kehakiman setelah Perubahan

    Ketiga UUD 1945

    No. Sebelum Perubahan UUD 1945 Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 1. Jaminan kekuasaan kehakiman yang

    merdeka hanya terdapat di dalam Penjelasan UUD 1945.

    Jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka terdapat di dalam Batang Tubuh UUD 1945.

    2. Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power).

    Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power), karena di sampingnya ada Mahkamah Konstitusi yang juga berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.

    dan berbangsa sesuai perkembangan aspirasi, kebutuhan, dan kepentigan bangsa dan negara Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan..., op. cit., hlm. 15-17. 7Perubahan Ketiga UUD 1945 yang melahirkan dua lembaga baru dalam kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, secara umum dimaksudkan untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai salah satu perwujudan ketentuan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan..., op. cit., hlm. 190-191. Keberadaan Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan Mahkamah Agung. Jimly Asshiddiqie, Perspektif tentang Format Kelembagaan dan Peraturan Republik Indonesia di Masa Depan, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Program Legislasi Nasional, yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional bekerja sama dengan Universitas Taruma Negara, Jakarta, 29 Juli 2002, hlm. 5; Jimly Asshiddiqie, Refleksi tentang Konsepsi dan Format Ketatanegaraan Republik Indonesia Pascareformasi, Makalah disampaikan dalam Pidatao Ketatanegaraan di Hadapan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Tokoh-tokoh Masyarakat dan LSM Se-Kabupaten Kendal, Kendal, 8 Nopember 2002, hlm. 15.

  • 3

    3. Selain Mahkamah Agung dan lain-lain badan

    kehakiman tidak ada lembaga lain dalam struktur kekuasaan kehakiman (judicial power).

    Adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

    4. UUD tidak mengatur wewenang kekuasaan kehakiman untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemiliham umum (pemilu).

    Adanya wewenang kekuasaan kehakiman dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemiliham umum (pemilu).

    Gagasan yang terdapat dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman setelah

    Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menjadi jauh lebih kompleks daripada gagasan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman sebelum terjadinya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini bukan saja ditunjukkan oleh membengkaknya jumlah pasal dari dua pasal dan dua ayat menjadi lima pasal dan delapan belas ayat , tetapi juga ditunjukkan oleh adanya dua lembaga baru di dalam struktur cabang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.8 Tabel 1.2 di bawah ini akan lebih memperjelas perbandingan antara beberapa ketentuan yang mengatur cabang kekuasaan kehakiman sebelum dan setelah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945.

    Tabel 1.2. Perbandingan Pasal-pasal Mengenai Cabang Kekuasaan Kehakiman Sebelum

    dan Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945

    No. Bab IX Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

    Bab IX Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan Ketiga UUD

    1945

    8Perubahan Ketiga UUD 1945 mencakup 8 (delapan) materi pokok, yakni (1) Bab tentang Bentuk dan Kedaulatan; (2) Bab tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat; (3) Bab tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara; (4) Bab tentang Dewan Perwakilan Daerah; (5) Bab tentang Pemilihan Umum; (6) Bab tentang Keuangan; (7) Bab tentang Badan Pemeriksa Keuangan; dan (8) Bab tentang Kekuasaan Kehakiman. Arah yang dituju adalah untuk menyempurnakan pelaksanaan kedaulatan rakyat, menyesuaikan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mengatur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, mengatur impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, membentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD); mengatur pemilihan umum; meneguhkan kedudukan dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); serta meneguhkan kekuasaan kehakiman dengan membentuk Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan..., op. cit., hlm. 143.

  • 4

    1. Pasal 24 ayat (1)

    Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.

    Pasal 24 ayat (1)

    Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

    2. Pasal 24 ayat (2)

    Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.

    Pasal 24 ayat (2)

    Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

    3. Pasal 25

    Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.

    Pasal 24 ayat (3)

    Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

    4. Penjelasan Pasal 24 dan 25

    Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.

    Pasal 24A ayat (1)

    Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

    5.

    -

    Pasal 24A ayat (2)

    Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

    6.

    -

    Pasal 24A ayat (3)

    Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.

    7.

    -

    Pasal 24A ayat (4)

    Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.

    8.

    Pasal 24A ayat (5)

    Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta

  • 5

    - badan peradilan di bawahnya diatur

    dengan undang-undang.

    9.

    -

    Pasal 24B ayat (1)

    Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

    10.

    -

    Pasal 24B ayat (2)

    Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.

    11.

    -

    Pasal 24B ayat (3)

    Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

    12.

    -

    Pasal 24B ayat (4)

    Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.

    13.

    -

    Pasal 24C ayat (1)

    Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

    14.

    -

    Pasal 24C ayat (2)

    Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

    15.

    Pasal 24C ayat (3)

    Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi

  • 6

    -

    yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.

    16.

    -

    Pasal 24C ayat (4)

    Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.

    17.

    -

    Pasal 24C ayat (5)

    Hakim Mahkamah Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.

    18.

    -

    Pasal 24C ayat (6)

    Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

    19.

    -

    Pasal 25

    Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.

    Yang menjadi perhatian utama penelitian ini adalah amanat Pasal 24B Perubahan

    Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 tentang pembentukan lembaga yang bernama Komisi Yudisial9. Dalam Pasal tersebut, Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keberadaan Komisi Yudisial menjadi penting dalam upaya pembaruan penradilan, termasuk di dalamnya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keberadaan Komisi Yudisial ini di

    9Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 hadir karena didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan peradilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara hukum. Melalui lembaga Komisi Yudisial ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya. Ibid., hlm. 195.

  • 7

    masa yang akan datang diharapkan dapat menjadi salah satu mitra kerja Mahkamah Agung untuk terus melakukan upaya-upaya dalam rangka pembaruan badan peradilan.10

    Apabila dilihat dari wewenang Komisi Yudisial yang diatur dalam Pasal 24B ayat (1), yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, maka dapat disimpulkan bahwa selama ini ada dua persoalan mendasar yang mengakibatkan kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak terealisasikan dengan baik, yaitu buruknya perekrutan hakim agung dan kurang atau tidak efektifnya lembaga yang mempunyai tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

    Gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat diwujudkan, salah satunya apabila sumber daya manusia hakim agung yang mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum sebagaimana disebutkan Pasal 24A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dapat direkrut. Artinya, sistem perekrutan yang tersedia harus menjamin terekrutnya pribadi-pribadi terbaik yang mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Oleh karena itu, sistem perekrutan yang baik harus dibuat, yaitu sistem perekrutan yang dilakukan oleh pihak yang netral, mempunyai kompetensi, dijalankan secara transparan, adanya pengawasan secara efektif dalam proses perekrutan, dan adanya standar yang tepat.11 Dari sini, kemudian muncul pertanyaan siapakah pihak yang dianggap tepat untuk melakukan perekrutan hakim, khususnya hakim agung. Apakah perekrutan hakim, khususnya hakim agung, tidak boleh melibatkan pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman. Apakah kekuasaan pemerintah diperbolehkan ikut terlibat dalam proses perekrutan hakim (agung). Apabila diperbolehkan, apakah hal ini tidak dikhawatirkan akan menjadi pintu masuk bagi kekuasaan pemerintah untuk melakukan hegemoni dan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman.

    Ketentuan-ketentuan internasional yang berkaitan dengan gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent judiciary) tidak melarang adanya peran pihak eksekutif (pemerintah) dalam perekrutan hakim (agung) dengan syarat-syarat tertentu. Angka 3 huruf a International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence mengatakan sebagai berikut:

    Participation in judicial appoinments and promotions by the Executive or Legislature is not inconsistence with judicial independence, provided that appoinments and promotions of judges

    10Lihat Kata Pengantar Bagir Manan dalam Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, naskah belum diterbitkan, Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003, hlm. 1. 11Dalam hal yang berkaitan dengan perekrutan hakim ini, angka 11 tentang pengangkatan hakim yang terdapat dalam rumusan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region mengatakan, To enable the judiciary to achieve its objectives and perform its functions, it is essential that judges be chosen on the basis of proven competence, integrity and independence. Sedangkan Angka 12 mengatakan, The mode of appoinment of judges must be such as will ensure the appoinment of persons who are best qualified for judicial office. It must provide safeguards against improper influences being taken into account so that only persons or competence, integrity and independence are appointed. Law Asia Region, Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region, as Amended at Manila, 28 August 1997.

  • 8

    are vested in a judicial body, in which members of judiciary and the legal profession form a majority.12 Sedangkan Angka 3 Huruf b International Bar Association Code of Minimum

    Standards of Judicial Independence mengatakan sebagai berikut: Appoinments and promotions by a non-judicial body will not be considered inconsistent with judicial independence in countries where by long historic and democratic tradition, judicial appoinments and promotion operate satisfactorily.13 Dengan demikian, International Bar Association Code of Minimum Standadrs of

    Judicial Independence tidak menganggap adanya hal yang dapat mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman apabila pihak kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif ikut berpartisipasi dalam hal pengangkatan dan promosi hakim asal saja hak untuk melakukan pengangkatan dan promosi hakim ini terletak pada badan kehakiman (judicial body), yang keanggotaannya terdiri dari mayoritas para hakim dan para profesional di bidang hukum. Demikian juga, pengangkatan dan promosi hakim oleh lembaga-lembaga non-yudisial juga tidak dianggap sebagai hal yang dapat mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di negara-negara yang telah mempunyai sejarah dan tradisi demokrasi yang panjang dan pengangkatan dan promosi hakim yang ada telah berlangsung dengan memuaskan.

    Sementara itu, Universal Declaration on the Independence of Justice menegaskan sebagai berikut:

    When the statute of a court provides that judges shall be appointed on the recommendation of a government, such appoinment shall not be made in circumstances in which that government may subsequently exert any influence upon the judge.14 Deklarasi Universal tentang Kemerdekaan (Kekuasaan) Kehakiman ini pada

    prinsipnya tidak melarang adanya keterlibatan pihak kekuasaan pemerintah dalam proses perekrutan hakim. Akan tetapi, hal ini harus dilakukan dengan catatan yang sangat penting, yaitu apabila perundang-undangan tentang lembaga peradilan menetapkan bahwa para hakim harus diangkat atas rekomendasi atau usulan dari pemerintah, maka pengangkatan ini tidak boleh dilakukan dalam keadaan dimana pemerintah dapat menggunakan pengaruhnya untuk mempengaruhi hakim.

    Salah satu ketentuan internasional yang memberikan apresiasi terhadap kehadiran Komisi Yudisial dalam proses perekrutan hakim adalah :Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region. Angka 15 ketentuan tersebut menyatakan sebagai berikut:

    12International Bar Association, International Bar Association Code of Minimum Standars of Judicial Independence, The Jerussalem Approved Standards as adpted in the Plenary Session of the 19th IBA Biennial Conference held on Friday, 22nd October 1982, in New Delhi India, Angka 3 Huruf b. 13Ibid. 14International Judge, Universal Declaration on the Independence of Justice, unanimously adopted at the final plenary session of the First World Conference on the Independence of Justice held at Montreal, Quebec, Canada on June 10th 1983, Angka 1.13.

  • 9

    In some societies, the appoinment of judges, by, with the consent of, or after consultation with Judicial Service Commission has been seen as a means of ensuring that those chosen as judges are appropriate for the purpose. Where a Judicial Service Commission is adopted, it should include representatives of the higher Judiciary and the independent legal profession as a means of ensuring that judicial competence, integrity and independence are maintained.15 Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia

    Region menggarisbawahi bahwa di dalam masyarakat yang mengenal Judicial Service Commission, pengangkatan hakim-hakim oleh, dengan persetujuan, atau setelah berkonsultasi terlebih dahulu dengan Judicial Service Commission dianggap sebagai mekanisme untuk menjamin bahwa hakim-hakim yang terpilih adalah hakim-hakim yang pantas atau sesuai untuk tujuan-tujuan yang akan dicapai. Selain itu, juga ditegaskan bahwa keanggotaan Komisi Yudisial harus diisi oleh orang-orang yang mewakili hakim-hakim tertinggi dan orang-orang yang berprofesi hukum yang independen sebagai instrumen untuk menjamin terpeliharanya kompetensi, integritas, dan independensi kehakiman.

    Sedangkan untuk masyarakat yang tidak mengenal Judicial Service Commission, Angka 16 Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region menegaskan sebagai berikut: In the absence of a Judicial Service Commission, the procedures for appoinment of judges should be clearly defined and formalised and information about them should be available to the public.16

    Dengan demikian, di dalam masyarakat yang tidak mengenal lembaga Judicial Service

    Commission, tata cara pengangkatan hakim-hakim harus ditentukan dan disusun dengan jelas dan informasi tentang hal itu harus tersedia bagi masyarakat luas. Sedangkan promosi hakim-hakim harus didasarkan pada penilaian yang objektif terhadap faktor-faktor seperti kompetensi, integritas, independensi, dan pengalamannya. Tentang hal ini, Angka 17 Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region menyatakan, Promotion of judges must be based on an objective assessment of factors such as competence, integrity, independence and experience.17

    Beberapa ketentuan di atas, memang tidak melarang adanya peran pihak eksekutif dalam proses perekrutan hakim-hakim yang dibutuhkan dalam suatu negara. Akan tetapi, seluruh ketentuan internasional yang telah disebut di atas lebih merekomendasikan pemberian kekuasaan perekrutan hakim-hakim pada lembaga independen atau pada lembaga peradilan itu sendiri. Hal yang relatif hampir sama berlaku pula dalam hal pengawasan, pendisiplinan, mutasi dan promosi.18

    Objek utama penelitian ini adalah lembaga yang di Indonesia dikenal dengan nama Komisi Yudisial.19 Dewasa ini diskursus tentang Komisi Yudisial di berbagai belahan dunia

    15Law Asia Region, op. cit., Angka 15. 16Ibid., Angka 16. 17Ibid., Angka 17. 18Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Position Paper: Menuju Independensi Peradilan, Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law [ICEL] dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan [LeIP], 1999, hlm. 39. 19Di Indonesia, penyebutan istilah Komisi Yudisial dimulai pada saat ditetapkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. Republik Indonesia, Undang-undang tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, UU No. 25 Tahun

  • 10

    masih sangat aktual, karena Komisi Yudisial merupakan kecenderungan (trend) yang terjadi di abad ke-20 sebagai bagian dari paket reformasi peradilan.20

    Terdapat beberapa asumsi dasar yang dapat diajukan sebagai argumen utama bagi sebab wujudnya (raison detre) Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum21 baik dalam tradisi Rechtsstaat maupun Rule of Law, yaitu pertama, Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja22; kedua, Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah;23 ketiga, dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman;24 keempat, terjaganya konsistensi

    2000, LN No. 206 Tahun 2000. Komisi Yudisial mendapatkan pengakuan konstitusional setelah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 mengaturnya dalam Pasal 24B. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara..., op. cit., hlm. 47 dan 72. 20Paket reformasi di bidang peradilan berkaitan dengan struktur dan administrasi lembaga peradilan. James A. Gazell mengatakan, Reformers have sought to change the structure and administration of state courts for most of the twentieth century. James A. Gazell, The Future of State Court Management, Port Washington, N.Y.: Kennicat Press, 1978, hlm. 5-27. 21Dalam kepustakaan hukum Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari istilah Rechtsstaat. Padmo Wahjono, Pembakuan Istilah Hukum, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1975, hlm. 193; O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970, hlm. 27. 22Monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat korps (lesprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas pengembangan profesi hukum. Menurut rekomendasi kebijakan reformasi hukum yang pernah dibuat oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas pengembangan profesi hukum adalah (1) tidak berjalannya sistem kontrol dan pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat; (2) organisasi profesi tidak menyediakan sarana dan prosedur yang mudah diakses oleh masyarakat untuk menyampaikan keluhan, sementara dewan-dewan kehormatan yang ada juga tidak tanggap menerima keluhan masyarakat; (3) rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi hukum akibat buruknya sosialisasi dan pihak profesi itu sendiri; (4) belum terbentuknya budaya dan kesadaran dari para pengemban profesi hukum itu sendiri untuk menjaga martabat luhur dari profesinya; dan (5) tidak adanya kesadaran etis dan moral di antara para pengemban profesi bahwa mentaati keputusan dewan kehormatan profesi merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga martabat profesi. Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Kebijakan Reformasi Hukum (Suatu Rekomendasi), Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, hlm. 164; National Law Commission of the Republic of Indonesia, Law Reform Policies (Recommendations), Jakarta: National Law Commission of the Republic of Indonesia, 2003, hlm. 147. 23Kemandirian kekuasaan kehakiman akan terancam apabila kekuasaan kehakiman harus mengurus kepentingannya (khususnya yang berkaitan dengan keuangan) sendiri tanpa ada lembaga lain yang berfungsi sebagai mediator, karena di sini terdapat pola hubungan pertanggungjawaban dan subordinated. Dengan kondisi ini, kekuasaan kehakiman akan tersubordinasi dan terkooptasi oleh kekuasaan lain di luarnya. Alasan ini juga yang tampaknya menjadi salah satu landasan pemikiran pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara. 24Asumsi yang dapat dikemukakan dalam poin ketiga yang menjadi sebab wujudnya Komisi Yudisial ini adalah kekuasaan kehakiman tidak lagi disibukkan dengan tugas-tugas yang bersifat teknis non-hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim agung serta pengelolaan keuangan. Kekuasaan kehakiman dapat mencurahkan seluruh perhatiannya dengan berkonsentrasi pada penyelesaian-penyelesaian perkara hukum yang masuk, sehingga energi kekuasaan kehakiman tidak habis hanya untuk mengurusi persoalan-persoalan teknis non-hukum,

  • 11

    putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan selalu memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial); dan kelima, dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power)25 dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.

    Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga yang mempunyai fungsi dan tugas yang kurang lebih sama dengan Komisi Yudisial sudah lama diperjuangkan oleh beberapa orang yang concern terhadap dunia peradilan. Akan tetapi, perjuangan tersebut selalu menemui kegagalan, karena iklim politik pada saat itu belum terlalu kondusif bagi ide-ide progresif seperti itu. Dalam perkembangannya, perjuangan tersebut kemudian mulai mendapatkan titik terang. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara26 adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi tonggak utama yang memungkinkan diterimanya gagasan-gagasan progresif dalam dunia peradilan. Bab IX huruf c ketetapan MPR tersebut menyatakan perlunya segera diwujudkan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi eksekutif dan yudikatif. Akhirnya perjuangan tersebut menemui keberhasilan ketika Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 mengakomodasi gagasan tersebut dengan menyebut secara eksplisit istilah Komisi Yudisial. Setelah itu, Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 menjadi payung konstitusional bagi eksistensi Komisi Yudisial.

    Terdapat penyebutan yang berbeda-beda di berbagai negara terhadap lembaga yang kurang lebih sama dengan Komisi Yudisial. Di beberapa negara, istilah Komisi Yudisial disebut secara eksplisit di dalam konstitusinya. Meskipun penyebutan lembaga tersebut berbeda-beda di berbagai negara, tetapi lembaga-lembaga tersebut secara substantif kurang lebih mempunyai tugas dan wewenang yang sama dengan lembaga yang di Indonesia disebut dengan Komisi Yudisial. Perbedaan-perbedaan tersebut diakibatkan adanya perbedaan sirkumstansi politik dan sosio-kultural masing-masing negara yang kemudian memberikan warna yang seringkali tidak sama dan bahkan unik di negara yang bersangkutan.

    Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa munculnya lembaga yang di Indonesia dikenal dengan nama Komisi Yudisial merupakan fenomena ketatanegaraan di bidang kekuasaan kehakiman (judicial power) yang relatif baru. Demikian pula di negara-negara lain, sejarah pembentukan Komisi Yudisial belum terlalu lama. Di Eropa, negara yang pertama kali tetapi dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan lain yang lebih substantif seperti mengadakan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya dalam memutus suatu perkara. 25Yang dimaksud dengan kemandirian kekuasaan kehakiman di sini adalah kemandirian dalam segala bentuknya. Menurut B.J. van Heyst, kemandirian kekuasaan kehakiman dapat dibedakan dalam empat bentuk, yaitu (1) constitutional independence, i.e., independence from executive (the separation of power); (2) personal independence, i.e., the independence of individual members of the judiciary based on the safeguards surrounding their tenure of office and removal from office (they are in principle appointed for life and appointed and receive a salary fixed by law); (3) statutory independence, i.e., the statutory scope which judges have for reaching decisions; and (4) substantive independence, the extent to which judges actually feel themeselves free to arrive at a given decision. B.J. van Heyst, The Netherlands, dalam Shimon Shetreet dan Jules Deschenes, eds., Judicial Independence: The Contemporary Debate, Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers: 1985, hlm. 240. 26Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998, Jakarta: Sekretariat MPR RI, 1998, hlm. 38.

  • 12

    membentuk Komisi Yudisial adalah Prancis pada tahun 1946. Setelah itu, Italia juga membentuk Komisi Yudisial pada 1947, Swedia pada 1975, Irlandia pada 1998, Denmark dan Ceko pada 1999, dan Belanda pada 2002. Dengan demikian, Komisi Yudisial belum memiliki tradisi yang lama seperti lembaga-lembaga negara lainnya.27 Oleh karena itu, belum banyak studi tentang Komisi Yudisial yang dilakukan oleh para ahli. Sepanjang pengetahuan peneliti, baru terdapat satu studi yang cukup komprehensif di bidang Komisi Yudisial, yaitu studi yang dilakukan oleh ahli hukum Belanda Wim Voermans. Pada tahun 1999, Voermans melakukan penelitian terhadap Komisi Yudisial yang terdapat di berbagai negara Uni Eropa. Pada mulanya, penelitian Komisi Yudisial yang dilakukan oleh Voermans merupakan permintaan yang datang dari pemerintah Belanda yang berniat untuk membentuk Komisi Yudisial sebagai bagian dari reformasi di bidang kekuasaan kehakiman (judicial power).

    Hasil studi Voermans tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Council for the Judiciary in EU Countries.28 Buku ini banyak mengelaborasi beberapa temuan yang sangat menarik dan mempunyai tingkat orisinalitas yang cukup tinggi. Terdapat beberapa kesimpulan penting yang menarik dari penelitian Voermans. Pertama, Komisi Yudisial di negara-negara Eropa Selatan seperti Prancis,29 Italia,30 Spanyol,31 dan Potugal32 cenderung

    27Apabila dibandingkan dengan Mahkamah Konstitusi misalnya, maka akan tampak adanya disparitas tradisi yang cukup nyata. Mahkamah Konstitusi sudah mempunyai tradisi yang lebih panjang daripada Komisi Yudisial. Oleh karena itu, sangat wajar studi tentang Mahkamah Konstitusi sudah cukup banyak dan memadai dibandingkan dengan studi tentang Komisi Yudisial. Negara yang dianggap sebagai pelopor dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah Austria pada tahun 1920. Tentang hal ini, lihat misalnya Mary Ann Glendon, Michael Wallace Gordon, dan Christopher Osakwe, Comparative Legal Traditions: Texts, Material and Cases, St. Paul, Minn.: West Publishing Company, 1985, hlm. 70. Sedangkan di Amerika Serikat tradisi judicial review tidak diserahkan pada lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi, tetapi pada lembaga yang telah ada, yaitu Mahkamah Agung. Tradisi judicial review ini dimulai oleh John Marshall dalam kasus Marbury Versus Madison pada tahun 1803. Lihat misalnya Sylvia Snowiss, Judicial Review and the Law of the Constitution, New Haven: Yale University Press, 1990, hlm. 45 dan seterusnya. Dengan kenyataan singkatnya tradisi Komisi Yudisial tersebut, sangat wajar apabila studi atau sekadar wacana tentang Komisi Yudisial belum banyak dilakukan oleh para ahli. Kondisi ini mengakibatkan referensi di bidang Komisi Yudisial masih sangat langka. 28Wim Voermans, Council for the Judiciary in EU Countries, translated by Pena Language Services, Brussels: TAIEX-Office of the EU Commission, 1999. Buku ini sudah hadir dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M. Zaki Hussein, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-LeIP, 2002. 29Di Prancis, Komisi Yudisial disebut dengan istilah The Conseil Superieur de la Magistrature. Lembaga ini dibentuk sejak tahun 1946 dengan susunan Presiden sebagai Ketua; Menteri Kehakiman sebagai Wakil Ketua; dan 12 anggota diangkat oleh Kepala Negara. Lembaga ini mempunyai wewenang mengangkat, mengawasi kedisiplinan, dan promosi hakim. Ibid., hlm. 12. 30Di Italia, Komisi Yudisial disebut Consiglio Superiore della Magistratura, atau dalam bahasa inggris: (The Superior Council of the Judiciary). Lembaga ini mempunyai wewenang yang mirip dengan The Conseil Superieur de la Magistrature di Prancis yang juga diketuai oleh Presiden. Anggota lembaga ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan 12 anggota yang diangkat oleh dan dari organisasi hakim serta 10 ahli hukum yang dipilih oleh Parlemen. Wewenang lembaga ini adalah mengangkat hakim, promosi, mutasi, pengangkatan petugas peradilan umum, dan pendisiplinan hakim. Ibid. 31Di Spanyol, Komisi Yudisial disebut El Consejo General del Poder Judicial, atau dalam bahasa inggris: (The General Council of the Judicial Power). Lembaga ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua dan 20 orang anggota yang diangkat oleh Kepala Negara atas rekomendasi Parlemen untuk masa jabatan lima tahun. 12 orang dari anggota tersebut berasal dari lingkungan hakim dan 8 orang dari pengacara atau ahli hukum lainnya. Wewenangnya adalah menyangkut pengangkatan, promosi, mutasi, dan pengawasan melalui inspeksi dan prosedur pendisiplinan hakim. Ibid.

  • 13

    mempunyai kewenangan yang terbatas, yaitu meliputi rekruitmen, mutasi, promosi, dan pengawasan serta pendisiplinan hakim. Sementara itu, Komisi Yudisial di negara-negara Eropa Barat seperti Swedia,33 Irlandia,34 dan Denmark35 cenderung mempunyai kewenangan yang cukup luas. Selain mempunyai kewenangan yang meliputi rekruitmen, mutasi, promosi, dan pengawasan serta pendisiplinan hakim, Komisi Yudisial di negara-negara tersebut juga mempunyai kewenangan melakukan pengawasan terhadap administrasi pengadilan, keuangan, dan manajemen perkara. Selain itu, juga mempunyai kewenangan yang berkaitan dengan manajemen yang berkaitan dengan infrastruktur hakim seperti perumahan dan pendidikannya.36

    Selain buku yang ditulis oleh Wim Voermanss ini, buku yang berkaitan dengan lembaga yang bernama Komisi Yudisial masih sangat kurang. Kalaupun ada masih berupa makalah-makalah yang disampaikan dalam berbagai kesempatan atau artikel di media massa yang pembahasannya masih belum menggambarkan secara utuh sosok Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan khususnya di bidang cabang kekuasaan yudikatif, sehingga masih ada beberapa persoalan yang tersisa dan belum terelaborasi secukupnya. Kecenderungan

    32Di Portugal, Komisi Yudisial disebut Coselho Superior da Magistratura atau dalam bahasa inggris: (The Higher Council of the Bench). Lembaga ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua dan 16 anggota yang 2 orang di antaranya diangkat oleh Kepala Negara, 7 orang oleh Parlemen, dan 7 orang lainnya oleh dan dari organisasi peradilan. Di Spanyol, Kejaksaan tidak memiliki wakil dalam Komisi Yudisial. Wewenangnya adalah menyangkut promosi dan mutasi hakim. Ibid., hlm. 13. 33Di Swedia, Komisi Yudisial disebut Dolmstolsverket yang berdiri sejak tahun 1975. Lembaga ini didirikan sebagai sebuah badan administratif independen yang dipimpin oleh seorang direktur jendral. Wewenang eksekutif lembaga ini terletak pada Ketua yang terdiri dari 4 (empat) orang hakim, 2 (dua) orang anggota parlemen, 1 (satu) orang pengacara, 1 (satu) orang wakil serikat pekerja. Wewenangnya meliputi tugas-tugas administratif yang berkaitan dengan perencanaan dan pengalokasian anggaran nasional untuk pengadilan-pengadilan dan fungsi manajerial lain seperti memberikan dukungan kepada pengadilan dalam bidang manajemen personalia, pelatihan, perumahan, komputerisasi (yang meliputi sistem administrasi bisnis, data base yuriprudensi, dll.), dan bertanggung jawab atas laporan pemakaian anggaran. Selain itu, lembaga ini juga mempunyai wewenang menyangkut promosi dan mutasi hakim. Ibid. 34Di Irlandia, Komisi Yudisial disebut Courts Service yang berdiri sejak 16 April 1998 yang saat ini masih bersifat sementara. Lembaga ini dipimpin oleh Ketua Pejabat Eksekutif, 9 (sembilan) orang anggota lembaga peradilan, Jaksa Agung, 2 (dua) orang pengacara, anggota eselon administratif, dan staf pengadilan lainnya (panitera dan staf lainnya), 1 (satu) orang jaksa, 1 (satu) orang anggota yang mewakili kepentingan para pengguna jasa pengadilan, dan 1 (satu) orang anggota yang ditunjuk oleh perserikatan hakim dan ahli hukum. Wewenangnya meliputi bidang administrasi dan manajemen pengadilan, termasuk pendistribusian anggaran, pengawasan atas pengeluaran anggaran oleh pengadilan-pengadilan, pengadaan staf pendukung bagi hakim, hubungan eksternal (termasuk informasi publik), tanggung jawab perumahan, pemeliharaan infrastruktur pengadilan, program pelatihan, penyediaan informasi dan bertanggung jawab mengenai data yang berhubungan dengan proses pengadilan, merumuskan laporan tahunan serta rencana kebijakan strategis dan memberi nasihat kepada Menteri Kehakiman mengenai masalah yang berkaitan dengan lembaga peradilan. Ibid., hlm. 14. 35Di Denmark, Komisi Yudisial disebut dengan Domstolsstyrelsen yang berdiri sejak 26 Juni 1999, dan saat ini masih bersifat sementara. Lembaga ini dipimpin oleh seorang direktur dan sebuah kepengurusan dengan anggota yang berjumlah lima (5) orang dari tingkatan pengadilan yang berbeda, dua (2) orang anggota dari kalangan staf pengadilan, dua (2) orang dari departemen pendukung, satu (1) orang pengacara, dan dua (2) orang yang mempunyai keahlian di bidang manajemen. Lembaga ini, selain membantu The Juridical Appointments Council (suatu lembaga yang terpisah), juga mempunyai wewenang dalam bidang penganggaran, menyusun rencana kebijakan strategis yang berkaitan dengan pengadilan, pendistribusian anggaran kepada pengadilan-pengadiloan, memeriksa pengeluaran, menyusun laporan tahunan, dan wewenang umum lainnya dalam bidang pengelolaan pengadilan. Ibid., hlm. 14-15. 36Ibid., hlm. 10.

  • 14

    langkanya penelitian tentang Komisi Yudisial semakin nyata apabila diarahkan ke Indonesia. Di Indonesia, penelitian tentang Komisi Yudisial masih sebatas berbentuk makalah yang disampaikan di berbagai seminar dan artikel berbagai media massa. Hal ini dapat dimengerti mengingat Komisi Yudisial merupakan fenomena ketatanegaraan di bidang kekuasaan kehakiman yang relatif baru.

    Berdasarkan uraian di atas, terdapat tiga hal yang menjadi titik berat perhatian dan karenanya menjadi masalah yang signifikan dalam penelitian ini, yaitu:

    1. Studi mengenai Komisi Yudisial belum banyak dilakukan oleh para ahli baik asing maupun domestik, padahal Komisi Yudisial mempunyai peran yang sangat penting (significant role) dalam rangka menciptakan efisiensi dan efektivitas kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan lain di luarnya, seperti kekuasaan eksekutif, legislatif, politik, ekonomi atau masyarakat lainnya. Dengan adanya Komisi Yudisial, beberapa persoalan teknis kekuasaan kehakiman yang semula sangat birokratis karena melibatkan banyak institusi seperti Departemen Kehakiman, Parlemen, Presiden, dan Mahkamah Agung dapat diputus mata rantainya, sehingga peluang terjadinya pengaruh-pengaruh tertentu terhadap kemandiriannya dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.

    2. Studi yang telah dilakukan oleh Wim Voermans yang kemudian diterbitkan dengan judul Council for the Judiciary in EU Countries lebih merupakan studi perbandingan yang bersifat deskriptif-normatif. Oleh karena itu, studi tersebut hanya memberikan gambaran umum mengenai Komisi Yudisial di enam negara Uni Eropa yang diteliti, yakni Swedia, Republik Irlandia, Denmark, Prancis, Italia, dan Ceko yang terdapat dalam hukum positif masing-masing negara. Hal ini dapat dipahami, karena studi Voermans terutama sekali bertujuan untuk memperoleh konsep dan gambaran Komisi Yudisial yang dianggap ideal dan kemudian diterapkan di Belanda dengan mempelajari kelemahan dan kelebihan di enam negara tersebut.

    3. Studi yang telah dilakukan oleh Wim Voermans masih belum memberikan gambaran umum yang komprehensif tentang trend Komisi Yudisial di dunia karena studi perbandingannya hanya dilakukan di enam negara Uni Eropa sebagai sampelnya. Sedikitnya negara yang diteliti ini mengakibatkan sebagian kesimpulannya patut diverifikasi kembali secara lebih mendalam dengan melibatkan lebih banyak negara yang diteliti. Sebagai contoh, kesimpulannya tentang dikotomi Komisi Yudisial di negara-negara Eropa Selatan dan Eropa Utara. Menurut Wim voermans, Komisi Yudisial di Eropa Selatan seperti Prancis, Italia, Spanyol, dan Potugal cenderung mempunyai kewenangan yang terbatas, sedangkan di Eropa Barat seperti Swedia, Irlandia, dan Denmark cenderung mempunyai kewenangan yang lebih luas.37

    Sehubungan dengan uraian latar belakang di atas, penelitian ini akan mengambil tema Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan. Penelitian ini diharapkan mampu memetakan kompleksitas permasalahan Komisi Yudisial dengan mempelajari alasan utama yang menjadi penyebab munculnya Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan suatu negara, peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya, dan 37Voermans, op. cit., hlm. 10.

  • 15

    kecenderungan-kecenderungan umum pengaturan-pengaturan di berbagai negara yang mempunyai Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya, lebih khusus lagi dalam struktur kekuasaan kehakimannya.

    B. Beberapa Permasalahan

    Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang masalah di atas, peneliti membuat kesimpulan bahwa studi terhadap Komisi Yudisial yang dilakukan masih sangat langka atau sekurang-kurangnya belum terlalu banyak menjadi perhatian para ahli hukum khususnya yang mempunyai perhatian khusus di bidang hukum tata negara. Kelangkaan ini merupakan akibat dari setidaknya dua fakta empiris, yaitu pertama, Komisi Yudisial merupakan fenomena ketatanegaraan yang relatif baru atau sekurang-kurangnya belum mempunyai tradisi kemapanan (establishment), sehingga kehadirannya dalam bentuk yang ideal masih terus berada dalam tingkat pencarian formulasi yang sebaik-baiknya; dan kedua, banyak sekali negara yang sistem ketatanegaraannya tidak atau belum mengenal Komisi Yudisial, karena tugas-tugasnya telah ditangani oleh lembaga-lembaga yang telah dikenal sebelumnya seperti Departemen Kehakiman (dalam hal administrasi dan keuangan), Presiden dengan mempertimbangkan usulan Parlemen (dalam hal pengangkatan), dan Mahkamah Agung (dalam hal menjadi dewan kehormatan apabila terjadi tindakan indisipliner yang dilakukan oleh hakim). Dengan merujuk pada keterangan yang telah dijelaskan di atas, peneliti mengemukakan identifikasi masalah yang diteliti sebagai berikut:

    1. Apakah alasan utama yang menjadi penyebab munculnya gagasan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan suatu negara?

    2. Apakah peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya?

    3. Bagaimanakah sebaiknya pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia? Dengan demikian, penelitian ini membatasi diri pada studi tentang sebab-sebab

    munculnya gagasan Komisi Yudisial di berbagai negara, peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya, dan kecenderungan-kecenderungan umum pengaturan-pengaturan di berbagai negara yang mempunyai lembaga yang kurang lebih mempunyai tugas yang sama dengan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya. C. Urgensi Penelitian

    Beberapa permasalahan tersebut di atas menurut peneliti perlu dan mendesak diteliti

    dengan maksud untuk: 1. Mengetahui alasan utama yang menjadi penyebab munculnya gagasan Komisi

    Yudisial dalam struktur ketatanegaraan suatu negara; 2. Mengetahui peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka

    menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya; dan

  • 16

    3. Mengetahui kecenderungan-kecenderungan umum pengaturan-pengaturan di

    berbagai negara yang mempunyai Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya.

    Sehubungan dengan 3 (tiga) hal urgen tersebut, setiap usaha-usaha yang terdapat di

    dalam penelitian ini selalu diarahkan untuk mengetahui: 1. Alasan utama yang menjadi penyebab munculnya gagasan Komisi Yudisial dalam

    struktur ketatanegaraan suatu negara; 2. Peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan

    kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya; dan

    3. Kecenderungan-kecenderungan umum pengaturan-pengaturan di berbagai negara yang mempunyai Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya.

    Keenam maksud dan tujuan tersebut di atas sangat penting dan mendesak untuk diteliti

    mengingat Komisi Yudisial merupakan lembaga baru yang belum ada presedennya dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sehingga proses trial and error tidak dapat dihindarkan lagi dalam pelaksanaannya. Penelitian ini diharapkan mampu memetakan kompleksitas permasalahan Komisi Yudisial dengan mempelajari alasan utama yang menjadi penyebab munculnya Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan suatu negara, peran-peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam rangka menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luarnya, dan kecenderungan-kecenderungan umum pengaturan-pengaturan di berbagai negara yang mempunyai Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraannya.38

    D. Perspektif Teori dan Beberapa Terminologi 1. Perspektif Teori a. Reformasi di Bidang Hukum dan Peradilan

    Sebelum membicarakan reformasi di bidang hukum dan peradilan, peneliti terlebih

    dahulu akan memaparkan sedikit latar belakang sebelum munculnya gagasan tersebut. Dalam khazanah politik Indonesia, ada sebuah era yang disebut dengan era reformasi. Era reformasi ini dipergunakan untuk merujuk pada masa pasca-berhentinya Jendral (Purn.) Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) pada tanggal 21 Mei 1998. Berhentinya Soeharto antara lain karena protes yang bertubi-tubi dan terus-menerus dari rakyat pada umumnya dan para mahasiswa pada khususnya, di tengah-tengah merosotnya keadaan sosial dan ekonomi.39 38Proses trail and error semakin tampak nyata apabila melihat Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, khususnya versi Dewan Perwakilan Rakyat yang dapat dikatakan dibuat secara sederhana, sehingga justru mengecilkan arti keberadaan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Lihat Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002. 39Tentang hal ini, lihat misalnya Donald K. Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, bekerja sama dengan The Asia Fondation, 2001, hlm. xi.

  • 17

    Kemudian, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik sebagai Presiden untuk menggantikan Soeharto.

    Selanjutnya, era ini kemudian ditandai dengan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan. Akan tetapi, Kabinet Reformasi Pembangunan ini tidak berlangsung lama, karena tiga belas bulan kemudian, diselenggarakanlah Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 1999 yang dianggap sebagai salah satu pemilu yang paling demokratis selain Pemilu Tahun 1955.40 Setelah satu setengah tahun berkuasa, Presiden B.J. Habibie harus meletakkan jabatannya, karena pertanggungjawabannya ditolak oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam Sidang Umumnya pada tanggal 19 Oktober 1999.41

    MPR kemudian mengangkat Abdurrahman Wahid yang menggantikan B.J. Habibie sebagai Presiden RI42 dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden RI.43 Hal ini terjadi setelah diadakan penyempurnaan terhadap Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia44 menjadi Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1999 tentang Tatacara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.45

    Menjelang tahun 1998, kata reformasi tiba-tiba menjadi hangat dibicarakan. Reformasi ekonomi, reformasi struktural, dan reformasi politik menjadi bahan diskursus berbagai kalangan, baik kalangan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), kampus, hingga rakyat jelata. Pada intinya, semua pihak mendambakan reformasi yang segera agar dapat keluar dari himpitan krisis ekonomi pada saat itu.46

    Seiring dengan gagasan reformasi total, gagasan tentang perlunya reformasi hukum juga tidak kalah serunya. Pelaksanaan reformasi hukum47 telah mendapatkan landasan yang cukup kuat, karena peraturan perundang-undangan yang mengaturnya adalah Ketetapan MPR, yaitu Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun

    40Uraian tentang era reformasi ini lebih lanjut dapat diperiksa dalam Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. I, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 57-60. 41Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, Jakarta: Sekretariat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 1999, hlm. 45-50. 42Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia dalam Ibid., hlm. 97-101. 43Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia dalam Ibid., hlm. 103-107. 44Departemen Penerangan Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1973, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hlm. 47-54. 45Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, op. cit., hlm. 89-96. 46Satya Arinanto, Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia, Hukum dan Pembangunan, Nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998, hlm. 124-125. 47Menurut Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, bentuk-bentuk reformasi hukum dikelompokkan menjadi 7 (tujuh), yaitu (1) kajian dan forum ilmiah; (2) perancangan peraturan; (3) implementasi peraturan; (4) pelatihan hukum (5) advokasi dan kesadaran masyarakat; (6) lembaga hukum; dan (7) penyusunan rencana. Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Peta Reformasi Hukum di Indonesia 1999-2001: Transisi di Bawah Bayang-bayang Negara, Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2002, hlm. 35.

  • 18

    1999-200448 yang dapat dikatakan lebih maju daripada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 199349 dan GBHN 1998.50

    Reformasi hukum dalam pengertian legal policy secara komprehensif memiliki tolok ukur 10 (sepuluh) butir arahan GBHN sebagimana disebutkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Kesepuluh butir arahan tersebut adalah:

    1) Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.

    2) Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi.

    3) Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.

    4) Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk undang-undang.

    5) Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan serta pengawasan yang efektif.

    6) Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak mana pun.

    7) Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.

    8) Menyelenggarkan proses peradilan secara tepat, mudah, murah, dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran.

    9) Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan.

    10) Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.

    Beberapa aspek yang ditekankan dalam GBHN Tahun 1999-2004 tersebut antara lain,

    sebagaimana disebutkan dalam Angka 5, berkaitan dengan peningkatan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan 48Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, op. cit., hlm. 64. 49Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan MPR RI Beserta Susunan Kabinet Pembangunan VI, Semarang: Aneka Ilmu, 1993, hlm. 11-133. 50Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1998, op. cit., hlm. 137-142.

  • 19

    meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan serta pengawasan yang efektif. Sedangkan Angka 6 menunjukkan adanya tekad untuk mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak mana pun. Selain itu, Angka 8 menunjukkan adanya tekad untuk menyelenggarkan proses peradilan secara tepat, mudah, murah, dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap menunjang tinggi asas keadilan dan kebenaran.

    Munculnya tiga ketentuan tersebut dalam sepuluh butir arahan GBHN Tahun 1999-2004 menunjukkan tiga hal, yaitu pertama, integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum selama ini belum sesuai dengan yang diharapkan; kedua, lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak mana pun belum sepenuhnya terwujud; dan ketiga, proses peradilan secara tepat, mudah, murah, dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme belum terselenggara.

    Dalam konteks inilah kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia dapat memerankan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan pengusulan terhadap calon-calaon hakim (agung) yang mempunyai integritas moral dan keprofesionalan, ikut serta dalam proses-proses menuju peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak mana pun, dan berperan dalam mewujudkan gagasan proses peradilan secara tepat, mudah, murah, dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme b. Perekrutan Hakim Agung

    Di berbagai negara, perekrutan hakim agung akan selalu mengundang kekuasaan

    politik untuk ikut serta di dalamnya. Kekuasaan eksekutif dalam hal ini Presiden dan kekuasaan legislatif dalam hal ini DPR selalu berlomba-lomba untuk ikut terlibat di dalam perekrutan hakim agung agar dapat mendudukkan orang-orang yang dikehendaki sebagai hakim agung yang dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan politiknya di kemudian hari.51

    Besarnya pengaruh kekuasaan politik ini dibuktikan dengan adanya keterkaitan antara kalkulasi politik dari Presiden yang berkuasa dengan penominasian hakim agung. Christopher E. Smith mengatakan, All Supreme Court Nominations are determined by the presidens political calculations.52

    Hal tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa hakim agung mempunyai peran yang sangat besar dalam hal memutuskan perkara-perkara besar yang dihadapinya. Oleh karena itu, seorang hakim agung harus mempunyai beberapa kriteria yang tidak mudah untuk dipenuhi. Kriteria-kriteria ideal secara umum misalnya harus memiliki kemampuan di bidang hukum, pengalaman yang memadai, memiliki integritas, moral dan karakter yang baik, dan seterusnya. Hakim yang memiliki kriteria-kriteria ini tidak akan hadir dalam suatu sistem perekrutan yang

    51Menurut Christopher E. Smith, Nominations for the high court normally generate the greatest political interest and impact of any judicial nomination. Lebih lanjut Smith mengatakan, Presidents have specific political purposes in mind when they nominate an individual to become a Supreme Court justice. Generally, presidents seek to nominate someone whose political ideology and policy preferences comport with theirs. Christopher E. Smith, Critical Judicial Nominations and Political Change, Westport, Connecticut: Praeger, 1989, hlm. 12. 52Ibid., hlm. 46.

  • 20

    buruk. Tidak salah apabila dikatakan bahwa good judges are not born but made. Hal ini bisa dicapai apabila sistem rekruitmen, seleksi, dan pelatihan hakim tersedia secara memadai.53

    Untuk mencapai kondisi ideal tersebut di atas, proses rekruitmen hakim agung harus sedapat mungkin dijauhkan dari kepentingan-kepentingan politik, sehingga penilain terhadapnya dapat relatif lebih objektif. Kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman dapat menjadi instrumen untuk menjauhkan proses rekruitmen hakim agung dari kepentingan-kepentingan politik yang seringkali distorsif dan mengabaikan prinsip-prinsip meritokrasi (meritocracy). Oleh karena itu, F. Andrew Hanssen mengatakan bahwa sistem perekrutan dan promosi seorang hakim dapat menjadi tolok ukur seberapa jauh sebenarnya kekuasaan kehakiman yang merdeka itu dimplementasikan dalam suatu negara, karena secara teknis sistem perekrutan dan promosi hakim dapat membuka ruang terciptanya intervensi kekuasaan politik di dalamnya.54

    Dalam konteks proses perekrutan hakim agung di Indonesia, khususnya sebelum gerakan reformasi, dapat dilihat betapa besarnya peran Presiden. Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,55 wewenang untuk mengangkat seorang hakim agung ada pada Presiden selaku Kepala Negara dari daftar nama yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Daftar nama calon tersebut diajukan oleh DPR kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah DPR mendengar pendapat Mahkamah Agung dan Pemerintah (Pasal 8 ayat [2]).

    Pada masa Orde Baru56 proses perekrutan hakim agung biasanya diawali dengan diadakannya forum antara MA dan Pemerintah yang dikenal dengan sebutan Forum Mahkamah Agung-Departemen Kehakiman (Mahdep) yang merupakan forum konsultasi antara MA dan Departemen untuk salah satunya membicarakan daftar para kandidat hakim agung yang akan diajukan oleh MA dan Pemerintah ke DPR. Biasanya MA mempunyai inisiatif untuk memberikan proposal nama-nama kandidat hakim agung terlebih dahulu kepada Departemen Kehakiman.57

    Sebelum sampai pada proses mengajukan proposal nama-nama kandidat hakim agung, Ketua MA biasanya melakukan konsultasi dengan Pimpinan MA lainnya yang meliputi Wakil Ketua MA, dan beberapa orang Ketua Muda MA.58 Meskipun demikian, dalam praktiknya Ketua MA seringkali memegang kontrol yang sangat dominan dalam menentukan nama-nama

    53Odette Buitendam, Good Judges are Not Born but Made: Recruiment, Selection and the Training of Judges in the Netherlands, dalam Marco Fabri and Philip M. Langbroek, eds., The Challenge of Change for Judicial System, Netherlands: IOS Press, 2000, hlm. 211. 54F. Andrew Hanssen, The Effect of Judicial Institutions on Uncertainty and the Rate of Litihation: the Election Versus Appoinment of States Judges, The Journal of Legal Studies, Vol. XXVIII, January 1999, hlm. 211. 55Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, UU No. 14 Tahun 1985, LN No. 73 Tahun 1985, TLN No. 3316. 56Pada umumnya diterima kesepakatan bahwa awal kelahiran Orde Baru adalah pada saat diterimanya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Soekarno oleh Soeharto. BP-7 Pusat, Bahan Penataran P4, UUD 1945, GBHN, Jakarta: BP-7 Pusat, 1990. Orde Baru secara resmi didefinisikan sebagai tatanan kehidupan negara dan bangsa yang diletakkan kembali pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Cet. III, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, hlm. 149. Lebih jauh tentang istilah ini, lihat misalnya Herbert Feith dan Lance Castle, eds., Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1988, hlm. xvii-xviii; Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, Cet. I, Jakarta: LP3ES, 1998, hlm. 200-2001. 57Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hlm. 9. 58Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

  • 21

    calon yang dimasukkan dalam proposal. Daftar nama-nama dari MA ini kemudian dipresentasikan dalam Mahdep yang kemudian diserahkan ke DPR dan diangkat oleh Presiden sebagai hakim agung.59 Proses ini tidak jauh berbeda setelah bergulirnya era reformasi selain adanya uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang dilakukan oleh DPR terhadap para calon hakim agung. Kelemahan-kelemahan yang ada dalam proses rekruitmen hakim agung tersebut diasumsikan dapat dieliminasi dengan kehadiran lembaga yang disebut dengan Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman. c. Etika Profesi Hukum

    Istilah etika dalam Bahasa Indonesia diambil dari ethos (bentuk tunggal) Bahasa

    Yunani yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat; watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya ta etha yang berarti adat istiadat.60 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).61 Sedangkan Blacks Law Dictionary mengartikan ethics sebagai berikut:

    Of or relating to moral action, conduct, motive or character; as, ethical emotion; also, treating of moral feeling, duties or conduct; containing precepts of morality; moral. Professionally right or befitting; conforming to professional standards of conduct.62 Sedangkan definisi profesi secara singkat adalah sebuah sebutan untuk jabatan

    pekerjaan, di mana orang yang menyandangnya dianggap mempunyai keahlian khusus yang diperoleh melalui training dan pengalaman kerja.63 Terminologi profesi paralel dengan profesionalitas yang dicirikan dengan tiga karakter penting. Pertama, keterkaitan profesi tersebut dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya dan karenanya bersifat khusus. Kedua, mempunyai kemampuan merealisasikan teori-teori ilmunya dalam ranah praktis dengan baik. Ketiga, mempunyai banyak pengalaman kerja.64 Sedangkan Blacks Law Dictionary mengartikan profession sebagai berikut: A vocation or occupation requiring special, usually advanced, education, knowledge, and skill; e.g. law or medical professions. Also refer to whole body of such profession.65

    Profesi secara umum juga dapat diartikan sebagai pekerjaan yang berwujud karya

    pelayanan yang dijalankan dengan penguasaan dan penerapan pengetahuan di bidang

    59Uraian lengkap tentang hal ini lihat misalnya Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: Fifty Years of Judicial Development, disertasi doktor, Leiden: Van Vollenhoven Institute for Law and Administration in Non-Western Countries, 1996, hlm. 287-313; Daniel S. Lev, Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia, dalam Claire Holt, ed., Culture Politic in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1972. 60K. Bertens, Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997, hlm. 4. 61Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed. III, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 309. 62Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, St. Paul, Minn.: West Group, 1991, hlm. 384. 63E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995, hlm. 32. 64Ibid., hlm. 33-34. 65Black, op. cit., hlm. 841.

  • 22

    keilmuan tertentu, yang pengembangannya dihayati