1. bab i. pendahuluan 1.1. latar...

17
1 1. BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Perkembangan ruang kawasan teluk dalam wilayah kota Bentang ruang wilayah Kota Palu merupakan kawasan lembah yang di lingkupi oleh perbukitan di sebelah Timur, pegunungan pada sisi Barat sementara sisi Utara terdapat Teluk. Secara topografi kawasan dipisahkan oleh aliran sungai dari arah Selatan yang berhulu di danau Lindu hingga bermuara di teluk pada sebelah Utara. Kawasan ini merupakan kawasan yang baru dihuni akibat adanya pergerakan masyarakat dari pegunungan dan perbukitan ke arah dataran rendah. Kelompok tersebut merupakan masyarakat etnis to kaili (suku asli setempat) yang sejak lama telah mendiami kawasan perbukitan dan pegunungan sekitar lembah. Sebaran masyarakat terus merambah hingga sampai kawasan tepian teluk dengan berbagai profesi seperti berdagang, bertani, beternak, buruh hingga nelayan. Upaya tersebut menurut Holahan (1982), merupakan keputusan individu yang dilakukan untuk menyesuaikan harapan dan keinginan individu terhadap dengan lingkungan yang dipilihnya. Seiring semakin berkembangannya aktivitas di lembah, maka dibentuklah kerajaan meliputi kesatuan empat kampung yaitu Besusu, Tanggabanggo (Siranindi atau Kamonji), Panggovia (Lere) dan Boyantongo (Baru). Wilayah kerajaan Lere dan Besusu mempunyai keterkaitan dengan kasus penelitian. Kawasan kerajaan Lere dan Besusu bersentuhan langsung dengan wilayah teluk Palu yang dihuni oleh masyakat to-kaili dan memaknai teluk sebagai jowa (lidah laut). Selain itu, kawasan Lere dan Besusu mempunyai keunikan sebab dalam konteks bentang alam menjadi titik pertemuan daratan dan lautan. Kawasan ini merupakan wilayah pesisir yaitu daerah pertemuan antara darat dan laut. Kawasan ini meliputi bagian daratan kering dan terendam air serta dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sementara wilayah pesisir laut mencakup bagian yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar. Proses pemanfaatan kawasan menunjukkan adanya perubahan tatanan wilayah dari perbukitan/pegunungan menuju lembah hingga daerah pesisir.

Upload: truongcong

Post on 08-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

1. BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.1.1. Perkembangan ruang kawasan teluk dalam wilayah kota Bentang ruang wilayah Kota Palu merupakan kawasan lembah yang di

lingkupi oleh perbukitan di sebelah Timur, pegunungan pada sisi Barat sementara

sisi Utara terdapat Teluk. Secara topografi kawasan dipisahkan oleh aliran sungai

dari arah Selatan yang berhulu di danau Lindu hingga bermuara di teluk pada

sebelah Utara. Kawasan ini merupakan kawasan yang baru dihuni akibat adanya

pergerakan masyarakat dari pegunungan dan perbukitan ke arah dataran rendah.

Kelompok tersebut merupakan masyarakat etnis to kaili (suku asli setempat) yang

sejak lama telah mendiami kawasan perbukitan dan pegunungan sekitar lembah.

Sebaran masyarakat terus merambah hingga sampai kawasan tepian teluk dengan

berbagai profesi seperti berdagang, bertani, beternak, buruh hingga nelayan.

Upaya tersebut menurut Holahan (1982), merupakan keputusan individu yang

dilakukan untuk menyesuaikan harapan dan keinginan individu terhadap dengan

lingkungan yang dipilihnya. Seiring semakin berkembangannya aktivitas di

lembah, maka dibentuklah kerajaan meliputi kesatuan empat kampung yaitu

Besusu, Tanggabanggo (Siranindi atau Kamonji), Panggovia (Lere) dan

Boyantongo (Baru). Wilayah kerajaan Lere dan Besusu mempunyai keterkaitan

dengan kasus penelitian. Kawasan kerajaan Lere dan Besusu bersentuhan

langsung dengan wilayah teluk Palu yang dihuni oleh masyakat to-kaili dan

memaknai teluk sebagai jowa (lidah laut). Selain itu, kawasan Lere dan Besusu

mempunyai keunikan sebab dalam konteks bentang alam menjadi titik pertemuan

daratan dan lautan. Kawasan ini merupakan wilayah pesisir yaitu daerah

pertemuan antara darat dan laut. Kawasan ini meliputi bagian daratan kering dan

terendam air serta dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut,

dan perembesan air asin. Sementara wilayah pesisir laut mencakup bagian yang

masih dipengaruhi oleh proses-proses alami di darat seperti sedimentasi dan aliran

air tawar. Proses pemanfaatan kawasan menunjukkan adanya perubahan tatanan

wilayah dari perbukitan/pegunungan menuju lembah hingga daerah pesisir.

2

Norberg C-Schulz (1996), melihat proses ini sebagai usaha manusia memilih

lokasi bermukim guna memenuhi tiga unsur tempat yaitu bukit supaya dapat

mengawasi sekitarnya, lembah supaya terlingkupi, dan daerah pertemuan darat

dan air (pesisir).

Seiring perkembangan etnis to-kaili maka sebaran etnis mulai menyentuh titik

tepian/kawasan pesisir. Sebaran etnis menetap dan berkembang secara turun-

temurun serta menggantungkan hidup dari hasil laut. Proses ini menururt Yean

(1995) sebagai upaya mengubah tingkah laku agar sesuai dengan lingkungannya

serta mengubah lingkungannya agar dapat berkorelasi dengan tingkah lakunya.

Perkembangan kemudian diikuti dengan pertumbuhan hunian berbentuk

kelompok di kawasan pesisir untuk menunjang aktivitas sosial, istirahat maupun

berlindung. Aktivitas tersebut menjadi warna kehidupan pesisir yang berlangsung

sejak dahulu. Hal ini dapat terlihat dari beberapa artefak hunian tua dan

peninggalan sejarah seperti souraja (rumah raja) serta makam Datok Karama

(ulama dari tanah Minang) penyebar agama islam di lembah Palu. Artefak

kawasan merupakan hasil ekspresi fisik dari kegiatan budaya bermukim di

kawasan pesisir yang telah mendiami kawasan dan menggunakan laut sebagai

penopang kehidupan.

1.1.2. Perkembangan kawasan tepian teluk sebagai beranda depan kota Seiring pertumbuhan dan perkembangan kota, kawasan teluk perlahan dituntut

mewadahi perkembangan ruang kawasan perkotaan. Melalui Rencana Tata

Ruang Wilayah (RTRW) kota Palu 2011/2030 nomor 6 tahun 2011 dengan

pendekatan konsep arsitektur souraja (rumah raja) kawasan pesisir pantai/teluk

ditetapkan sebagai beranda depan kota gandaria (teras/ruang depan).

Pengembangan kawasan tersebut ditegaskan dalam rencana pengembangan

kawasan budidaya poin (e), tentang kawasan pariwisata, lebih lanjut dijelaskan

pada pasal 49 mengenai kawasan pengembangan ruang wisata yaitu kawasan

pantai teluk Palu yang meliputi seluruh wilayah tepian pantai terdiri dari 15

wilayah kelurahan. Lima wilayah dalam kawasan pengembangan beranda depan

3

kota merupakan lokasi pelaksanaan penelitian meliputi wilayah kelurahan Silae,

Kelurahan Lere, Kelurahan Besusu dan Kelurahan Talise.

Kawasan tepian pada lima kelurahan dalam fokus amatan selain bersentuhan

langsung dengan kawasan teluk juga bersentuhan langsung dengan pusat kota.

Kondisi ini menyandera eksistensi ruang-ruang berbasis kelompok komunitas

lokal dengan berbagai keterbatasannya sehingga tidak memperlihatkan

perkembangan signifikan dan cenderung bertahan (Lang, 1997). Kondisi tersebut

lahir dari adanya hubungan simbolis yang dibentuk oleh masyarakat dengan ruang

secara kultural. Hubungan simbolis memberikan pengertian emosional kepada

suatu ruang yang menjadi basis seseorang atau kelompok dalam memahami

hubungannya dengan lingkungan (Law, 1992). Implementasi keterhubungan

dengan lingkungan kemudian menciptakan kelompok-kelompok aktivitas

kawasan tepian yang mempunyai keterhubungan langsung dengan wilayah teluk.

Pembangunan jaringan Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu (JLPTP) dilakukan

untuk menunjang aksesibilitas dan menciptakan koneksi kawasan tepian teluk.

Pembangunan JLPTP ini perlahan menimbulkan desakan terhadap eksistensi

kelompok aktivitas kawasan pesisir. Pengembangan jalan mendukung fungsi

aktivitas bangunan dan kegiatan-kegiatan yang mendukung ruang kawasan

(Shirvani, 1985). Perkembangan kawasan kemudian ditanggapi beragam oleh

berbagi pihak. Hal ini terlihat dari kedatangan masyarakat etnis Bugis, Jawa,

Gorontalo dan Menado yang memanfaatkan kawasan sebagai area kompetisi dan

asimilasi dengan masyarakat setempat. Percampuran tatanan kehidupan

masyarakat lokal dengan pendatang kemudian membentuk tatanan berkehidupan

heterogen berdasarkan pada kelompok aktivitas. Brower (1980) mendefinisikan

kondisi ini sebagai hubungan antara wilayah pribadi dan publik. Hubungan antar

wilayah pribadi dan publik dimediasi oleh jalan unit antara dunia ”privat”

keluarga dengan kehidupan komunitas yang lebih besar. Aktivitas di jalan sebagai

pusat sosial suatu kota tidak hanya dijadikan sebagai tempat masyarakat

berkumpul tetapi juga merupakan saluran pencapaian dan saluran sirkulasi

aktivitas.

4

Untuk menunjang pertumbuhan wisata kawasan, keberadaan JLPTP memiliki

dua peran penting dalam kegiatan pariwisata, yaitu: (a) sebagai alat tansportasi

dan komunikasi antara pengunjung atau wisatawan melalui atraksi rekreasi atau

fasilitas; dan (b) sebagai tempat bagi pengunjung atau wisatawan melihat

pemandangan selama perjalanan. Perkembangan kemudian diikuti berbagai

pelengkap untuk memenuhi kebutuhan berwisata seperti hotel, restoran, cafe dan

taman yang mengikuti jaringan JLPTP dan berorientasi pada teluk.

1.1.3. Kelompok aktivitas pengguna ruang kawasan tepian teluk Perkembangan kawasan tepian teluk seperti kawasan pesisir lainnya tidak

terlepas dari aktivitas kelompok nelayan yang mempunyai ketergantugan terhadap

tempat tinggalnya. Ketergantungan terhadap tempat tinggal didefinisikan sebagai

place dependence yaitu nilai suatu tempat untuk atribut yang terkait dengan

aktivitas didalamnya. Selain adanya ketergantungan terhadap tempat tinggal juga

terdapat identitas tempat (place identity) yaitu ikatan emosional terhadap tempat

sebagai wujud identitas diri (Law,1992). Demikian pula dengan aktivitas

kelompok petambak tambak garam yang mempunyai ketergantungan terhadap

ruang laut sebagai ruang penyedia elemen aktivitas utama dalam kesehariannya.

Penegasan keberadaan dalam ruang kawasan ditunjukkan dengan beberapa

elemen seperti bangunan seperti pasompoa (pondok nelayan) pada tepian teluk

dan bangunan sou ripogara (pondok patani tambak garam) di ladang tambak

petambak garam. Pasompoa (pondok nelayan) berfungsi sebagai penegasan

eksistensi kelompok nelayan sementara bangunan sou ripogara (pondok patani

tambak garam) di ladang petambak garam merupakan suatu proses desain

lingkungan guna memfasilitasi area beraktivitas atau biasa disebut unselfconcious

(Alexander, 2007).

Perkembangan kawasan teluk sebagai area depan kota semakin meningkat

diiringi dengan bertambahnya potensi daya tarik lingkungan teluk. Hal ini

menunjang pertumbuhan kelompok aktivitas wisata. Keberadaan kelompok

pelaku aktivitas wisata pada kawasan memberi dampak terhadap keragaman

aktivitas dalam memanfaatkan ruang. Berbagai aktivitas kelompok pengguna

5

ruang menjadikan kawasan sebagai area berinteraksi dan berekspresi guna

menegaskan keberadaannya. Representasi tersebut menurut Maslow (1968)

merupakan identifikasi dari keinginan manusia untuk pemenuhan fisiologis,

mendapatkan keamanan dan keselamatan, mendapatkan kelompok/keanggotaan,

mendapatkan penghargaan serta mendapatkan aktualisasi diri. Perjalanan

aktualisasi kelompok kemudian memunculkan bentuk kekerabatan dalam

kelompok maupun lintas kelompok. Blowers dalam Matthew Carmona dkk

(2003) membagi jenis bentuk kekerabatan suatu suatu kelompok masyarakat

menjadi lima jenis yaitu: (a) arbitrary neighbourhoods, (b) ecological and or

ethnological neighbourhoods, (c) homogenous neighbourhoods, (d) functional

neighbourhoods, dan (e) community neighbourhoods. Hubungan kekerabatan

antara kelompok aktivitas kemudian menjadi warna kehidupan ruang kawasan

teluk, baik yang terencana, tidak terencana, permanen, tidak permanen. Proses

tersebut sebagai aktualisasi diri dan kelompok dalam menyikapi pertumbuhan

ruang kawasan. Perkembangan ruang tidak lagi sekedar media personal tetapi

berkembang hingga mewadahi aktivitas berkelompok maupun antar kelompok

yang terkoneksi dengan lingkungannya.

Ruang aktivitas lokal yang semakin terdesak oleh perkembangan kawasan

teluk ternyata tidak menghilangkan ruang lokal. Proses seperti ini manusia

mempunyai kesempatan untuk memilih lingkungan yang sesuai dengan

kebutuhannya, pilihannya, gaya hidupnya dan image yang ada dalam citra dirinya.

Lebih lanjut, manusia juga akan mengekspresikan dirinya pada lingkungan

dimana dia bertempat tinggal yang diwujudkan dalam berbagai simbolisme sesuai

dengan budayanya (Rapoport, 1969). Gambaran keruangan kawasan teluk

memperlihatkan adanya tumpang tindih aktivitas pengguna ruang untuk aktivitas

kelompok. Kemampuan bertahanan sebuah kelompok aktivitas lokal tidak

terlepas dari beberapa faktor fisik rumah dan lingkungan, faktor sosial budaya,

faktor ekonomi, serta faktor psikologi (Holahan, 1982). Kompleksitas kehidupan

ruang kawasan memperlihatkan adanya proses konsolidasi dalam bentuk

perkuatan yang berorientasi pada pemanfaatan ruang teluk sebagai elemen utama

eksistensi kelompok aktivitas. Respon aktivitas berbasis lokalitas terhadap

6

perkembangan ruang aktivitas wisata (kekinian) menjadi keberagaman ruang.

Pemaknaan ruang sebagai satu kesatuan darat dan laut menjadi kekuatan sehingga

mampu menjembatani hubungan ruang secara internal dan berbaur secara

eksternal dengan ruang kawasan lainnya. Konsep serupa menurut Waani (2010)

mengungkap strategi masyarakat pasca reklamasi pantai berkaitan dengan usaha

menyesuaikan, mempertahankan, menandai dan melegimitasi ruang dalam konsep

basudara.

Berbasis fakta-fakta aktivitas pengguna ruang di kawasan, maka diperlukan

penelusuran mendalam untuk mengungkap pemaknaan ruang hingga membentuk

perkuatan ruang secara internal maupun eksternal. Keberadaan ruang-ruang

aktivitas kelompok dalam satu kawasan hingga terjalinnya hubungan, merupakan

bagian proses terbangunnya perkuatan ruang yang akan diungkap. Studi

mendalam dalam penelitian diharap dapat memperkaya teori ruang berbasis

kawasan, khususnya yang berhubungan dengan kelompok aktivitas di kawasan

teluk (pesisir), akan dikaji secara menyeluruh guna menemukan formula konsep-

konsep keruangan secara internal maupun eksternal. Proses sinergitas,

keterhubungan dan perkuatan nantinya diharap dapat menunjang karakteristik

bentuk ruang kawasan teluk dengan tidak mengurangi nilai dan fungsi kawasan.

1.2. Rumusan Permasalahan

Isu-isu terkait dengan proses konsolidasi ruang di teluk Palu, mengisyaratkan

adanya hubungan sejarah dengan pemanfaatan ruang aktivitas hingga mencapai

pesisir teluk. Kelompok aktivitas pengguna ruang tersebut berbasis pada budaya

lokal dan menguasai hampir seluruh wilayah pesisir. Namun pasca kawasan

pesisir diarahkan menjadi beranda depan kota, timbul desakan pada aktivitas

pengguna ruang pesisir. Perkembangan infrastruktur talud, Jalan Lingkar Pantai

Teluk Palu (JLPTP) serta jembatan untuk mengakomodasi kepentingan ruang-

ruang kekinian khususnya berwisata, perlahan memberi desakan terhadap ruang

berbasis lokalitas. Desakan terhadap aktivitas lokal akibat perkembangan

aktivitas, fasilitas melalui dukungan finansial memberi dinamika perkembangan

ruang aktivitas berwisata ditengah kelompok ruang lokal. Proses perkembangan

7

aktivitas wisata kemudian dilegitimasi melalui kebijakan pengembangan kawasan

dan cenderung melupakan eksistensi ruang untuk mengakomodasi aktivitas lokal.

Permasalahan-permasalahan keruangan yang muncul dari ranahh empiris

kawasan teluk Palu adalah perkembangan ruang kawasan menimbulkan desakan

terhadap aktivitas meruang berbasis lokal dengan adanya perkembangan ruang

aktivitas wisata. Proses kemudian berkembang menguasai tepian sebagai media

aktivitas, pengembangan infrastruktur untuk menunjang fasilitas dan aktivitas

wisata. Keterikatan ruang berbasis lokal dilingkungan wilayah pesisir, umumnya

tidak terakomodasi dalam konsep pengembangan beranda depan kota. Keberadaan

mereka perlahan terdampak perkembangan lingkungan walaupun dalam ranah

empiris terlihat masih dapat bertahan.

Keterikatan aktivitas dengan lingkungan, hubungan sinergitas antar ruang,

desakan sebaran, perlakuan dan keberpihakan merupakan gambaran permasalahn

ruang kawasan. Proses tersebut secara individu/kelompok berkembang seiring

desakan aktivitas wisata terhadap aktivitas berbasis lokal dalam pemanfaatan

ruang darat dan laut untuk aktivitas. Kehadiran pelaku wisata dikawasan

kemudian menimbulkan perubahan fungsi-fungsi ruang kawasan teluk guna

menunjang ekspresi, berhuni, berwisata, pandangang serta relaksasi dalam ruang.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Sebagai fokus pembahasan penelitian dikembangkan pertanyaan berdasar pada

kompleksitas permasalahan keruangan dari ranah empiris. Pertanyaan penelitian

disusun guna menjawab permasalahan keruangan kawasan teluk Palu, antara lain:

1. Bagaimana proses konsolidasi ruang nelayan dan petambak garam terhadap

perkembangan ruang di kawasan teluk Palu?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi konsolidasi ruang di kawasan

teluk Palu?

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menemukan dan merumuskan teori yang menjelaskan

konsolidasi ruang dari ranah empiris keruangan teluk, melalui penguatan dan

8

jalinan antara ruang dikawasan yang berorientasi pada teluk sebagai ruang inti,

melalui:

1. Deskripsi proses terjadinya konsolidasi ruang nelayan dan petambak garam

terhadap perkembangan ruang aktivitas dikawasan teluk; dan

2. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya konsolidasi

ruang di kawasan teluk berdasar pada aktivitas kelompok pengguna ruang

kawasan.

1.5. Manfaat Penelitian

Kontribusi yang diharapkan dari penyelesaian penelitian konsolidasi ruang di

kawasan teluk Palu meliputi dua yaitu:

1. Secara teoritis, temuan hasil pengetahuan yang berbasis pada lokalitas nelayan

dan petambak garam. Teori yang diperoleh diharapkan dapat memberi

sumbangan pada ilmu pengetahuan arsitektur kawasan, khususnya yang

berhubungan dengan konsolidasi ruang dan antar ruang kawasan daerah tepian

melalui pengungkapan kekuatan lokal.

2. Secara praktis, teori konsolidasi ruang nantinya bermanfaat untuk

mengadvokasi kawasan-kawasan berbasis kelompok aktivitas kawasan tepian.

Kawasan yang dimaksud adalah kawasan dengan multi aktivitas guna menata

atau menyusun konsep, kebijakan, dan pengembangan kawasan berdasarkan

pada lokalitas.

1.6.Keaslian Penelitian

1.6.1. Lokus dan fokus penelitian Keaslian penelitian ini terletak pada lokus dan fokus penelitian di kawasan

beranda depan kota Palu yang bersentuhan langsung dengan wilayah teluk. Secara

keruangan kawasan teluk mempunyai klaster-klaster ruang unik yaitu perwujudan

ruang-ruang berbasis kelompok aktivitas untuk menunjang dan mewadahi

aktivitas kelompok. Berdasarkan RTRW kota Palu, kawasan diperuntukkan

sebagai beranda depan kota dan pengembangan wisata air meliputi wilayah

kelurahan silae pada sisi Utara, kelurahan Lere sisi Utara, kelurahan Besusu Barat,

kelurahan Talise bagian Barat dan Utara. Lokus penelitian merupakan kawasan

9

kota pada area tepian teluk yang dilalui oleh Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu

(JLPTP) dalam wilayah kecamatan Palu Barat dan Palu Timur.

Pelaksanaan penelitian difokuskan pada fenomena-fenomena keruangan yang

berhubungan dengan proses konsolidasi dalam pemanfaatan ruang kawasan oleh

kelompok aktivitas. Pendekatan penelusuran menggunakan aktivitas kelompok

sebagai objek utama untuk melihat sebaran pemanfaatan ruang, penggunaan

elemen serta pembentukan ruang. Proses aktivitas perilaku kelompok menjadi

sumber utama pengumpulan informasi pemanfaatan ruang kawasan. Rekam jejak

aktivitas serta faktor pendukungnya digunakan untuk mengungkap ataupun

membuat telaah mengenai proses terbentuknya konsolidasi ruang dan antar ruang.

Langkah selanjutnya dengan menelusuri proses konsolidasi ruang dan antar ruang

dalam mewadahi aktivitas kelompok serta pengaruh yang ditimbulkan.

Identifikasi perubahan-perubahan teritorial akibat aktivitas kelompok dilakukan

untuk mengetahui kemungkinan peran serta kelembagaan masyarakat atau

kelompok dalam ruang tepian teluk.

Kelompok kasus dalam penelitian tersebar menyeluruh dalam kawasan tepian

melalui periode, yaitu: 1) sebelum adanya pengembangan (periode awal), 2)

setelah pembangunan talud (periode pasca talud) dan 3) setelah pembangunan

JLPTP (periode pasca JLPTP). Kasus penelitian tersebar pada lokus sehingga

dapat disimpulkan bila penelitian ini berbasis pada disiplin ilmu arsitektur dalam

lingkup kawasan. Untuk memudahkan eksplorasi kasus maka dilakukan

segmentasi kasus penelitian berdasarkan keunikan masing-masing walaupun

dalam bahasan tetap diperlakukan satu kawasan yang holistik. Penggunaan

segmentasi kasus penggunaan ruang oleh kelompok diharap dapat

menggambarkan dan merepresentasikan kekhasan masing-masing. Untuk

selanjutnya dilakukan penentuan metoda analisis guna pencapaian tujuan

penelitian, sementara permasalahan serta proses yang dapat mempengaruhi hasil

penelitian akan menjadi bahan pertimbangan dalam proses analisis. Tahapan

proses analisis nantinya akan disesuaikan dengan maksud dan tujuan dalam

penelitian yaitu untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang konsolidasi ruang

dan faktor yang mempengaruhinya.

10

1.6.2. Penelitian pada lokus kawasan Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada lokasi

menunjukkan daya tarik kawasan untuk dieksplorasi. Perkembangan kawasan

dengan berbagai fenomena, seakan menjadi laboratorium hidup bagi peneliti dari

berbagai disiplin ilmu. Berdasar kondisi tersebut, maka peneliti perlu

mengumpulkan beberapa hasil penelitian atau bahkan yang belum sempat

dipublikasikan untuk menunjukkan posisi penelitian terhadap peneltian

sebelumnya. Untuk membatasi pengumpulan hasil penelitian, maka ditekankan

pada penelitian-penelitian yang berhubungan langsung bidang ilmu arsitektur

khususnya arsitektur ruang kawasan. Posisi penelitian terhadap penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya pada lokus yang sama ditujukkan pada Tabel 1.1,

bertujuan untuk mengungkap atau mengecek keaslian penelitian terhadap

penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya.

Tabel 1.1 Posisi dan keaslian penelitian yang pernah dilakukan di kawasan teluk Palu sepanjang JLPTP

No(1)

Tahun dan Peneliti (2)

Fokus dan Hasil Penelitian (3)

1 2003, Muhammad Bakri

Penataan PKL di kawasan Taman Ria Palu Arahan rancangan PKL di kawasan Taman Ria.

2 2005, Andi Makkasau

Pengelolaan Pembangunan Prasarana Petambak Garam dikelurahan Talise kecamatan Palu Timur Kota Palu Pengelolaan harus berdasarkan karakteristik sosial, tingkat kebutuhan prasarana, pemenuhan kebutuhan perumahan, pelibatan kelembagaan yang mengelolah langsung prasarana lingkungan, pembangunan, kelengkapan lingkungan oleh pemerintah.

3 2005, Nurhidayat

Studi Perencanaan Pemanfaatan Lahan Kawasan Pesisir Teluk Palu Penelitian menunjukkan perioritas pengembangan yang pertama adalah pariwisata, kemudian industri, konservasi, pelabuhan, permukiman dan terakhir adalah pertambakan.

4 2005, Syarifuddin

Kualitas Penduduk di Pesisir Teluk Palu Menyimpulkan bahwa pesisir Teluk Palu didominasi hunian nelayan, kesadaran tentang kesehatan hunian umumnya memadai dan umumnya kualitas hunian 23,5>54,5 agak jelek dan sangat baik.

11

No(1)

Tahun dan Peneliti (2)

Fokus dan Hasil Penelitian (3)

5 2006, Iwan Setiawan

Perubahan Penggunaan Lahan dan Lingkungan Sepanjang Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu (JLPTP) Analisis ditekankan pada perubahan fungsi lahan pasca pembangunan jalan lingkar dalam ruas Silae, Lere, Besusu Barat, Talise dan Tondo.

6 2006, Muhammad Bakri

Pola Pemanfaatan Ruang PKL di Kawasan Taman Ria Perlunya kesesuaian pengembangan kawasan teluk dengan kesesuaian lahan sektor dominan dan pergerakan pemanfaatan ruang untuk aktivitas PKL Taman Ria

7 2006, Amar

Studi Pengembangan Kawasan Talise Koridor Jalan Yos Sudarso Kawasan menjadi titik pusat (gerbang), kawasan mengandalkan sektor wisata, pergeseran pemanfaatan lahan, arahan perencanaan kawasan dan antisipasi pergeseran lahan tambak.

8 2009, Hasanuddin Azikin dan Trianty Anasiru

Konsep Pengamanan Pantai Talise Kota Palu Propinsi Sulawesi Tengah Menghasilkan konsep penanggulangan efektif mengatasi permasalahan khususnya pantai Talise sehingga kealamiahan pantai dapat terjaga.

9 2014, Muhammad Bakri

Konsolidasi Ruang di Kawasan Teluk Palu Penelitian mengenai konsep konsolidasi ruang teluk.

Sumber : Diolah dari beberapa sumber, 2014

Penelitian sebelumnya terbagi dalam dua kelompok utama yaitu riset edukatif

dan riset pengembangan ilmu pengetahuan. Riset edukatif umumnya

dikembangkan oleh para peneliti berlatar belakang dari perguruan tinggi.

Sementara riset pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan perseorangan atau

kelompok-kelompok ahli yang konsen pada permasalahan kawasan. Keseluruhan

riset yang terangkum mengungkap berbagai permasalahan maupun teknik serta

solusi penyelesaian permasalahan. Secara keseluruhan hasil temuan penelitian

sangat bervariasi, mulai dari konsep penyelesaian secara parsial, fokus

penyelesaian masalah dengan pembuatan arahan pengembangan kawasan, upaya

kritik terhadap kebijakan serta pemberdayaan terhadap keikutsertaan masyarakat

dalam pembangunan kawasan.

12

Kelompok studi sebelumnya bermuara pada pengungkapan permasalahan

berbeda kemudian pendekatan metode analisis yang disesuaikan kebutuhan riset

hingga kemudian menghasilkan variasi temuan. Penekanan studi kelompok

edukasi cenderung bersifat mikro melalui usaha menemukan penyelesaian

permasalahan terhadap konteks yang menjadi fokus amatan. Sementara kelompok

peneliti menekankan pada lingkup messo hingga makro sebagai proses

menghasilkan kebijakan mengenai pengembangan kawasan. Temuan umumnya

bersifat kritis terhadap kebijakan misalnya telaah perubahan fungsi lahan,

penyediaan prasarana kawasan dan pemeliharaan/pengelolaan lingkungan lihat

Tabel 1.1. Penelitian sebelumnya yang mengambil lokus sama dilakukan oleh

Syarifuddin (2005) menyoroti kualitas penduduk dengan hasil mengarah pada

simpulan mengenai hunian dan Iwan Setiawan (2006) melihat perubahan fungsi

lahan pasca pembangunan JLPTP secra makro. Keseluruhan fokus penelitian

tidak menyentuh pada isu-isu terkait ruang terutama konsolidasi ruang sehingga

dapat memperlihatkan keaslian dalam usulan penelitian.

1.6.3. Penelitian dan teori terkait konsolidasi ruang kawasan Perkembangan pemanfaatan ruang oleh kelompok aktivitas dalam ruang

kawasan, mendorong lahirnya macam bentuk dan budaya pemanfaatan ruang.

Permanfaatan ruang tidak lagi terbatas pada fungsi individu atau kelompok,

namun beberapa diantaranya menampung/mewadahi berbagai macam kebutuhan

aktivitas. Untuk pelaksanaan aktivitas dilakukan berdasar solusi waktu sebagai

jawaban ketidak sanggupan kawasan memberi alternatif ruang. Proses

pemanfaatan ruang tersebut sering dikaitkan dengan adanya ketergantungan

aktivitas ruang dengan lingkungan, budaya, ekonomi. Keterkaitan berhubungan

dengan kelangsungan hidup individu dan kelompok dari hasil melaut, berdagang,

maupun bertani. Pemanfaatan ruang kemudian membentuk jalinan perkuatan

fungsi-fungsi aktivitas melalui restrukturisasi ruang yaitu perkuatan ruang hingga

menjelma sebagai kekuatan eksistensi terhadap lingkungan serta sumber

penghidupan yang membentuk keterhubungan dalam bentuk konsolidasi.

13

Konsolidasi ruang menjelaskan jalinan dan perkuatan ruang dari adanya

hubungan persamaan kebutuhan dalam tata kelola ruang kawasan. Tinjauan utama

konsolidasi ruang menekankan pada perilaku pengguna ruang yang berhubungan

dengan aspek lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Aktor proses konsolidasi

ruang adalah kelompok aktivitas pengguna ruang dengan berbagai atribut

penunjangnya, melalui jalinan perkuatan melibatkan pengguna, ruang, lingkungan

dan elemen-elemen pembentuk serta atribut pelengkap lainnya.

Konsep konsolidasi sebagai suatu proses, menekankan pada penguatan atau

proses saling menguatkan ataupun penguatan terhadap sesuatu yang telah melekat.

Konsep konsolidasi memberikan gambaran adanya suatu sistim keterjalinan yang

didesain oleh beberapa kelompok guna mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Konsolidasi juga dapat diartikan sebagai serikat aliansi, merger, federasi (melihat

penggabungan). Berikut uraian tentang konsolidasi dan terapannya dari berbagai

latar ilmu antara lain: (a) konsolidasi dalam bisnis yang merupakan kombinasi

dari dua atau lebih perusahaan menjadi perusahaan yang sama sekali baru, (b)

konsolidasi bidang medis menekankan pada proses menjadi massa perusahaan

yang solid, (c) konsolidasi bidang hukum diartikan fokus pada tindakan

menggabungkan dua hal atau lebih menjadi satu, (d) konsolidasi bidang hukum

perusahaan merupakan penyatuan dua atau lebih perusahaan menjadi perusahaan

baru bersama dengan pembubaran perusahaan asli serta, (e) konsolidasi prosedur

sipil yaitu pengadilan memerintahkan kombinasi dari dua atau lebih aktivitas yang

melibatkan pihak yang sama atau masalah. Mengutip dari The American Heritage

Dictionary of Business Terms (2010), Webster's New World College Dictionary

(2010), The American Heritage Medical Dictionary (2010), Webster's New World

Law Dictionary (2010) dan Scott (2010).

Lebih lanjut dalam bidang tata ruang konsep konsolidasi menggunakan

pendekatan konsolidasi lahan sebagai upaya penataan kembali penguasaan,

pengadaan, kepemilikan lahan oleh masyarakat. Kepemilikan lahan melalui usaha

bersama untuk membangun lingkungan yang siap bangun dan menyiapkan

kapling tanah matang sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku. Penekanan

metode ini diletakkan pada pentingnya pelibatan semua pemangku kepentingan

14

dalam mewujudkan tataan ruang. Gambaran tersebut mengidikasikan adanya

sifat-sifat konsolidasi seperti keterpaduan, keserasian, keselarasan dan

keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan

keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan, perlindungan kepentingn umum,

kepastian hukum keadilan serta akuntabilitas.

Pendekatan konsolidasi yang lain dengan melihat daerah berpenghasilan

rendah dapat meningkatkan kualitas secara bertahap. Konsolidasi disini lebih

menekankan pada kemampuan suatu kawasan bertahan dan meningkatkan kualitas

layanan terkait dengan tata ruang sebab dalam hubungan faktor spasial, ukuran

penyelesaian menyediakan beberapa kesempatan konsolidasi misalnya

keuntungan lebih mudah karena pengakuan hukum masyarakat. Dalam kasus

ruang kota konsolidasi pernah dilakukan dengan pendekatan referendum guna

memilih sebuah pemerintahan terpusat sebagai cara untuk memotong duplikasi,

meningkatkan efisiensi dan mengembalikan pemerintah bergabung untuk

menciptakan layanan dan memberikan akses politik bagi minoritas (kesetaraan).

mengutip Pacione (1996) Potter & Lloyds-Evans (1998) dalam Mukhija (2001);

UNCHS (2003).

Konsolidasi kasus lahan/reblocking di dalam permukiman kumuh lebih

menekankan pada jaminan kepemilikan tanah dengan teknis konsolidasi lahan

dimana seluruhnya diratakan dan membangun dari awal. Pada skala konsolidasi

lahan lebih besar melibatkan permukiman sekitar konsolidasi lahan dengan

menggabungkan beberapa permukiman dan membangun permukiman kembali

dalam sebuah proyek bersama, mengutip UNESCAP dan UN-HABITAT (2008).

Pada kasus lain, konsolidasi tanah digambarkan sebagai suatu kebijakan

sehubungan dengan penyesuaian hak tanah dan kegunaannya. Sasaran yang

dituju yaitu mencapai suatu penggunaan tanah secara optimal melalui peningkatan

efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah. Konsolidasi tanah merupakan

bentuk penatagunaan tanah yang tidak dapat terlepas dari kaidah-kaidah penataan

ruang, mengutip Djakapermana (2001).

Konsolidasi dalam ruang terbuka menekankan pada ukurannya, bagaimana

orang menggunakannya, fungsi yang ditujukan, lokasinya serta faktor pembentuk

15

lainnya guna mengungkap tentang berbagai cara untuk mengklasifikasikan ruang

terbuka perkotaan dan greenspace.

Perspektif berbeda yang membuat kota Hangzhou terpuji dari perspektif

konsolidasi perkotaan melalui program penghijauan perkotaan yang dilakukan

sehingga memperkuat ruang hijau di kawasan padat perkotaan sehingga memberi

ketenangan dari kebisingan kota. Bentuk konsolidasi perkotaan lainnya melalui

pendekatan transit mengungkap pendorong utama kepuasan warga dengan

pembangunan lingkungan adalah kualitas akses menuju taman dan ruang terbuka

(Bernick,1997).

Pendekatan konsolidasi dalam perkotaan diperkenalkan juga melelui teori

urban solid yang digunakan dalam perancangan urban desain yaitu figure-ground,

linkage dan place. Konsep pengkondisian Stimulus Respon (SR) merupakan salah

satu proses yang dapat digunakan memahami konsep konsolidasi dengan

membahas lingkungan binaan dengan empat pendekatan yaitu kebebasan,

pendekatan possibilistic, pendekatan propabolistic, dan pendekatan deterministic,

(Trancik,1986; Lang, 1977).

Teori-teori konsolidasi sebelumnya masih menerjemahkan bahwa konsep

konsolidasi itu merupakan kombinasi, penggabungan, perkuatan, penyatuan,

peleburan dan kombinasi. Teori konsolidasi lainnya membahas tentang lahan

yang harus memenuhi unsur-unsur keterpaduan yang berakhir pada kepastian

hukum mengenai kepemilikan. Sementara dalam kasus ruang kota konsolidasi

berupa kebijakan penggabungan layanan untuk memenuhi kesetaraan,

pengembangan ruang terbuka hijau sebagai akses dan pengikat kota serta

konsolidasi yang dianalogikan sebagai padat (solid). Gap Teoritik Konsolidasi

Ruang di kawasan teluk ditunjukkan pada Gambar 1.1.

16

Gambar 1.1 Skema Gap Teoritik Konsolidasi Ruang Dikawasan Teluk Sumber: Analisis 2013

1.6.4. Lingkup penelitian Lingkup penelitian ini berkaitan dengan proses konsolidasi ruang dan antar

ruang di kawasan teluk Palu. Penelitian ini dilakukan dengan orientasi pada

disiplin ilmu arsitektur kawasan. Peneliti berusaha mengemukakan proses

konsolidasi serta faktor-faktor yang berpengaruh terjadinya konsolidasi.

Penelitian menekankan pada proses jalinan atau penguatan dalam keterikatan

konsolidasi ruang dengan tetap melihat fenomena dan permasalahan keruangan

dalam objek amatan. Hal ini dilakukan guna merekam proses konsolidasi dari

ranah empiris kekinian yang cenderung dipengaruhi oleh aspek perilaku, fisik dan

lingkungan dalam pemanfaatan ruang untuk aktivitas dikawasan.

Pelaksanaan penelitian menggunakan disiplin ilmu arsitektur dan kawasan

berbagai pendekatan disiplin ilmu lain seperti lingkungan dan sosiologi juga

dimanfaatkan. Pendekatan berbagai ilmu diharap dapat memperkaya kedalaman

analisis dan menunjang dalam menemukan teori terkait dengan proses konsolidasi

keruangan. Konsolidasi ruang yang dimaksud berhubungan dengan lokalitas

nelayan dan petambak garam akibat adanya desakan perkembangan ruang

kawasan sebagai area depan kota dan aktivitas wisata sehingga mampu menjawab

pertanyaan-pertanyaan penelitian.

Lingkup lokasi penelitian meliputi beberapa kasus di wilayah teluk Palu dan

terintegrasi langsung dengan JLPTP di pesisir pantai. Sebaran kasus meliputi

sebagian wilayah kawasan kelurahan Silae sebelah Utara tepatnya di RT 03, RW

01 akan mengungkap pengaruh keruangan nelayan terhadap keberadaan fasilitas

Teori ruang kawasan terkait ruang!konsolidasi masih bersifat kebijakan,!Fisik lahan, alih fungsi,penggabungan!Wilayah dan faktor berpengaruh!

Pergerakan eksistensi kelompok!pengguna/pemanfaatan ruang!

berdasar faktor pengaruh hingga!membentuk proses restrukturisasi!

ruang!

Ujung keilmuan “Konsolidasi ruang di kawasan teluk Palu” belum berdasar pada konsolidasi sebagai suatu proses restrukturisasi eksistensi pemanfaatan ruang untuk kelompok aktivitas. Proses

tersebut berdasar pada faktor pengaruh yang didukung oleh prinsip-prinsip kelompok pemanfaatan ruang !

17

wisata restoran dan perhotelan. Kasus berikutnya berada di kelurahan Lere

tepatnya di RT 01, RW 01 akan mengungkap konsolidasi keruangan nelayan.

Kasus kelurahan Besusu Barat melihat proses sebaran keruang oleh nelayan

hingga pemanfaatan ruang sebagai taman. Sementara kasus di kelurahan Talise

RT 01, RW 02 akan mengungkap percampuran aktivitas nelayan dengan macam

aktivitas penunjang kawasan dan kasus RT 06, RW 07 akan mengungkap

keruangan petambak garam dan hubunganya dengan ruang laut serta aktivitas

ruang yang bersentuhan langsung.