04. bab ii belum fix.docx
DESCRIPTION
04. BAB II belum fix.docxTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Tekanan Darah
2.1.1.1 Pengertian Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri.
Tekanan ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti curah jantung,
volume, laju, dan kekentalan (viskositas). Tekanan puncak terjadi saat ventrikel
berkontraksi dan disebut tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan
terendah yang terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya
digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik, dengan
nilai dewasa normalnya berkisar dari 100/60 sampai 140/90. Rata-rata tekanan
darah normal biasanya 120/80 (Muttaqim. A, 2009).
Tekanan darah hampir selalu dinyatakan dalam satuan millimeter air raksa
(mmHg) karena manometer air raksa telah dipakai sejak lama sebagai rujukan
buku untuk pengukuran tekanan darah. Sebenarnya, tekanan darah merupakan
daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas pembuluh. Bila
seseorang menyatakan bahwa tekanan dalam pembuluh adalah 50 mmHg, hal itu
berarti bahwa daya yang dihasilkan cukup untuk mendorong kolom air raksa yang
melawan gravitasi sampai setinggi 50 mm. bila tekanan adalah 100 mmHg kolom
air raksa akan didorong 100 mm.
Tekanan darah sendiri merupakan tekanan pada pembuluh arteri darah
ketika darah dipompa oleh jantung keseluruh anggota tubuh manusia. Terdapat
7
8
dua tekanan darah yaitu, sistole (tekanan atas), normalnya 120 mmHg dan diastole
(tekanan bawah) normalnya 80 mmHg (wikipedia.com).
2.1.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah
Tekanan darah tidak konstan namun dipengaruhi oleh banyak faktor secara
kontinu sepanjang hari. Tidak ada pengukuran tekanan darah yang adekuat
menunjukkan tekanan darah klien. Meskipun saat dalam kondisi yang paling baik,
tekanan darah berubah dari satu denyut jantung ke denyut lainnya (Perry and
Potter, 2005).
Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah menurut Perry and Potter
(2005) adalah:
1. Usia
Terdapat kesepakatan dari para peneliti bahwa prevalansi hipertensi akan
meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan karena pada usia
tua diperlukan keadaan darah yang meningkat untuk memompakan sejumlah
darah ke otak dan alat vital lainnya. Pada usia tua pembuluh darah sudah
mulai melemah dan dinding pembuluh darah sudah menebal (Kiangdo, 1977
dalam Adiwibowo, T. 2009). Menurut Gray (2002) dalam Adiwibowo, T.
(2009) baik pria maupun wanita 50% mereka yang berusia di atas 60 tahun
akan menderita hipertensi sistolik terisolasi (TD sistolik 160 mmHg dan
diastolik 90 mmHg). Disamping itu semakin bertambah usia maka keadaan
sistem kardiovaskuler semakin berkurang seperti ditandai dengan terjadinya
arteriosklerosis yang dapat meningkatkan tekanan darah.
9
2. Stres
Ansietas, takut, dan stress emosional akan merangsang saraf simpatik, yang
meningkatkan frekuensi darah, curah jantung, dan tahanan perifer. Efek
stimulasi simpatik meningkatkan tekanan darah.
3. Ras
Frekuensi hipertensi pada orang Afrika Amerika lebih tinggi dibanding pada
orang Eropa Amerika. Kematian yang dihubungkan dengan hipertensi juga
lebih banyak pada orang Afrika Amerika. Kecenderungan populasi ini
terhadap hipertensi diyakini berhubungan dengan genetik dan lingkungan.
4. Medikasi
Banyak medikal yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan
dengan tekanan darah. Salah satu golongan medikasi yang dapat
mempengaruhi tekanan darah adalah analgesik narkotik, yaitu dapat
menurunkan tekanan darah.
5. Variasi Diurnal
Tingkat tekanan darah berubah-ubah sepanjang hari. Tekanan darah biasanya
rendah pada pagi-pagi sekali, secara berangsur-angsur naik pagi menjelang
siang dan sore, dan mencapai puncaknya pada senja atau malam. Tidak ada
orang yang pola dan derajat variasinya sama.
6. Jenis kelamin
Secara klinis tidak ada perbedaan yang signifikan dari tekanan darah pada
laki-laki atau perempuan. Setelah pubertas, pria cenderung memiliki bacaan
tekanan darah yang lebih tinggi. Setelah menopause, wanita cenderung
memiliki tekanan darah yang lebih tinggi daripada pria pada usia tersebut.
10
2.1.1.3 Teknik pengukuran tekanan darah
Tehnik pengukuran tensi darah menurut (Muttaqim. A, 2009) sebagai
berikut:
1. Cara Palpitasi (hanya untuk mengukur tekanan sistolik)
a. Manset spigmomanometer yang digunakan harus sesuai dengan usia
(manset anak-anak lebih kecil dibandingkan manset dewasa)
b. Kenakan manset pada lengan lalu pompa dengan udara secara perlahan
sampai denyut nadi di pergelangan tangan tidak teraba lagi. Kemudian
tekanan didalam manset diturunkan dengan membuka lubang pemompa
secara perlahan.
c. Amati tekanan pada spigmomanometer
d. Saat denyut nadi teraba kembali, baca tekanan pada skala
spigmomanometer, tekanan ini adalah tekanan sistolik.
2. Cara Auskultasi (untuk mengukur tekanan sistolik dan diastolik)
a. Manset spigmomanometer diikatkan pada lengan atas, stetoskop di
tempatkan pada arteri brakialis pada permukaan ventral siku agak bawah
manset spigmomanometer.
b. Sambil mendengarkan denyut nadi, tekanan dalam spigmomanometer di
naikan dengan memompa udara kedalam manset sampai nadi tidak
terdengar lagi, kemudian tekanan didalam sepigmomanometer diturunkan
secara perlahan.
c. Pada saat denyut nadi mulai terdengar kembali, baca tekanan yang
tercantum pada skala spigmomanometer, tekanan ini adalah tekanan
sistolik.
11
d. Suara denyutan nadi selanjutnya menjadi agak keras dan tetap terdengar
sekeras itu sampai suatu saat denyutannya melemah atau menghilang
sama sekali. Pada saat denyutan yang keras itu berubah menjadi lemah,
baca lagi pada skala spigmomanometer, tekanan itu adalah tekanan
diastolik.
2.1.1.4 Regulasi Tekanan Darah
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi tekanan darah adalah curah
jantung, tekanan pembuluh darah perifer, dan volume atau aliran darah. Kontrol
terhadap tekanan darah bergantung pada sensor-sensor yang secara terus menerus
mengukur tekanan darah dan mengirim informasinya ke otak. Otak
mengintegrasikan semua informasi yang masuk dan berspon dengan mengirim
rangsangan eferen ke jantung dan sistem pembuluh melalui saraf-saraf otonom.
Berbagai hormon dan mediator kimiawi lokal berperan dalam mengontrol tekanan
darah (Mutaqim. A, 2009).
2.1.2 Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)
2.1.2.1 Definisi
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg.
Pada populasi lansia hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg
dan tekanan diastolik 90 mmHg. Hipertensi sering menyebabkan perubahan pada
pembuluh darah yang dapat mengakibatkan semakin tingginya tekanan darah.
Pengobatan awal pada hipertensi sangat penting karena dapat mencegah
timbulnya komplikasi pada beberapa organ tubuh seperti jantung, ginjal, dan otak.
12
Penyelidikan epidemologis membuktikan bahwa tingginya tekanan darah
berhubungan erat dengan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler
(Mutaqim. A, 2009).
Hipertensi lanjut usia dibedakan menjadi dua hipertensi dengan
peningkatan sistolik dan diastolik dijumpai pada usia pertengahan hipertensi
sistolik pada usia diatas 65 tahun. Tekanan diastolik meningkat usia sebelum 60
tahun dan menurun sesudah usia 60 tahun tekanan sistolik meningkat dengan
bertambahnya usia (Temu Ilmiah Geriatri. 2008 dalam Winarsih. Y, 2012)
Hipertensi menjadi masalah pada usia lanjut karena sering ditemukan menjadi
faktor utama payah jantung dan penyakit koroner. Lebih dari separuh kematian
diatas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan serebrovaskuler.
Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas:
1. Hipertensi pada tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan
atau tekanan sistolik sama atau lebih 90 mmHg.
2. Hipertensi sistolik terisolasi tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg
dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg
Sekitar 20% populasi dewasa mengalami hipertensi, lebih dari 90% diantara
mereka menderita hipertensi esesnsial, primer, dimana tidak dapat ditentukan
penyebab medisnya. Sisanya mengalami kenaikan tekanan darah dengan
penyebab tertentu (hipertensi sekunder) seperti penyempitan arteri renalis atau
penyakit parenkin ginjal, berbagai obat, disfungsi organ, tumor, dan kehamilan
(Smeltzer & Bare, 2002).
13
2.1.2.2 Klasifikasi Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi)
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat digolongkan menjadi 2 yaitu:
1. Hipertensi esensial
Tekanan darah tinggi esensial adalah tekanan darah tinggi yang tidak jelas
atau belum diketahui pasti penyebabnya. Dikaitkan dengan kombinasi faktor
gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan, genetik,
berat badan lahir rendah (Santoso. D, 2010).
2. Hipertensi skunder
Hipertensi skunder adalah tekanan darah tinggi yang penyebabnya jelas di
ketahui yang disebabkan karena gangguan pembuluh darah atau organ tubuh
tertentu, seperti ginjal, kelenjar adrenal, dan aorta. Penyebab hipertensi
sekunder sekitar 5% – 10% berasal dari penyakit ginjal, dan sekitar 1% – 2%
karena kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB)
(Santoso. D, 2010).
Tabel 2.1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan kelompok umur menurut
(Tambayong. J, 2000)
Kelompok Usia Normal (mmHg) Hipertensi (mmHg)
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
-
7-11 Tahun
12-17 Tahun
20-45 Tahun
45-65 Tahun
>65 Tahun
80/40
100/60
115/70
120-125/75-80
135-140/86
150/85
90/60
120/80
130/80
135/90
140-160/90-95
160/90
Klasifikasi tekanan darah menurut WHO (1999) dapat dilihat pada tabel 2.1.
14
Tabel 2.2, Klasifikasi tekanan darah menurut WHO tahun 1999
Kategori Sistolik
(mmHg)
Diastolik
(mmHg)
Tekanan darah optimal
Tekanan darah normal
Tekanan darah normal tinggi
Hipertensi ringan
Hipertensi sedang
Hipertensi berat
< 120
120-129
130-139
140-159
160-179
>180
< 80
80-84
85-89
90-99
100-109
>110
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7 (2003) dapat dilihat pada tabel 2.2
Klasifikasi Sistolik
(mmHg)
Diastolik
(mmHg)
Normal
Prehipertensi
Hipertensi Stage I
Hipertensi Stage II
<120
120-139
140-150
>150
<80
80-89
90-99
>100
Tabel 2.3, Klasifikasi Tekanan Darah (JNC 7, 2003)
2.1.2.3 Etiologi
Sekitar 90% hipertensi dengan penyebab yang belum di ketahui di sebut
dengan hipertensi primer atau esensial, sedangkan 7% disebabkan oleh kelainan
ginjal atau hipertensi renalis dan 3% disebabkan oleh kelainan hormonal atau
hipertensi hormonal (Muttaqin. A, 2009).
Asupan natrium↑Asupan kalium↑
Factor genetik Stress psikologis, pengaturan abnormal terhadap nerepineprin, hipersensitivitas
Aktifitas jantung ↑
Hipertrofi otot vaskular
ECV ↑
autoregulasi
Curah jantung ↑
vasokontriksi
Resistensi perifer total (TPR) ↑
Hipertensi primer (90 %)
Curah jantung ↑
TPR ↑
Hipertensi hormonal dan penyebab lain
Hipertensi Renalis (7%)
aldosteron
Ginjal Rennin→angiotensin II
Berbagai penyakit ginjal
Iskemia ginjal
Stenosis arteri renalis
Efek peningkatan katekolamin
Penurunan masa ginjal
ECV ↑
Retensi natrium
Curah jantung ↑ECV ↑
aldosteron
kortisol↑
Bentuk hipertensi lain: kardiovaskular, neurogenik, obat
Tumor medulla adrenal
Tumor korteks adrenal
Katekolamin ↑
TPR ↑
Tumor korteks adrenal
15
Gambar 2.1, Penyebab hipertensi (Muttaqin. A, 2009).
16
2.1.2.4 Faktor Resiko Yang Menyebabkan Tekanan Darah Tinggi
Tekanan darah tinggi atau hipertensi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Usia
Semakin lanjut usia seseorang, maka tekanan darah akan semakin tinggi
dikerenakan oleh beberapa faktor yaitu fungsi ginjal sebagai penyeimbang
tekanan darah semakin menurun dan elastisitas pembuluh darah yang
berkurang atau cenderung kaku sehingga volume darah yang mengalir sedikit
dan kurang lancar. Agar kebutuhan darah di jaringan tercukupi, maka jantung
harus memompa darah lebih kuat lagi, sehingga tekanan di pembuluh darah
meningkat (Hananta, 2011). Pada usia yang semakin tua, pengaturan
metabolisme zat kapur (kalsium) terganggu, sehingga banyak zat kapur yang
beredar bersama darah. Banyaknya kalsium dalam darah (hypercalcidemia)
menyebabkan darah menjadi lebih padat, sehingga tekanan darah menjadi
meningkat (Muhummadun, 2010).
Endapan kalsium di dinding pembuluh darah (arteriosclerosis) menyebabkan
penyempitan pembuluh darah. Akibatnya, aliran darah menjadi terganggu. Hal
ini dapat memacu peningkatan tekanan darah (Muhummadun, 2010).
Bertambahnya usia juga menyebabkan elastisitas arteri berkurang sehingga
arteri tidak dapat lentur dan cenderung kaku (Muhummadun, 2010).
2. Faktor Genetik
Menurut Susilo. Y, (2010) faktor genetik pada keluarga tertentu akan
menyebabkan keluarga tersebut mempunyai resiko menderita hipertensi,
individu dengan orang tua hipertensi mempunyai resiko dua kali lebih besar
17
untuk menderita hipertensi daripada individu yang tidak mempunyai keluarga
dengan riwayat hipertensi.
3. Jenis kelamin
Jenis kelamin berpengaruh terhadap kadar hormon yang dimiliki seseorang.
Estrogen yang dominan dimiliki wanita diketahui sebagai faktor protektif atau
perlindungan pembuluh darah, sehingga penyakit jantung dan pembuluh darah
(kardiovaskuler) lebih banyak ditemukan pada pria yang kadar estrogennya
lebih rendah daripada wanita. Sedangkan seorang wanita yang telah
monopouse, dengan kata lain produksi hormon estrogennya berkurang, lebih
beresiko menderita tekanan darah tinggi atau hipertensi (Hananta, 2011).
4. Mengkonsumsi Makanan Tinggi Lemak & Kolestrol
Kandungan lemak yang berlebihan dalam darah dapat menyebabkan timbunan
kolestrol pada dinding pembuluh darah. Hal ini dapat membuat pembuluh
darah menyempit dan akibatnya tekanan darah akan meningkat (Susilo. Y,
2011).
5. Obesitas
Semakin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk
memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti bahwa volume
darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga
memberi tekanan lebih besar pada dinding pembuluh darah dengan kata lain
tekanan darah akan meningkat (Muhummadun, 2010).
Ada dua jenis kegemukan yang berhubungan dengan hipertensi yaitu
kegemukan sentral dan kegemukan perifer. Pada kondisi kegemukan sentral
lemak mengumpul disekitar perut, sedangkan kegemukan perifer adalah
18
kegemukan yang merata diseluruh bagian tubuh. Meskipun demikian obesitas
sentral merupakan faktor penentu yang lebih penting terhadap peningkatan
tekanan darah dibandingkan dengan kelebihan berat badan perifer (Hananta.
2011).
6. Mengkonsumsi Alkohol
Alkohol dapat merusak fungsi saraf pusat maupun tepi (Sheps, 2002). Apabila
saraf pusat terganggu, maka pengaturan tekanan darah akan mengalami
gangguan pula (Muhummadun, 2010). Alkohol juga bisa meningkatkan
keasaman darah dan darah menjadi lebih kental (Sheps, 2002). Kekentalan
darah ini memaksa jantung memompa darah lebih kuat lagi, agar darah dapat
sampai ke jaringan yang membutuhkan dengan cukup, akibatnya tekanan
darah jadi meningkat (Muhummadun, 2010).
7. Merokok
Merokok dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, hal ini disebabkan karena
rokok banyak mengandung zat kimia yang berbahaya bagi tubuh seperti tar,
nikotin dan gas karbon monoksida (Muhummadun, 2010). Nikotin
merangsang sekresi hormon adrenalin yang menyebabkan jantung berdebar-
debar, meningkatkan tekanan darah serta kadar kolesterol dalam darah
(Muhummadun, 2010).
8. Tingginya Asupan garam
Garam dapat meningkatkan tekanan darah, karena natrium dalam darah
memiliki efek langsung pada peningkatan dalam darah ini dengan membentuk
ikatan dengan air (H2O) yang menyebabkan jumlah atau volume cairan
meningkat. Pada kondisi peningkatan cairan darah maka jantung merespons
19
dengan meningkatkan tekanan darah untuk menjamin seluruh cairan darah
dapat beredar ke seluruh tubuh (Hananta, 2011).
9. Kurang olahraga
Kurang olah raga dan bergerak biasanya menyebabkan tekanan darah dalam
tubuh meningkat. Aktifitas fisik sangat penting untuk mengendalikan tekanan
darah dan aktifitas fisik dapat membuat jantung lebih kuat (Sheps, 2002).
Jantung mampu memompa lebih banyak darah dengan hanya sedikit usaha
(Sheps, 2002). Makin ringan kerja jantung untuk memompa darah maka
makin sedikit pula beban tekanan pada arteri (Muhummadun, 2002).
10. Stres
Pada saat stress seseorang akan merasa cemas dan mudah marah
(Muhummadun, 2010). Saat stress tubuh melepaskan hormon catecholamine.
Hormon ini berpengaruh terhadap peningkatan resistensi perifer dan pembuluh
darah sehingga tekanan darah akan meningkat (Muhummadun, 2010).
Pada saat keadaan stress, saraf simpatis juga merangsang pengeluaran hormon
adrenalin (Sheps, 2010). Hormon ini dapat menyebabkan jantung berdenyut
lebih cepat dan menyebabkan penyempitan kapiler darah tepi, hal ini bisa
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan darah (Muhummadun, 2010).
2.1.2.5 Patofisiologi
2.1.2.5.1 Patofisiologi Hipertensi Secara Umum
Pengaturan tekanan arteri meliputi kontrol sistem persyarafan yang
kompleks dan hormonal yang saling berhubungan satu sama lain dalam
mempengaruhi curah jantung dan tahanan vaskuler perifer. Curah jantung
ditentukan oleh volume sekuncup dan frekuensi jantung. Tahanan perifer
20
ditentukan oleh diameter arteriol. Bila diameternya menurun (vasokonstriksi),
tahanan perifer meningkat, bila diameternya meningkat (vasodilatasi), tahanan
perifer akan menurun (Muttaqin A., 2009).
Gambar 2.2. Pathway Hipertensi
Selanjutnya akan dibahas mekanisme lain yang dengan efek yang lebih
lama. Rennin diproduksi oleh ginjal ketika aliran darah ke ginjal menurun,
akibatnya terbentuklah angiotensin I, yang akan berubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II meningkatkan tekanan darah dengan mengakibatkan kontraksi
langsung pada arteriol. Secara tidak langsung juga merangsang pelepasan
Renin
Angiotensin I
Angiotensin I Converting Enzyme (ACE)
Angiotensin II
Stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal
Sekresi hormon ADH rasa haus
Eksresi NaCl (garam) dengan mereabsorpsinya di ginjal di tubulus ginjal
Urine sedikit pekat osmolaritas
Mengentalkan
Menarik cairan intravaskuler ke ektravaskuler Konsentrasi NaCl di pembuluh darah
Volume ektravaskulerVolume darah
Volume darahTekanan darah
Tekanan darah
21
aldosteron, yang mengakibatkan retensi natrium dan air dalam ginjal. Respons
tersebut meningkatkan volume cairan ekstraseluler, yang pada gilirannya
meningkatkan aliran darah yang kembali ke jantung, sehingga meningkatkan
volume sekuncup dan curah jantung. Ginjal juga mempunyai mekanisme intrinsic
untuk meningkatkan retensi natrium dan cairan (Muttaqin. A, 2009).
Bila terdapat gangguan menetap yang menyebabkan konstriksi arteriol,
tahanan perifer total dan tekanan arteri meningkat. Dalam menghadapi gangguan
menetap, curah jantung harus ditingkatkan untuk mempertahankan keseimbangan
system. Hal tersebut diperlukan untuk mengatasi tahanan, sehingga pemberian
oksigen dan nutrient ke sel dan pembuangan produk sampah sel tetap terpelihara.
Untuk meningkatkan curah jantung, system saraf simpatis akan merangsang
jantung untuk berdenyut lebih cepat, juga meningkatkan volume sekuncup
dengan cara membuat vasokontriksi selektif pada organ perifer, sehingga darah
yang kembali ke jantung lebih banyak. Dengan adanya hipertensi kronis,
baroreseptor akan terpasang dengan level yang lebih tinggi dan akan berespons
meskipun level yang baru tersebut sebenarnya normal (Muttaqin. A, 2009).
Pada mulanya, mekanisme tersebut bersifat kompensasi. Namun, proses
adaptif tersebut membuka jalan dengan membuka jalan dapat memberikan
pembebanan pada jantung. Pada saat yang sama terjadilah perubahan degenerative
pada arteriol yang menanggung tekanan tinggi terus-menerus. Perubahan tersebut
terjadi pada organ seluruh tubuh, termasuk jantung, mungkin akibat berkurangnya
pasokan darah ke miokardium. Untuk memompa darah, jantung harus bekerja
keras untuk mengatasi tekanan balik muara aorta (Muttaqin. A, 2009).
22
Akibat beban kerja ini, otot ventrikel kiri mengalami hipertropi atau
membesar, terjadilah dilatasi dan pembesaran jantung. Kedua perubahan
struktural tersebut bersifat adaptif, keduanya meningkatkan volume sekuncup
jantung. Pada saat istirahat, respons kompensasi tersebut mungkin memadai,
namun dalam keadaan pembebanan, jantung tidak mampu memenuhi kebutuhan
tubuh, orang tersebut menjadi cepat lelah dan nafasnya pendek (Muttaqin. A,
2009).
Gangguan awal yang menyebabkan kenaikan tahanan perifer biasanya
tidak diketahui, seperti pada kasus hipertensi perimer atau esensial, meskipun ada
beberapa agen yang diduga sebagai penyebab. Mekanisme patologis yang terjadi
adalah hipoksia akibat kegagalan sistem transportasi darah. Pada tahap berikutnya,
nutrisi oksigen darah juga menurun akibat edema paru (Muttaqin. A, 2009).
Hipertensi merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan peningkatan
tahanan perifer. Hal ini menyebabkan penambahan beban jantung (afterload)
sehingga terjadi hipertofi ventrikel kiri sebagai proses kompensasi adaptasi.
Hipertrofi ventrikel kiri ialah suatu keadaan yang mengggambarkan penebalan
dinding dan penambahan masa ventrikel kiri. Selain pertumbuhan miosit dijumpai
juga penambahan struktur kolagen berupa fibrosis pada jaringan intertestial dan
perivaskular fibrosis reaktif intramiokardial (Muttaqin. A, 2009).
2.1.2.5.2 Patofisiologi Hipertensi Pada Lanjut Usia
Mekanisme dasar peningkatan tekanan sistolik sejalan dengan peningkatan
usia terjadinya penurunan elastisitas dan kemampuan meregang pada arteri besar.
Tekanan aorta meningkat sangat tinggi dengan penambahan volume intravaskuler
yang sedikit menunjukan kekakuan pembuluh darah pada lanjut usia. Secara
23
hemodinamik hipertensi sistolik ditandai penurunan kelenturan pembuluh arteri
besar resistensi perifer yang tinggi pengisian diastolik abnormal dan bertambah
masa ventrikel kiri. Penurunan volume darah dan output jantung disertai kekakuan
arteri besar menyebabkan penurunan tekanan diastolik. Lanjut usia dengan
hipertensi sistolik dan diastolik output jantung, volume intravaskuler, aliran darah
keginjal aktivitas plasma renin yang lebih rendah dan resistensi perifer. Perubahan
aktivitas sistem syaraf simpatik dengan bertambahnya norepinephrin
menyebabkan penurunan tingkat kepekaan sistem reseptor beta adrenergik pada
sehingga berakibat penurunan fungsi relaksasi otot pembuluh darah (Temu Ilmiah
Geriatri. 2008 dalam Winarsih. Y, 2012)
2.1.2.6 Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan fisik, mungkin tidak dijumpai kelainan apapun selain
kelainan tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada
retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh
darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edama pada diskus optikus). Individu
yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-
tahun. Gejala bila ada, biasanya menunjukan adanya kerusakan vaskuler dengan
manifestasi sesuai sistem organ yang divaskulerisasi oleh pembuluh darah
bersangkutan. Penyakit arteri koroner dengan angina adalah gejala yang paling
menyertai hipertensi. Hipertrofi ventrikel kiri sebagai respon beban kerja ventrikel
saat dipaksa berkontraksi melawan tekanan sistemik yang meningkat. Apabila
jantung tidak mampu lagi menahan peningkatan beban kerja, maka dapat terjadi
gagal jantung kiri. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanisfestasi sebagai
24
nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azotemia (peningkatan
nitrogen urea darah ( BUN ) dan kretinin) (Muttaqin. A, 2009).
2.1.2.7 Evaluasi Diagnostik
Riwayat dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh sangat penting. Retina
harus diperiksa dan dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengkaji
kemungkinan adanya kerusakan organ, seperti ginjal atau jantung, yang dapat
disebabkan oleh tingginnya tekanan darah. Hipertrofi ventrikel kiri dapat dikaji
dengan elektrokardiografi, protein dalam urine dapat dideteksi dengan urinalisa.
Dapat terjadi ketidakmampuan untuk mengkonsentrasi urin dan peningkatan
nitrogen urea darah. Pemeriksaan khusus seperti renogram, pielogram intravena,
arteriogram renal, pemeriksaan fungsi ginjal terpisah, dan penentuan kadar urin
dapat juga dilakukan untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit
renovaskuler. Adanya faktor resiko lainnya juga harus dikaji dan dievaluasi
(Muttaqin. A, 2009).
2.1.2.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada klien hipertensi adalah mencegah terjadinya
morbiditas dan mortalitas penyerta dengan mencapai dan mempertahankan
tekanan darah dibawah 140/90 mmHg. Efektivitas setiap program ditentukan oleh
derajat hipertensi, komplikasi, biaya perawatan, dan kualitas hidup sehubungan
dengan terapi. Algoritma penanganan yang dikeluarkan oleh Joint National on
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure memungkinkan
dokter untuk memilih kelompok obat yang mempunyai efektivitas tertinggi, efek
samping paling kecil, dan penerimaan serta kepatuahan pasien. Dua kelompok
25
obat tersedia dalam terapi pilihan pertama yaitu diuretik dan penyekat beta.
Apabila pasien dengan hipertensi ringan sudah terkontrol selama setahun, terapi
dapat diturunkan. Agar pasien dapat mematuhi regimen terapi yang diresepkan,
maka harus dicegah pemberian jadwal terapi obat-obatan yang rumit (Muttaqin.
A, 2009).
2.1.1.8.1 Penatalaksanaan Farmakologi
Menurut Muttaqin. A, 2009 terapi farmakologis penanganan dengan
pemberian obat, Obat-obat anti hipertensi dapat dipakai sebagai obat tunggal atau
dicampur dengan obat lain, obat-obatan ini diklasifikasikan menjadi lima kategori,
yaitu:
1. Diuretik.
Hidroklorotizaid adalah diuritik yang paling sering diresepkan untuk
mengobati hipertensi ringan. Hidroklorotizaid dapat diberikan sendiri pada
klien dengan hipertensi ringan. Banyak obat antihipertensi dapat menyebabkan
retensi cairan; karena itu, sering kali diuritik diberikan bersama antihipertensi.
2. Menekan simpatetik (simpatolitik)
Penghambat (adrenergik bekerja di sentral simpatolitik), penghambat
adrenergik alfa, dan penghambat neuron adrenergik diklasifikasikan sebagai
penekan simpatitik atau simpatolitik penghambat adrenergik beta, juga
dianggap sebagai simpatolitik dan menghambat reseptor beta.
3. Vasodilator arteriol yang bekerja langsung.
Vasodilator yang bekerja langsung adalah obat tahap III yang bekerja dengan
merelaksasikan otot-otot polos pembuluh darah, terutama arteri, sehingga
menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi, tekanan darah akan
26
turun dan natrium serta air tertahan, sehingga terjadi tekanan parifer. Diuretik
dapat diberikan bersama-sama dengan vasodilator yang bekerja lansung untuk
mengurangi edema. Reflek takikardia disebabkan oleh vasodilatasi dan
menurunnya tekanan darah.
4. Antagonis angiotensin (ACE inhibitor).
Obat dalam golongan ini menghambat enzim pengubah angiotensin (ACE),
yang nantinya akan menghambat pembentukan angiotensin II
(vasokonstriktor) dan menghambat pelepasan aldosteron. Aldosteron
meningkatkan retensi natrium dan ekskresi kalium. Jika aldosteron di hambat,
natrium diekskresikan bersamaa-sama dengan air. Kaptropil, enalapril, dan
lisonopril adalah ketiga antagonis angiotensin. Obat-obat ini dipakai pada
klien dengan kadar renin serum yang tinggi.
5. Penghambat saluran kalsium (blocker calcium antagonis).
Cara kerja antagonis kalsium hampir sama dengan vasodilator. Antagonis
kalsium adalah obat antihipertensi yang memperlebar pembuluh darah.
2.1.1.8.2 Penatalaksanaan Non Farmakologi
Menurut (Shep, 2002 dalam Fikri. A, 2011) penatalaksanaan non
farmakologis merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mengobati
tekanan darah tinggi. Beberapa penatalaksanaan non farmakologis antara lain:
1. Olahraga Teratur
Olahraga teratur mampu menurunkan jumlah lemak serta meningkatkan
kekuatan otot terutama otot jantung. Berkurangnya lemak dan volume tubuh,
berarti mengurangi resiko tekanan darah tinggi.
2. Penanganan Faktor Psikologis dan Stress
27
Hormon epineprin dan kortisol yang dilepaskan saat stress menyebabkan
peningkatan tekanan darah dengan menyempitkan pembuluh darah dan
meningkatkan denyut jantung. Besarnya peningkatan tekanan darah
tergantung pada beratnya stress dan sejauh mana kita dapat mengatasinya.
Penanganan stress yang adekuat dapat berpengaruh baik terhadap penurunan
tekanan darah.
3. Berhenti Merokok
Rokok dapat mempengaruhi kerja beberapa obat antihipertensi. Obat bisa
tidak bekerja dengan optimal atau tidak memberi efek sama sekali. Dengan
berhenti merokok efektifitas obat akan meningkat.
4. Tidak Mengkonsumsi Alkohol
Alkohol dalam darah merangsang pelepasan epineprin (adrenalin) dan
hormon-hormon lain yang membuat pembuluh darah menyempit dan
penumpukan lebih banyak natrium dan air. Minum minuman beralkohol yang
berlebihan juga menyebabkan kekurangan gizi yaitu penurunan kadar kalsium
dan magnesium.
5. Diet
Untuk mengendalikan hipertensi, kita harus membatasi asupan natrium dalam
makanan. Selain membatasi natrium, mengurangi makanan berlemak, makan
lebih banyak biji-bijian, buah-buahan.
6. Terapi Komplementer
Cara lain untuk menurunkan tekanan darah tinggi salah satunya adalah terapi
komplementer. Terapi komplementer bersifat terapi pengobatan alamiah
diantaranya adalah dengan terapi herbal, terapi nutrisi, relaksasi progresif,
28
meditasi, terapi tawa, akupuntur, akupresur, aromaterapi, terapi bach flower
remedy, dan refleksologi (Sustrani, Alam, Hadibroto 2005, dikutip dalam
Nugroho. Y.T, 2010).
Terapi herbal yang dipercaya dapat menurunkan tekanan darah tinggi
adalah tumbuhan herbal antara lain bunga rosella (hibiscus Sabdariffa Linn), buah
mengkudu, kumis kucing, mentimun, bawang putih, pegagan, belimbing daun dan
buah alpukat, daun seledri, daun selada air, bawang putih, dan lain-lain (Shep,
2002 dalam Fikri. A, 2011).
Salah satu contoh tanaman herbal yang akan dibicarakan dalam skripsi ini
adalah bunga rosella (hibiscus Sabdariffa Linn). Salah satu kandungan bunga
rosella yang dikenal khasiatnya sebagai diuretik adalah anthocyanin, gossipetin
dan hibicin (Maryani & Kristana, 2008). Seorang ahli farmakognosi di Senegal
telah merekomendasikan kelopak bunga rosella untuk menurunkan tekanan darah
tinggi.
2.1.3 Bunga Rosella (Hibiscus Sabdariffa Linn)
2.1.3.1 Deskripsi Tanaman
Nama latin bunga rosella adalah Malvaceae (suku kapas-kapasan). Genus
Hibiscus dan spesies Hibiscus sabdariffa Linn. Klasifikasi bunga rosella yaitu
termasuk dalam kingdom Plantae (tumbuhan). Subkingdomnya adalah
Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh). Super divisi Spermatophyta
(menghasilkan biji). Divisi Magnoliophyta (tumbuhan berbunga). Kelas
magnoliopsida (berkeping dua atau dikotil) (Maryani & Kristana, 2008).
Rosella adalah sejenis tanaman bunga-bungaan dengan tangkai panjang
menjuntai ke atas. Batangnya bulat, tegak, berkayu, dan berwarna merah.
29
Daunnya tunggal, berbentuk bulat telur, pertulangan menjari, ujung tumpul, tepi
bergerigi, dan pangkal nerlekuk. Panjang daun 6-15 cm dan lebarnya 5-8 cm,
tangkai daun berwarna hijau, dengan panjang 4-7 cm. Tinggi tanaman bunga
Rosella ini bisa mencapai 0.5-3 meter. Bunganya tumbuh ketika tanaman ini
dewasa. Bunga rosella berwarna merah. Bunga rosella yang keluar dari ketiak
daun adalah bunga tunggal, artinya pada setiap tangkai hanya terdapat satu bunga.
Bunga ini mempunyai 8 -11 helai kelopak yang berbulu, panjangnya 1 cm,
pangkalnya saling berlekatan, dan berwarna merah. Mahkota bunga berbentuk
corong, terdiri dari 5 helai, panjangnya 3-5 cm. Tangkai sari yang merupakan
tempat melekatnya kumpulan benang sari berukuran pendek dan tebal,
panjangnya sekitar 5 mm dan lebar sekitar 5 mm, putiknya berbentuk tabung,
berwarna kuning atau merah. Buahnya berbentuk kotak kerucut, berambut, terbagi
menjadi 5 ruang, berwarna merah. Bentuk biji menyerupai ginjal, berbulu, dengan
panjang 5 mm dan lebar 4 mm. Saat masih muda, biji berwarna putih dan setelah
tua berubah menjadi abu-abu (Maryani & Kristana, 2008).
2.1.3.2 Varietas dan Jenis Tanaman
Menurut (Rahmawati. R, 2012) Bunga rosella memiliki lebih dari 100
varietas yang tersebar di seluruh dunia namun ada 2 varietas yang paling terkenal
dengan budidaya dan manfaat yang berbeda antara lain:
1. Hibiscus sabdariffa var. Altisima, rosella berkelopak bunga kuning yang
sudah lama dikembangkan untuk diambil serat batangnya sebagai bahan baku
pulp dan karung goni.
30
2. Hibiscus sabdariffa var. Sabdariffa, rosella berkelopak bunga merah yang kini
diminati petani dan dikembangkan untuk diambil kelopak bunga dan bijinya
sebagai tanaman herbal dan bahan baku minuman kesehatan.
2.1.3.3 Kandungan Bunga Rosella
Kandungan gizi yang terdapat pada bunga rosella antara lain:
1) Vitamin C dan A
2) Protein
3) Air
4) Karbohidrat
5) Serat
6) Kalsium
7) Fosfor
8) Betakaroten
9) Kalori
Menurut DEP.KES.RI.No.SPP.1065/35.15/05, setiap 100 gr rosella segar
mengandung 260-280 mg vitamin C, vitamin D, B1 dan B2, kalsium 486 mg,
omega 3, magnesium, beta karotin serta asam amino esensial seperti lysine dan
agrinine. Bunga rosella juga kaya akan serat yang bagus untuk kesehatan saluran
pencernaan (Rahmawati. R, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Didah tahun 2005 menunjukkan bahwa
kandungan antioksidan yang dimiliki oleh kelopak rosella terdiri atas senyawa
aktif yaitu gossipetin, antosianin, dan glukosida hibiscin. Mekanisme kerja
senyawa aktif ini membantu melancarkan peredaran darah dengan mengurangi
derajat fiskositas (kekentalan) darah, dengan begitu kerja jantung memompa darah
31
semakin ringan dan otomatis tekanan darah menurun. Semua itu tak lepas dari
peran asam organik polisakarida dan flafonoid yang terkandung didalamya.
(Rahmawati. R, 2012).
2.1.3.4 Manfaat Bunga Rosella
Adapun manfaat bunga rosella adalah sebagai berikut:
1) Antihipertensi
Kelopak bunga rosella terbukti dapat menurunkan tekanan darah tinggi karena
senyawa aktifnya terbukti secara klinis mampu mengurangi jumlah plak yang
menempel pada dinding pembuluh darah dan rosella juga memiliki potensi
untuk mengurangi kadar kolestrol jahat yang disebut LDL, serta dapat
membantu mengurangi derajat fiskositas (kekentalan) darah, dengan begitu
kerja jantung memompa darah semakin ringan dan otomatis tekanan darah
menurun.
Pemberian ekstrak kelopak rosela yang mengandung 9,6 mg anthocyanin,
mampu menurunkan tekanan darah yang hampir sama dengan
pemberian captopril 50 mg/hari. Rosela terstandar tersebut dibuat dari 10
gram kelopak kering dan 0,52 liter air (Herrera-Arellano, 2004). Terdapat
penurunan tekanan darah sistolik sebesar 11,2 % dan tekanan diastolik sebesar
10,7% setelah diberi terapi teh rosela selama 12 hari pada 31
penderita hipertensi (Haji Faraji, 1999 dalam Rahmawati. R, 2012).
2) Antikanker
Bunga roselah memiliki efek antikanker dengan adanya antioksidan yang
terkandung didalamnya yang paling berperan yaitu antosianin senyawa aktif
yang dapat menghambat terjadinya kehilangan membran mitokondria ke
32
sitosol, jika molekul mengandung elektron seperti guanin DNA terserang,
kesalahan DNA mudah terjadi, kerusakan DNA memicu oksidasi LDL,
kolestrol dan lipid yang berujung pada penyakit ganas seperti kanker. Namun
antioksidan dapat meredam aksi radikal bebas yang menyerang molekul tubuh
yang mengandung elektron (Rahmawati. R, 2012).
2.1.3.5 Bukti Ilmiah
Penelitian yang di lakukan M. Haji Faraji dan A.H. Haji Tarkhani dari
Shaheed Baheshti University Of Medical Sciences and Health Services,Theran,
Iran. sebanyak 54 pasien bertekanan darah tinggi di Theran Shariaty Hospital di
hitung tekanan sistolik dan diastoliknya 15 hari sebelum dan sesudah pengujian.
Pasien di beri konsumsi secangkir teh seduhan 3 kantum bunga rosella. Setelah 12
hari nilai sistolik pasien rata-rata turun 11,2 % tekanan diastoliknya turun 10,7%.
Namun saat konsumsi rosella di hentikan 3 hari tekanan sistoliknya meningkat
7,9%, diastoliknya 5,6%. Itu membuktikan rosella memang berkhasiat
menurunkan tekanan darah tinggi (Rahmawat. R, 2012).
Pemberian ekstrak kelopak rosela yang mengandung 9,6 mg
anthocyanin setiap hari, mampu menurunkan tekanan darah yang hampir sama
dengan pemberian captopril 50 mg/hari. Rosela terstandar tersebut dibuat dari 10
gram kelopak kering dan 0,52 liter air (Herrera-Arellano, 2004). Terdapat
penurunan tekanan darah sistolik sebesar 11,2 % dan tekanan diastolik sebesar
10,7% setelah diberi terapi teh rosela selama 12 hari pada 31
penderita hipertensi sedang (Haji Faraji, 1999). Mekanisme kerjanya senyawa
aktif membantu melancarkan peredaran darah dengan mengurangi derajat
33
fiskositas (kekentalan) darah, dengan begitu kerja jantung memompa darah
semakin ringan dan otomatis tekanan darah menurun.
2.1.3.6 Resep Seduhan Bunga Rosella Untuk Hipertensi
Bahan :
Kelopak bunga rosella kering : 3-4 kantum (10 gr)
Air panas : 1 gelas (200 ml)
Cara pembuatan :
Ambil sekitar 3-4 kantum (10 gr) bunga rosella kering, seduh dengan 200
ml air panas, kemudian aduk sambil di tekan-tekan kelopak bunganya
hingga air berwarna merah, sajikan hangat, lalu minum 2x sehari (Indah
S.Y dan Slamet. K, 2012).
2.1.4 Konsep Lanjut Usia (Lansia)
2.1.4.1 Definisi
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia (Budi Anna Keilat, 1999 dalam Maryam, 2008). Sedangkan
menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 tahun 1998 tentang kesehatan di
katakan bahwa usia lanjut adalah seorang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun
(Maryam, 2008).
Pengertian lansia beragam tergantung kerangka pandang individu. Orang
yang berusia 35 tahun dapat dianggap tua bagi anaknya dan tidak muda lagi.
Orang sehat aktif berusia 65 tahun mungkin menganggap usia 75 tahun sebagai
permulaan lanjut usia (Brunner dan Suddart, 2001 dalam Azizah M.L.,2011).
Menurut Surini dan Utomo (2003) dalam Azizah M.L.,2011, lanjut usia bukan
34
suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang
akan dijalani semua individu, ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stress lingkungan.
Menurut Reimer et al (1999), Stanley and Beare (2007) dalam Azizah
M.L, 2011 mendefinisikan lansia berdasarkan karakteristik social masyarakat
yang menganggap bahwa orang telah tua jika menunjukan cirri fisik seperti
rambut beruban, kerutan kulit, dan hilangnya gigi. Dalam peran masyarakat tidak
bias lagi melaksanakan fungsi peran orang dewasa, seperti pria yang tidak lagi
terikat dalam kegiatan ekonomi produktif, dan untuk wanita tidak dapat
memenuhi tugas rumah tangga. kriteria simbolik seseorang dianggap tua ketika
cucu pertamanya lahir. Dalam masyarakat kepulauan pasifik, seseorang dianggap
tua ketika ia berfungsi sebagai kepala dari garis keturunan keluarganya.
2.1.4.2 Klasifikasi Lanjut Usia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia, menurut
(Depkes RI, 2003 dalam Maryam, 2008).
1) Pralansia (prasenilis)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2) Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3) Lansia resiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
35
4) Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat
menghasilkan barang dan jasa.
5) Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencarai nafkah, sehingga hidupnya bergantung
pada bantuan orang lain.
2.1.4.3 Karakteristik Lansia
Menurut Budi Anna Keliat (1998) dalam Maryam (2008) lansia memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1) Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat 2) UU No. 13 tentang
kesehatan
2) Kebutahan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari
kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adapatif hingga
kondisi maladaptif.
2.1.4.4 Batasan Lanjut Usia
Batasan-batasan lansia menurut WHO dalam Nugroho, (2000) di
kelompokan menjadi empat meliputi:
1) Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45-49
2) Usia lanjut (erderli), antara 60-70 tahun
3) Usia lanjut tua (old), antara 70-75 tahun
4) Usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun
36
2.1.4.5 Tugas Perkembangan Lanjut Usia (Lansia)
Menurut (Ericson, dalam Maryam, 2008) kesiapan lansia untuk
beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut di
pengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila
seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan sehari-
hari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang sersi dengan orang-
orang di sekitarnya, maka pada usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang
biasa di lakukan pada tahap perkembangan sebelumya seperti olah raga,
mengembangkan hobi bercocok tanam dan lain-lain.
Adapun tugas perkembangan adalah sebagai berikut:
1) Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun
2) Mempersiapkan diri untuk pansiun
3) Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
4) Mempersiapkan hubungan baru
5) Melakukan penyesuain terhadap kehidupan sosial atau masyarakat secara
santai
6) Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangannya.
2.1.4.6 Tipe - Tipe Lanjut Usia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho, 2000 dalam
Maryam, 2008). Tipe tersebut dapat di jabarkan sebagai berikut:
37
1. Tipe arif bijaksa
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, dan menjadi panutan.
2. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari
pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
3. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemerah,
tidak sabar, mudah tersinggung, sulit di layani, pengkritik, dan banyak
menuntut.
4. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
5. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif,
dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe dependen
(ketergantungan), tipe defensif (bertahan), tipe militan dan serius, tipe pemarah
atau frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe putus
asa (benci pada diri sendiri).
Sedangkan bila dilihat dari tingkat kemandiriannya yang dinilai
berdasarkan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (indeks
kemandirian Katz), para lansia di golongkan menjadi beberapa tipe, yaitu lansia
38
mandiri sepenuhnya , lansia mandiri dengan bantuan langsung keluarganya, lansia
mandiri dengan bantuan secara tidak langsung, lansia dengan bantuan badan
nasional, lansia di panti werdha, lansia yang di rawat di rumah sakit, dan lansia
dengan bantuan mental (Nugroho, 2000 dalam Maryam, 2008).
2.1.4.7 Mitos - Mitos Lanjut Usia
Menurut (Shiriera Saul, 1974 dalam Maryam, 2008) mitos-mitos lansia
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Mitos kedamain dan ketenangan
Adanya anggapan bahwa para lansia dapat santai menikmati hidup, hasil kerja,
dan jerih payahnya di masa muda. Berbagai guncangan kehidupan seakan-
akan sudah berhasil di lewati.
Kenyataanya, sering ditemui lansia yang mengalami stres karena kemiskinan
dan berbagai keluhan serta penderitaan karena penyakit.
2. Mitos konservatif dan kemunduran
Konservatif berarti kolot, bersikap mempertahankan kebiasaan, tradisi dan
keberadaan berlaku. Adanya anggapan bahwa para lansia itu tidak kreatif,
menolak inpvasi, berorientasi ke masa silam, kembali ke masa kanak-kanak,
sifat berubah, keras kepala, dan cerewet.
Kenyataanya, tidak semua lansia bersikap dan mempunyai pikiran demikian.
3. Mitos berpenyakitan
Adanya anggapan bahwa masa tua di pandang sebai masa degenerasi biologis
yang di sertai berbagai penyakit dan sakit-sakitan.
39
Kenyataanya, tidak semua lansia berpenyakitan. Saat ini sudah banyak jenis
pengobatan serta lansia yang rajin melakukan pemeriksaan berkala sehingga
lansia tetap sehat dan bugar.
4. Mitos senilitas
Adanya anggapan bahwa para lansia sudah pikun, kenyataanya, banyak yang
masih tetap cerdas dan bermanfaat bagi masyarakat, karena banyak cara yang
menyesuaikan diri terhadap penurunan daya ingat.
5. Mitos tidak jatuh cinta
Adanya anggapan bahwa para lansia sudah tidak lagi jatuh cinta dan bergairah
pada lawan jenis.
Kenyataanya, perasaan dan emosi setiap orang berubah sepanjang masa serta
perasaan cinta tidak berhenti hanya karena menjadi tua.
6. Mitos aseksualitas
Adanya anggapan bahwa pada lansia hubungan seks menurun, minat,
dorongan, gairah, kebutuhan, dan daya seks berkurang.
Kenyataanya, kehidupan seks para lansia normal-normal saja dan tetap
bergairah, hal ini di buktiakan dengan banyaknya lansia yang ditinggal mati
oleh pasngannya, namun msaih ada rencana ingin menikah lagi.
7. Mitos ketidakproduktifan
Adanya anggapan bahwa para lansia tidak produktif lagi. Kenyataanya, para
lansia yang mencapai kematangan, kemantapan, dan produktifitas mental
maupun material.
40
2.1.4.8 Proses Menua (Ageing Proces)
Ageing process (proses menua) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memeperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi
dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantindes, 1994 dalam Maryam,
2008). Seiring dengan proses menua tersebut, tubuh akan mengalami berbagai
masalah kesehatan yang biasa di sebut sebagai penyakit degeneratif.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh.
Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang
sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung
sejak seorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan
jaringan pada otot, susunan syaraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit
demi sedikit.
2.1.4.9 Teori-Teori Proses Menua
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan yaitu teori
biologis, teori psikologis, teori sosial, dan teori spiritual (Maryam, 2008).
1. Teori biologi
Teori biologi mencangkup teori genetik dan mutasi, immunology slow theory,
teori stres, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.
a. Teori genetik dan mutasi
Menurut teori genetik dan mutasi, menua terprogram secara genetik untuk
spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan
biokimia yang di program oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada
41
saatnya akan mengalami mutasi, sebagai contoh yang khas adalah mutasi
dari sel-sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsi sel).
Pada teori biologi dikenal istilah “pemakain dan perusakan” (wear and
tear) yang terjadi karena kelebihan usaha dan stres yang menyebabkan
sel-sel tubuh menjadi lelah (pemakaian). Pada teori ini juga di dapatkan
terjadinya peneingkatan jumlah kolagen dalam tubuh lansia, tidak ada
perlindungan terhadap radiasi, penyakit, dan kekurangan gizi.
b. Immunology slow theory
Menurut immunology slow theori, sistem imun menjadi efektif dengan
bertambahnya usia dan masuknya virus kedalam tubuh yang dapat
menyebabkan kerusakan organ tubuh.
c. Teori stres
Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang
biasa di gunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan
kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang
menyebabkan sel-sel tubuh telah terpakai.
d. Teori radikal babas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik
seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak
dapat melakukan regenerasi.
42
e. Teori rantai silang
Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua
atau usang meyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen,
dan hilangnya fungsi sel.
2. Teori psikologi
Pada usia lanjut, proses penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan
penambahan usia. Perubahan psikologi yang terjadi dapat di hubungakan pula
dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian
individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik
konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat menjadikan
seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai yang
ada di tunjang dari status sosialnya.
Adanya penurunan diri intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan
kognetif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit
untuk dipahami dan beriteraksi. Persepsi merupakan kemampuan interpretasi
pada lingkungan. Dengan adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka
akan terjadi pula penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan
merespons stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi atau reaksi yang
berbeda dari stimulus yang ada. Kemampuan kognetif dapat dikaitkan dengan
penurunan fisiologis organ otak. Namun untuk fungsi-fungsi positif yang
dapat dikaji ternyata mempunyai fungsi lebih tinggi, seperti simpanan
informasi usia lanjut, kemampuan memberi alasan secara abstrak, dan
melakukan penghitungan.
43
Memori adalah kemampuan daya ingat lansia terhadap suatu kejadian atau
pristiwa baik jangka pendek maupun jangka panjang memori terdiri dari tiga
hal yaitu ingatan yang paling singkat dan segera, ingatan jangka pendek, dan
ingatan jangka panjang.
Kemampuan belajar yang menurun dapat terjadi karena banyak hal. Selain
keadaan fungsional organ otak kurangnya motivasi lansia juga berperan.
Motivasi akan semakin menurun dengan menganggap bahwa lansia sendiri
merupakan beban bagi orang lain dan keluarganya.
3. Teori sosial
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Teori interaksi sosial
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu
situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. (Maus,
1954, Hommans,1961, dan Blau, 1964 dalam Maryam, 2008)
mengungkapkan bahwa interaksi sosial terjadi berdasarkan atas hukum
pertukaran barang dan jasa. sedangkan pakar lain (Simmons,1945 dalam
Maryam, 2008) mengungkapkan bahwa kemampuan lansia untuk terus
menjalin interaksi sosial merupakan kunci untuk mempertahankan status
sosialnya atas dasar kemampuannya untuk melakukan tukar menukar.
b. Teori penarikan diri
Teori ini merupakan teori sosial tentang penuaan yang paling awal dan
pertama kali diperkenalkan oleh Gumming and Henry (1961).
Kemiskinan yang di derita lansia dan menurunnya derajat kesehatan
44
mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-lahan menarik diri dari
pergaulan disekitarnya.
Pada lansia juga terjadi kehilangan ganda (triple loos) yaitu:
1) Kehilangan peran (loos of rolles)
2) Hambatan kontak sosial (restriction pf contact and relationship)
3) Berkurangnya komitmen (reduced commitment to social moralres
and values).
Menurut teori ini seorang lansia dikatakan mengalami proses penuaan
yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan
dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi serta mempersiapkan
diri dalam menghadapi kematiannya.
Pokok-pokok teori menarik diri adalah sebagai berikut:
a) Pada pria, kehilangan peran hidup terutama terjadi pada masa
pensiun. Sedangkan pada wanita terjadi ketika peran dalam
keluarga berkurang, misalnya saat anak menginjak dewasa serta
meninggalkan rumah untuk belajar dan menikah.
b) Lansia dan masyarakat mampu mengambil manfaat dari hal ini,
karena lansia dapat merasakan bahwa tekanan sosial berkurang,
sedangkan kaum muda memperoleh kerja yang lebih luas
c) Tiga aspek dalam teori ini adalah proses menarik diri yang terjadi
sepanjang hidup. Proses ini tidak dapat di hindari serta hal ini
harus diterima oleh lansia dan masyarakat.
45
c. Teori aktivitas
Teori aktivitas di kembangkan oleh (Palmore, 1965 dan lemon at al, 1972
dalam Maryam, 2008) yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses
bergantung dari bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam
melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih
penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang di lakukan. Dari satu
sisi aktivitas lansia dapat menurun, akan tetapi disisi lain dapat
dikembangkan, misalnya peran baru lansia sebagai relawan, kakek atau
nenek, ketua RT, seorang duda atau janda serta karena di tinggal hidup
pasangan hidupnya. Dari pihak lansia sendiri terdapat anggapan bahwa
proses penuaan merupakan suatu perjuangan untuk tetap muda dan
berusaha mempertahankan prilaku mereka dimasa mudanya.
d. Teori kesinambungan
Teori ini dianut oleh banyak pakar sosial. Teori ini mengemukakan
adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia. Pengalam hidup
seseorang pada suatu saat merupakan gambaranya kelak pada saat ia
menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan
harapan seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah menjadi
lansia.
Menurut teori penarikan diri dan teori aktivitas proses penuaan
merupakan suatu pergerakan dan proses searah, akan tetapi pada teori
kesinambungan merupakan pergerakan dan proses banyak arah,
bergantung dari bagaimana penerimaan seorang terhadap status
hehidupanya.
46
e. Teori perkembangan
Teori ini menakankan pentingnya mempelajari apa yang telah di alami
oleh lansia pada saat muda hingga dewasa dengan demikin perlu di
pahami teori Fruid, Buhler, Jung, dan Ericson. Sigmund Fruid meneliti
tentang psikologi serta perubahan psikososial pada anak dan balita,
(Ericson, 1930 dalam Maryam, 2008) membagi kehidupan menjadi
delapan fase, yaitu:
1) Lansia yang menerima apa adanya
2) Lansia yang takut mati
3) Lansia yang merasakan hidup penuh arti
4) Lansia yang menyesali diri
5) Lansia yang bertanggung jawab dengan merasakan kesetiaan
6) Lansia yang kehidupanya berhasil
7) Lansia yang merasa terlambat untuk memperbaiki diri
8) Lansia yang perlu menemukan integritas diri melawan keputusasaan
f. Teori stratifikasi usia
(Wiley, 1971 dalam Maryam, 2008) menyusun stratifikasi usia
berdasarkan usia kronologis yang menggambarkan serta membentuk
adanya perbedaan kapasitas, peran, kewajiban, dan hak mereka
berdasarkan usia.
Dua elemen penting dari model stratifikasi usia tersebut adalah struktur
dan prosesnya.
1) Struktur mencakup hal-hal sebagai berikut : bagaimanakah peran dan
harapan menurut penggolongan usia; bagaimanakan penilaian strata
47
oleh strata itu sendiri dan strata lainnya; bagaimanakan terjadi
penyebaran peran dan kekuasaan yang tak merata pada masing-
masing strata, yang didasarkan pada pengalaman dan kebijakan
lansia.
2) Proses mencangkup hal-hal sebagai berikut: bagaimanakah
menyesuaikan kedudukan seseorang dengan paran yang ada;
bagaimanakah cara mengatur transisi peran secara berurutan dan
terus menerus.
4. Teori spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan
individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan.
(James Fowler, 1999 dalam Maryam, 2008) mengunakan istilah kepercayaan
sebagai suatu bentuk pengetahuan dan cara berhubungan dengan kehidupan
akhir, menurutnya kepercayaan adalah suatu fenomena timbal-balik, yaitu
suatu hubungan aktif antara seseorang dengan orang lain dalam menanamkan
suatu keyakinan, cinta kasih dan harapan.
2.1.3.10 Penyakit yang sering di jumpai pada lansia
Dikemukakan adanya empat penyakit yang sangat erat hubunganya
dengan proses menua, yakni:
1. Dangguan sirkulasi darah, seperti: Hipertensi, kelainan pembuluh darah,
gangguan pembuluh darah di otak (koroner), dan ginjal.
2. Gangguan metabolisme hormonal, seperti: diabetes militus, klimakterium, dan
ketidakseimbangan tiroid.
48
3. Gangguan persendian, seperti: osteoatritis, gout atritis, ataupun penyakit
kolagen lainya.
4. Berbagai neoplasma.
2.2 Penelitian Terkait
Penelitian Aisya Rezki (2011), dengan judul pengaruh pemberian bunga
rosella untuk menurunkan tekanan darah tinggi di desa Sungkal Kanan Dusun V
Deli Serdang. Dalam penelitian menunjukan tekanan darah pada penderita
hipertensi sebelum diberikan seduhan bunga rosella 66,7% (8 orang) responden
berada pada hipertensi ringan. Sedangkan setelah pemberian seduhan bunga
rosella didapatkan 75 % (9 orang) responden tekanan darah menjadi normal, 16.7
(2 orang) normal tinggi dan hanya 8.3% (1 orang) hipertensi ringan. Hasil
penelitian bivariat menunjukan ada Perbedaan tekanan darah pre dan post
pemberian seduhan bunga rosella menunjukkan signifikansi dengan sistolik: t =
5.5, p = 0.000 dan diastolik: t = 6.6, p = 0.000).
Penelitian Setianingsih (2010), dengan judul efektifitas terapi rosella Seduh
untuk menurunkan tekanan darah pada usia lanjut dengan hipertensi di wilayah kerja
posyandu lansia kelurahan kramas kecamatan Tembalang Semarang. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui efektifitas terapi Rosella seduh terhadap penurunan
tekanan darah pada usia lanjut dengan hipertensi. Penelitian ini menggunakan metode
quasi exsperiment one group pre test post test dengan kelompok kontrol, yaitu
mengobservasi sebelum dan sesudah perlakuan. Berdasarkan hasil penelitian, 93,33%
responden mengalami penurunan tekanan darah yang diwakili dengan penghitungan
MAP pada posisi berbaring dan duduk sedangkan posisi berdiri sebanyak 83,33 %.
Kelompok kontrol tidak mengalami penurunan MAP. Nilai signifikansi yang
49
dihasilkan dari uji korelasi pearson test menunjukkan bahwa 0,000 < 0,05 pada ketiga
posisi. Sehingga hipotesis Ho ditolak dan Ha diterima.
Penelitian Novi Kurniawati (2011), dengan judul perbedaan penurunan
tekanan darah antara penderita hipertensi yang mengkonsumsi dan tidak
mengkonsumsi seduhan bunga rosella di Paguyuban lansia RW XVI Kapas
Madya Surabaya. Dalam penelitian ini desain penelitiannya analitik eksperimen
dengan jenis rancangan randomized Pre Post test control Group Design. Populasi
pada penelitian ini sebanyak 40 responden. Besar sampel 36 responden diambil
secara simple random sampling. Variabel independen kelopak bunga rosella dan
variabel dependen penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi. Data
diambil pada bulan Maret 2010 dengan alat ukur tensimeter. Hasil dianalisis
dengan uji t sampel bebas didapatkan (0,00) < (0,05) sehingga Ho ditolak yang
berarti ada perbedaan penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi yang
mengkonsumsi dan tidak mengkonsumsi seduhan bunga rosella.
Penelitian Gavrila Pinastika (2009) dengan judul pengaruh pemberian
seduhan kelopak kering bunga rosella (hibiscus sadariffa) terhadap tekanan darah
penderita pre hipertensi dan hipertensi grade 1 yang di edukasi gaya hidup sehat.
Dalam penelitian ini jumlah sample adala 40 orang yang dibagi menjadi 2
kelompok (19 perlakuan dan 21 kontrol). Kelompok perlakuan di beri edukasi
gaya hidup sehat dan seduhan HS dengan dosis 3gr/200ml/hari yang di minum
sebelum sarapan, kelompok kontrol di beri edukasi gaya hidup sehat saja. Hasil
penelitian bivariat terdapat perbedaan antara tekakan sistole pre dan post test pada
kelompok perlakuan (p=0,000), tekanan sistole pada kelompok kontrol (p=0,039)
dan tekanan diastole pada kelompok kontrol (p=0,038). Tidak terdapat perbedaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi :Usia, faktor genetik, jenis kelamin, mengkonsumsi makanan tinggi lemak & kolestrol, obesitas, mengkonsumsi alkohol,tingginya asupan garam, kurang olahraga, stress.
Upaya menurunkantekanan darah
Hipetensi
Non farmakologisOlahraga secara teraturPenanganan faktor psikologis dan stress Berhenti merokokTidak Mengkonsumsi AlkoholDiet rendah lemak dan garamTerapi komplementer: terapi herbal (seduhan bunga rosella), terapi nutrisi, relaksasi progresif, meditasi, terapi tawa, akupuntur, akupresur, aromaterapi, terapi bach flower remedy, dan refleksologi.
FarmakologisPemberian obat yang bersifat :DiuretikMenekan simpatetik (simpatolitikVasodilator arteriol yang bekerja langsungAntagonis angiotensin (ACE inhibitor).Penghambat saluran kalsium (blocker calcium antagonis).
50
bermakna pada tekanan diastole kelompok perlakuan (p=0,116). Komparasi
penurunan tekanan sistole kelompok perlakuan dengan kontrol menunjukan
adanya perbedaan bermakna (p=0,003), tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna
pada penerunan tekanan diastole (p=0,872).
2.3 Kerangka Teori
Gambar 2.3
Kerangka Tori Penelitian
Sumber: (Muhummadun, 2010), (Hananta, 2011), (Susilo. Y, 2009),
(Muttaqin. A, 2009) & (Shep, 2002 dalam Fikri. A, 2011), (Sustrani, Alam,
Hadibroto 2005 dalam Nugroho Y.T., 2010).
Pemberian Seduahan bunga Rosella kering (Hibiscus Sabdariffa)Tekanan darahSistolik Diastolik
51
2.4 Kerangka Konsep
Gambar 2.4
Kerangka Konsep
Variable Independen Variable Dependen
Variabel Confounder
Usia Jenis kelamin Ras Stress Medikasi Variasi Diurnal
52
2.5 Hipotesis
Ha :
Ada pengaruh pemberian seduhan bunga rosella kering (hibiscus
sabdariffa) terhadap penurunan tekanan darah lansia penderita hipertensi
di Pelayanan Sosial Lanjut Usia Tresna Werdha Natar Provinsi Lampung
Tahun 2013
Ho :
Tidak ada pengaruh pemberian seduhan bunga rosella kering (hibiscus
sabdariffa) terhadap penurunan tekanan darah lansia penderita hipertensi
di Pelayanan Sosial Lanjut Usia Tresna Werdha Natar Provinsi Lampung
Tahun 2013.